tanaman secang
TRANSCRIPT
-
5
TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman Secang (Caesalpinia sappan L.)
Tanaman secang tersebar hampir di seluruh Indonesia (Gambar 1) dan
memiliki nama daerah yang berbeda-beda yaitu Seupeueng (Aceh), Sepang
(Gayo dan Sasak), Sopang (Batak), Lacang (Minangkabau), Secang (Sunda, Jawa
Tengah, Madura), Cang (Bali), Supa (Bima), Sepel (Timor), Hape (Sawu),
Kayu Sema (Manado), Dolo (Bare), Sappang (Makassar) dan Sepang (Bugis),
Sepen (Halmahera Selatan), Savala (Halmahera Utara), Sungiang (Ternate) dan
Roro (Tidore) (Anonim, 2011b).
Gambar 1 Tanaman Secang (Caesalpinia sappan L.)
Menurut Tjitrosoepomo (2004), taksonomi tanaman secang adalah
sebagai berikut:
Divisi : Spermathophyta
Sub divisi : Angiospermae
Class : Dicotyledoneae
Sub class : Dialypetalae
Ordo : Rosales
Family : Caesalpinaceae
Genus : Caesalpinia
Species : Caesalpinia sappan Linn.
-
6
Tumbuhan ini berupa pohon kecil dengan tinggi 5-10 m. Permukaan batang
kasar, berduri tersebar. Daun majemuk menyirip, setiap sirip mempunyai 10-20
pasang anak daun yang berhadapan mempunyai daun penumpu. Perbungaan
tersusun tandan, bunga berwarna kuning terang. Buah polong warna hitam, berisi
3-4 biji. Banyak tumbuh di pekarangan daerah Jawa, juga dijumpai di pegunungan
berbatu pada daerah yang tidak terlalu dingin di Sulawesi Selatan. Di habitat
alaminya, sebagian besar pohon kayu secang tumbuh pada tempat-tempat yang
berbukit dengan tipe tanah seperti liat dan berbatu-batu, pada daerah dengan
ketinggian tempat rendah dan sedang. Pohon ini tidak toleran pada tanah-tanah
yang terlalu basah (Anonim, 2011a).
Pohon secang tumbuh pada lokasi-lokasi yang memiliki kisaran curah hujan
tahunan 700-4300 mm, rata-rata suhu udara tahunan adalah 24-27,5C, dan
dengan kisaran pH tanah adalah 5-7,5. Tumbuhan ini banyak dijumpai pada
dataran rendah hingga ketinggian 1700 m dpl. Kayu secang dapat diperbanyak
menggunakan biji. Biasanya tumbuhan ini ditanam di bawah naungan di sekitar
tepi hutan. Hingga akhir abad ke 19, kayu secang telah dimanfaatkan sebagai
sumber pewarna merah utama. Namun saat ini, pemanfaatannya sebagai bahan
pewarna hanya berlangsung untuk skala kecil. Biji tumbuhan ini berfungsi sebagai
bahan sedatif, kayu dan batangnya dapat mengobati tuberkolosis, diare, dan
disentri, sedangkan daun-daunnya dapat dimanfaatkan untuk mempercepat
pematangan buah pepaya dan mangga. Tumbuhan ini memiliki daya adaptasi
terhadap lingkungan yang tinggi sehingga dapat dimanfaatkan sebagai tanaman
penghijauan. Sedangkan di Sulawesi Selatan kayu secang (Gambar 2) dibuat
minuman seperti teh yang berkhasiat menguatkan lambung (Anonim, 2011a).
Gambar 2 Kayu Secang
-
7
Kandungan Kimia Kayu Secang
Penyebaran metabolit sekunder pada tanaman sangat beragam baik dalam
berbagai spesies maupun organ, maka pengumpulan bahan simplisia yang tidak
teratur akan memberikan dampak yang tidak menguntungkan bagi kesehatan.
Simplisia yang berasal dari bahan liar akan mempunyai variasi yang sangat tinggi
dalam hal kandungan zat berkhasiatnya (Jokopriyambodo, 2003). Beberapa hasil
penelitian mengenai komponen bioaktif tanaman rempah dan obat, termasuk
secang dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Hasil-hasil penelitian dan pengembangan eksplorasi komponen bioaktif
tanaman rempah dan obat Jenis Tanaman Bentuk Produk Komponen Aktif Manfaat Kesehatan Jahe -
-
Ekstrak jahe
Ekstrak jahe
Gingerol, shogaol, gingeron
Gingerol, shogaol
-
-
Antioksidan
Anti-inflmasi, rematik,
artristis kronis
Antibakteri
Kekebalan tubuh
Kunyit/Temulawak - Kurkumin
Komp. Fenolik
Antihepatoksik,
antikolesterol,
Antikanker, antimutagenik
Lidah Buaya -
-
Gel lidah buaya
Gel lidah buaya
Aloin, aleat, emodin
Aloin
-
Vitamin, mineral, asam
amino
Antibiotik, penghilang
rasa sakit
Obat pencahar
Diabetes
Obat luka
Mengkudu Jus buah
Jus buah
-
Damnacantahl
-
Xeronin dan proxeronin
Antikanker
Imunomodulator,
antikanker
Aktivasi enzim,
membentuk protein
Kayu Secang -
Ekstrak secang
Ekstrak
kloroform
Brazilin
Brazilin
-
Antioksidan,
Antibakteri
Antidiare
Pala -
-
Ekstrak
kloroform
Miristicin
Eugenol
-
Hepatoprotektor
Antioksidan, aktivasi
enzim
Antidiare (Shigela,
E. coli)
* Sumber : Priatni dan Tatik (2007)
Kayu secang apabila diseduh dengan air panas menghasilkan warna merah
yang dinamakan sappanin. Batang dan daun secang mengandung alkohol, tannin,
saponin, fotosterol, asam tanat, gelatin, resin, resorsin, brazilin, brazilien, minyak
atsiri dan pigmen. Secara empiris kayu secang dapat digunakan untuk mengobati
-
8
tuberkulosis, desentri, analgetik, penyakit kulit, desinfektan, tonikum dan rematik.
Pada umumnya penggunaan kayu secang sebagai obat dengan cara menyeduh,
sehingga kemungkinan bahan aktifnya dapat larut dalam air (Sundari et al. 1995).
Hasil penelitian Safitri (2000) dalam Priatni dan Tatik (2007) diketahui
bahwa bagian kayu secang memiliki daya peredaman radikal bebas superoksida
dan aktivitas antioksidan sebesar 100%. Studi juga mengungkapkan terdapat lima
senyawa aktif yaitu saponin, fitosterol, brazilin, tannin, flavonoid dan diantaranya
tidak hanya mampu meredam radikal superoksida, tetapi juga memberikan efek
peredaman yang sangat berarti terhadap radikal hidroksil yang lebih reaktif dan
berbahaya. Zat antioksidan yang terdapat dalam tumbuhan ini bersifat labil bila
serbuk kayu secang diseduh dengan air panas, hasil seduhannya lama kelamaan
berubah warnanya menjadi semakin merah tua (Haryono, 1985).
Brazilin
Sanusi (1989) telah mengisolasi zat warna merah yang terkandung
dalam kayu secang yang dikenal sebagai senyawa golongan brazilin. Brazilin
merupakan senyawa antioksidan yang mempunyai katekol dalam struktur
kimianya. Berdasarkan aktivitas antioksidannya, brazilin diharapkan mempunyai
efek melindungi tubuh dari keracunan akibat radikal kimia. Selanjutnya
Lim et al. (1997) membuktikan bahwa indeks antioksidatif dari ekstrak kayu
secang lebih tinggi daripada antioksidan komersial. Penelitian lain
mengungkapkan bahwa brazilin diduga mempunyai efek anti-inflamasi
(Sukria, 1993 dalam Sundari et al. 1998).
Senyawa brazilin hanya terdapat pada tanaman brazilwood atau
Caesalpinia sp. Brazilin mempunyai aktivitas farmakologis seperti proteksi hati,
antikonvulsan, antiinflamasi, antibakteri, antioksidan, antivirus,
ancomplementary, penghambat xantin oksidase, penghambat aldose reduktase,
proteksi otak (Zhao et al. 2008 dalam Hangoluan, 2011), dan yang terakhir diteliti
adalah sebagai anti jerawat. Senyawa ini merupakan komponen utama dan
merupakan senyawa penciri dari kayu secang (Batubara et al. 2010).
Brazilin (C16H14O5) merupakan kristal berwarna kuning, akan tetapi jika
teroksidasi akan menghasilkan senyawa brazilein yang berwarna merah
kecoklatan dan dapat larut dalam air, dengan struktur kimia seperti yang tampak
-
9
pada Gambar 3. Brazilin memiliki warna kuning sulfur jika dalam bentuk murni,
dapat dikristalkan, larut air, jernih mendekati tidak berwarna dan berasa manis.
Asam tidak berpengaruh terhadap larutan brazilin, tetapi alkali dapat membuatnya
berwarna merah. Eter dan alkohol menimbulkan warna kuning pucat terhadap
larutan brazilin. Brazilin akan cepat membentuk warna merah jika terkena sinar
matahari. Terjadinya warna merah ini disebabkan oleh terbentuknya brazilein
(C6H12O5) (Kim et al. 1997 dalam Holinesti, 2007).
Gambar 3 Struktur kimia (a) brazilin dan (b) brazilein
(Sumber :http://edhisambada.wordpress.com)
Brazilin termasuk ke dalam golongan flavonoid sebagai isoflavonoid.
Pengujian terhadap ekstrak kayu secang untuk mengetahui keberadaan senyawa
flavonoid dilakukan dengan cara menambahkan etanol 80% dan asam klorida
pekat dan ternyata memberikan hasil positif dengan munculnya warna kuning
kemerahan yang berarti ekstrak tersebut mengandung senyawa golongan
flavonoid (Suhartati, 1983).
Kayu secang telah digunakan sebagai komponen dalam ramuan untuk
pencegahan dan perawatan komplikasi diabetes dalam obat tradisional Korea
dan Cina. Kandungan brazilin dalam kayu secang diketahui merupakan salah
satu inhibitor dari aldose reduktase. Aldosa reduktase merupakan enzim
pertama dalam jalur Polyol yang mereduksi D-glukosa menjadi D-Sorbitol
dengan konversi NADPH dan NADP+ (Gambar 4). Jalur Polyol ini diduga
memiliki peran penting dalam perkembangan komplikasi degeneratif dari diabetes
(De La Fuente et al. 2003 dalam Wicaksono et al. 2008).
a b
-
10
Glukosa Sorbitol Fruktosa
Gambar 4 Jalur Polyol
Telah dilaporkan juga bahwa Caesalpin P, sappanchalcone,
3-deoxysappanone, brazilin dan protosappanin yang merupakan konstituen
dari kayu secang, dapat berfungsi sebagai inhibitor aldose reduktase.
Senyawa-senyawa yang disebutkan di atas juga dilaporkan mampu memperbaiki
fungsi dari sel beta dari pulau-pulau Langerhans di pankreas yang berfungsi
dalam produksi insulin (Li WL et al. 2004 dalam Wicaksono et al. 2008).
Selain itu, brazilin yang memberikan warna merah ketika teroksidasi
(membentuk brazilein), merupakan salah satu komponen penting dari kayu
secang yang berguna untuk memperlancar peredaran darah, dan telah terbukti
secara in vitro dapat menginduksi vasorelaksasi (Hu DM et al. 2003 dalam
Wicaksono et al. 2008).
Brazilin memiliki banyak aktivitas, sehingga dapat dijadikan standar dalam
kontrol kualitas kayu secang. Untuk memenuhi kontrol kualitas kayu secang
berdasarkan senyawa penciri, digunakan brazilin (Hangoluan, 2011).
Pembuatan Simplisia Kayu Secang (Sappan Lignum)
Simplisia sebagai bahan baku obat tradisional sangat berperan dalam
kaitannya dengan mutu suatu produk. Rendahnya kualitas simplisia tanaman
obat lebih banyak disebabkan pada saat penanganan pasca panen, proses
pengeringan bahan dan kondisi penyimpanan. Simplisia tanaman obat yang telah
terkontaminasi bakteri dan kapang dapat terbawa sampai pada produk olahannya
yang kemungkinan dapat menyebabkan rusaknya komponen kimia yang
berkhasiat dan dapat juga menghasilkan toksin yang sangat membahayakan
kesehatan (Chosdu et al. dalam Katno, 1999).
Pada umumnya pembuatan simplisia melalui tahapan seperti berikut:
pengumpulan bahan baku, sortasi basah, pencucian, perajangan, sortasi kering,
pengepakan, penyimpanan, dan pemeriksaan mutu. Kadar senyawa aktif dalam
Aldose reduktase Sorbitol dehidrogenase
NADPH NADP+ NAD+ NADH
-
11
suatu simplisia berbeda-beda antara lain tergantung pada: bagian tanaman yang
digunakan, umur tanaman atau bagian tanaman pada saat panen, waktu panen, dan
lingkungan tempat tumbuh (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1985).
Panen
Panen merupakan salah satu rangkaian tahapan dalam proses budidaya
tanaman obat. Waktu, cara pemanenan dan penanganan bahan setelah panen
merupakan periode kritis yang sangat menentukan kualitas dan kuantitas hasil
tanaman. Setiap jenis tanaman memiliki waktu dan cara panen yang
berbeda. Begitu juga tanaman yang mengalami stres lingkungan akan memiliki
waktu panen yang berbeda meskipun jenis tanamannya sama. Pemanenan kayu
dilakukan setelah pada kayu terbentuk senyawa metabolit sekunder secara
maksimal. Umur panen tanaman berbeda-beda tergantung jenis tanaman
dan kecepatan pembentukan metabolit sekundernya. Tanaman secang baru
dapat dipanen setelah berumur 4 sampai 5 tahun, karena apabila dipanen terlalu
muda kandungan zat aktifnya seperti tanin dan sappan masih relatif sedikit
(Sembiring, 2007).
Waktu panen sangat erat hubungannya dengan pembentukan senyawa aktif
di dalam bagian tanaman yang akan dipanen. Senyawa aktif terbentuk secara
maksimal di dalam bagian tanaman pada umur tertentu. Di samping waktu panen
yang dikaitkan dengan umur, perlu diperhatikan pula saat panen dalam sehari.
Contoh, simplisia yang mengandung minyak atsiri lebih baik dipanen pada pagi
hari. Dengan demikian untuk menentukan waktu panen dalam sehari perlu
dipertimbangkan stabilitas kimiawi dan fisik senyawa aktif dalam simplisia
terhadap panas sinar matahari. Panen dapat dilakukan dengan tangan,
menggunakan alat atau menggunakan mesin. Alat atau mesin yang digunakan
untuk memetik perlu dipilih yang sesuai. Alat yang terbuat dari logam sebaiknya
tidak digunakan bila akan merusak senyawa aktif simplisia seperti fenol,
glikosida, dan sebagainya (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1985).
Cara pengambilan bagian tanaman untuk pembuatan simplisia dapat dilihat
pada Tabel 2.
-
12
Tabel 2 Bagian tanaman, cara pengumpulan, kadar air simplisia No Bagian Tanaman Cara Pengumpulan Kadar Air Simplisia
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
Kulit batang
Batang
Kayu
Daun
Bunga
Pucuk
Akar
Rimpang
Buah
Biji
Kulit buah
Bulbus
Dari batang utama dan cabang,
dikelupas dengan ukuran panjang
dan lebar tertentu; untuk kulit
batang mengandung minyak atsiri
atau golongan senyawa fenol digunakan alat pengelupas bukan
logam.
Dari cabang, dipotong-potong
dengan panjang tertentu dan
diameter cabang tertentu.
Dari batang atau cabang, dipotong
kecil atau diserut (disugu) setelah
dikelupas kulitnya.
Tua atau muda (daerah pucuk),
dipetik dengan tangan satu persatu.
Kuncup atau bunga mekar atau
mahkota bunga, atau daun bunga, dipetik dengan tangan.
Pucuk berbunga; dipetik dengan
tangan (mengandung daun muda
dan bunga).
Dari bawah permukaan tanah,
dipotong-potong dengan ukuran
tertentu.
Dicabut, dibersihkan dari akar;
dipotong melintang dengan
ketebalan tertentu
Masak, hampir masak; dipetik dengan tangan.
Buah dipetik; dikupas kulit buahnya
dengan mengupas menggunakan
tangan, pisau, atau menggilas, biji
dikumpulkan dan dicuci.
Seperti biji, kulit buah dikumpulkan
dan dicuci.
Tanaman dicabut, bulbus dipisah
dari daun dan akar dengan
memotongnya, dicuci.
10 %
10 %
10 %
5 %
5 %
8 %
10 %
8 %
8 %
10 %
8 %
8 %
* Sumber : Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1985.
Pada waktu panen, peralatan dan tempat yang digunakan harus bersih dan
bebas dari cemaran dan dalam keadaan kering. Bahan yang rusak atau busuk harus
segera dibuang atau dipisahkan. Penempatan dalam wadah (keranjang, kantong,
karung dan lain-lain) tidak boleh terlalu penuh sehingga bahan tidak menumpuk
dan tidak rusak. Selanjutnya dalam waktu pengangkutan diusahakan supaya bahan
tidak terkena panas yang berlebihan, karena dapat menyebabkan terjadinya proses
fermentasi/busuk. Bahan juga harus dijaga dari gangguan hama (hama gudang,
tikus dan binatang peliharaan) (Sembiring, 2007).
-
13
Pasca Panen
Beberapa proses pasca panen yang dilakukan dalam pembuatan
simplisia menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (1985) adalah
sebagai berikut:
1. Penyortiran Basah
Penyortiran basah dilakukan untuk memisahkan kotoran-kotoran atau
bahan-bahan asing lainnya dari bahan simplisia. Misalnya pada simplisia yang
terbuat dari akar suatu tanaman obat, bahan-bahan asing seperti tanah, kerikil,
rumput, batang, daun, akar yang telah rusak, serta pengotor lainnya harus
dibuang. Bahan nabati yang baik memiliki kandungan bahan organik asing tidak
lebih dari 2%.
2. Pencucian
Pencucian dilakukan untuk menghilangkan tanah dan pengotor lainnya yang
melekat pada bahan simplisia menggunakan air bersih. Bahan simplisia yang
mengandung zat yang mudah larut di dalam air yang mengalir, pencucian agar
dilakukan dalam waktu yang sesingkat mungkin. Pada simplisia batang dapat pula
dilakukan pengupasan kulit luarnya untuk mengurangi jumlah mikroba awal
karena sebagian besar jumlah mikroba. Bahan yang telah dikupas tersebut tidak
memerlukan pencucian jika cara pengupasannya dilakukan tepat dan bersih.
3. Perajangan
Beberapa jenis simplisia perlu mengalami proses perajangan. Perajangan
bahan simplisia dilakukan untuk mempermudah proses pengeringan, pengepakan
dan penggilingan. Tanaman yang baru diambil jangan langsung dirajang tetapi
dijemur dalam keadaan utuh selama 1 hari untuk mengurangi pewarnaan akibat
reaksi antara bahan dan logam pisau. Perajangan dapat dilakukan dengan pisau,
dengan alat mesin perajang khusus sehingga diperoleh irisan tipis atau potongan
dengan ukuran yang dikehendaki seperti pada Gambar 5.
-
14
Gambar 5 Berbagai bentuk simplisia kayu secang (Sappan Lignum)
(Sumber: Materia Medika Indonesia, 1977)
Setelah dicuci, dibersihkan, dan dijemur, simplisia lalu dipotong-potong
kecil ukuran 0,25-0,06 cm yang setara dengan ayakan 4/18 (tergantung jenis
simplisia). Semakin tipis perajangan maka semakin cepat proses pengeringan
kecuali tanaman yang mengandung minyak menguap, perajangan tidak boleh
terlalu tipis karena menyebabkan berkurangnya atau hilangnya zat aktif.
Sebaliknya bila perajangan terlalu tebal pengeringannya lama dan mudah
berjamur (Ritrum Center, 2011).
4. Pengeringan
Pengeringan adalah suatu cara pengawetan atau pengolahan pada bahan
dengan cara mengurangi kadar air, sehingga proses pembusukan dapat
terhambat. Dengan demikian dapat dihasilkan simplisia terstandar, tidak mudah
rusak dan tahan disimpan dalam waktu yang lama. Dalam proses ini, kadar air dan
reaksi-reaksi zat aktif dalam bahan akan berkurang, sehingga suhu dan waktu
pengeringan perlu diperhatikan. Pada umumnya suhu pengeringan adalah antara
40-600C dan hasil yang baik dari proses pengeringan adalah simplisia yang
mengandung kadar air 10%. Di samping menggunakan sinar matahari langsung,
penjemuran juga dapat dilakukan dengan menggunakan oven pada suhu
40-500C. Kelebihan dari alat ini adalah waktu penjemuran lebih singkat yaitu
sekitar 8 jam, dibandingkan dengan sinar matahari yang membutuhkan waktu
lebih dari 1 minggu (Sembiring, 2007).
-
15
5. Penyortiran Kering
Sortasi setelah pengeringan sebenarnya merupakan tahap akhir pembuatan
simplisia. Tujuan sortasi untuk memisahkan benda-benda asing seperti
bagian-bagian tanaman yang tidak diinginkan dan pengotor-pengotor lain yang
masih ada dan tertinggal pada simplisia kering. Proses ini dilakukan sebelum
simplisia dibungkus untuk kemudian disimpan. Seperti halnya pada sortasi awal,
sortasi di sini dapat dilakukan dengan atau secara mekanik. Setelah penyortiran,
simplisia ditimbang untuk mengetahui rendemen hasil dari proses pasca panen
yang dilakukan (Sembiring, 2007).
6. Pengemasan
Selama penyimpanan ada kemungkinan terjadi kerusakan pada simplisia
yang dapat mengakibatkan pemunduran mutu, sehingga simplisia bersangkutan
tidak lagi memenuhi syarat yang diperlukan atau yang ditentukan. Oleh karena itu
pada penyimpanan simplisia perlu diperhatikan beberapa hal yang dapat
mengakibatkan kerusakan simplisia, yaitu cara pengepakan, pembungkusan dan
pewadahan, persyaratan gudang simplisia, cara sortasi dan pemeriksaan mutu,
serta cara pengawetannya. Untuk dapat disimpan dalam waktu lama, simplisia
harus dikeringkan dahulu sampai kering, sehingga kandungan airnya tidak lagi
dapat menyebabkan kerusakan yang merugikan.
7. Penyimpanan
Cara menyimpan simplisia dalam wadah yang kurang sesuai memungkinkan
simplisia rusak karena dimakan kutu atau ngengat. Biasanya jenis serangga
tertentu merusak jenis simplisia tertentu pula. Penyimpanan simplisia dapat
dilakukan di ruang biasa (suhu kamar) ataupun di ruang ber AC. Ruang tempat
penyimpanan harus bersih, udaranya cukup kering dan berventilasi. Ventilasi
harus cukup baik karena hama menyukai udara yang lembab dan panas. Jadi
sebelum disimpan pokok utama yang harus diperhatikan adalah cara penanganan
yang tepat dan higienis.
Teori Pengeringan Simplisia Kayu Secang (Sappan Lignum)
Penanganan pasca panen merupakan suatu langkah yang sangat penting
guna mendapatkan simplisia yang baik. Salah satu langkah pasca panen yang
perlu diperhatikan pula ialah cara pengeringan. Pengeringan suatu hasil panen
-
16
merupakan suatu langkah untuk mendapatkan bahan simplisia yang
penggunaannya masih ditangguhkan. Pengeringan dapat dilakukan secara alamiah
(sinar matahari dan diangin-anginkan pada ruangan terbuka) dan buatan
(dengan oven) (Sutjipto, 1995).
Beberapa hal yang perlu diperhatikan selama proses pengeringan adalah
suhu pengeringan, kelembaban udara, aliran udara, waktu pengeringan dan luas
permukaan bahan. Pada pengeringan bahan simplisia tidak dianjurkan
menggunakan alat dari plastik. Selama proses pengeringan bahan simplisia,
faktor-faktor tersebut harus diperhatikan sehingga diperoleh simplisia kering
yang tidak mudah mengalami kerusakan selama penyimpanan. Suhu pengeringan
tergantung kepada bahan simplisia dan cara pengeringannya. Bahan simplisia
dapat dikeringkan pada suhu 30oC sampai 90
oC, tetapi suhu yang terbaik adalah
tidak melebihi 60oC (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1985).
Ada beberapa sifat kayu yang diduga mempunyai hubungan erat dengan
sifat pengeringannya. Pengeringan kayu terutama dipengaruhi oleh kerapatan,
ukuran dan frekuensi jari-jari kayu. Ada kecenderungan yang kuat bahwa kayu
yang berat atau berkerapatan tinggi akan mengering lebih lambat dan sehubungan
dengan cacat-cacat pengeringan lebih problematis dibanding dengan kayu
yang ringan. Karena itu pada pengeringan kayu yang berat digunakan bagan
pengeringan yang lunak (suhu dan gradient pengeringan yang rendah)
(Budiarso, 1997).
Hasil penelitian Sukaton (1999) pada pengukuran kadar air awal dari
beberapa jenis kayu menunjukkan bahwa kayu-kayu memiliki kadar air awal yang
bervariasi atau tidak seragam. Ketidakseragaman kadar air awal merupakan hal
yang wajar dan tidak dapat dihindarkan karena pengambilan sampel dilakukan
secara acak dari tumpukan kayu yang mungkin berasal dari pohon atau bagian
batang yang berlainan. Selain disebabkan oleh asal potongan kayu yang berbeda,
variasi kadar air awal kayu juga dapat disebabkan oleh perbedaan waktu tunggu
yaitu selang waktu antara proses penggergajian dan pelaksanaan pengeringan.
Kayu-kayu yang lebih dahulu digergaji mempunyai kadar air yang lebih rendah
dibandingkan kayu yang baru saja digergaji, karena kayu yang lebih dahulu
digergaji dan ditumpuk selama masa tunggu lebih banyak mengalami penurunan
-
17
kadar air. Kayu yang terletak di pinggir tumpukan mempunyai kadar air yang
lebih rendah daripada kayu yang terletak di tengah tumpukan karena kayu-kayu
yang terletak di pinggir tumpukan relatif lebih mudah mengering akibat
berhubungan langsung dengan udara luar.
Gradient pengeringan (GP) adalah bilangan yang menyatakan tingkat
kekerasan dari suatu proses pengeringan dan merupakan perbandingan antara
kadar air kayu saat itu terhadap kadar air keseimbangan yang telah ditentukan
pada saat yang sama. Makin besar nilai GP makin keras proses pengeringan.
Setiap potong kayu baik dari jenis yang berbeda maupun dari jenis yang sama
mempunyai penurunan kadar air yang berbeda, artinya mempunyai kecepatan
pengeringan atau kemampuan yang berbeda untuk menyesuaikan dengan kadar air
keseimbangan yang diatur pada setiap tahapan proses pengeringan buatan. Ada
beberapa faktor menurut Sukaton (1999) yang menyebabkan hal tersebut terjadi
yaitu: (1) kayu berasal dari jenis kayu yang berbeda atau dari jenis yang sama dan
berasal dari pohon atau bagian batang yang berbeda, mempunyai perbedaan dalam
banyak hal seperti kerapatan, kandungan komponen kimia (misalnya kandungan
zat ekstraktif) dan struktur anatomi kayunya dan (2) kayu yang dikeringkan
kemungkinan mempunyai pola penggergajian yang berbeda.
Perbedaan nilai rataan kadar air akhir dan gradient kadar air juga tampak
pada jenis kayu yang sama dengan tebal berbeda. Hal ini karena pada kondisi
yang sama, air pada kayu yang tebal memerlukan waktu yang lebih lama untuk
bergerak dari dalam ke permukaan kayu daripada kayu yang lebih tipis. Sehingga
kayu yang tipis akan cepat menyesuaikan diri dengan kondisi iklim (kadar air
keseimbangan), sementara pada saat yang sama kayu yang tebal kadar air
rataannya masih jauh di atas kadar keseimbangan (Sukaton, 1999).
Pengeringan dengan sinar matahari merupakan suatu cara pengeringan yang
sangat ekonomis, namun untuk bahan-bahan yang mengandung minyak atsiri bila
dikeringkan dengan sinar matahari dapat rusak dan bahan-bahan tersebut biasanya
dikeringkan dengan diangin-anginkan. Pengeringan suatu bahan dengan jalan
diangin-anginkan juga mengandung resiko karena ada bahan-bahan tertentu bila
dikeringkan dengan diangin-anginkan akan mudah rusak sebelum kering (busuk
atau berjamur) (Sutjipto, 1995).
-
18
Pemutuan Simplisia Kayu Secang (Sappan Lignum)
Pemeriksaan mutu simplisia dilakukan pada waktu penerimaan atau
pembeliannya dari pengumpul/pedagang simplisia. Simplisia yang diterima harus
berupa simplisia murni dan memenuhi persyaratan umum. Agar selalu diperoleh
simplisia dengan mutu yang baik, sebaiknya disediakan contoh untuk tiap-tiap
simplisia dengan mutu yang pasti dan memenuhi persyaratan yang dapat
digunakan sebagai simplisia pembanding. Contoh simplisia pembanding tersebut
disimpan secara khusus agar mutunya terjaga, dan tiap jangka waktu tertentu
diperiksa kembali mutunya (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1985).
Dalam perdagangan tidak selalu mungkin untuk memperoleh simplisia
yang murni; bahan asing yang tidak berbahaya dalam jumlah yang sangat kecil
dalam simplisia atau yang ditambahkan/dicampurkan, pada umumnya
tidak merugikan. Simplisia nabati harus bebas dari serangga, fragmen hewan
atau kotoran hewan; tidak boleh menyimpang bau dan warnanya; tidak boleh
mengandung lendir dan cendawan atau menunjukkan tanda-tanda
pengotor lain; dan tidak boleh mengandung bahan lain yang beracun atau
berbahaya (Materia Medika Indonesia, 1977).
Persyaratan mutu simplisia kayu secang (Sappan Lignum) yang telah
tercantum di buku Materia Medika Indonesia Jilid I terbitan Departemen
Kesehatan Republik Indonesia terdapat pada Tabel 3.
Tabel 3 Standar mutu simplisia kayu secang (Sappan Lignum)
Parameter Standar
Kadar air
Kadar abu
Kadar abu yang tidak larut dalam asam
Kadar sari yang larut dalam air
Kadar sari yang larut dalam etanol
Bahan organik asing
10-12%
< 2 %
< 0,5 %
> 2 %
> 1 %
< 2 %
* Sumber : Materia Medika Indonesia Jilid I, 1977.
Semua paparan yang tertera dalam persyaratan simplisia, kecuali tentang isi
dan penggunaan, merupakan syarat baku bagi simplisia yang bersangkutan. Suatu
simplisia tidak dapat dinyatakan bermutu Materia Medika Indonesia jika tidak
-
19
memenuhi syarat baku tersebut. Syarat baku yang tertera dalam Materia Medika
Indonesia berlaku untuk simplisia yang akan dipergunakan untuk keperluan
pengobatan, tetapi tidak berlaku bagi bahan yang dipergunakan untuk keperluan
lain yang dijual dengan nama yang sama (Materia Medika Indonesia, 1977).
Response Surface Methods
Optimasi bertujuan meminimumkan usaha yang diperlukan atau biaya
operasional dan memaksimumkan hasil yang diinginkan. Jika usaha yang
diperlukan atau hasil yang diharapkan dapat dinyatakan sebagai fungsi dari
sebuah keputusan, maka optimasi dapat didefinisikan sebagai proses pencapaian
kondisi maksimum atau minimum dari fungsi tersebut. Optimasi pada salah satu
atau seluruh aspek produk adalah tujuan dalam pengembangan produk. Hasil
evaluasi sensori sering digunakan dalam menentukan apakah produk optimum
yang telah dikembangkan adalah benar (Maarif et al. 1989).
Design Expert 8.0
merupakan piranti lunak yang menyediakan rancangan
percobaan (design of experiment) untuk melakukan optimasi rancangan produk
dan proses. Menurut Anonim (2006), program komputer ini memberikan beberapa
rancangan statistik yang digunakan di dalam proses optimasi seperti:
a. Factorial design, digunakan untuk mengidentifikasi faktor vital yang
mempengaruhi proses dan pembuatan produk di dalam percobaan sehingga
dapat memberikan peningkatan.
b. Response surface methods, digunakan untuk menentukan proses yang paling
optimal sehingga diperoleh hasil yang paling optimum.
c. Mixture design techniques, digunakan untuk menentukan formula yang optimal
di dalam formulasi produk.
d. Combined designs (combine process variables, mixture components, and
categorical factors) digunakan untuk penentuan optimasi proses dan formulasi
di dalam pembuatan produk.
Dalam penentuan model, modifikasi terhadap model dapat memberikan
hasil yang lebih baik. Modifikasi model dilakukan dengan cara menghilangkan
komponen atau hubungan antara komponen yang tidak diinginkan (reduksi
model). Komponen yang dihilangkan adalah komponen yang dianggap tidak
signifikan secara statistik terhadap respon. Untuk menentukan signifikansi model,
-
20
ditentuan nilai out yang menjadi pembatas. Jika komponen dianggap tidak
signifikan berdasarkan nilai out yang telah ditentukan, maka komponen tersebut
akan dihilangkan dari model.
Reduksi model dapat dilakukan dengan berbagai cara. Tiga tipe reduksi
model yang paling mendasar yaitu:
a. Step-wise regression: kombinasi dari forward dan backward regressions.
Komponen ditambahkan, dihilangkan, atau diganti dalam setiap langkah
reduksi model.
b. Backward elimination: komponen dihilangkan dalam setiap langkah
reduksi model.
c. Forward selection: komponen ditambahkan dalam setiap langkah
reduksi model.
Metode backward elimination dianggap sebagai pilihan yang terbaik dalam
melakukan reduksi model algortima karena semua komponen dalam model akan
diberikan kesempatan untuk diikutkan di dalam model. Metode step-wise dan
forward selection dilakukan dengan menggunakan model inti minimal sehingga
beberapa komponen tidak pernah diikutkan dalam model.
Secang Celup
Secara prinsip, proses produksi secang celup sama dengan proses produksi
teh celup sesuai dengan jenis teh yang diperlukan. Perbedaan hanya terletak
pada bentuk atau ukuran teh yang digunakan, dimana pembuatan teh celup
sebenarnya dilakukan dengan menggunakan proses pengepakan dari proses
produksi teh dasar. Dalam proses produksi teh celup, teh yang digunakan adalah
teh yang telah dipotong-potong dengan ukuran kecil dan halus yang berbeda
dengan apa yang disebut dengan Tea Dust. Tea Dust adalah teh yang berkualitas
rendah karena merupakan sisa-sisa dari teh remukan, sedangkan teh celup adalah
teh yang secara sengaja dipotong-potong hingga ukurannya halus. Proses
pengolahan teh celup secara umum sama dengan pengolahan daun teh pada
umumnya yaitu pelayuan, penggulungan, fermentasi dan pengeringan
(Kotscheven. 1975 dalam Sudarmadji, 1997)
-
21
Teh celup ini biasanya dibuat dari pencampuan antara dua komponen yaitu
komponen pengisi dan komponen utama. Komponen utama merupakan teh
bermutu baik dari jenis peco fanning (daun pucuk ditambah 2 daun di bawahnya)
atau orange peco (daun pucuk ditambah satu daun di bawahnya). Mutu bahan
utama ini menentukan kekuatan seduhan yaitu warna coklat cerah khas teh,
sedangkan komponen pengisi berasal dari teh bermutu rendah seperti dust
(teh hitam yang dihasilkan dari daun teh yang tua dan mengandung hancuran
tangkai daun) yang berfungsi menentukan rasa dan warna seduhan teh. Setelah
melalui proses pencampuan bahan-bahan tersebut di atas, teh yang dihasilkan
kemudian dikemas. Pengemasan teh celup dilakukan dengan menggunakan bahan
pengemas primer dari kertas chronton, yang diberi benang dan dibungkus lagi
dengan kemasan sekunder dari bahan karton atau aluminium foil. Di perusahaan
besar, proses pengemasan ini dilakukan secara otomatis dengan menggunakan
mesin pengemas teh celup (Husman. 1995 dalam Slamet, 1997).