sumbangan hukum waris adat terhadap pembaharuan hukum...

15
1 SUMBANGAN HUKUM WARIS ADAT TERHADAP PEMBAHARUAN HUKUM WARIS ISLAM DI INDONESIA Oleh: Taufik Rahayu Syam, M.S.I PENDAHULUAN Indonesia adalah Negara yang penduduknya mempunyai aneka ragam adat kebudayaan. Dalam adat kebudayaan tersebut terdapat juga hal-hal yang berkaitan dengan hukum. Termasuk dalam hal ini mengenai hukum waris adat. Masalah Warisan berkaitan dengan peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda dari suatu angkatan manusia kepada keturunannya. 1 Jadi dalam hal ini masalah warisan erat kaitannya dengan masalah harta kekayaan. Masyarakat adat Indonesia mempunyai hukum adat waris sendiri-sendiri. Dimana bisanya hukum adat mereka dipengaruhi oleh sistem kekeluargaan dan sistem kewarisan yang mereka anut. Sebagian besar masyarakat Indonesia adalah beragama islam. Keberadaan islam di Indonesia telah sedikit banyaknya mempengaruhi adat istiadat masyarakat setempat., ataupun sedikit banyaknya praktek keberagamaan telah dipengaruhi adat istiadat setempat. Termasuk dalam hal ini, hal-hal yang berkaitan dengan masalah kewarisan. Bagi masyarakat yang memgang teguh ajaran agama islam, maka dia akan terus konsekuen dengan keyakinannya untuk membagikan harta warisan dengan cara- cara islam (faraid). Akan tetapi tidak sedikit juga, masyarakat yang dikenal keislamannya kuat, pada akhirnya masih menggunakan cara-cara pelaksanaan pembagian waris menurut hukum adat dan kebisaaan adat setempat. Maka hal inilah yang menjadi problematika masyarakat, disatu sisi ketentuan faraid merupakan hukum islam yang harus dilaksanakan, disisi lain masyarakat kurang mempercayai dan mempergunakan hukum faraid. Hal inilah yang perlu diperhatikan kembali akan pentingnya reaktualisasi hukum faraid dengan memperhatikan perkembangan kehidupan masyarakat setempat 1 Soerojo Wignjodipoero SH .Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat. Jakarta: Gunung Agung. 1995. hlm. 161 Pengadilan Agama Tangerang Pengadilan Agama Tangerang Pengadilan Agama Tangerang

Upload: dotram

Post on 14-May-2019

227 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

1

SUMBANGAN HUKUM WARIS ADAT TERHADAP PEMBAHARUAN

HUKUM WARIS ISLAM DI INDONESIA

Oleh: Taufik Rahayu Syam, M.S.I

PENDAHULUAN

Indonesia adalah Negara yang penduduknya mempunyai aneka ragam adat

kebudayaan. Dalam adat kebudayaan tersebut terdapat juga hal-hal yang berkaitan

dengan hukum. Termasuk dalam hal ini mengenai hukum waris adat.

Masalah Warisan berkaitan dengan peraturan-peraturan yang mengatur proses

meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang

tidak berwujud benda dari suatu angkatan manusia kepada keturunannya.1 Jadi dalam

hal ini masalah warisan erat kaitannya dengan masalah harta kekayaan.

Masyarakat adat Indonesia mempunyai hukum adat waris sendiri-sendiri.

Dimana bisanya hukum adat mereka dipengaruhi oleh sistem kekeluargaan dan sistem

kewarisan yang mereka anut.

Sebagian besar masyarakat Indonesia adalah beragama islam. Keberadaan

islam di Indonesia telah sedikit banyaknya mempengaruhi adat istiadat masyarakat

setempat., ataupun sedikit banyaknya praktek keberagamaan telah dipengaruhi adat

istiadat setempat. Termasuk dalam hal ini, hal-hal yang berkaitan dengan masalah

kewarisan. Bagi masyarakat yang memgang teguh ajaran agama islam, maka dia akan

terus konsekuen dengan keyakinannya untuk membagikan harta warisan dengan cara-

cara islam (faraid). Akan tetapi tidak sedikit juga, masyarakat yang dikenal

keislamannya kuat, pada akhirnya masih menggunakan cara-cara pelaksanaan

pembagian waris menurut hukum adat dan kebisaaan adat setempat. Maka hal inilah

yang menjadi problematika masyarakat, disatu sisi ketentuan faraid merupakan

hukum islam yang harus dilaksanakan, disisi lain masyarakat kurang mempercayai

dan mempergunakan hukum faraid.

Hal inilah yang perlu diperhatikan kembali akan pentingnya reaktualisasi

hukum faraid dengan memperhatikan perkembangan kehidupan masyarakat setempat

1 Soerojo Wignjodipoero SH .Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat. Jakarta: Gunung

Agung. 1995. hlm. 161

Pengadilan Agama Tangerang

Pengadilan Agama Tangerang

Pengadilan Agama Tangerang

2

akan tetapi hal tersebut masih dalam koridor syari‟at. Rasanya sebagian asas-asas

dalam hukum adat masih layak untuk dijadikan pertimbangan pembaharuan hukum

waris islam di Indonesia.

Sebenarnya umat islam yang ada di Indonesia telah memiliki peraturan khusus

tentang masalah warisan ini yang telah tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam

(KHI). Namun masyarakat islam di Indonesia tidak semua menjadikan KHI sebagai

rujukan dalam pembagian warisan.

Namu perlu diakui keberadaan hukum adat yang ada di Indonesia paling tidak

akan memberikan pengaruhnya juga dalam pembentukan hukum waris islam

kontemporer di Indonesia. Disamping itu, keberadaan Kompilasi Hukum Islam

tidaklah seperti ayat-ayat suci yang tidak bisa diotak-katik lagi ketentuannya.

Tentunya para pakar dibidangnya bisa terus menggali lagi ketentuan-ketentuan hukum

waris islam kontemporer supaya selaras dengan perkembangan zaman dengan

mengandung kearifan lokal.

HUKUM WARIS ADAT

Sebelum menguraikan mengenai hukum waris adat, ada baiknya kita akan

menengok kembali mengenai sifat perkawainan yang berlaku di beberapa daerah adat

di Indonesia. Karena dalam hukum perkawinan adat yang berlaku di Indonesia,

perkawinana bukan saja berarti sebagai perikatan perdata tetapi merupakan perikatan

adat dan sekaligus merupakan perikatan kekerabatan dan ketetanggaan, terjadinya

suatu ikatan perkawinana bukan hanya akan menimbulkan akibat terhadap hubungan

keperdataan, seperti hak dan kewajiban suami istri, harta bersama ( gono gini ),

kedudukan anak, hak dan kewajiban orang tua, tetapi juga menyangkut hubungan-

hubungan adat istiadat kewarisan, kekeluargaan, kekerabatan dan ketetanggaan serta

menyangkut upacara-upacara adat dan keagamaan.2

Pada masyarakat kekerabatan adat yang patrilinial, perkawinan bertujuan

meneruskan garis keturunan bapak, sehingga anak laki-laki (tertua) harus

melaksanakan bentuk perkawinan ambil istri, dimana setelah terjadinya perkawinan

istri ikut dalam kekerabatan suami dan melepaskan kedudukan adatnya.

2 Prof. H. Hilman Hadikusuma SH. Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundang-

Undangan hukum adat dan Hukum Agama .hlm 8.

Pengadilan Agama Tangerang

Pengadilan Agama Tangerang

Pengadilan Agama Tangerang

3

Sedangkan pada kekerabatan adat matrilinial, perkawinan bertujuan

mempertahankan garis keturunan ibu, sehingga anak perempuan (tertua) harus

melaksanakan perkawinan mengambil suami dimana setelah terjadinya perkawinan

seorang suami harus ikut dalam kekerabatan istrinya dan melepaskan kedudukan

adatnya.3 Dari sistem kekeluargaan adat tersebut akan mepengaruhi juga pada sistem

kewarisan adat.

Menurut Soepomo, hukum adat waris memuat peraturan-peraturan yang

mengatur proses penerusan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan

barang-barang yang tidak termasuk harta benda dari suatu angakatan manusia kepada

turunananya. Ter Haar menyebutkan bahwa hukum adat waris meliputi peraturan–

peraturan hukum yang bersangkutan dengan proses yang sangat mengesankan serta

yang akan selau berjalan tentang penerusan dan pengoperan kekayaan meteril, dan

imateril dari satu generasi ke generasi turunannya. Wirjono Projodikoro

mengungkapkan bahwa warisan adalah soal apakah dan bagaimanakah pelbagai hak-

hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan

beralih kepada orang lain yang masih hidup.

Dari berbagai pengertian tentang kewariasan tersebut dapat disimpulkan

bahwa:

1. Kewarisan menurut hukum adat adalah suatu proses mengenai pengoperan dan

penerusan harta kekayaan, baik yang bersifat kebendaaan maupun bukan

kebendaaan.

2. Pengoperan dan penerusan itu dilaksanakan oleh suatu generasi kepada

generasi berikutnya.

Dalam hukum kewarisan adat yang ada di Indonesia, kita akan menjumpai

tiga sistem kewarisan yaitu:4

1. Sistem kewarisan individual adalah suatu sistem kewarisan dimana harta

peninggalan dapat di bagi-bagikan dan dapat dimiliki secara individual di

antara para hali waris. Sistem ini dianut dalam adat masyarakat parental antara

lain di jawa.

2. Sistem kewarisan kolektif adalah suatu sistem kewarisan dimana harta

peninggalan diwarisi oleh sekelompok waris yang merupakan persekutuan

3 Ibid , hlm. 23

4 Ahmad Azhari Basyir. Hukum Waris Islam. Yogyakarta: UII Press. 2003. hlm. 22

Pengadilan Agama Tangerang

Pengadilan Agama Tangerang

Pengadilan Agama Tangerang

4

hak, harta tersebut merupakan pusaka yang tidak dapat di bagikan kepada para

ahli waris untuk dimilikiki secara individual. Misalnya harta dalam

masyarakat matrilineal di Minangkabau, dan dalam batas tertentu terdapat juga

dalam masyarakat parental di Minahasa (terhadap barang kalakeran), demikian

pula dalam masyarakat dalam masyarakat patrilineal di Ambon (terhadap

tanah dati).

3. Sistem kewarisan mayorat, adalah suatu sistem kewarisan di mana pada saat

wafat pewaris, anak tertua laki-laki (di Bali dan di Batak), atau perempuan (di

Sumatera Selatan, Tanah Semendo dan Kalimantan Barat, dan Suku Dayak),

berhak tunggal mewarisi seluruh atau sejumlah harta pokok dari harta

peninggalan. Sistem in dibagi 2 bagian:5

a. Mayorat laki-laki, yaitu apabila anak laki-laki tertua/sulung (keturunan

laki-laki) yang merupkan ahli waris tunggal dari si pewaris. Misalnya

pada masyarakat Lampung, Bali, dan lain-lain.

b. Mayorat perempuan, yaitu apabila anak perempuan tertua yang

merupakan ahli waris tunggal dari si pewaris.

Dalam hukum kewarisan adat terdapat penggolongan ahli waris yang tersusun

secara hirarkis. Dimana kelompok yang utama adalah anak dan keturunannya,

kelompok yang kedua adalah orang tua pewaris, dan kelompok yang berikutnya

adalah saudara sekandung pewaris beserta keturunannya, kelompok yang berikutnya

adalah orang tua dari pewaris yaitu kakek dan nenek, sedangkan kelompok yang

terakhir adalah anak dari kakek dan nenek pewaris, paman bibi dan ketrurunannya.

Dalam hukum kewarisan adat berlaku aturan bahwa apabila kelompok

pertama ada, maka akan menghalangi kelompok yang berikutnya. Sehingga disini

hakikatnya adalah hanya anak keturunan saja yang yang merupakan ahli waris. Jika

kelompok yang pertama tidak ada sama sekali barulah kelompok yang kedua berhak

atas harta warisan tersebut.

Pada dasarnya hukum kewarisan adat bersendi atas prinsip yang timbul dari

aliran pikiran yang komunal dan konkrit dari kepribadian bangsa indonesia. Karena

ada sifat yang komunal dalam hukum waris adat inilah yang mengakibatkan tidak di

5 P.N.H. Simanjuntak, S.H.. Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia. Jakarta: Djambatan.

2005. hlm. 67

Pengadilan Agama Tangerang

Pengadilan Agama Tangerang

Pengadilan Agama Tangerang

5

kenalnya bagian-bagian tertentu untuk para ahli waris. Sehingga dalam proses

pembagiannya selalu mengutamakan sifat dan rasa persamaan yang tinggi di antara

ahli waris dalam penerusan dan pengoperan harta warisan, namun tidak menutup

kemungkinan adanya suatu keadaan yang istimewa dari sebagian ahli waris untuk

mendapatkan pertimbangan khusus, misalnya jika seorang ahli waris yang

kesadaannya cukup baik dan tidak merasa keberatan untuk melepaskan sebagian

ataupun seluruh haknya untuk di berikan kepada ahli waris yang lain yang

keadaannya kurang dan lebih memerlukan harta peninggalan orang tua secara layak.

Hukum waris adat yang baersifat komunal juga dapat mengakibatklan bahwa

suatu barang warisan tidak dapat dinilai dengan sejumlah uang dan setiap saat dapat

dibagi-bagikan berupa pecahan-pacahan menurut ilmu hitung, dan ada juga harta

peninggalan yang hanya dapat di warisi oleh orang tertentu dan dengan cara tertentu

pula contohnya adalah barang warisan yang di anggap keramat dan hanya dapat di

warisi oleh keturunan yang memiliki persyaratanm tertentu. Sifat yang komunal itu

tampak terjadi misalnya pada peristiwa tidak di bagikan harta peninggalan jika para

ahli waris sebagai satu kesatuan atau seluruhnya masih memerlukan harta itu untuk

memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, walaupun ada ahli waris yang

menghendaki agar harta peninggalan tersebut di bagikan.

Di daerah Minangkabau terlihat juga adanya harta pusaka yang selama

kesatuan ahli waris masih hidup tidak di bagi-bagikan kepada para anggota kesatuan

ahli waris dimana para anggotanya hanya mempunyai hak untuk menguasai dan

mengambil manfaatnya selama hidup.

HUKUM KEWARISAN DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM

Menurut Kompilasi Hukum Islam Hukum kewarisan adalah hukum yang

mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris,

menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya

masing-masing.6

Dalam rumusan Kompilasi Hukum Islam ( selanjutnya disebut KHI ) ahli

waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau

6 Lihat Kompilasi Hukum Islam pasal 171 huruf a

Pengadilan Agama Tangerang

Pengadilan Agama Tangerang

Pengadilan Agama Tangerang

6

hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama islam dan tidak terhalang karena

hukum untuk menjadi ahli waris.7

Dalam Kompilasi Hukum Islam diatur mengenai masalah-masalah yang

berkaitan dengan :

a. Besarnya Bagian Ahli Waris ( pasal 176-191 ).

b. Tentang Auld an Rad ( pasal 192-193 )

c. Wasiat ( pasal 194-209 )

d. Hibah

Dalam penyusuna Kompilasi Hukum Islam, ada beberapa hal yang menjadi

catatan beberapa orang yang dirasakan kurang lengkap. Misalkan saja, dalam hal

waris persoalan agama menjadi sangat esensial sehingga harus ada penegasan bahwa

perbedaan agama akan menghilangkan hak waris, namun mengnai hal ini tidak

diketemukan dalam Kompilasi Hukum Islam.8 KHI hanya menegaskan bahwa ahli

waris beragama islam pada saat meninggalnya pewaris.9 Untuk mengidentifikasi

seorang ahli waris beragama islam, terdapat pada psl 172. Disamping itu juga dalam

KHI tidak dicantumkan murtad seseorang menjadi penghalang utama untuk menjadi

ahli waris. Adapun porsi perbandingan pembagian warisan antara bagian wanita dan

laki-laki masih dipertahankan secara ketat perbandingan dua berbanding satu.

Walaupun ketentuan warisan telah dicantumkan dalam Kompilasi Hukum

Islam, namun keinginan-keinginan untuk memperbaharui KHI ini masih tetap ada

dikalangan ulama, cendikiawan dan para pemikir islam.

SUMBANGAN HUKUM WARIS ADAT TERHADAP PEMBAHARUAN

HUKUM WARIS ISLAM DI INDONESIA

Problematika yang ada di masyarakat dari hari ke hari semakin bertambah,

sementara turunnya ayat-ayat al-qur‟an telah berhenti semenjak zaman Rosulullah

saw empat belas abad yang lalu. Akan tetapi keberadaan semangat al-qur‟an akan

terus berkembang dari masa ke masa. Hukum Islam yang elastis dan dinamis

memungkinkan untuk terjadinya pembaharuan pemikiran hukum islam demi

kemaslahatan umat manusia.

7 Lihat Kompilasi Hukum Islam pasal 171 huruf c

8 H. Abdurrahman SH MH. Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta: Akademika

Pressindo. 2004. hlm 78 9 Lihat Kompilasi Hukum Islam pasal 171 huruf c

Pengadilan Agama Tangerang

Pengadilan Agama Tangerang

Pengadilan Agama Tangerang

7

Indonesia sebagai Negara yang berpenduduk muslim terbesar di dunia

mempunyai problematika yang unik. Dalam kehidupan masyarakat ada sebagian

orang yang menggunakan sistem kearwisan adat, hukum kewarisan barat dan ada pula

yang menggunakan kewarisan islam. Dalam hal ini adakah upaya pembaharuan

hukum waris islam karena diilhami dari kebisaaan masyarakat tersebut?

Dalam pembentukan hukum waris islam di Indonesia, kiranya kita tidak dapat

memungkiri bahwa bangsa Indonesia adalah bangasa yang kaya akan adat istiadat

yang sangat bermacam-macam dan dalam hukum adat itu telah mempunyai aturan

atau ketentuan –ketentuan mengenai hukum kewarisan juga, sehingga perlu dalam

pembaharuan hukum keawrisan islam di Indonesia hendaknya tidak

mengesampingkan aturan kewarisan adat. Hal ini di karenakan masyarakat Indonesia

masih sangat menjunjung tinggi adat istiadat mereka yang merupakan warisan dari

para leluhur mereka.

Namun pengaruh hukum kewarisan adat dalam hukum kewarisan islam

haruslah sesuai dan sejalan dengan ketentuan hukum islam, apabila hukum waris adat

tidak sesuai dengan hukum islam, maka sudah seharusnya sistem hukum adat tersebut

ditolak Hal inilah yang disebut dengan teori receptio a contrario yang menyatakan

bahwa hukum yang berlaku bagi masyarakat adalah hukum agamanya, hukum adat

hanya berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum agama.10

Dengan adanya

pembaharuan hukum waris islam di Indonesia diharapkan akan terbentuk suatu

hukum waris yang dapat dilaksanakan oleh para pemeluknya atas dasar keadilan bagi

semua pihak.

Berikut ini mungkin akan di tuliskan sumbangan hukum waris terhadap

beberapa pembaharuan-pembaharuan dalam hukum waris islam dan wacana-wacana

kewarisan kontemporer yang sedang berkembang di Indonesia:

1. Wasiat Wajibah

Dalam realitas kehidupam masyarakat, adakalanya pewaris hidup dengan

orang yang bukan keluarga atau keturunannya sendiri. Misalkan saja dia hidup

dengan anak angkat atau orang tua angkatnya. Dalam sistem kewarisan islam

10

H. Ichtijanto, SA SH. Perkembangan Teori Berlakunya Hukum Islam Di Indonesia Dalam

Hukum Islam Islam Di Indonesia: Perkembangan Dan Pembentukan. Bandung. Rosdakarya. 1991.

hlm. 102

Pengadilan Agama Tangerang

Pengadilan Agama Tangerang

Pengadilan Agama Tangerang

8

tidak diatur bagian untuk anak angkat. Hal ini akan menjadi sedikit problem,

manakala dalam pembagian warisan nanti, si anak angkat atau orang tua angkat

yang telah sekian lama tinggal, mengurus dan merawat si Pewaris tidak

mendapatkan apa-apa dari harta warisannya.

Secara etis, seharusnya si pewaris memberikan jatah sebagian hartanya

kepada anak angkat atau orang tua angkatnya tersebut. Salah satunya dengan

diberlakukannya wasiat wajibah. Dalam hukum adat, seorang anak angkat atau

orang tua angkat bisa saja menerima harta warisan dari harta peninggalan pewaris.

Bahkan dikenal adanya sistem pengganti waris.11

Adapun Kompilasi Hukum

Islam ( KHI ) juga telah mengakomodir ketentuan wasiat wajibah terhadap anak

angkat atau orang tua angkat. Hal ini terdapat dalam pasal 209 Kompilasi Hukum

Islam (KHI).

Berkenaan dengan permasalahan tersebut, dirumuskan keseimbangan hak

dan kedudukan antara anak angkat dengan ayah angkat dalam hubungan waris.

Dalam ayat ( 1 ) dijelaskan: harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan

pasal 176 sampai dengan pasal 193 KHI. Sedangkan terhadap orang tua angkat

yang tidak menerima wasiat, diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya sepertiga

dari harta waris dan anak angkatnya.; kemudian ayat (2) berbunyi: terhadap anak

yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya sepertiga

dari harta warisan orang tua angkatnya.

Dalam hal ini, orang tua angkat dan anak angkat dapat saling mewarisi

melalui modekasi wasiat wajibah sebanyak sepertiga dari harta warisan.12

Terdapatnya ketentuan dan pengaturan warisan bagi orang tua angkat dan angkat

berdasarkan konstruksi hukum wasiat wajibah itu, menurut Abdullah Kelib, akan

menjadikan hukum kewarisan islam selaras dengan nilai-nilai yang hidup dengan

rasa keadilan yang sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat.13

Menurut para ahli, rumusan pasal 209 KHI dianggap pola baru yang dapat

mendistribusikan harta kekayaan secara ma‟ruf kepada orang yang bukan ahli

11

Soerodjo wingjoedipoero SH. Pengantar Dan Asas-Asas., hlm. 164 12

Drs. Oyo Sunaryo Mukhlas, M.Si. Formulasi Kewarisan Dalam Kompilasi Hukum Islam.

Dalam Warta Hukum Dan Keadilan Edisi 4 Juli-Desember 2003. Bandung: PPHIM Kantor Perwakilan

Jawa Barat. 2003. hlm 27 13

Abdullah Kelib. Beberapa catatan Efektivitas Tentang Kompilasi Hukum Islam. Makalah

dipresentasikan dalam Seminar nasional Permasyarakatan Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang KHI,

Yogyakarta. 1992 hlm 16

Pengadilan Agama Tangerang

Pengadilan Agama Tangerang

Pengadilan Agama Tangerang

9

waris. Sehingga dengna pola ini dapat mengakomodir pihak-pihak yang sangat

berjasa pada pewaris tapi tidak tercantum dalam urutan ahli waris.

Sebenarnya konsep wasiat wajibah seperti ini telah pula dianut dibeberapa

negeri muslim seperti Mesir melalui kitab Undang-Undang Hukum wasiat mesir

Nomor 71 tahun 1946. Sistem tersebut juga diadopsi oleh Suriah pada tahun 1953,

Tunisia pada tahun 1957, dan Maroko pada tahun 1958, hanya saja dimaroko da

Suriah aturan ini dibatasi hanya untuk anak laki-laki tidak untuk anak-anak

perempuan.

2. Pemeliharaan Keutuhan dan Kesatuan Lahan

Dalam pembagian kewarisan pada masyarakat adat. Biasanya terdapat

budaya untuk menjual lahan hasil warisan kepada kerabatnya terlebih dahulu. Hal

ini dimaksudkan supaya lahan-lahan yang mereka dapat dari nenek moyang

mereka ( warisan ) tidak tercerai berai bahkan tidak untuk dijual kepada orang lain

sehingga bisa saja suatu saat nanti mereka bisa saja membelinya lagi dari

kerabatnya tersebut.

Dalam hal ini KHI mengakomodir hal tersebut. Dalam pasal 189 ayat (1)

dikatakan, bila harta warisan yang akan dibagi berupa lahan pertanian yang

luasnya kurang dari 2 (dua) hektar, supaya dipertahankan kesatuannya seperti

semula, dan dimanfaatkan untuk kepentingan bersama para ahli waris yang

bersangkutan. Bunyi ayat (1) pasal 89 KHI mendapat penegasan melalui ayat (2)

yang berbunyi: “Bila ketentuan tersebut pada ayat (1) pasal ini tidak

memungkinkan karena diantara para ahli waris yang bersangkutan ada yang

memerlukan uang, lahan tersebut dapat dimiliki oleh seorang ahli waris atau lebih

dengan cara membayar harganya kepada ahli waris yang berhak sesuai dengan

bagiannya masing-masing.

Apabila dilihat dari segi sosiologis, garis hukum baru tentang

pemeliharaan keutuhan lahan tanah tidak terlepas dari kebijakan sosiologis

pedesaan tentang administrasi komplek dalam bidang pertanian. Mengingat lahan

itu merupakan unsur yang samgat inti dan pokok dalam teknologi pertanian, upaya

pengembangan dan peningkatan pertanian tidak dpat terlepas dari kondisi dan

wilayah itu sendiri. Dengan sendirinya, apabila hanya dengan kekuatan lahan

pertanian yang sempit dan tercecer, akan mengalami kesulitan dalam melakukan

Pengadilan Agama Tangerang

Pengadilan Agama Tangerang

Pengadilan Agama Tangerang

10

pembinaan dan peningkatan produksi pertanian, yang dipandang memiliki nilai

tambah bagi kepentingan masyarakat secara menyeluruh.14

Untuk itu, adanya konsep pemeliharaan Keutuhan dan Kesatuan Lahan

salah satunya didasarkan atas semangat kepentingan untuk mempertahankan dan

meningkatkan produksi dalam bidang pertanian. Namun rumusan hukum dalam

pasal 189 ayat (1) KHI tidak bersifat kaku sebagai harga mati. Karena

kemungkinan dan peluang untuk tidak dapat memelihara keutuhan dan kesatuan

lahan tersebut sangat terbuka, apabila diantara ahli waris ada yang yang benar-

benar terdesak membutuhkan uang, sedangkan diantara ahli waris yang lainnya

tidak memiliki kemampuan membayar, baik secara perorangan maupun secara

bersama-sama. Maka kiranya lahan bisa saja dijual kepada pihak lain yang mampu

membelinya.

3. Ahli Waris Pengganti

Istilah ahli waris pengganti dalam hukum kewarisan islam Indonesia

dipopulerkan oleh Prof. Dr Hazairin SH di penghujung tahun 70-an. Beliau

menyebut konsep ahli waris pengganti dengan istilah Mawali. Dalam Konsep

mawali, anaknya anak dan anaknya saudara ditempatkan sebagi pengganti dan

kedua ahli waris langsung ( anak dan saudara ).15

Dalam KHI mempunyai

beberapa asas dalam hukum kewarisan yaitu (1) asas ijbari, (2) asas bilateral (3)

asas individual, (4) asas keadilan yang berimbang, dan (5) asas yang menyatakan

bahwa kewarisan ada kalau ada yang meninggal dunia.

Menurut Hazairin, „garis pokok penggantian tidak ada sangkut pautnya

dengan ganti mengganti. Dia hanyalah sebuah cara untuk menunjukkan siapa-

siapa ahli waris. Tiap–tiap ahli waris berdiri sendiri sebagai ahli waris, dia bukan

menggantikan ahli waris yang lain, sebab penghubung yang tidak ada lagi bukan

hali waris‟ 16

Ahli waris pengganti yang dimaksud adalah bukan mengangkat

seseorang yang „bukan ahli waris‟ menjadi ahli waris. Karena kualifikasi ahli

14

Drs. Oyo Sunaryo Mukhlas, M.Si. Formulasi Kewarisan Dalam Kompilasi Hukum Islam,

hlm. 26 15

Prof . Dr Hazairin SH. Hukum Kewaeisan Bilateral Menurut Qur’an dan Hadits. Jakarta:

Tintamas. hlm. 137 16

Ibid hlm.24-25

Pengadilan Agama Tangerang

Pengadilan Agama Tangerang

Pengadilan Agama Tangerang

11

waris sudah mendapatkan kepastian hukum yang jelas melalui asas ijbari hukum

kewarisan.

A. Wasit Aulawi merumuskan konsep ahli waris pengganti sebagai

berikut : „menempatkan seorang ahli waris yang selama ini dipandang tidak atau

belum berhak menerima harta warisan kedalam golongan ahli waris yang berhak

menerima warisan.17

Sebagai contoh, kedudukan cucu baik laki-laki maupun

perempuan dalam ilmu faraid pada umumnya adalah sebagai ahlul warits dzaw al-

arham apabila terdapat kelompok ahli warits dzam al-furudl atau ashabah.

Sehingga cucu tidak dapat menerima warisan dari kakeknya apabila ayahnya telah

meninggal. Namun dengan adanya konsep ahli waris pengganti yang terdapat

dalam KHI pasal 185 merupakan terobosan terhadap pelenyapan hak cucu atas

harta warisan ayah apabila ayah lebih dahulu meninggal dari pada kakek.

Sehingga cucu bisa mendapatkan bagian dari warisan tersebut. Lembaga ahli

waris pengganti ini lebih cenderung sebagai semi platsvervulling (penggantian

tempat) sebagai yang dikenal dalam BW dan Hukum Adat.

. Dalam KHI telah di sebutkan, ahli waris pengganti adalah ahli waris yang

“menggantikan” kedudukan seseorang yang telah meninggal lebih dahulu dari

pewaris. Dalam KHI pewaris pengganti di rumuskan kedalam pasal 185 dengan

redaksi sebagai berikut” (1) ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada si

pewaris maka kedudukannya dapat di gantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang

tersebut dalam pasal 173 yaitu orang yang di hukum karena (a) di persalahkan

telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pewaris, atau

(b) dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris

telah melakukan suatu kejahatan yang di ancam dengan hukuman 5 tahun penjara

atau hukuman yang lebih berat. (2) Bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh

melebihi bagian ahli waris yang sedereajat dengan yang di ganti”.

Adanya konsep ahli waris pengganti merupakan konsep asas keadilan yang

berimbang di karenakan masalah cucu yang orang tuanya meninggal terlebih

dahulu dari pewaris, menjadi masalah keadilan yang benar.18

Sehingga

17

A. Wasit Aulawi. Sejarah Perkembangan Hukum Islam. Dalam Amrullah Ahmad ( ketua

Tim ). Prospek Hukum: Islam dalam Kerangka Pembanguna Hukum Nasional Di Indonesia. Jakarta:

PP IKAHA. 1994. hlm. 93 18

Prof. Mohammad Daud Ali Hukum Islam: Pengantar Tata Hukum Islam di

Indonesia..Jakrta : Rajawali Press. 2003. hlm 326

Pengadilan Agama Tangerang

Pengadilan Agama Tangerang

Pengadilan Agama Tangerang

12

perumusan ahli waris pemgganti itu sangat beralasan, karena dapat memenuhi rasa

keadilan dan kemanusiaan dalam lingkungan komunitas keluarga. Hal ini

sekaligus dapat menutup kekecewaan dari pihak-pihak tertentu. Sementara dari

segi persaudaraan, diharapkan dapat melihara keutuhan dan hubungan harmoni

dengan anggota keluarga.

4. Damai Dalam Pembagian Harta

Dalam Kompilasi Hukum Islam terungkap bahwa ahli waris dapat

bersepakat untuk melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan setelah

masing-masing menyadari bagiannya.19

Dengan danya rumusan ini dapat

memungkinkan adanya pembagian harta warisan dengan porsi yang sama secara

matematis (1:1) diantara semua ahli waris melalui jalur perdamaian tersebut,

sebagai penyimpangan dari pasal 176 KHI yang mengatur ketentuan anak laki-

laki dan anak perempuan (2:1); dan antara saudara laki-laki sekandung dengan

saudara perempuan sekandung – saudara laki-laki seayah dengan saudara

perempuan seayah sebagi penyimpangan terhadap pasal 182 KHI.20

Prinsip perdamaian ( al-shulh ) telah mendapat pembenaran sebagai mana

yang tercantum dalam al-qur‟an surat al-Nisa (4): 127, asalkan saja tidak

dimaksudkan untuk mengenyampingkan ajaran. Memang dalam menyikapi hal

tersebut perlu adanya sikap arif dan bijaksana pada semua ahli waris sehingga

semua ahli waris bisa menerima bagiannya masing-masing tetapi mereka masih

memikirkan keadaan kerabat lain yang mendapatkan bagian yang lebih kecil

sedangkan beban hidupnya lebih berat. Sehingga melalui perdamaian ini seorang

kerabat bisa saja memberikan sebagian jatah warisnya untuk diberikan kepada

kerabat perempuannya. Hal ini bisa juga memungkinkan pembagian warisan

sama besar untuk semua ahli waris.

Boleh jadi dengan adanya perdamaian itu, dijadikan model penyelesaian

alternatif, sehingga tidak akan terlihat adanya kesan “yang menang dan yang

kalah”, yang “superior dan Inferior”. Dengan demikian, putusan melalui media

19

Lihat Pasal 183 Kompilasi Hukum Islam 20

Drs. Oyo Sunaryo Mukhlas, M.Si. Formulasi Kewarisan Dalam Kompilasi Hukum Islam.

hlm. 22

Pengadilan Agama Tangerang

Pengadilan Agama Tangerang

Pengadilan Agama Tangerang

13

damai nampak lebih bersahabat, yang dapat menentramkan dan menyejukan hati

semua pihak.

5. Wacana Pembagian Warisan Sama Rata.

Wacana pembagian sama rata ( dengan mengacuhkan ketentuan 2:1 dalam

al-qur‟an ) merupakan wacana yang cukup radikal dalam wacana pembaharuan

hukum waris. Sosok yang paling terkenal dalam dalam hal wacana pembagian

warisan sama besar antara laki-laki dan perempuan adalah mantan menteri agama

H. Munawir Syadjali MA. Beliau mengusulkan akan praktek pembagian warisan

islam di reaktualisasikan dengan perbandingan sama besar. Hal ini terjadi karena

menurut beliau di masyarakat luas dan khususnya di daerah-daerah tertentu yang

secraa note bone keagamaannya kuat, pada kenyataan yang terjadi pembagian

warisan dalam faraid tidak dijalankan malah cenderung untuk memakai hukum

adat.

Mereka beralasan, dengan menggunakan hukum waris adat dapat

membagikan harta warisan secara rata pada ahli waris. Disamping itu, kerap kali

para keluarga dalam menyelesaikan masalah warisnya cenderung pergi ke

Pengadilan Negeri. Munawir Syadzali menyebut hal tersebut sebagai

penyimpangan langsung.

Adapun praktek penyimpangan tidak langsung diantaranya budaya para

keluarga yang mengambil kebijakan pre empitive dimasa hidup mereka telah

membagikan sebagian besar dari kekayaan mereka kepada anak-anak mreka,

masing-masing mendapat bagian sama besar tanpa membedakan jenis kelamin 21

Munawir Syadzali dengan wacana tersebut bukan bermaksud untuk

mengatakan konsep waris dalam al-qur‟an itu tidak adil, melainkan justru beliau

menyoroti sikap masyarakat yang tampaknya tidak percaya lagi kepada keadilan

hukum faraid.

Para jumhur ulama telah berpendapat bahwa ayat-ayat tentang waris

merupakan ayat yang qoth‟i dalalahnya. Akan tetapi dalam pembacaan suatu teks

persepsi orang akan berbeda-beda. Dalam hal ayat-ayat waris sebagian ulama

kontemporer memberikan kesempatan untuk berijtihad dalam kawasan ini karena

21

H. Munawir Syadjali MA. Reaktualisasi Ajaran Islam Dalam Hukum Islam Di Indonesia

Perkembangan dan Pembentukan. Bandung: Rosdakarya. 1991. hlm. 84

Pengadilan Agama Tangerang

Pengadilan Agama Tangerang

Pengadilan Agama Tangerang

14

mereka beranggapan hal tersebut masih bisa ditafsir ulang dan ini yang mereka

maksud, masih dalam kawasan dzani dalalahnya. Karena itu sebagian ulama

yang berpendapat seperti itu menyatakan bahwa ayat-ayat tentang waris harus

dilihat konteks tulisan nya dan disesuaikan dengan semangat zaman.22

Dalam paparan diatas, ada inspirasi dari realitas masyarakat dilapangan

yang menyebabkan kita perlu mengakomodir psinsip sama rata dalam hukum adat

waris untuk pembaharuan hukum waris islam di Indonesia. Walaupin hal tersebut

masih dalam tahap wacana yang belum terakomodir oleh Kompilasui Hukum

Islam sebagai pijakan para hakim agama memutus permasalahan-permasalahan,

khususnya dalam hal mengenai warisan.

PENUTUP

Permasalahan diatas merupakan beberapa contoh pembaharuan hukum waris

islam di Indonesia yang secara langsung atau tidak langsung telah dipengaruhi oleh

keadaan realita masyarakat Indonesia dengan hukum waris adatnya. Sehingga dengan

memperhatikan keadaan masyarakat Indonesia ( adat ), hukum waris islam di

Indonesia dapat dilaksannakan dengan semestinya dengan tidak adanya

penyimpangan-penyimpangan terhadap hukum waris baik secara langsung ataupun

tidak langsung. Tentunya semua itu masih dalam koredor syari‟ah dan masih

berlandaskan semangat al-qur‟an yang humanis, berkeadilan dan universal. Wallahu

a’lam Bishowab

22

Mun‟im A. Sirry ( editor ). Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis.

Jakarta: Paramadina. 2004. hlm 167

Pengadilan Agama Tangerang

Pengadilan Agama Tangerang

Pengadilan Agama Tangerang

15

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta: Akademika Pressindo

Aulawi, Wasit A. Sejarah Perkembangan Hukum Islam. Dalam Amrullah Ahmad (

ketua Tim ). Prospek Hukum: Islam dalam Kerangka Pembanguna Hukum

Nasional Di Indonesia. Jakarta: PP IKAHA. 1994

Basyir, Ahmad Azhar. Hukum Waris Islam. Yogyakarta: UII Press. 2003.

Daud Ali, Muhamad. Hukum Islam: Pengantar Tata Hukum Islam di Indonesia.

Jakrta: Rajawali Press. 2003

Hadikusuma, Hilman. Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundang-Undangan,

Hukum Adat dan Hukum Agama. Bandung: Mandar Maju. 2003

Hazairin. Hukum Kewarisan Bilateral menurut Qur’an dan Hadits. Jakarta: Tintamas.

1982.

Ichtijanto. Perkembangan Teori Berlakunya Hukum Islam Di Indonesia.Dalam

Hukum Islam Di Indonesia Perkembangan dan Pembentukan. Bandung:

Rosdakarya. 1991

Kelib, Abdullah. Beberapa catatan Efektivitas Tentang Kompilasi Hukum Islam.

Makalah dalam Seminar nasional „Permasyarakatan Inpres Nomor 1 Tahun

1991 tentang KHI, Yogyakarta. 1992

Mukhlas, Oyo Sunaryo. Formulasi Kewarisan Dalam Kompilasi Hukum Islam.

Dalam Warta Hukum Dan Keadilan Edisi 4 Juli-Desember 2003. Bandung:

PPHIM Kantor Perwakilan Jawa Barat. 2003

Simanjuntak, P.N.H. Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia. Jakarta: Djambatan.

2005.

Sirri, Mun‟im A( editor ). Fiqih Lintas Agama Membangun Masyarakat Inklusif-

Pluralis. Jakarta: Paramadina. 2004

Syadjali, Munawir. Reaktualisasi Ajaran Islam Dalam Hukum Islam Di Indonesia

Perkembangan dan Pembentukan. Bandung: Rosdakarya. 1991.

Wignjodipoero, Soerojo. Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat. Jakarta: Gunung

Agung. 1995

Pengadilan Agama Tangerang

Pengadilan Agama Tangerang

Pengadilan Agama Tangerang