sudden deafness
DESCRIPTION
THTTRANSCRIPT
BAB IPENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ketulian mendadak adalah suatu keadaan kegawatdaruratan otology dengan
diagnosa serta pengobatan yang belum diketahui secara pasti. Pertama kali dikemukakan
oleh De Klevn pada tahun 1944. Ketulian mendadak umumnya ditujukan pada
ketuliansensorineural murni. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan ketulian
mendadak, tapi sebagian besar kasus rata-rata idiopatik. Dilaporkan pula etiologi dari
ketulian mendadak hanya dapat ditegakkan pada 10 % kasus tersebut. Dugaan penyebab
ketulian mendadak idiopatik antara lain infeksi virus, imunologis, kelainan vaskuler dan
ruptur membran intra troklearis. Namun tidak satupun diantaranya yang dapat menjelaskan
dengan pasti proses patofisiologi dari ketulian mendadak idiopatik.
Kira-kira dari 15.000 laporan kasus ketulian mendadak diseluruh dunia setiap
tahunnya 4000 diantaranya terjadi di AS. 1 dari 10.000 -15.000 orang akan mengalami hal
ini, dimana insiden tertinggi antara usia 50-60 tahun. Sedangkan insiden terendah antara
usia 20-30 tahun. 2 % dari pasien ketulian mendadak tersebut sifatnya bilateral da
insidennya sama antara pria dan wanita.
1.2 Tujuan
Tujuan penulisan Tutorial ini antara lain untuk memenuhi penilaian Kepaniteraan
Klinik bagian Ilmu Kesehatan THT. Tujuan lain adalah agar dapat bermanfaat bagi yang
membacanya dan bermanfaat pula bagi kami sebagi penulis.
1.3 Ruang Lingkup
Ruang lingkup pembahasan dalam Bab II sebagai tujuan pustaka meliputi definisi
tuli mendadak atau sudden deafness, anatomi dari telinga, etiologi sudden deafness,
patofisiologi, gejala klinis, pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan, dan prognosis dari
sudden deafness.
1.4 Sumber
Sumber yang digunakan dalam pembuatan Refreshing ini antara lain didapatkan dari
buku-buku pedoman kuliah, kumpulan bahan-bahan kuliah, dan internet.
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Telinga
Telinga Luar (Auris Eksterna)
Telinga luar atau pinna (aurikula = daun telinga) merupakan gabungan dari rawan
yang diliputi kulit. Bentuk rawan tersebut unik dan dalam merawat trauma telinga luar, harus
diusahakan untuk mempertahankan bangunan tersebut. kulit dapat terlepas dari rawan di
bawahnya oleh hematom atau pus, dan rawan yang nekrosis dpat menimbulkan deformitas
kosmetik pada pinna (telinga kembang kol). Liang telinga (Meatus Akustikus Eksternus)
berbentuk huruf S, dengan rangka tulang rawan pada sepertiga bagian luar, sedangkan dua
pertiga bagian dalam rangkanya terdiri dari tulang. Panjangnya kira-kira 2,5 - 3 cm dan
berdiameter 0,5 cm.
Pada sepertiga bagian luar kulit liang telinga terdapat banyak kelenjar serumen
(modifikasi kelenjar keringat = kelenjar serumen) dan rambut. Kelenjar keringat terdapat
pada seluruh kulit liang telinga. Pada duapertiga bagian dalam hanya sedikit dijumpai
kelenjar serumen.
Liang telinga memiliki tulang rawan pada bagian lateral namun bertulang di sebelah
medial. Seringkali terdapat penyempitan liang telinga pada perbatasan tulang dan tulang
rawan tersebut. sendi temporomandibularis dan kelenjar parotis terletak di depan liang
telinga, sementara prosesus mastoideus terletak dibelakangnya. Saraf fasialis
meninggalkan foramen stilomastoideus dan berjalan ke lateral menuju prosesus stiloideus di
posterior liang telinga, dan kemudian berjalan di bawah liang telinga untuk memasuki
kelenjar parotis. Rawan liang telinga merupakan salah satu patokan pembedahan yang
digunakan untuk mencari saraf fasialis; patokan lainnya adalah sutura timpanomastoideus.
Batas-batas MAE antara lain;
Anterior : Fossa mandibular, parotis
Posterior : Mastoid
Superior : Resessus epitimpanikum
Cranial cavity
Inferior : Parotis
Telinga Tengah (Auris Media)
Telinga tengah yang terisi udara dapat dibayangkan sebagai suatu kotak dengan
enam isi. Dinding posteriornya lebih luas daripada dinding anterior sehingga kotak tersebut
berbentuk baji. Promontorium pada dinding medial meluas ke lateral ke arah umbo dari
membran timpani sehingga kotak tersebut lebih sempit pada bagian tengah.
Telinga tengah berbentuk kubus dengan:
Batas luar : membran timpani
Batas depan : tuba eustachius
Batas bawah : vena jugularis (bulbus jugularis)
Batas belakang : auditus ad antrum, kanalis fasialis pars vertikalis
Batas atas : tegmen timpani (meningen/ otak)
Batas dalam : berturut-turut dari atas ke bawah, kanalis semi sirkularis horizontal,
kanalis fasialis, tingkap lonjong (oval window), tingkap bundar (round window), dan
promontorium.
Dinding superior telinga tengah berbatasan dengan lantai fossa kranii media. Pada
dinding bagian atas dinding posterior terdapat auditus ad antrum tulang mastoid dan
dibawahnya adalah saraf fasialis. Otot stapedius timbul pada daerah saraf fasialis dan
tendonnya menembus melalui suatu piramid tulang menuju ke leher stapes. Saraf korda
timpani timbul dari saraf fasialis di bawah stapedius dan berjalan ke lateral depan menuju
inkus tetapi di medial maleus, untuk keluar dari telinga tengah lewat sutura petrotimpanika.
Korda timpani kemudian bergabung dengan saraf lingualis dan menghantarkan serabut-
serabut sekretomotorik ke ganglion submandibularis dan serabut-serabut pengecap dari
duapertiga anterior lidah.
Dasar telinga tengah adalah atap bulbus jugularis yang berada di sebelah
superolateral menjadi sinus sigmoideus dan lebih ke tengah menjadi sinus transversus.
Keduanya adalah aliran vena utama rongga tengkorak. Cabang aurikularis saraf vagus
masuk ke telinga tengah dari dasarnya. Bagian bawah dinding anterior adalah kanalis
karotikus. Di atas kanalis tersebut, muara tuba eustakius dan otot tensor timpani yang
menmpati daerah superior tuba kemudian membalik, melingkari prosesus kokleariformis dan
berinsersi pada leher maleus.
Dinding lateral dari telinga tengah adalah tulang epitimpanum di bagian atas,
membrana timpani, dan dinding tulang hipotimpanum di bagian bawah.
Bangunan yang paling menonjol pada dinding medial adalah promontorium yang
menutup lingkaran koklea yang pertama. Saraf timpanikus berjalan melintas promontorium.
Kanalis falopii bertulang yang dilalui saraf fasialis terletak di atas fenestra ovalis mulai dari
prosesus kokleariformis di anterior hingga piramid stapedius di posterior.
Rongga mastoid berbentuk seperti piramid dengan puncak mengarah ke kaudal.
Atap mastoid adalah fossa kranii media. Dinding medial adalah dinding lateral fossa kranii
posterior. Sinus sigmoideus terletak di bawah dura mater pada daerah tersebut. pada
dinding anterior mastoid terdapat aditus ad antrum. Tonjolan kanalis semi sirkularis lateralis
menonjol ke dalam antrum. Di bawah ke dua patokan ini berjalan saraf fasialis dalam
kanalis tulangnya untuk keluar da ri tulang temporal melalui foramen stilomastoideus di
ujung anterior krista yang dibentuk oleh insersio otot digastrikus. Dinding lateral mastoid
adalah tulang subkutan yang dengan mudah dapat dipalpasi di posterior aurikula
Membran Timpani
Membran timpani atau gendang telinga adalah suatu bangunan berbentuk kerucut
dengan puncaknya, umbo, mengarah ke medial. Umbo (prosesus lateralis maleus) adalah
penonjolan dari bagian bawah lateral maleus. Membrana timpani umumnya bulat. Penting
untuk disadari bahwa bagian dari rongga telinga tengah yaitu epitimpanium yang
mengandung korpus maleus dan inkus, meluas melampaui batas bawah membrana
timpani. Membrana timpani tersusun oleh suatu lapisan epidermis di bagian luar, lapisan
fibrosa di abagian tengah di mana tangkai maleus dilekatkan, dan lapisan mukosa bagian
dalam. Lapisan fibrosa tidak terdapat di atas prosesus lateralis maleus dan ini
menyebabkan bagian membrana timpani yang disebut membrana Sharpnell menjadi flaksid
(lemas).
Tuba Eustakius
Tuba eustakius menghubungkan rongga telinga tengah dengan nasofaring. Bagian
lateral tuba eustakius adalah bagian yang bertulang. Sementara duapertiga bagian medial
bersifat kartilaginosa. Origo otot tensor timpani terletak di sebelah atas bagian bertulang,
sementara kanalis karotikus terletak di bagian bawahnya. Bagian bertulang rawan berjalan
melintasi dasar tengkorak untuk masuk ke faring di atas otot levator palatinum dan tensor
palatinum yang masing-masing disarafi pleksus faringeal dan saraf mandibularis. Tuba
eustakius berfungsi untuk menyeimbangkan tekanan udara pada kedua sisi membrana
timpani.
Telinga Dalam
Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang berupa dua setengah lingkaran
dan vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Ujung atau puncak koklea
disebut helikotrema, menghubungkan perilimfa skala timpani dengan skala vestibuli.
Kanalis semisirkularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan membentuk
lingkaran yang tidak lengkap. Pada irisan melintang koklea, tampak skala vestibuli di
sebelah atas media (duktus koklearis) di antaranya. Skala vestibuli dan skala timpani berisi
perilimfa, sedangkan skala media berisi endolimfa. Ion dan garam yang terdapat di perilimfa
berbeda dengan endolimfa. Hal ini penting untuk pendengaran. Dasar skala vestibuli
disebut sebagai membran vestibuli (Reissner’s membrane) sedangkan dasar skala media
adalah membrana basalis. Pada membran ini terletak Organo Corti.
Pada skala media terdapat bagian yang berbentuk lidah yang disebut membran
tektoria, dan pada membran basalis melekat sel rambut dalam, sel rambut luar dan kanalis
Corti, yang membentuk Organ Corti.
2.2 Fisiologi Pendengaran
Getaran suara dihantarkan lewat liang telinga dan telinga tengah ke telinga dalam
melalui stapes, menimbulkan suatu gelombang berjalan sepanjang membran basilaris dan
organ Cortinya. Puncak gelombang berjalan di sepanjang membran basilaris yang
panjangnya 35 mm tersebut, ditentukan oleh frekuensi gelombang suara. Hal ini berakibat
membengkoknya stereosilia oleh kerja pemberat membrana tektoria, dengan demikian
menimbulkan depolarisasi sel rambut dan menciptakan potensial aksi pada serabut-serabut
saraf pendengaran yang melekat padanya. Di sisnilah gelombang suara mekanis diubah
menjadi energi elektrokimia agar dapat ditransmisikan melalui saraf kranialis ke-8. Paling
tidak sebagian analisis frekuensi telah terjadi pada tingkat organ Corti. Peristiwa listrik pada
organ Corti dapat diukur dan dikenal sebagai mikrofonik koklearis. Peristiwa listrik yang
berlangsung dalam neuron juga dapat diukur dan disebut sebagai potensial aksi.
Ligamentum spiralis terletak di lateral dinding tulang dari duktus koklearis.
Merupakan jangkar lateral dari membran basilaris dan mengandung stria vaskularis, satu-
satunya lapisan epitel bervaskularisasi dalam tubuh. Stria merupakan suatu sistem transport
cairan dan elektrolit dan diduga memainkan peranan penting dalam pemeliharaan
komposisi elektrolit cairan endolimfe (tinggi kalium, rendah natrium) dan sebagai baterai
kedua untuk organ Corti. Juga merupakan sumber potensi arus searah (80 milivolt) dari
skala media.
Terdapat sekitar 30.000 neuron aferen yang mensarafi 15.000 sel rambut pada tiap
koklea. Masing-masing sel rambut dalam disarafi oleh banyak neuron. Juga ada sekitar 500
serabut saraf eferen yang mencapai tiap koklea. Serabut-serabut ini bercabang-cabang pula
secara ekstensif sehingga tiap sel rambut luar memiliki banyak ujung saraf eferen.
Serabut-serabut saraf koklearis berjalan menuju inti koklearis dorsalis dan ventralis.
Sebagian besar serabut dari inti melintasi garis tengah dan berjalan naik menuju kolikulus
inferior kontralateral, namun sebagian serabut tetap berjalan ipsilateral. Penyilangan
selanjutnya terjadi pada inti lemnikus lateralis dan kolikulus inferior. Dari kolikulus inferior,
jaras pendengaran berlanjut ke korpus ganikulatum dan kemudian ke korteks pendengaran
pada lobus temporalis.karena seringnya penyilangan serabut-serabut saraf tersebut, maka
lesi sentral jaras pendengaran hampir tidak pernah menyebabkanketulian unilateral.
Serabut-serabut saraf vestibularis berjalan menuju salah satu dari keempat inti
vestibularis, dan dari tempat tersebut disebarkan secara luas dengan jaras-jaras menuju
medula spinalis, serebelum, dan bagian-bagian susunan saraf pusat lainnya. (Adams GL,
Boies LR, Higler PA. BOEIS Buku Ajar Penyakit THT)
Gelombang bunyi dari sumber bunyi ditangkap oleh aurikula dan diteruskan melalui
canalis akustikus eksternus dan mengalami proses resonansi karena adanya bangunan
berbentuk tabung dengan hubungan kepada udara luar secara langsung. Gelombang suara
yang telah mengalami proses resonansi ini akan menggetarkan membarana timpani.
Membarana Timpani (ear drum) dan tulang-tulang pendengaran pada telinga bagian
tengah akan meneruskan gelombang suara menuju cochlea atau telinga dalam. Membrana
timpani berbentuk conus (corong) secara tiga dimensi dengan bagian tengah yang
meruncing adalah perlekatan membran timpani dengan malleus. Sementara itu malleus
juga berartikulasi dengan tulang-tulang pendengaran yang lain yaitu incus dan stapes.
Setelah tahap resonansi gelombang pada telinga bagian luar maka gelombang
tersebut menghasilkan getaran membran timpani yang juga akan mengakibatkan daya
ungkit tulang-tulang pendengaran yang pada akhirnya akan menggerakan cairan pada
cochlea melalui foramen ovale dengan gerakan menyerupai piston oleh basis stapes. Pada
tahapan ini terjadi mekanisasi tulang pendengaran yang mengakibatkan amplifikasi suara
oleh karena adanya daya ungkit tulang pendengaran (ossiculla auditiva) yang berhubungan
oleh penggetaran membarana timpani yaitu sebesar 1,3 kali lebih kuat. Sementara itu
perbandingan luas penampang membrane timpani sebagai penerima gelombang dan luas
penampang foramen ovale juga memberikan penguatan kekuatan gelombang yang tinggi.
Luas penampang membrane timpani adalah 55 mm2 sedangankan luas penampang
foramen ovale pada cochlea adalah 3,2 mm2, keadaan tersebut secara fisika memberikan
penguatan sebesar 17 kali. Sehingga pada telinga tengah secara umum didapatkan
penguatan gelombang secara total sebanyak 22 kali lebih kuat. Hal ini terjadi karena cairan
pada cochlea memiliki daya inert lebih besar daripada udara, sehingga untuk
menggerakkan cairan dibutuhkan daya yang lebih kuat. Proses kerjasama antara membran
timpani dan tulang pendengaran dalam menghasilkan amplifikasi getaran juga disebut
sebagai Impedance Matching atau penyesuaian impendansi sehingga tekanan yang
dihasilkan oleh stapes ke cochlea dapat memberikan tekanan yang adekuat terhadap cairan
dalam cochlea. Hasil amplifikasi sebesar 22 kali setara dengan peningkatan sekitar 15 dB
hingga 20 dB. Dalam sebuah percobaan simulasi jika gelombang suara memasuki telinga
tengah tanpa adanya membarana timpani dan tulang pendengaran, sehingga hanya akan
melewati udara saja maka terjadi penurunan tingkat persepsi suara sebesar 15 dB hingga
20 dB.
Tulang-tulang pendengaran juga memiliki sebuah system proteksi jika sumber bunyi
terlalu keras yang disebut dengan attenuation reflex. Mekanisme tersebut dihasilkan oleh
adanya kerja oleh muscullus tensor timpani dan muscullus stapedius. Pada saat terjadi
kontraksi m. tensor timpani maka akan terjadi penarikan malleus secara bersamaan m.
stapedius akan menarik stapes kea rah luar terhadap foramen ovale. Kerja berlawanan arah
kedua otot ini akan mengakibatkan rigiditas yang tinggi pada system tulang pendengaran,
sehingga akan mengurangi konduksi tulang pendengaran. Reflek tersebut secara garis
besar akan memberikan mekanisme :
1. Melindungi cochlea dari kerusakan akaibat vibrasi atau gerakan terlalu
kuat stapes pada saat sumber suara terlalu keras.
2. Untuk melakukan masking pada suara dengan frekuensi rendah pada
lingkungan yang gaduh, sehingga sesorang dapat memfokuskan pada suara rendah
pada lingkungan yang riuh.
Fungsi lain dari m. tensor timpani dan m. stapedius adalah untuk mengurangi
kemampuan pendengaran sesorang terhadap suara yang dihasilkan oleh pembicaraanya
sendiri.
Setelah proses resonansi dan amplifikasi pada telinga bagian luar dan telinga bagian
tengah, maka pada cochlea atau telinga bagian dalam akan terjadi perubahan getaran
suara menjadi proses gerakan mekanik melalui gerakan piston oleh stapes dan pergerakan
cairan cochlea.
Cochlea merupakan system yang berbentuk tabung bergelung. Pada saat ada
sumber suara dan terjadi proses pergerakan stapes pada foramen ovale maka akan terjadi
pergerakan cairan di dalam cochlea. Foramen ovale merupakan awal dati tabung cochlea
dengan bagian akhir tabung adalah foramen rotundum atau round window. Pada foramen
rotundum terdapat bangunan ligament yang dapat menggembung dan fleksibel sehingga
dapat mengikuti perubahan tekanan akibat pergerakan cairan tanpa mengakibatkan
keluarnya cairan dalam cochlea.
Gerakan piston stapes akan mengakibatkan pergerakan cairan dan bulging
(penggembungan) pada foramen rotundum. Sedangkan cochlea sendiri terdiri dari skala
vesitibuli, skala media, dan skala timpani. Pada skala vestibuli dan skala timpani diisi oleh
cairan perilimphe sedangkan skala media berisi cairan endolimphe. Skala vestibuli dan
skala media dipisahkan oleh membran Reissner yang tipis dan mudah bergetar. Di dalam
skala media terdapat organ corti yang akan merubah sistem mekanik menjadi impuls yang
selanjutnya diteruskan oleh saraf pendengaran menuju pusat pendengaran.
Pada saat gerakan cairan pada skala vestibuli terjadi dikarenakan adanya
gelombang suara, maka akan terjadi gerakan pada membrane basilar, hal ini menyebabkan
pergerakan relatif pada cairan endolimphe di skala media, pergerakan relative tersebut
menggetarkan membrane tektorium pada organon corti. Sementara pada organon corti
terdapat sel-sel rambut (stereocillia) yang akan mengalami defleksi dikaibatkan oleh adanya
getaran membrane tektorium. Hal ini mengakibatkan adanya depolarisasi dan
hiperpolarisasi pada arah defleksi yang berlawanan.
Perubahan polarisasi oleh stereocillia akan mengeksitasi serabut saraf yang
berhubungan dengan stereocillia tersebut. Eksitasi pada serabut saraf tersebut diteruskan
impulsnya melalui ganglion spiral untuk dibawa menuju medulla. Selanjutnya oleh system
saraf otak, impuls tersebut diteruskan menuju nucleus olivarius superior dan bersinaps
dengan serabut saraf yang menghubungkan impuls kepada leminiscus lateralis. Selanjutnya
impuls tersebut disampaikan kepada cortex auditorik di area 41 dan 42 oleh serabut
geniculokortikal, sehingga terjadilah persepsi suara.
Tidak semua frekuensi suara dapat didengar oleh manusia, hanya suara dengan
frekuensi antara 20 Hz hingga 20 KHz yang dapat didengar. (Guyton & Hall, 2000)
Dapat disimpulkan, proses mendengar diawali bunyi dengan ditangkapnya energi
bunyi oleh daun telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang
ke koklea. Getaran tersebut menggetarkan membran timpani, diteruskan ke telinga tengah
melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran melalui daya
ungkit tulang pendengaran dan perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong
(oval window). Energi yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang
menggerakkan tingkap lonjong, sehingga perilimfa pada skala vestibuli bergerak. Getaran
diteruskan melalui membran Reissner yang mendorong endolimfa, sehingga akan
menimbulkan gerakan relatif antara membran basalis dan membran tektoria. Proses ini
merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel
rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi penglepasan ion bermuatan listrik dari
badan sel. Keadaan ini menimbulkan potensial aksi pada saraf auditoris, lalu dilanjutkan ke
nukleus auditorius sampai ke korteks pendengaan (area 39-40) di lobus temporalis.
2.3 Definisi
Tuli mendadak atau sudden deafness, ialah tuli yang terjadi secara tiba-tiba. Jenis
ketuliannya adalah sensorineural. Penyebabnya tidak dapat langsung diketahui, biasanya
terjadi pada satu telinga. Oleh karena kerusakan terutama di koklea dan biasanya bersifat
permanen, kelainan ini dimasukkan ke dalam keadaan darurat otologi.
Definisi dari tuli mendadak dapat ditentukan berdasarkan beratnya, perjalanan
penyakit, kriteria audiometrik, dan spektrum frekuensi kehilangan pendengaran. Apabila
terjadi secara mendadak dengan perjalanan kehilangan pendengaran sangat cepat, hal
tersebut dapat masuk ke dalam definisi tuli mendadak. Kehilangan pendengaran tiba-tiba
saat bangun dari tidur, kehilangan pendengaran yang terjadi beberapa hari, kehilangan
pendengaran hanya pada beberapa frekuensi rendah dan tinggi, adanya perubahan
persepsi saat mendengar pembicaraan orang lain, semua kategori tersebut dapat masuk ke
dalam definisi tuli mendadak. Dari keseluruhan kategori, yang sering digunakan dan masuk
ke dalam kualifikasi dalam mendiagnosis tuli mendadak adalah jenis ketulian sensorineural
30 dB atau lebih 3 frekuensi audiometrik yang berdekatan (pure-tone frequencies) yang
terjadi kurang lebih selama 3 hari. Seperti yang telah dijelaskan, tuli mendadak sering terjadi
pada satu bagian telinga, dan prognosisnya adalah baik. Biasanya terjadi secara unilateral,
bilateral secara perlahan (salah satu telinga tuli mendadak kamudian telinga bagian lain
menyusul tuli mendadak) jarang ditemui, tuli mendadak bilateral yang terjadi bersamaan
pada kedua bagian telinga sangat jarang ditemui.
2.4 Etiologi
Tuli mendadak atau Sudden deafness atau disebut juga Sudden Sensorineural
Hearing Loss (SNHL) memiliki beberapa kemungkinan etiologi. Tuli mendadak dapat
disebabkan oleh berbagai hal, antara lain oleh iskemia koklea, infeksi virus, trauma kepala,
trauma bising yang keras, perubahan tekanan atmosfir, autoimun, obat ototoksik, Penyakit
Meniere, dan Neuroma akustik. Tetapi yang biasanya dianggap sebagai etiologi dan sesuai
dengan definisi di atas adalah iskemia koklea dan infeksi virus.
2.5 Patofisiologi
Iskemia Koklea
Iskemia koklea merupakan penyebab utama tuli mendadak. Keadaan ini dapat
disebabkan oleh karena spasme, trombosis atau perdarahan arteri auditiva interna.
Pembuluh darah ini merupakan arteri ujung (end artery), sehingga bila terjadi gangguan
pada pembuluh darah ini koklea sangat mudah mengalami kerusakan. Iskemia
mengakibatkan degenerasi luas pada sel-sel ganglion stria vaskularis dan ligamen spiralis.
Kemudian diikuti oleh pembentukan jaringan ikat dan penulangan. Kerusakan sel-sel rambut
tidak luas dan membran basal jarang terkena.
Infeksi Virus
Berdasarkan studi yang dilakukan terhadap pasien dengan Idiopathic Sudden
Sensory Hearing Loss (ISSHL), menunjukkan prevalensi beberapa virus penyebab
tersering. Rata-rata serokonversi dari herpes virus family memiliki angka signifikan tertinggi
dalam populasi pasien dengan tuli mendadak.
Pada studi histopatologi, pada pasien dengan ISSHL ditemukan adanya kerusakan
yang konsisten pada kokhlea dengan tanda-tanda infeksi viral. Hilangnya sel-sel rambut dan
sel-sel penyokong lainnya, atropi membran tektorial, atropi stria vaskularisasi, dan neuronal
loss ditemukan pada pasien-pasien tersebut. Tanda-tanda tersebut juga ditemukan pada
kasus kehilangan pendengaran oleh karena mumps, measles, dan maternal rubella. Infeksi
virus dapat menjadi implikasi penyebab dari ketulian mendadak, tetapi hal tersebut belum
dapat dipastikan.
Beberapa jenis virus, seperti virus parotis, virus campak, virus influensa B dan
mononukleosis menyebabkan kerusakan pada organ corti, membran tektoria dan selubung
myelin saraf akustik.
2.6 Gejala klinis
Timbulnya tuli pada iskemia koklea dapat bersifat mendadak atau menahun secara
tidak jelas. Kadang-kadang bersifat sementara atau berulang dalam serangan, tetapi
biasanya menetap. Tuli yang bersifat sementara biasanya tidak berat dan tidak berlangsung
lama. Kemungkinan sebagai pegangan herus diingat bahwa perubahan yang menetap akan
terjadi sangat cepat. Tuli dapat unilateral atau bilateral, dapat disertai dengan tinitus dan
vertigo.
Pada infeksi virus, timbulnya tuli mendadak biasanya pada satu telinga, dapat
disertai dengan tinitus dan vertigo. Kemungkinan ada gejala dan tanda penyakit virus
seperti parotis, varisela, variola atau pada anamnesis baru sembuh dari penyakit virus
tersebut. pada pemeriksaan klinis tidak terdapat kelainan telinga.
2.7 Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan pendengaran (audiologi)
Suatu pemeriksaan audiologi yang termasuk didalamnya adalah pemeriksaan PTA,
audiometrik tutur, refleks akustikus. Sheely mengklasifikasikan pasien kedalam 4 kelompok
berdasarkan pemeriksaan audiometrik yaitu ketulian tipe mendatar (41%), tuli pada tonus
tinggi (29%), tuli pada tonus rendah (17%) dan tuli total (13%). Sebagaimana disebutkan
diatas, kerjasama untuk menentukan penyakit retrokokhlearis dibutuhkan beberapa pasien
yang mengalami ketulian asimetris yang progresif. Selanjutnya ABR dibutuhkan oleh
beberapa pasien yang belum pulih sempurna atau mengalami ketulian berulang, mencegah
agar ketulian tidak menjadi parah. Pada kasus seperti ini, sebaiknya digunakan
pemeriksaan MRI. Audiometrik juga dapat menunjukkan adanya pseudohipoksis.
a) Tes penala, Rinne test positif, Weber laterlisasi ke telinga yang sehat, Schwabach test
memendek. Kesan adalah tuli sensorineural.
b) Audiometri nada murni, tuli sensorineural ringan sampai berat.
Tes SISI (short increment sensitivity index)
Skor : 100% atau kurang dari 70%.
Kesan : dapat ditemukan rekrutmen.
Tes Tone decay atau refleks kelelahan negatif.
Kesan : bukan tuli retrokoklea.
c) Audiometri tutur (speech audiometry)SDS (speech discrimination score)
Kurang dari 100%
Kesan : tuli sensorineural
d) Audiometri impedansTimpanogram tipe A (normal) refleks stapedius ipsilateral negatif atau positif,
sedangkan kontra lateral positif. Kesan : tuli sensorineural koklea.
Tes keseimbangan ENG ( electro nystagmography )
Pada tes keseimbangan ENG, mungkin terdapat paresis kanal. Penderita perlu
konsulkan ke Sub-Bagian Hematologi Penyakit Dalam dan Bagian Kardiologi untuk
mengetahui adanya kelainan darah dan hal-hal yang mengakibatkan penyumbatan
pembuluh darah. Selain itu penderita juga dikonsultasikan ke Bagian Radiologi untuk
pembuatan foto rontgen tulang temporal proyeksi Stenvers/ Politomografi/ CT Scan/ MRI
untuk mencari kemungkinan adanya neuroma akustik. Bila diduga kemungkinan adanya
neuroma akustik, pasien konsulkan ke Bagian saraf. Pemeriksaan virologi perlu dilakukan
bila penyebabnya diduga virus.
2.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan terhadap pasien dengan tuli mendadak atau sudden deafness antara lain:
Tirah baring sempurna (total bed rest) istirahat fisik dan mental selama dua minggu
untuk menghilangkan atau mengurangi stress yang besar pengaruhnya pada
keadaan kegagalan neurovaskular.
Vasodilatasi yang cukup kuat, misalnya dengan pemberian Complamin injeksi.
3 x 900 mg (3 ampul) selama 4 hari
3 x 600 mg (2 ampul) selama 4 hari
3 x 300 mg (1 ampul) selama 6 hari
Diserai dengan pemberian tablet Complamin 3 x 2 tablet per oral tiap hari.
Perlu dipertimbangkan pemberian vasodilatansia jenis lain, mengingat
Complamin sudah kurang diproduksi.
Secara teoritis, vasodilator dapat memperbaiki suplai darah ke koklea,
mencegah terjadinya hipoksia. Papaverin, histamin, asam nikotinik, prokain, niasin,
dan karbogen digunakan untuk memperbaiki aliran darah koklearis. Inhalasi
karbogen (5% karbondioksida) menunjukkan adanya peningkatan tekanan oksigen
perilimfatis.
Prednison 4 x 10 mg (2 tablet), tapering off tiap 3 hari (hati-hati pada pasien diabetes
melitus).
Vitamin C 100 mg, 2 x 1 tablet per hari.
Neurobion 3 x 1 tablet per hari.
Diit rendah garam dan rendah kolesterol.
Inhalasi oksigen 4 x 15 menit (2 liter/ menit).
Obat anti virus sesuai dengan virus penyebab.
Asiklovir dan Amantadin dibatasi penggunaannya pada pengobatan ketulian
sensorineural mendadak idiopatik, hanya pada etiologi virus. Famsiklovir dan
valasiklovir merupakan obat terbaru, yang memiliki struktur dan cara kerja yang
serupa dengan asiklovir dan belum dilaporkan penggunaannya pada ketulian yang
mendadak.
Pada pasien dengan diabetes perlu diperhatikan, sebaiknya diberikan kortikosteroid
injeksi dan bila perlu dilakukan pemeriksaan gula darah secara rutin setiap hari serta
konsultasi dengan Sub Bagian Hematologi Penyakit Dalam dan Bagian Kardiologi.
Saat ini telah dikenal terapi oksigen bertekanan tinggi yaitu Terapi Hiperbarik. Pasien
dimasukkan ke dalam chamber (tabung besar yang berisi oksigen bertekanan tinggi). Terapi
hiperbarik oksigen menggunakan 100% oksigen dengan tekanan 250 kPA selama 60 menit
dalam ruangan tertutup. Hyperbarik dengan kombinasi glukokortikoid dosis tinggi dapat
meningkatkan hasil terapi, dan hasil terbaik dicapai jika perawatan dimulai sedini mungkin.
Evaluasi fungsi pendengaran dilakukan tiap minggu selama satu bulan. Bila
gangguan pendengaran tidak sembuh dengan pengobatan di atas, dapat dipertimbangkan
pemasangan alat bantu dengar (hearing aid). Apabila dengan alat bantu dengar juga masih
belum dapat berkomunikasi secara adekuat, perlu dilakukan psikoterapi dengan tujuan agar
pasien dapat menerima keadaan. Rehabilitasi pendengaran agar dengan sisa pendengaran
yang ada dapat digunakan secara maksimal bila memakai alat bantu dengar dan rehabilitasi
suara agar dapat mengendalikan volume, nada dan intonasi oleh karena pendengarannya
tidak cukup untuk mengontrol hal tersebut.
2.9 Prognosis
Pada umumnya makin cepat diberikan pengobatan, makin besar kemungkinan untuk
sembuh, bila sudah lebih dari 2 minggu kemungkinan sembuh menjadi lebih kecil.
Penyembuhan dapat sebagian atau lengkap, tetapi dapat juga tidak sembuh. Hal ini
disebabkan oleh karena faktor konstitusi pasien seperti pasien yang pernah mendapat
pengobatan ototoksik yang cukup lama, pasien diabetes melitus, pasien dengan kadar
lemak darah yang tinggi, pasien dengan viskositas darah yang tinggi dan sebagainya,
walaupun pengobatan diberikan pada stadium yang dini.
Empat faktor yang mempengaruhi pemulihan ketulian sensorineural mendadak yang
idiopatik adalah :
a. Waktu Onset
Penelitian menunjukkan bahwa semakin cepat pasien diobati maka semakin baik pula
pemulihan yang dicapai. 56% pasien yang mengalami ketulian selama 7 hari pulih
dengan baik dibanding 27 % pasien yang mengalami ketulian selama 30 hari atau lebih.
Ditambahkan pula bahwa terdapat bias dimana pemulihan terjadi tanpa bantuan obat.
b. Usia rata-rata
Rata-rata usia yang mengalami pemulihan sempurna adalah 41-48 tahun. Usia kurang
dari 15 tahun dan lebih dari 60 tahun memiliki masa pemulihan yang buruk.
c. Vertigo
Pasien dengan vertigo berat menunjukkan prognosis buruk dibanding pasien tanpa
gejala vertigo. 29% pasien vertigo dapat pulih dibanding 55% pasien tanpa vertigo.
d. Audiogram
Pasien dengan ketulian berat rata-rata mempunyai penurunan kesembuhan. Pada
pasien dengan tingkat ketulian menengah, khususnya yang mendengar dengan baik
pada frekwensi 4000 kHz namum memburuk pendengarannya pada frekwensi 8000
kHz, memiliki prognosis yang sangat baik. Sebagian besar penelitian menunjukkan
bahwa ketulian memiliki prognosis buruk bila disertai adanya trauma.
DAFTAR PUSTAKA
1. Liston SL, Duval AJ. Embriologi, Anatomi dan Fisiologi Telinga. Dalam: Adams GL,
Boies LR, Higler PA. BOEIS Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta: EGC; 1997. h. 27-38.
2. Soetirto I, Bashiruddin J. Tuli Mendadak. Dalam: Soeparti EA, Iskandar N, editor.
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi Ke Lima.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2003. h. 35-36.
3. Guyton, Hall. Buku Ajar Fisiologi. Jakarta: EGC; 2000.
4. http://www.american-hearing.org
5. www.emedicine.com/Inner Ear, Sudden Hearing Loss
6. www.merck.com