the international symposium of journal antropologi indonesia · 2020. 4. 6. · the 7th...

24
The 7 th International Symposium of Journal Antropologi Indonesia 293 the commodity of coffee farming has been popular and providing good economic value for local the community and has been an identity of Palintang community. Palintang locals have considered their coffee has very distinctive characters that are different from that other coffee produced in other areas. As a result, the coffee produced in the Perhutani forest has become an identity of the Palintang. The Palintang coffee has been recognized as special distinctive coffee by other communities in West Java. Moreover, the distinctive coffee crop planted in the Perhutani forest has been an important role in enhancing the high diversity of coffee varieties (landraces) in West Java particularly, and Indonesian in general. Keywords: Construction of Identity, coffee diversity, local knowledge, Perhutani forest, Palintang community. LANSKAP BUDAYA KOMODITAS KOPRA: TINJAUAN ANTROPOLOGIS TERHADAP DINAMIKA KOMODITAS KOPRA DI YAINUELO 34 O. Z. S. Tihurua Mahasiswa Program Magister Antropologi, Universitas Indonesia Artikel ini mengambil “komoditas” sebagai isu utama, dengan fokus pada dinamika produksi komoditas kopra di Yainuelo, pulau Seram. Mengikuti Escobar (1995) dan Tsing (2005), saya melihat dinamika produksi komoditas sebagai “arena produksi budaya”. Sebagai komoditas, kopra bukanlah entitas material yang statis seperti dibayangkan oleh ilmu ekonomi moderen. Artikulasi dan pemaknaan komoditas kopra oleh pengelola kopra selalu berubahubah dalam lintasan sejarah komoditas pada level produksi. Artikel ini memposisikan kopra seperti Rudyansjah melihat “kekuasaan”, tidak pernah terperagakan dalam wujud yang final dan selalu didialogkan oleh berbagai aktor dengan kepentingannya masingmasing pada bentangan ruang dan waktu yang panjang. Artikel ini berupaya mengungkapkan transformasi dan kontinuitas budaya yang muncul dalam lintasan sejarah produksi komoditas pada rentang waktu yang dalam istilah Braudel disebut “conjuncture” (satu abad). Mengikuti logika konseptual “lanskap budaya” yang diajukan oleh Rudyansjah untuk melihat kopra, saya melihat fenomena transformasi dan kontinuitas budaya muncul secara berkelindan dalam kehidupan komoditas di Yainuelo. Dalam kajian ini, saya juga berusaha memahami “friksi” yang menjadi bingkai dari proses transformasi dan kontinuitas budaya pada dinamika komoditas kopra di Yainuelo. Keywords: komoditas kopra, lanskap budaya, transformasi, kontinuitas, friksi LATAR BELAKANG Pada bulan Agustus 2018 ketika saya berada di kampung Yainuelo (lokasi penelitian), terlihat sedikit sekali masyarakat yang sedang memproduksi kopra. Fenomena ini cukup mencengangkan saya, bagaimana mungkin di kampung kelapa (baca: Yainuelo), aktifitas mengolah kelapa malah terlihat sedikit? Beberapa hari kemudian saya baru mengetahui bawa masyarakat lebih banyak beraktifitas untuk memanen cengkeh. Sebagai komoditas, cengkeh memang berbeda dengan kopra. Masyarakat tidak membutuhkan banyak kerja untuk mendapatkan uang tunai dari penjualan cengkeh. Selain itu, harga cengkeh dan harga kopra memiliki selisih yang sangat besar. 34 Artikel ini merupakan ringkasan tesis saya yang sudah di uji pada tanggal 12 Juni 2019 pada departemen Antropologi Universitas Indonesia

Upload: others

Post on 12-Nov-2020

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: The International Symposium of Journal Antropologi Indonesia · 2020. 4. 6. · The 7th International Symposium of Journal Antropologi Indonesia 293 the commodity of coffee farming

The 7th International Symposium of Journal Antropologi Indonesia  

  293 

the commodity of coffee farming has been popular and providing good economic value for local 

the community and has been an identity of Palintang community. Palintang locals have considered 

their coffee has very distinctive characters that are different from that other coffee produced in 

other areas. As a result, the coffee produced in the Perhutani forest has become an identity of the 

Palintang.  The  Palintang  coffee  has  been  recognized  as  special  distinctive  coffee  by  other 

communities in West Java. Moreover, the distinctive coffee crop planted in the Perhutani forest 

has been an important role in enhancing the high diversity of coffee varieties (landraces) in West 

Java particularly, and Indonesian in general. 

Keywords: Construction of Identity, coffee diversity, local knowledge, Perhutani forest, Palintang 

community. 

LANSKAP BUDAYA KOMODITAS KOPRA:  

TINJAUAN ANTROPOLOGIS TERHADAP DINAMIKA KOMODITAS KOPRA DI YAINUELO34  

O. Z. S. Tihurua 

Mahasiswa Program Magister Antropologi, Universitas Indonesia 

Artikel  ini mengambil  “komoditas”  sebagai  isu  utama,  dengan  fokus  pada  dinamika  produksi 

komoditas  kopra  di  Yainuelo,  pulau  Seram. Mengikuti  Escobar  (1995)  dan  Tsing  (2005),  saya 

melihat dinamika produksi komoditas sebagai “arena produksi budaya”. Sebagai komoditas, kopra 

bukanlah entitas material yang statis seperti dibayangkan oleh ilmu ekonomi moderen. Artikulasi 

dan  pemaknaan  komoditas  kopra  oleh  pengelola  kopra  selalu  berubah‐ubah  dalam  lintasan 

sejarah komoditas pada level produksi. Artikel ini memposisikan kopra seperti Rudyansjah melihat 

“kekuasaan”,  tidak pernah  terperagakan dalam wujud yang  final dan  selalu di‐dialog‐kan oleh 

berbagai aktor dengan kepentingannya masing‐masing pada bentangan  ruang dan waktu yang 

panjang. Artikel ini berupaya mengungkapkan transformasi dan kontinuitas budaya yang muncul 

dalam  lintasan  sejarah  produksi  komoditas  pada  rentang waktu  ‐  yang  dalam  istilah  Braudel 

disebut “conjuncture” (satu abad). Mengikuti logika konseptual “lanskap budaya” yang diajukan 

oleh  Rudyansjah  untuk melihat  kopra,  saya melihat  fenomena  transformasi  dan  kontinuitas 

budaya muncul secara berkelindan dalam kehidupan komoditas di Yainuelo. Dalam kajian ini, saya 

juga berusaha memahami “friksi” yang menjadi bingkai dari proses transformasi dan kontinuitas 

budaya pada dinamika komoditas kopra di Yainuelo. 

Keywords: komoditas kopra, lanskap budaya, transformasi, kontinuitas, friksi  

LATAR BELAKANG 

Pada bulan Agustus 2018  ketika  saya berada di  kampung  Yainuelo  (lokasi penelitian),  terlihat 

sedikit sekali masyarakat yang sedang memproduksi kopra. Fenomena ini cukup mencengangkan 

saya, bagaimana mungkin di kampung kelapa (baca: Yainuelo), aktifitas mengolah kelapa malah 

terlihat sedikit? Beberapa hari kemudian saya baru mengetahui bawa masyarakat  lebih banyak 

beraktifitas  untuk memanen  cengkeh.  Sebagai  komoditas,  cengkeh memang  berbeda  dengan 

kopra.  Masyarakat  tidak  membutuhkan  banyak  kerja  untuk  mendapatkan  uang  tunai  dari 

penjualan cengkeh. Selain itu, harga cengkeh dan harga kopra memiliki selisih yang sangat besar. 

                                                            34 Artikel ini merupakan ringkasan tesis saya yang sudah di uji pada tanggal 12 Juni 2019 pada departemen Antropologi Universitas Indonesia 

Page 2: The International Symposium of Journal Antropologi Indonesia · 2020. 4. 6. · The 7th International Symposium of Journal Antropologi Indonesia 293 the commodity of coffee farming

 

 294 

Harga cengkeh 1 kg adalah Rp. 85.000,‐, sementara harga kopra di waktu yang sama 1 kg adalah 

Rp. 5.000,‐. Harga dan kebutuhan uang tunai telah mendorong masyarakat untuk memposisikan 

kopra sebagai komoditas nomor dua dalam kehidupan mereka. 

Memposisikan  kopra  sebagai  komoditas  nomor  dua  ini  merupakan  transformasi  atas  cara 

pandang terhadap komoditas kopra. Pasalnya sejak awal abad ke‐20, kopra menjadi komoditas 

utama masyarakat Yainuelo dalam memenuhi kebutuhan uang tunai. Pada dekade pertama abad 

ke‐20, masyarakat Sepa mulai menanam pohon kelapa untuk merespon  tingginya permintaan 

kopra di pasar global. Tidak hanya masyarakat, pemerintah negeri Sepa juga melakukan hal yang 

sama, membuka hutan untuk pembuatan kebun kelapa milik negeri. Kebun kelapa negeri ini telah 

memunculkan konflik antar negeri, migrasi orang bukan‐negeri dan orang negeri, dan melahirkan 

pemukiman baru yang dinamai “yainuelo”35. Proses terbentuknya kampung ini sangat kompleks, 

karena melibatkan berbagai aktor dengan kepentingannya masing‐masing yang  saling berelasi 

dalam dinamika komoditas kopra.  

 Terlepas dari fenomena diatas, ketertarikan saya untuk mengkaji “komoditas kopra” berangkat 

dari tulisan Anna L. Tsing yang berjudul “Shorting Out Commodity: How capitalist value is made 

throught gifts” dan  tulisan Rudyansjah dalam buku “Sejarah, Kekuasaan, dan Tindakan”. Tsing 

mendiskusikan  bagaimana  komoditas  kapitalis  (jamur  matsutake)  menjadi  bernilai  melalui 

praktik‐praktik  non‐kapitalis  atau  lebih  tepatnya  melalui  “gifts”.  Rantai  komoditas  jamur 

matsutake berawal dan berakhir sebagai hadiah. Tulisan ini mendorong saya untuk melihat dan 

memahami dinamika  komoditas  kopra di  Yainuelo.  Sebagai  komoditas,  kopra di  Yainuelo dan 

jamur matsutake memiliki  kesamaan  yakni  tidak  diproduksi  oleh  kelas  kapitalis  atau  pemilik 

modal.  Produsen  kopra  dan  matsutake  adalah  orang‐orang  yang  tidak  menyandarkan 

kehidupannya sepenuhnya pada  logika ekonomi kapitalis, sehingga proses produksi komoditas 

tidak dilakukan hanya dengan menggunakan logika komoditas. Proses produksi kopra di Yainuelo 

misalnya,  pada  beberapa  tahap  kopra  dikelola  dengan  cara  non‐kapitalis  (lihat  penjelasan 

Rudyansjah & Tihurua, 2018) dan beberapa tahap lagi dikelola dengan cara kapitalis. Fenomena 

kopra  pada  level  produksi, memperlihatkan  bagaimana  pertukaran  hadiah  dan  komoditas  itu 

saling silang sengkarut, tidak seperti yang dikemukakan oleh Christoper Gregory. Gregory dalam 

buku  “Gifts  and  Commodities” membedakan  secara  ketat  pertukaran  hadiah  dan  pertukaran 

komoditas. 

Terkait  dengan  isu  hadiah  dan  komoditas  dalam  kajian  antropologi,  terdapat  kelompok 

Antropolog yang mengambil posisi berbeda dengan Gregory. Appadurai  (2012), Parry & Bloch 

(1989), Lapavitsas (2004), dan Andre Rujs (2008) berpendapat sebaliknya, pertukaran hadiah dan 

komoditas  itu  tidak dapat dibedakan. Artikel  ini mengambil posisi  teoritis mengikuti apa yang 

dilakukan Tsing (2013), secara prinsip kedua pertukaran ini berbeda, namun dalam aktifitas sehari‐

hari kedua pertukaran ini digunakan secara berkelindan. Penggunaan kedua pertukaran ini secara 

berkelindan mendorong saya untuk melihat transformasi dan kontinuitas budaya dalam dinamika 

komoditas kopra di Yainuelo. Saya tidak setuju dengan pandangan Gregory (1982) yang melihat 

ekonomi hadiah yang digunakan di PNG pada era kolonial bukan kontinuitas dari ekonomi hadiah 

pada era pra‐kolonial. Gregory tidak setuju dengan kontinuitas kebudayaan, menurutnya ekonomi 

hadiah dan ekonomi komoditas tumbuh secara simultan.    

                                                            35 Penamaan “yainuelo” diambil dari bahasa Sepa, dimana nama ini teridiri dari kata “yai” yang artinya “kayu” dan kata “nuelo” yang berarti “kelapa”. 

Page 3: The International Symposium of Journal Antropologi Indonesia · 2020. 4. 6. · The 7th International Symposium of Journal Antropologi Indonesia 293 the commodity of coffee farming

The 7th International Symposium of Journal Antropologi Indonesia  

  295 

Upaya saya untuk memahami  transformasi dan kontinuitas budaya dalam dinamika komoditas 

kopra di Yainuelo  terinspirasi  juga dari  cara Rudyansjah  (2009) melihat “kekuasaan” di Buton. 

Dalam menganalisis fenomena transformasi dan kontinuitas kebudayaan ini, saya menggunakan 

konsep “lanskap budaya” yang diajukan oleh Rudyansjah. Menurut saya, komoditas kopra seperti 

kekuasaan,  tidak  pernah  diartikulasikan  secara  final  oleh  masyarakat  yang  hidup  dengan 

komoditas  tersebut.  Dinamika  komoditas  kopra  di  Yainuelo  memiliki  keterpautan  dengan 

manusia,  kelapa,  dan  alam  dan  terikat  dengan  ruang  dan waktu  dimana  komoditas  tersebut 

diproduksi. Memahami komoditas kopra dalam bentangan ruang dan waktu yang panjang akan 

memperlihatkan kompleksitas dinamika komoditas tersebut. Artikel ini bertujuan untuk melihat 

bentuk‐bentuk  transformasi  dan  kontinuitas  budaya  yang  muncul  dalam  dinamika  kopra  di 

Yainuelo  dalam  periode waktu  conjuncture  (satu  abad)  dan melihat  friksi  yang  terjadi  antara 

dinamika kopra dan kebudayaan yang secara tidak langsung berdampak pada stabilitas pasokan 

komoditas ini di pasar. 

METODE PENELITIAN 

Dari  uraian  diatas,  artikel  ini  berupaya mengungkapkan  kompleksitas  dari  dinamika  kopra  di 

Yainuelo  dengan  mempertanyakan  “Bagaimana  proses  transformasi  dan  kontinuitas  budaya 

dalam dinamika komoditas kopra dalam bentangan ruang dan waktu yang panjang di Yainuelo?” 

periode sejarah yang dilihat adalah satu abad, dalam  istilah Braudel “the conjuncture”, dengan 

mengambil peristiwa pembuatan kebun kelapa negeri Sepa  sebagai – apa yang Sahlins  (2004) 

sebut “the moment of structural break”. Pembukaan kebun kelapa negeri menjadi momentum 

awal dinamika komoditas kopra di Yainuelo.   

Artikel ini merupakan hasil dari penelitian lapangan yang saya lakukan di kampung Yainuelo pada 

bulan Agustus 2018 sampai dengan bulan Januari 2019. Kampung Yainuelo secara administratif 

masuk dalam kecamatan Amahai, kabupaten Maluku Tengah, Maluku. Data dan  informasi yang 

menjadi  bahan  baku  dari  tulisan  ini  tidak  hanya  didapat  dari  pengamatan  lapangan  dan 

wawancara mendalam dengan subjek Penelitian namun juga dari refleksi atas pengalaman saya 

yang hidup dan besar di kampung Yainuelo.  

Hal penting yang saya lakukan dalam penelitian ini adalah bagaimana memposisikan diri sebagai 

peneliti dalam alam kehidupan subjek penelitian. Saya sebagai orang kampung dan saya sebagai 

peneliti  itu  dua  status  yang  berbeda  dan  berdampak  pada  cara  merespon  rutinitas  harian 

masyarakat dalam memproduksi komoditas kopra. Posisi  saya  sebagai bagian dari masyarakat 

yang  di  teliti  pada  awalnya membawa  keraguan  akan  ketidak‐obejektifan  dalam memahami 

budaya masyarakat dalam pengelolaan kopra di Yainuelo. Namun, seperti apa yang disampaikan 

oleh Spradley (2007) “cara yang terbaik untuk belajar etnografi adalah dengan melakukannya” 

(h. 63). Kalimat  ini sangat  lugas dan tegas serta dapat dimaknai,  lakukanlah etnografi sekalipun 

situs penelitian lapangan itu adalah kampung mu sendiri. Selain itu, Rudyansjah dalam tulisannya 

“Going  Native  sebagai  Tabu  dan  Identitas  Tempatan  sebagai  Titik  Pijak  Etnografis”  telah 

membawa  keberanian  bagi  saya  untuk  tetap memutuskan melakukan  penelitian  lapangan  di 

kampung sendiri (baca: Yainuelo). Menurut Rudyansjah, posisi si peneliti yang sama dengan subjek 

penelitiannya  semestinya  bisa  diterima  sebagai  satu  perspektif  etnografis  yang  berharga.  Ia 

melanjutkan, hanya dengan memiliki komitmen keyakinan yang sama dengan masyarakat yang 

Page 4: The International Symposium of Journal Antropologi Indonesia · 2020. 4. 6. · The 7th International Symposium of Journal Antropologi Indonesia 293 the commodity of coffee farming

 

 296 

diteliti,  ahli  antropologi  akan  dapat menangkap  kebudayaan masyarakat  yang  diteliti  dalam 

konteks konkrit mereka.36  

Naluri untuk mendalami peristiwa‐peristiwa harian akan muncul ketika kita memposisikan diri 

sebagai peneliti. Perbedaan kedalaman pemahaman antara Peneliti‐orang dalam dan Peneliti‐

orang  luar  adalah  kemampuan  merasakan  secara  totalitas  apa  yang  dilakukan  oleh  subjek 

penelitian.  peneliti‐orang  dalam  dan  peneliti‐orang  luar  ini  tidak  ditentukan  oleh  asal‐usul 

peneliti,  tetapi ditentukan oleh  cara peneliti menempatkan diri dalam alam kehidupan  subjek 

penelitian. Walaupun  seorang peneliti  itu bagian dari  komunitas  subjek penelitiannya, namun 

ketika  dia  tidak menempatkan  diri  dengan  baik  sebagai  bagian  dari  alam  kehidupan  subjek 

penelitiannya maka  ia  tidak  akan mendapatkan  kedalaman  dari  fenomena  yang  diteliti  atau 

meminjam  istilah Rudyansjah Peneliti  tersebut  tidak akan menghasilkan  “perspektif etnografis 

yang berharga”, begitupun sebaliknya.  

Konsep utama yang digunakan untuk menganalisis dinamika komoditas kopra di Yainuelo adalah 

“lanskap budaya” yang dikemukakan oleh Rudyansjah. Penggunaan konsep ini secara serta‐merta 

memberikan implikasi metodologis, harus menggunakan pendekatan antropologi dan pendekatan 

sejarah.  Menurut  Rudyansjah  (2009),  penggunaan  dua  pendekatan  ini  akan  memberikan 

kedalaman lokal/sosial dan kedalaman sejarah terhadap sesuatu yang menjadi isu utama dalam 

kajian yang dilakukan. Bagaimana memahami  sejarah komoditas kopra di Yainuelo  sementara 

data sejarah akan komoditas ini di Maluku sangat minim bahkan nyaris tidak ada? Data sejarah 

komoditas kopra di Yainuelo saya peroleh dari sejarah lisan yang diproduksi dan direproduksi oleh 

masyarakat  dari  generasi  ke  generasi.  Selain  itu,  disertasi  Rasid  Asba  dalam  buku  “Kopra 

Makassar: Perebutan Pusat dan Daerah” menjadi sumber tertulis utama sejarah kopra di Maluku. 

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 

Kelapa, Kopra, & Kampung: Cerita tentang Friksi & Hibriditas 

Penerimaan komoditas kopra menandai transformasi cara pandang masyarakat seram terhadap 

kelapa, dari  tanaman  subsistem menjadi  tanaman  industry  (komoditas). Menurut  saya, untuk 

memahami transformasi dan kontinuitas budaya pada dinamika dinamika komoditas kopra kita 

harus memulai  dengan mendiskusikan  tentang  bagaimana  kelapa  di  seram  sebelum  hadirnya 

kopra.  

Kapan  orang  Seram  mulai menanam  kelapa?  Apakah  pohon  kelapa  baru  dikenal  pada  saat 

booming komoditas kopra? Pertanyaan ini susah sekali dijawab karena tidak ada catatan sejarah 

tentang tanaman kelapa pertama kali ada di pulau Seram, bahkan juga di nusantara. Asba (2007) 

menulis “mengenai kapan dan bagaimana kelapa masuk di Indonesia, tidak diketahui secara pasti. 

Berbagai  sumber menyatakan bahwa  kelapa mulai dikenal pada daerah‐daerah pesisir pantai 

Jawa, Sumatra,dan pulau‐pulau di Nusantara bagian Timur”  (h. 29‐30). Dengan merujuk pada 

Pantouw, Asba menyampaikan, di wilayah Nusantara sendiri cerita  tentang kelapa sudah  lama 

dikenal.  Ini dibuktikan dengan adanya gambar pohon kelapa pada  relief candi Brobudur. Asba 

dalam bukunya  juga menguraikan tentang perbedaan pendapat para ahli Sejarah tentang asal‐

muasal pohon kelapa. Terkait dengan perbedaan pendapat ini, Asba (2007) menyatakan, ketidak‐

                                                            36 Rudyansjah, dkk. (2012). Antropologi Agama: Wacana‐wacana Mutakhir dalam Kajian Religi dan Agama, Jakarta: UI‐Press. h. 26‐27  

Page 5: The International Symposium of Journal Antropologi Indonesia · 2020. 4. 6. · The 7th International Symposium of Journal Antropologi Indonesia 293 the commodity of coffee farming

The 7th International Symposium of Journal Antropologi Indonesia  

  297 

jelasan asal‐muasal tanaman kelapa memperkuat dugaan bahwa pohon kelapa telah menyebar di 

berbagai wilayah. Jika apa yang diasumsikan Asba kita gunakan, pertanyaan pentingnya adalah 

“bagaimana  kelapa  dapat  menyebar  diberbagai  wilayah  di  nusantara?”  untuk  menjawab 

pertanyaan  ini, saya   merujuk pada penjelasan Foale  tentang kualitas buah kelapa yang dapat 

memungkinkan ia tersebar dan tumbuh diberbagai wilayah. Foale (2003) menjelaskan: 

“Kisah kelapa dan keberadaannya di seluruh dunia adalah kisah di mana evolusi, imigrasi, 

perdagangan, praktik budaya lainnya, dan kekuatan alam semuanya berperan. … 

Buah  kelapa  liar  mengapung  dengan  sangat  baik  karena  kulitnya  yang  tebal  dan 

berkepadatan rendah, yang menyerap air dengan sangat lambat. buah‐buah kelapa dapat 

mengapung hingga empat bulan di laut dan masih bertunas/tumbuh ketika ditempatkan di 

tanah kering. … 

selain  bertindak  sebagai wadah  apung  untuk  benih  kelapa,  kulitnya  cukup  lunak  untuk 

melindungi benih di dalamnya ketika  jatuh ke tempat berbatu, … evolusi kuat dari benih 

kelapa  yang  mengambang,  mampu  bertahan  berbulan‐bulan  di  laut  dan  menempuh 

perjalanan  hingga  ribuan  kilometer  tergantung  pada  kecepatan  arus,  hal  inilah  yang 

menjamin penyebaran kelapa yang luas.” 

Terkait dengan keberadaan kelapa di pulau Seram, walaupun tidak ada catatan kapan kelapa mulai 

tumbuh di pulau ini, namun beberapa catatan sejarah menunjukkan sebelum perdagangan kopra 

kelapa  sudah  dikenal  oleh masyarakat  Seram. Muridan Widjojo  (2013)  dengan merujuk  pada 

laporan  VOC  tahun  1782  dari  Ambon  kepada  Batavia,  menulis  “pada  pertengahan  1782 

Pemerintah  Ambon  merekomendasikan  pengiriman  ekspedisi‐ekspedisi  penghukuman.  … 

sejumlah besar pohon  sagu dan pohon kelapa  yang dianggap  sumber pasokan makanan bagi 

pemberontak  juga  dihancurkan”  (h.    247‐248). Menurut  saya,  catatan  ini  dapat menunjukan 

kepada kita bahwa pada abad ke‐18 sebelum adanya perdagangan komoditas kopra, masyarakat 

di kepulauan Maluku sudah menanam kelapa. Selain catatan Muridan, mitos yang dituturkan oleh 

masyarakat Seram  tengah dan barat  juga dapat menjadi alasan yang kuat untuk menunjukkan 

kelapa di pulau Seram sudah ada sebelum era perdagangan kopra. Mitos “Hainuwele” dan “La 

Ode Wuna” menjadi dua bukti  sejarah  lisan  keberadaan  kelapa di pulau  Seram. Bukti bahwa 

masyarakat Yainuelo yang berasal dari etnis Buton masih memegang cerita  ini adalah mereka 

sampai saat ini masih menyimpan gambar La Ode Wuna di rumah‐rumah mereka. Fenomena ini 

mengingatkan saya  pada apa yang disampaikan Foale (2003), cerita tentang kelapa adalah cerita 

tentang migrasi. Migrasi orang Buton ke pulau Seram. 

Kelapa telah menjadi tanaman susbsistensi kehidupan masyarakat jauh sebelum komoditas kopra 

dikenal. Kelapa digunakan untuk berbagai kebutuhan keluarga, mulai dari buah, batang, sampai 

daun.  Buah  kelapa misalnya,  dagingnya  dipotong‐potong  kemudian  disajikan  di meja makan 

bersama makanan utama, masyarakat menyebutnya dengan istilah “kalapa sisi”.  Dalam beberapa 

komunitas di Maluku Tengah, di dulang makan37 harus tersedia kelapa sisi. Jika kelapa sisi tidak 

ada  didulang  makan,  kepala  keluarga  dapat  marah  bahkan  acara  makan  keluarga  dapat 

dibatalkan. Kelapa sisi posisinya sama dengan garam di dulang makan, kedua makanan ini harus 

ada. Selain dagingnya di makan mentah, daging kelapa  juga di parut untuk diambil  santannya 

sebagai  bahan  pembuatan  sayur  dan makanan  berkuah  lainnya  serta  diolah menjadi minyak 

goreng. Bukan hanya kelapa yang sudah tua yang bermanfaat untuk kehidupan masyarakat, buah 

                                                            37 Tempat makan 

Page 6: The International Symposium of Journal Antropologi Indonesia · 2020. 4. 6. · The 7th International Symposium of Journal Antropologi Indonesia 293 the commodity of coffee farming

 

 298 

kelapa yang masih muda pun mempunyai kegunaan yang juga tidak kalah pentingnya. Buah kelapa 

muda digunakan oleh  sebagian  komunitas untuk menanamkan  ari‐ari bayi  yang baru  lahir. Di 

Yainuelo tradisi menanam ari‐ari bayi yang baru lahir dilakukan oleh etnis Buton. Masyarakat tidak 

hanya menggunakan daging kelapa, kulit buah kelapa pun bermanfaat untuk kebutuhan harian 

masyarakat. 

Diperkenalkannya komoditas kopra di Maluku pada akhir abad ke‐19 dan awal abad ke‐20 telah 

memicu gairah masyarakat di pulau Seram untuk memperluas areal penanaman pohon kelapa. 

Perluasan  lahan atau penanaman pohon kelapa dalam skala yang besar oleh orang kampung di 

Seram termasuk di Sepa diperuntukan untuk produksi komoditas kopra. Penerimaan komoditas 

kopra di Sepa menjadi pemicu lahirnya kampung Yainuelo. Namun, komoditas kopra tidak menjadi 

satu‐satunya faktor, ada faktor lain yang saling “bergesekan” dengan komoditas yang membuat 

lahirnya kampung Yainuelo. Pemerintah negeri Sepa mempunyai kepentingan menjaga wilayah 

perbatasan  yang  berada  di  sisi  barat‐selatan,  orang‐orang Buton membutuhkan wilayah  baru 

untuk hidup, pembakaran kampung Sepa oleh RMS membuat sekelompok orang Sepa migrasi ke 

Yainuelo pada tahun 1950‐an, pasar membutuhkan peningkatan produksi komoditas kopra, dan 

tanaman  kelapa  memiliki  kualitas  yang  membuat  semua  kepentingan  ini  dapat  berjalan. 

Komoditas kopra juga memfasilitasi migrasi orang negeri dan bukan‐orang negeri (sebagian besar 

etnis  Buton)  ke  Yainuelo.  Percampuran  etnis  ini  telah menghasilkan  dinamika  kebudayaan  di 

Yainuelo  yang  kompleks dan unik atau dapat disebut dinamika  kampung Yainuelo melahirkan 

budaya yang hybrid. 

Gambar: kampung Yainuelo 

(sumber: diolah dari google earth dan hasil penelitian) 

Bagaimana  friksi  dan  hibriditas  ini  terjadi?  Kita  mesti  memulai  dengan  menelusuri  sejarah 

dinamika  kopra  di Maluku. Rasid Asba  (2013),  sejarawan  yang meneliti  tentang  perdagangan 

kopra di Makassar menyampaikan  “Tanaman  kelapa baru mendapat perhatian  serius  sebagai 

komoditi dagang setelah minyak nabati sangat dibutuhkan dalam pembuatan sabun dan mentega 

pada akhir abad ke‐19. Pada tahun 1873, Perseroan Dagang Nederland (Nederlandsche Handels 

Maatschappij)  di  Amsterdam mulai menerima  kopra”  (h.  30).  Pada  bagian  selanjutnya,  Asba 

menyampaikan  (2013) “masyarakat Maluku baru mulai membuat kopra pada  tahun 1880‐an.” 

Keterangan Asba diatas menunjukkan bagaimana kecepatan masyarakat di wilayah pedesaan di 

Page 7: The International Symposium of Journal Antropologi Indonesia · 2020. 4. 6. · The 7th International Symposium of Journal Antropologi Indonesia 293 the commodity of coffee farming

The 7th International Symposium of Journal Antropologi Indonesia  

  299 

pulau  Seram merespon  permintaan  pasar  global. Walaupun  kita mesti  akui  juga  bahwa  hal 

tersebut terjadi karena adanya campur tangan pemerintah kolonial pada waktu itu. Hanya dalam 

beberapa dekade dari penemuan komoditas kopra, Maluku diawal abad ke‐20 telah meningkatkan 

produktifitas Kopra dengan angka yang sangat fantastis dan menjadi komoditas ekspor unggulan. 

Dalam catatan Asba (2013), Selama tahun 1928‐1930 jumlah ekspor kopra dari Maluku mencapai 

f 3 juta.  

Pertanyaan penting dalam menanggapi  fenomena yang dicatat Asba diatas adalah bagaimana 

kopra dapat menjadi  komoditas ekspor utama Maluku pada awal abad  ke‐20? Padahal masih 

dalam  catatan  Asba,  sejak  awal  perusahaan  swasta  yang  berinvestasi  untuk  pembuatan 

perkebunan kelapa hanyalah berkisar antara 5‐6 %. Jadi, ekspor kopra pada awal abad ke‐20 yang 

tinggi  itu 94‐95 % diproduksi oleh perkebunan  rakyat  atau oleh produsen  kopra di  kampung‐

kampung. Situasi penanaman modal pada perkebunan kelapa sejak awal era kopra sampai saat ini 

pun sama. Tihurua & Rudyansjah (2018) mencatat, Data Statistik Perkebunan pada tahun 2015 

menunjukkan  bahwa  luas  areal  kebun  kelapa  di  Indonesia  berdasarkan  jenis  pengusahaan 

didominasi oleh perkebunan kelapa rakyat, yakni sebesar 98,98%. Sedangkan perkebunan Negara 

hanya seluas 0,11% dan perkebunan Swasta seluas 0,92%. 

Terkait dengan pembukaan hutan dan penanaman pohon kelapa untuk kebun kelapa negeri Sepa, 

ketua  Saniri  Yainuelo, Ahmad Haji Muhamad  Tihurua menyampaikan, dahulu  (tahun pastinya 

Informan tidak tahu) ada 40 kepala keluarga di Negeri Sepa tidak dapat membayar “balanse38” 

atau pajak  ke pemerintah Hindia Belanda.  Pemerintah  negeri  Sepa mengambil  alih  persoalan 

tersebut dan membayar pajak mereka. Sebagai gantinya, pemerintah negeri meminta 40 kepala 

keluarga ini membuka hutan yang berada di pesisir barat petuanan Negeri Sepa yang berbatasan 

dengan negeri Rutah untuk penanaman kelapa. Ke‐40 orang  ini di pimpin oleh Hasyim Tihurua, 

yang saat itu menjadi Kapitang Basar (Besar)39 negeri Sepa. Areal yang dibuka dan ditanami kelapa 

ini awalnya disebut totun (tanjung).  

Tanaman kelapa yang ditanam di kebun negeri dilakukan dua kali. Pertama, pembukaan hutan 

dan penanaman kelapa dilakukan oleh 40 orang kepala keluarga dari Sepa sebagai bentuk balas 

jasa kepada Negeri. Kedua, penanaman kelapa dilakukan oleh beberapa keluarga Buton dan Sepa 

yang migrasi  ke  Yainuelo. Penanaman  kelapa pada  gelombang  kedua  ini  terjadi pada periode 

1950‐an sampai dengan periode 1970‐an. Awalnya masyarakat Yainuelo meminta kepada Negeri 

Sepa melalui orang‐orang tua negeri Sepa yang ada di Yainuelo untuk membuat kebun (menanam 

tanaman  umur  pendek  untuk  kebutuhan  harian  keluarga).  Didalam  kebun  tersebut, mereka 

kemudian menanam kelapa. Tidak ada keterangan yang jelas dari masyarakat, apakah penanaman 

kelapa itu diminta oleh Pemerintah Negeri atau itu merupakan inisitif masyarakat yang berkebun. 

Pohon‐pohon  kelapa  yang  telah  tumbuh di  kebun‐kebun pribadi  yang  ada dalam  areal  kebun 

kelapa negeri tersebut dibagi dengan negeri sehingga menjadi bagian kelapa negeri. 

Pada awal abad ke‐20, Raja Negeri Sepa menugaskan La Hari40 untuk menjaga kebun kelapa negeri 

di daerah Totun yang berbatasan dengan wilayah petuanan negeri Rutah. Menurut cerita yang 

berkembang  pada masyarakat  Sepa,  hal  ini  dilakukan  karena masyarakat  negeri  Rutah  sering 

mencabut  pohon‐pohon  kelapa  yang  baru  ditanam  dan menanam  anakan  kelapa  tersebut  di 

                                                            38 Istilah “balance” yang biasa digunakan masyarakat ini berasal dari kata “belasting” yang dalam bahasa Belanda berarti Pajak.  39  Panglima perang negeri dalam struktur adat masyarakat Sepa. 40  Salah satu orang Buton yang tinggal di Sepa 

Page 8: The International Symposium of Journal Antropologi Indonesia · 2020. 4. 6. · The 7th International Symposium of Journal Antropologi Indonesia 293 the commodity of coffee farming

 

 300 

wilayah mereka. Selain  itu, saling klaim wilayah yang menjadi batas kedua negeri  ini  juga terus 

terjadi. Salah  satu upaya yang dilakukan pemerintah negeri Sepa untuk mempertahankan apa 

yang mereka klaim adalah menaruh orang untuk menjaga wilayah tersebut.  

Penempatan La Hari dan keluarganya di Yainuelo menyebabkan beberapa keluarga Buton pindah 

dan hidup didaerah ini. Menurut Fadly41, ketika La Hari ditugaskan untuk pindah ke Yainuelo, ia 

mengajak juga saudaranya La Nuru yang waktu itu sudah tinggal di Sepa. La Hari dan La Nuru tidak 

sendirian ke Yainuelo, mereka membawa seluruh kelurga. Untuk memenuhi kehidupan keluarga 

dan ana‐cucu mereka dikemudian hari, pemerintah Negeri Sepa mempersilahkan mereka untuk 

membuka  hutan  guna menanam  tanaman  umur  pajang  dan  tanaman  umur  pendek.  Jumlah 

keluarga Buton yang pindah ke Yainuelo terus bertambah. Awalnya keluarga yang datang masih 

merupakan  kerabat  La  hari,  setelah  itu  datang  juga  keluarga  Buton  dari  beberapa  sub‐suku 

lainnya. Diantaranya adalah Cia‐cia, Tomia, dan Siompu. 

Pada  tahun 1950‐an  terjadi pergolakan politik di Maluku  yang dilakukan oleh organisasi  yang 

menyebut diri Republik Maluku  Selatan  (RMS). Negeri  Sepa  terkena dampak dari  gerakan  ini, 

dimana  pada  tahun  1950‐an  pasukan  RMS  menyerang  dan  membakar  negeri  Sepa.  Dalam 

peristiwa ini, salah satu tokoh adat negeri Sepa, Yahya Tihurua ditangkap dan ditawan di wilayah 

pegunungan selama 3 (tiga) bulan. Yahya Tihurua merupakan anak dari Hasyim Tihurua (Kapitang 

Basar) yang memimpin kelompok 40 untuk membuka hutan di Yainuelo. Ketika  ia dibebaskan, 

bapak Yahya  langsung  tinggal di Yainuelo. Menurut  tuturan Halija Tihurua anak Yahya Tihurua 

kepada  saya, menetapnya  bapak  Yahya  Tihurua  di  Yainuelo  diminta  oleh  kelurga Buton  yang 

tinggal di negeri ini. 

Menetapnya bapak Yahya Tihurua di Yainuelo membuat beberapa keluarga Sepa juga pindah dan 

menetap di Yainuelo. Selain bapak Yahya Tihurua, salah satu tokoh adat yang juga pindah adalah 

Adam Tihurua. Adam Tihurua saat itu menjabat sebagai kapitang basar negeri Sepa dan kakak dari 

Yahya  Tihurua. Keluarga  Sepa  yang pindah  tersebut  antara  lain,  keluarga dari marga  Tihurua, 

marga Amahoru, Kunio, Wasolo, Sopalatu, Wasolo, Souwahu, dan Mahua. Keluarga Sepa yang 

pindah ke Yainuelo awalnya merupakan kerabat dan murid mengaji bapak Yahya Tihurua. Seiring 

berjalannya waktu penduduk di kampung ini terus bertambah, selain orang Buton dan orang Sepa, 

orang Kei dan Flores juga migrasi dan hidup di Yainuelo.  

Letak  geografis  kampung  Yainuelo membuat migrasi orang bukan‐negeri dan orang negeri  ke 

Yainuelo menjadi sangat mungkin. Yainuelo berada dibagian selatan‐tengah pulau Seram, Maluku. 

Bagian  selatan pulau  Seram umumnya merupakan daerah  yang memiliki  luas dataran  sedikit, 

karena didominasi oleh bukit‐bukit dan dataran tinggi. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) 

yang dilansir  tahun 2018, Negeri Yainuelo berada pada  ketinggian 6 meter MDPL dan berada 

disekitar areal hutan. Kampung ini berhadapan langsung dengan laut Banda yang berada disebelah 

selatan, sedangkan sebalah utara dan timur adalah hutan adat negeri Sepa, dan di sebelah barat 

berbatasan dengan hutan adat negeri Rutah.   Kondisi tanah di Yainuelo dan hutan disekitarnya 

sebagian besar didominasi oleh  tanah  yang bercampur pasir dan batu  atau masyarakat biasa 

menyebutnya  tanah “sirtu”.  Jenis  tanah  ini bukan hanya di Yainuelo, dataran di pesisir selatan 

pulau Seram didominasi  jenis tanah yang sama. Menurut masyarakat, tanah sirtu sangat cocok 

untuk  tanaman  kelapa.  Senada  dengan  apa  yang  dituturkan  masyarakat,  Asba  (2007:57) 

                                                            41 Salah satu Informan saya di Yaiuelo yang saat ini menjabat sebagai Kepala Urusan Pembangunan Negri Administratif Yainuelo dan masih keturunan La Nuru

Page 9: The International Symposium of Journal Antropologi Indonesia · 2020. 4. 6. · The 7th International Symposium of Journal Antropologi Indonesia 293 the commodity of coffee farming

The 7th International Symposium of Journal Antropologi Indonesia  

  301 

menyampaikan, wilayah Indonesia Timur (termasuk di pulau Seram) cocok untuk tanaman kelapa, 

karena selain cuaca juga tanahnya mengandung batuan kapur serta aluvium (lempung pasir halus) 

yang banyak mengandung texture (susunan kimiawi) tanah yang subur. Kondisi tanah di Maluku 

yang hangat dan lembab menguntungkan bagi pertumbuhan kelapa. 

Masyarakat Yainuelo dibagi dalam dua kategori. Pertama, “orang negeri”; kedua, “bukan‐orang 

negeri”. Istilah orang negeri disematkan pada masyarakat Sepa yang ada di Yainuelo. Sedangkan, 

istilah  bukan‐orang  negeri  digunakan  untuk  menunjuk  masyarakat  lain  selain  orang  Sepa. 

Pembedaan ini memiliki konsekuensi terhadap power dan akses. Orang negeri mempunyai kuasa 

untuk membicarakan  berbagai  kepentingan  negeri  yang  penting. Misalnya,  siapa  yang  harus 

dicalonkan menjadi kepala kampung, siapa yang menjadi ketua saniri, siapa yang harus menjadi 

imam.  Sementara masyarakat Yainuelo  yang dikategorikan  sebagai bukan‐orang negeri, untuk 

kepentingan‐kepentingan ini secara tidak langsung diharapkan bersifat pasif. Kuasa yang dimiliki 

orang negeri berhubungan juga dengan akses terhadap hutan dan tanah komunal. Dalam hukum 

adat Sepa, hutan dan tanah itu milik negeri dan semua anggota komunitas sepa mempunyai hak 

untuk membuka dan mengolah hutan dan tanah tersebut. Bukan‐orang negeri tidak mempunyai 

hak untuk mengakses hutan dan  tanah  secara  langsung. Mereka dapat membuka hutan  atau 

mengolah tanah komunal jika sudah mendapatkan izin dari pemerintah negeri, atau orang negeri, 

atau bersama orang negeri membuka hutan dan tanah tersebut. Hanya keluarga‐keluarga Buton 

generasi pertama dan kedua yang diberikan izin oleh pemerintah negeri untuk membukan hutan 

dan mengolah  tanah untuk  kelangsungan hidup  keluarga mereka. Misalnya,  keluarga  La Hari, 

keluarga Ode Kaluku, Keluarga La Nuru, Keluarga Ode Bolombo, dan beberapa keluarga Buton 

pertama lainnya yang sejak awal mereka diberikan akses secara langsung untuk membuka hutan 

dan mengolah tanah.   

Pembedaan  ini berdampak pula pada kepemilikan dusun kelapa yang ada  saat  ini di Yainuelo. 

Dusun kelapa di Yainuelo itu dimiliki oleh negeri Sepa, orang negeri yang ada di Sepa dan Yainuelo, 

orang Buton generasi pertama di Yainuelo, orang Buton yang menikah dengan orang negeri, orang 

Buton  generasi  kedua  yang menanam  kelapa  didalam  dusun  kelapa  negeri,  dan  bukan‐orang 

negeri  yang  didapatkan  dengan  cara membeli.  Kepemilikan  dusun  kelapa  ini  dapat menjadi 

penanda untuk membedakan orang negeri dengan bukan orang negeri, dan pembeda bukan‐

orang negeri yang lama dengan bukan‐orang negeri yang baru.   

Pembagian masyarakat Yainuelo kedalam dua kategori  ini, dalam konteks sumber penghidupan 

didukung  oleh  kondisi  geografis  (sebagaimana  telah  dijelaskan  sebelumnya).  Letak  geografis 

kampung Yainuelo membuat masyarakat menggantungkan hidup di darat dan di laut. Masyarakat 

Yainuelo yang hidupnya di laut umumnya merupakan orang Buton, sementara orang negeri lebih 

banyak mengelola  tanah dan hutan. Di Yainuelo, bahkan di Maluku  secara umum pembagian 

masyarakat  kampung menjadi  petani  dan  nelayan  secara  ketat  tidak  terlalu  tepat.  Pasalnya, 

masyarakat Yainuelo atau Seram yang sebagian besar tinggal di pesisir pantai menggantungkan 

hidupnya di darat dan juga di laut. Ada orang yang aktifitasnya melaut dia juga mempunyai dusun 

dan  kebun, begitu pun  sebaliknya.  Jika  ada  sebagian masyarakat  yang  lebih menggantungkan 

hidupnya di laut itu dikarenakan akses terhadap lahan yang sulit karena posisinya sebagai bukan‐

orang  negeri.  Sementara,  sebagian  besar  orang  negeri  tidak  benar‐benar  menggantungkan 

hidupnya di  laut bukan berarti dia tidak melaut. Mereka tetap melaut, namun bukan dijadikan 

sebagai sumber penghidupan yang utama. Kebanyakan mereka ke  laut hanya untuk memenuhi 

kebutuhan  harian  keluarga. Hal  inilah  yang membuat  saya menghindari menggunakan  istilah 

“petani” dan “nelayan” dalam artikel ini. 

Page 10: The International Symposium of Journal Antropologi Indonesia · 2020. 4. 6. · The 7th International Symposium of Journal Antropologi Indonesia 293 the commodity of coffee farming

 

 302 

Konsep dan Teknik Produksi Kopra di Yainuelo 

Kopra adalah komoditas yang berasal dari daging kelapa yang telah dikeringkan. Mengapa kopra 

disebut komoditas? sejak awal kopra adalah barang yang diproduksi oleh masyarakat bukan untuk 

dikonsumsi,  tetapi  untuk  di  jual.  Jadi  sejak  awal  ketika  kopra  jadi,  dia  sudah  disebut  sebagai 

komoditas.  Bagaimana  kopra  ini  diproduksi?  Proses  pengerjaan  kopra  ini  sangat  rumit  dan 

membutuhkan kerja dan pencurahan tenaga yang ekstra.  

Menurut Rudyansjah & Tihurua (2018), secara teknis proses produksi kopra ada 4 (empat) tahapan 

pekerjaan. Pertama, ‘Pameri’. Pameri adalah istilah yang digunakan oleh masyarakat di Yainuelo 

dan Sepa untuk menyebut kegiatan pembersihan rumput pada dusun kelapa. Kedua, panen buah 

kelapa yang dilakukan dengan cara memanjat pohon kelapa. Ketiga, belah buah kelapa dan sisi 

kelapa  (melepaskan daging kelapa dari batok kelapa). Dua aktifitas  ini  sering dilakukan  secara 

bersamaan atau dilakukan dengan selisih 8 – 10 jam. Kerja Keempat adalah mengeringkan daging 

kelapa.  

 Dalam  pengelolaan  kopra,  masyarakat  di  Yainuelo  dan  Sepa  mengenal  tiga  jenis  sistem 

pengarahan atau penggunaan tenaga kerja. Yang pertama, kerja dengan cara masohi; kedua, kerja 

dengan cara ma’ano; dan ketiga, kerja dengan cara sewa. Roy Ellen (2003) mengartikan masohi 

sebagai sistem gotong royong antar tetangga dan saudara khususnya dalam membangun rumah 

atau berbagai kegiatan sosial lainnya42. Sedangkan, Bartels (2017) Etnografer juga yang melakukan 

penelitian di Maluku Tengah mendefenisikan masohi sebagai bentuk ekspresi kolektivisme ideal 

masyarakat Maluku yang terjadi dalam banyak tugas sehari‐hari. Terkait dengan defenisi masohi 

yang disampaikan oleh Ellen, Rudyansjah & Tihurua (2018) menyampaikan, Masohi tidak hanya 

melibatkan  saudara  atau  tetangga,  tetapi  juga melibatkan  hubungan  pertemanan.  Sedangkan 

defenisi  yang  diberikan  oleh  Bartels  tidak  menggambarkan  adanya  pemberian  tenaga  yang 

bersifat  resiprokal dalam kerja masohi. Menurut Rudyansjah & Tihurua  (2018), Masohi adalah 

tradisi kerja masyarakat di Maluku (termasuk di pulau Seram) yang didasarkan pada relasi sosial 

non‐kapitalis dan prinsip pertukaran resiprokal.  

Jika masohi didasarkan pada prinsip pertukaran resiprokal, maka Ma’ano didasarkan pada prinsip 

bagi hasil. Ma’ano merupakan model kerja dimana satu orang atau  lebih mengelola kopra dari 

dusun kelapa milik orang  lain  (keluarga atau teman) dan hasil dari pengelolaan kopra tersebut 

dibagi antara pengelola dan pemilik dusun kelapa. Pembagian hasil dari model kerja ma’ano cukup 

beragam,  tergantung  kesepakatan  pengelola  dan  pemilik  dusun.  Misalnya,  ada  yang 

menggunakan sistem “bage dua”, pemilik dusun mendapatkan satu bagian, sedangkan pengelola 

mendapatkan satu bagian. Jadi, ketika pengelola ada 3 orang maka mereka akan membagi satu 

bagian tersebut. Ada juga model ma’ano dengan sistem “bage sama”. Sistem yang kedua ini, hasil 

dari pengelolaan kopra dibagi secara merata antara pengelola dengan pemilik dusun. Kalau yang 

kelola ada 3 orang, maka haisl kopra tersebut di bagi empat bagian. Setiap orang mendapatkan 

bagian yang sama.  

Sewa  adalah  model  pengelolaan  kerja  yang  berbeda  dengan  masohi  dan  ma’ano.  Sewa 

mensyaratkan uang sebagai upah untuk mengganti tenaga yang dicurahkan untuk mengerjakan 

sesuatu.  Sewa  sudah  dikenal  lama  di  Yainuelo,  bahkan  sejak  awal  berdirinya  kampung  ini 

                                                            42 Kadir, H. A. (2014). Ambon di Bawah Orde Baru: Transformasi Kapitalisme pada Masyarakat Pinggiran. http://satutimor.com/ambon‐di‐bawah‐orde‐baru‐transformasi‐kapitalisme‐pada‐masyarakat‐pinggiran.php 

Page 11: The International Symposium of Journal Antropologi Indonesia · 2020. 4. 6. · The 7th International Symposium of Journal Antropologi Indonesia 293 the commodity of coffee farming

The 7th International Symposium of Journal Antropologi Indonesia  

  303 

masyarakat  sudah  mengenal  sewa.  Dalam  satu  kesempatan  wawancara,  Ahmad  Hasyim 

menuturkan, dusun kelapa pusaka H. Malik (Kakek Ahmad dari pihak Ibu) ditanam oleh La Hari 

(orang pertama tinggal di Yainuelo) dengan upah Rp.300,‐. Jumlah biaya sewa ini setara dengan 

biaya 1 (satu) orang menunaikan ibadah Haji pada waktu itu (sekitar tahun 1930‐1940‐an).  

Sewa sampai saat  ini juga masih digunakan dalam pengelolaan kopra. Ketika saya mengunjungi 

Ahmad  di  dusun  kelapa  di  Sialari.  Seorang  laki‐laki  yang  berusia  sekitar  25‐30  tahun  sedang 

memanjat pohon  kelapa. Orang  yang menyewakan  tenaganya untuk  “nai”  atau panjat pohon 

kelapa adalah Toti Waleuru. Toti berasal dari kampung Yalahatan‐Tamilouw, sekitar 30 km ke arah 

Timur dari Yainuelo. Kata Ahmad, saat ini (bulan Agustus 2018) biaya sewa “nai” atau panjat per 

pohon adalah Rp. 5.000.   Sewa nai  ini  sudah dikenal di Maluku  sejak periode awal komoditas 

kopra. 

Dinamika Kopra di Yainuelo 

Untuk memulai pembahasan  ini, saya  ingin mengutip pendapat Anna Tsing  (2013) “Komoditas 

kapitalis  menjadi  bernilai  dengan  menggunakan —  dan  menyingkirkan —  relasi  sosial  non‐

kapitalis, relasi manusia dan non‐manusia.” Apakah kopra sama seperti jamur matsutake? Yang 

mana untuk bernilai, harus menggunakan relasi sosial non‐kapitalis, relasi manusia dan bukan‐

manusia. Sebelum Anna Tsing menulis tentang “mashroom”, satu tulisan yang penting dari Anna 

Tsing berjudul “Friction: an Ethnography of Global Conneection”. Saya melihat pendapat diatas 

memiliki jangkar pada konsep “friction” dalam buku ini. Untuk itu, jawaban atas pertanyaan yang 

saya ajukan, hanya akan dipahami jika kita memahami bagaimana konsep friction ini dioperasikan 

dalam  melihat  komoditas.  Terkait  dengan  kehidupan  komoditas,  Anna  Tsing  (2005) 

menyampaikan: 

“Komoditas tampak begitu akrab sehingga kita membayangkan mereka siap dibuat untuk 

kita di setiap tahap produksi dan distribusi, ketika mereka berpindah dari tangan ke tangan 

sampai mereka  tiba di konsumen. Namun  semakin dekat kita melihat  rantai komoditas, 

semakin banyak setiap langkah ‐ bahkan transportasi ‐ dapat dilihat sebagai arena produksi 

budaya. Kapitalisme global dibuat dalam gesekan dalam rantai ini karena ekonomi budaya 

yang  berbeda  saling  terkait,  seringkali  canggung.  Namun  komoditas  itu  harus muncul 

seolah‐olah tidak tersentuh oleh gesekan ini” (h. 51). 

Bagi Anna Tsing, rantai komoditas itu merupakan arena produksi budaya. Di dalam arena, hal yang 

pasti  terjadi  adalah  “friksi” antara  komoditas dengan non‐komoditas, manusia dengan bukan‐

manusia,  masyarakat  dengan  pemerintah,  orang  kampung  dengan  pedagang  pengumpul 

komoditas kopra, dan lain sebagainya. Friksi adalah peristiwa yang membuat komoditas itu tetap 

eksis  atau menjadi  bernilai  komoditas.  Anna  Tsing  secara  implisit mengingatkan,  komoditas 

kapitalis  tidak  hanya menggunakan  relasi  non‐kapitalis  tetapi  juga menyingkirkannya.  Secara 

temporal, penggunaan dan penyingkiran dapat  terjadi dalam satu  rangkaian waktu, dan dapat 

juga tidak bersamaan. Ini merupakan fenomena ambigu dalam kehidupan komoditas. Kita dapat 

melihat hal ini dalam produksi komoditas kopra di Yainuelo.  

Pada tahun 1990‐an, produksi kopra dengan cara masohi di Yainuelo adalah fenomena yang biasa. 

Hal  ini  berbeda  ketika  saya melakukan  penelitian  lapangan,  pengelolaan  kopra  dengan  cara 

masohi nyaris tidak ditemukan. Mengapa hal  ini bisa terjadi? Tentu fenomena  ini berhubungan 

dengan berbagai faktor, namun satu alasan yang sangat berpengaruh adalah tingginya kebutuhan 

uang tunai untuk memenuhi kebutuhan hidup harian keluarga. Tingginya kebutuhan uang tunai 

Page 12: The International Symposium of Journal Antropologi Indonesia · 2020. 4. 6. · The 7th International Symposium of Journal Antropologi Indonesia 293 the commodity of coffee farming

 

 304 

membuat  setiap  orang  berharap  apa  yang  dia  lakukan  dapat menghasilkan  uang  tunai.  Kerja 

masohi  tidak  menghasilakan  uang  tunai,  sudah  pasti  cara  kerja  ini  perlahan‐lahan  mulai 

ditinggalkan oleh masyarakat. Padahal produksi kopra dengan cara masohi diawal penerimaan 

kopra membuat komoditas kopra dapat tumbuh dan berkembang di Yainuelo.   

Mengolah atau memproduksi komoditas kopra bukanlah aktifitas ekonomi semata, Anna Tsing 

dan Escobar menyebut itu merupakan arena produksi budaya. Apa artinya? Menurut saya, ketika 

orang di  kampung melakukan aktifitas produksi  komoditas,  ia  sebenarnya  sedang menjadikan 

komoditas  tersebut  sebagai  “companion  spesies”  (meminjam  istilah  Donna  Harraway,  2008). 

sehingga komoditas kemudian memiliki keterikatan  (entanglement) dengan orang di kampung. 

Keterikatan  orang  di  kampung  dengan  komoditas membuatnya  bergantung  pada  komoditas 

tersebut  untuk memenuhi  semua  kebutuhan  hidupnya.  Sebagian  besar  energy  yang  dimiliki 

dikerahkan  untuk mengurus  komoditas.  Kebutuhan  harian  yang  semestinya  dapat  diproduksi 

sendiri  tanpa membeli,  tidak  diurus  karena mereka  hanya  fokus  untuk mengolah  komoditas. 

Selain itu, uang yang dihasilkan dari komoditas yang dijual, telah menciptakan kebiasaan baru di 

masyarakat  yakni  “kebiasaan membeli”.  Sebagian masyarakat  di  Yainuelo  saat  ini, memenuhi 

kebutuhan  pangannya  dengan membeli.  Ironisnya, mereka menunggu  tukang  sayur  dari  kota 

Masohi yang menjajakan  sayur dengan  sepeda motor ke kampung untuk membeli. Begitupun 

dengan  singkong  atau  “suami”43, masyarakat  di  Yainuelo mendapatkannya  juga  dengan  cara 

membeli. Padahal sampai akhir tahun 1990‐an, membeli singkong, sayur atau suami itu dianggap 

tidak lazim. Jika ada orang yang melakukan hal ini, mereka secara sembunyi‐sembunyi dicemooh 

oleh masyarakat yang lain, bahkan kadang disebut sombong. 

Dinamika komoditas kopra tidak hanya ditentukan oleh harga di pasar atau oleh kebijakan Negara, 

tetapi  juga oleh  relasi  intensional  antara pengelola  kopra dengan  kelapa dan  kopra.  Interaksi 

pengelola  kelapa dengan  kelapa dan  kopra dalam waktu  yang  lama membuat mereka  terikat 

dengan dua barang  tersebut, bahkan  temuan penelitian  ini mengungkapkan kelapa dan kopra 

telah  “menubuh”  dengan  pengelola  kopra.  Kebertubuhan  ini  telah  mempengaruhi  stabilitas 

produksi komoditas kopra. Ahmad  (pengelola kopra di Yainuelo) Misalnya, ketika harga kopra 

jatuh di tahun 2018 ia tetap mengerjakan kopra. Saya menanyakan alasannya, ia menjawab “saya 

sudah terbiasa kerja kopra, jadi tidak bisa mengelola kelapa untuk komoditas yang lain”. Ahmad 

tidak mengerjakan yang  lain bukan karena tidak punya pilihan, tetapi karena kerja kopra sudah 

menubuh dengan dirinya.  

Interaksi pengelola kopra dengan kelapa  juga menghasilkan  fenomena yang sama. Penanaman 

pohon kelapa untuk meningkatkan produksi komoditas kopra di Yainuelo memiliki permasalahn 

dengan hama babi hutan. Untuk menghindari hama babi, masyarakat harus membuat pagar yang 

baik  ketika menanam  kelapa.  Tetapi  hal  ini mengharuskan mereka melakukan  kerja  intensif, 

padahal sebagian besar orang negeri tidak terbiasa dengan kerja intensif. Waktu kerja mereka di 

hutan  sangatlah  longgar,  hal  ini  di  pengaruhi  oleh  kondisi  alam.  Lantas  bagaimana  mereka 

mengantisipasi  hama  babi? Djimat menyampaikan, menanam  itu  harus menggunakan  petuah 

orang‐orang tua atau  ilmu menanam. Menurut Djimat, agar anakan kelapa tidak dimakan oleh 

babi, ada ilmunya. Menurutnya, ilmu ini ia telah praktekan dan hasilnya sesuai dengan apa yang 

                                                            43 Sejenis makanan yang diolah dari singkong yang biasa di makan oleh orang Buton. Saat ini yang mengkonsumsi suami di Yainuelo bukan hanya etnis Buton, tetapi orang negeri juga menjadikan suami sebagai salah satu makanan pokok  

Page 13: The International Symposium of Journal Antropologi Indonesia · 2020. 4. 6. · The 7th International Symposium of Journal Antropologi Indonesia 293 the commodity of coffee farming

The 7th International Symposium of Journal Antropologi Indonesia  

  305 

diharapkan, kelapa dapat  tumbuh dengan baik  tanpa diganggu atau dimakan oleh babi hutan. 

Djimat kemudian menuturkan ilmu tersebut sambil mempraktekan caranya: 

“pertama, kolam tempat kelapa ditanam digali dulu semua. Setelah  itu kita berjalan dari  

kolam  pertama  dengan memikul  anakan  kelapa  yang  akan  ditanam.  Setelah melewati 

kolam, anakan kelapa ditaruh di kolam dengan cara melemparkannya ke belakang dengan 

penuh  perhitungan  sehingga  anakan  kelapa  tersebut  jatuh  didalam  kolam.  Setelah 

membuang anakan kelapa, kita tidak boleh melihat ke belakang dan terus berjalan menuju 

kolam berikutnya sampai semua anakan kelapa ditaruh di kolam. Setelah proses menaruh 

anakan kelapa di kolam, baru kita menutup  tanah  tersebut dimulai dari kolam pertama 

lagi.” 

Menurut Djimat, babi hutan  tidak bisa melihat ke belakang,  jadi ketika kita membawa anakan 

kelapa melewati kolam tempat menaruh bibit kelapa dan melempar anakan kelapa tersebut ke 

belakang tanpa melihat kolam, maka babi hutan pun tidak akan melihat anakan kelapa tersebut. 

Babi hutan memiliki postur tubuh yang membuat dia susah untuk memutar kepalanya kebelakang 

untuk melihat sesuatu yang ada di belakang. Babi hutan akan berjalan melewati anakan kelapa 

seperti  kita melewati  kolam  tempat menanam  kelapa  ketika  akan menanam  kelapa  tersebut. 

artinya, gerak babi hutan akan mengikuti gerak tubuh penanam kelapa ketika menanam kelapa. 

Dalam rentang waktu penelitian di Yainuelo, saya mempraktekkan  ilmu  ini dan hasilnya sampai 

saat ini pohon kelapa yang saya tanam tidak di sentuh oleh babi hutan.      

 “Pengetahuan  tentang  menanam  kelapa”  dan  “kerja  kopra  sudah  biasa”  adalah 

“pengalaman”  subjek  yang  hidup  dengan  kelapa  dan  kopra  yang  dihasilkan  dari  relasi 

intensional  antara  subjek  dengan  objek.  Objek  bukanlah  sesuatu  yang  pasif  seperti 

dibayangkan  oleh  ilmuan  Cartesian,  pengalaman  subjek  dipengaruhi  oleh  objek  ketika 

subjek  berinteraksi  dengan  objek.  Saras  Dewi  ketika  mengeksplorasi  pemikiran 

fenomenologi Merleau‐Ponty, menjelaskan  “pengalaman  itu  bukan  suatu  jenis  ingatan 

yang dibentuk pikiran, melainkan hal yang benar yang dialami, dirasakan tubuh. Dengan 

demikian, persepsi bukan  saja  kegiatan mengingat,  tetapi mengalami  kembali hal  yang 

pernah dilalui secara reflektif” (Dewi, 2015, h. 74). 

Bagaimana relasi intensional ini terjadi? Hal yang perlu dipahami untuk menjawab pertanyaan ini 

adalah tubuh. “tubuh” menjadi objek yang penting dalam gagasan Merleau‐Ponty. Bagi Meleau‐

Ponty, tubuh adalah objek yang mempunyai kemampuan untuk terarah atau terhubung dengan 

objek  lainnya karena  tubuh adalah  “objek  intensionalitas”. Tanpa  tubuh  subjek  tidak mungkin 

akan berinteraksi dengan objek di‐luar‐dirinya. Kualitas khusus tubuh inilah membuat dia dapat 

berinterakasi  dengan  objek  lain.  Artinya,  pengetahuan  yang  diciptakan  untuk mengantisipasi 

hama babi merupakan hasil dari refleksi subjek atas relasi intensional‐nya dengan objek‐objek lain 

di‐luar‐dirinya. 

Kebertubuhan antara pekerja kopra dengan kopra mengingatkan saya pada konsep “habitus” 

dari Pierre Bourdieu. Bourdieu mendefenisikan habitus sebagai “properti agen sosial (apakah 

individu, kelompok atau lembaga) yang terdiri dari "struktur dan struktur yang terstruktur”. 

Terkait dengan defenisi ini, secara sederhana Maton (2008) menjelaskan:  

“…  habitus  berfokus  pada  cara  kita  bertindak,  merasakan,  berpikir  dan  menjadi.  Itu 

menangkap  bagaimana  kita membawa  dalam  sejarah  kita,  bagaimana  kita membawa 

sejarah ini ke dalam keadaan kita saat ini, dan bagaimana kita kemudian membuat pilihan 

untuk  bertindak  dengan  cara  tertentu  dan  bukan  yang  lain.  Ini  adalah  proses  yang 

berkelanjutan dan aktif ‐ kita terlibat dalam proses berkelanjutan membuat sejarah, tetapi 

Page 14: The International Symposium of Journal Antropologi Indonesia · 2020. 4. 6. · The 7th International Symposium of Journal Antropologi Indonesia 293 the commodity of coffee farming

 

 306 

tidak  dalam  kondisi  yang  sepenuhnya  kita  buat  sendiri.  Di  mana  kita  berada  dalam 

kehidupan pada suatu saat adalah hasil dari berbagai peristiwa di masa  lalu yang  telah 

membentuk jalan kita.” (h. 52).   

Untuk memahami konsep habitus dari Bourdieu dalam rangka menaruhnya pada bingkai konsep 

“lanskap budaya” maka penting untuk melihat penjelasan Rudyansjah terkait hal ini. Rudyansjah 

(2009, h.37) menjelaskan, Bourdieu dalam skema teorinya mengenai practice sangat menekankan 

pentingnya  melihat  practice  sebagai  proses  dialektik  dari  penginkorporasian  struktur  dan 

pengobjektivikasian habitus.  Jadi  tindakan praktis yang di pilih oleh Ahmad dan Djimat dalam 

pengelolaan  kopra  telah menjadi  habitus  bagi mereka.  Kebiasaan,  pengetahuan,  dan  teknik 

sebagai tindakan praktis dalam pengelolaan kopra merupakan proses dialektis dari struktur dan 

habitus yang menyejarah. 

Sama seperti Ahmad dan Djimat, aktifitas La Hajim dan Mateko dalam menanam kelapa untuk 

produksi  kopra  tidak  di  lihat  sebagai  persoalan  ekonomi  semata.  La  Hajim  dan  Mateko 

menafsirkan tindakannya menanam kelapa di hutan sebagai bentuk historisitas. La Hajim bercerita 

tentang peristiwa pemberian anakan kelapa oleh seorang kakek bersurban putih dikebunnya yang 

berada di daerah rentes (dataran tinggi), ia menuturkan: 

“saat  itu di  siang hari,  saya berada didalam kebun. Awalnya  saya mencium bau wangi, 

setelah beberapa lama kemudian muncul seorang kakek. Kakek tersebut menggunakan baju 

berwarna putih dan menngunakan  surban putih. Kakek  tersebut datang menemui  saya, 

sambil memegang  buah  kelapa  yang  sudah  tumbuh  tunasnya  satu  buah.  Tunas  kelapa 

tersebut ada dua di satu buah kelapa. Kakek tersebut memberikan buah kelapa itu kepada 

saya  dan menyampaikan  “saya  ini  orang  yang  sering melakukan  perjalanan  jauh,  saya 

memberikan buah kelapa ini buat kamu untuk ditanam di kebun ini”. Setelah memberikan 

kelapa  tersebut,  kakek  bersurban  itu  langsung  berjalan  dan  seketika  saya  sudah  tidak 

melihatnya lagi. Kelapa yang diberikan kakek tersebut telah saya tanam di kebun saya di 

daerah  pegunungan  atau  dataran  tinggi.  Jadi, menurut  saya  kita  sebagai masyarakat 

Yainuelo harus menanam kelapa di daerah pegunungan, karena kampung kita itu kampung 

kelapa. Di daerah dataran rendah disekitar kampung kan sudah ditanami kelapa semua, 

jadi saat ini kita juga harus menanam kelapa di daerah pegunungan.” 

Saya tertarik untuk melihat bagaimana narasi yang diproduksi oleh La Hajim tentang penanaman 

kelapa di wilayah pegunungan dihubungkan dengan sejarah kampung Yainuelo sebagai kampung 

kelapa. Malam  itu  berbagai  pertanyaan muncul  dikepala  saya, mengapa  penanaman  kelapa 

digunung dihubungkan langsung dengan sejarah kampung, bukan ketiadaan ketersediaan lahan? 

Padahal menurut saya, daerah pesisir atau dataran rendah di Yainuelo sudah tidak ada lagi lahan 

yang kosong sehingga pembukaan hutan untuk penanaman kelapa memang tidak dimungkinkan. 

Selain  itu,  keberadaan  jalan  raya  yang  dibangun  pemerintah  yang membelah  gunung  antara 

Yainuelo  dengan  kota Masohi mendorong masyarakat  untuk membuka  hutan‐hutan  baru  di 

wilayah pegunungan. Keberadaan  jalan  ini  juga membuat masyarakat yang bercocok  tanam di 

wilayah pegunungan mudah untuk mengangkut hasil panen ke kampung atau ke kota Masohi.    

Apa yang dilakukan oleh La Hajim dalam meproduksi narasi dan menafsir peristiwa yang ia alami 

ini, memperlihatkan  bagaimana  orang  di  kampung menghubungkan  peristiwa‐peritiwa  harian 

yang dialami dengan sejarah mereka. Apakah penghubungan  itu dapat diterima atau tidak oleh 

orang lain, bukan menjadi persoalan bagi penutur. La Hajim berupaya menumbuhkan kesadaran 

dan meyakinkan orang lain di kampung untuk melakukan hal yang sama seperti apa yang telah ia 

lakukan. Apa yang dilakukan La Hajim ini secara tidak langsung akan berdampak pada peningkatan 

Page 15: The International Symposium of Journal Antropologi Indonesia · 2020. 4. 6. · The 7th International Symposium of Journal Antropologi Indonesia 293 the commodity of coffee farming

The 7th International Symposium of Journal Antropologi Indonesia  

  307 

produksi komoditas kopra di Yainuelo pada 7‐10 tahun mendatang. La Hajim bukanlah pedagang 

kopra, ia hanya orang kampung yang menggantungkan hidupnya dari bercocok tanam.    

Cara La Hajim menafsir peristiwa dan memproduksi narasi, juga sama dengan apa yang dilakukan 

oleh Mateko Ilery. Mateko berasal dari Negeri Hatuhenu, secara adat negeri ini merupakan bagian 

dari negeri Sepa. Saya menanyakan ke Mateko “bapak melakukan aktifitas apa di kampung?” ia 

menjawab  “berkebun”.  Saya  kembali menanyakan  “menanam apa?”  ia bilang  “menanam apa 

yang telah orang‐orang tua dahulu di kampung tanam. Tanam kelapa dan menanam tanaman 

untuk konsumsi harian keluarga.” Menurutnya, apa yang telah dilakukan oleh orang tua dahulu, 

kita  mesti  terus melanjutkan. Mateko,  saperti  La  Hajim,  ia memaknai  dan  menghubungkan 

aktifitas menanam kelapa yang saat  ini dilakukan dengan apa yang terjadi dimasa  lampau yang 

dilakukan oleh leluhur. Menanam tidak hanya ditafsirkan sebagai cara satu keluarga memenuhi 

kebutuhan hidup keluarga. Menanam adalah cara satu anggota komunitas menunjukkan ia adalah 

bagian dari komunitasnya.    

Jika kita merujuk pada defenisi kebudayaan yang dikemukakan oleh Kluckhohn’s, maka narasi 

yang dituturkan La Hajim dan Mateko dapat disebut bahwa alasan menanam kelapa  itu bukan 

alasan  ekonomi,  tetapi  alasan  kultural.  Kluckhohn’s mendefenisikan  kebudayaan  sebagai  “the 

sosial legacy the individual acquires from his group”44. Kebudayaan menurut Kluckhohn’s adalah 

warisan sosial yang diperoleh seseorang dari kelompoknya. Penanaman kelapa yang dilakukan 

oleh Mateko  adalah  aktifitas untuk melanjutkan  tradisi  yang  sudah dilakukan oleh orang  tua, 

bukan  karena  permintaan  kopra  atau  kelapa  di  pasar  dan  harga  kopra  yang  tinggi. Apa  yang 

dilakukan  oleh  La  Hajim  dan Mateko  adalah  cara mereka mengobjektifkan  hubungan  afektif 

kedalam kehidupan sehari‐hari mereka saat  ini. Cara‐cara orang kampung memakanai aktifitas 

harian mereka menunjukkan bagaimana satu aktifitas itu tidak dapat dilihat secara terpisah‐pisah 

kedalam  kegiatan  ekonomi  saja,  atau  kegiatan  politik,  atau  kegiatan  ritual pada  leluhur.  Satu 

aktifitas yang dilakukan oleh orang kampung itu mesti di lihat sebagai satu kesatuan. 

Dinamika kopra di Yianuelo juga memediasi munculnya perasaan bahagia dan tidak bahagia. Suatu 

hari  (bukan dalam  rentang waktu penelitian  lapangan) di Yainuelo, seorang nenek yang sudah 

berusia 65‐70  tahun, menyampaikan kepada  saya “dahulu uang  itu  susah  tetapi hidup  senang 

(bahagia), saat ini uang mudah dicari namun hidup susah”45. Keluhan seperti ini bukan baru satu 

kali saya dengar, tetapi sudah sering dan yang menuturkannya itu adalah orang‐orang yang sudah 

berusia  diatas  50‐an  tahun. Mengapa  saat masyarakat memiliki  sedikit  uang  tunai  hidupnya 

bahagia, dan sebaliknya ketika uang tunai mudah didapatkan hidupnya malah tidak bahagia? 

Dusun kelapa pusaka merupakan media yang baik untuk memeriksa kondisi psikologis ini. Pusaka 

merupakan sesuatu (dapat berupa barang, pohon, pengetahuan) yang berada pada generasi yang 

bukan pemilik pertama dari sesuatu tersebut, yang didapatkan melalui pewarisan dan menjadi 

milik  bersama  generasi  kedua  dan  seterusnya.  Ide  tentang  pusaka  berkaitan  erat  dengan 

ungkapan  “ana‐cucu”.  Pusaka  adalah  sesuatu  yang  akan  digunakan  oleh  ana‐cucu.  Ide  dan 

ungkapan ini juga relevan dengan susbsitensi ekonomi masyarakat Maluku yang berbasis arboreal, 

sebagaimana dijelaskan oleh Latinis (2000). Sumber penghidupan generasi yang akan datang telah 

disediakan oleh generasi saat ini melalui tanaman umur panjang yang ada pada dusun. Tanaman‐

                                                            44 Clifford Geertz, Interpretation of Culture, Basic Books, New York, 1973, Hal. 4  45  Lihat  juga  penjelasan  Rudyansjah  dan  Tihurua  atas  ungkapan  ini  dalam  artikel  “Money  and  Masohi:  An Anthropological Review of Copra Commodity Management” yang telah dipresentasikan pada bulan Agustus 2018 dalam 

Conference Asia‐Pacific Research in Sosial Sciences and Humanities (APRiSH)

Page 16: The International Symposium of Journal Antropologi Indonesia · 2020. 4. 6. · The 7th International Symposium of Journal Antropologi Indonesia 293 the commodity of coffee farming

 

 308 

tanaman  umur  panjang  yang  ada  pada  dusun  saat  ini  didominasi  oleh  tanaman  komoditas. 

Namun,  tidak  semua  tanaman  komoditas  dapat menjadi  tanaman  pusaka.  Hal  ini  berkaitan 

dengan umur tanaman dan hasil dari tanaman tersebut. Menariknya, jika dibandingkan dengan 

tanaman komoditas seperti pala dan cengkeh, dusun kelapa sebagian besar terbentuk menjadi 

dusun kelapa pusaka setelah generasi yang menanamnya  itu meninggal. Jika ada dusun kelapa 

yang belum berubah status menjadi dusun pusaka, hal itu disebabkan dusun tersebut baru di beli 

atau penanam nya masih hidup atau dusun kelapa tersebut belum berpindah ke generasi kedua 

dan ketiga. 

Bagaimana kondisi bahagia dan tidak bahagia ini dapat diperiksa? menurut saya konsep “dwelling” 

dari  Fenomenolog Martin  Heidegger  dan  konsep  “solastalgia”  dari  Filusuf  lingkungan  Glenn 

Albrecht dapat menuntun kita untuk melihat hal ini secara mendalam. Istilah dwelling diartikan 

oleh  Saras Dewi  sebagai  “bermukim”. Menurut Dewi  (2015), Heidegger melihat  relasi  antara 

subjek dengan objek adalah relasi  total. Kesadaran subjek bergantung pada  interaksi  terhadap 

dunianya. Interaksi itu tidak lagi karena kebetulan tetapi keniscayaan. Dengan demikian menurut 

Dewi, kebahagiaan dan kesejahteraan bergantung dari hubungan  subjek dengan alam. Terkait 

dengan konsep “dwelling”, lebih jelasnya Heidegger (1992) menjelaskan: 

 “kata itu mengungkap, saya dan kamu, dalam kerangka hidup manusia, ada dalam bumi, 

dunia, menempati ruang ini. Menjadi manusia tandanya menempati bumi sebagai sesuatu 

yang  tidak  abadi.  Tandanya,  manusia  mesti  bermukim.  Kata  lamanya,  “bauen”,  yaitu 

manusia menjadi dirinya selama ia bermukim. Maksudnya, bermukim itu juga menghormati 

dan menjaga, merawat dan melindunginya” (Dewi, 2015, h.130). 

Bermukim artinya subjek me‐ruang, dimana subjek me‐ruang? Jawabannya adalah “kampung”. 

Artinya dalam konteks tesis ini, bermukim adalah bagaimana masyarakat mengganggap Yainuelo 

sebagai kampung. Kampung tidak diartikan secara sempit dalam istilah administrasi pemerintahan 

dimana dibatasi oleh rumah‐rumah masyarakat atau tempat tinggal suatu komunitas masyarakat 

tertentu.  Jan  Newberry  (2013),  Antropolog  yang  melakukan  etnografi  di  kota  Yogyakarta 

menyampaikan:  

“ketika saya mulai menganalisa kampung dan mencoba menjelaskannya kepada orang lain, 

saya menyadari bahwa kampung ada pada beberapa  tingkat: sebagai unit administrasi, 

sebagai sekelompok orang yang hidup dalam hubungan yang erat satu sama lain, sebagai 

gaya  hidup,  sebagai  pembentukan  social,  sebagai  kelompok  kelas,  sebagai  struktur 

perasaan (Williams 1977), dan sebagai ruang tempat semua ini berpadu” (h.30).   

Kampung dalam arti luas tidak dapat dipahami sebagai kata benda yang menandai tempat tinggal 

suatu  komunitas.  Kampung  itu  seperti  kata  Newberry,  sangat  kompleks.  Yainuelo  sebagai 

kampung  adalah  ruang  hidup  bagi  semua  orang  yang  berada  didalamnya,  dimana  mereka 

terhubung  atau  berelasi  dengan  alam  dan  sosial  dalam  bentangan waktu  yang  panjang.  Jadi, 

bermukim itu bukanlah sesuatu yang dilihat dalam skala waktu saat ini, tetapi bermukim itu adalah 

keberadaan saat ini yang terhubung dengan waktu dimasa lalu. Hendro Sangkoyo dalam salah satu 

wawancara menjelaskan  “kami melihat  kampung  bukan  sebagai  penanda  tempat,  …  Tetapi 

Page 17: The International Symposium of Journal Antropologi Indonesia · 2020. 4. 6. · The 7th International Symposium of Journal Antropologi Indonesia 293 the commodity of coffee farming

The 7th International Symposium of Journal Antropologi Indonesia  

  309 

kampung  dengan  subyek  sejarah  di  situ,  beserta  sejarah  sosial  ‐ekologisnya.  Kenapa  suatu 

kampung berada di lembah, karena kedekatannya dengan aliran air.” 46 

Pejelasan Sangkoyo diatas memberikan insight bagi saya untuk melihat konsep bermukim sebagai 

kampung dimana subjek hidup dan berelasi dengan masyarakat dan alam dalam bentangan waktu 

yang panjang. Hal ini dapat memudahkan kita untuk mengungkap keluhan orang tua di Yainuelo 

tentang kehidupan dulu dimana uang sangat susah dicari tetapi hidup bahagia. Mengapa orang 

dulu  lebih bahagia walaupun  sember untuk mendapat uang  tunai  sedikit? Atau dalam bahasa 

mereka  uang  susah  dicari?  Karena  dalam  bermukim  relasi  subjek  dengan  sosial  dan  alam  itu 

seimbang.  Artinya mereka mengelola  alam  hanya  untuk memenuhi  kebutuhan  hidup,  bukan 

meladeni hasrat. Kebutuhan hidup ini bukan kebutuhan subjek saja, tetapi juga kebutuhan orang 

lain, misalnya: keluarga, teman, tetangga, atau orang lain di kampung.  

Alasan penerimaan  kopra  sebagaimana  telah dikemukakan di  awal, menjadikan dusun  kelapa 

sebagai sumber penghidupan bersama keluarga besar atau menjadi dusun kelapa pusaka. Selain 

itu, pengelolaan kopra  juga dilakukan dengan cara‐cara bersama seperti masohi. Kalaupun ada 

praktik sewa, itu tidak dipahami seperti relasi kapitalis, dimana relasi orang yang bertransaksi itu 

terputus. Tetapi praktik  sewa  yang digunakan  itu didasarkan pada  alasan non‐kapitalis, untuk 

menghidupi orang yang dilihat di kampung butuh uang tunai bagi kehidupan keluarganya. Dusun 

kelapa pusaka dan kopra berakibat secara langsung terhadap relasi manusia dengan manusia lain 

atau relasi sosial di kampung menjadi sangat intim, di Maluku dikenal dengan istilah “hidup orang 

basudara”.  

Implikasi  lain dari  adanya dusun  kelapa pusaka  adalah membuat pembongkaran hutan untuk 

penanaman pohon  kelapa  atau pembuatan dusun  kelapa baru dapat berjalan  lambat,  karena 

dusun  kelapa  pusaka  dapat  menghidupi  satu  sampai  dua  generasi  berikutnya.  Selain  itu, 

masyarakat tidak mengenal system mono‐culture sehingga dalam dusun kelapa berbagai tanaman 

lain juga ditanam. Lanskap dusun kelapa kemudian menjadi kompleks, dan dapat berubah menjadi 

hutan  sekunder  sebagaimana dijelaskan oleh  Latinis  (2000). Pembuatan dusun  kelapa dengan 

tempo yang lambat dan lanskap dusun kelapa yang kompleks membuat kesimbangan alam terus 

terjaga. Dalam praktek hidup seperti ini relasi manusia dengan manusia lain dan relasi manusia 

dengan alam dapat terjaga demi kelangsungan hidup bersama, hidup akan terasa bahagia. 

Lantas mengapa saat  ini orang‐orang tua di Yainuelo sudah tidak  lagi merasa bahagia? Apakah 

dusun kelapa pusaka sudah tidak ada? Dusun kelapa masih ada, tetapi mengapa mereka merasa 

tidak bahagia? Persoalannya sangat kompleks. Untuk melihat  fenomena  tidak bahagia  ini saya 

menggunakan konsep “solastalgia”. Solastalgia adalah gambaran kondisi psikis seseorang yang 

kehilangan rasa tentramnya di lingkungan yang ditempatinya47. Solastalgia adalah konsep untuk 

melihat  bagaimana  seseorang  atau  suatu  komunitas merindukan  sesuatu  yang hilang  saat  ini 

sehingga membuat dia merasa ruang dimana dia berada bukan  lagi rumahnya. Menurut Dewi, 

solastalgia menyebabkan manusia modern merasa keterputusan. Ia tidak lagi memahami dirinya 

karena konteksnya dengan alam telah terputus. 

                                                            46  Sangkoyo,  H.  (2016).  SDE  dan  Gerilya  Pemulihan  Krisis.  RUANG,  edisi  10.  (Wawancara  Yusni  Aziz). http://membacaruang.com/hendro‐sangkoyo‐tentang‐sde‐dan‐gerilya‐pemulihan‐krisis/  diunduh  pada  tanggal  15 Maret 2016 47 Saras Dewi, Op.cit. Hal. 135

Page 18: The International Symposium of Journal Antropologi Indonesia · 2020. 4. 6. · The 7th International Symposium of Journal Antropologi Indonesia 293 the commodity of coffee farming

 

 310 

Dusun  kelapa  pusaka memang masih  ada,  tetapi  dusun  kelapa  pusaka  tidak  lagi  diposisikan 

sebagai media untuk mengikat relasi kekerabatan. Pengelolaan kopra dari dusun kelapa pusaka 

hanya dilihat sebagai salah satu sumber untuk menghasilkan uang tunai. Kebutuhan masyarakat 

akan uang tunai semakin tinggi, uang tunai tidak lagi digunakan untuk memenuhi kebutuhan yang 

tidak dapat mereka produksi sendiri, tetapi digunakan untuk memenuhi hasrat sebagai manusia 

yang  telah mengalami keterputusan dengan  rumah. Misalnya, saat  ini walaupun dusun kelapa 

pusaka masih ada, tetapi keluarga di Yainuelo lebih memilih membeli minyak goreng yang berasal 

dari kelapa sawit di warung dari pada mengelola kelapa yang ada di dusun kelapa pusaka untuk 

dijadikan minyak goreng. Padahal, pengalaman  saya  sampai  tahun 1990‐an masyarakat masih 

memanfaatkan  kelapa  dari dusun  kelapa pusaka untuk  diolah menjadi minyak  goreng.  Ketika 

minyak goreng harus beli itu berarti kebutuhan uang tunai pasti bertambah. Mereka mereka tidak 

mau  atau  sudah  sedikit  yang  ingin  memproduksi  minyak  goreng  sendiri,  karena  mereka 

menganggap uang tunai saat ini mudah didapat. Tidak usaha kerja, beli saja, nanti kita kerja untuk 

cari uang. Menurut saya ini adalah bagian dari sikap yang meladeni hasrat. 

Kebutuhan  uang  tunai  meningkat,  membuat  masyarakat  harus  berkompetisi  untuk 

mengeksploitasi alam. Dalam 20 tahun terakhir atau pasca konflik horizontal di Maluku, tingkat 

pembukaan  hutan  untuk  penanaman  komoditas  sangat meningkat.  Tidak  hanya  pembukaan 

hutan,  penjualan  tanah  atau  lahan  pertanian  juga mengalami  percepatan  yang  sama.  Terkait 

penjualan tanah ini dahulu sangat di larang, konsep tanah milik bersama membuat individu tidak 

dapat menjual tanah yang ia kelola. Orang‐orang tua dahulu menasehati kami “jangan jual tanah, 

karena ketika meninggal jasad kita tidak diterima oleh tanah”. Nasehat ini merupakan artikulasi 

dalam tuturan harian dari konsep tanah milik bersama dalam hukum adat Sepa.  

Dalam kompetisi mengejar uang tunai untuk meladeni hasrat, bukan hanya lingkungan menjadi 

rusak, tetapi relasi sosial  juga terganggu. Seperti yang disampaikan diatas, cara‐cara kerja yang 

dapat mengikat  relasi  social  seperti masohi mulai  ditinggalkan.  Semua  telah  dijual,  sehingga 

berbagi atau meminta ke saudara  juga sudah sungkan atau dalam  istilah melayu ambon “malu 

hati”. Meningkatnya kebutuhan akan uang tunai membuat relasi manusia dengan manusia lainnya 

dan  alam  tempat dia hidup menjadi  tidak harmonis  atau meminjam  istilah dewi  telah  terjadi 

“disekuilibrium”. Manusia di Yainuelo mengalami keterputusan dengan rumah atau kampung‐nya 

sendiri. Situasi ini yang membuat orang‐orang tua saat ini mengeluhkan sekaligus cemas dengan 

kehidupan di kampung. Hidup menjadi terasa susah atau tidak bahagia. 

Dinamika kopra di Yainuelo  juga dipengaruhi oleh pemerintah, NGO, dan perang komoditas di 

level  global.  Hal  ini  membuat  masyarakat  memposisikan  kopra  sebagai  komoditas  kedua. 

Hilangnya  sasi kelapa, menaruh kopra  sebagai bukan komoditas unggulan daerah, diversifikasi 

komoditas dari buah kelapa adalah peristiwa‐peristiwa membentuk fenomena yang saya sebut 

“era pos‐kopra”. Kopra tetap dikelola, tetapi bukan menjadi sumber penghidupan yang utama.  

Sebelum  abad  ke‐21, masyarakat mempraktikkan  sasi  kelapa  dalam  pengelolaan  kopra.  Sasi 

kelapa sangat berhubungan dengan stabilitas produksi komoditas kopra. Pasalnya, kelapa adalah 

pohon yang tidak memiliki musim panen yang alami yang terjadi pada bulan‐bulan tertentu seperti 

tanaman‐tanaman yang lain (misalnya: durian, lansa, dan lain‐lain). Buah kelapa ketika terlambat 

panen, akan berpengaruh pada musim panen berikutnya. Artinya, periode atau musim panen 

kelapa itu secara alamiah tidak tetap. Jika proses matang buah kelapa itu 3‐4 bulan, maka musim 

panen antara dusun kelapa yang satu dengan dusun kelapa yang lain dapat berbeda. Fenomena 

ini  tentu berdampak pada  stok  komoditas  kopra. Pedagang pengumpul  kopra di Amahai atau 

Page 19: The International Symposium of Journal Antropologi Indonesia · 2020. 4. 6. · The 7th International Symposium of Journal Antropologi Indonesia 293 the commodity of coffee farming

The 7th International Symposium of Journal Antropologi Indonesia  

  311 

Masohi  membutuhkan  biaya  yang  banyak  untuk  mengumpulkan  kopra  di  gudang  untuk 

memenuhi kuota pengiriman ke Surabaya. Ketika kopra ditampung di gudang dalam waktu yang 

lama, resiko penyusutan sangat tinggi dan ini berpengaruh terhadap keuntungan yang didapatkan 

oleh pedagang pengumpul kopra. Strategi yang dijalankan pedagang pengumpul untuk menutupi 

biaya dan resiko penyusutan adalah menurunkan harga kopra di masyarakat. Dengan demikian 

yang akan menderita kerugian yang banyak adalah produsen kopra di kampung,  rantai paling 

bawah dalam perdagangan komoditas kopra.     Salah satu cara agar harga kopra dapat stabil di 

masyarakat adalah panen kelapa harus terjadi secara serempak. Sadar akan situasi ini, masyarakat 

Sepa  mengintrodusir  konsep  sasi  yang  sudah  ada  di  masyarakat  dan  diterapkan  dalam 

pengelolaan kopra.  

Sasi kelapa bukan saja suatu system untuk menjamin stabilitas produksi kopra, tetapi juga dapat 

dilihat  sebagai  peristiwa  yang merekatkan  relasi  sosial.  Pasalnya,  pada  saat  buka  sasi  kelapa 

intensitas interaksi antar orang, antar kelas sosial itu meningkat melalui berbagai aktifitas. Buka 

sasi kelapa membuat keriuhan aktifitas di hutan‐hutan tempat dusun‐dusun kelapa berada. Buka 

sasi tidak hanya disambut gembira oleh orang‐orang yang memiliki dusun kelapa, tetapi juga oleh 

masyarakat yang  lain dan  semua golongan masyarakat. Anak‐anak dan perempuan  turut aktif 

dalam  keriuhan  aktifitas  ini.  Pasalnya  selama  satu  bulan  periode  buka  sasi,  banyak  sekali 

perempuan dan anak‐anak menajajakan berbagai jualan di hutan disekitar dusun‐dusun kelapa. 

Laki‐laki dewasa yang  tidak memiliki dusun kelapa menjual  tenaganya untuk memanjat pohon 

dengan cara sewa. Ada juga ibu‐ibu yang pergi ke dusun‐dusun kelapa pusaka untuk mengambil 

kelapa yang dikelola menjadi minyak goreng. 

Saat ini buka sasi kelapa sudah tidak lagi ada karena sasi kelapa sudah tidak dilaksanakan lagi oleh 

pemerintah  negeri  Sepa.  Ada  berbagai  alasan  yang  dituturkan masyarakat  terkait  penyebab 

hilangnya sasi ini. Hasyim Lessy misalnya, menyampaikan sasi kelapa sudah tidak ada karena uang 

pembayaran  mata  sasi  tidak  dikelola  secara  baik  dan  tertanggung  jawab.  Hal  ini  membuat 

masyarakat  tidak mau membayar mata sasi. Sementara menurut Maimuna Tihurua  (ibu saya), 

salah satu penyebab tidak adanya sasi karena kewang tidak menjalankan fungsinya secara baik. 

Pemerintah  negeri  sangat  berperan  pada  berlangsung  atau  tidaknya  pelaksanaan  sasi  kelapa. 

Hilangnya  sasi kelapa  tentu berdampak pada dinamika kopra di Yainuelo. Ahmad menuturkan 

ketiadaan  sasi  kelapa membuat hasil panen  kelapa  tidak  lagi maksimal. Ketiadaan  sasi  kelapa 

membuat orang tidak terkontrol dalam memanen kelapa. Aktifitas saling bantu atau masohi dalam 

pengelolaan kopra juga terkena dampak. Masing‐masing orang sibuk dengan urusannya sendiri‐

sendiri.  

Sama seperti pemerintah negeri atau desa, peran pemerintah daerah dan pusat juga berkontribusi 

terhadap peminggiran komoditas kopra. Pada saat melakukan penelitian lapangan, saya ke dinas 

perdagangan provinsi Maluku untuk menelusuri data perdagangan kopra di Maluku. Salah satu 

pegawai menyampaikan bahwa dinas perdagangan tidak mempunyai data tentang perdagangan 

kopra di Maluku. Salah satu alasannya adalah “kopra bukan komoditas unggulan provinsi Maluku”. 

Keterangan  ini membuat  saya berpikir, mengapa kopra bukan komoditas unggulan di provinsi 

Maluku?  bukan  kah  komoditas  ini  pernah  menjadi  komoditas  ekspor  unggulan?  Bukankah 

masyarakat Maluku yang berada di pesisir pantai masih menanam kelapa dan mengelola kopra 

serta menggantungkan hidupnya pada komoditas  ini? Bagi saya,  ini merupakan fenomena yang 

ironis  dan  membuat  kejutan  tersendiri.  Pasalnya,  saya  yang  tumbuh  dan  hidup  dibawah 

rindangnya pohon kelapa dan tiga kali dalam setahun melihat masyarakat di Yainuelo mengelola 

Page 20: The International Symposium of Journal Antropologi Indonesia · 2020. 4. 6. · The 7th International Symposium of Journal Antropologi Indonesia 293 the commodity of coffee farming

 

 312 

kopra, ternyata barang tersebut bukan barang yang istimewa bagi pemerintah daerah. Pantas saja 

kalau fluktuasi harga kopra tidak karu‐karuan di Maluku.  

Harga  kopra  yang  tidak  menentu  dan  menjadikan  kopra  bukan  komoditas  unggulan  ini 

mempunyai hubungan dengan kebijakan Negara dan kompetisi komoditas di level global. Abisham 

DM,dkk. (2011) menulis: 

“Ada satu ancaman yang sudah lama menjadi momok bagi masyarakat kelapa di Indonesia 

dan negara‐negara tropis penghasil kelapa  lainnya: perang anti‐kelapa yang dilancarkan 

negara penghasil minyak nabati lain. Salah satu yang paling getol memerangi kelapa adalah 

Amerika  Serikat... Di  tahun  1980‐an,  American  Soy  Association melancarkan  kampanye 

tentang bahaya kolesterol yang terkandung dalam minyak kelapa sebagai strategi untuk 

melindungi produk mereka. 

…Mulai tahun 1970‐an, pemerintah mencium gelagat buruk bahwa perniagaan kopra telah 

memasuki masa senjakalanya. … Pada tahun 1972, pemerintah mengeluarkan beleid yang 

melarang  ekspor  kopra,  sebagai  taktik  untuk  menaikkan  pamor  kelapa  sawit.  Akibat 

larangan ekspor, harga anjlok sampai ke titik terendah ” (h. 5 & 10). 

Efek dari perang komoditas dagang pada level global telah mempengaruhi kebijakan pemerintah 

untuk meninggalkan komoditas yang berasal dari pohon kehidupan masyarakat tropis. Penjelasan 

Abisham, dkk. diatas memperlihatkan kepada kita bagaimana  fenomena komoditas pada  level 

lokal sangat terpengaruh dengan kompetisi perdagangan pada level global. Harga kopra yang tidak 

menentu membuat masyarakat harus berakrobat untuk memenuhi kebutuhan ekonomi harian 

keluarga. 

Selain  itu, program Smallholder  Livelihood Development Project  in Eastern  Indonesia  (SOLID)48 

yang  dilaksanakan  atas  kerjasama  Kementerian  Pertanian  dengan  International  Fund  for 

Agricultural Development (IFAD) di wilayah Indonesia Timur juga dapat mendorong peminggiran 

produksi kopra. Program SOLID masuk di Yainuelo pada tahun 2012, dan pada awal tahun 2018 

Badan Ketahanan Pangan melalui pendamping desa dan Federasi KM menginisiasi pembentukan 

Sentra  Bisnis  Yainuelo  Melambai  (YANMEL).  Sentra  Bisnis  YANMEL  bertujuan  untuk 

pengembangan rantai nilai komoditas perkebunan. Komoditas yang diproduksi dari sentra bisnis 

ini adalah Virgin Coconut Oil (VCO) dan minyak kelapa sehat (minyak goreng). Kedua komoditas 

ini merupakan produk yang berasal dari bahan baku yang sama, yakni buah kelapa. Walaupun 

upaya  devirsifikasi  komoditas  dari  buah  kelapa  melalui  program  SOLID  ini  belum  signifikan 

mempengaruhi  pelaku  kopra  di  Yainuelo,  namun  program  ini  dalam  jangka  panjang  akan 

mempengaruhi cara masyarakat melihat kelapa. Kopra di masa yang akan datang mungkin tidak 

akan menjadi prioritas masyarakat dalam pengelolaan kelapa.  

Dinamika kopra di Yainuelo tidak hanya ditentukan oleh aktor manusia, namun  juga oleh aktor 

lain selain manusia. Dalam kesempatan ini saya hanya membahas 2 aktor, yakni kelapa dan uang. 

Membahas dua aktor ini bukan berarti dinamika kopra di Yainuelo hanya dipengaruhi oleh kelapa 

dan uang saja, tetapi  ini lebih pada pilihan aktor yang menurut saya sangat berpengaruh dalam 

dinamika kopra di Yainuelo. Dengan merujuk pada gagasan Giddens tentang agensi, kelapa dan 

                                                            48 Laporan Tahunan Badan Ketahanan Pangan Nasional Tahun 2015, Hlm.64  

Page 21: The International Symposium of Journal Antropologi Indonesia · 2020. 4. 6. · The 7th International Symposium of Journal Antropologi Indonesia 293 the commodity of coffee farming

The 7th International Symposium of Journal Antropologi Indonesia  

  313 

uang oleh saya diposisikan sebagai unconscious agency. Agensi yang tidak disadari oleh manusia 

namun sangat mempengaruhi tindakan manusia.  

Bagaimana kelapa berperan sebagai agensi? Kelapa telah menjadi magnet yang menarik orang 

untuk migrasi ke wilayah  ini  (baca: Yainuelo). Kelapa yang diolah menjadi kopra  juga berperan 

dalam migrasi beberapa keluarga buton migrasi ke Yainuelo. La Halisi misalnya, ia awalnya adalah 

penimbang kopra di Yainuelo yang datang menggunakan perahu lambo49 (Rudyansjah, 2009) pada 

tahun 1970‐an. Pada akhir 1980‐an, La Halisi memutuskan tinggal dan menetap di Yainuelo dan 

beraktifitas menjadi  penimbang  kopra  di  kampung.  Selain  berperan  dalam migrasi  orang  ke 

Yainuelo,  kelapa  juga berperan dalam pembentukan dan pelanjutan  tradisi masyarakat dalam 

pengelolaan  kopra,  salah  satunya  adalah  tradisi Masohi  dalam  pengelolaan  kopra.  Interaksi 

manusia dengan kelapa telah menghasilkan penciptaan pengetahuan baru dalam bercocok tanam 

untuk menghindari hama babi. Peran‐peran dari kelapa ini tidak terlepas dari kualitas tanaman ini 

sebagai agensi. 

Bagaimana dengan peran uang? Uang menjadi alasan masyarakat menerima dan meninggalkan 

kopra  (sebagaimana  penjelasan  diatas).  Pada  periode  awal  penerimaan  kopra,  tidak  banyak 

kebutuhan yang dipenuhi dengan menggunakan uang, hanya kebutuhan  tertentu  saja,  seperti 

naik haji. Pentingnya naik haji bagi orang‐orang Islam di Maluku ini, dalam catatan Bartels (2017), 

membuat  sekelompok orang Maluku menciptakan  tanah  suci Mekah di  tanah mereka  sendiri. 

Sebagai penganut Islam, naik haji bagi masyarakat Sepa (termasuk yang sudah tinggal di Yainuelo) 

merupakan  sesuatu  yang  diimpikan.  Jika  kita  bertanya  pada  orang‐orang  tua  yang  pergi 

menunaikan rukun  Islam ke  lima sepanjang abad ke‐20 bagaimana mereka mendapatkan uang 

untuk  pergi  ke  tanah  suci, mereka  akan menjawab  dari  hasil  kopra  dan  cengkeh. Uang  yang 

didapatkan dari penjualan kopra digunakan untuk pergi naik haji. Pada tahap ini uang berfungsi 

sebagai alat tukar yang dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan tertentu.    

Namun  apa  yang  terjadi  kemudian  ketika  uang  diburu  oleh  masyarakat  melalui  produksi 

komoditas kopra? Dalam konjungtur pengelolaan kopra, terjadi fenomena yang paradoks. Uang 

yang  tadinya  diusahakan  untuk  memenuhi  kebutuhan  tertentu  berubah  menjadi  semua 

kebutuhan dapat dipenuhi dengan uang. Apa artinya? Masyarakat di kampung sudah tidak  lagi 

memproduksi kopra untuk mendapatkan uang, tetapi semua aktifitas yang dapat menghasilkan 

uang  itu  dilakukan.  Perlahan‐lahan  kopra  mulai  ditinggalkan.  Namun,  fenomena  sedikitnya 

pengelolaan kopra  ini  tidak hanya disebabkan oleh harga kopra yang  jatuh dan orang memilih 

mengerjakan yang lain, tetapi juga karena sudah sedikit orang yang mau mengerjakan kopra. Kita 

masuk ke  fenomena paradoks kedua dalam konjungtur pengelolaan kopra. Dahulu, uang  tunai 

yang didapatkan dari penjualan kopra tidak hanya digunakan untuk kebutuhan naik haji, tetapi 

juga untuk kebutuhan pendidikan bagi anak. Semua orang terlibat dalam pengelolaan kopra, mulai 

dari penanaman pohon kelapa sampai produksi kopra. Mengapa mereka sangat aktif melakukan 

ini? Agar anak‐anak mereka dapat mengenyam pendidikan. Apa yang terjadi kemudian setelah 

anak‐anak di kampung  sekolah? Generasi muda mulai enggan untuk mengelola kopra, apalagi 

kopra di stigma oleh anak muda di kampung sebagai “pekerjaan sengsara”.  

Fenomena  tentang  uang  dan  pengelolaan  kopra  ini membawa  saya  pada  konsep  “money  as 

agency” dari George  Simmel. Dalam bukunya The Money of Philosophy,  Simmel melihat uang 

sebagai agensi yang mendorong transformasi dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dikemukakan 

                                                            49 Perahu tradisional masyarakat Buton yang digunakan untuk perdagangan antar pulau. 

Page 22: The International Symposium of Journal Antropologi Indonesia · 2020. 4. 6. · The 7th International Symposium of Journal Antropologi Indonesia 293 the commodity of coffee farming

 

 314 

oleh Bloch & Parry (1989) “Simmel melihat uang sebagai agen aktif yang merupakan 'mekanisme 

utama yang membuka jalan dari Gemeinschaft ke Gesellschaft. ... uang itu sendiri sebagai katalis 

utama  untuk  transformasi  kehidupan  sosial,..”  (h.  4).  Uang  dapat  bertindak  sebagai  subjek 

sekaligus sebagai objek.  

Uang dapat digunakan sebagai alat tukar dan juga dapat mempengaruhi manusia. Uang sebagai 

subjek  terbentuk  ketika dia mempengaruhi manusia, dan  sebagai objek  ketika manusia dapat 

mempergunakannya  untuk  berbagai  kepentingan.  Jika  kita merujuk  pada  pandangan  Simmel 

diatas,  uang  secara  implisit memiliki  kuasa  sehingga  ia  dapat mendorong  transformasi  dalam 

kehidupan sosial. Temuan penelitian ini menunjukkan, uang tidak hanya mendorong transformasi 

tetapgi juga kontinuitas. Pembahasan panjang diatas secara implisit memperlihatkan hal tersebut. 

Saling mempengaruhi antara manusia dengan uang tidak terjadi ketika kontak pertama manusia 

dengan uang, namun melalui proses dalam ruang‐waktu yang panjang dan kompleks. 

KESIMPULAN 

Temuan dan pembahasan diatas menunjukkan bagaimana perubahan artikulasi dan pemaknaan 

terhadap kopra dalam lintasan sejarah berhubungan dengan berbagai aktor dengan kepentingan 

mereka masing‐masing. Olehnya itu, saya menyimpulkan dinamika komoditas kopra di Yainuelo 

dalam 7 (tujuh) poin, yakni: 

Penelitian ini mengkonfirmasi apa yang telah disampaikan oleh Tsing dan Escobar, 

Produksi komoditas kopra adalah arena produksi budaya, Komoditas kopra selalu 

dimaknai dan diartikulasikan berubah‐ubah dalam lintasan sejarahnya.  

Dinamika Komoditas dan kebudayaan itu saling mempengaruhi. Transformasi dan 

kontinuitas budaya terjadi secara berkelindan dan terus‐menerus dalam bentangan 

ruang dan waktu yang panjang pada kedua dinamika ini. 

Dinamika komoditas digerakan oleh friksi yang terjadi sejak komoditas diterima didalam 

kebudayaan, dan dalam lintasan sejarah komoditas kopra melahirkan hibriditas 

kebudayaan pada masyarakat Yainuelo. 

Sejarah komoditas kopra memediasi dinamika kebudayaan masyarakat Yainuelo. 

Begitupun sebaliknya, sejarah masyarakat Yainuelo memediasi proses transformasi dan 

kontinuitas komoditas kopra di Yainuelo. 

Dalam bentangan ruang dan waktu yang panjang, terjadi proses penyingkiran relasi 

sosial non‐kapitalis, relasi manusia dengan manusia, relasi manusia dengan non‐manusia 

oleh komoditas, yang awalnya digunakan untuk komoditas tumbuh dan berkembang. 

Kopra sebagai komoditas terjebak dalam “kontradiksi kapitalisme”. Komoditas kopra 

memfasilitasi pembentukan budaya belanja dan ketergantungan masyarakat pada uang 

yang dalam bentangan ruang dan waktu yang panjang mendorong masyarakat 

meninggalkan kopra untuk memburu uang. 

Lanskap budaya komoditas kopra memfasilitasi kita untuk melihat cara kerja kapitalisme 

dari dalam pada masyarakat kampung. Kerja komoditas dalam mempengaruhi dinamika 

kebudayaan di kampung tidak tampak dari luar. Gesekan yang sesungguhnya terjadi 

didalam, pada sum‐sum kebudayaan. 

Page 23: The International Symposium of Journal Antropologi Indonesia · 2020. 4. 6. · The 7th International Symposium of Journal Antropologi Indonesia 293 the commodity of coffee farming

The 7th International Symposium of Journal Antropologi Indonesia  

  315 

DAFTAR REFERENSI 

Abisham., Ary, H. & Harlan, M.  (2011). Membunuh  Indonesia: Konspirasi Global Penghancuran 

Kretek, Jakarta: Kata‐Kata. 

Asba,  R.  (2007).  Kopra Makssar  Perebutan  Pusat  dan Daerah:  Kajian  Sejarah  Ekonomi  Politik 

Regional di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.  

Bartels, D. (2017). Di Bawah Naungan Gunung Nunusaku: Muslim Kristen Hidup Berdampingan di 

Maluku Tengah (Jilid I: Kebudayaan). Jakarta: Kepustaan Populer Gramedia. 

Dewi, S. (2015). Ekofenomenologi: Mengurai Disekuilibrium relasi Manusia dengan Alam. Serpong: 

Marjin Kiri. 

Ellen, R. F. (2003). On the Edge of the Banda Zone: Past and Present in the Sosial Organization of 

a Moluccan Trading Network. Honolulu: University of Hawai’I Press. 

Escobar, A. (1995). Encountering Development: The Making Unmaking of the third World. United 

Kingdom: Princeton University Press. 

Foale, M. (2003). The Coconut Odyssey: The Bounteous Possibilities of The Tree of Life. Canberra: 

Australian Centre for International Agricultural Research. 

Geertz, C. (1973). Interpretation of Culture. New York: Basic Books.  

Gregory, C. A. (1982). Gifts and Commodities. New York: Academic Press. 

Harroway, D. J. (2008). When Species Meet, Minneapolis: University of Minnesota Press. 

Kadir,  H.  A.  (2014).  Ambon  di  Bawah  Orde  Baru:  Transformasi  Kapitalisme  pada  Masyarakat 

Pinggiran.http://satutimor.com/ambon‐di‐bawah‐orde‐baru‐transformasi‐kapitalisme‐pada‐

masyarakat‐pinggiran.php 

Lapavitsas, C.  (2004). Commodities and Gifts: Why Commodities Represent More  than Market 

Relations. Science and Society, 68 (1), 33‐56. 

Latinis, D. K. (2000). The development of subsistence system models for Island Southeast Asia and 

Near Oceania: The nature and role of arboriculture and arboreal‐based economies. World 

Archaeology, 32 (1), 41‐67. 

Leeming, D.  (2005). The Oxford Companion  to World Mythology. New York: Oxford University 

Press.  

Murit. (2010).   Dari Doro  ke  Raki:  Ekonomi Gender  dan  Transformasi  Sosial  Pertanian Orang 

Galela. Komunitas, 2 (2), 125‐134 

Parry, J. & Bloch, M.  (ed.).  (1989). Money and the morality of exchange. New York: Cambridge 

University Press. 

Rudyansjah, T. (2009). Kekuasaan, Sejarah, & Tindakan: Sejarah Kajian tentang Lanskap Budaya. 

Jakarta: Rajawali Pers. 

Rudyansjah, dkk. (2012). Antropologi Agama: Wacana‐wacana Mutakhir dalam Kajian Religi dan 

Agama, Jakarta: UI‐Press 

Page 24: The International Symposium of Journal Antropologi Indonesia · 2020. 4. 6. · The 7th International Symposium of Journal Antropologi Indonesia 293 the commodity of coffee farming

 

 316 

Rudyansjah,  T. &  Tihurua, O.  Z.  S.  (2018, Agustus). Money  and Masohi: Anthropology’s  study 

toward Copra Production Commodities. Makalah  ini  telah di presentasikan pada The Asia‐

Pacific Research in Sosial Sciences and Huanities‐Universitas Indonesia Conference, Jakarta. 

Rus, A. (2008)  . Gifts vs. Commodity’ Debate Revisited. Anthropological Notebooks 14 (1): 81–

102. 

Sahlins, M. (2004). Historical Metaphors and Mythical Realities: Structure in the Early History of 

the Sandwich Islands Kingdom. USA: The University of Michigan Press. 

Saluang, S., (dkk.). (2015). Perampasan Ruang Hidup: Cerita Orang Halmahera. Yogyakarta: Tanah 

Air Beta. 

Scott, J. C. (1994). Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara.  (Hasan 

Basri, Penerjemah). Jakarta: LP3ES. 

Simmel, G. (2004). The Philosophy of Money. London and New York: Routledge Classics. 

Spradley, J. P. (2006). Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana. 

Sangkoyo, H. (2016). SDE dan Gerilya Pemulihan Krisis. RUANG, edisi 10. (Wawancara Yusni Aziz). 

http://membacaruang.com/hendro‐sangkoyo‐tentang‐sde‐dan‐gerilya‐pemulihan‐krisis/ 

Tsing,  A.  L.  (2005).  Friction:  an  Ethnography  of  Global  Connection.  New  Jersey:  Princeton 

University Press. 

_____.  (2013).  Sorting  Out  Commodities:  How  Capitalist  Value  is Made  Through  Gifts.  HAU: 

Journal of Ethnographic Theory, 3 (1), 21–43. 

_____. (2015). The Mushroom at the End of the World: On the Possibility of Life in Capitalist Ruins, 

New Jersey: Princeton University Press.   

Tihurua, O. Z. S. & Rudyansjah, T. (2018, Oktober). Coconut: Between a Global Commodity and 

Dusun  Kelapa  Pusaka.  Makalah  ini  telah  di  presentasikan  pada  The  2nd  International 

Conference on Sosial and Political Issues (ICSPI), Bali. 

Valeri, V. (1994). Buying Women But Not Selling Them: Gift and Commodity Exchange in Huaulu 

Alliance. Man, 29 (1), 1‐26. 

Beyond Disciplinary Diversity and Debates in Parallel Universes: 

Anthropology and Political Science in Conversation 

Coordinator: Gde Dwitya Arief Metera (Northwestern University)  

& Iqra Anugrah (New Mandala) 

An enduring critique of  the phenomenon of disciplinary diversity, nay  fragmentation,  in  social 

sciences and humanities is one regarding the lack of conversation across the boards. Disciplinary 

boundaries render disciplines at times impervious to interdisciplinary borrowings and innovations. 

This situation severely hampers accumulation of knowledge and often led scholars into “debates 

in parallel universes” (Robison 2016). Anthropology and Political Science are no exception: tension 

exists  between  these  disciplines  resulting  in,  for  instances,  marginalization  of  ethnographic 

method within political scientists’ methodological toolkit (Bayard de Volo & Schatz 2004, but see