tesa pratama putra (rsa1c115014)

21
“MONEY POLITIC PILKADA SERENTAK 2015” Pengalaman menunjukkan, sejak pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung digelar di Indonesia, uang berhamburan ke mana-mana. Karena itu, bisa dibayangkan, betapa banyaknya uang yang berhamburan saat pilkada serentak dilangsungkan Desember 2015 ini. Pemilihan kepala daerah serentak meliputi banyak provinsi, kabupaten, dan kota. Publik lantas bertanya-tanya apakah pelaksanaan pilkada serentak akan bebas dari politik uang? Data dari Kementerian Dalam Negeri menyebutkan terdapat 541 daerah otonom di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota. Jumlah kepala daerah yang habis masa jabatannya pada tahun 2015 saja tercatat 204 daerah, kepala daerah yang habis masa jabatannya pada tahun 2016 sebanyak 100 daerah. Kepala daerah yang habis masa jabatannya pada tahun 2015, misalnya, sebanyak 204 daerah yang segera menyelenggarakan pilkada serentak, terdiri atas delapan provinsi, 170 kabupaten, dan 26 kota. Kedelapan provinsi itu, yakni Sumatera Barat, Kepulauan Riau, Jambi, Bengkulu, Kalimantan Utara, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Utara. Politik uang (money politics) adalah suatu upaya memengaruhi orang lain dengan menggunakan imbalan materi atau dapat juga diartikan jual beli suara pada proses politik dan kekuasaan serta tindakan membagi-bagikan uang, baik milik pribadi atau partai untuk memengaruhi suara pemilih (voters).

Upload: tesa-pratama-putra

Post on 11-Jul-2016

28 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

lpl

TRANSCRIPT

Page 1: Tesa Pratama Putra (Rsa1c115014)

“MONEY POLITIC PILKADA SERENTAK 2015”

Pengalaman menunjukkan, sejak pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung digelar

di Indonesia, uang berhamburan ke mana-mana. Karena itu, bisa dibayangkan, betapa

banyaknya uang yang berhamburan saat pilkada serentak dilangsungkan Desember 2015 ini.

Pemilihan kepala daerah serentak meliputi banyak provinsi, kabupaten, dan kota.

Publik lantas bertanya-tanya apakah pelaksanaan pilkada serentak akan bebas dari politik

uang?

Data dari Kementerian Dalam Negeri menyebutkan terdapat 541 daerah otonom di

tingkat provinsi, kabupaten, dan kota. Jumlah kepala daerah yang habis masa jabatannya pada

tahun 2015 saja tercatat 204 daerah, kepala daerah yang habis masa jabatannya pada tahun

2016 sebanyak 100 daerah.

Kepala daerah yang habis masa jabatannya pada tahun 2015, misalnya, sebanyak 204

daerah yang segera menyelenggarakan pilkada serentak, terdiri atas delapan provinsi, 170

kabupaten, dan 26 kota. Kedelapan provinsi itu, yakni Sumatera Barat, Kepulauan Riau,

Jambi, Bengkulu, Kalimantan Utara, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi

Utara.

Politik uang (money politics) adalah suatu upaya memengaruhi orang lain dengan

menggunakan imbalan materi atau dapat juga diartikan jual beli suara pada proses politik dan

kekuasaan serta tindakan membagi-bagikan uang, baik milik pribadi atau partai untuk

memengaruhi suara pemilih (voters).

Pengertian ini secara umum ada kesamaan dengan pemberian uang atau barang

kepada seseorang karena memiliki maksud politik yang tersembunyi di balik pemberian itu.

Jika maksud tersebut tidak ada, pemberian tidak akan dilakukan. Praktik semacam itu jelas

bersifat ilegal dan merupakan kejahatan.

Konsekuensinya apabila ditemukan bukti-bukti terjadinya praktik politik uang, para

pelaku akan terjerat undang-undang antisuap.

Namun, mantan Ketua Mahkamah Konsitusi (MK) Mahfud Md menyebutkan hampir

semua pilkada diwarnai praktik politik uang. Hal tersebut terungkap pada sengketa pilkada

yang ditangani komisioner.

Page 2: Tesa Pratama Putra (Rsa1c115014)

Akan tetapi, sekalipun pada semua pilkada yang disengketakan selalu ada politik

uang, hal itu belum tentu membuat gugatan pilkada dikabulkan. Pasalnya, politik uang tidak

dapat dibuktikan terkait dengan perolehan suara. "Politik uang juga tidak dapat dijadikan

alasan pembatalan pilkada jika terjadi secara sporadis, kecuali bila pelanggarannya sudah

kronis, sistematis, masif, dan terstuktur," kata Mahfud.

Indonesia Corruption Watch (ICW) mengungkapkan, pemilihan anggota legislatif, 9

April 2014, terdapat 313 pelanggaran di 15 daerah. Jumlah itu terdiri atas beberapa jenis

pelanggaran, di antaranya pemberian uang kepada pemilih sebanyak 104 temuan, pemberian

barang 128 temuan, pemberian jasa 27 temuan, dan penggunaan sumber daya negara 54

temuan.

Jumlah pelanggaran di setiap daerah berbeda-beda. Dari 15 daerah, yang tertinggi

adalah Provinsi Banten 36 kasus; Riau, Bengkulu, dan Sumatera Utara 29 temuan; Aceh 23

temuan; Jawa Barat 17 temuan; Jawa Tengah 16 temuan; Sulawesi Selatan 15 temuan;

Kalimantan Barat 13 temuan; Jawa Timur, Jakarta, dan Sulawesi Tenggara 9 temuan; NTB 8

temuan; NTT 5 temuan.

Indonesia Corruption Watch juga merilis praktik politik uang dari pemilu ke pemilu

mengalami peningkatan pascareformasi. Pada pemilu tahun 1999, misalnya terjadi 62 kasus,

kemudian pada Pemilu 2004 terjadi 113 kasus, pada Pemilu 2009 meningkat menjadi 150

kasus, dam pada Pemilu 2014 terjadi 313 kasus.

Terkait dengan politik uang dalam pilkada, Pengurus Daerah Dewan Masjid Indonesia

(DMI) Kota Pekalongan menyeru semua pihak untuk tidak melakukan praktik tidak terpuji

itu. Menurut Ketua Umum PD DMI Kota Pekalongan Ahmad Slamet Irfan, pilkada tanpa

menggunakan politik uang akan menghasilkan kepala daerah yang memiliki integritas.

"Parpol yang bisa mengusung calon kepala daerah, janganlah membebani calon untuk

membayar dengan dalih mahar politik dengan dalih memuluskan surat rekomendasi dari

pengurus parpol pusat," katanya.

Ia berpendapat bahwa dampak negatif lain dari praktik politik uang adalah calon kepala

daerah yang terpilih akan menghalalkan segala cara agar bisa mengembalikan modal yang

sudah dikeluarkan. "Hal inilah akan berbahaya bagi pembangunan daerah," katanya.

Beberapa kasus diberbagai daerah menyangkut politik uang yakni :

Page 3: Tesa Pratama Putra (Rsa1c115014)

1. Politik Uang Masih Terjadi di Pilkada Gresik dan Malang

Malang, Jawa Timur - Memasuki masa tenang selama tiga hari ini, suhu politik

pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilakda) di Kabupaten Gresik tambah memanas,

sehingga muncul money politic di mana-mana. Beberapa orang mengaku mendapatkan

uang santunan dadakan satu keluarga per suara mendapatkan Rp 50.000 dengan amplop

bergambar pasangan calon (Paslon) bupati dan wakil bupati Gresik.

“Itu sudah bukan rahasia lagi mas, amplopnya bergambar paslon dan uang itu

disebutkan sebagai ganti transportasi saat nyoblos,” ujar salah seorang warga

Kedamean, Gresik yang mengaku menerima tiga amplop untuk dirinya, istri dan

anaknya yang sudah berusia 18 tahun, Senin tadi pagi.

Menurut dia, sosok orang membagikan uang menyampaikan dengan terang-terangan

dan berpesan, pada 9 Desember 2015 mencoblos nomor yang ada, bukan yang lain.

Menurut warga lainnya dari wilayah kota Gresik, disebutkan ada juga paslon yang tidak

memberikan uang tetapi berupa sarung kopiah, sajadah dan sembako. Warga yang

memahami maksud pemberian itu dengan senang hati menerimanya kendati dipesan

untuk mencoblos nomor paslon yang ‘berderma’ itu.

Menanggapi maraknya money politic, Komisioner Panitia Pengawas Pemilihan

Gresik, Haryanto mengaku sedang menelusuri informasi terkait maraknya dugaan

money politics dalam beberapa hari terakhir. Ia mengaku sedang menelusurinya dan

nantinya meminta ada saksi yang mau melapor. “Sampai sekarang belum ada yang

bersedia menjadi saksi mas walaupun mereka mengaku tidak meminta tetapi

disumbang. Ini yang merepotkan,” katanya.

Hal yang sama juga terjadi di masa tenang Pilkada Bupati Malang. Praktik

kecurangan dipergoki Tim Investigasi PDIP karena menemukan pembagian sarung dan

jilbab politik pada seluruh Ketua RT dan Ketua RW di Desa Wajak, Kecamatan Wajak,

Kabupaten Malang. Sementara di wilayah lain ada juga pembagian sembako dari

paslon tertentu.

Bambang Siswanto, Koordinator Tim Pemenangan Dewanti Rumpoko, Minggu

(6/12) sore kepada wartawan mengemukakan, bahwa oknum Kepala Desa Wajak,

Djainuri, mengeluarkan undangan resmi dengan kop pemerintah desa setempat. Dalam

undangan tersebut, mereka meminta kehadiran seluruh Ketua RT dan Ketua RW di

Page 4: Tesa Pratama Putra (Rsa1c115014)

Balai Desa Wajak pada tanggal 4 Desember 2015 pada pukul 19.00 wib. Dalam

undangan tersebut, disebutkan ada pembagian insentif alokasi dana desa (ADD) tahap

kedua pada seluruh RT dan RW.

“Pada saat menyerahkan amplop berisi uang insentif, ternyata dibarengi dengan

pemberian sarung serta jilbab bergambar pasangan incumbent nomer urut 1, Rendra-

Sanusi. Ini adalah pelanggaran berat. Karena sudah melibatkan aparatur negara kepala

desa,” tandas dia yang minta Panwaslu bertindak adil agar tidak sampai ada kekisruhan.

Menurut Bambang yang mantan Anggota DPRD Kabupaten Malang itu, jumlah

penerima sarung dan politik adalah 104 orang. Mereka terdiri dari 84 orang Ketua RT

dan 20 orang Ketua RW. “Undangan itu resmi dari kepala desa. Di tengah-tengah

pembagian insentif atau acara tersebut, dibagikan masing-masing sarung dan kerudung

bergambar calon petahana. Sejauh ini kita sudah laporkan ke Panwas Kabupaten

Malang,” ujarnya. Dari hasil penelusuran tim, telah menemukan modus serupa di lima

kecamatan se Kabupaten Malang.

Ketua Hukum Tim PDIP dan Pemenangan Dewanti Rumpoko, Hadi Susanto di

tempat yang sama menambahkan, minimnya petugas Panwas di sejumlah kecamatan

(total 33 kecamatan), membuat kinerja mereka tidak obyektif dalam menanggapi kasus

seperti itu. “Kalau mau bertindak jujur dan adil, seharusnya Panwas menghentikan

langsung. Tidak boleh ada pembagian sarung dan kerudung yang dilakukan oleh

perangkat desa yang dititipi agar mencoblos nomor pasloin tertentu. Pilkada ini tidak

fair , percuma ada pernyataan sikap damai dan menolak money politic tapi faktanya,

ada pelanggaran serius seperti ini,” katanya.

Jika Panwas Pilkada Kabupaten Malang tidak bergerak dan diam saja, maka tim

PDIP akan laporkan hal ini ke Bawaslu dan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara

Pemilu (DKPP). “ Ini karena sudah jelas-jelas pembagian sarung dan jilbab ditengah

acara pembagian intensif dana desa, melanggar undang-undang,” tandasnya.

Sementara itu, Anggota Panwas Kabupaten Malang, George Da Silva mengaku,

pihaknya sudah menerima laporan tertulis soal pembagian sarung dan jilbab oleh kepala

desa Wajak. “Kami masih memeriksa saksi dan pelapor. Setelah ini akan kita kaji lebih

dulu,” katanya cepat-cepat menutup teleponnya tadi pagi.

Di Sumenep

Page 5: Tesa Pratama Putra (Rsa1c115014)

Sinergi jajaran Kodim 0827 Sumenep bersama Polres Sumenep serta petugas Komisi

Pemilihan Umum (KPU) setempat terkait melaksanakan pengawalan, peninjauan,

pengamanan dan pendistribusian logistik pilkada serentak Kabupaten Sumenep yang

dimulai sejak 1-6 Desember 2015, berlangsung lancar. Untuk pengiriman ke daerah-

daerah kepulauan, sudah dilaksanakan dengan mengerahkan jajaran Koramil dan

Polsek hingga sampai ke tangan 27 Petugas Pemilihan Kecamatan (PPK) dan Petugas

Pemungutan Suara (PPS).

“Kita terus bantu agar Pilkada serentak di Sumenep daratan (18 PPK) dan kepulauan

(9 PPK) berjalan sesuai jadwal,” ujar Dandim 0827 Sumenep, Letkol Inf Permadi

Azhari, dalam keterangan persnya yang diterima, Senin (7/12) tadi pagi.

Lebih lanjut dikemukakan, pihaknya juga siap mem-backup pelaksanaan Pilkada

serentak dengan aman dengan menghindarkan kampanye terselubung, baik melalui

pemberian cinderamata maupun money politics . “Kita sudah perintahkan para Bintara

Pembina Desa (Babinsa) untuk memberikan pemahaman agar jangan sampai terjadi

money politics , kampanye terselubung dari rumah ke rumah dan semacamnya,” ujar

dia.

Dandim menambahkan, pendistribusian logistik pilkada tersebut dilakukan dari

Gudang KPU Sumenep, menuju ke-27 PPK yang terdiri dari 9 PPK yang berada di

Sumenep kepulauan dan 18 PPK di Sumenep daratan. Untuk PPK Kepulauan

diantaranya Masalembu, Sapeken, Raas, Gayam, Nunggunung, Arjasa, Kanghayan,

Giligenting, dan Talango.

(Aries Sudiono. Senin, 07 Desember 2015 | 10:31. Sumber :

www.beritasatu.com/nasional/328258-politik-uang-masih-terjadi-di-pilkada-gresik-

dan-malang.html)

Page 6: Tesa Pratama Putra (Rsa1c115014)

2. Pilkada Serentak, Politik Uang Ditemukan di 27 Daerah

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menemukan adanya praktek money politic di

puluhan daerah yang menggelar Pemilihan Kepala Daerah 2015 secara serentak. "Ada

27 daerah dengan 29 kasus yang ditemukan adanya praktek politik uang pada masa

tenang selama tiga hari kemarin. Hari ini lebih banyak lagi pasti," kata Komisioner

Bawaslu Nasrullah saat ditemui di Ciputat, Tangerang Selatan, pada Rabu, 9 Desember

2015.

Bahkan, menurut Nasrullah, ada salah seorang Ketua Kelompok Penyelenggara

Pemungutan Suara (KPPS) yang tertangkap tangan sedang membagikan uang kepada

masyarakat Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan. "Yang menangkap Ketua Bawaslu

Kalsel sendiri malah," ujar Nasrullah.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Bawaslu, terdapat 13 daerah yang ditemukan

adanya pembagian uang oleh salah satu pasangan calon, seperti di Kaur (Bengkulu),

Gowa (Sulawesi Selatan), Rokan Hulu (Riau), Kepulauan Konawe dan Muna (Sulawesi

Tenggara), Semarang (Jawa Tengah), serta Lampung Selatan, Pesawaran, dan Way

Kanan (Lampung).

Selain itu, terjadi juga pembagian uang sebesar Rp 100-200 ribu di Bone Bolango,

Gorontalo, serta pembagian uang sebesar Rp 50 ribu di Kecamatan Negeri Katon,

Kecamatan Way Lima, dan Kecamatan Way Ratai yang terletak di Pesawaran,

Lampung. Bahkan, terjadi pula pembagian uang sebesar Rp 50 ribu yang disertai

pembagian C6 (undangan bagi pemilih) sebanyak 4 lembar di Gresik, Jawa Timur, dan

juga pembagian C6 yang diselipi sejumlah uang yang berkisar antara Rp 15-20 ribu di

Boyolali, Jawa Tengah.

Praktek money politic dalam Pilkada 2015 juga tidak hanya dilakukan dalam

bentuk pembagian uang saja. Di Muaro Jambi, Jambi, dan Kuantan Senggigi, Riau,

ditemukan adanya pembagian sembako oleh salah satu pasangan calon. Terdapat pula

pembagian sarung yang dilakukan oleh salah satu pasangan calon di Surabaya (Jawa

Timur) serta Bangka Tengah dan Bangka Barat (Bangka Belitung). Selain itu, Bawaslu

juga menemukan adanya pembagian kaos dan kalender oleh salah satu pasangan calon

di Bengkayang, Kalimantan Barat.

Page 7: Tesa Pratama Putra (Rsa1c115014)

Menurut data Bawaslu, ditemukan pula sebanyak 1.621 lembar kupon undian

berhadiah mobil yang diduga dibagikan oleh salah satu pasangan calon kepada pemilih

oleh di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Selain itu, di Lampung Timur, Lampung,

Bawaslu menemukan adanya pemberian bingkisan oleh KPPS yang diduga mendukung

salah satu pasangan calon. Berdasarkan pantauan Bawaslu, terdapat pula adanya

dugaan praktek politik uang yang sedang dalam proses penanganan, yakni di

Kabupaten Ternate (Maluku Utara), Kabupaten Gorontalo (Gorontalo), dan juga

Kabupaten Pohuwato (Gorontalo).\

Menurut Nasrullah, praktek-praktek politik uang memang masih marak terjadi

dalam pelaksanaan pemilihan umum (Pemilu) di Indonesia, khususnya di Pilkada 2015

yang digelar di 269 daerah ini. "Tapi banyak yang sudah ditangkap dan diproses oleh

Panwas (Panitia Pengawas)," tutur Nasrullah.

Pada hari ini, Komisi Pemilihan Umum menggelar pilkada serentak di 269 wilayah

di tanah air. Akan tetapi, ada lima daerah yang ditunda pemilihannya, yakni Provinsi

Kalimantan Tengah, Kabupaten Fakfak, Kabupaten Simalungun, Kota Manado, dan

Kota Pematang Siantar, sehingga hanya terdapat 264 daerah yang menggelar pilkada

serentak.

(TEMPO.CO , Jakarta. RABU, 09 DESEMBER 2015 | 17:20 WIB. Sumber :

pilkada.tempo.co/read/news/2015/12/09/304726342/pilkada-serentak-politik-uang-

ditemukan-di-27-daerah)

3. Kasus “Money Politik” Mencuat Di Pilkada Pangandaran

Panwaslu Kabupaten Pangandaran secara resmi menerima dua laporan “money

politik”, Selasa (6/10). Laporan berasal dari masyarakat Desa Pejaten Kecamatan

Sidamulih dan Desa Sukanagara Kecamatan Padaherang, Kabupaten Pangandaran,

terkait dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh tim salah satu pasangan calon bupati

dan wakil bupati Kabupaten Pangandaran

Untuk kasus di Desa Pejaten Sidamulih terjadi pada hari Senin (5/10) sekira pukul

13.00-15.00 WIB. Salah satu Calon Bupati dan tim kampanye melakukan pertemuan

terbatas di aula desa dengan memberi uang sebesar Rp 50 ribu kepada masyarakat yang

hadir.

Page 8: Tesa Pratama Putra (Rsa1c115014)

Adapun di Desa Sukanagara Padaherang, masih dengan pola yang sama, namun

pertemuannya berlangsung di rumah warga pada Minggu (4/10) sekira pukul 15.00

WIB.

Dari laporan tersebut, Panwaslu Kabupaten Pangandaran pun sudah menerima

sejumlah alat bukti berupa uang pecahan Rp 50 ribu sebanyak empat amplop dan

sejumlah saksi kejadian di Desa Pejaten Sidamulih, serta uang Rp 50 ribu dalam tiga

amplop, lengkap dengan foto dan kamera video.

“Jenis laporan dari masyarakat diterima oleh Panitia Pengawas Kecamatan

(Panwascam) kemarin sore dan dilimpahkan ke Panwaslu tadi pagi,” kata Uri Juwaeni,

Divisi Penindakan Pelanggaran Panwaslu Kabupaten Pangandaran.

Ada pun jenis indikasi pelanggaran adalah indikasi money politik sebesar Rp50 ribu,

namun sampai saat ini pihak Panwaslu masih melakuka pengkajian apakah data

pelaporan tersebut masuk pada ranah pidana atau pelanggaran biasa.

“Berkas pelaporan akan diperiksa kelengkapannya, apabila memenuhi unsur

pelaporan maka akan ditindaklanjuti,” tambahnya.

Uri menegaskan, agar pelaksanaan Pilkada berjalan dengan lancar dan tidak terjadi

pelanggaran selain peran petugas Panitia Pengawas Kecamatan (Panwascam) dan

Panitia Pengawas Lapangan (PPL), peran serta masyarakat pun sangat dibutuhkan

untuk mengawal Pilkada Pangandaran. (iwn)

(Sumber : www.seputarjabar.com/2015/10/kasus-money-politik-mencuat-di-

pilkada.html?m=1)

Page 9: Tesa Pratama Putra (Rsa1c115014)

TANGGAPAN DAN SOLUSI DARI PEMERINTAH

Membersihkan politik uang dalam pilkada serentak tahun ini bukan hal mudah.

Pengamat politik dari Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda, Lutfi Wahyudi dan

Budiman, sama-sama meragukan kerja sama KPK, PPATK, Bawaslu, dan KPU.

Menurut Budiman, rata-rata transfer politik uang berbentuk tunai. Mahar politik juga

jarang melalui bantuan lembaga keuangan karena pasti terendus PPATK atau KPK. "Tidak

efektif dan susah dibuktikan meski sudah menjadi rahasia umum," katanya.

Mestinya, kata dia, jika ada oknum politikus yang bermasalah, kejaksaan atau polisi

bisa memberikan ketegasan pada partai bahwa kandidat tersebut bermasalah. "Persoalannya,

adakah pihak yang punya kewenangan untuk melakukan hal tersebut?" katanya.

Senada dengan rekannya, Lutfi Wahyudi mengutarakan bahwa jika calon kepala

daerah memang tersandung kasus dengan kejaksaan atau polisi, lebih baik ditahan atau ada

diberi peringatan tegas oleh penegak hukum. "Selama ini penindakan terhadap calon kepala

daerah yang bermasalah, terutama yang berkaitan dengan politik uang, kurang gregetnya,"

katanya.

Ia lantas mengatakan, "Saya tidak begitu yakin KPK atau PPATK bisa mendeteksi

semuanya. Apalagi, pelaksanaan pilkada dilakukan serentak. Memang diperlukan kerja keras

jika KPK, PPATK, dan Bawaslu ingin berhasil mengungkap praktik-praktik politik uang

tersebut."

Sementara itu, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi

(Perludem) Titi Anggaraeni mengatakan bahwa karena UU Pilkada tidak mengatur

pemberian sanksi pidana terhadap pelaku politik uang, KPU harus mengikutsertakan KPK

untuk mengawasi praktik-praktik politik uang dalam pilkada serentak 2015.

"Harus melibatkan semua aparat penegak hukum yang ada dan sangat penting untuk

juga melibatkan KPK sehingga praktik politik uang ini dapat diantisipasi," kata Titi.

Ia menambahkan bahwa pembahasan UU Pilkada oleh DPR dan pemerintah tidak

dilakukan secara sempurna dan terkesan dipaksakan tanpa melihat kekurangan serta

kelemahannya.

Page 10: Tesa Pratama Putra (Rsa1c115014)

Titi menilai, politik uang merupakan kejahatan konstitusional yang luar biasa karena

dapat mencederai kemurnian suara rakyat dalam pemilu. Pengaturan politik uang dalam UU

Pilkada bisa disikapi dengan dua hal.

Pertama, pembuat UU harus merevisi pengaturan yang ada dalam UU untuk

memperbaiki dan memperkuat penegakan hukum atas praktik politik uang.

Kedua, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) harus segera melakukan koordinasi dengan pihak

penegak hukum yang lain guna mengisi kekosongan hukum tersebut agar setidaknya

kejahatan politik uang dalam pilkada dapat dijerat dengan ketentuan pidana umum.

Sementara itu, Direktur Kelompok Kerja (Pokja) 30 Carolus Tuah menyesalkan tidak adanya

aturan kepemiluan yang menjangkau perilaku politik berujung politik uang. Semua

instrumen, terutama pemberian izin pengelolaan SDA, konsesi proyek, dan penyalahgunaan

dana APBD dengan modus hibah dan bantuan sosial (bansos), baru terdeteksi setelah pilkada

usai.

Modus demikian, kata dia, ketahuan setelah momen menagih janji politik tiba. Menjadi

preseden mengingat banyak kasus korupsi ditangani KPK selepas pilkada. "Pengawasan

berjalan tidak efektif. Sistem sekarang menghendaki itu. Politik uang sulit dihilangkan," kata

Tuah.

Dalam pilkada serentak akhir tahun ini, sembilan kabupaten/kota di Kaltim turut serta. Wakil

Ketua PPATK Agus Santoso menyebutkan ada langkah-langkah yang bakal diperbuat

lembaganya untuk mengawal pilkada serentak. Pertama, menelusuri rekam jejak para

kontestan bekerja sama dengan Bawaslu dan KPU. Kedua, mencegah transaksi mencurigakan

seperti yang selama ini sudah diriset.

Dari riset itu, terdapat tindak pidana pencucian uang (TPPU). Pihaknya mengendus beberapa

modus politik uang dalam pilkada. Pertama, indikasi politik uang sejak dua tahun sebelum

pilkada. Berikutnya, PPATK mengendus patgulipat antara pengusaha hitam dengan bakal

calon. Modusnya, para pengusaha diberikan izin pengelolaan sumber daya alam.

Dari situ, ada "kickback" yang diperoleh para calon. Selain itu, untuk calon berstatus

petahana, PPATK menemukan potensi penyalahgunaan APBD dengan modus hibah, bantuan

sosial, dan dana pendidikan.

Page 11: Tesa Pratama Putra (Rsa1c115014)

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga mengaku berupaya mewujudkan pilkada bersih.

Mereka meluncurkan program Pilkada Berintegritas. Pimpinan KPK Johan Budi

mengungkapkan bahwa pihaknya memantau para kontestan yang berstatus penyelenggara,

sesuai dengan domain KPK.

"Salah satu yang kami lakukan meminta para calon melaporkan LHKPN (laporan harta

kekayaan penyelenggara negara)," kata Johan.

Selain itu, lanjut dia, KPK mengawal penandatanganan pakta integritas, baik penyelenggara

pilkada maupun para kontestan.

Sayangnya, penyampaian LHKPN kepada KPK sebatas imbauan moral. Tidak ada sanksi

kepada pejabat yang abai. Padahal, LHKPN bisa dijadikan upaya pencegahan jika diterapkan

dengan serius.

Namun, Wakil Ketua Komisi II DPR RI Lukman Edy yakin potensi politik uang dalam

pilkada serentak dapat ditekan seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015

tentang Pemilihan Gubernur, Wali Kota dan Bupati (UU Pilkada). Undang-Undang tersebut

mengatur sanksi bagi pelaku kecurangan dalam pilkada.

Ia memastikan setiap calon kepala daerah akan dibatalkan kemenangannya jika terbukti

melakukan kecurangan, termasuk praktik politik uang. Bahkan, partainya didiskualifikasi.

Seperti ditegaskan Wakil Sekjen DPP PKB itu, pilkada serentak yang dijadwalkan pada

tanggal 9 Desember 2015 akan diawasi lebih ketat. "Potensi politik uang tetap ada. Akan

tetapi, bukan berarti kita harus mundur. Undang-Undang Pilkada menjadi rambu, menjadi

ranjau. Saya kira ini lebih baik," katanya.

Page 12: Tesa Pratama Putra (Rsa1c115014)

TANGGAPAN

Politik uang atau politik perut adalah sebuah bentuk pelanggaran kampanye. Politik

uang umumnya dilakukan simpatisan, kader atau bahkan pengurus partai politik menjelang

hari H pemilihan umum. Praktik politik uang dilakukan dengan cara pemberian berbentuk

uang, sembako antara lain beras, minyak dan gula kepada masyarakat dengan tujuan untuk

menarik simpati masyarakat agar mereka memberikan suaranya untuk partai yang

bersangkutan.

Besarnya pengaruh Politik Uang (Money Politic) menurut saya masih sangat signifikan,

baik yang secara terang-terangan maupun yang terselubung, melaui sembako murah

misalnya. Maka wajar saja kalau tidak ada perubahan signifikan atas hasil pemilu selama ini

untuk bangsa kita. Namun masyarakat tetap saja memilih partai atau caleg yang gagal

tersebut, meski tidak dipungkiri bahwa hasil ini merupakan cerminan loyalitas kader, tapi

loyalitas kader terhadap partai seperti yang tergambar diatas, tidak akan berpengaruh besar

terhadap pemilihan caleg.

Ada satu titik lemah lagi yang lebih penting untuk di perhatikan dibanding yang diatas

tersebut, yaitu caleg yang punya modal besar dan memiliki moralitas dipertanyakan (karena

mau menyuap rakyat / menganggap halal kolusi dengan Money politik-nya) dialah yang

beruntung sedangkan Caleg yang memiliki moralitas baik (tidak mau menyuap pemilih)

meski dia di tempatkan di nomer urut teratas oleh partainya akan hanya gigit jari dan secara

otomatis akan lenyap entah kemana, hal ini akan memperbesar dan mempercepat bangsa ini

hancur, karena akan semakin banyak pemimpin negeri ini yang tidak bermoral.

Kecuali pemerintah melalui KPU dan PANWASLU mampu menjamin tidak adanya

Money Politic di pemilu yang akan datang, tapi sepertinya mustahil, kenapa, karena justru

kadang pemilih (rakyat)-lah yang meminta adanya Money Politic.

Politik memang membutuhkan dana. Belanja politik direncanakan dan digunakan untuk

berbagai kegiatan program kampanye. Untuk membangun komunikasi politik dengan

konstituen, serta menyerap dan mengartikulasikan kepentingan masyarakat. Politisi dalam

kompetisi untuk meraih dukungan pemilih, tanpa dana hampir dapat dipastikan akan kalah.

Tetapi dana politik dan politik uang jelas berbeda. Letak perbedaan adalah modus dalam

pengunaan dana yang digunakan untuk menggalang dukungan pemilih. Hal tekait pula

sumber pendanaannya. Realitas politik menunjukan, bahwa politisi yang tidak punya dana;

Page 13: Tesa Pratama Putra (Rsa1c115014)

sudah hampir dapat dipastikan akan kalah dan tersingkir. Faktanya politisi tidak hanya

memerlukan dana kampanye yang cukup besar untuk meraih dukungan dari konstituen. Justru

umumnya politisi sebelumnya membutuhkan dana untuk meraih restu dan dukungan

walaupun tidak resmi dari elite partai, yang mengusungnya.

Namun dalam hal ini terdapat praktik balas budi. Dimana penyumbang atau donatur

terbesar dari dana kampanye, jika calon yang diusungkan tersebut menang, akan timbul pula

nepotisme, dimana si donatur pendapat posisi yang bagus di pemerintahan atas usungan dari

calon pemimpin yang menang tersebut.

Pada pemilu diwarnai dengan praktik politik uang. Hal ini terjadi karena sebagian besar

rakyat telah terbiasa dengan praktik ini dalam proses-proses politik yang terjadi yang

dilakukan secara langsung, baik untuk memilih kepala desa, bupati/wakil bupati,

walikota/wakil walikota, maupun gubernur/wakil gubernur. Padahal, salah satu pertimbangan

dilakukannya pemilihan langsung adalah agar praktik politik uang bisa diminimalisir. Bahkan

dalam demokrasi langsung sebagaimana yang terjadi selama ini, praktik politik uang menjadi

semakin tak dapat dikendalikan. Berbagai peraturan perundang-undangan yang melarang

praktik haram ini, seolah dibuat hanya untuk melanggar.

Calon-calon yang maju kemudian melakukan cara-cara instan dan praktis untuk

menggerakkan rakyat yang memiliki hak pemilih untuk memberikan hak pilihnya.Hal inilah

yang kemudian menyebabkan kualitas pejabat publik menjadi terabaikan. Sebab, seseorang

dipilih menjadi pejabat politik bukan karena kualitas atau kapasitasnya dan kompetensinya

untuk menempati posisi politik tersebut, tetapi semata-mata karena memberikan uang kepada

para pemilih menjelang saat pemilihan. Inilah menyebabkan jabatan-jabatan publik akhirnya

ditempati oleh kaum medioker alias mereka yang sesungguhnya tidak memiliki prestasi

memadai untuk menjalankan struktur negara. Akibatnya tentu saja struktur negara tidak akan

bekerja dengan baik untuk mewujudkan cita-cita negara untuk mewujudkan kebaikan

bersama.

Politik uang sesungguhnya menunjukkan tidak adanya nilai lebih kualitas caleg.

Mereka tidak melakukan kemampuan untuk mengkominikasi visi politik mereka kepada

masyarakat. Bahkan sangat mungkin memang mereka tidak memiliki visi politik yang akan

diderivasikan dan diwujudkan ketika mereka benar-benar terpilih nantinya.

Page 14: Tesa Pratama Putra (Rsa1c115014)

Jika politik uang terus terjadi, dapat dipastikan bahwa dunia politik akan menjadi

semakin rusak. Demokrasi prosedural hanya akan menjadi lahan bagi kaum medioker, yaitu

mereka yang tidak memiliki prestasi memadai, untuk meraih kekuasaan. Bahkan sangat

mungkin demokrasi prosedural akan dimanfaatkan oleh mereka yang memiliki hasrat tak

terbendung dan kerakusan untuk menguasai harta kekayaan negara. Karena itu, segala macam

cara kemudian mereka lakukan untuk memperoleh kekuasaan. Dan kekuasaan itu nantinya

akan digunakan untuk mengembalikan uang yang telah digunakan untuk memperoleh

kekuasaan itu. Bahkan ia akan digunakan untuk mendapatkan kekayaan dengan jumlah yang

berlipat-lipat. Karena itulah, politik uang harus dianggap sebagi kejahatan besar dalam politik

yang harus dilawan dan dienyahkan secara bersama-sama.