tinea kruris 1
TRANSCRIPT
BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN REFERAT
FAKULTAS KEDOKTERAN AGUSTUS 2013
UNIVERSITAS HASANUDDIN
TINEA KRURIS
DISUSUN OLEH:
RINA ALIMUDDIN C111 09 137
NURIE S. SYADZWINI C111 09 271
DIAN WAHYUNI C111 09 348
PEMBIMBING:
dr. YULIANTI
SUPERVISOR
dr. A.M ADAM, Sp. KK(K)
DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK
PADA BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
1
TINEA KRURIS
I. PENDAHULUAN
Dermatofitosis adalah infeksi jamur yang disebabkan oleh dermatofit yang
memiliki kemampuan untuk melekat pada keratin dan menggunakannya sebagai
sumber nutrisi. Dermatofitosis adalah salah satu penyakit kulit yang tersebar diseluruh
dunia dimana prevalensinya berbeda-beda pada tiap negara. Dermatofit adalah
kelompok dari tiga jenis jamur antara lain anthropophilic, zoophilic, dan geophilic.
Contoh dari infeksi dermatofit yang paling umum adalah athletes foot (tinea pedis),
tinea kruris (groin area).1
Menurut penelitian yang dilakukan oleh World Health Organization (WHO)
terhadap insiden dari infeksi dermatofit, 20% orang dari seluruh dunia mengalami
infeksi kutaneus. Diantara infeksi tinea, tipe yang paling dominan adalah tinea
korporis atau tinea circinata, diikuti dengan tinea kruris, tinea pedis, dan
onychomycosis.2
II. EPIDEMIOLOGI
Diperkirakan bahwa sampai dengan 20% dari populasi di Amerika serikat
terinfeksi dermatofitosis. Tinea pedis adalah yang paling umum dermatofitosis, yang
mempengaruhi hingga 70% orang dewasa di seluruh dunia. Tinea kruris sering
terdapat di daerah dengan iklim hangat, lembab, dan faktor predisposisi meliputi
sepatu tertutup dan sering terpapar. Tinea kruris adalah invasi folikel rambut, ini
paling sering terjadi pada musim panas, pada pria muda, dan orang dengan pakaian
ketat. 3
Spesies trichophyton bertanggung jawab atas 80% kasus di Amerika Serikat,
sebelum 1960, agen etiologi yang paling umum adalah microsporum audouinii.
Sampai 30% dari anak-anak adalah pembawa asimtomatik trichophyton tonsurans
menjadi agen penyebab utama. Banyak spesies dermatofit dapat menyebabkan infeksi
pada manusia, termasuk tidak hanya spesies antropofilik, tetapi juga mereka yang
2
ditemukanpada hewan (zoofilik) dan orang-orang yang biasanya menghuni tanah
(geophilic).3
III. ETIOLOGI
Penyebab utama dari tinea kruris adalah Trichopyhton rubrum (90%) dan
Epidermophython fluccosum, Trichophyton mentagrophytes (4%), Trichophyton
tonsurans (6%) .4
Tabel 3.14
Dermatophyte Gambaran klinis
Trichophyton rubrum Penyebab paling utama di USA
Biasanya penyakit akan berkembang menjadi kronis
Jamur tidak dapat bertahan pada (perabotan, karpet
dan linen) dalam jangka waktu yang lama
Sering melebar ke gluteus, pinggang dan paha
Epidhermophyton
fluccosum
Umumnya berhubungan dengan “epidemics” seperti
menyebar pada kamar ganti dan asrama
Infeksi akut( jarang kronis)
Jamur dapat bertahan pada (perabotan, karpet dan
linen) dalam jangka waktu yang lama
Penyebaran jamur tidak melewati daerah inguinal
T.mentagrophytes Infeksi lebih parah dan akut, akan menyebabkan
peradangan dan pustul
Jamur cepat menyebar ke tubuh dan extremitas
inferior, menyebabkan inflamasi berat
Biasanya didapatkan pada bulu binatang
Gambaran Dermatofit5
3
Trichophyton Rubrum
A B
Gambar 3.1 : (A) Gundukan pusat berwarna putih dengan pinggiran merah
marun. Pigment berwarna merah marun. (B) mikrokonidia berbentuk tetesan
air mata. Makrokonidia berbentuk pensil. perforasi rambut negatif.5
Epidermophyton Floccossum
A B
Gambar 3.2 : (A) koloni berbulu rata dengan lipatan dan warna pigmen kuning kusam,
dan pada pusatnya berwarna hijau keabu-abuan. Pigmen berwarna kuning sampai
coklat pada penampang belakang. (B) Tidak terdapat mikrokonidia, banyak yang tipis
dan berdinding tebal, makrokonidia membentuk kelompok.5
Trichophyton Mentagrophytes
A B
4
Gambar 3.3 : (A) berwarna putih krem dan nampak halus, permukaan seperti
undakan. tidak ada cahaya pigmen coklat. tidak ada pigmen di PDA. urease positif.
(B) microconidia membentuk klaster, makrokonidia jarang berbentuk cerutu,
kebanyakan hifa berbentuk spiral. rambut perforasi positif.5
IV. PATOGENESIS
Dermatofit menggunakan keratin sebagai sumber gizi, mereka umumnya tidak
menyerang jaringan yang bagus. Mereka menjajah keratin di stratum korneum dan
jaringan sekitarnya biasanya merupakan hasil dari respon host alergi atau peradangan
terhadap kehadiran jamur. Beberapa dari infeksi tersebut menyebabkan lesi melingkar
yang dihasilkan dari reaksi inflamasi memaksa dermatofit luar untuk peradangan
daerah bebas. Didukung dengan faktor predisposisi infeksi jamur, seperti bertambahnya
usia dengan mobilitas yang terbatas, imunosupresi, defisit neurologis, dan kondisi
iatrogenik disertai penyakit lain yang mendasari.3
Jalur infeksi yang diduga sebagai tempat dermatofit untuk menginfeksi
pejamu ialah melalui kulit yang terluka misalnya : luka gores atau luka bakar. Bagian
dari dermatofit yang menginfeksi ialah atrokonidia atau konidia. Kuman patogen
menyerang stratum korneum, memproduksi exo-enzym keratinase, dan menginduksi
reaksi inflamasi pada lokasi infeksi.2
Tanda-tanda inflamasi ialah kemerahan, pembengkakan, panas dan alopesia
dapat ditemukan didaerah yang terinfeksi. Penyebab inflamasi dapat berpindah dari
lokasi infeksi ketempat yang belum terinfeksi. Perpindahan patogen ini menyebabkan
lesi seperti cincin. Tinea kruris dapat menular secara langsung melalui kontak langsung
dengan penderita atau secara
tidak langsung melalui barang
atau benda yang telah
terinfeksi.2
5
6
7
Gambar 4.1 Patogenesis infeksi dermatofit.2
V. GEJALA KLINIS
Tinea kruris biasanya dimulai dengan patch merah tinggi di bagian dalam dari
salah satu atau kedua paha. Pada laki-laki biasanya pada daerah skrotum menyebar di
tengah dengan daerah tepi luar yang sedikit lebih tinggi, merah, dan memiliki
perbatasan yang tajam.6
Ruam bisa menyebar ke paha, sampai ke daerah kemaluan dan bahkan
memanjang sampai ke pantat. Pasien juga merasakan gatal yang menyebabkan
ketidaknyamanan dan iritasi yang memberikan sensasi terbakar di daerah yang
terkena. Pada kulit pangkal paha biasanya mengalami pengelupasan atau pecah-pecah,
kemungkinan jg menyebar ke daerah anus.7,8
Gambar 5.1 : terdapat
plak eritematosa berbatas
tegas di daerah inguinal
dan pubis.5
Gambar 5.2 : Lesi berbatas tegas, polisiklis, polimorfis
dengan tepi aktif.9
8
Gambar 5.3 Tinea kruris: Eritema dengan area atrofi dan skala di sebelah kanan
medial paha atas yang berbatasan dengan daerah inguinal. 10
VI. DIAGNOSIS
Anamnesis
Perjalanan penyakit termasuk keluhan utama dan keluhan tambahan: rasa gatal
hebat pada daerah kruris (lipat paha), lipat perineum, bokong dan dapat ke genitalia;
ruam kulit berbatas tegas, eritematosa dan bersisik, semakin hebat jika banyak
berkeringat.11
Pemeriksaan fisis
Lokalisasi : Regio inguinalis bilateral, simetris. Meluas ke perineum, sekitar
anus, intergluteal sampai ke gluteus. Dapat pula meluas ke suprapubis dan abdomen
bagian bawah. Effloresensi/sifat-sifatnya: Makula eritematosa numular sampai
geografis, berbatas tegas dengan tepi lebih aktif terdiri dari papula atau pustul. Jika
kronik macula menjadi hiperpigmentasi dengan skuama diatasnya.11
Pemeriksaan penunjang
- Lampu Wood
Lampu wood pertama kali digunakan dalam praktek dermatologi untuk
mendeteksi jamur infeksi hair oleh Margaret dan Deveze tahun 1925. Lampu
Wood memancarkan radiasi UV gelombang panjang (UVR), juga disebut cahaya
hitam, yang dihasilkan oleh tinggi tekanan busur merkuri dilengkapi dengan filter
senyawa terbuat dari barium silikat dengan 9% nikel oksida, yang Filter Wood.
Filter ini terlihat buram pada semua sinar kecuali sebuah band antara 320 dan 400
nm dengan puncak pada 365 nm. Dermatofita yang menyebabkan fluoresens
9
umumnya anggota genus Microsporum. Namun, tidak adanya fluoresensi tidak
selalu mengesampingkan tinea capitis seperti kebanyakan spesies Trichophyton,
dengan pengecualian T. schoenleinii, yang nonfluoresens. Gambaran Tinea kruris
tidak terlihat pada pemeriksaan ini.12
- KOH (potassium hidroksida): tampak elemen jamur seperti hifa, spora dan
miselium.10
Gambar 6.1 : preparat
KOH: Multipel, bersepta dan struktur seperti tuba.10
VII. DIAGNOSIS BANDING
Kandidosis Intertriginosa
Kandidosis adalah penyakit jamur, yang bersifat akut atau subakut disebabkan
oleh spesies candida, biasanya oleh spesies candida albicans dan dapat mengenai
mulut, vagina,kulit, kuku, bronchi atau paru, kadang-kadang dapat menyebabkan
septicemia, endokarditis , atau meningitis. Kandidosis lesi intertrigenosa, didaerah
lipatan kulit ketiak, lipat paha, intergluteal, lipat payudara, antara jari tangan atau
kaki, glands penis dan umbilikus, berupa bercak yang berbatas tegas, bersisik, basah,
dan eritematosa. Lesi tersebut dikelilingi oleh satelit berupa vesikel-vesikel dan
pustule-pustul kecil atau bulla yang bila pecah meninggalknan daerah yang erosi,
dengan pinggir yang kasar dan berkembang seperti lesi primer.13
10
Gambar 7.1:
kandidosis intertriginosa. (A). eritem , erosi, pustule menjadi plak di skrotum dan inguinal, (B)
eritem, erosi dan lesi satelit, (C).merah, erosi di area vulva, (D).eritem dan erosi di sela jari.5
Psoriasis Vulgaris
Psoriasis adalah peradangan menahun yang ditandai dengan plak eritematosa
dengan skuama lebar, kasar, berlapis dan putih seperti mika. Perjalanan penyakit ini
kronis residif. Dapat menyerang perempuan maupun laki-laki dengan resiko yang
sama. Mengenai semua umur terutama 30-40 tahun. Faktor genetik mempunyai
keterkaitan yang besar dengan psoriasis tipe satu: yaitu psoriasis dengan awitan
sebelum berumur 40 tahun. Biasanya psoriasis menempati daerah ekstensor, skalp,
siku, lutut, dan bokong. Dapat juga mengenai lipatan (psoriasis inversa) atau palmo-
plantar (psoriasis plamoplantar).9
Berbagai bentuk ragam psoriasis dapat dijumpai: Bila ukuran lesi lentikular
disebut psoriasis gutata, bentuk tersering adalah psoriasis vulgaris dengan ukuran
lebih besar dari lentikular. Selain kulit badan, psoriasis juga menyerang kulit kepala,
kuku, sendi dan mukosa (geographic tounge). 9
11
A B
Gambar 7.2 : (A,B) Plak kronik psoriasis10
Dermatitis Seboroik
Dermatitis seboroik merupakan penyakit papuloskuamosa yang kronik.
Kelainan ini dapat mengenai bayi dan dewasa,dan berhubungan dengan peningkatan
produksi sebum (sebore) pada skalp dan area yang memiliki banyak kelenjar sebasea
di wajah dan badan. Penyebabnya multifaktorial. Faktor konstitusi sebore, P.ovale,
stres, imunokompromais dan kelainan neurologis dapat mendasari penyakit ini.
Manifestasi klinisnya bervariasi dari bentuk ringan berupa skuama halus saja seperti
pada pitiriasis sika (dandruff) sampai papul eritematosa dengan skuama kasar
berminyak dan kekuningan disertai krusta pada area predileksi.9
Pada bayi, sering ditemukan skuama kekuningan yang lekat pada kepala
disebut cradle cap. Penyakit ini jika meluas dapat menjadi eritroderma.9
A B
Gambar 7.3: (A) Dermatitis seboroik pada kepala dengan infeksi sekunder,
dapat menyerupai tinea kapitis. (B) Dermatitis seboroik pada wajah, khas
mengenai area sebore.9
VIII. PENATALAKSANAAN
Dalam kebanyakan kasus tinea kruris dapat dikelola dengan pengobatan
topikal. Steroid topikal tidak direkomendasikan. Agen topikal memiliki efek
menenangkan, yang akan meringankan gejala lokal.14
Terapi topikal untuk pengobatan tinea corporis atau tinea kruris termasuk:
terbinafine, butenafine, ekonazol, miconazole, ketoconazole, klotrimazole,
12
ciclopirox. Formulasi topikal dapat membasmi area yang lebih kecil dari infeksi,
tetapi terapi oral diperlukan di mana wilayah infeksi yang lebih luas yang terlibat
atau di mana infeksi kronis atau berulang.15
a. Griseovulfin: pada masa sekarang, dermatofitosis pada umumnya dapat diatasi
dengan pemberian griseovulvin. Obat ini bersifat fungistatik. Secara umum
griseovulfin dalam bentuk fine particle dapat diberikan dengan dosis 0,5 – 1
untuk orang dewasa dan 0,25 – 0,5 g untuk anak- anak sehari atau 10 – 25 mg
per kg berat badan. Lama pengobatan bergantung pada lokasi penyakit,
penyebab penyakit dan keadaan imunitas penderita. Setelah sembuh klinis di
lanjutkan 2 minggu agar tidak residif.
b. Butenafine adalah salah satu antijamur topikal terbaru diperkenalkan dalam
pengobatan tinea kruris dalam dua minggu pengobatan dimana angka
kesembuhan sekitar 70%.
c. Flukonazol (150 mg sekali seminggu) selama 4-6 minggu terbukti efektif dalam
pengelolaan tinea kruris dan tinea corporis karena 74% dari pasien mendapatkan
kesembuhan.
d. Itrakonazol dapat diberikan sebagai dosis 400 mg / hari diberikan sebagai dua
dosis harian 200 mg untuk satu minggu.
e. Terbinafine 250 mg / hari telah digunakan dalam konteks ini klinis dengan
rejimen umumnya 2-4 minggu.
f. Itrakonazol diberikan 200 mg / hari selama 1 minggu dianjurkan, meskipun
rejimen 100 mg / hari selama 2 minggu juga telah dilaporkan efektif.
g. Ketokonazol Obat ini bersifat fungistatik. Pada kasus resisten terhadap
griseovulfin dapat diberikan obat tersebut sebanyak 200 mg perhari selama 10
hari – 2 minggu pada pagi hari setelah makan.16
Pencegahan :
a. Menggunakan baju yang tidak ketat.
b. Keringkan seluruh badan setelah mandi.
c. Menurunkan berat badan jika obesitas.
d. Mencuci pakaian dan handuk yang telah digunakan oleh penderita
e. atau melalui kontak langsung selama hubungan seksual dengan seseorang
yang tidak memiliki infeksi. 15
13
IX. PROGNOSIS
Prognosis bagus jika diagnosis tepat dan pengobatan yang teratur. Rekurensi
dapat terjadi apabila di daerah predileksi kelembapannya tidak terjaga.16
Daftar Pustaka
1. Abbas KA, Mohammed AZ, Mahmoud SI. Superficial Fungal infections.
Mustansiriya Medical Journal. Vol. 11 Issue 1 June 2012. p. 75-7
2. Lakshmipathy TD, Kannabiran K. Review on dermatomycosis: pathogenesis and
treatment. Natural Science. [serial online] 2010 [cited august 26 2013]; 2(7): [4
screens]. Available from: URL: http://www.scirp.org/journal/NS/
3. Straten VRM, Hossain AM, Ghannoum AM. Cutaneus infections Dermatophytosis,
onychomycosis and tinea versicolor. USA: Elsevier; 2003. p. 86-92
4. Sobera OJ, Elewski EB. Superficial mycosis. In: Bolognia LJ, Jorizzo LJ, Rapini PR,
editors. Dermatology. 2nd ed. USA: Mosby Elsevier; 2008. Chapt. 76
5. Verma S, Heffernan PM. Fungal Disease. In: Wolff K, Goldsmith AL, Katz IS,
Gilchrest AB, Paller SA, Leffel JD, editors. Fitzpatrick’s Dermatology In General
Medicine. 7th ed. New York: McGraw Hill; 2008. p. 1807-25
6. Risdianto A, Kadir D, Amin S. Tinea corporis and Tinea cruris Cause by
Trichophyton Mentagrophytes Type Granular in Asthma Bronchiale Patient. IJDV
2013; 2(2): p. 31-8
7. Hainer LB. Dermatophyte Infections. American Family Physician. January 1 2003;
67(1). p. 101-8
14
8. Havlickova B, Czaika AV, Friedrich M. Epidemiological trends in skin mycosis
worldwide. Journal compilation Blackwell Publishing. July 2008. 51(suppl 4). p. 2-15
9. Daili SSE, Menaldi LS, Wisnu MI, editors. Penyakit Kulit yang Umum Di Indonesia.
Jakarta Pusat: PT. Medical Multimedia Indonesia; 2005. p. 22-4, 30.
10. Wolff K, Johnson RA, editors. Fitzpatrick’s Color Atlas and Synopsis of Clinical
Dermatology. 6th ed. New York: McGraw Hill; (?). p. 695-704, 177
11. Siregar SR. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi 2. Jakarta: EGC; (?). p. 29-
31
12. Gupta KL, Singhi KM. Wood’s Lamp. Indian J Dermatol Venereol Leprol. April
2004; 70(2). p. 131-5
13. Kuswadji. Kandidosis Intertrigenosa . Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S,
editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi ke-5. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2009. p. 107-9
14. Palacio DA, garau M, Escalada GA, Calvo T. Trends in the treatment of
dermatophytosis. Departement of Microbiology, Hospital Universitario 12 October.
p. 155
15. Nadalo D, Montoya C. What is the best way to treat tinea kruris?. The journal of
Family Practice. March 2006; 55(3). p. 256-7
16. Gupta KA, Cooper EA. Update in Antifungal Therapy of Dermatophytosis.
Mycopathologia. 2008; 166:353-367.
15