the international symposium of journal antropologi indonesia · 2020. 4. 6. · the 7th...
TRANSCRIPT
The 7th International Symposium of Journal Antropologi Indonesia
293
the commodity of coffee farming has been popular and providing good economic value for local
the community and has been an identity of Palintang community. Palintang locals have considered
their coffee has very distinctive characters that are different from that other coffee produced in
other areas. As a result, the coffee produced in the Perhutani forest has become an identity of the
Palintang. The Palintang coffee has been recognized as special distinctive coffee by other
communities in West Java. Moreover, the distinctive coffee crop planted in the Perhutani forest
has been an important role in enhancing the high diversity of coffee varieties (landraces) in West
Java particularly, and Indonesian in general.
Keywords: Construction of Identity, coffee diversity, local knowledge, Perhutani forest, Palintang
community.
LANSKAP BUDAYA KOMODITAS KOPRA:
TINJAUAN ANTROPOLOGIS TERHADAP DINAMIKA KOMODITAS KOPRA DI YAINUELO34
O. Z. S. Tihurua
Mahasiswa Program Magister Antropologi, Universitas Indonesia
Artikel ini mengambil “komoditas” sebagai isu utama, dengan fokus pada dinamika produksi
komoditas kopra di Yainuelo, pulau Seram. Mengikuti Escobar (1995) dan Tsing (2005), saya
melihat dinamika produksi komoditas sebagai “arena produksi budaya”. Sebagai komoditas, kopra
bukanlah entitas material yang statis seperti dibayangkan oleh ilmu ekonomi moderen. Artikulasi
dan pemaknaan komoditas kopra oleh pengelola kopra selalu berubah‐ubah dalam lintasan
sejarah komoditas pada level produksi. Artikel ini memposisikan kopra seperti Rudyansjah melihat
“kekuasaan”, tidak pernah terperagakan dalam wujud yang final dan selalu di‐dialog‐kan oleh
berbagai aktor dengan kepentingannya masing‐masing pada bentangan ruang dan waktu yang
panjang. Artikel ini berupaya mengungkapkan transformasi dan kontinuitas budaya yang muncul
dalam lintasan sejarah produksi komoditas pada rentang waktu ‐ yang dalam istilah Braudel
disebut “conjuncture” (satu abad). Mengikuti logika konseptual “lanskap budaya” yang diajukan
oleh Rudyansjah untuk melihat kopra, saya melihat fenomena transformasi dan kontinuitas
budaya muncul secara berkelindan dalam kehidupan komoditas di Yainuelo. Dalam kajian ini, saya
juga berusaha memahami “friksi” yang menjadi bingkai dari proses transformasi dan kontinuitas
budaya pada dinamika komoditas kopra di Yainuelo.
Keywords: komoditas kopra, lanskap budaya, transformasi, kontinuitas, friksi
LATAR BELAKANG
Pada bulan Agustus 2018 ketika saya berada di kampung Yainuelo (lokasi penelitian), terlihat
sedikit sekali masyarakat yang sedang memproduksi kopra. Fenomena ini cukup mencengangkan
saya, bagaimana mungkin di kampung kelapa (baca: Yainuelo), aktifitas mengolah kelapa malah
terlihat sedikit? Beberapa hari kemudian saya baru mengetahui bawa masyarakat lebih banyak
beraktifitas untuk memanen cengkeh. Sebagai komoditas, cengkeh memang berbeda dengan
kopra. Masyarakat tidak membutuhkan banyak kerja untuk mendapatkan uang tunai dari
penjualan cengkeh. Selain itu, harga cengkeh dan harga kopra memiliki selisih yang sangat besar.
34 Artikel ini merupakan ringkasan tesis saya yang sudah di uji pada tanggal 12 Juni 2019 pada departemen Antropologi Universitas Indonesia
294
Harga cengkeh 1 kg adalah Rp. 85.000,‐, sementara harga kopra di waktu yang sama 1 kg adalah
Rp. 5.000,‐. Harga dan kebutuhan uang tunai telah mendorong masyarakat untuk memposisikan
kopra sebagai komoditas nomor dua dalam kehidupan mereka.
Memposisikan kopra sebagai komoditas nomor dua ini merupakan transformasi atas cara
pandang terhadap komoditas kopra. Pasalnya sejak awal abad ke‐20, kopra menjadi komoditas
utama masyarakat Yainuelo dalam memenuhi kebutuhan uang tunai. Pada dekade pertama abad
ke‐20, masyarakat Sepa mulai menanam pohon kelapa untuk merespon tingginya permintaan
kopra di pasar global. Tidak hanya masyarakat, pemerintah negeri Sepa juga melakukan hal yang
sama, membuka hutan untuk pembuatan kebun kelapa milik negeri. Kebun kelapa negeri ini telah
memunculkan konflik antar negeri, migrasi orang bukan‐negeri dan orang negeri, dan melahirkan
pemukiman baru yang dinamai “yainuelo”35. Proses terbentuknya kampung ini sangat kompleks,
karena melibatkan berbagai aktor dengan kepentingannya masing‐masing yang saling berelasi
dalam dinamika komoditas kopra.
Terlepas dari fenomena diatas, ketertarikan saya untuk mengkaji “komoditas kopra” berangkat
dari tulisan Anna L. Tsing yang berjudul “Shorting Out Commodity: How capitalist value is made
throught gifts” dan tulisan Rudyansjah dalam buku “Sejarah, Kekuasaan, dan Tindakan”. Tsing
mendiskusikan bagaimana komoditas kapitalis (jamur matsutake) menjadi bernilai melalui
praktik‐praktik non‐kapitalis atau lebih tepatnya melalui “gifts”. Rantai komoditas jamur
matsutake berawal dan berakhir sebagai hadiah. Tulisan ini mendorong saya untuk melihat dan
memahami dinamika komoditas kopra di Yainuelo. Sebagai komoditas, kopra di Yainuelo dan
jamur matsutake memiliki kesamaan yakni tidak diproduksi oleh kelas kapitalis atau pemilik
modal. Produsen kopra dan matsutake adalah orang‐orang yang tidak menyandarkan
kehidupannya sepenuhnya pada logika ekonomi kapitalis, sehingga proses produksi komoditas
tidak dilakukan hanya dengan menggunakan logika komoditas. Proses produksi kopra di Yainuelo
misalnya, pada beberapa tahap kopra dikelola dengan cara non‐kapitalis (lihat penjelasan
Rudyansjah & Tihurua, 2018) dan beberapa tahap lagi dikelola dengan cara kapitalis. Fenomena
kopra pada level produksi, memperlihatkan bagaimana pertukaran hadiah dan komoditas itu
saling silang sengkarut, tidak seperti yang dikemukakan oleh Christoper Gregory. Gregory dalam
buku “Gifts and Commodities” membedakan secara ketat pertukaran hadiah dan pertukaran
komoditas.
Terkait dengan isu hadiah dan komoditas dalam kajian antropologi, terdapat kelompok
Antropolog yang mengambil posisi berbeda dengan Gregory. Appadurai (2012), Parry & Bloch
(1989), Lapavitsas (2004), dan Andre Rujs (2008) berpendapat sebaliknya, pertukaran hadiah dan
komoditas itu tidak dapat dibedakan. Artikel ini mengambil posisi teoritis mengikuti apa yang
dilakukan Tsing (2013), secara prinsip kedua pertukaran ini berbeda, namun dalam aktifitas sehari‐
hari kedua pertukaran ini digunakan secara berkelindan. Penggunaan kedua pertukaran ini secara
berkelindan mendorong saya untuk melihat transformasi dan kontinuitas budaya dalam dinamika
komoditas kopra di Yainuelo. Saya tidak setuju dengan pandangan Gregory (1982) yang melihat
ekonomi hadiah yang digunakan di PNG pada era kolonial bukan kontinuitas dari ekonomi hadiah
pada era pra‐kolonial. Gregory tidak setuju dengan kontinuitas kebudayaan, menurutnya ekonomi
hadiah dan ekonomi komoditas tumbuh secara simultan.
35 Penamaan “yainuelo” diambil dari bahasa Sepa, dimana nama ini teridiri dari kata “yai” yang artinya “kayu” dan kata “nuelo” yang berarti “kelapa”.
The 7th International Symposium of Journal Antropologi Indonesia
295
Upaya saya untuk memahami transformasi dan kontinuitas budaya dalam dinamika komoditas
kopra di Yainuelo terinspirasi juga dari cara Rudyansjah (2009) melihat “kekuasaan” di Buton.
Dalam menganalisis fenomena transformasi dan kontinuitas kebudayaan ini, saya menggunakan
konsep “lanskap budaya” yang diajukan oleh Rudyansjah. Menurut saya, komoditas kopra seperti
kekuasaan, tidak pernah diartikulasikan secara final oleh masyarakat yang hidup dengan
komoditas tersebut. Dinamika komoditas kopra di Yainuelo memiliki keterpautan dengan
manusia, kelapa, dan alam dan terikat dengan ruang dan waktu dimana komoditas tersebut
diproduksi. Memahami komoditas kopra dalam bentangan ruang dan waktu yang panjang akan
memperlihatkan kompleksitas dinamika komoditas tersebut. Artikel ini bertujuan untuk melihat
bentuk‐bentuk transformasi dan kontinuitas budaya yang muncul dalam dinamika kopra di
Yainuelo dalam periode waktu conjuncture (satu abad) dan melihat friksi yang terjadi antara
dinamika kopra dan kebudayaan yang secara tidak langsung berdampak pada stabilitas pasokan
komoditas ini di pasar.
METODE PENELITIAN
Dari uraian diatas, artikel ini berupaya mengungkapkan kompleksitas dari dinamika kopra di
Yainuelo dengan mempertanyakan “Bagaimana proses transformasi dan kontinuitas budaya
dalam dinamika komoditas kopra dalam bentangan ruang dan waktu yang panjang di Yainuelo?”
periode sejarah yang dilihat adalah satu abad, dalam istilah Braudel “the conjuncture”, dengan
mengambil peristiwa pembuatan kebun kelapa negeri Sepa sebagai – apa yang Sahlins (2004)
sebut “the moment of structural break”. Pembukaan kebun kelapa negeri menjadi momentum
awal dinamika komoditas kopra di Yainuelo.
Artikel ini merupakan hasil dari penelitian lapangan yang saya lakukan di kampung Yainuelo pada
bulan Agustus 2018 sampai dengan bulan Januari 2019. Kampung Yainuelo secara administratif
masuk dalam kecamatan Amahai, kabupaten Maluku Tengah, Maluku. Data dan informasi yang
menjadi bahan baku dari tulisan ini tidak hanya didapat dari pengamatan lapangan dan
wawancara mendalam dengan subjek Penelitian namun juga dari refleksi atas pengalaman saya
yang hidup dan besar di kampung Yainuelo.
Hal penting yang saya lakukan dalam penelitian ini adalah bagaimana memposisikan diri sebagai
peneliti dalam alam kehidupan subjek penelitian. Saya sebagai orang kampung dan saya sebagai
peneliti itu dua status yang berbeda dan berdampak pada cara merespon rutinitas harian
masyarakat dalam memproduksi komoditas kopra. Posisi saya sebagai bagian dari masyarakat
yang di teliti pada awalnya membawa keraguan akan ketidak‐obejektifan dalam memahami
budaya masyarakat dalam pengelolaan kopra di Yainuelo. Namun, seperti apa yang disampaikan
oleh Spradley (2007) “cara yang terbaik untuk belajar etnografi adalah dengan melakukannya”
(h. 63). Kalimat ini sangat lugas dan tegas serta dapat dimaknai, lakukanlah etnografi sekalipun
situs penelitian lapangan itu adalah kampung mu sendiri. Selain itu, Rudyansjah dalam tulisannya
“Going Native sebagai Tabu dan Identitas Tempatan sebagai Titik Pijak Etnografis” telah
membawa keberanian bagi saya untuk tetap memutuskan melakukan penelitian lapangan di
kampung sendiri (baca: Yainuelo). Menurut Rudyansjah, posisi si peneliti yang sama dengan subjek
penelitiannya semestinya bisa diterima sebagai satu perspektif etnografis yang berharga. Ia
melanjutkan, hanya dengan memiliki komitmen keyakinan yang sama dengan masyarakat yang
296
diteliti, ahli antropologi akan dapat menangkap kebudayaan masyarakat yang diteliti dalam
konteks konkrit mereka.36
Naluri untuk mendalami peristiwa‐peristiwa harian akan muncul ketika kita memposisikan diri
sebagai peneliti. Perbedaan kedalaman pemahaman antara Peneliti‐orang dalam dan Peneliti‐
orang luar adalah kemampuan merasakan secara totalitas apa yang dilakukan oleh subjek
penelitian. peneliti‐orang dalam dan peneliti‐orang luar ini tidak ditentukan oleh asal‐usul
peneliti, tetapi ditentukan oleh cara peneliti menempatkan diri dalam alam kehidupan subjek
penelitian. Walaupun seorang peneliti itu bagian dari komunitas subjek penelitiannya, namun
ketika dia tidak menempatkan diri dengan baik sebagai bagian dari alam kehidupan subjek
penelitiannya maka ia tidak akan mendapatkan kedalaman dari fenomena yang diteliti atau
meminjam istilah Rudyansjah Peneliti tersebut tidak akan menghasilkan “perspektif etnografis
yang berharga”, begitupun sebaliknya.
Konsep utama yang digunakan untuk menganalisis dinamika komoditas kopra di Yainuelo adalah
“lanskap budaya” yang dikemukakan oleh Rudyansjah. Penggunaan konsep ini secara serta‐merta
memberikan implikasi metodologis, harus menggunakan pendekatan antropologi dan pendekatan
sejarah. Menurut Rudyansjah (2009), penggunaan dua pendekatan ini akan memberikan
kedalaman lokal/sosial dan kedalaman sejarah terhadap sesuatu yang menjadi isu utama dalam
kajian yang dilakukan. Bagaimana memahami sejarah komoditas kopra di Yainuelo sementara
data sejarah akan komoditas ini di Maluku sangat minim bahkan nyaris tidak ada? Data sejarah
komoditas kopra di Yainuelo saya peroleh dari sejarah lisan yang diproduksi dan direproduksi oleh
masyarakat dari generasi ke generasi. Selain itu, disertasi Rasid Asba dalam buku “Kopra
Makassar: Perebutan Pusat dan Daerah” menjadi sumber tertulis utama sejarah kopra di Maluku.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Kelapa, Kopra, & Kampung: Cerita tentang Friksi & Hibriditas
Penerimaan komoditas kopra menandai transformasi cara pandang masyarakat seram terhadap
kelapa, dari tanaman subsistem menjadi tanaman industry (komoditas). Menurut saya, untuk
memahami transformasi dan kontinuitas budaya pada dinamika dinamika komoditas kopra kita
harus memulai dengan mendiskusikan tentang bagaimana kelapa di seram sebelum hadirnya
kopra.
Kapan orang Seram mulai menanam kelapa? Apakah pohon kelapa baru dikenal pada saat
booming komoditas kopra? Pertanyaan ini susah sekali dijawab karena tidak ada catatan sejarah
tentang tanaman kelapa pertama kali ada di pulau Seram, bahkan juga di nusantara. Asba (2007)
menulis “mengenai kapan dan bagaimana kelapa masuk di Indonesia, tidak diketahui secara pasti.
Berbagai sumber menyatakan bahwa kelapa mulai dikenal pada daerah‐daerah pesisir pantai
Jawa, Sumatra,dan pulau‐pulau di Nusantara bagian Timur” (h. 29‐30). Dengan merujuk pada
Pantouw, Asba menyampaikan, di wilayah Nusantara sendiri cerita tentang kelapa sudah lama
dikenal. Ini dibuktikan dengan adanya gambar pohon kelapa pada relief candi Brobudur. Asba
dalam bukunya juga menguraikan tentang perbedaan pendapat para ahli Sejarah tentang asal‐
muasal pohon kelapa. Terkait dengan perbedaan pendapat ini, Asba (2007) menyatakan, ketidak‐
36 Rudyansjah, dkk. (2012). Antropologi Agama: Wacana‐wacana Mutakhir dalam Kajian Religi dan Agama, Jakarta: UI‐Press. h. 26‐27
The 7th International Symposium of Journal Antropologi Indonesia
297
jelasan asal‐muasal tanaman kelapa memperkuat dugaan bahwa pohon kelapa telah menyebar di
berbagai wilayah. Jika apa yang diasumsikan Asba kita gunakan, pertanyaan pentingnya adalah
“bagaimana kelapa dapat menyebar diberbagai wilayah di nusantara?” untuk menjawab
pertanyaan ini, saya merujuk pada penjelasan Foale tentang kualitas buah kelapa yang dapat
memungkinkan ia tersebar dan tumbuh diberbagai wilayah. Foale (2003) menjelaskan:
“Kisah kelapa dan keberadaannya di seluruh dunia adalah kisah di mana evolusi, imigrasi,
perdagangan, praktik budaya lainnya, dan kekuatan alam semuanya berperan. …
Buah kelapa liar mengapung dengan sangat baik karena kulitnya yang tebal dan
berkepadatan rendah, yang menyerap air dengan sangat lambat. buah‐buah kelapa dapat
mengapung hingga empat bulan di laut dan masih bertunas/tumbuh ketika ditempatkan di
tanah kering. …
selain bertindak sebagai wadah apung untuk benih kelapa, kulitnya cukup lunak untuk
melindungi benih di dalamnya ketika jatuh ke tempat berbatu, … evolusi kuat dari benih
kelapa yang mengambang, mampu bertahan berbulan‐bulan di laut dan menempuh
perjalanan hingga ribuan kilometer tergantung pada kecepatan arus, hal inilah yang
menjamin penyebaran kelapa yang luas.”
Terkait dengan keberadaan kelapa di pulau Seram, walaupun tidak ada catatan kapan kelapa mulai
tumbuh di pulau ini, namun beberapa catatan sejarah menunjukkan sebelum perdagangan kopra
kelapa sudah dikenal oleh masyarakat Seram. Muridan Widjojo (2013) dengan merujuk pada
laporan VOC tahun 1782 dari Ambon kepada Batavia, menulis “pada pertengahan 1782
Pemerintah Ambon merekomendasikan pengiriman ekspedisi‐ekspedisi penghukuman. …
sejumlah besar pohon sagu dan pohon kelapa yang dianggap sumber pasokan makanan bagi
pemberontak juga dihancurkan” (h. 247‐248). Menurut saya, catatan ini dapat menunjukan
kepada kita bahwa pada abad ke‐18 sebelum adanya perdagangan komoditas kopra, masyarakat
di kepulauan Maluku sudah menanam kelapa. Selain catatan Muridan, mitos yang dituturkan oleh
masyarakat Seram tengah dan barat juga dapat menjadi alasan yang kuat untuk menunjukkan
kelapa di pulau Seram sudah ada sebelum era perdagangan kopra. Mitos “Hainuwele” dan “La
Ode Wuna” menjadi dua bukti sejarah lisan keberadaan kelapa di pulau Seram. Bukti bahwa
masyarakat Yainuelo yang berasal dari etnis Buton masih memegang cerita ini adalah mereka
sampai saat ini masih menyimpan gambar La Ode Wuna di rumah‐rumah mereka. Fenomena ini
mengingatkan saya pada apa yang disampaikan Foale (2003), cerita tentang kelapa adalah cerita
tentang migrasi. Migrasi orang Buton ke pulau Seram.
Kelapa telah menjadi tanaman susbsistensi kehidupan masyarakat jauh sebelum komoditas kopra
dikenal. Kelapa digunakan untuk berbagai kebutuhan keluarga, mulai dari buah, batang, sampai
daun. Buah kelapa misalnya, dagingnya dipotong‐potong kemudian disajikan di meja makan
bersama makanan utama, masyarakat menyebutnya dengan istilah “kalapa sisi”. Dalam beberapa
komunitas di Maluku Tengah, di dulang makan37 harus tersedia kelapa sisi. Jika kelapa sisi tidak
ada didulang makan, kepala keluarga dapat marah bahkan acara makan keluarga dapat
dibatalkan. Kelapa sisi posisinya sama dengan garam di dulang makan, kedua makanan ini harus
ada. Selain dagingnya di makan mentah, daging kelapa juga di parut untuk diambil santannya
sebagai bahan pembuatan sayur dan makanan berkuah lainnya serta diolah menjadi minyak
goreng. Bukan hanya kelapa yang sudah tua yang bermanfaat untuk kehidupan masyarakat, buah
37 Tempat makan
298
kelapa yang masih muda pun mempunyai kegunaan yang juga tidak kalah pentingnya. Buah kelapa
muda digunakan oleh sebagian komunitas untuk menanamkan ari‐ari bayi yang baru lahir. Di
Yainuelo tradisi menanam ari‐ari bayi yang baru lahir dilakukan oleh etnis Buton. Masyarakat tidak
hanya menggunakan daging kelapa, kulit buah kelapa pun bermanfaat untuk kebutuhan harian
masyarakat.
Diperkenalkannya komoditas kopra di Maluku pada akhir abad ke‐19 dan awal abad ke‐20 telah
memicu gairah masyarakat di pulau Seram untuk memperluas areal penanaman pohon kelapa.
Perluasan lahan atau penanaman pohon kelapa dalam skala yang besar oleh orang kampung di
Seram termasuk di Sepa diperuntukan untuk produksi komoditas kopra. Penerimaan komoditas
kopra di Sepa menjadi pemicu lahirnya kampung Yainuelo. Namun, komoditas kopra tidak menjadi
satu‐satunya faktor, ada faktor lain yang saling “bergesekan” dengan komoditas yang membuat
lahirnya kampung Yainuelo. Pemerintah negeri Sepa mempunyai kepentingan menjaga wilayah
perbatasan yang berada di sisi barat‐selatan, orang‐orang Buton membutuhkan wilayah baru
untuk hidup, pembakaran kampung Sepa oleh RMS membuat sekelompok orang Sepa migrasi ke
Yainuelo pada tahun 1950‐an, pasar membutuhkan peningkatan produksi komoditas kopra, dan
tanaman kelapa memiliki kualitas yang membuat semua kepentingan ini dapat berjalan.
Komoditas kopra juga memfasilitasi migrasi orang negeri dan bukan‐orang negeri (sebagian besar
etnis Buton) ke Yainuelo. Percampuran etnis ini telah menghasilkan dinamika kebudayaan di
Yainuelo yang kompleks dan unik atau dapat disebut dinamika kampung Yainuelo melahirkan
budaya yang hybrid.
Gambar: kampung Yainuelo
(sumber: diolah dari google earth dan hasil penelitian)
Bagaimana friksi dan hibriditas ini terjadi? Kita mesti memulai dengan menelusuri sejarah
dinamika kopra di Maluku. Rasid Asba (2013), sejarawan yang meneliti tentang perdagangan
kopra di Makassar menyampaikan “Tanaman kelapa baru mendapat perhatian serius sebagai
komoditi dagang setelah minyak nabati sangat dibutuhkan dalam pembuatan sabun dan mentega
pada akhir abad ke‐19. Pada tahun 1873, Perseroan Dagang Nederland (Nederlandsche Handels
Maatschappij) di Amsterdam mulai menerima kopra” (h. 30). Pada bagian selanjutnya, Asba
menyampaikan (2013) “masyarakat Maluku baru mulai membuat kopra pada tahun 1880‐an.”
Keterangan Asba diatas menunjukkan bagaimana kecepatan masyarakat di wilayah pedesaan di
The 7th International Symposium of Journal Antropologi Indonesia
299
pulau Seram merespon permintaan pasar global. Walaupun kita mesti akui juga bahwa hal
tersebut terjadi karena adanya campur tangan pemerintah kolonial pada waktu itu. Hanya dalam
beberapa dekade dari penemuan komoditas kopra, Maluku diawal abad ke‐20 telah meningkatkan
produktifitas Kopra dengan angka yang sangat fantastis dan menjadi komoditas ekspor unggulan.
Dalam catatan Asba (2013), Selama tahun 1928‐1930 jumlah ekspor kopra dari Maluku mencapai
f 3 juta.
Pertanyaan penting dalam menanggapi fenomena yang dicatat Asba diatas adalah bagaimana
kopra dapat menjadi komoditas ekspor utama Maluku pada awal abad ke‐20? Padahal masih
dalam catatan Asba, sejak awal perusahaan swasta yang berinvestasi untuk pembuatan
perkebunan kelapa hanyalah berkisar antara 5‐6 %. Jadi, ekspor kopra pada awal abad ke‐20 yang
tinggi itu 94‐95 % diproduksi oleh perkebunan rakyat atau oleh produsen kopra di kampung‐
kampung. Situasi penanaman modal pada perkebunan kelapa sejak awal era kopra sampai saat ini
pun sama. Tihurua & Rudyansjah (2018) mencatat, Data Statistik Perkebunan pada tahun 2015
menunjukkan bahwa luas areal kebun kelapa di Indonesia berdasarkan jenis pengusahaan
didominasi oleh perkebunan kelapa rakyat, yakni sebesar 98,98%. Sedangkan perkebunan Negara
hanya seluas 0,11% dan perkebunan Swasta seluas 0,92%.
Terkait dengan pembukaan hutan dan penanaman pohon kelapa untuk kebun kelapa negeri Sepa,
ketua Saniri Yainuelo, Ahmad Haji Muhamad Tihurua menyampaikan, dahulu (tahun pastinya
Informan tidak tahu) ada 40 kepala keluarga di Negeri Sepa tidak dapat membayar “balanse38”
atau pajak ke pemerintah Hindia Belanda. Pemerintah negeri Sepa mengambil alih persoalan
tersebut dan membayar pajak mereka. Sebagai gantinya, pemerintah negeri meminta 40 kepala
keluarga ini membuka hutan yang berada di pesisir barat petuanan Negeri Sepa yang berbatasan
dengan negeri Rutah untuk penanaman kelapa. Ke‐40 orang ini di pimpin oleh Hasyim Tihurua,
yang saat itu menjadi Kapitang Basar (Besar)39 negeri Sepa. Areal yang dibuka dan ditanami kelapa
ini awalnya disebut totun (tanjung).
Tanaman kelapa yang ditanam di kebun negeri dilakukan dua kali. Pertama, pembukaan hutan
dan penanaman kelapa dilakukan oleh 40 orang kepala keluarga dari Sepa sebagai bentuk balas
jasa kepada Negeri. Kedua, penanaman kelapa dilakukan oleh beberapa keluarga Buton dan Sepa
yang migrasi ke Yainuelo. Penanaman kelapa pada gelombang kedua ini terjadi pada periode
1950‐an sampai dengan periode 1970‐an. Awalnya masyarakat Yainuelo meminta kepada Negeri
Sepa melalui orang‐orang tua negeri Sepa yang ada di Yainuelo untuk membuat kebun (menanam
tanaman umur pendek untuk kebutuhan harian keluarga). Didalam kebun tersebut, mereka
kemudian menanam kelapa. Tidak ada keterangan yang jelas dari masyarakat, apakah penanaman
kelapa itu diminta oleh Pemerintah Negeri atau itu merupakan inisitif masyarakat yang berkebun.
Pohon‐pohon kelapa yang telah tumbuh di kebun‐kebun pribadi yang ada dalam areal kebun
kelapa negeri tersebut dibagi dengan negeri sehingga menjadi bagian kelapa negeri.
Pada awal abad ke‐20, Raja Negeri Sepa menugaskan La Hari40 untuk menjaga kebun kelapa negeri
di daerah Totun yang berbatasan dengan wilayah petuanan negeri Rutah. Menurut cerita yang
berkembang pada masyarakat Sepa, hal ini dilakukan karena masyarakat negeri Rutah sering
mencabut pohon‐pohon kelapa yang baru ditanam dan menanam anakan kelapa tersebut di
38 Istilah “balance” yang biasa digunakan masyarakat ini berasal dari kata “belasting” yang dalam bahasa Belanda berarti Pajak. 39 Panglima perang negeri dalam struktur adat masyarakat Sepa. 40 Salah satu orang Buton yang tinggal di Sepa
300
wilayah mereka. Selain itu, saling klaim wilayah yang menjadi batas kedua negeri ini juga terus
terjadi. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah negeri Sepa untuk mempertahankan apa
yang mereka klaim adalah menaruh orang untuk menjaga wilayah tersebut.
Penempatan La Hari dan keluarganya di Yainuelo menyebabkan beberapa keluarga Buton pindah
dan hidup didaerah ini. Menurut Fadly41, ketika La Hari ditugaskan untuk pindah ke Yainuelo, ia
mengajak juga saudaranya La Nuru yang waktu itu sudah tinggal di Sepa. La Hari dan La Nuru tidak
sendirian ke Yainuelo, mereka membawa seluruh kelurga. Untuk memenuhi kehidupan keluarga
dan ana‐cucu mereka dikemudian hari, pemerintah Negeri Sepa mempersilahkan mereka untuk
membuka hutan guna menanam tanaman umur pajang dan tanaman umur pendek. Jumlah
keluarga Buton yang pindah ke Yainuelo terus bertambah. Awalnya keluarga yang datang masih
merupakan kerabat La hari, setelah itu datang juga keluarga Buton dari beberapa sub‐suku
lainnya. Diantaranya adalah Cia‐cia, Tomia, dan Siompu.
Pada tahun 1950‐an terjadi pergolakan politik di Maluku yang dilakukan oleh organisasi yang
menyebut diri Republik Maluku Selatan (RMS). Negeri Sepa terkena dampak dari gerakan ini,
dimana pada tahun 1950‐an pasukan RMS menyerang dan membakar negeri Sepa. Dalam
peristiwa ini, salah satu tokoh adat negeri Sepa, Yahya Tihurua ditangkap dan ditawan di wilayah
pegunungan selama 3 (tiga) bulan. Yahya Tihurua merupakan anak dari Hasyim Tihurua (Kapitang
Basar) yang memimpin kelompok 40 untuk membuka hutan di Yainuelo. Ketika ia dibebaskan,
bapak Yahya langsung tinggal di Yainuelo. Menurut tuturan Halija Tihurua anak Yahya Tihurua
kepada saya, menetapnya bapak Yahya Tihurua di Yainuelo diminta oleh kelurga Buton yang
tinggal di negeri ini.
Menetapnya bapak Yahya Tihurua di Yainuelo membuat beberapa keluarga Sepa juga pindah dan
menetap di Yainuelo. Selain bapak Yahya Tihurua, salah satu tokoh adat yang juga pindah adalah
Adam Tihurua. Adam Tihurua saat itu menjabat sebagai kapitang basar negeri Sepa dan kakak dari
Yahya Tihurua. Keluarga Sepa yang pindah tersebut antara lain, keluarga dari marga Tihurua,
marga Amahoru, Kunio, Wasolo, Sopalatu, Wasolo, Souwahu, dan Mahua. Keluarga Sepa yang
pindah ke Yainuelo awalnya merupakan kerabat dan murid mengaji bapak Yahya Tihurua. Seiring
berjalannya waktu penduduk di kampung ini terus bertambah, selain orang Buton dan orang Sepa,
orang Kei dan Flores juga migrasi dan hidup di Yainuelo.
Letak geografis kampung Yainuelo membuat migrasi orang bukan‐negeri dan orang negeri ke
Yainuelo menjadi sangat mungkin. Yainuelo berada dibagian selatan‐tengah pulau Seram, Maluku.
Bagian selatan pulau Seram umumnya merupakan daerah yang memiliki luas dataran sedikit,
karena didominasi oleh bukit‐bukit dan dataran tinggi. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS)
yang dilansir tahun 2018, Negeri Yainuelo berada pada ketinggian 6 meter MDPL dan berada
disekitar areal hutan. Kampung ini berhadapan langsung dengan laut Banda yang berada disebelah
selatan, sedangkan sebalah utara dan timur adalah hutan adat negeri Sepa, dan di sebelah barat
berbatasan dengan hutan adat negeri Rutah. Kondisi tanah di Yainuelo dan hutan disekitarnya
sebagian besar didominasi oleh tanah yang bercampur pasir dan batu atau masyarakat biasa
menyebutnya tanah “sirtu”. Jenis tanah ini bukan hanya di Yainuelo, dataran di pesisir selatan
pulau Seram didominasi jenis tanah yang sama. Menurut masyarakat, tanah sirtu sangat cocok
untuk tanaman kelapa. Senada dengan apa yang dituturkan masyarakat, Asba (2007:57)
41 Salah satu Informan saya di Yaiuelo yang saat ini menjabat sebagai Kepala Urusan Pembangunan Negri Administratif Yainuelo dan masih keturunan La Nuru
The 7th International Symposium of Journal Antropologi Indonesia
301
menyampaikan, wilayah Indonesia Timur (termasuk di pulau Seram) cocok untuk tanaman kelapa,
karena selain cuaca juga tanahnya mengandung batuan kapur serta aluvium (lempung pasir halus)
yang banyak mengandung texture (susunan kimiawi) tanah yang subur. Kondisi tanah di Maluku
yang hangat dan lembab menguntungkan bagi pertumbuhan kelapa.
Masyarakat Yainuelo dibagi dalam dua kategori. Pertama, “orang negeri”; kedua, “bukan‐orang
negeri”. Istilah orang negeri disematkan pada masyarakat Sepa yang ada di Yainuelo. Sedangkan,
istilah bukan‐orang negeri digunakan untuk menunjuk masyarakat lain selain orang Sepa.
Pembedaan ini memiliki konsekuensi terhadap power dan akses. Orang negeri mempunyai kuasa
untuk membicarakan berbagai kepentingan negeri yang penting. Misalnya, siapa yang harus
dicalonkan menjadi kepala kampung, siapa yang menjadi ketua saniri, siapa yang harus menjadi
imam. Sementara masyarakat Yainuelo yang dikategorikan sebagai bukan‐orang negeri, untuk
kepentingan‐kepentingan ini secara tidak langsung diharapkan bersifat pasif. Kuasa yang dimiliki
orang negeri berhubungan juga dengan akses terhadap hutan dan tanah komunal. Dalam hukum
adat Sepa, hutan dan tanah itu milik negeri dan semua anggota komunitas sepa mempunyai hak
untuk membuka dan mengolah hutan dan tanah tersebut. Bukan‐orang negeri tidak mempunyai
hak untuk mengakses hutan dan tanah secara langsung. Mereka dapat membuka hutan atau
mengolah tanah komunal jika sudah mendapatkan izin dari pemerintah negeri, atau orang negeri,
atau bersama orang negeri membuka hutan dan tanah tersebut. Hanya keluarga‐keluarga Buton
generasi pertama dan kedua yang diberikan izin oleh pemerintah negeri untuk membukan hutan
dan mengolah tanah untuk kelangsungan hidup keluarga mereka. Misalnya, keluarga La Hari,
keluarga Ode Kaluku, Keluarga La Nuru, Keluarga Ode Bolombo, dan beberapa keluarga Buton
pertama lainnya yang sejak awal mereka diberikan akses secara langsung untuk membuka hutan
dan mengolah tanah.
Pembedaan ini berdampak pula pada kepemilikan dusun kelapa yang ada saat ini di Yainuelo.
Dusun kelapa di Yainuelo itu dimiliki oleh negeri Sepa, orang negeri yang ada di Sepa dan Yainuelo,
orang Buton generasi pertama di Yainuelo, orang Buton yang menikah dengan orang negeri, orang
Buton generasi kedua yang menanam kelapa didalam dusun kelapa negeri, dan bukan‐orang
negeri yang didapatkan dengan cara membeli. Kepemilikan dusun kelapa ini dapat menjadi
penanda untuk membedakan orang negeri dengan bukan orang negeri, dan pembeda bukan‐
orang negeri yang lama dengan bukan‐orang negeri yang baru.
Pembagian masyarakat Yainuelo kedalam dua kategori ini, dalam konteks sumber penghidupan
didukung oleh kondisi geografis (sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya). Letak geografis
kampung Yainuelo membuat masyarakat menggantungkan hidup di darat dan di laut. Masyarakat
Yainuelo yang hidupnya di laut umumnya merupakan orang Buton, sementara orang negeri lebih
banyak mengelola tanah dan hutan. Di Yainuelo, bahkan di Maluku secara umum pembagian
masyarakat kampung menjadi petani dan nelayan secara ketat tidak terlalu tepat. Pasalnya,
masyarakat Yainuelo atau Seram yang sebagian besar tinggal di pesisir pantai menggantungkan
hidupnya di darat dan juga di laut. Ada orang yang aktifitasnya melaut dia juga mempunyai dusun
dan kebun, begitu pun sebaliknya. Jika ada sebagian masyarakat yang lebih menggantungkan
hidupnya di laut itu dikarenakan akses terhadap lahan yang sulit karena posisinya sebagai bukan‐
orang negeri. Sementara, sebagian besar orang negeri tidak benar‐benar menggantungkan
hidupnya di laut bukan berarti dia tidak melaut. Mereka tetap melaut, namun bukan dijadikan
sebagai sumber penghidupan yang utama. Kebanyakan mereka ke laut hanya untuk memenuhi
kebutuhan harian keluarga. Hal inilah yang membuat saya menghindari menggunakan istilah
“petani” dan “nelayan” dalam artikel ini.
302
Konsep dan Teknik Produksi Kopra di Yainuelo
Kopra adalah komoditas yang berasal dari daging kelapa yang telah dikeringkan. Mengapa kopra
disebut komoditas? sejak awal kopra adalah barang yang diproduksi oleh masyarakat bukan untuk
dikonsumsi, tetapi untuk di jual. Jadi sejak awal ketika kopra jadi, dia sudah disebut sebagai
komoditas. Bagaimana kopra ini diproduksi? Proses pengerjaan kopra ini sangat rumit dan
membutuhkan kerja dan pencurahan tenaga yang ekstra.
Menurut Rudyansjah & Tihurua (2018), secara teknis proses produksi kopra ada 4 (empat) tahapan
pekerjaan. Pertama, ‘Pameri’. Pameri adalah istilah yang digunakan oleh masyarakat di Yainuelo
dan Sepa untuk menyebut kegiatan pembersihan rumput pada dusun kelapa. Kedua, panen buah
kelapa yang dilakukan dengan cara memanjat pohon kelapa. Ketiga, belah buah kelapa dan sisi
kelapa (melepaskan daging kelapa dari batok kelapa). Dua aktifitas ini sering dilakukan secara
bersamaan atau dilakukan dengan selisih 8 – 10 jam. Kerja Keempat adalah mengeringkan daging
kelapa.
Dalam pengelolaan kopra, masyarakat di Yainuelo dan Sepa mengenal tiga jenis sistem
pengarahan atau penggunaan tenaga kerja. Yang pertama, kerja dengan cara masohi; kedua, kerja
dengan cara ma’ano; dan ketiga, kerja dengan cara sewa. Roy Ellen (2003) mengartikan masohi
sebagai sistem gotong royong antar tetangga dan saudara khususnya dalam membangun rumah
atau berbagai kegiatan sosial lainnya42. Sedangkan, Bartels (2017) Etnografer juga yang melakukan
penelitian di Maluku Tengah mendefenisikan masohi sebagai bentuk ekspresi kolektivisme ideal
masyarakat Maluku yang terjadi dalam banyak tugas sehari‐hari. Terkait dengan defenisi masohi
yang disampaikan oleh Ellen, Rudyansjah & Tihurua (2018) menyampaikan, Masohi tidak hanya
melibatkan saudara atau tetangga, tetapi juga melibatkan hubungan pertemanan. Sedangkan
defenisi yang diberikan oleh Bartels tidak menggambarkan adanya pemberian tenaga yang
bersifat resiprokal dalam kerja masohi. Menurut Rudyansjah & Tihurua (2018), Masohi adalah
tradisi kerja masyarakat di Maluku (termasuk di pulau Seram) yang didasarkan pada relasi sosial
non‐kapitalis dan prinsip pertukaran resiprokal.
Jika masohi didasarkan pada prinsip pertukaran resiprokal, maka Ma’ano didasarkan pada prinsip
bagi hasil. Ma’ano merupakan model kerja dimana satu orang atau lebih mengelola kopra dari
dusun kelapa milik orang lain (keluarga atau teman) dan hasil dari pengelolaan kopra tersebut
dibagi antara pengelola dan pemilik dusun kelapa. Pembagian hasil dari model kerja ma’ano cukup
beragam, tergantung kesepakatan pengelola dan pemilik dusun. Misalnya, ada yang
menggunakan sistem “bage dua”, pemilik dusun mendapatkan satu bagian, sedangkan pengelola
mendapatkan satu bagian. Jadi, ketika pengelola ada 3 orang maka mereka akan membagi satu
bagian tersebut. Ada juga model ma’ano dengan sistem “bage sama”. Sistem yang kedua ini, hasil
dari pengelolaan kopra dibagi secara merata antara pengelola dengan pemilik dusun. Kalau yang
kelola ada 3 orang, maka haisl kopra tersebut di bagi empat bagian. Setiap orang mendapatkan
bagian yang sama.
Sewa adalah model pengelolaan kerja yang berbeda dengan masohi dan ma’ano. Sewa
mensyaratkan uang sebagai upah untuk mengganti tenaga yang dicurahkan untuk mengerjakan
sesuatu. Sewa sudah dikenal lama di Yainuelo, bahkan sejak awal berdirinya kampung ini
42 Kadir, H. A. (2014). Ambon di Bawah Orde Baru: Transformasi Kapitalisme pada Masyarakat Pinggiran. http://satutimor.com/ambon‐di‐bawah‐orde‐baru‐transformasi‐kapitalisme‐pada‐masyarakat‐pinggiran.php
The 7th International Symposium of Journal Antropologi Indonesia
303
masyarakat sudah mengenal sewa. Dalam satu kesempatan wawancara, Ahmad Hasyim
menuturkan, dusun kelapa pusaka H. Malik (Kakek Ahmad dari pihak Ibu) ditanam oleh La Hari
(orang pertama tinggal di Yainuelo) dengan upah Rp.300,‐. Jumlah biaya sewa ini setara dengan
biaya 1 (satu) orang menunaikan ibadah Haji pada waktu itu (sekitar tahun 1930‐1940‐an).
Sewa sampai saat ini juga masih digunakan dalam pengelolaan kopra. Ketika saya mengunjungi
Ahmad di dusun kelapa di Sialari. Seorang laki‐laki yang berusia sekitar 25‐30 tahun sedang
memanjat pohon kelapa. Orang yang menyewakan tenaganya untuk “nai” atau panjat pohon
kelapa adalah Toti Waleuru. Toti berasal dari kampung Yalahatan‐Tamilouw, sekitar 30 km ke arah
Timur dari Yainuelo. Kata Ahmad, saat ini (bulan Agustus 2018) biaya sewa “nai” atau panjat per
pohon adalah Rp. 5.000. Sewa nai ini sudah dikenal di Maluku sejak periode awal komoditas
kopra.
Dinamika Kopra di Yainuelo
Untuk memulai pembahasan ini, saya ingin mengutip pendapat Anna Tsing (2013) “Komoditas
kapitalis menjadi bernilai dengan menggunakan — dan menyingkirkan — relasi sosial non‐
kapitalis, relasi manusia dan non‐manusia.” Apakah kopra sama seperti jamur matsutake? Yang
mana untuk bernilai, harus menggunakan relasi sosial non‐kapitalis, relasi manusia dan bukan‐
manusia. Sebelum Anna Tsing menulis tentang “mashroom”, satu tulisan yang penting dari Anna
Tsing berjudul “Friction: an Ethnography of Global Conneection”. Saya melihat pendapat diatas
memiliki jangkar pada konsep “friction” dalam buku ini. Untuk itu, jawaban atas pertanyaan yang
saya ajukan, hanya akan dipahami jika kita memahami bagaimana konsep friction ini dioperasikan
dalam melihat komoditas. Terkait dengan kehidupan komoditas, Anna Tsing (2005)
menyampaikan:
“Komoditas tampak begitu akrab sehingga kita membayangkan mereka siap dibuat untuk
kita di setiap tahap produksi dan distribusi, ketika mereka berpindah dari tangan ke tangan
sampai mereka tiba di konsumen. Namun semakin dekat kita melihat rantai komoditas,
semakin banyak setiap langkah ‐ bahkan transportasi ‐ dapat dilihat sebagai arena produksi
budaya. Kapitalisme global dibuat dalam gesekan dalam rantai ini karena ekonomi budaya
yang berbeda saling terkait, seringkali canggung. Namun komoditas itu harus muncul
seolah‐olah tidak tersentuh oleh gesekan ini” (h. 51).
Bagi Anna Tsing, rantai komoditas itu merupakan arena produksi budaya. Di dalam arena, hal yang
pasti terjadi adalah “friksi” antara komoditas dengan non‐komoditas, manusia dengan bukan‐
manusia, masyarakat dengan pemerintah, orang kampung dengan pedagang pengumpul
komoditas kopra, dan lain sebagainya. Friksi adalah peristiwa yang membuat komoditas itu tetap
eksis atau menjadi bernilai komoditas. Anna Tsing secara implisit mengingatkan, komoditas
kapitalis tidak hanya menggunakan relasi non‐kapitalis tetapi juga menyingkirkannya. Secara
temporal, penggunaan dan penyingkiran dapat terjadi dalam satu rangkaian waktu, dan dapat
juga tidak bersamaan. Ini merupakan fenomena ambigu dalam kehidupan komoditas. Kita dapat
melihat hal ini dalam produksi komoditas kopra di Yainuelo.
Pada tahun 1990‐an, produksi kopra dengan cara masohi di Yainuelo adalah fenomena yang biasa.
Hal ini berbeda ketika saya melakukan penelitian lapangan, pengelolaan kopra dengan cara
masohi nyaris tidak ditemukan. Mengapa hal ini bisa terjadi? Tentu fenomena ini berhubungan
dengan berbagai faktor, namun satu alasan yang sangat berpengaruh adalah tingginya kebutuhan
uang tunai untuk memenuhi kebutuhan hidup harian keluarga. Tingginya kebutuhan uang tunai
304
membuat setiap orang berharap apa yang dia lakukan dapat menghasilkan uang tunai. Kerja
masohi tidak menghasilakan uang tunai, sudah pasti cara kerja ini perlahan‐lahan mulai
ditinggalkan oleh masyarakat. Padahal produksi kopra dengan cara masohi diawal penerimaan
kopra membuat komoditas kopra dapat tumbuh dan berkembang di Yainuelo.
Mengolah atau memproduksi komoditas kopra bukanlah aktifitas ekonomi semata, Anna Tsing
dan Escobar menyebut itu merupakan arena produksi budaya. Apa artinya? Menurut saya, ketika
orang di kampung melakukan aktifitas produksi komoditas, ia sebenarnya sedang menjadikan
komoditas tersebut sebagai “companion spesies” (meminjam istilah Donna Harraway, 2008).
sehingga komoditas kemudian memiliki keterikatan (entanglement) dengan orang di kampung.
Keterikatan orang di kampung dengan komoditas membuatnya bergantung pada komoditas
tersebut untuk memenuhi semua kebutuhan hidupnya. Sebagian besar energy yang dimiliki
dikerahkan untuk mengurus komoditas. Kebutuhan harian yang semestinya dapat diproduksi
sendiri tanpa membeli, tidak diurus karena mereka hanya fokus untuk mengolah komoditas.
Selain itu, uang yang dihasilkan dari komoditas yang dijual, telah menciptakan kebiasaan baru di
masyarakat yakni “kebiasaan membeli”. Sebagian masyarakat di Yainuelo saat ini, memenuhi
kebutuhan pangannya dengan membeli. Ironisnya, mereka menunggu tukang sayur dari kota
Masohi yang menjajakan sayur dengan sepeda motor ke kampung untuk membeli. Begitupun
dengan singkong atau “suami”43, masyarakat di Yainuelo mendapatkannya juga dengan cara
membeli. Padahal sampai akhir tahun 1990‐an, membeli singkong, sayur atau suami itu dianggap
tidak lazim. Jika ada orang yang melakukan hal ini, mereka secara sembunyi‐sembunyi dicemooh
oleh masyarakat yang lain, bahkan kadang disebut sombong.
Dinamika komoditas kopra tidak hanya ditentukan oleh harga di pasar atau oleh kebijakan Negara,
tetapi juga oleh relasi intensional antara pengelola kopra dengan kelapa dan kopra. Interaksi
pengelola kelapa dengan kelapa dan kopra dalam waktu yang lama membuat mereka terikat
dengan dua barang tersebut, bahkan temuan penelitian ini mengungkapkan kelapa dan kopra
telah “menubuh” dengan pengelola kopra. Kebertubuhan ini telah mempengaruhi stabilitas
produksi komoditas kopra. Ahmad (pengelola kopra di Yainuelo) Misalnya, ketika harga kopra
jatuh di tahun 2018 ia tetap mengerjakan kopra. Saya menanyakan alasannya, ia menjawab “saya
sudah terbiasa kerja kopra, jadi tidak bisa mengelola kelapa untuk komoditas yang lain”. Ahmad
tidak mengerjakan yang lain bukan karena tidak punya pilihan, tetapi karena kerja kopra sudah
menubuh dengan dirinya.
Interaksi pengelola kopra dengan kelapa juga menghasilkan fenomena yang sama. Penanaman
pohon kelapa untuk meningkatkan produksi komoditas kopra di Yainuelo memiliki permasalahn
dengan hama babi hutan. Untuk menghindari hama babi, masyarakat harus membuat pagar yang
baik ketika menanam kelapa. Tetapi hal ini mengharuskan mereka melakukan kerja intensif,
padahal sebagian besar orang negeri tidak terbiasa dengan kerja intensif. Waktu kerja mereka di
hutan sangatlah longgar, hal ini di pengaruhi oleh kondisi alam. Lantas bagaimana mereka
mengantisipasi hama babi? Djimat menyampaikan, menanam itu harus menggunakan petuah
orang‐orang tua atau ilmu menanam. Menurut Djimat, agar anakan kelapa tidak dimakan oleh
babi, ada ilmunya. Menurutnya, ilmu ini ia telah praktekan dan hasilnya sesuai dengan apa yang
43 Sejenis makanan yang diolah dari singkong yang biasa di makan oleh orang Buton. Saat ini yang mengkonsumsi suami di Yainuelo bukan hanya etnis Buton, tetapi orang negeri juga menjadikan suami sebagai salah satu makanan pokok
The 7th International Symposium of Journal Antropologi Indonesia
305
diharapkan, kelapa dapat tumbuh dengan baik tanpa diganggu atau dimakan oleh babi hutan.
Djimat kemudian menuturkan ilmu tersebut sambil mempraktekan caranya:
“pertama, kolam tempat kelapa ditanam digali dulu semua. Setelah itu kita berjalan dari
kolam pertama dengan memikul anakan kelapa yang akan ditanam. Setelah melewati
kolam, anakan kelapa ditaruh di kolam dengan cara melemparkannya ke belakang dengan
penuh perhitungan sehingga anakan kelapa tersebut jatuh didalam kolam. Setelah
membuang anakan kelapa, kita tidak boleh melihat ke belakang dan terus berjalan menuju
kolam berikutnya sampai semua anakan kelapa ditaruh di kolam. Setelah proses menaruh
anakan kelapa di kolam, baru kita menutup tanah tersebut dimulai dari kolam pertama
lagi.”
Menurut Djimat, babi hutan tidak bisa melihat ke belakang, jadi ketika kita membawa anakan
kelapa melewati kolam tempat menaruh bibit kelapa dan melempar anakan kelapa tersebut ke
belakang tanpa melihat kolam, maka babi hutan pun tidak akan melihat anakan kelapa tersebut.
Babi hutan memiliki postur tubuh yang membuat dia susah untuk memutar kepalanya kebelakang
untuk melihat sesuatu yang ada di belakang. Babi hutan akan berjalan melewati anakan kelapa
seperti kita melewati kolam tempat menanam kelapa ketika akan menanam kelapa tersebut.
artinya, gerak babi hutan akan mengikuti gerak tubuh penanam kelapa ketika menanam kelapa.
Dalam rentang waktu penelitian di Yainuelo, saya mempraktekkan ilmu ini dan hasilnya sampai
saat ini pohon kelapa yang saya tanam tidak di sentuh oleh babi hutan.
“Pengetahuan tentang menanam kelapa” dan “kerja kopra sudah biasa” adalah
“pengalaman” subjek yang hidup dengan kelapa dan kopra yang dihasilkan dari relasi
intensional antara subjek dengan objek. Objek bukanlah sesuatu yang pasif seperti
dibayangkan oleh ilmuan Cartesian, pengalaman subjek dipengaruhi oleh objek ketika
subjek berinteraksi dengan objek. Saras Dewi ketika mengeksplorasi pemikiran
fenomenologi Merleau‐Ponty, menjelaskan “pengalaman itu bukan suatu jenis ingatan
yang dibentuk pikiran, melainkan hal yang benar yang dialami, dirasakan tubuh. Dengan
demikian, persepsi bukan saja kegiatan mengingat, tetapi mengalami kembali hal yang
pernah dilalui secara reflektif” (Dewi, 2015, h. 74).
Bagaimana relasi intensional ini terjadi? Hal yang perlu dipahami untuk menjawab pertanyaan ini
adalah tubuh. “tubuh” menjadi objek yang penting dalam gagasan Merleau‐Ponty. Bagi Meleau‐
Ponty, tubuh adalah objek yang mempunyai kemampuan untuk terarah atau terhubung dengan
objek lainnya karena tubuh adalah “objek intensionalitas”. Tanpa tubuh subjek tidak mungkin
akan berinteraksi dengan objek di‐luar‐dirinya. Kualitas khusus tubuh inilah membuat dia dapat
berinterakasi dengan objek lain. Artinya, pengetahuan yang diciptakan untuk mengantisipasi
hama babi merupakan hasil dari refleksi subjek atas relasi intensional‐nya dengan objek‐objek lain
di‐luar‐dirinya.
Kebertubuhan antara pekerja kopra dengan kopra mengingatkan saya pada konsep “habitus”
dari Pierre Bourdieu. Bourdieu mendefenisikan habitus sebagai “properti agen sosial (apakah
individu, kelompok atau lembaga) yang terdiri dari "struktur dan struktur yang terstruktur”.
Terkait dengan defenisi ini, secara sederhana Maton (2008) menjelaskan:
“… habitus berfokus pada cara kita bertindak, merasakan, berpikir dan menjadi. Itu
menangkap bagaimana kita membawa dalam sejarah kita, bagaimana kita membawa
sejarah ini ke dalam keadaan kita saat ini, dan bagaimana kita kemudian membuat pilihan
untuk bertindak dengan cara tertentu dan bukan yang lain. Ini adalah proses yang
berkelanjutan dan aktif ‐ kita terlibat dalam proses berkelanjutan membuat sejarah, tetapi
306
tidak dalam kondisi yang sepenuhnya kita buat sendiri. Di mana kita berada dalam
kehidupan pada suatu saat adalah hasil dari berbagai peristiwa di masa lalu yang telah
membentuk jalan kita.” (h. 52).
Untuk memahami konsep habitus dari Bourdieu dalam rangka menaruhnya pada bingkai konsep
“lanskap budaya” maka penting untuk melihat penjelasan Rudyansjah terkait hal ini. Rudyansjah
(2009, h.37) menjelaskan, Bourdieu dalam skema teorinya mengenai practice sangat menekankan
pentingnya melihat practice sebagai proses dialektik dari penginkorporasian struktur dan
pengobjektivikasian habitus. Jadi tindakan praktis yang di pilih oleh Ahmad dan Djimat dalam
pengelolaan kopra telah menjadi habitus bagi mereka. Kebiasaan, pengetahuan, dan teknik
sebagai tindakan praktis dalam pengelolaan kopra merupakan proses dialektis dari struktur dan
habitus yang menyejarah.
Sama seperti Ahmad dan Djimat, aktifitas La Hajim dan Mateko dalam menanam kelapa untuk
produksi kopra tidak di lihat sebagai persoalan ekonomi semata. La Hajim dan Mateko
menafsirkan tindakannya menanam kelapa di hutan sebagai bentuk historisitas. La Hajim bercerita
tentang peristiwa pemberian anakan kelapa oleh seorang kakek bersurban putih dikebunnya yang
berada di daerah rentes (dataran tinggi), ia menuturkan:
“saat itu di siang hari, saya berada didalam kebun. Awalnya saya mencium bau wangi,
setelah beberapa lama kemudian muncul seorang kakek. Kakek tersebut menggunakan baju
berwarna putih dan menngunakan surban putih. Kakek tersebut datang menemui saya,
sambil memegang buah kelapa yang sudah tumbuh tunasnya satu buah. Tunas kelapa
tersebut ada dua di satu buah kelapa. Kakek tersebut memberikan buah kelapa itu kepada
saya dan menyampaikan “saya ini orang yang sering melakukan perjalanan jauh, saya
memberikan buah kelapa ini buat kamu untuk ditanam di kebun ini”. Setelah memberikan
kelapa tersebut, kakek bersurban itu langsung berjalan dan seketika saya sudah tidak
melihatnya lagi. Kelapa yang diberikan kakek tersebut telah saya tanam di kebun saya di
daerah pegunungan atau dataran tinggi. Jadi, menurut saya kita sebagai masyarakat
Yainuelo harus menanam kelapa di daerah pegunungan, karena kampung kita itu kampung
kelapa. Di daerah dataran rendah disekitar kampung kan sudah ditanami kelapa semua,
jadi saat ini kita juga harus menanam kelapa di daerah pegunungan.”
Saya tertarik untuk melihat bagaimana narasi yang diproduksi oleh La Hajim tentang penanaman
kelapa di wilayah pegunungan dihubungkan dengan sejarah kampung Yainuelo sebagai kampung
kelapa. Malam itu berbagai pertanyaan muncul dikepala saya, mengapa penanaman kelapa
digunung dihubungkan langsung dengan sejarah kampung, bukan ketiadaan ketersediaan lahan?
Padahal menurut saya, daerah pesisir atau dataran rendah di Yainuelo sudah tidak ada lagi lahan
yang kosong sehingga pembukaan hutan untuk penanaman kelapa memang tidak dimungkinkan.
Selain itu, keberadaan jalan raya yang dibangun pemerintah yang membelah gunung antara
Yainuelo dengan kota Masohi mendorong masyarakat untuk membuka hutan‐hutan baru di
wilayah pegunungan. Keberadaan jalan ini juga membuat masyarakat yang bercocok tanam di
wilayah pegunungan mudah untuk mengangkut hasil panen ke kampung atau ke kota Masohi.
Apa yang dilakukan oleh La Hajim dalam meproduksi narasi dan menafsir peristiwa yang ia alami
ini, memperlihatkan bagaimana orang di kampung menghubungkan peristiwa‐peritiwa harian
yang dialami dengan sejarah mereka. Apakah penghubungan itu dapat diterima atau tidak oleh
orang lain, bukan menjadi persoalan bagi penutur. La Hajim berupaya menumbuhkan kesadaran
dan meyakinkan orang lain di kampung untuk melakukan hal yang sama seperti apa yang telah ia
lakukan. Apa yang dilakukan La Hajim ini secara tidak langsung akan berdampak pada peningkatan
The 7th International Symposium of Journal Antropologi Indonesia
307
produksi komoditas kopra di Yainuelo pada 7‐10 tahun mendatang. La Hajim bukanlah pedagang
kopra, ia hanya orang kampung yang menggantungkan hidupnya dari bercocok tanam.
Cara La Hajim menafsir peristiwa dan memproduksi narasi, juga sama dengan apa yang dilakukan
oleh Mateko Ilery. Mateko berasal dari Negeri Hatuhenu, secara adat negeri ini merupakan bagian
dari negeri Sepa. Saya menanyakan ke Mateko “bapak melakukan aktifitas apa di kampung?” ia
menjawab “berkebun”. Saya kembali menanyakan “menanam apa?” ia bilang “menanam apa
yang telah orang‐orang tua dahulu di kampung tanam. Tanam kelapa dan menanam tanaman
untuk konsumsi harian keluarga.” Menurutnya, apa yang telah dilakukan oleh orang tua dahulu,
kita mesti terus melanjutkan. Mateko, saperti La Hajim, ia memaknai dan menghubungkan
aktifitas menanam kelapa yang saat ini dilakukan dengan apa yang terjadi dimasa lampau yang
dilakukan oleh leluhur. Menanam tidak hanya ditafsirkan sebagai cara satu keluarga memenuhi
kebutuhan hidup keluarga. Menanam adalah cara satu anggota komunitas menunjukkan ia adalah
bagian dari komunitasnya.
Jika kita merujuk pada defenisi kebudayaan yang dikemukakan oleh Kluckhohn’s, maka narasi
yang dituturkan La Hajim dan Mateko dapat disebut bahwa alasan menanam kelapa itu bukan
alasan ekonomi, tetapi alasan kultural. Kluckhohn’s mendefenisikan kebudayaan sebagai “the
sosial legacy the individual acquires from his group”44. Kebudayaan menurut Kluckhohn’s adalah
warisan sosial yang diperoleh seseorang dari kelompoknya. Penanaman kelapa yang dilakukan
oleh Mateko adalah aktifitas untuk melanjutkan tradisi yang sudah dilakukan oleh orang tua,
bukan karena permintaan kopra atau kelapa di pasar dan harga kopra yang tinggi. Apa yang
dilakukan oleh La Hajim dan Mateko adalah cara mereka mengobjektifkan hubungan afektif
kedalam kehidupan sehari‐hari mereka saat ini. Cara‐cara orang kampung memakanai aktifitas
harian mereka menunjukkan bagaimana satu aktifitas itu tidak dapat dilihat secara terpisah‐pisah
kedalam kegiatan ekonomi saja, atau kegiatan politik, atau kegiatan ritual pada leluhur. Satu
aktifitas yang dilakukan oleh orang kampung itu mesti di lihat sebagai satu kesatuan.
Dinamika kopra di Yianuelo juga memediasi munculnya perasaan bahagia dan tidak bahagia. Suatu
hari (bukan dalam rentang waktu penelitian lapangan) di Yainuelo, seorang nenek yang sudah
berusia 65‐70 tahun, menyampaikan kepada saya “dahulu uang itu susah tetapi hidup senang
(bahagia), saat ini uang mudah dicari namun hidup susah”45. Keluhan seperti ini bukan baru satu
kali saya dengar, tetapi sudah sering dan yang menuturkannya itu adalah orang‐orang yang sudah
berusia diatas 50‐an tahun. Mengapa saat masyarakat memiliki sedikit uang tunai hidupnya
bahagia, dan sebaliknya ketika uang tunai mudah didapatkan hidupnya malah tidak bahagia?
Dusun kelapa pusaka merupakan media yang baik untuk memeriksa kondisi psikologis ini. Pusaka
merupakan sesuatu (dapat berupa barang, pohon, pengetahuan) yang berada pada generasi yang
bukan pemilik pertama dari sesuatu tersebut, yang didapatkan melalui pewarisan dan menjadi
milik bersama generasi kedua dan seterusnya. Ide tentang pusaka berkaitan erat dengan
ungkapan “ana‐cucu”. Pusaka adalah sesuatu yang akan digunakan oleh ana‐cucu. Ide dan
ungkapan ini juga relevan dengan susbsitensi ekonomi masyarakat Maluku yang berbasis arboreal,
sebagaimana dijelaskan oleh Latinis (2000). Sumber penghidupan generasi yang akan datang telah
disediakan oleh generasi saat ini melalui tanaman umur panjang yang ada pada dusun. Tanaman‐
44 Clifford Geertz, Interpretation of Culture, Basic Books, New York, 1973, Hal. 4 45 Lihat juga penjelasan Rudyansjah dan Tihurua atas ungkapan ini dalam artikel “Money and Masohi: An Anthropological Review of Copra Commodity Management” yang telah dipresentasikan pada bulan Agustus 2018 dalam
Conference Asia‐Pacific Research in Sosial Sciences and Humanities (APRiSH)
308
tanaman umur panjang yang ada pada dusun saat ini didominasi oleh tanaman komoditas.
Namun, tidak semua tanaman komoditas dapat menjadi tanaman pusaka. Hal ini berkaitan
dengan umur tanaman dan hasil dari tanaman tersebut. Menariknya, jika dibandingkan dengan
tanaman komoditas seperti pala dan cengkeh, dusun kelapa sebagian besar terbentuk menjadi
dusun kelapa pusaka setelah generasi yang menanamnya itu meninggal. Jika ada dusun kelapa
yang belum berubah status menjadi dusun pusaka, hal itu disebabkan dusun tersebut baru di beli
atau penanam nya masih hidup atau dusun kelapa tersebut belum berpindah ke generasi kedua
dan ketiga.
Bagaimana kondisi bahagia dan tidak bahagia ini dapat diperiksa? menurut saya konsep “dwelling”
dari Fenomenolog Martin Heidegger dan konsep “solastalgia” dari Filusuf lingkungan Glenn
Albrecht dapat menuntun kita untuk melihat hal ini secara mendalam. Istilah dwelling diartikan
oleh Saras Dewi sebagai “bermukim”. Menurut Dewi (2015), Heidegger melihat relasi antara
subjek dengan objek adalah relasi total. Kesadaran subjek bergantung pada interaksi terhadap
dunianya. Interaksi itu tidak lagi karena kebetulan tetapi keniscayaan. Dengan demikian menurut
Dewi, kebahagiaan dan kesejahteraan bergantung dari hubungan subjek dengan alam. Terkait
dengan konsep “dwelling”, lebih jelasnya Heidegger (1992) menjelaskan:
“kata itu mengungkap, saya dan kamu, dalam kerangka hidup manusia, ada dalam bumi,
dunia, menempati ruang ini. Menjadi manusia tandanya menempati bumi sebagai sesuatu
yang tidak abadi. Tandanya, manusia mesti bermukim. Kata lamanya, “bauen”, yaitu
manusia menjadi dirinya selama ia bermukim. Maksudnya, bermukim itu juga menghormati
dan menjaga, merawat dan melindunginya” (Dewi, 2015, h.130).
Bermukim artinya subjek me‐ruang, dimana subjek me‐ruang? Jawabannya adalah “kampung”.
Artinya dalam konteks tesis ini, bermukim adalah bagaimana masyarakat mengganggap Yainuelo
sebagai kampung. Kampung tidak diartikan secara sempit dalam istilah administrasi pemerintahan
dimana dibatasi oleh rumah‐rumah masyarakat atau tempat tinggal suatu komunitas masyarakat
tertentu. Jan Newberry (2013), Antropolog yang melakukan etnografi di kota Yogyakarta
menyampaikan:
“ketika saya mulai menganalisa kampung dan mencoba menjelaskannya kepada orang lain,
saya menyadari bahwa kampung ada pada beberapa tingkat: sebagai unit administrasi,
sebagai sekelompok orang yang hidup dalam hubungan yang erat satu sama lain, sebagai
gaya hidup, sebagai pembentukan social, sebagai kelompok kelas, sebagai struktur
perasaan (Williams 1977), dan sebagai ruang tempat semua ini berpadu” (h.30).
Kampung dalam arti luas tidak dapat dipahami sebagai kata benda yang menandai tempat tinggal
suatu komunitas. Kampung itu seperti kata Newberry, sangat kompleks. Yainuelo sebagai
kampung adalah ruang hidup bagi semua orang yang berada didalamnya, dimana mereka
terhubung atau berelasi dengan alam dan sosial dalam bentangan waktu yang panjang. Jadi,
bermukim itu bukanlah sesuatu yang dilihat dalam skala waktu saat ini, tetapi bermukim itu adalah
keberadaan saat ini yang terhubung dengan waktu dimasa lalu. Hendro Sangkoyo dalam salah satu
wawancara menjelaskan “kami melihat kampung bukan sebagai penanda tempat, … Tetapi
The 7th International Symposium of Journal Antropologi Indonesia
309
kampung dengan subyek sejarah di situ, beserta sejarah sosial ‐ekologisnya. Kenapa suatu
kampung berada di lembah, karena kedekatannya dengan aliran air.” 46
Pejelasan Sangkoyo diatas memberikan insight bagi saya untuk melihat konsep bermukim sebagai
kampung dimana subjek hidup dan berelasi dengan masyarakat dan alam dalam bentangan waktu
yang panjang. Hal ini dapat memudahkan kita untuk mengungkap keluhan orang tua di Yainuelo
tentang kehidupan dulu dimana uang sangat susah dicari tetapi hidup bahagia. Mengapa orang
dulu lebih bahagia walaupun sember untuk mendapat uang tunai sedikit? Atau dalam bahasa
mereka uang susah dicari? Karena dalam bermukim relasi subjek dengan sosial dan alam itu
seimbang. Artinya mereka mengelola alam hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup, bukan
meladeni hasrat. Kebutuhan hidup ini bukan kebutuhan subjek saja, tetapi juga kebutuhan orang
lain, misalnya: keluarga, teman, tetangga, atau orang lain di kampung.
Alasan penerimaan kopra sebagaimana telah dikemukakan di awal, menjadikan dusun kelapa
sebagai sumber penghidupan bersama keluarga besar atau menjadi dusun kelapa pusaka. Selain
itu, pengelolaan kopra juga dilakukan dengan cara‐cara bersama seperti masohi. Kalaupun ada
praktik sewa, itu tidak dipahami seperti relasi kapitalis, dimana relasi orang yang bertransaksi itu
terputus. Tetapi praktik sewa yang digunakan itu didasarkan pada alasan non‐kapitalis, untuk
menghidupi orang yang dilihat di kampung butuh uang tunai bagi kehidupan keluarganya. Dusun
kelapa pusaka dan kopra berakibat secara langsung terhadap relasi manusia dengan manusia lain
atau relasi sosial di kampung menjadi sangat intim, di Maluku dikenal dengan istilah “hidup orang
basudara”.
Implikasi lain dari adanya dusun kelapa pusaka adalah membuat pembongkaran hutan untuk
penanaman pohon kelapa atau pembuatan dusun kelapa baru dapat berjalan lambat, karena
dusun kelapa pusaka dapat menghidupi satu sampai dua generasi berikutnya. Selain itu,
masyarakat tidak mengenal system mono‐culture sehingga dalam dusun kelapa berbagai tanaman
lain juga ditanam. Lanskap dusun kelapa kemudian menjadi kompleks, dan dapat berubah menjadi
hutan sekunder sebagaimana dijelaskan oleh Latinis (2000). Pembuatan dusun kelapa dengan
tempo yang lambat dan lanskap dusun kelapa yang kompleks membuat kesimbangan alam terus
terjaga. Dalam praktek hidup seperti ini relasi manusia dengan manusia lain dan relasi manusia
dengan alam dapat terjaga demi kelangsungan hidup bersama, hidup akan terasa bahagia.
Lantas mengapa saat ini orang‐orang tua di Yainuelo sudah tidak lagi merasa bahagia? Apakah
dusun kelapa pusaka sudah tidak ada? Dusun kelapa masih ada, tetapi mengapa mereka merasa
tidak bahagia? Persoalannya sangat kompleks. Untuk melihat fenomena tidak bahagia ini saya
menggunakan konsep “solastalgia”. Solastalgia adalah gambaran kondisi psikis seseorang yang
kehilangan rasa tentramnya di lingkungan yang ditempatinya47. Solastalgia adalah konsep untuk
melihat bagaimana seseorang atau suatu komunitas merindukan sesuatu yang hilang saat ini
sehingga membuat dia merasa ruang dimana dia berada bukan lagi rumahnya. Menurut Dewi,
solastalgia menyebabkan manusia modern merasa keterputusan. Ia tidak lagi memahami dirinya
karena konteksnya dengan alam telah terputus.
46 Sangkoyo, H. (2016). SDE dan Gerilya Pemulihan Krisis. RUANG, edisi 10. (Wawancara Yusni Aziz). http://membacaruang.com/hendro‐sangkoyo‐tentang‐sde‐dan‐gerilya‐pemulihan‐krisis/ diunduh pada tanggal 15 Maret 2016 47 Saras Dewi, Op.cit. Hal. 135
310
Dusun kelapa pusaka memang masih ada, tetapi dusun kelapa pusaka tidak lagi diposisikan
sebagai media untuk mengikat relasi kekerabatan. Pengelolaan kopra dari dusun kelapa pusaka
hanya dilihat sebagai salah satu sumber untuk menghasilkan uang tunai. Kebutuhan masyarakat
akan uang tunai semakin tinggi, uang tunai tidak lagi digunakan untuk memenuhi kebutuhan yang
tidak dapat mereka produksi sendiri, tetapi digunakan untuk memenuhi hasrat sebagai manusia
yang telah mengalami keterputusan dengan rumah. Misalnya, saat ini walaupun dusun kelapa
pusaka masih ada, tetapi keluarga di Yainuelo lebih memilih membeli minyak goreng yang berasal
dari kelapa sawit di warung dari pada mengelola kelapa yang ada di dusun kelapa pusaka untuk
dijadikan minyak goreng. Padahal, pengalaman saya sampai tahun 1990‐an masyarakat masih
memanfaatkan kelapa dari dusun kelapa pusaka untuk diolah menjadi minyak goreng. Ketika
minyak goreng harus beli itu berarti kebutuhan uang tunai pasti bertambah. Mereka mereka tidak
mau atau sudah sedikit yang ingin memproduksi minyak goreng sendiri, karena mereka
menganggap uang tunai saat ini mudah didapat. Tidak usaha kerja, beli saja, nanti kita kerja untuk
cari uang. Menurut saya ini adalah bagian dari sikap yang meladeni hasrat.
Kebutuhan uang tunai meningkat, membuat masyarakat harus berkompetisi untuk
mengeksploitasi alam. Dalam 20 tahun terakhir atau pasca konflik horizontal di Maluku, tingkat
pembukaan hutan untuk penanaman komoditas sangat meningkat. Tidak hanya pembukaan
hutan, penjualan tanah atau lahan pertanian juga mengalami percepatan yang sama. Terkait
penjualan tanah ini dahulu sangat di larang, konsep tanah milik bersama membuat individu tidak
dapat menjual tanah yang ia kelola. Orang‐orang tua dahulu menasehati kami “jangan jual tanah,
karena ketika meninggal jasad kita tidak diterima oleh tanah”. Nasehat ini merupakan artikulasi
dalam tuturan harian dari konsep tanah milik bersama dalam hukum adat Sepa.
Dalam kompetisi mengejar uang tunai untuk meladeni hasrat, bukan hanya lingkungan menjadi
rusak, tetapi relasi sosial juga terganggu. Seperti yang disampaikan diatas, cara‐cara kerja yang
dapat mengikat relasi social seperti masohi mulai ditinggalkan. Semua telah dijual, sehingga
berbagi atau meminta ke saudara juga sudah sungkan atau dalam istilah melayu ambon “malu
hati”. Meningkatnya kebutuhan akan uang tunai membuat relasi manusia dengan manusia lainnya
dan alam tempat dia hidup menjadi tidak harmonis atau meminjam istilah dewi telah terjadi
“disekuilibrium”. Manusia di Yainuelo mengalami keterputusan dengan rumah atau kampung‐nya
sendiri. Situasi ini yang membuat orang‐orang tua saat ini mengeluhkan sekaligus cemas dengan
kehidupan di kampung. Hidup menjadi terasa susah atau tidak bahagia.
Dinamika kopra di Yainuelo juga dipengaruhi oleh pemerintah, NGO, dan perang komoditas di
level global. Hal ini membuat masyarakat memposisikan kopra sebagai komoditas kedua.
Hilangnya sasi kelapa, menaruh kopra sebagai bukan komoditas unggulan daerah, diversifikasi
komoditas dari buah kelapa adalah peristiwa‐peristiwa membentuk fenomena yang saya sebut
“era pos‐kopra”. Kopra tetap dikelola, tetapi bukan menjadi sumber penghidupan yang utama.
Sebelum abad ke‐21, masyarakat mempraktikkan sasi kelapa dalam pengelolaan kopra. Sasi
kelapa sangat berhubungan dengan stabilitas produksi komoditas kopra. Pasalnya, kelapa adalah
pohon yang tidak memiliki musim panen yang alami yang terjadi pada bulan‐bulan tertentu seperti
tanaman‐tanaman yang lain (misalnya: durian, lansa, dan lain‐lain). Buah kelapa ketika terlambat
panen, akan berpengaruh pada musim panen berikutnya. Artinya, periode atau musim panen
kelapa itu secara alamiah tidak tetap. Jika proses matang buah kelapa itu 3‐4 bulan, maka musim
panen antara dusun kelapa yang satu dengan dusun kelapa yang lain dapat berbeda. Fenomena
ini tentu berdampak pada stok komoditas kopra. Pedagang pengumpul kopra di Amahai atau
The 7th International Symposium of Journal Antropologi Indonesia
311
Masohi membutuhkan biaya yang banyak untuk mengumpulkan kopra di gudang untuk
memenuhi kuota pengiriman ke Surabaya. Ketika kopra ditampung di gudang dalam waktu yang
lama, resiko penyusutan sangat tinggi dan ini berpengaruh terhadap keuntungan yang didapatkan
oleh pedagang pengumpul kopra. Strategi yang dijalankan pedagang pengumpul untuk menutupi
biaya dan resiko penyusutan adalah menurunkan harga kopra di masyarakat. Dengan demikian
yang akan menderita kerugian yang banyak adalah produsen kopra di kampung, rantai paling
bawah dalam perdagangan komoditas kopra. Salah satu cara agar harga kopra dapat stabil di
masyarakat adalah panen kelapa harus terjadi secara serempak. Sadar akan situasi ini, masyarakat
Sepa mengintrodusir konsep sasi yang sudah ada di masyarakat dan diterapkan dalam
pengelolaan kopra.
Sasi kelapa bukan saja suatu system untuk menjamin stabilitas produksi kopra, tetapi juga dapat
dilihat sebagai peristiwa yang merekatkan relasi sosial. Pasalnya, pada saat buka sasi kelapa
intensitas interaksi antar orang, antar kelas sosial itu meningkat melalui berbagai aktifitas. Buka
sasi kelapa membuat keriuhan aktifitas di hutan‐hutan tempat dusun‐dusun kelapa berada. Buka
sasi tidak hanya disambut gembira oleh orang‐orang yang memiliki dusun kelapa, tetapi juga oleh
masyarakat yang lain dan semua golongan masyarakat. Anak‐anak dan perempuan turut aktif
dalam keriuhan aktifitas ini. Pasalnya selama satu bulan periode buka sasi, banyak sekali
perempuan dan anak‐anak menajajakan berbagai jualan di hutan disekitar dusun‐dusun kelapa.
Laki‐laki dewasa yang tidak memiliki dusun kelapa menjual tenaganya untuk memanjat pohon
dengan cara sewa. Ada juga ibu‐ibu yang pergi ke dusun‐dusun kelapa pusaka untuk mengambil
kelapa yang dikelola menjadi minyak goreng.
Saat ini buka sasi kelapa sudah tidak lagi ada karena sasi kelapa sudah tidak dilaksanakan lagi oleh
pemerintah negeri Sepa. Ada berbagai alasan yang dituturkan masyarakat terkait penyebab
hilangnya sasi ini. Hasyim Lessy misalnya, menyampaikan sasi kelapa sudah tidak ada karena uang
pembayaran mata sasi tidak dikelola secara baik dan tertanggung jawab. Hal ini membuat
masyarakat tidak mau membayar mata sasi. Sementara menurut Maimuna Tihurua (ibu saya),
salah satu penyebab tidak adanya sasi karena kewang tidak menjalankan fungsinya secara baik.
Pemerintah negeri sangat berperan pada berlangsung atau tidaknya pelaksanaan sasi kelapa.
Hilangnya sasi kelapa tentu berdampak pada dinamika kopra di Yainuelo. Ahmad menuturkan
ketiadaan sasi kelapa membuat hasil panen kelapa tidak lagi maksimal. Ketiadaan sasi kelapa
membuat orang tidak terkontrol dalam memanen kelapa. Aktifitas saling bantu atau masohi dalam
pengelolaan kopra juga terkena dampak. Masing‐masing orang sibuk dengan urusannya sendiri‐
sendiri.
Sama seperti pemerintah negeri atau desa, peran pemerintah daerah dan pusat juga berkontribusi
terhadap peminggiran komoditas kopra. Pada saat melakukan penelitian lapangan, saya ke dinas
perdagangan provinsi Maluku untuk menelusuri data perdagangan kopra di Maluku. Salah satu
pegawai menyampaikan bahwa dinas perdagangan tidak mempunyai data tentang perdagangan
kopra di Maluku. Salah satu alasannya adalah “kopra bukan komoditas unggulan provinsi Maluku”.
Keterangan ini membuat saya berpikir, mengapa kopra bukan komoditas unggulan di provinsi
Maluku? bukan kah komoditas ini pernah menjadi komoditas ekspor unggulan? Bukankah
masyarakat Maluku yang berada di pesisir pantai masih menanam kelapa dan mengelola kopra
serta menggantungkan hidupnya pada komoditas ini? Bagi saya, ini merupakan fenomena yang
ironis dan membuat kejutan tersendiri. Pasalnya, saya yang tumbuh dan hidup dibawah
rindangnya pohon kelapa dan tiga kali dalam setahun melihat masyarakat di Yainuelo mengelola
312
kopra, ternyata barang tersebut bukan barang yang istimewa bagi pemerintah daerah. Pantas saja
kalau fluktuasi harga kopra tidak karu‐karuan di Maluku.
Harga kopra yang tidak menentu dan menjadikan kopra bukan komoditas unggulan ini
mempunyai hubungan dengan kebijakan Negara dan kompetisi komoditas di level global. Abisham
DM,dkk. (2011) menulis:
“Ada satu ancaman yang sudah lama menjadi momok bagi masyarakat kelapa di Indonesia
dan negara‐negara tropis penghasil kelapa lainnya: perang anti‐kelapa yang dilancarkan
negara penghasil minyak nabati lain. Salah satu yang paling getol memerangi kelapa adalah
Amerika Serikat... Di tahun 1980‐an, American Soy Association melancarkan kampanye
tentang bahaya kolesterol yang terkandung dalam minyak kelapa sebagai strategi untuk
melindungi produk mereka.
…Mulai tahun 1970‐an, pemerintah mencium gelagat buruk bahwa perniagaan kopra telah
memasuki masa senjakalanya. … Pada tahun 1972, pemerintah mengeluarkan beleid yang
melarang ekspor kopra, sebagai taktik untuk menaikkan pamor kelapa sawit. Akibat
larangan ekspor, harga anjlok sampai ke titik terendah ” (h. 5 & 10).
Efek dari perang komoditas dagang pada level global telah mempengaruhi kebijakan pemerintah
untuk meninggalkan komoditas yang berasal dari pohon kehidupan masyarakat tropis. Penjelasan
Abisham, dkk. diatas memperlihatkan kepada kita bagaimana fenomena komoditas pada level
lokal sangat terpengaruh dengan kompetisi perdagangan pada level global. Harga kopra yang tidak
menentu membuat masyarakat harus berakrobat untuk memenuhi kebutuhan ekonomi harian
keluarga.
Selain itu, program Smallholder Livelihood Development Project in Eastern Indonesia (SOLID)48
yang dilaksanakan atas kerjasama Kementerian Pertanian dengan International Fund for
Agricultural Development (IFAD) di wilayah Indonesia Timur juga dapat mendorong peminggiran
produksi kopra. Program SOLID masuk di Yainuelo pada tahun 2012, dan pada awal tahun 2018
Badan Ketahanan Pangan melalui pendamping desa dan Federasi KM menginisiasi pembentukan
Sentra Bisnis Yainuelo Melambai (YANMEL). Sentra Bisnis YANMEL bertujuan untuk
pengembangan rantai nilai komoditas perkebunan. Komoditas yang diproduksi dari sentra bisnis
ini adalah Virgin Coconut Oil (VCO) dan minyak kelapa sehat (minyak goreng). Kedua komoditas
ini merupakan produk yang berasal dari bahan baku yang sama, yakni buah kelapa. Walaupun
upaya devirsifikasi komoditas dari buah kelapa melalui program SOLID ini belum signifikan
mempengaruhi pelaku kopra di Yainuelo, namun program ini dalam jangka panjang akan
mempengaruhi cara masyarakat melihat kelapa. Kopra di masa yang akan datang mungkin tidak
akan menjadi prioritas masyarakat dalam pengelolaan kelapa.
Dinamika kopra di Yainuelo tidak hanya ditentukan oleh aktor manusia, namun juga oleh aktor
lain selain manusia. Dalam kesempatan ini saya hanya membahas 2 aktor, yakni kelapa dan uang.
Membahas dua aktor ini bukan berarti dinamika kopra di Yainuelo hanya dipengaruhi oleh kelapa
dan uang saja, tetapi ini lebih pada pilihan aktor yang menurut saya sangat berpengaruh dalam
dinamika kopra di Yainuelo. Dengan merujuk pada gagasan Giddens tentang agensi, kelapa dan
48 Laporan Tahunan Badan Ketahanan Pangan Nasional Tahun 2015, Hlm.64
The 7th International Symposium of Journal Antropologi Indonesia
313
uang oleh saya diposisikan sebagai unconscious agency. Agensi yang tidak disadari oleh manusia
namun sangat mempengaruhi tindakan manusia.
Bagaimana kelapa berperan sebagai agensi? Kelapa telah menjadi magnet yang menarik orang
untuk migrasi ke wilayah ini (baca: Yainuelo). Kelapa yang diolah menjadi kopra juga berperan
dalam migrasi beberapa keluarga buton migrasi ke Yainuelo. La Halisi misalnya, ia awalnya adalah
penimbang kopra di Yainuelo yang datang menggunakan perahu lambo49 (Rudyansjah, 2009) pada
tahun 1970‐an. Pada akhir 1980‐an, La Halisi memutuskan tinggal dan menetap di Yainuelo dan
beraktifitas menjadi penimbang kopra di kampung. Selain berperan dalam migrasi orang ke
Yainuelo, kelapa juga berperan dalam pembentukan dan pelanjutan tradisi masyarakat dalam
pengelolaan kopra, salah satunya adalah tradisi Masohi dalam pengelolaan kopra. Interaksi
manusia dengan kelapa telah menghasilkan penciptaan pengetahuan baru dalam bercocok tanam
untuk menghindari hama babi. Peran‐peran dari kelapa ini tidak terlepas dari kualitas tanaman ini
sebagai agensi.
Bagaimana dengan peran uang? Uang menjadi alasan masyarakat menerima dan meninggalkan
kopra (sebagaimana penjelasan diatas). Pada periode awal penerimaan kopra, tidak banyak
kebutuhan yang dipenuhi dengan menggunakan uang, hanya kebutuhan tertentu saja, seperti
naik haji. Pentingnya naik haji bagi orang‐orang Islam di Maluku ini, dalam catatan Bartels (2017),
membuat sekelompok orang Maluku menciptakan tanah suci Mekah di tanah mereka sendiri.
Sebagai penganut Islam, naik haji bagi masyarakat Sepa (termasuk yang sudah tinggal di Yainuelo)
merupakan sesuatu yang diimpikan. Jika kita bertanya pada orang‐orang tua yang pergi
menunaikan rukun Islam ke lima sepanjang abad ke‐20 bagaimana mereka mendapatkan uang
untuk pergi ke tanah suci, mereka akan menjawab dari hasil kopra dan cengkeh. Uang yang
didapatkan dari penjualan kopra digunakan untuk pergi naik haji. Pada tahap ini uang berfungsi
sebagai alat tukar yang dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan tertentu.
Namun apa yang terjadi kemudian ketika uang diburu oleh masyarakat melalui produksi
komoditas kopra? Dalam konjungtur pengelolaan kopra, terjadi fenomena yang paradoks. Uang
yang tadinya diusahakan untuk memenuhi kebutuhan tertentu berubah menjadi semua
kebutuhan dapat dipenuhi dengan uang. Apa artinya? Masyarakat di kampung sudah tidak lagi
memproduksi kopra untuk mendapatkan uang, tetapi semua aktifitas yang dapat menghasilkan
uang itu dilakukan. Perlahan‐lahan kopra mulai ditinggalkan. Namun, fenomena sedikitnya
pengelolaan kopra ini tidak hanya disebabkan oleh harga kopra yang jatuh dan orang memilih
mengerjakan yang lain, tetapi juga karena sudah sedikit orang yang mau mengerjakan kopra. Kita
masuk ke fenomena paradoks kedua dalam konjungtur pengelolaan kopra. Dahulu, uang tunai
yang didapatkan dari penjualan kopra tidak hanya digunakan untuk kebutuhan naik haji, tetapi
juga untuk kebutuhan pendidikan bagi anak. Semua orang terlibat dalam pengelolaan kopra, mulai
dari penanaman pohon kelapa sampai produksi kopra. Mengapa mereka sangat aktif melakukan
ini? Agar anak‐anak mereka dapat mengenyam pendidikan. Apa yang terjadi kemudian setelah
anak‐anak di kampung sekolah? Generasi muda mulai enggan untuk mengelola kopra, apalagi
kopra di stigma oleh anak muda di kampung sebagai “pekerjaan sengsara”.
Fenomena tentang uang dan pengelolaan kopra ini membawa saya pada konsep “money as
agency” dari George Simmel. Dalam bukunya The Money of Philosophy, Simmel melihat uang
sebagai agensi yang mendorong transformasi dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dikemukakan
49 Perahu tradisional masyarakat Buton yang digunakan untuk perdagangan antar pulau.
314
oleh Bloch & Parry (1989) “Simmel melihat uang sebagai agen aktif yang merupakan 'mekanisme
utama yang membuka jalan dari Gemeinschaft ke Gesellschaft. ... uang itu sendiri sebagai katalis
utama untuk transformasi kehidupan sosial,..” (h. 4). Uang dapat bertindak sebagai subjek
sekaligus sebagai objek.
Uang dapat digunakan sebagai alat tukar dan juga dapat mempengaruhi manusia. Uang sebagai
subjek terbentuk ketika dia mempengaruhi manusia, dan sebagai objek ketika manusia dapat
mempergunakannya untuk berbagai kepentingan. Jika kita merujuk pada pandangan Simmel
diatas, uang secara implisit memiliki kuasa sehingga ia dapat mendorong transformasi dalam
kehidupan sosial. Temuan penelitian ini menunjukkan, uang tidak hanya mendorong transformasi
tetapgi juga kontinuitas. Pembahasan panjang diatas secara implisit memperlihatkan hal tersebut.
Saling mempengaruhi antara manusia dengan uang tidak terjadi ketika kontak pertama manusia
dengan uang, namun melalui proses dalam ruang‐waktu yang panjang dan kompleks.
KESIMPULAN
Temuan dan pembahasan diatas menunjukkan bagaimana perubahan artikulasi dan pemaknaan
terhadap kopra dalam lintasan sejarah berhubungan dengan berbagai aktor dengan kepentingan
mereka masing‐masing. Olehnya itu, saya menyimpulkan dinamika komoditas kopra di Yainuelo
dalam 7 (tujuh) poin, yakni:
Penelitian ini mengkonfirmasi apa yang telah disampaikan oleh Tsing dan Escobar,
Produksi komoditas kopra adalah arena produksi budaya, Komoditas kopra selalu
dimaknai dan diartikulasikan berubah‐ubah dalam lintasan sejarahnya.
Dinamika Komoditas dan kebudayaan itu saling mempengaruhi. Transformasi dan
kontinuitas budaya terjadi secara berkelindan dan terus‐menerus dalam bentangan
ruang dan waktu yang panjang pada kedua dinamika ini.
Dinamika komoditas digerakan oleh friksi yang terjadi sejak komoditas diterima didalam
kebudayaan, dan dalam lintasan sejarah komoditas kopra melahirkan hibriditas
kebudayaan pada masyarakat Yainuelo.
Sejarah komoditas kopra memediasi dinamika kebudayaan masyarakat Yainuelo.
Begitupun sebaliknya, sejarah masyarakat Yainuelo memediasi proses transformasi dan
kontinuitas komoditas kopra di Yainuelo.
Dalam bentangan ruang dan waktu yang panjang, terjadi proses penyingkiran relasi
sosial non‐kapitalis, relasi manusia dengan manusia, relasi manusia dengan non‐manusia
oleh komoditas, yang awalnya digunakan untuk komoditas tumbuh dan berkembang.
Kopra sebagai komoditas terjebak dalam “kontradiksi kapitalisme”. Komoditas kopra
memfasilitasi pembentukan budaya belanja dan ketergantungan masyarakat pada uang
yang dalam bentangan ruang dan waktu yang panjang mendorong masyarakat
meninggalkan kopra untuk memburu uang.
Lanskap budaya komoditas kopra memfasilitasi kita untuk melihat cara kerja kapitalisme
dari dalam pada masyarakat kampung. Kerja komoditas dalam mempengaruhi dinamika
kebudayaan di kampung tidak tampak dari luar. Gesekan yang sesungguhnya terjadi
didalam, pada sum‐sum kebudayaan.
The 7th International Symposium of Journal Antropologi Indonesia
315
DAFTAR REFERENSI
Abisham., Ary, H. & Harlan, M. (2011). Membunuh Indonesia: Konspirasi Global Penghancuran
Kretek, Jakarta: Kata‐Kata.
Asba, R. (2007). Kopra Makssar Perebutan Pusat dan Daerah: Kajian Sejarah Ekonomi Politik
Regional di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Bartels, D. (2017). Di Bawah Naungan Gunung Nunusaku: Muslim Kristen Hidup Berdampingan di
Maluku Tengah (Jilid I: Kebudayaan). Jakarta: Kepustaan Populer Gramedia.
Dewi, S. (2015). Ekofenomenologi: Mengurai Disekuilibrium relasi Manusia dengan Alam. Serpong:
Marjin Kiri.
Ellen, R. F. (2003). On the Edge of the Banda Zone: Past and Present in the Sosial Organization of
a Moluccan Trading Network. Honolulu: University of Hawai’I Press.
Escobar, A. (1995). Encountering Development: The Making Unmaking of the third World. United
Kingdom: Princeton University Press.
Foale, M. (2003). The Coconut Odyssey: The Bounteous Possibilities of The Tree of Life. Canberra:
Australian Centre for International Agricultural Research.
Geertz, C. (1973). Interpretation of Culture. New York: Basic Books.
Gregory, C. A. (1982). Gifts and Commodities. New York: Academic Press.
Harroway, D. J. (2008). When Species Meet, Minneapolis: University of Minnesota Press.
Kadir, H. A. (2014). Ambon di Bawah Orde Baru: Transformasi Kapitalisme pada Masyarakat
Pinggiran.http://satutimor.com/ambon‐di‐bawah‐orde‐baru‐transformasi‐kapitalisme‐pada‐
masyarakat‐pinggiran.php
Lapavitsas, C. (2004). Commodities and Gifts: Why Commodities Represent More than Market
Relations. Science and Society, 68 (1), 33‐56.
Latinis, D. K. (2000). The development of subsistence system models for Island Southeast Asia and
Near Oceania: The nature and role of arboriculture and arboreal‐based economies. World
Archaeology, 32 (1), 41‐67.
Leeming, D. (2005). The Oxford Companion to World Mythology. New York: Oxford University
Press.
Murit. (2010). Dari Doro ke Raki: Ekonomi Gender dan Transformasi Sosial Pertanian Orang
Galela. Komunitas, 2 (2), 125‐134
Parry, J. & Bloch, M. (ed.). (1989). Money and the morality of exchange. New York: Cambridge
University Press.
Rudyansjah, T. (2009). Kekuasaan, Sejarah, & Tindakan: Sejarah Kajian tentang Lanskap Budaya.
Jakarta: Rajawali Pers.
Rudyansjah, dkk. (2012). Antropologi Agama: Wacana‐wacana Mutakhir dalam Kajian Religi dan
Agama, Jakarta: UI‐Press
316
Rudyansjah, T. & Tihurua, O. Z. S. (2018, Agustus). Money and Masohi: Anthropology’s study
toward Copra Production Commodities. Makalah ini telah di presentasikan pada The Asia‐
Pacific Research in Sosial Sciences and Huanities‐Universitas Indonesia Conference, Jakarta.
Rus, A. (2008) . Gifts vs. Commodity’ Debate Revisited. Anthropological Notebooks 14 (1): 81–
102.
Sahlins, M. (2004). Historical Metaphors and Mythical Realities: Structure in the Early History of
the Sandwich Islands Kingdom. USA: The University of Michigan Press.
Saluang, S., (dkk.). (2015). Perampasan Ruang Hidup: Cerita Orang Halmahera. Yogyakarta: Tanah
Air Beta.
Scott, J. C. (1994). Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara. (Hasan
Basri, Penerjemah). Jakarta: LP3ES.
Simmel, G. (2004). The Philosophy of Money. London and New York: Routledge Classics.
Spradley, J. P. (2006). Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Sangkoyo, H. (2016). SDE dan Gerilya Pemulihan Krisis. RUANG, edisi 10. (Wawancara Yusni Aziz).
http://membacaruang.com/hendro‐sangkoyo‐tentang‐sde‐dan‐gerilya‐pemulihan‐krisis/
Tsing, A. L. (2005). Friction: an Ethnography of Global Connection. New Jersey: Princeton
University Press.
_____. (2013). Sorting Out Commodities: How Capitalist Value is Made Through Gifts. HAU:
Journal of Ethnographic Theory, 3 (1), 21–43.
_____. (2015). The Mushroom at the End of the World: On the Possibility of Life in Capitalist Ruins,
New Jersey: Princeton University Press.
Tihurua, O. Z. S. & Rudyansjah, T. (2018, Oktober). Coconut: Between a Global Commodity and
Dusun Kelapa Pusaka. Makalah ini telah di presentasikan pada The 2nd International
Conference on Sosial and Political Issues (ICSPI), Bali.
Valeri, V. (1994). Buying Women But Not Selling Them: Gift and Commodity Exchange in Huaulu
Alliance. Man, 29 (1), 1‐26.
Beyond Disciplinary Diversity and Debates in Parallel Universes:
Anthropology and Political Science in Conversation
Coordinator: Gde Dwitya Arief Metera (Northwestern University)
& Iqra Anugrah (New Mandala)
An enduring critique of the phenomenon of disciplinary diversity, nay fragmentation, in social
sciences and humanities is one regarding the lack of conversation across the boards. Disciplinary
boundaries render disciplines at times impervious to interdisciplinary borrowings and innovations.
This situation severely hampers accumulation of knowledge and often led scholars into “debates
in parallel universes” (Robison 2016). Anthropology and Political Science are no exception: tension
exists between these disciplines resulting in, for instances, marginalization of ethnographic
method within political scientists’ methodological toolkit (Bayard de Volo & Schatz 2004, but see