tesa pratama putra (rsa1c115014)
DESCRIPTION
lplTRANSCRIPT
“MONEY POLITIC PILKADA SERENTAK 2015”
Pengalaman menunjukkan, sejak pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung digelar
di Indonesia, uang berhamburan ke mana-mana. Karena itu, bisa dibayangkan, betapa
banyaknya uang yang berhamburan saat pilkada serentak dilangsungkan Desember 2015 ini.
Pemilihan kepala daerah serentak meliputi banyak provinsi, kabupaten, dan kota.
Publik lantas bertanya-tanya apakah pelaksanaan pilkada serentak akan bebas dari politik
uang?
Data dari Kementerian Dalam Negeri menyebutkan terdapat 541 daerah otonom di
tingkat provinsi, kabupaten, dan kota. Jumlah kepala daerah yang habis masa jabatannya pada
tahun 2015 saja tercatat 204 daerah, kepala daerah yang habis masa jabatannya pada tahun
2016 sebanyak 100 daerah.
Kepala daerah yang habis masa jabatannya pada tahun 2015, misalnya, sebanyak 204
daerah yang segera menyelenggarakan pilkada serentak, terdiri atas delapan provinsi, 170
kabupaten, dan 26 kota. Kedelapan provinsi itu, yakni Sumatera Barat, Kepulauan Riau,
Jambi, Bengkulu, Kalimantan Utara, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi
Utara.
Politik uang (money politics) adalah suatu upaya memengaruhi orang lain dengan
menggunakan imbalan materi atau dapat juga diartikan jual beli suara pada proses politik dan
kekuasaan serta tindakan membagi-bagikan uang, baik milik pribadi atau partai untuk
memengaruhi suara pemilih (voters).
Pengertian ini secara umum ada kesamaan dengan pemberian uang atau barang
kepada seseorang karena memiliki maksud politik yang tersembunyi di balik pemberian itu.
Jika maksud tersebut tidak ada, pemberian tidak akan dilakukan. Praktik semacam itu jelas
bersifat ilegal dan merupakan kejahatan.
Konsekuensinya apabila ditemukan bukti-bukti terjadinya praktik politik uang, para
pelaku akan terjerat undang-undang antisuap.
Namun, mantan Ketua Mahkamah Konsitusi (MK) Mahfud Md menyebutkan hampir
semua pilkada diwarnai praktik politik uang. Hal tersebut terungkap pada sengketa pilkada
yang ditangani komisioner.
Akan tetapi, sekalipun pada semua pilkada yang disengketakan selalu ada politik
uang, hal itu belum tentu membuat gugatan pilkada dikabulkan. Pasalnya, politik uang tidak
dapat dibuktikan terkait dengan perolehan suara. "Politik uang juga tidak dapat dijadikan
alasan pembatalan pilkada jika terjadi secara sporadis, kecuali bila pelanggarannya sudah
kronis, sistematis, masif, dan terstuktur," kata Mahfud.
Indonesia Corruption Watch (ICW) mengungkapkan, pemilihan anggota legislatif, 9
April 2014, terdapat 313 pelanggaran di 15 daerah. Jumlah itu terdiri atas beberapa jenis
pelanggaran, di antaranya pemberian uang kepada pemilih sebanyak 104 temuan, pemberian
barang 128 temuan, pemberian jasa 27 temuan, dan penggunaan sumber daya negara 54
temuan.
Jumlah pelanggaran di setiap daerah berbeda-beda. Dari 15 daerah, yang tertinggi
adalah Provinsi Banten 36 kasus; Riau, Bengkulu, dan Sumatera Utara 29 temuan; Aceh 23
temuan; Jawa Barat 17 temuan; Jawa Tengah 16 temuan; Sulawesi Selatan 15 temuan;
Kalimantan Barat 13 temuan; Jawa Timur, Jakarta, dan Sulawesi Tenggara 9 temuan; NTB 8
temuan; NTT 5 temuan.
Indonesia Corruption Watch juga merilis praktik politik uang dari pemilu ke pemilu
mengalami peningkatan pascareformasi. Pada pemilu tahun 1999, misalnya terjadi 62 kasus,
kemudian pada Pemilu 2004 terjadi 113 kasus, pada Pemilu 2009 meningkat menjadi 150
kasus, dam pada Pemilu 2014 terjadi 313 kasus.
Terkait dengan politik uang dalam pilkada, Pengurus Daerah Dewan Masjid Indonesia
(DMI) Kota Pekalongan menyeru semua pihak untuk tidak melakukan praktik tidak terpuji
itu. Menurut Ketua Umum PD DMI Kota Pekalongan Ahmad Slamet Irfan, pilkada tanpa
menggunakan politik uang akan menghasilkan kepala daerah yang memiliki integritas.
"Parpol yang bisa mengusung calon kepala daerah, janganlah membebani calon untuk
membayar dengan dalih mahar politik dengan dalih memuluskan surat rekomendasi dari
pengurus parpol pusat," katanya.
Ia berpendapat bahwa dampak negatif lain dari praktik politik uang adalah calon kepala
daerah yang terpilih akan menghalalkan segala cara agar bisa mengembalikan modal yang
sudah dikeluarkan. "Hal inilah akan berbahaya bagi pembangunan daerah," katanya.
Beberapa kasus diberbagai daerah menyangkut politik uang yakni :
1. Politik Uang Masih Terjadi di Pilkada Gresik dan Malang
Malang, Jawa Timur - Memasuki masa tenang selama tiga hari ini, suhu politik
pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilakda) di Kabupaten Gresik tambah memanas,
sehingga muncul money politic di mana-mana. Beberapa orang mengaku mendapatkan
uang santunan dadakan satu keluarga per suara mendapatkan Rp 50.000 dengan amplop
bergambar pasangan calon (Paslon) bupati dan wakil bupati Gresik.
“Itu sudah bukan rahasia lagi mas, amplopnya bergambar paslon dan uang itu
disebutkan sebagai ganti transportasi saat nyoblos,” ujar salah seorang warga
Kedamean, Gresik yang mengaku menerima tiga amplop untuk dirinya, istri dan
anaknya yang sudah berusia 18 tahun, Senin tadi pagi.
Menurut dia, sosok orang membagikan uang menyampaikan dengan terang-terangan
dan berpesan, pada 9 Desember 2015 mencoblos nomor yang ada, bukan yang lain.
Menurut warga lainnya dari wilayah kota Gresik, disebutkan ada juga paslon yang tidak
memberikan uang tetapi berupa sarung kopiah, sajadah dan sembako. Warga yang
memahami maksud pemberian itu dengan senang hati menerimanya kendati dipesan
untuk mencoblos nomor paslon yang ‘berderma’ itu.
Menanggapi maraknya money politic, Komisioner Panitia Pengawas Pemilihan
Gresik, Haryanto mengaku sedang menelusuri informasi terkait maraknya dugaan
money politics dalam beberapa hari terakhir. Ia mengaku sedang menelusurinya dan
nantinya meminta ada saksi yang mau melapor. “Sampai sekarang belum ada yang
bersedia menjadi saksi mas walaupun mereka mengaku tidak meminta tetapi
disumbang. Ini yang merepotkan,” katanya.
Hal yang sama juga terjadi di masa tenang Pilkada Bupati Malang. Praktik
kecurangan dipergoki Tim Investigasi PDIP karena menemukan pembagian sarung dan
jilbab politik pada seluruh Ketua RT dan Ketua RW di Desa Wajak, Kecamatan Wajak,
Kabupaten Malang. Sementara di wilayah lain ada juga pembagian sembako dari
paslon tertentu.
Bambang Siswanto, Koordinator Tim Pemenangan Dewanti Rumpoko, Minggu
(6/12) sore kepada wartawan mengemukakan, bahwa oknum Kepala Desa Wajak,
Djainuri, mengeluarkan undangan resmi dengan kop pemerintah desa setempat. Dalam
undangan tersebut, mereka meminta kehadiran seluruh Ketua RT dan Ketua RW di
Balai Desa Wajak pada tanggal 4 Desember 2015 pada pukul 19.00 wib. Dalam
undangan tersebut, disebutkan ada pembagian insentif alokasi dana desa (ADD) tahap
kedua pada seluruh RT dan RW.
“Pada saat menyerahkan amplop berisi uang insentif, ternyata dibarengi dengan
pemberian sarung serta jilbab bergambar pasangan incumbent nomer urut 1, Rendra-
Sanusi. Ini adalah pelanggaran berat. Karena sudah melibatkan aparatur negara kepala
desa,” tandas dia yang minta Panwaslu bertindak adil agar tidak sampai ada kekisruhan.
Menurut Bambang yang mantan Anggota DPRD Kabupaten Malang itu, jumlah
penerima sarung dan politik adalah 104 orang. Mereka terdiri dari 84 orang Ketua RT
dan 20 orang Ketua RW. “Undangan itu resmi dari kepala desa. Di tengah-tengah
pembagian insentif atau acara tersebut, dibagikan masing-masing sarung dan kerudung
bergambar calon petahana. Sejauh ini kita sudah laporkan ke Panwas Kabupaten
Malang,” ujarnya. Dari hasil penelusuran tim, telah menemukan modus serupa di lima
kecamatan se Kabupaten Malang.
Ketua Hukum Tim PDIP dan Pemenangan Dewanti Rumpoko, Hadi Susanto di
tempat yang sama menambahkan, minimnya petugas Panwas di sejumlah kecamatan
(total 33 kecamatan), membuat kinerja mereka tidak obyektif dalam menanggapi kasus
seperti itu. “Kalau mau bertindak jujur dan adil, seharusnya Panwas menghentikan
langsung. Tidak boleh ada pembagian sarung dan kerudung yang dilakukan oleh
perangkat desa yang dititipi agar mencoblos nomor pasloin tertentu. Pilkada ini tidak
fair , percuma ada pernyataan sikap damai dan menolak money politic tapi faktanya,
ada pelanggaran serius seperti ini,” katanya.
Jika Panwas Pilkada Kabupaten Malang tidak bergerak dan diam saja, maka tim
PDIP akan laporkan hal ini ke Bawaslu dan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara
Pemilu (DKPP). “ Ini karena sudah jelas-jelas pembagian sarung dan jilbab ditengah
acara pembagian intensif dana desa, melanggar undang-undang,” tandasnya.
Sementara itu, Anggota Panwas Kabupaten Malang, George Da Silva mengaku,
pihaknya sudah menerima laporan tertulis soal pembagian sarung dan jilbab oleh kepala
desa Wajak. “Kami masih memeriksa saksi dan pelapor. Setelah ini akan kita kaji lebih
dulu,” katanya cepat-cepat menutup teleponnya tadi pagi.
Di Sumenep
Sinergi jajaran Kodim 0827 Sumenep bersama Polres Sumenep serta petugas Komisi
Pemilihan Umum (KPU) setempat terkait melaksanakan pengawalan, peninjauan,
pengamanan dan pendistribusian logistik pilkada serentak Kabupaten Sumenep yang
dimulai sejak 1-6 Desember 2015, berlangsung lancar. Untuk pengiriman ke daerah-
daerah kepulauan, sudah dilaksanakan dengan mengerahkan jajaran Koramil dan
Polsek hingga sampai ke tangan 27 Petugas Pemilihan Kecamatan (PPK) dan Petugas
Pemungutan Suara (PPS).
“Kita terus bantu agar Pilkada serentak di Sumenep daratan (18 PPK) dan kepulauan
(9 PPK) berjalan sesuai jadwal,” ujar Dandim 0827 Sumenep, Letkol Inf Permadi
Azhari, dalam keterangan persnya yang diterima, Senin (7/12) tadi pagi.
Lebih lanjut dikemukakan, pihaknya juga siap mem-backup pelaksanaan Pilkada
serentak dengan aman dengan menghindarkan kampanye terselubung, baik melalui
pemberian cinderamata maupun money politics . “Kita sudah perintahkan para Bintara
Pembina Desa (Babinsa) untuk memberikan pemahaman agar jangan sampai terjadi
money politics , kampanye terselubung dari rumah ke rumah dan semacamnya,” ujar
dia.
Dandim menambahkan, pendistribusian logistik pilkada tersebut dilakukan dari
Gudang KPU Sumenep, menuju ke-27 PPK yang terdiri dari 9 PPK yang berada di
Sumenep kepulauan dan 18 PPK di Sumenep daratan. Untuk PPK Kepulauan
diantaranya Masalembu, Sapeken, Raas, Gayam, Nunggunung, Arjasa, Kanghayan,
Giligenting, dan Talango.
(Aries Sudiono. Senin, 07 Desember 2015 | 10:31. Sumber :
www.beritasatu.com/nasional/328258-politik-uang-masih-terjadi-di-pilkada-gresik-
dan-malang.html)
2. Pilkada Serentak, Politik Uang Ditemukan di 27 Daerah
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menemukan adanya praktek money politic di
puluhan daerah yang menggelar Pemilihan Kepala Daerah 2015 secara serentak. "Ada
27 daerah dengan 29 kasus yang ditemukan adanya praktek politik uang pada masa
tenang selama tiga hari kemarin. Hari ini lebih banyak lagi pasti," kata Komisioner
Bawaslu Nasrullah saat ditemui di Ciputat, Tangerang Selatan, pada Rabu, 9 Desember
2015.
Bahkan, menurut Nasrullah, ada salah seorang Ketua Kelompok Penyelenggara
Pemungutan Suara (KPPS) yang tertangkap tangan sedang membagikan uang kepada
masyarakat Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan. "Yang menangkap Ketua Bawaslu
Kalsel sendiri malah," ujar Nasrullah.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Bawaslu, terdapat 13 daerah yang ditemukan
adanya pembagian uang oleh salah satu pasangan calon, seperti di Kaur (Bengkulu),
Gowa (Sulawesi Selatan), Rokan Hulu (Riau), Kepulauan Konawe dan Muna (Sulawesi
Tenggara), Semarang (Jawa Tengah), serta Lampung Selatan, Pesawaran, dan Way
Kanan (Lampung).
Selain itu, terjadi juga pembagian uang sebesar Rp 100-200 ribu di Bone Bolango,
Gorontalo, serta pembagian uang sebesar Rp 50 ribu di Kecamatan Negeri Katon,
Kecamatan Way Lima, dan Kecamatan Way Ratai yang terletak di Pesawaran,
Lampung. Bahkan, terjadi pula pembagian uang sebesar Rp 50 ribu yang disertai
pembagian C6 (undangan bagi pemilih) sebanyak 4 lembar di Gresik, Jawa Timur, dan
juga pembagian C6 yang diselipi sejumlah uang yang berkisar antara Rp 15-20 ribu di
Boyolali, Jawa Tengah.
Praktek money politic dalam Pilkada 2015 juga tidak hanya dilakukan dalam
bentuk pembagian uang saja. Di Muaro Jambi, Jambi, dan Kuantan Senggigi, Riau,
ditemukan adanya pembagian sembako oleh salah satu pasangan calon. Terdapat pula
pembagian sarung yang dilakukan oleh salah satu pasangan calon di Surabaya (Jawa
Timur) serta Bangka Tengah dan Bangka Barat (Bangka Belitung). Selain itu, Bawaslu
juga menemukan adanya pembagian kaos dan kalender oleh salah satu pasangan calon
di Bengkayang, Kalimantan Barat.
Menurut data Bawaslu, ditemukan pula sebanyak 1.621 lembar kupon undian
berhadiah mobil yang diduga dibagikan oleh salah satu pasangan calon kepada pemilih
oleh di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Selain itu, di Lampung Timur, Lampung,
Bawaslu menemukan adanya pemberian bingkisan oleh KPPS yang diduga mendukung
salah satu pasangan calon. Berdasarkan pantauan Bawaslu, terdapat pula adanya
dugaan praktek politik uang yang sedang dalam proses penanganan, yakni di
Kabupaten Ternate (Maluku Utara), Kabupaten Gorontalo (Gorontalo), dan juga
Kabupaten Pohuwato (Gorontalo).\
Menurut Nasrullah, praktek-praktek politik uang memang masih marak terjadi
dalam pelaksanaan pemilihan umum (Pemilu) di Indonesia, khususnya di Pilkada 2015
yang digelar di 269 daerah ini. "Tapi banyak yang sudah ditangkap dan diproses oleh
Panwas (Panitia Pengawas)," tutur Nasrullah.
Pada hari ini, Komisi Pemilihan Umum menggelar pilkada serentak di 269 wilayah
di tanah air. Akan tetapi, ada lima daerah yang ditunda pemilihannya, yakni Provinsi
Kalimantan Tengah, Kabupaten Fakfak, Kabupaten Simalungun, Kota Manado, dan
Kota Pematang Siantar, sehingga hanya terdapat 264 daerah yang menggelar pilkada
serentak.
(TEMPO.CO , Jakarta. RABU, 09 DESEMBER 2015 | 17:20 WIB. Sumber :
pilkada.tempo.co/read/news/2015/12/09/304726342/pilkada-serentak-politik-uang-
ditemukan-di-27-daerah)
3. Kasus “Money Politik” Mencuat Di Pilkada Pangandaran
Panwaslu Kabupaten Pangandaran secara resmi menerima dua laporan “money
politik”, Selasa (6/10). Laporan berasal dari masyarakat Desa Pejaten Kecamatan
Sidamulih dan Desa Sukanagara Kecamatan Padaherang, Kabupaten Pangandaran,
terkait dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh tim salah satu pasangan calon bupati
dan wakil bupati Kabupaten Pangandaran
Untuk kasus di Desa Pejaten Sidamulih terjadi pada hari Senin (5/10) sekira pukul
13.00-15.00 WIB. Salah satu Calon Bupati dan tim kampanye melakukan pertemuan
terbatas di aula desa dengan memberi uang sebesar Rp 50 ribu kepada masyarakat yang
hadir.
Adapun di Desa Sukanagara Padaherang, masih dengan pola yang sama, namun
pertemuannya berlangsung di rumah warga pada Minggu (4/10) sekira pukul 15.00
WIB.
Dari laporan tersebut, Panwaslu Kabupaten Pangandaran pun sudah menerima
sejumlah alat bukti berupa uang pecahan Rp 50 ribu sebanyak empat amplop dan
sejumlah saksi kejadian di Desa Pejaten Sidamulih, serta uang Rp 50 ribu dalam tiga
amplop, lengkap dengan foto dan kamera video.
“Jenis laporan dari masyarakat diterima oleh Panitia Pengawas Kecamatan
(Panwascam) kemarin sore dan dilimpahkan ke Panwaslu tadi pagi,” kata Uri Juwaeni,
Divisi Penindakan Pelanggaran Panwaslu Kabupaten Pangandaran.
Ada pun jenis indikasi pelanggaran adalah indikasi money politik sebesar Rp50 ribu,
namun sampai saat ini pihak Panwaslu masih melakuka pengkajian apakah data
pelaporan tersebut masuk pada ranah pidana atau pelanggaran biasa.
“Berkas pelaporan akan diperiksa kelengkapannya, apabila memenuhi unsur
pelaporan maka akan ditindaklanjuti,” tambahnya.
Uri menegaskan, agar pelaksanaan Pilkada berjalan dengan lancar dan tidak terjadi
pelanggaran selain peran petugas Panitia Pengawas Kecamatan (Panwascam) dan
Panitia Pengawas Lapangan (PPL), peran serta masyarakat pun sangat dibutuhkan
untuk mengawal Pilkada Pangandaran. (iwn)
(Sumber : www.seputarjabar.com/2015/10/kasus-money-politik-mencuat-di-
pilkada.html?m=1)
TANGGAPAN DAN SOLUSI DARI PEMERINTAH
Membersihkan politik uang dalam pilkada serentak tahun ini bukan hal mudah.
Pengamat politik dari Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda, Lutfi Wahyudi dan
Budiman, sama-sama meragukan kerja sama KPK, PPATK, Bawaslu, dan KPU.
Menurut Budiman, rata-rata transfer politik uang berbentuk tunai. Mahar politik juga
jarang melalui bantuan lembaga keuangan karena pasti terendus PPATK atau KPK. "Tidak
efektif dan susah dibuktikan meski sudah menjadi rahasia umum," katanya.
Mestinya, kata dia, jika ada oknum politikus yang bermasalah, kejaksaan atau polisi
bisa memberikan ketegasan pada partai bahwa kandidat tersebut bermasalah. "Persoalannya,
adakah pihak yang punya kewenangan untuk melakukan hal tersebut?" katanya.
Senada dengan rekannya, Lutfi Wahyudi mengutarakan bahwa jika calon kepala
daerah memang tersandung kasus dengan kejaksaan atau polisi, lebih baik ditahan atau ada
diberi peringatan tegas oleh penegak hukum. "Selama ini penindakan terhadap calon kepala
daerah yang bermasalah, terutama yang berkaitan dengan politik uang, kurang gregetnya,"
katanya.
Ia lantas mengatakan, "Saya tidak begitu yakin KPK atau PPATK bisa mendeteksi
semuanya. Apalagi, pelaksanaan pilkada dilakukan serentak. Memang diperlukan kerja keras
jika KPK, PPATK, dan Bawaslu ingin berhasil mengungkap praktik-praktik politik uang
tersebut."
Sementara itu, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi
(Perludem) Titi Anggaraeni mengatakan bahwa karena UU Pilkada tidak mengatur
pemberian sanksi pidana terhadap pelaku politik uang, KPU harus mengikutsertakan KPK
untuk mengawasi praktik-praktik politik uang dalam pilkada serentak 2015.
"Harus melibatkan semua aparat penegak hukum yang ada dan sangat penting untuk
juga melibatkan KPK sehingga praktik politik uang ini dapat diantisipasi," kata Titi.
Ia menambahkan bahwa pembahasan UU Pilkada oleh DPR dan pemerintah tidak
dilakukan secara sempurna dan terkesan dipaksakan tanpa melihat kekurangan serta
kelemahannya.
Titi menilai, politik uang merupakan kejahatan konstitusional yang luar biasa karena
dapat mencederai kemurnian suara rakyat dalam pemilu. Pengaturan politik uang dalam UU
Pilkada bisa disikapi dengan dua hal.
Pertama, pembuat UU harus merevisi pengaturan yang ada dalam UU untuk
memperbaiki dan memperkuat penegakan hukum atas praktik politik uang.
Kedua, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) harus segera melakukan koordinasi dengan pihak
penegak hukum yang lain guna mengisi kekosongan hukum tersebut agar setidaknya
kejahatan politik uang dalam pilkada dapat dijerat dengan ketentuan pidana umum.
Sementara itu, Direktur Kelompok Kerja (Pokja) 30 Carolus Tuah menyesalkan tidak adanya
aturan kepemiluan yang menjangkau perilaku politik berujung politik uang. Semua
instrumen, terutama pemberian izin pengelolaan SDA, konsesi proyek, dan penyalahgunaan
dana APBD dengan modus hibah dan bantuan sosial (bansos), baru terdeteksi setelah pilkada
usai.
Modus demikian, kata dia, ketahuan setelah momen menagih janji politik tiba. Menjadi
preseden mengingat banyak kasus korupsi ditangani KPK selepas pilkada. "Pengawasan
berjalan tidak efektif. Sistem sekarang menghendaki itu. Politik uang sulit dihilangkan," kata
Tuah.
Dalam pilkada serentak akhir tahun ini, sembilan kabupaten/kota di Kaltim turut serta. Wakil
Ketua PPATK Agus Santoso menyebutkan ada langkah-langkah yang bakal diperbuat
lembaganya untuk mengawal pilkada serentak. Pertama, menelusuri rekam jejak para
kontestan bekerja sama dengan Bawaslu dan KPU. Kedua, mencegah transaksi mencurigakan
seperti yang selama ini sudah diriset.
Dari riset itu, terdapat tindak pidana pencucian uang (TPPU). Pihaknya mengendus beberapa
modus politik uang dalam pilkada. Pertama, indikasi politik uang sejak dua tahun sebelum
pilkada. Berikutnya, PPATK mengendus patgulipat antara pengusaha hitam dengan bakal
calon. Modusnya, para pengusaha diberikan izin pengelolaan sumber daya alam.
Dari situ, ada "kickback" yang diperoleh para calon. Selain itu, untuk calon berstatus
petahana, PPATK menemukan potensi penyalahgunaan APBD dengan modus hibah, bantuan
sosial, dan dana pendidikan.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga mengaku berupaya mewujudkan pilkada bersih.
Mereka meluncurkan program Pilkada Berintegritas. Pimpinan KPK Johan Budi
mengungkapkan bahwa pihaknya memantau para kontestan yang berstatus penyelenggara,
sesuai dengan domain KPK.
"Salah satu yang kami lakukan meminta para calon melaporkan LHKPN (laporan harta
kekayaan penyelenggara negara)," kata Johan.
Selain itu, lanjut dia, KPK mengawal penandatanganan pakta integritas, baik penyelenggara
pilkada maupun para kontestan.
Sayangnya, penyampaian LHKPN kepada KPK sebatas imbauan moral. Tidak ada sanksi
kepada pejabat yang abai. Padahal, LHKPN bisa dijadikan upaya pencegahan jika diterapkan
dengan serius.
Namun, Wakil Ketua Komisi II DPR RI Lukman Edy yakin potensi politik uang dalam
pilkada serentak dapat ditekan seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015
tentang Pemilihan Gubernur, Wali Kota dan Bupati (UU Pilkada). Undang-Undang tersebut
mengatur sanksi bagi pelaku kecurangan dalam pilkada.
Ia memastikan setiap calon kepala daerah akan dibatalkan kemenangannya jika terbukti
melakukan kecurangan, termasuk praktik politik uang. Bahkan, partainya didiskualifikasi.
Seperti ditegaskan Wakil Sekjen DPP PKB itu, pilkada serentak yang dijadwalkan pada
tanggal 9 Desember 2015 akan diawasi lebih ketat. "Potensi politik uang tetap ada. Akan
tetapi, bukan berarti kita harus mundur. Undang-Undang Pilkada menjadi rambu, menjadi
ranjau. Saya kira ini lebih baik," katanya.
TANGGAPAN
Politik uang atau politik perut adalah sebuah bentuk pelanggaran kampanye. Politik
uang umumnya dilakukan simpatisan, kader atau bahkan pengurus partai politik menjelang
hari H pemilihan umum. Praktik politik uang dilakukan dengan cara pemberian berbentuk
uang, sembako antara lain beras, minyak dan gula kepada masyarakat dengan tujuan untuk
menarik simpati masyarakat agar mereka memberikan suaranya untuk partai yang
bersangkutan.
Besarnya pengaruh Politik Uang (Money Politic) menurut saya masih sangat signifikan,
baik yang secara terang-terangan maupun yang terselubung, melaui sembako murah
misalnya. Maka wajar saja kalau tidak ada perubahan signifikan atas hasil pemilu selama ini
untuk bangsa kita. Namun masyarakat tetap saja memilih partai atau caleg yang gagal
tersebut, meski tidak dipungkiri bahwa hasil ini merupakan cerminan loyalitas kader, tapi
loyalitas kader terhadap partai seperti yang tergambar diatas, tidak akan berpengaruh besar
terhadap pemilihan caleg.
Ada satu titik lemah lagi yang lebih penting untuk di perhatikan dibanding yang diatas
tersebut, yaitu caleg yang punya modal besar dan memiliki moralitas dipertanyakan (karena
mau menyuap rakyat / menganggap halal kolusi dengan Money politik-nya) dialah yang
beruntung sedangkan Caleg yang memiliki moralitas baik (tidak mau menyuap pemilih)
meski dia di tempatkan di nomer urut teratas oleh partainya akan hanya gigit jari dan secara
otomatis akan lenyap entah kemana, hal ini akan memperbesar dan mempercepat bangsa ini
hancur, karena akan semakin banyak pemimpin negeri ini yang tidak bermoral.
Kecuali pemerintah melalui KPU dan PANWASLU mampu menjamin tidak adanya
Money Politic di pemilu yang akan datang, tapi sepertinya mustahil, kenapa, karena justru
kadang pemilih (rakyat)-lah yang meminta adanya Money Politic.
Politik memang membutuhkan dana. Belanja politik direncanakan dan digunakan untuk
berbagai kegiatan program kampanye. Untuk membangun komunikasi politik dengan
konstituen, serta menyerap dan mengartikulasikan kepentingan masyarakat. Politisi dalam
kompetisi untuk meraih dukungan pemilih, tanpa dana hampir dapat dipastikan akan kalah.
Tetapi dana politik dan politik uang jelas berbeda. Letak perbedaan adalah modus dalam
pengunaan dana yang digunakan untuk menggalang dukungan pemilih. Hal tekait pula
sumber pendanaannya. Realitas politik menunjukan, bahwa politisi yang tidak punya dana;
sudah hampir dapat dipastikan akan kalah dan tersingkir. Faktanya politisi tidak hanya
memerlukan dana kampanye yang cukup besar untuk meraih dukungan dari konstituen. Justru
umumnya politisi sebelumnya membutuhkan dana untuk meraih restu dan dukungan
walaupun tidak resmi dari elite partai, yang mengusungnya.
Namun dalam hal ini terdapat praktik balas budi. Dimana penyumbang atau donatur
terbesar dari dana kampanye, jika calon yang diusungkan tersebut menang, akan timbul pula
nepotisme, dimana si donatur pendapat posisi yang bagus di pemerintahan atas usungan dari
calon pemimpin yang menang tersebut.
Pada pemilu diwarnai dengan praktik politik uang. Hal ini terjadi karena sebagian besar
rakyat telah terbiasa dengan praktik ini dalam proses-proses politik yang terjadi yang
dilakukan secara langsung, baik untuk memilih kepala desa, bupati/wakil bupati,
walikota/wakil walikota, maupun gubernur/wakil gubernur. Padahal, salah satu pertimbangan
dilakukannya pemilihan langsung adalah agar praktik politik uang bisa diminimalisir. Bahkan
dalam demokrasi langsung sebagaimana yang terjadi selama ini, praktik politik uang menjadi
semakin tak dapat dikendalikan. Berbagai peraturan perundang-undangan yang melarang
praktik haram ini, seolah dibuat hanya untuk melanggar.
Calon-calon yang maju kemudian melakukan cara-cara instan dan praktis untuk
menggerakkan rakyat yang memiliki hak pemilih untuk memberikan hak pilihnya.Hal inilah
yang kemudian menyebabkan kualitas pejabat publik menjadi terabaikan. Sebab, seseorang
dipilih menjadi pejabat politik bukan karena kualitas atau kapasitasnya dan kompetensinya
untuk menempati posisi politik tersebut, tetapi semata-mata karena memberikan uang kepada
para pemilih menjelang saat pemilihan. Inilah menyebabkan jabatan-jabatan publik akhirnya
ditempati oleh kaum medioker alias mereka yang sesungguhnya tidak memiliki prestasi
memadai untuk menjalankan struktur negara. Akibatnya tentu saja struktur negara tidak akan
bekerja dengan baik untuk mewujudkan cita-cita negara untuk mewujudkan kebaikan
bersama.
Politik uang sesungguhnya menunjukkan tidak adanya nilai lebih kualitas caleg.
Mereka tidak melakukan kemampuan untuk mengkominikasi visi politik mereka kepada
masyarakat. Bahkan sangat mungkin memang mereka tidak memiliki visi politik yang akan
diderivasikan dan diwujudkan ketika mereka benar-benar terpilih nantinya.
Jika politik uang terus terjadi, dapat dipastikan bahwa dunia politik akan menjadi
semakin rusak. Demokrasi prosedural hanya akan menjadi lahan bagi kaum medioker, yaitu
mereka yang tidak memiliki prestasi memadai, untuk meraih kekuasaan. Bahkan sangat
mungkin demokrasi prosedural akan dimanfaatkan oleh mereka yang memiliki hasrat tak
terbendung dan kerakusan untuk menguasai harta kekayaan negara. Karena itu, segala macam
cara kemudian mereka lakukan untuk memperoleh kekuasaan. Dan kekuasaan itu nantinya
akan digunakan untuk mengembalikan uang yang telah digunakan untuk memperoleh
kekuasaan itu. Bahkan ia akan digunakan untuk mendapatkan kekayaan dengan jumlah yang
berlipat-lipat. Karena itulah, politik uang harus dianggap sebagi kejahatan besar dalam politik
yang harus dilawan dan dienyahkan secara bersama-sama.