bab iibalai besar pengembangan dan budi daya laut
TRANSCRIPT
BAB II
BALAI BESAR PENGEMBANGAN DAN BUDI DAYA LAUT
2.1 SEJARAH BBPBL
Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut Lampung yang terletak di Desa Hurun
Kec. Padang Cermin memang tidak banyak dikenal luas oleh wisatawan.Padahal
tempat ini tidak kalah menarik sebagai tempat kunjungan wisata terutama yang
tertarik dengan minat budidaya laut.
Sejarahnya sendiri, Balai Budidaya Laut Lampung (BBL) berdiri sejak tahun
1982. Pada awalnya BBL memperoleh bantuan teknis dari FAO/UNDP melalui
Seafarming Development Project INS/81/008 selama 6 tahun (1983-1989). BBL
ditetapkan secara resmi berdasarkan SK. Menteri pertanian Nomor
347/Kpts/OT.210/8/1986 tanggal 5 Agusuts 1986, SK Menteri Pertanian Nomor
347/Kpts/OT.210/5/1994 tanggal 6 Mei 1994 dan disempurnakan dengan SK
Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.26F/MEN/2001. Sejak 1 Januari
2006 Balai Budidaya Laut berubah menjadi Balai Besar Pengembangan Budidaya
Laut berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
PER.07/MEN/2006.
2.2 JENIS PENGEMBANGAN BUDI DAYA LAUT
Ikan bersirip
Kakap Putih (Lates calcarifer)
Kakap Merah (Lutjanus johni)
Kerapu Tikus (Cromileptes altivelis)
Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus)
Cobia (Rachycentron canadum)
Badut/Nemo (Amphiprion ocellaris)
Ikan tak bersirip
Kuda Laut (Hippocampus kuda)
2.3 PROSES PENGEMBANGAN
kakap putih
1. Metode Pemeliharaan
Benih ikan yang sudah mencapai ukuran 50-70 gram/ekor dari hasil
pendederan atau hatchery, selanjutnya dipelikara dalam kurungan yang
telah disiapkan. Penebaran benih ke dalam karamba/jaring apung
dilakukan pada kegiatan sore hari dengan adaptasi terlebih dahulu. Padat
penebaran yang ditetapkan adalah 50 ekor/m 3 volume air. Pemberian
pakan dilakukan 2 kali sehari pada pagi dan sore hari dengan takaran
pakan 8-10% botol total badan perhari. Jenis pakan yang diberikan adalah
ikan rucah (trash fish). Konversi pakan yang digunakan adlah 6:1 dalam
arti untuk menghasilkan 1 kg daging diperlukan pakan 6 kg. Selama
periode pemeliharan yaitu 5-6 bulan, dilakukan pembersihan kotoran yang
menempel pada jaring, yang disebabkan oleh teritif, algae, kerang-
kerangan dll. Penempelan organisme sangat menggangu pertukaran air dan
menyebabkan kurungan bertambah berat. Pembersihan kotoran dilakukan
secara periodik paing sedikit 1 bulan sekali dilakukan secara berkala atau
bisa juga tergantung kepada banyak sedikitnya organisme yang menempel.
Penempelan oleh algae dapat ditanggulangi dengan memasukkan beberapa
ekor ikan herbivora (Siganus sp.) ke dalam kurungan agar dapat memakan
algae tersebut. Pembersihan kurungan dapat dilakukan dengan cara
menyikat atau menyemprot dengan air bertekanan tinggi. Selain
pengelolaan terhadap sarana /jaring, pengelolaan terhadap ikan peliharaan
juga termasuk kegiatan pemeliharaan yang harus dilakukan. Setiap hari
dilakukan pengontrolan terhadap ikan peliharaan secara berkala, guna
untuk menghindari sifat kanibalisme atau kerusakan fisik pada ikan.
Disamping itu juga untuk menghindari terjadinya pertumbuhan yang tidak
seragam karena adanya persaingan dalam mendapatkan makanan.
Penggolongan ukuran (grading) harus dilakukan bila dari hasil
pengontrolan terlihat ukuran ikan yang tidak seragam. Dalam melakukan
pengontrolan, perlu dihindari jangan sampai terjadi stress.
2. Panen
Lama pemeliharan mulai dari awal penebaran sampai mencapai ukuran ±
500 gram/ekor diperlikan waktu 5-6 bulan. Dengan tingkat kelulusan
hidup/survival rate sebesar 90% akan didapat produksi sebesar 2.250
kg/unit/periode budidaya. Pemanenan dilakukan dengan cara mengangkat
jaring keluar rakit, kemudian dilakukan penyerokan.
3. Penyakit
Publikasi tentang penyakit yang menyerang ikan-ikan yang dibudidayakan
di laut seperti ikan kakap putih belum banyak dijumpai. Ikan kakap putih
ini termasuk diantara jenis-jenis ikan teleostei. Ikan jenis ini sering kali
diserang virus, bakteri dan jamur. Gejala-gejala ikan yang terserang
penyakit antara lain adalah, kurang nafsu makan, kelainan tingkah laku,
kelainan bentuk tubuh dll. Tindakan yang dapat dilakukan dalam
mengantisipasi penyakit ini adalah:
1. menghentikan pemberian pakan terhadap ikan dan menggantinya
dengan jenis yang lain;
2. memisahkan ikan yang terserang penyakit, serta mengurangi
kepadatan;
3. memberikan obat sesuai dengan dosis yang telah ditentukan.
kakap merah
Sektor kelautan dan perikanan diharapkan menjadi salah satu tulang
punggung perekonomian Indonesia, hal ini dapat dilihat dari kontribusi dalam
perhitungan Product Domestic Bruto (PDB) yang terus mengalami peningkatan
dari tahun ke tahun. Salah satu keberhasilan sektor kelautan dan perikanan dapat
dilihat dari indikator peningkatan produksi perikanan setiap tahunnya. Selaras
dengan visi Kementerian Kelautan dan Perikanan pada Kabinet Indonesia Bersatu
Jilid II, yaitu Indonesia menjadi penghasil produk perikanan terbesar pada tahun
2015 maka perikanan budidaya dituntut menjadi kontributor utama yang dapat
meningkatkan produksinya guna mencapai visi tersebut. Target produksi
perikanan budidaya ditetapkan sebesar 16,89 juta ton pada tahun 2014 atau
meningkat sebesar kurang lebih 4 kali lipat dari tahun 2009 yaitu sebesar 4,78
juta ton, tentunya berbagai upaya dilakukan untuk mewujudkan visi tersebut
(Ahda, Alfida., dkk. 2009)
Budidaya kakap merah tentunya menjadi salah satu alternatif untuk
mewujudkan visi dari Kementerian Kelautan dan Perikanan. Ikan kakap merah
atau sering disebut red snapper merupakan salah satu jenis ikan air laut yang
memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi. Ikan kakap merah banyak dijumpai
di perairan Indonesia dan selama ini banyak didapatkan hanya dari alam. Selain
melalui penangkapan produksi kakap merah dapat juga diperoleh melalui usaha
budidaya, namun sampai saat ini ketersediaan benih di alam masih tergantung dari
faktor musiman (Supria dan Ruswantoro, 2011).
Beberapa kelemahan apabila usaha budidaya tergantung dari benih yang
berasal dari alam antara lain kualitas dan kuantitas yang kurang terjamin karena
sifat pemijahan yang musiman, oleh karena itu perlu diupayakan melalui kegiatan
pembenihan pada bak terkontrol sehingga, kebutuhan benih kakap merah yang
semula hanya tergantung dari ketersediaan di alam dapat memenuhi untuk
kegiatan budidaya.
Keberhasilan dalam kegiatan pembenihan kakap merah sangat ditentukan
oleh beberapa faktor diantaranya penanganan induk, metode pemijahan,
penanganan telur, pemeliharaan larva, dan penyadiaan pakan alami yang tepat
mutu baik ukuran, jumlah dan jadwal pemberiannya. Untuk itu perlu dilakukan
upaya penanganan secara tepat untuk memperoleh hasil secara optimal dalam
kegiatan pembenihan pada bak terkontrol secara kontinyu, sehingga kegiatan
budidaya dapat berjalan secara lancar tanpa tergantung ketersediaan benih dari
alam dan diharapkan dapat mendorong tercapainya visi Kementerian Kelautan dan
Perikanan.
1.2 Tujuan
Tujuan penulisan Tugas Akhir berdasarkan kegiatan Praktik Kerja Lapang
adalah :
1) Menambah pengetahuan tentang teknik pembenihan ikan kakap merah
secara masal.
2) Mengetahui jumlah telur (fekunditas) dan derajat penetasan (HR) ikan
kakap merah dalam pemijahan secara masal.
3) Mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh dalam keberhasilan derajat
penetasan telur kakap merah.
1.3 Kontribusi
Laporan Tugas Akhir ini diharapkan sebagai salah satu penyaluran ilmu
teknologi tepat guna terhadap masyarakat secara umum dan memberikan
pengetahuan bagi penulis tentang pembenihan ikan kakap merah (Lutjanus
argentimaculatus forsskal) secara masal.
kerapu tikus
Ikan Kerapu Tikus tersebar luas di Pasifik Barat mulai dari bagian Selatan
Jepang, Guam, Nicobar sampai Broome. Di Indonesia ikan Kerapu Tikus banyak
ditemukan di wilayah perairan teluk banten, ujung Kulon, Kepulauan Riau,
Kepulauan Seribu, Kepulauan Karimun, Jawa, Madura, Kalimantan, dan Nusa
Tenggara.
Ikan Kerapu Tikus banyak dijumpai di perairan batu karang atau daerah
karang berlumpur, hidup pada kedalaman 40-60 meter. Dalam siklus hidupnya
ikan muda dan larva hidup di dasar perairan berupa pasir karang yang banyak
ditumbuhi padang lamun dengan kedalaman 0,5-3 meter, menginjak dewasa ikan
ini bermigrasi menuju perairan yang lebih dalam yang biasanya berpindah pada
siang dan senja hari. Telur dan larva bersifat pelagis, sedangkan kerapu muda dan
dewasa bersifat demersal.
Menurut Breet dan Groves (1979, ikan Kerapu bersifat stenohaline yaitu
mempunyai kemampuan beradaptasi dengan lingkungan perairan berkadar garam
rendah. Disamping itu ikan ini juga bersifat nocturnal, yaitu bersembunyi di liang-
liang karang pada siang hari dan aktif bergerak pada malam hari.
Siklus Reproduksi
Kerapu Tikus bersifat hemaprodit protogini, yaitu pada perkembangan
mencapai dewasa (matang gonad) berjenis kelamin betina dan akan berubah
menjadi jantan apabila tumbuh menjadi lebih besar atau bertambah tua umurnya.
Induk ikan Kerapu Tikus yang di tangkap dialam berukuran kecil dan umurnya
berjenis kelamin betina. Induk akan mengalami kematangan kelamin sepanjang
tahun. Berdasarkan pengamatan mikroskopis, telur ikan Kerapu bebek dan macan
berbentuk bulat tanpa kerutan, cenderung bergerombol pada kondisi tanpa aerasi,
kuning telurnya tersebar merata. Telur transparan dengan diameter sekitar 850
mikron dan tidak mempunyai rongga telur.
Panjang larva yang baru menetas 2,068 mm. Pembentukan sirip punggung
mulai terjadi pada hari pertama. Hari kedua sirip dada mulai terbentuk dan
jaringan usus berkembang sampai ke anus. Hari ketiga mulai terjadi pigmentasi
saluran pencernaan bagian atas dan mulut mulai membuka. Hari keempat kuning
telur sudah habis terabsorpsi. Periode perkembangan larva kerapu tikus sampai
pada tahap metamorfosis penuh membutuhkan waktu 35-40 hari.
Pertumbuhan Ikan
Menurut Effendi (1978) dalam Veni Darmawiyanti.dkk (2003),
menyatakan bahwa pertumbuhan meliputi pertumbuhan mutlak dan pertumbuhan
relatif. Pertumbuhan mutlak yaitu pertumbuhan panjang atau bobot yang dicapai
dalam satu periode waktu tertentu, sedangkan pertumbuhan relatif adalah panjang
atau bobot yang dicapai dalam satu periode waktu tertentu dihubungkan dengan
panjang atau bobot ikan pada awal periode tersebut.
Menurut Huet (1971) dalam Veni Darmawiyanti.dkk (2003), Pertumbuhan
ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor internal (sifat genetik, umur,
jenis kelamin, ketahanan terhadap penyakit dan kemampuan memanfaatkan pakan
buatan) dan faktor eksternal (suhu, pakan, oksigen terlarut, dan pH air). Faktor
eksternal yang sangat berpengaruh adalah suhu dan pakan. Selanjutnya setiap
faktor yang mempengaruhi laju pertumbuhan ikan selalu diasosiasikan dengan
suatu sindrom perubahan fisiologis.
Pakan dan Kebiasaan Makan
Menurut Kompiang (1996) dalam Veni Darmawiyanti.dkk (2003), pakan
adalah salah satu faktor biologis yang sangat penting bagi ikan. Ketersediaan
pakan merupakan salah satu persyaratan mutlak bagi berhasilnya usaha budidaya
ikan. Sebagaimana diketahui, semua makhluk hidup memerlukan makanan untuk
menunjang kelangsungan hidupnya. Pada garis besarnya pakan merupakan
sumber protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral.
Menurut Randall (1987), berdasarkan kebiasaan makannya ikan kerapu
menempati struktur tropik teratas dalam piramida rantai makanan dan salah satu
sifat buruk dari ikan kerapu adalah sifat kanibal tapi pada ikan kerapu tikus sifat
kanibal tidak seburuk pada ikan kerapu macan dan ikan kerapu lumpur.
Menurut Syamsul Akbar (2000), Ikan Kerapu adalah jenis ikan buas
(karnivora). Sifat kanibalnya muncul apabila kekurangan pakan, terutama terlihat
pada ikan kerapu stadia awal. Dari pengamatan isi perut ikan kerapu kecil
diketahui kandungan di dalamnya didominasi oleh golongan krustacea (uang-
udangan dan kepiting) sebanyak 83% dan ikan-ikanan sebesar 17%. Namun
semakin besar ukran ikan kerapu, komposisi isi perutnya cenderung didominasi
oleh ikan-ikanan. Jenis udang krosok (Parapeneus sp.), udang dogol
(Metapenaeus sp.), dan udang jerbung (Penaeus merguiensis). Sementara dari
kelompok ikan-ikanan yang ditemui pada umumnya adalah ikan teri (Stelopterus
sp.), beronang (Sinagus sp.), tembang (Sardinella sp.), belanak (Mugil sp.), jenaha
(Luthanus sp.), dan cumi-cumi (Loligo sp.) dalam jumlah kecil.
Pemilihan Lokasi Budidaya
Salah satu faktor yang menunjang keberhasilan pembesaran ikan kerapu
adalah pemilihan lokasi yang tepat. Keberadaan lokasi banyak mengandung
resiko, bermasalah dan tidak memenuhi persyaratan ekologis hendaknya
dihindari, karena akan menjadi faktor pembatas. Lokasi yang memenuhi
persyaratan secara teknis, merupakan aset yang tidak ternilai harganya karena
mampu mendukung kesinambungan usaha dan target produksi. Faktor pemilihan
lokasi yang tepat meliputi dua faktor, yaitu persyaratan umum dan persyaratan
kualitas air.
Ikan cobia
Ikan Cobia (Rachycentron canadum) dapat dijadikan spesies kandidat
dalam aquaculture karena pertumbuhannya relatif cepat, relatif tahan terhadap
serangan penyakit dan memiliki kualitas daging yang bagus. Selain hal tersebut di
atas, ikan Cobia merupakan ikan yang mempunyai nilai ekonomis. Daging cobia
dipasarkan dalam bentuk beku, cocok untuk diasap atau bahan pembuatan
Sashimi. Pasar Asia selain tertarik pada dagingnya, juga tertarik pada gonad,
stomach dan kepala untuk dimasak menjadi soup.
Dengan terbukanya peluang pasar untuk ikan Cobia, maka mendorong
masyarakat untuk menyediakan ikan melalui usaha budidaya. Usaha budidaya
akan berjalan, apabila benih dengan kualitas baik tersedia secara kontinyu dan
berkesinambungan. Dengan keberhasilan rekayasa teknologi pembenihan ikan
cobia di Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut (BBPBL) Lampung, maka
membuka peluang berkembanganya usaha budidaya ikan cobia.
Ikan badut
Penggemar film animasi Finding Nemo pasti tidak asing lagi dengan sosok
ikan badut atau clown fish. Tokoh utama film tersebut memang terlihat lucu,
lincah, dan menggemaskan.
“Ikan ini juga tergolong jinak,” kata Silvester Basi Dhoe, Koordinator
Perbenihan, Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut (BBPBL) Lampung. Ikan
badut merupakan salah satu anggota famili Pomacentridae, dan yang paling
dikenal saat ini adalah dari spesies Amphiprion ocellaris, si Nemo dalam film
animasi tersebut.
Ciri khas spesies ini mempunyai warna oranye cerah dengan hiasan garis
putih pada bagian kepala, badan, dan pangkal ekor. Di alam bebas, keluarga ikan
badut mencapai 29 spesies berwarna menyala, seperti kuning, oranye, kemerahan,
hitam, dan putih dan semakin dipercantik dengan motif garis putih atau hitam
pada tubuhnya.
Di laut lepas, ikan ini hidup di sekitar terumbu karang dan daerah pantai
dengan kedalaman laut kurang dari 50 m yang berair jernih. “Kalau hobi
menyelam, pada kedalaman 7—15 m, biasa kita temukan anemon, istilahnya
daerah soft coral. Nah, dia bersimbiosis dengan anemon itu,” tambah Silvester.
Padahal bagi ikan jenis lain, anemon laut berbahaya karena tentakel beracun
sehingga tidak sembarang menjadi tempat hidup. Anemon laut dan ikan badut
ternyata menjalin hubungan timbal balik yang saling menguntungkan.
Racun pada tentakel anemon laut yang dapat membunuh ikan dari spesies
lain tidak berpengaruh pada sang Nemo. Pasalnya, tubuh ikan ini dilapisi lendir
yang kebal terhadap sengatan tentakel. Jika ikan ini dipisahkan dengan anemon
selama beberapa jam saja, kekebalan tubuhnya akan hilang, dan membutuhkan
waktu lagi untuk mengembalikan kekebalan tubuhnya. “Tanpa anemon ini dia
tidak bisa apa-apa, tidak bisa melangsungkan hidupnya dengan baik,” jelas pria
asal Flores ini.
Sebaliknya bagi anemon, makanan ikan badut berupa invertebrata kecil
yang melekat pada tentakelnya membantu anemon terbebas dari parasit.
Invertebrata ini umumnya membahayakan anemon. Selain itu, kotoran ikan badut
juga memberikan nutrisi bagi anemon. Namun, setiap ikan badut berhubungan
dengan jenis anemon tersendiri yang cocok sebagai tempat hidupnya.
Sudah Dibudidayakan
Banyaknya permintaan pasar terhadap ikan badut membuat penangkapan
ikan ini dari habitat aslinya semakin meningkat, bahkan terjadi eksploitasi yang
tidak terkendali. Akibatnya, saat ini ikan badut sudah dikelompokkan sebagai
biota yang dilindungi. Menurut Silvester, budidaya ini dilakukan untuk
menghindari terjadinya penangkapan secara besar-besaran ikan badut di laut
lepas.
Benih ikan badut yang berasal dari alam dipelihara dalam bak semen,
fiberglas, atau akuarium. Agar pertumbuhannya optimal, lingkungan tumbuh ikan
badut pun disesuaikan dengan keadaannya di alam, tapi tanpa anemon. Seperti
penuturan Kadek Ari, peneliti ikan badut di tempat yang sama, “Berkaitan dengan
konservasi, kami memanfaatkan sisa-sisa paralon. Sebisa mungkin karang mati
pun nggak saya pakai. Takutnya malah nanti orang sengaja mematikan karang.”
Penggunaan paralon ini berfungsi sebagai rumah bagi ikan badut. “Yang penting
dia merasa nyaman, kalau tidak ‘kan dia liar,” tambah Kadek.
Tahapan pertama budidaya ikan badut ini adalagi pemeliharaan calon
induk. Dari benih berukuran 1,5 cm hingga siap dijadikan induk yang siap
dikawinkan dan bertelur, dibutuhkan waktu selama 6 bulan. Saat itu ukuran ikan
badut berkisar 4—5 cm. Pakan yang diberikan berupa pellet. “Kita biasanya
menggunakan pellet kerapu karena pellet untuk ikan laut masih belum banyak,”
kata Kadek.
Ikan badut hasil budidaya dengan hasil tangkapan di alam juga menjalani
masa adaptasi yang berbeda saat dipindahkan ke akuarium. Menurut Kadek,
“Kalau ikan liar, butuh masa adaptasi sampai 3 bulan, baru dia mau makan
pelletnya. Untuk bersahabat bahkan butuh waktu tiga bulan. Sedangkan ikan
budidaya sudah tidak perlu adaptasi lagi, satu jam di akuarium dia sudah mau
makan pellet.”
Semua Jantan
Keunikan lain dari ikan badut ini seluruhnya terlahir berkelamin jantan.
“Dalam satu populasi, yang terbesar dalam populasi tersebut akan terpilih menjadi
betina. Itu kalau di alam. Nanti kalau sang betina ini mati, akan digantikan oleh
yang paling besar, (dia) mengalami perubahan jenis kelamin,” papar Kadek.
Jika sudah menemukan pasangannya, ikan badut ini akan setia. “Jadi saya
kurang setuju dengan istilah poliandri yang banyak dipakai, dia sangat setia.
Bahkan kalau belum cocok, dia tidak mau memijah,” ujar sarjana biologi ini. Ikan
badut liar bahkan membutuhkan waktu sekitar 3 bulan hanya untuk perjodohan.
“Dari perjodohan hingga dia mau memijah mungkin sekitar 5—6 bulan,”
tambahnya.
Induk ikan badut meletakkan telur secara rapi. Telur yang telah tertata
dibersihkan dan dirawat dengan mengibaskan ekor dan menyemprotkan air
melalui mulut di sekitar telur. Telur ini dierami selama 9—10 hari, dan menetas
pada pagi hari antara pukul 05.00 hingga 08.00. Sekali bertelur sekitar 400—500
butir. “Yang akan menjadi larva dari 500 itu sekitar 300—400,” urai Kadek.
Mudah Dirawat
Sang Nemo bukan tergolong ikan yang sulit dalam perawatannya. Ikan badut
yang telah berukuran lebih dari 3 cm dapat diberikan pakan buatan lebih banyak
dibandingkan pakan hidup. “Itu rekomendasi kita, sekitar umur 4—5 bulan, dia
sudah bisa makan pellet berukuran besar yang kemungkinan besar di pasar ada,”
imbuh Kadek.
Kualitas dan kejernihan air juga perlu diperhatikan dalam pemeliharaan. Air
harus dijaga tetap jernih dengan kualitas optimal. “Yang penting di situ ada filter,
ini untuk mempertahankan higienisnya. Jernih ‘kan belum tentu higienis,” cetus
Kadek. Toleransi ikan badut terhadap suhu cukup tinggi. Suhu air yang baik
berkisar 26o—32ºC, kadar garam 27—32 ppt, serta pH pada kisaran normal
cenderung basa, yaitu 7,8—8,5.
Kuda laut.
Kuda laut adalah hewan yang telah mengalami evolusi sejak 40 juta tahun
lalu (Fritzhe, 1997). Diistilahkan ke dalam genus Hippocampus berasal dari
bahasa Yunani yang berarti binatang laut berbentuk kepala kuda, (hippos = kepala
kuda ; campus = binatang laut).
Di Indonesia kuda laut di kenal dengan sebutan tangkur kuda yang
merupakan salah satu jenis ikan laut kecil yang yang sangat berbeda dengan jenis
ikan lainnya yaitu kepala kuda laut mempunyai mahkota, tubuh agak pipih dan
melengkung, seluruh tubuh terbungkus oleh semacam baju baja yang terdiri atas
lempengan – lempengan tulang atau cincin – cincin, mata kecil dan sama lebar,
mempunyai moncong, ekor lebih panjang dari kepala dan tubuh serta dapat
memegang, sirip dada
pendek dan lebar, sirip punggung cukup besar, sedang sirip anal kecil dan
sirip ekor tidak ada (Nontji 1993; Hansen and Cummins, 2002) (Gambar 1).
Selanjutnya Nova (1997) menyatakan bahwa kuda laut memiliki kepala seperti
seekor kuda, tegak lurus dengan badannya yang di atasnya terdapat mahkota atau
biasa disebut coronet, sama kekhasannya seperti suatu sidik jari manusia. Juga
seperti halnya kadal, kuda laut memiliki mata yang dapat bergerak bebas, sangat
membantu untuk survival dan taktik pemangsaan. Kuda laut memiliki ekor yang
dapat dililitkan seperti halnya monyet.
Gambar 3. Hyppocampus barbouri
Menurut Dames (2000), ukuran tubuh kuda laut relatif kecil dan komposisi
badannya unik membuat mereka hampir tidak mampu berenang, merupakan
satusatunya ikan yang mampu ditangkap langsung dengan tangan. Selanjutnya
Anonim (2002) menyatakan bahwa panjang kuda laut antara 5 cm – 36 cm
tergantung jenisnya. Taksonomi kuda laut menurut Hidayat dan Silfester (1998)
adalah sebagai berikut :
Phylum : Chordata
Sub Phylum : Vertebrata
Class : Pisces
Sub Class : Teleostomi
Ordo : Gasterosteiformes
Family : Syngnathidae
Genus : Hippocampus
Species : Hippocampus spp
Kuda laut tidak mempunyai sisik seperti halnya ikan lain, tetapi lebih
miripkulit yang diregangkan di atas serangkaian plat tulang, yang memberikan
kenampakanbercincin pada perut dan tubuhnya.
Menurut Simon and Schuster (1997), warna dasar kuda laut berubah –
ubah dari dominan putih menjadi kuning tanah, kadang – kadang punya bintik –
bintik atau garis terang atau gelap. Perubahan tersebut secara perlahan – lahan dari
ujung keujung tergantung pada intensitas cahaya.Walaupun sebagian besar kuda
laut mempunyai warna kecoklat-coklatan alami, warna campuran abu-abu dan
coklat atau bahkan warna hitam agar sesuai dengan lingkungannya, ternyata kuda
laut dapat berubah warna seperti halnya bunglon selama mendekati dan meminang
pasangannya, dan juga untuk bersembunyi dari pemangsa. Ada juga beberapa
jenis yang dapat membuat diri mereka menjadi oranye berpendar hingga ungu
pekat (Hidayat dan Silfester, 1998). Selanjutnya Al Qadri dkk (1998) menyatakan
bahwa perbedaan warna pada kuda laut bukan berarti berbeda jenis, kuda laut
termasuk salah satu hewan yang sering dan sangat mudah berganti warna.
Perbedaan jenis – jenis kuda laut yang paling menonjol adalah terdapatnya duri –
duri atau tulang yang muncul pada setiap cincin (ring) di tubuh dan mahkotanya,
perbedaan lainnya adalah bentuk badannya ada yang langsing dan lebih panjang
dan ada juga yang besar dan lebar.
2.2 ASPEK BIOLOGI
Menurut Al Qodri (1999) sejauh ini beberapa karakteristik biologi kuda laut yang
telah dipelajari yaitu penyebarannya sedikit atau jarang, jarak habitat yang kecil
dan setia pada pasangan. Semua karakteristik ini menjadikan kuda laut sulit untuk
didapatkan dalam jumlah besar.
Aspek biologi yang menarik pada kuda laut jantan adalah terdapat kantong
pengeraman telur yang terletak di bawah perut yang dipersembahkan oleh kuda
laut betina. Kantong pengeraman ini terletak di bagian depan dan mempunyai
lubang yang dapat ditutup. Bagian dalam dari kantong pengeraman dapat
mengeluarkan zat yang menjadi makanan bagi anak – anak yang baru menetas.
Anak kuda laut yang baru keluar sudah mempunyai kemampuan untuk berenang
sendiri (Hidayat dan Silfester,1998).
Menurut Mann (1998) kebanyakan spesies kuda laut menghasilkan telur
sekitar 100 – 200 butir, bahkan ada yang mencapai 600 butir telur, induk jantan
akan mengerami anak – anaknya selama 10 – 14 hari di dalam kantong
pengeraman yang
dilengkapi jaringan semacam plasenta untuk suplai oksigen. Tingkah laku kuda
laut pada umumnya berenang ke atas dengan sangat lambat dan tidak seperti cara
berenang ikan pada umumnya. Untuk mengimbangi kemampuan berenang yang
lambat, kuda laut memiliki mulut berbentuk tabung (Moyle and Joseph, 1998).
Selanjutnya Al Qodri dkk (1999) menyatakan bahwa kuda laut adalah hewan
diurnal yaitu hewan aktif pada siang hari atau selama ada penyinaran cahaya
matahari sedang pada malam hari kurang aktif sebagai contoh Hippocampus
whitei di Australia dan Austria. Waktu pemijahan berlangsung baik pada pagi,
siang atau sore hari. Pada siang hari kuda laut melakukan semua aktivitas
kehidupannya secara aktif. Berdasarkan perilaku makannya, kuda laut adalah
pemangsa yang pasif yaitu menunggu makanan yang lewat dan menyerang
mangsanya dengan cara menghisap sampai masuk ke moncongnya. Kamuflase
lingkungan yang baik akan mengelabui mangsanya. Kuda laut akan mencernakan
apapun yang kecil hingga cukup muat dengan mulutnya, kebanyakan crustacea
kecil seperti amphipods, tetapi juga anak-anak ikan dan invertebrata lainnya
(Anonim, 2002).
Induk kuda laut diperkirakan mempunyai sedikit pemangsa sehubungan dengan
kemampuan menyamar, dengan cara menetap di suatu tempat dan duri pada
tubuhnya yang tak menimbulkan selera. Namun mereka pernah ditemukan di
dalam perut ikan-ikan pelagis besar seperti ikan tuna. Mereka juga dimakan oleh
pinguin dan burung-burung air lainnya. Kuda laut bahkan pernah ditemukan di
dalam perut penyu.
Kepiting mungkin merupakan predator yang paling mengancam. Kuda laut muda
adalah yang paling banyak dijadikan mangsa oleh ikan-ikan lain. Untuk beberapa
populasi kuda laut, manusia merupakan pemangsa yang terbesar (Lourie et al,
1999).
Menurut Hansen and Cummins (2002), arus dapat mengganggu populasi kuda
laut, buangan limbah di tepi pantai dan yang terapung di permukaan menyebabkan
banyak individu kuda laut yang mati dan yang lainnya menghilang. Jangka hidup
alami untuk kuda laut belum diketahui secara pasti. Kebanyakan perkiraan berasal
dari pengamatan di akuarium atau di laboratorium. Jangka hidup yang dikenali
untuk kuda laut sekitar satu tahun untuk jenis yang lebih kecil, sampai rata-rata
tiga hingga lima tahun untuk jenis yang lebih besar (Dames, 2000).
Sebagian besar jenis kuda laut adalah monogami dengan cara membentukikatan
pasangan yang berakhir pada musim perkembangbiakan (dan bahkan ada yang
berakhir setelah beberapa musim perkembangbiakan), walaupun beberapa jenis
tidak mungkin membentuk pasangan yang terikat (Lourie et al, 1999; Dames,
2000).
2.3 ASPEK EKONOMIS
Kuda laut mempunyai nilai pasaran baik di dalam maupun di luar negeri.
Karena memiliki nilai ekonomis bagi masyarakat yang memanfaatkan
sumberdaya hayati laut tersebut, maka sumberdaya kuda laut harus dikelola secara
baik dan lestari.
Manfaat kuda laut adalah sebagai obat tradisional, ikan akuarium, cinderamata,
dan makanan tonic. Obat Tradisional Cina (TCM) merupakan pasar
terbesar untuk perdagangan kuda laut (Hansen and Cummins, 2002). Pada
berbagai zaman di seluruh sejarah medis barat, kuda laut digunakan untuk
membantu produksi air susu ibu, menyembuhkan kebotakan, rabies, lepra
danpenyakit anjing gila, dan akan menyebabkan kematian jika dicampur dengan
anggur (Whitley, 1998). Di jepang kuda laut digunakan sebagai jimat bagi ibu –
ibu hamil dengan harapan dapat melahirkan bayi dengan lancar dan selamat
(Okamura and Amaoka, 1997). Untuk masa sekarang ini pengobatan timur telah
mengeringkan dan menggiling kuda laut yang digunakan sebagai obat gejala-
gejala penyakit mulai dari impotensi, sakit asma, jantung, ginjal, kulit dan gondok
(Lourie et al, 1999).
2.3.1 HAMBATAN DAN GANGGUAN
A: KE KURANGAN DANA
B: KE KURANGAN OBAT FAKSIN
2.3.2 CARA MENGATASI HAMBATAN DAN GANGGUAN
Dengan cara menaikan tongkat di pasang jaring agar sampah tidak masuk
dan pengaliran menjadi lancar