tht referat tumor
DESCRIPTION
mbfdhsfadnvcckshmnxcsajcnaxcladuigfyrgosfjdbcvogrvoadjbhfdgydubvosbfvhdfbvsdjvubvsbugsyhdvbjdvbudfhvuvbybdvsuhvuossdvbjbvjfvufdTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Tahun 2003, diperkirakan bahwa kanker kepala dan leher akan terdiri dari 2% -3% dari
seluruh kanker di Amerika Serikat dan untuk 1% -2% dari semua kematian kanker. Total ini
mencakup 19.400 kasus kanker rongga mulut, kanker laring 9.500 kasus dan 8.300 kasus kanker
faring. Kebanyakan pasien dengan kanker kepala dan leher (regional nodal kanker leher
memiliki penyakit metastasis pada saat diagnosis 43% dan metastasis dalam 10%.
Kanker kepala dan leher mencakup berbagai kelompok tumor biasa yang seringkali
agresif dalam perilaku biologis mereka. Selain itu, pasien dengan kanker kepala dan leher sering
berkembang menjadi tumor primer kedua. Tumor ini terjadi pada tingkat tahunan sebesar 3% -
7%, dan 50% -75% dari kanker baru seperti terjadi di saluran aerodigestive atas atau paru-paru.
Anatomi kepala dan leher adalah kompleks dan dibagi menjadi situs dan subsites.
Masing-masing tumor memiliki epidemiologi yang unik, anatomi, alam sejarah, dan pendekatan
terapeutik.
1
BAB II
ANATOMI TELINGA HIDUNG TENGGOROK KEPALA LEHER
2.1 ANATOMI dan FISIOLOGI TELINGA
Anatomi telinga dibagi atas telinga luar,telinga tengah,telinga dalam: 1,2,3,5
2.1.1 Telinga Luar
Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai membran tympani. Telinga
luar atau pinna merupakan gabungan dari tulang rawan yang diliputi kulit. Daun telinga terdiri
dari tulang rawan elastin dan kulit. Liang telinga (meatus akustikus eksternus) berbentuk huruf S,
dengan rangka tulang rawan pada sepertiga bagian luar, di sepertiga bagian luar kulit liang
telinga terdapat banyak kelenjar serumen (modifikasikelenjar keringat = Kelenjar serumen) dan
rambut. Kelenjar keringat terdapat pada seluruh kulit liang telinga. Pada dua pertiga bagian
dalam hanya sedikit dijumpai kelenjar serumen, dua pertiga bagian dalam rangkanya terdiri dari
tulang. Panjangnya kira-kira 2,5 - 3 cm. Meatus dibatasi oleh kulit dengan sejumlah rambut,
kelenjar sebasea, dan sejenis kelenjar keringat yang telah mengalami modifikasi menjadi
kelenjar seruminosa, yaitu kelenjar apokrin tubuler yang berkelok-kelok yang menghasilkan zat
lemak setengah padat berwarna kecoklat-coklatan yang dinamakan serumen (minyak telinga).
Serumen berfungsi menangkap debu dan mencegah infeksi.
2
Gambar 2.1 : Telinga luar, telinga tengah, telinga dalam. Potongan Frontal Telinga 1,2,3
2.1.2 Telinga Tengah
Telinga tengah berbentuk kubus dengan :
Batas luar : Membran timpani
Batas depan : Tuba eustachius
Batas Bawah : Vena jugularis (bulbus jugularis)
Batas belakang : Aditus ad antrum, kanalis fasialis pars vertikalis.
Batas atas : Tegmen timpani (meningen / otak )
Batas dalam : Berturut-turut dari atas ke bawah kanalis semi sirkularis
horizontal, kanalis fasialis,tingkap lonjong (oval window),tingkap
bundar (round window) dan promontorium.
Membran timpani berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari arah liang telinga dan
terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga. Bagian atas disebut Pars flaksida (Membran
Shrapnell), sedangkan bagian bawah Pars Tensa (membrane propia). Pars flaksida hanya berlapis
dua, yaitu bagian luar ialah lanjutan epitel kulit liang telinga dan bagian dalam dilapisi oleh sel
kubus bersilia, seperti epitel mukosa saluran napas. Pars tensa mempunyai satu lapis lagi
3
ditengah, yaitu lapisan yang terdiri dari serat kolagen dan sedikit serat elastin yang berjalan
secara radier dibagian luar dan sirkuler pada bagian dalam.
Bayangan penonjolan bagian bawah maleus pada membrane timpani disebut umbo.
Dimembran timpani terdapat 2 macam serabut, sirkuler dan radier. Serabut inilah yang
menyebabkan timbulnya reflek cahaya yang berupa kerucut. Membran timpani dibagi dalam 4
kuadran dengan menarik garis searah dengan prosesus longus maleus dan garis yang tegak lurus
pada garis itu di umbo, sehingga didapatkan bagian atas-depan, atas-belakang, bawah-depan
serta bawah belakang, untuk menyatakan letak perforasi membrane timpani.
Didalam telinga tengah terdapat tulang-tulang pendengaran yang tersusun dari luar
kedalam, yaitu maleus, inkus, dan stapes. Tulang pendengaran didalam telinga tengah saling
berhubungan . Prosesus longus maleus melekat pada membrane timpani, maleus melekat pada
inkus dan inkus melekat pada stapes. Stapes terletak pada tingkap lonjong yang berhubungan
dengan koklea. Hubungan antar tulang-tulang pendengaran merupakan persendian.
Telinga tengah dibatasi oleh epitel selapis gepeng yang terletak pada lamina propria yang
tipis yang melekat erat pada periosteum yang berdekatan. Dalam telinga tengah terdapat dua otot
kecil yang melekat pada maleus dan stapes yang mempunyai fungsi konduksi suara. maleus,
inkus, dan stapes diliputi oleh epitel selapis gepeng. Pada pars flaksida terdapat daerah yang
disebut atik. Ditempat ini terdapat aditus ad antrum, yaitu lubang yang menghubungkan telinga
tengah dengan antrum mastoid. Tuba eustachius termasuk dalam telinga tengah yang
menghubungkan daerah nasofaring dengan telinga tengah.
Gambar 2.2 : Membran Timpani 1,2,3
4
Telinga tengah berhubungan dengan rongga faring melalui saluran eustachius (tuba
auditiva), yang berfungsi untuk menjaga keseimbangan tekanan antara kedua sisi membrane
tympani. Tuba auditiva akan membuka ketika mulut menganga atau ketika menelan makanan.
Ketika terjadi suara yang sangat keras, membuka mulut merupakan usaha yang baik untuk
mencegah pecahnya membran tympani. Karena ketika mulut terbuka, tuba auditiva membuka
dan udara akan masuk melalui tuba auditiva ke telinga tengah, sehingga menghasilkan tekanan
yang sama antara permukaan dalam dan permukaan luar membran tympani.
2.1.3 Telinga Dalam
Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang berupa dua setengah lingkaran dan
vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Ujung atau puncak koklea disebut
holikotrema, menghubungkan perilimfa skala timpani dengan skala vestibuli.
Kanalis semi sirkularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan membentuk
lingkaran yang tidak lengkap.
Pada irisan melintang koklea tampak skala vestibuli sebelah atas, skala timpani sebelah
bawah dan skala media (duktus koklearis) diantaranya. Skala vestibuli dan skala timpani berisi
perilimfa, sedangkan skala media berisi endolimfa. Dasar skala vestibuli disebut sebagai
membrane vestibuli (Reissner’s membrane) sedangkan dasar skala media adalah membrane
basalis. Pada membran ini terletak organ corti.
Pada skala media terdapat bagian yang berbentuk lidah yang disebut membran tektoria,
dan pada membran basal melekat sel rambut yang terdiri dari sel rambut dalam, sel rambut luar
dan kanalis corti, yang membentuk organ corti.
5
Gambar 2.3 : Gambar labirin bagian membrane labirin bagian tulang, Telinga Dalam 1,2,3,5
Koklea
bagian koklea labirin adalah suatu saluran melingkar yang pada manusia panjangnya
35mm. koklea bagian tulang membentuk 2,5 kali putaran yang mengelilingi sumbunya. Sumbu
ini dinamakan modiolus, yang terdiri dari pembuluh darah dan saraf. Ruang di dalam koklea
bagian tulang dibagi dua oleh dinding (septum). Bagian dalam dari septum ini terdiri dari lamina
spiralis ossea. Bagian luarnya terdiri dari anyaman penyambung, lamina spiralis membranasea.
Ruang yang mengandung perilimf ini dibagi menjadi : skala vestibule (bagian atas) dan skala
timpani (bagian bawah). Kedua skala ini bertemu pada ujung koklea. Tempat ini dinamakan
helicotrema. Skala vestibule bermula pada fenestra ovale dan skala timpani berakhir pada
fenestra rotundum. Mulai dari pertemuan antara lamina spiralis membranasea kearah perifer atas,
terdapat membrane yang dinamakan membrane reissner. Pada pertemuan kedua lamina ini,
terbentuk saluran yang dibatasi oleh:
1. membrane reissner bagian atas
2. lamina spiralis membranasea bagian bawah
3. dinding luar koklea
6
saluran ini dinamakan duktus koklearis atau koklea bagian membrane yang berisi
endolimf. Dinding luar koklea ini dinamakan ligamentum spiralis.disini, terdapat stria vaskularis,
tempat terbentuknya endolimf.
Gambar 2.4 : Koklea 2,3
Didalam lamina membranasea terdapat 20.000 serabut saraf. Pada membarana basilaris
(lamina spiralis membranasea) terdapat alat korti. Lebarnya membrane basilaris dari basis koklea
sampai keatas bertambah dan lamina spiralis ossea berkurang. Nada dengan frekuensi tinggi
berpengaruh pada basis koklea. Sebaliknya nada rendah berpengaruh dibagian atas (ujung) dari
koklea.
GAMBAR 2.5 : Organ korti 2,3
Pada bagian atas organ korti, terdapat suatu membrane, yaitu membrane tektoria.
Membrane ini berpangkal pada Krista spiralis dan berhubungan dengan alat persepsi pada alat
korti. Pada alat korti dapat ditemukan sel-sel penunjang, sel-sel persepsi yang mengandung
rambut. Antara sel-sel korti ini terdapat ruangan (saluran) yang berisi kortilimf.
Duktus koklearis berhubungan dengan sakkulus dengan peralatan duktus reunions.
Bagian dasar koklea yang terletak pada dinding medial cavum timpani menimbulkan penonjolan
pada dinding ini kearah cavum timpani. Tonjolan ini dinamakan promontorium.
7
Vestibulum
Vestibulum letaknya diantara koklea dan kanalis semisirkularis yang juga berisi perilimf.
Pada vestibulum bagian depan, terdapat lubang (foramen ovale) yang berhubungan dengan
membrane timpani, tempat melekatnya telapak (foot plate) dari stapes. Di dalam vestibulum,
terdapat gelembung-gelembung bagian membrane sakkulus dan utrikulus. Gelembung-
gelembung sakkulus dan utrikulus berhubungan satu sama lain dengan perantaraan duktus
utrikulosakkularis, yang bercabang melalui duktus endolimfatikus yang berakhir pada suatu
lilpatan dari duramater, yang terletak pada bagian belakang os piramidalis. Lipatan ini
dinamakan sakkus endolimfatikus. Saluran ini buntu.
Sel-sel persepsi disini sebagai sel-sel rambut yang di kelilingi oleh sel-sel penunjang
yang letaknya pada macula. Pada sakkulus, terdapat macula sakkuli. Sedangkan pada utrikulus,
dinamakan macula utrikuli.
Kanalis semisirkularisanlis
Di kedua sisi kepala terdapat kanalis-kanalis semisirkularis yang tegak lurus satu sama
lain. didalam kanalis tulang, terdapat kanalis bagian membran yang terbenam dalam perilimf.
Kanalis semisirkularis horizontal berbatasan dengan antrum mastoideum dan tampak sebagai
tonjolan, tonjolan kanalis semisirkularis horizontalis (lateralis).
Kanalis semisirkularis vertikal (posterior) berbatasan dengan fossa crania media dan
tampak pada permukaan atas os petrosus sebagai tonjolan, eminentia arkuata. Kanalis
semisirkularis posterior tegak lurus dengan kanalis semi sirkularis superior. Kedua ujung yang
tidak melebar dari kedua kanalis semisirkularis yang letaknya vertikal bersatu dan bermuara pada
vestibulum sebagai krus komunis.
Kanalis semisirkularis membranasea letaknya didalam kanalis semisirkularis ossea.
Diantara kedua kanalis ini terdapat ruang berisi perilimf. Didalam kanalis semisirkularis
membranasea terdapat endolimf. Pada tempat melebarnya kanalis semisirkularis ini terdapat sel-
sel persepsi. Bagian ini dinamakan ampulla.
Sel-sel persepsi yang ditunjang oleh sel-sel penunjang letaknya pada Krista ampularis
yang menempati 1/3 dari lumen ampulla. Rambut-rambut dari sel persepsi ini mengenai organ
yang dinamakan kupula, suatu organ gelatinous yang mencapai atap dari ampulla sehingga dapat
menutup seluruh ampulla.
8
2.1.4 Fisiologi pendengaran 1,2,3,4,5
Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energy bunyi oleh daun telinga dalam
bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang kekoklea. Getaran tersebut
menggetarkan membran timpani diteruskan ketelinga tengah melalui rangkaian tulang
pendengaran yang akan mengimplikasi getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran dan
perkalian perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong. Energi getar yang telah
diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang menggerakkan tingkap lonjong sehingga
perilimfa pada skala vestibule bergerak. Getaran diteruskan melalui membrane Reissner yang
mendorong endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak relative antara membran basilaris dan
membran tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya
defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi penglepasan ion
bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut,
sehingga melepaskan neurotransmiter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi
pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nucleus auditorius sampai ke korteks pendengaran (area
39-40) di lobus temporalis.
Gambar 2.6 : Fisiologi Pendengaran 1,4
9
2.2 ANATOMI dan FISIOLOGI HIDUNG
2.2.1 Anatomi hidung
Gambar 2.7 : Anatomi hidung
Hidung merupakan organ penting yang seharusnya mendapat perhatian lebih dari
biasanya dan hidung merupakan salah satu organ pelindung tubuh terhadap lingkungan yang
tidak menguntungkan. Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung dalam. Hidung luar menonjol
pada garis tengah diantara pipi dengan bibir atas, struktur hidung luar dapat dibedakan atas tiga
bagian yaitu: paling atas kubah tulang yang tak dapat digerakkan, dibawahnya terdapat kubah
kartilago yang sedikit dapat digerakkan dan yang paling bawah adalah lobolus hidung yang
mudah digerakkan.6
Bagian puncak hidung biasanya disebut apeks. Agak keatas dan belakang dari apeks
disebut batang hidung (dorsum nasi), yang berlanjut sampai kepangkal hidung dan menyatu
dengan dahi. Yang disebut kolumela membranosa mulai dari apeks, yaitu diposterior bagian
tengah pinggir dan terletak sebelah distal dari kartilago septum. Titik pertemuan kolumela
dengan bibir atas dikenal sebagai dasar hidung. Disini bagian bibir atas membentuk cekungan
dangkal memanjang dari atas kebawah yang disebut filtrum. Sebelah menyebelah kolumela
adalah nares anterior atau nostril(Lubang hidung)kanan dan kiri, sebelah latero-superior dibatasi
oleh ala nasi dan sebelah inferior oleh dasar hidung.6
10
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan
lubang hidung. Bahagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari os internum
disebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring.
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan kebelakang, dipisahkan oleh
septum nasi dibagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk
kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior
(koana)yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai ala nasi, tepat dibelakang nares anterior,
disebut dengan vestibulum.Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang banyak kelenjar sebasea dan
rambut-rambut panjang yang disebut dengan vibrise.6
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior dan
superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum nasi ini dibentuk oleh tulang dan
tulang rawan, dinding lateral terdapat konkha superior, konkha media dan konkha inferior. Yang
terbesar dan letaknya paling bawah ialah konkha inferior, kemudian yang lebih kecil adalah
konka media, yang lebih kecil lagi konka superior, sedangkan yang terkecil ialah konka suprema
dan konka suprema biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang
melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema
merupakan bagian dari labirin etmoid. Celah antara konka inferior dengan dasar hidung
dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konkha media dan inferior disebut meatus
media dan sebelah atas konkha media disebut meatus superior.6
Meatus medius merupakan salah satu celah yang penting dan merupakan celah yang lebih
luas dibandingkan dengan meatus superior. Disini terdapat muara dari sinus maksilla, sinus
frontal dan bahagian anterior sinus etmoid. Dibalik bagian anterior konka media yang letaknya
menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang berbentuk bulat sabit yang dikenal
sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang berbentuk bulan sabit menghubungkan
meatus medius dengan infundibulum yang dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan
medial infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai
prosesus unsinatus.6
Di bagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri atas sinus
maksilla, etmoid, frontalis dan sphenoid. Dan sinus maksilla merupakan sinus paranasal terbesar
11
diantara lainnya, yang berbentuk pyramid iregular dengan dasarnya menghadap ke fossa nasalis
dan puncaknya kearah apek prosesus zigomatikus os maksilla.
Dasar cavum nasi dibentuk oleh os frontale da os palatinus sedangkan atap cavum nasi
adalah celah sempit yang dibentuk oleh os frontale dan os sphenoidale. Membrana mukosa
olfaktorius, pada bagian atap dan bagian cavum nasi yang berdekatan, mengandung sel saraf
khusus yang mendeteksi bau. Dari sel-sel ini serat saraf melewati lamina cribriformis os frontale
dan kedalam bulbus olfaktorius nervus cranialis I olfaktorius.6
Perdarahan hidung
Secara garis besar perdarahan hidung berasal dari 3 sumber utama yaitu:6
1. Arteri Etmoidalis anterior
2. Arteri Etmoidalis posterior cabang dari arteri oftalmika
3. Arteri Sfenopalatina, cabang terminal arteri maksilaris interna yang berasal dari arteri karotis
eksterna.
Gambar 2.8 : Sistem Vaskularisasi Hidung
Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang arteri maksilaris interna,
diantaranya ialah ujung arteri palatina mayor dan arteri sfenopalatina yang keluar dari foramen
sfenopalatina bersama nervus sfenopalatina dan memasuki rongga hidung dibelakang ujung
posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri
fasialis.
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri sfenopalatina,
arteri etmoid anterior, arteri labialis superior dan arteri palatina mayor, yang disebut pleksus
12
kieesselbach (little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisialis dan mudah cedera oleh
truma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis.
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan
arterinya. Vena divestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vena oftalmika yang
berhubungan dengan sinus kavernesus.
Persyarafan hidung
Gambar 2.9 :PersarafanHidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari nervus
etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris, yang berasal dari nervus
oftalmikus. Saraf sensoris untuk hidung terutama berasal dari cabang oftalmikus dan cabang
maksilaris nervus trigeminus. Cabang pertama nervus trigeminus yaitu nervus oftalmikus
memberikan cabang nervus nasosiliaris yang kemudian bercabang lagi menjadi nervus
etmoidalis anterior dan etmoidalis posterior dan nervus infratroklearis. Nervus etmoidalis
anterior berjalan melewati lamina kribrosa bagian anterior dan memasuki hidung bersama arteri
etmoidalis anterior melalui foramen etmoidalis anterior, dan disini terbagi lagi menjadi cabang
nasalis internus medial dan lateral. Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan
sensoris dari nervus maksila melalui ganglion sfenopalatinum. Ganglion sfenopalatina, selain
memberi persarafan sensoris, juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa
hidung. Ganglion ini menerima serabut serabut sensorid dari nervus maksila.Serabut
13
parasimpatis dari nervus petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak dibelakang dan
sedikit diatas ujung posterior konkha media.
Nervus Olfaktorius turun melalui lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus
olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidupada mukosa olfaktorius di
daerah sepertiga atas hidung.
2.2.2 Fisiologi hidung
Hidung berfungsi sebagai indra penghidu , menyiapkan udara inhalasi agar dapat
digunakan paru serta fungsi filtrasi. Sebagai fungsi penghidu, hidung memiliki epitel olfaktorius
berlapis semu yang berwarna kecoklatan yang mempunyai tiga macam sel-sel syaraf yaitu sel
penunjang, sel basal dan sel olfaktorius. Fungsi filtrasi, memanaskan dan melembabkan udara
inspirasi akan melindungi saluran napas dibawahnya dari kerusakan. Partikel yang besarnya 5-6
mikrometer atau lebih, 85 % -90% disaring didalam hidung dengan bantuan TMS. Fungsi hidung
terbagi atas beberapa fungsi utama yaitu (1)Sebagai jalan nafas, (2) Alat pengatur kondisi udara,
(3) Penyaring udara, (4) Sebagai indra penghidu, (5) Untuk resonansi suara, (6) Turut
membantuproses bicara,(7) Reflek nasal.7
2.2.3 Sistem Mukosiliar
2.2.3.1. Histologi mukosa6
Luas permukaan kavum nasi kurang lebih 150 cm2 dan total volumenya sekitar 15 ml.
Sebagian besar dilapisi oleh mukosa respiratorius.Secara histologis, mukosa hidung terdiri dari
palut lendir (mucous blanket), epitel kolumnar berlapis semu bersilia, membrana basalis, lamina
propria yang terdiri dari lapisan subepitelial, lapisan media dan lapisan kelenjar profunda.
Gambar2.10 :gambaranhistologimukosahidung
14
2.2.3.2 Epitel
Epitel mukosa hidung terdiri dari beberapa jenis, yaitu epitel skuamous kompleks pada
vestibulum, epitel transisional terletak tepat di belakang vestibulum dan epitel kolumnar berlapis
semu bersilia pada sebagian mukosa respiratorius. Epitel kolumnar sebagian besar memiliki silia.
Sel-sel bersilia ini memiliki banyak mitokondria yang sebagian besar berkelompok pada bagian
apeks sel. Mitokondria ini merupakan sumber energi utama sel yang diperlukan untuk kerja silia.
Sel goblet merupakan kelenjar uniseluler yang menghasilkan mukus, sedangkan sel basal
merupakan sel primitif yang merupakan sel bakal dari epitel dan sel goblet. Sel goblet atau
kelenjar mukus merupakan sel tunggal, menghasilkan protein polisakarida yang membentuk
lendir dalam air. Distribusi dan kepadatan sel goblet tertinggi di daerah konka inferior sebanyak
11.000 sel/mm2 dan terendah di septum nasi sebanyak 5700 sel/mm2. Sel basal tidak pernah
mencapai permukaan. Sel kolumnar pada lapisan epitel ini tidak semuanya memiliki silia.
Kavum nasi bagian anterior pada tepi bawah konka inferior 1 cm dari tepi depan
memperlihatkan sedikit silia (10%) dari total permukaan. Lebih kebelakang epitel bersilia
menutupi 2/3 posterior kavum nasi.
Silia merupakan struktur yang menonjol dari permukaan sel. Bentuknya panjang,
dibungkus oleh membran sel dan bersifat mobile. Jumlah silia dapat mencapai 200 buah pada
tiap sel. Panjangnya antara 2-6 μm dengan diameter 0,3 μm. Struktur silia terbentuk dari dua
mikrotubulus sentral tunggal yang dikelilingi sembilan pasang mikrotubulus luar. Masing-
masing mikrotubulus dihubungkan satu sama lain oleh bahan elastis yang disebut neksin dan
jari-jari radial. Tiap silia tertanam pada badan basal yang letaknya tepat dibawah permukaan sel.
Pola gerakan silia yaitu gerakan cepat dan tiba-tiba ke salah satu arah (active stroke)
dengan ujungnya menyentuh lapisan mukoid sehingga menggerakan lapisan ini.. Kemudian silia
bergerak kembali lebih lambat dengan ujung tidak mencapai lapisan tadi (recovery stroke).
Perbandingan durasi geraknya kira-kira 1 : 3. Dengan demikian gerakan silia seolah-olah
menyerupai ayunan tangan seorang perenang. Silia ini tidak bergerak secara serentak, tetapi
berurutan seperti efek domino (metachronical waves) pada satu area arahnya sama.
Gerak silia terjadi karena mikrotubulus saling meluncur satu sama lainnya. Sumber
energinya ATP yang berasal dari mitokondria. ATP berasal dari pemecahan ADP oleh ATPase.
ATP berada di lengan dinein yang menghubungkan mikrotubulus dalam pasangannya.
15
Sedangkan antarapasangan yang satu dengan yang lain dihubungkan dengan bahan elastis yang
diduga neksin.
Mikrovilia merupakan penonjolan dengan panjang maksimal 2 μm dan diameternya 0,1
μm atau 1/3 diameter silia. Mikrovilia tidak bergerak seperti silia. Semua epitel kolumnar bersilia
atau tidak bersilia memiliki mikrovilia pada permukaannya. Jumlahnya mencapai 300-400 buah
tiap sel. Tiap sel panjangnya sama. Mikrovilia bukan merupakan bakal silia. Mikrovilia
merupakan perluasan membran sel, yang menambah luas permukaan sel. Mikrovilia ini
membantu pertukaran cairan dan elektrolit dari dan ke dalam sel epitel. Dengan demikian
mencegah kekeringan permukaaan sel, sehingga menjaga kelembaban yang lebih baik dibanding
dengan sel epitel gepeng.
2.2.3.3. Palut lendir
Palut lendir merupakan lembaran yang tipis, lengket dan liat, merupakan bahan yang
disekresikan oleh sel goblet, kelenjar seromukus dan kelenjar lakrimal. Terdiri dari dua lapisan
yaitu lapisan yang menyelimuti batang silia dan mikrovili (sol layer) yang disebut lapisan
perisiliar. Lapisan ini lebih tipis dan kurang lengket. Kedua adalah lapisan superfisial yang lebih
kental (gel layer) yang ditembus oleh batang silia bila sedang tegak sepenuhnya. Lapisan
superfisial ini merupakan gumpalan lendir yang tidak berkesinambungan yang menumpang pada
cairan perisiliar dibawahnya.
Cairan perisiliar mengandung glikoprotein mukus, protein serum, protein sekresi dengan
berat molekul rendah. Lapisan ini sangat berperanan penting pada gerakan silia, karena sebagian
besar batang silia berada dalam lapisan ini, sedangkan denyutan silia terjadi di dalam cairan ini.
Lapisan superfisial yang lebih tebal utamanya mengandung mukus. Diduga mukoglikoprotein ini
yang menangkap partikel terinhalasi dan dikeluarkan oleh gerakan mukosiliar, menelan dan
bersin. Lapisan ini juga berfungsi sebagai pelindung pada temperatur dingin, kelembaban rendah,
gas atau aerosol yang terinhalasi serta menginaktifkan virus yang terperangkap.
Kedalaman cairan perisiliar sangat penting untuk mengatur interaksi antara silia dan palut
lendir, serta sangat menentukan pengaturan transportasi mukosiliar. Pada lapisan perisiliar yang
dangkal, maka lapisan superfisial yang pekat akan masuk ke dalam ruang perisiliar. Sebaliknya
pada keadaan peningkatan perisiliar, maka ujung silia tidak akan mencapai lapisan superfiasial
yang dapat mengakibatkan kekuatan aktivitas silia terbatas atau terhenti sama sekali (Sakakura
1994).
16
2.2.3.4. Membrana basalis
Membrana basalis terdiri atas lapisan tipis membran rangkap dibawah epitel. Di bawah
lapisan rangkap ini terdapat lapisan yang lebih tebal yang terdiri dari atas kolagen dan fibril
retikulin.
2.2.3.5. Lamina propria
Lamina propria merupakan lapisan dibawah membrana basalis. Lapisan ini dibagi atas
empat bagian yaitu lapisan subepitelial yang kaya akan sel, lapisan kelenjar superfisial, lapisan
media yang banyak sinusoid kavernosus dan lapisan kelenjar profundus. Lamina propria ini
terdiri dari sel jaringan ikat, serabut jaringan ikat, substansi dasar, kelenjar, pembuluh darah dan
saraf.
Mukosa pada sinus paranasal merupakan lanjutan dari mukosa hidung. Mukosanya lebih
tipis dan kelenjarnya lebih sedikit. Epitel toraknya berlapis semu bersilia, bertumpu pada
membran basal yang tipis dan lamina propria yang melekat erat dengan periosteum dibawahnya.
Silia lebih banyak dekat ostium, gerakannya akan mengalirkan lendir ke arah hidung melalui
ostium masing-masing. Diantara semua sinus paranasal, maka sinus maksila mempunyai
kepadatan sel goblet yang paling tinggi.
2.2.3.6 Transportasi mukosiliar
Transportasi mukosiliar hidung adalah suatu mekanisme mukosa hidung untuk
membersihkan dirinya dengan mengangkut partikel-partikel asing yang terperangkap pada palut
lendir ke arah nasofaring. Merupakan fungsi pertahanan lokal pada mukosa hidung. Transportasi
mukosiliar disebut juga clearance mukosiliar.
Transportasi mukosiliar terdiri dari dua sistem yang merupakan gabungan dari lapisan
mukosa dan epitel yang bekerja secara simultan. Sistem ini tergantung dari gerakan aktif silia
yang mendorong gumpalan mukus. Lapisan mukosa mengandung enzim lisozim (muramidase),
dimana enzim ini dapat merusak beberapa bakteri. Enzim tersebut sangat mirip dengan
imunoglobulin A (Ig A), dengan ditambah beberapa zat imunologik yang berasal dari sekresi sel.
Imunoglobulin G (Ig G) dan interferon dapat juga ditemukan pada sekret hidung sewaktu
serangan akut infeksi virus. Ujung silia tersebut dalam keadaan tegak dan masuk menembus
gumpalan mukus kemudian menggerakkannya ke arah posterior bersama materi asing yang
terperangkap didalamnya ke arah faring. Cairan perisilia dibawahnya akan dialirkan ke arah
posterior oleh aktivitas silia, tetapi mekanismenya belum diketahui secara pasti. Transportasi
17
mukosilia yang bergerak secara aktif ini sangat penting untuk kesehatan tubuh. Bila sistem ini
tidak bekerja secara sempurna maka materi yang terperangkap oleh palut lendir akan menembus
mukosa dan menimbulkan penyakit.
Karena pergerakan silia lebih aktif pada meatus media dan inferior maka gerakan mukus
dalam hidung umumnya ke belakang, silia cenderung akan menarik lapisan mukus dari meatus
komunis ke dalam celah-celah ini. Sedangkan arah gerakan silia pada sinus seperti spiral,
dimulai dari tempat yang jauh dari ostium. Kecepatan gerakan silia bertambah secara
progresifsaat mencapai ostium, dan pada daerah ostium silia tersebut berputar dengan kecepatan
15 hingga 20 mm/menit.
Kecepatan gerakan mukus oleh kerja silia berbeda di berbagai bagian hidung. Pada
segmen hidung anterior kecepatan gerakan silianya mungkin hanya 1/6 segmen posterior, sekitar
1 hingga 20 mm/menit.
Pada dinding lateral rongga hidung sekret dari sinus maksila akan bergabung dengan
sekret yang berasal dari sinus frontal dan etmoid anterior di dekat infundibulum etmoid,
kemudian melalui anteroinferior orifisium tuba eustachius akan dialirkan ke arah nasofaring.
Sekret yang berasal dari sinus etmoid posterior dan sfenoid akan bergabung di resesus
sfenoetmoid, kemudian melalui posteroinferior orifisium tuba eustachius menuju nasofaring.
Dari rongga nasofaring mukus turun kebawah oleh gerakan menelan.
2.2.3.7 Pemeriksaan fungsi mukosiliar
Fungsi pembersih mukosiliar atau transportasi mukosiliar dapat diperiksa dengan
menggunakan partikel, baik yang larut maupun tidak larut dalam air. Zat yang bisa larut seperti
sakarin, obat topikal, atau gas inhalasi, sedangkan yang tidak larut adalah lamp black, colloid
sulfur, 600-um alluminium disc atau substansi radioaktif seperti human serum albumin, teflon,
bismuth trioxide.
Sebagai pengganti partikel dapat digunakan sakarin yang disebut uji sakarin. Uji ini telah
dilakukan oleh Anderson dan kawan pada tahun 1974dan sampai sekarang banyak dipakai untuk
pemeriksaan rutin. Uji sakarin cukup ideal untuk penggunaan di klinik. Penderita di periksa
dalam kondisi standar dan diminta untuk tidak menghirup, makan atau minum, batuk dan bersin.
Penderita duduk dengan posisi kepala fleksi 10 derajat. Setengah mm sakarin diletakkan 1 cm di
belakang batas anterior konka inferior, kemudian penderita diminta untuk menelan secara
periodik tertentu kira-kira 1/2-1 menit sampai penderita merasakan manis. Waktu dari mulai
18
sakarin diletakkan di bawah konka inferior sampai merasakan manis dicatat dan disebut sebagai
waktu transportasi mukosiliar atau waktu sakarin. Dengan menggunakan bahan celupan, warna
dapat dilihat di orofaring.
Transportasi mukosiliar normal sangat bervariasi. Mahakit (1994) mendapatkan waktu
transportasi mukosiliar normal adalah 12 menit. Sedangkan pada penderita sinusitis, waktu
transportasi mukosiliar adalah 16,6 ± 7 menit. Waguespack (1995) mendapatkan nilai rata-rata
adalah 12-15 menit. Elynawaty (2002) dalam penelitian mendapatkan nilai normal pada kontrol
adalah 7,61 menit untuk wanita dan 9,08 menit untuk pria.
2.3 ANATOMI dan FISIOLOGI TENGGOROKAN
2.3.1 Anatomi Tenggorokan8
Tenggorokan merupakan bagian dari leher depan dan kolumna vertebra, terdiri dari faring
dan laring. Bagian terpenting dari tenggorokan adalah epiglottis, ini menutup jika ada makanan
dan minuman yang lewat dan menuju esophagus.
Rongga mulut dan faring dibagi menjadi beberapa bagian. Rongga mulut terletak di
depan batas bebas palatum mole, arkus faringeus anterior dan dasar lidah. Bibir dan pipi
terutama disusun oleh sebagian besar otot orbikularis oris yang dipersarafi oleh nervus fasialis.
Vermilion berwarna merah karena ditutupi lapisan sel skuamosa. Ruangan diantara mukosa pipi
bagian dalam dan gigi adalah vestibulum oris.
Palatum dibentuk oleh dua bagian: premaksila yang berisi gigi seri dan berasal
prosesusnasalis media, dan palatum posterior baik palatum durum dan palatum mole, dibentuk
olehgabungan dari prosesus palatum, oleh karena itu, celah palatum terdapat garis tengah
belakang tetapi dapat terjadi kearah maksila depan.
Lidah dibentuk dari beberapa tonjolan epitel didasar mulut. Lidah bagian depan
terutamaberasal dari daerah brankial pertama dan dipersarafi oleh nervus lingualis dengan
cabang kordatimpani dari saraf fasialis yang mempersarafi cita rasa dan sekresi kelenjar
submandibula. Saraf glosofaringeus mempersarafi rasa dari sepertiga lidah bagian belakang. Otot
lidah berasal dari miotom posbrankial yang bermigrasi sepanjang duktus tiroglosus ke leher.
Kelenjar liur tumbuh sebagai kantong dari epitel mulut yang terletak dekat sebelah depan saraf-
19
saraf penting. Duktus sub mandibularis dilalui oleh saraf lingualis. Saraf fasialis melekat pada
kelenjar parotis.
Faring bagian dari leher dan tenggorokan bagian belakang mulut. Faring adalah suatu
kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong, yang besar di bagian atas dan sempit
dibagian bawah. Kantong ini mulai dari dasar tengkorak terus menyambung ke esophagus
setinggivertebra servikalis ke enam. Ke atas, faring berhubungan dengan rongga hidung melalui
koana,ke depan berhubungan dengan rongga mulut melalui isthmus orofaring, sedangkan dengan
laring dibawah berhubungan melalui aditus laring dan kebawah berhubungan dengan
esophagus.Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kurang lebih empat belas
centimeter; bagian ini merupakan bagian dinding faring yang terpanjang. Dinding faring
dibentuk oleh selaput lender, fasia faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia
bukofaringeal. Faring terbagi atas nasofaring, orofaring, dan laringofaring (hipofaring).
Pada mukosa dinding belakang faring terdapat dasar tulang oksiput inferior,
kemudianbagian depan tulang atas dan sumbu badan, dan vertebra servikalis lain. Nasofaring
membuka kearah depan hidung melalui koana posterior. Superior, adenoid terletak pada mukosa
atap nasofaring. Disamping, muara tuba eustachius kartilaginosa terdapat didepan lekukan
yangdisebut fosa rosenmuller. Otot tensor velipalatini, merupakan otot yang menegangkan
palatum dan membuka tuba eustachius masuk ke faring melalui ruangan ini.
Orofaring kearah depan berhubungan dengan rongga mulut. Tonsila faringeal
dalamkapsulnya terletak pada mukosa pada dinding lateral rongga mulut. Didepan tonsila, arcus
faring anterior disusun oleh otot palatoglossus, dan dibelakang dari arkus faring posterior
disusun oleh otot palatofaringeus, otot-otot ini membantu menutupnya orofaring bagian
posterior. Semua dipersarafi oleh pleksus faringeus.
2.3.1.1 Vaskularisasi.8
Berasal dari beberapa sumber dan kadang-kadang tidak beraturan. Yang utama berasal
daricabang a. Karotis ekstern serta dari cabang a.maksilaris interna yakni cabang palatine
superior.
2.3.1.2 Persarafan8
Persarafan motorik dan sensorik daerah faring berasal dari pleksus faring yang ekstensif.
Pleksus ini dibentuk oleh cabang dari n.vagus, cabang dari n.glosofaringeus dan serabut simpatis.
Cabang faring dari n.vagus berisi serabut motorik. Dari pleksus faring yang ekstensif ini keluar
20
untuk otot-otot faring kecuali m.stilofaringeus yang dipersarafi langsung oleh cabang
n.glossofaringeus.
2.3.1.3 Kelenjar Getah Bening8
Aliran limfe dari dinding faring dapat melalui 3 saluran yaitu superior,media dan inferior.
Saluran limfe superior mengalir ke kelenjar getah bening retrofaring dan kelenjar getah bening
servikal dalam atas. Saluran limfe media mengalir ke kelenjar getah bening jugulodigastrik dan
kelenjar getah bening servikal dalam atas, sedangkan saluran limfe inferior mengalir ke kelenjar
getah bening servikal dalam bawah.
Berdasarkan letak, faring dibagi atas:
2.3.1.4. Nasofaring
Berhubungan erat dengan beberapa struktur penting misalnya adenoid, jaringan limfoid
pada dinding lareral faring dengan resessus faring yang disebut fosa rosenmuller, kantong rathke,
yang merupakan invaginasi struktur embrional hipofisis serebri, torus tubarius, suatu refleksi
mukosa faring diatas penonjolan kartilago tuba eustachius, konka foramen jugulare, yang dilalui
oleh nervus glosofaring, nervus vagus dan nervus asesorius spinal saraf kranial dan vena
jugularis interna bagian petrosus os.tempolaris dan foramen laserum dan muara tuba eustachius. 9
Gambar 2.11. Anatomi faring dan struktur sekitarnya
2.3.1.5 Orofaring
Disebut juga mesofaring dengan batas atasnya adalah palatum mole, batas bawahnya
adalah tepi atas epiglotis kedepan adalah rongga mulut sedangkan kebelakang adalah vertebra
servikal. Struktur yang terdapat dirongga orofaring adalah dinding posterior faring, tonsil
palatina fosa tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual dan foramen
sekum.9
21
a. Dinding Posterior Faring
Secara klinik dinding posterior faring penting karena ikut terlibat pada radang akut atau
radang kronik faring, abses retrofaring, serta gangguan otot bagian tersebut. Gangguan otot
posterior faring bersama-sama dengan otot palatum mole berhubungan dengan gangguan
n.vagus.9
b. Fosa tonsil
Fosa tonsil dibatasi oleh arkus faring anterior dan posterior. Batas lateralnya adalah
m.konstriktor faring superior. Pada batas atas yang disebut kutub atas (upper pole) terdapat suatu
ruang kecil yang dinamakan fossa supratonsil. Fosa ini berisi jaringan ikat jarang dan biasanya
merupakan tempat nanah memecah ke luar bila terjadi abses. Fosa tonsil diliputi oleh fasia yang
merupakan bagian dari fasia bukofaring dan disebu kapsul yang sebenar- benarnya bukan
merupakan kapsul yang sebena-benarnya.9
c. Tonsil
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan ikat
dengan kriptus didalamnya.9
Terdapat macam tonsil yaitu tonsil faringal (adenoid), tonsil palatina dan tonsil lingual
yang ketiga-tiganya membentuk lingkaran yang disebut cincin waldeyer. Tonsil palatina yang
biasanya disebut tonsil saja terletak di dalam fosa tonsil. Pada kutub atas tonsil seringkali
ditemukan celah intratonsil yang merupakan sisa kantong faring yang kedua. Kutub bawah tonsil
biasanya melekat pada dasar lidah.9
Permukaan medial tonsil bentuknya beraneka ragam dan mempunyai celah yang disebut
kriptus. Epitel yang melapisi tonsil ialah epitel skuamosa yang juga meliputi kriptus. Di dalam
kriptus biasanya biasanya ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang terlepas, bakteri dan sisa
makanan.9
Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia faring yang sering juga disebut kapsul tonsil.
Kapsul ini tidak melekat erat pada otot faring, sehingga mudah dilakukan diseksi pada
tonsilektomi.Tonsil mendapat darah dari a.palatina minor, a.palatina ascendens, cabang tonsil
a.maksila eksterna, a.faring ascendens dan a.lingualis dorsal.9
22
Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum
glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen sekum pada
apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papila sirkumvalata. Tempat ini kadang-kadang
menunjukkan penjalaran duktus tiroglosus dan secara klinik merupakan tempat penting bila ada
massa tiroid lingual (lingual thyroid) atau kista duktus tiroglosus.9
Infeksi dapat terjadi di antara kapsul tonsila dan ruangan sekitar jaringan dan dapat
meluas keatas pada dasar palatum mole sebagai abses peritonsilar.9
2.3.1.6 Laringofaring (hipofaring)9
Batas laringofaring disebelah superior adalah tepi atas yaitu dibawah valekula epiglotis
berfungsi untuk melindungi glotis ketika menelan minuman atau bolus makanan pada saat bolus
tersebut menuju ke sinus piriformis (muara glotis bagian medial dan lateral terdapat ruangan)
dan ke esofagus, nervus laring superior berjalan dibawah dasar sinus piriformis pada tiap sisi
laringofaring. Sinus piriformis terletak di antara lipatan ariepiglotika dan kartilago tiroid. Batas
anteriornya adalah laring, batas inferior adalah esofagus serta batas posterior adalah vertebra
servikal. Lebih ke bawah lagi terdapat otot-otot dari lamina krikoid dan di bawahnya terdapat
muara esofagus.
Bila laringofaring diperiksa dengan kaca tenggorok pada pemeriksaan laring tidak
langsung atau dengan laringoskop pada pemeriksaan laring langsung, maka struktur pertama
yang tampak di bawah dasar lidah ialah valekula. Bagian ini merupakan dua buah cekungan yang
dibentuk oleh ligamentum glosoepiglotika medial dan ligamentum glosoepiglotika lateral pada
tiap sisi. Valekula disebut juga ³ kantong pil´ ( pill pockets), sebab pada beberapa orang, kadang-
kadang bila menelan pil akan tersangkut disitu.
Dibawah valekula terdapat epiglotis. Pada bayi epiglotis ini berbentuk omega dan
perkembangannya akan lebih melebar, meskipun kadang-kadang bentuk infantil (bentuk omega)
ini tetap sampai dewasa. Dalam perkembangannya, epiglotis ini dapat menjadi demikian lebar
dan tipisnya sehingga pada pemeriksaan laringoskopi tidak langsung tampak menutupi pita
suara. Epiglotis berfungsi juga untuk melindungi (proteksi) glotis ketika menelan minuman atau
bolus makanan, pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis dan ke esofagus.2 Nervus
laring superior berjalan dibawah dasar sinus piriformis pada tiap sisi laringofaring. Hal ini
penting untuk diketahui pada pemberian anestesia lokal di faring dan laring pada tindakan
laringoskopi langsung.
23
2.3.2 Fisiologi Tenggorokan
Fungsi faring yang terutama ialah untuk respirasi, waktu menelan, resonasi suara dan untuk
artikulasi.8
Proses menelan
Proses penelanan dibagi menjadi tiga tahap. Pertama gerakan makanan dari mulut ke faring
secara volunter. Tahap kedua, transport makanan melalui faring dan tahap ketiga, jalannya
bolus melalui esofagus, keduanya secara involunter. Langkah yang sebenarnya adalah:
pengunyahan makanan dilakukan pada sepertiga tengah lidah. Elevasi lidah dan palatum
mole mendorong bolus ke orofaring. Otot supra hiod berkontraksi, elevasi tulang hioid dan
laring intrinsik berkontraksi dalam gerakan seperti sfingter untuk mencegah aspirasi.
Gerakan yang kuat dari lidah bagian belakang akan mendorong makanan kebawah melalui
orofaring, gerakan dibantu oleh kontraksi otot konstriktor faringis media dan superior. Bolus
dibawa melalui introitus esofagus ketika otot konstriktor faringis inferior berkontraksi dan
otot krikofaringeus berelaksasi. Peristaltik dibantu oleh gaya berat, menggerakkan makanan
melalui esofagus dan masuk ke lambung.9
Proses Berbicara
Pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpadu dari otot-otot palatum dan faring.
Gerakan ini antara lain berupa pendekatan palatum mole kearah dinding belakang faring.
Gerakan penutupan ini terjadi sangat cepat dan melibatkan mula-mula m.salpingofaring dan
m.palatofaring, kemudian m.levator veli palatine bersama-sama m.konstriktor faring
superior. Pada gerakan penutupan nasofaring m.levator veli palatini menarik palatum mole
ke atas belakang hampir mengenai dinding posterior faring. Jarak yang tersisa ini diisi oleh
tonjolan (fold of) Passavant pada dinding belakang faring yang terjadi akibat 2 macam
mekanisme, yaitu pengangkatan faring sebagai hasil gerakan m.palatofaring (bersama
m,salpingofaring) oleh kontraksi aktif m.konstriktor faring superior. Mungkin kedua gerakan
ini bekerja tidak pada waktu bersamaan.9
Ada yang berpendapat bahwa tonjolan Passavant ini menetap pada periode fonasi, tetapi ada
pula pendapat yang mengatakan tonjolan ini timbul dan hilang secara cepat bersamaan
dengan gerakan palatum.9
24
2.4 ANATOMI LEHER
2.4.1 ANATOMI LEHER
M.sternocleidomastoid membagi daerah leher menjadi 2 segitiga besar, yaitu :
1. Trigonum colli anterior, yang terdiri dari :
Tigonum sub mental
Trigonum digastrikus
Trigonum Karotis
Trigonum Muskulari
Batas-batas trigonum colli anterior adalah, anterior: garis tengah leher, superior:
symphisis mandibula dan posterior : sisi anterior m.sternocleidomastoid. trigonum ini
tertutup oleh kulit, fascia superfisialis, platysma dan fascia intermedia.
2. Trigonum colli posterior, yang terdiri dari :
Trigonum oksipitalis.
Trigonum supraklavikularis.
Batas-batas trigonum colli posterior yaitu anterior: sisi posterior m.sternocleidomastoi
, inferior : Klavicula dan posterior: sisi anterior M. Trapezius.
Lantai dari trigonum tertutup oleh lapisan prevertebra yang terdiri dari semispinalis
capitis, levator scapula dan scalenus medius. Trigonum ini berisi a.subklavia, v.jugularis
eksterna, pleksus brakialis dan cabang-cabang pleksus servikalis.
25
2.4.2 PERSARAFAN DAERAH LEHER
Terdapat 4 saraf superfisial yang berhubungan dengan tepi posterior m.sternocleidomastoid.
Saraf-saraf tersebut mempersarafi kulit di daerah yang bersangkutan. Saraf superfisial yang
dimaksud adalah :
1. N. Oksipitalis minor (C2)
2. N. Auricularis magnus (C2 dan C3)
3. N.Cutaneus anterior (cutaneus colli, C2 dan C3).
4. N.Supraklavikularis (C3 dan C4).
Keempat saraf ini berasal dari Nn Servikalis II, III dan IV dan terlindung di bawah otot. Dalam
perjalanan ekstra kranialnya, 4 nervi kranial terletak di daerah M. Digastricus.
Saraf-saraf cranial yang dimaksud:
1. N. Vagus, keluar melalui For. Jugularis, mensarafi : saluran pernafasan dan saluran
pencernaan .
2. N. Glossopharyngeus, keluar bersama N. Vagus , terletak diantara karotis interna dan
jugularis interna. Merupakan saraf motorik untuk M. Stylopharyngeus.
3. N. Asesorius, berasal dari cranial dan C5 atau C6. Merupakan motorik untuk M. SCM dan M.
Trapezius, sedangkan cabang cervicalnya merupakan sensorik.
4. N. Hypoglosus, keluar melalui cranial hypoglosus, merupakan motorik untuk lidah.
gambar 2.12: persarafan leher
26
2.4.3 VASKULARISASI
1. A. Karotis komunis.
Pembuluh darah yang sebelah kanan berasal dari A. Inominata sedangkan yang kiri berasal
dari Arkus Aorta, berjalan di belakang M. m.sternocleidomastoid. Pada level Thyroid
Notch melebar, disebut Bulbus Karotis, kemudian bercabang dua menjadi A. Karotis
eksterna dan A.Karotis interna .
Setelah percabangannya, arteri ini berjalan ke dalan kanalis karotikus ossis temporalis.
Memperdarahi otak dan mata. Di daerah leher tidak memberikan percabangan. Di bawah
M. Digastricus tertutup oleh m.sternocleidomastoid
2. A.Karotis eksterna.
Berjalan menuju collum mandibula. Memberikan 8 percabangan yang berdasarkan letaknya
terhadap M. Digastricus, adalah sbb :
diatas M. Digastricus memberi 3 percabangan :
1. A. Temporalis superfisialis.
2. A. Maxillaris interna.
3. A. Auricularis posterior.
dibawah M. Digastricus memberi 5 percabangan :
1. A. Thyroidea superior.
2. A. Linguaalis.
3. A. Pharyngealis ascendens.
4. A. Facialis.
5. Ramus Oksipitalis.
27
gambar 2.13 vaskularisasi leher
3. V. Jugularis eksterna.
Dimulai dari bawah telinga dan berasal dari gabungan V. Aurikularis posterior dan V. Facialis
posterior, terletak diantara platysma dan fascia superfisialis colli. Di daerah bawah leher
bergabung dengan V. Jugularis anterior dan V. Subklavia tranversa.
4. V. Jugularis interna.
Merupakan kelanjutan dari sinus tranversus, di sebelah atasnya terletak dibawah Gld.
Parotis dan sebagian besar dari vena ini terletak dibawah m.sternocleidomastoid. Di
bagian bawah terletak M. Infrahyoid.
Menerima/menampung darah dari :
Sinus petrosus inferior.
V.pharyngealis.
V. facialis.
V. Lingualis.
V. Thyroidea superior dan media.
28
2.4.4 OTOT-OTOT LEHER BAGIAN DEPAN
Otot-otot di bagian ventral leher terdiri dari :
1. M. Digastricus, terdiri dari venter anterior dan posterior. Berjalan dari os temporal ke arkus
mandibula, merupakan landmark yang penting di bagian atas leher. Kedua venternya
dipisahkan oleh tendon intermedius.
2. Mm infrahyoid, disebut juga sebagai STRAP muscles
Terdiri dari :
a. M. Sterno hyoid :
Origo pada manubrium sterni dan berinsersi di os. hyoid. Dekat origo terpisah, makin ke
atas makin bersatu dan didekat insersi bergabung dengan M. Omohyoid.
b. M. Omohyoid
Terdiri dari 2 venter (superior dan inferior). Mulai dari skapula dan lig. supraskapula
berjalan ke atas dan berakhir sebagai tendo intermedius.
c. M. Sternothyroid,
Merupakan landmark penting dalam pembedahan thyroid untuk menemukan
cleavage plane. Origo terletak di manubrium sterni dan berinsersi di lamina kartilago
thyroid, berjalan menutupi sebagian Gld. Thyroid. Kontraksinya menyebabkan laryng
bergerak ke bawah.
29
d. M. Thyrohyoid,
Berorigo di kartilago thyroid dan berinsersi di os hyoid. Menutupi membrana thyrohyoid,
kontraksinya menarik hyoid ke bawah, tetapi bila hyoid difiksir oleh otot suprahyoid,
kontraksinya akan mengangkat laryng.
gambar 2.14 otot-otot leher
2.4.5 KELENJAR ENDOKRIN
KELENJAR THYROID.
Merupakan kelenjar endokrin yang tidak mempunyai saluran keluar, sangat vaskuler, melekat ke
laryng oleh lig. suspensorium sehingga turut bergerak waktu menelan. Terdiri dari dua lobus
yang dihubungkan dengan isthmus, kadang-kadang pada isthmus terdapat lobus pyramidalis.
Masing-masing lobus terletak setinggi kartilago thyroid sampai cincin trachea ke-6. Ukuran
normal lebih kurang 2 x 2,5 x 0,75 in. Diperdarahi oleh A. Thyroidea superior dan inferior,
kadang-kadang terdapat A. Thyroidea ima di daerah inferior kelenjar.
Terdapat N. Recurrens yang terletak di sebelah dorso medial lobus, saraf ini perlu mendapat
perhatian khusus pada saat operasi kel. thyroid.
30
KELENJAR PARATHYROID.
Merupakan massa berwarna coklat kekuningan yang jumlahnya bervariasi antara 2-4 pasang,
terletak di posterior lobus lateralis thyroid dengan 3 kemungkinan posisi, yaitu :
di bawah A. Thyroidea inferior, anterior dari fascia pretrachea.
di atas arteri dan di dalam fascia pretrachea.
di dalam kelenjar thyroid.
Jaringan di leher dibungkus oleh 3 fasia, yaitu:
1. Fasia koli superfisialis membungkus: m. sternokleidomastoidues dan berlanjut ke garis
tengah leher untuk bertemu dengan fasia sisi lain.
2. Fasia koli media membungkus otot pretrakeal dan bertemu pula dengan fasia sisi yang lain di
garis tengah yang juga merupakan pertemuan dengan fasia koli superfisialis. Ke dorsal fasia
koli media membungkus a. karotis komunis, v. jugularis interna dan n. vagus menjadi satu.
31
3. Fasia koli profunda membungkus m. prevertebralis dan bertemu ke lateral dengan fasia koli
media. Perlukaan sebelah dalam fasia koli media berbahaya karena bila terjadi infeksi
hubungan langsung ke mediastinum.
2.4.6 KELENJAR GETAH BENING ( KGB )
Sistim aliran limfe leher penting untuk dipelajari, karena hampir semua bentuk radang
atau keganasan kepala dan leher akan terlihat dan bermanifestasi ke kelenjar limfe regional.
Kelenjar getah bening termasuk dalam susunan retikuloendotel, yang tersebar di seluruh tubuh.
Mempunyai fungsi penting berupa barier atau filter terhadap kuman – kuman / bakteri – bakteri
yang masuk kedalam badan dan barier pula untuk sel – sel tumor ganas (kanker). Disamping itu
bertugas pula untuk membentuk sel – sel limfosit darah tepi. Ukuran normal dari kelenjar getah
bening adalah < 1cm.
Berdasarkan letaknya kelenjar limfa dileher terdiri atas kelenjar preaurikuler,
retroaurikuler, submandibula, submental, juguler atas, juguler tengah, juguler bawah, segitiga
leher dorsal, dan supraklavikula.
Sekitar 75 buah kelenjar limfe terdapat pada setiap sisi leher, kebanyakan pada rangkaian
jugularis interna dan spinalis asesorius. Kelenjar limfe yang selalau terlibat dalam metastasis
tumor adalah kelenjar limfe pada rangkaian juguler interna, yang terbentang antara klavikula
sampai dasar tengkorak. Rangkaian juguler interna ini dibagi dalam kelompok superior, media
dan inferior. Kelompok kelenjar limfe yang lain adalah submental, submandibula, servikalis
superfisial, retrofaring, paratrakela, spinal asesorius, sklaneus anterior dan supraklavikula.
Gambar 2.15.Anatomi limfa pada leher
Kelenjar limfe jugularis interna superior menerima aliran limfe yang berasal dari palatum
mole tonsil, bagian posterior lidah, dasar lidah, sinus piriformis dan supraglotik laring. Juga
menerima aliran limfe yang berasal dari kelenjar limfe retro faring, spinal asesorius, parotis,
servikalis superfisial dan kelenjar limfe submandibula.
32
Kelenjar jugularis interna media menerima aliran limfe yang berasal langsung dari
subglotik laring, sinus piriformis bagian inferior dan daerah krikoid posterior. Juga menerima
aliran limfe yang berasal dari kelenjar limfe jugularis interna superior dan kelenjar limfe
retrofaring bagian bawah.
Kelenjar jugularis interna inferior menerima aliran limfe yang berasal langsung dari
glandula tiroid, trakea, esofagus, baguan servikal,. Juga menerima aliran limfe yang berasal dari
kelenjar limfe jugularis interna superior dan media dan kelenjar limfe paratrakeal.
Kelenjar limfe submental, terletak pada segitiga submental diantara platisma dan
m.omohioid di dalam jaringan lunak. Pembuluh aferen menerima aliran limfe yang berasal dari
dagu, bibir bawah bagian tengah, pipi, gusi, dasar mulut bagian depan dan 1/3 bagian bawah
lidah. Pembuluh eferen mengalirkan limfa ke kelenjar limfa submandibula sisi homolateral atau
kontralateral, kadang-kadang dapat langsung ke rangkaian kelenjar limfa jugularis interna.
Kelenjar limfa submandibula, terletak disekitar kelenjar liur submandibula dan didalam
kelenjar ludahnya sendiri. Pembuluh aferen menerima aliran limfa yang berasal kelenjar liur
submandibula,bibir atas, bagian lateral bibir bawah, rongga hidung, bagian anterior rongga
mulut, bagian medial kelopak mata, palatum mole dan 2/3 depan lidah. Pembuluh eferen
mengalirkan limfa kekelenjar jugularis interna superior.
33
Gambar 2.16.Regio kelenjar limfa leher
Kelenjar limfa servikalis superfisial, terletak disepanjang vena jugularis eksterna,
menerima aliran limfa yang berasal dari kulit muka, sekitar kelenjar parotis, daerah retroaurikula,
kelenjar parotis dan kelenjar limfa oksipital. Pembuluh eferen mengalirkan limfa ke kelenjar
limfa jugularis interna superior.
Kelenjar limfa retrofaring, terletak diantara faring dan fasia prevertebra, mulai dari dasar
tengkorak sampai ke perbatasan leher dan toraks. Pembuluh aferen menerima aliran limfe dari
nasofaring, hipofaring, telinga tengah dan tuba eustachius. Pembuluh eferen mengalirkan limfa
ke limfa jugularis interna dan kelenjar limfa spinal asesorius bagian superior.
Kelenjar limfa paratrakeal menerima aliran limfa yang berasal dari laring bagian bawah,
hipofaring, esofagus bagian servikal, trakea bagian atas dan tiroid. Pembuluh eferen mengalirkan
limfa ke kelenjar limfa jugularis interna inferior atau kelenjar limfa mediastinum superior.
Kelenjar limfa spinal asesorius, terletak disepanjang saraf spinal asesorius, menerima
aliran limfa yang berasal dari kulit kepala bagian parietal, dan bagian belakang leher. Kelenjar
limfa parafaring menerima aliran limfa dari nasofaring, orofaring, dan sinus paranasal. Pembuluh
eferen mengalirkan limfa ke kelenjar limfa supraklavikula.
Rangkaian kelenjar limfa jugularis interna mengalirkan limfa ke trunktus jugularis dan
selanjutnya masuk keduktus torasikus untuk sisi sebelah kiri, dan untuk sisi sebelah kanan masuk
ke duktus limfatikus kanan atau langsung kesistim vena pada pertemuan vena jugularis interna
dan vena subklavia. Juga duktus torasikus dan duktus limfatikus kanan menerima aliran limfe
dari kelenjar limfa supraklavikula.
34
Gambar 2.17.Sistim limfa pada leher dan insidensi metastasenya
Pembesaran kelenjar getah bening dengan konsistensi keras seperti batu mengarah
kepada keganasan, padat seperti karet mengarah kepada limfoma, lunak megarah kepada proses
infeksi, fluktuatif mengarah telah terjadi abses. Pembesaran kelenjar getah bening leher bagian
posterior terdapat pada infeksi rubel dan mononukleosis. Supraklavikula atau kelenjar getah
bening leher bagian belakang memiliki resiko keganasan lebih besar dari pada pembesaran
kelenjar getah bening bagian anterior.1
Pada pembesaran kelenjar getah bening oleh infeksi virus, KGB umumnya bilateral,
lunak dan dapat digerakkan. Bila infeksi oleh bakteri kelenjar biasanya nyeri pada penekanan,
baik satu sisi atau dua sisi dan dapat fluktuatif dan dapat digerakkan. Adanya kemerahan dan
suhu lebih panas dari sekitarnya mengarahkan infeksi bakteri dan adanya fluktuatif menandakan
terjadinya abses. Bila limfadenopati disebabkan oleh keganasan maka tanda-tanda peradangan
tidak ada, konsistensi keras dan tidak dapat digerakkan. 1
BAB III
KEGANASAN DALAM THT-KL
3.1 Tumor Ganas Telinga
35
Epidemiologi
Tumor ganas telinga jarang ditemukan dengan perbandingan antara 1 : 5000 sampai 1 :
20000 dari pasien dengan kelainan telinga. Lodge dan kawan – kawan memperkirakan 0,006%
dari populasi. Mattick menemukan 10 kasus tumor ganas telinga dari 35000 kasus tumor yang
diselidikinya.9,10
Etiologi
Penyebab yang pasti belum jelas benar. Tersebut sebagai faktor penyebab antara lain
iritasi kronik seperti sinar matahari, infeksi kronik dan sebagainya. Faktor herediter dan usia juga
berperan penting.9,10
Patologi
Lewis mengelompokkan jenis tumor telinga berdasarkan asalnya sebagai berikut:9,10
A. Tumor epitel
1. Tumor ganas epitel permukaan
a. Karsinoma sel skuamosa
Karsinoma sel skuamosa merupakan tumor telinga yang paling sering ditemukan.
Predileksi utamanya adalah di liang telinga.Lewis mendapatkan 11 % dari tumor
ini telah bermetastasis ke kelenjar leher pada saat pertama kali pasien datang.
b. Karsinoma sel basal
c. Karsinoma sel basal merupakan karsinoma yang paling sering ditemukan di daun
telinga. Tumor ini bisa meluas dari daun telinga ke telinga tengah, mastoid dan
bagian skuamosa tulang temporal.
2. Tumor ganas epitel kelenjar
Adenokarsinoma
Adenokarsinoma dapat berasal dari kelenjar sebasea atau kelenjar serumen di liang
telinga ataupun merupakan penyebaran dari tumor parotis.
B. Tumor mesenkim
Sarkoma
36
Sarkoma merupakan tumor telinga yang jarang sekali terjadi, lebih sering
ditemukan pada usia muda. Tumor ini bersifat invasifsecara local, cepat
membesar, metastasis jauh melalui aliran darah dan aliran limfe, tetapi tidak
mengenai kelenjar limfe regional. 9,10
C. Tumor ganas yang asalnya susah diketahui
Melanoma maligna
Tumor ini bisa merupakan tumor primer di daun telinga, liang telinga ataupun di
telinga tengah. Pada kebanyakan pasien sudah ditemukan pembesaran kelenjar
limfe regional walaupun tumornya masih kecil.9,10
Pola Penyebaran
a. Telinga luar11.12
Karsinoma sel basal liang telinga luar biasanya mulai dari 1/3 luar liang telinga,
kemudian berkembang secara cepat ke perikondrium, akhirnya merusak kartilago
menyebar kea rah telinga tengah dan mastoid.Karsinoma sel skuamosa liang telinga luar
dapat tampak seperti massa polipoid berwarna merah. Tumor bisa berinvasi ke tulang
rawan atau tulang atau menembus membrane timpani ke telinga tengah, mastoid dan
kanalis fasialis.
Gambar 3.1 Massa berukuran 3,5 x 2,5 cm di daun telinga; secara histopatologi adalah
karsinoma sel basal5
37
b. Telinga tengah ( kavum timpani, mastoid dan tuba Eustachius )13,14
Berbagai jenis tumor jinak dan ganas, dapat berasal dari telinga tengah mastoid
dan daerah sekitarnya, terutama pada liang telinga. Tumor ini dapat dianggap primer,
menunujukkan asalnya dari tulang temporal, atau sekunder yang menunjukkan metastase
ke tulang temporal dari suatu tempat yang jauh, atau menginvasi telinga dari daerah
sekitarnya, biasanya kelenjar parotis.
Tumor Primer
Dari jenis tumor primer, tumor glomus jugularis timpanikum merupakan yang
paling lazim dan paling penting. Tumor berasal dari badan glomus dekat bulbus jugularis
pada dasar telinga tengah atau berasal dari penyebaran saraf di manapun dalam telinga
tengah. Secara histologist tumor serupa dengan tumor korpus karotis atau kemodektoma.
Suatu varian ganas telah dilaporkan namun sangat jarang. Dengan ekspansinya tumor
dapat merusak jaringan di sekitarnya dan menyebabkan gangguan pendengaran dan rasa
penuh pada telinga dan pada beberapa kasus dapat meluas ke basis cranium,
menimbulkan komplikasi saraf kranialis dan intrakranialis. Tumor ini sangat vascular,
dan seringkali dapat terlihat sebagai suatu massa keunguan di dasar telinga tengah lewat
membrane timpani yang semitransparan. Kepucatan yang timbul pada penekanan dengan
otoskop pnemotik di sebut tanda Brown. Tumor jinak lain termasuk neurofibroma saraf
fasialis, hemangioma dan osteoma.
Tumor ganas primer pada rongga telinga tengah antara lain : karsinoma sel
skuamosa, rabdomiosarkoma, karsinoma kistik adenoid dan adenokarsinoma.Tumor
dapat pula meluas ke anterior lewat fisura – fisura menuju kelenjar parotis dan fossa
pterigomaxillaris.Tumor ganas telinga tengah yang paling umum pada dewasa adalah
karsinoma kistik adenoid dan adenokarsinoma. Tumor ganas yang paling sering meluas
dari liang telinga ke telinga tengah adalah karsinoma sel skuamosa. Tumor lain yang
berasal dari liang telnga dan meluas ke telinga tengah (lebih jarang) adalah karsinoma
kistik adenoid, melanoma maligna dan sel basal karsinoma yang ditelantarkan.
Tumor sekunder
38
Tumor yang berasal dari focus primer yang jauh dan bermetastasis ke telinga
tengah, mastoid dan tulang temporal termasuk adenokarsinoma prostat, karsinoma
payudara, hipernefroma atau karsinoma ginjal, karsinoma bronkus, saluran cerna dan
melanoma.
Disamping itu, telinga tengah dan mastoid dapat diinvasi oleh tumor dari daerah
sekitar seperti meningioma, neuroma akustik, glioma, neurilemoma, karsinoma kistik
adenoid dan mukoepidermoid dari kelenjar parotis dan kanker nasofaring yang meluas
hingga ke tuba Eustachius. Keganasan hematologis seperti limfoma maligna dan
leukemia sering menyebabkan tulang temporal hamper selalu memperlihatkan sumsum
tulang apeks petrosa dan juga menginfiltrasi telinga tengah dan tuba Eustachius,
menimbulkan gangguan pendengaran konduktif dan terbentuknya efusi. Pada leukemia
berat atau terminal dapat terjadi perdarahan telinga dalam yang menyebabkan tuli berat
mendadak dan gejala – gejala vestibular.
Gejala Klinis
Gejala klinis berupa nyeri, rasa penuh dalam telinga, gangguan pendengaran, dan
vertigo bila labirin vestibular terlibat. Saraf fasialis menjadi lumpuh bila tumor mengerosi
dinding kanalis posterior dan melibatkan saraf tersebut, namun dalam hal ini biasanya
terjadi pada akhir perjalanan penyakit.9,10
Tumor ganas daun telinga dapat berupa tumor superficial dengan atau tanpa ulserasi
tergantung jenis tumornya, sehingga mudah dideteksi secara dini. Tumor ganas liang telinga dan
telinga tengah sering terlambat diketahui oleh karena tidak cepat dapat terlihat dan gejalanya
seringkali hanya menyerupai penyakit infeksi oleh karena biasanya penyakit ini timbul pada
telinga yang sebelumnya telah menderita otitis media supuratif kronik. 9,10
Pada keadaan ini otorea yang biasanya purulen berubah menjadi hemorhargik. Nyeri
yang hebat bisa disebabkan oleh otitis eksterna atau otitis media, tetapi bila tumor ganas telinga
disertai nyeri hebat, sangat mungkin disebabkan oelh invasi tumor ke tulang. Paresis fasial
perifer sering terjadi di samping gangguan pendengaran dan gangguan keseimbangan.
Terkenanya n. IX, X, XI dan XII menandakan penyebaran ke basis fosa kranii media dan
menandakan penyakit yang incurable.
39
c. Telinga dalam15,16
Tumor terpenting dari sistem vestibular adalah schwannoma (acoustic neuroma).
Tumor ini tidak selalu menginvasi vestibulum, tapi dapat juga terjadi pada kasus
neurofibromatosis. Vestibular schwannoma sebagian besar berasal dari glial-
neurilemmal junction dari saraf kranial ke delapan, yang umumnya terletak di antara
meatus auditorius interna.Metastase tumor dapat terjadi ke telinga tengah, namun hal
tersebut jarang terjadi.
Klasifikasi
Klasifikasi tumor ganas telinga tidak ditemukan di dalam klasifikasi TNM dari UICC
tahun 1987. Goodwin membagi pasien berdasarkan penyebaran ke arah medial menjadi 3
golongan yang kelihatannya praktis untuk penggunaan klinik:9,10
1 .Golongan 1: tumor yang mengenai konka daun telinga dan / atau bagian tulang rawan
liang telinga.
2 .Golongan 2: tumor mengenai bagian superfisial tulang temporal yaitu bagian tulang dari
liang telinga dan korteks mastoid.
2. Golongan 3: tumor sudah mengenai struktur dalam tulang temporal, telinga tengah,
kanalis fasial, basis kranii atau sel mastoid. Ada atau tidaknya pembesaran kelenjar
limfe regional harus diperhatikan secara terpisah.
40
Gambar 3.2 Berbagai macam lesi telinga
Diagnosis
41
Bila mungkin secepatnya dilakukan biopsi dari liang telingaatau dari leher. Otitis eksterna
kronik yang menetap merupakan indikasi pasti untuk biopsi liang telinga.
Gambar 3.3 Morphea type dari karsinoma sel basal daun telinga21
Gambar 3.4 Adenoma telinga tengah21
Gambar 3.5 Vestibular Schwannoma21
Pemeriksaan radiologik memegang peranan yang sangat penting untuk melihat lokasi
tumor dan perluasannya dengan tepat. Tanpa bantuan gambaran radiologi rencana pembedahan
dan radioterapi tidak dapat dibuat dengan baik. Politomografi dan CT scan dengan bidang aksial
42
dan koronal akan dapat membantu diagnosis yang lebih dini dan lebih memperlihatkan perluasan
tumor. Tomogram lateral penting untuk memperlihatkan erosi dinding liang telinga.
Erosi di dinding tulang yang membatasi telinga tengah dapat dilihat pada potongan koronal
tomogram. Lokasi dan perluasan tumor ( jaringan lunak ) ke fosa infra temporal dapat dilihat
dengan CT Scan. Venojugulogram dan arteriografi a. karotis kadang – kadang diperlukan untuk
melihat apakah ada infiltrasi tumor ke sinus lateralis dan bulbus jugularis atau ke a. karotis
interna.Ada kalanya terutama bila ada infeksi penunjang, tumor dapat menimbulkan gejala
pengeluaran secret, khususnya secret berdarah.
CT scan
CT scan dengan kontras merupakan uji diagnostik yang paling bermanfaat.
Angiografi dan Venografi
Pada beberapa kasus perlu dilakukan angiografi dan venografi jugular retrograde untuk
menegakkan diagnosis dan menentukan suplai darah dan derajat tumor.
Pengobatan
Beberapa penulis menganjurkan terapi radiasi untuk tumor ganas telinga, tetapi kondritis
yang disebabkan oleh radiasi dan nekrosis tulang yang terkena radiasi sering kali merupakan
komplikasi yang serius yang sukar untuk diatasi. Disamping itu radiasi juga akan menimbulkan
kesulitan untuk menentukan batas perluasan tumor. Cara pengobatan terbaik menurut
kebanyakan ahli adalah terapi operatif dengan eksisi luas secara lengkap dan utuh (“intoto”). Bila
perlu dapat diiringi radioterapi.
Bila tumor ditemukan dini, pasien memiliki lebih banyak kesempatan untuk sembuh
dibandingkan bila tumor telah lanjut sehingga memerlukan reseksi tulang temporal, dengan
kemungkinan kelangsungan hidup lebih sempit. Rabdomiosarkoma menyerang anak – anak
kecil. Penyakit ini pernah dianggap fatal namun dalam tahun – tahun terakhir telah dilaporkan
kesembuhan dengan kombinasi radioterapi dan kemoterapi.
Tindakan Operasi
43
Suatu diagnosis jaringan sudah tentu memerlukan eksplorasi bedah pada tempat tersebut
dan pembedahan merupakan bentuk pengobatan yang lebih disukai pada kebanyakan kasus. Bila
tumor luas sering terdapat indikasi gabungan pembedahan dan radioterapi.
Oleh karena kompleksnya teknik operasi dan letak tumor, serta sulitnya melakukan
rekonstruksi luka operasi, kadang – kadang reseksi yang adekuat dari luas operasi harus
dikompromikan.
1. Tumor ganas daun telinga
Tumor ganas yang masih terbatas pada daun telinga dapat diangkat dengan berbagai
macam cara insisi dilanjutkan dengan operasi rekonstruksi daun telinga.
2. Tumor ganas liang telinga
Tindakan operasi tumor ganas liang telinga lebih rumit oleh karena letak anatominya yang
berdekatan dengan koklea dan labirin, n. VII serta kaput mandibula.
Tumor ganas liang telinga yang masih terbatas pada bagian membrane (1/3 luar)
memerlukan eksisi luas jaringan lunak diikuti dengan tandur kulit.Tumor ganas yang mengenai
bagian tulang liang telinga (2/3 dalam) memerlukan ekstirpasi luas mencakup seluruh liang
telinga beserta membrane timpani dengan memperhatikan usaha untuk mencegah trauma n. VII.
Teknik operasinya disebut reseksi partial tulang temporal.
Cara reseksi partial tulang temporal ialah dengan melakukan mastoidektomi simple untuk
mengidentifikasi n. VII. Kemudian mengangkat seluruh liang telinga dan membrane timpani
secara utuh. Untuk tindakan ini pendekatan dilakukan dari dua arah. Yang pertama di sebelah
atas liang telinga melalui epitimpanum dan ramus zigoma kearah rongga sendi
temporomandibula. Pendekatan kedua dilakukan dengan membuat lubang – lubang kecil di
sebelah depan kanalis fasialis dengan bor kecil ke arah resesus fasialis di kavum timpani untuk
mencegah paresis fasial waktu pengangkatan seluruh liang telinga secara luas. Sisa perlekatan
setelah kedua pendekatan operasi itu dilakukan dilepaskan dengan bantuan osteotom.
44
Jika pneumatisasi mastoid buruk maka dilakukan pengangkatan liang telinga sedikit demi sedikit
(“piecemeal removal”). Pasca operasi diberikan radiasi, terutama bila diduga ada sisa – sisa
tumor yang tertinggal.
3. Tumor ganas telinga tengah dan mastoid
Bila tumor ganas sudah mengenai telinga tengah dan tulang temporal maka dilakukan
reseksi tulang temporal subtotal. Pada operasi ini dilakukan pengangkatan seluruh tulang
temporal di sebeah lateral dari meatus akustikus internus, sehingga hanya apeks petrosus yang
tertinggal. Pendekatan dilakukan melalui tiga arah. Pendekatan dari arah superior dengan
membuang sebagian besar tulang skuamosa sehingga tampak dura di daerah itu, kemudian tulang
petrosus dicapai.10,11
Pendekatan dari arah posterior dengan melakukan insisi tulang pada garis vertical tepat di
belakang tulang mastoid untuk membebaskan sinus sigmoid dan sinus lateral. Pendekatan dari
arah anterior dilakukan dengan melakukan insisi pada prosessus zigomatikus, prosessus
kondiloideus mandibula, kemudian ke fosa glenoidea sehingga hampir mencapai a. karotis dan
tampak tuba Eustachius. Kemudian basis prosessus stiloideus dipotong. Jaringan dapat
dilepaskan dengan menempatkan pahat di sebelah medial alur digastrik lalu memotong tulang ke
arah atas.10,11
Bila tumor telah mencapai apeks petrosus, maka dapat dilakukan reseksi total tulang
temporal. Untuk membuang apeks petrosus diperlukan diseksi a. karotis dan melepaskan apeks
petrosus dari dasar tengkorak. Tindakan ini penuh risiko terjadinya trauma a. karotis dan
kebocoran cairan otak yang akan lebih sukar diatasi. Oleh karena tindakan ini mempunyai
komplikasi berbahaya yang tinggi sekali dan prognosisnya tidak lebih baik dari reseksi subtotal,
hanya sedikit ahli yang melakukannya. Kebanyakan ahli berpendapat bahwa bila tumor telah
mengenai apeks petrosus maka tumor sudah tidak mungkin di operasi lagi.10,11
Radioterapi
45
Para radioterapis pada umumnya sependapat bahwa segala jenis radioterapi untuk
karsinoma yang telah menginvasi tulang sedikit sekali gunanya. Radioterapi pre – operatif
diindikasikan untuk tumor yang telah menyebar luas dimana telah terjadi penyebaran ke dura.
Dosis radiasi pre operatif tidak melebihi 4000 rad.10,11
Radioterapi pasca operatif diindikasikan untuk pasien yang telah menjalani operasi
sebelum tindakan reseksi tulang temporal. Juga untuk kasus yang pada saat operasi tidak jelas
batas tumornya sehingga tidak bisa terangkat semuanya ataupun pada tumor yang besar
walaupun tepi operasi dianggap bebas tumor. Pemberian radiasi dianjurkan 4 – 6 minggu setelah
tindakan operasi dengan dosis yang tidak melebihi 4500 rad.10,11
Radioterapi paliatif diberikan pada kasus yang sangat lanjut atau kasus yang kambuh
setelah tindakan operasi dengan tujuan untuk mengatasi otore yang banyak, nyeri dan
perdarahan. Tumor yang tidak lagi dapat direseksi memperlihatkan respon dengan
radioterapi.10,11
Komplikasi Operasi
Tindakan operasi sering kali harus meninggalkan defek yang luas yang memerlukan
tindakan rekonstruksi yang sulit. Nervus fasial dan telinga sering kali harus dikorbankan
sehingga pasca operasi terjadi paresis fasial dan tuli saraf yang menetap serta vertigo untuk
beberapa minggu.Komplikasi operasi yang paling serius adalah kebocoran cairan otak yang
dapat berlanjut ke arah terjadinya meningitis dan abses otak.15,17,20
Operasi tulang temporal banyak menimbulkan perdarahan. Perdarahan yang hebat dapat
terjadi bila terdapat trauma pada sinus otak ataupun dari a. karotis interna. Bila terjadi
thrombosis a. karotis interna dapat terjadi hemiplegia.Infeksi pasca operasi sering kali terjadi
terutama akibat lamanya tindakan operasi.Tindakan operasi yang berat ini juga dapat
menimbulkan kematian. Conley mendapatkan angka kematian 27 % akibat tindakan operasi dan
komplikasi pasca operasi.15,17,20
Prognosis
46
Prognosis tumor ganas telinga masih buruk. Kemajuan dalam teknik operasi dan
radioterapi belum banyak memperbaiki prognosis.Angka bertahan hidup 5 tahun yang dilaporkan
oleh kebanyakan penyelidik ternyata masih rendah, Lewis 27 %, Conley dan Goodwin 41 %,
John 18 % serta Wang 48 %.
3.2 Tumor Ganas Hidung dan Sinus
Pendahuluan
Tumor hidung dan sinus paranasal pada umumnya jarang ditemukan, baik yang jinak maupun
yang ganas. Di Indonesia keganasan hidung dan sinus paranasal merupakan 1,76% dari seluruh
keganasan organ manusia atau 10% dari seluruh keganasan Telinga, Hidung dan Tenggorok
dimana nasofaring merupakan keganasan terbanyak dengan 57%. Dari kelompok keganasan
hidung dan sinus paranasal ini ± 20% merupakan keganasan sinus maksila (di Jepang lebih tinggi
lagi yaitu 91,4%)), ± 24% keganasan hidung dan sinus etmoid, sedangkan keganasan sinus
sfenoid dan frontal hanya 1%. (4) Keganasan pada hidung dan sinus paranasal ini lebih sering
ditemukan pada laki-laki dibanding perempuan dengan perbandingan 2 : 1.
Faktor resiko, yang jika muncul, dapat meningkatkan resiko antara lain: tembakau, infeksi,
imunitas rendah, riwayat kanker, terhirup sebuk gergaji.
Hidung dan sinus paranasal atau juga disebut sinonasal merupakan rongga yang dibatasi oleh
tulang-tulang wajah yang merupakan daerah yang terlindung sehingga tumor yang timbul
didaerah ini sulit diketahui secara dini. Asal tumor primer juga sulit ditentukan, apakah dari
hidung atau sinus karena biasanya pasien berobat dalam keadaan penyakit telah lanjut dan tumor
sudah memenuhi rongga hidung dan seluruh sinus.
Gejala-gejala dan tanda klinis semua tumor hidung dan sinus paranasal hampir mirip, sehingga
seringkali hanya pemeriksaan histopatologi saja yang dapat menentukan jenisnya. Gejala dan
tanda yang paling umum adalah: obstruksi hidung, masalah pernafasan, nyeri lokal,
pembengkakan leher dan wajah, masalah persarafan, dan tanda metastasis.(22)
47
Langkah umum dalam evaluasi dugaan kanker rongga hidung termasuk: pemeriksaan fisik,
pemeriksaan endoskopi, tes urin dan darah, tes pencitraan, dan biopsi.
Etiologi
Adenokarsinoma rongga hidung dan sinus dikenal umum diantara tukang kayu (Acheson dkk,
1962). Barton (1977) mendiskusikan peranan nikel sebagai karsinogen pada karsinoma sel
skuamosa pada pekerja nikel. Di Norwegia, modifikasi proses industri dan program penyaringan
diantara pekerja menghasilkan penurunan insiden. Di Inggris karsinoma sel skuamosa sinus
paranasal pada pekerja nikel juga penyakit yang menentukan. Pekerja nikel memiliki
peningkatan 100-870 kali angka normal karsinoma sel skuamosa. Kanker ini mungkin akan
berkembang setelah 10 tahun atau lebih setelah pemaparan dan setelah 20 tahun masa laten.
Serbuk kayu, kimiawi penyamak-kulit dan pembuat perabot secara khusus berhubungan dengan
adenokarsinoma. Inhalan lain yang berhubungan dengan malignansi termasuk pigmen krom,
radium, gas mustar dan hidrokarbon. Tembakau tidak memperlihatkan hubungan dengan kanker
hidung dan sinus paranasal.(23)
Histopatologi
Tumor ganas yang tersering adalah karsinoma sel skuamosa (70%), disusul oleh karsinoma yang
berdeferensiasi dan tumor kelenjar. Metastase ke nodus servikal atau retrofaringeal. Insiden
metastase servikal pada presentasi berkisar 10%, meskipun hingga 44% kasus akan secara nyata
bermetatase ke area servikal.
Sinus maksila adalah yang tersering terkena (65-80%), disusul sinus etmoid (15-25%), hidung
sendiri (24%), sedangkan sinus sphenoid dan frontal jarang terkena. Metastasis ke kelenjar leher
jarang terjadi (kurang dari 5%) karena rongga sinus sangat miskin dengan sistem limfa kecuali
bila tumor sudah menginfiltrasi jaringan lunak hidung dan pipi yang kaya akan sistem limfatik.
Metastasis jauh juga jarang ditemukan (kurang dari 10%) dan organ yang sering terkena
metastasis jauh adalah hati dan paru.
Karsinoma Sel Skuamosa
Merupakan bentuk paling sering kanker rongga hidung dan sinus paranasal yang mengenai sinus
maksila dan etmoid. Dikatakan mencapai 20% tumor pada daerah ini. Sel skuamosa merupakan
48
sel datar yang membuat lapisan permukaan pipih struktur kepala dan leher. Sinus maksila terlibat
70% diikuti keterlibatan rongga hidung dalam 20% dengan sisanya berupa etmoid. Lesi primer
yang berasal dari sinus frontal dan sfenoid jarang dijumpai. Kelainan ini terutama mengenai laki-
laki dan muncul paling sering pada dekade keenam. Menyebar keluar dari sinus hampir
merupakan kebiasaan presentasinya. Ketika ditemukan lebih dari 90% akan menginvasi ke
setidaknya satu dinding sinus yang terlibat. Jika terdapat metastase, drainase nodus tingkat
pertama adalah melalui pleksus pra-tube kedalam nodus retrofaring dan kemudian kedalam
nodus subdigastrik. Kebanyakan kanker ini muncul pada stadium lanjut (22% T3/T4). Reseksi
bedah diikuti radiasi paska operasi direkomendasikan sebagai penatalaksanaan kasus-kasus yang
dapat direseksi.
Adenokarsinoma
Dimulai di sel kelenjar, merupakan bentuk kedua tersering kanker rongga hidung dan sinus
paranasal pada sinus maksila dan etmoid diperkirakan 5-20% kasus. Lesi ini cenderung lebih
berlokasi superior dengan sinus etmoid yang paling banyak terlibat. Kebanyakan berhubungan
dengan pemaparan pekerjaan. Lesi ini muncul mirip dengan karsinoma sel skuamosa dan dibagi
secara hisologis menjadi tingkat tinggi dan rendah.
Melanoma maligna
Berkembang dari sel yang disebut melanosit yang memberi warna pada kulit, merupakan kanker
yang agresif, namun hanya membuat sekitar 1% tumor di area tubuh. Antara 0,5-1% dari seluruh
melanoma dikatakan berasal dari rongga hidung dan sinus paranasal, dimana merupakan 3,5%
keseluruhan neoplasma sinonasal. Insiden tertinggi pada pasien pada dekade kelima sampai
kedelapan. Rongga hidung paling sering terlibat dengan septum anterior merupakan lokasi
tersering. Antrum maksila merupakan yang paling sering terlihat pada lokasi sinus. Biasanya
terlihat sebagai massa berdaging polipoid dan pigmentasinya beragam. Pengobatan utamanya
reseksi bedah dengan atau tanpa terapi radiasi paska operasi. Diseksi leher elektif saat ini tidak
direkomendasikan disebabkan insiden rendah metastase leher tersembunyi. Untuk lesi rekuren,
penyelamatan pembedahan, radiasi, kemoterapi atau kombinasi mungkin diperlukan.
Keseluruhan prognosisnya buruk.
49
Estesioneuroblastoma
Estesioneuroblastoma adalah tumor ganas elemen penunjang epitel olfaktorius yang jarang
terjadi. Tumor ini tumbuhnya lambat dan mampu bermetastasis ke paru-paru dan servikal.
Gejala-gejala dini adalah epistaksis dan obstruksi hidung. CT-scan penting untuk menetapkan
apakah terdapat perluasan pada intrakranial.
Gambaran Klinis
Gambaran klinis masing-masing pasien tertentu bergantung pada lokasi primer dan arah dan
perluasan penyebaran. Tumor rongga hidung muncul dengan gejala hidung berupa obstruksi dan
epistaksis. Tumor etmoid juga muncul dengan gejala hidung, namun juga bisa memiliki gejala
orbita seperti proptosis dan epifora, dengan diplopia menjadi gejala akhir. Tumor sinus frontalis
cenderung muncul semata-mata dengam gejala orbita. Tumor sinus sfenoid umumnya muncul
terlambat pada spesialis neurologi dengan gejala neurologis.
Merupakan sebuah instruktif untuk melihat presentasi potensial tumor antrum. Tumor didalam
rongga antrum tidak mungkin muncul dini kecuali secara kebetulan melibatkan nervus
infraorbita memberi perubahan pada sensasi wajah, atau perdarahan secara alternatif
menimbulkan epistaksis. Epistaksis apapun pada pasien dewasa yang tidak hipertensif
membutuhkan investigasi radiologis, namun radiografi sinus terbaik ditunda selama 7-14 hari
untuk memberi resolusi inflamasi apapun sehubungan dengan pembungkusan hidung atau masih
lebih baik CT-scan harus diperoleh. Ketika tumor melanggar dinding antral, tanda-tanda dan
gejala pasti menjadi lebih jelas, sifat sebenarnya bergantung pada dinding tertentu yang terkikis.
Invasi ke rongga hidung menyebabkan obstruksi hidung dan epistaksis dan tumor selalu terlihat
jelas. Jarang, tumor menyebabkan poliposis etmoid dan tampaknya polip nasal normal terlihat;
dengan demikian penting untuk memeriksa secara histologis semua bahan yang diangkat dari
hidung. Penyebaran inferior melibatkan palatum dan alveolus dapat mengakibatkan presentasi ke
dokter gigi baik dengan gigi tiruan atau gigi ompong. Ulserasi palatum frank merupakan gejala
akhir. Penyebaran anterolateral kedalam jaringan lunak wajah dapat mengakibatkan epifora
dengan melibatkan sakus lakrimalis. Pembengkakan wajah, gangguan sensasi dan nyeri lebih
sering. Penyebaran anterior lebih mungkin mengakibatkan limfadenopati servikal teraba.
50
Penyebaran posterior kedalam fossa infratemporal dan basis cranii bisa menyebabkan
simtomatologi kurang jelas, hilangnya fungsi trigeminal dan trismus terjadi akibat keterlibatan
otot pterigoid. Penyebaran ke nasofaring dapat mengkibatkan tuli sebagai akibat dari disfungsi
tuba eustachius. Penyebaran superior ke orbita menyebabkan proptosis dini dengan
meningkatkan volume isi orbita, keterlibatan langsung saraf dan otot terjadi lambat.(24)
Diagnosis
Jarangnya tumor ini, yang merupakan < 1% dari keseluruhan malignansi (3% tumor kepala-
leher), berarti bahwa banyak dokter umum yang tidak akan melihat pasien dengan penyakit ini
sepanjang karir profesional ini. Ketidaksadaran mereka akan kondisi dan kemiripan gejala
dengan kondisi peradangan yang lebih umum lainnya pada saluran pernafasan atas
mengakibatkan kegagalan dalam menentukan diagnosis yang tepat sebelum tumor meluas
melebihi batas tulang sinus. Rata-rata penundaan antara gejala yang pertama kali terlihat dan
diagnosisnya adalah 6 bulan.
Harapan terbaik untuk diagnosis awal terletak pada penggunaan besar-besaran pencitraan CT
untuk penilaian rinosinusitis kronis dimana gambaran radiologis akan menunjukkan diagnosis
yang benar. Penggunaan pencitraan CT dan MRI memungkinkan penggambaran yang tepat dari
perluasan tumor, dan perencanaan terinci radioterapi dan reseksi bedah selanjutnya.
Diagnosis suatu tumor dibuat berdasarkan hasil pemeriksaan histopatologi biopsi tumor.
Klasifikasi dan cara menentukan stadium tumor ganas
Untuk membuat suatu sistem klasifikasi tumor ganas yang dapat diterima oleh seluruh negara di
dunia, rupanya agak sukar bagi tumor ganas hidung dan sinus paranasal karena susunan
anatominya yang rumit dan penyakitnya seringkali ditemukan sudah dalam stadium lanjut.
Pembuatan sistem klasifikasi gunanya adalah pertama, untuk merencanakan terapi. Kedua, untuk
meramalkan prognosisnya. Ketiga, untuk mengevaluasi hasil pengobatan. Keempat, untuk
keseragaman informasi antra sentra sedunia. Kelima, untuk membantu penelitian mengenai
tumor ganas.
51
Biasanya klasifikasi untuk menentukan stadium tumor ganas dipakai sistem TNM, yaitu T =
Tumor, sampai dimana perluasannya, N = Nodul, kelenjar limfe regional yang terkena dan M =
Metastasis.
Sudah banyak pakar dari berbagai sentra yang mengajukan usul sistem TNM, tetapi selama ini
belum ada yang diterima secara menyeluruh. Sub bagian onkologi di bagian THT FK-UI/RSCM
biasanya mengikuti penentuan stadium TNM yang dibuat oleh Sakai dari Jepang. Sistem TNM
ini pernah diajukan pada rapat gabungan UICC dan AJCC pada tahun 1925 dan rupanya usulan
tersebut dapat diterima karena pada tahun 1927 UICC dan AJCC telah sepakat akan meresmikan
satu sistem yang dapat diterima semua pihak dan sistem ini sama dengan yang diajukan oleh
Sakai. Sistem TNM yang dibuat ini hanya berlaku untuk karsinoma sel skuamosa dan baru ada
untuk tumor sinus maksila saja. Untuk hidung dan sinus etmoid masih harus dipelajari lagi
sedangkan untuk sinus frontal dan sinus sfenoid tidak perlu, karena sangat jarang.
GARIS OHNGREN
Ohngren pada tahun 1933 membuat teori tentang adanya suatu bidang imaginer yang melalui
kantus medius dan angulus mandibula. Bidang itu membagi rahang atas menjadi struktur supero-
posterior (= suprastruktur) dan struktur infero-anterior (= infrastruktur). Yang termasuk
suprastruktur adalah dinding tulang sinus maksila bagian posterior dan separuh bagian posterior
dinding atas. Sisanya termasuk infrastruktur. Tumor di daerah infrastruktur mempunyai
prognosis yang jauh lebih baik daripada tumor di suprastruktur.
52
Dibawah ini adalah klasifikasi TNM untuk karsinoma sinus maksila:
Kategori T untuk karsinoma sinus maksila
T1 : Tumor terbatas pada mukosa antrum tanpa erosi atau destruksi tulang.
T2 : Tumor dengan erosi atau destruksi pada infrastruktur, termasuk palatum durum dan/atau
meatus medius.
T3 : Tumor meluas sampai ke kulit pipi, dinding belakang sinus maksila, dasar orbita atau
sinus etmoid anterior.
T4 : Tumor mengenai isi orbita dan/atau invasi ke suprastruktur, salah satu dari: lamina
kribriformis, sinus etmoid posterior atau sfenoid, nasofaring, palatum mole, fosa pterigomaksila
atau temporal, dasar tengkorak.
Kategori N untuk karsinoma sinus maksila
N0 : Tidak ada metastasis ke kelenjar limfe regional.
N1 : Metastasis tunggal pada kelenjar limfe ipsilateral dengan diameter terbesar 3 cm atau
kurang.
53
N2a : Metastasis tunggal pada kelenjar ipsilateral dengan diameter terbesar lebih dari 3 cm
tetapi tidak lebih dari 6 cm.
N2b : Metastasis ganda kelenjar ipsilateral, semua dengan diameter terbesar tidak lebih dari 6
cm.
N2c : Metastasis kelenjar limfe bilateral atau kontralateral, semua dengan diameter terbesar
tidak lebih dari 6 cm.
N3 : Metastasis ke kelenjar limfe yang diameternya lebih dari 6 cm.
Kategori M untuk karsinoma sinus maksila
Mx : Adanya metastasis jauh tidak dapat dinilai.
M0 : Tidak ada metastasis jauh.
M1 : Ada metastasis jauh.
Penentuan stadium karsinoma sinus maksila
Stadium I : T1, N0, M0
Stadium II : T2, N0, M0
Stadium III : T3, N0, M0 atau T1, T2 atau T3, N1, M0
Stadium IV : T4, N0 atau N1, M0 atau semua T, N2 atau N3, M0 atau semua T, semua N, M1
Penatalaksanaan
Yang penting dalam penatalaksanaan tumor ialah, pertama menegakkan diagnosis. Kedua
menentukan batas-batas tumor. Ketiga merencanakan terapi.
54
Menegakkan diagnosis dengan biopsi dan pemeriksaan histopatologi, sedangkan untuk
menentukan batas tumor dengan pemeriksaan radiologis. Rencana terapi dibuat berdasarkan
diagnosis histopatologi dan stadium tumor.
Rencana pengobatan dibuat berdasarkan hasil pemeriksaan histopatologi dan stadium tumor bila
tumor ganas.
Sampai sekarang belum ada parameter pengobatan untuk tumor ganas hidung dan sinus
paranasal. Hal ini antara lain karena kasusnya jarang sehingga belum ada yang berpengalaman
untuk dapat membuat ketentuan yang dapat diikuti, juga karena standar klasifikasi dan penentuan
stadium belum resmi ada. Untuk membuat rencana pengobatan harus dinilai kasus demi kasus
karena respon tiap jenis tumor tidak sama terhadap suatu cara pengobatan dan juga harus dilihat
sampai dimana perluasan tumornya. Kebanyakan pakar berpendapat bahwa satu macam cara
pengobatan saja hasilnya buruk, sehingga mereka mengajukan cara terapi kombinasi antara
operasi, radioterapi dan kemoterapi.
Di bagian THT FK-UI/RSCM pengobatan tumor ganas hidung dan sinus paranasal adalah
kombinasi operasi dan radiasi, kecuali untuk pasien yang sudah “inoperable” atau menolak
tindakan operasi. Untuk pasien ini diberikan radioterapi sesudah dibuatkan antrostomi.
Radioterapi dapat dilakukan sebelum atau sesudah operasi. Masing-masing mempunyai
kelebihan dan kekurangannya. Untuk tumor yang sangat besar, radioterapi dilakukan lebih dulu
untuk mengecilkan tumornya dan mengurangi pembuluh darah sehingga operasi akan lebih
mudah. Tetapi bila telah dilakukan radiasi dulu, sesudah selesai banyak pasien yang kemudian
tidak kembali untuk operasi karena merasa tumornya sudah mengecil atau ada yang tidak mau
operasi karena efek samping radioterapi yang berkepanjangan. Sekarang lebih disukai radiasi
paska operasi, karena sekaligus dimaksudkan untuk memberantas mikro-metastasis yang terjadi
atau bila masih ada sisa tumor yang tidak terangkat pada waktu operasi.
Luasnya operasi tergantung pada sampai dimana batas tumornya. Bila tumor di sinus maksila
dan infrastruktur dilakukan maksilektomi parsial. Bila tumor sudah memenuhi maksila dilakukan
maksilektomi radikal, yaitu mengangkat seluruh isi rongga sinus maksila, ginggivo-alveolaris
dan palatum durum. Bila tumor sudah sampai ke mata dilakukan eksenterasi orbita. Bila sinus
55
sfenoid terkena dilakukan operasi kranio-fasial dengan bantuan ahli bedah saraf. Bila tumor
sudah meluas ke nasofaring dan fosa pterigopalatina kita anggap sudah “inoperable” dan hanya
diberikan penyinaran saja.
Operasi maksilektomi memerlukan prostesis untuk mengganti kedudukan maksila yang dibuang.
Protesis ini dikerjakan oleh dokter gigi dan harus dipersiapkan sebelum operasi dan langsung
dipasang pada waktu operasi karena kalau tidak, akan terjadi kontraksi jaringan yang akan sulit
diperbaiki kemudian. Pada eksenterasi orbita, juga diperlukan protesis bola mata. Pada
kebanyakan operasi tumor hidung dan sinus, sesudah operasi sering diperlukan perbaikan wajah
dengan bedah plastik.
Gambar 3.6 Operasi maksilektomi
Jadi, untuk penanganan tumor ganas hidung dan sinus, diperlukan kerja sama yang baik antar
berbagai disiplin ilmu, yaitu ahli bedah THT, ahli radiologi, ahli patologi, ahli bedah mata, ahli
bedah saraf, ahli bedah plastik dan dokter gigi.
56
3.3 Tumor Ganas Tenggorokan
3.3.1 KARSINOMA NASOFARING
EPIDEMIOLOGI
Meskipun banyak ditemukan di negara dengan penduduk non-mongoloid, namun
demikian daerah China bagian selatan masih menduduki tempat tertinggi, yaitu dengan 2500
kasus baru pertahun untuk propinsi guang-dong (Kwantung) atau prevalensi 39,84/100.000
penduduk.
Ras Mongoloid merupakan faktor dominan timbulnya Karsinoma Nasofaring, sehinggga
kekerapannya cukup tinggi pada penduduk China bagian Selatan, Hongkong, Vietnam, Thailand,
Malaysia, Singapura, dan Indonesia.
Ditemukan pula cukup banyak kasus di Yunani, Afrika bagian Utara seperti Aljazair dan
Tunisia, pada orang Eskimo di Alasaka dan Tanah Hijau yang di duga penyebabnya adalah
karena mereka memakan makanan yang di awetkan dalam musim dingin dengan menggunakan
bahan pengawet Nitrosamin.
Di Indonesia frekuensi pasien ini hampir merata di setiap daerah. Di RSUDPN Dr. Cipto
Mangunkusumo Jakarta saja ditemukan lebih dari 100 kasus setahun, RS Hasan Sadikin
Bandung rata-rata 60 kasus, Ujung Pandang 25 kasus, palembang 25 kasus, 15 kasus setahun di
Denpasar, dan 11 kasus di Padang dan Bukit tinggi. Demikian pula angka-angka yang di
dapatkan di Medan, Semarang, Surabaya dan lain-lain menunjukkan bahwa tumor ganas ini
terdapat merata di Indonesia. Dalam pengamatan dari pengunjung poloklinik tumor THT RSCM,
pasien Karsinoma Nasofaring dari ras China relatif sedikit lebih banyak dari suku bangsa
lainnya.(26)
ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO
Meskipun penyelidikan untuk mengetahui penyebab penyakit ini telah dilakukan di berbagai
negara dan telah memakan biaya yang tidak sedikit, namun sampai sekarang belum berhasil.
Dikatakan bahwa beberapa faktor saling berkaitan sehingga akhirnya disimpulkan bahwa
penyebab penyakit ini adalah multifaktor. Kaitan antara suatu kuman yang di sebut sebagai virus
Epstein-Barr dan konsumsi ikan asin dikatakan sebagai penyebab utama timbulnya penyakit ini.
57
Virus tersebut dapat masuk ke dalam tubuh dan tetap tinggal di sana tanpa menyebabkan suatu
kelainan dalam jangka waktu yang lama.
Untuk mengaktifkan virus ini di butuhkan suatu mediator. Sebagai contoh, kebiasaan untuk
mengkomsumsi ikan asin secara terus-menerus mulai dari masa kanak-kanak, merupakan
mediator utama yang dapat mengaktifkan virus ini sehingga menimbulkan karsinoma nasofaring.
Mediator yang dianggap berpengaruh untuk timbulnya karsinoma nasofaring ialah : (27)
1. Zat Nitrosamin. Didalam ikan asin terdapat nitrosamin yang ternyata merupakan mediator
penting. Nitrosamin juga ditemukan dalam ikan / makanan yang diawetkan di Greenland .
Juga pada ” Quadid ” yaitu daging kambing yang dikeringkan di tunisia, dan sayuran yang
difermentasi ( asinan ) serta taoco di Cina.
2. Keadaan sosial ekonomi yang rendah. Lingkungan dan kebiasaan hidup. Dikatakan bahwa
udara yang penuh asap di rumah-rumah yang kurang baik ventilasinya di Cina, Indonesia
dan Kenya, meningkatnya jumlah kasus KNF. Di Hongkong, pembakaran dupa rumah-
rumah juga dianggap berperan dalam menimbulkan KNF.
3. Sering kontak dengan zat yang dianggap bersifat Karsinogen. Yaitu yang dapat
menyebabkan kanker, antara lain Benzopyrene, Benzoathracene ( sejenis Hidrokarbon
dalam arang batubara ), gas kimia, asap industri, asap kayu dan beberapa Ekstrak
tumbuhan- tumbuhan.
4. Ras dan keturunan. Ras kulit putih jarang terkena penyakit ini. Di Asia terbanyak adalah
bangsa Cina, baik yang negara asalnya maupun yang perantauan. Ras melayu yaitu
Malaysia dan Indonesia termasuk yang banyak terkena karsinoma nasofaring.
5. Radang kronis di daerah nasofaring. Dianggap dengan adanya peradangan, mukosa
nasofaring menjadi lebih rentan terhadapa karsinogen lingkungan.
MANIFESTASI KLINIK
Karena KNF bukanlah penyakit yang dapat disembuhkan, maka diagnosis dan pengobatan yang
sedini mungkin memegang peranan penting untuk mengetahui gejala dini KNF dimana tumor
masih terbatas di rongga nasofaring.(28)
A. Gejala Dini :
Gejala telinga :
1. Kataralis/sumbatan tuba eutachius
58
Pasien mengeluh rasa penuh di telinga, rasa dengung kadang-kadang disertai
dengan gangguan pendengaran. Gejala ini merupakan gejala yang sangat dini.
2. Radang telinga tengah sampai pecahnya gendang telinga.
Keadaan ini merupakan kelainan lanjut yang terjadi akibat penyumbatan muara
tuba, dimana rongga teliga tengah akan terisi cairan. Cairan yang diproduksi
makin lama makin banyak, sehingga akhirnya terjadi kebocoran gendang telinga
dengan akibat gangguan pendengaran.
Gambar 3.7 Tumor nasofaring yang menutupi tuba Eusthachius, yang
bertanda panah adalah tumor
Gejala Hidung :
1. Mimisan
Dinding tumor biasanya rapuh sehingga oleh rangsangan dan sentuhan dapat
terjadi pendarahan hidung atau mimisan. Keluarnya darah ini biasanya berulang-
ulang, jumlahnya sedikit dan seringkali bercampur dengan ingus, sehingga
berwarna merah jambu. Epistaksis ini juga dapat disebabkan oleh penjalaran
tumor ke selaput lendir hidung yang dapat mencederai dinding pembuluh darah
daerah ini.
2. Sumbatan hidung
Sumbatan hidung yang menetap terjadi akibat pertumbuhan tumor ke dalam
rongga hidung dan menutupi koana. Gejala menyerupai pilek kronis, kadang-
kadang disertai dengan gangguan penciuman dan adanya ingus kental.
59
Gejala telinga dan hidung ini bukan merupakan gejala yang khas untuk penyakit ini,
karena juga dijumpai pada infeksi biasa, misalnya pilek kronis, sinusitis dan lain-lainnya.
Mimisan juga sering terjadi pada anak yang sedang menderita radang.
B. Gejala Lanjut :
1. Pembesaran kelenjar limfe leher
Tidak semua benjolan leher menandakan penyakit ini. Yang khas jika timbulnya
di daerah samping leher, 3-5 sentimeter di bawah daun telinga dan tidak nyeri.
Benjolan ini merupakan pembesaran kelenjar limfe, sebagai pertahanan pertama
sebelum sel tumor ke bagian tubuh yang lebih jauh. Benjolan ini tidak dirasakan
nyeri, karenanya sering diabaikan oleh pasien.
Selanjutnya sel-sel kanker dapat berkembang terus, menembus kelenjar dan
mengenai otot di bawahnya. Kelenjarnya menjadi lekat pada otot dan sulit
digerakkan. Keadaan ini merupakan gejala yang lebih lanjut lagi. Pembesaran
kelenjar limfe leher merupakan gejala utama yang mendorong pasien datang ke
dokter. Kadang pembesaran kelenjar di leher ini salah didiagnosis sebagai
tuberkulosis kelenjar.
2. Gejala akibat perluasan tumor ke jaringan sekitar.
Tumor dapat meluas ke jaringan sekitar. Perluasan ke atas ke arah rongga
tengkorak dan kebelakang melalui sela-sela otot dapat mengenai saraf otak dan
menyebabkan gejala akibat kelumpuhan syaraf otak. Penjalaran melalui foramen
laserum akan mengenai saraf otak ke III, IV, VI, dan dapat pula ke V, sehingga yang
sering ditemukan ialah penglihatan ganda (diplopia) dan pada pemeriksaan tampak
bola mata juling. Neuralgia trigeminal merupakan gejala yang sering ditemukan oleh
ahli saraf jika belum terdapat keluhan lain yang berarti.
Proses karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI, dan XII jika
penjalaran melalui foramane jugulare, yaitu suatu tempat yang relatif jauh dari
nasofaring. Hal ini akan menimbulkan rasa baal (mati rasa) didaerah wajah sampai
akhirnya timbul kelumpuhan lidah, bahu, leher dan gangguan pendengaran serta
gangguan penciuman.
60
Keluhan lainnya dapat berupa sakit kepala hebat akibat penekanan tumor ke
selaput otak, rahang tidak dapat dibuka akibat kekakuan otot-otot rahang yang terkena
tumor. Biasanya kelumpuhan hanya mengenai salah satu sisi tubuh saja (unilateral)
tetapi pada beberapa kasus pernah ditemukan mengenai ke dua sisi tubuh.
3. Gejala akibat metastasis
Sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama aliran limfe atau darah, mengenai
organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring, hal ini yang disebut metastasis jauh.
Yang sering ialah pada tulang, hati dan paru. Jika ini terjadi, menandakan suatu
stadium dengan prognosis sangat buruk.
PATOFISIOLOGI
Virus Epstein Barr (EBV) merupakan virus DNA yang memiliki kapsid icosahedral dan
termasuk dalam famili Herpesviridae. Infeksi EBV dapat berasosiasi dengan beberapa penyakit
seperti limfoma Burkitt, limfoma sel T, mononukleosis dan karsinoma nasofaring (KNF). KNF
merupakan tumor ganas yang terjadi pada sel epitel di daerah nasofaring yaitu pada daerah fossa
Rosenmulleri dan tempat bermuara tuba eustachius. Banyak faktor yang diduga berhubungan
dengan KNF, yaitu:
1. adanya infeksi EBV,
2. Faktor lingkungan
61
3. Genetik
1) Virus Epstein-Barr
Virus Epstein-Barr bereplikasi dalam sel-sel epitel dan menjadi laten dalam limfosit B. Infeksi
virus epstein-barr terjadi pada dua tempat utama yaitu sel epitel kelenjar saliva dan sel limfosit.
EBV memulai infeksi pada limfosit B dengan cara berikatan dengan reseptor virus, yaitu
komponen komplemen C3d (CD21 atau CR2). Glikoprotein (gp350/220) pada kapsul EBV
berikatan dengan protein CD21 dipermukaan limfosit B3. Aktivitas ini merupakan rangkaian
yang berantai dimulai dari masuknya EBV ke dalam DNA limfosit B dan selanjutnya
menyebabkan limfosit B menjadi immortal. Sementara itu, sampai saat ini mekanisme masuknya
EBV ke dalam sel epitel nasofaring belum dapat dijelaskan dengan pasti. Namun demikian, ada
dua reseptor yang diduga berperan dalam masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring yaitu
CR2 dan PIGR ( Polimeric Immunogloblin Receptor ). Sel yang terinfeksi oleh virus epstein-barr
dapat menimbulkan beberapa kemungkinan yaitu : sel menjadi mati bila terinfeksi dengan virus
epstein-barr dan virus mengadakan replikasi, atau virus epstein- barr yang menginfeksi sel dapat
mengakibatkan kematian virus sehingga sel kembali menjadi normal atau dapat terjadi
transformasi sel yaitu interaksi antara sel dan virus sehingga mengakibatkan terjadinya
perubahan sifat sel sehingga terjadi transformsi sel menjadi ganas sehingga terbentuk sel kanker.
Gen EBV yang diekspresikan pada penderita KNF adalah gen laten, yaitu EBERs EBNA1,
LMP1, LMP2A dan LMP2B. Protein EBNA1 berperan dalam mempertahankan virus pada
infeksi laten. Protein transmembran LMP2A dan LMP2B menghambat sinyal tyrosine kinase
yang dipercaya dapat menghambat siklus litik virus. Diantara gen-gen tersebut, gen yang paling
berperan dalam transformasi sel adalah gen LMP1. Struktur protein LMP1 terdiri atas 368 asam
amino yang terbagi menjadi 20 asam amino pada ujung N, 6 segmen protein transmembran (166
asam amino) dan 200 asam amino pada ujung karboksi (C). Protein transmembran LMP1
menjadi perantara untuk sinyal TNF (tumor necrosis factor ) dan meningkatkan regulasi sitokin
IL-10 yang memproliferasi sel B dan menghambat respon imun lokal.
2) Genetik
Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetic, tetapi kerentana terhadap
karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relative menonjol dan memiliki
62
agregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan gen HLA (human leukocyte antigen) dan gen
pengode enzim sitokrom p450 2E1 (CYP2E1) kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap
karsinoma nasofaring. Sitokrom p450 2E1 bertanggung jawab atas aktivasi metabolik yang
terkait nitrosamine dan karsinogen
3) Faktor lingkungan
Sejumlah besar studi kasus yang dilakukan pada populasi yang berada di berbagai daerah di
asia dan america utara, telah dikonfirmasikan bahwa ikan asin dan makanan lain yang awetkan
mengandung sejumlah besar nitrosodimethyamine (NDMA), N-nitrospurrolidene (NPYR) dan
nitrospiperidine (NPIP ) yang mungkin merupakan faktor karsinogenik karsinoma nasofaring.
Selain itu merokok dan perokok pasif yg terkena paparan asap rokok yang mengandung
formaldehide dan yang tepapar debu kayu diakui faktor risiko karsinoma nasofaring dengan cara
mengaktifkan kembali infeksi dari EBV.(29)
HISTOPATOLOGI
Permukaan nasofaring berbenjol-benjol, karena dibawah epitel terdapat banyak jaringan limfosit,
sehingga berbentuk seperti lipatan atau kripta. Hubungan antara epitel dengan jaringan limfosit
ini sangat erat, sehingga sering disebut “Limfoepitel”. Bloom dan Fawcett (1965) membagi
mukosa nasofaring atas empat macam epitel :
1. Epitel selapis thorax bersilia “Simple Columnar Cilated Epithelium”
2. Epitel thorax berlapis “Stratified Columnar Epithelium”
3. Epitel thorax berlapis bersilia “Stratified Columnar Ciliated Epithelium”
4. Epitel thorax berlapis semu bersilia “Pseudo-Stratified Columnar Ciliated Epithelium”
60% dari mukosa nasofaring dilapisi oleh epitel berlapis gepeng, dan 80% dari dinding posterior
nasofaring dilapisi oleh epitel ini, sedangkan pada dinding lateral dan depan dilapisi oleh epitel
transisional, yang merupakan epitel peralihan antara epitel berlapis gepeng dan thorax bersilia.
Epitel berlapis gepeng ini umumya dilapisi keratin, kecuali pada kripta yang dalam. Dipandang
dari sudut embriologi, tempat pertemuan atau peralihan 2 macam epitel adalah tempat yang
subur untuk tumbuhnya suatu karsinoma.
Klasifikasi gambaran histopatologi yang direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO) sebelum tahun 1991, dibagi atas 3 tipe, yaitu :
63
1. Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell Carcinoma). Tipe
ini dapat dibagi lagi menjadi diferensiasi baik, sedang dan buruk.
2. Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma). Pada tipe ini dijumpai adanya
diferensiasi, tetapi tidak ada diferensiasi sel skuamosa tanpa jembatan intersel. Pada
umumnya batas sel cukup jelas.
3. Karsinoma tidak berdiferensiasi (Undifferentiated Carcinoma). Pada tipe ini sel tumor
secara individu memperlihatkan inti yang vesikuler, berbentuk oval atau bulat dengan
nukleoli yang jelas. Pada umumnya batas sel tidak terlihat dengan jelas.(29)
Tipe tanpa diferensiasi dan tanpa keratinisasi mempunyai sifat yang sama, yaitu bersifat
radiosensitif dan mempinyai titer antibodi terhadap virus Epstein-Barr. Sedangkan jenis dengan
keratinisasi tidak begitu radiosensitif dan tidak menunjukkan hubungan dengan virus Epstein-
Barr.(30)
STADIUM KANKER
Stadium ini berdasarkan kriteria dari American Joint Committee On Cancer (AJCC 2002)
T = Tumor primer
T0 - Tidak tampak tumor.
Tis – Karsinoma insitu, dimana tumor hanya terdapat pada 1 lapisan jaringan.
T1 - Tumor terbatas pada satu lokalisasi saja (lateral/posterosuperior/atap dan lain- lain).
T2 - Tumor yang sudah meluas kedalam jaringan lunak dari rongga tenggorokan.
T3 - Tumor telah keluar dari rongga nasofaring (ke rongga hidung atau orofaring dsb).
T4 - Tumor telah keluar dari nasofaring dan telah merusak tulang tengkorak atau mengenai
saraf-saraf otak.
TX - Tumor tidak jelas besarnya karena pemeriksaan tidak lengkap.
N = Nodule
N - Pembesaran kelenjar getah bening regional .
NX - Pembesaran kelenjar regional tidak dapat dinilai
N0 - Tidak ada pembesaran.
N1 - Terdapat penbesaran tetapi homolateral dan tumor dalam kelenjar limfe berukuran 6 cm
atau lebih kecil.
64
N2 - Terdapat pembesaran kontralateral/bilateral dengan ukuran tumor 6 cm atau lebih kecil.
N3 - Tumor terdapat di kelenjar limfe dengan ukuran lebih dari 6 cm atau tumor telah
ditemukan didalam kelenjar limfe pada regio “segitiga leher”
N3A – Tumor dalam kelenjar limfe dengan ukuran lebih dari 6 cm.
N3B – Tumor ditemukan diluar “segitiga leher”
M = Metastasis
M = Metastesis jauh
M0 - Tidak ada metastesis jauh.
M1 – Terdapat Metastesis jauh .
- Stadium 0 : Tis dengan N0 dan M0
- Stadium I : T1 dan N0 dan M0
- Stadium IIA : T2 dan N0 dan M0
65
- Stadium IIB : T1 atau T2 dan N1 dan M0
- Stadium III : T1/T2 dan N1/N2 dan M0 atau T3 dan N0/N1/N2 dan M0
66
- Stadium IVA : T4 dan N0/N1 dan M0 atau T dan N2 dan M0
- Stadium IVB : T1/T2/T3/T4 dan N3A/N3B dan M0
67
- Stadium IVC : T1/T2/T3/T4 dan N0/N1/N2/N3 dan M1.
DIAGNOSIS
Jika ditemukan adanya kecurigaan yang mengarah pada suatu karsinoma nasofaring, protokol
dibawah ini dapat membantu untuk menegakkan diagnosis pasti serta stadium tumor:
I. Anamnesis / pemeriksaan fisik
Anamnesis berdasarkan keluhan yang dirasakn pasien (tanda dan gejala KNF)
II. Pemeriksaan nasofaring
Dengan menggunakan kaca nasofaring atau dengan nashopharyngoskop
III. Biopsi nasofaring
68
Diagnosis pasti dari KNF ditentukan dengan diagnosis klinik ditunjang dengan
diagnosis histologik atau sitologik. Diagnosis histologik atau sitologik dapat ditegakan
bila dikirim suatu material hasil biopsy cucian, hisapan (aspirasi), atau sikatan (brush),
biopsy dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu dari hidung atau dari mulut. Biopsi tumor
nasofaring umunya dilakukan dengan anestesi topical dengan xylocain 10%.
Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy).
Cunam biopsy dimasukan melalui rongga hidung menyelusuri konka media ke
nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsy.
Biopsy melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang dimasukan
melalui hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut ditarik keluar dan
diklem bersama-sama ujung kateter yang dihidung. Demikian juga kateter yang
dari hidung disebelahnya, sehingga palatum mole tertarik ke atas. Kemudian
dengan kacalaring dilihat daerah nasofaring. biopsy dilakukan dengan melihat
tumor melalui kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop yang dimasukan
melalui mulut, masaa tumor akan terlihat lebih jelas. Bila dengan cara ini masih
belum didapatkan hasil yang memuaskan mala dilakukan pengerokan dengan
kuret daerah lateral nasofaring dalam narcosis.
IV. Pemeriksaan Patologi Anatomi
Klasifikasi gambaran histopatologi yang direkomendasikan oleh Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) sebelum tahun 1991, dibagi atas 3 tipe, yaitu :
Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell
Carcinoma). Tipe ini dapat dibagi lagi menjadi diferensiasi baik, sedang dan
buruk.
Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma). Pada tipe ini dijumpai
adanya diferensiasi, tetapi tidak ada diferensiasi sel skuamosa tanpa jembatan
intersel. Pada umumnya batas sel cukup jelas.
Karsinoma tidak berdiferensiasi (Undifferentiated Carcinoma). Pada tipe ini sel
tumor secara individu memperlihatkan inti yang vesikuler, berbentuk oval atau
bulat dengan nukleoli yang jelas. Pada umumnya batas sel tidak terlihat dengan
jelas.
69
Tipe tanpa diferensiasi dan tanpa keratinisasi mempunyai sifat yang sama, yaitu
bersifat radiosensitif. Sedangkan jenis dengan keratinisasi tidak begitu radiosensitif.
Klasifikasi gambaran histopatologi terbaru yang direkomendasikan oleh WHO pada
tahun 1991, hanya dibagi atas 2 tipe, yaitu :
Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi ( Keratinizing Squamous Cell
Carcinoma).
Karsinoma non-keratinisasi ( Non-keratinizing Carcinoma). Tipe ini dapat dibagi
lagi menjadi berdiferensiasi dan tak berdiferensiasi.
V. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi pada kecurigaan KNF merupakan pemeriksaan penunjang
diagnostic yang penting. Tujuan utama pemeriksaan radiologic tersebut adalah:
Memberikan diagnosis yang lebih pasti pada kecurigaan adanya tumor pada
daerah nasofaring
Menentukan lokasi yang lebih tepat dari tumor tersebut
Mencari dan menetukan luasnya penyebaran tumor ke jaringan sekitarnya.
a) Foto polos
Ada beberapa posisi dengan foto polos yang perlu dibuat dalam mencari
kemungkinan adanya tumor pada daerah nasofaring yaitu:
Posisi Lateral dengan teknik foto untuk jaringan lunak ( soft tissue technique)
Posisi Basis Kranii atau Submentoverteks
Tomogram Lateral daerah nasofaring
Tomogranm Antero-posterior daerah nasofaring
b) C.T.Scan
Pada umunya KNF yang dapat dideteksi secara jelas dengan radiografi polos adalah
jika tumor tersebut cukup besar dan eksofitik, sedangkan bula kecil mungkin tidak akan
terdeteksi. Terlebih-lebih jika perluasan tumor adalah submukosa, maka hal ini akan
sukar dilihat dengan pemeriksaan radiografi polos. Demikian pula jika penyebaran ke
jaringan sekitarnya belum terlalu luas akan terdapat kesukaran-kesukaran dalam
70
mendeteksi hal tersebut. Keunggulan C.T. Scan dibandingkan dengan foto polos ialah
kemampuanya untuk membedakan bermacam-macam densitas pada daerah nasofaring,
baik itu pada jaringan lunak maupun perubahan-perubahan pada tulang, gengan criteria
tertentu dapat dinilai suatu tumor nasofaring yang masih kecil. Selain itu dengan lebih
akurat dapatdinilai pakah sudah ada perluasan tumor ke jaringna sekitarnya, menilai ada
tidaknya destruksi tulang serta ada tidaknya penyebaran intracranial.
VI. Pemeriksaan neuro-oftalmologi
Karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui beberapa
lobang, maka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut KNF ini.
VII. Pemeriksaan serologi.
Pemeriksaan serologi IgA anti EA (early antigen) dan igA anti VCA (capsid
antigen) untuk infeksi virus E-B telah menunjukan kemajuan dalam mendeteksi
karsinoma nasofaring. Tjokro Setiyo dari FK UI Jakarta mendapatkan dari 41 pasien
karsinoma nasofaring stadium lanjut (stadium III dan IV) senstivitas IgA VCA adalah
97,5% dan spesifitas 91,8% dengan titer berkisar antara 10 sampai 1280 dengan
terbanyak titer 160. IgA anti EA sensitivitasnya 100% tetapi spesifitasnya hanya 30,0%,
sehingga pemeriksaan ini hanya digunakan untuk menetukan prognosis pengobatan, titer
yang didapat berkisar antara 80 sampai 1280 dan terbanyak 160.
PENATALAKSANAAN
1. Radioterapi(31)
Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam penatalaksanaan
karsinoma nasofaring. Penatalaksanaan pertama untuk karsinoma nasofaring adalah
radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi.
Definisi Terapi Radiasi :
Terapi radiasi adalah terapi sinar menggunakan energi tinggi yang dapat
menembus jaringan dalam rangka membunuh sel neoplasma.
71
Persyaratan Terapi Radiasi
Penyembuhan total terhadap karsinoma nasofaring apabila hanya
menggunakan terapi radiasi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
- Belum didapatkannya sel tumor di luar area radiasi
- Tipe tumor yang radiosensitif
- Besar tumor yang kira-kira radiasi mampu mengatasinya
- Dosis yang optimal.
- Jangka waktu radiasi tepat
- Sebisa-bisanya menyelamatkan sel dan jaringan yang normal dari efek samping
radiasi.
Dosis radiasi pada limfonodi leher tergantung pada ukurannya sebelum
kemoterapi diberikan. Pada limfonodi yang tak teraba diberikan radiasi sebesar
5000 cGy, < 2 cm diberikan 6600 cGy, antara 2-4 cm diberikan 7000 cGy dan
bila lebih dari 4 cm diberikan dosis 7380 cGy, diberikan dalam 41 fraksi selama
5,5 minggu. Alat yang biasanya dipakai ialah “cobalt 60”,
“megavoltage”orthovoltage”.
Sifat Terapi Radiasi
Terapi radiasi sendiri sifatnya adalah :
- Merupakan terapi yang sifatnya lokal dan regional
- Mematikan sel dengan cara merusak DNA yang akibatnya bisa mendestrukasi
sel tumor
- Memiliki kemampuan untuk mempercepat proses apoptosis dari sel tumor.
- Ionisasi yang ditimbulkan oleh radiasi dapat mematikan sel tumor.
- Memiliki kemampuan mengurangi rasa sakit dengan mengecilkan ukuran tumor
sehingga mengurangi pendesakan di area sekitarnya..
- Berguna sebagai terapi paliatif untuk pasien dengan perdarahan dari tumornya.
- Walaupun pemberian radiasi bersifat lokal dan regional namun dapat
mengakibatkan defek imun secara general.
72
Jenis Pemberian Terapi Radiasi
Terapi radiasi pada karsinoma nasofaring bisa diberikan sebagai :
1. Radiasi eksterna dengan berbagai macam teknik fraksinasi.
2. Radiasi interna ( brachytherapy ) yang bisa berupa permanen implan atau
intracavitary barchytherapy.
1. Radiasi eksterna dapat digunakan sebagai :
- pengobatan efektif pada tumor primer tanpa pembesaran kelenjar getah bening
- pembesaran tumor primer dengan pembesaran kelenjar getah bening
- Terapi yang dikombinasi dengan kemoterapi
- Terapi adjuvan diberikan pre operatif atau post operatif pada neck dissection
3. Radiasi Interna/ brachyterapi bisa digunakan untuk :
- Menambah kekurangan dosis pada tumor primer dan untuk menghindari terlalu
banyak jaringan sehat yang terkena radiasi.
- Sebagai booster bila masih ditemukan residu tumor
- Pengobatan kasus kambuh.
2. Kemoterapi(32)
Kemoterapi sebagai terapi tambahan pada karsinoma nasofaring ternyata dapat
meningkatkan hasil terapi. Terutama diberikan pada stadium lanjut atau pada
keadaan kambuh.
Definisi Kemoterapi
Kemoterapi adalah segolongan obat-obatan yang dapat menghambat
pertumbuhan kanker atau bahkan membunuh sel kanker.
Obat-obat anti kaker ini dapat digunakan sebagai terapi tunggal (active
single agents), tetapi kebanyakan berupa kombinasi karena dapat lebih
meningkatkan potensi sitotoksik terhadap sel kanker. Selain itu sel-sel yang
resisten terhadap salah satu obat mungkin sensitif terhadap obat lainnya. Dosis
obat sitostatika dapat dikurangi sehingga efek samping menurun.
73
Obat-Obat Sitostatika yang direkomendasi FDA untuk Kanker Kepala
Leher
Beberapa sitostatika yang mendapat rekomendasi dari FDA (Amerika)
untuk digunakan sebagai terapi keganasan didaerah kepala dan leher yaitu
Cisplatin, Carboplatin, Methotrexate, 5-fluorouracil, Bleomycin, Hydroxyurea,
Doxorubicin, Cyclophosphamide, Doxetaxel, Mitomycin-C, Vincristine dan
Paclitaxel. Akhir-akhir ini dilaporkan penggunaan Gemcitabine untuk keganasan
didaerah kepala dan leher.
Sensitivitas Kemoterapi terhadap Karsinoma Nasofaring
Kemoterapi memang lebih sensitif untuk karsinoma nasofaring WHO I
dan sebagian WHO II yang dianggap radioresisten. Secara umum karsinoma
nasofaring WHO-3 memiliki prognosis paling baik sebaliknya karsinoma
nasofaring WHO-1 yang memiliki prognosis paling buruk.
Adanya perbedaan kecepatan pertumbuhan (growth) dan pembelahan
(division) antara sel kanker dan sel normal yang disebut siklus sel (cell cycle)
merupakan titik tolak dari cara kerja sitostatika. Hampir semua sitostatika
mempengaruhi proses yang berhubungan dengan sel aktif seperti mitosis dan
duplikasi DNA. Sel yang sedang dalam keadaan membelah pada umumnya lebih
sensitif daripada sel dalam keadaan istirahat.
Berdasar siklus sel kemoterapi ada yang bekerja pada semua siklus (Cell
Cycle non Spesific ) artinya bisa pada sel yang dalam siklus pertumbuhan sel
bahkan dalam keadaan istirahat. Ada juga kemoterapi yang hanya bisa bekerja
pada siklus pertumbuhan tertentu ( Cell Cycle phase spesific ).
Obat yang dapat menghambat replikasi sel pada fase tertentu pada siklus
sel disebut cell cycle specific. Sedangkan obat yang dapat menghambat
pembelahan sel pada semua fase termasuk fase G0 disebut cell cycle nonspecific.
Obat-obat yang tergolong cell cycle specific antara lain Metotrexate dan 5-FU,
obat-obat ini merupakan anti metabolit yang bekerja dengan cara menghambat
sintesa DNA pada fase S. Obat antikanker yang tergolong cell cycle nonspecific
antara lain Cisplatin (obat ini memiliki mekanisme cross-linking terhadap DNA
74
sehingga mencegah replikasi, bekerja pada fase G1 dan G2), Doxorubicin (fase
S1, G2, M), Bleomycin (fase G2, M), Vincristine (fase S, M).
Dapat dimengerti bahwa zat dengan aksi multipel bisa mencegah
timbulnya klonus tumor yang resisten, karena obat-obat ini cara kerjanya tidak
sama. Apabila resiten terhadap agen tertentu kemungkinan sensitif terhadap agen
lain yang diberikan, dikarenakan sasaran kerja pada siklus sel berbeda.
Mekanisme Cara Kerja Kemoterapi
Kebanyakan obat anti neoplasma yang secara klinis bermanfaat, agaknya
bekerja dengan menghambat sintesis enzim maupun bahan esensial untuk sintesis
dan atau fungsi asam nukleat. Berdasarkan mekanisme cara kerja obat , zat yang
berguna pada tumor kepala leher dibagi sebagai berikut :
1. Antimetabolit, Obat ini menghambat biosintesis purin atau pirimidin. Sebagai
contoh MTX, menghambat pembentukan folat tereduksi, yang dibutuhkan untuk
sintesis timidin.
2. Obat yang mengganggu struktur atau fungsi molekul DNA. Zat pengalkil seperti
CTX ( Cyclophosphamide) mengubah struktur DNA, dengan demikian menahan
replikasi sel. Di lain pihak, antibiotika seperti dactinomycin dan doxorubicin
mengikat dan menyelip diantara rangkaian nukleotid molekul DNA dan dengan
demikian menghambat produksi mRNA.
3. Inhibitor mitosis seperti alkaloid vinka contohnya vincristine dan vinblastine,
menahan pembelahan sel dengan mengganggu filamen mikro pada kumparan
mitosis.
Cara Pemberian Kemoterapi
Secara umum kemoterapi bisa digunakan dengan 4 cara kerja yaitu :
1. Sebagai neoadjuvan yaitu pemberian kemoterapi mendahului pembedahan dan
radiasi.
2. Sebagai terapi kombinasi yaitu kemoterapi diberikan bersamaan dengan radiasi
pada kasus karsinoma stadium lanjut.
3. Sebagai terapi adjuvan yaitu sebagai terapi tambahan paska pembedahan dan atau
radiasi
75
4. Sebagai terapi utama yaitu digunakan tanpa radiasi dan pembedahan terutama
pada kasus kasus stadium lanjut dan pada kasus kanker jenis hematologi
(leukemia dan limfoma).
Menurut prioritas indikasinya terapi terapi kanker dapat dibagi menjadi dua
yaitu terapi utama dan terapi adjuvan (tambahan/ komplementer/ profilaksis).
Terapi utama dapat diberikan secara mandiri, namun terapi adjuvan tidak dapat
mandiri, artinya terapi adjuvan tersebut harus meyertai terapi utamanya.
Tujuannya adalah membantu terapi utama agar hasilnya lebih sempurna.
Terapi adjuvan tidak dapat diberikan begitu saja tetapi memiliki indikasi
yaitu bila setelah mendapat terapi utamanya yang maksimal ternyata :
- kankernya masih ada, dimana biopsi masih positif
- kemungkinan besar kankernya masih ada, meskipun tidak ada bukti secara
makroskopis.
- pada tumor dengan derajat keganasan tinggi ( oleh karena tingginya resiko
kekambuhan dan metastasis jauh).
Berdasarkan saat pemberiannya kemoterapi adjuvan pada tumor ganas kepala
leher dibagi menjadi :
o neoadjuvant atau induction chemotherapy
o concurrent, simultaneous atau concomitant chemoradiotherapy
o post definitive chemotherapy.
3. Operasi
Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa diseksi leher radikal
dan nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika masih ada sisa kelenjar pasca
radiasi atau adanya kekambuhan kelenjar dengan syarat bahwa tumor primer sudah
dinyatakan bersih yang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologik dan serologi. (33)
Nasofaringektomi merupakan suatu operasi paliatif yang dilakukan pada kasus-kasus
yang kambuh atau adanya residu pada nasofaring yang tidak berhasil diterapi dengan
cara lain.(33)
4. Imunoterapi
76
Dengan diketahuinya kemungkinan penyebab dari karsinoma nasofaring adalah virus
Epstein-Barr, maka pada penderita karsinoma nasofaring dapat diberikan
imunoterapi.
PROGNOSIS
Pengobatan radiasi, terutama pada kasus dini, pada umumnya akan memberikan hasil
pengobatan yang memuaskan. Namun radiasi pada kasus lanjutpun dapat memberikan hasil
pengobatan paliatif yang cukup baik sehingga diperoleh kualitas hidup pasien yang baik pula.
Secara keseluruhan, angka bertahan hidup 5 tahun adalah 45 %. Prognosis diperburuk oleh
beberapa faktor, seperti :
- Stadium yang lebih lanjut.
- Usia lebih dari 40 tahun
- Laki-laki dari pada perempuan
- Ras Cina dari pada ras kulit putih
- Adanya pembesaran kelenjar leher
- Adanya kelumpuhan saraf otak adanya kerusakan tulang tengkorak
- Adanya metastasis jauh
Tidak seperti keganasan kepala leher lainnya, KNF mempunyai resiko terjadinya
rekurensi, sehingga follow up jangka panjang diperlukan. Kekeambuhan tersering terjadi kurang
dari 5 tahun, 5 – 15 % kekambuhan sering kali terjadi antara 5-10 tahun. Sehingga pasien KNF
perlu di follow up setidaknya 10 tahun setelah terapi. Jadwal follow up yang dianjurkan sebagai
berikut :
- Dalam 3 tahun pertama : setiap 3 bulan
- Dalam 3-5 tahun : setiap 6 bulan
- Setelah 5 tahun : setiap setahun sekali untuk seumur hidup
77
PENCEGAHAN
- Pemberian vaksinasi dengan vaksin spesifik membran glikoprotein virus Epstein Barr
yang dimurnikan pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah dengan resiko
tinggi.
- Memindahkan (migrasi) penduduk dari daerah resiko tinggi ke tempat lainnya.
- Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah, mengubah cara memasak makanan
untuk mencegah akibat yang timbul dari bahan-bahan yang berbahaya.
- Penyuluhan mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat, meningkatkan keadaan
sosial ekonomi dan berbagai hal yang berkaitan dengan kemungkinan-kemungkinan
faktor penyebab.
- Melakukan tes serologik IgA anti VCA dan IgA anti EA secara massal di masa yang
akan datang bermanfaat dalam menemukan karsinoma nasofaring secara lebih dini.
3.3.2 TUMOR HIPOFARING
EPIDEMIOLOGI
Di Belanda tiap tahun terdapat sekitar 100 kasus baru karsinoma hipofaring. Dan 75%
kasus terjadi di sinus piriformis dan terutama pada laki-laki diatas 60 tahun. Di Swedia dan
Inggris lebih menonjol karsinoma postericoidal dan terutama pada wanita usia pertengahan.(35)
FAKTOR RESIKO
Tumor Hipofaring seringkali ditemukan bersamaan dengan tumor lainnya pada mulut dan
tenggorokan dan biasa dikenal dengan kanker kepala dan leher. Tumor-tumor tersebut memiliki
beberapa faktor resiko yang sama, yang diantaranya adalah sebagai berikut :
a. Tembakau and alkohol
Merokok adalah faktor resiko terpenting untuk kanker kepala dan leher (termasuk kanker
pada hipofaring). Penggunaan produk berbahan dasar tembakau akan membuat perubahan
pada sel yang terpapar.36
Resiko meningkat pada area dimana terdapat lebih banyak perokok daripada non
perokoknya. Kanker tersebut jarang ditemukan pada orang yang tidak pernah merokok.37
78
Konsumsi alkohol juga meningkatkan resiko terkena kanker. Peminum berat memiliki
resiko yang lebih tinggi beberapa kali daripada yang bukan peminum. Orang yang
mengkonsumsi keduanya, tembakau dan alkohol memiliki resiko yang paling tinggi.
Mengkombinasikan kedua kebiasaan tersebut bukan menambah resiko, tetapi malah melipat
gandakannya.37
b. Nutrisi
Nutrisi yang kurang dapat meningkatkan resiko untuk mengalami kanker kepala dan
leher. Tidak mengkonsumsi cukup makanan yang mengandung vitamin B dan vitamin A
retinoids mengambil peranan dalam perkembangan tumor. 37
c. Lemahnya sistem imun
Tumor hipofaring kebanyakan ditemukan pada orang-orang yang memiliki sistem imun
yang lemah. Sistem imun yang lemah dapat disebabkan oleh beberapa penyakit yang muncul
setelah kelahiran, seperti acquired immunodeficiency syndrome (AIDS), dan beberapa
pengobatan (seperti pengobatan yang diberikan setelah transplantasi sumsum tulang dan
transplantasi organ).37
d. Paparan di tempat kerja
Paparan yang lama dan sering terhadap debu kayu, uap cat, dan beberapa bahan kimia
yang digunakan pada pembuatan logam, minyak tanah, plastik, dan industri tekstil juga
dapat meningkatkan resiko terkena tumor hipofaring.37
e. Jenis kelamin
Tumor pada hipofaring empat kali lebih sering terjadi pada pria daripada wanita. Hal ini
karena dua faktor resiko utama, alkohol dan merokok, lebih sering dilakukan oleh pria.
Dalam beberapa tahun terakhir, kebiasaan tersebut juga menjadi biasa dikalangan wanita,
sehingga resikonya pun menjadi meningkat.37
f. Usia
Tumor pada hipofaring biasanya memerlukan waktu bertahun-tahun untuk berkembang,
sehingga sangat jarang ditemukan pada orang muda. Lebih dari setengah pasien dengan
kanker tersebut, usianya lebih dari 65 tahun ketika tumor tersebut pertama kali ditemukan.37
g. Ras
Tumor pada hipofaring lebih sering ditemukan diantara ras Afro-Amerika dan kulit putih
daripada Asia dan latin.37
79
MANIFESTASI KLINIS
Nyeri di tenggorok waktu menelan yang menyebar ke telinga homolateral, kenaikan
produksi lender di tenggorok dan suara serak. Metastasis homogen kadang-kadang terjadi tetapi
jarang dapat ditunjukkan pada pemeriksaan pertama. Penderita ini biasanya berada dalam
keadaan umum buruk, akibat intake makanan yang kurang.35
Gejala yang umum yang diperlihatkan untuk pasien kanker hipofaring adalah odinophagia,
disfagia, dan otalgia. Disfagia pada pasien ini biasanya progresif dan kesulitan menelan cairan
yang padat menunjukkan suatu lesi yang lebih lanjut. Pasien juga mengeluhkan harus berulang
kali membersihkan tenggorokan atau sensasi seperti ada benda bulat yang menghalangi. Otalgia
persisten unilateral yang pada pemeriksaan otoskopi normal dilanjutkan dengan pemeriksaan
endoskopik dari hipofaring tersebut. Dyspnea dan suara serak, ditemukan pada stadium akhir
dari penyakit, mungkin disebabkan oleh invasi laring langsung atau keterlibatan yang berulang
dari saraf laring tersebut.35
Untuk karsinoma hipofaring paling sering ditemukan di sinus pisiformis. Tumor yang
terletak dibelakang krikoid sering mengitari lumen sehingga menimbulkan keluhan disfagia.
Pada umumnya tanda utama berupa trias yang terdiri atas nyeri, disfagia, dan penurunan berat
badan. Nyeri dapat ditemukan pada lokalisasi tumornya atau sebagai nyeri alih, yakni otalgia
ipsilateral. Tumor lanjut menyusup ke laring dan dapat menimbulkan kelumpuhan pita suara
yang mengakibatkan suara parau.38
Detil riwayat penyakit, ditinjau dari sistem yang menyeluruh, dan peninjauan kembali dari
riwayat merokok dan minum sangat penting dalam memutuskan rencana perawatan yang tepat.
Banyak pasien dengan kanker hipofaring akan memiliki komorbiditas paru atau jantung, yang
dapat mempengaruhi terapi mereka. Kekurangan gizi yang signifikan juga dapat terjadi karena
diet yang tidak memadai atau konsumsi alkohol yang berlebihan.35
Sebelum melakukan pemeriksaan kepala dan leher dengan rinci, banyak informasi dapat
diperoleh dari menilai status umum pasien. Adanya suara serak, dispnea ringan, atau adanya
tanda dari stridor laring memberikan informasi mengenai keadaan jalan napas. Status gizi yang
buruk dapat dilihat dari pakaian longgar, kulit pucat, kehilangan turgor, dan kondisi umum
pada kulit dan kuku.
Pemeriksaan kepala dan leher yang menyeluruh wajib bagi semua pasien. Pemeriksaan
rongga mulut meliputi evaluasi gigi, karena banyak pasien membutuhkan perawatan gigi
80
definitif sebelum terapi radiasi. Rongga mulut juga harus diperiksa misalkan adanya leukoplakia
atau lesi primer. Evaluasi laring dan hipofaring dan kemudian dapat dilakukan dengan
pemeriksaan cermin tidak langsung(indirect mirror examination). Sinus piriformis atas, flip
aryepiglottic, dan arytenoids dapat dilihat juga. Puncak sinus pyriform, mungkin tertutup oleh
sekresi. Adanya edema dan eritema pada struktur ini menunjukkan keterlibatan tumor.
DIAGNOSIS
Jika telah ditemukan gejala dan tanda yang mengarahkan diagnose ke tumor hipofaring,
maka untuk menegakkan diagnosis perlu untuk melengkapi beberapa pemeriksaan berikut :
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap
Langkah pertama yang paling penting adalah mengumpulkan semua informasi yang
lengkap seperti keluhan, faktor resiko, riwayat keluarga, dan kondisi kesehatan pasien secara
keseluruhan.37
Pemeriksaan fisik bertujuan untuk menemukan tanda yang membuktikan adanya kanker
dan penyakit penyerta lainnya. Selain itu juga dapat menentukan apakah sudah terjadi
penyebaran atau metastase melalui pemeriksaan kelenjar limfe pada leher.
Pemeriksaan darah
Pemeriksaan darah tidak begitu membantu untuk mendiagnosa tumor hipofaring. Namun
hal ini berguna untuk menilai fungsi hati dan ginjal, selain itu juga dapat menilai kondisi
kesehatan pasien secara keseluruhan.
Pemeriksaan leher dan kepala
Siapapun yang dicurigai memiliki tumor hipofaring, maka perlu untuk melakukan
pemeriksaan fisik dengan perhatian khusus pada area kepala dan leher. Dalam hal ini, untuk
memeriksa laring dan hipofaring diperlukan cermin laring atau fiber-optik laryngoscope.
81
Gambar 3.8 Tumor hipofaring
Gambar 3.9 Tumor Hipofaring yang disertai obstruksi jalan nafas
Pasien dengan tumor hipofaring memiliki resiko tinggi untuk memiliki tumor lain di
region kepala dan leher, sehingga nasofaring, mulut, lidah dan leher harus diperhatikan
secara seksama untuk menemukan adanya bukti tumor.
Panendoscopy
Panendoskopi adalah prosedur yang mengkombinasikan laryngoscopy, esophagoscopy,
and bronchoscopy secara bersamaan. Pemeriksaan ini memungkinkan dokter untuk
memeriksa keseluruhan area yang meliputi laring dan hipofaring, termasuk esophagus dan
82
trakea. Prosedur ini biasanya dilakukan di ruang operasi dengan pasien dalam kondisi
anastesi umum.37
Jika tumor yang ditemukan cukup besar atau tampak seperti menyebar, maka perlu untuk
melihat kedalam esophagus dan trakea penitng untuk menentukan ukuran tumornya dan
seberapa jauh penyebarannya ke daerah sekitar. Dapat pula dilakukan pengambilan sebagian
jaringan tumor (biopsy) untuk pemeriksaan histopatologis.37
Pemeriksaan Radiologis
Ketika tumor terdeteksi melaui pemeriksaan, maka pemeriksaan radiologis sangat
berguna untuk menentukan ada tidaknya penyebaran tumor.
o Computed tomography scan (CT-Scan)
Tes ini dapat membantu untuk menetukan ukuran tumor, apakah tumor tumbuh
kedalam jaringan terdekat, dan apakah tumor tersebut telah menyebar ke kelenjar limfe di
leher.
o Magnetic resonance imaging
Magnetic resonance imaging (MRI) scans berbeda dengan X-ray, dimana MRI
menggunakan gelombang radio dan medan magnet yang kuat. Energi dari gelombang
radio diserap dan kemudian dilepaskan berdasarkan pola tertentu berdasarkan jaringan
dan penyakit tertentu. Komputer kemudian menerjemahkan pola tersebut menjadi gambar
bagian tubuh yang sangat detail. Tidak seperti CT-Scan yang hanya mampu melakukan
potongan cross-sectional, MRI mampu memproduksi potongan yang parallel dengan
panjang tubuh.37
MRI sering kali digunakan untuk memeriksa daerah leher. MRI sangat membantu
untuk menghasilkan gambar otak dan spinal cord dengan jelas. MRI kadang lebih
membantu ketimbang Ct-scan.
83
Gambar 4.0 Tumor Hipofaring tampak pada T1-weighted MRI
o Barium swallow
Adalah rangkaian pemeriksaan x-ray yang diambil ketika pasien meneguk cairan
berisi kontras. Barium dapat terlihat pada x-ray sebagai sesuatu yang lemapisi
tenggorokan. Hal ini berguna untuk melihat penampilan tenggorokan ketika menelan
sesuatu. Hal itu juga dapat menunjukkan bagaimana penampakan hipofaring dan serta
fungsinya dalam proses menelan.
o Positron emission tomography
Tes ini berguna untuk melihat kelompok sel tumor yang masih kecil. Juga dapat
membantu menentukan apakah tumor tersebut benign atau malignant. Seringkali
digunakan untuk melihat apakah sudah ada penyebaran ke kelenjar limfe atau kejaringan
lainnya.
KLASIFIKASI TUMOR
Klasifikasi ini didasarkan atas pembagian yang disebutkan dalam tiga lokalisasi (sinus
piriformis, daerah post krikoid, dan dinding belakang). Klasifikasi TNM 1992 dari UICC
adalah: 35,39,40,41
Tis : Tumor in situ
T1 : tumor terbatas pada salah satu bagian dari hipofaring dan ukurannya
84
kurang dari 2 cm pada sisi terbesarnya
T2 : tumor menginvasi lebih dari satu bagian dari satu bagian dari
hipofaring atau menginvasi daerah yang berdekatan dengannya, atau
berukuran 2 - 4 cm, tanpa terfiksir pada hemilaring.
T3 : ukuran tumor melebihi 4 cm, dengan atau tanpa fiksasi dari hemilaring
T4a : tumor menginvasi salah satu dari : kartilago tiroid atau krikoid, tulang
hyoid, kelenjar tiroid, esophagus, kompartement pusat jaringan lunak.
T4b : tumor menginvasi fasia prevertebral, pembungkus arteri karotis, atau
menginvasi struktur mediastinum.
N0 : tidak ada kelenjar yang mencurigakan yang palpable
N1 : satu metastasis ipsilateral < 3 cm
N2a : satu metastasis ipsilateral > 3 cm dan < 6 cm
N2b : metastasis ipsilateral multiple < 6 cm
N2c : metas2tasis bilateral atau kontralateral < 6 cm
N3 : Metastasis > 6 cm
Mx : metastasis jauh belum dapatg ditentukan
M0 : tidak ada metastasis jauh
M1 : ada metastasis jauh
Staging Tumor Hipofaring40
Stage 0 Tis N0 M0
Stage I T1 N0 M0
Stage II T2 N0 M0
Stage III T1, T2 N1 M0
T3 N0,N1 M0
Stage IV A T1, T2, T3 N2 M0
T4a N0, N1, N2 M0
Stage IV B T4b Semua N M0
Semua T N3 M0
Stage IV C Semua T Semua N M1
85
Penemuan kanker hipofaring berdasarkan lokasi :
Lokasi NO I II III IV
Sinus pysiformis 63 11 10 24 18
Dinding posterior faring 30 5 15 8 2
Area post krikoid 4 3 1
PENGOBATAN
Sejak tahun 1980 terapi tumor ganas orofaring dan hipofaring telah berkembang dengan
baik. Selain terapi penyinaran juga sudah dimulai terapi bedah dan jika diperlukan dilakukan
tindakan rekontruksi.42
Pengobatan pasien dengan kanker hipofaring sangat kompleks dan memerlukan
pertimbangan beberapa faktor. Beberapa faktor, termasuk sejauh mana penyakit primer dan
status kelenjar getah bening leher serta status generalis pasien, pemeriksaan paru, dan
komorbiditas, harus dipertimbangkan. Pengobatan untuk stadium awal (T1 dan T2) dari semua
subsites dari hipofaring, terapi radiasi definitif adalah pilihan pengobatan yang utama. Operasi
laring juga dapat dipertimbangkan untuk pasien yang mempunyai indikasi untuk dilakukan
operasi . Reseksi tumor yang adekuat, bagaimanapun, tidak boleh terganggu oleh prosedur yang
mencoba untuk mempertahankan laring. Untuk kanker hipofaring stadium lanjut (T3 dan T4),
reseksi pembedahan diikuti dengan terapi radiasi pascaoperasi tetap menjadi pilihan terapi
standar. 35
Terapi bedah dilakukan terhadap tumor-tumor pada semua stadium yang belum mempunyai
metastasis ke leher atau metastasis jauh. Pada tumor yang telah memberikan metastasis ke leher,
sebelum tindakan operasi tumor primer dilakukan tindakan diseksi leher radikal dan dilanjutkan
dengan penyinaran. Untuk tumor yang sudah bermetastasis jauh hanya diberikan terapi
sitostatika.42
Tumor N0 M0 N+ M0 N+ M+
T1 Operasi + sinar RND+operasi+sinar(+sitostatika) Sinar+sitostatika
T2 Operasi + sinar RND+operasi+sinar(+sitostatika) Sinar+sitostatika
T3 Operasi + sinar RND+operasi+sinar(+sitostatika) Sinar+sitostatika
86
(+sitostatika)
T4 Operasi + sinar
(+rekonstruksi)
RND+operasi+sinar(+rekontruksi
)
Sinar+sitostatika
PROGNOSIS
Sebagai kelompok, tingkat kelangsungan hidup keseluruhan penderita kanker hipofaring
berkisar dari 35% menjadi 40% Kraus dkk. secara retrospektif ditinjau 132 pasien yang
menjalani operasi dan terapi pasca operasi untuk kanker hipofaring dan dilaporkan kelangsungan
hidup secara keseluruhan dan bebas penyakit 5 tahun 30% dan 41%, masing-masing. Kim dkk.
menemukan suatu perbandingan dari 5 tahun kelangsungan hidup penyakit dan bebas dari
penyakit tersebut sebanyak 46,8% dan 47,4% masing-masing, dalam tinjauan retrospektif
mereka dari 73 pasien dengan kanker hipofaring. Adanya metastasis kelenjar getah bening
regional, bagaimanapun, akan memiliki pengaruh negatif yang signifikan terhadap angka-angka
ini. Kraus et al. melaporkan bahwa kelangsungan hidup pasien selama 5 tahun adalah 54% pada
pasien dengan N1 N0 atau penyakit, tetapi menurun menjadi 20% pada pasien dengan penyakit
N2 atau N3.35
KOMPLIKASI
Secara umum, komplikasi yang terkait dengan operasi besar di bagian lain dari kanker
kepala dan leher juga berlaku untuk pasca operasi laryngopharyngectomy. Kebanyakan
komplikasi awal reseksi tumor hipofaring adalah hasil dari kebocoran di lokasi penutupan faring.
Status gizi preoperatif pasien, riwayat terapi radiasi sebelumnya, serta jenis pilihan rekonstruksi
semua dapat mempengaruhi perkembangan fistula faring. Faktor lain seperti penutupan yang
ketat yang disebabkan oleh mukosa yang tersedia tidak memadai atau adanya tumor di margin
reseksi juga akan mengarah pada pengembangan fistula faring. Infeksi, perdarahan, serta tidak
terhentinya luka kulit juga umum pada pasien ini berisiko tinggi.35
Obstruksi airway biasanya menjadi perhatian di awal periode pasca operasi pasien yang
trakeostomi. Perawatan yang baik dan suction yang rajin di tabung trakeostomi dapat mencegah
masalah ini. Komplikasi berikutnya yang dapat terjadi setelah operasi kanker hipofaring adalah
aspirasi, yang jika parah, dapat menyebabkan pneumonia. Rehabilitasi menelan di bawah
pengawasan fisioterapi adalah wajib bagi pasien. Kesulitan menelan juga dapat disebabkan dari
87
stenosis setelah rekonstruksi circumferential dan mungkin memerlukan pelebaran ulang pada
saat rawat jalan.35
3.3.3 TUMOR LARING
EPIDEMIOLOGI (43)
Kekerapan tumor ganas laring di beberapa tempat di dunia ini berbeda-beda. Di Amerika
Serikat pada tahun 1973 – 1976 dilaporkan 8,5 kasus karsinoma laring per 100.000 penduduk
laki-laki dan 1.3 kasus karsinoma laring per 100.000 penduduk perempuan. Pada akhir-akhir ini
tercatat insiden tumor ganas laring pada wanita meningkat. Ini dihubungkan dengan
meningkatnya jumlah wanita yang merokok.
Di RSUP H. Adam Malik Medan, Februari 1995 – Juni 2003 dijumpai 97 kasus karsinoma laring
dengan perbandingan laki dan perempuan 8 : 1. Usia penderita berkisar antara 30 sampai 79
tahun. Dari Februari 1995 – Februari 2000, 28 orang diantaranya telah dilakukan operasi
laringektomi total.
ETIOLOGI (43)
Penyebab pasti sampai saat ini belum diketahui, namun didapatkan beberapa hal yang
berhubungan erat dengan terjadinya keganasan laring yaitu : rokok, alkohol, sinar radio aktif,
polusi udara, radiasi leher dan asbestosis. Ada peningkatan resiko terjadinya tumor ganas laring
pada pekerja-pekerja yang terpapar dengan debu kayu.
HISTOPATOLOGI (43)
Karsinoma sel skuamosa meliputi 95 – 98% dari semua tumor ganas laring, dengan
derajat difrensiasi yang berbeda-beda. Jenis lain yang jarang kita jumpai adalah karsinoma
anaplastik, pseudosarkoma, adenokarsinoma dan sarkoma.
Karsinoma Verukosa. Adalah satu tumor yang secara histologis kelihatannya jinak, akan
tetapi klinis ganas. Insidennya 1 – 2% dari seluruh tumor ganas laring, lebih banyak mengenai
pria dari wanita dengan perbandingan 3 : 1. Tumor tumbuh lambat tetapi dapat membesar
sehingga dapat menimbulkan kerusakan lokal yang luas. Tidak terjadi metastase regional atau
jauh. Pengobatannya dengan operasi, radioterapi tidak efektif dan merupakan kontraindikasi.
Prognosanya sangat baik.
Adenokarsinoma. Angka insidennya 1% dari seluruh tumor ganas laring. Sering dari
kelenjar mukus supraglotis dan subglotis dan tidak pernah dari glottis. Sering bermetastase ke
88
paru-paru dan hepar. two years survival rate-nya sangat rendah. Terapi yang dianjurkan adalah
reseksi radikal dengan diseksi kelenjar limfe regional dan radiasi pasca operasi.
Kondrosarkoma. Adalah tumor ganas yang berasal dari tulang rawan krikoid 70%, tiroid
20% dan aritenoid 10%. Sering pada laki-laki 40-60 tahun. Terapi yang dianjurkan adalah
laringektomi total.
KLASIFIKASI (43)
Berdasarkan Union International Centre le Cancer (UICC) 1982, klasifikasi dan stadium
tumor ganas laring terbagi atas :
1. Supraglotis (30-35%)
2. Glotis (60-65%)
3. Subglotis (1%)
Yang termasuk supraglotis adalah : permukaan posterior epiglotis yang terletak di sekitar
os hioid, lipatan ariepiglotik, aritenoid, epiglotis yang terletak di bawah os hioid, pita suara
palsu, ventrikel. Yang termasuk glottis adalah : pita suara asli, komisura anterior dan komisura
posterior. Yang termasuk subglotis adalah : dinding subglotis.
Klasifikasi dan stadium tumor berdasarkan UICC :
1. Tumor primer (T)
Supra glottis :
T is: tumor insitu
T 0 : tidak jelas adanya tumor primer l
T 1 : tumor terbatas di supra glotis dengan pergerakan normal
T 1a : tumor terbatas pada permukaan laring epiglotis, plika ariepiglotika, ventrikel
atau pita suara palsu satu sisi.
T 1b : tumor telah mengenai epiglotis dan meluas ke rongga ventrikel atau pita suara
palsu
T 2 : tumor telah meluas ke glotis tanpa fiksasi
T 3 : tumor terbatas pada laring dan sudah terfiksir atau meluas ke daerah krikoid bagian
belakang, dinding medial dari sinus piriformis, dan arah rongga preepiglotis.
T 4 : tumor dengan penyebaran langsung sampai ke luar laring. Menginfiltrasi orofaring
jaringan lunak pada leher atau sudah merusak tulang rawan tiroid.
89
Glotis :
T is : tumor insitu
T 0 : tak jelas adanya tumor primer
T 1 : tumor terbatas pada pita suara (termasuk komisura anterior dan posterior) dengan
pergerakan normal
T 1a : tumor terbatas pada satu pita suara asli
T 1b : tumor mengenai kedua pita suara
T 2 : tumor terbatas di laring dengan perluasan daerah supra glotis maupun subglotis dengan
pergerakan pita suara normal atau terganggu.
T 3 : tumor terbatas pada laring dengan fiksasi dari satu atau ke dua pita suara
T 4 : tumor dengan perluasan ke luar laring
Sub glotis :
T is : tumor insitu
T 0 : tak jelas adanya tumor primer
T 1 : tumor terbatas pada subglotis
T 1a : tumor terbatas pada satu sisi
T 1b : tumor telah mengenai kedua sisi
T 2 : tumor terbatas di laring dengan perluasan pada satu atau kedua pita suara asli dengan
pergerakan normal atau terganggu
T 3 : tumor terbatas pada laring dengan fiksasi satu atau kedua pita suara
T 4 : tumor dengan kerusakan tulang rawan dan/atau meluas keluar laring.
2. Pembesaran kelenjar getah bening leher (N)
Nx : kelenjar limfe tidak teraba
N0 : secara klinis kelenjar tidak teraba
N1 : secara klinis teraba satu kelenjar limfa dengan ukuran diameter 3cm homolateral
N2 : Teraba kelenjar limfa tunggal, ipsilateral dengan ukuran diameter 3-6cm
N2a : satu kelenjar limfa ipsilateral, diameter lebih dari 3cm tapi tidak lebih dari 6cm
N2b : multipel kelenjar limfa ipsilateral, diameter tidak lebih dari 6cm
N2c : metastasisbilateral atau kontralateral, diameter tidak lebih dari 6cm
N3 : metastasis kelenjar limfa lebih dari 6 cm
90
3. Metastasis jauh (M)
Mx : tidak terdapat/terdeteksi
M0 : tidak ada metastasis jauh
M1 : terdapat metastasis jauh
4. Stadium
STADIUM TUMOR PRIMER KEL.LIMFA METASTASIS
Stadium 1 T1 N0 N0
Stadium 2 T2 N0 N0
Stadium 3 T3 N0 M0
T1/T2/T3 N1 M0
Stadium 4 T4 N0/N1 M0
T1/T2/T3/T4 N2/N3
T1/T2//T3/T4 N1/N2/N3 M1
GEJALA DAN TANDA (43)(44)
Gejala dan tanda yang sering dijumpai adalah :
Suara serak
Gejala utama karsinoma laring. Merupakan gejala paling dini tumor pita suara. Hal ini
disebabkan karena ganguan fungsi fonasi laring. Kualitas nada sangat dipengaruhi oleh
besar kecilnya celah glotik, besar pita suara, ketajaman tepi pita suara, kecepatan getaran,
dan ketegangan pita suara. Pada tumor ganas laring, pita suara gagal berfungsi secara
baik disebabkan ketidakteraturan pita suara, oklusi atau penyempitan celah glotik,
terserangnya otot-otot vokalis, sendi dan ligamen krikoaritenoid, dan kadang-kadang
menyerang saraf. Serak menyebabkan kualitas suara menjadi kasar, menganggu,
sumbang, dan nadanya lebih rendah dari biasanya. Kadang bisa afoni karena nyeri,
sumbatan jalan nafas, atau paralisis komplit.
Hubungan antara suara serak dengan tumor laring tergantung dari letak tumornya.
Apabila tumbuh di pita suara asli, maka serak merupakan gejala dini dan menetap. Pada
tumor subglotik dan supraglotik, serak dapat merupakan gejala akhir atau tidak muncul
sama sekali.
Sesak nafas dan stridor
91
Terjadi karena adanya sumbatan jalan nafas oleh massa tumor, penumpukan kotoran atau
sekret, maupun fiksasi pita suara. Adanya stridor dan dispnea adalah tanda prognosis
kurang baik.
Rasa nyeri di tenggorok
Keluhan bervariasi dari rasa goresan sampai rasa nyeri yang tajam.
Disfagia
Merupakan ciri khas tumor pangkal lidah, supraglotik, hipofaring, hipofaring, dan sinus
piriformis. Keluhan ini merupakan keluhan yang paling sering pada tumor ganas
postkrikoid. Adanya odinofagi menandakan adanya tumor ganas lanjut yang mengenai
struktur ekstra laring.
Batuk dan haemoptisis
Batuk jarang pada tumor ganas glotik, biasanya timbul dengan tertekannya hipofaring
disertai sekret yang mengalir ke dalam laring. Sedangkan haemoptisis sering pada tumor
ganas glotik dan supraglotik.
Pembengkakan pada leher
Biasanya dipertimbangkan sebagai metastasis tumor ganas yang menu jukan tumor pada
stadium lanjut.
Nyeri alih telinga ipsilateral, halitosis, penurunan berat badan
Perluasan tumor ke luar laring atau metastasis jauh.
Nyeri tekan laring
Gejala lanjut yang disebabkan oleh komplikasi supurasi tumor yang menyerang kartilago
tiroid dan perikondrium
DIAGNOSIS (41)(50)
Diagnosis ditegakkan berdasarkan :
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan THT rutin
3. lanringoskopi indirek dengan kaca laring
4. Laringoskopi direk dengan menggunakan laringoskop
5. Radiologi foto polos leher dan dada
6. Pemeriksaan radiologi khusus : politomografi, CT-Scan, MRI
7. Pemeriksaan hispatologi dari biopsi laring sebagai diagnosa pasti
92
DIAGNOSA BANDING
1. TBC laring
2. Sifilis laring
3. Tumor jinak laring.
4. Penyakit kronis laring
PENGOBATAN (46,47,43)
Secara umum ada 3 jenis penanggulangan karsinoma laring yaitu pembedahan, radiasi
dan sitostatika, ataupun kombinasi.
I. PEMBEDAHAN
Tindakan operasi untuk keganasan laring terdiri dari :
A. LARINGEKTOMI
1. Laringektomi parsial
Laringektomi parsial diindikasikan untuk karsinoma laring stadium I yang tidak
memungkinkan dilakukan radiasi, dan tumor stadium II.
2. Laringektomi total
Adalah tindakan pengangkatan seluruh struktur laring mulai dari batas atas (epiglotis
dan os hioid) sampai batas bawah cincin trakea.
B. DISEKSI LEHER RADIKAL
Tidak dilakukan pada tumor glotis stadium dini (T1 – T2) karena kemungkinan
metastase ke kelenjar limfe leher sangat rendah. Sedangkan tumor supraglotis, subglotis dan
tumor glotis stadium lanjut sering kali mengadakan metastase ke kelenjar limfe leher
sehingga perlu dilakukan tindakan diseksi leher. Pembedahan ini tidak disarankan bila telah
terdapat metastase jauh.
II. RADIOTERAPI
Radioterapi digunakan untuk mengobati tumor glotis dan supraglotis T1 dan T2 dengan
hasil yang baik (angka kesembuhannya 90%). Keuntungan dengan cara ini adalah laring tidak
93
cedera sehingga suara masih dapat dipertahankan. Dosis yang dianjurkan adalah 200 rad perhari
sampai dosis total 6000 – 7000 rad.
Radioterapi dengan dosis menengah telah pula dilakukan oleh Ogura, Som, Wang, dkk,
untuk tumor-tumor tertentu. Konsepnya adalah untuk memperoleh kerusakan maksimal dari
tumor tanpa kerusakan yang tidak dapat disembuhkan pada jaringan yang melapisinya. Wang
dan Schulz memberikan 4500–5000 rad selama 4–6 minggu diikuti dengan laringektomi total.
III. KEMOTERAPI
Diberikan pada tumor stadium lanjut, sebagai terapi adjuvant ataupun paliativ. Obat yang
diberikan adalah cisplatinum 80–120 mg/m2 dan 5 FU 800–1000 mg/m2.
IV. REHABILITASI
Rehabilitasi setelah operasi sangat penting karena telah diketahui bahwa tumor ganas
laring yang diterapi dengan seksama memiliki prognosis yang baik. rehabilitasi mencakup :
“Vocal Rehabilitation, Vocational Rehabilitation dan Social Rehabilitation”.
Laringektomi yang dikerjakan untuk mengobati karsinoma laring menyebabkan cacat
pada pasien. Dengan dilakukannya pengangkatan laring beserta pita suara yang berada di
dalamnya, maka pasien menjadi afonia dan bernafas melalui stoma permanen di leher.
Rehabilitasi suara dapat dilakukan dengan pertolongan alat bantu suara, yakni semacam
vibrator yang ditempelkan di daerah submandibula, ataupun dengan suara yang dihasilkan dari
esofagus melalui proses belajar.
Banyak faktor yang mempengaruhi suksesnya proses rehabilitasi suara ini. Tetapi faktor
fisik dan psiko-sosial merupakan 2 faktor utama. Mungkin dengan adanya wadah perkumpulan
guna menghimpun pasien-pasien tuna laring guna menyokong aspek psikis dalam lingkup yang
luas dari pasien, baik sebelum maupun sesudah operasi. (45)
PROGNOSIS
Tergantung dari stadium tumor, pilihan pengobatan, lokasi tumor dan kecakapan tenaga
ahli. Secara umum dikatakan five years survival pada karsinoma laring stadium I 90 – 98%
stadium II 75 – 85%, stadium III 60 – 70% dan stadium IV 40 – 50%. Adanya metastase ke
kelenjar limfe regional akan menurunkan 5 year survival rate sebesar 50%.
94
3.3.4 TUMOR TONSIL
Epidemiologi
Keganasan tonsil merupakan keganasan di Amerika Serikat dengan angka lebih dari
0,5% dari semua jenis keganasan setiap tahunnya. Lebih dari 8000 karsinoma orofaringeal
didiagnosis di Amerika Serikat setiap tahunnya.Sebuah badan patologi di Amerika
mempunyai data dari tahun 1945 – 1976 ada sekitar 70% lebih dari keganasan di wilayah ini
adalah karsinoma sel skuamosa.Karsinoma sel skuamosa menyerang 3 – 4 kali lebih sering
pada laki – laki dibandingkan wanita dan sebagian besar berkembang dalam dekade kelima
kehidupan. Limfoma tonsil adalah keganasan yang paling sering terjadi nomer dua.(48)
Etiologi
Menurut National Cancer Institute, faktor risiko karsinoma sel skuamosa termasuk
merokok dan penyalahgunaan etanol. Baru – baru ini ada indikasi bahwa etiologi virus
juga harus dipertimbangkan. Meskipun virus Epstein – Barr( EBV ) merupakan
pertimbangan utama pada karsinoma nasofaring, Human Papilloma Virus ( HPV ) telah
terbukti sebagai ancaman.
Beberapa studi telah mengidentifikasi indikasi kehadiran HPV pada sekitar 60% dari
karsinoma tonsil.
Bila tonsil termasuk dalam studi wilayah orofaring, maka faktor risiko meliputi :
- Diet rendah buah dan sayuran
- Infeksi HPV
- Merokok
- Alkohol2
HPV adalah virus DNA rantai ganda yang menginfeksi sel – sel basal epitel dan
dapat ditemukan sampai dengan 36% dari karsinoma sel skuamosa orofaring.Meskipun lebih
dari 100 strain yang telah diisolasi, HPV tipe 16 dan 18 paling sering dikaitkan dengan
kanker. Kode genom virus untuk oncoproteins E6 dan E7, yang telah meningkatkan aktivitas
di strain yang bersifat onkogenik.Oncoprotein E6 menyebabkan degradasi tumor
suppressor p53. Oncoprotein E7 merupakan tumor suppressor retinoblastoma ( Rb ).
Hilangnya pRB menyebakan akumulasi p16, yang biasanya akan menghambat
perkembangan siklus sel melalui siklin D1 dan CDK4 / CDK6. Karena akumulasi ini, p16
dapat digunakan sebagai penanda aktivitas HPV.49
95
Patofisiologi
Karsinoma sel skuamosa tonsil mungkin terbatas pada fosa tonsil, tetapi perluasan
pada ke struktur yang berdekatan sering terjadi.Karsinoma umumnya menyebar sepanjang
sulkus glosotonsilar melibatkan dasar lidah.Selain itu, penyebaran sering melibatkan
palatum mole atau nasofaring.Fosa tonsil dibatasi oleh otot superior konstriktor yang
mungkin berisi penyebaran karsinoma.
Namun ketika otot konstriktor dilampaui, ini menjadi keuntungan tumor untuk
mengakses ke ruang parafaring.Ini melibatkan otot – otot pterigoid atau
mandibular.Penyebaran ke arah superior dari ruang parafaring bisa melibatkan dasar
tengkorak dan penyebaran ke arah inferior bisa melibatkan leher bagian lateral.Akhirnya
keterlibatan yang luas dalam ruang parafaring mungkin melibatkan arteri karotis.
Metastase ke daerah limfatik sering terjadi.Metastase ke leher sebanyak kurang lebih
65%.Karsinoma sel skuamosa tonsil juga dapat bermetastase ke kelenjar getah
beningretrofaring.Metastase jauh dari karsinoma sel skuamosa tonsil terjadi sekitar 15 –
30%. Lokasi yang paling umum adalah paru – paru, diikuti oleh hati dan kemudian tulang.50
Tumor Tonsil Ganas
1) Karsinoma Sel Skuamosa Tonsil
Karsinoma sel skuamosa tonsil menunjukkan pembesaran dan ulserasi dari tonsil,
tapi bisa juga tidak selalu disertai dengan ulserasi. Tampilannya hampir sama dengan limfoma
dan hanya dapat dibedakan dengan pemeriksaan histologis. Sekitar 90% kanker tonsil adalah
karsinoma sel skuamosa. Tumor ini relatif sering terjadi terutama pada usia 50 dan 70.
Perbandingan laki – laki dan perempuan adalah 3 – 4 : 1 dan sering dikaitkan dengan perokok
dan peminum alcohol. 60% pasien datang dengan metastase ke serviks bilateral sebanyak
15%, sedangkan metastase jauh ditemukan sekitar 7%.48
96
Gambar 4.1.Karsinoma
Sel Skuamosa
a) Etiologi
Menurut National Cancer Institute, faktor risiko karsinoma sel
skuamosa termasuk merokok dan penyalahgunaan etanol. Baru – baru ini
ada indikasi bahwa etiologi virus juga harus dipertimbangkan. Meskipun
virus Epstein – Barr( EBV ) merupakan pertimbangan utama pada
karsinoma nasofaring, Human Papilloma Virus ( HPV ) telah terbukti
sebagai ancaman.
HPV adalah virus DNA rantai ganda yang menginfeksi sel – sel
basal epitel dan dapat ditemukan sampai dengan 36% dari karsinoma sel
skuamosa orofaring.(51)
b) Gambaran histologis
Karsinoma sel skuamosa tonsil palatina adalah sel dengan diferensiasi buruk.
Varian berikut meskipun pada dasarnya adalah karsinoma sel skuamosa, di daerah ini
telah dijelaskan yaitu carcinomabasosquamos Nonkeratinizing carcinoma ( sel
transisional atau tipe sinonasal ), dan yang lainnya yaitu undifferentiated atau
lymphoepithelioma type.
c) Manifestasi klinis
Pasien dengan karsinoma tonsil mungkin tampak dengan massa pada leher.
Hal ini karena karsinoma muncul jauh di dalam kriptus.Sebuah karsinoma sel
skuamosa mungkin berasal dari 1 atau lebih lokasi dari tonsil itu sendiri.Selain itu
tonsil juga dapat membesar dan menonjol ke dalam rongga mulut yang
97
menjadikan tanda pada penderita. Tonsil kaya akan kelenjar limfoid berlimpah yang
membantu akses neoplasma dan bermetastase ke kelenjar leher. Semua faktor itu
menjelaskan mengapa pasien datang dengan massa leher.
Pembesaran kelenjar getah bening dengan tumor primer yang tersembunyi
harus segera diperiksa lebih lanjut pada tonsilnya. Karsinoma sel skuamosa primer
tersembunyi yang bermanifestasi sebagai limfadenopati leher adalah masalah umum
yang dihadapi oleh ahli THT.
Sakit tenggorokan, sakit telinga, sensasi benda asing di tenggorokan dan
perdarahan semuanya mungkin terjadi. trismus adalah sebuah tanda yang
mengindikasikan keterlibatan parafaring. Jika massa leher tidak jelas pada
pemeriksaan biasa, palpasi mungkin diarahkan ke bagian belakang yang dapat
menunjukkan adanya limfadenopati servikal.
Jika tumor telah melibatkan dasar lidah, kelenjar kontra lateral mungkin sudah
terlibat. Tumor tonsil primer dapat tumbuh sepenuhnya di bawah permukaan. Oleh
karena itu, dokter harus dapat melihat apapun yang mencurigakan atau mungkin hanya
melihat sedikit peningkatan ukuran tonsil .
Tanda dan gejala berupa penurunan berat badan dan kelelahan bukan
merupakan hal yang umum pada tumor ini.(48)
d) Pemeriksaan penunjang
a. Laboratorium
Tes fungsi hati, diperlukan pengetahuan tentang fungsi hati karena untuk
mengetahui riwayat diet pasien dan penyalahgunaan etanol yang sering
menyebabkan fungsi hati. Selain itu untuk mengetahui metabolisme hepar
terhadap pemakaian agen kemoterapi atau obat lain sebelumnya dan terakhir
metastase ke hati yang selalu mungkin terjadi.
Tes fungsi paru diperlukan pada setiap bedah kepala dan leher yang dapat
membawa risiko tambahan komplikasi pernapasan perioperative dan pasca
operatif.
Tes fungsi ginjal ketika akan memulai kemoterapi, tes fungsi ginjal
diperlukan untuk memastikan apakah pasien dapat menghilangkan agen yang
ditangani oleh ginjal.
98
Pembekuan dan koagulasi ( termasuk jumlah trombosit dan lain – lain ).
Kepala dan leher adalah salah satu daerah yang paling kaya akan vaskularisasi
dalam tubuh manusia. Perdarahan adalah salah satu masalah besar dalam operasi
tonsil
b. Radiologi
CT scan leher dengan atau tanpa kontras diperlukan untuk mengevaluasi
metastasis dan untuk menilai sejauh mana perkembangan tumor.Hal ini penting
dalam staging tumor tonsil.
MRI juga sangat berguna untuk menilai ukuran tumor dan invasi jaringan
lunak. CT scan dada adalah yang paling sensitive untuk mengungkapkan metastasi
ke paru – paru dan karenanya harus menjadi modalitas pilihan, setidaknya pada
pasien berisiko tinggi ( stadium 4, T4, N2 atau N3 ataupun tumor yang timbul dari
orofaring, laring, hipofaring, atau supraglotis.52
e) Prosedur diagnostik
Biopsi adalahsatu – satunya alat untuk mendiagnosis keganasan tonsil berupa
limfoma, karena itu hali patologi dan timnya harus segera siap untuk menangani
jaringan dengan tapat. Beberapa jaringan segar mungkin diperlukan untuk studi, yang
tergantung waktu dan memerlukan penanganan segera. Beberapa jaringan harus
dibekukan dalam nitrogen cair. Pertimbangan lain yang sangat penting adalah
kenyataan bahwa karsinoma sel skuamosa biasanya timbul jauh di dalam kripta. Hal
ini memerlukan ahli bedah untuk mengambil biopsy yang mendalam sehingga
neoplasma tidak meleset.Mengingat kecenderungan lesi ini bisa menimbulkan
perdarahan yang merupakan prosedur yang rumit maka ahli bedah harus siap untuk
yang hal yang tak terduga.
Panendoskopi, endoskopi operatif memungkinkan ahli bedah untuk menilai
sepenuhnya tentang tumor.Hal ini sangat membantu ketika memilih antara pendekatan
bedah terbuka dan endoskopi.Bronkoskopi dan esofagoskopi digunakan untuk menilai
tumor primer yang mungkin hadir pada saat diagnosis.
99
Tes HPV merupakan rekomendasi National Comprehensive Cancer Network
( NCCN ) sebagai faktor prognosis. Quantitative reverse transcriptase pcr ( QRT –
PCR ) memungkinkan perhitungan jumlah relatif dari mRNA yang ada pada sampel.
HPV – 16 ini paling sering digunakan untuk memeriksa karsinoma orofaring.Hal ini
bersifar sensitif dan spesifik. P-16 dapat diuji sebagai biomarker untuk aktivitas HPV
E7.48
f) Staging
Klasifikasi tumor ganas leher dan kepala pertama kali disampaikan oleh pierre
denoy dari prancis tahun 1953, terdapat kesepakatan pertama kalinya pada Internatinal
Congress of Radiology tetang perluasan tumor, dalam sistim TNM dan disetujui
sebagai sistim dari Union International Centre le Cancer (UICC). Sehingga pada
tahun 1954, terbentuklah TNM Commite untuk pertama kalinya. Disamping itu di
Amerika sendiri diterima suatu sistim TNM lain yang disebut The AmaricanJoint
Committee On Cancer (AJCC) yang dikeluarkan pertama kali tahun 1959.
Sistem TNM ini digunakan untuk menentukan stadium tumor ganas sebelum
dilakukan terapi. Sistim TNM ini ditujukan untuk mengetahui perluasan tumor secara
anatomi dengan pengertian :
T : Perluasan untuk tumor primer
N : Status terdapatnya kelenjar limfe regional
M : Ada atau tidak adanya metastasis jauh
Klasifikasi UICC dan AJCC ini pada umumnya bersifat sama untuk seluruh
keganasan, kecuali untuk tumor ganas kelenjar liur dan tiroid. Klasifikasi stadium
terdapat sedikit kelemahan bagi tumor ganas asalnya, misalnya perluasan tumor ganas
dari rongga mulut ke orofaring atau sebaliknya, juga tumor ganas laring yang meluas
ke hipofaring atau sebaliknya.53
Tabel 4. Klasifikasi klinis TNM (1992)
T (tumor primer)
Tx
To
Tumor primer tidak dapat ditemukan
Tidak ada tumor primer
100
Tis
T1,T2,T3,T4
Karsinoma in situ
Besarnya tumor primer
N (kelenjar limfa regional)
Nx
No
N1,N2,N3
Tidak menemukan kelenjar limfe regional
Tidak ada metastasis kelenjar lemfe regional
Besarnya kelenjarlimfe regional
M (metastasi jauh)
Mx
Mo
M1
Tidak ditemukan metastasis jauh
Tidak ada metastasis jauh
Terdapat metastasis jauh
Tabel 5. Klasifikasi kelenjar limfe regional (UICC)
Nx Kelenjar limfe regional tidak ditemukan
No Tidak ada metastasis kelenjar limfe regional
N1 Metastasis pada satu sisi, tunggal, ukuran < 3 cm
N2
N2a
N2b
N2c
Metastasis pada satu sisi, tunggal, ukran >3cm - < 6cm, multipel,
pada satu sisi dan tidak >6cm atau bilateral /kontralateral juga
tidak lebih dari 6cm.
Metastasis pada satu sisi, tunggal, >3cm - <6cm
Metastasis pada satu sisi, multipel tidak lebih dari 6 cm
Metastasis bilateral/kontralateral, tidak lebih dari 6cm
N3 Metastasis ukuran lebih dari 6cm
Tabel 6.Stadium tumor ganas leher dan kepala (UICC & AJCC) kecuali tumor kelenjar
liur dan tiroid.
Stadium I T1 N0 M0
Stadium II T2 N0 M0
Stadium III T3 N0 M0
101
T1 atau T2 atau T3 N1 M0
Stadium IV T4 N0 atau N1 M0
Tiap T N2 atau N3 M0
Tiap T tiap N M1
2) Limfoma Tonsil
Limfoma sulit dibedakan dengan “ undifferentiated “ karsinoma dan limfoma
marker diperlukan untuk menegakkan diagnosis. Studi tersebut memerlukan sejumlah
besar jaringan yang dikirim dalam keadaan segar ( dalamnormal saline, bukan dalam
larutan formaldehida ) kepada ahli patologi. Ini merupakan alasan mengapa setelah
tonsilektomi lebih baik di periksa jaringannya.
Limfoma merupakan jenis yang paling umum kedua pada keganasan tonsil.
Limfoma tonsil biasanya ditandai dengan massa submukosa dan pembesaran asimetris
pada salah satu tonsil. Bila terdapat limfadenopati , maka pembesaran kelenjar getah
bening diamati pada sisi yang sama.
a) Definisi
Limfoma maligna adalah kelompok neoplasma maligna/ganas yang muncul
dalam kelenjar limfe atau jaringan limfoid ekstranodal yang ditandai dengan
proliferasi atau akumulasi sel-sel asli jaringan limfoid (limfosit, histiosit dengan pra-
sel dan derivatnya).
b) Epidemiologi
Di negara maju, limfoma relatif jarang, yaitu kira-kira 2% dari jumlah kanker
yang ada.Akan tetapi, menurut laporan berbagai sentra patologi di Indonesia, tumor ini
merupakan terbanyak setelah kanker serviks uteri, payudara, dan kulit. Limfoma
hodgkin sering pada Usia 20-40 tahun dan sesudah 50 tahun sedangkan limfoma non-
hodgin sering pada usia tua dengan puncak di atas 60 tahun.
c) Etiologi
102
Limfoma merupakan golongan gangguan limfoproliferatif.Penyebabnya tidak
diketahui, tetapi dikaitkan dengan virus, khususnya virus Epstein Barr yang ditemukan
pada limfoma Burkitt.Adanya peningkatan insidens penderita limfoma Hodgkin dan
non-Hodgkin pada kelompok penderita AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome)
pengidap virus HIV.
d) Klasifikasi
Dua kategori besar limfoma dilakukan atas dasar histopatologi mikroskopik
dari kelenjar limfe yang terlibat.Kategori tersebut adalah limfoma Hodgkin dan non-
Hodgkin.
e) Gejala Klinis
(1) Pembengkakan kelenjar getah bening
Pada limfoma Hodgkin, 80% terdapat pada kelenjar getah bening leher,
kelenjar ini multiple, tidak nyeri dan bebas. Pada limfoma non-Hodgkin, dapat
tumbuh pada kelompok kelenjar getah bening lain misalnya pada traktus
digestivus atau pada organ-organ parenkim.
(2)Demam
(3)Gatal-gatal
(4) Keringat malam
(5) Berat badan menurun lebih dari 10% tanpa diketahui
penyebabnya.
(6) Nafsu makan menurun.
(7) Daya kerja menurun
(8) Terkadang disertai sesak nafas
(9) Nyeri setelah mendapat intake alkohol (15-20%)
(10) Pola perluasan limfoma Hodgkin sistematis secara
sentripetal dan relatif lebih lambat, sedangkan pola perluasan pada
limfoma non-Hodgkin tidak sistematis dan relatif lebih cepat bermetastasis
ke tempat yang jauh.
103
f) Diagnosis
Palpasi pembesaran kelenjar getah bening di leher terutama supraklavikuler,
aksila dan inguinal.Mungkin lien dan hati teraba membesar.Pemeriksaan
laboratorium.Pemeriksaan darah yaitu hemogram dan trombosit. LED sering meninggi
dan kemungkinan ada kaitannya dengan prognosis.Keterlibatan hati dapat diketahui
dari meningkatnya alkali fosfatase, SGOT, dan SGPT.
Gambar 4.2. Sel Reed Sternberg
Biopsi aspirasi jarum halus (BAJAH/ FNAB), Ciri khas sitologi biopsi
aspirasi limfoma Hodgkin yaitu populasi limfosit, pleomorfik dan adanya sel Reed-
Sternberg.Apabila sel Reed-Sternberg sulit ditemukan adanya sel Hodgkin berinti
satu atau dua yang berukuran besar dapat dipertimbangkan sebagai parameter
sitologi Limfoma Hodgkin.
104
Penyulit diagnosis sitologi biopsi aspirasi pada Limfoma non-Hodgkin
adalah kurang sensitif dalam membedakan Limfoma non-Hodgkin folikel dan
difus.Pada Limfoma non-Hodgkin yang hanya mempunyai subtipe difus, sitologi,
biopsi aspirasi dapat dipergunakan sebagai diagnosis definitif.
Apabila ditemukan juga sitologi negatif dan tidak sesuai dengan gambaran
klinis, maka pilihan terbaik adalah biopsi insisi atau eksisi.
Histopatologi biopsi tumor sangat penting, selain untuk diagnosis juga
identifikasi subtipe histopatologi walaupun sitologi biopsi aspirasi jelas limfoma
Hodgkin ataupun limfoma non-Hodgkin.
(1) Limfoma Hodgkin
(a) Limfositik, berdifrensiasi baik
(b) Limfositik, berdiferensiasi buruk
(c) Sternberg Reed cell
(d) Limfositik histiositik
(e) Mixed cell
(2) Limfoma Non Hodgkin
(a) Limfositik predominan
(b) Mixed cell
(c) Limphositic deplecion
(d) Nodular sklerotik
g. Stadium
I Bila tumor terdapat pada satu kelompok KGBatau pada organ
ekstrlimfatik selama masih soliter
II Bila tumor didapat pada 2/> kelompok KGB pada pihak yang
sama dari pihak diagfragma/ bila terdapat pada 1 / lebih
kelompok KGB disertai tumor soliter ekstralimfatik, namun
masih dalam suatu pihak diagfragma
III Bila terkena KGB pada 2 pihak diagfragma, dan apabila ada
105
organ ekstraimfatik terkena, masih soliter
IV Bila penyakit ditemukan difuse pada 1 organ atau >
dengan/tanpa terserangnya KGB
h. Radiologi
1) Foto thoraks
2) Limfangiografi
3) USG
4) CT scan
i. Terapi
Akhir-akhir ini angka harapan hidup 5 tahun meningkat dan bahkan sembuh
berkat manajemen tumor yang tepat dan tersedianya kemoterapi dan radioterapi.
Peranan pembedahan pada penatalaksanaan limfoma maligna terutama hanya untuk
diagnosis biopsi dan laparotomi splenektomi bila ada indikasi.54 55
1) Radiasi
a) Untuk stadium I dan II secara mantel radikal
b) Untuk stadium III A/B secara total nodal radioterapi
c) Untuk stadium III B secara subtotal body irradiation
d) Untuk stadium IV secara total body irradiation
2) Kemoterapi untuk stadium III dan IV
Untuk stadium I dan II dapat pula diberi kemoterapi pre radiasi atau pasca
radiasi.Kemoterapi yang sering dipakai adalah kombinasi.
COP (Untuk limfoma non Hodgkin)
C :Cyclophosphamide 800 mg/m2 hari I
O : Oncovin 1,4 mg/m2 IV hari I
P : Prednison 60 mg/m2 hari I s/d VII lalu tappering off
106
MOPP (untuk Limfoma Hodgkin)
M :Nitrogen Mustrad 6 mg/m2 hari 1 dan 8
O : Oncovin 1,4 mg/m2 hari I dan VIII
P : Prednison 60 mg/m2 hari I s/d XIV
P : Procarbazin 100 mg/m2 hari I s/d XIV.54,55
1. Tatalaksana
Karsinoma biasanya mengenai daerah tonsil. Daerah ini meluas dari trigonum
retromolar termasuk arkus tonsila posterior dan anterior demikian juga dengan fosa
tonsilanya sendiri.Tumor yang meluas ke daerah inferior ke dasar lidah dan ke superior
pada palatum mole. Jika tumor kecil ( T1, T2, N0 ) mungkin diatasi dengan penyinaran,
sedangkan tumor yang besar ( T3 T4 ) memerlukan reseksi pembedahan, seringkali disertai
terapi radiasi sebelum dan pasca operasi. Lesi – lesi yang kecil dengan metastasis yang
dapat dipalpasi biasanya diatasi dengan reseksi pembedahan dan penutupan
primer.Reseksi ini dianggap sebagai tindakan gabungan. Flap lidah lateral, dahi, otot
kulit, atau servikal dapat menutup cacat yang besar.
Gambar 4.3. Lokasi
radioterapi
107
Karsinoma tonsil seringkali bermetastasis ke segitiga digastrik atau kelenjar getah
bening jugular bagian atas yang dikenal sebagai kelenjar getah bening tonsil. Karena
metastasis dini dari lesi yang berukuran sedang, pembedahan leher biasanya termasuk
dalam tindakan bedah.56
Tabel 4.4 Penatalaksanaan
108
3.4 Tumor Ganas pada Leher
Setiap benjolan yang terdapat di leher harus dipikirkan akan kemungkinan suatu keganasan atau
metastasis dari tumor primer di tempat lain. Tumor leher dibagi atas tumor leher medial yang
dapat bersifat solid dan kistik; dan tumor leher lateral yang juga bersifat solid dan bersifat kistik.
Tumor leher --------------------------------------- 15% tiroid
85%
Tumor non tiroid ---------------------------------- 15% radang/bawaan
85%
Neoplasma ------------------------------------------- 15% benigna
85%
Maligna --------------------------------------------- 15% primer: - kelenjar liur
- limfoma
85%
Metastasis ------------------------------------------ 15% retroklavikula
85%
Leher
109
3.4.1 LIMFOMA NON HODGKIN
Definisi
Limfoma malignum non Hodgkin atau limfoma non Hodgkin adalah suatu keganasan primer
jaringan limfoid yang bersifat padat. Limfoma non Hodgkin merupakan penyakit yang
heterogen, tergantung dari gambaran klinik, imunofenotiping dan respons terhadap terapi.
Gambaran penyakit yang progresif lebih sering didapatkan pada anak dibanding dewasa.
Demikian pula gambaran histopatologik difus sering didapatkan pada anak (90%) daripada
gambaran noduler atau fotikuler pada dewasa.1 Lebih dari 45.000 pasien didiagnosis sebagai
limfoma non Hodgkin (LNH) setiap tahun di Amerika Serikat. Limfoma non Hodgkin,
khususnya limfoma susunan saraf pusat biasa ditemukan pada pasien dengan keadaan defisiensi
imun dan yang mendapat obat-obat imunosupresif, seperti pada pasien dengan transplantasi
ginjal dan jantung.(57,58,59)
Epidemiologi
Limfoma merupakan penyakit keganasan yang sering ditemukan pada anak, hampir sepertiga
dari keganasan pada anak setelah leukemia dan keganasan susunan syaraf pusat. Angka kejadian
tertinggi pada umur 7-10 tahun dan jarang dijumpai pada usia di bawah 2 tahun. Laki-laki lebih
sering bila dibandingkan dengan perempuan dengan perbandingan 2,5:1. Angka kejadiannya
setiap tahun diperkirakan meningkat dan di AS 16,4 persejuta anak di bawah usia 14 tahun.
Angka kejadian limfoma malignum di Indonesia sampai saat ini belum diketahui dengan pasti.(57)
Gambaran Histologik
Anggapan pertama adalah bahwa status diferensiasi limfosit dapat dilihat dari ukuran dan
konfigurasi intinya, sel-sel limfoid yang kecil dan bulat dianggap sebagai sel-sel yang
berdiferensiasi baik, dan sel-sel limfoid kecil yang tidak beraturan bentuknya dianggap sebagai
limfosit yang berdiferensiasi buruk. Anggapan kedua adalah sel-sel limfoid besar dengan inti
vesikular dan mempunyai banyak sitoplasma yang biasanya berwarna pucat dianggap berasal
dari golongan monosit makrofag (histiosit).
Klasifikasi histopatologik sangat komplek dan tumpang tindih dengan klasifikasi yang lain
misalnya klasifikasi imunologik, sitogenetik maupun molekuler sehingga masih
110
membingungkan. Klasifikasi yang banyak dipergunakan adalah dari Rappaport (R), Kiel (K),
Lukes dan Collins, WHO, dan Working Formulation (WF) (tabel II.1).
Tabel 3.3.1 Klasifikasi histopatologik LNH pada anak.
Kiel Rappaport Working Formula
High grade
Limfoma Burkitt’s dan
bentuk lainnya
Difuse undifferentiated
(Burkitt’s & non burkitt’s)
High grade
Small non cleaved cell
Limfoblastik konvoluted
Limfoblastik non klasifikasi
Limfoblastik difus Limfoblastik
Imunoblastik
Sentroblastik
Histositik difus Imunoblastik sel besar
Intermediate grade
Difus sel besar
Limfoma non Hodgkin pada anak seringkali mempunyai gambaran yang difus dan
dimasukkan dalam 3 kategori gambaran histologik sebagai berikut:
1) Limfoblastik Burkitt’s (K) atau small non cleaved (WF)
2) Limfoblastik (WF) non Burkitt’s (K)
3) Imunoblastik dan sentroblastik (K) atau “large cell” (WF)
Dua kelompok yang pertama paling banyak ditemukan yaitu mencapai 70-90% dari kasus
yang terdiagnosis.
Imunofenotiping(57)
Dengan pemeriksaan ini akan lebih jauh dapat mengetahui tentang Limfoma Non Hodgkin,
khususnya dengan ditemukannya antibodi monoklonal yang dapat diidentifikasi adanya antigen
permukaan baik pada sel B maupun sel T juga pada tingkat pematangan sel. Antibodi tersebut
digolongkan dalam cluster differentiation (CD).
Dengan pemeriksaan tersebut di atas limfoma non Hodgkin pada anak dapat
dikelompokkan ke dalam 3 kelompok:
1) Proliferasi sel B yang ditandai dengan adanya imunoglobulin monoklonal di permukaan
sel.
2) Proliferasi sel T
3) Proliferasi non T-non B
111
Pembagian ini nampaknya hampir sama pada LLA.
Sitogenetik dan Biologi Molekuler(57)
Pemeriksaan sitogenetik dan biologi molekuler saat ini sangat berarti dalam membantu kita
mengetahui proses limfoma non Hodgkin lebih mendalam tetapi belum dapat dipergunakan
untuk tindakan terapi. Pada limfoma Burkitt’s sel tumor ditandai oleh adanya translokasi pada
lengan panjang kromosom 8, regio q 23-q 24 t (8;14) (q24;q32), beberapa versi lainnya t(2;8)
(p12;p24) dan t(8;2) (q24;q11).
Etiologi dan Patogenesis
Penyebab pasti limfoma non Hodgkin tidak diketahui, namun LNH dapat disebabkan oleh
abnomalitas sitogenik, seperti translokasi kromosom dan infeksi virus. Translokasi kromosom
dan perubahan molekular sangat berperan penting dalam patogenesis limfoma, dan berhubungan
dengan histologi dan imunofenotiping. Translokasi t(14;18)(q32;q21) adalah translokasi
kromosomal abnormal yang paling sering dihubungkan dengan LNH. Beberapa infeksi virus
berperan dalam patogenesis LNH, seperti virus Epstein Barr yang merupakan penyebab paling
seringa pada limfoma Burkitt,limfoma pada pasien dengan imunocompremised dan penyakit
Hodgkin.(58,59)
Faktor resiko limfoma non Hodgkin
Terdapat beberapa faktor resiko yang diketahui berpengaruh pada LNH, walaupun demikian,
faktor-faktor resiko ini tidak diperhitungkan melebihi bagian kecil dari jumlah seluruh kasus
limfoma non Hodgkin. Pada kebanyakan pasien dengan limfoma non Hodgkin, tidak ada
penyebab penyakit yang dapat ditemukan. Lebih jauh lagi, banyak orang yang terpapar pada
salah satu faktor resiko yang diketahui tidak menderita limfoma non Hodgkin.(58)Beberapa faktor
resiko tersebut seperti infeksi, imunosupresi,dan faktor lingkungan.
Infeksi sebagai faktor risiko limfoma non Hodgkin
Beberapa infeksi virus telah memperlihatkan adanya hubungan dengan peningkatan limfoma non
Hodgkin. Hal ini mungkin berhubungan dengan kemampuan virus dalam menginduksi stimulasi
antigen kronik dan disregulasi sitokin yang menyebabkan stimulasi, proliferasi, dan
limfomagenesis yang tidak terkontrol dari sel B dan sel T.(58)Beberapa virus tersebut antara lain:
112
Human immunodeficiency virus (HIV/AIDS)
Human T cell leukemia-lymphoma virus-1 (HTLV-1)
Epstein-Barr virus (EBV)
Gambar 4.5. Ilustrasi Virus(58)
Orang dengan HIV positif lebih mungkin mengidap limfoma non Hodgkin dari pada orang
lainnya. Munculnya limfoma non Hodgkin pada orang dengan HIV positif mengindikasikan
bahwa full-blown AIDS telah terjadi.
Meningkatnya risiko kemungkinan terjadi karena penekanan sistim kekebalan yang
disebabkan oleh infeksi HIV. AIDS-yang berhubungan dengan limfoma non Hodgkin
memberikan gambaran tidak seperti umumnya atau timbul disisi yang tidak umum dibandingkan
dengan jenis limfoma non Hodgkin.
Virus Epstein-Barr adalah virus yang umum, menyerang kebanyakan orang pada suatu
waktu tertentu dalam masa hidupnya, dan mengakibatkan infeksi singkat atau demam glandular.
Akan tetapi, dalam sejumlah kecil kasus ekstrim, ia dikaitkan dengan Limfoma Burkitt dan
bentuk limfoma non Hodgkin yang berhubungan dengan imunosupresi.
Human T-cell leukaemia-lymphoma virus-1 (HTLV-1), aslinya berasal dari Jepang dan
Karibia, juga suatu penyebab yang sangat jarang dari limfoma non Hodgkin, terdapat suatu jarak
antara infeksi virus dan timbulnya penyakit.
Infeksi bakterial lebih jarang dikaitkan dengan limfoma non Hodgkin dibandingkan
dengan infeksi virus. Akan tetapi, infeksi dengan Helicobacter pylori, yang dapat menyebabkan
tukak lambung dan menyerang lambung, dihubungkan dengan bentuk limfoma yang jarang yang
dikenal sebagai limfoma MALT, yang biasanya timbul di lambung. Antibiotik untuk
mengeradikasi infeksi bakteri sering menyembuhkan kondisi ini, jika diberikan cukup dini.
113
Gambar 4.6 Ilustrasi Bakteri
(Infeksi bakterial lebih jarang dikaitkan dengan limfoma non Hodgkin dibandingkan dengan
infeksi virus)
Imunosupresi sebagai faktor risiko untuk limfoma non Hodgkin
Orang dengan imunosupresi, dimana sistim pertahanannya menurun, menghadapi peningkatan
risiko terserang limfoma non Hodgkin. Hal ini mungkin karena kontrol multiplikasi sel B
tergantung pada fungsi normal sel T. Jika fungsi sel T menjadi abnormal, seperti pada kasus
orang dengan imunosupresi, sel B dapat berlipat ganda melalui suatu cara yang tidak terkontrol,
meningkatkan peluang untuk terserang penyakit ini.
Salah satu sebab utama imunosupresi adalah obat yang diberikan untuk mencegah
penolakan dari organ yang ditransplantasikan atau transplantasi sumsum tulang. Pasien yang
mendapatkan transplantasi organ mempunyai peningkatan risiko menderita limfoma non
Hodgkin.(58,60)
Perjalanan alamiah penyakit
Limfoma non Hodgkin indolen kadang-kadang dikenal sebagai limfoma non Hodgkin tumbuh
lambat atau level rendah. Sesuai dengan namanya, limfoma non Hodgkin indolen tumbuh sangat
lambat. Secara tipikal ia pada awalnya tidak menimbulkan gejala, dan mereka sering tetap tidak
terdeteksi untuk beberapa saat. Tentunya, mereka sering ditemukan secara kebetulan, seperti
ketika pasien mengunjungi dokter untuk sebab lainnya. Dalam hal ini, dokter mungkin
menemukan pembesaran kelenjar getah bening pada pemeriksaan fisik rutin. Kadangkala, suatu
pemeriksaan, seperti pemeriksaan darah, atau suatu sinar-X, dada, mungkin menunjukkan
sesuatu yang abnormal, kemudian diperiksa lebih lanjut dan ditemukan terjadi akibat limfoma
non Hodgkin. Akan tetapi, beberapa pasien limfoma non Hodgkin indolen berobat ke dokter
karena gejalanya.
114
Gejala yang paling sering adalah pembesaran kelenjar getah bening, yang kelihatan sebagai
benjolan, biasanya di leher, ketiak dan lipat paha. Pada saat diagnosis pasien juga mungkin
mempunyai gejala lain dari limfoma non Hodgkin. Limfoma non Hodgkin indolen tumbuh
lambat dan sering tanpa menyebabkan stadium banyak diantaranya sudah dalam stadium lanjut
saat pertama terdiagnosis.(58)
Manifestasi Klinik
Limfoma non Hodgkin mempunyai gambaran klinis oleh massa abdominal dan intrathorakal
(massa mediastinum) yang sering kali disertai dengan adanya efusi pleura. Pada anak yang lebih
besar massa mediastinal ini seringkali (25-35%) ditemukan khususnya pada limfoma
limfoblastik sel T. Gejala yang menonjol adalah nyeri, disfagia, sesak napas, pembengkakan
daerah leher, muka, dan sekitar leher akibat adanya obstruksi vena cava superior. Pembengkakan
kelenjar limfe (limfadenopati) di sebelah atas diafragma meliputi leher, supraklavikula atau
aksiler, tetapi jarang sekali retroperitoneal. Adanya pembesaran kelenjar limpa dan hati
menunjukkan adanya keterlibatan sumsum tulang dan seringkali pasien menunjukkan gejala-
gejala leukemia limfoblastik akut, jarang sekali melibatkan gejala susunan saraf pusat, kadang-
kadang disertai pembesaran testis.(57,58,60)
Limfoma limfoblastik merupakan bentuk yang berkembang secara progresif, dengan
gejala yang timbul dalam waktu singkat kurang dari satu bulan. Gambaran laboratorium biasanya
masih dalam batas normal, dengan kadar LDH dan asam urat yang meningkat sebagai akibat
adanya tumor lisis maupun adanya nekrosis jaringan.(57)
Stadium Limfoma Non Hodgkin
Penentuan stadium sangat penting untuk diagnosis, adanya keterlibatan beberapa jaringan
limfoid serta implikasinya pada pengobatan. Penentuan stadium yang paling banyak digunakan
adalah dari St. Jude Childrens Research Hospital (Tabel II.2).(57)
Tabel 3.8.1 Skema Stadium LNH dari St.Jude Childrens Research Hospital.
I Tumor tunggal ekstranodal atau tumor di daerah tunggal nodal, kecuali di
daerah mediastinum atau abdomen
II Tumor tunggal (ekstranodal) dengan keterlibatan kelenjar regional pada satu
sisi diafragma pada dua atau lebih area nodul
115
Dua tumor (ekstranodal) dengan atau tanpa keterlibatan kelenjar regional
Tumor lebih dari satu, tetapi masih satu sisi dengan diafragma
Tumor primer pada gastrointestinal (ileosaekal) dengan atau tanpa
keterlibatan kelenjar mesenterium
III Tumor lebih dari dua (ekstranodal) pada kedua sisi diafragma
Tumor dua atau lebih pada satu sisi diafragma
Tumor primer di daerah intrathorakal (mediastinal, pleura, timus)
Tumor meluas pada intraabdominal yang tidak dapat direseksi
Tumor pada paraspinal atau epidural
IV Tumor meluas dan penyebaran ke sumsum tulang atau susunan saraf pusat
Diagnosis
Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik sangat penting, diagnosis ditegakkan dengan biopsi,
pemeriksaan sitologis cairan efusi maupun aspirasi sumsum tulang, bila dimungkinkan dengan
pemeriksaan imunologik dan sitogenik untuk membedakan antara sel B atau sel T. Kriteria untuk
masing-masing kelompok tersebut adalah : (57)
a) Limfoblastik sel B ditandai oleh:
Ditemukannya imunoglobulin monoklonal sel B pada permukaan sel dan pertanda sel
B lainnya misalnya: CD 19-24
Translokasi (8;14), t(2;8), atau t(8;22)
Gambaran histologis: Burkitt’s dan B limfoblastik (K) atau undifferentiated atau small
non cleaved (W)
Gambaran L3 pada klasifikasi F AB
Primernya ada di intra abdominal
b) Limfoblastik sel T ditandai oleh:
Petanda sel T positif (misal CD 3, 5-8)
Gambaran histologi: limfoblastik
Gambaran L1 atau L2 pada klasifikasi FAB
Reaksi positif dengan asam fosfat
116
Primer pada kelenjar timus
Pemeriksaan lain yang diperlukan adalah pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan fungsi
hati dan funsi ginjal, cairan serebrospinal, asam urat, LDH, USG abdomen, bone scan.
Tata Laksana
Limfoma non Hodgkin khususnya limfoma limfoblastik sel T seringkali disertai dengan berbagai
komplikasi, untuk itu dibutuhkan pengelolaan secepatnya. Sebelum pengobatan dengan
kemoterapi harus diperhatikan terlebih dahulu problem jalan napas, pembuluh darah dan
gangguan metabolik yang ada.(57)
Pemberian alopurinol, hidrasi yang cukup, dan alkalinisasi urin perlu segera diberikan pada
pasien dengan tumor yang cukup luas untuk mencegah terjadinya nefropati akibat lisis tumor
yang seringkali terjadi pada limfoma limfoblastik sel T.(57)Terapi yang dilakukan biasanya
melalui pendekatan multidisiplin.Terapi yang dapat dilakukan adalah: (58,60)
1. Derajat Keganasan Rendah (DKR)/indolen:
Pada prinsipnya simtomatik:
- Kemoterapi: obat tunggal atau ganda (per oral), jika dianggap perlu: COP
(Cyclophosphamide, Oncovin, dan Prednisone)
- Radioterapi: LNH sangat radiosensitif. Radioterapi ini dapat dilakukan untuk
lokal dan paliatif.
Radioterapi: Low Dose TOI + Involved Field Radiotherapy
2. Derajat Keganasan Menengah (DKM) / agresif limfoma:
-Stadium I: Kemoterapi (CHOP/CHVMP/BU) + radioterapi CHOP
(Cyclophosphamide, Hydroxydouhomycin,Oncovin, Prednisone)
- Stadium II - IV: kemoterapi parenteral kombinasi, radioterapi berperan untuk
tujuan paliasi.
3. Derajat Keganasan Tinggi (DKT)
DKT Limfoblastik (LNH-Limfoblastik)
- Selalu diberikan pengobatan seperti Leukemia Limfoblastik Akut (LLA)
- Re-evaluasi hasil pengobatan dilakukan pada:
a. Setelah siklus kemoterapi keempat
b. Setelah siklus pengobatan lengkap
117
Pasien dengan limfoma non Hodgkin agresif dapat didiagnosis pada stadium dini (stadium
I atau II). Ini disebabkan karena mereka umumnya menyadari pertumbuhan yang cepat dari
kelenjar getah bening yang terkena dan karenanya mengunjungi dokter dan cepat dirujuk untuk
pengobatan oleh dokter spesialis.(61)
Pengobatan yang biasa diberikan untuk pasien dengan limfoma non Hodgkin agresif
stadium dini adalah beberapa jadwal kemoterapi, kombinasi, dengan lebih dari satu obat
kemoterapi yang diberikan, biasanya bersama dengan steroid, seperti prednisolon (contohnya,
CHOP). Di kebanyakan negara, diberikan antibodi monoklonal rituximab dalam kombinasi
dengan kemoterapi CHOP sebagai terapi standar. Antibodi monoklonal meningkatkan efektivitas
pengobatan bermakna, tanpa meningkatkan efek samping.(58,59,60)
Radioterapi terkadang diberikan setelah kemoterapi. Jarang kedua pengobatan diberikan
pada saat yang sama. Radioterapi ditujukan secara spesifik terhadap kelenjar getah bening yang
terkena. Pengobatan stadium dini (stadium I dan II) limfoma non Hodgkin agresif dapat
mencapai kesembuhan atau remisi pada sekitar 80% pasien. Beberapa pasien tidak memberikan
respon terhadap terapi standar. Pada pasien-pasien ini, dan pada mereka yang mengalami
kekambuhan, diperlukan pengobatan lebih lanjut.
Pasien yang didiagnosis dengan limfoma non Hodgkin agresif pada stadium lanjut
(stadium III atau IV) diberi kemoterapi kombinasi dengan ataupun tanpa antibodi monoklonal.
Meski demikian, kemoterapi kadang-kadang diberikan lebih lama daripada pada penyakit
stadium awal dan mungkin juga diberikan radioterapi. Secara keseluruhan, antara 40% dan 70%
pasien dengan limfoma non Hodgkin agresif dapat disembuhkan dengan pengobatan pertama. (58,59.60)
Prognosis
Banyak pasien yang dapat mencapai respons sempurna, sebagian diantaranya dengan limfoma
sel besar difus, dapat berada dalam keadaan bebas gejala dalam periode waktu yang lama dan
dapat pula disembuhkan. Pemberian regimen kombinasi kemoterapi agresif berisi doksorubisin
mempunyai respons sempurna yang tinggi berkisar 40-80%.(59,60)
118
3.4.2 LIMFOMA HODGKIN
Sampai saat ini masih belum diketahui dengan jelas etiologi maupun patologi penyakit
Hodgkin, namun diakui bahwa banyak di antara anak dengan penyakit Hodgkin yang mampu
bertahan hidup dalam beberapa tahun. Masih banyak kontroversi tentang tumor yang seringkali
terjadi pada limfoma limfoblastik sel T.(57)
Definisi
Penyakit Hodgkin adalah kanker yang berawal dari sel-sel sistem imun. Penyakit Hodgkin
berawal saat sel limfosit yang biasanya adalah sel B (sel T sangat jarang) menjadi abnormal. Sel
limfosit yang abnormal tersebut dinamakan sel Reed Sternberg.(62)
Sel Reed Sternberg tersebut membelah untuk memperbanyak dirinya. Sel Reed Sternberg
yang terus membelah membentuk begitu banyak sel limfosit abnormal. Sel-sel abnormal ini
tidak mati saat waktunya tiba dan mereka juga tidak melindungi tubuh dari infeksi maupun
penyakit lainnya. Pembelahan sel abnormal yang terus menerus ini menyebabkan terbentuknya
massa dari jaringan yang disebut tumor. (62)
Jaringan limfatik banyak terdapat dalam banyak bagian tubuh, sehingga penyakit Hodgkin
dapat berawal dari mana saja. Biasanya penyakit Hodgkin pertama kali ditemukan pada nodus
limfatikus di atas diafragma, pada otot tipis yang memisahkan rongga thoraks dan rongga
abdomen. Tetapi penyakit Hodgkin mungkin juga dapat ditemukan di kumpulan nodus
limfatikus.(62)
Epidemiologi (57)
Angka kejadian penyakit Hodgkin mempunyai kurva bimodal yang khas baik pada laki-
laki maupun pada perempuan, dengan salah satu puncaknya pada usia 15-30 tahun yang diikuti
dengan puncak lainnya pada usia 45-55 tahun.
Di negara-negara industri umur puncak pertama dicapai pada umur 20 tahun dan puncak
kedua pada umur 50 tahun. Sementara di negara sedang berkembang seperti Indonesia, umur
puncak terjadi pada umur sebelum remaja.
Studi epidemiologi menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan bentuk dari penyakit
Hodgkin, karakteristik ini mungkin menunjukkan adanya perbedaan kausa yang mendasarinya:
1) Bentuk yang ditemukan pada masa kanak-kanak, banyak ditemukan pada usia 14 tahun
atau lebih muda
119
2) Bentuk dewasa muda yang ditemukan pada umur 15 sampai 34 tahun
3) Bentuk dewasa yang ditemukan pada usia 55-74 tahun
Secara umum dikatakan bahwa laki-laki lebih banyak bila dibandingkan dengan perempuan.
Faktor Risiko
Beberapa penelitian menunjukkan faktor-faktor tertentu yang dapat meningkatkan kemungkinan
seseorang dapat mengidap penyakit Hodgkin’s: (62)
1) Virus tertentu
Terinfeksi virus Epstein Barr (EBV) atau human immunodeficiency virus (HIV) dapat
meningkatkan risiko penyakit Hodgkin. Bagaimanapun juga, limfoma tidak menular,
sehingga tidak mungkin mendapatkan limfoma dari orang lain.
2) Sistem imun lemah
Risiko mengidap penyakit Hodgkin meningkat dengan sistem imun yang lemah (seperti
keadaan sedang mengkonsumsi obat-obatan penekan imun pasca transplantasi organ).
3) Usia
Penyakit Hodgkin umumnya terdapat pada usia remaja dan dewasa muda berumur 15-
35 tahun, juga pada dewasa berumur ≥ 50 tahun.
4) Riwayat keluarga
Anggota keluarga khususnya kakak atau adik dari seseorang dengan penyakit Hodgkin
atau limfoma lainnya, dapat meningkatkan kemungkinan seseorang mengidap penyakit
Hodgkin.
Gambaran Patologik dan Klasifikasi
Ketepatan diagnosis hanya mungkin dilakukan dengan pemeriksaan patologi yang benar,
bahan pemeriksaan yang berasal dari biopsi jarum dan irisan beku segar pada jaringan kurang
dapat menggambarkan struktur dan stroma sel secara baik. Untuk itu dibutuhkan pemeriksaan
jaringan limfonodi secara mikroskopis dan ditemukan adanya sel Reed Sternberg yang spesifik.
Sel Reed Sternberg merupakan sel limfoid yang besar dengan banyak nukleus yang mengelilingi
nuklei sehingga memberikan gambaran seperti halo.1 Sel Reed Sternberg secara konsisten
menghasilkan antigen CD15 dan CD30. CD15 adalah marker dari sel granulosit, monosit, dan sel
T teraktifasi yang normalnya tidak dihasilkan oleh garis keturunan sel B. CD30 adalah marker
120
dari aktifasi limfosit yang dihasilkan oleh sel limfosit reaktif dan malignan dan pada awalnya
diidentifikasi sebagai antigen permukaan sel-sel Reed Sternberg.
Klasifikasi patologi yang diterima secara umum adalah klasifikasi dari Rye yang membagi
penyakit Hodgkin menjadi 4 subtipe: (57)
1) Limfositik predominan/LP
2) Sel campur/MC
3) Deplesi limfositik/LD
4) Nodul sklerosis/NS
Prognosis dari tiga yang pertama berhubungan dengan perbandingan antara sel limfosit
abnormal dengan sel normal.(57)
Penyakit Hodgkin merupakan suatu tumor ganas yang berhubungan erat dengan limfoma
malignum. Oleh karena itu untuk membahas mengenai patologi dari penyakit Hodgkin ada
baiknya kita mengetahui tentang klasifikasi dari penyakit-penyakit tersebut.
Klasifikasi patologis yang sering dipakai sekarang ini adalah menurut Lukas dan Butler
sesuai keputusan simposium penyakit Hodgkin dan Ann Arbor. Menurut klasifikasi ini penyakit
Hodgkin dibagi menjadi 4 tipe, yaitu: (62)
1. Tipe Lymphocyte Predominant
Pada tipe ini gambaran patologis kelenjar getah bening terutama terdiri dari sel-sel limfosit
yang dewasa, beberapa sel Reed Sternberg. Biasanya didapatkan pada anak muda.
Prognosisnya baik.
2. Tipe Mixed Cellularity
Mempunyai gambaran patologis yang pleimorfik dengan sel plasma, eosinofil, neutrofil,
limfosit dan banyak didapatkan sel Reed Sternberg. Dan merupakan penyakit yang luas
dan mengenai organ ekstra nodul. Sering pula disertai gejala sistemik seperti demam, berat
badan menurun dan berkeringat. Prognosisnya lebih buruk.
3. Tipe Lymphocyte Depleted
Gambaran patologis mirip diffuse histiocytic lymphoma, sel Reed Sternberg banyak sekali
dan hanya ada sedikit sel jenis lain. Biasanya pada orang tua dan cenderung merupakan
proses yang luas (agresif) dengan gejala sistemik. Prognosis buruk.
4. Tipe Nodular Sclerosis
121
Kelenjar mengandung nodul-nodul yang dipisahkan oleh serat kolagen. Sering dilaporkan
sel Reed Sternberg yang atipik yang disebut sel Hodgkin. Sering didapatkan pada wanita
muda/remaja. Sering menyerang kelenjar mediastinum.
Namun ada bentuk-bentuk yang tumpang tindih (campuran), misalnya golongan
Nodular Sclerosis (NS) ada yang limfositnya banyak (Lymphocyte Predominant NS=LP-
NS), ada yang limfositnya sedikit (Lymphocyte-Depleted NS=LD-NS) dan sebagainya.
Demikian pula golongan Mixed Cellularity (MC), ada yang limfositnya banyak (LP-MC),
ada yang sedikit (LD-MC). Penyakit ini mula-mula terlokalisasi pada daerah limfonodus
perifer tunggal dan perkembangan selanjutnya dengan penjalaran di dalam sistem limfatik.
Mungkin bahwa sel Reed Sternberg yang khas dan sel lebih kecil, abnormal, bersifat
neoplastik dan mungkin bahwa sel radang yang terdapat bersamaan menunjukkan respon
hipersensitivitas untuk hospes. Setelah tersimpan dalam limfonodus untuk jangka waktu
yang bervariasi, perkembangan alamiah penyakit ini adalah menyebar ke jaringan non
limfatik.
Berdasarkan klasifikasi dari WHO penyakit Hodgkin dibagi menjadi 5 tipe, 4 tipe
merupakan tipe-tipe seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, keempat tipe ini sering
disebut sebagai penyakit Hodgkin klasik, sedangkan tipe ke-5 adalah nodular lymphocyte
predominant Hodgkin’s disease (NLPHD).
5. Tipe Nodular lymphocyte predominant Hodgkin disease (NLPHD)
Nodular lymphocyte predominant Hodgkin disease (NLPHD) menyumbang 5% dari kasus
penyakit Hodgkin. Berbeda dengan subtipe histologis lain, sel Reed Sternberg yang khas
jarang atau bahkan tidak ada pada NLPHD. Sebaliknya yang paling banyak justru adalah
sel limfositik atau histiositik (L&H), atau yang sering disebut “sel popcorn” karena inti
mereka yang berbentuk menyerupai jagung meledak, yang terlihat sebagai latar belakang
sel-sel inflamasi, terutama sel limfosit yang jinak. Tidak seperti sel Reed Sternberg, sel
L&H positif untuk antigen sel B, seperti CD19 dan CD20, dan negatif untuk CD15 dan
CD30. (62)
Manifestasi Klinik
Pembesaran kelenjar limfe daerah servikal dan supraklavikular yang hilang timbul dan tidak
menimbulkan rasa nyeri (asimtomatik). Pada 80% anak dengan penyakit Hodgkin pembesaran
kelenjar leher yang menonjol, 60% diantaranya juga disertai pembesaran massa di mediastinal
122
yang akan menimbulkan gejala kompresi pada trakea dan bronkus. Pembesaran kelenjar juga
ditemukan di daerah inguinal, aksiler, dan supra diafragma meskipun jarang. Gejala konstitusi
yang menyertai diantaranya adalah demam, keringat malam hari, dan penurunan berat badan
yang tidak dapat dijelaskan, ditemukan pada 40% pasien, sedangkan demam intermittent
diobservasi pada 35% kasus.
Gambaran laboratorium pada umumnya tidak spesifik, diantaranya adalah leukositosis,
limfopenia, eosinofilia, dan monositosis. Gambaran laboratorium ini merupakan refleksi dari
aktifitas yang meningkat di sistem retikuloendotelial (misalnya meningkatnya laju endap darah,
kadar serum feritin, dan kadar serum tembaga) dipergunakan untuk mengevaluasi perjalanan
penyakit setelah terdiagnosis. Anemia yang timbul merupakan deplesi dari imobilisasi zat besi
yang terhambat ini menunjukkan adanya penyakit yang telah meluas. Anemia hemolitik pada
penyakit Hodgkin menggambarkan tes Coomb positif menunjukkan adanya retikulosis dan
normoblastik hiperplasia dari sumsum tulang. (57)
Stadium Penyakit Hodgkin
Pada penyakit ini dibedakan 2 macam staging: (61)
Clinical staging
Staging dilakukan secara klinis saja tentang ada tidaknya kelainan organ tubuh.
Pathological staging
Penentuan stadium juga didukung dengan adanya kelainan histopatologis pada jaringan
yang abnormal. Pathological staging ini dinyatakan pula pada hasil biopsi organ, yaitu:
hepar, paru, sumsum tulang, kelenjar, limpa, pleura, tulang, kulit.
Staging yang dianut saat ini adalah staging menurut Ann Arbor yang di modifikasi sesuai
konferensi Cotswald.
Tabel 4.6.1 Staging menurut system Ann Arbor modifikasi Costwald. (57,61)
Stage I : Penyakit menyerang satu regio kelenjar getah bening atau satu struktur
limfoid (misal: limpa, timus, cincin Waldeyer).
Stage II : Penyakit menyerang dua atau lebih regio kelenjar pada satu sisi
diafragma, jumlah regio yang diserang dinyatakan dengan subskrip
angka, misal: II2, II3, dsb.
Stage III : Penyakit menyerang regio atau struktur limfoid di atas dan di bawah
123
diafragma.
III1 : menyerang kelenjar splenikus hiler, seliakal, dan portal
III2 : menyerang kelenjar para-aortal, mesenterial dan iliakal.
Stage IV : Penyakit menyerang organ-organ ekstra nodul, kecuali yang
tergolong E (E: bila primer menyerang satu organ ekstra nodal).
Gambar 4.7. Penentuan stadium penyakit Hodgkin.(61)
Penentuan stadium ini menggunakan klasifikasi AnnArbor yang berdasarkan anatomis.(57)
Tabel II.4.Staging menurut Ann Arbor berdasarkan anatomis.
I Pembesaran kelenjar limfe regional tunggal atau pembesaran organ ekstra limfatik
tunggal atau sesisi.
II Pembesaran kelenjar limfe regional dua atau lebih yang masih sesisi dengan
diafragma atau pembesaran organ ekstralimfatik satu sisi atau lebih yang masih
sesisi dengan diafragma
III Pembesaran kelenjar limfe pada kedua sisi diafragma disertai dengan pembesaran
limpa atau pembesaran organ ekstra limfatik sesisi atau kedua sisi
IV Pembesaran organ ekstra limfatik dengan atau tanpa pembesaran kelenjar limfe
124
Diagnosis
Untuk membuat diagnosis penyakit Hodgkin pada anak dibutuhkan beberapa tahap pemeriksaan
diantaranya adalah: (57)
a. Pemeriksaan fisik ditemukan adanya pembesaran kelenjar limfe dengan berbagai
ukuran.
b. Pemeriksaan darah lengkap dengan hitung jenis sel, laju endap darah, tes fungsi hati dan
ginjal, kelenjar alkali fosfatase.
c. Biopsi kelenjar limfe
d. Foto polos dada maupun scanning
e. Scanning abdomen dan pelvis atau MRI
f. Limfogram
g. Laparatomi
h. Aspirasi sumsum tulang
i. Scanning tulang
Tidak semua tahap pemeriksaan dikerjakan untuk membuat diagnosis penyakit Hodgkin
pada anak tergantung dari kasus serta fasilitas yang ada.
1. Klinis (anamnesis)
Keluhan penderita terbanyak adalah pembesaran kelenjar getah bening di leher, aksila ataupun
lipatan paha, berat badan semakin menurun dan kadang-kadang disertai demam, keringat dan
gatal. (59,62)
2. Pemeriksaan Fisik
Palpasi pembesaran kelenjar getah bening yang tidak nyeri dapat ditemukan di leher terutama
supraklavikular (60-80%), aksiler (6-20%), dan yang paling jarang adalah di daerah inguinal (6-
20%) dengan konsistensi kenyal sepert karet. Mungkin lien dan hati teraba membesar.
Pemeriksaan THT perlu dilakukan untuk menentukan kemungkinan cincin Waldeyer ikut
terlibat. Sindrom vena cava superior mungkin didapatkan pada pasien dengan masif limfa
adenopati mediastinal. (59,62)
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah rutin, uji fungsi hati dan uji fungsi ginjal merupakan bagian penting dalam
pemeriksaan medis, tetapi tidak memberi keterangan tentang luas penyakit, atau keterlibatan
organ spesifik. Pada pasien penyakit Hodgkin serta pada penyakit neoplastik atau kronik lainnya
125
mungkin ditemukan anemia normokromik normositik derajat sedang yang berkaitan dengan
penurunan kadar besi dan kapasitas ikat besi, tetapi dengan simpanan besi yang normal atau
meningkat di sumsum tulang sering terjadi reaksi leukomoid sedang sampai berat, terutama pada
pasien dengan gejala dan biasanya menghilang dengan pengobatan. (62)
Eosinofilia absolut perifer ringan tidak jarang ditemukan, terutama pada pasien yang
menderita pruritus. Juga dijumpai monositosis absolut, limfositopenia absolut (<1000 sel per
millimeter kubik) biasanya terjadi pada pasien dengan penyakit stadium lanjut. Telah dilakukan
evaluasi terhadap banyak pemeriksaan sebagai indikator keparahan penyakit.
Sampai saat ini, laju endap darah masih merupakan pemantau terbaik, tetapi pemeriksaan
ini tidak spesifik dan dapat kembali ke normal walaupun masih terdapat penyakit residual. Uji
lain yang abnormal adalah peningkatan kadar tembaga, kalsium, asam laktat, fosfatase alkali,
lisozim, globulin, protein C-reaktif dan reaktan fase akut lain dalam serum. (62)
4. Sitologi Biopsi Aspirasi
Biopsi Aspirasi Jarum Halus (BAJAH) sering digunakan pada diagnosis limfadenopati untuk
identifikasi penyebab kelainan tersebut seperti reaksi hiperplastik kelenjar getah bening,
metastasis karsinoma dan limfoma malignum.
Penyulit lain dalam diagnosis sitologi biopsi aspirasi LH ataupun LNH adalah adanya
negatif palsu, dianjurkan melakukan biopsi aspirasi multiple hole di beberapa tempat permukaan
tumor. Apabila ditemukan juga sitologi negatif dan tidak sesuai dengan gambaran klinis, maka
pilihan terbaik adalah biopsi insisi atau eksisi.(59)
5. Histopatologi
Biopsi tumor sangat penting, selain untuk diagnosis juga untuk identifikasi subtipe histopatologi
LH ataupun LNH. Biopsi dilakukan bukan sekedar mengambil jaringan, namun harus
diperhatikan apakah jaringan biopsi tersebut dapat memberi informasi yang adekuat. Biopsi
biasanya dipilih pada rantai KGB di leher. Kelenjar getah bening di inguinal, leher bagian
belakang dan submandibular tidak dipilih disebabkan proses radang, dianjurkan agar biopsi
dilakukan dibawah anestesi umum untuk mencegah pengaruh cairan obat suntik lokal terhadap
arsitektur jaringan yang dapat mengacaukan pemeriksaan jaringan. (59)
6. Radiologi
Termasuk didalamnya: (59)
Foto toraks untuk menentukan keterlibatan KGB mediastinal
126
Limfangiografi untuk menentukan keterlibatan KGB di daerah iliaka dan pasca aortal
USG banyak digunakan melihat pembesaran KGB di paraaortal dan sekaligus menuntun
biopsi aspirasi jarum halus untuk konfirmasi sitologi
CT-Scan sering dipergunakan untuk diagnosa dan evaluasi pertumbuhan LH
7. Laparatomi
Laparotomi abdomen sering dilakukan untuk melihat kondisi KGB pada iliaka, para aortal dan
mesenterium dengan tujuan menentukan stadium. Berkat kemajuan teknologi radiologi seperti
USG dan CT-Scan ditambah sitologi biopsi aspirasi jarum halus, tindakan laparotomi dapat
dihindari atau sekurang-kurangnya diminimalisasi.(59)
Diagnosis Banding
Diagnosis banding serupa dengan yang dijelaskan untuk limfoma non Hodgkin pada pasien
dengan limfadenopati di leher, infeksi misalnya faringitis bakteri atau virus, mononucleosis
infeksiosa dan toksoplasmosis harus disingkirkan. Keganasan lain, misalnya limfoma non
Hodgkin, kanker nasofaring dan kanker tiroid dapat menimbulkan adenopati leher local.
Adenopati ketiak harus dibedakan dengan limfoma non Hodgkin dan kanker payudara. (59)
Adenopati mediastinum harus dibedakan dengan infeksi, sarkoid dan tumor lain. Pada
pasien tua, diagnosis banding mencakup tumor paru dan mediastinum, terutama karsinoma sel
kecil dan non sel kecil. Mediastinitis reaktif dan adenopati hilus akibat histoplasmosis dapat
mirip dengan limfoma, karena penyakit tersebut timbul pada pasien asimtomatik. Penyakit
abdomen primer dengan hepatomegali, splenomegali dan adenopati massif jarang ditemukan,
dan penyakit neoplastik lain, terutama limfoma non Hodgkin harus disingkirkan dalam keadaan
ini. Beberapa diagnosis banding lainnya sebagai berikut: (62)
Cytomegalovirus
Infectious Mononucleosis
Kanker paru
Lymphoma, Non-Hodgkin
Sarcoidosis
Serum Sickness
Syphilis
Systemic Lupus Erythematosus
Toxoplasmosis
127
Tuberculosis
Tatalaksana
Untuk mendapatkan hasil pengobatan yang baik perlu adanya pendekatan multidisiplin segera
setelah didiagnosis. Faktor yang berpengaruh terhadap hasil pengobatan diantaranya adalah umur
pasien, psikologi, stadium penyakit dan gejala sisa pengobatan. Pengobatan yang diberikan
diharapkan mampu memberikan penyembuhan untuk jangka panjang, dengan disease free
survival (DFS) yang seimbang dengan risiko pengobatan yang paling rendah. Protokol
pengobatan pada anak saat ini hanya menggunakan kemoterapi saja kadang-kadang dengan
hanya memberikan dosis rendah radiasi pada daerah yang terbatas.
Obat-obatan yang sering digunakan diantaranya adalah nitrogen mustard, onkovin,
prednison, prokarbasin (MOPP), adriamisis, bleomisin, vinblastin, dekarbasin (ABVD),
siklofosfamid, onkovin, prokarbasin, prednison (COPP) dan banyak lagi protokol lainnya yang
digunakan.(57)
Prognosis
Prognosis penyakit Hodgkin ini relatif baik. Penyakit ini dapat sembuh atau hidup lama dengan
pengobatan meskipun tidak 100%. Tetapi oleh karena dapat hidup lama, kemungkinan
mendapatkan late complication makin besar. Late complication itu antara lain: (63)
1. Timbulnya keganasan kedua atau sekunder
2. Disfungsi endokrin yang kebanyakan adalah tiroid dan gonadal
3. Penyakit CVS terutama mereka yang mendapat kombinasi radiasi dan pemberian
antrasiklin terutama yang dosisnya banyak (dose related)
4. Penyakit pada paru pada mereka yang mendapat radiasi dan bleomisin yang juga dose
related
5. Pada anak-anak dapat terjadi gangguan pertumbuhan
128
BAB IV
KESIMPULAN
Karsinoma nasofaring (KNF) adalah keganasan yang berasal dari epitel atau mukosa dan
kripta yang melapisi permukaan nasofaring.7,16 Di Indonesia maupun di Asia Tenggara, KNF
dilaporkan sebagai tumor paling sering ditemukan diantara keganasan di daerah kepala dan
leher.16,17 Di Indonesia, menempati urutan ke-4 diantara keganasan yang terdapat di seluruh
tubuh. Santosa (1988) mendapatkan jumlah 716 (8,46%) penderita KNF berdasarkan data
patologi yang diperoleh di Laboratorium Patologi anatomi FK Unair Surabaya (1973 – 1976)
diantara 8463 kasus keganasan di Seluruh tubuh. Di Bagian THT Semarang mendapatkan 127
kasus KNF dari tahun 2000 – 2002.
Karsinoma nasofaring (KNF) adalah keganasan yang berasal dari epitel atau
mukosa dan kripta yang melapisi permukaan nasofaring.7,16 Di Indonesia maupun di Asia
Tenggara, KNF dilaporkan sebagai tumor paling sering ditemukan diantara keganasan di
daerah kepala dan leher.16,17 Di Indonesia, menempati urutan ke-4 diantara keganasan
yang terdapat di seluruh tubuh. Santosa (1988) mendapatkan jumlah 716 (8,46%)
penderita KNF berdasarkan data patologi yang diperoleh di Laboratorium Patologi
anatomi FK Unair Surabaya (1973 – 1976) diantara 8463 kasus keganasan di Seluruh
tubuh. Di Bagian THT Semarang mendapatkan 127 kasus KNF dari tahun 2000 – 2002.
BAB V
129
DAFTAR PUSTAKA
1. Soetirto Indro,Bashiruddin Jenny,Bramantyo Brastho,Gangguan pendengaran Akibat
Obat ototoksik,Buku ajar Ilmu Kesehatan Telinga ,Hidung ,Tenggorok Kepala &
Leher.Edisi IV.Penerbit FK-UI,jakarta 2007,halaman 9-15,53-56.
2. Anatomi fisiologi telinga. Available from : http://arispurnomo.com/anatomi-fisiologi-
telinga
3. Telinga : Pendengaran dan sistem vestibular. Available from :
http://translate.google.co.id/translate?hl=id&langpair=en|id&u=http://
webschoolsolutions.com/patts/systems/ear.htm
4. Adams,G.L.1997.Obat-obatan ototoksik.Dalam:Boies,Buku Ajar Penyakit
THT,hal.129.EGC,Jakarta.
5. Andrianto,Petrus.1986.Penyakit Telinga,Hidung dan Tenggorokan,75-
76.EGC,Jakarta
6. Anatomi dan fisiologi hidung. Available from :
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21283/4/Chapter%20II.pdf
7. Anatomi dan fisiologi system pernapasan. Available from :
http://fraxawant.wordpress.com/2008/07/16/anatomi-dan-fisiologi-sistem-pernapasan/
8. Difteri. Available from http://www.scribd.com/doc/44244704/Refrat-Difteri-Sari
Difteri tonsil. Available from http://www.scribd.com/doc/36494895/difteri-tonsil
9. Adams, G. L. Penyakit Telinga Luar. In: Adams, G. L., Boies, L. R., Higler, P. A.,
Effendi, H. (Ed.). Boies Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta: Penerbit EGC. 1997: 85 –
87
10. Lee, K. JHolsinger, F. C., Myers, J. N. Noninfectious Disorders of The
Ear. In: Lee, K. J. (Ed.). Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery
Eight Edition. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc. 2003:512-
531
11. Dhingra, P.L. Tumours of External Ear. In: Diseases of Ear, Nose and Throat. Fourth
Edition. Elsevier, Reed Elsevier India Private Limited. 2008: 104-106
130
12. Menner, A. L Disorders of the External Ear: Tumors of the External Ear. In: Menner,
A. L. A Pocket Guide to the Ear. New York: Thieme. 2003:48-50
13. Vincek, V.,Mirzabeigi, M., Jewett, B. S., Goodwin, W J., 2005. Primary
Carcinosarcoma of the Helix of the Ear. Ear, Nose & Throat Journal, Vol. 84 page
712 . Diperoleh dari:
http://search.proquest.com/docview/209412681/fulltextPDF/138298ABFBA19E1657
/66?accountid=50257 [Diakses pada: 18 Oktober 2012]
14. Adams, G. L. Penyakit Telinga Tengah dan Mastoid. In: Adams, G. L., Boies, L. R.,
Higler, P. A., Effendi, H. (Ed.). Boies Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta: Penerbit
EGC. 1997: 116 – 117
15. Dhingra, P.L. Tumours of Middle Ear and Mastoid. In: Diseases of Ear, Nose and
Throat. Fourth Edition. Elsevier, Reed Elsevier India Private Limited. 2008: 107-109
16. Menner, A. L Disorders of the Middle Ear: Middle Ear Tumors. In: Menner, A. L. A
Pocket Guide to the Ear. New York: Thieme. 2003:77-78
17. Dhingra, P.L. Acoustic Neuroma. In: Diseases of Ear, Nose and Throat. Fourth
Edition. Elsevier, Reed Elsevier India Private Limited. 2008: 110-112
18. Menner, A. L Auditory Disorders of the Inner Ear: Cerebellopontine Angle Tumors.
In: Menner, A. L. A Pocket Guide to the Ear. New York: Thieme. 2003:108-109
19. Devaney K. O., Boschman, C. R., Willard, S. C., Ferlito, A., Rinaldo, A., 2005.
Tumours Of The External Ear And Temporal Bone. Lancet Oncology Journal,
Volume 6 page 411–420. Diperoleh dari:
http://search.proquest.com/docview/200919622/fulltextPDF/138298ABFBA19E1657
/5?accountid=50257 [Diakses pada: 18 Oktober 2012].
20. Devaney K. O., Boschman, C. R., Willard, S. C., Ferlito, A., Rinaldo, A., 2005.
Tumours Of The External Ear And Temporal Bone. Lancet Oncology Journal,
Volume 6 page 411–420. Diperoleh dari:
http://search.proquest.com/docview/200919622/fulltextPDF/138298ABFBA19E1657
/5?accountid=50257 [Diakses pada: 18 Oktober 2012].
21. Michaels, L. Malignant Neoplasms: Ear and Temporal Bone.In: Cardesa, A.,
Slootweg, P. J. (Eds.). Pathology of the Head and Neck. Berlin: Springer-Verlag.
Berlin Heidelberg. 2006: 236-260
131
22. Cody, DeSanto et al. 2000. Neoplasma of the Nasal Cavity inin Cummings –
Otolaryngology - Head Neck Surgery 3rd ed. New York: Maple Vail Book
Manufacturing Group Mosby-YearBook.
23. Hosemann W. 2001. Role of Endoscopic Surgery in Tumor.In: Kennedy DW, Bolger
WE, Zinreich SJ. Diseases of TheSinuses, Diagnosis and Management. London:
Hamilton.
24. Roezin, A. et al. 2007. Tumor Hidung dalam : Soepardi E,Iskandar N, eds., Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok. Edisi ke-6. Jakarta: BP FK UI.
25. GC. 1999. Epidemiology of Cancer of The Nose and Paranasal Sinuses -Current
Concepts in Cummings –Otolaryngology - Head Neck Surgery 3 rd ed. New
York:Maple Vail Book Manufacturing Group Mosby-Year Book.
26. Farid W, Ramsi L. Penatalaksanaan karsinoma nasofaring. Medan : FK USU, 1998.h.
1-20.
27. Ballenger JJ. Penyakit telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher.13 th Ed. Jilid 1.
Alih bahasa staf ahli bagian THT RSCM-FK UI. Jakarta : Binarupa Aksara, 1994.h.
391-6.
28. Myers EN, Suen JY. Cancer of the head and neck. 2nd ed. New York : Churchill
Livingstone, 1989. h. 495-507.
29. Iskandar N, Munir M, Soetjiepto D. Tumor Ganas THT. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI, 1989.
30. Damayanti Soetjipto. Karsinoma nasofaring.Dalam : Nurbaiti Iskandar (ed).Tumor
telinga-hidung-tenggorok diagnosis dan penatalaksanaan. Jakarta : FK UI,1989.h. 71-
84.
31. Ballenger JJ. Otorhinolaryngology : head and neck surgery. 15th ed. Philadelphia :
Williams & Wilkins, 1996.p. 323-36.
32. Ramsi Lutan, Nasution YU. Karsinoma nasofaring. Dalam : Program & abstrak
PITIAPI. Medan : FK USU, 2001.h. 9-25.
33. Farid W, Ramsi L. Penatalaksanaan karsinoma nasofaring. Medan : FK USU, 1998.h.
1-20.
132
34. Ballenger JJ. Penyakit telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher.13 th Ed. Jilid 1.
Alih bahasa staf ahli bagian THT RSCM-FK UI. Jakarta : Binarupa Aksara, 1994.h.
391-6.
35. Baylei. Hipopharigeal cancer : Head and Neck Surgery. London : Singular Thomson
Learning. 2006
36. Oral cancer. [internet] 2010 cited 2011 june 13]. Available from :
http://www.tobaccofacts.info/oral_cancer.htm
37. Laryngeal and hipofaring cancer. [Internet]. 2010 [cited 2011 june 13]. Available
from : http://www.cancer.orgacsgroupsciddocuments/003108-pdf.html
38. Sjamsuhidajat R., Jong W.M,. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta : EGC. 2005
39. Gede s. Onkologi klinik. Surabaya : Airlangga University. 2000
40. Wiley. TNM Classification of Malignant Tumours. Sixth Edition. New York : A John
Wiley & Sons. 2002
41. Rosen ST. Head and Neck Cancer. New York : Kluwer Academic Publisher. 2004
42. Soepardi EA, dkk. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala &
leher. Edisi keenam. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007
43. Hermani B. Abdurrahman H. Tumor laring. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi ke-6. Jakarta. Balai Penerbit FKUI. 2007.
h. 194-198.
44. Weisman Robert A. Moe Kris S. Orloff Lisa A. Neoplasms Of The Larynx &
Laryngopharynx. Ballenger’s Otorhinolaryngology Head & Neck Surgery. Edisi-16.
Spain. BC Decker inc. 2003. h. 1255-1292.
45. Charous Steven J. Early Stage Head & Neck Cancer Surgery. Head and Neck Cancer.
United States of America. Kluwer Academic Publishers. 2004. h. 85-114.
46. Robin P E. Olofsson Jan. Tumourof The Larynx. Scott-Brown’s Otolaryngology.
Edisi-5. Britain. Penerbit Butterworths. 1987. h. 186-230.
47. Adams George L. Tumor-tumor Ganas Kepala dan Leher. Boies Buku Ajar Penyakit
THT. Edisi ke-6. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1997. h. 446-447.
48. http://emedicine.medscape.com/article/848034-overviewdiunduh tanggal 27 januari
2012 pkl.22.08 wib
133
49. Kreimer AR, Clifford GM, Boyle P, Franceschi S. Human papillomavirus types in
head and neck squamous cell carcinomas worldwide: a systematic review. Cancer
Epidemiol Biomarkers Prev. Feb 2005;14(2):467-75
50. Chung TS, Stefani S. Distant metastases of carcinoma of tonsillar region: a study of
475 patients. J Surg Oncol. 1980;14(1):5-9
51. Kreimer AR, Clifford GM, Boyle P, Franceschi S. Human papillomavirus types in
head and neck squamous cell carcinomas worldwide: a systematic review. Cancer
Epidemiol Biomarkers Prev. Feb 2005;14(2):467-75
52. Loh KS, Brown DH, Baker JT, Gilbert RW, Gullane PJ, Irish JC. A rational approach
to pulmonary screening in newly diagnosed head and neck cancer. Head Neck. Nov
2005;27(11):990-4.
53. Soepardi, Efiaty Arsyad dkk, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala Leher edisi 6.2007. FKUI
54. Staf pengajar FKUI. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. 2002. Jakarta : BINARUPA
AKSARA
55. De jong, Sjamsuhidajat. Buku Ajar Ilmu Bedah edisi 3. 2002. Jakarta: EGC
56. Adams L George, boies L, dkk. Boies Buku Ajar Penyakit THT edisi 6. Penerbit buku
kedokteran EGC. Jakarta 1997
57. Sudarmanto M, Sumantri AG. Limfoma Maligna. Dalam: Buku Ajar Hematologi
Onkologi. IDAI. Ed-3. Jakarta: 2012. h. 248-54.
58. Ballentine JR. Non Hodgkin Lymphoma. Jan 20, 2012 (Cited May 17 th, 2012).
Available at http://emedicine.medscape.com/article/203399-overview
59. Gillchrist G. Lymphoma. Dalam: Nelson Textbook of Pediatrics. 17th ed. Wisconsin:
Elsevier. 2007.h. 1701-6.
60. Hudson MM. Limfoma Non Hodgkin. Dalam: Ilmu Kesehatan Anak Nelson. 15 th ed.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2012.h. 1780-83.
61. Hudson MM. Penyakit Hodgkin. Dalam: Ilmu Kesehatan Anak Nelson. 15th ed.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.2012.h. 1777-83.
62. Stoppler MC. Hodgkin Lymphoma. May 1st2011 (Cited May 17th,2012) .Available at
(http://www.medicinenet.com/Hodgkin’s disease/article.htm)
134
63. Alarcone P. Hodgkin Lymphoma.Oct 11,2011 (Cited May 17th,2012). Available at
http://emedicine.medscape.com/article/987101-overview#a0101
135