the growth asset and productivity dilemma pertumbuhan …

26
Pertumbuhan Aset Wakaf dan Dilema Produktifitas _659 The Growth Asset and Productivity Dilemma Pertumbuhan Aset Wakaf dan Dilema Produktifitas Zainul Arifin Lembaga Pusat Pemberdayaan Masyarakat (LP2M) email: zainul.arifi[email protected] Abstract: Indonesia holds large potential of waqf, but the potential has not been optimally managed and utilized. The Government, through the Ministry of Religious Affairs, has encourage productivity of land waqf by providing productive waqf. This give impact to the growth of waqf asset management results. However, when it com- pares to the magnitude of waqf assets, the revenue growth is still relatively small. This can be happen because most of waqf is landwaqf in Indonesia, the designation is a place of worship. In the other hands, another findings show, the Nazhir was not focused in managing waqf assets, they make as a sideline and not be rewarded. Abstraksi: Indonesia menyimpan potensi wakaf yang besar, tetapi potensi itu belum dikelola dan dimanfaatkan secara optimal. Pemerintah, melalui Kementerian Agama, juga telah mendorong produktifitas tanah wakaf dengan memberikan bantuan wakaf produktif. Hal ini berdampak pada pertumbuhan pendapatan hasil pengelolaan aset wakaf. Tetapi, jika dibandingkan dengan besarnya aset wakaf, pertumbuhan

Upload: others

Post on 09-Nov-2021

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Pertumbuhan Aset Wakaf dan Dilema Produktifitas _659

The Growth Asset and Productivity Dilemma

Pertumbuhan Aset Wakaf dan Dilema Produktifitas

Zainul Arifin Lembaga Pusat Pemberdayaan Masyarakat (LP2M)

email: [email protected]

Abstract: Indonesia holds large potential of waqf, but the potential has not been optimally

managed and utilized. The Government, through the Ministry of Religious Affairs,

has encourage productivity of land waqf by providing productive waqf. This give

impact to the growth of waqf asset management results. However, when it com-

pares to the magnitude of waqf assets, the revenue growth is still relatively small.

This can be happen because most of waqf is landwaqf in Indonesia, the designation

is a place of worship. In the other hands, another findings show, the Nazhir was

not focused in managing waqf assets, they make as a sideline and not be rewarded.

Abstraksi: Indonesia menyimpan potensi wakaf yang besar, tetapi potensi itu belum dikelola

dan dimanfaatkan secara optimal. Pemerintah, melalui Kementerian Agama, juga

telah mendorong produktifitas tanah wakaf dengan memberikan bantuan wakaf

produktif. Hal ini berdampak pada pertumbuhan pendapatan hasil pengelolaan

aset wakaf. Tetapi, jika dibandingkan dengan besarnya aset wakaf, pertumbuhan

660_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

pendapatan tersebut masih terbilang kecil. Ini bisa terjadi karena sebagian besar

tanah wakaf di Indonesia, peruntukannya adalah tempat ibadah. Di samping itu,

temuan lain juga menunjukkan, para nazhir ternyata tidak terfokus dalam men-

gelola aset wakaf, mereka jadikan sebagai pekerjaan sambilan dan tidak diberi upah.

Keywords: Waqf Asset, productivity, Ministry of Religious Affairs

A. Pendahuluan

Wakaf sejatinya mempunyai kedudukan penting di mata umat Islam. Meski begitu, tak banyak umat Islam Indonesia yang menyadari hal ini. Jika disejajarkan dengan instrumen filantropi lain dalam Islam, masyarakat Indonesia lebih mengenal dan familiar dengan Zakat, Infak, dan Shadaqah (ZIS), dibanding wakaf. Padahal, pada dasarnya, instrument wakaf tak kalah strategis untuk pemberdayaan masyarakat, pembangunan ekonomi bangsa, dan kesejahteraan sosial.

Letak strategis itu terlihat, misalnya jika dibanding zakat, salah satu ciri pembeda adalah tugas pengelola. Amil zakat berkewajiban untuk mendistribusikan “seluruh” harta zakat yang terkumpul kepada 8 golongan (mustahiq). Sedang pengelola wakaf (nazhir) harus menjaga harta wakaf agar tetap “utuh” dan mengelolanya, yang dapat didistribusikan kepada masyarakat adalah manfaat atau hasil pengelolaan dari harta yang diwakafkan (mauquf).

Nilai stategis wakaf juga dapat ditilik dari sisi pengelolaan. Jika zakat ditujukan untuk menjamin keberlangsungan pemenuhan kebutuhan pokok kepada “8 golongan”, maka wakaf lebih dari itu. Hasil pengelolaan wakaf bisa dimanfaatkan berbagai lapisan masyarakat, tanpa batasan golongan, untuk kesejahteraan sosial, pemberdayaan, dan membangun peradaban umat. Karena itu, keutamaan wakaf terletak pada hartanya yang utuh atau kekal, dan manfaatnya yang terus berlipat dan mengalir

Pertumbuhan Aset Wakaf dan Dilema Produktifitas _661

abadi. Karena itu, pahala wakaf tidak akan terputus meski wakif (orang yang berwakaf) sudah tutup usia.

Berdasarkan ijma ulama, inilah yang dimaksud Rasulullah saw. dengan “shadaqah jariyah,” seperti tercermin dalam sabdanya, “Apabila anak Adam meninggal maka terputuslah semua amalnya kecuali tiga perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak soleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim). Imam Nawawi dalam kitabnya, Syarh Shahih Muslim mempertegas, yang dimaksud dengan shadaqah jariyah dalam hadis tersebut adalah wakaf. Hakikat wakaf, menurutnya, adalah menahan harta (nilai pokok) dan membagikan hasil pengelolaannya.1

Dengan demikian, wakaf mempunyai dua dimensi manfaat yang tak bisa dipisahkan, yaitu meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dengan pendistribusian hasil pengelolaan dan mengunduh hasil investasi pahala yang ditanam di dunia untuk dipetik di akhirat kelak. Karenanya, wakaf juga disebut sebagai ibadah sosial. Ini adalah jenis ibadah yang lebih berorientasi pada habl min al-nas, hubungan manusia dengan manusia dan lingkungannya, atau biasa juga disebut kesalehan sosial. Berwakaf bagi seorang muslim merupakan realisasi ibadah kepada Allah melalui harta benda yang dimilikinya, yaitu dengan melepas benda yang dimilikinya (private benefit) untuk kepentingan umum (social benefit). Pada titik inilah yang menjadikan pahala wakaf terus mengalir.

Begitu besar keutamaan dan manfaat wakaf bagi kehidupan masyarakat dan peningkatan taraf hidup serta kesejahteraan dalam berbangsa dan bernegara. Jika wakaf didayagunakan dengan baik dan benar maka kesejahteraan di bumi pertiwi ini bukanlah sesuatu yang muhal.

B. Kekayaan Aset Tanah Wakaf

Aset wakaf berupa tanah dan bangunan merupakan potensi besar yang menempatkan wakaf sebagai asset besar umat Islam. Tercatat ada beberapa aset wakaf yang bernilai tinggi, diantaranya beberapa contoh

662_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

asset wakaf di Jakarta yang memilki potensial besar seperti, Masjid Baitul Mughni di Gatot Subroto, Jaksel; Masjid Said Naum di Tanah Abang, Jakpus; Masjid Raya Pondok Indah, Jaksel, Masjid Agung Sunda Kelapa, wakaf Darul Aitam di Tanah Abang, Jakpus; Masjid Hidayatullah di Jl Sudirman, Jakarta dan beberapa masjid lainnya di Jakarta.2 Kesemuanya tentu sangat bernilai tinggi.

Pemanfaatan aset wakaf adalah langkah awal menuju optimalisasi pemanfaatan wakaf. Menurut Mustafa Edwin Nasution, ahli ekonomi Islam, wakaf bisa menjadi tulang punggung kemakmuran, kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia baik untuk dunia maupun akhirat. Dikarenakan, hal tersebut bukanlah yang susah melainkan hal yang harus dirubah dalam karakter dan pemahaman tentang bagaimana masyarakat memberikan sesuatu yang sederhana untuk menjadi sesuatu yang besar.3 Maka, pemanfaatan aset wakaf menjadi produktif adalah sesuatu yang urgen untuk segera direalisasikan.

Aset wakaf berupa tanah atau bangunan, tak jarang menjaid obyek sengketa atau bahkan pengambil alihan. Menurut BWI, Masjid dan Mushola yang dibangun dari tanah wakaf banyak dimanfaatkan oleh pihak lainnya. Bahkan tak jarang banyak tanah yang diserobot dan dibangun untuk gedung komersial dan hal tersebut telah banyak terjadi di Jakarta.4 Hal itu itu terjadi karena tanah wakaf tersebut berdiri ditanah negara.

Menurut Achmad Djunaedi dari BWI, sebelum adanya tanah wakaf, tanah yang ada di Indonesia merupakan tanah negara dan banyak warga Indonesia pada saat itu mendirikan bangunan diatasnya. Sehingga, tanah wakaf tersebut tidak memiliki akta atau sertifikat. Tanah yang tidak bersertifikat dan tidak berakta tersebut kemudian diwakafkan kepada nazhir (orang yang memegang amanat untuk memeliharta dan menyelenggarakan harta wakaf sesuai dengan tujuan perwakafan tersebut) yang masih menggunakan cara tradisional dan tidak memiliki ilmu dalam mengelola wakaf. Akibatnya, terjadilah sengketa antara nazhir dan pihak pengelola bangunan memperebutkan kepemilikan

Pertumbuhan Aset Wakaf dan Dilema Produktifitas _663

tanah wakaf dimaksud. Keduanya merasa sama-sama berhak; nazhir mempunyai sertifikat, sementara pengelola bangunan juga memiliki sertifikat atas tanah tersebut.5

Data pada Ditjen Bimas Islam juga menujukkan angka yang fantastik. Hingga tahun 2014, jumlah lokasi tanah wakaf tercatat sebanyak 435.395 lokasi yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia, dengan luas menca-pai 4.142.464.288.366 m. Dari jumlah lokasi tersebut 288.429 (66%) lo ka-si di antaranya sudah mempunyai sertifikat, sedangkan sisanya 146.966 (34%) lokasi belum bersertifikat dengan rincian sebagai berikut: dalam proses di BPN 3.2157 lokasi (22%), dalam proses KUA, 72.082 lokasi (49%), belum AIW 42.727 lokasi (29%). Status lokasi tanah wakaf tersebut digambarkan sebagai berikut :

Gambar 1Status tanah wakaf6

Gambar 2Status tanah wakaf belum bersertifikat7

664_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

Dengan total luas tanah wakaf 4.142.646.287,906 m2, tahun 2013 ini Provinsi Banten memiliki luas tanah wakaf terluas sebesar 8.039.298.377,800 m2, Provinsi Riau seluas 11.429.968.288 m2. 10.80.551.544.34, dan Provinsi Aceh seluas 767869011.58 m2. Dari segi jumlah lokasi, provinsi Jawa Tengah tercatat merupakan provinsi yang mempunyai lokasi tanah wakaf terbanyak yaitu 103.294 lokasi, disusul Jawa Barat sebanyak 70.860 lokasi dan Jawa Timur 74.429 lokasi.

Pada saat yang bersamaan, proses optimalisasi aset wakaf tak bisa dilepaskan dari eksistensi Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) yang mana seluruh Indonesia tercatat berjumlah 5.382 orang dan tersebar pada seluruh KUA Kecamatan. Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf atau disingkat dengan PPAIW menurut ketentuan Umum Undang-undangNomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf adalah pejabat berwenang yang ditetapkan oleh Menteri Agama Republik Indonesia untuk membuat Akta Ikrar Wakaf (AI\Xl). Yang dimaksud dengan pejabat disini adalah orang yang diberikan tugas dan kewenangan yang sah menurut hukum untuk membuat AIW Sedangkan AIW adalah bukti pernyataan kehendak Wakif untuk mewakafkan harta benda miliknya guna dikelola Nazhir (pengelola waka£) sesuai dengan peruntukan harta benda wakaf yang dituangkan dalam bentuk “akta.”8

Akta Ikrar Wakaf (AIW) termasuk dalam kategori akta otentik karena dibuat oleh pejabat yang berwenang yang ditunjuk oleh Menteri Agama, baik dari unsur Kepala KUA maupun notaris yang telah memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nonor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.9 Akta merupakan salah satu alat bukti tertulis (surat) sebagaimana diatur dalam pasal138, 165, 167 HIR; 164,285-305 Rbg dan pasal1867- 1894 KUH Per. Keharusan ditandatanganinya suatu akta didasarkan pada ketentuan pasal 1869 KUH Per, dengan tujuan untuk mengindividualisir suatu akta sehingga dapat membedakan dari satu akta dengan yang lainnya.10

Pertumbuhan Aset Wakaf dan Dilema Produktifitas _665

Secara ex-officio kepala KUA adalah pejabat pembuat akta ikrar wakaf (PPAIW), sehingga jum lah PPAIW sama dengan jumlah kecamatan. Provinsi Jawa Timur ter ca tat sebagai daerah yang mempunyai PPAIW paling banyak yaitu 661 (12,28%) orang, disusul oleh Jawa Barat dan Jawa Tengah masing-masing 618 (11,48%) orang dan 579 (10,76%) orang.11

Gambar 3Jumlah PPAIW di Indonesia Tahun 2014

C. Produktifitas dan Pertumbuhan Aset

Paradigma pengelolaan wakaf kini tak lagi asal-asalan. Para pelaku perwakafan telah menempatkannya dalam peran yang sangat penting dalam berbagai aktifitas sosial, ekonomi dan kebudayaan. Wakaf misalnya, telah menjadi pendorong lahirnya layanan kesehatan, pemberdayaan ekonomi serta pemberdayaan ummat. Bahkan, keberadaan wakaf juga telah banyak memfasilitasi parasarjana dan mahasiswa melakukan riset dan pendidikan, sehingga mengurangi ketergantungan dana pada pemerintah. Keberadaan wakaf juga terbukti telah banyak membantu bagi pengembangan ilmu-ilmu medis melalui penyediaan fasilitas-fasilitas publik dibidang kesehatan dan pendidikan. Bahkan pendidikan medis kini tidak hanya diberikan oleh sekolah-sekolah medis dan rumahsakit saja, akan tetapi juga telah diberikan oleh masjid-masjid dan universitas-universitas seperti al-Azhar kairo Mesir yang dibiayai dari dana hasil pengolaan aset wakaf. Inilah peran baru wakaf yang menegaskan bahwa institusi wakaf telah menjalankan sebagian tugas-tugas pemerintah.12

666_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

Sejarah mencatat keberhasilan beberapa generasi Islam dalam mengelola wakaf untuk kesejahteraan umat. Salah satunya adalah dinasti Ayyubiyah di Mesir. Kebijakan dinasti Ayyubiyah menempatkan bahwa wakaf tidak hanya sebatas pada benda tidak bergerak saja, akan tetapi juga benda bergerak semisal wakaf tunai. Maka pada tahun 1178 M / 572 H, dalam rangka mensejahterakan ulama dan kepentingan misi madhhab Sunni, sang khalifah, Salahuddin al-Ayyubi, mengeluarkan kebijakan bahwa setiap orang Kristen yang datang untuk berdagang diwajibkan membayar cukai. Dan uang hasil pembayaran tersebut dikumpulkan untuk selanjutnya diwakafkan kepada para ulama dan para keturunannya.13

Irfan Syauki Bek, salah satu praktisi perwakafan, menegaskan bahwa fakta pun telah menunjukkan banyak lembaga yang bisa bertahan dengan memanfaatkan dana wakaf, dan bahkan memberikan kontribusi yang signifikan. Sebagai contoh adalah Universitas Al Azhar Mesir, PP Modern Gontor, Islamic Relief (sebuah organisasi pengelola dana wakaf tunai yang berpusat di Inggris), dan sebagainya. Islamic Relief mampu mengumpulkan wakaf tunai setiap tahun tidak kurang dari 30 juta poundsterling, atau hampir Rp 600 miliar, dengan menerbitkan sertifikat wakaf tunai senilai 890 poundsterling per lembar. Dana wakaf tunai tersebut kemudian dikelola secara amanah dan profesional, dan disalurkan kepada lebih dari 5 juta orang yang berada di 25 negara. Bahkan di Bosnia, wakaf tunai yang disalurkan Islamic Relief mampu menciptakan lapangan kerja bagi lebih dari 7.000 orang melalui program Income Generation Waqf.14

Menurut A. Faishal Haq, peneliti IAIN Sunan Ampel Surabaya, upaya konkrit yang dapat dilakukan agar wakaf tunai dapat berkembang, familier, diserap dan dipraktekkan masyarakat secara luas yang perlu diperhatiakan adalah :

1. Konsep dan Strategi dalam menghimpun dana ( fund rising ) yaitu bagaimana wakaf tunai tersebut dimobilisasi secara maksimal dengan

Pertumbuhan Aset Wakaf dan Dilema Produktifitas _667

memperkenalkan produk Sertifikat Wakaf Tunai yang besarannya disesuaikan dengan segmentasi sasaran yang akan dituju.

2. Pengelolaan Dana dari Wakaf Tunai harus mempertimbangkan aspek produktifitas kemanfaatan dan keberlanjutan dengan memperhatikan tingkat visibelitas dan keamanan investasi, baik investasi langsung dalam kegiatan sektor riil produktif maupun dalam bentuk deposito pada bank syari’ah, investasi penyertaan modal ( equty invesment ) melalui perusahaan modal ventura dan investasi portofolio painnya.

3. Distribusi hasil kepada penerima manfaat ( beneficaries ) dapat diklasifikasikan sesuai dengan kebutuhan mendesak masyarakat dalam skala prioritas sesuai dengan orientasi dan tujuan wakif baik berupa penyantunan (charity), pemberdayaan ( empowerment ), invertasi sumber daya insani (human investment), maupun investasi infra struktur (infra struktur invesment). Pilihan-pilhan tersebut tentunya dengan memperhatikan ketersediaan dana dari hasil wakaf tunai yang dikelola.15

Pengelolaan wakaf secara profesional juga diwujudkan Ditjen Bimas Islam melalui kebijakan strtaegis berupa wakaf produktif. Kementerian Agama dalam hal ini Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam memiliki peran sebagai fasilitator, dinamisator, pembuat kebijakan dan mitra umat dalam menggalang potensi wakaf dan membangkitkan partisipasi umat untuk memberdayakan tanah wakaf. Dalam upaya membangkitkan partisipasi umat tersebut, telah memberikan bantuan stimulus kepada Nazhir (pengelola tanah wakaf) yang memiliki potensi ekonomi tinggi untuk memberdayakan, mengelola dan mengembangkan tanah wakaf dengan mendirikan jenis-jenis usaha produktif sebagai percontohan wakaf produktif.

668_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

No. Tahun Jumlah Lokasi Nilai Bantuan

1 2005 5 4.400.000.000 2 2006 13 20.000.000.000 3 2007 4 5.500.000.000 4 2008 - - 5 2009 6 3.000.000.000 6 2010 13 2.500.000.000 7 2011 23 9.750.000.000 8 2012 11 3.750.000.000 9 2013 17 8.000.000.000 92 56.900.000.000

Tabel 1Sebaran bantuan wakaf produktif

berdasarkan lokasi dari Tahun 2005-201316

Sejak tahun 2005 hingga 2013, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam telah memberikan bantuan pemberdayaan wakaf produktif bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang tersebar di 92 lokasi pada 25 provinsi dengan total Rp 56.900.000.000,- (lima puluh enam milyar sembilan ratus juta rupiah).

NO Provinsi Nilai Bantuan

Jumlah Lokasi

% Nilai Bantuan

% Lokasi

1 Aceh 500.000.000 1 0,88 1,09

2 Sumatera Utara 2.000.000.000 1 3,51 1,09

3 Sumatera Barat 300.000.000 1 0,53 1,09

4 Sumatera Selatan

550.000.000 2 0,97 2,17

5 Lampung 500.000.000 1 0,88 1,09

6 Bangka Belitung 400.000.000 1 0,70 1,09

Pertumbuhan Aset Wakaf dan Dilema Produktifitas _669

7 DKI Jakarta 1.700.000.000 4 2,99 4,35

8 Jawa Barat 11.605.500.000 21 20,40 22,83

9 Jawa Tengah 15.572.000.000 17 27,37 18,48

10 DI Yogyakarta 1.156.000.000 3 2,03 3,26

11 Jawa Timur 3.800.000.000 5 6,68 5,43

12 Banten 4.150.000.000 5 7,29 5,43

13 Bali 955.500.000 5 1,68 5,43

14 Nusa Tenggara Barat

955.500.000 3 1,68 3,26

15 Nusa Tenggara Timur

550.000.000 2 0,97 2,17

16 Kalimantan Barat

500.000.000 1 0,88 1,09

17 Kalimantan Tengah

550.000.000 2 0,97 2,17

8 Kalimantan Timur

500.000.000 1 0,88 1,09

19 Sulawesi Utara 400.000.000 1 0,70 1,09

20 Sulawesi Tengah

1.450.000.000 3 2,55 3,26

21 Sulawesi Selatan

6.755.500.000 8 11,87 8,70

22 Sulawesi Tenggara

1.000.000.000 1 1,76 1,09

23 Maluku 600.000.000 1 1,05 1,09

670_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

24 Maluku Utara 50.000.000 1 0,09 1,09

25 Papua Barat 400.000.000 1 0,70 1,09

56.900.000.000 92 100,00 100,00

Tabel 2Sebaran bantuan wakaf produktif

berdasarkan provinsi Tahun 2005–201317

Bantuan wakaf produktif ini diarahkan dalam dua tujuan besar. Pertama, optimalisasi pemanfaatan aset wakaf menjadi produktif. Harus diakui bahwa masih banyak aset wakaf yang tidak produktif, tanah menganggur dan sebagainya. Walhasil, aset tanah yang seharusnya menghasilkan income bagi umat, justru tak berguna. Dan, melalui bantuan wakaf produktif inilah tanah aset wakaf tersebut dihidupkan lebih produktif.

Kedua, menjadi stimulus dan daya tarik bagi pengembangan model wakaf produktif. Dari data yang diperoleh tergambar bahwa ada varian yang beragam model pengembangan usaha wakaf, misalnya minimarket, pertokoan, hotel dan kamar kos. Model pengembangan ini tentu belumlah disebut berhasil, akan tetapi menjadi langkah awal untuk merumuskan kebijakan lebih besar bagi pemanfaatan wakaf produktif. Dalam arti lain, model pemanfaatan wakaf produktif diharapkan mendorong lahirnya inovasi-inovasi yang memungkinkan aset wakaf dikelola lebih produktif.

No. Penggunaan Nilai Bantuan Jumlah Lokasi

1 Hotel dan Kamar Kos 3.300.000.000 5

2 Pertokoan 10.000.000.000 9

3 Mini Market 16.200.000.000 28

4 Gedung Pendidikan 2.700.000.000 2

Pertumbuhan Aset Wakaf dan Dilema Produktifitas _671

5 Gedung Serba Guna 3.100.000.000 3

6 Bisnis Center 4.900.000.000 4

7 peternakan 7.300.000.000 15

8 Rumah Sakit 2.500.000.000 2

9 SPBU 2.000.000.000 1

10 Apotik 500.000.000 1

11 Percetakan 400.000.000 1

12 Meubelair 350.000.000 1

13 Home Industri 650.000.000 2

14 Perikanan 400.000.000 1

15 Koperasi 1.900.000.000 4

16 Usaha Mikro 700.000.000 13

56.900.000.000 92

Tabel 3Sebaran bantuan wakaf produktif18

berdasarkan penggunaan di Seluruh Indonesia Tahun 2005–2013

Kita dapat melihat bagaimana pertumbuhan aset wakaf cukup memuaskan, yangmana hal ini juga berdampak pada peningkitan pendapatan. Berdasarkan data pada Ditjen Bimas Islam, bahwa pada periode tahun 2008, jumlah asset secara kumulatif sebesar Rp34,500.960.765,- (tanpa Kuningan, Medan, Magelang, Kupang, dan Buaran Pekalongan). Dan, Jumlah pendapatan secara kumulatif sebesar Rp12.057.429.632,- dengan rata-rata pendapatan sebesar Rp803.828.308,-/tahun/lokasi. Sedangkan pada periode tahun 2009, jumlah aset secara kumulatif sebesar Rp45.731.642.716.,- (tanpa Kuningan, Medan, Kupang,

672_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

Poso, dan Magelang serta penerima bantuan tahun 2009). Jumlah pendapatan secara kumulatif sebesar Rp16.576.132.386,- dengan rata-rata pendapatan sebesar Rp1.036.008.274,-/tahun/lokasi.

Dan, pada periode tahun 2010. Jumlah aset secara kumulatif sebesar Rp44.574.418.318,- (tanpa Kuningan, Medan, Magelang, Kupang dan penerima bantuan tahun 2010). Jumlah pendapatan secara kumulatif sebesar Rp20.847.072.997,- dengan rata-rata pendapatan sebesar Rp. 868.628.041,-/tahun/lokasi.

Gambar 3Bantuan Pemberdayaan Wakaf Produktif Berdasarkan

Pertumbuhan Jumlah Aset dan Pendapatan19

NO Provinsi Nilai BantuanJumlah Lokasi

% Nilai Bantuan

% Lokasi

1 Aceh 500.000.000 1 0,88 1,09

2 Sumatera Utara 2.000.000.000 1 3,51 1,093 Sumatera Barat 300.000.000 1 0,53 1,09

4Sumatera Selatan

550.000.000 2 0,97 2,17

5 Lampung 500.000.000 1 0,88 1,09

6Bangka Belitung

400.000.000 1 0,70 1,09

Pertumbuhan Aset Wakaf dan Dilema Produktifitas _673

7 DKI Jakarta 1.700.000.000 4 2,99 4,358 Jawa Barat 11.605.500.000 21 20,40 22,839 Jawa Tengah 15.572.000.000 17 27,37 18,4810 DI Yogyakarta 1.156.000.000 3 2,03 3,2611 Jawa Timur 3.800.000.000 5 6,68 5,4312 Banten 4.150.000.000 5 7,29 5,4313 Bali 955.500.000 5 1,68 5,43

14Nusa Tenggara Barat

955.500.000 3 1,68 3,26

15Nusa Tenggara Timur

550.000.000 2 0,97 2,17

16Kalimantan Barat

500.000.000 1 0,88 1,09

17Kalimantan Tengah

550.000.000 2 0,97 2,17

8Kalimantan Timur

500.000.000 1 0,88 1,09

19 Sulawesi Utara 400.000.000 1 0,70 1,09

20Sulawesi Tengah

1.450.000.000 3 2,55 3,26

21Sulawesi Selatan

6.755.500.000 8 11,87 8,70

22Sulawesi Tenggara

1.000.000.000 1 1,76 1,09

23 Maluku 600.000.000 1 1,05 1,0924 Maluku Utara 50.000.000 1 0,09 1,09

25 Papua Barat 400.000.000 1 0,70 1,09

56.900.000.000 92 100,00 100,00

Tabel 3Sebaran bantuan wakaf produktif

berdasarkan provinsi Tahun 2005–201320

674_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

Dalam lima tahun ini kita dapat melihat bahwa arah pengelolaan wakaf telah menujukkan grafik yang menggembirakan. Pemerintah telah membuka ruang yang cukup luas bagi publik berpartisipasi mengelola potensi wakaf, slaha staunya melalui pembentukan Badan Wakaf Indonesia (BWI).

D. Usaha Produktifitas Terbentur Peruntukan

A. Faishal Haq dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa pemanfaatan wakaf dapat digunakan untuk mendukung berbagai aktivitas, baik di bidang pengadaan social good maupun private good. Menurutnya, penggunaan dana hasil pengelolaan wakaf tersebut dapat membuka peluang bagi analisa ekonomi yang menarik berkenaan dengan alokasi sumber dalam kerangka keuangan publik. Biasanya, social good didefinisikan sebagai barang yang dapat dikonsumsi oleh berbagai pihak, di mana pihak-pihak tersebut tidak dapat saling meniadakan/mengalahkan (non-viral), sulit menentukan harganya, dan pemanfaatan oleh seseorang tidak mengurangi manfaat bagi orang lain. Kondisi ini tidak berlaku bagi private good, di mana kita dapat menentukan harganya serta mengeluarkan orang lain agar tidak dapat mengkonsumsikannya. Oleh Karena itu, sifat konsumsinya adalah “rival”. Dengan kata lain, manfaat yang diperoleh seseorang yang mengkonsumsi social good adalah “externalized” dimana barang tersebut juga dapat dimanfaatkan orang lain. Inilah kondisi yang terkait dengan social goods. Sedangkan private goods, manfaat dari konsumsi dinikmati secara khusus oleh konsumen tertentu, dan akibat kegiatan mengkonsumsi tersebut, maka orang lain tidak dapat mengkonsumsinya.21

Faishal mencontohkan, jika dana hasil pengelolaan asset wakaf tersebut dimanfaatkan untuk membangun jembatan, maka barang tersebut memiliki ciri sebagai social good. Adapun ketika dana tersebut digunakan membangun rumah sakit atau sekolahan, maka barang itu disebut sebagai private good dan oleh karenanya harganya dapat ditentukan. Dengan demikian, lanjutnya, ketika keseluruhan sumber

Pertumbuhan Aset Wakaf dan Dilema Produktifitas _675

yang diperoleh dari Wakaf Properti dibagi menjadi private dan social good atau ketika campuran social good dipilih, keberadaan konsumsi yang non-rival mengubah kondisi kegunaan sumber yang efisien, yang semula bersifat rival.22

Kita patut apresiasi usaha pemerintah dalam mendorong para nazhir, sebagaimana di atas, dalam memberikan bantuan dalam memproduktifkan aset-aset wakaf yang dikelolanya. Tapi ternyata, usaha pemerintah itu nampaknya masih jauh panggang dari api. Sebab, wakaf produktif yang diharapkan tersebut harus berbenturan dengan peruntukan tanah wakaf. Tempat ibadah ternyata masih mendominasi peruntukan tanah wakaf di Indonesia.

Dari luas seluruh tanah wakaf sejumlah 14.077.413.224,244 m2, yang tersebar di 471.265 lokasi, sebagian besar di antaranya dipergunakan untuk masjid sejumlah (76%) lokasi, sarana pendidikan sekolah sebanyak (10%), untuk makam sejumlah (7%) lokasi, Panti Asuhan sebanyak (2%) lokasi, sedangkan sisanya diperuntukkan pada Pertanian, Bisnis dan lain-lain.

Fakta ini tidak jauh berbeda dengan temuan Pusat Bahasa dan Budaya (PBB) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian tersebut mengungkapkan, harta wakaf lebih banyak bersifat konsumtif (77%) daripada yang menghasilkan atau produktif (23%).23 Temuan lain menunjukkan, pemanfaatan terbesar harta wakaf adalah masjid dan musala (79%)24 daripada peruntukkan lainnya seperti kuburan, lembaga pendidikan, dan sarana umum. Data ini menunjukkan bahwa aset tanah wakaf yang tersebar di Nusantara masih dikelola secara konsumtif, belum ke arah produktif.

Padahal, pengelolaan aset wakaf seharusnya dikembangkan secara produktif agar dapat meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Sebab, substansi atau ruh dari ajaran wakaf adalah produktifitas.25

676_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

Temuan lain juga menunjukkan, para nazhir ternyata tidak terfokus dalam mengelola, mereka mayoritas bekerja sambilan dan tidak diberi upah (84%), dan yang bekerja secara penuh dan terfokus ternyata amatlah minim (16 %). Selain itu, wakaf di Indonesia lebih banyak dikelola oleh perseorangan (66%) alias tradisional, daripada organisasi professional (16%) dan berbadan hukum (18%).26

Hasil penelitian di atas, kalau dicermati, ternyata berbanding lurus. Para nazhir perseorangan yang tradisional (tidak profesional) dan tidak terfokus, yang jumlahnya besar itu, tentu saja tidak mampu mengelola wakaf dengan baik. Akhirnya, mereka belum mampu mengelola aset wakaf ke arah produktif. Mayoritas harta wakaf masih dimanfaatkan untuk kebutuhan konsumtif seperti masjid dan kuburan. Dengan begitu, perwakafan di Indonesia masih jauh dari kategori produktif. Inilah pekerjaan rumah yang harus dipecahkan bangsa ini.

Di antara masalah-masalah perwakafan yang timbul di lapangan adalah sebagai berikut.

Pertama, pemahaman tentang pemanfaatan dan harta benda wakaf. Selama ini, umat Islam masih banyak yang beranggapan bahwa aset wakaf itu hanya boleh digunakan untuk tujuan ibadah saja. Misalnya, pembangunan masjid, komplek kuburan, panti asuhan, dan pendidikan. Padahal, nilai ibadah itu tidak harus berwujud apa adanya seperti itu. Bisa saja, di atas lahan wakaf dibangun pusat perbelanjaan, yang keuntungannya nanti dialokasikan untuk beasiswa anak-anak yang tidak mampu, layanan kesehatan gratis, atau riset ilmu pengetahuan. Ini juga bagian dari ibadah.

Selain itu, pemahaman ihwal benda wakaf juga masih sempit. Harta yang bisa diwakafkan masih dipahami sebatas benda tak bergerak, seperti tanah. Padahal wakaf juga bisa berupa benda bergerak, antara lain uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak kekayaan intelektual, dan hak sewa. Ini sebagaimana tercermin dalam Bab II, Pasal 16, UU No. 41

Pertumbuhan Aset Wakaf dan Dilema Produktifitas _677

tahun 2004, dan juga sejalan dengan fatwa MUI ihwal diperbolehkannya wakaf uang.

Kedua, jumlah tanah strategis dan kontroversi pengalihan tanah. Jika ditilik jumlah tanah wakaf, memang sangatlah luas. Tapi tak semuanya bisa dikategorikan tanah strategis. Hal ini bisa dicermati dari lokasi dan kondisi tanah. Kalau lokasinya di pedalaman desa dan tanahnya tak subur, secara otomatis, susah untuk diproduktifkan. Karena itu, jalan keluarnya adalah pengalihan tanah atau tukar guling (ruislag) untuk tujuan produktif. Dan ternyata, langkah ini pun berbuah kontroversi. Seharusnya ini tak terjadi lagi, sebab mekanismenya sudah dijelaskan dalam pasal 40 dan 41 UU No. 41 tahun 2004 dan PP No. 42 tahun 2006 pasal 49-51.

Ketiga, tanah wakaf yang belum bersertifikat. Ini lebih dikarenakan tradisi kepercayaan yang berkembang di masyarakat. Menurut kaca mata agama, wakaf cukup dengan membaca shighat wakaf seperti waqaftu (saya telah mewakafkan) atau kata-kata sepadan yang dibarengi dengan niat wakaf secara tegas. Dengan begitu, wakaf dinyatakan sah. Jadi tidak perlu ada sertifikat dan administrasi yang diangap ruwet oleh masyarakat. Akibatnya, tanah wakaf yang tidak bersertifikat itu tidak bisa dikelola secara produktif karena tidak ada legalitasnya, bahkan rawan konflik.

Keempat, nazhir (pengelola) masih tradisional dan cenderung konsumtif. Meski tidak termasuk rukun wakaf, para ahli fikih mengharuskan wakif (orang yang wakaf) untuk menunjuk nazhir wakaf. Nazhir inilah yang bertugas untuk mengelola harta wakaf. Tapi, sayangnya para nazhir wakaf di Indonesia kebanyakan masih jauh dari harapan. Pemahamannya masih terbilang tradisional dan cenderung bersifat konsumtif (non-produktif). Maka tak heran, jika pemanfaatan tanah wakaf kebanyakan digunakan untuk pembangunan masjid an sich. Padahal, masjid sebenarnya juga bisa diproduktifkan

678_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

dan menghasilkan ekonomi dengan mendirikan lembaga-lembaga perekonomian Islam di dalamnya, seperti BMT, lembaga zakat, wakaf, mini market, dan sebagainya.

Irfan Syauki Bek pun mengajukan tiga langkah yang mendesak untuk dilakukan guna meningkatkan pengelolaan wakaf produktif. Pertama, hendaknya kampanye dan sosialisasi wakaf tunai lebih ditingkatkan. Kedua, segera membentuk dan memperkuat struktur BWI sebagai lembaga nadzir negara. Ketiga, mendorong bank syariah dan lembaga keuangan syariah lainnya untuk mengintensifkan gerakan wakaf tunai sebagai gerakan pengentasan kemiskinan nasional.27

E. Penutup

Melihat kenyataan di atas, kita patut mengelus dada. Di negeri yang berpenduduk Islam terbesar di dunia ini, ternyata wakaf masih belum mampu memberikan dampak sosial yang signifikan. Padahal, di seluruh belahan dunia, “wakaf produktif” sudah jadi paradigma utama dalam mengelola aset. Tak heran, jika dibanding negara-negara mayoritas berpenduduk Islam, perwakafan di Indonesia tertinggal jauh. Sebut saja Mesir, Aljazair, Sudan, Kuwait, dan Turki, mereka jauh-jauh hari sudah mengelola wakaf ke arah produktif.28

Sekadar contoh, di Sudan, Badan Wakaf Sudan mengola aset wakaf yang tidak produktif dengan mendirikan bank wakaf. Lembaga keuangan ini digunakan untuk membantu proyek pengembangan wakaf, mendirikan perusahaan bisnis dan industri. Contoh lain, untuk mengembangkan produktifitas aset wakaf, pemerintah Turki mendirikan Waqf Bank and Finance Corporation. Lembaga ini secara khusus untuk memobilisasi sumber wakaf dan membiayai berbagai jenis proyek joint venture.

Bahkan, di negara yang penduduk muslimnya minor, pengembangan wakaf juga tak kalah produktif. Sebut saja Singapura, satu misal. Aset wakaf di Singapura, jika dikruskan, berjumlah S$ 250 juta. Untuk mengelolanya, Majelis Ugama Islam Singapura (MUIS) membuat anak

Pertumbuhan Aset Wakaf dan Dilema Produktifitas _679

perusahaan bernama Wakaf Real Estate Singapura (Warees). Warees merupakan perusahaan kontraktor guna memaksimalkan aset wakaf. Contoh, Warees mendirikan gedung berlantai 8 di atas tanah wakaf. Pembiayaannya diperoleh dari pinjaman dana Sukuk sebesar S$ 3 juta, yang harus dikembalikan selama lima tahun. Gedung ini disewakan dan penghasilan bersih mencapai S$ 1.5 juta per tahun.29 Setelah tiga tahun berjalan, pinjaman pun lunas. Selanjutnya, penghasilan tersebut menjadi milik MUIS yang dialokasikan untuk kesejahteraan umat.

Berkaca pada pengalaman beberapa negara dalam mengelola wakaf, tentunya sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, umat Islam Indonesai harus optimis memberikan inovasi-inovasi strategis bagi penguatan pengelolaan wakaf. Kita memiliki SDM dan SDA yang melimpah, tentunya semua itu harud dikelola secara baik dan profesional.

680_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

Daftar Pustaka

A. Faishal Haq, “Wakaf Kontemporer, Dari Teori Ke Aplikasi,” Jurnal Maliyah, Vol. 02, No. 02, Desember 2012

Al-Hisni, Taqiyuddin, Kifayat al-Akhyar fi Halli Ghayat al-Ikhtisar, Semarang: Toha Putra, tt.

Dafterdar, Hisyam, Waqf and Productivity, (KAPF: 2010).

Djunaidi, Ahmad dan Thabib al-Asyhar, Menuju Era Wakaf produktif, Depok: Mumtaz Publishing, 2008.

Al-Dusuqi, Muhammad ‘Arafah, Hashiah al-Dusuqi ‘ala al-Sharh al-Kabir, Kairo: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, tt.

Ellis, S. dan Noyes, Proof Positive: Developing Significant Volunteer Record-keeping Systems,. Philadelphia: Energize, 1995.

Elsefy, Hasan, Islamic Finance: A Comparative Jurisprudential Study, Kuala Lumpur, University of Malaya Press, 2007.

Fabozzi, Frank J, Investment Management, New Jersey: Prentice-Hall, 1999.

Fahmi, Irham, Analisis Investasi dalam Prespektif Ekonomi dan Politik, Bandung: Refika Aditama, 2008.

Goodhart, CAE, The Central Bank and the Financial System, London: MacMillan, 1995.

Hamud, Semi Hasan, Tatwir al-‘Amal al-Masrafiyyah bima Yattafiq al-Shariah al-Islamiyyah, Aman: Matba‘ah al-Sharq, 1992.

Hasanah, Uswatun, Peran Wakaf dalam Mewujudkan Kesejahteraan Sosial, Studi Kasus Pengelolaan Wakaf di Jakarta Selatan, Disertasi belum diterbutkan. Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Al-Haddad, Ahmad Ibn Abdul ‘Aziz, Waqf al-Nuqud wa-Istimraruha,. Kuwait: Kuwait Awqaf Public Foundation, 2006.

Pertumbuhan Aset Wakaf dan Dilema Produktifitas _681

Hasanuddin, Ahmed, dan Ahmedullah Khan, Strategies to Develop Waqf Administration in India. Jeddah: IRTI IDB, 1998.

Ibn Abdul Aziz, Ahmad, Waqf al-Nuqud wa al-Istitsmaruha, Beirut: Dar ibn Hazm, 2007.

Ibn Abidin, Muhammad Amin, Hashiyah Rad al-Mukhtar, Kairo: Matba‘ah Mustafa al-Babi al-Halabi, 1966.

Ibn al-Humam, Fath al-Qadir, Beirut: Dar al-Fikr, tt.

Ibn Kathir, Al-Imam Abu al-Fida‘ Isma’il, Tafsir Ibn Kathir, Riyadl: Dar al-Rayah, 1993.

Ibn Manzur, Muhammad ibn Mukarram ibn Ali ibn Ahmad, Lisan al-‘Arab, Dar al-Ma‘arif, tt.

Najib, dkk., Wakaf, Tuhan, dan Agenda Kemanusiaan, Jakarta: Center for the Study of Religion and Culture UIN Jakarta, 2006.

al-Nawawi, Muhyiddin Abu Zakariya Yahya, Sahih Muslim bi Sharh al-Nawawi Kairo: Maktabah al-Misriyyah, 1924.

al-Shan‘ani, Muhammad Isma‘il Amir al-Yamani, Subul al-Salam, Kairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1349 H.

Tim Penyusun, Bimas Islam Dalam Angka 2012, Jakarta: Ditjen Bimas Islam, 2013

682_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

Endnotes

1. Muhyiddin Abu Zakariya Yahya al-Nawawi, Sahih Muslim bi Sharh al-Nawawi, Kairo: Maktabah al-Misriyyah, 1924, VI, h. 21.

2. http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/wakaf/14/05/23/n615ie-bwi-potensi-wakaf-indonesia-capai-120-triliun (diunduh tanggal 12 September 2015)

3. Ibid

4. http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/wakaf/14/05/23/n6158g-astagfirullah-banyak-tanah-wakaf-diserobot (diunduh tanggal 12 September 2015)

5. Ibid

6. Direktorat Pemberdayaan Wakaf 2014.

7. Ibid

8. Tim Penyusun, Standar Pelayanan Wakat Bagi Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW), Jakarta: Ditjen Bimas Islam, 2013, h. 3

9. Ibid

10. Tim Penyusun, Standar Pelayanan Wakat Bagi Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW), Jakarta: Ditjen Bimas Islam, 2013, h. 1

11. Lih. Bimas Islam dalam Angka 2012, Jakarta: Ditjen Bimas Islam, 2013

12. A. Faishal Haq, “Wakaf Kontemporer, Dari Teori Ke Aplikasi,”

Pertumbuhan Aset Wakaf dan Dilema Produktifitas _683

Jurnal Maliyah, Vol. 02, No. 02, Desember 2012, h. 396

13. Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Pedoman Pengelolaan Wakaf Tunai (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2007), 14.

14. https://wakaftunai.wordpress.com/artikel-wakaf-tunai/irfan-syauqi-beik/ (diunduh tanggal 12 September 2015)

15. A. Faishal Haq, “Wakaf Kontemporer, Dari Teori Ke Aplikasi...., h. 400

16. Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2013.

17. Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2013.

18. Lih. Bimas Islam Dalam Angka Tahun 2014, Jakarta: Bimas Islam, 2015

19. Lih. Bimas Islam Dalam Angka Tahun 2012, Jakarta: Bimas Islam, 2013

20. Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2013.

21. A. Faishal Haq, “Wakaf Kontemporer, Dari Teori Ke Aplikasi...., h. 405

22. Ibid, h. 405

23. Penelitian ini dilakukan PBB UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2006, terhadap 500 responden nazir di 11 Propinsi. Lebih jelasnya, lihat Najib, dkk., Wakaf, Tuhan, dan Agenda Kemanusiaan (Jakarta: Center for the Study of Religion and Culture, UIN Jakarta, 2006), 133.

24. Najib, dkk., Wakaf, Tuhan, dan Agenda Kemanusiaan, 123.

25. Muhammad Isma‘il Amir al-Yamani al-Shan‘ani, Subul al-Salam

684_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

Kairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1349 H, h. 87.

26. Najib, dkk., Wakaf, Tuhan, dan Agenda Kemanusiaan, Jakarta: Center for the Study of Religion and Culture, UIN Jakarta, 2006, h. 133.

27. https://wakaftunai.wordpress.com/artikel-wakaf-tunai/irfan-syauqi-beik/ (diunduh tanggal 12 September 2015)

28. Hisyam Dafterdar, Waqf and Productivity, KAPF: 2010, h. 87.

29. Warees, Annual Report 2012, Singapura: WP, 2012.