tahapan identifikasi dvi
TRANSCRIPT
TAHAPAN IDENTIFIKASI DVI :
Definisi dan Pengertian Identifikasi
A.Identifikasi secara Umum
Pada dasarnya kata identifikasi berasal dari bahasa asing yang berarti usaha untuk mengenal
kembali suatu mahluk. Menurut Harmaini (2001) identifikasi diartikan sebagai usaha mencari
sejumlah persamaan antara objek pemeriksaan dengan data-data korban dengan membandingkan
satu sama lain berdasarkan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan.
Pada umumnya identifikasi terhadap seseorang (hidup atau sudah meninggal) dilakukan untuk
alasan (Cottone andBaker, 1982) :
1) Membuat surat keterangan kematian yang menjelaskan bahwa seseorang benar-benar
sudah meninggal, surat tersebut biasanya diperlukan untuk masalah-masalah legal, seperti untuk
keperluan asuransi, pembagian warisan, urusan-urusan bisnis, dan surat keterangan apabila si
istri atau suami yang ditinggalkan ingin menikah kembali.
2) Alasan pribadi atau alasan keluarga, identifikasi dilakukan untuk mengetahui identitas
orang hilang atau meninggal secara mendadak yang mungkin saja meredakan ketegangan emosi
dari keluarga bersangkutan. Masalah dapat pula timbul dalam tata cara pemakaman apabila
dalam suatu kematian massal melibatkan orang-orang yang berbeda agama, karenanya harus
dilakukan identifikasi.
3) Kasus-kasus kriminal, bukti dapat saja tergantung pada identifikasi positif dari korban dan
penentuan tentang hubungan antara korban dengan pelaku, terutama jika pembunuhan
melibatkan anggota keluarga atau kenalan. Oleh karena identifikasi merupakan dasar terhadap
penyelidikan polisi, korban yang tidak dapat diidentifikasi dan tidak dapat ditentukan apakah
dibunuh atau bunuh diri, biasanya menyebabkan kasus tersebut tidak dapat diselesaikan.
Dalam proses identifikasi dikenal sembilan metode identifikasi, yaitu (Idries, 1997) :
1) Metode visual
Metode ini dilakukan dengan memperhatikan korban secara teliti, terutama wajahnya oleh pihak
keluarga atau rekan dekatnya, maka identitas korban dapat diketahui. Walaupun metode ini
sederhana, untuk mendapatkan hasil yang diharapkan perlu diketahui bahwa metode ini baru
dapat dilakukan bila keadaan tubuh dan terutama wajah korban masih dalam keadaan baik dan
belum terjadi pembusukkan yang lanjut. Selain itu perlu diperhatikan faktor psikologis, emosi,
dan latar belakang pendidikan karena faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi hasil
pemeriksaan. Juga perlu diingat bahwa manusia itu mudah terpengaruh dengan sugesti,
khususnya sugesti dari pihak penyidik.
2) Pakaian
Pencatatan yang teliti atas pakaian, bahan yang dipakai, mode, dan adanya tulisan-tulisan, seperti
merek pakaian, penjahit, laundry, dan inisial nama dapat memberikan informasi yang berharga,
milik siapakah pakaian tersebut. Bagi korban yang tidak dikenal, menyimpan pakaian secara
keseluruhan atau potongan-potongan dengan ukuran 10 cm x 10 cm adalah tindakan yang tepat
agar korban masih dapat dikenali walaupun tubuhnya sudah dikubur.
3) Perhiasan
Anting-anting, kalung, gelang serta cincin yang ada pada tubuh korban, khususnya bila perhiasan
itu terdapat inisial nama seseorang yang biasanya terdapat pada bagian dalam dari gelang atau
cincin, akan membantu dokter atau pihak penyidik dalam menentukan identitas korban.
Mengingat kepentingan tersebut maka penyimpanan dari perhiasan haruslah dilakukan dengan
baik.
4) Dokumen
Kartu Tanda Penduduk, Surat Izin Mengemudi, paspor, kartu golongan darah, tanda pembayaran,
dan lain sebagainya dapat menunjukkan identitas korban. Benda-benda tersebut biasa ditemukan
dalam dompet atau tas korban.
5) Medis
Pemeriksaan fisik secara keseluruhan yang meliputi bentuk tubuh, tinggi, berat badan, warna
mata, adanya cacat tubuh, kelainan bawaan, jaringan parut bekas operasi, dan tato dapat turut
membantu menentukan identitas korban. Pada beberapa keadaan khusus, tidak jarang harus
dilakukan pemeriksaan radiologis, yaitu untuk mengetahui keadaan sutura, bekas patah tulang
atau pen, serta pasak yang dipakai pada perawatan penderita patah tulang.
6) Gigi
Bentuk gigi dan bentuk rahang merupakan ciri khusus dari seseorang, sedemikian khususnya
sehingga dapat dikatakan tidak ada gigi atau rahang yang identik pada dua orang berbeda. Hal ini
menjadikan pemeriksaan gigi memiliki nilai yang tinggi dalam penentuan identitas seseorang.
Satu keterbatasan pemanfaatan gigi sebagai sarana identifikasi adalah belum meratanya sarana
untuk pemeriksaan gigi, demikian pula pendataannya (rekam medik gigi) karena pemeriksaan
gigi masih dianggap sebagai hal yang mewah bagi kebanyakan rakyat Indonesia.
7) Sidik jari
Dapat dikatakan bahwa tidak ada dua orang yang mempunyai sidik jari yang sama, walaupun
kedua orang tersebut kembar. Atas dasar ini, sidik jari merupakan sarana yang penting
khususnya bagi kepolisian didalam mengetahui identitas seseorang. Pemeriksaan sidik jari ini
mudah dilakukan dan murah pembiayaannya. Walaupun pemerikasaan sidik jari tidak dilakukan
oleh dokter, dokter masih mempunyai kewajiban untuk mengambilkan (mencetak) sidik jari,
khususnya sidik jari pada korban meninggal dan keadaan mayatnya telah membusuk.
8) Serologi
Sampel darah dapat diambil dari dalam tubuh korban, maupun bercak darah yang berasal dari
bercak-bercak pada pakaian. Hal-hal tersebut dapat menentukan golongan darah si korban.
9) Eksklusi
Metode ini umumnya hanya dipakai pada kasus dimana banyak terdapat korban (bencana
massal), seperti peristiwa kecelakaan pesawat, kecelakaan kereta api, dan kecelakaan angkutan
lainnya yang membawa banyak penumpang. Dari daftar penumpang (passenger list) pesawat
terbang akan dapat diketahui siapa saja yang menjadi korban. Bila dari sekian banyak korban
tinggal satu yang belum dapat dikenali oleh karena keadaan mayatnya sudah sedemikian rusak,
maka atas bantuan daftar penumpang akan dapat diketahui siapa nama korban tersebut, caranya
yaitu dari daftar penumpang yang ada dikurangi korban lain yang sudah diketahui identitasnya.
Dari sembilan metode tersebut hanya metode identifikasi dengan sidik jari yang tidak lazim
dikerjakan oleh dokter dan dokter gigi, melainkan dilakukan oleh pihak kepolisian (Idries, 1997).
Walaupun ada sembilan metode identifikasi yang kita kenal, dalam prakteknya untuk
menentukan identitas seseorang tidak perlu semua metode dikerjakan. Dari sembilan metode
tersebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat metode identifikasi yang dianggap
primer, yaitu identifikasi dengan sidik jari dan gigi. Hal tersebut dikarenakan jarang bahkan
hampir tidak ada sidik jari dan gigi yang identik antara dua orang berbeda, sehingga kedua
metode tersebut bersifat sangat individual dan memiliki validitas yang sangat tinggi. Apabila
dilakukan pemeriksaan DNA, hasil pemeriksaannya juga dapat dijadikan bahan identifikasi
primer, hanya saja metode identifikasi dengan DNA membutuhkan biaya yang mahal (Depkes
RI, 2006).
B.Identifikasi dalam Kedokteran Gigi Forensik
Identifikasi dalam kedokteran gigi forensik ada beberapa macam, yaitu (Lukman, 2006):
1) Identifikasi ras korban maupun pelaku melalui gigi-geligi dan antropologi ragawi.
2) Identifikasi seks atau jenis kelamin korban melalui gigi-geligi, tulang rahang, dan
antropologi ragawi.
3) Identifikasi umur korban (janin) melalui benih gigi.
4) Identifikasi umur korban melalui gigi susu (decidui).
5) Identifikasi umur korban melalui gigi campuran.
6) Identifikasi umur korban melalui gigi tetap.
7) Identifikasi korban melalui kebiasaan menggunakan gigi.
8) Identifikasi korban melalui pekerjaan menggunakan gigi.
9) Identifikasi golongan darah korban melalui air liur.
10) Identifikasi golongan darah korban melalui pulpa gigi.
11) Identifikasi DNA korban melalui analisa air liur dan jaringan dari sel dalam rongga mulut.
12) Identifikasi korban melalui gigi palsu yang dipakainya.
13) Identifikasi wajah korban melalui rekontruksi tulang rahang dan tulang facial.
14) Identifikasi melalui wajah korban.
15) Identifikasi korban melalui pola gigitan pelaku.
16) Identifikasi korban melalui eksklusi pada korban bencana massal.
17) Identifikasi melalui radiologi kedokteran gigi forensik.
18) Identifikasi melalui fotografi kedokteran gigi forensik, misalnya teknik fotografi
superimposisi yang dilakukan dengan menumpang-tindihkan foto postmortem dan foto
wajah antemortem, teknik ini dilakukan apabila identifikasi dengan teknik lain seperti rekam
medik gigi, sidik jari, dan DNA tidak dapat dilakukan, selain itu harus tersedia
foto antemortem yang fokus pada wajah.
19) Identifikasi melalui formulir identifikasi korban.
Walaupun identifikasi dengan menggunakan gigi-geligi sudah banyak terbukti keakuratannya
namun tetap saja ada berbagai syarat yang harus terdapat pada data-data untuk identifikasi
kedokteran gigi forensik agar data tersebut bisa dikatakan valid. Ada beberapa kriteria yang
merupakan syarat untuk validitas identifikasi dengan gigi-geligi, yaitu ( Sopher, 1976):
1) Data yang tersedia harus bersifat multipel, permanen, dapat diukur atau diteliti, sehingga
menjamin individualitas dari data yang tersedia.
2) Terdapat registrasi yang akurat mengenai karakteristik individu (data antemortem) yang
memungkinkan untuk dibandingkan dengan data postmortem.
3) Data dilengkapi dengan gambaran spesifik yang tahan terhadap gaya destruktif, sehingga
dapat tetap menjadi jaminan untuk keindividualitasan data walaupun tidak tersedia gambaran
identifikasi lainnya.
Gigi mempunyai nilai spesifik atau individualitas yang sangat tinggi mengingat begitu tidak
terbatasnya kemungkinan kombinasi ciri-ciri khas pada gigi, baik ciri alami maupun akibat
tindakan perawatan terhadap gigi-geligi. Ciri-ciri khas tersebut antara lain (Ardan, 1999):
1) Jumlah gigi
Jumlah gigi dapat menjadi suatu ciri yang khas pada seseorang. Hal ini karena jumlah gigi pada
seseorang dapat berbeda-beda. Satu atau beberapa gigi pada rahang dapat tidak ada, baik secara
klinis atau radiologis, selain itu sering juga ditemukan jumlah gigi lebih banyak dari normal.
Jumlah gigi yang berkurang dapat disebabkan gigi yang lepas alami, pencabutan, trauma
(benturan dengan benda tumpul), kongenital (tidak terbentuknya benih gigi molar ketiga,
premolar kedua, incisivus kedua), impaksi, dan pergeseran gigi.
2) Restorasi mahkota dan protesa
Restorasi mahkota dan protesa sangat bersifat individual karena dibuat sesuai kebutuhan masing-
masing individu. Beberapa ciri khas dari protesa yang dapat diamati adalah bentuk daerah relief
dari langit-langit, bentuk dan kedalaman post-dam, desain sayap labial, penutupan daerah
retromolar, warna akrilik, bentuk, ukuran dan bahan gigi artifisial, serta bentuk dan ukuran
linggir alveolar.
3) Karies Gigi
Jumlah gigi yang karies dan letaknya dicatat dalam odontogram. Ada kemungkinan gigi yang
karies sudah ditambal, maka harus dilakukan juga pemeriksaan catatan perawatan.
Fraktur dari gigi yang karies bentuknya tidak teratur, berwarna coklat, umumnya terjadi pada
gigi posterior, dilapisi sisa-sisa makanan, dan bekas rokok. Adanya dentin sekunder
menunjukkan bahwa fraktur sudah lama terjadi. Fraktur gigi mahkota karena trauma yang baru
terjadi atau pascakematian dengan bagian tepi gigi tidak menunjukkan karies maka permukaan
frakturnya cenderung tajam.
4) Gigi yang malposisi dan malrotasi
Malposisi dapat berupa gigi berjejal, gigi saling menutup (overlapping), miring, bergeser, dan
jarang-jarang. Malrotasi dapat berupa terputarnya gigi. Keadaan malposisi dan malrotasi
seringkali tidak dicatat pada pemeriksaan sehari-hari (antemortem), maka untuk mengatasinya
keadaan malposisi dan malrotasi dapat diperiksa data postmortem dari model cetakan atau dari
foto roentgen.
5) Gigi berbentuk abnormal
Gigi dapat berbentuk abnormal karena faktor kongenital atau dapatan. Gigi abnormal yang
disebabkan faktor kongenital dapat berupa hutchinson dan gigi incisivus lateral berbentuk
runcing (peg shaped). Bentuk gigi abnormal yang disebabkan faktor dapatan antara lain akibat
pekerjaan dan kebiasaan yang akan mempengaruhi bentuk gigi.
6) Perawatan endodontik
Perawatan endodontik merupakan perawatan bagian pulpa (rongga pulpa dan atau saluran akar).
Jaringan pulpa pada rongga pulpa dan atau saluran akar sudah non-vital atau sudah didevitalisasi,
yang kemudian diawetkan dengan bahan mumifikasi atau diisi dengan bahan pengisi berisi obat,
sehingga tidak akan jadi sumber infeksi.
Sebagai bahan pengisi pulpa diberi bahan yang akan memberikan kontras, sehingga dapat terlihat
jelas pada foto roentgen. Bentuk bahan pengisi, maupun kesempurnaan pengisian pulpa dapat
memberikan gambaran foto roentgen yang spesifik. Biasanya mahkota gigi yang sudah
mengalami perawatan saluran akar dibungkus dengan mahkota tiruan dari bahan logam atau
bahan porselen.
7) Pola trabekulasi tulang
Pola trabekulasi tulang dapat dilihat pada foto roentgen antemortem maupun foto
roentgen postmortem. Dari foto roentgen tersebut dapat juga dilihat kemiringan gigi, ruang
interproksimal, resorpsi tulang akibat penyakit periodontal, perubahan pada ruangan pulpa, dan
bentuk saluran akar.
8) Oklusi gigi
Oklusi gigi adalah hubungan kontak oklusal antara gigi di rahang atas terhadap gigi di rahang
bawah. Oklusi gigi diklasifikasikan menurut klasifikasi Angle, yaitu oklusi kelas I, kelas II, dan
kelas III. Masing-masing kelas mempunyai subkelas tergantung keadaan gigi yang lain (berjejal,
gigitan bersilang, dll).
9) Patologi oral
Kelainan struktur oral dapat merupakan suatu ciri yang khas pada individu. Macam-macam
kelainan struktur rongga mulut tersebut dapat berupa:
a) Torus mandibularis dan torus palatinus
Torus mandibularis adalah protuberansia perkembangan tulang yang kadang-kadang terdapat
pada aspek lingual mandibula di daerah premolar. Torus palatinus adalah eminensia
perkembangan tulang yang kadang-kadang terdapat pada garis median palatum keras (Harty dan
Ogston, 1993).
b) Kelainan lidah
Kelainan lidah yang khas pada individu dapat membantu proses identifikasi. Kelainan yang biasa
terjadi pada lidah dapat berupa pendeknya frenulum lingualis (ankyloglossia), lesi yang
berbentuk seperti peta (geographic tongue), fissure tongue, Fordice’s granules, dan Median
Rhomboid Glossitis (Sonis, et al., 1995).
c) Hiperplasia gusi karena dilantin
Hiperplasia gusi adalah pembengkakkan gingiva akibat proliferasi sel. Hal tersebut bisa timbul
akibat pengobatan (Harty dan Ogston, 1993).
d) Pigmentasi gusi
Pigmentasi merupakan pewarnaan yang dihasilkan oleh tubuh melalui deposisi pigmen (Harty
dan Ogston, 1993). Deposisi pigmen ini bisa berasal dari sumber eksogen dan endogen. Sumber
eksogen dapat dikarenakan dari deposit bahan asing pada jaringan, bakteri, fungi, dan ingesti dari
bahan logam yang terdeposit di jaringan. Sumber endogen disebabkan oleh melanin, bilirubin,
dan besi (Sonis, et al., 1995). Jadi dari pigmentasi gusi ini dapat diperkirakan penyakit sistemis
yang diderita korban dan pekerjaan korban.
e) Adanya kista pada tulang rahang
Kista adalah kantung atau rongga abnormal pada jaringan yang dikelilingi epitel. Kista memiliki
batas jelas dan mengandung cairan atau bahan semi cair (Harty dan Ogston, 1993).
Gigi-geligi juga dapat digunakan untuk menentukan jenis kelamin korban, ras korban, dan umur
korban. Hal-hal tersebut dibutuhkan sebagai data tambahan dan dapat juga digunakan sebagai
alat mempersempit populasi untuk memudahkan proses identifikasi.
1) Penentuan jenis kelamin
Pada kasus-kasus tertentu seperti mutilasi atau korban bencana massal dengan tubuh yang sudah
terpisah-pisah, penentuan jenis kelamin tidak dapat dilakukan dengan mudah seperti penentuan
jenis kelamin pada orang hidup atau mayat yang masih utuh. Penentuan jenis kelamin pada
kasus-kasus tersebut dapat ditentukan melalui gigi-geligi.
Penentuan jenis kelamin melalui gigi-geligi dapat dilakukan dengan melihat bentuk lengkung
gigi, ukuran diameter mesio-distal gigi, dan kromosom yang terdapat pada pulpa. Bentuk
lengkung gigi pada pria cenderung tapered, sedangkan wanita cenderung oval, ukuran diameter
mesio-distal gigi taring bawah wanita = 6,7 mm dan pria = 7 mm. Kromosom X dan Y dapat
ditentukan dengan menggunakan sel pada pulpa gigi sampai dengan lima bulan setelah
pencabutan gigi dan kematian (Astuti, 2008).
2) Penentuan ras korban
Ras korban dapat diketahui dari struktur rahang dan gigi-geliginya. Secara antropologi, ras
dibagi tiga yaitu ras kaukasoid, ras negroid, dan ras mongoloid. Masing-masing ras memiliki
bentuk rahang dan struktur gigi-geligi yang berbeda (Astuti, 2008) :
a) Ras kaukasoid
1) Permukaan lingual yang rata pada gigi incivus
2) Gigi molar pertama bawah tampak lebih panjang dan bentuknya lebih tapered
3) Ukuran buko-palatal gigi premolar kedua bawah sering ditemukan mengecil dan ukuran
mesio-distal melebar
4) Lengkung rahang sempit
5) Gigi berjejal
6) Carabelli cusp pada molar pertama atas
b) Ras negroid
1) Akar premolar yang membelah atau tiga akar
2) Pada premolar pertama bawah terdapat 2 atau 3 lingual cusp
3) Gigi molar pertama bawah berbentuk segi empat dan kecil
4) Bimaxillary protrution
5) Kadang-kadang ditemui molar keempat
c) Ras mongoloid
1) Gigi incisivus pertama atas berbentuk sekop
2) Gigi molar pertama bawah berbentuk bulat dan lebih besar
3) Adanya kelebihan akar distal dan accesory cusp pada permukaan mesio-bukal pada gigi
molar pertama bawah
4) Permukaan email seperti butiran mutiara
3) Penentuan umur korban
Penentuan umur korban atau lebih tepatnya perkiraan umur juga dapat dilakukan melalui
pemeriksaan gigi-geligi (Astuti, 2008):
a) Melihat pertumbuhan dan perkembangan gigi
Perkembangan gigi mulai dapat dipantau sejak mineralisasi gigi susu, yaitu umur empat bulan
dalam kandungan hingga mencapai saat sempurnanya gigi molar kedua tetap. Pemanfaatan
molar ketiga mulai terbatas karena sudah mulai banyaknya molar tersebut yang tidak tumbuh
sempurna. Sehubungan dengan ini dikenal beberapa tahap yang dapat dipantau dengan baik,
yaitu:
1) Intrauteri: dipantau melalui sediaan, dengan melihat tahap mineralisasi gigi dapat diketahui
usia kandungan.
2) Postnatal tanpa gigi: berkisar antara umur 0 – 6 bulan, yaitu saat tumbuhnya gigi susu yang
pertama. Penentuan umur secara tetap disini masih memerlukan sediaan mikroskopis dengan
melihat mineralisasi. Selain itu dapat juga dilakukan pemeriksaan terhadap tahap perkembangan
gigi yang belum tumbuh atau masih di dalam tulang dengan bantuan roentgen.
3) Masa pertumbuhan gigi susu: berkisar antara umur 6 bulan – 3 tahun, saat bermunculannya
gigi susu ke dalam mulut. Dengan memperhatikan gigi mana yang sudah tumbuh dan belum
tumbuh, umur dapat diperkirakan dengan kisaran yang relatif sempit.
4) Masa statis gigi susu: berkisar antara umur 3 – 6 tahun. Pada masa ini penentuan umur
melihat tingkat keausan gigi susu dan jika diperlukan dengan bantuan roentgen untuk melihat
tahap pertumbuhan gigi tetap.
5) Masa gigi-geligi campuran: berkisar antara 6 – 12 tahun. Pada masa ini umur dapat dilihat
dari gigi susu yang tanggal dan gigi tetap yang tumbuh.
6) Masa penyelesaian pertumbuhan gigi tetap: yaitu saat tidak adanya gigi susu yang tanggal
dan selesainya pembentukan akar gigi yang terakhir tumbuh, yaitu molar kedua tetap.
b) Metode Gustafson
Setelah masa pertumbuhan gigi tetap selesai, maka pertumbuhan dan perkembangan gigi tidak
banyak lagi memberikan bantuan untuk menentukan umur karena kondisinya dapat dikatakan
menetap. Untuk itu Gustafson (1950) menemukan 6 metode dalam menentukan umur:
1) Atrisi: akibat penggunaan rutin pada saat makan, sehingga permukaan gigi mengalami
keausan.
2) Penurunan tepi gusi: sesuai dengan pertumbuhan gigi dan pertambahan umur, maka tepi
gusi (margin-gingival attachment) akan bergerak ke arah apikal.
3) Pembentukan dentin sekunder: sebagai upaya perlindungan alami pada dinding pulpa gigi
akan dibentuk dentin sekunder yang bertujuan menjaga ketebalan jaringan gigi yang melindungi
pulpa. Semakin tua seseorang semakin tebal dentin sekundernya.
4) Pembentukan semen sekunder: dengan bertambahnya umur, maka semen sekunder di
ujung akar pun bertambah ketebalannya.
5) Transparansi dentin: karena proses kristalisasi pada bahan mineral gigi, maka jaringan
dentin gigi berangsur menjadi transparan. Proses transparan ini dimulai dari ujung akar gigi
meluas ke arah mahkota gigi.
6) Penyempitan atau penutupan foramen apicalis: akan semakin menyempit dengan
bertambahnya umur dan bahkan akan menutup.
Garis besar yang perlu diperhatikan dalam penentuan umur dengan gigi setelah masa
pertumbuhan gigi tetap selesai adalah sebagai berikut (Harmaini, 2001):
1) Keausan pada gigi menunjukkan seseorang berusia di atas 50 tahun.
2) Banyaknya tulang yang hilang terjadi pada usia lebih dari 40 tahun.
3) Penutupan foramen apicalis molar ketiga tidak terjadi sebelum usia 20 tahun.
Ada beberapa keuntungan dengan menjadikan gigi sebagai objek pemeriksaan, yaitu (Lukman,
2006) :
1) Gigi-geligi merupakan rangkaian lengkungan secara anatomis, antropologis, dan
morpologis mempunyai letak yang terlindung dengan otot-otot, bibir, dan pipi. Apabila terjadi
trauma, maka akan mengenai otot-otot tersebut terlebih dahulu.
2) Gigi-geligi sukar untuk membusuk walaupun dikubur kecuali gigi tersebut sudah
mengalami nekrotik atau gangren. Umumnya organ-organ lain bahkan tulang telah hancur tetapi
gigi tidak (masih utuh).
3) Gigi-geligi di dunia ini tidak ada yang sama. Menurut Sims dan Furnes, gigi manusia
kemungkinan sama adalah 1 : 2.000.000.000.
4) Gigi-geligi mempunyai ciri-ciri yang khusus apabila ciri-ciri gigi tersebut rusak atau
berubah, maka sesuai dengan pekerjaan dan kebiasaan menggunakan gigi bahkan setiap ras
memiliki ciri yang berbeda.
5) Gigi-geligi tahan asam keras, terbukti pada peristiwa Haigh yang terbunuh dan direndam di
dalam drum berisi asam pekat, jaringan ikatnya hancur tetapi giginya masih utuh.
6) Gigi-geligi tahan panas, apabila terbakar sampai dengan suhu 400 °C gigi tidak akan
hancur, terbukti pada peristiwa Parkman yang terbunuh dan dibakar tetapi giginya masih utuh.
Kemudian pada peristiwa aktor perang dunia kedua, yaitu Hitler, Eva Brown, dan Arthur
Boorman mereka membakar diri kedalam tungku yang besar di dalam bunker tahanan tetapi
giginya masih utuh dan gigi palsunya bisa dibuktikan. Kecuali dikremasi karena suhunya di atas
1000 °C. Gigi menjadi abu sekitar suhu lebih dari 649 °C. Apabila gigi tersebut ditambal
menggunakan amalgam, maka bila terbakar akan menjadi abu sekitar di atas 871 °C. Apabila
gigi tersebut memakai mahkota logam atau inlay alloy emas, maka bila terbakar akan menjadi
abu sekitar suhu 871-1093 °C.
7) Gigi-geligi dan tulang rahang secara roentgenografis, walaupun terdapat pecahan-pecahan
rahang pada roentgenogramnya dapat dilihat (interpretasi) kadang-kadang terdapat anomali dari
gigi dan komposisi tulang rahang yang khas.
8) Apabila korban telah dilakukan pencabutan gigi umumnya ia memakai gigi tiruan dengan
berbagai macam model gigi tiruan dan gigi tiruan tersebut dapat ditelusuri atau diidentifikasi.
Menurut Scott, gigi tiruan akrilik akan terbakar menjadi abu pada suhu 538 °C sampai 649 °C.
Apabila memakai jembatan dari porselen maka akan menjadi abu pada suhu 1093 °C.
9) Gigi-geligi merupakan sarana terakhir di dalam identifikasi apabila sarana-sarana lain atau
organ tubuh lain tidak ditemukan.
Berbagai keuntungan yang dapat diperoleh dengan menjadikan gigi-geligi sebagai objek
pemeriksaan tersebut dapat diperoleh dari data gigi-geligi yang memenuhi berbagai syarat
validitas.
Data gigi antemortem atau disebut juga data-data prakematian gigi-geligi adalah keterangan
tertulis, catatan atau gambaran dalam kartu perawatan gigi atau keterangan dari keluarga atau
orang yang terdekat (Depkes RI, 2006).
Keterangan data-data biasanya berisi (Depkes RI, 2006):
1) Nama penderita
2) Umur
3) Jenis kelamin
4) Pekerjaan
5) Tanggal perawatan, penambalan , pencabutan, dan lain-lain
6) Pembuatan gigi tiruan ,orthodonti, dan lain-lain
7) Foto Roentgen
Sumber data-data antemortem tentang kesehatan dan gigi diperoleh dari (Depkes RI, 2006) :
1) Klinik gigi rumah sakit pemerintah, TNI / Polri, dan swasta
2) Lembaga-lembaga pendidikan
3) Praktek pribadi dokter gigi
Data-data postmortem adalah data-data hasil pemeriksaan forensik yang dilihat dan ditemukan
pada jenazah korban (Depkes RI, 2006). Pemeriksaan gigi postmortem dilakukan oleh dokter
gigi atau dokter gigi forensik. Pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan melakukan pencatatan
kelainan-kelainan sesuai formulir yang ada, roentgen gigi, roentgen kepala jenazah, dan bila
perlu cetakan gigi jenazah untuk dianalisa (Depkes RI, 2006).
Pemeriksaan gigi postmortem ini diharapkan dapat memberikan informasi berupa ciri-ciri khas
pada gigi, yaitu jenis kelamin, umur, kebiasaan, pekerjaan, status sosial, golongan darah, ras, dan
DNA (Ardan, 1999).
Mengoleksi data post – mortem
3. Mengoleksi data ante-mortem
Data ante mortem adalah data-data yang penting dari korban sebelum kejadian atau pada waktu
korban masih hidup, termasuk data vital tubuh, data gigi, data sidik jari, dan data kepemilikan
yang dipakai atau dibawa
Adapun proses DVI meliputi 5 fase, dimana setiap fasenya mempunyai keterkaitan satu
dengan yang lainnya, yaitu:
a. Initial Action at the Disaster Site
Merupakan tindakan awal yang dilakukan di tempat kejadian peristiwa (TKP)
bencana. Ketika suatu bencana terjadi, prioritas yang paling utama adalah untuk
mengetahui seberapa luas jangkauan bencana. Sebuah organisasi resmi harus
mengasumsikan komando operasi secara keseluruhan untuk memastikan koordinasi
personil dan sumber daya material yang efektif dalam penanganan bencana. Dalam
kebanyakan kasus, polisi memikul tanggung jawab komando untuk operasi secara
keseluruhan. Sebuah tim pendahulu (kepala tim DVI, ahli patologi forensik dan petugas
polisi) harus sedini mungkin dikirim ke TKP untuk mengevaluasi situasi berikut :
- Keluasan TKP, pemetaan jangkauan bencana dan pemberian koordinat untuk area
bencana.
- Perkiraan jumlah korban.
- Keadaan mayat.
- Evaluasi durasi yang dibutuhkan untuk melakukan DVI.
- Institusi medikolegal yang mampu merespon dan membantu proses DVI.
- Metode untuk menangani mayat.
- Transportasi mayat.
- Penyimpanan mayat.
- Kerusakan properti yang terjadi.
Pada prinsipnya untuk fase tindakan awal yang dilakukan di situs bencana, ada tiga
langkah utama. Langkah pertama adalah to secure atau untuk mengamankan, langkah
kedua adalah to collect atau untuk mengumpulkan dan langkah ketiga adalah
documentation atau pelabelan.
Pada langkah to secure organisasi yang memimpin komando DVI harus mengambil
langkah untuk mengamankan TKP agar TKP tidak menjadi rusak. Langkah – langkah
tersebut antara lain adalah :
- Memblokir pandangan situs bencana untuk orang yang tidak berkepentingan
(penonton yang penasaran, wakil – wakil pers, dll), misalnya dengan memasang
police line.
- Menandai gerbang untuk masuk ke lokasi bencana.
- Menyediakan jalur akses yang terlihat dan mudah bagi yang berkepentingan.
- Menyediakan petugas yang bertanggung jawab untuk mengontrol siapa saja yang
memiliki akses untuk masuk ke lokasi bencana.
- Periksa semua individu yang hadir di lokasi untuk menentukan tujuan kehaditan dan
otorisasi.
- Data terkait harus dicatat dan orang yang tidak berwenang harus meninggalkan area
bencana.
Pada langkah to collect organisasi yang memimpin komando DVI harus
mengumpulkan korban – korban bencana dan mengumpulkan properti yang terkait
dengan korban yang mungkin dapat digunakan untuk kepentingan identifikasi korban.
Pada langkah documentation organisasi yang memimpin komando DVI
mendokumentasikan kejadian bencana dengan cara memfoto area bencana dan korban
kemudian memberikan nomor dan label pada korban.
Setelah ketiga langkah tersebut dilakukan maka korban yang sudah diberi nomor dan
label dimasukkan ke dalam kantung mayat untuk kemudian dievakuasi.
b. Collecting Post Mortem Data
Data post mortem adalah data-data hasil pemeriksaan forensik yang dilihat dan
ditemukan pada jenazah korban. Kita harus mencatat data data yang didapat pada jenasah
selengkap lengkapnya. Mulai dari cici-ciri umum, perkiraan umur, jenis kelamin, ras. Pertama
ambil foto keadaan jenasah secara utuh baik masih menggunakan pakaian atau yang telah
dilepas, kemudian lakukan pemeriksaan fisik untuk melihat ciri-ciri fisik khusus yang ada pada
tubuh korban. Kemudian ambil sidik jari korban, lakukan pemeriksaan radiologis gunanya yaitu
untuk melihat apakah pada jenasah memiliki tanda khusus pada bagian dalam tubuh, sperti
pemasangan pen pada patah tulang, dll. Setelah itu identifikasi gigi. Setelah semua itu dilakukan
cegah peruban pada jenasah. Pemeriksaan DNA pada Korban juga harus dilakukan untuk
membandingkan dengan pihak keluarga korban
c.
Pengumpulan data post-mortem atau data yang diperoleh paska kematian dilakukan
oleh post-mortem unit yang diberi wewenang oleh organisasi yang memimpin komando
DVI. Pada fase ini dilakukan berbagai pemeriksaan yang kesemuanya dilakukan untuk
memperoleh dan mencatat data selengkap – lengkapnya mengenai korban. Pemeriksaan
dan pencatatan data jenazah yang dilakukan diantaranya meliputi :
- Dokumentasi korban dengan mengabadikan foto kondisi jenazah korban.
- Pemeriksaan fisik, baik pemeriksaan luar maupun pemeriksaan dalam jika
diperlukan.
- Pemeriksaan sidik jari.
- Pemeriksaan rontgen.
- Pemeriksaan odontologi forensik: bentuk gigi dan rahang merupakan ciri
khusus tiap orang ; tidak ada profil gigi yang identik pada 2 orang yang
berbeda.
- Pemeriksaan DNA.
- Pemeriksaan antropologi forensik : pemeriksaan fisik secara keseluruhan, dari
bentuk tubuh, tinggi badan, berat badan, tatto hingga cacat tubuh dan bekas luka
yang ada di tubuh korban.
Data – data hasil pemeriksaan tersebut kemudian digolongkan ke dalam data primer
dan data sekunder sebagai berikut :
- PRIMER : sidik jari, profil gigi, DNA
- SECONDARY : visual, fotografi, properti jenazah, medik-antropologi (tinggi
badan, ras, dll.)
Selain mengumpulkan data paska kematian, pada fase ini juga sekaligus dilakukan
tindakan untuk mencegah perubahan – perubahan paska kematian pada jenazah, misalnya
dengan meletakkan jenazah pada lingkungan dingin untuk memperlambat pembusukan.