sumber daya laut -...

144
Editor: I Nyoman Radiarta Frida Sidik dan Pesisir Perairan Selat Bali Sumber Daya Laut Sumber Daya Laut

Upload: others

Post on 01-Apr-2021

13 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

Editor:

I Nyoman RadiartaFrida Sidik

dan Pesisir Perairan Selat Bali

Sumber Daya Laut

da

n P

esis

ir P

era

ira

n S

ela

t B

ali

Su

mb

er

Daya

Lau

t

Page 2: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

Balai Riset dan Observasi LautPusat Riset Kelautan

Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan PerikananKementerian Kelautan dan Perikanan

Sumber Daya Lautdan Pesisir Perairan Selat Bali

Page 3: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga
Page 4: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

Editor:

I Nyoman Radiarta Frida Sidik

Sumber Daya Lautdan Pesisir Perairan Selat Bali

Balai Riset dan Observasi LautPusat Riset Kelautan

Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan PerikananKementerian Kelautan dan Perikanan

Page 5: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

Judul Buku:Sumber Daya Laut dan Pesisir Perairan Selat Bali

Editor:I Nyoman Radiarta Frida Sidik

Penata Isi:Eko Susilo

Desain Sampul:Slamet Widayadi

Jumlah Halaman: 120 + 22 hal romawi

Edisi/Cetakan:Cetakan 1, September 2020

Pertama kali diterbitkan dalam Bahasa Indonesia olehPT Media Sains NasionalAnggota IKAPI No. 276/JB/2015Ruko Bangbarung Grande No. K-9 Kota BogorTelp. 0251-7160668, 7550470Fax.: 0251-7550470

ISBN: 978-623-92965-1-3 (Cetak)ISBN: 978-623-92965-2-0 (eBook)

Isi di Luar Tanggung Jawab Percetakan

© 2020, Balai Riset dan Observasi LautPusat Riset KelautanBadan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan PerikananKementerian Kelautan dan Perikanan

HAK CIPTA DILINDUNGI OLEH UNDANG-UNDANG NO 28 TAHUN 2014Dilarang memproduksi atau memperbanyak seluruh atau sebagian dari buku ini dalam bentuk atau cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit

Page 6: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ....................................................................................................v

DAFTAR TABEL ...........................................................................................vii

DAFTAR GAMBAR .......................................................................................ix

KATA SAMBUTAN .....................................................................................xiii

KATA PENGANTAR .................................................................................... xv

PRAKATA ................................................................................................... xvii

BAB 1 KONDISI PERAIRAN DAN EKOSISTEM PESISIR

DI KAWASAN KONSERVASI BALI BARAT

Iis Triyulianti, Eghbert Elvan Ampou, Frida Sidik, Novia Arinda

Pradisty, Nuryani Widagti, Agung Yunanto, Amandangi Wahyuning

Hastuti, dan Camelia Kusuma Tito ...................................................... 1

BAB 2 KONDISI OSEANOGRAFI PERAIRAN SELAT BALI

Bambang Sukresno, Dinarika Jatisworo, dan Fikrul Islamy ................. 27

BAB 3 PROFIL VERTIKAL SUHU PERAIRAN SELAT BALI DAN

HUBUNGANNYA DENGAN VARIABILITAS IKLIM

Dessy Berlianty, Wingking Era Rintaka Siwi, Bayu Priyono,

Teguh Agustiadi, dan Nadya Christa Mahdalena ................................ 39

BAB 4 PERAN BUOY PANTAI UNTUK OBSERVASI DINAMIKA

OSEANOGRAFI DI SELAT BALI

Bayu Priyono dan Teguh Agustiadi ..................................................... 53

BAB 5 POLA MUSIM PENANGKAPAN Sardinella lemuru

DI SELAT BALI

Adi Wijaya, Umi Zakiyah, Abu Bakar Sambah, dan

Daduk Setyohadi ............................................................................... 67

BAB 6 PENYEDIAAN INFORMASI DAERAH PENANGKAPAN

IKAN PELAGIS DI SELAT BALI

Eko Susilo, Komang Iwan Suniada, dan Teja Arief Wibawa ................ 79

BAB 7 PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN LAUT

DI SELAT BALI

Agung Yunanto dan I Nyoman Radiarta ............................................. 90

BIOGRAFI EDITOR ................................................................................. 107

BIOGRAFI PENULIS ................................................................................ 109

Page 7: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga
Page 8: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1. Lokasi pengambilan sampel sedimen ekosistem mangrove ............. 17

Tabel 1.2. Karakteristik vegetasi dan sediment di lokasi studi ........................ 18

Tabel 4.3. Spesifikasi sensor pada buoy pantai BROL .................................... 56

Tabel 4.4. Persentase perolehan data hasil observasi buoy pantai Selat Bali

tahun 2017 ................................................................................... 60

Page 9: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga
Page 10: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Lokasi stasiun pengambilan sampel kualitas air ......................... 5

Gambar 1.2 Sebaran data kualitas air dari 10 stasiun pengambilan sampel

pada bulan Februari, Agustus dan Oktober 2017 ...................... 6

Gambar 1.3 Persentase kelimpahan fitoplankton pada bulan Februari,

Agustus dan Oktober 2017 ....................................................... 8

Gambar 1.4 Komposisi komunitas fitoplankton perairan pesisir selat Bali

bulan Februari dan Agustus 2017 ............................................. 9

Gambar 1.5 Geomorfologi habitat pada daerah rataan terumbu di pulau

Menjangan dengan enam tipe habitat ..................................... 10

Gambar 1.6 Komposisi habitat bentik (luas tutupan) di Pulau Menjangan

dengan pendekatan MSA ........................................................ 11

Gambar 1.7 Habitat bentik pada ekosistem terumbu karang

di Pulau Menjangan ................................................................ 13

Gambar 1.8 Foto kematian karang di bagian reef flat pulau Menjangan

dan data grafik DMI, SOI, SPL, SSH, dan CHL tahun

2007-2017 .............................................................................. 15

Gambar 1.9 Titik pengambilan sampel sedimen di hutan mangrove

sekitar TNBB ......................................................................... 17

Gambar 1.10 Hutan mangrove di pesisir Pulau Menjangan .......................... 18

Gambar 1.11 Kandungan 210Pb total pada sedimen ekosistem mangrove

di TNBB ................................................................................ 20

Gambar 1.12 Alat coring sedimen posisi horizontal (open-auger core) ............ 21

Gambar 2.1 SPL Selat Bali berdasarkan data satelit dari tahun 2007

hingga 2018 ........................................................................... 30

Gambar 2.2 Variabilitas SPL Selat Bali berdasarkan nilai rerata SPL

sepanjang tahun 2007 hingga 2018 ........................................ 31

Gambar 2.3 Index El Nino 3.4 yang terjadi pada pada tahun 2007

hingga 2018 ........................................................................... 32

Gambar 2.4 Korelasi rerata SPL di Selat Bali dengan indeks ENSO

dan IOD sepanjang tahun 2007 hingga 2018 ......................... 32

Page 11: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

x

SUMBER DAYA LAUT DAN PESISIR PERAIRAN SELAT BALI

Gambar 2.5 Konsentrasi klorofil-a Selat Bali berdasarkan data satelit dari

tahun 2007 hingga 2018 ........................................................ 33

Gambar 2.6 Variabilitas klorofil-a Selat Bali berdasarkan nilai rerata

klorofil-a sepanjang tahun 2007 hingga 2018 ......................... 34

Gambar 2.7 Korelasi rerata klorofil-a di Selat Bali dengan Indeks ENSO

dan IOD sepanjang tahun 2007 hingga 2018. ........................ 35

Gambar 3.1 Lokasi kajian dengan kondisi batimetri perairan Selat Bali ...... 40

Gambar 3.2 Profil penampang vertikal temperatur hasil observasi pada

Februari 2017 di Selat Bali ..................................................... 42

Gambar 3.3 Profil penampang vertikal suhu (temperature) hasil observasi

pada Agustus 2017 di Selat Bali .............................................. 42

Gambar 3.4 Profil penampang vertikal suhu (temperature) hasil observasi

pada Agustus 2013 di Selat Bali .............................................. 43

Gambar 3.5 Profil vertikal suhu klimatologis [2007 – 2017] di Selat Bali ... 44

Gambar 3.6 Temporal Ocean Nino Index (a), dan Dipole Mode Index (b)

pada periode Januari 2007 – Oktober 2017 ............................ 46

Gambar 3.7 Evolusi temporal profil vertikal rerata bulanan suhu di perairan

Selat Bali pada periode Januari 2007–Oktober 2017 hingga

kedalaman 200 meter ............................................................. 48

Gambar 3.8 Evolusi temporal profil vertikal rerata bulanan anomali suhu

di perairan Selat Bali pada periode Januari 2007–Oktober

2017 hingga kedalaman 350 meter ......................................... 48

Gambar 3.9 Temporal Mixed layer Depth (MLD) pada periode

Januari 2007 – Oktober 2017 di perairan Selat Bali ................ 48

Gambar 4.1 Rangkaian sistem buoy pantai yang digunakan dalam

observasi variabel oseanografi di Selat Bali .............................. 56

Gambar 4.2 Aliran komunikasi data buoy pantai ....................................... 58

Gambar 4.3 Posisi penempatan buoy pantai di Selat Bali ............................ 58

Gambar 4.4 Plot dalam deret waktu hasil pengukuran buoy pantai di Selat

Bali pada tahun 2017.............................................................. 61

Gambar 5.1 Kecenderungan Produksi Sardinella lemuru selama tahun

1993-2019 .............................................................................. 70

Page 12: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

xi

daftar gambar

Gambar 5.2 IMP Sardinella lemuru di Perairan Selat Bali dari hasil

analisis data produksi bulanan tahun 1993-2019 .................... 73

Gambar 5.3 Pola IMP, SOI dan produksi Sardinella lemuru tahun

1993-2019 berdasarkan data produksi bulanan ....................... 74

Gambar 6.1 Sebaran spasial dan temporal prediksi daerah penangkapan

ikan di Selat Bali tahun 2018 .................................................. 83

Gambar 6.2 Sebaran spasial dan temporal prediksi daerah penangkapan

ikan di Selat Bali tahun 2019 .................................................. 83

Gambar 6.3 Sebaran spasial dan temporal prediksi lokasi penangkapan

ikan lemuru di Selat Bali tahun 2018 ...................................... 84

Gambar 6.4 Sebaran spasial dan temporal prediksi lokasi penangkapan

ikan lemuru di Selat Bali tahun 2019 ...................................... 85

Gambar 6.5 Tampilan muka laman SIDIK ................................................ 86

Gambar 6.6 Penyampaian informasi pada ALN.......................................... 87

Gambar 6.7 Penyampaian informasi melalui WhatsApp Group Chat ......... 88

Gambar 7.1 Batas minimal pengelolaan Selat Bali yang membutuhkan

sinergi dengan pengelolaan DAS Selat Bali ............................. 99

Page 13: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga
Page 14: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

KATA SAMBUTAN

Kementerian Kelautan dan Perikanan, sebagaimana telah dimandatkan oleh

peraturan perundang-undangan diharapkan dapat mewujudkan masyarakat

kelautan dan perikanan yang sejahtera dengan tetap menganut prinsip tata kelola

sumber daya kelautan dan perikanan yang berkelanjutan. Upaya pembangunan

kelautan dan perikanan yang menitikberatkan pada kedaulatan (sovereignty),

keberlanjutan (sustainability), dan kesejahteraan (prosperity) harus dilakukan

secara terencana, terpadu, dan berkesinambungan. Oleh karenanya, peran Badan

Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDMKP) semakin

penting. BRSDMKP dituntut untuk berkontribusi secara nyata dalam mendukung

peningkatan perputaran roda perekonomian dan kesejahteraan masyarakat

kelautan dan perikanan melalui penyelenggaraan dan penguatan inovasi teknologi

dan riset kelautan dan perikanan yang adaptif dan kompeten.

Balai Riset dan Observasi Laut (BROL) sebagai salah satu unit pelaksana

teknis (UPT) BRSDMKP secara konsisten telah menyelenggarakan riset dan

observasi sumber daya laut dan pesisir di perairan Indonesia. Penyelenggaraan

riset di BROL ditopang atas dasar tiga kebijakan yaitu (1) litbang yang berawal

dan berakhir pada pengguna; (2) litbang harus market driven dan market driving

dan sekaligus policy driven; (3) hasil litbang harus diarahkan untuk mendukung

kebijakan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan secara berkelanjutan.

BROL dituntut tidak hanya menghasilkan riset yang handal namun juga

memaksimalkan pemanfaatan hasil riset untuk mendorong peningkatan ekonomi

masyarakat.

Buku ini merupakan buah karya para peneliti BROL guna menjawab tantangan

BRSDMKP sebagai Center of Excellence dalam penyediaan informasi terkini dan

Inhouse Consultant bagi seluruh stakeholder di lingkup Kementerian Kelautan

dan Perikanan maupun seluruh pemangku kepentingan di daerah, khususnya

di Jawa Timur dan Bali. Sejumlah isu pokok yang menjadi permasalahan dalam

pengelolaan sumber daya laut dan pesisir dibahas beserta dengan rekomendasi

upaya pemecahannya. BROL terus berupaya memberikan informasi karakteristik

dan kondisi laut dan pesisir secara kontinu melalui pemanfaatan teknologi

observasi laut, penginderaan jauh kelautan, dan pemodelan laut.

Inovasi riset yang dihasilkan oleh BROL tak terlepas dari keberadaan sarana

dan prasarana riset yang handal dan kompeten serta didukung dengan penerapan

sistem manajemen mutu yang terukur (ISO 9001:2018, ISO/IEC 17025:2017,

Page 15: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

xiv

SUMBER DAYA LAUT DAN PESISIR PERAIRAN SELAT BALI

dan KNAPPP). Perkembangan IPTEK yang pesat di era digital dan konsep big data

analysis juga telah diadopsi dalam pendistribusian informasi kepada pengguna.

BROL telah mengembangkan sejumlah platform yang memudahkan pengguna

mengakses data dan informasi kelautan meliputi:

Sistem Prediksi Kelautan (SIDIK) 1.

Sistem Informasi Manajemen Laboratorium Kualitas Perairan 2.

(SIMANTAP)

Observation & Modelling Information System (OMIS)3.

Aplikasi Android Untuk Transformasi Digital Nelayan Nusantara (Laut 4.

Nusantara)

BROL telah menggugurkan paradigma bahwa hasil riset belum sepenuhnya

dapat mengakomodir kebutuhan pelaku usaha dan industri perikanan. Melalui

buku ini, BROL membuktikan secara nyata bentuk dukungan riset dalam

menjawab isu dan permasalahan kelautan dan perikanan di Indonesia, khususnya

di Selat Bali. Selanjutnya diperlukan sinergi oleh para pemangku kepentingan,

baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan pemangku kepentingan lainnya,

secara bersama-sama melakukan upaya pengelolaan sumber daya kelautan dan

perikanan di Selat Bali agar dapat memberikan manfaat secara berkelanjutan.

Ucapan terima kasih Saya sampaikan kepada para peneliti yang telah

berkontribusi dalam penyusunan Buku ini. Tetaplah bekerja dan berkarya untuk

membangun kelautan dan perikanan Indonesia yang berdaya saing. Saya berharap,

buku ini dapat bermanfaat bagi semua pihak khususnya para pengambil kebijakan

dalam proses pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan di Selat Bali.

Prof. Ir. R Sjarief Widjaja, Ph.D FRINA

Kepala BRSDMKP

Page 16: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

KATA PENGANTAR

Puji syukur tercurah kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan

rahmat dan karunia-Nya, sehingga Balai Riset dan Observasi Laut (BROL) dapat

mempersembahkan buku Sumber Daya Laut dan Pesisir Perairan Selat Bali.

Hasil karya para peneliti BROL ini merupakan wujud dukungan riset terhadap

kegiatan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan di Indonesia, khususnya

di Selat Bali.

Selat Bali berperan penting dalam menopang sendi perekonomian masyarakat.

Selat Bali memiliki keragaman bentang alam dan potensi sumber daya laut dan

pesisir yang tinggi, termasuk menyediakan jasa lingkungan dan sumber daya

perikanan. Wisata bahari menjadi salah satu jasa lingkungan yang diandalkan

masyarakat. Ketersediaan sumber daya ikan yang melimpah mendorong

tumbuhnya industri pengolahan ikan lemuru terbesar di Indonesia. Saat ini,

pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

berpotensi dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan laut. Oleh

karenanya diperlukan dukungan informasi karakteristik dan kondisi laut dan

pesisir yang kontinu dan akurat sehingga potensi sumber daya laut dan pesisir

tersebut dapat dikelola dengan baik. Buku ini menyajikan hasil riset dan observasi

laut dan pesisir Selat Bali yang dilakukan oleh BROL baik melalui pemanfaatan

teknologi observasi laut, penginderaan jauh kelautan, dan pemodelan laut.

Sebagai penutup, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya

kepada semua pihak yang terlibat dalam penyusunan buku ini, terkhusus kepada

para kontibutor. Kontribusi dari seluruh penulis dan editor pada buku ini adalah

sama. Kami berharap, buku ini dapat bermanfaat bagi semua pihak khususnya

para pengambil kebijakan dalam proses pengelolaan sumber daya kelautan dan

perikanan di Selat Bali. Serta para akademisi untuk lebih berkontribusi positif

dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya di bidang

kelautan dan perikanan.

Dr. I Nyoman Radiarta, S.Pi, M.Sc.

Kepala Balai Riset dan Observasi Laut

Page 17: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga
Page 18: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

PRAKATA

Selat Bali merupakan daerah perairan yang memisahkan daratan Pulau Bali

dan Pulau Jawa dan secara administratif memiliki luas sekitar 2.500km2. Selat

Bali berbatasan dan dikelola bersama oleh empat wilayah kabupaten. Sisi barat

Selat Bali berbatasan dengan Kabupaten Banyuwangi. Kabupaten yang terletak di

ujung timur Pulau Jawa ini dikelilingi 36 desa pesisir yang salah satunya adalah

Muncar dengan jumlah penduduk terbanyak di kabupaten ini. Pada sisi timur,

Selat Bali berbatasan dengan 53 desa pesisir yang terletak di tiga kabupaten di

Pulau Bali, yaitu Jembrana, Tabanan dan Badung. Kuta merupakan kecamatan

terpadat di antara kabupaten tersebut.

Wilayah kabupaten yang mengelilingi Selat Bali

Selat Bali menyediakan jasa lingkungan dan sumber daya perikanan dan

memiliki peran penting bagi kehidupan manusia. Salah satu produk perikanan

khas Selat Bali adalah ikan lemuru. Saat ini, pemanfaatan sumber daya pesisir

dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga dapat menimbulkan dampak negatif

terhadap lingkungan laut. Di sisi lain, kondisi perairan Selat Bali dipengaruhi oleh

faktor alam, seperti iklim dan musim.

Page 19: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

xviii

SUMBER DAYA LAUT DAN PESISIR PERAIRAN SELAT BALI

Melihat potensi serta tantangan yang dihadapi dalam pengelolaan sumber

daya perairan Selat Bali, Balai Riset dan Observasi Laut (BROL) melaksanakan

kegiatan riset dan observasi untuk memberikan dukungan ilmiah dalam menjawab

permasalahan yang ada. Buku Sumber Daya Laut dan Pesisir Perairan Selat Bali

menyajikan bahasan yang meliputi potensi sumber daya pesisir dan laut Selat Bali

termasuk sektor perikanan serta rekomendasi pengelolaannya. Data dan informasi

ilmiah yang disajikan merupakan hasil riset dan observasi yang dilakukan oleh

para peneliti BROL selama tahun 2015-2018. Penyajian pembahasan dibagi

dalam tujuh Bab khusus dengan ulasan singkat pada bagian berikut.

Kondisi Pesisir dan Laut Selat Bali

Dengan panjang pantai yang mengelilingi Selat Bali total sekitar 2.941.000

km, pesisir Selat Bali memiliki keragaman bentang alam dan potensi sumber

daya pesisir sebagai daya tarik wisata bahari. Kabupaten Badung sudah menjadi

icon wisata nasional dan telah dikenal baik oleh wisatawan domestik maupun

mancanegara. Selain Kabupaten Badung, Kabupaten Banyuwangi memiliki

sejumlah destinasi wisata yang sangat indah, termasuk wisata bahari dan menjadi

salah satu destinasi favorit di Jawa Timur. Sejumlah pantai di Kabupaten Tabanan

dan Kabupaten Jembrana juga memiliki daya tarik bagi wisatawan dan berpotensi

menjadi destinasi wisata bahari.

Selain tingkat pemanfaatan di bidang pariwisata yang cukup tinggi, pesisir

Selat Bali memiliki kawasan konservasi dan taman pesisir, antara lain:

Taman Nasional Bali Barat, dimana 20% wilayahnya berada pada wilayah 1.

perairan, Kabupaten Jembrana.

Taman Nasional Alas Purwo, Kabupaten Banyuwangi.2.

Kawasan Suaka Alam Laut di sekitar Pulau Tabuhan dan Pulau Merah, 3.

Kabupaten Banyuwangi.

Kawasan Taman Pesisir di Kabupaten Jembrana.4.

Buku ini dibuka dengan pembahasan karakteristik dan kondisi lingkungan

pesisir di sekitar Taman Nasional Bali Barat (TNBB) sebagai salah satu kawasan

konservasi yang mengelilingi Selat Bali. Kawasan ini memiliki lebih dari 10 jenis

habitat bentik pada ekosistem terumbu karang dan beragam komunitas hutan

mangrove. Ekosistem pesisir dan perairan Selat Bali diperkirakan mengalami

Page 20: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

xix

prakata

perubahan lingkungan karena pengaruh tekanan antropogenik dan variasi iklim

muson. Indikasi dampak antropogenik terhadap lingkungan perairan ditunjukkan

oleh beberapa parameter kualitas air.

Selain kondisi perairan pesisir, buku ini juga mengulas karakteristik

oseanografi Selat Bali yang dikaji melalui pendekatan in situ, modeling dan

penginderaan jauh (lihat Bab 2, 3, dan 4). Ketiga Bab mengungkap bahwa suhu

permukaan laut (SPL) di Selat Bali mengalami variabilitas musiman dimana pada

musim timur relatif lebih dingin dibandingkan pada musim barat. Selain SPL,

faktor musim mempengaruhi kesuburan perairan yang ditandai oleh pengaruh

musim terhadap konsentrasi klorofil-a. Pada musim timur, klorofil-a timur relatif

lebih tinggi dibandingkan pada musim barat. Naiknya konsentrasi klorofil-a di

Selat Bali merupakan respons terhadap terjadinya upwelling. Kondisi perairan

juga dipengaruhi oleh iklim menunjukkan adanya hubungan antara variabilitas

suhu dan ketebalan mixed layer di perairan Selat Bali terhadap beberapa kondisi

ENSO dan IOD.

Sumber Daya Ikan di Selat Bali

Potensi sumber daya perikanan sangat terkait dengan berbagai faktor alam,

salah satunya adalah kondisi perairan. Buku ini membahas hubungan antara

sumber daya perikanan Selat Bali dengan karakteristik oseanografi perairan. Selat

Bali dikenal sebagai perairan yang subur dan kaya akan makanan ikan sehingga

cocok untuk habitat ikan pelagis kecil, seperti lemuru (Sardinella lemuru) atau

dikenal sebagai Bali Sardinella. Pada Bab 2 teridentifikasi bahwa disamping lemuru

juga ditemukan berbagai jenis ikan pelagis lainnya seperti ikan layang (Decapterus

spp.), ikan tembang (Sardinella spp.), ikan kembung (Rastrelliger kanagurta), ikan

slengseng (Scomber australasicus), dan ikan tongkol (Auxis spp.) .

Lebih lanjut sumber daya perikanan Selat Bali dibahas dalam Bab 5. Perikanan

lemuru di perairan Selat Bali mulai berkembang pesat sejak diperkenalkannya alat

penangkapan ikan pukat cincin pada sekitar 50 tahun silam. Hingga kini pukat

cincin menjadi alat tangkap utama untuk menangkap lemuru. Seiring dengan

meningkatnya kapasitas alat penangkapan ikan, laju tangkap ikan lemuru di

Selat Bali menunjukkan kecenderungan penurunan. Hal ini ditunjukkan oleh

penurunan produksi dan ukuran ikan yang tertangkap semakin kecil. Perubahan

kondisi oseanografi juga diduga mempengaruhi keberadaan dan kelimpahan ikan

lemuru.

Page 21: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

xx

SUMBER DAYA LAUT DAN PESISIR PERAIRAN SELAT BALI

Kapal nelayan tradisional di Selat Bali

Kecenderungan pola musim penangkapan Sardinella lemuru di Selat Bali

berkaitan dengan pengaruh musim dan iklim. Hasil studi yang diuraikan pada

Bab 5 mengidentifikasikan bahwa musim penangkapan terendah terjadi pada

musim Timur. Pola musim penangkapan tahunan mengalami pergeseran pada

tiap tahun dan memiliki keterkaitan dengan kejadian El Nino dan La Nina. Pada

saat tahun El Nino, pendaratan dari Sardinella lemuru tinggi, sedangkan pada

tahun La Nina lebih rendah.

Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut Selat Bali

Sumber daya pesisir dan laut Selat Bali merupakan sumber ekonomi

bagi wilayah yang mengelilinginya. Dari jasa kelautan, dengan keindahan

alam, pesisir di Selat Bali menjadi daya tarik wisata bahari yang memberikan

kontribusi perekonomian daerah, terutama Kabupaten Badung dan Kabupaten

Banyuwangi. Selain itu, wilayah perairan ini memiliki potensi perikanan yang

sangat besar sehingga nilai penting Selat Bali tidak terlepas dari keunikan kegiatan

perikanannya. Sektor perikanan tangkap menjadi salah satu nadi perekonomian

di kabupaten yang berbatasan dengan Selat Bali. Di Banyuwangi, Kecamatan

Muncar menjadi tulang punggung industri perikanan tangkap dan pengolahan

ikan sebagai sentra perikanan terbesar kedua di Indonesia. Perikanan juga menjadi

Page 22: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

xxi

prakata

sumber mata pencaharian bagi masyarakat di Jembrana. Sedangkan di Tabanan,

kontribusi perikanan tangkap tidak terlalu signifikan terhadap perekonomian

namun daerah ini dikenal sebagai produsen utama udang barong atau lobster di

Bali.

Informasi karakteristik dan kondisi pesisir dan laut sangat dibutuhkan

untuk mendukung pengelolaan potensi sumber daya pesisir dan perairan di Selat

Bali. Bab 6 mengulas pemanfaatan data dan informasi perairan khususnya bagi

sektor perikanan di Selat Bali. Informasi peta prakiraan daerah penangkapan ikan

(PPDPI) dapat digunakan untuk mendukung manajemen operasi penangkapan.

Informasi PPDPI dikeluarkan secara rutin oleh BROL sebagai bentuk hilirisasi

hasil riset dan observasi kelautan untuk mendukung sektor perikanan.

Keberadaan kawasan konservasi dan taman pesisir di Selat Bali turut

memberikan kontribusi bagi kelangsungan sumber daya perikanan. Oleh

karenanya, baik pengelolaan potensi perikanan maupun pariwisata juga haruslah

didekati melalui daya dukung (carrying capacity) berbagai ekosistem penyangga,

seperti mangrove, terumbu karang, padang lamun, maupun ekosistem pesisir dan

laut lainnya. Bab terakhir memberikan rekomendasi pengelolaan sumber daya

pesisir dan laut di Selat Bali yang terintegrasi, sehingga diharapkan buku ini dapat

dijadikan sebagai salah satu rujukan oleh penentu kebijakan dalam mengelola

sumber daya Selat Bali yang lestari.

Jembrana, Oktober 2020

Editor

Page 23: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga
Page 24: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

BAB 1KONDISI PERAIRAN DAN EKOSISTEM

PESISIR DI KAWASAN KONSERVASI BALI BARAT

Iis Triyulianti1, Eghbert Elvan Ampou1, Frida Sidik1, Novia Arinda Pradisty1,

Nuryani Widagti1, Agung Yunanto1, Amandangi Wahyuning Hastuti1, dan

Camelia Kusuma Tito1

1 Balai Riset dan Observasi Laut, KKP

Abstrak

Taman Nasional Bali Barat (TNBB) merupakan kawasan konservasi di

perairan Selat Bali yang memiliki keunikan ekosistem pesisir. Kawasan ini

memiliki 12 jenis habitat bentik pada ekosistem terumbu karang dengan total

karang hidup sekitar 30%. Peningkatan tutupan karang terjadi dari tahun 2002

sampai 2011 di semua zona pengelolaan, namun tidak ada perbedaan tutupan

karang di antara zona pengelolaan. Hutan mangrove TNBB memiliki karakteristik

vegetasi dan geomorfologi yang beragam dengan komposisi vegetasi didominasi

oleh Avicennia sp., Rhizophora sp, Lumnitzera sp dan Ceriops tagal. Tekanan

antropogenik dan variasi iklim muson yang menstimulasi terjadinya dinamika

dan perubahan di perairan Selat Bali teridentifikasi memberikan dampak pada

kawasan pesisir perairan Pulau Menjangan berupa adanya fenomena peningkatan

populasi bintang laut berduri. Fenomena tersebut diduga berkaitan dengan

kondisi kualitas perairan. Kondisi kualitas perairan di wilayah perairan TNBB

berupa nilai konsentrasi turbiditas, Total Suspended Solid (TSS) dan nutrien

terukur melebihi baku mutu air laut untuk biota laut. Kelimpahan fitoplankton

didominasi oleh diatom, namun tidak dalam kondisi blooming. Oleh karenanya,

perlu dipertimbangkan kualitas perairan dan keberadaan habitat bentik dalam

pengelolaan Taman Nasional Bali Barat yang berkelanjutan, khususnya dalam

zonasi Kawasan Konservasi di Pulau Menjangan dan sekitarnya.

Kata Kunci: Terumbu karang, mangrove, kualitas perairan, Taman Nasional Bali

Barat

Page 25: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

2

SUMBER DAYA LAUT DAN PESISIR PERAIRAN SELAT BALI

Pendahuluan

Ekosistem pesisir berada di daerah transisi antara daratan dan laut dipengaruhi

oleh proses-proses yang ada di darat, perairan tawar, dan perairan laut (Yanagi,

2003). Ekosistem pesisir juga merupakan wilayah perbatasan antara dua atau

lebih komunitas yang memiliki kekayaan sumber daya alam (high biodiversity)

serta menyediakan jasa-jasa lingkungan (ecosystem services) seperti: tempat rekreasi,

pariwisata, perikanan tangkap, dan media transportasi (Odum, 1989; Barbier

et al., 2011). Komponen biotik dan abiotik yang menyusun ekosistem pesisir

membentuk suatu harmonisasi yang saling terkait satu sama lain. Ekosistem kunci

wilayah pesisir terdiri dari terumbu karang, mangrove dan padang lamun. Ketiga

ekosistem tersebut membentuk suatu zonasi yang khas serta saling melengkapi

dalam menjaga keberlangsungan kehidupan dan fungsi ekologis di wilayah

tersebut, serta menjadi habitat bagi biota hidup sekaligus sumber nutrien bagi

organisme perairan (Sastrawijaya, 2000).

Ekosistem pesisir perairan Selat Bali merupakan bagian dari wilayah teritorial

ekosistem perairan laut Indonesia atau dikenal dengan istilah Indonesian Sea Large

Marine Ecosystem (Damar et al., 2019). Wilayah tersebut memiliki peran penting

tidak hanya bagi biota yang berasosiasi di dalamnya namun juga bagi kehidupan

manusia. Jasa-jasa lingkungan yang disediakan oleh ekosistem pesisir perairan

Selat Bali meliputi sumber daya alam yang dapat diperbaharui (ikan dan rumput

laut) serta sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui (pasir dan batu koral).

Salah satu produk perikanan yang dikenal berasal dari perairan Selat Bali adalah

ikan lemuru (Sartimbul et al., 2010).

Daya dukung ekosistem pesisir terhadap kelangsungan produksi perikanan

ikan lemuru berupa penyediaan jasa lingkungan. Penyediaan jasa lingkungan

wilayah perairan ekosistem pesisir berupa penyediaan nursery ground dan feeding

ground bagi ikan lemuru. Intensitas pemanfaatan sumber daya pesisir yang tinggi

dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan laut. Perubahan pada

ekosistem pesisir teridentifikasi terjadi sebagai dampak dari hasil samping kegiatan

manusia (antropogenik), seperti polusi atau pencemaran (termasuk makro/

mikro plastik), konversi lahan, dan eksploitasi sumber daya yang berlebihan

(Dahuri, 1996; Asyawati & Akliyah, 2014). Selain itu, dampak yang merusak

dari perubahan iklim global seperti kenaikan muka laut, pengasaman laut, dan

banjir turut memberikan kontribusi nyata terhadap degradasi ekosistem tersebut.

Penyebaran material dari laut, arus dan gelombang, dan aktivitas manusia di pesisir

Page 26: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

3

BAB 1Kondisi Perariran dan Ekosistem Pesisir di Kawasan Konservasi Bali Barat

maupun daratan berdampak sedimentasi di pesisir dan memberikan kontribusi

pada perubahan kondisi geomorfologi pantai (Victor et al., 2006), sehingga laju

sedimentasi dapat digunakan sebagai parameter yang memberikan informasi

mengenai perubahan lingkungan pesisir.

Perubahan ekosistem pesisir dapat terjadi dengan adanya peningkatan transpor

sedimen, nutrien dan polutan dari daratan yang pada umumnya dapat mengancam

keberlangsungan hewan karang serta biota asosiasi lainnya (Carpenter et al., 2001;

Bridge et al., 2013). Dampak dari aktivitas manusia terhadap ekosistem terumbu

karang tidak hanya mengancam kelangsungan hidup hewan karang namun juga

organisme lainnya yang menjadikan ekosistem ini sebagai habitat naungannya.

Beberapa aktivitas manusia seperti kegiatan tangkap lebih dan penangkapan ikan

serta pembangunan di wilayah pesisir yang dapat memicu terjadinya sedimentasi

dan pencemaran menyebabkan hilangnya terumbu karang sebesar 40% (Reid et

al., 2009).

Taman Nasional Bali Barat (TNBB) merupakan bagian dari kawasan

konservasi di perairan Selat Bali dengan keunikan ekosistem pesisirnya. Keunikan

ekosistem pesisir teridentifikasi dari komposisi khas vegetasi dan biota yang

membentuk ekosistem mangrove, terumbu karang dan lamun dengan karakteristik

daya dukung lingkungannya pada wilayah ini. TNBB adalah kawasan konservasi

yang dikelola oleh Pemerintah Daerah Provinsi Bali untuk menjamin ketersediaan

dan keberlanjutan penyediaan jasa lingkungan sumber daya laut. Pengelolaan

kawasan konservasi ditujukan untuk menyelaraskan kepentingan perlindungan

sumber daya laut sehingga proses pemanfaatan sumber daya konservasi tersebut

dapat berlangsung secara berkelanjutan. Diperlukannya peningkatan pengelolaan

kawasan konservasi tersebut untuk penataan dan pengelolaan secara mandiri dan

berkelanjutan dapat terwujud.

Pengelolaan kawasan taman nasional membutuhkan data ekologis yang

akan digunakan sebagai data dasar untuk melakukan pemantauan secara berkala

perubahan-perubahan kondisi habitat, kualitas fisika, kimia, biologi dan geologi,

kondisi populasi ikan, dan dampaknya pada kawasan konservasi TNBB terhadap

peningkatan hasil tangkapan ikan. Penyampaian hasil kajian di wilayah TNBB ini

bertujuan untuk memberikan informasi terkait, khususnya informasi perubahan

dinamika ekosistem pesisir berdasarkan:

Page 27: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

4

SUMBER DAYA LAUT DAN PESISIR PERAIRAN SELAT BALI

Kondisi kualitas perairan serta dinamika materi terlarut dan tersuspensinya 1.

untuk menentukan status lingkungan pesisir,

Pemetaan habitat di ekosistem terumbu karang dengan menggunakan 2.

teknologi penginderaan jauh,

Struktur hutan mangrove dan laju sedimentasi di ekosistem mangrove.3.

Kondisi Kualitas Perairan

Perairan ekosistem pesisir merupakan salah satu wilayah dari perairan laut

yang produktif, hal ini terlihat dari fungsi pokok ekosistem ini bagi kehidupan

manusia seperti penyedia sumber daya alam, penerima limbah, penyedia jasa-

jasa pendukung kehidupan, dan penyedia jasa-jasa kenyamanan (Bengen,

2004). Peningkatan pemanfaatan fungsi ekosistem perairan pesisir terindikasi

dapat memberikan dampak terhadap dinamika kondisi (kualitas) perairan dan

tekanan ekologi bagi ekosistem tersebut. Dinamika perairan laut secara alami

berwujud berupa tenaga gelombang, pasang surut dan arus, sedangkan pengaruh

yang berasal dari udara berupa angin yang mengakibatkan gelombang dan arus

sepanjang pantai, suhu udara dan curah hujan (Davies, 1972).

Perubahan atau dinamika perairan pesisir yang terjadi sebagai dampak samping

aktivitas manusia merupakan bagian dari pengaruh antropegenik (Kennish,

2019). Propinsi Bali sebagai salah satu pulau di Indonesia saat ini mengalami

ancaman peningkatan aktivitas antropogenik. Ancaman tersebut sebagai akibat

peningkatan jumlah penduduk dan pengembangan bidang industri dan pariwisata

yang masif. Oleh sebab itu, kajian kualitas perairan di wilayah pesisir Bali perlu

dilakukan dengan pengukuran in situ terhadap parameter suhu, oksigen terlarut

(DO), salinitas dan pH serta analisis nutrien anorganik terlarut (nitrat, nitrit,

ammonia, silika, fosfat), klorofil-a, padatan terlarut total (TSS), fitoplankton dan

zooplankton. Seluruh pengukuran dan analisis dilakukan di lapisan permukaan

(kedalaman <5m).

Pengukuran in situ beberapa parameter kualitas perairan (fisika, kimia dan

biologi) dilakukan tiga kali yaitu bulan Februari, Agustus dan Oktober 2017

pada 10 titik stasiun pengamatan berlokasi di sekitar Teluk Terima (koordinat

0226258 E - 9097974 S) untuk mewakili wilayah utara, Pulau Menjangan

(koordinat 0225448 E - 9104178 S) untuk mewakili perairan sekitar pulau,

dan Teluk Gilimanuk (0218757 E - 9095233 S) untuk mewakili wilayah Barat

dengan pengaruh faktor antropogenik (aktivitas pelabuhan dan PLTU). Lokasi

pengukuran kualitas air seperti terlihat pada Gambar 1.1.

Page 28: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

5

BAB 1Kondisi Perariran dan Ekosistem Pesisir di Kawasan Konservasi Bali Barat

Lokasi stasiun pengambilan sampel kualitas airGambar 1.1

Sebaran data kualitas air pada bulan Februari, Agustus dan Oktober 2017

pada lokasi pengukuran dan pengambilan sampel kualitas ditampilkan melalui

box and whisker plots (Gambar 1.2). Hasil pengujian kualitas air dievaluasi

menggunakan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004: Baku

Mutu Air Laut untuk biota laut karang. Median suhu pada bulan Februari dan

Agustus menunjukkan nilai di bawah baku mutu, namun pada bulan Oktober

nilainya berada di dalam rentang yang disyaratkan (28-30oC). Nilai pH dan

oksigen terlarut (Dissolved Oxygen, DO) yang diperoleh dari hasil pengukuran

pada bulan terukur (Februari, Agustus dan Oktober 2017) masih berada pada

selang baku mutu, yaitu pH 7-8,5 dan DO >5 mg/L. Nilai salinitas pada bulan

Agustus lebih rendah dari baku mutu, yaitu seharusnya berada pada rentang

33-34 ppt. Nilai suhu dan salinitas terukur pada bulan Februari dan Agustus

menunjukkan peningkatan suhu (<1oC) serta penurunan salinitas.

Fenomena peningkatan suhu dan salinitas yang ditemui pada lokasi

pengukuran diduga berhubungan dengan faktor pengaruh pergerakan angin

muson, batimetri, pasang surut, dinamika suhu dan bahang. Pergerakan

angin, karakteristik batimetri, energi pasang surut (tidal mixing), energi sinar

matahari (termodinamika) dan aliran bahang dengan atmosfer (heat dynamic)

mempengaruhi sebaran suhu dan salinitas perairan permukaan seperti yang

dikemukakan oleh Wiliams dan Follows (2011). Pergerakan angin muson timur

yang diawali di bulan Agustus bersifat kering akan meningkatkan laju evaporasi

dari permukaan perairan sehingga terjadi freshwater surface output yang akan

meningkatkan salinitas.

Page 29: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

6

SUMBER DAYA LAUT DAN PESISIR PERAIRAN SELAT BALI

Nilai median turbiditas dan TSS pada bulan Februari melampaui Baku

Mutu yang seharusnya secara berurutan di bawah 5 mg/L dan 20 mg/L. Nilai

TSS yang tinggi pada bulan Februari mengindikasikan pada musim hujan terjadi

peningkatan debit air tawar dari yang membawa material partikulat dari darat

menuju laut. Hal ini diperparah dengan seringnya peristiwa banjir di wilayah

utara Bali saat musim hujan (Pradisty et al., 2020). Uthicke dan Nobes (2008)

menyatakan bahwa meningkatnya sedimentasi dapat menurunkan jumlah karang

pembangun terumbu (scleractinian corals) dalam jangka panjang, sehingga nilai

turbiditas dan TSS perlu dijaga agar berada di bawah ambang Baku Mutu.

Sebaran data kualitas air dari 10 stasiun pengambilan sampel pada bulan Gambar 1.2

Februari, Agustus dan Oktober 2017

Keterangan: Kepmen LH No. 51 tahun 2004 Baku Mutu Air Laut untuk biota laut karang: Suhu 28-30oC; pH 7-8,5; DO >5 mg/L; Salinitas 33-34 ppt; Turbiditas <5 NTU; TSS 20 mg/L; Nitrat* 0,57 µM; Ammonia* 5,0 µM; Ortofosfat* 0,48 µM. * = nilai dikonversi dari mg/L

Akumulasi konsentrasi nitrat, nitrit dan ammonia menjadi parameter

nitrogen anorganik terlarut (Dissolved Inorganic Nitrogen, DIN) menunjukkan

bahwa keseluruhan nilai DIN masih berada di bawah ambang Baku Mutu, yaitu

5,57 µM (penjumlahan nilai nitrat dan amonia). Nilai ortofosfat pada bulan

Februari dan Agustus berada di bawah Baku Mutu, namun pada bulan Oktober

Page 30: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

7

BAB 1Kondisi Perariran dan Ekosistem Pesisir di Kawasan Konservasi Bali Barat

mediannya melebihi tiga kali ambang batas (0,48 µM). Biomassa fitoplankton di

perairan Pulau Menjangan berdasarkan nilai klorofil-a masih tergolong rendah

dan termasuk dalam kondisi oligotrofik. Konsentrasi silika pada ketiga waktu

pengambilan sampel menunjukkan nilai yang cukup tinggi. Silika merupakan

nutrien penting bagi fitoplankton kelas Diatom (Bacillariophyceae) untuk

pembentukan frustulanya, sehingga tingginya konsentrasi silika dapat memacu

pertumbuhan diatom.

Dalam satu dekade terakhir, aktivitas antropogenik yang terjadi di wilayah

pesisir meningkat secara signifikan dengan laju yang mengkhawatirkan dan dapat

membahayakan ekosistem pesisir dan sumber daya hayati yang hidup di dalamnya

(Montanga & Froeschike, 2009). Beragam jumlah dan jenis masukan materi

(organik/ anorganik, terlarut/partikulat) ke dalam ekosistem pesisir dari daratan

kini semakin meningkat di dunia, akibat produksi makanan dan energi untuk

mendukung populasi yang overpopulasi. Hal ini pada akhirnya menimbulkan

dampak eutrofikasi, yaitu peningkatan nutrien di perairan pesisir (Seitzinger et

al., 2010). Masukan nutrien antropogenik yang berlebih, terutama dalam bentuk

nitrogen, fosfat dan silika telah meningkat berlipat kali sejak tiga hingga empat

dekade terakhir (Conley et al., 2009).

Bertambahnya masukan nitrogen anorganik ke perairan pesisir dapat memicu

peningkatan biomassa fitoplankton, perubahan komposisi spesies, proliferasi alga

berbahaya bahkan hipoksia (Officer & Ryther, 1980; Smayda, 1990). Hal ini

menyebabkan perubahan dalam struktur dan fungsi ekosistem pesisir, terutama

pada perairan pesisir yang dangkal, dimana ledakan fitoplankton sangat berkaitan

dengan fluktuasi pola aliran sungai, dinamika nutrien, ketersediaan cahaya,

stratifikasi kolom air dan tekanan grazing dari zooplankton (Seitzinger et al.,

2010). Oleh karena itu, kesehatan lingkungan pesisir dan laut menjadi isu utama

yang mendapat perhatian di seluruh dunia (Rabalais & Nixon, 2002; Smith,

2006) dan pada akhirnya terdapat kebutuhan yang mendesak untuk memahami

kaitan antara aktivitas antropogenik di badan air, masukan nutrien ke ekosistem

pesisir dengan status kesehatannya.

Kelimpahan fitoplankton di perairan Pulau Menjangan menunjukkan

kelompok diatom memiliki kelimpahan tertinggi (99,74%) di bulan Februari 2007,

namun seiring menurunnya curah hujan, kelimpahan kelompok fitoplankton

lain menunjukkan adanya peningkatan dari bulan Agustus ke bulan Oktober

(Gambar 1.3 dan Gambar 1.4). Jumlah spesies yang teridentifikasi pada bulan

bulan Februari adalah 32 spesies, sementara jumlah spesies pada bulan Agustus

Page 31: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

8

SUMBER DAYA LAUT DAN PESISIR PERAIRAN SELAT BALI

dan Oktober lebih rendah, yaitu 25 dan 12 spesies. Kelimpahan fitoplankton

dari tiga kali pengambilan sampel berangsur turun, yaitu sebesar 243.600 sel/m3;

79.200 sel/m3 dan 5.700 sel/m3. Hasil identifikasi dan kelimpahan fitoplankton

ini mengindikasikan bahwa pada musim barat yang diwakili oleh pengukuran

di bulan Februari, komunitas fitoplankton cenderung membantuk dominansi

oleh kelompok diatom dengan kelimpahan tertinggi (99,74%). Pengaruh input

bahan-bahan organik dan anorganik yang masuk ke perairan pesisir di musim

barat dengan tingginya curah hujan diduga menjadi faktor yang merangsang

pertumbuhan jenis tertentu dari komunitas fitoplankton.

Selain itu, diketahui pula genus Chaetoceros sp dan beberapa jenis spesiesnya

yang berhasil diidentifikasi (C. concavicornis, C. indicus, C. coarctacus) memiliki

kelimpahan yang cukup tinggi pada bulan Februari (75.300 sel/m3) dan Agustus

(39.600 sel/m3), namun genus ini tidak ditemukan kembali di seluruh stasiun

pada bulan Oktober. Fenomena ini sejalan dengan observasi visual peningkatan

populasi bintang laut berduri pada bulan Februari dan Agustus, namun pada bulan

Oktober populasinya menurun secara signifikan. Caballes dan Pratchett (2017)

menyatakan bahwa spawning bintang laut berduri jantan meningkat sebesar 25%

ketika diberikan fitoplankton monokultur Chaetoceros muelleri dibandingkan

dengan individu kontrol yang tidak diberikan fitoplankton, sehingga genus

Chaetoceros sp. dapat dijadikan indikator peningkatan populasi bintang laut

berduri di wilayah ini.

Persentase kelimpahan fitoplankton pada bulan Februari, Agustus dan Gambar 1.3

Oktober 2017

Indeks keanekaragaman Shannon-Wienner (H’) dan indeks keseragaman

Pielou (E) merupakan indeks biologi fitoplankton untuk melihat kekayaan jenis

dari suatu komunitas dan keseimbangan jumlah individu tiap jenis. Nilai H’

berkisar antara 0,206 – 2,209 menunjukkan bahwa lokasi penelitian memiliki

Page 32: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

9

BAB 1Kondisi Perariran dan Ekosistem Pesisir di Kawasan Konservasi Bali Barat

kategori keanekaragaman rendah hingga sedang dengan kondisi lingkungan yang

stabil (1≤H ≤ 3) (Effendi et al., 2015). Nilai H’ di perairan sekitar Pulau Menjangan

mengindikasikan tingkat kesuburan perairan termasuk dalam kategori sedang dan

sesuai dengan hasil pengukuran parameter fisika dan kimia perairannya.

Nilai E pada sebagian stasiun pengamatan di bulan Februari 2017 dan

seluruh stasiun di bulan Agustus menunjukkan hasil lebih besar dari 0,5. Hasil ini

mengindikasikan bahwa penyebaran individu setiap jenis di dalam komunitasnya

relatif tidak merata. Nilai indeks dominansi (D) mendekati 0 lebih banyak

dijumpai dibandingkan nilai mendekati 1. Hasil ini menunjukkan kecenderungan

dominansi yang rendah pada komunitas fitoplankton di perairan sekitar Pulau

Menjangan.

Komposisi komunitas fitoplankton perairan pesisir selat Bali bulan Februari Gambar 1.4

dan Agustus 2017

Fitoplankton menunjukkan respons langsung terhadap perubahan kondisi

lingkungan (Reynolds, 1984; Stolte et al., 1994) dan karena itu dapat digunakan

sebagai bioindikator yang sangat baik untuk menilai perubahan alam dan

musiman di ekosistem pesisir (Threser et al., 1989; Rimet & Bouchez, 2012).

Bila dibandingkan dengan laut terbuka, perairan pesisir mengalami beragam

Page 33: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

10

SUMBER DAYA LAUT DAN PESISIR PERAIRAN SELAT BALI

perubahan baik parameter fisiko-kimia maupun komunitas fitoplankton (Cloern,

1996; Carter et al., 2005; Smith, 2006) menggabungkan dan menganalisa satu

set data dari 92 ekosistem pesisir di seluruh dunia dan mengungkapkan bahwa

klorofil-a (indikator biomasa fitoplankton) selalu berkorelasi dengan masukan

nitrogen dan fosfor total ke ekosistem. Pada umumnya, diatom mendominasi

komunitas fitoplankton di perairan pesisir, karena adanya kandungan silikat yang

mencukupi. Namun, jenis-jenis lain seperti ganggang hijau dan dinoflagellata

juga dapat hadir, tergantung pada kondisi lingkungan di suatu wilayah perairan

(Leterme et al., 2006). Negara-negara di Asia Tenggara diketahui merupakan

kontributor terbesar masukan nitrogen dan fosfor ke dalam perairan pesisir

(Seitzinger et al., 2010).

Ekosistem Terumbu Karang

Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari satu kesatuan ekosistem

khas wilayah pesisir. Hasil penelitian dan pengamatan yang dilakukan oleh

Hariyanto dan Lingga (2016) luasan terumbu karang di Pulau Menjangan periode

2014-2015 sebesar 0,84 hektar. Hasil observasi langsung dengan sensus visual

oleh menunjukkan habitat bentik pada bagian utara, barat laut dan timur laut

Pulau Menjangan merupakan daerah lereng terumbu.

Geomorfologi habitat pada daerah rataan terumbu di pulau Menjangan Gambar 1.5

dengan enam tipe habitat

Page 34: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

11

BAB 1Kondisi Perariran dan Ekosistem Pesisir di Kawasan Konservasi Bali Barat

Komposisi habitat bentik (luas tutupan) di Pulau Menjangan dengan Gambar 1.6

pendekatan MSA

Hasil pengamatan dan identifikasi oleh tim observasi ekosistem pesisir BROL

berdasarkan keterwakilan habitat dengan menggunakan kartu identifikasi habitat

tipologi (Andréfouët, 2014) dijumpai tipe terumbu di Pulau Menjangan adalah

terumbu tepi dengan tipologi rataan terumbu, terumbu depan, lereng terumbu

dan dinding terumbu (Gambar 1.5) dengan 12 jenis habitat bentik (Gambar

1.6).

Daerah pengamatan cenderung homogen pada habitat 1, 2 dan 3, sedangkan

di daerah rataan terumbu lebih heterogen dengan keberadaan dominasi habitat:

4, 5, 6, 7, 10, 11 dan 12 (Gambar 1.7) (Ampou et al., 2018). Daerah rataan

terumbu heterogen berada pada habitat : 5, 6, 10, 11 dan 12 (Gambar 1.7).

Sebaliknya di bagian selatan, tenggara dan barat daya Pulau Menjangan habitat

bentik khususnya pada daerah lereng terumbu homogen dengan habitat: 8 dan 9

(Gambar 1.7). Untuk daerah rataan terumbu heterogen dengan habitat 5, 6, 10,

11 dan 12 (Ampou et al., 2018). Bagian selatan, tenggara dan barat daya Pulau

Menjangan habitat bentik khususnya pada daerah lereng terumbu homogen

dengan habitat: 8 dan 9 (Gambar 1.7). Hasil kajian cepat kondisi terbaru wilayah

ekosistem terumbu karang di perairan sekitar Pulau Bali, termasuk didalamnya

wilayah pesisir Selat Bali menunjukkan persentase karang hidup tertinggi di

kedalaman 5-7 m ditemukan di sekitar Pulau Menjangan tepatnya di Anchor

Wreck (Mustika et al., 2012).

Page 35: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

12

SUMBER DAYA LAUT DAN PESISIR PERAIRAN SELAT BALI

Secara keseluruhan, tutupan karang rata-rata bervariasi dari 15,9-28,1%

dan 28,3-31,1% dalam kurun waktu 2002 dan 2011 (Doherty, 2011). Tutupan

karang meningkat secara signifikan dari tahun 2002 sampai 2011 di semua

zona pengelolaan, namun tidak ada perbedaan tutupan karang di antara zona

pengelolaan. Hal ini relatif berbanding linier dengan data hasil survei yang

dilakukan yakni persentasi karang hidup di Pulau Menjangan adalah 30%

berdasarkan pendekatan MSA.

Ekosistem terumbu karang perairan Selat Bali mendapatkan tekanan ekologis

juga dari kegiatan aktivitas manusia. Pembangunan di kawasan pesisir yang tidak

memiliki amdal, sedimentasi, predator, penyakit, suhu ekstrim, dan munculnya

spesies invasif yang menyebabkan kompetisi antar karang. Semua hal tersebut dapat

menurunkan kesehatan dan menimbulkan stres pada terumbu karang. Namun

dari beberapa jenis karang keras yang dalam bahasa ilmiahnya disebut Scleractinia,

pun dijumpai fenomena dimana pada sebagian wilayah karang dapat hidup dan

beradapatasi dengan aktivitas manusia dan perubahan lingkungan yang terjadi

disekitarnya.

Page 36: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

13

BAB 1Kondisi Perariran dan Ekosistem Pesisir di Kawasan Konservasi Bali Barat

Habitat bentik pada ekosistem terumbu karang di Pulau MenjanganGambar 1.7

Page 37: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

14

SUMBER DAYA LAUT DAN PESISIR PERAIRAN SELAT BALI

Hasil kegiatan observasi ekosistem terumbu karang yang dilaksanakan pada

bulan Februari, April, dan Agustus 2017, ditemukan adanya kejadian kematian

karang bercabang jenis Acropora sp. yang meluas serta kerusakan karang masif Porites

sp. dan submasif Porites cylindrical di bagian reef flat Pulau Menjangan. Untuk

mengetahui adanya pengaruh perubahan lingkungan terhadap pertumbuhan

karang di Pulau Menjangan, Bali, dilakukan analisis suhu permukaan laut (Sea

Surface Temperature, SPL) dan tinggi permukaan laut (Sea Surface Height, SSH)

selama 10 tahun observasi (2007-2017) yang diperoleh dari data penginderaan

jauh (Tito et al., 2019).

Analisis SPL dengan data MODIS bulanan dari Januari 2007 hingga

Desember 2017 menunjukkan adanya anomali SPL tertinggi (Gambar 1.8) terjadi

pada awal tahun 2010 dan pertengahan tahun 2011. Anomali SST harian tinggi

(1,3-2,1) yang terjadi pada tahun 2010-2011 dan 2015-2016 menunjukkan

sinyal El Nino (indeks SOI) di area ini (Tito et al., 2019). Siklus El Nino dimulai

ketika air hangat di Samudera Pasifik bagian barat berpindah ke timur sepanjang

ekuator menuju Semenanjung Amerika Selatan (Trujillo & Thurman, 2011).

El Nino meningkatkan suhu di beberapa area terumbu karang di Indonesia dan

akan menyebabkan karang berubah warna menjadi putih, karena zooxanthellae

meninggalkan jaringannya, yang dikenal sebagai pemutihan karang. Jika kondisi

ini berlangsung dalam jangka waktu yang lama (±3 bulan) dapat menyebabkan

kematian karang (Hoegh-Guldberg, 2011).

Sementara itu, dari analisis SSH dengan data CMEMS bulanan, diketahui

bahwa nilai anomali yang cukup tinggi terjadi pada akhir tahun 2010 (0,1) dan

pertengahan tahun 2013 (0,1), serta pada pertengahan tahun 2016 (0,2) (Tito et

al., 2019). Tingginya anomali SSH dipengaruhi oleh fenomena El Nino. Selama

kejadian El Nino, paparan sinar matahari selama pasang surut rendah dapat

menyebabkan pemanasan, pengeringan jaringan karang atau kerusakan fungsi sel

karang lainnya (Brown, 1997a, 1997b). Kemungkinan terjadi pemutihan karang

selama periode ini berlangsung (Brown et al., 1994). Peristiwa pemutihan karang

dipengaruhi oleh ambang batas suhu yang berbeda, tekanan dan faktor lingkungan

lainnya, serta jenis karang dan zooxanthellae (Baker et al., 2008).

Page 38: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

15

BAB 1Kondisi Perariran dan Ekosistem Pesisir di Kawasan Konservasi Bali Barat

Acropora sp.

Porites sp.

Porites cylindrical

Foto kematian karang di bagian Gambar 1.8 reef flat pulau Menjangan dan data grafik

DMI, SOI, SPL, SSH, dan CHL tahun 2007-2017

Page 39: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

16

SUMBER DAYA LAUT DAN PESISIR PERAIRAN SELAT BALI

Umumnya, famili karang yang mempunyai struktur bercabang (misalnya,

Acroporidae and Pocilloporidae) paling rawan terhadap pemutihan dan mempunyai

laju kematian tertinggi sesudah mengalami pemutihan karang (Baird & Marshall,

2002; Jones 2008). Selama kejadian El Nino tahun 2015-2016, kematian karang

tidak hanya dipengaruhi oleh kenaikan suhu yang memicu pemutihan karang,

namun dapat juga dikaitkan dengan penurunan muka air laut. Dari analisis data

altimetri menunjukkan adanya pengaruh penurunan muka air laut terhadap

kematian karang di seluruh wilayah Indonesia (Ampou et al., 2017). Analisis

anomali SPL dan SSH bulanan di Pulau Menjangan menunjukkan meluasnya

kematian karang dipengaruhi oleh anomali SPL bulanan selama kejadian El Nino

dan fenomena penurunan muka air laut juga berkontribusi memberikan tekanan

pada kejadian kematian karang di area ini. Sementara itu, analisis data DMI

dan CHL tidak menunjukkan keterkaitannya dengan kematian karang di Pulau

Menjangan (Tito et al., 2019).

Kondisi Ekosistem Mangrove

Mangrove merupakan ekosistem pesisir yang memiliki keterkaitan erat

dengan kondisi hidrologi dan geomorfologi pesisir sehingga dapat membentuk

zonasi yang berbeda-beda di setiap lokasi (Alongi, 2009; Friess et al., 2012).

Untuk memahami karakteristik dan dinamika ekosistem mangrove di TNBB,

studi ini mengkaji struktur hutan mangrove serta karakteristik sedimen dan laju

sedimentasi di pesisir yang terdapat hutan mangrove. Pengambilan data lapangan

di hutan mangrove TNBB dilakukan pada bulan Februari 2017 di tiga titik, yaitu

TNBB 1, TNBB 2 dan TNBB 3 seperti yang tertera pada Tabel 1.1 dan Gambar

1.9.

Page 40: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

17

BAB 1Kondisi Perariran dan Ekosistem Pesisir di Kawasan Konservasi Bali Barat

Titik pengambilan sampel sedimen di hutan mangrove sekitar TNBBGambar 1.9

Lokasi pengambilan sampel sedimen ekosistem mangroveTabel 1.1.

LokasiStasiun

Pengambilan Sampel

KoordinatKeterangan

Lintang Bujur

Teluk Terima TNBB 1 0226258 E 9097974 S Mewakili wilayah utara

Pulau Menjangan TNBB 2 0225448 E 9104178 S Mewakili pulau kecil

Teluk Gilimanuk TNBB 3 0218757 E 9095233 S

Mewakili wilayah Barat dengan pengaruh faktor antropogenik (aktivitas pelabuhan dan PLTU)

Dari observasi lapang, di sisi utara kawasan TNBB, tepatnya di daerah Teluk

Terima hingga Teluk Gilimanuk, pesisir hutan mangrove memiliki permukaan

substrat dasar yang berlumpur dan berwarna hitam. Di kawasan Teluk Gilimanuk

(sisi barat kawasan TNBB) dijumpainya ekosistem padang lamun yang didominasi

oleh jenis Enhalus acoroides. Sedangkan di Pulau Menjangan, terdapat enam)

kategori ekosistem pesisir yakni: mangrove, terumbu depan, rataan terumbu,

lereng terumbu, pecahan karang (rubble), serta pasir dan teras.

Page 41: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

18

SUMBER DAYA LAUT DAN PESISIR PERAIRAN SELAT BALI

Hutan mangrove di pesisir Pulau MenjanganGambar 1.10

Secara umum, struktur hutan mangrove di kawasan TNBB didominasi oleh

jenis Avicennia sp, Rhizophora sp, dan Lumnitzera sp., sedangkan di sisi selatan

Pulau Menjangan didominasi oleh jenis Ceriops tagal (Gambar 1.10). Perbedaan

tipe vegetasi yang tumbuh di sekitar lokasi studi diperlihatkan pada Tabel 1.2. Dari

hasil studi lapangan yang dilakukan di tiga lokasi (Gambar 1.9), Avicennia marina

di TNBB 1 memiliki diamater setinggi dada (DBH) yang lebih besar dibandingkan

lokasi lainnya, berkisar antara 10,7–18,7 cm. Kisaran diameter setinggi dada

vegetasi jenis Ceriops tagal yang mendominasi di pulau Menjangan (TNBB 2)

adalah 5,2 – 8,8 cm dengan tinggi sekitar 2-2,5 meter. Kerapatan sangat tinggi

antara vegetasi Ceripos tagal dijumpai pada lokasi kajian di Pulau Menjangan. Di

Teluk Gilimanuk, hutan mangrove didominasi oleh jenis Rhizophora apiculata

dengan DBH antara 1,9–8cm dan banyak ditemukan anakan jenis mangrove

(Tabel 1.2).

Karakteristik vegetasi dan sediment di lokasi studiTabel 1.2.

StasiunJenis

DominanRata-rata DBH

(cm)Panjang sampel sedimen (cm)

Kadar Air (%)

min maks

TNBB 1 A. marina 14,7 ± 3,99 100 33,69 58,71

TNBB 2 C. tagal 7,0 ± 1,8 50 38,64 60,57

TNBB 3R. apiculata

5,0 ± 3,09 100 24,65 51,72

Page 42: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

19

BAB 1Kondisi Perariran dan Ekosistem Pesisir di Kawasan Konservasi Bali Barat

Di sisi utara kawasan TNBB, tepatnya di daerah Teluk Terima hingga Teluk

Gilimanuk, pesisir hutan mangrove memiliki permukaan substrat dasar yang

berlumpur dan berwarna hitam sedangkan Pulau Menjangan didominasi dengan

substrat berpasir. Persentase kandungan air pada sampel sedimen dari TNBB 1

cenderung menurun dengan bertambahnya kedalaman. Persentase kandungan air

pada sampel TNBB 1 berkisar antara 33,69% hingga 58,71% (Tabel 1.2). Kondisi

ini dapat disebabkan oleh adanya proses pengendapan dari partikel suspensi

yang baru terbentuk dan belum terpadatkan di lapisan atas, sementara lapisan

di bawahnya telah mengalami pemadatan sehingga kandungan air berkurang

(Lubis dan Aliyanta, 2006). Sebaliknya, kandungan air semakin meningkat

dengan bertambahnya kedalamanan terukur di lokasi TNBB 3. Lokasi TNBB

3 bersubstrat lumpur dan berbatasan dengan ekosistem padang lamun di Teluk

Gilimanuk (Tabel 1.2).

Berbeda dengan TNBB 2, kandungan air dalam sedimen di lokasi ini

bervariasi berdasarkan kedalaman dan tidak menunjukkan tren tertentu. Kisaran

persentase kadar air pada sampel dari TNBB 2 berkisar antara 38,64 % hingga

60,57%, lebih besar dibandingkan dengan kandungan air pada sampel TNBB

1 (33,69% - 58,71%) dan TNBB 3 (24,65% - 51,72%) (Tabel 1.3). Tingginya

porositas pada sampel dari TNBB 2 diduga karena sampel hanya berasal dari

coring hingga kedalaman 50 cm. Pengambilan sampel hanya sampai kedalaman

50 cm karena di bawah lapisan tersebut merupakan lapisan batu karang. Lokasi

ini berada dekat sekali dengan laut dengan substrat lumpur berpasir.

Selain struktur dan karakteristik sedimen yang beragam, lingkungan hutan

mangrove TNBB mengalami perubahan, yang dapat terdeteksi dari rekaman laju

sedimentasi. Dengan menggunakan metode isotop Radionuklida alam 210Pb

yang terkandung dalam sedimen (Lynch et al., 1989), proses sedimentasi yang

telah terjadi dari tahun ke tahun terekam dengan baik (Gambar 1.11). Sampel

diambil hingga kedalaman maksimum 100 cm menggunakan open-auger core

(Gambar 1.12) dan dianalisis umur dan laju akumulasinya. Umur sedimen

ekosistem mangrove dari TNBB1 terdeteksi isotop 210Pb mulai pada kedalaman

35cm, yaitu sekitar 80 tahun, meskipun pengambilan sampel dilakukan hingga

kedalaman 100 cm. Akumulasi sedimen mulai terdeteksi pada tahun 1937 dengan

laju sedimentasi 0,20 cm/tahun.

Page 43: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

20

SUMBER DAYA LAUT DAN PESISIR PERAIRAN SELAT BALI

Pb-210 total (Bq/kg)

Kandungan Gambar 1.11 210Pb total pada sedimen ekosistem mangrove di TNBB1,

TNBB2, dan TNBB3

Laju akumulasi tertinggi TNBB 1 adalah 1,12 cm/tahun yang terjadi pada

periode tahun 2002 (Gambar 1.11). Profil laju akumulasi sedimen tersebut serupa

dengan sampel sedimen dari TNBB 3 dengan laju sedimentasi 1,17 cm/tahun. Pola

umur dan laju akumulasi sedimen mulai terdeteksi pada tahun 1957 pada kedua

lokasi (TNBB 1 dan TNBB 3) dengan laju akumulasi 0,36 cm/tahun. Pada tahun

2016, TNBB 3 mengalami sedimentasi yang tinggi yaitu 1,94 cm/tahun, yang

merupakan laju sedimentasi tertinggi diantara tiga lokasi studi. Laju sedimentasi

pada TNBB 2 lebih rendah dan umur sedimen yang lebih tua dibanding hasil

pengukuran sampel sedimen di TNBB 1 dan TNBB 3. Umur sedimen terdeteksi

sekitar 155 tahun dengan laju sedimentasi tahunan yang rendah berkisar antara

0,04 – 0,54 cm/tahun di TNBB 2 dari sampel yang terambil hingga kedalaman

24 cm. Fluktuasi nilai hanya terjadi pada tahun 1989 dimana laju sedimentasi

mencapai 1,73 cm/tahun.

Page 44: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

21

BAB 1Kondisi Perariran dan Ekosistem Pesisir di Kawasan Konservasi Bali Barat

Alat Gambar 1.12 coring sedimen posisi horizontal (open-auger core)

Rekaman sedimentasi dari analisis 210Pb mendukung observasi singkat

gambaran umum kondisi ekosistem di kawasan TNBB yang memperlihatkan

adanya perubahan pesisir yang terlihat dari keberadaan karang di sekitar ekosistem

mangrove. Hal ini menandakan bahwa mangrove telah berekspansi ke tepi laut

yang sebelumnya adalah wilayah terumbu karang.

Kesimpulan

Kawasan konservasi di Bali Barat memiliki ekosistem pesisir yang unik dan

beragam, tercermin dari habitat terumbu karang dan vegetasi mangrove dengan

karakteristik sedimen. Status tropik perairan pesisir Selat Bali adalah oligotropik

atau suatu kondisi perairan dengan konsentrasi unsur hara yang rendah. Ekosistem

pesisir perairan Selat Bali berada dalam kondisi menerima pengaruh tekanan

antropogenik dan variasi iklim muson. Indikasi adanya perubahan lingkungan

dan dinamika ekosistem pesisir ditunjukkan oleh parameter kualitas air yang

berada di atas ambang baku mutu air laut terdiri dari: turbiditas, TSS, nitrat,

nitrit dan amonia di bulan Februari 2017. Diperkirakan hal ini disebabkan oleh

tingginya limpasan (runoff) antropogenik pada musim hujan.

Page 45: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

22

SUMBER DAYA LAUT DAN PESISIR PERAIRAN SELAT BALI

Daftar RujukanAlongi, D. M. (2009) The energetics of mangrove forests. Springer.

Ampou, E.E., Johan, O., Menkes, C.E., Niño, F., Birol, F., Ouillon, S., &

Andréfouët S. (2017). Coral mortality induced by the 2015-2016 El-Niño

in Indonesia: the effect of rapid sea level fall. Biogeosciences.

Ampou, E.E., Radiarta, I.N., Hanintyo, R., Andréfouët, S. (2018). Mapping

of benthic habitats on coral reef ecosystem in Menjangan Island. Jurnal Kelautan Nasional 13.

Andréfouët, S. (2014). Fiches d’identification des habitats récifo-lagonaires de

Nouvelle-Calédonie (Notes techniques No. 6), Sciences de la Mer. Biologie Marine. Nouméa: IRD.

Asyiawati, Y & Akliyah, L.S. (2014). Identifikasi dampak perubahan fungsi

ekosistem pesisir terhadap lingkungan di wilayah pesisir Kecamatan Muara

Gembong. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, 14 (1).

Baird, A.H & Marshal, P.A. (2002). Mortality, growth and reproduction in

scleractinian corals following bleaching on the Great Barrier Reef. Marine Ecology Progress Series, 237, 133-141.

Baker, A.C., Glynn, P.W., & Riegl, B. (2008). Climate change and coral reef

bleaching: an ecological assessment of long-term impacts, recovery trends

and future outlook. Estuarine and Coastal Shelf Science, 80: 435–471.

Barbier, E.D., Hacker, S.D., Kennedy, C., Koch, E. W., Stier, A. C., & Silliman, B.

R. (2011). The value of estuarine and coastal ecosystem services. Ecological Monographs, 81(2), 169–193.

Bengen D. G. (2004). Ragam Pemikiran. Menuju pembangunan pesisir dan laut berkelanjutan berbasis eko-sosiosistem. Pusat Pembelajaran dan Pengembangan

Pesisir dan Laut (P4L).

Bridge, G., S. Bouzarovski, M. Bradshaw, N. Eyre. (2013). Geographies of energy

transition: Space, place and the low-carbon economy. Energy Policy, 53, 331-340.

Brown, B.E., Dunne, R.P., Scoffin, T.P., & LeTessier, M.D. (1994). Solar damage

in intertidal corals. Marine Ecology Progress Series.

Brown, B. E. (1997a). Coral bleaching: cause and consequences. Coral Reefs, 16,

189 – 138.

Brown, B.E. (1997b). Adaptations of reef corals to physical environmental stress.

Advances in Marine Biology.

Carpenter, S., Walker, B., Anderies, J.M., & Abel, N. (2001). From metaphor to

measurement: Resilience of what to what? Ecosystems, 765.

Page 46: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

23

BAB 1Kondisi Perariran dan Ekosistem Pesisir di Kawasan Konservasi Bali Barat

Caballes, C. F., & Pratchett, M. S. (2017). Environmental and biological cues for

spawning in the crown-of-thorns star fish. PlosOne. 12(3).

Carter, C. M., Ross, A. H., Schiel, D. R., Howard-Williams, C., & Hayden, B.

(2005). In situ sicrocosm experiments on the influence of nitrate and light

on phytoplankton community composition. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology, 326(1), 1 – 13.

Cloern, J.E. (1996). Phytoplankton bloom dynamics in coastal ecosystem: a review

with some general lessons from sustained investigation of San Francisco Bay

California. Review Geophysics. 127–168.

Conley, D. J., Paerl, H. W., Howarth, R. W., Boesch, D. F., Seitzinger, S. P., Havens,

K. E., Lancelot, C., & Likens, G. E. (2009). Controlling eutrophication:

nitrogen and phosphorus. Science. 323, 1014 – 1015.

Dahuri, R., Rais, J., Ginting, S. P., & Sitepu, M. J. (1996). Pengelolaan sumber daya pesisir dan lautan secara terpadu. PT. Pramadya Paramita.

Damar, A., Hesse, K-J., Colijn, F., & Vitner, Y. (2019). The eutrophication states

of the Indonesian sea large marine ecosystem, Jakarta Bay, 2001 – 2013.

Deep Sea Research Part: Tropical Studies. Oceanography, 163 : 72 – 86.

Davies, J. L. (1972). A morphogenic approach to world shorelines. Zeitschrift für Geomorphologie, 8, 127-42.

Doherty, O., Milner, C, Dustan, P., Campbell, S., Pardede, S., Kartawijaya, T.,

& Alling, A. (2011). Report on menjangan island’s coral reef: A Bali Barat National Park marine protected area. Indonesia Marine Program, Wildlife

Conservation Society.

Effendi H, Romanto, & Wardiatno Y. (2015). Water quality status of Ciliwung

River, Banten Province, based on pollution index and NSF-WQI. Procedia Environmental Science, 24, 228-237.

Friess, D. A., Krauss, K. W., Horstman, E. M., Balke, T., Bouma, T. J., Galli, D.

& Webb, E. L. (2012) Are all intertidal wetlands naturally created equal?

Bottlenecks, thresholds and knowledge gaps to mangrove and saltmarsh

ecosystems. Biological reviews of the Cambridge Philosophical Society, 87(2),

346–66.

Hariyanto, T., & Lingga. A. (2016). Analisa perubahan luasan terumbu karang

dengan metode penginderaan jauh (studi kasus: Pulau Menjangan, Bali).

GEOID, 01 (2), 71–75.

Hoegh-Guldberg, O. (2011). Coral reef ecosystems and anthropogenic climate

change. Regional Environmental Change.

Page 47: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

24

SUMBER DAYA LAUT DAN PESISIR PERAIRAN SELAT BALI

Jones, R. (2008). Coral bleaching, bleaching-induced mortality and the adaptive

significance of the bleaching response. Marine. Biology.

Kennish, M. J. (2019). Ecology of Fisheries: antropogenic effects. CRC Press. Taylor

& Francis Group.

Leterme, L.C., Laurent S., & Martin E. (2006). Differential contribution of

diatoms and dinoflagellates to phytoplankton biomass in the NE Atlantic

Ocean and the North Sea. Marine Ecology Progress Series, 312. 57–65.

Lubis, A. A., & Aliyanta. B. (2006). Preliminary study of sediment ages and

accumulation rates in Jakarta Bay derived from depth profiles of unsupported

210Pb. Indonesian Journal of Chemistry, 3, 256-260.

Lynch, J.C., Meriwether, J.R., Mckee, B.A., Vera-herrera, F., & Twilley, R.R.

(1989). Recent accretion in mangrove ecosystems based on 137Cs and

210Pb. Estuaries, 12, 284–299.

Mustika, P.I., Ratha, I. J., & Purwanto, S. (2012). Kajian Cepat Kondisi Kelautan Provinsi Bali 2011 (edisi kedua bahasa Indonesia). RAP Bulletin of

Biological Assessment 64. Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Bali, Balai

Riset dan Observasi Kelautan Bali, Universitas Warmadewa, Conservation

International Indonesia.

Montagna, P. A. & J. Froeschike. (2009). Long term biological effects of coastal

hypoxia in Corpus Christi Bay, Texas, USA. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology, 381 (1), 21 – 30.

Pradisty, N.A., Ampou, E.E., & Hanintyo, R. (2020). Water quality assessment

in the occurrence of Acanthaster spp. (Crown-of-Thorns Starfish, CoTS) on

coral reefs in Menjangan Island, Bali, Indonesia. Makara Journal of Science (in print).

Odum, P.O. (1989). Ecology and our endangered life-support systems. Sinauer

Associates Inc.

Officer, C. B. & Ryther, J. H. (1980). The possible importance of silicon in marine

eutrophication. Marine Ecology Progress Series, 3, 83 – 91.

Rabalais, N. N., & Nixon, S. W. (2002). Nutrient over-enrichment of the coastal

zone. Estuaries, 25.

Reid, C., J. Marshall., D. Logan., & D. Kleine. (2009). Coral Reef and climate change the guide for education and awareness. The University of

Queensland.

Reynolds, C. S. (1984). Phytoplankton periodicity: The interactions of form,

function and environmental variability. Freshwater Phytoplankton.14 (2),

111 – 142.

Page 48: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

25

BAB 1Kondisi Perariran dan Ekosistem Pesisir di Kawasan Konservasi Bali Barat

Rimet, F & Bouchez, A. (2012). Biomonitoring river diatoms: Implications of

taxonomix resolution. Ecological Indicators, 15(1), 92 – 99.

Sastrawijaya, A. T. (2000). Pencemaran lingkungan. Rineka Cipta.

Sartimbul, A. H. Nakata, Rohadi, E., Yusuf, B., & Kadarisman, H. P. (2010).

Variations in chlorophyll-a concentration and the impact on Sardinella lemuru catches in Bali Strait, Indonesia. Progress in Oceanography, 87 (1-4),

168 – 174.

Seitzinger, S. P. (2010). Global river nutrient export: A scenario analysis of past

and future trends, Global Biogeochemistry Cycles, 24.

Smith, V. H. (2006). Responses of estuarine and coastal marine phytoplankton

to nitrogen and phosphorus enrichment. Limnology and Oceanography. 51,

377 – 384.

Smayda, T. J. (1990). Novel and nuisance phytoplankton blooms in the sea:

evidence for a Global Epidemic. In E. Granéli, B. Sundström, L. Edler and

D.M. Anderson (eds.) Toxic Marine Phytoplankton. (pp 29-40). Elsevier.

Stolte, W., McCollin, T., Noordeloos, A. A. M., & Riegman. R. (1994). Effect

of nitrogen source on the size distribution within marine phytoplankton

populations. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology, 184, 83-

97.

Thresher, R., Harris, G., & Gunn, J. (1989). Phytoplankton production pulses

and episodic settlement of a temperate marine fish. Nature, 341, 641–643.

Tito, C.K., Ampou, E.E., & Wibawa, T.A. (2019). Stressor-response of reef-

building corals to climate change in the Menjangan Island, West Bali

National Park, Indonesia. IOP Conference Series Earth Environmental Science, 246.

Trujillo, A.P., & Thurman H.V. (2011). Essentials of oceanography. Pearson

Education, Inc. Prentice Hall.

Uthicke, S. & Nobes, K. (2008). Benthic foraminifera as ecological indicators for

water quality on the Great Barrier Reef. Estuarine, Coastal and Shelf Science, 78, 763–773.

Victor, S., Neth, L., Golbuu, Y., Wolanski, E. and Richmond, R. H. (2006).

Sedimentation in mangroves and coral reefs in a wet tropical island, Pohnpei,

Micronesia, Estuarine, Coastal and Shelf Science, 66, 409–416.

Williams, R. G & Follows, M. J. (2011). Ocean dynamics and the carbon cycle: principles and mechanism. Cambridge University Press.

Yanagi, T. (2003). Coastal oceanography. Terra Scientific Publishing.

Page 49: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga
Page 50: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

BAB 2KONDISI OSEANOGRAFI PERAIRAN

SELAT BALI

Bambang Sukresno1, Dinarika Jatisworo1, dan Fikrul Islamy1

1 Balai Riset dan Observasi Laut, KKP

Abstrak

Karakteristik oseanografi Selat Bali sangat penting untuk dianalisis karena

sangat berkaitan dengan sumber daya perikanan. Analisis dilakukan dengan

menggunakan data satelit. Data suhu permukaan laut (SPL) dan konsentrasi

klorofil-a diperoleh dari data MODIS Aqua/Terralevel 3 SPL dengan rata-rata

bulanan selama 12 tahun (2007-2018). SPL di Selat Bali pada musim timur

relatif lebih dingin dibandingkan pada musim barat. Rerata SPL tertinggi di Selat

Bali terjadi pada bulan Maret, sedangkan rerata SPL terendah adalah pada bulan

Agustus. Pada musim timur SPL berkisar antara 24°C hingga 28°C, sedangkan

pada musim barat berkisar antara 28°C hingga 32°C. Klorofil-a pada musim timur

relatif lebih tinggi dibandingkan pada musim barat. Kondisi ini berkebalikan

dengan nilai rerata SPL. Pada musim timur klorofil-a berkisar antara 0,5 mg/

m3 hingga 0,9 mg/m3, sedangkan pada musim barat berkisar antara 0,2 mg/m3

hingga 0,5 mg/m3. Naiknya konsentrasi klorofil-a di Selat Bali merupakan respons

terhadap terjadinya fenomena upwelling.

Kata kunci: Kondisi oseanografi, suhu permukaan laut, klorofil-a, MODIS

Aqua/Terra, upwelling

Pendahuluan

Selat Bali memiliki karakteristik oseanografi yang spesifik. Dengan batimetri

yang relatif dangkal di bagian utara serta diapit semenanjung Blambangan dan

Tanjung Benoa di bagian selatan membentuk Selat Bali sebagai perairan yang semi

tertutup. Kondisi ini menyebabkan dinamika oseanografi di Selat Bali relatif tidak

berubah secara signifikan. Hal ini juga seiring dengan kesuburan perairannya,

dimana Selat Bali memiliki kesuburan yang relatif tinggi sepanjang tahun dengan

kecenderungan lebih tinggi pada musim timur (Priyono et al., 2008). Sedangkan

Page 51: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

28

SUMBER DAYA LAUT DAN PESISIR PERAIRAN SELAT BALI

Ridha et al. (2013) menyatakan bahwa suhu permukaan laut (SPL) di Selat Bali

mengalami fluktuasi berdasarkan musim dimana pada musim timur SPL relatif

lebih dingin dibandingkan pada musim barat. Demikian juga dengan kesuburan

perairannya yang ditandai dengan pengaruh musim terhadap konsentrasi

klorofil-a dimana pada musim timur klorofil-a lebih tinggi dibandingkan pada

musim barat.

Menurut Megawati et al. (2014), perairan Selat Bali termasuk perairan yang

subur yang ditandai dengan kandungan nitrat antara 0,174 – 1,825 mg/l dengan

distribusi horisontal cenderung lebih tinggi di bagian selatan. Kandungan fosfat

di Selat Bali berkisar antara 0,023 – 0,066 mg/l. Kandungan oksigen terlarut

(DO) berkisar antara 4,7 – 4,83 mg/l serta pH berkisar antara 8,41 hingga 9,49.

Kondisi oseanografi suatu perairan akan mempengaruhi penyebaran serta

kepadatan sumber daya ikan (Ma’mun et al., 2019) demikian juga di Selat

Bali. Sumber daya perikanan di Selat Bali merupakan salah satu elemen utama

perputaran ekonomi di Provinsi Jawa Timur dan Bali. Produksi perikanan di

Selat Bali terdiri atas adalah ikan lemuru (Sardinella fimbriata), tongkol (Auxis

thazard), Layang (Decapterus sp.) dan ikan tembang (Clupea spp.) dengan

produksi terbesar didominasi oleh ikan lemuru. Produksi perikanan di Selat Bali

mengalami fluktuasi dimana pada tahun 2004 jumlah tangkapan ikan di Selat

Bali mengalami penurunan hingga 6.932,8 ton pertahun, namun pada tahun

2009 mengalami peningkatan yang sangat signifikan hingga mencapai 31.379,0

ton pertahun (Suherman, 2012).

Ridha et al. (2013), menyatakan bahwa jumlah hasil tangkapan ikan lemuru

di Selat Bali mengalami fluktuasi secara musiman. Pada musim barat antara

bulan Oktober hingga bulan Februari terjadi peningkatan hasil tangkapan ikan

lemuru, sedangkan pada musim timur antara bulan Maret hingga September

terjadi penurunan. Fluktuasi hasil tangkapan ikan lemuru juga berasosiasi dengan

jumlah trip penangkapan ikan dimana pada musim barat cenderung lebih tinggi

dibandingkan trip penangkapan pada musim timur.

Penangkapan ikan lemuru sangat dipengaruhi oleh konsentrasi klorofil-a.

Secara skematis dapat digambarkan bahwa ENSO dan IOD sebagai sebuah

fenomena oseanografis mempengaruhi SPL, kemudian SPL akan berpengaruh

terhadap klorofil-a. Konsentrasi klorofil-a di Selat Bali mempengaruhi populasi

ikan lemuru dengan time lag kurang lebih 3 bulan (Sartimbul et al., 2010).

Page 52: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

29

BAB 2Kondisi Oseanografi Perairan Selat Bali

Untuk mengetahui karakteristik SPL dan klorofil-a di Selat Bali diperlukan

suatu analisis yang komprehensif mengunakan data time series serta meliputi

keseluruhan wilayah Selat Bali. Salah satu alternatif yang paling sesuai adalah

dengan menggunakan data satelit. Hal ini karena kemampuan data satelit untuk

menyediakan data pada liputan wilayah yang luas dengan resolusi spasial serta

resolusi temporal yang tinggi.

Data Satelit Suhu Permukaan Laut dan Klorofil-a

Salah satu data satelit yang menyediakan data SPL dan klorofil-a adalah

sensor Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) yang dibawa

oleh wahana satelit Aqua dan Terra. MODIS merekam permukaan bumi dengan

menggunakan 36 saluran spektral yang terentang antara 0,4 µm hingga 14,4 µm

(NASA, 2018). MODIS memiliki resolusi temporal 1 hingga 2 hari. Satelit Terra

diluncurkan pada 18 Desember 1999 yang bergerak dengan arah perekaman

Utara-Selatan Bumi atau disebut sistem descending yang akan melintasi ekuator

pada pukul 10:30 pagi. Pada 4 Mei 2002, instrument yang sama juga diluncurkan

pada EOS-Satelit Aqua dengan arah perekaman Selatan-Utara Bumi atau disebut

sistem ascending dan akan melintasi ekuator pada pukul 13:30 siang. Kedua satelit

dirancang merekam bumi dalam dua waktu yaitu pagi dan siang hari agar dapat

saling melengkapi satu sama lain sehingga didapatkan data yang berkesinambungan

dan kajian mengenai sifat variasi diurnal dari perairan (Salomonson et al., 2001).

Secara detail spesifikasi data MODIS dapat dibaca pada MODIS website http://

modis.gsfc.nasa.gov/about/specifications.php.

Suhu Permukaan Laut Selat Bali

Data hasil pemrosesan Citra Satelit Aqua/Terra MODIS pada level 3 yaitu

SPL rata-rata bulanan selama 12 tahun (tahun 2007-2018). Secara umum SPL

pada musim timur relatif lebih dingin dibandingkan pada musim barat. Pembagian

musim yaitu musim barat direpresentasikan oleh data bulan Desember, Januari

dan Februari. Sedangkan musim timur direpresentasikan oleh data bulan Juni,

Juli dan Agustus. SPL di Selat Bali bagian utara yang berbatasan dengan Laut

Jawa dan Laut Bali cenderung lebih hangat dibandingkan dengan bagian selatan

yang berbatasan dengan Samudera Hindia. Rata-rata SPL pada musim barat dan

musim timur di Selat Bali dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Page 53: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

30

SUMBER DAYA LAUT DAN PESISIR PERAIRAN SELAT BALI

SPL Selat Bali berdasarkan data satelit dari tahun 2007 hingga 2018 (a: Gambar 2.1

musim barat; b musim timur)

Rerata SPL bulanan dalam kurun waktu 12 tahun berkisar antara 24,74°C

– 31,85°C. Rerata SPL tertinggi di Selat Bali terjadi pada bulan Maret, sedangkan

rerata SPL terendah adalah pada bulan Agustus. Variabilitas SPL pada musim barat

yaitu dimulai pada bulan Oktober hingga April SPL hangat dan kemudian pada

bulan Mei hingga September rerata SPL dingin. Hasil penelitian ini sesuai dengan

penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Ridha et al. (2013) yang menemukan

bahwa SPL di Selat Bali berkisar antara 22°C hingga 30°C dimana pada musim

timur SPL relatif lebih dingin dibandingkan pada musim barat.

Untuk mengetahui kisaran SPL di Selat Bali maka dilakukan ekstraksi

data SPL. Kemudian ditampilkan secara bertampalan untuk data setiap bulan.

Variabilitas SPL di Selat Bali dapat dilihat pada Gambar 2.2. Selama kurun waktu

12 tahun terlihat bahwa variabilitas SPL dari tahun ke tahun membentuk pola

yang sama, dimana pada musim barat terutama bulan Desember, Januari dan

Februari lebih tinggi dibandingkan pada musim timur terutama bulan Juni, Juli

dan Agustus.

Page 54: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

31

BAB 2Kondisi Oseanografi Perairan Selat Bali

Variabilitas SPL Selat Bali berdasarkan nilai rerata SPL sepanjang tahun Gambar 2.2

2007 hingga 2018

SPL di Selat Bali mengalami fluktuasi secara musiman (Gambar 2.2). Secara

umum SPL pada musim timur relatif lebih rendah dibandingkan pada musim

barat. Pada musim timur SPL berkisar antara 24°C hingga 28°C, sedangkan pada

musim barat berkisar antara 28°C hingga 32°C. Jika dikaitkan dengan grafik

Indeks El Nino 3.4 (Gambar 2.3) bulan Mei 2015 hingga April 2016 tercatat

Indeks El Nino 3.4 di perairan Indonesia menunjukkan positif tinggi yaitu > 1,

Indeks El Nino menunjukkan nilai positif tinggi selama 6 bulan berturut-turut

mengindikasikan adanya fenomena El Nino yang kuat. Pengaruh fenomena

ini menyebabkan perairan di sekitar Indonesia menjadi lebih dingin dari rerata

normal. Hal ini dikonfirmasikan oleh Gaol et al. (2002), yang menyatakan bahwa

fenomena El Nino yang terjadi di Samudera Pasifik menyebabkan terjadinya

anomali SPL di Samudera Hindia selatan Jawa termasuk perairan Selat Bali.

Lebih jauh Sartimbul et al. (2010), juga menyebutkan bahwa pada saat terjadinya

periode El Nino maka SPL di Selat Bali mengalami penurunan yang lebih rendah

dibandingkan dengan rata rata SPL pada periode non-El Nino.

Page 55: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

32

SUMBER DAYA LAUT DAN PESISIR PERAIRAN SELAT BALI

Index El Nino 3.4 yang terjadi pada pada tahun 2007 hingga 2018Gambar 2.3

(a)

(b)

Korelasi rerata SPL di Selat Bali dengan indeks ENSO dan IOD sepanjang Gambar 2.4

tahun 2007 hingga 2018

Berdasarkan variabilitas SPL rerata bulanan di Selat Bali seperti terlihat pada

Gambar 2.4. Selama periode 12 tahun terlihat beberapa kali SPL yang lebih tinggi

dari tahun lainnya terjadi sepanjang Tahun 2010 dan 2016, hal ini terjadi karena

Page 56: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

33

BAB 2Kondisi Oseanografi Perairan Selat Bali

ada pengaruh El Nino yang cukup kuat. Disisi lain SPL di Selat Bali memiliki

korelasi yang tinggi dengan Indian Ocean Dipole Mode (IOD). Pada saat periode

IOD positif, SPL di Selat Bali mengalami penurunan atau relatif lebih dingin

dibandingkan SPL pada musim yang sama pada periode IOD normal (Sartimbul

et al., 2018; Yuniarti et al., 2013).

Klorofil-a Selat Bali

Konsentrasi klorofil-a di Selat Bali mengalami variabilitas sebagai respon atas

perubahan musim. Analisis variabilitas klorofil-a dilakukan dengan menggunakan

data satelit periode 2007 hingga 2018. Rata-rata konsentrasi klorofil-a musim

barat dianalisis dengan menggunakan data pada bulan Desember, Januari dan

Februari. Sedangkan musim timur diwakili oleh data pada bulan Juni, Juli dan

Agustus. Rata-rata klorofil-a pada musim barat dan musim timur di Selat Bali

dapat dilihat pada Gambar 2.5 secara umum klorofil-a pada musim timur relatif

lebih tinggi dibandingkan pada musim barat. Kondisi ini berkebalikan dengan

nilai rerata SPL yang justru naik pada saat musim barat dan turun pada musim

timur. Hal ini menunjukkan hubungan korelasi negatif yang kuat antara SPL

dengan klorofil-a.

(a) (b)

Konsentrasi klorofil-a Selat Bali berdasarkan data satelit dari tahun 2007 Gambar 2.5

hingga 2018 (a: musim barat; b: musim timur)

Pada musim barat klorofil-a cenderung rendah dan homogen di seluruh

wilayah Selat Bali, sedangkan pada musim timur terlihat klorofil-a tinggi disekitar

pesisir. Variabilitas bulanan klorofil-a di Selat Bali berkisar antara 0,2 mg/m3

Page 57: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

34

SUMBER DAYA LAUT DAN PESISIR PERAIRAN SELAT BALI

hingga 0,8 mg/m3. Variabilitas bulanan klorofil-a di Selat Bali dapat dilihat pada

Gambar 2.6. Oleh karena kondisi SPL yang tinggi pada tahun 2016 maka kondisi

konsentrasi klorofil-a juga akan lebih rendah dibandingkan tahun-tahun lain.

Variabilitas klorofil-a Selat Bali berdasarkan nilai rerata klorofil-a sepanjang Gambar 2.6

tahun 2007 hingga 2018

Konsentrasi klorofil-a mengalami peningkatan pada musim timur dimulai

pada bulan April dan mengalami penurunan pada bulan Nopember. Pada musim

timur klorofil-a berkisar antara 0,5 mg/m3 hingga 0,9 mg/m3, sedangkan pada

musim barat berkisar antara 0,2 mg/m3 hingga 0,5 mg/m3 (Gambar 2.6). Hal ini

juga dinyatakan oleh Sartimbul et al. (2010), yang menemukan bahwa konsentrasi

klorofil-a mengalami peningkatan yang signifikan dan mencapai puncaknya pada

bulan Desember untuk kemudian mengalami penurunan hingga ke konsentrasi

terendah pada bulan Februari. Naiknya konsentrasi klorofil-a di Selat Bali

merupakan respons terhadap terjadinya fenomena upwelling.

Variabilitas konsentrasi klorofil-a, Indeks ENSO dan Indeks IOD sepanjang

tahun 2007 hingga 2018 ditunjukkan pada Gambar 2.7. Pada periode Indeks

ENSO positif klorofil-a di Selat Bali akan mengalami peningkatan dibandingkan

konsentrasi klorofil-a pada saat periode ENSO negatif. Hal yang sama juga terjadi

pada periode IOD positif dimana konsentrasi klorofil-a di Selat Bali mengalami

peningkatan. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Sartimbul et al.

(2010), yang menemukan bahwa pada periode El Nino dan periode IOD positif

SPL di Selat Bali mengalami penurunan dan klorofil-a mengalami peningkatan.

Pengaruh tersebut terjadi melalui mekanisme upwelling yang membawa masa air

dingin dan kaya nutrient dari lapisan bawah ke permukaan, sehingga kemudian

memicu peningkatan klorofil-a.

Page 58: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

35

BAB 2Kondisi Oseanografi Perairan Selat Bali

(a)

( )

Korelasi rerata klorofil-a di Selat Bali dengan Indeks ENSO dan IOD Gambar 2.7

sepanjang tahun 2007 hingga 2018.

Kesimpulan

SPL di Selat Bali mengalami variabilitas musiman dimana pada musim

timur relatif lebih dingin dibandingkan pada musim barat. Rerata SPL tertinggi

di Selat Bali terjadi pada bulan Maret, sedangkan rerata SPL terendah adalah

pada bulan Agustus. Konsentrasi Klorofil-a pada musim timur relatif lebih

tinggi dibandingkan pada musim barat. Disamping pengaruh musim, SPL dan

klorofil-a di Selat Bali juga dipengaruhi oleh fenomena ENSO dan IOD dimana

pada periode El Nino dan IOD positif SPL mengalami penurunan dan klorofil-a

mengalami peningkatan. Kondisi tersebut terjadi melalui mekanisme upwelling

yang membawa masa air dingin dan kaya nutrien dari lapisan air di bagian bawah

ke permukaan.

Pemahaman yang mendalam mengenai karakteristik oseanografi merupakan

suatu hal yang tidak bisa dipisahkan dengan pengelolaan sumber daya perikanan di

Selat Bali. Dengan data dan informasi yang detil dan lengkap maka pemanfaatan

sumber daya perikanan akan lebih efektif dan efisien. Selain itu juga pemerintah

Page 59: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

36

SUMBER DAYA LAUT DAN PESISIR PERAIRAN SELAT BALI

bisa menyusun regulasi yang mampu menjamin kelestarian sumber daya tersebut

secara lebih akurat. Langkah berikutnya yang harus dilakukan adalah sosialisasi

kepada masyarakat termasuk nelayan sebagai pelaku usaha perikanan agar bisa

memanfaatkan data dan informasi tersebut sehingga meningkatkan efektifitas dan

efisiensi usahanya.

Tuntutan ketersediaan data yang lengkap dan terkini sudah merupakan

keniscayaan yang harus diupayakan oleh pemerintah melalui lembaga terkait

termasuk lembaga riset. Penggunaan alat alat konvensional tidak memungkinkan

untuk menyediakan data yang dibutuhkan secara lengkap dan dalam waktu

yang cepat. Oleh karena itu penggunaan data satelit merupakan solusi yang bisa

mengatasi keterbatasan tersebut. Dengan wilayah cakupan yang luas serta liputan

data dengan resolusi temporal harian maka data yang near real time dengan

cakupan yang luas mampu disediakan.

Daftar RujukanGaol, J. L., Mahapatra, K., Okada, Y., Pasaribu, B. P., Manurung, D., & Nurjaya,

I. W. (2002). Fish catch relative to environmental parameters observed from

satellite during ENSO and dipole mode events 1997/98 in South Java Sea.

In Proceedings of PORSEC, 411-417.

Ma’mun, A. Priatna, A. Amri, K & Nurdin, E. (2019). The relationship between

oceanographic conditions and spatial distribution of pelagic fish in the

fisheries management area of the Republic Indonesia (FMA) 712 of Java

Sea. Indonesian Fisheries Research Journal, 2 (1), 1-65.

Megawati, C., Yusuf, M., & Maslukah, L. (2014). Sebaran kualitas perairan

ditinjau dari zat hara, oksigen terlarut dan pH di perairan Selat Bali bagian

selatan. Journal of Oceanography, 3(2), 142-150.

NASA. (2018). About Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer. URL.

Diunduh pada 3 Maret 2018. https://modis.gsfc.nasa.gov/about/index.

php.

Priyono, B., Yunanto, A. & Arief, T. (2008). Karakteristik oseanografi dalam kaitannya dengan kesuburan perairan di Selat Bali. Balai Penelitian dan

Observasi Laut. Bali.

Ridha, U., Hartoko, A. & Muskanonfola, M.R. (2013). Analisa sebaran tangkapan

ikan lemuru (Sardinella lemuru) berdasarkan data satelit suhu permukaan

laut dan klorofil-a di perairan Selat Bali. Management of Aquatic Resources Journal, 2(4), 53-60.

Page 60: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

37

BAB 2Kondisi Oseanografi Perairan Selat Bali

Salomonson, V. V., Guenther, B., & Masuoka, E. (2001). A summary of the status

of the EOS Terra Mission Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) and attendant data product development after one year of on-

orbit performance. In IGARSS 2001. Scanning the Present and Resolving the Future. Proceedings. IEEE 2001 International Geoscience and Remote Sensing Symposium (Cat. No. 01CH37217) (3),1197-1199.

Sartimbul, A., Rohadi, E., Yona, D., Yuli, H.E., Sambah, A.B. & Arleston, J.

(2018). Change in species composition and its implication on climate

variation in Bali Strait: Case study in 2006 and. Journal of Survey in Fisheries Sciences, 4(2), 38-46.

Sartimbul, A., Nakata, H., Rohadi, E., Yusuf, B. & Kadarisman, H.P. (2010).

Variations in chlorophyll-a concentration and the impact on Sardinella lemuru catches in Bali Strait, Indonesia. Progress in Oceanography, 87(1-4),

168-174.

Suherman, A., (2012). Formulasi strategi pengembangan pelabuhan perikanan

nusantara Pengambengan Jembrana. Marine Fisheries: Journal of Marine Fisheries Technology and Management, 2(1), 87-99.

Yuniarti, A., Maslukah, L. & Helmi, M. (2013). Studi variabilitas suhu permukaan

laut berdasarkan citra satelit aqua MODIS tahun 2007-2011 di Perairan

Selat Bali. Journal of Oceanography, 2(4), 416-421.

Page 61: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga
Page 62: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

BAB 3PROFIL VERTIKAL SUHU PERAIRAN

SELAT BALI DAN HUBUNGANNYA DENGAN VARIABILITAS IKLIM

Dessy Berlianty1, Wingking Era Rintaka Siwi1, Bayu Priyono1, Teguh Agustiadi1

dan Nadya Christa Mahdalena1

1 Balai Riset dan Observasi Laut, KKP

Abstrak

Perubahan suhu secara vertikal di perairan Selat Bali dalam kurun waktu 2007-

2017 dianalisis terhadap variabilitas iklim. Studi evolusi suhu ini menggunakan

hasil observasi in situ di perairan Selat Bali dan produk model Copernicus Marine

Environment Monitoring Service (CMEMS) serta dilengkapi dengan data indeks

iklim Ocean Nino Index (ONI) dan Dipole Mode Index (DMI). Profil vertikal

suhu di perairan Selat Bali memiliki pola musiman. Selain itu, terdapat hubungan

antara variabilitas suhu dan ketebalan mixed layer di perairan Selat Bali terhadap

beberapa kondisi El-Nino Southern Oscillation (ENSO) dan Indian Ocean Dipole

(IOD).

Kata kunci: Temperatur, in situ, model, Copernicus Marine Environment Monitoring Service, Dipole Mode Index, Ocean Nino Index.

Pendahuluan

Kondisi oseanografi perairan Selat Bali yang berada diantara Pulau Bali dan

Pulau Jawa telah banyak dipelajari sebelumnya dengan berbagai potensi perikanan

(Rintaka et al., 2015; Suniada & Susilo, 2018; Puspitasari et al., 2019; Rintaka

& Priyono, 2020) serta ekosistem pendukungnya, seperti mangrove (Ruslisan

et al., 2018), terumbu karang (Ampou et al., 2019), padang lamun, maupun

ekosistem pesisir-laut yang lainnya. Topografi perairan Selat Bali bervariasi cukup

signifikan (Gambar 3.1), yaitu dari perairan dangkal di pertengahan selat dengan

kedalaman puluhan meter hingga lebih dari 900 meter ke arah selatan perairan

Selat Bali menuju Samudera Hindia, sedangkan dari bagian sempit selat menuju

Page 63: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

40

SUMBER DAYA LAUT DAN PESISIR PERAIRAN SELAT BALI

perairan bagian utara memiliki kedalaman bervariasi dari puluhan hingga 200-

an meter sebagaimana peta kontur batimetri dalam kajian Priyono et al. (2008),

yang menunjukkan bahwa Selat Bali memiliki batimetri yang relatif dangkal dan

sempit di sekitar Gilimanuk (3.1).

Lokasi kajian dengan kondisi batimetri perairan Selat BaliGambar 3.1

Demikian pula dengan kajian melalui pendekatan model numerik yang telah

banyak dilakukan, baik skala regional untuk perairan Indonesia (INDESO, 2014;

Susanto & Marra, 2005; Ningsih et al., 2002; Susanto et al., 2001) ataupun skala

lokal khusus perairan Selat Bali (Pranowo & Realino, 2006; Berlianty & Yanagi,

2011; Lidiawati et al., 2012). Resolusi yang digunakan dengan pendekatan numerik

tersebut bervariasi dari kisaran 1/12 derajat atau sekitar 9,25 km untuk model

regional (INDESO, 2014), hingga kisaran 500 meter untuk area Selat Bali

(Berlianty & Yanagi, 2011).

Kelebihan dari pendekatan model numerik adalah dapat mengetahui interaksi

antara proses fisis dan siklus biogeokimia dengan lebih efisien dan efektif dari sisi

biaya dan waktu. Selain dapat digunakan untuk memprediksi kondisi laut melalui

simulasi forecast (waktu akan datang), maka pendekatan numerik juga dapat

mengkaji kondisi perairan pada waktu lampau (simulasi hindcast) yang selanjutnya

pendekatan numerik kondisi hindcast juga dapat dimanfaatkan untuk melakukan

validasi hasil model terhadap data in situ ataupun untuk meningkatkan kualitas hasil

simulasi nowcast (real-time) dan forecast. Simulasi dinamika oseanografi perairan

Selat Bali yang dilakukan Berlianty dan Yanagi (2011) merupakan salah satu studi

yang menggunakan simulasi hindcast dengan melakukan validasi hasil pemodelan

Page 64: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

41

BAB 3Profil Vertikal Suhu Perairan Selat Bali dan Hubungannya dengan Variabilitas Iklim

terhadap data in situ tahun 2010 (data arus dan pasang surut di perairan Selat

Bali). Penelitian lain yang menggunakan simulasi hindcast di perairan Indonesia

terutama di Timur Samudera Hindia, Laut Jawa, dan Selat Sunda yaitu seperti

yang dilakukan oleh Putri (2005), yang menggunakan historikal data iklim dari

tahun 1959 sampai dengan tahun 2002.

Karakteristik oseanografi perairan Selat Bali diketahui cukup unik dan

dinamis (Priyono et al., 2008), begitu pula dengan potensi perikanan Selat Bali

yang cukup besar terutama potensi perikanan lemuru (Buchary, 2010). Proses-

proses oseanografi yang terjadi di wilayah tersebut akan berdampak pada perbedaan

distribusi spasial dan temporal sumber daya didalamnya. Berawal dari faktor iklim

seperti kecepatan angin, ENSO, dan IOD yang merupakan faktor eksternal, akan

memberikan pengaruh terhadap proses-proses oseanografis tersebut dan tentu saja

akan berpengaruh juga terhadap sumber daya didalamnya (Prasetyo et al., 2010;

Puspitasari et al., 2019). Variasi suhu, salinitas, klorofil-a berpengaruh terhadap

jumlah tangkapan ikan lemuru (Sartimbul et al., 2010; Rintaka et al., 2015),

begitu juga dengan variasi plankton (Arinardi, 1989). Penelitian lain dilakukan

oleh Suniada et al. (2018) berdasarkan data statistik perubahan parameter suhu

permukaan laut (SPL) dan klorofil-a secara bersama-sama berpengaruh signifikan

terhadap perubahan catch per unit effort (CPUE) ikan pelagis, namun secara parsial

parameter klorofil-a memberikan pengaruh yang lebih signifikan dibandingkan

dengan parameter SPL. Dengan terbatasnya ketersediaan data dari observasi

melalui pengukuran langsung dalam kurun waktu yang panjang, maka kajian

karakteristik oseanografi akan lebih efektif bila dilengkapi dengan memanfaatkan

output model untuk mengetahui kondisi laut secara temporal dan kemudian

dikaji keterkaitannya terhadap kondisi iklim.

Hasil studi sebelumnya mendeskripsikan adanya proses upwelling di Selat Bali

sehingga perairan Selat Bali menjadi subur dengan biomassa yang tinggi, serta

kaya nutrien dengan tingkat produktivitas primer yang tinggi (Wyrtki, 1961;

Hendiarti et al., 2005; Susanto & Marra, 2005). Demikian pula Rintaka et al.

(2015) dalam studinya menjelaskan adanya proses indirect upwelling di Selat Bali.

Pada tahun normal, proses upwelling di selatan Jawa termasuk di perairan Selat

Bali muncul saat memasuki muson tenggara pada awal Juni hingga pertengahan

Oktober, dengan kondisi SPL yang dingin dan muka laut yang rendah (Susanto

et al., 2001). Sementara itu dari variabilitas kondisi iklim, kejadian IOD bersifat

independen terhadap ENSO (Saji et al., 1999), dan IOD berkorelasi kuat dengan

kondisi musiman (Yamagata et al., 2002).

Page 65: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

42

SUMBER DAYA LAUT DAN PESISIR PERAIRAN SELAT BALI

Profil Vertikal Suhu

Untuk mengetahui karakteristik profil vertikal secara musiman, dilakukan

analisis dari hasil pengukuran lapangan yang dilakukan pada bulan Februari 2017

untuk mewakili musim barat, dan analisis dari hasil pengukuran lapangan pada

bulan Agustus 2017 untuk mewakili musim timur. Selain itu, untuk keperluan

analisis perubahan temporal profil vertikal suhu pada musim timur, digunakan

pula data lapangan pada bulan Agustus 2013.

Berdasarkan profil vertikal sepanjang cross section pada Gambar 3.2 dan

Gambar 3.3 dapat terlihat adanya variabilitas musiman profil vertikal suhu di

perairan Selat Bali, yaitu suhu permukaan terlihat lebih hangat pada musim barat

(diwakili oleh data Februari 2017, Gambar 3.2) dibandingkan pada musim timur

(diwakili oleh data Agustus 2017, Gambar 3.3). Pada musim barat (Gambar 3.2),

secara tegas terlihat bahwa kondisi mixed layer di perairan Selat Bali terlihat lebih

tebal dibandingkan pada musim timur (Gambar 3.3).

Profil penampang vertikal temperatur hasil observasi pada Februari 2017 di Gambar 3.2

Selat Bali

Profil penampang vertikal suhu (Gambar 3.3 temperature) hasil observasi pada

Agustus 2017 di Selat Bali

Page 66: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

43

BAB 3Profil Vertikal Suhu Perairan Selat Bali dan Hubungannya dengan Variabilitas Iklim

Variabilitas temporal dari profil vertikal suhu pada musim timur ditunjukkan

dari hasil pengolahan data in situ bulan Agustus 2013 (Gambar 3.4) dan bulan

Agustus 2017 (Gambar 3.3). Dari hasil tersebut terlihat bahwa profil vertikal

suhu di permukaan lebih hangat pada musim timur tahun 2013 dengan kondisi

mixed layer yang lebih tebal dibandingkan suhu permukaan yang lebih rendah

pada musim timur tahun 2017 dengan ketebalan mixed layer yang lebih tipis.

Profil penampang vertikal suhu (Gambar 3.4 temperature) hasil observasi pada

Agustus 2013 di Selat Bali

Karakteristik tersebut direpresentasikan juga oleh profil vertikal suhu rata-

rata secara klimatologis di perairan Selat Bali dari hasil pemodelan yang juga

menunjukkan adanya variabilitas musiman sebagaimana hasil dari pengolahan

data in situ. Suhu permukaan terlihat lebih hangat pada musim barat yang diwakili

bulan Desember, Januari, dan Februari (DJF) hingga musim peralihan barat-timur

yang diwakili bulan Maret, April, dan Mei (MAM) dibandingkan dengan musim

timur yang diwakili bulan Juni, Juli, dan Agustus (JJA) hingga musim peralihan

timur-barat yang diwakili bulan September, Oktober, dan Nopember (SON).

Perubahan signifikan juga nampak pada distribusi lapisan mixed layer yang lebih

tebal pada musim barat dibandingkan musim lainnya (Gambar 3.5).

Page 67: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

44

SUMBER DAYA LAUT DAN PESISIR PERAIRAN SELAT BALI

Profil vertikal suhu klimatologis [2007 – 2017] di Selat Bali, DJF (hitam), Gambar 3.5

MAM (merah), JJA (hijau), dan SON (biru)

Variabilitas Iklim

Untuk mengetahui variabilitas iklim secara temporal, dilakukan analisis

dengan menggunakan output model. Output model yang digunakan untuk

mendapatkan variabilitas temporal adalah output harian temperatur dari

model laut global tiga-dimensi dari Copernicus Marine Environment Monitoring

Service (CMEMS) hasil konsorsium developer Nucleus for European Modelling of

the Ocean (NEMO, Madec et al., 2012). Data yang digunakan adalah informasi

time-series berupa rerata area perairan Selat Bali sepanjang tahun 2007 hingga

2017, dengan output model dari 50 lapisan kedalaman dan resolusi horisontal

1/12 derajat. Selain digunakan untuk analisis klimatologis profil vertikal suhu

setiap musim, data ini juga digunakan untuk analisis temporal variabel suhu dan

anomalinya secara vertikal, serta variabilitas ketebalan mixed layer di perairan Selat

Bali.

Page 68: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

45

BAB 3Profil Vertikal Suhu Perairan Selat Bali dan Hubungannya dengan Variabilitas Iklim

Hasil penelitian yang dilakukan Kunarso, et al. (2012) menunjukkan bahwa

ENSO dan IOD berpengaruh pada ketebalan lapisan termoklin. Ketebalan

lapisan termoklin akan meningkat selama kejadian El Nino dibandingkan ketika

kejadian La-Nina. Karena ada keterkaitan yang erat antara lapisan termoklin dan

mixed layer, diprediksi bahwa ketebalan mixed layer juga sangat dipengaruhi oleh

variabilitas iklim terutama pada kondisi ENSO (El Nino dan La Nina) maupun

IOD (IOD positif dan IOD negatif ).

Untuk mengetahui informasi kejadian El-Nino dan La-Nina kuat dari El-

Nino Southern Oscillation (ENSO), analisis ini dilengkapi dengan data indeks iklim

Ocean Nino Index (ONI) yang didapatkan dari Climate Prediction Center (CPC)

NOAA (https://www.ncdc.noaa.gov). Sedangkan informasi kejadian Indian Ocean

Dipole (IOD) mode positif atau negatif, digunakan pula data Dipole Mode Index

(DMI) dari JAMSTEC (http://www.jamstec.go.jp). Informasi kejadian ENSO

dan IOD ini dimanfaatkan untuk menganalisis lebih lanjut pengaruh kondisi

iklim tersebut terhadap profil vertikal suhu di perairan Selat Bali.

Karakteristik variabilitas iklim selama kurun waktu dekade 2007-2017

ditampilkan pada Gambar 3.6, yaitu indeks kondisi variabilitas ENSO (a) dan

indeks kondisi variabilitas IOD (b). Pada tahun 2017 dapat dikatakan sebagai

tahun yang relatif normal untuk kejadian ENSO (dengan kisaran indeks 0,5),

sementara kondisi IOD terlihat dengan karakteristik mode positive kuat pada

periode Maret-April (indeks berkisar pada nilai 0,6), sempat melemah pada

bulan Mei-Juni, dan kembali meningkat intensitasnya pada Juli 2017, kemudian

berkurang mulai Agustus 2017. Sementara itu, pada periode Agustus 2013 terlihat

bahwa karakteristik IOD cenderung positive dengan intensitas lemah (kisaran nilai

indeks 0,1) pada kondisi ENSO normal (kisaran nilai indeks -0,3).

Dari Gambar 3.6 pun dapat terlihat jelas adanya signifikan karakteristik

pada periode semester akhir tahun 2010 dan 2016, yang menunjukkan adanya

anomali kondisi IOD yang cenderung mode negative. Sementara itu, berdasarkan

informasi variabilitas iklim pada Gambar 3.6 terlihat bahwa kondisi IOD

sepanjang tahun 2017 bersifat independen terhadap kejadian ENSO. Variabilitas

iklim yang ditunjukkan dengan indeks kondisi variabilitas IOD dan ENSO akan

mempengaruhi SPL di perairan Selat Bali, tentu saja perubahan signifikan SPL

(anomali SPL) di suatu perairan akan berpengaruh juga pada ekosistem didalamnya,

seperti klorofil-a (Kunarso et al., 2012), produktivitas primer (Rintaka & Priyono,

2020), dan biota terutama Sardinella lemuru (Suniada & Susilo, 2018).

Page 69: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

46

SUMBER DAYA LAUT DAN PESISIR PERAIRAN SELAT BALI

Temporal Gambar 3.6 Ocean Nino Index (a), dan Dipole Mode Index (b)

pada periode Januari 2007 – Oktober 2017

Hubungan antara Profil Suhu dan Iklim

Analisis difokuskan pada waktu bersamaan dengan periode data lapangan

serta beberapa kondisi signifikan dari anomali profil vertikal suhu di perairan

Selat Bali. Variabilitas profil vertikal suhu secara musiman dari data lapangan serta

variasi temporal profil vertikal suhu di perairan Selat Bali dari output numerik

dihubungkan terhadap indeks iklim.

Karakteristik profil vertikal suhu pada bulan Februari 2017 (Gambar 3.2)

adalah bersamaan dengan kejadian IOD mode positive lemah kisaran indeks 0,3

(Gambar 3.6), sementara kondisi ENSO adalah normal dengan kisaran pada nilai

indeks -0,07. Sedangkan pada Agustus 2017, profil vertikal suhu (Gambar 3.3)

bersamaan dengan kondisi IOD mode positive kuat pada kisaran indeks 0,6 dan

kondisi ENSO yang juga masih relatif normal pada kisaran indeks -0,16.

Karakteristik profil vertikal suhu pada bulan Agustus 2013 (Gambar 3.4)

terlihat bertepatan dengan kejadian IOD positive lemah kisaran indeks 0,1, dan

kondisi ENSO adalah normal dengan kisaran pada nilai indeks -0,3.

Page 70: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

47

BAB 3Profil Vertikal Suhu Perairan Selat Bali dan Hubungannya dengan Variabilitas Iklim

Analisis dilanjutkan dengan melihat karakteristik dari evolusi temporal profil

vertikal suhu (Gambar 3.7) dan anomalinya (Gambar 3.8), serta variabilitas mixed

layer depth (Gambar 3.9) di perairan Selat Bali dengan mempelajari hubungannya

terhadap variabilitas iklim pada dekade 2007-2017 (Gambar 3.6).

Gambar 3.8 menunjukkan adanya dua kejadian anomali yang cukup signifikan

berupa peningkatan > 3°C dari suhu profil vertikal kedalaman 50 - 150 meter di

perairan Selat Bali, yaitu: (1) pada periode Oktober 2010 hingga Januari 2011

(dengan karakteristik kondisi iklim La Nina kuat dan kejadian IOD cenderung

netral pada November 2010, lihat Gambar 3.6), dan (2) pada periode September

2016 hingga Februari 2017 (kondisi iklim La Nina lemah pada Oktober 2016

dengan IOD mode negative lemah cenderung netral, lihat Gambar 3.6).

Lebih lanjut dari Gambar 3.9, kondisi ketebalan mixed layer pada anomali

pertama (yaitu pada periode Oktober 2010 hingga Januari 2011) terlihat mencapai

kedalaman 30 meter pada Desember 2010. Sementara itu, pada anomali kedua

(yaitu pada periode September 2016 hingga Februari 2017) terlihat bahwa

ketebalan mixed layer hingga 20 meter pada Desember 2016. Hal ini diperjelas

dengan evolusi temporal profil vertikal sebagaimana yang terlihat pada Gambar

3.7, yang menunjukkan adanya signifikan peningkatan suhu bersamaan dengan

kejadian anomali pada akhir tahun 2010 dan 2016. Spesifik karakteristik tersebut

cukup signifikan dibandingkan musim-musim lainnya.

Kim et al. (2011) melaporkan bahwa peristiwa El Nino pada 2009-2010

adalah fenomena unik, yang merupakan sinyal kuat pemanasan di Pasifik Tengah

yang dengan cepat menjadi La Nina. Kondisi tersebut terlihat berdampak pada

perairan Selat Bali, SPL perairan Selat Bali pada 2010 berada di atas normal

(Gambar 3.7) dan anomali temperatur tertinggi (Gambar 3.8) terjadi mulai

September 2010 hingga awal Januari 2011 ketika anomali SPL mencapai kisaran

> 3°C. Anomali temperatur tersebut terlihat kuat pada kedalaman 50 m sampai

dengan 200 m (Gambar 3.8). Pada periode tersebut lapisan termoklin terlihat

semakin dalam yakni sampai dengan kedalaman 175 - 180 m (Gambar 3.7).

Begitu juga kedalaman lapisan tercampur (mixed layer depth) semakin dalam yaitu

sampai 30 m (Gambar 3.9) seperti telah dijelaskan sebelumnya.

Page 71: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

48

SUMBER DAYA LAUT DAN PESISIR PERAIRAN SELAT BALI

Evolusi temporal profil vertikal rerata bulanan suhu di perairan Selat Bali Gambar 3.7

pada periode Januari 2007–Oktober 2017 hingga kedalaman 200 meter

bar 3.8. Evolusi temporal rerata bulanan anomali profil vertikal suhu ( ) di perairan Evolusi temporal profil vertikal rerata bulanan anomali suhu di perairan Gambar 3.8

Selat Bali pada periode Januari 2007–Oktober 2017 hingga kedalaman 350 meter

Temporal Gambar 3.9 Mixed layer Depth (MLD) pada periode Januari 2007 – Oktober

2017 di perairan Selat Bali

Page 72: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

49

BAB 3Profil Vertikal Suhu Perairan Selat Bali dan Hubungannya dengan Variabilitas Iklim

Kesimpulan

Hasil studi menunjukkan adanya hubungan antara variabilitas suhu dan

ketebalan mixed layer di perairan Selat Bali terhadap beberapa kondisi ENSO

dan IOD. Pada akhir 2010 dan 2016, yaitu pada kondisi IOD netral cenderung

mode negatif lemah, terlihat anomali signifikan dibandingkan musim lainnya

berupa peningkatan > 3°C pada profil suhu vertikal kedalaman 50-150 meter dan

ketebalan mixed layer mencapai 30 meter ketika La Nina kuat dan hingga 20 meter

ketika La Nina lemah. Pola musiman dari profil vertikal suhu di perairan Selat Bali

memperlihatkan bahwa kondisi mixed layer lebih tebal dan temperatur permukaan

lebih hangat pada musim barat dibandingkan musim timur. Variabilitas profil

vertikal suhu musim timur tahun 2013 lebih hangat di permukaan dan mixed

layer yang lebih tebal daripada musim timur tahun 2017.

Daftar RujukanAmpou, E. E., Hutasoit, P., Janetsji, S., Damar, A., Petta, C., & Hutahaean, A. A.

(2019). Implementation of coral propagation for coral reef garden in Nusa

Dua Bali. In The 2nd International Symposium on Marine Science and

Fisheries (ISMF2) – 2019. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 370, 012080.

Arinardi, O. H. (1989) Upwelling in the bali strait and its relationship with the

content of the plankton and lemuru fisheries (Sardinella longicep). Penelitian

Oseanologi Perairan Indonesia Buku I P3O-LIPI.

Berlianty, D., & Yanagi, T. (2011). Tide and tidal current in the Bali Strait,

Indonesia. Marine Research in Indonesia, 36(2), 25-36.

Buchary, E. A. (2010). In search of viable policy options for responsible use of

sardine resources in the Bali Strait, Indonesia. Doctor of philosophy - PhD,

University of British Columbia

Hendiarti, N., Suwarso, Aldrian, E., Amri, K., Andiastuti, R., & Sachoemar, S.

(2005). Seasonal variation of pelagic fish catch around Java. Oceanography, 18(4), 112-123.

INDESO. (2014). www.indeso.web.id. (Ministry for Marine Affairs and Fisheries

of Indonesia) Diunduh dari INDESO - Infrastructure for Development

Space of Oceanography: www.indeso.web.id

Kim, W. M., Yeh, S. W., Kim, J. H., Kug, J. S., & Kwon, M.H. (2011). The

unique 2009 - 2010 El Nino event: a fast phase transition of warm pool El

Nino to La Nina. Geophysical Research Letters, 38.

Page 73: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

50

SUMBER DAYA LAUT DAN PESISIR PERAIRAN SELAT BALI

Kunarso, Ningsih, N. S., & Baskoro, M. S. (2012). Changes in the depth and

thickness of thermocline in ENSO, IOD and monsoon conditions in

Southern Java to Timor Waters. Jurnal Ilmu Kelautan, 17(2): 87 – 98.

Lidiawati, L., Hadi, S., Ningsih, N. S., & Putri, R. M. (2012). Identifikasi

upwelling berdasarkan distribusi vertikal suhu, sigma-t, dan arus di selatan

Jawa hingga Nusa Tenggara Barat.

Madec, G.; and the NEMO team. (2012). NEMO ocean engine -version 3.4.

Merta, I. (1995). A review of stock assessment of ikan lemuru (Sardinella lemuru)

in the Bali Strait. IARD Journal, 17 (4), 71-76.

Ningsih, N. S., Hadi, S., & Yusuf, M., (2002). Upwelling in the south coast of java

& its seasonal ocean circulation by using three-dimensional ocean model.

In PORSEC 2002: Remote Sensing & Ocean Science for Marine Resources Exploration & Environment.

Pranowo, W. S., & Realino, B. (2006). Sirkulasi arus vertikal di Selat Bali pada

muson tenggara 2004. Forum Perairan Umum Indonbesia III.

Prasetyo, A. P., & Natsir, M. (2010). The impact of extreme climate to lemuru

fisheries in Bali Strait. In Proceeding seminar on the Best Research

Result 2010 (21-38). The Agency of Marine and Fisheries Research and

Development.

Priyono, B., Yunanto, A., & Wibawa, T. A. (2008). Karakteristik oseanografi

dalam kaitannya dengan kesuburan perairan di Selat Bali. Balai Riset dan

Observasi Kelautan.

Puspitasari, R., Rachmawati, P.F., & Muawanah, U. (2019). Climate variability

impact on Bali sardine fishery: Ecology and fisheries protective. Fisheries Management and Ecology, 26(6), 540-547.

Putri, M. R. (2005). Study of ocean climate variability (1959-2002) in the Eastern

Indian Ocean, Jawa Sea and Sunda Strait using the HAMburg Shelf Ocean

Model. Disertation: Hamburg University.

Rintaka, W. E. & Priyono, B. (2020). Variation of seawater temperature and

chlorophyll-a prior to and during upwelling event in Bali Strait, Indonesia:

from observation and model. IOP Conference Series: Earth and Enviromental Science 429, 012002.

Rintaka, W. E., Susilo, E., & Hastuti, A. W. (2015). Pengaruh in-direct upwelling

terhadap jumlah tangkapan lemuru di perairan Selat Bali. In Seminar

Nasional Perikanan dan Kelautan. Universitas Brawijaya.

Page 74: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

51

BAB 3Profil Vertikal Suhu Perairan Selat Bali dan Hubungannya dengan Variabilitas Iklim

Ruslisan, R., Kamal, M., & Sidik, F. (2018). Monitoring the restored mangrove

condition at Perancak Estuari, Bali Indonesia. IOP Conference Series: Earth and Enviromental Science, 123, 012022

Saji, N. H., Goswami, B. N., Vinayachandran, P. N., & Yamagata, T. (1999). A

dipole mode in the tropical Indian Ocean. Nature, 401.

Sartimbul, A., Nakata, H., Rohadi, E., Yusuf, B., & Kadarisman, H. P. (2010).

Variation in chlorophyl-a concentration and impact on Sardinella lemuru

catches in Bali strait, Indonesia. Progress in Oceanography, 87, 168-174.

Suniada, K. I., & Susilo, E. (2018). Keterkaitan kondisi oseanografi dengan

perikanan pelagis kecil di Indonesia. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia,

23(4), 275-286

Susanto, R. D., Gordon, A. L., & Zheng, Q. (2001). Upwelling along the coasts

of Java and Sumatra and its relation to ENSO. Geophysical Research Letters, 28 (8), 1599-1602.

Susanto, R.D., & Marra, J. (2005). Effect of the 1997/98 El Niño on chlorophyll

a variability along the southern coasts of Java and Sumatra. Oceanography 18(4),124–127.

Yamagata, T., Behera, S. K., & Guan, Z. (2002). The role of the Indian Ocean

in climate forecasting with a particular emphasis on summer conditions in

East Asia.

Wyrtki, K. (1961). Physical oceanography of the southeast asian waters. Naga Report Vol. 2. La Jolla, California.

Page 75: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga
Page 76: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

BAB 4PERAN BUOY PANTAI UNTUK OBSERVASI

DINAMIKA OSEANOGRAFI DI SELAT BALI

Bayu Priyono1 dan Teguh Agustiadi1

1 Balai Riset dan Observasi Laut, KKP

Abstrak

Observasi karakteristik oseanografi di Selat Bali yang bersifat near real time dan

time series dapat dilakukan dengan menggunakan buoy pantai. Buoy pantai yang

digunakan adalah jenis buoy permukaan (surface buoy) dengan sistem pengukuran

satu lapisan di kedalaman sekitar 5 meter dari permukaan. Variabel terukur berupa

suhu, konduktivitas, konsentrasi klorofil, dan oksigen terlarut dengan atribut

koordinat posisi dan waktu pengukuran dapat diakses secara langsung melalui

jaringan situs. Interval penyediaan data adalah perata-rataan setiap jam pada basis

data yang dapat diunduh oleh pengguna yang teregistrasi. Data yang tersedia

dalam basis data buoy pantai telah diproses untuk menghilangkan nilai anomali

dan hasil pengukuran yang berada diluar batas kewajaran. Buoy pantai di Selat Bali

beroperasi sejak Februari 2017 dan telah menghasilkan data time series sekitar satu

tahun. Data yang diperoleh dari buoy pantai dapat digunakan lebih lanjut untuk

memahami fenomena laut dan pesisir serta data dukunguntuk kegiatan perikanan

tangkap dan budidaya. Operasionalisasi buoy pantai mempunyai tantangan yang

disebabkan oleh kondisi alam dan aktivitas manusia. Kondisi cuaca ekstrem yang

menimbulkan gelombang tinggi dan arus kuat serta pencurian dan perusakan

oleh orang yang tidak bertanggung jawab adalah contoh dari tantangan dalam

pengoperasian buoy pantai. Selain itu, kerentanan kondisi setiap komponen yang

ada di sistem buoy pantai terhadap kerusakan akibat korosi dan penggaraman

juga menjadi tantangan tersendiri.

Kata kunci: buoy pantai, observasi, oseanografi pesisir

Page 77: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

54

SUMBER DAYA LAUT DAN PESISIR PERAIRAN SELAT BALI

Pendahuluan

Laut mempunyai dampak yang luas dalam kehidupan manusia, baik secara

langsung sebagai pusat aktivitas manusia maupun melalui pengaruhnya terhadap

sistem iklim. Pemahaman yang lebih baik terhadap lautan beserta ekosistemnya,

termasuk dampaknya terhadap manusia, membutuhkan data valid yang dapat

dipenuhi melalui sistem observasi dan monitoring laut jangka panjang secara

kontinu dan terkoordinasi. Salah satu metode dalam melakukan observasi laut

perairan pesisir adalah dengan menggunakan buoy pantai. Sama halnya dengan

metoda lainnya yang sejenis, sistem observasi perairan pantai yang bersifat

permanen, beroperasi secara kontinu dan real-time cenderung mempunyai dua

kategori aplikasi, yaitu sebagai data pendukung dalam kebutuhan mendesak dan

kontribusi pada basis data historis. Dalam skala yang luas, sistem data observasi ini

dapat memperkuat kualitas dan keakuratan produk data dari industri transportasi

laut, pariwisata, perikanan, militer, kesehatan masyarakat, pengelolaan pesisir,

kegiatan riset dan lainnya (Bailey et al., 2019). Memahami kondisi perairan pesisir

berarti memahami dinamika perairan yang kompleks dan untuk mendapatkan

data yang komprehensif buoy pantai dapat dihubungkan secara sistem dengan

platform observasi lainnya seperti argo floats, drifter, tide gauge, radar pantai,

buoy gelombang dan platform lainnya dengan sensor yang berbeda (Venkatesan

et al., 2018).

Pemanfaatan buoy pantai telah dilakukan oleh Balai Riset dan Observasi

Laut (BROL) sejak tahun 2017, dengan salah satu lokasi penempatan di Selat

Bali. Selat Bali yang terletak di antara Pulau Jawa dan Pulau Bali merupakan

penghubung daerah tropis Samudera Hindia bagian tenggara (Southeast tropical

Indian Ocean) dengan perairan internal kepulauan Indonesia, terutama perairan

Laut Jawa dan Laut Flores. Karakteristik geografis Selat Bali yang sempit dan

dangkal di bagian utara serta lebar dan dalam di bagian selatan menjadikan

kondisi massa air di perairan ini lebih dipengaruhi oleh massa air dari Samudra

Hindia daripada perairan di sebelah utaranya (Burhanuddin & Prasetyo, 1982).

Dinamika kondisi oseanografi Selat Bali dipengaruhi oleh banyak faktor dan

bervariasi dalam skala waktu. Dalam skala harian dinamika oseanografi Selat Bali

dipengaruhi oleh pasang surut, sedangkan dalam skala musiman akan dipengaruhi

oleh angin muson. Dalam skala waktu antar-tahun dinamika oseanografi Selat Bali

Page 78: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

55

BAB 4Peran Bouy Pantai untuk Observasi Dinamika Oseanografi di Selat Bali

dipengaruhi oleh ENSO (El Niño–Southern Oscillation) dan IOD (Indian Ocean

Dipole), yaitu fenomena anomali kondisi laut yang terjadi di Samudra Pasifik dan

Samudra Hindia. Perairan Selat Bali terhubung langsung dengan Samudra Hindia

dan tidak langsung dengan Samudra Pasifik, oleh karena itu kondisi oseanografi

Selat Bali akan dipengaruhi oleh kedua fenomena tersebut (Siwi et al., 2015).

Seperti halnya bagian selatan kepulauan Indonesia lainnya, perairan Selat

Bali juga mendapatkan pengaruh adanya fenomena upwelling yang intensitasnya

bervariasi secara musiman (Susanto et al., 2001). Daerah upwelling merupakan

daerah yang kaya dengan nutrien yang berperan dalam suplai sumber makanan

untuk keberlangsungan larva, juvenil dan ikan dewasa. Oleh karena itu perairan

Selat Bali merupakan daerah potensial untuk kegiatan perikanan. (Hendiarti et

al., 2004; Sartimbul et al., 2010). Melihat pentingnya kondisi oseanografi Selat

Bali, baik di bidang kelautan maupun bidang perikanan, maka ketersediaan data

oseanografi di Selat Bali menjadi hal yang dibutuhkan.

Sistem Buoy Pantai

Perangkat yang digunakan untuk melakukan observasi variabel oseanografi

di Selat Bali adalah sistem buoy pantai. Sistem ini terdiri dari tiga komponen

utama, yaitu sistem pelampung, sistem sensor, dan sistem tambatan atau mooring.

Sistem pelampung atau main buoy terletak di permukaan dan menjadi wahana

penempatan beberapa instrumen seperti lampu beacon, panel surya, panel kontrol,

baterai dan reflektor radar. Sistem sensor terdiri dari sensor pengukur yang terletak

di bawah permukaan, data logger, dan instrumen telemetri untuk mengirimkan

data secara real-time. Sistem tambatan berfungsi untuk menjaga buoy pantai

berada di posisinya. Sistem tambatan terdiri dari pemberat yang berfungsi sebagai

jangkar, rangkaian tali nylon dan rantai, serta swivel untuk menjaga tali tidak

terpilin. Ilustrasi rangkaian sistem buoy pantai yang ditempatkan di Selat Bali

diperlihatkan pada Gambar 4.1.

Page 79: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

56

SUMBER DAYA LAUT DAN PESISIR PERAIRAN SELAT BALI

Rangkaian sistem buoy pantai yang digunakan dalam observasi variabel Gambar 4.1

oseanografi di Selat Bali

Variabel yang diukur melalui buoy pantai meliputi empat parameter, yaitu:

suhu, konduktivitas, konsentrasi klorofil dan kandungan oksigen terlarut. Empat

variabel tersebut diukur dengan menggunakan sensor yang terintegrasi dalam

instrumen Hydrolab DS5X. Pengukuran variabel dilakukan pada kedalaman

sekitar 5 meter dari permukaan. Spesifikasi sensor yang digunakan pada buoy

pantai diperlihatkan pada Tabel 4.1.

Spesifikasi sensor pada buoy pantai BROLTabel 4.3.

Spesifikasi Sensor Keterangan

Kedalaman sensor : ± 5 meter

Suhu

Range pengukuran

Akurasi

Resolusi

:

:

:

-5 s/d 50 °C

± 0,05 °C

0,001 °C

Page 80: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

57

BAB 4Peran Bouy Pantai untuk Observasi Dinamika Oseanografi di Selat Bali

Spesifikasi Sensor Keterangan

Konduktivitas

Range pengukuran

Akurasi

Resolusi

:

:

:

0 s/d 100 mS/cm

± (0,5% dari nilai pengukuran + 0,001 mS/cm)

0,001

Oksigen terlarut

Range pengukuran

Akurasi

Resolusi

:

:

:

0-60 ml/l

± 0,1 mg/l @ ≤ 8 mg/l;

± 0,2 mg/l @ > 8 mg/l;

± 10% nilai pengukuran @ > 20 mg/l

0,01 mg/l

Klorofil-a

Range pengukuran

Akurasi

Resolusi

:

:

:

Low sensitivity : 0,03-500 µg/l

Med. sensitivity : 0,03-50 µg/l

High sensitivity : 0,03-5 µg/l

± 3% using Rhodamine WT dye as a standard at ≥ 400 ppb

0,01 µg/l

(sumber: Technical data Hydrolab DS5X)

Pengiriman data hasil observasi buoy pantai dilakukan dengan sistem

telemetri, yaitu data dikirimkan secara langsung dari buoy pantai ke sistem basis

data dengan memanfaatkan teknologi pengiriman data jarak jauh. Pengiriman data

hasil pemantauan buoy pantai dilakukan dengan interval 15 menit ke server cloud

data melalui jaringan Global System for Mobile Communications (GSM) dan satelit.

Penggunaan sistem hibrid GSM dan satelit dipilih untuk meningkatkan peluang

keberhasilan pengiriman data. Sistem GSM mempunyai keunggulan lebih murah

dari segi pembiayaan, namun keberhasilan pengiriman data sangat bergantung

pada koneksi sesaat jaringan GSM di lokasi buoy pantai. Sedangkan pengiriman

data menggunakan satelit lebih tinggi tingkat keberhasilan pengiriman datanya,

namun membutuhkan pembiayaan yang tinggi. Sistem aliran komunikasi data

menggunakan GSM dan satelit yang digunakan pada buoy pantai diperlihatkan

pada Gambar 4.2.

Tabel 4.3. Spesifikasi sensor pada buoy pantai BROL (Lanjutan)

Page 81: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

58

SUMBER DAYA LAUT DAN PESISIR PERAIRAN SELAT BALI

Aliran komunikasi data buoy pantai (garis biru: satelit; garis jingga: GSM)Gambar 4.2

Observasi Dinamika Oseanografi

Penentuan lokasi penempatan buoy pantai didasarkan pada keterwakilan

area pesisir dengan isu tertentu, kondisi batimetri dan faktor keamanan sistem

buoy. Hal yang menjadi isu dalam penempatan buoy pantai di Selat Bali adalah

perikanan daerah pesisir atau nelayan tradisional. Lokasi di sekitar penempatan

buoy pantai di Selat Bali merupakan daerah penangkapan ikan tradisional, baik

ikan pelagis maupun ikan demersal. Lokasi penempatan buoy pantai di Selat Bali

berada pada koordinat 8,43630 LS dan 114,64750 BT atau berada di perairan

Desa Air Kuning, Kecamatan Jembrana, Kabupaten Jembrana, Bali. Pada citra

satelit, posisi buoy pantai Selat Bali diperlihatkan pada Gambar 4.3.

Posisi penempatan buoy pantai di Selat Bali (∆: lokasi buoy; inset Gambar 4.3

menunjukkan buoy pantai yang digunakan untuk observasi)

Page 82: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

59

BAB 4Peran Bouy Pantai untuk Observasi Dinamika Oseanografi di Selat Bali

Data hasil pemantauan buoy pantai dapat dilihat dan diunduh secara online

melalui laman Sistem Prediksi Kelautan (SIDIK) BROL. Adapun username

dan password yang digunakan untuk masuk ke dalam portal tersebut diperoleh

pengguna setelah melakukan registrasi. Informasi yang diperoleh pengguna setelah

melakukan login yaitu data tabel yang berisi waktu, koordinat, dan nilai variabel

yang direkam dan dikirim buoy pantai; serta tampilan grafik yang menggambarkan

nilai variabel terhadap waktu. Di dalam portal tersebut, data buoy pantai Selat

Bali merupakan salah satu dari data buoy pantai yang keseluruhannya berjumlah

sepuluh unit. Unit buoy pantai Selat Bali diberi label sebagai unit 01 pada sistem

data buoy pantai.

Perhitungan persentase keberhasilan observasi buoy pantai dilakukan dengan

membandingkan jumlah data yang masuk dan berada di dalam batas dengan

jumlah total data yang seharusnya diterima. Batas nilai yang digunakan untuk

suhu adalah 25°C – 34°C, konduktivitas 30 mS/cm – 60 mS/cm, klorofil 0 µg/l

– 50 µg/l, dan oksigen terlarut 1 ml/l – 12 ml/l. Selain itu juga diaplikasikan uji

saring terhadap data koordinat dimana data dengan posisi yang berjarak lebih

dari 500 meter terhadap posisi tambat akan dihilangkan. Radius 500 meter yang

digunakan dalam uji saring ini diperoleh dari perkiraan pergeseran maksimum

buoy akibat perubahan arah arus dan kelonggaran tali tambat.

Ringasan perolehan data dari buoy pantai Selat Bali dari bulan Maret hingga

Desember tahun 2017 ditunjukkan pada Tabel 4.2. Perolehan data ditampilkan

dalam bentuk persentase dimana nilai tersebut merupakan representasi data yang

diperoleh dengan kualitas baik. Persamaan yang digunakan dalam perhitungan

persentase keberhasilan observasi buoy pantai adalah sebagai berikut:

dimana adalah persentase keberhasilan pengukuran buoy pantai pada

rentang waktu tertentu.

Page 83: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

60

SUMBER DAYA LAUT DAN PESISIR PERAIRAN SELAT BALI

Persentase perolehan data hasil observasi buoy pantai Selat Bali tahun Tabel 4.4.

2017

VariabelBulan

Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des

Suhu 100,0 97,98 63,50 85,62 77,15 92,77 92,67 90,58 87,28 75,97

Konduktivitas 100,0 97,98 63,50 85,62 77,15 92,77 92,67 85,58 86,21 75,32

Klorofil 99,5 97,74 63,27 83,60 75,10 92,77 89,09 90,38 87,25 75,86

O2 terlarut 100,0 97,98 63,50 85,62 77,15 92,77 92,67 84,29 87,28 75,97

Plot dalam deret waktu hasil pengolahan awal dari pengukuran suhu, salinitas

(konversi dari konduktivitas), konsentrasi klorofil, dan kandungan oksigen terlarut

pada periode Maret hingga Desember 2017 disajikan pada Gambar 4.4. Dari

plot tersebut terlihat banyak lonjakan nilai yang relatif besar dalam waktu singkat

(dikenal dengan spike) pada hasil pengukuran dengan interval 15 menit (titik-titik

biru). Spike pada data time series seringkali diredam atau bahkan dihilangkan karena

dianggap sebagai gangguan ‘sinyal’ berupa pencilan akibat sensitivitas sensor saat

melakukan pengukuran. Salah satu metoda sederhana dalam mengurangi spike

adalah dengan melakukan perata-rataan dalam rentang data tertentu (boxcar

average). Metoda ini merupakan teknik untuk merapikan sinyal dengan asumsi

bahwa hasil perata-rataan kumpulan data yang berdekatan akan menghasilkan

nilai yang lebih baik daripada data-data tersebut secara individu. Hasil penerapan

boxcar average pada data hasil pengukuran buoy pantai di Selat Bali dengan

periode satu hari dan tujuh hari secara berurutan diperlihatkan dengan garis

merah dan garis hijau pada Gambar 4.4. Interval data hasil perata-rataan akan

berubah sesuai dengan rentang waktu yang digunakan dalam perata-rataan. Pada

Gambar 4.4 garis merah menunjukkan data dengan interval satu hari dan garis

hijau menunjukkan data dengan interval tujuh hari.

Page 84: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

61

BAB 4Peran Bouy Pantai untuk Observasi Dinamika Oseanografi di Selat Bali

4. Plot dalam deret waktu hasil pengukuran buoy pantai di Selat Bali pada tahun 2017. Titik-titiPlot dalam deret waktu hasil pengukuran buoy pantai di Selat Bali pada Gambar 4.4

tahun 2017. Titik-titik biru menunjukkan data dengan interval 15 menit, garis merah

menunjukkan hasil perata-rataan harian dan garis hijau menunjukkan hasil perata-rataan

tujuh harian (a: suhu, b: salinitas, c: konsentrasi klorofil, dan d: oksigen terlarut)

Dalam hasil kajiannya, Rintaka et al. (2015) menyebutkan bahwa suhu

permukaan laut di perairan Selat Bali bervariasi secara spasial dan temporal. Hasil

pengukuran memperlihatkan suhu permukaan laut Selat Bali bervariasi untuk

pengukuran April, Juni dan Agustus 2013. Kisaran suhu permukaan laut pada

bulan April, Juni, dan Agustus secara berturut-turut adalah 26,5 °C – 29,5 °C,

29,5 °C – 30,0 0C, dan 25,0 °C – 28,0 °C. Suhu pada bulan Agustus relatif lebih

Page 85: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

62

SUMBER DAYA LAUT DAN PESISIR PERAIRAN SELAT BALI

dingin daripada bulan April dan Juni dimana hal ini dimungkinkan karena pada

bulan Agustus merupakan puncak musim timur. Pada musim ini suhu permukaan

laut perairan selatan Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara relatif lebih rendah dan

akan berpengaruh terhadap perairan selat Bali. Pola variasi secara temporal yang

memperlihatkan perbedaan suhu secara musiman terlihat jelas pada data suhu

permukaan laut hasil pengukuran buoy pantai. Pada Gambar 4.4.(a) terlihat suhu

permukaan laut di titik pengamatan buoy bernilai minimum pada bulan Agustus

(musim timur) dan maksimum pada sekitar bulan Februari (musim barat). Hasil

ini mengkonfirmasi hasil kajian sebelumnya yang dilakukan menggunakan data

survey lapang. Selain pola variasi, kisaran nilai suhu permukaan laut yang terukur

oleh buoy pantai juga sesuai dengan hasil survei lapang yang dinyatakan oleh

Rintaka et al. (2015).

Berbeda dengan data suhu permukaan laut, data hasil pengukuran buoy

pantai Selat Bali untuk parameter salinitas, klorofil dan oksigen terlarut belum

menunjukkan hasil yang memuaskan. Pada Gambar 4.4. (b) – (d) terlihat dari

awal pengukuran hingga bulan Juni data yang terukur hampir bernilai konstan

terhadap waktu. Merujuk pada Rintaka et al. (2015) dan Hendiarti et al. (2004)

nilai konsentrasi klorofil permukaan Selat Bali umumnya bervariasi secara

temporal dan akan mempunyai nilai maksimum pada puncak dan akhir musim

timur (Agustus - September). Peningkatan konsentrasi klorofil ini merupakan

efek dari adanya fenomena upwelling di selatan Bali dan Nusa Tenggara yang

mempunyai intensitas maksimum di periode tersebut (Susanto et al., 2001). Hal

ini tidak sesuai dengan data klorofil hasil pengukuran buoy pantai dimana dalam

hasil pengukuran buoy terlihat konsentrasi klorofil maksimum di bulan Juni dan

menurun secara signifikan setelahnya, termasuk pada bulan Agustus – September.

Ketidaksesuaian ini mengindikasikan masih perlu adanya kajian lebih lanjut

terkait akurasi sensor pada buoy pantai yang digunakan.

Seperti pada data klorofil, data salinitas hasil perekaman buoy pantai

menunjukkan perbedaan dengan hasil kajian yang pernah dilakukan sebelumnya.

Menurut Rintaka et al. (2013) salinitas permukaan di Selat Bali bervariasi antara

23,93-34,69 psu dengan rerata 29,19-33,97 psu. Pada lokasi sekitar buoy pantai

ditempatkan nilai salinitas relatif selalu lebih rendah daripada lokasi lain di Selat

Bali. Hal ini dikarenakan lokasi buoy berada di sekitar muara Sungai Perancak

yang memberikan inputan air tawar yang berpengaruh terhadap nilai salinitas

permukaan. Berdasar data survei lapang yang dilakukan pada bulan Juli dan

September tahun 2012, nilai salinitas di zona sekitaran tempat buoy berada

adalah 23,93-34,44 psu dengan rerata 29,185 psu. Meskipun nilai salinitas yang

Page 86: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

63

BAB 4Peran Bouy Pantai untuk Observasi Dinamika Oseanografi di Selat Bali

terukur oleh sensor pada buoy pantai selalu pada batas nilai kewajaran sesuai data

survei lapang, namun variasi salinitas terhadap waktu yang ditunjukkan pada data

hasil perekaman buoy (Gambar 4.4.(b)) belum sesuai dengan pola yang diperoleh

pada hasil kajian Rintaka et al. (2013 dan 2015). Adanya fenomena upwelling

pada puncak dan akhir monsun timur akan diindikasikan dengan turunnya suhu

permukaan laut dan meningkatnya salinitas permukaan laut. Secara grafik, pola

variasi nilai salinitas terhadap waktu di Selat Bali akan berkebalikan dengan pola

variasi nilai suhu. Jika nilai suhu permukaan laut Selat Bali maksimum terjadi

pada monsun barat dan minimum pada akhir monsun timur maka nilai salinitas

permukaan mempunyai pola yang berkebalikan, yaitu maksimum di akhir monsun

timur dan minimum di monsun barat. Selain fenomena upwelling, kondisi cuaca

yang berubah secara musiman turut berperan pada variasi nilai salinitas terhadap

waktu. Periode monsun barat merupakan waktu puncak terjadinya presipitasi curah

hujan di wilayah Indonesia bagian selatan pada umumnya. Banyaknya air hujan

yang tawar yang masuk ke perairan Selat Bali menjadikan salinitas permukaan

menurun pada periode waktu tersebut. Pola variasi nilai salinitas permukaan ini

tidak terlihat pada hasil pengukuran buoy pantai (Gambar 4.4.(b)).

Interpretasi dan validasi terhadap data hasil observasi masih perlu dilakukan

untuk mengetahui tingkat akurasi pengukuran dengan buoy pantai. Interpretasi

dapat dilakukan dengan melihat kesesuaian terhadap pengetahuan yang telah

diperoleh sebelumnya. Pengetahuan seperti batas nilai variabel dan kecenderungan

variabilitas suatu parameter terhadap siklus, misal musiman, dapat dijadikan

acuan awal dalam menilai akurasi hasil pengukuran. Perbandingan nilai dan pola

variabilitas suatu parameter dengan hasil pengukuran atau kajian lain di area yang

sama juga dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat akurasi hasil observasi buoy

pantai.

Peran Buoy bagi Observasi Oseanografi dan Perikanan

Kondisi lingkungan laut yang dinamis dan kompleks baik secara spasial dan

temporal menjadikan kebutuhan akan data yang berkesinambungan, memiliki

tingkat validasi tinggi, terbaru dan reproductable sangatlah penting dan besar

peranannya bagi dunia perikanan. Data‐data tersebut dapat menunjang berbagai

aspek yang diperlukan, tidak hanya untuk kegiatan penelitian semata, akan tetapi

juga yang lebih penting adalah untuk pengambilan kebijakan pengelolaan dan

antisipatif dalam menghadapi gejala alam atau prediksi suatu fenomena yang terjadi

dalam jangka waktu lama yang berpengaruh pada distribusi dan kelimpahan ikan.

Page 87: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

64

SUMBER DAYA LAUT DAN PESISIR PERAIRAN SELAT BALI

Pada dasarnya penempatan buoy pantai di suatu perairan merupakan

bagian dari upaya untuk mendapatkan data yang valid dan dapat direproduksi

tentang kondisi lingkungan laut pesisir sehingga dapat digunakan kapan saja dan

mempunyai tingkat keakuratan yang tinggi untuk dasar pengambil keputusan

terkait perikanan dan kelautan. Data yang baik adalah data yang memiliki

kontinuitas sehingga dikatakan sebagai time series data. Pengukuran parameter

fisik dan kimia di perairan ini sudah sejak lama dilakukan oleh para peneliti dan

pelaksana di lapangan. Tetapi baru sebatas pengukuran yang bersifat konvensional

atau dengan kata lain masih mengandalkan manusia sebagai operator pencatat data.

Hal ini tentunya memiliki keterbatasan baik dari aspek operasional, pembiayaan

maupun aspek teknik. Aspek operasional berkaitan dengan teknik pengambilan

data yang diukur secara acak untuk kawasan yang luas dan sangat tergantung pada

kondisi alam dan kompetensi operator dalam mengoperasikan alat/instrumen

tersebut. Aspek pembiayaan tidak hanya berhubungan dengan investasi yang

dikeluarkan untuk menghasilkan data lapangan akan tetapi efektifitas dan

efisiensi nilai investasi dikaitan dengan data yang dihasilkan, baik secara spasial

dan temporal untuk menjaga keterwakilan titik pengamatan yang mempengaruhi

kawasan penelitian secara umum. Adapun aspek teknik berkaitan dengan

penggunaan perangkat keras maupun perangkat lunak yang dimiliki instrumen

agar mekanisme bekerjanya sesuai standar pengoperasian alat tersebut secara terus

menerus menghasilkan data yang handal dan dapat dipertanggungjawabkan.

Sistem buoy pantai merupakan sistem informasi lingkungan laut di wilayah

pesisir dan pantai yang mampu melakukan pengukuran parameter oseanografi

secara in situ melalui teknologi buoy yang berkesinambungan, yaitu mandiri

(autonomous measure), terekam (record) dan terpantau (transmit). Keberadaan

metode pengukuran lapangan dengan buoy saling mendukung dengan metode

simulasi numerik dan penginderaan jauh dalam memetakan kondisi suatu

perairan. Asimilasi ketiga metode dan data tersebut akan semakin memperkaya

dan mempertajam analisis yang dihasilkan karena masing-masing metode memiliki

kelebihan dan kekurangan yang saling mengisi. Konsep ini yang dijadikan dasar

dalam oseanografi operasional yang diusung dalam Global Ocean Observing System

(GOOS) untuk dijadikan dasar turunan bagi pengamatan lingkungan laut secara

regional maupun nasional seperti South-East Asia GOOS (SEAGOOS) maupun

Indonesia GOOS (INAGOOS).

Page 88: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

65

BAB 4Peran Bouy Pantai untuk Observasi Dinamika Oseanografi di Selat Bali

Kesimpulan

Kebutuhan data oseanografi di Selat Bali yang bersifat real time dan time

series dapat didukung melalui pemasangan buoy pantai. Penambahan sensor dan

jumlah unit buoy pantai di Selat Bali dapat dilakukan untuk memperkaya tipe data

dan memperluas area yang terpantau kondisi oseanografinya. Meskipun dalam

pelaksanaan operasionalisasi buoy pantai diperlukan sumber daya yang besar, baik

pembiayaan maupun kapasitas sumber daya manusia, data dan informasi yang

diperoleh sangat berguna dalam membantu meningkatkan pemahaman terhadap

fenomena yang terjadi di lokasi dimana buoy pantai ditempatkan dan sekitarnya.

Selain itu, ketersediaan data yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan berguna

dalam pengambilan kebijakan oleh pihak terkait, terutama yang berkaitan dengan

bidang kelautan dan perikanan.

Peningkatan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya keberadaan

instrumen pengukur di laut, salah satunya buoy pantai, perlu diupayakan. Hal

ini akan mengurangi resiko kehilangan atau kerusakan instrumen pengukur di

laut akibat pencurian dan vandalisme. Kerjasama dan penambahan fitur yang

dapat dirasakan manfaatnya secara langsung oleh masyarakat nelayan, misal

dengan menambahkan sejenis rumpon di dekat dasar, mungkin dapat menjadi

pilihan sehingga instrumen yang ada di laut justru akan dijaga keberadaannya

oleh masyarakat sekitar.

Daftar RujukanBailey K., Steinberg, C., Davies, C., Galibert, G., Hidas, M., McManus, M. A.,

Murphy, T., Newton, J., Roughan, M., & Schaeffer, A. (2019). Coastal

mooring observing networks and their data products: Recommendations

for the next decade. Frontiers in Marine Science Journal, 6.

Burhanuddin & Prasetyo, D.P. (1982). Lingkungan Perairan Selat Bali. In

Prosiding seminar perikanan lemuru Banyuwangi. Puslitbangkan –

Departemen Pertanian.

Hendiarti, N., Herbert, S. & Thomas, O. (2004). Investigation of different coastal

processes in Indonesian waters using Seawifs data. Deep-Sea Research II, 51,

85–97.

OTT HydroMet. Hydrolab DS5X – Multiparamater Data Sonde. http://www.

ott.com/products/water-quality-2/hydrolab-ds5x-multiparameter-data-

sonde-855.

Page 89: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

66

SUMBER DAYA LAUT DAN PESISIR PERAIRAN SELAT BALI

Rintaka, W.E., Setiawan, A., Susilo, E., & Trenggono, M. (2013). Variasi sebaran

suhu, salinitas dan klorofil terhadap jumlah tangkapan lemuru di perairan

Selat Bali saat muson tenggara. In Pertemuan Ilmiah Nasional Tahunan X

ISOI.

Rintaka, W.E., Priyono, B, & Agustiadi, T. (2015). Observasi karakteristik

perairan Selat Bali melalui pendekatan insitu dan numerik. In Bunga

Rampai Observasi Oseanografi di Indonesia. Balai Penelitian dan Observasi

Laut.

Sartimbul, A., Nakata, H., Rohadi, E., Yusuf, B., & Kadarisman, H. P. (2010).

Variation in chlorophyl-a concentration and impact on Sardinella lemuru

catches in Bali strait, Indonesia. Progress in Oceanography, 87, 168-174.

Susanto RD, Gordon, A.L., & Zheng, Q. (2001). Upwelling within the Indonesian

Seas and its relation to Monsoon and ENSO. In The Fifth IOC/WESTPAC

International Scientific Symposium.

Venkatesan, R., K. R, Kesavakumar, B., Arul Muthiah, M., Ramasundaram, S., &

Jossia, K. J. (2018). Coastal observation by moored buoy system in Indian

Region. The Journal of Ocean Technology, 13(1).

Page 90: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

BAB 5POLA MUSIM PENANGKAPAN

Sardinella lemuru DI SELAT BALI

Adi Wijaya1, Umi Zakiyah2, Abu Bakar Sambah2, dan Daduk Setyohadi2

1 Balai Riset dan Observasi Laut, KKP2 Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Brawijaya

Abstrak

Sardinella lemuru merupakan komoditas tangkapan utama di perairan

Selat Bali yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Untuk mengetahui pola

musim penangkapan Sardinella lemuru, studi ini menggunakan Indeks Musim

Penangkapan (IMP). Indeks ini menggunakan analisis data deret waktu (time series

data) dan metode rerata bergerak (moving average) dari data produksi perikanan

yang didaratkan di PPN Pengambengan dan PPP Muncar. Data yang digunakan

merupakan data produksi bulanan Sardinella lemuru dari pelabuhan perikanan

tahun 1993-2019. Analisis deret waktu dan metode rerata bergerak untuk

mengetahui kecenderungan hasil tangkapan, pola musim penangkapan, dan

pergeseran IMP dengan melihat variasi iklim menggunakan Southern Oscillation

Index (SOI). Hasil analisis trend produksi menunjukkan kecenderungan

penurunan hasil tangkap Sardinella lemuru. Pola musim penangkapan Sardinella

lemuru terjadi pada bulan Oktober-Desember dengan puncak penangkapan bulan

November dengan nilai IMP sebesar 268,77%. Sedangkan pada bulan Februari-

Agustus tidak termasuk musim penangkapan dengan nilai IMP terendah pada

bulan Juli sebesar 26,39%. Berdasarkan pola musim penangkapan Sardinella

lemuru di Selat Bali terlihat adanya pergeseran terhadap pola musim penangkapan

tahunan. Pergeseran tiap tahunnya berkaitan dengan kejadian El Nino dan La

Nina. Pada saat tahun El Nino pendaratan dari Sardinella lemuru tinggi, sedangkan

pada tahun La Nina lebih rendah. Peristiwa El Nino dan La Nina tersebut

mempengaruhi perubahan kondisi lingkungan perairan, sehingga mempengaruhi

proses rekrutmen dari Sardinella lemuru. Informasi musim penangkapan dan

variasi iklim yang mempengaruhi musim penangkapan dapat digunakan untuk

melakukan manajemen operasi penangkapan.

Kata kunci: Indeks musim penangkapan, Sardinella lemuru, El Nino, La Nina

Page 91: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

68

SUMBER DAYA LAUT DAN PESISIR PERAIRAN SELAT BALI

Pendahuluan

Mempelajari musim penangkapan sumber daya ikan di suatu perairan

sangat penting, guna mengatur dan memantau tingkat eksploitasi terhadap

sumber daya ikan di perairan. Sebagai tindakan preventif dengan mengetahui

musim penangkapan, untuk mencegah terjadinya kepunahan sumber daya ikan

akibat tindakan eksploitasi. Informasi musim penangkapan ikan ditujukan agar

mendorong kegiatan penangkapan ikan lebih efektif dan efisiensi dalam kegiatan

operasi penangkapan tanpa merusak kelestarian sumber daya ikan dan memberikan

keuntungan usaha yang optimal (Simbolon et al., 2011). Kegiatan penangkapan

ikan selama ini, masih bergantung pada keadaan alam tanpa perencanaan dan

manajemen serta target yang jelas, sehingga keuntungan dan tingkat berhasilan

usaha yang diperoleh tidak optimal. Kondisi tersebut tidak saja memberikan

kerugian dari segi ekonomis, tetapi mengancam kelestarian sumber daya ikan

yang dieksploitasi. Keadaan demikian tidak terjadi, bilamana informasi musim

penangkapan ikan diketahui untuk operasi penangkapan, sehingga mengurangi

resiko kerugian dan menjaga produktivitas terdapat sumber daya agar tetap lestari

serta berkelanjutan (Merta & Nurhakim, 2004).

Pemanfaatan sumber daya perikanan lestari diterapkan pada sumber daya

dengan status fully exploited. Jika diabaikan sumber daya perikanan menjadi over

exploited bahkan turun drastis karena tidak terkontrol tingkat eksploitasi yang

melebihi daya dukung sumber daya perikanan (Wujdi & Wudianto, 2015).

Kemampuan sumber daya ikan untuk memperbaharui diri melalui pertumbuhan

dan rekrutmen dipengaruhi oleh kondisi lingkungan disekitarnya dalam

menyediakan sumber daya makanan, persaingan antar dan inter spesies, serta

adanya predator (Purwanto, 2012).

Salah satu sumber daya perikanan di perairan Selat Bali yang mempunyai

potensi dan nilai ekonomi tinggi adalah ikan lemuru (Sardinella lemuru).

Pola musim dan daerah penangkapannya sangat erat hubungan dengan pola

migrasinya (Merta & Nurhakim, 2004). Sardinella lemuru sebagai ikan musiman,

karena keberadaan Sardinella lemuru banyak ditemukan pada bulan September-

Oktober dan puncaknya terjadi pada bulan Desember-Januari (Nurhakim &

Merta, 2004; Sartimbul et al., 2010). Sardinella lemuru umumnya tertangkap

sepanjang tahun di perairan Selat Bali, namun musim penangkapan terjadi pada

September sampai Desember (Wudianto et al., 2002; Wudianto & Wujdi, 2014).

Penyebarannya sebagian besar banyak ditemukan dan terkonsentrasi di perairan

Page 92: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

69

BAB 5Pola Musim Penangkapan Sardinella lemuru di Selat Bali

Selat Bali. Sardinella lemuru membentuk gerombolan (schooling), besaran ukuran

gerombolan dan penyebarannya sangat dipengaruhi oleh musim dan waktu (siang

atau malam hari) (Wudianto & Wujdi, 2014).

Dewasa ini terjadi kecenderungan penurunan hasil produksi penangkapan,

sehingga diperlukan pengelolaan yang baik guna mengoptimalkan pemanfaatan

sumber daya ikan yang ada. Pengelolaan sumber daya ikan dibutuhkan informasi

dasar tentang musim dan pemanfaatan sumber daya. Informasi tersebut sebagai

input dan output dalam perencanaan penangkapan ikan yang ada di Pelabuhan

Perikanan Selat Bali. Penurunan produksi hasil tangkapan Sardinella lemuru

di perairan Selat Bali, saat ini akibat terjadinya penangkapan yang berlebih

(overfishing), dilihat dari ukuran ikan yang tertangkap semakin kecil (Wudianto

et al., 2002; Wudianto & Wujdi, 2014). Kondisi lain penurunan produksi

perikanan dapat dihubungkan dengan kondisi lingkungan perairan dan variasi

iklim yang terjadi di perairan (Hendiarti et al., 2005; Rintaka et al., 2015) yang

mempengaruhi sistem endokrin ikan, sehingga menyebabkan penurunan laju

metabolisme, reproduksi dan pola ruaya (Roessig et al., 2004), serta berpengaruh

terhadap ketersediaan stok sumber daya ikan (Syahailatua 2008; Wujdi &

Wudianto, 2015).

Produksi Sardinella lemuru

Pemanfaatan sumber daya perikanan Sardinella lemuru di perairan Selat Bali

mengalami perkembangan dan peningkatan setelah diperkenalkan alat tangkap

pukat cincin (purse seine) sejak tahun 1972 hingga sekarang oleh Lembaga

Penelitian Perikanan Laut sekarang berubah menjadi Balai Penelitian Perikanan

Laut (BPPL) (Nurhakim & Merta, 2004). Sumber daya tersebut menjadi komoditas

utama perairan Selat Bali (Merta et al., 2000; Wudianto, 2001; Setyohadi 2011;

Wudianto & Wujdi 2014), dengan ditunjukkan oleh adanya pabrik pengolahan

(pengalengan, pemindangan, tepung ikan dan industri jasa cold storage), sehingga

menyebabkan peningkatan kebutuhan jumlah kapal dan alat tangkap untuk usaha

menangkap ikan (Nugraha et al., 2018).

Selama tahun 1993-2019 produksi tangkapan Sardinella lemuru di

perairan Selat Bali yang tercatat di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Muncar

dan Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Pengambengan menunjukkan

kecenderungan mengalami penurunan. Produksi tertinggi terjadi pada tahun

2007 dengan jumlah produksi 54.089 ton, terendah pada tahun 2017 dengan

jumlah produksi 58 ton, dan rerata produksi tahunan 16.013 ton per tahun.

Page 93: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

70

SUMBER DAYA LAUT DAN PESISIR PERAIRAN SELAT BALI

Pada Gambar 5.1 terlihat bahwa laju produksi tahunan Sardinella lemuru terjadi

fluktuasi. Produksi di tahun 2007 terjadi peningkatan secara drastis hingga lima

kali lipatnya. Menurut Simbolon et al., (2011) tingginya produksi yang terjadi pada

tahun 2007 menunjukkan tingkat pemanfaatan yang melebihi 100% dengan nilai

sebesar 161% dibanding tahun sebelumnya kurang dari 100%, sehingga terjadi

kelimpahan sumber daya Sardinella lemuru dikarenakan pada tahun sebelumnya

masih sedikit yang dapat dimanfaatkan. Tinggi rendahnya produksi Sardinella

lemuru di Selat Bali dipengaruhi oleh besarnya tingkat upaya penangkapan itu

sendiri, semakin besar tingkat pengupayaan, maka semakin besar hasil produksi

tangkapan (Merta & Nurhakim 2004; Simbolon et al., 2011). Akan tetapi kondisi

ini juga dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kelestarian sumber daya

Sardinella lemuru.

Kecenderungan Produksi Gambar 5.1 Sardinella lemuru selama tahun 1993-2019

(Sumber: Data Statistik Produksi Tahunan PPP Muncar dan PPN Pangambengan)

Indeks Musim Penangkapan Sardinella lemuru

Data yang digunakan untuk mengetahui indeks musim penangkapan (IMP)

Sardinella lemuru digunakan data produksi bulanan yang tercatat di PPP Muncar

dan PPN Pengambengan selama 26 tahun (1993-2019). Asumsi yang digunakan

bahwa trend produksi Sardinella lemuru bulanan baik yang ada di Muncar

dan Pengambengan adalah sama, karena nelayan dari kedua lokasi melakukan

penangkapan di Perairan Selat Bali. Analisis yang digunakan menggunakan

metode persentase rerata yaitu suatu analisis deret waktu yang dikemukakan oleh

Spigel (1961), Purwasasmita (1993), Merta & Nurhakim (2004), Simbolon et al.,

(2011).

Page 94: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

71

BAB 5Pola Musim Penangkapan Sardinella lemuru di Selat Bali

Penentuan pola musim penangkapan ini, ditentukan berdasarkan data

hasil produksi penangkapan bulanan pada kurun waktu tertentu (biasanya lebih

dari 5 tahun). Pendekatan yang digunakan menggunakan analisis deret waktu

dengan metode rerata bergerak untuk penyusunan IMP (Haluan, 2001). Analisis

untuk penentuan IMP dilakukan melalui beberapa langkah. Pertama dilakukan

perhitungan rerata produksi bulanan tiap tahun menggunakan persamaan sebagai

berikut:

dimana:

Ῡ : rerata bulanan dalam tahun ke i

Yi : produksi bulanan dalam tahun ke i

m : jumlah bulan (12 bulan),

Kedua produksi setiap bulan dibagi dengan rerata bulanan dari tahun ke i

dengan persamaan sebagai berikut:

dimana:

Yp : hasil bagi produksi bulanan dengan produksi rerata bulanan dalam

tahun ke i

Jika nilai Yp tidak ada yang terlihat ekstrim, maka dapat dilakukan perhitungan

nilai tengah pada setiap bulannya berdasarkan jumlah tahun yang ada:

dimana:

t : jumlah tahun data yang dianalisis.

Jika semua nilai mean bulanan tersebut dijumlahkan nilainya sama dengan

1.200%, maka nilai mean tersebut sama dengan indeks musim yang dimaksud.

Akan tetapi jika jumlah nilai mean tidak sama dengan 1.200% akan dilakukan

penyesuaian yang meliputi:

Page 95: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

72

SUMBER DAYA LAUT DAN PESISIR PERAIRAN SELAT BALI

Jika jumlah nilai 1. mean sama dengan X dimana nilai X > 1.200, maka dilakukan

penyesuaian dengan mengalikan setiap nilai mean dengan 1.200/X, sehingga

nilai mean yang sudah disesuaikan jumlahnya akan menjadi 1.200.

Jika nilai X < 1.200, maka masing-masing nilai 2. mean dikalikan dengan

1.200/X, nilai mean yang baru jumlahnya akan menjadi 1200.

Jika terdapat data Yp yang ekstrim, maka tidak dapat menggunakan nilai dari

mean, tetapi menggunakan nilai median. Sehingga jika nilai median dijumlahkan

akan diperoleh data sama dengan 1.200, dimana nilai median tersebut sama dengan

nilai indeks musim. Tetapi jika terdapat jumlah tidak sama dengan 1.200, akan

dilakukan penyesuaian mengikuti aturan di atas, atau dapat menggunakan nilai

mean dengan menghilangkan data yang ekstrim terlebih dahulu. Setelah dilakukan

analisis tersebut dilakukan pengelompokan terhadap nilai indeks setiap bulan

atau musimnya, jika nilai hasil penyesuaian nilai mean/mediannya lebih besar dari

100% dikelompokan pada musim ikan dan jika di bawah 100% dikategorikan

tidak musim ikan, serta jika terdapat nilainya 100% dikelompokkan keadaan

normal (Merta & Nurhakim, 2004). Berdasarkan analisis terhadap data produksi

selama 26 tahun diketahui puncak musim penangkapan Sardinella lemuru di Selat

Bali yang diindikasikan dengan nilai IMP.

Kecenderungan pola dari musim penangkapan Sardinella lemuru di Selat Bali,

yang menunjukkan musim penangkapannya, yaitu pada bulan-bulan dengan nilai

IMP di atas nilai IMP rerata bulanan. Untuk nilai rerata nilai IMP berdasarkan

perhitungan diketahui 100%. Berdasarkan hasil analisis musim penangkapan

terjadi pada saat musim peralihan dari musim timur ke barat (Oktober-

Desember) dengan puncak musim terjadi di bulan Nopember dengan nilai IMP

sebesar 268.77%. Musim penangkapan terendah terjadi pada musim timur

dengan nilai IMP sebesar 26.39% di bulan Juli. Gambar 5.2 memperlihatkan

pola umum musim penangkapan Sardinella lemuru di Selat Bali, dimana musim

penangkapannya terjadi pada bulan Oktober sampai dengan Desember, sedangkan

pada bulan Januari-Agustus bukan termasuk musim penangkapan. Pola musim

penangkapan Sardinella lemuru secara umum sejalan dengan yang dihasilkan

oleh Merta & Nurhakim 2004; Sartimbul et al., 2010; Simbolon et al., 2011;

Wudianto & Wujdi 2014.

Page 96: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

73

BAB 5Pola Musim Penangkapan Sardinella lemuru di Selat Bali

IMP Gambar 5.2 Sardinella lemuru di Perairan Selat Bali dari hasil analisis data

produksi bulanan tahun 1993-2019

Pola Musim Penangkapan Sardinella lemuru

Musim penangkapan mempengaruhi kegiatan operasi penangkapan. Di

Indonesia ada dua jenis yaitu musim barat yang terjadi pada bulan November-

April dan musim timur yang terjadi pada bulan Mei-Oktober. Pada saat musim

barat sering terjadi hujan dengan angin kencang disertai ombak besar, sehingga

banyak nelayan tidak melaut. Sedangkan pada musim timur terjadi sedikit hujan

dan keadaan laut lebih tenang. Kondisi ini biasanya menjadi puncak ikan yang

tertangkap (Nontji, 1987). Pola umum dari musim penangkapan dari IMP juga

mengikuti musim yang ada di Indonesia, akan tetapi setiap tahunnya mengalami

pergeseran. Sehingga perlu dilakukan analisis terhadap pergeseran setiap tahunnya

dengan melihat variasi iklim yang terjadi.

Variasi iklim mempengaruhi kondisi lingkungan yang menyebabkan

kegagalan dalam proses rekrutmen Sardinella lemuru di Selat Bali. Southern

Oscillation Index (SOI) merupakan indeks untuk melihat variasi iklim secara

global, yang diakibatkan oleh interaksi laut dan atmosfer di Samudera Pasifik

Ekuator. Akibat dari variasi iklim, produksi Sardinella lemuru di Selat Bali sangat

berfluktuasi dengan tiga puncak produksi pada tahun 1998, 2007, 2010 dan

terjadi perubahan pola musim penangkapan di tahun 1998, 2001, 2004, 2005,

2007, 2010, dan 2016 (Gambar 5.3). Perubahan pola umum musim Sardinella

lemuru di Selat Bali terjadi, jika fluktuasi produksi sangat tajam dipengaruhi oleh

perubahan kondisi lingkungan (Merta & Nurhakim 2004).

Page 97: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

74

SUMBER DAYA LAUT DAN PESISIR PERAIRAN SELAT BALI

Pola IMP, SOI dan produksi Gambar 5.3 Sardinella lemuru tahun 1993-2019

berdasarkan data produksi bulanan

Dampak nyata perubahan kondisi lingkungan dari variasi iklim pada tahun-

tahun El Nino (indeks negatif SOI) menghasilkan pendaratan ikan yang sangat

tinggi dan tahun La Nina (indeks positif SOI) menghasilkan pendaratan ikan yang

rendah (Wudianto & Wujdi 2014; Nugraha et al., 2018). Tingginya produksi

Sardinella lemuru di tahun El Nino erat hubungannya dengan peristiwa upwelling

yang kuat menyebabkan produksi primer dan sekunder tinggi (Susanto & Marra,

2005; Susanto et al., 2006; Sartimbul et al., 2010) yang diperlukan untuk proses

rekrutmen dan kelangsungan hidup dari Sardinella lemuru. Oleh karena itu,

dalam menentukan indeks musim penangkapan Sardinella lemuru memerlukan

deret data yang cukup panjang untuk mempelajari fluktuasi dari data produksi

dan variasi iklim yang mempengaruhi kondisi lingkungan (Ekawaty & Jatmiko,

2017).

Manajemen Penangkapan Sardinella lemuru

Sebagai upaya pengoptimalan penangkapan dengan pengaturan penutupan

daerah penangkapan Sardinella lemuru pada musim tertentu. Hal ini dilakukan

untuk memberi kesempatan ikan tumbuh menjadi besar dan biomassa di laut

bertambah (Wudianto & Wujdi 2014). Bertambahnya biomassa memberi peluang

kapal untuk meningkatkan hasil tangkapan tanpa harus menambah armada. Pada

saat penutupan penangkapan dapat melakukan penangkapan dengan target ikan

lainnya atau perluasan jelajah operasi penangkapan (Wudianto et al., 2002).

Dengan mengetahui musim Sardinella lemuru, perencanaan dan pengaturan

penangkapan, dapat ditingkatkan pada musim produksi ikan dan dikurangi pada

musim paceklik. Melalui informasi musim penangkapan dan variasi iklim dapat

Page 98: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

75

BAB 5Pola Musim Penangkapan Sardinella lemuru di Selat Bali

membantu menentukan tingkat keberhasilan dan peningkatan efisiensi upaya

penangkapan dan menurunkan resiko kegagalan serta tetap memperhatikan siklus

hidup Sardinella lemuru agar populasinya tetap lestari.

Kesimpulan

Sardinella lemuru di perairan Selat Bali mempunyai pola umum musim

penangkapan bulan Oktober sampai dengan Desember. Pergeseran pola umum

musim penangkapan akibat dari adanya variasi iklim, sehingga menyebabkan

kegagalan rekrutmen. Kombinasi informasi pola musim penangkapan dan variasi

iklim tentang terjadinya El Nino dan La Nina sangat diperlukan. Sehingga

dalam manajemen penangkapan Sardinella lemuru perlu memperhatikan musim

penangkapan dan variasi iklim untuk mendukung kelestarian sumber daya.

Daftar RujukanEkawaty, R., & Jatmiko, I. (2017). Catch per unit effort (CPUE) and Fishing

Season Index (FSI) of Bali Sardinella (Sardinella lemuru Bleeker 1853) in

Pangambengan Port Bali Indonesia. In Proceedings IFSFA (pp. 26–30).

Haluan, J. (2001). Analisis potensi dan musim penangkapan ikan tenggiri

(Scomberomorus sp) di Pangandaran, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. In

Buletin PSP Volume x No. 2 (73-76). Buletin PSP, 10(2), 73-76.

Hendiarti, N., Suwarso, E. Aldrian, K. Amri, R. Andiastuti, S.I. Sachoemar, &

Wahyono, I.B. (2005). Seasonal variation of pelagic fish catch around Java.

Oceanography, 18(4), 112–123.

Merta, I.G.S., Widana, K., Yunizal., Basuki, R. (2000). Status of the lemuru

fishery in Bali Strait Its development and prospect. In The workshop on

the Fishery and Management of Bali Sardinella (Sardinella lemuru) in Bali

Strait (pp. 1-42).

Merta, I. G. S., & Nurhakim, S. (2004). Musim penangkapan ikan lemuru

(Sardinella lemuru, Bleeker 1853) di Perairan Selat Bali. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, 10(6), 75–84.

Nontji, A., (1987). Laut Nusantara. Djambatan.

Nugraha, S. W., Ghofar, A., & S, S. W. (2018). Monitoring perikanan lemuru di

perairan Selat Bali. Journal of Maquares, 7(1), 130–140.

Nurhakim, S., & Merta, I. G. S. (2004). Perkembangan dan pengelolaan perikanan

lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853) di Selat Bali. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, 10(4), 55–64.

Page 99: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

76

SUMBER DAYA LAUT DAN PESISIR PERAIRAN SELAT BALI

Purwanto. (2012). Poduktivitas kapal pukat cincin pada perikanan lemuru yang

beroperasi pada kondisi iklim yang berubah di Selat Bali. Jurnal Agromet, 18(3), 175–186.

Purwasamita, R. (1993). Musim penangkapan ikan cakalang (Katsowonus pelamis) dengan kapal-kapal huhate dan pengaruhnya terhadap produksi di perairan

sekitar Sorong. Jurnal Penelitian Perikanan Laut, (79): 1-13.

Rintaka, W.E., & Susilo, E. (2015). Analisis model suhu, klorofil-a, net primary

productivity (NPP) kaitannya terhadap jumlah tangkapan lemuru

(Sardinella lemuru) di perairan selat Bali. In Prosiding Simposium Nasional

II Kelautan dan Perikanan (pp. 407-416). Fakultas Ilmu Kelautan dan

Perikanan, Universitas Hasanudin.

Roessig, J.M., Woodley, C.M., Cech Jr, J.J., & Hansen, L.J. (2004). Effects of

global climate change onmarine and estuarine fishes and fisheries. Reviews in Fish Biology and Fisheries, 14, 251-275.

Sartimbul, A., Nakata, H., Rohadi, E., Yusuf, B. & Kadarisman, H.P. (2010).

Variations in chlorophyll-a concentration and the impact on Sardinella lemuru catches in Bali Strait, Indonesia. Progress in Oceanography, 87(1-4),

168-174.

Setyohadi, D. (2011). Pola distribusi suhu permukaan laut dihubungkan dengan

kepadatan dan sebaran ikan lemuru (Sardinella lemuru) hasil tangkapan

purse seine di Selat Bali. J-PAL, 1(2), 119 123.

Simbolon, D., Wiryawan, B., Wahyuningrum, P. I., & Wahyudi, H. (2011).

Tingkat pemanfaatan dan pola musim penangkapan lemuru di perairan

Selat Bali. Buletin PSP, XIX(3), 293–307.

Spiegel, M. R. (1961). Theory and problems of statistics. Schaum’s Outline Series. McGraw Hill Book co.

Susanto, R.D., & Marra, J. (2005). The effect of 1997/98 El-Nino on chlorophyll

a variability along the southern coasts of Java and Sumatra. Journal Oceanography, 18(4), 124-127.

Susanto,R.D., Moore, T.S., & Marra, J. (2006). Ocean color variability in the

Indonesian Seas during the SeaWiFS era. An Electronic Journal of the Earth Sciences, 7(5), 1-16.

Syahailatua, A. (2008). Dampak perubahan iklim terhadap perikanan. Oseana.

33(2), 25–32.

Wudianto. (2001). Analisis sebaran dan kelimpahan ikan lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853) di Perairan Selat Bali; Kaitannya dengan Optimasi

Penangkapan. Disertasi. Program Pascasarjana IPB. Bogor.

Page 100: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

77

BAB 5Pola Musim Penangkapan Sardinella lemuru di Selat Bali

Wudianto, I.G.S. Merta, & D.R. Monintja. (2002). Ukuran ikan lemuru

(Sardinella lemuru Bleeker 1853) di perairan selat bali berdasarkan waktu

dan daerah penangkapan. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Edisi Sumber daya dan Penangkapan, 8(1): 103-111.

Wudianto, & Wujdi, A. (2014). Variasi ukuran ikan lemuru (Sardinella lemuru

Bleeker, 1853) secara temporal dan spasial di perairan Selat Bali. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, 20(1), 9–17.

Wujdi, A & Wudianto. (2015). Status stok sumber daya ikan lemuru (Sardinella lemuru Bleeker, 1853) di perairan Selat Bali. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, 21(4), 253-260.

Page 101: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga
Page 102: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

BAB 6PENYEDIAAN INFORMASI DAERAH

PENANGKAPAN IKAN PELAGIS DI SELAT BALI

Eko Susilo1, Komang Iwan Suniada1, dan Teja Arief Wibawa1

1 Balai Riset dan Observasi Laut, KKP

Abstrak

Data dan informasi daerah penangkapan ikan pelagis (DPI) sangat diperlukan

guna mendukung operasional penangkapan ikan di perairan Indonesia termasuk

Selat Bali. Sehubungan dengan hal tersebut, Balai Riset dan Observasi Laut

(BROL) telah menyediakan dua produk peta prediksi daerah penangkapan ikan

pelagis di Selat Bali yaitu Peta Prakiraan Daerah Penangkapan Ikan (PPDPI)

Seri Pelabuhan Pengambengan dan Muncar serta Peta Lokasi Penangkapan

Ikan (Pelikan) Lemuru. Kedua produk tersebut disusun melalui pendekatan

teknologi satelit penginderaan jauh. Teknologi satelit memiliki kemampuan

merekam informasi permukaan bumi secara cepat dengan biaya yang relatif

murah. Informasi konsentrasi klorofil-a dan suhu permukaan laut yang diperoleh

dari data satelit merupakan parameter kunci yang digunakan untuk penentuan

prediksi daerah penangkapan ikan pelagis. Penyediaan data dan informasi PPDPI

dan Pelikan Lemuru ini diharapkan dapat membantu nelayan dalam operasional

penangkapan ikan di perairan Selat Bali.

Kata Kunci: Peta Prakiraan Daerah Penangkapan Ikan, Ikan Pelagis, Pelikan

Lemuru

Pendahuluan

Selat Bali dikenal sebagai salah satu sentra perikanan pelagis di Indonesia sejak

lama. Perikanan pelagis tidak hanya sebagai sumber protein tetapi telah terbukti

berperan penting dalam menopang perekonomian masyarakat melalui penyediaan

lapangan kerja dan pengembangan industri pengolahan ikan. Sumber daya pelagis

di Selat Bali terdiri dari beragam jenis ikan meliputi lemuru (Sardinella lemuru),

tongkol (Euthynnus sp.), layang (Decapterus spp), slengseng (Scomber australasicus),

Page 103: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

80

SUMBER DAYA LAUT DAN PESISIR PERAIRAN SELAT BALI

banyar (Rastreligger sp.), dan tembang (Sardinella fimbriata) (Sartimbul et al.,

2016). Lemuru merupakan hasil tangkapan terbesar yang didaratkan di pelabuhan.

Produksi ikan lemuru berkontribusi 80-90% dari total produksi perikanan pelagis

di Selat Bali setiap tahunnya (Burhanuddin et al., 1984; Sartimbul et al., 2016).

Kegiatan penangkapan ikan pelagis di Selat Bali dilakukan dengan teknik

one day fishing. Penangkapan ikan umumnya dilakukan pada malam hari saja.

Nelayan terbiasa berangkat dari pelabuhan pada siang/sore hari dan kembali pagi

harinya untuk mendaratkan hasil tangkapan di pelabuhan. Adapun alat tangkap

yang lazim digunakan mencakup pukat cincin, jaring insang, payang, bagan,

dan pancing ulur (Wudianto et al., 2013). Kapasitas penangkapan pukat cincin

yang tinggi menjadi alasan nelayan menggunakan alat tangkap ini (Himelda,

2013). Terdapat 2 tipe pukat cincin yang beroperasi di perairan Selat Bali yaitu

slerek dan tubanan. Perbedaan keduanya terletak pada sistem pengoperasian alat

tangkap. Proses penebaran (setting) dan pengangkatan (hauling) jaring pada slerek

dilakukan secara manual oleh manusia dengan sistem dua kapal. Sedangkan pada

tubanan dilakukan menggunakan mesin gardan (winch) dengan satu kapal. Slerek

banyak dioperasikan oleh nelayan di Bali, sedangkan tubanan hanya dioperasikan

oleh nelayan di Jawa Timur yang berpangkalan di Muncar.

Penangkapan ikan yang kurang efektif dan efisien masih lazim dipraktekan

di Selat Bali. Nelayan masih mengandalkan pengalaman dan tanda-tanda alam

untuk menentukkan waktu maupun lokasi penangkapan ikan. Pola sebaran daerah

penangkapan ikan pelagis (DPI) dipelajari oleh nelayan secara turun temurun dari

generasi sebelumnya. Namun hal ini menjadi salah satu faktor penyebab tingkat

keberhasilan nelayan rendah, khususnya pada waktu paceklik ikan. Nelayan

sering kali tidak mendapatkan ikan dan harus berpindah-pindah lokasi sehingga

menyebabkan pemborosan bahan bakar minyak (Wiyono, 2012).

Pemanfaatan data citra satelit di bidang kelautan dan perikanan sangat

beragam, tidak terkecuali untuk mendukung kegiatan perikanan tangkap.

Teknologi satelit memiliki kemampuan merekam informasi permukaan laut

secara cepat dengan biaya yang relatif murah. Kondisi lingkungan laut yang

dapat dipantau melalui satelit mencakup kesuburan perairan, suhu permukaan

laut, tinggi muka laut, dan kekeruhan (IOCCG, 2018). Satelit juga memiliki

kemampuan mendeteksi fenomena laut yang seringkali dikaitkan dengan kegiatan

penangkapan ikan seperti front, eddies, ledakan fitoplankton (algae bloom), hingga

upwelling (Robinson, 2010).

Page 104: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

81

BAB 6Penyediaan Informasi Daerah Potensial Penangkapan Ikan Pelagis di Selat Bali

Pendugaan daerah penangkapan ikan merupakan aplikasi yang paling

popular dalam bidang penangkapan ikan. Suhu laut dan kesuburan perairan

umum digunakan untuk sebagai parameter kunci dalam pendugaan prediksi DPI

(IOCCG, 2009). Gerombolan ikan biasanya dijumpai pada daerah pertemuan

antara dua massa air yang memiliki perbedaan front suhu (Podestá et al., 1993;

Worm et al., 2005). Ikan juga sering berkumpul pada daerah yang subur dan

tersedia sumber makanan yang melimpah (Hendiarti et al., 2005; Hidayat et

al., 2019). Pengetahuan mengenai sebaran spasial dan temporal front suhu dan

kesuburan perairan dari suatu spesies ikan merupakan pondasi dasar dalam

melakukan pendugaan DPI di Indonesia (Jatisworo & Murdimanto, 2013).

Pendugaan DPI dapat dilakukan melalui berbagai pendekatan ilmiah. Metode

sistem informasi geografis (SIG) sering digunakan untuk melakukan prediksi

daerah penangkapan ikan (Valavanis, 2002; Valavanis et al., 2005; Giannoulaki

et al., 2016). Namun demikian, umumnya hubungan antara kelimpahan sumber

daya perikanan dengan dinamika faktor lingkungannya tidak linear sehingga

pendekatan statistik lebih berkembang dan banyak digunakan, salah satunya

generalized additive model (GAMs) (Zuur et al., 2009). Pendekatan ini telah

digunakan untuk pemodelan habitat ikan berdasarkan spesies tertentu seperti

tuna (Setiawati et al., 2015), cakalang (Zainuddin et al., 2013; Zainuddin et al.,

2019), dan lemuru (Susilo & Wibawa, 2016).

Sehubungan dengan hal tersebut, Balai Riset dan Observasi Laut (BROL)

mendapatkan mandat dan menghasilkan sejumlah inovasi terkait pendugaan

DPI di perairan Indonesia. BROL telah menyediakan dua produk peta prediksi

DPI di Selat Bali yaitu Peta Prakiraan Daerah Penangkapan Ikan (PPDPI) Seri

Pelabuhan Pengambengan dan Muncar serta Peta Lokasi Penangkapan Ikan

(Pelikan) Lemuru. Penyusunan informasi ini dilakukan secara kontinu, dengan

harapan peta ini dapat membantu operasional penangkapan ikan sehingga dapat

meningkatkan hasil tangkapan para nelayan dan membuat kegiatan penangkapan

ikan lebih efektif dan efisien.

Peta Prakiraan Daerah Penangkapan Ikan

PPDPI Seri Pelabuhan Pengambengan dan Muncar memberikan informasi

prediksi DPI di perairan Selat Bali. PPDPI disusun dan disebarkan kepada

pengguna setiap hari. Penyusunan PPDPI ini didasarkan pada analisis front

suhu dan kesuburan perairan. Front suhu merupakan fenomena osenografi yang

Page 105: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

82

SUMBER DAYA LAUT DAN PESISIR PERAIRAN SELAT BALI

ditandai oleh pertemuan massa air yang memiliki suhu yang berbeda (Robinson,

2010). Identifikasi front suhu dilakukan dilakukan secara otomatis mengadopsi

metode Single Image Edge Detection (Cayula & Cornillon, 1992). Adapun data

suhu permukaan laut bersumber dari hasil perekaman sensor Moderate Resolution

Imaging Spectroradiometer (MODIS) pada satelit Aqua/Terra dan sensor Visible

Infrared Imaging Radiometer Suite (VIIRS) pada satelit Suomi-NPP. Kedua data

citra satelit memiliki resoulisi temporal harian dan resolusi spasial 1 km. Hasil

perhitungan histogram menunjukkan variasi beda suhu harian yang kemudian

digunakan dalam penentuan threshold SIED (Jatisworo & Murdimanto, 2013).

Sebaran spasial dan temporal DPI di Selat Bali bervariasi sepanjang tahun

2018-2019 (Gambar 6.1 dan Gambar 6.2). Memasuki periode musim peralihan

I (Maret-Mei/MAM) sejumlah DPI nampak tersebar di dalam selat. Kepadatan

DPI semakin meningkat pada periode musim timur (Juli – Agustus/JJA). Hasil

prediksi menunjukkan DPI menyebar hampir di seluruh Selat Bali, dari bagian

utara hingga ke mulut selat di bagian selatan. Kepadatan tertinggi terlihat di

bagian tengah selat hingga bagian selatan selat. Pada bagian tengah selat terdapat

gunung laut yang dangkal dan menjadi habitat bagi ikan pelagis. Lokasi ini

sering menjadi tujuan penangkapan ikan oleh nelayan baik dari Pulau Bali dan

Pulau Jawa. Selain di dalam selat juga terprediksi DPI di bagian selatan Pulau

Jawa, khususnya sekitar perairan Taman Nasional Alas Purwo. Daerah ini oleh

nelayan dikenal dengan sebutan Tanjung Grajakan. Di sisi selatan Pulau Bali,

yang lebih dikenal nelayan dengan sebutan Bukit, juga menunjukan kepadatan

DPI yang tinggi sejak Maret hingga Nopember . Peningkatan kepadatan DPI

selaras dengan proses upwelling yang terjadi di perairan Samudra Hindia selatan

Jawa Bali. Arus laut membawa massa air yang dingin tersebut memasuki perairan

Selat Bali dan terjadilah pertemuan massa hangat dengan dingin tersebut. Proses

pertemuan kedua massa air ini menyebakan terbentuknya front suhu di Selat

Bali. Selain membawa masa air dingin, proses upwelling juga menyebabkan

pengkayaan sumber makanan untuk berbagai jenis biota laut, baik larva, juvenile,

maupun ikan dewasa. Melimpahnya sumber makanan pada ekosistem laut dapat

direpresentasikan dengan tingginya konsentrasi klorofil-a.

Seiring berjalannya waktu kepadatan DPI cenderung berkurang. Pada musim

peralihan II (September-Nopember /SON) DPI di dalam selat mulai menghilang

dan mengalami pergeseran ke arah selatan menuju laut lepas. Puncaknya pada

musim barat (Desember-Februari/DJF) sebaran DPI nyaris tidak terprediksi.

Berkurangnya jumlah DPI pada periode ini disebabkan oleh kondisi lingkungan

Page 106: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

83

BAB 6Penyediaan Informasi Daerah Potensial Penangkapan Ikan Pelagis di Selat Bali

laut yang kurang sesuai dan tingginya tutupan awan pada data citra. Pada periode

ini wilayah Indonesia, termasuk Selat Bali dan sekitarnya memasuki musim

penghujan. Tingginya liputan awan menyebabkan proses prediksi tidak dapat

dilakukan dengan optimal.

Sebaran spasial dan temporal prediksi daerah penangkapan ikan di Selat Gambar 6.1

Bali tahun 2018

Sebaran spasial dan temporal prediksi daerah penangkapan ikan di Selat Gambar 6.2

Bali tahun 2019

Page 107: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

84

SUMBER DAYA LAUT DAN PESISIR PERAIRAN SELAT BALI

Pelikan Lemuru

Pelikan Lemuru memberikan informasi prediksi daerah penangkapan

ikan lemuru di perairan Selat Bali dan sekitarnya. Pelikan Lemuru disusun

dan disebarkan kepada pengguna setiap hari. Penyusunan Pelikan Lemuru ini

didasarkan pada prediksi harian kelimpahan zooplankton di perairan Selat Bali

yang merupakan makanan utama ikan lemuru. Analisis prediksi kelimpahan

zooplankton dilakukan dengan pendekatan stastistik generalized additive models

(GAMs) berdasarkan 3 variabel lingkungan laut yaitu suhu permukaan laut,

konsentrasi klorofil-a, dan photoshynthetically available radiation. Adapun variabel

lingkungan yang digunakan merupakan hasil perekaman sensor MODIS pada

satelit Aqua/Terra dan sensor VIIRS pada satelit Suomi-NPP yang memiliki

resolusi spasial 1 km (Susilo & Wibawa, 2016). Hasil analisis kemudian dikonversi

menjadi nilai peluang yang menunjukkan tinggi rendahnya peluang penangkapan

ikan lemuru di Selat Bali.

Sebaran spasial dan temporal prediksi lokasi penangkapan ikan lemuru di Gambar 6.3

Selat Bali tahun 2018

Page 108: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

85

BAB 6Penyediaan Informasi Daerah Potensial Penangkapan Ikan Pelagis di Selat Bali

Sebaran spasial dan temporal prediksi lokasi penangkapan ikan lemuru di Gambar 6.4

Selat Bali tahun 2019

Sebaran spasial dan temporal Pelikan Lemuru bervariasi sepanjang tahun

2018-2019, sesuai dengan perubahan pola musim (Gambar 6.3 dan 6.4). Hasil

prediksi menunjukkan potensi ikan pada tahun 2018 cenderung lebih tinggi

dibandingkan pada tahun 2019. Memasuki periode musim timur tahun 2018,

potensi ikan lemuru mulai nampak di bagian selatan Selat Bali. Proses upwelling

memicu pertumbuhan fitoplankton secara masif yang secara simultan akan

memicu pertumbuhan zooplankton dan menjadi daya tarik bagi ikan lemuru

untuk berkumpul di perairan Selat Bali. Tingginya potensi ikan semakin menyebar

di seluruh perairan Bali dan mencapai puncaknya pada periode bulan September

– Nopember. Setidaknya terprediksi 3 lokasi utama tempat berkumpulnya ikan di

pesisir selat bagian barat yaitu di sekitar Muncar, Teluk Sengrong, dan Alas Purwo.

Sementara di pesisir bagian timur terprediksi 2 lokasi yaitu di Candi Kusuma dan

Pulukan. Memasuki bulan Desember terlihat potensi ikan yang tinggi di sekitar

Uluwatu. Terjadi pola sebaran spasial potensi ikan lemuru pada tahun 2019.

Potensi ikan cenderung rendah hingga sedang. Potensi ikan yang tinggi masih

Page 109: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

86

SUMBER DAYA LAUT DAN PESISIR PERAIRAN SELAT BALI

terlihat di sekitar Muncar, namun memasuki bulan September tidak terlihat

potensi ikan yang tinggi di perairan Selat Bali. Pergeseran musim penangkapan

tersebut diduga dipengaruhi oleh kondisi laut terutama perubahan lingkungan

global seperti El Nino dan La Nina. Sedangkan di Selat Badung menunjukkan

konsistensi berdasarkan hasil prediksi pada periode ini. Potensi ikan yang tinggi

terprediksi baik pada tahun 2018 maupun 2019. Hal ini diperkuat dengan

beberapa informasi di lapangan yang menyampaikan bahwa nelayan melakukan

penangkapan ikan hingga ke perairan Selat Bandung untuk menangkap ikan

tongkol.

Akses Informasi

PPDPI dan Pelikan Lemuru dapat diakses melalui berbagai media. BROL

telah menyediakan beberapa saluran untuk memudahkan pengguna mengakses

kedua produk tersebut meliputi:

Laman Sistem Prediksi Kelautan

Sistem Prediksi Kelautan (SIDIK) adalah sebuah sistem informasi yang

menampilkan data-data dan informasi hasil riset dan observasi yang telah

dilakukan oleh BROL secara daring melalui tautan http://www.bpol.litbang.kkp.

go.id/sidik. Pengguna diharuskan melakukan registrasi terlebih dahulu sebelum

mendapat akses atas informasi PPDPI dan Pelikan Lemuru (Gambar 6.5).

Tampilan muka laman SIDIKGambar 6.5

Page 110: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

87

BAB 6Penyediaan Informasi Daerah Potensial Penangkapan Ikan Pelagis di Selat Bali

Aplikasi Laut Nusantara (ALN)

Bertepatan dengan kegiatan Inovasi Bahari Tahun 2018, BROL bersama

PT XL Axiata membagikan smartphone dan mensosialisasikan ALN kepada

130 orang nelayan dari desa Perancak, Air Kuning, dan Pengambengan. ALN

mengintegrasikan semua informasi dalam satu genggaman meliputi prediksi daerah

penangkapan ikan, kondisi angin dan gelombang, harga ikan, serta keamanan laut

yang disajikan dalam aplikasi android (Gambar 6.6). Nelayan bisa menentukan

secara mandiri lokasi penangkapan ikan terdekat, menghitung berapa kebutuhan

BBM, serta memperhitungkan kondisi cuaca dan gelombang saat bekerja di

laut. Melalui ALN, nelayan tradisional kini semakin mudah dalam menangkap

ikan di laut. Pengguna diharuskan melakukan registrasi terlebih dahulu sebelum

mendapat akses atas informasi.

Penyampaian informasi pada ALNGambar 6.6

WhatsApp Group Chat (WAG)

BROL bekerja sama dengan sejumlah mitra melakukan pembinaan terhadap

2 kelompok nelayan di Selat Bali. WAG Nelayan Cerdas Pengambengan dikelola

BROL bekerja sama dengan PPN Pengambengan dan Stasiun Kilmatologi Kelas

II Jembrana (Gambar 6.7). Sebanyak 74 orang tergabung dalam wadah ini yang

terdiri dari nelayan, penyuluh, perwakilan pelabuhan dan BMKG. Sementara

WAG Nelayan Cerdas Selat Bali mengelola 14 nelayan di PPP Muncar, Kabupaten

Banyuwangi.

Page 111: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

88

SUMBER DAYA LAUT DAN PESISIR PERAIRAN SELAT BALI

Penyampaian informasi melalui WhatsApp Group ChatGambar 6.7

Pengembangan Ke Depan

Pertama, penyediaan data citra satelit yang bebas awan (free cloud data) sebagai

data dasar dalam penyusunan PPDPI dan Pelikan Lemuru. Perairan Indonesia,

termasuk Selat Bali, berada di daerah tropis yang berimbas pada tingginya

cakupan awan pada data citra Aqua/Terra MODIS dan Suomi SNPP VIIRS. Hal

ini menyebabkan informasi PPDPI dan Pelikan Lemuru tidak dapat disampaikan

kepada pengguna secara komprehensif.

Kedua, penyusunan informasi Pelikan untuk jenis ikan lainnya. Selain lemuru,

Selat Bali juga memiliki sumber daya ikan tongkol dan layang yang menjadi target

penangkapan oleh nelayan. Namun hingga saat ini, BROL baru menghasilkan

prediksi untuk ikan lemuru. Untuk itu perlu upaya pengumpulan informasi dari

nelayan mengenai kegiatan penangkapan kedua jenis ikan tersebut sebagai dasar

dalam pengembangan prediksi daerah penangkapan ke depannya.

Kesimpulan

PPDPI dan Pelikan Lemuru secara nyata telah digunakan oleh nelayan,

khususnya di perairan Selat Bali. Nelayan semakin dimudahkan untuk mengakses

informasi prediksi daerah penangkapan ikan, terutamanya ALN dan WAG.

Penyediaan data oseanografi bebas awan berbasis teknologi satelit diperlukan

untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas hasil prediksi. Serta penyediaan

pelikan ikan lainnya perlu dikembangkan mengingat Selat Bali memiliki sumber

daya ikan bernilai ekonomis lainnya seperti ikan tongkol dan layang.

Page 112: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

89

BAB 6Penyediaan Informasi Daerah Potensial Penangkapan Ikan Pelagis di Selat Bali

Daftar RujukanArdianto, R., Setiawan, A., Hidayat, J.J., & Zaky, A.R. (2014). Development of

an automated processing system for potential fishing zone forecast. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 54.

Bellido, J., Brown, A., Valavanis, V., Giráldez, A., Pierce, G., Iglesias, M., &

Palialexis, A. (2008). Identifying essential fish habitat for small pelagic

species in Spanish Mediterranean waters. Hydrobiologia, 612(1), 171-184.

Burhanuddin, Hutomo. M., Martosewojo, S., & Moeljanto, R. (1984). Sumber Daya Ikan Lemuru. Jakarta: LIPI.

Cayula, J.F., & P. Cornillon. (1992). Edge detection algorithm for SST images.

Journal of Atmospheric and Oceanic Technology, 9(1), 67-80.

Giannoulaki, M., Markoglou, E., Valavanis, V.D., Alexiadou, P., Cucknell, A., &

Frantzis, A. (2016). Linking small pelagic fish and cetacean distribution to

model suitable habitat for coastal dolphin species, Delphinus delphis and

Tursiops truncatus, in the Greek Seas (Eastern Mediterranean). Aquatic Conservation: Marine and Freshwater Ecosystems, 27(2), 436-451.

Hendiarti, N., Suwarso, Aldrian, E., Amri, K., Andiastuti, R., Sachoemar, S.I., &

Wahyono, I.B. (2005). Seasonal variation of pelagic fish catch around Java.

Oceanography, 18(4), 112-123.

Hidayat, R., Zainuddin, M., Putri A.R.S., & Safruddin. (2019). Skipjack tuna

(Katsuwonus pelamis) catches in relation to chlorophyll-a front in Bone Gulf

during the southeast monsoon. AACL Bioflux, 12(1), 209-218.

Himelda. (2013). Model keberlanjutan pengelolaan perikanan lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853) di Selat Bali. (Sekolah Pascasarjana), Institut Pertanian

Bogor.

IOCCG. (2018). Earth observations in support of global water quality monitoring

(S. Greb, A. Dekker & C. Binding Eds. Vol. 17). Canada: International

Ocean Colour Coordinating Group.

IOCCG. (2009). Remote sensing in Fisheries and aquaculture. In Forget, M.-H.,

Stuart, V. and Platt, T. (eds.), Reports of the International Ocean-Colour

Coordinating Group, No. 8, IOCCG, Dartmouth, Canada.

Jatisworo, D., & Murdimanto, A. (2013). Identifikasi thermal front di Selat

Makassar dan Laut Banda. In Prosiding Simposium Nasional Sains

Geoinformasi - III 2013. PUSPICS Fakultas Geografi UGM.

Podestá, G.P., Browder, J.A., & Hoey, J.J. (1993). Exploring the association

between swordfish catch rates and thermal fronts on U.S. longline grounds

in the western North Atlantic. Continental Shelf Research, 13(2–3), 253-

277.

Page 113: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

90

SUMBER DAYA LAUT DAN PESISIR PERAIRAN SELAT BALI

Rintaka, W.E., Susilo, E., & Hastuti, A.W. (2015). Pengaruh in-direct upwelling

terhadap jumlah tangkapan lemuru di perairan Selat Bali. In Prosiding

Seminar Nasional Perikanan dan Kelautan V. Universitas Brawijaya.

Robinson, I.S. (2010). Discovering the ocean from space: the unique applications of satellite oceanography. UK: Springer-Verlag Berlin Heidelberg.

Sartimbul, A., Rohadi, E., Yona, D., Yuli, E., Sambah, A.B., & Arleston, J. (2016).

Change in species composition and its implication on climate variation in

Bali Strait. In Proceedings of the 3rd International Conference on Fisheries

and Aquaculture. Sri Lanka.

Setiawati, M.D., Sambah, A.B., Miura, F., Tanaka, T., & As-syakur, A.R. (2015).

Characterization of bigeye tuna habitat in the Southern Waters off Java–Bali

using remote sensing data. Advances in Space Research, 55(2), 732-746.

Solanki, H.U., Bhatpuria, D., & Chauhan, P. (2017). Applications of generalized

additive model (GAM) to satellite-derived variables and fishery data for

prediction of fishery resources distributions in the Arabian Sea. Geocarto International, 32(1), 30-43.

Susilo, E., & Wibawa, T.A. (2016). Pemanfaatan data satelit oseanografi untuk

memprediksi daerah penangkapan ikan lemuru berbasis rantai makanan

dan pendekatan statistik GAM. Jurnal Kelautan Nasional, 11(2), 77-87.

Valavanis, V.D. (2002). Geographic Information Systems in Oceanography and Fisheries: Taylor & Francis.

Valavanis, V.D., Katara, I., & Palialexis, A. (2005). Marine GIS: identification

of mesoscale oceanic thermal fronts. International Journal of Geographical Information Science, 19, 1131–1147.

Wiyono, E.S. (2012). Analisis efisiensi teknis penangkapan ikan menggunakan

alat tangkap purse seine di Muncar, Jawa Timur. Jurnal Teknologi Industri Pertanian, 22(3), 164-172.

Worm, B., Sandow, M., Oschlies, A., 3, Lotze, H.K., & Myers, R.A. (2005).

Global patterns of predator diversity in the open oceans. Science, 309

(5739), 1365-1369.

Wudianto, Purwanto, Satria, F., Dharmadi, Prasetyo, A.P., Sadiyah, L., et al. (2013).

Bali Strait lemuru fishery -‐ final report. In Report prepared for ACIAR.

Project FIS/2006/142, Developing new assessment and policy frameworks

for Indonesia’s marine fisheries, including the control and management of

Illegal, Unregulated and Unreported (IUU) Fishing. Australia: Australian

National Centre for Ocean Resources and Security.

Page 114: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

91

BAB 6Penyediaan Informasi Daerah Potensial Penangkapan Ikan Pelagis di Selat Bali

Zainuddin, M., Nelwan, A., Farhum, S.A., Najamuddin, Hajar, M. A. I., Kurnia,

M., & Sudirman. (2013). Characterizing potential fishing zone of skipjack

tuna during the southeast monsoon in the Bone Bay-Flores Sea using

remotely sensed oceanographic data. International Journal of Geosciences, 4,

259-266.

Zainuddin, M., Amir, M.I., Bone, A., Farhum, S.A., Hidayat, R., Putri, A.R.S.,

Mallawa, A., Safruddin, & Ridwan, M. (2019). Mapping distribution

patterns of skipjack tuna during January-May in the Makassar Strait. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 370. 012004.

Zuur, A.F., Ieno, E.N., Walker, N.J., Saveliev, A.A., & Smith, G.M. (2009). Mixed effects models and extensions in ecology with R. USA: Springer.

Page 115: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga
Page 116: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

BAB 7PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN

LAUT DI SELAT BALI

Agung Yunanto1 dan I Nyoman Radiarta1

1 Balai Riset dan Observasi Laut, KKP

Abstrak

Selat Bali merupakan perairan yang terletak antara Pulau Jawa dan Pulau

Bali yang memiliki nilai strategis dalam pemanfaatannya. Beberapa pemanfaatan

yang telah ada di Selat Bali diantaranya adalah perikanan, transportasi, pariwisata,

budidaya, industri dan konservasi. Perairan Selat Bali yang berinteraksi dan

bergantung dengan ekosistem lain baik darat maupun laut menjadikan pengelolaan

Selat Bali tidak boleh hanya berfokus pada kawasan perairan Selat Bali saja

namun juga harus memperhitungkan interaksi dengan kawasan lainnya. Secara

umum pengelolaan Selat Bali memiliki tujuan dalam peningkatan kesejahteraan

masyarakat baik secara relung ruang maupun waktu. Untuk mencapai tujuan

tersebut perspektif pengelolaa Selat Bali yang optimal setidaknya memenuhi enam

prasyarat utama yaitu 1) Pengelolaan Selat Bali tanpa sekat batas administratif; 2)

Pengelolaan dengan dukungan keterpaduan; 3). Pengelolaan dengan dukungan

kelembagaan; 4) Pengelolaan dengan dukungan dan mekanisme pendanaan;

5) Pengelolaan dengan dukungan rencana zonasi; dan 6) Pengelolaan dengan

dukungan peraturan dan perundangan. Dalam konsep pemanfaatan sumber

daya utama, maka strategi pemanfaatan Selat Bali adalah meminimalkan

pengaruh negatif dari kegiatan yang berdampak negatif terhadap Selat Bali dan

memaksimalkan pengaruh positif dari kegiatan yang berdampak positif terhadap

kestabilan kondisi ekosistem perspektif pemanfaatan Selat Bali.

Kata Kunci: pengelolaan, perikanan, keberlanjutan, pesisir dan laut

Pendahuluan

Selat Bali merupakan satu kawasan strategis yang memiliki sumber daya

alam yang mempunyai nilai penting bagi pembangunan perikanan dan kelautan

di Propinsi Jawa Timur dan Propinsi Bali. Peran Selat Bali diantaranya sebagai

penyedia sumber daya hayati dan non-hayati, penyedia energi, sarana transportasi,

Page 117: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

94

SUMBER DAYA LAUT DAN PESISIR PERAIRAN SELAT BALI

rekreasi atau pariwisata, perikanan budidaya, perikanan tangkap, industri, serta

aktivitas pendukung kehidupan manusia lainnya. Banyaknya aktivitas kehidupan

yang dapat didukung oleh Selat Bali menjadikan Selat Bali memiliki daya tarik

cukup kuat bagi manusia untuk memanfaatkan wilayah tersebut.

Kondisi ekosistem pesisir di Selat Bali memiliki keanekaragaman yang

cukup tinggi baik ekosistem mangrove, padang lamun maupun terumbu karang.

Ekosistem mangrove terdapat di beberapa bagian wilayah di Taman Nasional Bali

Barat, Estuari Perancak dan Tanjung Benoa. Di pesisir Selat Bali di sisi Pulau

Jawa, ekosistem mangrove terdapat di Alas Purwo, Bonorowo, Teluk Pangpang

dan sepanjang pesisir Taman Nasional Baluran (Buwono,2017: Fudloly,2020;

Kartikasari, 2015). Sedangkan ekosistem padang lamun dan ekosistem terumbu

karang di pesisir Selat Bali masih belum banyak dilaporkan. Beberapa ekosistem

padang lamun dan terumbu karang berada di Taman Nasional Bali Barat, Teluk

Gilimanuk, Bangsring, dan Alas Purwo. Secara umum perubahan yang terjadi

pada satu ekosistem berdampak terhadap ekosistem lainnya. (Carpenter et al.,

2001; Reid et al., 2009; Bridge et al., 2013). Hal yang sama juga disinyalir dapat

terjadi di ekosistem Selat Bali yang memiliki keanekargaman ekosistem yang

cukup lengkap.

Sebagai satu kesatuan ekosistem, Selat Bali merupakan perairan semi

tertutup. Kondisi lingkungannya sangat bergantung pada aktivitas daratan yang

ada di sekitarnya. Interaksi Selat Bali dengan Samudera Hindia dapat dilihat dari

pengaruh upwelling kuat dari Samudera Hindia yang berdampak pada kesuburan

perairan dan peningkatan jumlah tangkapan lemuru di Selat Bali (Rintaka et al.,

2015). Penelitian Priyono et al. (2007) mengindikasikan bahwa masukan zat

pencemar maupun nutrien dari daerah sekitar yang masuk ke Selat Bali akan

terakumulasi dan bersirkulasi di dalamnya. Interaksi antara daratan dan lautan

menjadikan konsep pengelolaan suatu perairan tidak dapat dipisahkan dengan

aktivitas yang ada di daratan.

Fenomena kepedulian terhadap degradasi sumber daya Selat Bali tidak

hanya disuarakan oleh pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) saja.

Transformasi gerakan penyelamatan lingkungan juga telah didengungkan oleh

kelompok nelayan sebagaimana yang disuarakan oleh kelompok nelayan yang

mengatasnamakan ‘Gerakan Muncar Rumahku’ di Banyuwangi (Suwarno, 2016)

maupun gerakan masyarakat lain semisal komunitas Ijo Gading dan 4 Ocean di

Jembrana. Kepedulian ini merupakan sinyal positif bagi cikal bakal pengelolaan

Selat Bali.

Page 118: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

95

BAB 7Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut di Selat Bali

Konsep pengelolaan Selat Bali saat ini lebih dominan pada pengelolaan pada

sumber daya ikan khususnya ikan lemuru. Padahal sumber daya perikanan Selat

Bali tidak hanya ikan lemuru saja, dan pengelolaan kawasan tidak hanya didasarkan

pada sumber daya ikan saja. Oleh karenanya beragamnya aktivitas pemanfaatan

Selat Bali dan beragamnya konsep pengelolaan yang ada, mengharuskan pemilihan

yang tepat dalam penentuan konsep pengelolaan dan aspek-aspeknya.

Potensi dan Pengelolaan Selat Bali Saat Ini

Perairan Selat Bali merupakan daerah yang memiliki potensi perikanan tangkap

yang cukup besar. Berbagai ikan ekonomis penting yang berhasil didaratkan dari

Selat Bal diantaranya lemuru, layang, kembung, tembang, tongkol, selar dan

berbagai jenis ikan demersal. Namun demikian potensi perikanan tangkap di Selat

Bali didominasi oleh perikanan lemuru, dimana perkembangan perikanan lemuru

dimulai dengan diperkenalkannya pukat cincin oleh pada tahun 1972. Kontribusi

ikan lemuru dari hasil tangkapan pukat cincin mencapai 98% tahun 1998, 89 %

tahun 2007 dan 71% tahun 2016 (Nugraha et al., 2018)

Industrialisasi perikanan turut mendukung perkembangan perikanan lemuru

di Selat Bali dengan adanya pabrik-pabrik pengolahan ikan, seperti pengalengan

ikan, pemindangan, tepung ikan, serta industri jasa penyimpanan ikan (cold

storage) yang terdapat di sekitar tempat pendaratan utama perikanan di Muncar

dan Pengambengan.

Menurut Nurhakim & Merta (2004), dinamika perikanan tangkap di Selat

Bali dimulai dari pengoperasian pukat cincin pada tahun 1977 yang beroperasi

sebanyak 100 unit. Jumlah tersebut apabila tidak dibatasi akan berdampak terhadap

keberlanjutan sumber daya, oleh karenanya untuk mencegah bertambahnya

pukat cincin yang beroperasi, dikeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) antara

Pemerintah Daerah Jawa Timur dan Bali. SKB ini membatasi jumlah pukat cincin

yang boleh beroperasi di Selat Bali hanya 100 unit. Jumlah 100 unit yang ada

dialokasikan untuk Jawa Timur 50 unit dan untuk Bali 50 unit. Kemudian SKB

ini terus diperbaharui, dan yang terakhir dikeluarkan pada tahun 1992. Menteri

Pertanian mengeluarkan peraturan SK. No. 123/KPTS/UM/3/1975 tentang

Ketentuan Besarnya Mata Jaring pukat cincin yang boleh beroperasi sebesar 1

inci. Namun demikian ketentuan tersebut tidak efektif karena nelayan menolak

penggunaan mata jaring 1 inci dan tetap menggunakan mata jaring yang besarnya

¾ inci.

Page 119: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

96

SUMBER DAYA LAUT DAN PESISIR PERAIRAN SELAT BALI

Terkait dengan produktivitas perikanan lemuru di Selat Bali, lebih lanjut

Nurhakim & Merta (2004) menyatakan, produksi ikan lemuru sejak tahun 1974

terus naik dan sampai tahun 2002 sangat berfluktuasi, mencapai produksi yang

paling rendah tahun 1986 dan yang tertinggi tahun 1991. Ukuran panjang ikan

lemuru sejak tahun 1997 terus menurun, dari 16,61 cm menjadi 13,31 cm yang

tercatat tahun 2003

Dinamika pengelolaan Selat Bali berdasarkan komoditas ikan lemuru dapat

dilihat dari penerbitan kebijakan yang dikeluarkan diantaranya adalah Surat

Keputusan Bersama (SKB) antara Gubernur Kepala Daerah Provinsi Daerah

Tingkat I Jawa Timur dan Gubernur Kepala Daerah Provinsi Bali. Secara umum

kebijakan yang ada mengacu pada pengelolaan sumber daya ikan yang ada di Selat

Bali, belum mengarah pada pengelolaan kawasan secara umum. Dalam konteks

pengelolaan wilayah, pendekatan dalam pengelolaan Selat Bali sebaiknya dilakukan

melalui tahapan zonasi wilayah perairan. Berdasarkan ketentuan Peraturan

Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2019 Tentang Rencana Tata

Ruang Laut maka rencana zonasi Selat Bali setidaknya telah ternaungi dalam

Rencana Zonasi Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K) dua Propinsi

yaitu RZWP3K Propinsi Bali dan RZWP3K Propinsi Jawa Timur. Sedangkan

untuk perairan Selat Bali yang karena keterbatasan kewenangan Propinsi (>

12 mil) akan diatur dalam Rencana Zonasi Kawasan Antarwilayah Laut Bali.

Kawasan Antarwilayah adalah kawasan Laut yang meliputi dua provinsi atau

lebih yang dapat berupa teluk, selat, dan laut. Kawasan Antarwilayah ditetapkan

dengan kriteria kawasan yang merupakan teluk, selat, dan/atau laut yang berada

pada perairan pedalaman yang berupa laut pedalaman, perairan kepulauan, dan/

atau laut teritorial yang berada di wilayah lintas propinsi. Laut Bali Jawa Timur -

Bali - Nusa Tenggara Barat (Lampiran XI PP No.32 Tahun 2019).

Pembelajaran dan Konsep Pengelolaan Lingkungan Selat Bali

Permasalahan lingkungan hidup tidak dapat terlepas dari ketiga aspek dasar

lingkungan yaitu lingkungan alam yang memiliki dasar ekologi, lingkungan sosial

yang menitikberatkan pada bahasan kehidupan manusia serta lingkungan buatan

sebagai hasil karya manusia. Umumnya permasalahan lingkungan merupakan

hasil interaksi dari ketiga aspek dasar lingkungan tersebut (Miller, 2007; Soesilo,

2008).

Page 120: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

97

BAB 7Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut di Selat Bali

Konsep pengelolaan sumber daya yang terkait dengan pengelolaan suatu

kawasan telah lama dan banyak disampaikan oleh para ahli dan lembaga terkait

(Nurhakim & Merta, 2004; Merta, 1992; Dinas Perikanan Daerah Propinsi

Tingkat I Bali, 2000; Kementerian Pekerjaan Umum. 2013; Tinungki, 2005,

Dahuri, et al., 2001). Konsep pengelolaan yang dikembangkan biasanya tergantung

pada fokus pengelolaan yang menjadi tanggung jawab leading sektor ataupun latar

belakang atau interest dari pencetus konsep tersebut. Berbagai konsep memiliki

nama yang berbeda namun terkadang inti dari permasalahan pengelolaan adalah

sama, yaitu pentingnya pengelolaan secara terpadu suatu kawasan.

Konsep Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Terpadu (Integrated River basin

Management, IRBM) memfokuskan pada pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS)

untuk menunjang pemanfaatan sumber daya air di daerah DAS tersebut. Konsep ini

pada awalnya dikembangkan oleh Departemen Kehutanan yang memiliki sumber

daya hutan. Konsep lain yang dikembangkan diantaranya adalah Pengelolaan

Sumber daya Air Terpadu (Integrated Water Resource Management, IWRM).

Tujuannya untuk membangun sebuah kerangka kerja yang memungkinkan

masyarakat dapat hidup dan bekerja di sebuah wilayah tangkapan air dan DAS.

Konsep ini dikembangkan oleh Departemen Pekerjaan Umum khususnya

Direktorat Sumberdaya Air sebagai institusi yang menangani sumber daya air.

Konsep-konsep pengelolaan lain yang turut berkembang diantaranya adalah One

River One Plan One Management, Two River One Plan One Management dan One

Plan One Plan Multiple Management yang dikembangkan oleh BUMN Jasa Tirta

(http://bumn.go.id/ jasa tirta).

Salah satu sistem pengelolaan pesisir yang saat ini dikembangkan adalah

Penataan Ruang DAS-Wilayah Pesisir Terpadu (Rais et al., 2004). Informasi yang

dikaji dalam sistem Penataan Ruang DAS-Wilayah Pesisir Terpadu adalah tentang

informasi di tingkat daerah tangkapan air dan informasi di tingkat daerah pesisir.

DAS yang terkait dengan wilayah pesisir melalui aliran air disebut juga coastal

watershed sebagai unit yang menyatu antara DAS dan wilayah pesisir

Ekosistem DAS, dapat diklasifikasikan menjadi daerah hulu, tengah dan hilir.

DAS bagian hulu dicirikan sebagai daerah konservasi, DAS bagian hilir merupakan

daerah pemanfaatan. DAS bagian hulu mempunyai arti penting terutama dari

segi perlindungan fungsi tata air, karena itu setiap terjadinya kegiatan di daerah

hulu akan menimbulkan dampak di daerah hilir dalam bentuk perubahan

fluktuasi debit dan transport sedimen serta material terlarut dalam sistem aliran

airnya. Dengan perkataan lain ekosistem DAS, bagian hulu mempunyai fungsi

Page 121: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

98

SUMBER DAYA LAUT DAN PESISIR PERAIRAN SELAT BALI

perlindungan terhadap keseluruhan DAS. Perlindungan ini antara lain dari segi

fungsi tata air, dan oleh karenanya pengelolaan DAS hulu seringkali menjadi

fokus perhatian mengingat dalam suatu DAS, bagian hulu dan hilir mempunyai

keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi. Sebagai kesatuan ekoregion daerah

DAS di sekitar Selat Bali juga tercakup dalam pengelolaan Selat Bali.

Konsep lain yang dikembangkan dalam pengelolaan wilayah pesisir adalah

konsep pengelolaan pesisir yang dikembangkan oleh program Land-Ocean

Interaction in the Coastal Zone (LOICZ). Tujuannya adalah untuk mengaitkan

dampak yang diamati di pesisir dengan kegiatan di daerah tangkapan air. Proses

model pengelolaan DAS ditujukan untuk mengatasi isu yang komplek dan

alot yang mencakup: batas yang dipergunakan adalah batas alami bukan pada

batas administrasi pemerintahan, melibatkan semua unsur polutan, bekerjasama

dengan seluruh komunitas dalam DAS dan kepemilikan dari proses pengambilan

keputusan/musyawarah dan mufakat (Rais, 2004).

Pengelolaan Selat Bali, setidaknya dapat didekati dengan teori ilmu

lingkungan tentang lima prinsip dasar ilmu lingkungan yaitu keanekaragaman

(diversity), saling bergantung (interdependence), interaksi (interaction), keselarasan

(harmony), dan keberlanjutan (sustainability). Pengelolaan Selat Bali tidak dapat

hanya didekati melalui satu pendekatan saja, karena adanya keanekaragaman,

kesaling bergantungan dan berinteraksi baik dalam komponen alam, komponen

sosial maupun komponen binaan. Disamping itu keselarasan antar komponen

lingkungan penyusun ekosistem harus tetap dipertahankan, gangguan terhadap

salah satu komponen dapat berakibat pada permasalahan yang lebih besar

misalnya gangguan pada ekosistem mangrove berupa penebangan mangrove akan

berdampak pada perubahan laju aliran nutrien pada ekosistem lainnya, yang pada

akhirnya berdampak pada ekosistem lainnya seperti ekosistem terumbu karang,

padang lamun maupun ekosistem perairan Selat Bali lainnya. Keseluruhan hal

tersebut untuk mendukung agar Selat Bali harus terus dijaga keberlanjutannya

agar tidak merugikan bagi makhluk hidup yang memanfaatkannya.

Tujuan Pengelolaan Selat Bali

Secara umum tujuan pengelolaan Selat Bali adalah untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat. Tujuan ini secara luas mengandung pengertian hendaknya

pengelolaan Selat Bali dapat dioptimalkan untuk meningkatkan kesejahteraan

masyarakat, tidak hanya penduduk sekitar namun dampak ikutannya mampu

untuk mensejahterakan masyarakat yang jauh lebih luas. Dalam hal ini kaidah

Page 122: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

99

BAB 7Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut di Selat Bali

kesejahteraan mencakup kesejahteraan dalam relung ruang dan waktu. Relung

ruang mencakup tingkat ketermanfaatan yang mencakup wilayah yang mampu

ditingkatkan kesejahteraannya akibat adanya Selat Bali, termasuk juga cakupan

wilayah yang berkurang tingkat kesejahteraannya apabila terdapat gangguan pada

ekosistem Selat Bali. Sedangkan dimensi waktu mengandung pengertian bahwa

peningkatan tingkat kesejahteraan ini tidak hanya berlaku pada dimensi waktu

saat ini namun juga dimensi waktu yang akan datang.

Berdasarkan uraian di atas maka perspektif pengelolaan Selat Bali setidaknya

memenuhi lima prasyarat utama diantaranya adalah: 1) Pengelolaan Selat Bali tidak

tanpa sekat batas administratif; 2) Pengelolaan dengan dukungan keterpaduan; 3)

Pengelolaan dengan dukungan kelembagaan; 4) Pengelolaan dengan dukungan

dan mekanisme pendanaan; 5) Pengelolaan dengan dukungan rencana zonasi dan

6) Pengelolaan dengan dukungan peraturan dan perundangan.

Pengelolaan Tanpa Pembatasan Sekat Administratif

Pengelolaan Selat Bali tidak hanya terbatas pada Selat Bali saja yang dibatasi oleh

daerah perairan yang terletak antara Pulau Jawa dan Pulau Bali yang membentang

dari utara sampai selatan dengan luasan hanya 327.385 ha saja (Yunanto, 2014).

Daratan maupun perairan laut juga berpengaruh secara langsung maupun tidak

langsung pada kondisi perairan Selat Bali (Gambar 7.1). Kompleksitas pengelolaan

Selat Bali akan sulit dipahami jika hanya menggunakan satu disiplin ilmu saja.

Kompleksitas pengelolaan Selat Bali juga tidak dapat dipisahkan dari interaksi

dengan perairan laut sekitarnya yang berpeluang memperkaya khazanah upaya

pengelolaan yang optimal.

Batas minimal pengelolaan Selat Bali yang membutuhkan sinergi dengan Gambar 7.1

pengelolaan DAS Selat Bali

Page 123: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

100

SUMBER DAYA LAUT DAN PESISIR PERAIRAN SELAT BALI

Sebagaimana permasalahan lingkungan lainnya, pengelolaan Selat Bali harus

mempertimbangkan interaksi tiga komponen lingkungan utama yaitu lingkungan

alam, lingkungan sosial dan lingkungan buatan. Komponen lingkungan alam

berupa bentang alam (topografi daratan, batimetri perairan, tipe ekosistem,

pemanfaatan lahan dan lain-lain) beserta komponen alam pendukungnya (angin,

arus, curah hujan, iklim dan lain-lain) berperan penting dalam menentukan pola

interaksi dan ketergantungan antar ekosistem di Selat Bali yang dapat digunakan

dalam pola pengelolaan yang terbaik. Komponen sosial berupa budaya, adat

istiadat, kebiasaan, norma, tata hukum dan peraturan maupun kelembagaan

turut berperan dalam penentuan pola pengelolaan yang berkelanjutan. Serta

komponen lingkungan buatan di Selat Bali maupun lingkungan buatan lainnya

turut berperan dalam optimalisasi pemanfaatan ruang di Selat Bali.

Selat Bali memiliki interaksi antara daratan (DAS Selat Bali) dengan perairan

Selat Bali dan juga perairan laut yang ada di sekitar Selat Bali (Samudra Indonesia

dan Laut Bali) oleh karenanya batas administrasi tidak dapat digunakan dalam

pengelolaan Selat Bali. Setidaknya terdapat tujuh Kabupaten (Jembrana, Tabanan,

Badung, Buleleng, Banyuwangi, Jember, Bondowoso) dan 1 Kota (Denpasar)

yang wilayahnya masuk dalam DAS Selat Bali baik yang berbatasan langsung

maupun tidak (Yunanto, 2014). Dalam kaidah ini bahwa Selat Bali merupakan

satu kesatuan ekologi yang tidak dapat dilepas pisahkan. Ancaman dan kerusakan

terhadap ekosistem DAS Selat Bali akan berimplikasi negatif terhadap ekosistem

Selat Bali dan laut sekitarnya, dan begitu pula sebaliknya.

Berkaca dari kejadian yang hampir sama di daerah timur laut Brazil, dimana

penumpukan sampah di pantai sebagian besar diakibatkan dari sampah yang

berasal dari daratan, maka tindakan manajemen harus lebih fokus pada pencegahan

di DAS daripada pencegahan di daerah pantai itu sendiri (Santos et al., 2005).

Sebagai contoh nyata dalam pengelolaan Selat Bali tanpa batas administrasi adalah

permasalahan melimpahnya sampah di Pantai Kuta. Dimana dalam permasalahan

ini sampah yang didaratkan di Pantai Kuta bukan hanya berasal dari daerah

sekitar Pantai Kuta saja, namun sebagian besar berasal dari daratan di DAS Selat

Bali. Oleh karenanya penyelesaian masalah sampah pantai Kuta ini tidak dapat

diselesaikan hanya pada pencegahan di daerah pantai saja. Namun juga perlu

dilakukan integrasi dengan daerah-daerah lain yang berpotensi menyumbangkan

sampah dalam melimpahnya sampah tersebut (Yunanto, 2014).

Page 124: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

101

BAB 7Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut di Selat Bali

Pengelolaan dengan Dukungan Keterpaduan

Merujuk pada Dahuri et al. (2001) pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu

adalah merupakan suatu pendekatan pengelolaan wilayah pesisir yang melibatkan

dua atau lebih ekosistem, sumber daya, dan kegiatan pemanfaatan (pembangunan)

secara terpadu (integrated) guna mencapai pembangunan wilayah pesisir secara

berkelanjutan. Keterpaduan sendiri mengandung 3 (tiga) dimensi yaitu sektoral,

bidang ilmu, dan keterkaitan ekologis.

Keterpaduan ekologis dalam pengelolaan Selat Bali diterapkan dalam

kaidah interaksi antara daratan (DAS Selat Bali) dengan perairan Selat Bali dan

juga Perairan laut yang ada di sekitar Selat Bali (Samudra Indonesia dan Laut

Bali). Keterpaduan secara sektoral berarti bahwa perlu ada koordinasi tugas,

wewenang dan tanggung jawab antar sektor atau instansi pemerintah (horizontal

integration) pada tingkat pemerintahan provinsi (Bali dan Jawa Timur), kabupaten

(Kabupaten DAS Selat Bali) dan antar tingkat pemerintahan dari mulai tingkat

desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, sampai tingkat pusat (vertical integration).

Keterpaduan dari sudut pandang keilmuan mensyaratkan bahwa di dalam

pengelolaan wilayah pesisir hendaknya dapat dilaksanakan atas dasar pendekatan

interdisiplin ilmu (interdisciplinary approaches) yang melibatkan berbagai bidang

ilmu yang relevan (Basri, 2013).

Pengelolaan dengan Dukungan Kelembagaan

Konsep pengelolaan dalam strategi pengembangan kelembagaan di Selat

Bali dapat mengadopsi hasil penelitian Fauzi et al. (2011), terkait dengan

prioritas pengembangan kelembagaan sumber daya ikan (SDI). Strategi prioritas

pengembagan kelembagaan pengelolaan SDI berdasarkan Fauzi et al. (2011) adalah

dilakukan oleh lembaga khusus yang dibentuk bersama oleh pemerintah daerah

(PEMDA) terkait. Strategi ini lebih diprioritaskan dibandingkan dengan pilihan

lain baik pengembangan koordinasi intensif PEMDA dalam kontrol alokasi alat

tangkap dan konflik, pengembangan semua bentuk kegiatan pengelolaan oleh

PEMDA masing-masing, pengembangan koordinasi intensif PEMDA dalam

setiap aktivitas pengelolaan maupun pengembangan koordinasi intensif PEMDA

dalam kontrol alokasi alat tangkap dan lokasi tangkap. Menurut hemat penulis,

hasil penelitian tersebut dapat diadopsi untuk kepentingan yang lebih luas yaitu

prioritas pengembangan kelembagaan yang dilakukan tidak hanya terbatas pada

pengelolaan SDI saja, namun seluruh aspek yang terkait dengan Selat Bali baik

Page 125: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

102

SUMBER DAYA LAUT DAN PESISIR PERAIRAN SELAT BALI

kawasan pariwisata, kawasan konservasi, kawasan budidaya, kawasan industri

bahkan juga pengelolaan DAS Selat Bali yang berpotensi mempengaruhi ekologi

Selat Bali.

Pengelolaan dengan Dukungan Pendanaan

Perspektif pengelolaan Selat Bali yang terpadu, perlu memperhatikan sharing

pendanaan antar wilayah ataupun pendanaan dari sumber tertentu. Sebagai

contoh adalah terkait permasalahan sampah laut di Pantai Kuta (Yunanto, 2014),

hendaknya tidak hanya berfokus pada pembersihan sampah pada Pantai Kuta

saja, namun juga harus berfokus pada penyebabnya yaitu pengelolaan sampah

yang masuk ke Selat Bali baik yang berasal dari DAS Selat Bali maupun perairan

di sekitarnya. Mekanisme yang direkomendasikan diantaranya kerjasama antar

daerah melalui mekanisme pengelolaan sampah terpadu dengan melibatkan

pemerintah kabupaten atau kota di DAS Selat Bali. Intervensi ini dimaksudkan

untuk mengurangi jumlah sampah lautan di perairan Selat Bali, salah satu

mekanisme kerjasama yang dilakukan adalah dalam pendanaan. Subsidi pendanaan

dilakukan dengan bantuan alokasi pendanaan oleh daerah yang mendapatkan

manfaat (Kabupaten Badung) kepada kabupaten lainnya di DAS Selat Bali yang

telah berusaha menjaga lingkungannya dengan cara mengurangi sampah yang

menuju laut. Mekanisme ini biasa dikenal dengan payments for environmental

services (PES) (Pirard et al., 2010). Namun demikian dibutuhkan kajian yang

lebih mendalam untuk dapat dihasilkan formulasi pendanaan yang saling

menguntungkan antar berbagai kepentingan (Yunanto, 2014). Secara umum

mekanisme ini juga dapat diberlakukan dalam mengatasi permasalahan ataupun

optimalisasi kebermanfaatan Selat Bali dalam bentuk lainnya seperti sumber daya

ikan lemuru misalnya. Sharing pendanaan akan lebih optimal apabila pengelolaan

Selat Bali dapat dikelola oleh lembaga khusus yang dibentuk bersama pemda

sebagaimana rekomendasi Fauzi et al. (2011).

Pengelolaan dengan Dukungan Rencana Zonasi

Penataan ruang laut Selat Bali diperlukan dalam kaitannya pengaturan

pemanfaatan Selat Bali secara optimal dengan mengakomodasi semua

kepentingan. Pengaturan ini dimaksudkan sebagai upaya menghindari adanya

konflik pemanfaatan ruang dan pemanfaatan sumber daya. Dalam perspektif ini

memerlukan pembatasan yang jelas antara satu zona dengan zona yang lainnya

dan memberikan manfaat bagi segenap masyarakat. Rencana zonasi (RZ) untuk

Page 126: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

103

BAB 7Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut di Selat Bali

kawasan Selat Bali setidaknya tidak hanya difasilitasi oleh rencana zonasi wilayah

pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K) dua propinsi dan RZ antar Kawasan

Laut Bali. Namun alangkah lebih spesifik apabila dapat dimasukkan dalam

Rencana Zonasi Kawasan Strategis Nasional yang didalamnya terintegrasi rencana

zonasi untuk daerah DAS Selat Bali.

Pengelolaan dengan Dukungan Peraturan dan Perundangan

Dukungan peraturan dan perundangan dalam pengelolaan Selat Bali menjadi

sesuatu yang mutlak diperlukan agar sistem yang berlaku dapat diakui dalam

kapasitas legal formal. Tingkatan peraturan ataupun perundangan yang akan dibuat

setidaknya harus dapat mengikat para pihak untuk dapat mengimplementasikan

kebijakan yang telah dihasilkan. Dalam hal tingkat peraturan yang akan diterbitkan

dibutuhkan kajian lebih lanjut.

Perspektif Pemanfaatan Selat Bali

Berbagai jenis pemanfaatan ruang laut di Selat Bali menjadikan alokasi

sumber daya harus dapat dioptimalkan untuk kemanfaatan generasi sekarang

tanpa mengurangi kemanfaatan generasi yang akan datang. Namun demikian

pemanfaatan sumber daya di satu sisi akan berdampak pada berkurangnya

utilitas pemanfaatan sumber daya di sisi lain. Pemetaan prioritas sumber daya

beserta valuasinya di Selat Bali perlu dilakukan dalam rangka optimalisasi

pemanfaatannya. Selanjutnya komponen-komponen prioritas pemanfaatan

tersebut dapat ditelusuri pada faktor-faktor pengungkit yang dapat menjaga

kestabilan pemanfaatan. Sebagai contoh dalam kasus Selat Bali, maka prioritas

pemanfaatan Selat Bali adalah pemanfaatan sumber daya ikan khususnya lemuru

dan pemanfaatan untuk pariwisata. Kedua prioritas pemanfaatan sumber daya

membutuhkan komponen pengungkit kestabilan pemanfaatan yaitu kondisi

lingkungan yang cocok dan stabil untuk ikan lemuru dan kondisi lingkungan

yang nyaman untuk aktivitas pariwisata. Berdasarkan kedua faktor utama tersebut

maka strategi pemanfaatan Selat Bali adalah meminimalkan pengaruh negatif

dari kegiatan yang berdampak terhadap Selat Bali dan memaksimalkan pengaruh

posistif dari kegiatan yang berpengaruh positif terhadap kestabilan kondisi

ekosistem. Faktor-faktor yang dianggap berdampak negatif diantaranya adalah:

industri, pertanian, pariwisata, perikanan tangkap, perikanan budidaya, aktivitas

domestik masyarakat dan transportasi. Sedangkan faktor-faktor yang dianggap

berpengaruh positif diantaranya adalah peningkatan kualitas maupun kualitas

Page 127: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

104

SUMBER DAYA LAUT DAN PESISIR PERAIRAN SELAT BALI

kawasan konservasi. Langkah yang masih sejalan dengan penerapan prinsip ini

adalah pemetaan aktivitas dan alokasi kegiatan yang berakibat pada berkurangnya

ataupun bertambahnya daya dukung lingkungan Selat Bali. Dari hal tersebut

setidaknya pembatasan jumlah aktivitas yang berdampak terhadap menurunnya

kestabilan kondisi ekosistem merupakan salah satu kunci pemanfaatan yang lestari

di Selat Bali.

Kesimpulan

Pengelolaan Selat Bali saat ini lebih dominan pada pengelolaan pada

SDI khususnya lemuru. Padahal Selat Bali tidak hanya ikan lemuru saja, dan

pengelolaan kawasan tidak hanya didasarkan pada SDI saja. Pengelolaan selat

yang melibatkan multistakeholders, multi sumber daya haruslah berorientasi pada

tujuan mensejahterakan masyarakat baik secara dimensi ruang maupun waktu.

Konsep pengelolaan tersebut hendaknya memenuhi enam prasyarat utama yaitu:

1) Pengelolaan tanpa sekat batas administratif; 2) Pengelolaan dengan dukungan

keterpaduan; 3) Pengelolaan dengan dukungan kelembagaan; 4) Pengelolaan

dengan dukungan dan mekanisme pendanaan; 5) Pengelolaan dengan dukungan

rencana zonasi; dan 6) Pengelolaan dengan dukungan peraturan dan perundangan.

Dalam Konsep pemanfaatan sumber daya utama, maka strategi pemanfaatan

Selat Bali adalah meminimalkan pengaruh negatif dari kegiatan yang berdampak

negatif terhadap Selat Bali dan memaksimalkan pengaruh posistif dari kegiatan

yang berpengaruh positif terhadap kestabilan kondisi ekosistem perspektif

pemanfaatan Selat Bali.

Daftar RujukanBasri, B. (2013). Penataan dan pengelolaan wilayah kelautan perspektif otonomi

daerah dan pembangunan berkelanjutan. Perspektif, 18(3), 180-187.

Buwono, R. Y. (2017). Identifikasi dan kerapatan ekosistem mangrove di Kawasan

Teluk Pangpang Kabupaten Banyuwangi. Samakia: Jurnal Ilmu Perikanan,

8(1), 32-37.

Carpenter, S., Walker, B., Anderies, J.M., & Abel, N. (2001). From metaphor to

measurement: Resilience of what to what? Ecosystems, 765.

Bridge, G., S. Bouzarovski, M. Bradshaw, & N. Eyre. (2013). Geographies of

energy transition: Space, place and the low-carbon economy. Energy Policy, 53, 331-340.

Page 128: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

105

BAB 7Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut di Selat Bali

Dahuri, R., Rais, J., Ginting, S. P., & Sitepu, M. J. (2001). Pengelolaan sumber daya pesisir dan lautan secara terpadu. PT. Pramadya Paramita.

Dinas Perikanan Daerah Provinsi Tingkat I Jawa Timur. (2000). Perikanan

Lemuru Selat Bali. Papers Presented at the Workshop on The Fishery and

Management of Bali Sardinella (Sardinella lemuru) in Bali Strait. Fish Code

Management. FAO Norway Government Cooperative Program.

Dinas Perikanan Daerah Provinsi Tingkat I Bali, (2000). Pengelolaan Perikanan

Lemuru di Bali. Papers Presented at the Workshop on The Fishery and

Management of Bali Sardinella (Sardinella lemuru) in Bali Strait. Fish Code

Management. FAO Norway Government Cooperative Program.

Djamali, A.R. (2007). Evaluasi keberlanjutan dan optimalisasi pemanfaatan

sumber daya ikan lemuru (Sardinella lemuru bleeker 1853) di perairan Selat

Bali.Disertasi. Sekolah PascaSarjana.,Institut Pertanian Bogor.

Fauzi, S., Iskandar, B.H., Murdiyanto, B., & Wiyono, E.S. (2011). Prioritas

kelembagaan pengelolaan sumber daya ikan lestari berbasis otonomi daerah

di kawasan Selat Bali. Jurnal Marine Fisheries, 2(1), 101-110.

Fudloly, A.R.L., Fuad, M.A.Z., & Purwanto, A.D. (2020). Perubahan sebaran dan

kerapatan hutan mangrove di pesisir pantai Bama, Taman Nasional Baluran

menggunakan citra satelit SPOT 4 dan SPOT 6. Depik Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan, Pesisir dan Perikanan, 9(2): 184-192.

Kartikasari, A., & Sukojo, B. (2015). Analisis persebaran ekosistem hutan

mangrove menggunakan Citra Landsat-8 di Estuari Perancak Bali. Geoid,

11(1).

Kementerian Pekerjaan Umum. (2013). One river, one plan, one management

http://www.bumn.go.id/jasa tirta/publikasi/.

Merta, I G.S. (1992). Dinamika populasi ikan lemuru, Sardinella lemuru Bleeker

1853 (Pisces: Clupeidae) di perairan Selat Bali dan alternatif pengelolaannya.

Disertasi. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Miller, G.T. (2007). Living in the environment; principles, connection and solution.

Thompson Brook/Cole.

Nugraha, S. W., Ghofar, A., & S, S. W. (2018). Monitoring perikanan lemuru di

perairan Selat Bali. Journal of Maquares, 7(1), 130–140.

Nurhakim, S., & Merta, I. G. S. (2004). Perkembangan dan pengelolaan perikanan

lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853) di Selat Bali. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, 10(4), 55–64.

Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Rencana

Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Rzwp-3-K Provinsi Jawa

Timur Tahun 2018-2038.

Page 129: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

106

SUMBER DAYA LAUT DAN PESISIR PERAIRAN SELAT BALI

Pirard R., Bille, R., & Sembres, T. (2010). Upscaling payments for environmental

services (PES): Critical Issues. Journal Tropical Conservation Science, 3 (3),

249-261.

Priyono, B., Yunanto, A. & Arief, T. (2008). Karakteristik oseanografi dalam

kaitannya dengan kesuburan perairan di Selat Bali. Balai Penelitian dan

Observasi Laut. Bali.

Rais, J., Sulistiyo, B., Diamar, S., Gunawan, T., Sumampouw, M., Soeprapto,

T.A., Suhardi, I., Karsidi, A., & Widodo, M.S. (2004). Menata ruang laut terpadu. PT. Pradnya Paramitha .

Rais, J. (2004). Menata ruang darat-laut-atmosfer terpadu dengan pendekatan

interaksi daerah aliran sungai (DAS), In Rais J. et al. (eds) Dalam Menata Ruang Laut Terpadu (pp 1-29). PT. Pradnya Paramitha.

Reid, L. M., & R. J. Lewis. (2009). Rates, timing, and mechanisms of rainfall

interception loss in a coastal redwood forest. Journal of Hydrology, 375(3-4),

459-470.

Rintaka, W. E., Susilo, E., & Hastuti, A. W. (2015). Pengaruh in-direct upwelling

terhadap jumlah tangkapan lemuru di perairan Selat Bali. In Seminar

Nasional Perikanan dan Kelautan. Universitas Brawijaya.

Santos, I. R., Friedrich, A. C. & Baretto, F. P. (2005). Overseas garbage pollution

on beaches of northeast Brazil. Marine Pollution Bulletin, 50, 783–786.

Soesilo, T.B. (2008). Dinamika manusia dan lingkungan, Seri Kuliah Prinsip Dasar

Ilmu Lingkungan. Program Studi Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia.

Sudarmadji & Indarto. (2011). Identifikasi lahan dan potensi hutan mangrove di

bagian timur Propinsi Jawa Timur. Bonorowo Wetlands, 1(1), 7-13.

Suwarno, J. (2016). ‘Gerakan Muncar Rumahku’ dan Strategi mobilisasi sumber

daya pada gerakan sosial penyelamatan lingkungan. Jurnal Pemikiran Sosiologi, 3(2), 17-25.

Tinungki G. M. (2005). Evaluasi model produksi surplus dalam menduga hasil

tangkapan maksimum lestari untuk menunjang kebijakan pengelolaan

perikanan lemuru di Selat Bali. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut

Pertanian Bogor.

Yunanto, A. (2014). Model kelimpahan dan pengendalian sampah di pantai

Kuta untuk pengelolaan pariwisata yang berkelanjutan. Disertasi. Program

Pascasarjana Program Ilmu Lingkungan Institut Pertanian Bogor.

Page 130: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

BIOGRAFI EDITOR

I Nyoman Radiarta saat ini menjabat sebagai Kepala

Balai Riset dan Observasi Laut, Badan Riset dan

Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan,

Kementerian Kelautan dan Perikanan. Pendidikan S1

diraih pada tahun 1995 dari Fakultas Perikanan IPB,

S2 diraih dari Asian Institute of Technology, Thailand,

dan S3 dengan bidang keahlian satelit oseanografi

dari Fakultas Perikanan Hokkaido University Jepang.

Memperoleh penghargaan sebagai presenter terbaik

pada Annual Meeting North Pacific Marine Science

Organization (PICES) di Jeju, Korea tahun 2009.

Bidang kepakaran yang ditekuni selama ini adalah

aplikasi informasi spasial (SIG dan Penginderaan

Jauh) untuk lingkungan perairan, pengembangan

akuakultur, dan perencanaan wilayah pesisir dan

lautan. Jabatan Ahli Peneliti Utama diraih pada

tahun 2019. Aktif sebagai reviewer di beberapa jurnal

akreditasi nasional (Jurnal Riset Akuakultur, Media

Akuakultur, Indonesian Aquaculture Journal, Jurnal

SEGARA, Jurnal Kelautan Nasional, The Journal of

Marine Research and Technology) dan internasional

(Elsevier, Spinger, MDPI). Aktif menjalin kerjasama

dengan mitra asing diantaranya: FAO, Italia, Inggris,

dan Jepang. Saat ini bertindak sebagai Co-Principle

of Investigator untuk program SATREPS optimizing

mariculture based on big data with decision support

system in Indonesia.

SCOPUS : 24341932700

ORCID : 0000-0002-8798-1344

email : [email protected]

Page 131: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

108

SUMBER DAYA LAUT DAN PESISIR PERAIRAN SELAT BALI

Frida Sidik adalah peneliti di bidang Oseanografi

Terapan yang menekuni topik riset mangrove dan

perubahan iklim. Meraih gelar S1 dari University

of Sydney Australia, S2 dari University of Warwick

Inggris, dan S3 dari University of Queensland

Australia. Bekerja di Kementerian Kelautan dan

Perikanan (KKP) sejak tahun 2001 dan ditempatkan

di Balai Riset dan Observasi Laut sejak tahun 2004

hingga sekarang. Penulis terlibat dalam kegiatan

penelitian dan kerjasama internasional di bidang

ekologi mangrove, blue carbon dan konservasi pesisir.

Selain sebagai peneliti, penulis aktif sebagai mitra

bestari Elsevier, Springer, MDPI dan Jurnal Penelitian

Sosial dan Ekonomi Kehutanan, serta menjadi editor

buku Dynamic Sedimentary Environments of Mangrove

Coasts.

SCOPUS : 55759333100

ORCID : 0000-0001-7329-9937

email : [email protected]

Page 132: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

BIOGRAFI PENULIS

Abu Bakar Sambah adalah dosen di Program

Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas

Brawijaya sejak tahun 2006. Menekuni bidang

pemanfaatan sumber daya perikanan. Meraih gelar

S1 bidang Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan dari

Universitas Brawijaya, S2 bidang Teknik Geomatika,

Penginderaan Jauh dan SIG dari Institut Teknologi

Sepuluh November, dan S3 bidang Enviromental

Safety Science and Engineering dari Yamaguchi

University. Penulis banyak terlibat dalam penelitian

di bidang disaster management and remote sensing-

GIS. Selain menjadi dosen, penulis saat ini menjabat

sebagai Ketua Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya

Perikaanan dan Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan

dan Ilmu Kelautan, Universitas Brawijaya.

SCOPUS : 56125705100

email : [email protected]

Adi Wijaya adalah peneliti di bidang Ilmu Geografi

yang menekuni topik riset perubahan iklim dan

oseanografi perikanan. Meraih gelar S1 bidang

Pendidikan Geografi dari Universitas Negeri

Malang, S2 bidang Geografi dari Universitas Gadjah

Mada, dan saat ini menempuh program S3 bidang

Ilmu Perikanan dan Kelautan minat Pengelolaan

Pesisir dan Laut di Universitas Brawijaya. Bekerja

di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)

sejak tahun 2008 dan ditempatkan di Balai Riset

dan Observasi Laut hingga sekarang Penulis banyak

terlibat dalam penelitian di bidang penginderaan

jauh, oseanografi perikanan dan perubahan iklim.

SCOPUS : -

email : [email protected]

Page 133: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

110

SUMBER DAYA LAUT DAN PESISIR PERAIRAN SELAT BALI

Agung Yunanto adalah peneliti di bidang

Manajemen Lingkungan yang menekuni topik riset

manajemen pesisir dan pencemaran lingkungan.

Meraih gelar S1 dari program Studi Manajemen

Sumberdaya Peraira, Institut Pertanian Bogor,

S2 dari Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan

Lingkungan Institut Pertanian Bogor, dan S3 dari

Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia. Bekerja di

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sejak

tahun 2005 dan ditempatkan di Balai Riset dan

Observasi Laut hingga sekarang. Penulis banyak

terlibat dalam berbagai penelitian dibidang konservasi

pesisir dan pencemaran lingkungan terutama sampah

laut.

SCOPUS : -

email : [email protected]

Amandangi Wahyuning Hastuti adalah peneliti di

bidang Oseanografi Biologi yang menekuni topik

riset perubahan iklim dan dinamika pesisir. Meraih

gelar S1 dari IPB University Bogor. Saat ini sedang

menempuh program pendidikan S2 di Yamaguchi

University Jepang. Bekerja di Kementerian

Kelautan dan Perikanan (KKP) sejak tahun 2014

dan ditempatkan di Balai Riset dan Observasi Laut

hingga sekarang. Penulis aktif terlibat dalam kegiatan

penelitian di bidang konservasi pesisir, ekologi laut

dan pemanfaatan data citra satelit untuk lingkungan

pesisir.

ORCID : 0000-0002-0718-344X

email : [email protected]

Page 134: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

111

BIOGRAFI PENULIS

Bambang Sukresno adalah peneliti di bidang

Penginderaan Jauh Kelautan yang menekuni

topik riset observasi karakteristik oseanografi.

Meraih gelar S1 dari universitas Gadjah Mada, S2

dari Universitas Udayana dan S3 dari Universitas

Diponegoro. Bekerja di Kementerian Kelautan dan

Perikanan (KKP) sejak tahun 2003 dan ditempatkan

di Balai Riset dan Observasi Laut hingga sekarang.

Penulis aktif melakukan penelitian observasi

karakteristik oseanografi untuk berbagai aplikasi

baik perikanan maupun perubahan iklim. Selain itu

juga aktif sebagai mitra bestari jurnal nasional bidang

kelautan. Penulis juga aktif sebagai asesor pusat untuk

jabatan fungsional peneliti.

SCOPUS : 56537082800

ORCID : 0000-0001-5736-3900

email : [email protected]

Bayu Priyono adalah peneliti di bidang Oseanografi

Fisika yang menekuni bidang observasi dan

pemodelan laut. Meraih gelar S1 dan S2 di

kelompok bidang keahlian Oseanografi, Fakultas

Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi

Bandung. Bekerja di Kementerian Kelautan dan

Perikanan sejak tahun 2005 dan ditempatkan di

Balai Riset dan Observasi Laut hingga kini. Penulis

terlibat dalam kegiatan penelitian dan kerjasama di

bidang observasi dan pemodelan data-data kelautan

terutama data kondisi fisik laut. Saat ini Penulis juga

menjabat sebagai Kepala Laboratorium Observasi

dan Pemodelan Laut di Balai Riset dan Observasi

Laut.

SCOPUS : 57190937210

email : [email protected]

Page 135: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

112

SUMBER DAYA LAUT DAN PESISIR PERAIRAN SELAT BALI

Camellia Kusuma Tito adalah peneliti di bidang

Oseanografi Terapan yang menekuni topik riset

ekosistem pesisir dan perubahan iklim. Meraih

gelar S1 dari Universitas Brawijaya dan S2 Universitas

Diponegoro. Bekerja di KKP sejak tahun 2009 dan

ditempatkan di Balai Riset dan Observasi Laut sejak

tahun 2010 hingga sekarang. Penulis terlibat dalam

kegiatan penelitian dan kerjasama nasional di bidang

observasi ekosistem pesisir dan paleoklimatologi.

SCOPUS : 57189297461

ORCID : 0000-0003-2259-7023

email : [email protected]

Daduk Setyohadi adalah dosen di Program Studi

Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Fakultas

Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya

sejak tahun 1988. Menekuni bidang pemanfaatan

sumberdaya perikanan. Meraih gelar S1 bidang

Manajemen Perikanan Tangkap tahun 1986 dari

Universitas Brawijaya, S2 Program Pascasarjana

Universitas Brawijaya tahun 2000, dan S3 Program

Ilmu Pertanian minat Lingkungan Pesisir dan Lautan

Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya tahun 2010.

Penulis banyak terlibat dalam penelitian di bidang

pengkajian stok dan dinamika populasi ikan. Selain

menjadi dosen, penulis saat ini menjabat sebagai

Wakil Dekan I di Fakultas Perikanan dan Ilmu

Kelautan, Universitas Brawijaya.

SCOPUS : 6505842692

email : [email protected]

Page 136: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

113

BIOGRAFI PENULIS

Dessy Berlianty adalah peneliti di bidang

Oseanografi Fisika yang menekuni topik riset

terkait oseanografi dengan fokus riset tentang

pemodelan laut dan ekosistem termasuk aplikasinya

(seperti dinamika dan sirkulasi laut, ekosistem

laut dan biogeokimianya). Meraih gelar S1 dan S2

dari Institut Teknologi Bandung, dan S3 Kyushu

University - Japan. Bekerja di Kementerian Kelautan

dan Perikanan dengan penempatan di Balai Riset dan

Observasi Laut sejak tahun 2006 hingga sekarang.

Penulis terlibat dalam kegiatan penelitian dan kerja

sama bidang oseanografi dan pemanfaatannya, serta

juga terlibat sebagai pembimbing mahasiswa dan

mitra bestari.

SCOPUS : 57189099383

ORCID : 0000-0003-0374-1157

email : [email protected]

Dinarika Jatisworo adalah peneliti di bidang

Geomatika yang menekuni topik riset aplikasi

penginderaan jauh untuk kelautan, SIG, dan data

mining. Meraih gelar S1 dan S2 dari Universitas

Gadjah Mada. Bekerja di Kementerian Kelautan dan

Perikanan (KKP) sejak tahun 2009 dan ditempatkan

di Balai Riset dan Observasi Laut hingga sekarang.

Penulis terlibat aktif dalam kegiatan penelitian

mengenai peta prakiraan daerah penangkapan

ikan. Penulis juga pernah menjabat sebagai Kepala

Laboratorium Penginderaan Jauh Kelautan di Balai

Riset dan Observasi Laut (2010-2013 dan 2019).

SCOPUS : 57200091289

ORCID : 0000-0002-5027-8962

email : [email protected]

Page 137: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

114

SUMBER DAYA LAUT DAN PESISIR PERAIRAN SELAT BALI

Eghbert Elvan Ampou adalah peneliti bidang

ekologi laut. Memperoleh gelar S1 Ilmu Kelautan

di Universitas Sam Ratulangi (2000). Gelar S2

Master of the Biodiversity of Indonesian Coral Reefs,

Polytechnical University of Delle Marche – Ancona,

Italy (2005). Gelar S3 diraih tahun 2016 pada Ecole

Doctorale di Université Toulouse III – Paul Sabatier

(UPS) di bidang Ekologi Fungsional khususnya pada

ekosistem terumbu karang. Bekerja di Kementerian

Kelautan dan Perikanan sejak tahun 2000 dengan

penempatan di Akademi Perikanan Bitung (sekarang

Poltek-KP, Bitung). Sejak 2007 hingga saat ini

bekerja di Balai Riset dan Observasi Laut. Pada tahun

2013 menerima gelar Satya Lencana Wirakarya dari

Bapak Presiden RI atas inovasi Bioreeftek (terumbu

buatan). Bioreeftek masuk dalam 20 karya Teknologi

Anak Bangsa dalam rangka Hari Kebangkitan

Teknologi Nasional (Hakteknas) tahun 2015 dan

penghargaan dari Menteri Kelautan dan Perikanan

Ibu Susi Pudjiastuti.

SCOPUS : 56181500400

ORCID : 0000-0003-0991-1153

email : [email protected]

Fikrul Islamy adalah Analis Radar di Laboratorium

Bali Radar Ground Receving Station (BARATA).

Meraih gelar S1 dari Universitas Brawijaya Malang.

Bekerja di Balai Riset dan Observasi Laut sejak

tahun 2013 hingga saat ini. Sebelumnya Penulis

juga merupakan Analis PPDPI pada Laboratorium

Penginderaan Jauh Kelautan.

SCOPUS : -

email : [email protected]

Page 138: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

115

BIOGRAFI PENULIS

Eko Susilo adalah peneliti di bidang Oseanografi

Terapan yang menekuni topik riset pemodelan

habitat ikan dan prediksi lokasi penangkapan

ikan. Meraih gelar S1 dari Institut Pertanian Bogor

dan sedang mengikuti program S2 di Universitas

Terbuka. Bekerja di Kementerian Kelautan dan

Perikanan (KKP) sejak tahun 2009 dan ditempatkan

di Balai Riset dan Observasi Laut hingga sekarang.

Penulis aktif melakukan kajian pemodelan habitat

ikan berdasarkan karakteristik oseanografi melalui

pendekatan penginderaan jauh, pemodelan laut,

maupun pengukuran lapangan. Saat ini Penulis juga

menjabat sebagai Kepala Laboratorium Penginderaan

Jauh Kelautan di Balai Riset dan Observasi Laut.

SCOPUS : 57192946819

ORCID : 0000-0001-8781-272X

email : [email protected]

Iis Triyulianti adalah peneliti bidang Biologi Laut

yang menekuni riset biogeokimia laut khususnya

mengenai pompa karbon biologi di laut lepas (Marine

Biological Pump in Open Sea). Meraih gelar S1 dan

S2 dari Institut Pertanian Bogor dan gelar S3 di

Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan,

Universitas Diponegoro. Bekerja di Kementerian

Kelautan dan Perikanan (KKP) sejak tahun 2012

dan ditempatkan di Balai Riset dan Observasi Laut

hingga sekarang. Saat ini sedang mengembangkan

riset terkait mekanisme peranan fitoplankton perairan

laut dan regulasinya pada siklus karbon ekosistem

laut dalam menghadapi fenomena perubahan iklim.

SCOPUS : 57003683100

ORCID : 0000-0001-8590-2553

email : [email protected]

Page 139: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

116

SUMBER DAYA LAUT DAN PESISIR PERAIRAN SELAT BALI

Komang Iwan Suniada adalah peneliti di bidang

aplikasi pemanfaatan data penginderaan jauh

untuk lingkungan, khususnya lingkungan pesisir

dan laut. Meraih gelar S1 dari Institut Pertanian

Bogor. Sedangkan gelar S2 dari Universitas Udayana

pada Program Studi Ilmu Lingkungan, konsentrasi

Remote Sensing. Bekerja di Kementerian Kelautan

dan Perikanan (KKP) sejak tahun 2003 dan

ditempatkan di Balai Riset dan Observasi Laut hingga

sekarang. Topik penelitian terkait pemanfaatan data

pengindenderaan jauh yang pernah dilakukan meliputi

kajian kondisi oseanografis dan hubungannya dengan

kondisi perikanan, observasi kekeruhan perairan,

perubahan garis pantai, penentuan lokasi budidaya,

dan observasi tumpahan minyak.

SCOPUS : -

email : [email protected]

Nadya Christa Mahdalena adalah Analis Oseanografi

pada Laboratoroium Observasi dan Pemodelan Laut.

Meraih gelar S1 dari Institut Teknologi Bandung.

Bekerja di Balai Riset dan Observasi Laut sejak bulan

Januari 2016 hingga Desember 2017.

SCOPUS : -

email : [email protected]

Page 140: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

117

BIOGRAFI PENULIS

Novia Arinda Pradisty adalah peneliti di bidang

Oseanografi Kimia yang menekuni topik riset

yang menekuni topik riset mangrove ecology, coastal

processes, dan environmental assessment & monitoring.

Meraih gelar S1 Kimia dari Univeritas Indonesia

dan gelar S2 dari Universität Bremen pada bidang

International Studies in Aquatic Tropical Ecology

(ISATEC). Bekerja di Kementerian Kelautan dan

Perikanan sejak tahun 2008 dan ditempatkan di Balai

Riset dan Observasi Laut hingga saat ini. Saat ini

Penulis juga sebagai Kepala Laboratorium Kualitas

Perairan di Balai Riset dan Observasi Laut.

SCOPUS : -

ORCID : 0000-0002-7944-4653

email : [email protected]

Nuryani Widagti adalah peneliti di bidang

Oseanografi Biologi yang menekuni topik riset

dinamika ekosistem pesisir. Gelar S1 diraih di

Institut Pertanian Bogor (IPB University) dan

Magister Sains (S2) di Universitas Indonesia. Bekerja

di Kementerian Kelautan dan Perikanan sejak tahun

2008 dan ditempatkan di Balai Riset dan Observasi

Laut hingga saat ini. Penulis banyak terlibat dalam

kegiatan riset terkait dengan dinamika ekosistem

pesisir dan perubahan iklim.

SCOPUS : 56181587300

ORCID : 0000-0003-2682-8511

email : [email protected]

Page 141: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

118

SUMBER DAYA LAUT DAN PESISIR PERAIRAN SELAT BALI

Teguh Agustiadi adalah peneliti di bidang

Oseanografi Fisika yang menekuni topik riset

karakteristik osenografi. Meraih gelar S1 dari

Program Studi Ilmu Kelutan Universitas Diponegoro.

Bekerja di Balai Riset dan Observasi Laut sejak tahun

2010. Penulis terlibat dalam kegiatan observasi laut

baik di dalam maupun di luar negeri bekerja sama

baik dengan institusi nasional dan internasional.

Beberapa lokasi observasi yang pernah dilakukan

diantaranya adalah Segitiga Bermuda (Samudera

Atlatik Utara), Samudera Hindia Barat Sumatera dan

Selatan Jawa, Selat Karimata, Selat Sunda, Selat Bali,

Selat Lombok, Selat Makassar, Laut Banda dan Teluk

Tomini. Penulis memfokuskan diri pada pengamatan

kelautan dengan platform surface mooring, sub surface

mooring dan trawl resistant bottom mooring. Saat

ini penulis sedang mengembangkan sistem aplikasi

metadata observasi dan pemodelan laut.

SCOPUS : 57190253522

ORCID : 0000-0001-5759-9569

email : [email protected]

Teja Arief Wibawa adalah peneliti di bidang Biologi

Oseanografi yang menekuni topik riset dinamika

populasi spasial ikan pelagis, satelit oseanografi,

Maritime Domain Awareness (MDA), dan

Ocean Health Index (OHI). Meraih gelar S1 dari

Universitas Diponegoro, S2 dari Universitas Udayana,

dan menyelesaikan program S3 di Universite Paul

Sabatier (UPS), Toulouse, Prancis. Bekerja di

Kementerian Kelautan dan Perikanan sejak tahun

2005 dan ditempatkan di Balai Riset dan Observasi

Laut hingga saat ini. Saat ini Penulis juga sebagai

Kepala Laboratorium Bali Radar Ground Receiving

Satellite (BARATA).

email : [email protected]

Page 142: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

119

BIOGRAFI PENULIS

Umi Zakiyah adalah dosen dengan kompetensi

pengelolaan lingkungan perairan di Program Studi

Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan

dan Ilmu Kelautan, Universitas Brawijaya. Menekuni

bidang lingkungan perairan. Meraih gelar S1 bidang

Manajemen Sumberdaya Perairan dari Universitas

Brawijaya, S2 bidang Biologi dari Universitas

Gadjah Mada, dan S3 bidang ilmu Lingkungan dari

Universitas Gadjah Mada. Penulis banyak terlibat

dalam penelitian di bidang produktivitas primer dan

penginderaan jauh.

SCOPUS : 57201774520

email : [email protected]

Wingking Era Rintaka Siwi adalah peneliti di

bidang Oseanografi Terapan yang menekuni

topik riset keterkaitan oseanografi terapan untuk

perikanan dan kesehatan lingkungan pesisir dan

laut. Meraih gelar S1 dari Universitas Diponegoro, S2

dari Institut Pertanian Bogor, dan sedang menempuh

program S3 di Institut Pertanian Bogor. Bekerja di

Kementerian Kelautan dan Perikanan sejak tahun

2009 dan ditempatkan di Balai Riset dan Observasi

Laut hingga sekarang. Penulis terlibat dalam kegiatan

penelitian di bidang oseanografi terapan untuk

perikanan dan kesehatan lingkungan serta menjadi

mitra bestari untuk artikel prosiding ilmiah terindeks

global bereputasi.

SCOPUS : 57201774900

ORCID : 0000-0001-8072-4647

email : [email protected]; wingiking.

[email protected]

Page 143: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga
Page 144: Sumber Daya Laut - bpol.litbang.kkp.go.idbpol.litbang.kkp.go.id/images/berita/20210217_EBOOK_SDLPPSB.pdfpemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Selat Bali cukup tinggi sehingga

ISBN : 978-623-92965-1-3

Kelautan

dan Pesisir Perairan Selat Bali

Sumber Daya Laut

Balai Riset dan Observasi Laut

Pusat Riset Kelautan

Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Kementerian Kelautan dan Perikanan

Su

mb

er

Daya

Lau

t

Sebagai satu kesatuan ekosistem, Selat Bali merupakan perairan semi tertutup yang memiliki

keberagaman bentang alam dan dikeliling oleh sekitar 89 desa pesisir yang tersebar di kedua

wilayah, Pulau Bali dan Pulau Jawa. Selat Bali menyediakan jasa lingkungan dan sumber daya

perikanan bagi kehidupan masyarakat, tidak saja masyarakat lokal namun juga secara masyarakat

perikanan nasional. Sejumlah industri pengolahan ikan beroperasi dan mengambil bahan baku dari

hasil tangkapan ikan di Selat Bali, utamanya ikan lemuru.

Informasi karakteristik dan kondisi pesisir dan laut sangat dibutuhkan untuk mendukung pengelolaan

potensi sumber daya pesisir dan perairan di Selat Bali. Hasil riset menunjukkan adanya tekanan

antropogenik, siklus muson, dan perubahan iklim yang mendorong pada perubahan habitat hingga

pola migrasi sumberdaya ikan. Peningkatan suhu laut dan penurunan muka air laut mempengaruhi

kondisi karang hidup di Pulau Menjangan dan menyebabkan terjadinya pemutihan hingga kematian

karang di area ini. Faktor antropogenik memberikan dampak terhadap kondisi kualitas perairan dan

keragaman geomorfologi hutan mangrove di Taman Nasional Bali Barat. Variasi iklim diduga kuat

telah memberikan kontribusi terhadap proses rekrutmen ikan lemuru, perubahan pola migrasi

maupun musim penangkapan ikan lemuru. Kondisi ini berimbas pada ‘hilangnya’ lemuru di Selat

Bali dan berdampak menurunnya hasil tangkapan nelayan maupun pasokan bahan baku industri

pengolahan ikan.

Diharapkan buku ini dapat dijadikan sebagai salah satu rujukan bagi pemangku kepentingan dalam

menyusun strategi pengelolaan sumber daya laut dan pesisir Selat Bali yang terpadu, komprehensif,

dan berkelanjutan.