the hardest word

42
The Hardest Word -Dina-

Upload: dina-lestari

Post on 11-Nov-2014

265 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

 

TRANSCRIPT

Page 1: The hardest word

The Hardest Word

-Dina-

Page 2: The hardest word

Bab 1

“Kring … Kring”

Seorang anak perempuan sedang tidur dengan nyenyaknya di atas tempat tidur. Kamar itu cukup luas, bahkan sangat luas. Kamar itu berbentuk segilima dengan nuansa serba pink dan putih. Sekilas tempat tidur ini seperti tempat tidur seorang ratu. Lemari super mewah tertata rapi di dalamnya. Meja rias, computer, tv, sofa dan kamar mandi ada di dalam kamar itu. Kamar itu lebih cocok dibilang sebagai rumah mungil.

Anak perempuan yang mengisi kamar ini adalah Shafa Dwi Antranata. Dia adalah anak tunggal dari keluarga Rasta Dwi Antranata. Rasta Dwi Antranata adalah seorang konglongmerat. Perusahaannya ada di mana-mana, tidak ada orang yang tidak mengenalnya. Ibunya adalah seorang wanita karir yang sering sibuk dengan aksi sosialnya, ia bernama Rima Dwi Antranata. Segala sesuatu yang berhubungan dengan materi selalu bisa mereka penuhi. Mestinya Shafa senang akan hal itu. Shafa memang bahagia tapi ia selalu merasa malu dengan keadaan dirinya.

“Whoam … ! Tidur yang nyenyak !” Shafa menguap lebar-lebar, lantas ia melihat jam wekernya. Jam weker telah menunjukkan pukul 4 pagi. Shafa bangun dari tidurnya yang nyenyak. “Ya ampun, udah pagi.” Ia bergegas menuju kamar mandi. Beberapa menit kemudian Shafa keluar dari kamar mandi. Ia langsung mengeluarkan pakaian dari dalam lemari, pakaian itu benar-benar seksi dan mewah. Bedak tebal, blass on dan mascara menempel di mukanya yang imut. Semuanya telah selesai, ia merasa dirinya bagaikan seorang ratu. Tak henti-hentinya ia memandangi dirinya sendiri di depan cermin, ia tersenyum sendiri.

“Kring … kring …”

Jam weker kembali berbunyi dan akhirnya waktu bersenang-senang Shafa telah selesai. Bedak, lipgloss, blass on dan mascara ia taruh kembali ke tempat semula. Ia kembali menuju kamar mandi, beberapa menit kemudian ia kembali dengan wajah yang telah bersih dari riasan. Sedikit bedak bayi menempel di wajahnya. Ia langsung mengambil kacamatanya. Model kacamata itu memang keren, wajar saja karena kacamata itu khusus dibuat untuk Shafa oleh seorang desainer kacamata terkenal. Tapi meskipun demikian itu tak mengubah keadaan sedikitpun karena meskipun keren tetap saja Shafa terlihat seperti seorang kutu buku.

Sekarang Shafa mulai menata rambutnya, ia mulai mencoba beberapa gaya tetapi tetap saja ujung-ujungnya ia menguncir kuda rambutnya. Baju seragam yang kebesaran, rok yang kepanjangan telah ia kenakan. Akhirnya Shafa siapa berangkat sekolah.

Ia mengambil tas sekolahnya dan mulai mengenakan sepatunya. Dibukanya pintu kamar, segera ia menuju ruang makan dengan setengah berlari.

Page 3: The hardest word

“Mama … Papa … aku mau …” Kata-katanya terputus, ternyata ruang makan itu kosong hanya ada seorang pembantu dan seorang juru masak. “Mama sama Papa sudah berangkat ya ?” Tanya Shafa kepada pembantu tersebut.

“Iya Non, baru aja tadi berangkat. Tuan sedang ada meeting sedangkan Nyonya sedang ada seminar. Kata mereka kecupan sayang untuk Nona.”

“Tulilit …” Terdengar bunyi handphone dari kantong rok Shafa dan ternyata itu adalah sms dari Ibunda Shafa.

“Shafa, Mama pulang agak telat. Uang yang kamu minta sudah Mama transfer ke rekeningmu.” Ucap Shafa membaca sms.

“Non, sarapannya mau dengan apa ?” Tanya Koki itu sambil terus memasak.

“Yang biasa aja deh, tapi jangan terlalu pedas ya !”

Shafa memakan sarapannya sambil membaca majalah. Makanannya telah habis dan sekarang Shafa telah siap berangkat menuju sekolah. Shafa mengambil tasnya dan segera menuju keluar rumah. Supir telah menunggu dan akhirnya Shafa pergi meninggalkan rumah.

***

“Shaf, ini mobil lw ? Bukannya kemaren lw bawa ford nah sekarang lw bawa audley. Gila !” Ucap Neysha tak percaya.

“Iya Ney. Kemaren Nyokap gw baru dapet hadiah dari temennya.” Ucap Shafa datar dan tanpa ekspresi.

Hati Neysha mencelos. Ia benar-benar kaget mendengarnya. “Hadiah !” Ucap Neysha sambil setengah berteriak. Neysha terdiam sesaat, wajar saja karena ia hanya mempunyai sebuah sepeda motor dan itupun sudah sangat jelek dan tua. Sedangkan Shafa mempunyai segalanya. “Enak banget ya jadi lw !”

“Masa ?”

Sesaat suasana menjadi hening. Shafa melihat keluar jendela. Melihat kesibukan orang diluar sana. Genangan air terlihat di mana-mana dikarenakan hujan yang mengguyur Jakarta sejak kemarin, tapi pagi itu matahari bersinar dengan cerahnya seolah memberikan semangat kepada semua orang agar tetap melaksanakan aktifitasnya. Neysha memecahkan keheningan. “Shaf, gw pinjem majalah dong. Gw BT nih !”

Shafa segera membuka kotak penyimpanan majalah dan koran yang selalu ada di dekat bangku belakang. “Nih majalahnya, lw pilih aja sendiri. Itu semua baru terbit minggu ini, kalo perlu lw bawa balik aja.” Sambil menyerahkan kotak

Page 4: The hardest word

yang berisi majalah dan koran itu kepada Neysha. Shafa memerintahkan kepada supirnya untuk menyetel lagu lebih keras lagi sementara Neysha asyik membaca.

“Eh liat deh Shaf, model bajunya lucu ya ?” Sambil menunjuk salah satu halaman majalah yang memnuat model-model baju yang sedang nge-trend. “Ya ampun, tapi harganya gila-gilaan. Siapa yang mau beli kalo harganya selangit kaya gini !” Ucap Neysha kesal.

“Coba gw liat.” Ucap Shafa penasaran sambil mengambil majalah yang sedang asyik dibaca oleh Neysha. Neysha cemberut sedangkan Shafa hanya tersenyum jail. “Iya deh sorry, entar gw beliin es krim deh.” Bujuk Shafa.

“Emangnya gw anak kecil !” sambil mengambil majalah yang lain.

“Kalo ini sih gw udah punya.” Shafa menutup majalah tersebut dan mengembalikannya ke tangan Neysha.

“Kok gw ga pernah liat lw make baju ini ?”

Shafa hanya tertawa mendengar Neysha berkata. “Kalo gw pake baju itu, gw malah diketawain sama semua orang. Pasti gw bakalan kaya badut.”

“Enaknya jadi lw. Semua yang lw pengen pasti bisa lw dapetin.”

Shafa kembali tersenyum. “Mungkin lw bilang kaya gitu karena lw ga tau. Gw malah pengen kaya lw.” Shafa menatap Neysha dengan serius, membuat Neysha menjadi heran. Shafa memang kaya, tapi sayangnya ada satu hal yang ia punya yaitu kecantikan. Jika mereka berjalan-jalan, semua mata selalu tertuju ke arah mereka. Bukan karena kecantikan atau kekayaan Shafa melainkan karena kecantikan Neysha. Banyak pria yang menyukai Neysha, wajar saja karena Neysha cantik, lucu, putih, ramah dan juga pintar. Neysha memang tidak pernah mempermasalahkannya tapi tetap saja Shafa merasa malu. Shafa bukanlah seperti Betty La Fea yang jelek karena salah kostum. Berbagai cara telah ia lakukan mulai dari spa, perawatan, totok wajah, memakai pakaian yang seksi dan riasan yang tebal. Tapi tetap saja itu tidak mengubah keadaan. Pernah suatu ketika ia memakai pakaian yang seksi serta riasan yang tebal tapi alih-alih mendapat pujian, semua orang malah menertawakannya dan mengatakan kalau dirinya norak. Sekarang Shafa hanya mengenakan pakaian yang bisaa saja malah mungkin terlihat kuno, tapi ia merasa senang karena tidak ada yang menertawakannya. Shafa tetap tegar karena pria yang ia sukai tidak mudah tergoda oleh gadis cantik.

“Ney, pulang sekolah temenin gw ke mal ya ? Gw pengen belanja nih. Gw mau beli make up, baju, tas sama sepatu. Tenang aja lw pasti bakal gw beliin.”

“Tapi Shaf, kemaren kan lw baru belanja. Lagian percuma lw belanja, barang-barangnya juga ga akan lw pake. Ujung-ujungnya kan barang yang lw pake yang bisaa aja.” Neysha langsung berhenti berbicara dan segera menutup mulutnya. Ia telah salah bicara. Neysha terdiam dan langsung menundukkan wajahnya karena malu.

Page 5: The hardest word

“Udah Ney, gw juga tau kok kalo gw itu Cuma buang-buang uang. Tapi gw belanja buat koleksi kok. Barang koleksi kan ga selalu harus dipake.”

“I … I … iya.” Jawab Neysha tanpa memandang wajah Shafa.

Laju mobil semakin melambat dan akhirnya mereka sampai menuju sekolah. Mereka bersekolah di SMU Leindsteir. Sekolah itu merupakan salah satu sekolah favorit karena hanya orang-orang tertentu yang dapat menjadi murid sekolah tersebut. Gedung sekolahnya tidak seperti gedung sekolah kebanyakan melainkan seperti istana kecil dengan taman cantik yang berada di depan gedung. Mobil memasuki lapangan parkir, beberapa menit kemudian mereka turun dari mobil yang berwarna biru metallic itu. Semua murid sudah menunggu kedatangan mereka. Satu per satu mulai mendekati Shafa tak lain untuk menjilatnya. Semua murid tahu kalau Shafa adalah anak orang kaya. Apapun yang diminta oleh teman-temannya selalu Shafa berikan. Ia tahu kalau mereka tidak benar-benar menjadi sahabatnya, tapi ia menutup mata, telinga bahkan hatinya. Ia meyakinkan dirinya sendiri bahwa mereka adalah teman-teman sejatinya. Kerumunan orang mulai menghilang, kini hanya tinggal Shafa dan Neysha. Mereka berjalan menuju kelas.

“Shaf, kok lw mau sih diporotin sama anak-anak ? Mereka itu boong !” Neysha berkata kepada Shafa, tapi Shafa berpura-pura tidak mendengarnya. Mereka terus berjalan menuju kelas sambil mengobrol sesekali. Tiba-tiba Neysha mencubi tangan Shafa dan Shafa pun spontan menengok ke arah Neysha sambil melotot.

“Apa-apaan sih ! Sakit tahu !” Neysha tidak menggubris Shafa. Ia menunjuk ke depan, memberi tanda bahwa Nandy ada di seberang kelas.

Nandy adalah laki-laki yang Shafa suka. Nandy merupakan bintang dan idola sekolah. Ia pintar dalam segala bidang. Dia pintar bermain basket dan juga ia sering menjadi juara kelas. Fisik Nandy nyaris sempurna. Badannya tinggi tegap dan athletis. Kulitnya putih terawatt dan mukanya bersih seperti seorang model. Nandy selalu menjadi idola, tak heran banyak orang yang menyukai Nandy tapi anehnya sampai sekarang Nandy belum pernah pacaran.

“Nandy … Nandy … !” Neysha berteriak memanggil Nandy. “Nandy … Nandy … !” Neysha kembali memanggil Nandy dengan suara yang lebih keras tetapi Nandy tetap tidak menengok. Neysha menjadi kesal hingga akhirnya ia memanggil Nandy dengan suara yang amat keras sehingga membuat semua orang menengok ke arah Neysha. “Woi Nandy jelek, Nandy kampung sini lw !” Kali ini usaha Neysha berhasil. Nandy menengok, ia sudah sangat kenal dengan suara itu. Ia pun segera berlari menghampiri Shafa dan Neysha.

Jantung Shafa terus berdebar tak berturan dan kini debarannya semakin cepat karena Nandy berlari semakin dekat. Jarak mereka hanya tinggal beberapa meter, 8 meter dan Nandy terus berlari. 5 meter, suara langkah kaki Nandy semakin mendekat, 2 meter dan ups Nandy sudah berada sekitar 40 cm di depan Shafa dan Neysha. Dengan nafas yang terengah-engah Nandy menyapa mereka. “Hai … !” Ucap Nandy sambil mengatur nafas.

Page 6: The hardest word

“Hai juga !” Shafa mengatakannya dengan suara kecil dan nyaris tidak terdengar.

“Apa ?” Nandy bertanya kepada Shafa. “Lw bilang apa tadi ?” Shafa terdiam, ia tidak tahu harus mengatakan apa tetapi Nandy tidak memperdulikannya.

Nandy menengok ke arah Neysha. “Neysha sorry banget. CD yang gw pinjem kemaren ilang. Gw bener-bener minta maaf. Udah gw cari ke mana-mana tapi tetep ga ketemu. Gimana dong ? Maafin gw ya ! Gw bener-bener nyesel.” Nandy menyatukan kedua tangannya sambil terus memohon.

Muka Neysha berubah menjadi cemberut. “Nandy, lw biking gw kesel aja. Itu kan CD kesukaan gw ! Gw ga akan minjemin barang-barang gw lagi sama lw. Dasar tukang ngilangin barang orang !”

“Kok lw gitu sih. Gw kan bener-bener ga sengaja. Apa dong yang harus gw lakuin supaya lw mau maafin gw ?” Bujuk Nandy kepada Neysha.

“Udah Ney, biar gw aja yang gantiin.” Shafa menengahi pembicaraan. Mata Nandy dan Neysha tertuju kea rah Shafa. Shafa menjadi salah tingkah, wajahnya berubah menjadi merah.

Kini Nandy menatap Shafa dengan serius. “Ga usah ! Gw ga miskin-miskin banget kok ! Kalo CD doang gw masih bisa gantiin.” Suara Nandy terdengar ketus. “Gw ke kelas duluan ya !” Nandy pergi tanpa memandang Shafa dan Neysha.

Sesaat suasana menjadi cekam, Shafa hanya terdiam dengan mata yang berkaca-kaca sedangkan Neysha terus panic tidak karuan.

***

“Udah dong Shaf, jangan nangis terus. Nanti gw suruh Nandy supaya CDnya ga usah digantiin. Gw tahu maksud lw baik, ini cuma salah paham aja.” Shafa tetap menangis dan tidak mendengarkan perkataan Neysha. “Nah, katanya lw mau belanja. Ya udah, kita belanja yuk !”

Tisu berserakan di mana-mana dan Neysha tidak henti-hentinya memberikan tisu kepada Shafa. Kini mobil Shafa telah berubah menjadi lautan tisu.

“Sorry ya Ney, gw lagi ingin sendiri.” Shafa masih tetap menangis. “Pak berhenti !” Mobil itu pun berhenti di salah satu gang. “Sha, udah sampai rumah lw tuh !”

Neysha turun dengan berat hati dari mobil, ia merasa bersalah dengan kejadian yang dialami oleh Shafa hari ini.

Page 7: The hardest word

Mobil terus melaju membelah jalan dan akhirnya Shafa tiba di rumah. Ia melihat mobil sedan keinstyle hitam terparkir di halaman. Ini menandakan kalau ibunda Shafa ada di rumah. Dibukanya pintu mobil, dilemparkannya tas sekolah kepada supir. Pembantu segera membukakan pintu dan akhirnya Shafa masuk ke dalam rumah. Di ruang keluarga Shafa melihat ibunya sedang menonton TV. Rima adalah ibunda Shafa. Ia adalah seorang wanita karir yang workaholic. Meskipun begitu, ia sangat menyayangi anak semata wayangnya. Rima adalah wanita yang cantik, tinggi, putih, pintar dan juga baik. Mungkin orang tidak akan mengira kalau Shafa adalah anaknya. Rima melihat Shafa yang baru pulang dari sekolah, dengan lembut ia memanggil Shafa.

“Eh anak Mama sudah pulang. Sini sayang !” Pinta Rima dengan lembut. “Mama punya kado special untukmu.” Shafa tidak mendengarnya, kepalanya serasa berputar-putar dan ia terus berjalan dengan tidak sadar. “Shafa … Cepat kemari !” Panggil Rima kembali.

Shafa terhentak, ia baru sadar ada yang memanggil namanya. “Eh iya Ma ! Tunggu sebentar.” Shafa membalikkan badannya dan segera duduk di sebelah ibunya.

“Ini loh Shaf, teman Mama yang dari Prancis tadi pagi …” Rima kaget ketika melihat wajah putri semata wayangnya. Ia menjadi panic. “Mbo … mbo …!”

Dengan panic Rima memanggil pembantunya dan beberapa saat kemudian pemabntu itu datang dengan tergesa-gesa. Pembantu itu berkata dengan nafas yang masih terengah-engah. “Ada apa Nya ?”

“Non Shafa kenapa ? Sekarang Mbo telepon semua dokter keluarga. Dari dokter umum sampai dokter spesialis. Suruh Pak Supir buat jemput Tuan. Terus suruh babysitter ke sini buat jagain Shafa. Cepetan !”

Pembantu itu segera melaksanakan perintah Rima. Rima terlihat sangat panic, ia menelepon suaminya sambil terus menangis. Waktu demi waktu berlalu, Rima semakin tak karuan. Ia tak berhenti mondar-mandir karena panic. Beberapa menit kemudian Rasta (ayah Shafa) datang bersama para dokter. Satu per satu dokter mulai memeriksa Shafa.

Selang beberapa saat Rasta menghampiri salah satu dokter. “Bagaimana keadaan anak kami ?” Sambil terus memeluk isterinya yang masih menangis.

“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Ia hanya kecapean dan sedikit stress. Semua anak remaja biasa mengalami hal seperti ini.”

Rasta melepaskan pelukannya dari Rima dengan lembut kemudian ia mengantar para dokter keluar dari kamar Shafa. Sekarang hanya ada Shafa, Rima dan beberapa orang pembantu di kamar Shafa. Semua pembantu hanya tertunduk menatap lantai.

“Mbo, Deno, Ujang, Noni … sini semua !” Rima memanggil pembantu, juru masak, supir dan babysitter. Dengan segera mereka menghampiri

Page 8: The hardest word

majikannya. “Mbo, tadi pagi kamar Nona udah dibersihin ? Bajunya udah disetrika ? Kaos kaki sama sepatunya udah Mbo periksa ?”

“Udah Nya. Saya sudah melakukan semua yang Nyonya suruh.”

“Ya udah. Tapi Mbo jangan sampai lupa. Kamar Nona jangan sampai kotor dan berantakan. Sarung bantal dan gulingnya harus diganti setiap hari. Kamar mandinya harus selalu bersih dan wangi. Baju Nona harus selalu bersih.” Ucap Nyonya Rima kepada pembantunya. Kini matanya tertuju ke arah juru masak. “Deno, tadi pagi Nona sarapan dengan apa ?”

“Seperti biasa. Roti, telur, susu dan orange juice.”

“Lain kali kalau Nona mau makan periksa dulu makanannya. Rotinya masih bagus ga, telurnya sudah matang atau belum dan semuanya itu harus habis. Kalau Nona ada ulangan atau kegiatan kamu harus buatkan bekal untuk Nona. Jangan lupa vitaminnya !”

Deno hanya mengangguk tanda ia mengerti, ia segera menuju dapur untuk melanjutkan tugasnya.

Kini hanya tinggal seorang supir dan seorang babysitter yang masih berada di kamar Shafa. Nyonya Rima menatap supir dan segera berbicara. “Ujang, tadi kamu antar Nona jam berapa ? Terus jemput Nona jam berapa ?”

“Seperti biasa Nya.” Jawab supir itu singkat.

“Ya sudah. Pokoknya kamu jangan sampai membuat Nona Shafa menunggu. Nanti kalau Nona sampai menunggu kulitnya bisa terbakar. Kalau di mobil ACnya jangan sampai terlalu besar atau terlalu kecil. Kamu juga jangan suka ngebut ! Ya sudah sekarang kamu kembali bekerja.” Tanpa disuruh babysitter menghampiri Rima seolah tahu apa yang sedang difikirkan oleh Rima. “Noni, tadi pagi kamu melakukan semua tugasmu dengan baik ?”

“Iya Nya.”

“Kamu harus lebih berhati-hati dan selektif. Semua yang hendak Nona lakukan dan semua barang yang akan Nona pakai harus kamu periksa terlebih dahulu dengan teliti.

“Baik Nya.” Babysitter itu segera pergi meninggalkan kamar Shafa untuk melanjutkan tugas-tugasnya.

Rima menghampiri Shafa yang sedang tidur, ia duduk di samping Shafa sambil memegang tangan Shafa.

***

Page 9: The hardest word

Keesokan harinya, Rasta dan Rima ada di rumah. Mereka sengaja tidak pergi bekerja khusus untuk menemani Shafa. Shafa terbangun dari tidurnya yang nyenyak, ia segera berganti pakaian sekolah dan langsung menuju ruang makan. Shafa terkaget-kaget ketika melihat kedua orang tuanya. Dengan nada heran ia bertanya kepada kedua orang tuanya.

“Mama … Papa .. kok ga kerja ?”

“Aduh Shafa, kamu jangan ke sekolah. Kamu kan masih sakit. Mama dan Papa sengaja tidak kerja untuk menemanimu.” Kata Rima dengan lembut.

“Hah !” Shafa terpekik kaget. “Emangnya aku kenapa ? Aku sehat-sehat aja kok.”

“Kemarin kamu sakit. Sekarang kamu tidur aja. Kalau kamu perlu apa-apa, kamu bisa panggil si Mbo atau Noni.”

“Loh, kemarin aku Cuma kecapean aja. Sekarang aku mau …” Kata-kata Shafa terputus oleh perkataan Rasta.

“Shafa …” Panggil Rasta lembut. “Biasanya kamu yang selalu meminta dan itu selalu kami turuti. Sekarang giliran kami yang meminta.”

“Tapi kan …” Shafa menghela nafas panjang. Ia tahu tidak ada gunanya mendebat kedua orang tuanya. Ia bergegas kembali ke kamar dengan muka cemberut. Kamarnya sudah bersih, entah kapan pembantu membersihkannya padahal ia baru meninggalkan kamar sekitar 15 menit. Ia mengambil sebuah kotak dari dalam lemari. Kotak itu berwarna coklat tua yang terbuat dari kayu jati dengan ukiran-ukiran cantik menghiasi pinggirnya membuat kotak itu terlihat anggun dan mewah. Kotak itu berisi barang-barang yang sangat berarti bagi Shafa. Di dalam kotak itu berisi foto-foto Nandy. Shafa memang sudah kenal dengan Nandy sejak kecil. Mereka telah satu kelas sejak SD. Nandy adalah satu-satunya lelaki yang mau bermain dengan Shafa tentunya sebelum ada yang tahu kalau Shafa adalah anak orang kaya. Selain foto, di dalam kotak itu terdapat sebuah permen, sepotong cokelat, sbuah lollipop dan selembar tisu. Mungkin orang-orang akan berfikir bahwa ini hanyalah sampah tapi ini sangat berarti bagi Shafa. Itu semua adalah pemberian Nandy yang mungkin si pemberinya sendiri sudah tidak ingat. Shafa merebahkan dirinya di atas tempat tidur sambil melihat-lihat foto Nandy.

“Shaf, kok kamu ga masuk sekolah ? Kamu sakit ya ?” Nandy bertanya dengan lembut sambil membelai wajah Shafa.

“Aku ga apa-apa kok. Cuma sedikit kecapean aja.”

“Makanya jangan terlalu banyak kerjaan. Kalau kamu sakit kan aku juga yang repot.”

“Nandy …” Panggil Shafa lembut.

“Kenapa Shaf ?”

Page 10: The hardest word

“Aku … aku … ada telepon dari Neysha.”

Semuanya menjadi samar dan pelan-pelan menjadi terang. Mata Shafa terbuka, ternyata semuanya hanya mimpi. Shafa tertidur sambil memeluk koak berisi kenangan Nandy. Di depan mata Shafa ada seorang babysitter. “Loh Noni, kok ada di sini ? Ada apa ?”

“Ini Non, ada telepon dari Neysha.”

“Oh pantesan ending mimpi gw aneh banget. Gara-gara Neysha mimpi gw jadi rusak deh.” Shafa berbicara sendiri. “Siniin teleponnya.” Sambil mengulurkan tangannya untuk menerima telepon yang diberikan babysitter tersebut dan ia segera pergi dari kamar Shafa untuk melanjutkan tugasnya. “Ada apa Ney ?”

“Aduh Shafa, lama banget sih lw jawab teleponnya. Udah 20 menit gw nunggu lw. Udah abis 3000 nih.”

“Sorry deh, babysitter gw ga mau bangunin gw kali. Jadi dia nunggu sampai gw bangun sendiri. By the way, ada apaan sih lw telepon gw ? Tumben banget, biasanya kan lw pelit !”

“Temen gw sakit masa gw ga khawatir sih. Eh, lw sakit apaan sih ? Sampai geger satu sekolah.”

“Gw ga sakit. Gw Cuma kecapean doang. Bonyok gw aja yang kelewat khawatir.”

“Ah yang bener ? Tadi di sekolah heboh banget. Masa surat sakit lw ada 7, yang nganterin juga sampai 7 orang sama 7 mobil.”

“Masa ?”

“Suer. 1 dari nyokap lw, 1 dari bokap lw. 5 lagi dari dokter, dokternya beda-beda lagi.”

“Dasar Mama sama Papa ! Eh, tadi Nandy sekolah ga ?”

“Iya dia sekolah. Tapi rada-rada diem. Ga tahu stress, takut atau apalah itu. Tapi yang jelas tadi itu dia panic banget, dia kayaknya khawatir sama lw. Soalnya dari tadi pagi dia panic banget, dia kayaknya khawatir sama lw. Soalnya dari tadi pagi dia terus-terusan liat bangku lw !”

“Masa sih ? Kayaknya dia panic bukan karena khawatir sama kesehatan gw, tapi kayaknya dia takut gw mampus gara-gara dia jutekin.”

“Bener juga ya. Kok gw ga kepikiran ke situ ya ? Bercanda Shaf. Hehe.”

“Dasar lw ya Ney.”

“Eh Shaf, udah dulu ya. Udah 7500 nih. Bye ! Sampe ketemu besok ya !”

Page 11: The hardest word

Shafa segera menutup telpon itu, ia tersenyum sendiri. Ia memikirkan perkataan Neysha tadi. Apakah benar yang ia ucapkan. Ia kembali menutup matanya dan tertidur dengan nyenyaknya.

***

Page 12: The hardest word

BAB 2

“Woi Shafa udah masuk sekolah !” Suara itu terdengar ke seluruh penjuru

sekolah. Semua murid dan paa guru mulai berdatangan mendekati Shafa. Shafa merasa gembira, ia merasa seperti seorang selebritis. Semua orang menanyakan kabarnya. Ia tahu semua itu hanya untuk mencari simpatinya. Mata Shafa berputar-putar menacri sahabatnya Neysha dan juga soulmatenya Nandy. Kerumunan orang berangsur-angsur menghilang, Shafa berjalan menuju kelas. Bangku Neysha dan Nandy kosong padahal beberapa murid mengaku melihat mereka tadi pagi.

Akhirnya waktu istirahat tiba, Shafa teringat akan pesan ibunya untuk meneleponnya saat istirahat. Shafa bersekolah di Lab. School, sekolah itu benar-benar tertutup. Segala kegiatan dilakukan di dalam ruangan. Jangankan cahaya matahari, sinyal pun sulit masuk. Shafa berjalan menuju loteng, ia berharap di sana ia akan mendapatkan sinyal karena jika ia tidak menelepon ibunya, ia tidak bisa membayangkan apa yang akan dilakukan oleh ibunya. Bisa saja Rima melapor kepada polisi bahwa Shafa telah hilang. Terdengar suara ribut dari atas loteng. Shafa berniat kembali ke kelas begitu tahu ada orang di sana. Tiba-tiba ia berhenti ketika mendengar suara orang yang sedang berbicara. Ia mengenal suara mereka, itu suara Nandy dan Neysha. Tanpa sadar Shafa berjalan ke arah suara itu berasal.

“Lw tahu kan kalau Shafa itu sakit ? Itu semua karena lw. Mestinya lw minta maaf sama dia. Kalau lw ga mau ketemu, lw kan bisa telepon dia.”

“Loh apa hubungannya sama gw ?” Ucap Nandy santai.

“Ga ada hubungannya ? Cuma lw yang bisa bikin dia nangis dan ketawa. Cuma lw Nandy !”

“Terus gw harus apa ? Dia itu kaya Ney, lw tahu kan sifat orang kaya itu kayak gimana ?”

“Shafa ga seperti itu ! Biarpun dia serba ada, dia ga pernah sombong. Gw baru nemuin temen sebaik dia.”

“Tapi dia suka ngerendahin gw dengan kekayaan yang dia punya. Lw ga tau apa yang gw rasain.”

“Lw salah paham, dia suka kasih barang-barang sama lw bukan karena anggap lw orang miskin.”

“Terus karena apa ?” Tanya Nandy, sekarang ia mulai kehilangan kesabaran. “Karena dia anggap gw gembel ?”

Page 13: The hardest word

“Karena … karena …” Neysha tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Bibirnya terkunci, sedangkan Nandy seperti seekor macan yang dengan sigap siap menerkam mangsanya.

Shafa yang berada di balik pintu kaget mendengarnya. Ia berdiri dengan muka pucat dan tubuh kaku. Nandy adalah orang yang sangat Shafa kasihi. Ia seolah bisa mendengar jantung Neysha. Neysha masih belum melanjutkan kata-katanya. Ia hanya diam membeku sambil menatap Nandy. Sesaat kemudian tanpa sadar Shafa masuk ke dalam ruangan itu. Neysha terperanjat, ia hendak mengucapkan sesuatu tapi tidak ada yang keluar.

Suasana benra-benar mencekam. Waktu seolah berhenti, Shafa terus bergerak mendekati Nandy. Tiba-tiba ia berhenti dengan tatapan kosong. Ia menatap Neysha dan member tanda agar Neysha diam. Neysha tidak menghiraukan kata-kata Shafa, mulut Neysha terbuka hendak mengatakan sesuatu. Saat itu juga Shafa langsung berbicara kepada Neysha dan membuatnya terdiam.

“Udah Ney, biar gw aja yang lanjutin.” Shafa menatap Neysha dengan tajam dan dingin, tidak seperti tatapan matanya yang biasa yaitu hangat dan ramah. “Lw mau tahu kenapa gw berbuat kayak gitu sama lw ?” Pandangan Shafa kini beralih kepada Nandy. “Itu semua gw lakuin karena gw sayang sama lw. Gw suka sama lw Nandy !”

“Hah ! Ga salah ! Lw cuma bercanda kan ? Ga lain cuma buat maenin gw. Gw sadar kalau gw itu miskin Shaf, tapi setidaknya gw masih punya moral. Mestinya lw ngaca dulu sebelum lw bilang suka sama gw ! Lw itu jelek, ga aka nada cowo yang mau sama lw ! Lw itu cuma bisa pamer harta orang tua doang !”

“Jadi selama ini lw anggap gw kayak gitu ? Jadi lw ga tahu gimana pengorbanan gw selama ini buat lw ! Lw bener-bener udah berubah Nan. Tadinya gw fikir lw adalah orang paling baik yang pernah gw kenal. Ternyata …” Mata Shafa mulai berkaca-kaca.

“Udah deh ga usah pura-pura. Jangan munafik, gw tahu sifat orang kaya itu seperti apa. Lw Cuma ngehina sama ngerendahin gw doang kan. Kalau itu maksud lw, lw berhasil !”

“Plak !” Tangan Shafa mendarat di pipi Nandy. Nandy hanya diam tanpa bisa melakukan apapun.

“Akhirnya gw tahu sifat asli lw ! Gw kira selama ini lw orang yang baik dan bisa ngertiin gw. Tapi, terima kasih karena udah nyadarin gw kalau lw itu orang terbusuk yang pernah gw kenal sebelum gw cinta mati sama lw.” Kini mata Shafa telah basah oleh air mata. Shafa meninggalkan ruangan itu sambil menangis. Neysha dan Nandy terdiam, sesaat kemudian Neysha pergi menyusul Shafa. Sambil berjalan Shafa tak henti-hentinya menangis dan Neysha pun tak henti-hentinya meminta maaf. Nandy masih berada di ruangan itu, ia hanya diam. Pandangannya kosong, pikirannya menerawang ke mana-mana. Nandy jatuh

Page 14: The hardest word

berlutut, pipinya terasa panas dan mulai memerah. Tak lama kemudian Nandy mulai menangis.

Ruangan itu menjadi saksi bisu atas kebodohan Nandy. Ia hanya termenung menatap kebodohannya. “Bodoh ! aku memang bodoh ! Kenapa mulutku tidak bisa mengutarakan apa yang ada di hatiku ? Kenapa aku selalu seperti ini ? Kenapa aku selalu membuat sedih orang yang kukasihi ?”

Nandy terdiam, sekarang pipinya telah penuh dengan air mata. Nandy adalah anak yang baik hati tapi ia mempunyai sifat yang aneh. Semua orang yang ia kasihi selalu ia buat marah dan selalu ia buat kesal seakan-akan ia membencinya padahal itu adalah cara ia menyatakan kepedulian dan kecintaannya. Satu per satu orang yang ia sayangi pergi meninggalkan Nandy dan akhirnya membuatnya parno. Ia tidak mau dekat dengan orang yang ia sayangi karena takut begitu orang itu mengetahui sifat aneh Nandy, orang itu akan pergi meninggalkan Nandy dan itu akan membuat Nandy semakin sedih dan kecewa.

***

Shafa tiba di rumahnya, ia langsung menuju kamar mandi untuk mencuci muka. Sebersih mungkin ia mencuci mukanya karena jika orang tua Shafa melihat muka Shafa, mungkin saja 1 kota akan menjadi heboh. Shafa menuju ruang santai, distelnya Televisi tapi ia tidak menontonnya. Pikirannya kacau, ia tidak bisa berkonsentrasi. Ia teringat kembali kejadian tadi siang dan akhirnya Shafa tidak kuat menahan tangisnya. Tanpa disadari oleh Shafa, Rima telah berada di samping Shafa anaknya. Tapi Rima tidak seperti kemarin, ia tidak terlihat panic dan kaget.

“Eh Mama. Aku ga sakit kok, tadi mataku kelilipan.” Dengan panic Shafa mengusap air matanya.

“Iya Mama tahu, patah hati memang sakit. Tapi setiap orang harus siap patah hati jika ia jatuh cinta. Kalau memang patah hati sakit kenapa masih banyak orang yang jatuh cinta ? Itu karena jatuh cinta itu indah sekali sehingga tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata dan seseorang bisa berubah karena cinta.” Ucap Rima lembut kepada Shafa sambil membelai rambut Shafa.

“Tapi Ma, kenapa rasa sakit ini terasa begitu menyesakkan di dada ?”

“Itu karena kamu benar-benar mencintainya. Bintang di langit memang indah tapi kita hanya bisa memandanginya tanpa bisa memilikinya. Bunga di taman memang sangat indah, boleh kamu cium wanginya tapi jangan coba-coba mengambilnya karena sudah ada yang memiliki.” Nyonya Rima mengatakannya dengan lembut sambil memandang Shafa dengan penuh kasih sayang.

“Maksud Mama ?”

Page 15: The hardest word

“Seiring dengan berjalannya waktu kamu akan mengerti.” Rima tersenyum kepada Shafa dan Shafa langsung memeluk Rima. Shafa benar-benar merasa terhibur.

Detik berganti menit, menit berganti jam, jam berganti hari dan hari berganti minggu. Sudah 3 minggu Shafa tidak masuk sekolah. Pada awalnya Rasta tidak menghiraukannya tapi semakin lama Rasta semakin cemas sedangkan Rima malah terlihat santai.

Pagi itu Shafa bangun seperti biasanya, ia mulai membuka-buka majalah. Matanya tertuju ke salah satu halaman. Niat gila muncul di dalam kepala Shafa. Ia menutp majalah itu dan segera berlari menuju ruang makan. Satu, dua anak tangga ia lewati. Hari ini ruang makan lengkap, ada Rima dan juga Rasta Dwi Antranata beserta putrinya Shafa.

“Pagi Ma … ! Pagi Pa … !” Sambil mencium pipi kedua orang tuanya. Dengan santai Shafa duduk di sebelah Rima. “Deno … ! Aku mau nasi goreng ya ! Cabenya dikit aja.” Shafa berkata dengan suara keras.

“Loh ada apa sih dengan anak Mama ? Kok kayaknya ceria betul.” Sambil mengoles roti dengan selai strawberry. Shafa hanya tersenyum mendengar perkataan orang tuanya. “Kamu sudah putuskan belum mau sekolah di mana ? Di sekolah lama atau sekolah baru ?”

“Hmm … aku mau sekolah baru deh.”

“Ya sudah, kamu mau sekolah di mana ?” Tanya Rasta, kini ia menutup Koran yang sedang ia baca dan mengalihkan pandangnnya kepada Shafa.

“Aku … aku … aku mau sekolah di New York.”

“Luar Negeri ?” Rasta terpekik kaget. “Sayang … New York itu jauh. Ga mungkin dong kamu bolak-balik.”

“Ya nggalah, masa aku bolak-balik. Aku mau tinggal di sana.”

“Shafa … kalau kamu tinggal di sana, siapa yang ngurusin kamu. Ga ada yang anterin kamu ke sekolah, ga ada yang nyuciin sama nyetrikain baju kamu dan ga ada yang masakin buat kamu.” Rasta mulai berbicara dengan panic.

“Tenang aja deh Pa. Semuanya biar aku sendiri yang kerjakan, aku ingin menjadi mandiri.”

“Itu sih bukan mandiri tapi menyiksa dirimu sendiri.” Rasta kalang kabut, ia menoleh ke arah isterinya tapi Rima hanya tersenyum sambil terus memakan rotinya. Rasta merasa aneh dengan sikap isterinya karena biasanya Rima yang paling rebut dan heboh kalau Shafa akan melakukan sesuatu yang brutal. “Mama … kok diem aja, coba rayu anakmu !”

“Sudahlah, kalau kita selalu mengekangnya ia takkan pernah menjadi dewasa.” Ucap Rima lembut. “Memangnya kamu mau pergi berapa lama ?”

Page 16: The hardest word

“Sekitar 2 tahun. Aku akan kuliah di sini.”

“Hanya itu rencanamu ?” Seakan tidak percaya kalau hanya itu yang akan dilakukan oleh Shafa.

“Aku masih punya ide gila sih tapi aku takut untuk mengatakannya.” Kata Shafa ragu-ragu.

“Sudah katakan saja selagi kami ada di sini.” Ucap Rima kembali.

“Aku … aku … aku mau operasi plastic.” Kali ini semua orang kaget mendengarnya. Rasta menumpahkan kopinya, Rima menjatuhkan garpunya, Deno menggoreng gosong telurnya dan Mbo memecahkan piring yang sedang ia bawa. “Loh kenapa sih ? Itu kan baru rencana, kalau ga setuju ya udah.”

“Shafa … pokoknya Papa ga …” Rima menepuk bahu Rasta dengan lembut sehingga membuat Rasta berhenti bicara. “Mama … !”

“Sudah Pa, kali ini biar Mama yang tangani.” Berbicara dengan lembut kepada suaminya. Sekarang Rima menengok ke arah Shafa. “Apa kamu benar-benar yakin ?”

“Yup. Yakin banget !” Suaranya menggema di seluruh tubuh Shafa, ia tak pernah merasa seyakin itu sebelumnya.

Selama beberapa saat Rima memandang Shafa dan akhirnya ia menghela nafas panjang. “Ya sudah, besok Mama akan pergi ke salah satu teman Mama yang bekerja sebagai dokter. Teman Mama itu telah banyak melakukan operasi plastic dan hasilnya sangat memuaskan.”

“Bener Ma ! Mama serius kan ?” Tanpa menunggu jawaban dari Rima, Shafa langsung memeluk Rima. “Makasih Mama ! Makasih Papa !” Sambil mencium pipi Rasta dan Rima secara bergantian.

Hari-hari berlalu dengan cepat. Kini tiba waktunya Shafa untuk pergi. Pagi itu langit begitu cerah tak berawan. Shafa sedang sibuk menyiapkan barang-barang yang akan ia bawa, kelak ia akan sangat merindukan kamarnya. Ia melihat kamarnya dengan seksama, seolah tak mau ada yang luput dari penglihatannya. Semuanya telah selesai, segala sesuatu yang ia perlukan telah ia kemas dalam koper. Ia mengepak 3 koper dan anehnya koper yang ia bawa menjadi 8. Shafa tahu kalau ini adalah perbuatan orang tuanya tapi Shafa berpura-pura tidak tahu. Sebelum ke New York, ia akan pergi ke Singapura terlebih dahulu. Ia akan tinggal di Singapura selam 2 minggu. Di sana ia akan melakukan operasi plastic. Sebelum ia pergi menuju bandara Rima berbicara kepada Shafa. “Shafa, ini adalah gaun yang sengaja Mama belikan untukmu. Mama telah lama membelinya tapi Mama tidak memberikannya padamu karena Mama yakin kamu tidak akan memakainya. Tapi sekarang, gaun ini akan Mama simpan baik-baik karena begitu kamu pulang nanti Mama akan memberikannya padamu. Mama yakin nanti kamu akan siap dan pantas untuk memakainya.” Rima mengatakannya tanpa ekspresi. Rima tidak mengantarkan Shafa ke bandara dengan alas an sedang ada pekerjaan penting padahal biasanya sepenting apapun pekerjaan Rima, ia selalu mempunyai waktu

Page 17: The hardest word

untuk Shafa. Shafa hanya diam walaupun ia tahu kalau ibunya berbohong. Rima tidak kuat kalau harus melihat putri semata wayangnya pergi.

Air mata Rima mengalir dengan deras begitu melihat Shafa pergi. Sedangkan perasaan Shafa brcampur aduk, ada perasaan senang dan sedih. Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan bergnati bulan. Semuanya telah menjadi normal, Rima dan Rasta sudah terbiasa tanpa adanya Shafa di sisi mereka. Nandy dan Neysha sedang menghadapi ujian kelulusan. Semenjak Shafa pergi Nandy menjadi teman dekat Neysha. Mereka berdua seperti tidak terpisahkan, ini pertama kalinya Nandy dekat dengan seseorang tanpa membuat orang itu kesal dan jengkel. Neysha mulai menyukai Nandy, hampir semua hal tentang Nandy selalu Neysha ketahui kecuali 1 hal yaitu sifat aneh Nandy. Orang yang mengetahui sifat Nandy hanya ibunya dan ibu Nandy telah pergi untuk selamanya.

Neysha bimbang, ia tahu kalau Shafa benar-benar mencintai Nandy tapi sekarang keadaannya lain. Shafa tak ada di sini dan Neysha juga menyukai Nandy. Neysha mulai melupakan Shafa dan sekarang yang ada di benak Neysha hanya Nandy, Nandy dan Nandy.

Malam itu Nandy sangat gusar. Ia tidak tahu perasaan apa yang sedang ia rasakan kepada Neysha. Ia merasa aneh, jika Nandy menyukai atau menyukai seseorang ia akan bertingkah aneh tapi ia tidak bersikap seperti itu terhadap Neysha. Sesaat ia termenung, akhirnya oa enyadari perasaannya kepada Neysha hanyalah sebatas teman, tidak lebih. Di dalam hati kecilnya ia masih menyukai Shafa.

***

Pagi itu benar-benar cerah meskipun cuaca agak sedikit dingin. Langit cerah berawan tanpa matahari. Di sebuah apartemen yang luas, seorang gadis yang manis dan cantik sedang tidur dengan nyenyaknya. Tiba-tiba perempuan itu terbangun dari tidurnya. Ia bangun dari tempat tidur dan kemudian mencuci muikanya. Pelan-pelan ia menyisir rambut panjangnya yang indah terurai. Ternyata perempuan itu adalah Shafa. Shafa benar-benar terlihat berbeda. Ia tidak lagi menggunakan kacamata. Wajahnya telah berubah menjadi cantik. Diusapkannya handuk kecilo ke wajahnya.

“Gila ! Kok gw bias mimpiin Nandy sih ? Jangan-jangan Nandy lagi inget gw. Mungkin dia lagi inget semua kebodohan gw.”

Semua terjadi begitu cepat. Di New York hampir semua orang mengenal Shafa. Dulu Shafa memang terkenal tapi ia terkenal karena orang tuanya sedangkan sekarang ia terkenal karena dirinya sendiri. Hari ini Shafa telah siapa untuk pergi, ia memakai kaos dan jeans belel. Shafa bergegas keluar dengan

Page 18: The hardest word

membawa setumpuk pakaian kotor. Sambil mengantarkan pakaiannya ke laundry Shafa menyempatkan diri untuk mengirimkan surat kepada orang tuanya.

***

Ujian telah selesai, akhirnya Nandy dan Neysha masuk ke universitas yang sama. Tidak terasa 2 tahun telah berlalu, sekarang Shafa harus segera kembali ke Jakarta. Ada perasaan senang, sedih dan takut dalam diri Shafa. Sekarang ia sedang mengemasi koper. Sebentar ia mengamati apartemennya untuk terakhir kalinya. Bandara telah penuh dengan orang-orang, ada yang mengantar, ada juga yang menjemput. Rima dan Rasta sedang berjalan terburu-buru. Hari ini putrid kesayangan mereka pulang dari New York. Rima menabrak koper seseorang tapi ia tidak memperdulikannya., ia berjalan semakin cepat menembus kerumunan orang. Kali ini ia menabrak seorang wanita yang sangat cantik. Perempuan yang Rima tabrak terhentak kaget, mulutnya hendak mengatakan sesuatu tapi tak ada kata yang keluar. Perempuan itu adalah Shafa, ia terheran0heran melihat tingkah laku ibunya yang terus berjalan tanpa menyadari kalau perempuan yang Rima tabrak adalah Shafa. Beberapa saat kemudian Rima tersadar, ia segera berbalik dan diikuti oleh Rasta. Mereka segera menghampiri Shafa. Rima langsung memeluk Shafa dan menangis seperti seorang anak kecil.

Shafa tiba di rumah, semuanya nyaris sama seperti terakhir kali Shafa meninggalkan rumah. Shafa segera menuju kamarnya, kamar itu tifak berubah. Kamar itu tidak pernah digunakan lagi semenjak Shafa pergi keluar negeri tapi kamar ini tetap bersih tanpa debu. Shafa menduga kalau ibunya selalu menyuruh pembantu untuk membersihkan kamar ini. Shafa berjalan menuju lemari, lantas ia membukanya. Diambilnya sebuah kotak yang berisi kenangan akan Nandy. Ia ingin sekali merobek foto-foto Nandy. Tangannya sudah siap untuk merobek foto tersebut. Tapi ia berenti, ia tidak sangguo untuk melakukannya. Tangan Shafa bergetar ketika melihat foto itu. Foto ketika Nandy sedang tersenyum, senyum Nandy sangat indah. Tangannya terus bergetar, kini pipinya mulai memanas dan matanya mulai berkaca-kaca. Tanpa sadar matanya mulai mengeluarkan air mata dan akhirnya Shafa menangis.

***

Page 19: The hardest word

Bab 3

“Tidak … !” Nandy terbangun dari tidurnya. Sudah sekitar 1 minggu ini ia

terus memimpikan Shafa. Setiap kali Nandy memimpikan Shafa, ia semakin merasa bersalah. Sejak kejadian itu Nandy tidak pernah lagi melihat Shafa.

Sekarang Nandy sudah menjadi seorang mahasiswa. Ia telah bertambah tinggi dan bertambah keren. Dengan badannya yang tinggi, kulitnya yang putih dan wajahnya yang menarik membuat para wanita jatuh hati pada Nandy. Tapi tidak ada satu wanita pun yang menarik hatinya. Wanita yang pernah dan mungkin hanya ia yang menarik hati Nandy adalah Shafa.

Pagi itu untuk pertama kalinya Shafa makan bersama dengan kedua orang tuanya semenjak ia kembali dari New York. Rima mulai merasakan perubahan yang terjadi pada anaknya, mulai dari fisik dan sifatnya. Mulanya Rima takut kalau keputusannya malah akan memperburuk keadaan.

“Shafa, kamu sudah putuskan akan kuliah di mana ?” Rasta bertanya kepada Shafa yang sedang sibuk mengoles roti dengan selai strawberry.

“Dah do, oalah bedok odah maduk.” Kata-kata Shafa tidak jelas karena Shafa berbicara sambil memakan roti.

“Aduh Shafa, pelan-pelan dong ngomongnya. Papa ga ngerti.”

Shafa menelan dengan cepat roti yang sedang ia makan. “Sorry Pah ! Abis lagi makan ditanya sih. Aku udah putusin aku mau kuliah di mana dan aku sudah daftar. Malahan besok udah mulai masuk kuliah.”

“Kamu sudah daftar ? Daftar sendiri ? Ya ampun Shafa, kamu bener-bener udah berubah.” Rasta keget karena tidak percaya bahwa Shafa telah berubah.

Setelah selesai makan Shafa segera menuju kamar. Shafa sudah tidak lagi mempunyai teman di Indonesia khususnya di Jakarta, tempat tinggalnya saat ini. Satu-satunya teman yang ia punya di Jakarta adalah Neysha. Shafa segera berlari keluar kamar dan segera mengambil kunci mobil. Mobil sedan silver pergi dengan cepat meninggalkan kediaman Dwi Antranata. Mobil itu berhenti di sebuah gang, ia segera turun dari mobil dan segera masuk ke dalam gang tersebut. Dua tahun yang lalu, hampir setiap hari ia mengantarkan Neysha pulang ke rumah. Keadaan gang itu nyaris sama seperti 2 tahun yang lalu. Baru beberapa meter ia berjalan, ia sudah menemukan rumah yang ia cari.

“Permisi … permisi … !” Shafa mengetuk pintu sebuah rumah yang bercat biru muda. Beberapa saat kemudian seorang wanita tua keluar dari rumah itu. “Maaf Bu, Neysha ada ?”

Page 20: The hardest word

“Apa ?” Wanita tua itu berkata dengan sangat keras, membuat Shafa sadar kalau wanita itu agak tuli.

“Ini nek, Neysha ada ?” Shafa berkaca dengan kencang di dekat telinga wanita itu. “Neysha Nek, NEY-SHA !” Shafa mengeja nama Neysha dengan pelan dan keras.

“Oh Neysha, bilang dong dari tadi.” Wanita tua itu tersenyum. “Kalau Neysha udah pindah sekitar 7 bulan yang lalu.”

“Pindah ke mana Nek ?” Masih dengan suara yang keras. Wanita itu tetap diam. Shafa menduga kalau wanita tua itu tidak mendengar kata-kata Shafa sehingga ia mengulang kembali kata-katanya. “NEY-SHA PIN-DAH KE MA-NA ?” Shafa mengatakannya dengan suara pelan dan keras sambil mengeja kata demi kata.

“Oh.” Wanita tua itu terdiam sesaat, mencoba mengingat-ingat. “Eng, ng, ya masih di daerah Jakarta.”

“Aduh Nek, Jakarta itu luas !” Shafa mulai merasa kesal.

“Saya lupa, maklum deh banyak kerjaan.”

“Ya udah deh, makasih ya Nek !” Shafa meninggalkan rumah itu dengan tangan kosong. Ia menggerutu dalam hati. “Aduh tuh Nenek kalau udah pikun bilang aja terus terang. Ga usah pake bilang banyak kerjaan.”

***

Shafa menginjak gas kuat-kuat, 3 mobil, 4 mobil dan akhirnya 11 mobil telah berhasil ia lewati. Shafa mulai berjalan-jalan, ia berkeliling jalan tol. Kecepatan mobilnya kini mendekati 120 km/jam. Ia tertawa dengan kencang saking senangnya karena akhirnya ia dapat melakukan hal gila yang selama ini ia impikan. Waktu telah menunjukkan pukul 7 malam, Shafa sudah tiba kembali di Jakarta setelah seharian berkeliling jabotabek. Ia menuju ke Plasa Senayan, semua orang memperhatikan Shafa meskipun Neysha tidak ada di samping Shafa. Semua orang terpekik kaget, ada yang menjatuhkan sapu tangan di dekat Shafa, ada yang menabrak Shafa agar dapat berkenalan dan ada juga yang berpura menanyakan toilet. Semuanya benar-benar tidak masuk akal. Mereka hanya mencari perhatian Shafa, tapi Shafa sangat senang. Dulu, ia berharap akan mengalami kejadian seperti ini meskipun hanya dalam mimpi. Sekarang ia tidak perlu lagi bermimpi karena semuanya telah menjadi kenyataan.

***

Page 21: The hardest word

Kuliah di Universitas Indonesia adalah impian Shafa sejak dulu. Ia tidak pernah menyangka kalau ia dapat masuk Universitas yang terkenal dengan mahasiswa-mahasiswanya yang kaya, cantik dan juga pintar. Shafa kaget karena Universitas itu benar-benar dipenuhi dengan orang-orang yang nyaris sempurna. Shafa mengambil jurusan Manajemen. Ia mencoba mencari ruang kelasnya. Ia masuk ke dalam kelas sambil berusaha mencari teman. Semua orang duduk bergerombol, Shafa tidak tahu harus berteman dengan siapa. Pintu kelas kembali terbuka, kali ini seorang pria dan seorang wanita hendak masuk ke dalam kelas. Shafa kaget karena ternyata ia mengenali mereka. Ternyata dunia ini benar-benar kecil.

“Ney, Ney, Neysha !” Shafa memanggil Neysha tapi suaranya tidak terdengar karena tertutup oleh suara rebut. Shafa hendak memanggil Neysha kembali tapi ia segera mengurungkan niatnya setelah ia mendengar sesuatu yang membuat hatinya hancur.

“Cie yang baru jadian !” Kata salah seorang mahasiswi yang berpakaian tomboy.

“Apaan sih ! Kita ga ada apa-apa kok. Iya kan Ney ?” Jawab Nandy sambil menepuk bahu Neysha.

“Udah deh ga usah bohong. Masa sih ga ada apa-apa.” Kata mahasiswi itu kembali.

“Yee … kok ga percaya sih. Bener tuh apa kata Nandy, kita itu Cuma temenan.”

“Cuma temenan ?” Kata salah seorang mahasiswa yang mengenakan kaos hitam dan celana skater dengan rambut yang di model spike. “Ga mungkin ! Temenan kok deket banget sih, kayak udah suami isteri aja.” Sambil menyikut perut Nandy dengan tangan kanannya. “Wah, jangan-jangan lw udah pernah dicium ? Di mana ? Kening, pipi atau … ?” Ucap mahasiswa itu kembali dengan nada yang menggoda.

“Udah ah. Sekali lagi gw kasih tahu kalau gw itu ga ada apa-apa sama Nandy. Udah dong, gw mau belajar nih !” Neysha segera mencari tempat duduk dan Nandy mengikutinya dari belakang. Akhirnya mereka berdua duduk bersebelahan, kedua pipi mereka memerah seperti udang rebus.

Shafa yang masih berada di dalam kelas hanya diam terpaku menyaksikan kejadian yang beru saja terjadi. Kejadian itu seolah membangkitkan kenangan lamanya yang telah ia kubur dalam-dalam. Ia segera berdiri, ia sudah tidak mempunyai keinginan dan alas an lagi untuk tetap berada dalam ruangan tersebut. Ia berjalan dengan cepat keluar kelas menuju tempat parkir. Mobil sedan silver yang dikendarai oleh Shafa telah sampai di kediaman Dwi Antranata. Sekarang Shafa sudah berada di dalam kamar. Shafa sudah terlalu seing menangis untuk Nandy dan sekarang ia harus menangis untuk sahabatnya Neysha. Shafa sudah bosan menangis, air matanya telah mongering. Shafa menyadari bahwa tidak ada

Page 22: The hardest word

gunanya ia terus bersedih, ini smeua sudah takdir. Tuhan pasti punya rencana di balik kejadian yang dialami oleh Shafa.

Sudah 3 kali pertemuan Shafa tidak masuk kuliah, hal ini membuat Shafa semakin sulit untuk mendapatkan teman. Semua orang telah mempunyai kelompok sendiri. Shafa duduk termenung di dalam kelas menonton kesibukan semua orang. Tiba-tiba ada yang menepuk bahu Shafa dan ternyata orang yang menepuk bahu Shafa adalah Neysha. Mulanya Shafa menyangka kalau Neysha tahu kalau dirinya adalah Shafa tapi ternyata tidak demikian.

Mata mereka saling bertatapan, dengan santai Neysha tersenyum lembut kepada Shafa dan Shafa balas tersenyum. “Hei … ! Sendirian aja. Baru masuk kuliah ya ?”

“Iya.”

“Pantesan gw ga pernah liat lw sebelumnya. Tapi kok gw ngerasa kayak udah kenal banget ya sama lw.”

Masa ? Itu Cuma perasaan lw aja.”

“Kayaknya lw bener, itu Cuma perasaan gw aja. Eh ngomong-ngomong nama lw sipaa ? Gw Neysha ! Salam kenal ya !” Neysha mengulurkan tangannya kepada Shafa.

“Nama gw Sha …” Kata-katanya terpotong, ia berfikir sejenak dan kemudian ia kembali berbicara. “Nama gw Shafira, ya Shafira.”

“Oh. Tapi nama lw kepanjangan. Gimana kalau gw panggil Fira aja ?”

“Hmm … boleh juga.”

Neysha menengok ke belakang seperti sedang mencari seseorang. Beberapa saat kemudian ia menemukan orang yang ia cari. Dengan suara keras Neysha memanggil orang itu. “Nan … Nandy ! Sini deh !” Nandy yang sedang mengobrol dengan beberapa mahasiswa langsung menghampiri Shafa dan Neysha. “Nih kenalin teman baru kita. Namanya Fira.”

“Hai !” Sapa Nandy hangat. Jantung Shafa berdetak dengan sangat cepat. “Kenalin gw Nandy, calon suaminya Neysha.” Kali ini seperti ada sebuah pisau yang menusuk dada Shafa, dadanya benar-benar terasa sakit.

“Apaan sih Nandy ! Dasar tukang ngegombal !” Sambil memukul-mukul bahu Nandy dengan pelan. Mereka berdua terlihat sangat mesra.

“Ney, Fir ! Kita ke kantin yuk ! Perut gw udah bunyi nih !” Sambil memegang perutnya sendiri dengan mimic seperti anak kecil yang ingin dibelikan mainan. Shafa tersenyum kecil melihat tingkah konyol Nandy.

“Dasar kuli ! Pasti makannya banyak ! Hati-hati Fir, nanti makanan lw bisa dia abisin !”

Page 23: The hardest word

***

Dulu, apapun bisa ia lakukan untuk Nandy dan sepertinya hal itu kembali terulang. Sekarang ia sudah bisa dekat dengan Nandy tanpa Nandy menyadari akan keberadaan Shafa. Absensi, akte kelahiran, bahkan ijazah sekolah dapat Shafa ubah hanya untuk bisa dekat dengan Nandy. Sekarang Shafa seperti mempunyai 2 kepribadian. Di rumah ia menjadi Shafa sedangkan di kampus ia menjadi Shafira. Kedua orang tuanya mengetahui perbuatan Shafa. Rasta tidak menyetujui keinginan anaknya sedangkan Rima menyetujui keinginan Shafa. Rima mengerti apa yang dirasakan oleh Shafa, ia tahu cinta memang gila dan dapat membuat semua orang melakukan apa saja. Dengan penuh pengertian Rima memberi penjelasan kepada suaminya dan akhirnya Rasta mengerti dan menyetujui keinginan anaknya itu.

Hari-hari Shafa lalui dengan penuh kebohongan, ia tahu kalau yang ia lakukan salah. Setiap kali ia ingin memberitahu keadaan yang sebenarnya kepada Neysha dan Nandy tapi ia selalu takut kalau Nandy akan semakin membencinya dan ia akan semakin jauh dari Nandy. Shafa tahu kalau tindakannya itu munafik tapi ia benar-benar bahagia dengan keadaannya sekarang. Sekarang ia dapat dekat dengan Nandy tanpa membuat Nandy kesal dan jengkel. Cinta benar-benar dapat merubah segalanya.

Mereka bertiga menjadi teman dekat yang tidak terpisahkan. Shafa seperti kembali ke masa lalu. Di satu sisi Shafa senang karena dapat bertemu kembali dengan Neysha dan Nandy tapi di lain sisi ia sedih karena harus bertemu dengan mereka dengan keadaan yang membuat Shafa semakin sedih.

Nandy telah banyak berubah. Kini tubuhnya semakin tinggi dan wajahnya semakin menawan. Nandy seperti seorang model bahkan ia selalu menjadi pujaan para wanita. Neysha pun tidak jauh berbeda, ia menjadi semakin feminine, rambutnya hitam dan panjang, kulitnya putih, halus dan juga bersih. Tidak mengherankan jika banyak orang yang mengatakan bahwa Neysha dan Nandy adalah pasangan yang serasi.

Akhir-akhir ini Nandy mulai merasakan perasaan yang berbeda, perasaan yang sama ketika ia mulai menyukai Shafa. Sifat aneh Nandy kembali muncul, ia menjadi bersikap menyebalkan kepada Shafira yang tak lain adalah Shafa. Nandy benar-benar bimbang dengan perasaan yang ia rasakan.

***

Page 24: The hardest word

Pagi itu cuaca cukup cerah, Shafa sudah tiba di kampus sekitar 15 menit yang lalu. Sambil membaca buku dengan ditemani segelas jus jeruk ia duduk di kantin. Konsentrasinya pecah ketika Neysha memanggilnya.

“Fir, liat Nandy ga ?” Neysha bertanya kepada Shafa seraya mengambil tempat duduk di samping Shafa.

“Aduh, sorry Ney. Dari tadi gw ga liat Nandy. Mungkin dia ada di kelas.”

“Bener juga ya. Kok gw ga kepikiran ke situ. Thank’s ya !” Neysha pun pergu menuju kelas. Beberapa menit setelah Neysha pergi, Shafa melihat Nandy. Shafa berdiri dari meja dan menghampiri Nandy.

“Nandy, tadi Neysha nyari lw.”

“Iya. Makasih.” Jawab Nandy sekenanya dan tanpa ekspresi.

“Tapi sekarang dia lagi ada di kelas.”

“Iya !” Nandy membentak Shafa. “Bisa ga sih lw ga ganggu gw. Gw lagi males ngomong sama lw ! Please banget jangan bikin gw marah !”

Shafa kaget begitu mendengar jawaban dari Nandy, hatinya hancur berkeping-keping. Bagaimana tidak, ia kembali disakiti oleh orang yang ia sayang.

Shafa segera pergi meninggalkan Nandy. Ia berjalan sangat cepat menuju lapangan parker. Mukanya memanas dan ia mulai menangis.

***

Aku fikir Nandy udah berubah tapi ternyata itu Cuma sebentar. Kenapa cuam aku yang selalu ia benci baik sebagai Shafa maupun Shafira. Apa salahku hingga sebegitu bencinya padaku ? Mulanya aku bahagia karena aku bisa dekat dengan Nandy tanpa membuat Nandy kesal tapi sekarang semuanya tinggal harapan. Shafa berbicara dalam hati.

Tisu berserakan di mana-mana, sekarang kamarnya menjadi berantakan. Shafa terus menangis dan membenamkan mukanya ke bantal. Beberapa saat kemudian Rima mengetuk pintu kamar Shafa. “Shafa … Shafa … buka pintunya dong ! Ini Mama ! Mama ada perlu sebentar denganmu.”

“Masuk aja Ma, pintunya ga dikunci kok.”

Rima masuk ke dalam kamar Shafa, kamar Shafa telah menjadi kapal pecah. Bantal ada di bawah, baju kotor di mana-mana dan tisu berserakan di mana-mana. Rima duduk di tempat todur di samping Shafa.

Page 25: The hardest word

“Shafa … katanya kamu udah mandiri tapi kok kamar kamu berantakan banget sih. Kamu itu anak perempuan.”

“Abis aku lagi BT Ma, lagi males bin suntuk !” Sambil terus mengusap air matanya dengan menggunakan tisu.

“Dasar ! Dari dulu manjanya ga ilang-ilang.” Rima mengatakannya sambil membelai rambut Shafa. “Kamu masih ingat ga tentang janji Mama padamu ?”

“Janji ? Emangnya Mama pernah janji apa ? Aduh maaf Ma, aku lupa. Emangnya janji apaan sih ?”

“Ini.” Rima mengeluarkan sebuah gaun malam. “Mama sudah janji akan memberikannya padamu begitu kamu pulang dari New York.”

“Ya ampun ! Kok aku bisa lupa ya !” Sambil mengambil gaun itu dari tangan Rima. “Wuih … cantik banget Ma !” Sambil terus memandangi gaun itu dengan penuh kekaguman. “Warnanya cantik banget Ma, sesuai dengan warna kesukaanku. Makasih Mama !” Sambil mencium pipi Rima.

Gaun malam itu sangat indah. Paduan warna antara pink shimmer dan putih mendominasi gaun itu. Panjangnya setinggi lutut dengan renda-renda kecil menambah kesan anggun terahadap daun tersebut. Model gaun itu sederhana namun elegan, mata Shafa tidak berkedip memandang gaun tersebut.

Rima melihat sekeliling kamar Shafa. Matanya tertuju ke salah satu pojok ruangan, ia menemukan secarik foto dan diambilnya foto itu. “Shafa, apa ini orang yang sering kamu ceritakan ? Dia yang bernama Nandy ?” Rima bertanya penasaran kepada Shafa dan Shafa hanya mengangguk.

“Iya Ma. Dia itu Nandy. Sekarang aku berteman dekat dengannya.”

“Wah kok bisa ya ?” Ucap Rima tidak percaya. “Kamu pernah dengar tentang kekuatan cinta ?”

“Ga.” Jawab Shafa spontan. “Emangnya kenapa ?”

“Menurut cerita, orang yang saling mencintai biarpun berjauhan tapi batin mereka menjadi satu. Mereka bisa merasakan hal yang sama, apabila salah satu dari mereka merasa senang atau sedih maka mereka akan sama-sama merasakannya.” Ucap Rima lembut dan ia kembali melanjutkan kata-katanya. “Memang agak aneh, tapi begitulah mitosnya. Mereka akan seperti anak kembar, mulanya Mama tidak percaya tapi waktu membuat Mama mempercayainya.” Sherly mendengarkan kata-kata Rima dengan seksama seakan tidak mau ada 1 katapun yang luput dari pendengarannya. “Ketika kamu berusia 3 tahun, ketika itu Mama sedang menghadiri suatu seminar. Entah mengapa Mama merasa cemas dan sedih, hati Mama benar-benar tak tenang. Di tengah seminar Mama tiba-tiba pergi, kaki Mama seperti bergerak sendiri menuju rumah sakit. Ternyata perasaan Mama benar. Saat itu Papa mengalami kecelakaan. Mama sendiri heran karena perasaan dan rasa cinta Mama pada Papamu bisa mengalahkan teknologi seperti telepon.” Rima mengakhiri ceritanya.

Page 26: The hardest word

“Tapi aku lain Ma. Nandy ga suka sama aku, aku cinta buta sama Nandy.”

“Dulu, Mama juga mengira bahwa Papa tidak mencintai Mama tapi ternyata Papa malah rela mati untuk Mama.”

Rima bergegas berdiri dan meninggalkan kamar Shafa. Sebelum pergi, Rima menyium kening Shafa dengan lembut sambil mengucapkan selamat malam. Shafa menjatuhkan dirinya di atas tempat tidur, ia menarik selimutnya lebar-lebar hingga menutupi seluruh badannya dan Shafa pun tertidur dengan pulasnya.

***

Siang itu Shafa sedang duduk-duduk di kantin. Tiba-tiba Neysha menghampiri Shafa, ia terlihat senang. “Hai Fira ! Lagi ngapain nih ?” Tanpa menunggu jawaban Shafa, Neysha kembali berbicara. “Fir, tahu ga hari ini Nandy ngajak gw jalan. Emang sih Cuma nganterin dia beli baju. Tapi tahu ga Fir ? Cuma gw doing cewe yang pernah dia ajakin jalan.” Muka Neysha terlihat berbunga-bunga.

“Oh, terus ?” Shafa mengatakannya tanpa ekspresi. Ia terus meminum jus walaupun jus itu telah habis.

“Tapi gw masih ga ngerti sama Nandy. Sebenernya dia itu suka sama gw ga sih ? Abisnya dia baik sama semua orang.”

Shafa tiba-tiba tersedak. “Baik sama semua orang ? Ga salah ?”

“Iya. Eh tunggu, kayaknya dia benci banget sama seseorang yaitu Shafa. Gw juga ga tahu kenapa Nandy segitu bencinya sama Shafa padahal Shafa itu baik. Tapi untung deh soalnya kalau Nandy ga benci sama Shafa gw ga akan bisa deket sama Nandy.” Neysha melihat wajah Shafa yang daritadi hanya diam. “Fir, lw kenapa ? Lw sakit ya ? Muka lw kok pucet banget. Aduh masa lw sakit sih, besok kan Sisil ulang tahun.” Ucap Neysha cemas. “Tapi lw datang kan ?” Shafa berusaha tersenyum dan ia mengangguk. “Lw mau pake baju apa ? Aduh gw jamin pasti pestanya meriah banget, Sisil kan anak orang kaya. Kira-kira Nandy pake baju warna apa ya ? Supaya gw bisa serasi sama dia, kayaknya kalau warna …” Neysha berhenti berbicara karena Shafa tiba-tiba berdiri.

“Ney, sorry ya ! Hari ini gw ga bisa dengerin curhatan lw, kepala gw lagi pusing. Gw pulang duluan ya !” Shafa berjalan tanpa memperdulikan Neysha yang terus memanggil-manggil namanya.

***

Page 27: The hardest word

Shafa membuka lemari pakaian. Ia sedang pusing memilih gaun mana yang akan ia kenakan nanti malam. Satu persatu gaun ia keluarkan dari lemari. Bolak-balik ia melihat kaca sambil mencoba gaun satu per satu secara bergantian. Semua gaun yang ada di lemari telah ia coba dari warna biru, hijau, putih, kuning, emas dan juga perak tapi tetap saja tidak ada yang menarik hati Shafa. Sesaat ia berfikir lalu ia teringat gaun yang diberikan oleh orangtuanya. Ia segera mengambil dan mengenakan gaun itu. Ia langsung menyukai gaun tersebut.

Semuanya telah selesai, Shafa telah siap untuk berangkat. Pesta itu diadakan di halaman rumah Sisil. Lampu-lampu menghiasi seluruh taman, lilin kecil berada di atas air di kolam renang. Suasananya sangat romantic, semua orang berbicara dengan pasangannya masing-masing. Tanpa susah-susah mencari, Shafa sudah bisa menemukan Neysha dan Nandy. Mereka terlihat sangat serasi, Neysha sangat cantik dengan gaun yang berwarna biru laut dan Nandy terlihat gagah dan tampan dengan celana hitam dan kemeja putih. Selama beberapa detik Shafa bertatapan dengan Nandy. Shafa berusaha tersenyum sedangkan Nandy tidak berekspresi apa-apa. Neysha melihat Shafa dan ia segera menuju ke arah Shafa sambil menggandeng tangan Nandy. Hal ini membuat dada Shafa terasa sesak.

“Hai Fir ! Mana pasangan lw ?” Neysha bertanya kepada Shafa dan Shafa menggelengkan kepalanya, tanda bahwa ia tidak mempunyai pasangan. Nandy tersenyum sendiri begitu mengetahui Shafa tidak mempunyai pasangan. “Loh nanti ka nada acara dansa. Tapi gw yakin bentar lagi juga lw dapet pasangan. Lw kan cantik.”

“Kalo pasangan lw mana Ney ?”

“Siapa lagi sih. Pasangan gw ya Nandy dong.” Sambil menggandeng tangan Nandy erat-erat seolah Nandy akan kabur. “Fir, gw ke sana dulu ya sebentar.” Neysha dan Nandy pergi meninggalkan Shafa sendirian.

Beberapa menit kemudian acara dimulai, semua orang bersorak gembira. Satu per satu mulai memberikan ucapan selamat kepada Sisil. Waktu telah menunjukkan pukul 11 malam, Sisil mengajak para tamu undangan untuk segera masuk ke dalam rumahnya karena acara dansa akan segera dimulai. Semua orang mulai masuk ke dalam rumah termasuk Shafa. Shafa kembali bertemu dengan Neysha dan Nandy. Neysha menghampiri Shafa, dengan malu-malu ia berbisik kepada Shafa. “fir, gw deg-degan banget nih abisnya kayak di film-film sih !”

Music lembut mulai mengalun. Beberapa pasangan mulai berdansa termasuk Neysha dan Nandy. Shafa berkhayal seandainya ia yang menjadi pasangan Nandy bukan Neysha. Shafa hanya duduk mengamati orang-orang yang berdansa. Seorang laki-laki menghampiri Shafa dan mengajaknya berdansa. Selintas ia merasa kalau Nandy sedang memperhatikannya, ia pun menengok kea rah Neysha dan Nany. Tapi, alih-alih sedang memperhatikan Shafa ia malah sedang tertawa-tawa dengan Neysha sehingga membuat dada Shafa semakin sesak. Tanpa fikir panjang Shafa menerima ajakan laki-laki tersebut.

Page 28: The hardest word

Shafa mulai berdansa, ia kembali bertatap muka dengan Nandy. Tanpa menunggu reaksi dari Nandy, Shafa langsung memalingkan muka. Musik terus mengalun membuat suasana semakin romatis. Shafa tidak mau melihat kea rah Neysha dan Nandy, ia takut hatinya menjadi semakin hancur.

Ada perasaan aneh di dalam diri Nandy, ia tak pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya tidak juga untuk Neysha. Dadanya terasa panas. Ia merasa kesal dan tangannya terus mengepal. Nandy merasa cemburu dengan laki-laki yang sedang berdansa dengan Shafa. Nandy melepaskan pegangannya dari Neysha, ia bergegas meninggalkan ruang dansa.

Nandy terus berjalan melewati kerumunan orang yang sedang berdansa. Neysha merasa aneh dengan tingkah laku Nandy dan ia segera mengikuti langkah Nandy. “Nandy … !” Panggil Neysha. “Lw mau ke mana ? Acara dansanya belum selesai !”

“Gw mau cari udara segar dulu.” Ia pergi keluar ruangan melewati Shafa dan lelaki itu. Ketika tepat melintas di depan mereka, dengan sengaja Nandy menginjak kaki laki-laki itu.

“Auw … !” Teriak laki-laki itu spontan.

“Aduh sorry kena kaki ;w ya ? Kaki yang mana yang kena ?” Nandy berpura-pura baik kepada laki-laki itu kemudian ia menginjak lagi kaki yang satunya.

“Auw … !” Laki-laki itu kembali berteriak. “Aduh Nandy, lw kenapa sih ? Sakit banget tahu !” Sambil mengelus kakinya yang tadi diinjak oleh Nandy. “Udah deh mendingan sekarang lw pergi aja. Kalo lw masih di sini bisa-bisa gw patah tulang.”

Hati Shafa mencelos, di dalam hati kecilnya ia merasa senang. Shafa tidak bisa menahan rasa senangnya dan ia pun tersenyum sendiri. Nandy pergi meninggalkan ruangan dansa menuju taman. Neysha segera mengikuti langkah Nandy dengan susah payah karena sedang mengenakan gaun. Gaun itu membuatnya sulit untuk berjalan.

Nandy terus berjalan, ia tidak sadar kalau Neysha mengikutinya di belakang. Neysha terus berjalan dan memanggil Nandy dengan suara yang sangat keras sehingga membuat Nandy sadar akan keberadaan Neysha. Nandy membalikkan badannya dan segera menghampiri Neysha. Ia benar-benar merasa bersalah.

“Aduh Ney, kenapa lw ikut-ikutan keluar ? Gw Cuma sebentar kok. Lw kan masih bisa dansa sama orang lain.”

“Nandy, kita datang ke sini berdua dan gw juga ingin kita pulang berdua.”

“Ney, gw lagi pusing. Tolong biarin gw cari ketenangan. Sebentar … aja.”

Page 29: The hardest word

“Kalo lw lagi banyak fikiran mestinya lw cerita sama gw. Dengan senang hati gw akan bantuin lw.”

Nandy mulai merasa kesal kepada Neysha dan ia mulai kehilangan kesabaran. Dengan nada membentak ia berbicara kembali kepada Neysha. “Percuma gw kasih tahu lw ! Lw ga akan bisa ngertiin gw !”

“Nandy, lw kan belum coba !” Wajah Neysha terlihat memelas, ia berbicara dengan nada memohon.

“Udah deh, gw lagi males berdebat. Mendingan sekarang lw balik lagi ke dalem. Nanti lw bisa ketinggalan acara.”

“Gw ga mau ke dalem kalau bukan sama lw.”

“Ney … please ! Lw bukan anak kecil lagi.”

“Jangankan jadi anak kecil. Gw bisa jadi apa aja demi lw Nan !”

“Gw lagi ga ingin bercanda Ney.”

Sebenernya selama ini lw anggap gw apa ?” Mata Neysha mulai berkaca-kaca. “Apa lw ga sadar kalau selama ini gw suka sama lw ! Gw ga mau terus seperti ini.” Kini air mata mulai membasahi pipi Neysha. “Gw ingin kita punya status supaya lw bisa jadi milik gw seorang. Gw sadar kalau gw itu egois tapi itulah cinta.” Tangis Neysha semakin kencang sehingga membuatnya semakin sulit untuk berbicara. “Gw ga bisa liat lw sama cewe lain !”

Nandy terdiam, ia baru saja menerima pernyataan cinta dari Neysha. Nandy tidak merasakan sesuatu, ia merasa biasa-biasa saja. Lain halnya ketika Shafa menyatakan cinta kepadanya. Ketika itu jantungnya terus berdetak dengan cepat.

Suasana menjadi hening, malam semakin dingin karena angin terus berhembus sehingga membuat suasana semakin canggung. Nandy dapat mendengar detak jantung Neysha yang berdetak sangat cepat. Beberapa saat Nandy berfikir akan apa yang harus ia lakukan.

“Lw serius ?” Tanya Nandy memecah keheningan antara mereka berdua.

“Iya.”

“Ta .. tapi gw bukan laki-laki yang baik buat lw. Gw ga bisa bikin lw bahagia, gw …” Neysha menghentikan Nandy berbicara dengan menaruh jari telunjuknya di bibir Nandy.

“Ssstt … ! Lw belum coba, jadi lw ga bisa bilang seperti itu. Apapun akan gw lakuin buat lw. Gw akan bikin lw bahagia meski itu membuat gw menderita.”

“Neysha … Lw ga ngerti ! Ada perempuan lain yang mengisi hati gw.”

Neysha terpekik kaget mendengar kata-kata Nandy. Ia terperanjat tapi dengan segera ia menenangkan dirinya sendiri.

Page 30: The hardest word

“Si … siapa ?” Tanya Neysha dengan suara bergetar.

“Gw suka sama Shafa.”

Neysha tak habis fikir, ia tak menyangka perempuan yang Nandy sukai adalah Shafa. “Tapi bukannya lw benci banget sama dia ?”

“Justru itu. Lw ga akan ngerti ! Gw punya … punya …” Nandy tidak melanjutkan kata-katanya. “Udah deh sekarang kita ke dalem lagi.” Ajak Nandy sambil menarik tangan Neysha.

Neysha melepaskan tangannya dari Nandy. “Gw ga mau masuk ke dalem sebelum lw kasih tahu ada apa sebenarnya !”

Nandy menatap dalam-dalam mata Neysha, ada rasa penasaran di dalam hati Neysha. “Percuma Ney.”

“Nandy, coba deh lw terbuka sama gw. Gw akan coba bantu lw sebisa mungkin.”

“Udah deh, gw ga mau membahasnya. Itu Cuma bikin gw tambah menyesal dengan kejadian waktu itu.”

“Jadi lw bener-bener suka sama Shafa ?”

“Iya.”

“Kalau gitu kenapa waktu itu lw tolak dia ? Padahal lw juga suka sama dia. Kenapa Nan ? Kenapa ?”

“Lw ga akan pernah ngerti ! Gw … gw … punya sifat yang aneh.”

“Maksudnya ?” Neysha mengernyitkan dahinya karena ia tidak mengerti.

“Kalau gw sayang sama seseorang, gw akan bersikap menyebalkan sama orang itu seakan-akan kalau gw benci sama dia padahal itu adalah cara gw menunjukkan kepedulian dan rasa sayang gw !”

“Jadi selama ini lw ada perasaan apa-apa sama gw ? Lw ga pernah bikin gw kesel.”

“Mungkin gw udah berubah.” Katanya datar.

“Kalo gitu mestinya lw sadar kalau gw yang bikin lw berubah. Itu semua karena gw !”

“Tapi …” Nandy tidak melanjutkan kata-katanya karena ia tidak tahu apa yang harus ia katakan.

“Kenapa ? Karena lw masih suka sama Shafa ? Nandy … sekarang ga ada Shafa di sini. Hari ini, jam ini, menit ini dan detik ini yang ada di hadapan lw itu gw bukan Shafa. Lw harus berfikir ke depan. Kita ga tahu Shafa ada di mana dan

Page 31: The hardest word

kita juga ga tahu bisa ketemu sama Shafa lagi atau ga. Penantian lw itu ga ada artinya !”

“Tapi Ney, gw sayang sama dia.”

Neysha terdiam mendengar mendengar kata-kata Nandy. “Ya udah deh, gw masuk ke dalem dulu. Gw emang egois. Gw ingin lw jadi milik gw seorang padahal hati lw bukan untuk gw. Gw akan pernah mengekang lw lagi karena cinta tidak harus memiliki.”

Neysha membalikkan badannya, ia hendak masuk ke dalam ruang dansa. Baru beberapa meter Neysha berjalan Nandy pergi mengejar Neysha. Nandy menarik tangan Neysha, kini mata mereka saling bertatapan. Tanpa fikir panjang Nandy langsung memeluk Neysha. Neysha kaget dengan sikap Nandy dan akhirnya Neysha balas memeluk Nandy dengan sangat erat. Neysha tidak ingin melepaskan pelukannya, ia ingin waktu agar dapat berhenti.

Air mata Neysha kembali mengalir, tapi yang mengalir sekarang adalah air mata kebahagiaan. Nandy mulai melepaskan pelukannya. Mata mereka saling bertatapan kembali. Neysha dapat menyium aroma parfum Nandy. Pelan-pelan bibir Nandy semakin mendekat, kini Neysha bisa menghitung bulu mata Nandy. Rasa hangat mengalir ke seluruh tubuh Neysha. Fikiran Neysha melayang-layang, ia tidak bisa berkonsentrasi dan berfikir. Ciuman Nandy benar-benar terasa hangat meskipun malam itu sangat dingin. Nandy mengakhiri ciumannya dengan Neysha, kini wajah Neysha dan Nandy sama-sama merah seperti udang rebus.

“Gw tahu kalo gw emang ga berguna. Gw Cuma bisa bikin lw menderita. Tapi, mulai sekarang gw akan berusaha buat jadi laki-laki yang terbaik buat lw. Gw akan jadi apapun yang lw mau !”

***

Page 32: The hardest word

Bab 4

Pagi itu udah benar-benar dingin. Hujan turun dengan derasnya. Waktu telah menunjukkan pukul 10 pagi tetapi Shafa masih tertidur dengan nyeyaknya. Babysitter keluarga Dwi Antranata hendak membangunkan Shafa. Beberapa kali ia mngetuk pintu kamar Shafa.

“Non, Non Shafa udah jam 10 !” Tetapi tidak ada jawaban dari dalam kamar Shafa. “Non, Non Shafa !” Babysitter itu kembali mengetuk pintu kamar Shafa.

Rima yang sedang berjalan menghentikan langkahnya ketika melihat babysitter. Babysitter itu pun berhenti mengetuk pintu kamar Shafa. “Noni, lagi ngapain kamu di depan kamar Nona ?” Rima bertanya kepada Babysitter tersebut.

“Ini Nya, Non Shafa belum bangun.”

“Ya sudah kamu lanjutkan pekerjaanmu. Non Shafa biar saya yang bangunkan.”

“Baik Nya.”

Babysitter itu segera pergi meninggalkan kamar Shafa. Rima menuju kamar Shafa. Ia membuka pintu kamar Shafa dan masuk ke dalam kamar. Gaun yang Shafa pakai tadi malam berada di atas sofa. Sepatu tergelatak di bawah tempat tidur. Shafa kecapean karena ia pulang larut malam.

“Sayang, bangun dong. Udah siang nih !” Ucap Rima lembut sambil menarik selimut yang sedang Shafa pakai.

“Aduh Ma, aku masih ngantuk. 10 menit lagi deh !” Sambil menarik kembali selimutnya.

“Tapi kan kamu harus kuliah sayang.”

“Iya … iya … aku bangun.” Shafa bangun dari tempat tidur dengan mata yang masih tertutup.

“Jangan manja dong sayang. Gimana tadi malam pestanya ?”

Shafa membuka matanya dan merapihkan rambutnya dengan jari-jari tangannya. “Pestanya meriah banget ! Nandy terlihat keren banget.”

“Wah seneng dong ! Nah sekarang kamu cepetan mandi, kamu kan harus kuliah.”

“Iya … iya …” Jawab Shafa malas.

“Cepetan ya ! Mama tunggu di ruang makan.”

Page 33: The hardest word

Rima pergi meninggalkan kamar Shafa menuju ruang makan. Sekitar 30 menit kemudian Shafa sudah siap. Ia mengambil tas dan segera memakai sepatunya. Shafa membuka pintu kamar dan setengah berlari menuju ruang makan. Rima sedang membaca majalah sambil memakan sepotong roti.

Rima segera meletakkan majalahnya begitu melihat Shafa. “Nah gitu dong. Ini baru anak Mama ! Kalau gini kan cantik. Sayang, kamu mau makan sama apa ?” Tanya Rima lembut.

“Aduh Ma, aku udah telat ! Aku makan di jalan aja deh !” Sambil mengambil sepotong roti bakar. “Deno, susu yang ada di meja punya aku kan ?” Tanya Shafa kepada juru masak.

“Iya Non.” Jawab juru masak itu segera.

Shafa mengambil susu yang berada di atas meja dengan terburu-buru. Ia menyenggol piring yang ada di meja makan sehingga membuat gelas yang sedang ia pegang jatuh dan pecah. Pecahan kaca gelas itu mengenai tangan Shafa.

“Auw …!” Shafa spontan berteriak. Tangannya mulai mengeluarkan darah.

“Aduh, kamu ga hati-hati sih. Mbo cepet telepon dokter !” Perintah Rima kepada pembantu dengan panic.

“Ga usah panggil dokter Ma ! Masa luka kecil kayak gini aja sampai panggil dokter. Aku kan udah besar. Ini sih pake obat merah juga sembuh.” Sambil meniup-niup lukanya.

“Tapi sayang …”

“Aku berangkat Ma !” Sambil mencium pipi Rima. Shafa segera keluar rumah, hujan masih terus turun dengan derasnya. Ia menyetir sambil mendengarkan radio. Lagu itu terdengar putus-putus karena hujan yang begitu deras.

“Ciiiiittt …… !”

Shafa mengerem mobilnya dengan segera. Ia nyaris menabrak seorang anak kecil. Tubuh Shafa melemas dan ia berkeringat, telat beberapa detik saja anak kecil itu mungkin sudah mati tertabrak. Anak kecil itu segera bangun dan tersenyum kecil kepada Shafa. Senyum anak kecil itu terasa aneh dan menyeramkan. Anak kecil itu segera pergi berlari meninggalkan Shafa di tengah hujan lebat. Ia merasakan suatu firasat yang tidak enak.

Ia segera memarkirkan mobilnya dengan cepat. Hari ini lapangan parker terlihat lengang. Hanya terlihat beberapa kendaraan saja yang terparkir. Universitas terlihat seperti bangunan mati. Terlihat beberapa orang berlalu-lalang

Page 34: The hardest word

di dalam kampus. Hari ini banyak mahasiswa dan mahasiswi yang tidak kuliah. Shafa segera menuju kantin, ia berharap ada sedikit keramaian di sana. Pendapat Shafa benar, kantin memang terlihat lebih sepi dari biasanya tapi tempat ini terlihat lebih ramai dari tempat-tempat lain di kampus. Ia mencari tempat duduk yang ada di belakang dan jauh dari keramaian. Ia memesan segelas jus apel dan sepiring nasi goring.

Tiba-tiba ia teringat akan masa lalunya. Ketika ia masih SD, ia berteman dekat dengan Nandy. Setiap hujan datang Shafa selalu bermain dengan Nandy. Nandy selalu ada saat ia butuhkan. Semuanya terlihat jelas dalam bayangan Shafa. Tapi semenjak masuk SMP sikap Nandy berubah terutama setelah ibunya meninggal. Ketika itu Nandy tiba-tiba datang ke rumah Shafa. Pakaiannya basah dan kotor karena kehujanan dan terkena cipratan lumpur. Sambil menangis Nandy bercerita tentang ibunya, bagaimana ibunya meninggal dan mulai saat itu Nandy mulai menjauhi Shafa.

Orang-orang mulai berdatangan ke kantin. Cuaca yang dingin membuat perut cepat lapar. Neysha sedang kebingungan mencari tempat duduk, ia melihat Shafa sedang asyik makan sambil membaca majalah. Neysha segera menghampiri Shafa dan langsung duduk di depan Shafa.

“Sendiri aja Non ?” Tanyanya kepada Shafa. “Boleh gabung ga ?” Neysha bertanya dengan nada bercanda.

“Tumben-tumbenan pake permisi. Biasanya juga langsung nyelonong.”

“Kok gitu sih ngomongnya.” Masih dengan nada bercanda. “Gila ! Hari ini dingin banget sih.” Ucap Neysha sambil menggosok-gosok tangannya. “Gimana pestanya kemarin ? Seru kan ?”

“Iya seru.” Jawab Shafa sekenanya.

“Pokoknya, kemaren gw seneng banget ! Lw tahu ga kenapa ?” Dengan bersemangat dan wajah yang merah Neysha berbicara kepada Shafa.

“Ga tahu tuh. Emangnya ada apaan sih ?”

“Tahu ga ? Kemaren malem gw jadian sama Nandy !” Neysha mengatakannya dengan setengah berteriak. Senyum terus terkembang di bibirnya. Shafa yang sedang meminum jus mendadak tersedak. “Ga usah kaget gitu dong. Tadinya Nandy ga mau jadi cowo gw. Tapi untungnya Nandy sadar kalau gw yang Cuma bisa bikin dia bahagia.”

Rasa kesal dan marah menjalar di dalam tubuh Shafa. Dadanya mulai terasa sesak dan panas. Hatinya menjadi hancur berkeping-keping seperti ada yang menusuknya dengan pisau. “Terus ?” Shafa berkata dengan berat hati, suaranya bergetar menahan rasa marah. Sebenarnya ia tidak ingin tahu lagi apa yang terjadi selanjutnya.

Shafa ingin menghilang dan pergi jauh-jauh meninggalkan Neysha. Hujan semakin deras dan kantin telah bertambah ramai oleh orang-orang. Shafa

Page 35: The hardest word

meminum jus sambil memandangi air hujan yang jatuh ke tanah sedangkan Neysha tidak henti-hentinya bercerita.

“Fir, dia certain semua hal tentang dia sampai hal yang bener-bener pribadi.” Neysha tersenyum semakin lebar. “Dan yang tahu hal itu Cuma gw doing Fir ! Cuma gw doing !”

“Iya, iya.” Jawab Shafa tanpa ekspresi.

“Terus tadi malem Nandy cium gw. Itu first kissnya Nandy ! Gw bener-bener bahagia, gw bisa jadian sama cowo tercakep dan terpopuler di kampus ini.”

Kini mata Shafa mulai berkaca-kaca. Air matanya keluar membanjiri pipinya yang kecil. Ia tahu kalau menyukai dan menyayangi seseorang adalah hak setiap manusia tapi ternyata menyukai Nandy adalah suatu kesalahan besar. Ia tak menyangka kalau ia akan menderita karena sahabatnya sendiri. Sahabat yang dulu selalu ada saat ia butuhkan. Rasa kesalnya telah memuncak, Shafa berdiri dari tempat duduknya dan menatap mata Neysha dengan serius.

“Loh Fir, lw kenapa ? Lw sakit ya ?” Tanya Neysha panic begitu melihat wajah Shafa. “Gw anter lw ke rumah sakit ya.”

“Cukup Ney, gw ga bisa lagi temenan sama orang seperti lw !”

“Fir, lw pasti beneran sakit. Omongan lw bener-bener ngaco.”

“Udah deh Ney lw ga usah munafik ! Selama 2 tahun gw pergi buat ngelupain ini semua. Tadinya gw seneng karena bisa ketemu sama lw lagi. Tapi sekarang gw malah tambah menderita setelah ketemu sama lw !”

Lw ngomong apa sih Fir ? Gw ga ngerti sama apa yang lw omongin. Kalau kata-kata gw bikin lw marah tolong maafin gw.”

“Udah deh, lw ga usah sok baik !” Amarah Shafa meledak-ledak. Kini semua mata tertuju pada mereka berdua. “Gw benci sama orang yang makan temen sendiri !”

“Fir, gw ga ngerti sama apa yang lw omongin.”

“Gw udah muak sama kebohongan ini. Gw ini Shafa bukan Shafira. Puas !” Shafa kembali berteriak. Semua orang berhenti melakukan aktifitas dan menengok ke arah mereka bahkan beberapa orang mahasiswa bergerak mendekati Neysha dan Shafa untuk melihat lebih dekat.

“Shafa ?” Tanya Neysha heran.” Tapi Shafa kan … ?”

“Kenapa ? Karena Shafa jelek ? Gw lakuin ini semua buat Nandy sang pujaan hati lw ! Apapun rela gw lakuin buat dia. Gw rela operasi plastic demi Nandy. Gw bisa ganti nama gw di absensi dosen, gw bisa ganti akte kelahiran dan ijazah gw. Semunya buat siapa ? Cuma buat orang yang lw kasihi. Semuanya buat Nandy !”

Page 36: The hardest word

“Shafa …” Panggil Neysha lembut. “Apa ini benar-benar kamu ?”

“Ga usah jadi pahlawan kesiangan dengan berpura-pura baik. Lw orang yang beruntung. Lw bisa dekat dengan Nandy tanpa membuat Nandy kesal sedangkan gw ? Gw Cuma bisa bikin Nandy kesal. Di hati Nandy ga pernah ada gw ! Lw ga tahu kan gimana rasanya dibenci sama orang yang lw sayang. Lw ga tahu kan !” Amarah Shafa meledak-ledak. “Rasanya benar-benar sakit. Andaikan aja Nandy bisa bersikap baik sama gw, andaikan aja Nandy gw bisa berbicara dengan Nandy tanpa membuatnya kesal itu merupakan anugerah yang tidak terkira mesipun itu hanya dalam mimpi. Sedangkan lw dapet semuanya ! Ini benar-benar ga adil !”

“Shafa, lw ga tahu kejadian yang sebenarnya.”

“Kejadian apa ? Kejadiaan saat lw berduaan dengan Nandy. Gw akuin gw kalah dan lw menang. Sekarang mendingan lw jaga Nandy baik-baik. Jangan pernah sia-siain dia !”

“Shafa maafin gw !” Mata Neysha mulai berkaca-kaca. Wajah Neysha mulai memerah dan memanas, ia sudah tidak bisa lagi menahan tangisnya. “Gw tahu gw salah, sekarang gw bener-bener nyesel Shaf. Please maafin gw !”

“Udahlah Ney ! Ga usah kayak anak kecil !” Shafa berbicara ketus, suaranya terdengar ke seluruh penjuru kantin. “Sekarang gw ga akan ganggu lw lagi. Gw ga akan peduli dengan apa yang lw dan Nandy lakuin. Gw akan pergi jauh dari lw dan Nandy !”

Shafa meninggalkan Neysha yang masih berdiri dan menangis di kantin. Shafa berjalan meninggalkan kantin menuju halaman parker Universitas Indonesia. Semua mata memandangi Shafa ketika ia meneobos kerumunan orang-orang di kantin. Semua orang memandang jijik kepada Shafa.

Neysha terus menangis, air matanya jatuh sama derasnya dengan hujan yang turun. Ia jatuh berlutut, wajahnya tertunduk menatap lantai. Nandy segera datang begitu mengetahui Neysha dan Shafa menghilang. Ia mulai menerobos kerumunan orang hingga akhirnya ia menemukan orang yang ia cari yaitu Neysha. Nandy menghampiri Neysha, ia memeluk sambil membelai rambut Neysha. Nandy mengusap air mata Neysha dengan menggunakan punggung tangannya. Semua mata kini tertuju pada mereka berdua. Hal ini membuat Nandy merasa tidak nyaman.

“Ngapain sih kalian ngumpul di sini ? Ini bukan tontonan !” Suara Nandy bergetar saking marahnya. Kerumunan berangsur-angsur menghilang. Semua orang ketakutan begitu mendengar suara Nandy karena ia tidak pernah berbicara sekeras dan sekasar itu sebelumnya. Kerumunan pun berangsur-angsur menghilang. Nandy kembali memandang Neysha yang masih menangis.

“Apa yang terjadi ?” Nandy berkata lembut seraya membelai wajah Neysha.

Page 37: The hardest word

Neysha masih terus menangis dan tangisnya semakin kencang. Dengan tubuh yang berguncang dan suara yang bergetar karena menangis ia berbicara dengan terbata-bata kepada Nandy. “Shafira Nan ! Shafira …”

Nandy kaget mendengar jawaban Neysha. Ia takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. “Apa yang terjadi sama Shafira ? Shafira kenapa Ney ?” Tanya Nandy panic.

“Shafira itu ternyata Shafa.”

“Apa !” Dahi Nandy berkerut tanda ia tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Neysha. “Gw ga ngerti maksud lw !”

“Ternyata Shafira itu Shafa. Ternyata Shafira adalah orang yang selama ini lw cari.”

“Sekarang dia ada di mana ? Di mana ?” Nandy mengguncangkan tubuh Neysha yang sejak tadi masih terus menangis.

“Gw ga tahu !”

Sesaat suasana menjadi hening. Pikiran Nandy mulai terbuka, akhirnya ia mngerti mengapa ia selalu bersikap kasar kepada Shafira yang tidak lain adalah Shafa. Nandy merasa sangat bersalah karena ia telah menyakiti orang yang ia sayangi sebanyak 2 kali. Nandy berniat menyusul Shafa tapi niatnya terhenti begitu melihat Neysha. Neysha benar-benar terlihat menderita. Nandy tidak tega kalau harus meninggalkan Neysha, ia takut akan membuat Neysha lebih menderita.

Nandy sadar kalau ia tidak bisa berbuat apa-apa. Ia telah berjanji untuk membuat Neysha bahagia dan juga berjanji untuk selalu berada di sisi Neysha. Nandy berusaha menenangkan Neysha dan beberapa saat kemudian Neysha mulai tenang.

“Nandy …” Panggil Neysha pelan. “Lw mau gw bahagia kan ? Lw mau jadi apa aja demi gw kan ?” Neysha menatap mata Nandy dengan serius.

“Iya. Apapun akan gw lakuin buat lw, meskipun itu akan membuat gw menderita.”

“Nandy … gw minta jangan pernah tinggalin gw. Lw harus selalu ada di samping gw !” Air mata Neysha mengalir kembali. “Lw harus rela berkorabn demi gw, apapun yang terjadi.”

Nandy hanya diam, ia tidak tahu harus berkata apa. Dia memang menyukai Neysha tapi ia jauh lebih menyayangi Shafa. Sesaat ia berfikir dan kemudian ia menganggukkan kepalanya tanpa menatap Neysha.

“Lw harus tetep jadi milik gw ! Gw ga bisa hidup tanpa lw. Gw memang sayang sama Shafa tapi gw lebih sayang sama lw Nan ! Gw ga akan ngebiarin siapapun mengambil lw dari tangan gw !”

Page 38: The hardest word

Neysha langsung memeluk Nandy kuat-kuat. Neysha tidak mau melepaskan pelukannya. Hujan terus turun dengan deras seolah menggambarkan perasaan Nandy saat itu. Suasana menjadi semakin dingin. Bibir Neysha mulai mendekati bibir Nandy. Pelan dan pelan hingga akhirnya bibir Neysha menyentuh bibir Nandy. Air mata Neysha mulai mengalir. Kini air mata Neysha mulai mengenai pipi Nandy. Nandy tidak bisa berbuat apa-apa, ia hanya diam tidak bergerak. Nandy tidak merasakan apa-apa, dadanya menjadi sesak begitu bibir Neysha menyentuh bibirnya. Sekarang Nandy telah menyakiti hati Shafa kembali. Ada sesuatu yang mengganjal di dalam hatinya tapi ia tidak mengerti dengan perasaannya sendiri. Ia ingin memberontak dan segera pergi dari situ untuk menyusul Shafa tapi ia tidak bisa melakukannya. Neysha mengakhiri ciumannya, ia langsung menatap Nandy.

“Lw ga bisa berbuat ini sma gw !” Neysha memukul-mukul bahu Nandy. “Gw rela ngelakuin apa aja supaya lw bisa jadi milik gw tapi kenapa lw tega nyakitin hati gw ! Lw udah janji akan bikin gw bahagia, kalo gitu lw harus lupain Shafa ! Jangan pernah inget Shafa lagi. Shafa ga bisa berbuat apa-apa buat lw !”

Nandy segera memegang tangan Neysha sehingga membuat Neysha berhenti memukuli Nandy. Nandy menatap Neysha dengan sorot mata yang tajam. Kemarahan Nandy telah memuncak, ia tidak bisa lagi memaafkan Neysha. “Ney, lw bener-bener egois ! Gw nyesel pernah kenal sama orang kayak lw ! Lw memang bisa milikin badan gw tapi tidak untuk hati gw ! Hati gw akan selalu menjadi milik Shafa. Gw ga bisa sayang sama orang kayak lw !”

Neysha kembali terdiam, ia tidak pernah melihat Nandy bersikap seperti ini sebelumnya. Neysha mulai tertawa, tawanya terasa aneh dan janggal. Semakin lama tawanya semakin kencang. Tawanya mulai menghilang dan akhirnya Neysha mulai menangis. “Air mata gw udah kering. Gw cape kalo harus kayak gini terus. Ternyata cinta telah membutakan hati gw. Gw malah bikin lw menderita bukan bahagia. Gw memang bahagia karena bisa memiliki lw tapi gw akan jauh lebih bahagia kalo lw juga bahagia.”

“Neysha … !”

“Sekarang lebih baik lw kejar Shafa sebelum dia pergi jauh. Jangan pernah kehilangan Shafa untuk kedua kalinya.”

Tanpa fikir panjang Nandy langsung memeluk Neysha. Beberapa saat kemudian Nandy melepaskan pelukannya. “Ney, terima kasih untuk semuanya.”

Nandy segera berlari meninggalkan Neysha yang masih berada di kantin. Ia berlari sekencang-kencangnya menuju lapangan parker, menerobos kerumunan orang-orang. Langkahnya melambat ketika ia tiba di lapangan parker. Hujan mulai membasahi baju Nandy tapi ia tidak memperdulikannya, yang ada di benaknya adalah bertemu dengan Shafa.

Shafa adalah cinta pertama Nandy. Ia sudah menyukai Shafa sejak 12 tahun yang lalu. Shafa memang berbeda dengan anak-anak yang lain. Meskipun Shafa sangat kaya tapi ia tidak pernah sombong, ia mau berteman dengan siapa

Page 39: The hardest word

saja. Dulu Shafa adalah gadis yang cantik dan manis tapi suatu ketika ketika Shafa berusia 5 tahun ia mengalami sebuah kecelakaan. Kecelakaan itu tidak hanya membuat Shafa mejadi shock, kecelakaan itu pun membuat Shafa kehilangan wajahnya yang cantik. Tapi tidak ada yang mengetahui kalau kecelakaan itu akibat kesalahan Nandy. Waktu itu Nandy dan Shafa sedang bermain bola tangkap, tiba-tiba bola yang dilemparkan oleh Nandy melesat jauh ke jalan raya dan Shafa pun mengambil bola itu. Saat itu Nandy melihat sebuah truk besar mendekati Shafa. Nandy berniat untuk menolong Shafa tapi yang ia lakukan malah memperburuk keadaan. Nandy terpeleset dan mengenai tubuh Shafa sehingga membuat Shafa terdorong ke tengah jalan. Mungkin jika saat itu Nandy tidak melakukan hal bodoh, Shafa tidak akan mengalami cacat di wajahnya. Nandy benar-benar merasa bersalah saat itu tapi Shafa malah berterima kasih kepada Nandy karena menurut pendapat Shafa jika Nandy tidak ada mungkin ia sudah mati.

Sejak saat itu Nandy mulai menaruh hati kepada Shafa. Tapi selama itu selalu saja ada kejadian yang tidak diinginkan. Setiap Shafa bersama dengan Nandy, Shafa selalu mengalami hal yang sial bahkan tidak jarang membahayakan diri Shafa. Lambat laun sifat neh Nandy mulai terbentuk, ia merasa selalu membuat Shafa sedih dan menempatkan Shafa dalam bahaya jika Shafa berada dekat dengannya. Orang yang Nandy cintai mulai pergi meninggalkan Nandy karena tidak tahan dengan sikap Nandy. Teman-teman, guru, saudara bahkan ayah kandungnya sendiri pun pergi meninggalkan Nandy. Orang yang pada saat itu tidak membenci Nandy mungkin hanya Shafa dan ibunya. Satu persatu kejadian tidak menyenangkan pun terjadi. Temannya tertabrak mobil karena bermain kejar-kejaran dengan Nandy sehingga kepalanya harus mendapatkan beberapa jahitan. Ayahnya bercerai dari ibunya karena tidak tahan dengan sifap Nandy.

Puncaknya, ketika ibunya meninggal. Ia benar-benar shock dan frustasi. Sejak saat itu ia hanya hidup dengan kakaknya. Perasaan cinta yang mendalam terhadap ibunya membuat Nandy jatuh kedalam terpurukan. Semenjak itu, semua nilai mata pelajarannya turun. Ia menjadi sering terlibat perkelahian dan juga sering bolos ke sekolah.

Orang yang ia cintai selain ibunya adalah Shafa. Ia tidak bisa membayangkan dan benar-benar tidak sanggup jika harus kehilangan Shafa kembali. Oleh karena itu setelah kematian ibunya ia mulai menjauhi Shafa agar ia tidak terluka begitu Shafa pergi meninggalkannya. Sejak dulu ia ingin mengutarakan isi hatinya kepada Shafa tapi kata cinta itu sulit sekali untuk ia katakana. Setiap kali ia hendak mengucapkan kata itu malah kata lain yang ia keluarkan.

***

Mobil sedang silver yang sedang dicari oleh Nandy tidak ada di lapangan parker. Ia segera bertanya kepada orang-orang yang berada di sekitar tempat itu.

Page 40: The hardest word

Seseorang dari mereka mengaku melihat Shafa pergi meninggalkan Universitas dengan terburu-buru.

Nandy segera masuk ke dalam mobilnya, sebuah mobil Nissan blazer berwarna abu-abu. Dengan cepat Nandy pergi meninggalkan lapangan parker. Ia tidak tahu ke mana ia harus mencari Shafa tapi entah mengapa tangan dan kakinya bergerak sendiri seolah ada yang menggerakkan.

Shafa sedang menyetel tape keras-keras. Pikirannya kacau dan ia tidak tahu harus pergi ke mana. Kata-kata Neysha tentang Nandy masih melekat tajam dalam ingatannya. Ia membayangkan ketika Nandy sedang tersenyum, senyum yang mungkin tidak akan Shafa lihat lagi. Pikirannya terus membayangkan wajah Nandy. Wajah Nandy saat tersenyum, tertawa, marah dan juga kesal.

Shafa terus mengemudikan mobilnya. Semakin lama semakin cepat. Sambil menyetir Shafa menangis, air matanya terus mengalir dengan sendirinya. Ia tidak menyangka kalau cintanya akan berakhir seperti ini. Kini pikirannya dipenuhi oleh wajah Neysha dan Nandy. Ia memang tidak melihat saat Neysha berciuman dengan Nandy tapi ia terus saja membayangkan kejadian itu. Semakin ia larut dalam pikirannya, jantungnya berdetak semakin cepat.

Kini Shafa telah memasuki pintu tol. Ia tidak mempunyai tujuan, pikirannya kacau sehingga membuatnya tidak bisa berfiir jernih. Tanpa sadar ia menginjak gas, semakin lama kecepatannya semakin tidak terkendali. Hujan masih turun dengan deras membuat jalan menjadi licin dan tak terlihat. Shafa ingin berhenti menangis tapi air matanya terus mengalir sama derasnya dengan hujan yang turun.

Tanpa sadar Nandy mengemudikan mobilnya menuju jalan tol. Ia merasa bahwa ia akan menemukan Shafa di sini. Nandy terus mencoba menghubungi handphone Shafa tapi tidak ada jawaban. Nandy terus mencoba dan mencoba. Ia melajukan mobilnya semakin cepat. Dari kejauhan Nandy melihat mobil Shafa, dengan seksama ia berusaha melihat nomor polisi mobil itu.

“B 8385 SN !” Teriak Nandy. “Ya itu mobil Shafa, gw harus cepet ngejar Shafa.” Nandy menancap gas mobilnya kuat-kuat. 1, 3 dan akhirnya 5 mobil berhasil ia lewati. Kini ia hanya berjarak beberapa mobil saja dari mobil Shafa. Terlihat beberapa puluh meter di depan ada sebuah mobil yang sedang mogok. Tapi Shafa tetap melajukan mobilnya dengan cepat, ia tidak menyadari bahwa ada mobil yang sedang mobi berada di depannya.

Nandy terus mencoba menghubungi Shafa tapi tetap tidak ada jawaban. Mobil Shafa semakin mendekat. Tanpa fikir panjang Nandy menancap gas mobilnya kembali dengan kuat. Semuanya terjadi begitu cepat, kecelakaan pun tidak dapat dihindari. Shafa tersadar dari lamunanya begitu melihat ada mobil yang bertabrakan tepat di depan matanya. Shafa segera mengerem mobilnya, ia langsung keluar dari mobil. Shafa kaget melihat mobil Nandy berada di depannya. Ia berlari menghampiri mobil Nandy.

Page 41: The hardest word

Suasana menjadi ramai, semua mobil berhenti untuk melihat kejadian yang terjadi. Beberapa orang laki-laki bertubuh besar mengeluarkan Nandy dari dalam mobil. Shafa hanya bisa diam menatap Nandy yang pingsan dan tubuhnya terus mengeluarkan darah. Selang beberapa menit kemudian mobil ambulans pun tiba, Shafa membawa Nandy ke rumah sakit terdekat. Nandy masuk ke dalam ruang gawat darurat. Shafa terus menangis dan berdoa di ruang tunggu. Waktu seolah berjalan lambat. Siang telah berganti sore, sore telah berganti malam tapi tetap tidak ada perkembangan yang berarti. Shafa masih menunggu Nandy di ruang tunggu.

Matahari telah terbit di ufuk timur, wajah Shafa terlihat letih dan pucat. Ia baru tidur sekitar 2 jam. Seorang dokter keluar dari ruang gawat darurat, wajah dokter itu tampak kelelahan. Shafa bangun dari tempat duduknya dan segera menghampiri dokter tersebut.

“Dok, bagaimana keadaan Nandy ?” Suara Shafa terdengar parau karena sejak kemarin ia terus menerus menangis. “Apa Nandy baik-baik saja ?”

“Apa kamu keluarganya ?” Tanya dokter itu kepada Shafa.

“Saya bukan saudaranya, saya temannya. Anda bisa mengatakan apa yang terjadi kepada saya.”

“Sebelumnya maafkan aku.” Dokter itu menghela nafas panjang. “Kita terlambat, aku tidak bisa menyelamatkan nyawa Nandy.”

“Maksud dokter ?”

“Ya Nandy sudah meninggal.”

“Tidak !” Shafa berteriak. “Anda pasti bercanda. Aku tidak percaya, Anda pasti berbohong.”

“Maafkan aku, memang pahit menerima kenyataan ini tapi itulah kenyataannya. Ia telah peri untuk selamanya.”

Entah apa yang terjadi pada diri Shafa, ia sudah tidak bisa lagi menangis. Ia merasa separuh jiwanya hilang. Shafa masuk ke dalam ruang gawat darurat. Di ruangan itu sudah tidak ada lagi alat yang berfungsi. Semua peralatan sudah dibereskan. Di atas tempat tidur hanya ada tubuh Nandy yang diam tidak bergerak. Wajahnya penuh dengan kedamaian.

Shafa segera pulang menuju rumahnya untuk menenangkan diri. Ia melajukan mobilnya dengan sangat lambat seolah ingin waktu berhenti. Ia merasa sudah tidak lagi mempunyai tujuan hidup. Ia melewati sebuah taman kecil di dekat rumahnya. Ia berhenti dan turun dari mobilnya. Taman itu adalah tempat Nandy dan Shafa sering bermain keptika masih kecil, semuanya masih terlihat sama seperti dulu. Tanah yang luas dengan rerumputan hijau yang indah. Di tengah taman terdapat sebuah jungkat-jungkit. Kenangan itu kembali datang, ia seperti kembali ke masa lalunya. Ia melihat dirinya sedang bermain jungkat-

Page 42: The hardest word

jungkit dengan Nandy. Satu persatu kenangan tentang Nandy bermunculan dalam pikirannya dan membuat hati Shafa semakin hancur.

Shafa berjalan menuju pinggir taman, di dekat pohon besar itu terdapat sebuah ayunan. Dulu setiap pulang sekolah Shafa dan Nandy selalu bermain ayunan. Mereka berganti-gantian memakai ayunan tersebut. Hari semakin gelap, Shafa segera menuju mobilnya untuk pulang ke rumah. Di dekat pohon tempat ia biasa bermain dengan Shafa, ia melihat Nandy mengenakan pakaian putih yang bersih sedang tersenyum sambil melambaikan tangan kepada Shafa. Baru saja ia akan menghampirinya, sesosok tubuh Nandy sudah menghilang. Angin berhembus membelai wajah Shafa dengan lembut.

“Aku cinta kamu.” Suara Nandy terdengar lembut di telinga Shafa. Shafa segera membalikkan badannya dan berusaha mencari sumber suara tapi ia tidak berhasil menemukannya. Sesaat kemudian ia kembali menangis. Kata-kata itu adalah kata yang tidak terucapkan oleh Nandy kepada Shafa.

***