teknik peningkatan disolusi dan bioavailabilitas

26
TEKNIK PENINGKATAN DISOLUSI DAN BIOAVAILABILITAS Feb 11 Agar suatu obat dapat diabsorsi, pertama sekali obat tersebut harus dapat terlarut (terdispersi molekuler) dalam cairan dimana obat tersebut akan diabsorpsi. Di dalam banyak kasus, kecepatan disolusi atau waktu yang dibutuhkan untuk obat melarut dalam cairan pencernaan menjadi kecepatan pembatas (rate-limiting step) dari proses absorbsi. Hal Ini benar/berlaku untuk obat yang diberikan dalam bentuk sediaan padat oral seperti tablet, kapsul atau suspensi, seperti halnya juga untuk obat yang diberikan secara intramuskular dalam bentuk granul atau suspensi. Ketika kecepatan disolusi merupakan rate- limiting step, maka kecepatan disolusi juga akan mempengaruhi absorpsi. Akibatnya, kecepatan disolusi dapat mempengaruhi onset, durasi dan intensitas respon, dan mengontrol keseluruhan bioavailabilitas obat dari suatu sediaan. Berdasarkan biopharmaceutics classification system (BCS), maka kelarutan dan permeabilitas suatu obat/new chemical entity (NCE) dapat diklasifikasikan menjadi 4 kelas Kelas I Kelarutan tinggi – permeabilitas tinggi Kelas II Kelarutan rendah – permeabilitas tinggi Kelas III Kelarutan tinggi – permeabilitas rendah Kelas IV Kelarutan rendah – permeabilitas rendah Sekarang ini 40% obat/ new chemical entity (NCE) masuk dalam katagori kelas II dan kelas IV. Obat-obat yang mempunyai kelarutan tinggi (mudah larut) maka rate- limiting step bukan pada kecepatan disolusi (seperti pada kelas I dan III). Pada kasus kelas II yaitu obat yang mempunyai kelarutan rendah-permabilitas tinggi maka kecepatan absorbsi obat tersebut ditentukan/dibatasi

Upload: intanputriinsyiroh

Post on 26-Dec-2015

114 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

metode pengujian stabilitas

TRANSCRIPT

Page 1: Teknik Peningkatan Disolusi Dan Bioavailabilitas

TEKNIK PENINGKATAN DISOLUSI DAN BIOAVAILABILITAS

Feb

11

Agar suatu obat dapat diabsorsi, pertama sekali obat tersebut harus dapat terlarut (terdispersi

molekuler) dalam cairan dimana obat tersebut akan diabsorpsi. Di dalam banyak kasus,

kecepatan disolusi atau waktu yang dibutuhkan untuk obat melarut dalam cairan pencernaan

menjadi kecepatan pembatas (rate-limiting step) dari proses absorbsi. Hal Ini benar/berlaku

untuk obat yang diberikan dalam bentuk sediaan padat oral seperti tablet, kapsul atau

suspensi, seperti halnya juga untuk obat yang diberikan secara intramuskular dalam bentuk

granul atau suspensi. Ketika kecepatan disolusi merupakan rate-limiting step, maka

kecepatan disolusi juga akan mempengaruhi absorpsi. Akibatnya, kecepatan disolusi dapat

mempengaruhi onset, durasi dan intensitas respon, dan mengontrol keseluruhan

bioavailabilitas obat dari suatu sediaan.

Berdasarkan biopharmaceutics classification system (BCS), maka kelarutan dan

permeabilitas suatu obat/new chemical entity (NCE) dapat diklasifikasikan menjadi 4 kelas

Kelas I Kelarutan tinggi – permeabilitas tinggiKelas II Kelarutan rendah – permeabilitas tinggiKelas III Kelarutan tinggi – permeabilitas rendahKelas IV Kelarutan rendah – permeabilitas rendah

Sekarang ini 40% obat/ new chemical entity (NCE) masuk dalam katagori kelas II dan kelas IV. Obat-obat yang mempunyai kelarutan tinggi (mudah larut) maka rate-limiting step bukan pada kecepatan disolusi (seperti pada kelas I dan III). Pada kasus kelas II yaitu obat yang mempunyai kelarutan rendah-permabilitas tinggi maka kecepatan absorbsi obat tersebut ditentukan/dibatasi oleh tahapan kecepatan disolusi obat tersebut dalam cairan ditempat obat diabsorpsi. Hal ini merupakan suatu tantangan bagi formulator untuk dapat mencari cara/teknik yang tepat dalam rangka meningkatkan kelarutan senyawa obat tersebut. Dengan adanya peningkatan kecepatan disolusi/kelarutan, diharapkan bioavailabilitas obat tersebut juga meningkat.Ada sejumlah teknik yang dapat digunakan untuk meningkatkan Kecepatan disolusi/kelarutan

dari suatu obat, diantaranya:1. Pendekatan Pro-drug (Pro-drug approach)2. Sintesis bentuk garam (Salt synthesis)

Page 2: Teknik Peningkatan Disolusi Dan Bioavailabilitas

3. Pengecilan ukuran partikel (Particle size reduction)4. Pembentukan komplek (Complexation)5. Perubahan bentuk fisik (Change in physical form)6. Dispersi padat (Solid dispersions)7. Pengeringan semprot (Spray dryng)8. Hot-melt extrusion

Peningkatan bioavailabilitas suatu zat aktif dapat dilakukan dengan berbagai cara,

diantaranya dengan peningkatan disolusi/kelarutan zat aktif. Terdapat bermacam-macam

teknik untuk peningkatan kelarutan. Pemilihan tehnik yang tepat harus mempertimbangkan

banyak faktor seperti sifat fisika-kimia bahan obat/zat aktif, stabilitas/shelf-life, kemudahan

dalam pemprosesan/penanganan, serta besarnya kelarutan yang diinginkankan

TEKNIK PENINGKATAN DISOLUSI DAN BIOAVAILABILITAS

Feb

11

Agar suatu obat dapat diabsorsi, pertama sekali obat tersebut harus dapat terlarut (terdispersi

molekuler) dalam cairan dimana obat tersebut akan diabsorpsi. Di dalam banyak kasus,

kecepatan disolusi atau waktu yang dibutuhkan untuk obat melarut dalam cairan pencernaan

menjadi kecepatan pembatas (rate-limiting step) dari proses absorbsi. Hal Ini benar/berlaku

untuk obat yang diberikan dalam bentuk sediaan padat oral seperti tablet, kapsul atau

suspensi, seperti halnya juga untuk obat yang diberikan secara intramuskular dalam bentuk

granul atau suspensi. Ketika kecepatan disolusi merupakan rate-limiting step, maka

kecepatan disolusi juga akan mempengaruhi absorpsi. Akibatnya, kecepatan disolusi dapat

mempengaruhi onset, durasi dan intensitas respon, dan mengontrol keseluruhan

bioavailabilitas obat dari suatu sediaan.

Berdasarkan biopharmaceutics classification system (BCS), maka kelarutan dan

permeabilitas suatu obat/new chemical entity (NCE) dapat diklasifikasikan menjadi 4 kelas

Kelas I Kelarutan tinggi – permeabilitas tinggiKelas II Kelarutan rendah – permeabilitas tinggiKelas III Kelarutan tinggi – permeabilitas rendahKelas IV Kelarutan rendah – permeabilitas rendah

Sekarang ini 40% obat/ new chemical entity (NCE) masuk dalam katagori kelas II dan kelas IV. Obat-obat yang mempunyai kelarutan tinggi (mudah larut) maka rate-limiting step bukan pada kecepatan disolusi (seperti pada kelas I dan III). Pada kasus kelas II yaitu obat

Page 3: Teknik Peningkatan Disolusi Dan Bioavailabilitas

yang mempunyai kelarutan rendah-permabilitas tinggi maka kecepatan absorbsi obat tersebut ditentukan/dibatasi oleh tahapan kecepatan disolusi obat tersebut dalam cairan ditempat obat diabsorpsi. Hal ini merupakan suatu tantangan bagi formulator untuk dapat mencari cara/teknik yang tepat dalam rangka meningkatkan kelarutan senyawa obat tersebut. Dengan adanya peningkatan kecepatan disolusi/kelarutan, diharapkan bioavailabilitas obat tersebut juga meningkat.Ada sejumlah teknik yang dapat digunakan untuk meningkatkan Kecepatan disolusi/kelarutan

dari suatu obat, diantaranya:1. Pendekatan Pro-drug (Pro-drug approach)2. Sintesis bentuk garam (Salt synthesis)3. Pengecilan ukuran partikel (Particle size reduction)4. Pembentukan komplek (Complexation)5. Perubahan bentuk fisik (Change in physical form)6. Dispersi padat (Solid dispersions)7. Pengeringan semprot (Spray dryng)8. Hot-melt extrusion

Peningkatan bioavailabilitas suatu zat aktif dapat dilakukan dengan berbagai cara,

diantaranya dengan peningkatan disolusi/kelarutan zat aktif. Terdapat bermacam-macam

teknik untuk peningkatan kelarutan. Pemilihan tehnik yang tepat harus mempertimbangkan

banyak faktor seperti sifat fisika-kimia bahan obat/zat aktif, stabilitas/shelf-life, kemudahan

dalam pemprosesan/penanganan, serta besarnya kelarutan yang diinginkankan

Biofarmasetika

1.1   Latar Belakang

Biofarmasetika adalah ilmu yang mempelajari hubungan sifat fisikokimia formulasi obat terhadap bioavailabilitas obat. Biovailabilitas menyatakan kecepatan dan jumlah obat aktif yang mencapai sirkulasi sistemik.  Oleh   karena  bioavailabilitas   suatu  obat  mempengaruhi  daya   terapetik,   aktivitas   klinik,   dan aktivitas toksik obat, maka mempelajari biofarmasetika menjadi sangat penting. Biofarmasetika bertujuan untuk mengatur pelepasan obat sedemikian rupa ke sirkulasi sistemik agar diperoleh pengobatan yang optimal pada kondisi klinik tertentu (Shargel, 2005).

Obat yang berbeda menunjukkan bioavabilitas yang berbeda pula. Hal ini karena perbedaan sifat fisiko kimianya, seperti kelarutan dalam air, koefisien partisi, stabilitas dan lain-lain.

Pada setiap produk menunjukkan bioavabilitas yang berbeda dengan adanya perbedaan bentuk sediaan.   Bahkan   untuk   bentuk   sediaan   yang   sama   kadang   antar   pabrik   memberikan   perbedaan bioavabilitas,  karena bisa bisa disebabkan oleh bahan pengisi  yang berbeda.  Produk yang sama pada 

Page 4: Teknik Peningkatan Disolusi Dan Bioavailabilitas

pasien  yang  berbeda  sering  menimbulkan  bioavabilitas  yang  berbeda  pula,   sehingga  perlu   individual dosis.   Dan   perbedaan   pemakaian   sesudah   atau   sebelum   makan   juga   memberikan   perbedaan bioavabilitas.

Jadi, dapat disimpulkan factor yangdapat mempengaruhi bioavabilitas obat, yaitu :

1.       Faktor Obat (sifat fisiko-kimia)

2.       Faktor Pabrik (Formulasi Sediaan)

3.       Faktor Pasien (Fisiologi dan Patologi saluran cerna)

Dari ketiga factor di atas, factor pabrik lah yang paling sering dimodifikasi. Oleh karena itu, kami mempraktekan disolusi  antara  obat  generic  dan obat  paten.  Dimana obat  yang kita  gunakan adalah paracetamol tablet 500 mg dan panadol tablet 500 mg.

1.2   Tujuan

Tujuan dari dilakukannya praktikum ini adalah :

1.       Untuk melihat perbedaan disolusi antara obat generic dan obat paten.

2.       Membandingkan hasil disolusi dari obat generic dan obat paten.

 

1.3   Manfaat

Diharapkan dengan dilakukannya praktikum ini, mahasiswa/I dapat memahami tentang :

1.       Cara kerja obat di dalam tubuh.

2.       Waktu hancur sediaan obat di dalam tubuh.

2.1   Disolusi

2.1.1 Pengertian Disolusi

Disolusi   didefinisikan   sebagai   proses   dimana   suatu   zat   padat   masuk   ke   dalam   pelarut menghasilkan suatu larutan. Secara sederhana, disolusi adalah proses dimana zat padat melarut. Secara prinsip dikendalikan oleh afinitas antara zat padat dengan pelarut. Dalam penentuan kecepatan disolusi dari   berbagai   bentuk   sediaan   padat   terlibat   berbagai   proses.   Disolusi   yang  melibatkan   zat  murni. Karakteristik fisik sediaan, proses pembasahan sediaan, kemampuan penetrasi media disolusi ke dalam sediaan,  proses pengembangan,  proses disintegrasi,  dan degradasi  sediaan,  merupakan sebagian dari faktor yang mempengaruhi kerakteristik disolusi obat dari sediaan.

Page 5: Teknik Peningkatan Disolusi Dan Bioavailabilitas

2.1.2 Kecepatan Pelarutan

            Secara sederhana kecepatan pelarutan didefinisikan sebagai jumlah zat yang terlarut dari bentuk sediaan padat  dalam medium tertentu sebagai  fungsi  waktu.  Dapat  juga diartikan sebagai  kecepatan larutan  bahan  obat  dari   sediaan   farmasi  atau  granul  atau  partikel-partikel   sebagai  hasil  pecahannya bentuk sediaan obat tersebut setelah berhubungan dengan cairan medium. Dalam hal tablet biasanya diartikan sebagai mass transfer, yaitu kecepatan pelepasan obat atau kecepatan larut bahan obat dari sediaan tablet kedalam medium penerima.

2.1.3 Teori Disolusi

            Di dalam pembahasan untuk memahami mekanisme disolusi, kadang-kadang digunakan salah satu model atau gabungan dari beberapa model antara lain adalah:

         Model Lapisan Difusi (Diffusion Layer Model)

Model ini pertama kali diusulkan oleh Nerst dan Brunner. Pada permukaan padat terdapat satu lapisan  tipis  cairan  dengan ketebalan  ℓ,  merupakan komponen kecepatan  negatif  dengan arah  yang berlawanan dengan permukaan padat. Reaksi pada permukaan padat – cair berlangsung cepat. Begitu model solut melewati antar muka liquid film – bulk film, pencampuran secara cepat akan terjadi dan gradien konsentrasi akan hilang. Karena itu kecepatan disolusi ditentukan oleh difusi gerakan Brown dari molekul dalam liquid film. 

         Model Barrier Antar Muka (Interfacial Barrier Model)

Model  ini  menggambarkan reaksi  yang terjadi  pada permukaan padat dan dalam hal  ini  terjadi difusi sepanjang lapisan tipis cairan. Sebagai hasilnya, tidak dianggap adanya kesetimbangan padatan – larutan, dan hal ini harus dijadikan pegangan dalam membahas model ini. Proses pada antar muka padat – cair sekarang menjadi pembatas kecepatan ditinjau dari proses transpor. Transpor yang relatif cepat terjadi secara difusi melewati lapisan tipis statis (stagnant).

 

         Model Dankwert (Dankwert Model)

Page 6: Teknik Peningkatan Disolusi Dan Bioavailabilitas

Model ini beranggapan bahwa transpor solut menjauhi permukaan padat terjadi melalui cara paket makroskopik pelarut mencapai antar muka – cair karena terjadi pusaran difusi secara acak. Paket pelarut terlihat pada permukaan padatan. Selama berada pada antar muka, paket mampu mengabsorpsi solut menurut hukum difusi biasa, dan kemudian digantikan oleh paket pelarut segar. Jika dianggap reaksi pada permukaan padat terjadi segera, prosex pembaharuan permukaan tersebut terkait  dengan kecepatan transpor solut ataudengan kata lain disolusi. 

2.1.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Disolusi

            Kecepatan disolusi suatu zat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain adalah: 

         Suhu

Semakin tinggi suhu maka akan memperbesar kelarutan suatu zat yang bersifat endotermik serta akan memperbesar harga koefisien zat tersebut.

 

         Viskositas

                        Turunnya viskositas suatu pelarut juga akan memperbesar kelarutan suatu zat. 

         PH

pH sangat mempengaruhi kelarutan zat-zat yang bersifat asam maupun basa lemah. Zat yang bersifat basa lemah akan lebih mudah larut jika berada pada suasana asam sedangkan asam lemah akan lebih mudah larut jika berada pada suasana basa.

         Ukuran Partikel

Semakin kecil ukuran partikel, maka luas permukaan zat tersebut akan semakin meningkat sehingga akan mempercepat kelarutan suatu zat.

         Polimorfisme dan Sifat Permukaan Zat

Page 7: Teknik Peningkatan Disolusi Dan Bioavailabilitas

Polimorfisme dan sifat  permukaan zat  akan sangat  mempengaruhi  kelarutan suatu zat,  adanya polimorfisme seperti struktur  internal  zat yang berlainan,  akan mempengaruhi  kelarutan zat tersebut dimana kristal metastabil akan lebih mudah larut daripada bentuk stabilnya. Dengan adanya surfaktan dan sifat permukaan zat yang hidrofob, akan menyebabkan tegangan permukaan antar partikel menurun sehingga zat mudah terbasahi dan lebih mudah larut.

            Selain faktor-faktor tersebut adan juga faktor-faktor yang mempengaruhi laju disolusi obat secara in vitro antara lain adalah:

         Sifat Fisika Kimia Obat

Sifat fisika kimia obat berpengaruh besar terhadap kinetika disolusi. Luas permukaan efektif dapat diperbesar dengan memperkecil ukuran partikel. Laju disolusi akan diperbesar karena kelarutan terjadi pada  permukaan   solut.   Kelarutan  obat   dalam  air   juga  mempengaruhi   laju  disolusi.  Obat   berbentuk garam, pada umumnya lebih mudah larut dari pada obat berbentuk asam maupun basa bebas. Obat dapat   membentuk   suatu   polimorfi   yaitu   terdapatnya   beberapa   kinetika   pelarutan   yang   berbeda meskipun memiliki struktur kimia yang identik. Obat bentuk kristal secara umum lebih keras, kaku dan secara termodinamik lebih stabil daripada bentuk amorf, kondisi ini menyebabkan obat bentuk amorf lebih mudah terdisolusi daripada bentuk Kristal.

         Faktor Formulasi

Berbagai   macam   bahan   tambahan   yang   digunakan   pada   sediaan   obat   dapat  mempengaruhi kinetika pelarutan obat  dengan mempengaruhi   tegangan muka antara medium tempat  obat  melarut dengan bahan obat, ataupun bereaksi secara langsung dengan bahan obat. Penggunaan bahan tambahan yang bersifat hidrofob seperti magnesium stearat, dapat menaikkan tegangan antar muka obat dengan medium  disolusi.   Beberapa  bahan   tambahan   lain   dapat  membentuk   kompleks   dengan   bahan   obat, misalnya kalsium karbonat dan kalsium sulfat yang membentuk kompleks tidak larut dengan tetrasiklin. Hal ini menyebabkan jumlah obat terdisolusi menjadi lebih sedikit dan berpengaruh pula terhadap jumlah obat yang diabsorpsi.

         Faktor alat dan kondisi lingkungan

Adanya perbedaan alat yang digunakan dalam uji disolusi akan menyebabkan perbedaan kecepatan pelarutan obat. Kecepatan pengadukan akan mempengaruhi kecepatan pelarutan obat, semakin cepat pengadukan maka gerakan medium akan semakin cepat sehingga dapat menaikkan kecepatan pelarutan. 

Page 8: Teknik Peningkatan Disolusi Dan Bioavailabilitas

Selain   itu   temperatur,   viskositas  dan  komposisi   dari  medium,   serta  pengambilan   sampel   juga  dapat mempengaruhi kecepatan pelarutan obat.

2.1.5          Metode Pengujian Disolusi

Untuk mengetahui kecepatan pelarutan suatu zat atau sediaan dapat dilakukan uji disolusi dengan menggunakan metode-metode sebagai berikut:

         Metode Klasik

Metode ini dapat menunjukkan jumlah zat aktif yang terlarut pada waktu t, yang kemudian dikenal dengan T-20, T-50, T-90, dan sebagainya. Karena dengan metode ini  hanya menyebutkan 1 titik saja, maka proses yang terjadi di luar titik tersebut tidak diketahui. Titik terebut menyatakan jumlah zat aktif yang terlarut pada waktu tertentu.

 

         Metode Khan

Metode ini kemudian dikenal dengan konsep dissolution efficiency (DE)area di bawah kurva disolusi di antara titik waktu yang ditentukan. Dirumuskan dengan persamaan sebagi berikut :

DE = 0t ∫Y dt x 100%

                                                                 Y100.t

Beberapa peneliti  mensyaratkan bahwa penggunaan DE sebaiknya mendekati 100% zat  yang terlarut. Keuntungan metode ini adalah :

  Dapat menggambarkan seluruh proses percobaan yang dimaksud dengan harga DE.

   Dapat menggambarkan hubungan antara percobaan in vitro dan in vivo karena penggambaran dengan cara DE ini mirip dengan cara penggambaran pecobaan in vivo

         Metode Wagner

Page 9: Teknik Peningkatan Disolusi Dan Bioavailabilitas

Metode ini dapat menghitung tetapan kecepatan pelarutan (k) dengan berdasarkan pada asumsi bahwa kondisi percobaan dalam keadaan sink, proses pelarutan mengikuti orde satu, luas permukaan spesifik turun secara eksponensial terhadap waktu.

                        Metode Wagner dapat diungkapkan dengan persamaan sebagai berikut

 

ln 100 ( W~ - W ) = A – ( k.t )

         Jumlah zat aktif yang melarut pada waktu tertentu, misalnya C30 adalah dalam waktu 30 menit zat aktif yang melarut sebanyak x mg atau x mg/ml.

2.1.6          Alat Uji Disolusi

Pengujian   disolusi   hampir   di   semua   negara   telah  mengikuti   kriteria   dan   peralatan   yang   sama. Sedangkan  metode  dan  peralatan   secara   rinci   dinyatakan  dalam  masing-masing   Farmakope,   seperti kecepatan pengadukan, komposisi  volume media dan ukuran mesh dapat bervariasi  untuk monografi individu obat dan masing-masing Farmakope.

Cara pertama yang diuraikan dalam Farmakope Indonesia adalah cara keranjang yang menggunakan pengaduk   jenis   keranjang   dan   cara   yang   kedua   adalah   cara   dayung   yang  menggunakan   pengaduk berbentuk   dayung.  Dalam   Farmakope   Indonesia   kedua   cara   ini   dikenal   dengan   cara   keranjang   dan dayung.

2.1.7          Teknik Meningkatkan Kecepatan Disolusi

Peningkatan   bioavailabilitas   suatu   zat   aktif   dapat   dilakukan   dengan   berbagai   cara,   diantaranya dengan peningkatan disolusi/kelarutan zat aktif. Terdapat bermacam-macam teknik untuk peningkatan kelarutan. Pemilihan tehnik yang tepat harus mempertimbangkan banyak faktor seperti sifat fisika-kimia bahan obat/zat aktif, stabilitas / shelf – life, kemudahan dalam pemprosesan/penanganan, serta besarnya kelarutan yang diinginkankan.  sejumlah teknik  yang dapat  digunakan untuk meningkatkan Kecepatan disolusi/kelarutan dari suatu obat, diantaranya:  

  Pendekatan Pro-drug (Pro-drug approach)

Page 10: Teknik Peningkatan Disolusi Dan Bioavailabilitas

  Sintesis bentuk garam (Salt synthesis)

  Pengecilan ukuran partikel (Particle size reduction)

  Pembentukan komplek (Complexation)

  Perubahan bentuk fisik (Change in physical form)

  Dispersi padat (Solid dispersions)

  Pengeringan semprot (Spray dryng)

  Hot-melt extrusion

2.2        Acetaminophen (Paracetamol)

                                          N-asetil-4-aminofenol

                                Rumus Empiris : C8H9NO2

                                BM                         : 151,16.

Asetaminophen  mengandung  tidak  kurang  dari  98,0% dan tidak  lebih  dari  101,0% C8H9NO2,  dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan.

Pemerian Hablur atau serbuk hablur putih : tidak berbau ; rasa pahit.

Kelarutan Larut dalam 70 bagian air, dalam 7 bagian etanol (95%) P, dalam 13 bagian aseton P, dalam 40 bagian gliserol P dan dalam 9 bagian propilenglikol p : larut dalam larutan alkali hidroksida.

                           Suhu lebur : 169 ⁰ C sampai 172⁰ C.

                           Timbal tidak lebih dari 10 bpj.

                           Surut pengeringan tidak lebih dari 0,5%.

                           Sisa pemijaran tidak lebih dari 0,1%.

Page 11: Teknik Peningkatan Disolusi Dan Bioavailabilitas

                           Penetapan kadar dengan cara penetapan kadar nitrogen, menggunakan 300 mg yang 

                           ditimbang seksama dan 8 ml asam sulfat bebas nitrogen P.

                1 ml asam sulfat 0,1 N setara dengan 15,116 mg C8H9NO2.

Penyimpanan dalam wadah tertutup baik, terlindung dari cahaya.

Khasiat dan penggunaan Analgetik dan Antipiretik.

Efek amping : Pada dosis yang direkomendasikan, parasetamol tidak mengiritasi lambung, memengaruhi koagulasi darah, atau memengaruhi fungsi ginjal. Namun, pada dosis besar (lebih dari 2000 mg per hari) dapat meningkatkan risiko gangguan pencernaan bagian atas. Hingga tahun 2010, parasetamol dipercaya aman untuk digunakan selama masa kehamilan.

Kelebihan dosis : Penggunaan parasetamol di atas rentang dosis terapi dapat menyebabkan gangguan hati. Pengobatan toksisitas parasetamol dapat dilakukan dengan cara pemberian asetilsistein (N-asetil sistein)  yang merupakan prekusor  glutation,  membantu tubuh untuk mencegah kerusakan hati  lebih lanjut.

Mekanisme   Aksi   :   Mekanisme   aksi   utama   dari   parasetamol   adalah   hambatan   terhadap   enzim siklooksigenase (COX: cyclooxigenase), dan penelitian terbaru menunjukkan bahwa obat ini lebih selektif menghambat   COX-2.   Meskipun   mempunyai   aktivitas   antipiretik   dan   analgesik,   tetapi   aktivitas antiinflamasinya sangat  lemah karena dibatasi  beberapa faktor,  salah satunya adalah tingginya kadar peroksida dapat lokasi inflamasi. Hal lain, karena selektivitas hambatannya pada COX-2, sehingga obat ini tidak menghambat aktivitas tromboksan yang merupakan zat pembekuan darah.

Dosis Lazim : 1. Sekali minum : 500 mg ; 2. Sehari : 500 – 2000 mg.

2.3        Panadol Tablet

Indikasi:

Meringankan rasa sakit seperti sakit kepala, sakit gigi, sakit otot, dan menurunkan demam yang disertai flu dan demam sesudah vaksinasi.

 

Kontra Indikasi:

Pada penderita yang hipersensitif  terhadap parasetamol,  dan penderita dengan gangguan fungsi  hati yang berat.

 

Page 12: Teknik Peningkatan Disolusi Dan Bioavailabilitas

Deskripsi:

Efek analgesik dan antipiretik parasetamol sama dengan golongan salisilat. Khasiat analgesik parasetamol timbul   karena   efek   depresi   selektif   terhadap   alat   resepsi   rasa   sakit   rasa   sakit   pada   talamus   dan hipotalamus disusun saraf pusat. Parasetamol menurunkan suhu badan melalui efek langsung terhadap pusat-pusat   pengatur   suhu   di   susun   saraf   pusat,  memperbanyak   pengeluran   panas   badan   dengan meningkatkan peredaran darah tepi/perifer dan berkeringat.

  

DAFTAR PUSTAKA 

1.       http://dormatio.blogspot.com/2013/05/definisi-biofarmasetika.html

2.       http://hendra-stenly.blogspot.com/2012/02/disolusi.html

3.       Farmakope Indonesia Edisi Ketiga 1979.

4.       http://id.wikipedia.org/wiki/Parasetamol

5.       http://www.dechacare.com/Panadol-Tablet-P125.html

Biofarmasetika

1.1   Latar Belakang

Biofarmasetika adalah ilmu yang mempelajari hubungan sifat fisikokimia formulasi obat terhadap bioavailabilitas obat. Biovailabilitas menyatakan kecepatan dan jumlah obat aktif yang mencapai sirkulasi sistemik.  Oleh   karena  bioavailabilitas   suatu  obat  mempengaruhi  daya   terapetik,   aktivitas   klinik,   dan aktivitas toksik obat, maka mempelajari biofarmasetika menjadi sangat penting. Biofarmasetika bertujuan untuk mengatur pelepasan obat sedemikian rupa ke sirkulasi sistemik agar diperoleh pengobatan yang optimal pada kondisi klinik tertentu (Shargel, 2005).

Obat yang berbeda menunjukkan bioavabilitas yang berbeda pula. Hal ini karena perbedaan sifat fisiko kimianya, seperti kelarutan dalam air, koefisien partisi, stabilitas dan lain-lain.

Pada setiap produk menunjukkan bioavabilitas yang berbeda dengan adanya perbedaan bentuk sediaan.   Bahkan   untuk   bentuk   sediaan   yang   sama   kadang   antar   pabrik   memberikan   perbedaan bioavabilitas,  karena bisa bisa disebabkan oleh bahan pengisi  yang berbeda.  Produk yang sama pada pasien  yang  berbeda  sering  menimbulkan  bioavabilitas  yang  berbeda  pula,   sehingga  perlu   individual dosis.   Dan   perbedaan   pemakaian   sesudah   atau   sebelum   makan   juga   memberikan   perbedaan bioavabilitas.

Jadi, dapat disimpulkan factor yangdapat mempengaruhi bioavabilitas obat, yaitu :

1.       Faktor Obat (sifat fisiko-kimia)

Page 13: Teknik Peningkatan Disolusi Dan Bioavailabilitas

2.       Faktor Pabrik (Formulasi Sediaan)

3.       Faktor Pasien (Fisiologi dan Patologi saluran cerna)

Dari ketiga factor di atas, factor pabrik lah yang paling sering dimodifikasi. Oleh karena itu, kami mempraktekan disolusi  antara  obat  generic  dan obat  paten.  Dimana obat  yang kita  gunakan adalah paracetamol tablet 500 mg dan panadol tablet 500 mg.

1.2   Tujuan

Tujuan dari dilakukannya praktikum ini adalah :

1.       Untuk melihat perbedaan disolusi antara obat generic dan obat paten.

2.       Membandingkan hasil disolusi dari obat generic dan obat paten.

 

1.3   Manfaat

Diharapkan dengan dilakukannya praktikum ini, mahasiswa/I dapat memahami tentang :

1.       Cara kerja obat di dalam tubuh.

2.       Waktu hancur sediaan obat di dalam tubuh.

2.1   Disolusi

2.1.1 Pengertian Disolusi

Disolusi   didefinisikan   sebagai   proses   dimana   suatu   zat   padat   masuk   ke   dalam   pelarut menghasilkan suatu larutan. Secara sederhana, disolusi adalah proses dimana zat padat melarut. Secara prinsip dikendalikan oleh afinitas antara zat padat dengan pelarut. Dalam penentuan kecepatan disolusi dari   berbagai   bentuk   sediaan   padat   terlibat   berbagai   proses.   Disolusi   yang  melibatkan   zat  murni. Karakteristik fisik sediaan, proses pembasahan sediaan, kemampuan penetrasi media disolusi ke dalam sediaan,  proses pengembangan,  proses disintegrasi,  dan degradasi  sediaan,  merupakan sebagian dari faktor yang mempengaruhi kerakteristik disolusi obat dari sediaan.

2.1.2 Kecepatan Pelarutan

            Secara sederhana kecepatan pelarutan didefinisikan sebagai jumlah zat yang terlarut dari bentuk sediaan padat  dalam medium tertentu sebagai  fungsi  waktu.  Dapat  juga diartikan sebagai  kecepatan 

Page 14: Teknik Peningkatan Disolusi Dan Bioavailabilitas

larutan  bahan  obat  dari   sediaan   farmasi  atau  granul  atau  partikel-partikel   sebagai  hasil  pecahannya bentuk sediaan obat tersebut setelah berhubungan dengan cairan medium. Dalam hal tablet biasanya diartikan sebagai mass transfer, yaitu kecepatan pelepasan obat atau kecepatan larut bahan obat dari sediaan tablet kedalam medium penerima.

2.1.3 Teori Disolusi

            Di dalam pembahasan untuk memahami mekanisme disolusi, kadang-kadang digunakan salah satu model atau gabungan dari beberapa model antara lain adalah:

         Model Lapisan Difusi (Diffusion Layer Model)

Model ini pertama kali diusulkan oleh Nerst dan Brunner. Pada permukaan padat terdapat satu lapisan  tipis  cairan  dengan ketebalan  ℓ,  merupakan komponen kecepatan  negatif  dengan arah  yang berlawanan dengan permukaan padat. Reaksi pada permukaan padat – cair berlangsung cepat. Begitu model solut melewati antar muka liquid film – bulk film, pencampuran secara cepat akan terjadi dan gradien konsentrasi akan hilang. Karena itu kecepatan disolusi ditentukan oleh difusi gerakan Brown dari molekul dalam liquid film. 

         Model Barrier Antar Muka (Interfacial Barrier Model)

Model  ini  menggambarkan reaksi  yang terjadi  pada permukaan padat dan dalam hal  ini  terjadi difusi sepanjang lapisan tipis cairan. Sebagai hasilnya, tidak dianggap adanya kesetimbangan padatan – larutan, dan hal ini harus dijadikan pegangan dalam membahas model ini. Proses pada antar muka padat – cair sekarang menjadi pembatas kecepatan ditinjau dari proses transpor. Transpor yang relatif cepat terjadi secara difusi melewati lapisan tipis statis (stagnant).

 

         Model Dankwert (Dankwert Model)

Model ini beranggapan bahwa transpor solut menjauhi permukaan padat terjadi melalui cara paket makroskopik pelarut mencapai antar muka – cair karena terjadi pusaran difusi secara acak. Paket pelarut terlihat pada permukaan padatan. Selama berada pada antar muka, paket mampu mengabsorpsi solut menurut hukum difusi biasa, dan kemudian digantikan oleh paket pelarut segar. Jika dianggap reaksi pada permukaan padat terjadi segera, prosex pembaharuan permukaan tersebut terkait  dengan kecepatan transpor solut ataudengan kata lain disolusi. 

Page 15: Teknik Peningkatan Disolusi Dan Bioavailabilitas

2.1.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Disolusi

            Kecepatan disolusi suatu zat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain adalah: 

         Suhu

Semakin tinggi suhu maka akan memperbesar kelarutan suatu zat yang bersifat endotermik serta akan memperbesar harga koefisien zat tersebut.

 

         Viskositas

                        Turunnya viskositas suatu pelarut juga akan memperbesar kelarutan suatu zat. 

         PH

pH sangat mempengaruhi kelarutan zat-zat yang bersifat asam maupun basa lemah. Zat yang bersifat basa lemah akan lebih mudah larut jika berada pada suasana asam sedangkan asam lemah akan lebih mudah larut jika berada pada suasana basa.

         Ukuran Partikel

Semakin kecil ukuran partikel, maka luas permukaan zat tersebut akan semakin meningkat sehingga akan mempercepat kelarutan suatu zat.

         Polimorfisme dan Sifat Permukaan Zat

Polimorfisme dan sifat  permukaan zat  akan sangat  mempengaruhi  kelarutan suatu zat,  adanya polimorfisme seperti struktur  internal  zat yang berlainan,  akan mempengaruhi  kelarutan zat tersebut dimana kristal metastabil akan lebih mudah larut daripada bentuk stabilnya. Dengan adanya surfaktan dan sifat permukaan zat yang hidrofob, akan menyebabkan tegangan permukaan antar partikel menurun sehingga zat mudah terbasahi dan lebih mudah larut.

Page 16: Teknik Peningkatan Disolusi Dan Bioavailabilitas

            Selain faktor-faktor tersebut adan juga faktor-faktor yang mempengaruhi laju disolusi obat secara in vitro antara lain adalah:

         Sifat Fisika Kimia Obat

Sifat fisika kimia obat berpengaruh besar terhadap kinetika disolusi. Luas permukaan efektif dapat diperbesar dengan memperkecil ukuran partikel. Laju disolusi akan diperbesar karena kelarutan terjadi pada  permukaan   solut.   Kelarutan  obat   dalam  air   juga  mempengaruhi   laju  disolusi.  Obat   berbentuk garam, pada umumnya lebih mudah larut dari pada obat berbentuk asam maupun basa bebas. Obat dapat   membentuk   suatu   polimorfi   yaitu   terdapatnya   beberapa   kinetika   pelarutan   yang   berbeda meskipun memiliki struktur kimia yang identik. Obat bentuk kristal secara umum lebih keras, kaku dan secara termodinamik lebih stabil daripada bentuk amorf, kondisi ini menyebabkan obat bentuk amorf lebih mudah terdisolusi daripada bentuk Kristal.

         Faktor Formulasi

Berbagai   macam   bahan   tambahan   yang   digunakan   pada   sediaan   obat   dapat  mempengaruhi kinetika pelarutan obat  dengan mempengaruhi   tegangan muka antara medium tempat  obat  melarut dengan bahan obat, ataupun bereaksi secara langsung dengan bahan obat. Penggunaan bahan tambahan yang bersifat hidrofob seperti magnesium stearat, dapat menaikkan tegangan antar muka obat dengan medium  disolusi.   Beberapa  bahan   tambahan   lain   dapat  membentuk   kompleks   dengan   bahan   obat, misalnya kalsium karbonat dan kalsium sulfat yang membentuk kompleks tidak larut dengan tetrasiklin. Hal ini menyebabkan jumlah obat terdisolusi menjadi lebih sedikit dan berpengaruh pula terhadap jumlah obat yang diabsorpsi.

         Faktor alat dan kondisi lingkungan

Adanya perbedaan alat yang digunakan dalam uji disolusi akan menyebabkan perbedaan kecepatan pelarutan obat. Kecepatan pengadukan akan mempengaruhi kecepatan pelarutan obat, semakin cepat pengadukan maka gerakan medium akan semakin cepat sehingga dapat menaikkan kecepatan pelarutan. Selain   itu   temperatur,   viskositas  dan  komposisi   dari  medium,   serta  pengambilan   sampel   juga  dapat mempengaruhi kecepatan pelarutan obat.

2.1.5          Metode Pengujian Disolusi

Page 17: Teknik Peningkatan Disolusi Dan Bioavailabilitas

Untuk mengetahui kecepatan pelarutan suatu zat atau sediaan dapat dilakukan uji disolusi dengan menggunakan metode-metode sebagai berikut:

         Metode Klasik

Metode ini dapat menunjukkan jumlah zat aktif yang terlarut pada waktu t, yang kemudian dikenal dengan T-20, T-50, T-90, dan sebagainya. Karena dengan metode ini  hanya menyebutkan 1 titik saja, maka proses yang terjadi di luar titik tersebut tidak diketahui. Titik terebut menyatakan jumlah zat aktif yang terlarut pada waktu tertentu.

 

         Metode Khan

Metode ini kemudian dikenal dengan konsep dissolution efficiency (DE)area di bawah kurva disolusi di antara titik waktu yang ditentukan. Dirumuskan dengan persamaan sebagi berikut :

DE = 0t ∫Y dt x 100%

                                                                 Y100.t

Beberapa peneliti  mensyaratkan bahwa penggunaan DE sebaiknya mendekati 100% zat  yang terlarut. Keuntungan metode ini adalah :

  Dapat menggambarkan seluruh proses percobaan yang dimaksud dengan harga DE.

   Dapat menggambarkan hubungan antara percobaan in vitro dan in vivo karena penggambaran dengan cara DE ini mirip dengan cara penggambaran pecobaan in vivo

         Metode Wagner

Metode ini dapat menghitung tetapan kecepatan pelarutan (k) dengan berdasarkan pada asumsi bahwa kondisi percobaan dalam keadaan sink, proses pelarutan mengikuti orde satu, luas permukaan spesifik turun secara eksponensial terhadap waktu.

                        Metode Wagner dapat diungkapkan dengan persamaan sebagai berikut

 

Page 18: Teknik Peningkatan Disolusi Dan Bioavailabilitas

ln 100 ( W~ - W ) = A – ( k.t )

         Jumlah zat aktif yang melarut pada waktu tertentu, misalnya C30 adalah dalam waktu 30 menit zat aktif yang melarut sebanyak x mg atau x mg/ml.

2.1.6          Alat Uji Disolusi

Pengujian   disolusi   hampir   di   semua   negara   telah  mengikuti   kriteria   dan   peralatan   yang   sama. Sedangkan  metode  dan  peralatan   secara   rinci   dinyatakan  dalam  masing-masing   Farmakope,   seperti kecepatan pengadukan, komposisi  volume media dan ukuran mesh dapat bervariasi  untuk monografi individu obat dan masing-masing Farmakope.

Cara pertama yang diuraikan dalam Farmakope Indonesia adalah cara keranjang yang menggunakan pengaduk   jenis   keranjang   dan   cara   yang   kedua   adalah   cara   dayung   yang  menggunakan   pengaduk berbentuk   dayung.  Dalam   Farmakope   Indonesia   kedua   cara   ini   dikenal   dengan   cara   keranjang   dan dayung.

2.1.7          Teknik Meningkatkan Kecepatan Disolusi

Peningkatan   bioavailabilitas   suatu   zat   aktif   dapat   dilakukan   dengan   berbagai   cara,   diantaranya dengan peningkatan disolusi/kelarutan zat aktif. Terdapat bermacam-macam teknik untuk peningkatan kelarutan. Pemilihan tehnik yang tepat harus mempertimbangkan banyak faktor seperti sifat fisika-kimia bahan obat/zat aktif, stabilitas / shelf – life, kemudahan dalam pemprosesan/penanganan, serta besarnya kelarutan yang diinginkankan.  sejumlah teknik  yang dapat  digunakan untuk meningkatkan Kecepatan disolusi/kelarutan dari suatu obat, diantaranya:  

  Pendekatan Pro-drug (Pro-drug approach)

  Sintesis bentuk garam (Salt synthesis)

  Pengecilan ukuran partikel (Particle size reduction)

  Pembentukan komplek (Complexation)

  Perubahan bentuk fisik (Change in physical form)

  Dispersi padat (Solid dispersions)

Page 19: Teknik Peningkatan Disolusi Dan Bioavailabilitas

  Pengeringan semprot (Spray dryng)

  Hot-melt extrusion

2.2        Acetaminophen (Paracetamol)

                                          N-asetil-4-aminofenol

                                Rumus Empiris : C8H9NO2

                                BM                         : 151,16.

Asetaminophen  mengandung  tidak  kurang  dari  98,0% dan tidak  lebih  dari  101,0% C8H9NO2,  dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan.

Pemerian Hablur atau serbuk hablur putih : tidak berbau ; rasa pahit.

Kelarutan Larut dalam 70 bagian air, dalam 7 bagian etanol (95%) P, dalam 13 bagian aseton P, dalam 40 bagian gliserol P dan dalam 9 bagian propilenglikol p : larut dalam larutan alkali hidroksida.

                           Suhu lebur : 169 ⁰ C sampai 172⁰ C.

                           Timbal tidak lebih dari 10 bpj.

                           Surut pengeringan tidak lebih dari 0,5%.

                           Sisa pemijaran tidak lebih dari 0,1%.

                           Penetapan kadar dengan cara penetapan kadar nitrogen, menggunakan 300 mg yang 

                           ditimbang seksama dan 8 ml asam sulfat bebas nitrogen P.

                1 ml asam sulfat 0,1 N setara dengan 15,116 mg C8H9NO2.

Penyimpanan dalam wadah tertutup baik, terlindung dari cahaya.

Khasiat dan penggunaan Analgetik dan Antipiretik.

Page 20: Teknik Peningkatan Disolusi Dan Bioavailabilitas

Efek amping : Pada dosis yang direkomendasikan, parasetamol tidak mengiritasi lambung, memengaruhi koagulasi darah, atau memengaruhi fungsi ginjal. Namun, pada dosis besar (lebih dari 2000 mg per hari) dapat meningkatkan risiko gangguan pencernaan bagian atas. Hingga tahun 2010, parasetamol dipercaya aman untuk digunakan selama masa kehamilan.

Kelebihan dosis : Penggunaan parasetamol di atas rentang dosis terapi dapat menyebabkan gangguan hati. Pengobatan toksisitas parasetamol dapat dilakukan dengan cara pemberian asetilsistein (N-asetil sistein)  yang merupakan prekusor  glutation,  membantu tubuh untuk mencegah kerusakan hati  lebih lanjut.

Mekanisme   Aksi   :   Mekanisme   aksi   utama   dari   parasetamol   adalah   hambatan   terhadap   enzim siklooksigenase (COX: cyclooxigenase), dan penelitian terbaru menunjukkan bahwa obat ini lebih selektif menghambat   COX-2.   Meskipun   mempunyai   aktivitas   antipiretik   dan   analgesik,   tetapi   aktivitas antiinflamasinya sangat  lemah karena dibatasi  beberapa faktor,  salah satunya adalah tingginya kadar peroksida dapat lokasi inflamasi. Hal lain, karena selektivitas hambatannya pada COX-2, sehingga obat ini tidak menghambat aktivitas tromboksan yang merupakan zat pembekuan darah.

Dosis Lazim : 1. Sekali minum : 500 mg ; 2. Sehari : 500 – 2000 mg.

2.3        Panadol Tablet

Indikasi:

Meringankan rasa sakit seperti sakit kepala, sakit gigi, sakit otot, dan menurunkan demam yang disertai flu dan demam sesudah vaksinasi.

 

Kontra Indikasi:

Pada penderita yang hipersensitif  terhadap parasetamol,  dan penderita dengan gangguan fungsi  hati yang berat.

 

Deskripsi:

Efek analgesik dan antipiretik parasetamol sama dengan golongan salisilat. Khasiat analgesik parasetamol timbul   karena   efek   depresi   selektif   terhadap   alat   resepsi   rasa   sakit   rasa   sakit   pada   talamus   dan hipotalamus disusun saraf pusat. Parasetamol menurunkan suhu badan melalui efek langsung terhadap pusat-pusat   pengatur   suhu   di   susun   saraf   pusat,  memperbanyak   pengeluran   panas   badan   dengan meningkatkan peredaran darah tepi/perifer dan berkeringat.

Page 21: Teknik Peningkatan Disolusi Dan Bioavailabilitas

  

DAFTAR PUSTAKA 

1.       http://dormatio.blogspot.com/2013/05/definisi-biofarmasetika.html

2.       http://hendra-stenly.blogspot.com/2012/02/disolusi.html

3.       Farmakope Indonesia Edisi Ketiga 1979.

4.       http://id.wikipedia.org/wiki/Parasetamol

5.       http://www.dechacare.com/Panadol-Tablet-P125.html