studi keanekaragaman dan kelimpahan meiofauna …

101
TUGAS AKHIR – SB141510 STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA EPIFIT PADA DAUN LAMUN DI PANTAI BAMA DAN PANTAI KAJANG TAMAN NASIONAL BALURAN Rifqianingrum Ayu Prayogi 15 13 100 080 Dosen Pembimbing: Farid Kamal Muzaki, S.Si., M.Si. DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS ILMU ALAM INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA 2018

Upload: others

Post on 20-Oct-2021

9 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

TUGAS AKHIR – SB141510

STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN

MEIOFAUNA EPIFIT PADA DAUN LAMUN DI

PANTAI BAMA DAN PANTAI KAJANG TAMAN

NASIONAL BALURAN

Rifqianingrum Ayu Prayogi

15 13 100 080

Dosen Pembimbing:

Farid Kamal Muzaki, S.Si., M.Si.

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS ILMU ALAM

INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER

SURABAYA 2018

Page 2: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …
Page 3: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

ii

TUGAS AKHIR – SB141510

STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN

MEIOFAUNA EPIFIT PADA DAUN LAMUN PANTAI

BAMA DAN PANTAI KAJANG TAMAN NASIONAL

BALURAN

Rifqianingrum Ayu Prayogi

15 13 100 080

Dosen Pembimbing:

Farid Kamal Muzaki, S.Si., M.Si.

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER

SURABAYA 2018

Page 4: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

iii

FINAL PROJECT – SB141510

STUDY ON DIVERSITY AND ABUNDANCE OF

EPIPHYTIC MEIOFAUNA IN SEAGRASS BED OF

BAMA AND KAJANG BEACH, BALURAN

NATIONAL PARK

Rifqianingrum Ayu Prayogi

15 13 100 080

Advisor Lecture:

Farid Kamal Muzaki, S.Si., M.Si.

DEPARTMENT OF BIOLOGY

FACULTY OF NATURAL SCIENCE

INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER

SURABAYA 2018

Page 5: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

iv

Page 6: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

v

STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN

MEIOFAUNA EPIFIT PADA DAUN LAMUN PANTAI

BAMA DAN PANTAI KAJANG TAMAN NASIONAL

BALURAN

Nama Mahasiswa : Rifqianingrum Ayu Prayogi

NRP : 1513100080

Departemen : Biologi

Dosen Pembimbing : Farid Kamal Muzaki, S.Si.,M.Si

Abstrak

Salah satu daya tarik wisata terbesar di Taman Nasional

Baluran adalah kawasan pantainya, termasuk Pantai Bama dan

Kajang. Kedua pantai ini memiliki area padang lamun yang luas

dan diperkirakan akan terdampak oleh kegiatan pantai. Tujuan

dilakukan penelitian ini untuk mengetahui keanekaragaman dan

kelimpahan meiofauna epifit yang berada di Pantai Bama sebagai

pantai yang ramai pengunjung dan Pantai Kajang sebagai pantai

yang sepi pengunjung. Sampel yang diambil merupakan meiofauna

epifit pada daun lamun Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii,

Cymodocea spp. dengan menggunakan kantong plastik

(dimodifikasi dengan ujung dilubangi dan ditutup dengan jaring

plankton berukuran 0,063 mm). Variabel pengamatan adalah

kelimpahan dan keanekargaman meiofauna epifit dengan

pengambilan titik sampel menggunakan metode acak dan

dianalisis dengan deskriptif kuantitatif dengan menggunakan

indeks keanekaragaman Shannon – Wiener (H’) dan Indeks

Kemerataan Pielou (J). Hasil yang didapat dari penelitian ini

adalah, didominansinya dari ordo Harpacticoida dan tidak

terdapat perbedaan rata-rata jumlah taksa dan kelimpahan

meiofauna epifit pada daun lamun di kedua pantai.

Kata Kunci: Keanekaragaman dan Kelimpahan, Meiofauna Epifit,

Padang Lamun, Pantai Bama dan Kajang, Taman Nasional

Baluran.

Page 7: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

vi

STUDY ON DIVERSITY AND ABUNDANCE OF

EPIPHYTIC MEIOFAUNA IN SEAGRASS BED OF BAMA

AND KAJANG BEACH, BALURAN NATIONAL PARK

Student Name : Rifqianingrum Ayu Prayogi

NRP : 15 13 100 080

Departement : Biology

Advisor Lecture : Farid Kamal Muzaki, S.Si.,M.Si

Abstract

One of the biggest tourist attractions in Baluran National

Park is the beach, including Bama and Kajang Beach. Both of these

beaches have a large area of seagrass beds and expected to be find

out the diversity and abundance of epiphytic meiofauna in Bama

Beach as a crowded beach of visitors and Kajang beach as deserted

beach. Epiphytic meiofauna were taken on the seagrass leaves of

Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Cymodocea spp. using a

modified plastic bag (modified with a hollowed end and covered

with a 0.063 mm plankton net). The variables were abundance and

diversity of epiphytic meiofauna and the sample point were taken

using random method and analyzed by quantitative descriptive by

using Shannon - Wiener (H ') diversity index and Pielou Evenness

Index (J). The results obtained from this study are order

Harpacticoida was dominant and there is no difference of average

number of taxa and abundance of epiphytic meiofauna on the

leaves of seagrass on both beaches.

Keywords: Abundance and Diversity, Epiphytic Meiofauna,

Seagrass, Bama and Kajang Beach, Baluran National Park.

Page 8: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

vii

KATA PENGATAR

Segala Puji syukur dipanjatkan ke hadirat Allah SWT yang

telah melimpahkan segala rahmat dan hidayah-Nya serta shalawat

dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad

SAW yang tak terhingga sehingga penulis dapat menyelesaikan

tugas akhir yang berjudul “Studi Keanekaragaman dan

Kelimpahan Meiofauna Epifit pada Daun Lamun di Lokasi

Ekowisata Pantai Bama dan Pantai Kajang Taman Nasional

Baluran”. Selama proses pembuatan tugas akhir ini, tentunya

penulis mendapatkan bimbingan, arahan, koreksi serta saran, untuk

itu rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya penulis sampaikan

pada Ibu Dr. Dewi Hidayati, M.Si. selaku ketua departemen Biologi

Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, Bapak Farid

Kamal Muzaki, S.Si., M.Si. selaku pembimbing dalam penelitian

ini, Ibu Dr. Enny Zulaika, MP. serta Ibu Dra. Dian Saptarini, M.Sc.

selaku Dosen Penguji Tugas Akhir. Penulis juga menguncapkan

terima kasih dan penghargaan yang tinggi kepada orang tua

penulis, serta keluarga atas doa dan dukungan yang selalu

diberikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih atas bantuan dan

dukungan teman-teman seperjuangan Biologi ITS yang selalu

memberikan dukungan. Penulis menyadari bahwa masih banyak

kekurangan dalam Tugas Akhir ini, namun besar harapan penulis

bahwa Tugas Akhir ini dapat bermanfaat sebagai referensi bahan

kuliah maupun referensi penelitian selanjutnya.

Surabaya, 01 Februari 2018

Rifqianingrum Ayu Prayogi

Page 9: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

viii

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN .................................................. iv

Abstrak ................................................................................... v

Abstract .................................................................................. vi

KATA PENGANTAR ........................................................... vii

DAFTAR ISI ......................................................................... viii

DAFTAR GAMBAR ............................................................ xii

DAFTAR TABEL ................................................................. xiv

DAFTAR LAMPIRAN ........................................................ xv

BAB I PENDAHULUAN ...................................................... 1

1.1 Latar Belakang ............................................................. 1

1.2 Rumusan Masalah ........................................................ 4

1.3 Batasan Masalah ........................................................... 4

1.4 Tujuan ........................................................................... 5

1.5 Manfaat ......................................................................... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................... 7

2.1 Lamun ........................................................................... 7

2.2 Meiofauna ..................................................................... 13

2.3 Faktor yang Mempengaruhi Meiofauna ....................... 14

2.3.1 Suhu ...................................................................... 14

2.3.2 Salinitas ................................................................ 15

2.3.4 Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen/DO) ........... 15

2.3.5 Material Organik Total (TOM) ............................ 16

2.3.6 Derajat Keasaman (pH) ........................................ 16

Page 10: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

ix

2.4 Ekologi Meiofauna ....................................................... 17

2.4.1 Kelimpahan dan Keanekaragaman ....................... 17

2.4.2 Sebaran dan Zonasi .............................................. 23

2.4.3 Peranan Ekologis .................................................. 23

2.5 Taman Nasional Baluran, Situbondo, Jawa Timur ....... 26

BAB III METODOLOGI ..................................................... 29

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ...................................... 29

3.2 Cara Kerja .................................................................... 30

3.2.1 Alat dan Bahan .................................................... 30

3.2.2 Cara Kerja ........................................................... 30

3.3 Rancangan Penelitian dan Analisis Data ...................... 33

3.3.1 Indeks Keanekaragaman Shannon–Wiener (H’) .. 33

3.3.2 Indeks Kemerataan Jenis Pielou (J) ..................... 34

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .............................. 37

4.1 Parameter Fisika dan Kimia Lingkungan .................... 37

4.2 Aktivitas Wisata di Pantai Bama dan Kajang .............. 40

4.3 Meiofauna Epifit pada Daun Lamun di Pantai Bama

dan Pantai Kajang ........................................................ 42

4.3.1 Komposisi Jenis Meiofauna ................................ 42

4.3.2 Kelimpahan Jenis Meiofauna .............................. 46

4.3.3 Keanekaragaman Jenis Meiofauna ...................... 51

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ............................... 55

5.1 Kesimpulan ................................................................. 55

5.2 Saran ............................................................................ 55

DAFTAR PUSTAKA ............................................................ 57

Page 11: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

x

LAMPIRAN .......................................................................... 73

BIODATA PENULIS ........................................................... 87

Page 12: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

xi

“Halaman ini sengaja dikosongkan”

Page 13: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

xii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Morfologi Lamun................................................ 7

Gambar 2.2. Morfologi Lamun Cymodocea rotundata ........... 10

Gambar 2.3. Morfologi Lamun Enhalus acoroides ................. 11

Gambar 2.4. Morfologi Lamun Thalassia hemprichii ............. 11

Gambar 2.5. Morfologi Lamun Halodule uninervis ................ 12

Gambar 2.6. Morfologi Lamun Halophila ovalis .................... 12

Gambar 2.7. Morfologi Lamun Syringodium isoetifolium ...... 13

Gambar 2.8. Famili Syllidae dan Famili Pisionidae ................ 18

Gambar 2.9. Copepoda Harpacticoida ..................................... 19

Gambar 2.10. Filum Nematoda ............................................... 19

Gambar 2.11. Kelas Tubellaria ................................................ 20

Gambar 2.12. Kelas Ostracoda ................................................ 20

Gambar 2.13. Ordo Cumacea .................................................. 21

Gambar 2.14. Famili Halacaroidea .......................................... 22

Gambar 2.15. Ordo Tanaidacea ............................................... 22

Gambar 2.16. Ordo Amphipoda .............................................. 23

Gambar 2.17. Rantai Makanan Meiofauna Epifit di Ekosistem

Padang Lamun .................................................. 25

Gambar 3.1. Peta Lokasi Pengambilan Sampel Meiofauna Epifit

............................................................................ 30

Gambar 3.2. Ilustrasi Pengambilan Sampel Meiofauna

Menggunakan Plastik yang Dimodifikasi ........... 31

Page 14: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

xiii

Gambar 4.1 Persentase jumlah wisatawan yang mengunjungi

satu atau beberapa lokasi tertentu di TN Baluran

............................................................................ 41

Gambar 4.2 Persentase jenis aktivitas yang dilakukan oleh

wisatawan di Pantai Bama ................................. 42

Gambar 4.3 Diagram Persentase Kelimpahan Meiofauna Epifit

berdasarkan Kelompok Taksa Utama pada Daun

Lamun di Pantai Bama dan Kajang ................... 43

Gambar 4.4 Diagram Kelimpahan Meiofauna Epifit pada Ketiga

Jenis Lamun Di Pantai Bama (A) dan Kajang (B)

............................................................................ 44

Page 15: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Jenis – Jenis Lamun di Indonesia ........................... 8

Tabel 3.1. Posisi Geografis Lokasi Penelitian ......................... 29

Tabel 3.2 Kategori Pembobotan Tingkat Keanekaragaman

berdasarkan Indeks Keanekaragaman Shannon-

Wiener (H’) ........................................................... 34

Tabel 3.3. Kategori Pembobotan Tingkat Keanekaragaman

berdasarkan Indeks kemerataan jenis Pielou (J) .... 35

Tabel 4.1 Hasil Pengukuran Parameter Fisika-Kimia Perairan

.................................................................................. 37

Tabel 4.2 Kandungan Bahan Organik Total pada Daun Lamun di

Pantai Bama Dan Pantai Kajang ........................... 40

Tabel 4.3 Kelimpahan Meiofauna Epifit pada Daun Lamun di

Pantai Bama dan Kajang ...................................... 46

Tabel 4.4 Jumlah Taksa Meiofauna Epifit pada Daun Lamun di

Pantai Bama dan Kajang ...................................... 48

Tabel 4.5 Nilai Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener (H’)

Meiofauna Epifit pada Daun Lamun di Pantai Bama

dan Kajang ............................................................ 51

Tabel 4.6 Nilai Indeks Jenis Pielou (J) Meiofauna Epifit pada

Daun Lamun di Pantai Bama dan Kajang ............ 53

Page 16: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Tabel Komposisi Meiofauna Epifit pada lamun

Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii dan

Cymodocea sp di Pantai Bama dan Pantai Kajang

Taman Nasional Baluran Situbondo Jawa Timur

............................................................................ 73

Lampiran 2. Dokumentasi Pengambilan Sampel, Lokasi Sampel

dan Meiofauna Epifit yang Teramati ................. 74

Page 17: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …
Page 18: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pariwisata berbasis alam atau yang disebut juga dengan

ekowisata merupakan salah satu sektor yang berkembang dalam

industri pariwisata. Pariwisata (tourism) merupakan salah satu dari

beberapa industri besar di dunia (UNWTO, 2013). Ekowisata

adalah suatu bentuk perjalanan wisata ke area alami yang

dilakukan dengan tujuan mengkonservasi lingkungan dan

melestarikan kehidupan dan kesejahteraan penduduk setempat

(The Ecotourism Society, 1990). Australian Department of

Tourism (Black, 1999) yang mendefinisikan ekowisata adalah

wisata berbasis pada alam dengan mengikutkan aspek pendidikan

dan interpretasi terhadap lingkungan alami dan budaya masyarakat

dengan pengelolaan kelestarian ekologis. Wilayah pesisir dan laut

yang dapat dikembangkan menjadi kawasan wisata berupa

pemandangan pantai yang indah dan keaslian lingkungan seperti

kehidupan di bawah air. Salah satunya Jawa Timur terdapat Taman

Nasional Baluran yang merupakan kawasan konservasi berupa

hutan dan pantai yang di sekitarnya terdapat kehidupan masyarakat

(Darajat, 2014).

Taman Nasional Baluran yang terletak di Kabupaten

Situbondo, Jawa Timur. TN Baluran merupakan kawasan

konservasi yang cukup kompleks, dimana pada area perairannya

memiliki ekosistem mangrove, terumbu karang, lamun, ikan

karang serta biota lainnya. TN Baluran awalnya dibentuk sebagai

suaka marga satwa pada tahun 1937. Berdasarkan SK. Menteri

Kehutanan No. 279/Kpts.-VI/1997 tanggal 23 Mei 1997 luas TN

Baluran mencapai 25.000 Ha, dengan luas wilayah perairan

mencapai 1.063 Ha. Sebagian wilayah perairan ini dibuka sebagai

area ekowisata yang dibuka bagi pengunjung, hal ini dikarenakan

dengan adanya ekowisata diharapkan wilayah tersebut memiliki

nilai ekonomi lebih bagi masyarakat sekitar tanpa harus merusak

ekositem asli.

Page 19: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

2

Wilayah perairan TN Baluran sebagian besar tergolong dalam

zona Perlindungan Bahari, namun ada beberapa wilayah yang

digolongkan dalam zona pemanfaatan. Salah satu wilayah perairan

bahari yang tergolong dalam Zona Pemanfaatan yaitu Pantai Bama

dan Pantai Kajang (SK Dirjan PHKA Nomor: SK/228/IV-

Set/2012). Atas dasar hal ini maka kedua pantai tersebut boleh

digunakan atau dimanfaatkan secara terbatas atas potensi jasa

lingkungan wilayah tersebut. Penelitian ini difokuskan pada dua

area pantai tersebut mengingat status kedua pantai tersebut sebagai

zona pemanfaatan. Namun, kondisi yang dijumpai di kedua pantai

tersebut cukup berbeda, dimana wilayah Pantai Bama memiliki

lebih banyak pengunjung tiap tahunnya dibandingkan dengan

Pantai Kajang.

Perkembangan pariwisata di suatu lingkungan tertentu dapat

berpotensi menurunkan keberadaan sumber daya alam dan

mengancam kelestarian lingkungan (Fandeli, 2002). Dampak fisik

dapat terlihat dari perubahan ekosistem alam dan perubahan

kualitas sumber daya alam yang berubah akibat adanya populasi

manusia yang bertambah dan aktifitas yang mereka lakukan.

Beberapa perubahan fisik berdampak bagi kualitas dan intensitas

air bersih, udara, dan keberagaman biota. Ekowisata pantai

merupakan pariwisata yang banyak diminati. Para wisatawan dapat

melakukan banyak kegiatan, seperi, memancing, bermain, berlari,

berenang, dan menghasilkan trampling (Huff, 2011). Begitu juga

wisatawan Taman Nasional Baluran, Situbondo Jawa Timur,

biasanya sekedar berjalan – jalan atau memancing, snorkeling,

bermain kano, dan lain – lain.

Padang lamun diketahui merupakan ekosistem pesisir yang

ditumbuhi oleh lamun sebagai vegetasi yang dominan

(Wimbaningrum, 2003). Pengertian lamun sendiri menurut Den

Hartog (1970) dalam Kiswara (1997) yaitu tumbuhan berbunga

(Angiospermae) yang tumbuh dan berkembang biak pada dasar

perairan laut dangkal, mulai daerah sublittoral. Helaian daun dan

cabang – cabang rimpang tegak lamun menyediakan habitat dan

tempat perlindungan bagi fauna menempel (epifit) karena daun

lamun mengandung jumlah besar detritus, bakteri, alga, fungi, dan

protozoa yang merupakan makanan fauna menempel tersebut

Page 20: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

3

(Kiswara, 1997; Bogut, 2009). Salah satu fauna epifit yang mampu

beradaptasi dengan baik dan menjadikan daun lamun sebagai salah

satu mikrohabitatnya yaitu meiofauna epifit (Kiswara, 1997).

Pijakan kaki atau trampling dapat memberikan dampak

terhadap biota. Misalnya penelitian oleh Ugolini et al., (2008)

trampling berdampak negatif terhadap amphipoda makrobenthos

Talitrus salvator dan Huff (2011) yang menyebutkan bahwa

trampling memberikan pengaruh terhadap organisme (makrofauna

maupun meiofauna) yang terdapat pada sedimen maupun pada alga

atau lamun. Selain pijakan kaki, pencemaran juga tidak dapat

terhindar dari kegiatan ekowisata. Pencemaran yang terjadi juga

dapat mengganggu habitat fauna yang ada di sekitar. Penelitian

serupa, menurut Povey and Keough, 1991; Brosnan and Crumrine,

1994; Eckrich and Holmquist, 2000 dalam Milazo et al (2002)

mengatakan bahwa trampling memberikan dampak pada hewan

yang berasosiasi pada lamun dan alga, yaitu massa jenis dan

persebaran dari hewan–hewan tersebut. Selain itu, Casu (2006)

juga menjelaskan bahwa makrofauna maupun meiofauna rentan

terhadap gangguan pijakan kaki manusia, namun fauna yang

memiliki cangkang atau pelindung tubuh yang akan bertahan.

Meiofauna merupakan kelompok hewan yang dapat dijadikan

objek studi lingkungan karena memiliki waktu hidup yang singkat

(Nasira et al., 2009). Meiofauna mempunyai tubuh yang berukuran

antara 63 – 1000 µm atau hewan–hewan multiseluler yang lolos

pada saringan 0.063 – 1 mm (Giere, 1993) dan merupakan

organisme yang melimpah pada komunitas dasar yang bersubstrat

lunak atau pada sedimen laut (Funch et al., 2002). Meiofauna

bentik tersebar luas di substrat perairan, memiliki pertumbuhan dan

perkembangan yang cepat, tidak memiliki fase planktonik

sehingga seluruh siklus hidupnya berada di dalam substrat

perairan, dan memiliki keanekaragaman tinggi (Yanko et al., 1999

dalam Balsamo et al., 2012; Kiswara et al, 1994). Meiofauna yang

berasosiasi dengan suatu ekosistem memiliki peranan yang sangat

penting, yaitu sebagai indikator adanya gangguan lingkungan, baik

alami maupun antopogenik (Morenno et al., 2008). Dengan

bantuan enzim yang ada pada tubuhnya mengubah zat – zat yang

tidak berguna menjadi zat – zat mineral yang bermanfaat (Aljetlawi

Page 21: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

4

et al., 2000). Respon yang diberikan yaitu dapat dilihat dari

kelimpahan, keanekaragaman dan jumlah taksa (Morenno et al.,

2008; Martinez, 2011). Peranan meiofauna epifit pada ekosistem

lamun adalah sebagai salah satu mata rantai penghubung dalam

aliran energi dan siklus materi dari alga planktonik sampai

konsumen tingkat tinggi, seperti kepiting, ikan dan udang

(Schneider dan Mann, 1991). Pada penelitian ini dipilih meiofauna

epifit pada lamun Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii,

Cymodocea sp. sebagai jenis yang dominan berdasarkan luas area

(Wimbaningrum, 2003).

Berdasarkan hal tersebut, sehingga diperlukan penelitian

tentang seberapa besar pengaruh kegiatan manusia terhadap

komunitas meiofauna dan diharapkan luaran yang dihasilkan dapat

memberikan informasi mengenai dampak negatif kegiatan wisata

pantai terhadap komunitas meiofauna epifit pada kawasan Pantai

Bama dan Pantai Kajang, Taman Nasional Baluran.

1.2 Rumusan Masalah Rumusan masalah dari penelitian ini adalah bagaimana

kelimpahan, komposisi jenis dan keanekaragaman meiofauna

epifit pada daun lamun di Pantai Bama (representasi sebagai

pantai wisata) dibandingkan dengan Pantai Kajang

(representasi sebagai pantai non wisata)

1.3 Batasan Masalah

Batasan masalah dari penelitian ini adalah:

1. Penelitian ini dilakukan pantai Bama (representasi sebagai

pantai wisata) dan Pantai Kajang (representasi sebagai

pantai non wisata).

2. Penelitian dilakukan hanya pada zona lamun.

3. Sampel meiofauna epifit diambil pada daun lamun

Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Cymodocea sp.

4. Waktu pengambilan sampel dilakukan pada high season

atau ketika banyaknya pengunjung yakni bulan Juni 2017.

5. Parameter lingkungan yang diukur adalah salinitas, suhu,

dissolved oxygen (DO), pH, total organic matter (TOM)

Page 22: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

5

(pada alga epifit dan debris yang melekat di daun lamun)

dan jumlah pengunjung.

1.4 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui

keanekaragaman dan kelimpahan meiofauna epifit yang berada di

Pantai Bama sebagai pantai ekowisata dan Pantai Kajang sebagai

pantai non-ekowisata, Taman Nasional Baluran Situbondo.

1.5 Manfaat

Manfaat dari penelitian ini adalah untuk memberikan

informasi terutama bagi pengelola TN Baluran mengenai dampak

kegiatan wisata pantai terhadap kondisi komunitas meiofauna,

sehingga menjadi pertimbangan dalam mengelola lokasi pantai

ekowisata.

Page 23: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

6

“Halaman ini sengaja dikosongkan”

Page 24: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lamun

Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga

(Angiospermae) yang seluruh proses kehidupan berlangsung di

lingkungan perairan laut dangkal (Susetiono, 2004). Lamun

merupakan satu satunya tumbuhan Angiospermae atau tumbuhan

berbunga yang memiliki daun, batang, dan akar sejati yang telah

beradaptasi untuk hidup sepenuhnya di dalam air laut (Tuwo,

2011). Tumbuhan lamun terdiri dari rhizoma (rimpang), daun, dan

akar. Rhizoma merupakan batang yang terbenam dan merayap

secara mendatar, serta berbuku – buku.

Gambar 2.1 Morfologi Lamun (Azkab, 2006)

Pola hidup lamun sering berupa hamparan, maka dikenal juga

istilah padang lamun (seagrass bed) yaitu hamparan vegetasi

lamun yang menutup suatu area pesisir/laut dangkal, terbentuk dari

satu jenis atau lebih dengan kerapatan padat atau jarang. Lamun

Page 25: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

8

umumnya membentuk padang lamun yang luas di dasar laut yang

masih dapat dijangkau oleh cahaya matahari yang memadai bagi

pertumbuhannya. Lamun hidup di perairan yang dangkal dan

jernih, dengan sirkulasi air yang baik. Air yang bersirkulasi

diperlukan untuk menghantarkan zat - zat hara dan oksigen, serta

mengangkut hasil metabolisme lamun ke luar daerah padang lamun

(Den Hartog, 1970).

Lamun hidup dan terdapat pada daerah mid-intertidal sampai

kedalaman 0,5-10 m, dan sangat melimpah di daerah sublittoral.

Habitat lamun dapat dilihat sebagai suatu komunitas, dalam hal ini

suatu padang lamun merupakan kerangka struktur dengan

tumbuhan dan hewan yang saling berhubungan. (Barber, 1985).

Tabel 2.1. Jenis – Jenis Lamun di Indonesia (Bengen, 2004;

Dahuri, 2003)

Suku Jenis Lamun Deskripsi

Cymodoceae Cymodocea

rotundata

Spesies pionir,

dominan di daerah

intertidal.

Cymodocea

serrulata

Tumbuh hanya di

daerah yang

berbatasan dengan

mangrove.

Halodule pinifolia

Spesies pionir,

dominan di daerah

intertidal

Halodule

uninervis

Tumbuh pada rataan

terumbu karang

yang rusak.

Thalassodendron

ciliatum

Tumbuh pada daerah

subtidal.

Syringodium

isoetifolium

Tumbuh pada

substrat lumpur yang

dangkal.

Page 26: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

9

Hydrocharitaceae Enhalus acoroides Tumbuh di substrat

pasir berlumpur.

Thalassia

hemprichii

Tumbuh pada

substrat pasir

berlumpur dan

pecahan karang.

Halophila minor

Tumbuh pada

substrat berlumpur.

Halophila ovalis

Tumbuh di daerah

yang intensitas

cahayanya kurang.

Halophila

decipiens

Tumbuh pada

substrat berlumpur.

Halophila

spinulosa

Tumbuh pada rataan

terumbu karang

yang rusak.

Di Indonesia sampai saat ini tercatat ada 12 spesies lamun,

kedua belas jenis lamun ini tergolong pada 7 genus. Ketujuh genus

ini terdiri dari 3 genus dari family Hydrocharitaceae yaitu Enhalus,

Thalassia dan Halophila, dan 4 genus dari famili Hydrocharitaceae

yaitu Syringodium, Cymodocea, Halodule dan Thalassodendron

(Nontji, 1987).

Di daerah padang lamun organisme melimpah, karena lamun

digunakan sebagai perlindungan dan persembunyian dari predator,

menahan kecepatan arus yang tinggi dan juga sebagai sumber

bahan makanan baik daunnya maupun epifit atau detritus. Lamun

juga merupakan komunitas yang sangat produktif sehingga jenis-

jenis ikan dan fauna invertebrata melimpah di perairan ini. Lamun

juga memproduksi sejumlah besar bahan-bahan organik sebagai

substrat untuk algae, epifit, mikroflora dan fauna (Soedharma,

2007). Ekosistem padang lamun berfungsi sebagai penyuplai

energi baik pada zona bentik maupun pelagis. Detritus daun lamun

yang tua didekomposisi oleh sekumpulan jasad bentik (seperti

teripang, kerang, kepiting, dan bakteri), sehingga dihasilkan bahan

organik baik yang tersuspensi maupun yang terlarut dalam bentuk

Page 27: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

10

nutrient. Nutrien tersebut tidak hanya bermanfaat bagi tumbuhan

lamun, tetapi juga bermanfaat untuk pertumbuhan fitoplankton dan

selanjutnya zooplankton dan juvenil ikan/udang (Dahuri, 2003).

Pada Pantai Bama yang terletak di Taman Nasional Baluran

padang lamun bervegetasi campuran, disusun setidaknya enam

spesies (Wimbaningrum, 2003), antara lain;

a. Cymodocea rotundata

Tumbuhan tampak ramping, daun melengkung, dan tidak

mengecil ke arah bagian ujungnya, panjangnya 5 – 16 cm, lebar 2

– 4 cm, pada bagian ujung daun melengkung ke bagian dalam

(Susetiono, 2004; Lestari, 2010).

Gambar 2.2 Morfologi Lamun Cymodocea rotundata (Menez,

1983)

b. Enhalus acoroides

Tanaman tegak dengan daun sebanyak 2 – 5 helai dan rimpang

kasar serta akar – akar yang kuat. Helaian daun berbentuk seperti

pita dengan panjang dapat mencapai 75 cm dan lebar 1,0 – 1,5 cm.

rimpang tebal mencapai 1 cm (Susetiono, 2004; Lestari, 2010)

Page 28: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

11

Gambar 2.3 Morfologi Lamun Enhalus acoroides (Menez, 1983)

c. Thalassia hemprichii

Daun lurus sampai sedikit melengkung, panjang 5 – 20 cm,

lebar mencapai 1 cm. seludang daun tampak nyata dank eras

dengan panjang berkisar antara 3 – 6 cm. Rimpang keras, menjalar,

ruas -ruas rimpang mempunyai seludang (Susetiono, 2004; Lestari,

2010)

Gambar 2.4 Morfologi Lamun Thalassia hemprichii (Menez,

1983)

Page 29: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

12

d. Halodule uninervis

Daun langsing, panjang 5 – 20 cm, lebar mencapai 4 mm.

Ujung daun mempunyai tiga gigi, dua di pinggir, satu di tengah

(Susetiono, 2004; Lestari, 2010)

Gambar 2.5 Morfologi Lamun Halodule uninervis (Menez, 1983)

e. Halophila ovalis

Daun berbentuk oval dan mempunyai petiole (tangkai daun).

Lebar daun lebih dari 0,5 cm dan panjang berkisar 1 – 4 cm,

diisertai dengan garis – garis tulang daun yang tampak lebih jelas

sebanyak 10 – 25 pasang (Susetiono, 2004; Lestari, 2010).

Gambar 2.6 Morfologi Lamun Halophila ovalis (Menez, 1983)

Page 30: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

13

f. Syringodium isoetifolium

Tumbuhan pendek, daun silindris dan agak panjang, mencapai

25 cm. Rimpang merayap (Susetiono, 2004; Lestari, 2010).

Gambar 2.7 Morfologi Lamun Syringodium isoetifolium (Menez,

1983)

Secara ekologis, ekosistem lamun berfungsi sebagai

penyaring sampah daratan dan meredam energi gelombang

sehingga dapat mengurangi tingkat erosi pantai (Fortes, 1989

dalam Mardesyawati dan Anggraini, 2009) dan menjadikan

perairan dibawahnya tenang. Dengan adanya keadaan ini, maka

mineral dan partikel organic terlarut di dalam air akan lebih mudah

mengendap atau tenggelam di padang lamun. Selain itu, Thorhoug

and Austin (1976) dalam Hutomo dan Azkab (1987) menyebutkan

bahwa rimpang dan akar lamun dapat menangkap dan

menggabungkan sedimen, sehingga meningkatkan stabilitas

permukaan di bawahnya dan pada saat yang sama menjadikan air

lebih jernih.

2.2 Meiofauna Meiofauna adalah kelompok hewan berukuran antara 63 –

1000 µm atau hewan – hewan multiseluler yang lolos pada

Page 31: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

14

saringan 0.063 – 1 mm (Linhart et al., 2002) dan merupakan

organisme yang melimpah pada komunitas dasar yang bersubstrat

lunak atau pada sedimen laut mulai dari zona litoral atas sampai

zona abisal (Funch et al., 2002). Meiofauna dapat diartikan sebagai

kelompok fauna kecil yang berada diantara mikrofauna dan

makrofauna (Higgins and Thiel, 1988; Giere, 1993; Nybakken and

Bertness, 2005). Batas maksimum ukuran meiofauna adalah 0,5

mm atau 1,00 mm, sedangkan batas minimum ukuran meiofauna

adalah 0,042 mm atau 0,063 mm (Higgins and Thiel, 1988).

Meiofauna merupakan salah satu organisme yang menjadikan

lamun sebagai habitatnya. Daun, rhizome dan akar lamun dapa

menyediakan sejumlah habitat dan tempat perlindungan yang

penting bagi meiofauna. Daun lamun yang memanjang seperti pita

dan terjuntai ke bawah dapat berperan sebagai jalan bagi

meiofauna dalam upayanya bermigrasi dari sedimen ke daun

lamun (Giere, 1993; Hall and Bell, 1993). Habitat lamun ini

mengandung sejumlah besar detritus yang berasal dari tumbuhan

lamun dan mengandung fauna yang khas (Heip et al, 1985; Zulkifli,

2008). Hamparan lamun dapat dihuni oleh meiofauna yang

kelimpahannya mencapai dua kali dibandingkan dengan

kelimpahan meiofauna pada sedimen di dekatnya. Kelimpahan

meiofauna di hamparan lamun dapat mencapai 106 individu/m2

yang setara dengan 10% dari biomassa makrofauna yang hidup di

habitat ini (Giere, 1993 dalam Zulkifli, 2008).

2.3 Faktor yang mempengaruhi Meiofauna

2.3.1 Suhu Suhu merupakan salah satu faktor lingkunganperairan

yang berperan mengendalikkan kondisi ekosistem perairan dan

dapat mempengaruhi sifat fisika kimia perairan dan fisiologi

organisme, selanjutnya mengakibatkan peningkatan konsumsi

oksigen oleh organisme perairan dan akhirnya mengakibatkan

penurunan kandungan oksigen terlarut (Kennish, 1990). Perubahan

suhu dapat menyebabkan perubhan kelimphan meiofauna. Suhu

Page 32: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

15

yang optimum untuk perkembangan meiofauna adalah 20o – 30o C.

Perubahan suhu berhubungan dengan musim. Kelimpahan

meiofauna berfluktuatisi secara musiman di daerah subtropis,

dimana kelimpahan tertinggi umumnya terjadi pada saat kondisi

terhangat dalam setahun (Heip et al., 1985)

2.3.2 Salinitas

Secara umum, meiofauna dapat hidup dengan keragaman

yang tinggi pada berbagai tipe salinitas di perairan yang berbeda

mulai dari perairan tawar, payau hingga perairan laut. Hal ini

mengindikasikan bahwa keragaman meiofauna yang tinggi di

dalam komunitasnya, meiofauna memiliki keragaman kemampuan

fisiologis untuk beradaptasi terhadap berbagai tipe salinitas

(Higgins and Thiel, 1988; Giere, 1993).

Perubahan salinitas yang dapat mempengaruhi organisme

terjadi di daerah pasang surut melalui dua cara. Pertama, karena di

daerah pasang surut terbuka pada saat pasang turun dan kemudian

digenangi air atau aliran akibat hujan deras, akibatnya salinitas

akan sangat turun. Kedua, ada hubungannya dengan genangan

pasang surut. Kenaikan salinitas terjadi jika penguapan sangat

tinggi pada siang hari (Nybakken, 1992 dalam Lestari, 2010).

Gradien salinitas yang tajam dan tidak teratur dapat secara

langsung berpengaruh terhadap keberadaan dan komposisi jenis

meiofauna. Perubahan salinitas yang drastic dari asin menjadi

hampir tawar atau sebaliknya dapat menyebabkan penurunan

distribusi, kelimpahan dan keanekaragaman meiofauna (Giere,

1993; Ingole and Parulekar, 1998).

2.3.4 Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen / DO)

Oksigen merupakan faktor penting dalam lingkungan bentik.

Hampir semua sedimen laut memiliki lapisan oksik pada

permukaan, sedangkan bagian bawahnya merupakan lapisan

anoksik yang bebas oksigen dengan komposisi kimiawi yang

berbeda. Secara umum, fauna bentik akan terganggu aktivitasnya

apabila kandungan oksigen terlarut di dalam air kurang dari 2 mg/L

Page 33: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

16

(Lasmana,2004 dalam Trisnawati, 2012). Meiofauna memiliki

kelimpahan tebanyak pada kedalaman 10 cm. Kelompok

Nematoda, Copepoda dan Ostracoda 80 – 90 % hidup pada lapisan

tersebut sedangkan zona sedimen memiliki keragaman yang tinggi

ada pada kedalaman 2 – 4 cm (Kiswara, 1994).

2.3.5 Material Organik Total (Total Organic Matter / TOM)

Bahan organik terdapat dua kelompok yaitu POM (Particulate

Organic Matter), bahan organic dalam bentuk partikel dan DOM

(Dissolved Organic Matter), bahan organik terlarut. Gabungan dari

POM dan DOM disebut TOM (Total Organic Matter) atau

Material Organik Total (Faganeli and Herndl, 1991; Libes, 1992;

Millero and Sohn, 1992).

Materi organik baik berupa detritus yang telah mati maupun

substansi organik dari mikroalga dan bakteri hidup diketahui

merupakan salah satu faktor lingkungan yang penting dalam

membentuk habitat meiofauna (Giere, 1993). Pada kadar materi

organik yang melimpah, nematode cenderung ditemukan dalam

jumlah melimpah sedangkan Harpacticoida cenderung ditemukan

dalam jumlah sedikit. Hal tersebut terkait dengan egek materi

organik terhadap kandungan oksigen dimana peningkatan

kandungan materi organik akan menyebabkan penurunan kadar

oksigen.

2.3.6 Derajat Keasaman (pH)

Derajat keasaman atau pH merupakan faktor kadar ion

hydrogen atau kation yang terkandung dalam air. Menurut

Nybakken (1992) kadar pH di lingkungan laut umumnya relative

stabil dengan kisaran 7,5 – 8,4. Nilai pH yang rendah menunjukkan

adanya reaksi kimiawi dengan suasana asam sedangkan nilai pH

yang tinggi menunjukkan adanya reaksi kimiawi dalam suasana

basa. Umumnya kematian organisme lebih banyak diakibatkan

oleh pH yang rendah dibandingkan dengan pH yang tinggi. Nilai

Page 34: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

17

pH air laut yang cukup tinggi sekitar 7,5 – 8,8 dapat berperan

sebagai penyangga (buffer) yang dapat mencegah terjadinya

perubahan pH yang terlalu besar sehingga faktor pH tidak banyak

berpengaruh terhadap keberadaan meiofauna (Giere, 1993).

2.4 Ekologi Meiofauna

2.4.1 Kelimpahan dan Keanekaragaman Meiofauna merupakan kelompok organisme yang paling

beraneka ragam di komunitas laut bersubstrat lunak (soft-bottom)

(Susetiono, 1996). Secara alami, kelimpahan meiofauna pada

perairan dangkal dapat mencapai 106 individu per meter persegi

dengan biomassa mencapai 2 gram per meter persegi. Nilai

kelimpahan dan atau biomassa tersebut dipengaruhi oleh faktor

musim, latitude, kedalaman air, paparan pasang surut, ukuran

partikel sedimen, habitat dan lain sebagainya (Higgins and Thiel,

1988).

Beberapa jenis meiofauna epifit yang biasanya ditemukan

menempel pada daun lamun, antara lain;

1. Kelas Polychaeta

Famili Syllidae dan family Pisionidae ini merupakan beberapa

anggota polychaeta yang hampir seluruhnya termasuk dalam

kelompok meiobenthos dan biasanya ditemukan menempel pada

daun lamun (Susetiono, 2004).

Page 35: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

18

Gambar 2.8 Famili Syllidae dan Famili Pisionidae

(Narayanaswamy, 2016)

2. Copepoda Harpacticoida

Beberapa family dari Copepoda Harpacticoida yang biasanya

dijumpi di permukaan daun lamun antara lain;

a. Famili Cletodidae dan family Harpacticidae

Kedua family ini merupakan anggota Copepoda

Harpacticoida bentik yang hidup dengan memanfaatkan

rongga – rongga diantara butiran pasir yang tertampung antara

alga epifit sebagai tempat hidupnya.

b. Famili Porcellidiiae

Tubuhnya pipih dorso-ventral, hidup pada permukaan

tumbuhan laut seperti lamun dan rumput laut, sangat jarang

dijumpai hidup di dalam sedimen.

c. FamiliTegastridae

Sering dijumpai hidup pada permukaan daun lamun

d. Family Thalestridae

Seperti Famili Tegastridae, biasanya ditemukan pada

permukaan daun lamun (Higgins and Thiel, 1988; Giere,

1993).

Page 36: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

19

Gambar 2.9 Copepoda Harpacticoida (Bryant, 2014)

3. Filum Nematoda

Cacing nematoda merupakan kelompok meiofauna yang

cukup banyak dijumpai pada permukaan daun lamun, khususnya

yang banyak ditumbuhi oleh alga epifit (Higgins and Thiel, 1988;

Giere, 1993).

Gambar 2.10 Filum Nematoda (Zeppilli, 2015)

4. Kelas Tubellaria

Spesies dari Turbellaria yang sering ditemukan di daun lamun

yaitu Gyratrix hermaphrodites. Meiofauna ini bertubuh lunak

(Susetiono, 2004). Tubuh memiliki dua mata dan tanpa alat hisap.

Page 37: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

20

Gambar 2.11 Kelas Tubellaria (Schratzberger, 2007)

5. Kelas Ostracoda

Hewan meiofauna ini pergerakannya dengan cara merayap

pada butiran pasir atau alga (Higgins and Thiel, 1988; Giere, 1993).

Ostracoda mempunyai cangkang yang keras berzat kapur,

bentuknya setangkup dengan engsel di bagian punggung, sepintas

penampilannya mirip dengan kerrang pada moluska.

Gambar 2.12 Kelas Ostracoda (http://dept.harpercollege.edu)

6. Ordo Cumacea

Hewan meiofauna ini hidup di sedimen lunak yang

terperangkap oleh alga maupun di dasar perairan (Giere, 1993;

Higgins and Thiel, 1988).

Page 38: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

21

Gambar 2.13 Ordo Cumacea (http://www.marinespecies.org)

7. Famili Halacaroidea

Halacarida umumnya mudah dijumpai pada permukaan daun

lamun dan alga di daerah pasang surut (Giere, 1993; Higgins and

Thiel, 1988). Mempunyai antena yang biasanya terdapat di bagian

depan kepala, thorax dan abdomen. Namun bagian kepala dan

thorax menyatu menjadi satu sehingga sering disebut dengan

cephalothorax. Bagian cephalothorax biasanya dilindungi oleh

bagian yang keras yang disebut carapace. Selain itu, mempunyai

empat pasang kaki di bagian cephalothorax, sehingga jumlah kaki

menjadi delapan dan sering disebut decapoda. Bagian abdomen

biasanya tidak mempunyai anggota badan (appendages) jika ada

biasanya kecil dan berfungsi sebagai alat reproduksi, pemintal

jarring dan tidak pernah digunakan untuk pergerakan.

Page 39: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

22

Gambar 2.14 Famili Halacarida (Krantz, 2009)

8. Ordo Tanaidacea

Bentuk tubuh silinder. Terdapat mata dan kelapa. Tidak

memiliki mandibula, squama, dan palp.

Gambar 2.15 Ordo Tanaidacea (Kommritz, 2017)

9. Ordo Amphipoda

Pada ordo Amphipoda, sifat – sifat umumnya adalah tubuh

yang beruas – ruas, tidak mempunyai kulit luar (carapace),

mempunyai appendage, dan bentuk tubuh pipih ke arah samping.

Page 40: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

23

Gambar 2.16 Ordo Amphipoda (www.marinespecies.org)

2.4.2 Sebaran dan Zonasi

Distribusi meiofauna dipengaruhi oleh faktor fisika, kimia,

dan biologi (Guerrini et al., 1998; Arroyo et al., 2004; Rodriguez,

2004). Pola kolonisasi meiofauna dipengaruhi oleh kondisi habitat

(Guerrini et al., 1998; Bostrom and Bonsdorff, 2000; De Troch et

al., 2001; Prathep et al., 2003; Arroyo et al., 2004). Di perairan laut

dangkal, meiofauna menunjukkan pola zonasi dan distribusi yang

khas baik secara vertical maupun horizontal (Coull, 1988; Higgins

and Thiel, 1988; Gambi et al., 1998; Arroyo et al., 2004).

Berdasarkan perilaku meiofauna dalam habitatnya, Susetiono

(1999) membagi meiofauna menjadi enam kategori, yaitu (1)

meiofauna mesopsammon (kelompok meiofauna yang hidup

diantara rongga – rongga sedimen); (2) meiofauna “escaper”

(meiofauna yang mampu meninggalkan sedimen secara aktif untuk

kemudian masuk ke dalam massa air di atasnya) (3) meiofauna

yang hidup dalam seresah (4) meiofauna epifitik yang hidup di

permukaan daun lamun (5) meiofauna yang bermigrasi horizontal

(6) meiofauna yang kembali ke sedimen.

2.4.3 Peranan Ekologis

Di perairan, meiofauna memiliki peranan ekologis yang sangat

penting, yaitu;

1. Sebagai penyedia makanan bagi berbagai tingkat trofik

yang lebih tinggi.

Page 41: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

24

2. Memainkan peranan penting dalam biodegradsi bahan

organik.

3. Memudahkan biomineralisasi bahan organik dan

meningkatkan regenerasi nutrien.

4. Berperan dalam menyuburkan dasar perairan dan

meningkatkan produktivitas bentik.

5. Sebagai anggota komunitas bentos yang dapat

menyumbangkan pengaruh interaktif kepada biota laut

lainnya melalui kompetisi, simbiosis, predasi dan asosiasi.

6. Karena sensitivitasnya yang tinggi terhadap masukan

antropogenik dan bahan – bahan pencemar, membuatnya

sebagai organisme yang baik sekali untuk studi

pencemaran dan digunakan sebagai bioindikator dalam

menilai kondisi lingkungan laut (Herman and Heip, 1988;

Aller and Aller, 1992; Green and Montagna, 1996;

Montagna and Harper, 1996; Gee and Somerfield, 1997;

Coull, 1999; Lee et al., 2000; Mirto et al., 2000; Raffaelli,

2000; Beier and Traunspurger, 2001; Smith et al., 2001;

Mistri et al., 2002; Vezzulli et al., 2003; Barnes and

Hughes, 2004; Stead et al., 2005; Zulkifli, 2008).

Meiofauna yang berasosiasi dengan ekosistem tersebut

memiliki peranan yang amat sangat penting, yaitu sebagai salah

satu mata rantai penghubung dalam aliran energi dan siklus materi

dari alga planktonik sampai konsumen tingkat tinggi (Mann, 2000)

dan memberikan kontribusi dalam menopang kehidupan

organisme trofik yang lebih tinggi (Coull, 1999), seperi kepiting,

ikan dan udang (Heip et al.,1985; Webber and Thurman, 1991).

Page 42: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

25

Gambar 2.17 Rantai makanan meiofauna epifit di ekosistem

padang lamun (Kiswara, 1992)

Meiofauna juga mempunyai kepekaan terhadap perubahan

lingkungan, sehingga jenis tertentu dari meiofauna, seperti

Nematoda dan Copepoda sering digunakan sebagai indikator

dalam menyatakan kelimpahan bahan organik. Perbandingan

Nematoda dan Copepoda (rasio N / C) dapat digunakan sebagai

alat biomonitoring pencemaran organik dalam komunitas bentik

(Hodda and Nicholas, 1985; Montagna and Harper, 1996; Pati et

al, 1999).

Keuntungan menggunakan meiofauna sebagai organisme

biomonitoring adalah sebagai berikut;

a. umumnya meiofauna mempunyai siklus hidup yang

pendek (sekitar 30 – 40 hari).

b. mempunyai kemampuan untuk bertambah dalam

lingkungan yang tercemar.

Page 43: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

26

c. ukuran meiofauna yang kecil dapat diberikan untuk ukuran

sampel yang kecil pula.

d. komunitas meiofauna sifatnya lebih stabil, baik kualitas

maupun kuantitas terhadap musim dan dari tahun ke tahun

daripada makrofauna (Coull and Chandler, 1992).

2.5 Taman Nasional Baluran, Situbondo, Jawa Timur Taman Nasional Baluran merupakan kawasan Konservasi

Sumberdaya Alam, yang berarti di dalam kawasan Taman Nasional

Baluran terdapat pengelolaan sumberdaya alam hayati yang

pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana, untuk menjamin

kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan

meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Tujuan

pembangunan konservasi sumberdaya alam yaitu mengusahakan

terwujudnya kelestarian sumberdaya alam hayati serta

keseimbangan ekosistemnya, sehingga dapat lebih mendukung

upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan

manusia. Taman Nasional Baluran memiliki potensi

keanekaragaman hayati yang cukup tinggi baik flora, fauna

maupun ekosistemnya, termasuk keindahan panorama alamnya.

Ditinjau dari status kawasan, Taman Nasional Baluran memiliki 3

fungsi utama yaitu (1) fungsi perlindungan sistem penyangga

kehidupan, (2) pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan

satwa dan (3) pemanfaatan secara lestari Sumber Daya Alam

Hayati beserta ekosistemnya, yang dapat dimanfaatkan untuk

tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang

budidaya, budaya, rekreasi dan pariwisata. Maka dari itu tujuan

pengelolaan kawasan Taman Nasional Baluran adalah

melestarikan SDAH dan ekosistemnya agar dapat memenuhi

fungsinya (3P) secara optimal. Sasaran utama pengelolaan Taman

Nasional Baluran adalah SDAH, ekosistem dan kawasannya.

Tingginya potensi keanekaragaman hayati dan indahnya panorama

alam Baluran, merupakan daya tarik tersendiri bagi wisatawan.

TN Baluran terletak di Kecamatan Banyuputih, Kabupaten

Situbondo, Jawa Timur. Secara geografis terletak antara 7o29’ -

7o55’ LS, serta antara 114o17’ - 114o28’ BT, sebelah timur laut

Pulau Jawa. Sebelah utara berbatasan dengan Selat Madura,

Page 44: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

27

sebelah barat berbatasan dengan Sungai Bajulmati, sebelah timur

berbatasan dengan Selat Bali dan sebelah barat laut berbatasan

dengan Sungai Klokoran. dengan luas area mencapai 25.000 Ha

yang dibagi atas beberapa zona. Pembagian zona ini didasarkan

atas SK Dirjen PKA No. 187/Kpts/DJ-V/1999 tanggal 13

Desember 1999 yang terbagi atas Zona Inti dengan Luas 12.000

Ha, zona rimba dengan luas 5.537 Ha yang terbagi atas 1.063 Ha

zona perairan dan 4.574 Ha zona daratan, zona pemanfaatan

intensif dnegan luas 800 Ha, zona pemanfaatan khusus 5.780 Ha

dan zona rehabilitasi seluas 283 Ha (TN Baluran, 2017).Kawasan

konservasi sumber daya alam tersebut pada mulanya dikenal

sebagai suaka margasatwa, kemudian ditetapkan secara definitif

sebagai taman nasional berdasarkan Keputusan Menteri

Kehutanan No: 096/Kpts-II/1984 tanggal 12 Mei 1984. Secara

geologi TN Baluran memiliki dua jenis tanah, yaitu tanah

pegunungan dan tanah dasar laut. Tanah pengunungan terdiri dari

tanah vulkanik dengan kondisi tanah berbatu-batu dan lereng

gunung yang tinggi dan curam, sampai tanah aluvial yang dalam

di dataran rendah. Tanah dasar laut terbatas di dataran pasir

sepanjang hutan mangrove. Tanah hitam meliputi kira-kira

setengah luas dataran rendah, ditumbuhi rumput savana. Tanah

ini membentuk daerah subur, kaya mineral tetapi miskin bahan

organik, dengan kondisi fisik yang kurang baik dan porous

(Sabarno, 2001).

Page 45: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

28

“Halaman ini sengaja dikosongkan”

Page 46: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

29

BAB III

METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan pengambilan sampel pada

bulan Juni 2017, sedangkan analisis sampel dan data sampai

dengan bulan Juli 2017. Pengambilan data dilakukan pada dua

lokasi di Taman Nasional Baluran, Situbondo, Jawa Timur yaitu

pada Pantai Bama (BM) dan Pantai Si Kajang (SK). Lokasi BM

mewakili pantai dengan jumlah pengunjung lebih banyak (pantai

wisata) sedangkan lokasi SK merupakan perwakilan pantai dengan

jumlah pengunjung yang lebih sedikit (pantai non-wisata).

Pengamatan meiofauna dan analisis data dilakukan di

Laboratorium Ekologi, Departemen Biologi, Institut Teknologi

Sepuluh Nopember, Surabaya.

Titik lokasi pengambilan sampel disajikan dalam Tabel 3.1

berikut;

Tabel 3.1. Posisi Geografis Lokasi Penelitian

No Lokasi Posisi geografis

Latitude (LS) Longitude (BT)

1 Pantai Bama (BM) 7ᵒ50'41.22" 114ᵒ27'44.17"

2 Pantai Si Kajang (SK) 7ᵒ49'57.74" 114ᵒ27'52.75"

Page 47: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

30

Gambar 3.1 Peta lokasi pengambilan sampel meiofauna epifit

(Modifikasi Google Map).

3.2 Alat, Bahan dan Cara Kerja

3.2.1 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah kantong

plastik (dimodifikasi dengan ujung dilubangi dan ditutup dengan

jaring plankton berukuran 0,063 mm), botol sampel, kantong

plastik ziplock, sekop, cool box, saringan bertingkat dengan mesh-

size 2.00 mm, 1.00 mm, 0.50 mm, 0.25 mm, 0.125 mm, 0.063 mm,

cawan petri, pinset, mikroskop stereo OLYMPUS® model SZ2-

ILST, termometer merkuri, hand salino-refractrometer ATAGO®,

DO meter EUTECH®, pH meter, kamera, GPS (Global

Posittioning System) GARMIN® eTrex High Sensitivity, neraca

analitik, dan buku identifikasi meiofauna. Sedangkan bahan yang

digunakan pada penelitian ini adalah buffered-formalin 10%,

pewarna rose-bengal dan alkohol 70%.

3.2.2 Cara Kerja

Pengambilan dan Analisis Sampel Meiofauna

Sampel meiofauna epifit diambil dari daun tiga jenis lamun

dominan lokasi penelitian yaitu Enhalus acoroides, Thalassia

Page 48: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

31

hemprichii dan Cymodocea sp. Pengambilan sampel dilakukan

pada perairan intertidal saat air laut pasang.

Gambar 3.2 Ilustrasi pengambilan sampel meiofauna

menggunakan plastik yang dimodifikasi

Metode pengambilan sampel menggunakan metode

random (Higgins and Thiel, 1988). Untuk mengambil sampel pada

lamun, dilakukan dengan diambil satu helai daun yang masih utuh,

kemudian bagian ujung hingga pangkal daun diselubungi dengan

plastik memanjang yang telah dimodifikasi. Pada plastik tersebut

dibuat lubang segi empat yang kemudian ditutup dengan jaring

plankton berukuran 0,063 mm. Pemasangan jaring plankton ini

bertujuan mengurangi agitasi pada permukaan daun ketika sarung

plastik diselubungkan. Disamping itu juga untuk mencegah

lolosnya meiofauna yang menempel pada permukaan daun lamun

(Lestari, 2010). Sampel yang didapatkan atau setiap helai daun

dengan kain pembungkusnya dimasukkan ke dalam plastik ziplock

kemudian di beri buffered-formalin 10% (Fonseca et al., 2011;

Harguinteguy et al.,2012) dan diberi pewarna rose-bengal (Higgins

and Thiel, 1988; Susetiono, 1996; De Troch et al., 2001).

Daun lamun

Jaring mesh-size

0,063 mm

Plastik

Page 49: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

32

Sampel meiofauna dibawa ke Laboratorium Ekologi,

Departemen Biologi, ITS untuk dipreparasi dan diamati. Setiap

potongan daun diletakkan di saringan bertingkat mesh-size 0.50

mm dan 0.063 mm dan dibilas dengan akuades supaya spesimen

meiofauna epifit akan terlepas dari daun. Sampel yang digunakan

hanya sampel yang tertahan pada saringan mesh-size 0.063 mm;

kemudian bagian belakang saringan disemprot dengan air hingga

semua sampel dapat masuk ke dalam botol sampel (Lestari, 2010).

Pengamatan dilakukan dengan meletakkan sampel ke atas

cawan petri kemudian diamati dengan menggunakan mikroskop

stereo OLYMPUS® model SZ2-ILST. Meiofauna yang teramati

diidentifikasi dengan menggunakan buku panduan Introduction to

the Study of Meiofauna (Higgins and Thiel, 1988).

Pengukuran Variabel Fisik, Kimia dan Biologi Perairan

Pengukuran parameter lingkungan yang dilakukan adalah

salinitas, suhu, DO (dissolved oxygen), pH, tipe sedimen, TOM dan

jumlah pijakan kaki.

a. Salinitas (‰)

Pengukuran dilakukan dengan menggunakan hand-salino

refractrometer ATAGO® yang memiliki tingkat ketelitian hingga

1 ‰. Sebelum digunakan hand salino-refractrometer dikalibrasi

dengan menggunakan air bersih agar skala menunjukkan 0 ‰.

Kemudian air sampel diteteskan di atas kaca refractrometer dan

diamati skala refractometer (Sofani, 2015).

b. Suhu (OC)

Pengukuran suhu dilakukan dengan menggunakan

termometer merkuri PYREX® yang memiliki tingkat ketelitian

hingga 1oC. Pengukuran dilakukan secara in situ. Sebelum

digunakan termometer merkuri dikalibrasi agar sama dengan suhu

ambien. Kemudian termometer merkuri dimasukkan diperairan,

dan dilihat skala pada termometer tersebut.

c. Dissolved Oxygen atau DO (mg/L)

Kandungan DO atau oksigen terlarut diukur menggunakan

DO meter digital EUTECH® yang menggunakan satuan mg/L.

Penggunaan DO meter dimulai dengan tombol “O2” diarahkan

menjadi “DO” dan tombol “Zero” ditekan. Setelah dipastikan layar

Page 50: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

33

menunjukkan angka 0, maka socket dicelupkan ke dalam sampel

air hingga batas maksimum air dan ditunggu hingga angka yang

ditunjukkan di layar stabil (Giffari, 2016).

d. Tingkat Keasaman (pH)

Pengukuran pH diukur menggunakan pH meter LEUTRON®.

Sebelum digunakan, pH meter dikalibrasi terlebih dahulu dengan

menggunakan larutan pH buffer calibration kemudian tombol

“CAL” ditekan. Setelah layar menunjukkan angka 7,00 atau pH

6,86 maka pH meter siap digunakan. Kemudian, ATC probe

dicelupkan pada larutan yang akan diuji pHnya dan diamati serta

dicatat angka yang kemudian tertera pada layer (Giffari, 2016).

e. Kandungan Organik Total (Total Organic Matter)

Kandungan organik yang diukur adalah pada alga epifitik dan

debris yang menempel pada helaian daun lamun. Sampel daun

lamun dari lapangan akan di-scrap untuk diambil alga epifitik dan

debris-nya. Analisis sampel dilakukan di Laboratorium Rekayasa

Proses Departemen Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Sipil dan

Perencanaan ITS dengan menggunakan metode gravimetri.

3.3 Rancangan Penelitian dan Analisis Data

Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif kuantitatif

dengan menggunakan indeks keanekaragaman Shannon – Wiener

(H’) dan Indeks Kemerataan Pielouu (J).

3.3.1 Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener (H’)

Keanekaragaman jenis diginakan untuk mengetahui

keanekaragaman hayati biota. Bila nilai indeks semakin tinggi,

makan komunitas tersebut makin beragam dan tidak hanya

didominasi oleh satu atau dua taksa saja (Romimohtarto dan

Juwana, 2001). Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener dapat

digunakan dengan rumus:

Page 51: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

34

𝑯′ = − 𝚺 [(𝒏𝒊

𝑵) × 𝒍𝒏 (

𝒏𝒊

𝑵)]

Keterangan:

H’ : Indeks Diversitas Shannon Wiener

ni : kelimpahan individu jenis ke-i

N : jumlah total individu dari keseluruhan jenis

(Dhahiyat et al., 2003)

Nilai indeks keanekaragaman yang didapatkan akan

dikategorikan sesuai dengan kategori di bawah ini:

Tabel 3.3 Kategori Pembobotan Tingkat Keanekaragaman

berdasarkan Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener (H’)

Kriteria Nilai H'

Tinggi H' > 3

Sedang 2 ≤ H' ≤ 3

Rendah 2 < H'

(Ludwig & Reynolds, 1988)

3.3.2 Indeks Kemerataan Jenis Pielou (J)

Indeks kemerataan jenis Pielou (J) merupakan indeks

keseragaman (equitabilitas) diartikan sebagai nilai yang dapat

menjelaskan penyebaran individu antar spesies yang berbeda dan

diperoleh dari hubungan antara keanekaragaman (H’) dengan

keanekaragaman maksimalnya (Bengen, 2000). Nilai indeks

keseragaman berkisar antara 0 sampai 1. Indeks keseragaman

mendekati 0 berarti penyebaran jumlah individu tiap taksa tidak

sama dan cenderung terjadi dominasi jenis. Bila indeks

keseragaman mendekati nilai 1 menunjukkan kecenderungan

jumlah individu tiap taksa relatif sama dan tidak terjadi dominasi

jenis (Brower et al., 1977). Rumus indeks kemerataan (index

evenness) ditentukan dengan persamaan sebagai berikut:

Page 52: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

35

𝐽 = 𝐻′

ln (𝑆)

Keterangan :

J : Indeks kemerataan jenis Pielou

H’ : Indeks diversitas Shannon Wiener

S : jumlah total jenis dalam sampel

(Ferianita & Fachrul, 2007)

Penggolongan nilai kemerataan jenis menurut Pielou (1977)

adalah sebagai berikut:

Tabel 3.4 Kategori Pembobotan Tingkat Keanekaragaman

berdasarkan Indeks kemerataan jenis Pielou (J) (Cox, 1996).

Nilai Indeks

Kemerataan Jenis

Kondisi

Kemertaan Jenis

< 0,3

0,3 – 0, 6

> 0,6

RENDAH

SEDANG

TINGGI

Page 53: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

36

“Halaman ini sengaja dikosongkan”

Page 54: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

37

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Parameter Fisika dan Kimia Lingkungan

Parameter lingkungan yang diambil di lapangan serta yang

diuji di laboratorium meliputi faktor fisika dan kimia yaitu suhu,

salinitas, DO, pH yang diambil secara langsung di lapangan, dan

total kandungan organik dianalisis di Laboratorium Kualitas

Lingkungan Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan ITS Surabaya.

Tabel 4.1 Hasil Pengukuran Parameter Fisika-Kimia Perairan

Parameter Satuan Nilai

Bama Kajang BM PS

Suhu ⁰C 29 30 28-30 30

Salinitas ‰ 33 33 33-34 33

Dissolved Oxygen mg/L 6,8 7,1 >5 6,49

pH - 7,6 7,8 7-8,5 8

Keterangan: BM: Baku mutu berdasarkan Lampiran III KepMen LH No.

51 Th. 2004; PS: Penelitian sebelumnya oleh Lestari (2010)

Parameter lingkungan yang diambil pada Pantai Bama dan

Pantai Kajang tidak jauh berbeda, suhu air laut 29oC – 30oC,

salinitas 33,00 o/oo, dissolved oxygen 6,8 – 7,1 (mg/L) dan ph 7,6 –

7,8.

Suhu merupakan salah satu faktor fisika yang sangat penting

di dalam air karena dengan zat/unsur yang terkandung didalamnya

akan menentukan massa jenis air, densitas air, kejenuhan air,

mempercepat reaksi kimia air, dan memengaruhi jumlah oksigen

terlarut di dalam air (Aliza et al., 2013). Hasil pengukuran

parameter suhu air laut di Pantai Bama adalah 29oC sedangkan di

Pantai Kajang adalah 30oC. Suhu yang tercatat pada kedua lokasi

pengambilan sampel termasuk memenuhi kategori baku mutu suhu

untuk biota laut menurut Lampiran III KepMen LH Nomor 51

Tahun 2004. Begitu juga dengan suhu pada penelitian sebelumnya

oleh Lestari (2010) tercatat 30oC. Kisaran nilai tersebut masih

Page 55: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

38

berada dalam kisaran nilai toleransi untuk meiofauna, dibuktikan

dengan kelimpahan spesies yang relatif sama pada suhu rendah

maupun tinggi. Meiofauna mampu beradaptasi pada berbagai tipe

suhu di permukaan bumi (Giere, 1993), namun suhu yang optimum

untuk perkembangan meiofauna adalah 20oC – 30ºC (Hawkes,

1978). Pada kisaran suhu yang tinggi sekitar 33oC – 50ºC,

menyebabkan terjadinya gangguan perkembangan daur hidup, dan

penurunan suhu menyebabkan perpanjangan waktu pergantian

generasi (Heip et al., 1985). Hal ini menunjukkan lokasi tersebut

mempunyai suhu yang optimum untuk perkembangan meiofauna.

Hutabarat dan Evans (1985) mengatakan bahwa kisaran temperatur

di semua perairan Indonesia yang merupakan daerah tropis adalah

relatif sama

Salinitas merupakan berat zat padat terlarut dalam gram per

kilogram air laut (Romimohtarto dan Juwana 2005). Salinitas

perairan selalu berubah dari waktu ke waktu yang disebabkan oleh

adanya penguapan, curah hujan dan masukan air tawar. Nilai

salinitas perairan pesisir sangat dipengaruhi oleh masukan air

tawar, Hasil pengukuran salinitas pada lokasi penelitian

mempunyai nilai yang sama yaitu 33,00o/oo Nilai salinitas yang

sama juga dicatat pada penelitian sebelumnya oleh Lestari (2010)

yaitu 33,00o/oo. Dari dua lokasi tersebut nilai salinitas memenuhi

baku mutu salinitas air laut yang sudah ditetapkan melalui

Lampiran III KepMen LH Nomor 51 Tahun 2004.

Kelarutan oksigen dan gas-gas lain juga berkurang dengan

meningkatnya salinitas, sehingga kadar oksigen di laut cenderung

lebih rendah dibandingkan di perairan tawar. Penurunan kadar

oksigen terlarut di lautan bisa disebabkan oleh kenaikan suhu dan

salinitas, walaupun penurunanya tidak begitu signifikan namun

dapat mempengaruhi kehidupan biota terutama pada daerah pasang

surut (Azkab, 1998). Keberadaan oksigen terlarut di perairan

terutama pada bagian permukaan air, sebagian besar dihasilkan

melalui proses fotosintesis oleh fitoplankton dan sisanya karena

proses difusi dari udara ke dalam air (Bonita, 2016). Nilai kadar

Page 56: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

39

DO pada penelitian ini yang tercatat pada Pantai Bama adalah 6,8

mg/L sedangkan pada Pantai Kajang adalah 7,1 mg/L. Nilai DO

tercatat tersebut termasuk memenuhi baku mutu. Nilai DO juga

tercatat pada penelitian sebelumnya oleh Lestari (2010) yaitu 6,49

mg/L. Nilai tersebut juga cenderung sesuai untuk meiofauna.

Menurut Effendi (2000) perairan sebaiknya memiliki kadar

oksigen terlarut tidak kurang dari 5 mg/L. Kadar oksigen terlarut

kurang dari 4 mg/L dapat mengakibatkan efek yang kurang

menguntungkan bagi hampir semua organisme akuatik (Lestari,

2010).

pH pada beberapa lokasi dan periode pengambilan sampel

termasuk memenuhi kategori baku mutu pH untuk biota laut

menurut Lampiran III KepMen LH Nomor 51 Tahun 2004, yakni

dari 7,6 hingga 7,8, sedangkan baku mutu pH perairan adalah 7 –

8,5. Pada penelitian sebelumnya tercatat bahwa pH perairan Pantai

Bama adalah 8. pH perairan dapat berubah-ubah karena adanya

proses proses perombakan bahan organik dan anorganik oleh

bakteri, serta proses fotosintesis dan respirasi tanaman di area

perairan, dimana kadar CO2 akan menurun ketika proses

fotosintesis yang dapat meningkatkan nilai pH periran, sebaliknya

akan terjadi ketika proses respirasi tanaman berlangsung (Wetzel,

1983). Dengan kata lain, nilai pH suatu perairan dikaitkan dengan

kadar CO2 di suatu perairan (Izzati, 2008). Umumnya derajat

keasaman atau pH perairan berkisar antara 4 – 9 masih layak untuk

kehidupan biota air termasuk meiofauna karena pH berperan dalam

pengaturan respirasi dan sistem enzim. Fluktuasi pH dipengaruhi

oleh fotosintesa dan dekomposisi bahan organik. (Odum, 1971).

Total Organic Matter (TOM) adalah total kandungan

organik yang dihitung secara sederhana dengan metode

pembakaran (gravimetri). Bahan organik total menggambarkan

jumlah bahan organik yang terdapat pada suatu perairan yang

terdiri dari bahan organik terlarut, bahan organik tersuspensi, dan

koloid (Prianto et al., 2006). Menurut Zulkifli et al., (2009) dalam

Perdana (2014), tingginya kandungan bahan organik akan

Page 57: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

40

mempengaruhi kelimpahan organisme. Terdapat organisme

tertentu yang tahan terhadap tingginya kandungan bahan organik

tersebut, sehingga dominansi oleh spesies tertentu dapat terjadi.

Tabel 4.2 Kandungan Bahan Organik Total pada Daun Lamun di

Pantai Bama Dan Pantai Kajang

Kandungan

Organik Total

(TOM) dalam %

Lokasi Nilai

Bama 12,49

Kajang 3,78

TOM pada daun lamun yang diambil pada Pantai Bama dan

Kajang dilakukan sebanyak 2 kali pengulangan. Nilai persentase

TOM pada Pantai Bama adalah 19,98% dan 5,00%, sedangkan

Pantai Kajang adalah 5,33% dan 2,24%. Nilai TOM Pantai Bama

lebih tinggi dibandingkan Pantai Kajang.

Selain dari proses-proses indigenous dalam padang lamun

itu sendiri, tingginya TOM pada daun lamun juga dapat berasal dari

penguraian limbah-limbah organik yang dihasilkan oleh

pengunjung maupun pengelola lokasi wisata (Pantai Bama).

4.2 Aktivitas Wisata di Pantai Bama dan Kajang

Data mengenai aktivitas wisata di Pantai Bama dan Kajang

diperoleh dari hasil kuisioner atau wawancara dengan pengunjung.

Jumlah total responden adalah 50 orang yang seluruhnya adalah

pengunjung dan bukan merupakan staff dari TN Baluran.

Berdasarkan data kuisioner, 46% responden hanya

mengunjungi daerah pantai saja, 6% hanya mengunjungi savanna

Bekol sedangkan 48% menyatakan mengunjungi pantai dan

savanna Bekol. Untuk responden yang menyatakan mengunjungi

pantai, 100% menyatakan hanya mengunjungi pantai Bama dan

tidak ada yang mengunjungi pantai Kajang; seperti ditunjukkan

pada Gambar 4.1.

Kemudian terkait dengan aktivitas yang dilakukan di pantai,

sebanyak 13% hanya menikmati panorama pantai, sebanyak 48%

Page 58: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

41

responden menikmati panorama pantai sekaligus bermain air dan

berjalan-jalan di pantai, 12% responden hanya bermain air dan

berjalan-jalan di pantai serta hanya 6% responden yang melalukan

aktivitas snorkeling; seperti ditunjukkan pada Gambar 4.2.

Sebagian besar responden (60%) menyatakan bahwa waktu yang

dihabiskan untuk beraktivitas di Pantai Bama adalah >2 jam

sementara 40% responden berada di Bama dalam waktu <2 jam.

Gambar 4.1 Persentase jumlah wisatawan yang mengunjungi satu

atau beberapa lokasi tertentu di TN Baluran

Untuk pantai Kajang, oleh karena hasil kuisioner

menunjukkan tidak adanya kunjungan wisata di lokasi tersebut

maka penggambaran aktivitas antropogenik hanya didasarkan pada

hasil pengamatan visual. Aktivitas antropogenik yang terpantau di

Pantai Kajang hanya kegiatan memancing dengan menggunakan

kail yang dilakukan oleh beberapa orang nelayan. Kegiatan

tersebut juga tidak setiap hari terdapat di Pantai Kajang.

Berdasarkan hasil kuisioner tersebut, dapat disimpulkan

bahwa tingkat aktivitas antropogenik terutama kegiatan wisata

Page 59: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

42

pantai di Pantai Bama adalah lebih tinggi dibandingkan dengan

Pantai Kajang; dimana aktivitas utama yang dilakukan adalah

berjalan-jalan dan bermain air di pantai. Aktivitas antropogenik

yang lebih tinggi di Pantai Bama diduga memberikan pengaruh

terhadap komunitas meiofauna epifit di padang lamun.

Gambar 4.2 Persentase jenis aktivitas yang dilakukan oleh

wisatawan di Pantai Bama

4.3 Meiofauna Epifit pada Daun Lamun di Pantai Bama dan

Pantai Kajang

4.3.1 Komposisi Jenis Meiofauna

Penelitian yang dilakukan ini mendapatkan hasil

keanekaragaman dan kelimpahan yang berbeda. Kelimpahan

meiofauna yang ditemukan di Pantai Bama dan Pantai Kajang pada

10 titik di lamun Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii dan

Cymodocea sp. yang teramati adalah sebanyak 1.215 individu dari

28 taksa dengan nilai kelimpahan yang bervariasi untuk masing-

masing taksa.

Page 60: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

43

Gambar 4.1 menunjukkan bahwa komposisi dari 1.215

individu meiofauna epifit yang teramati, terdiri dari 3,70% dari

filum Nematoda, 0,33% dari kelas Insecta, 1,07% dari kelas

Ostracoda, 18,77% dari kelas Polychaeta, 0,74% dari ordo

Amphipoda, 1,23% dari ordo Cladocera, 4,36% dari ordo

Foraminifera, 2,47% dari kelas Gastropoda, 0,08% Halacaroidea

serta terdapat 67.24% dari ordo Harpacticoida.

Gambar 4.3 Diagram Persentase Kelimpahan Meiofauna Epifit

berdasarkan Kelompok Taksa Utama pada Daun

Lamun di Pantai Bama dan Kajang

Pada Pantai Bama didapatkan 710 individu dari 27 taksa.

Sementara pada lokasi Kajang di dapatkan 505 individu dari 27

taksa. Pada Gambar 4.2 menunjukkan kelimpahan pada setiap jenis

lamun di Pantai Bama dan Pantai Kajang. Kelimpahan meiofauna

epifit di Pantai Bama pada lamun Th. hemprichii adalah terdapat

35% atau 250 individu meiofauna epifit, pada lamun En. acoroides

terdapat 48% atau 343 individu dan pada lamun Cymodocea sp.

Page 61: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

44

terdapat 17% atau 117 individu. Sedangkan kelimpahan meiofauna

epifit di Pantai Kajang pada lamun Th. hemprichii terdapat 31%

atau 157 individu, pada lamun En. acoroides terdapat 40% atau 204

individu dan pada lamun Cymodocea sp. terdapat 29% atau 144

individu.

Gambar 4.4 Diagram Kelimpahan Meiofauna Epifit pada Ketiga

Jenis Lamun Di Pantai Bama (A) dan Kajang (B)

Page 62: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

45

Berdasarkan hasil penelitian, meiofauna epifit yang paling

banyak ditemukan terdapat pada lamun En. acoroides baik di

Pantai Bama maupun Kajang; dan yang mendominasi adalah ordo

Harpacticoida. Hal ini dapat terjadi karena helaian daun En.

acoroides yang lebih panjang daripada helaian daun Th. hemprichii

dan Cymodocea spp (Lestari,2010). Selain itu, ordo Harpacticoida

merupakan ordo yang akan mencari tempat berlindung tanaman

yang lebih tinggi dan besar karena lamun kompleksitas habitat

yang lebih tinggi (Sogard, 1984; Gee, 1989; Coull, 1990; De Troch

et al., 1998; De Troch et al., 2001). Harpacticoida juga diketahui

merupakan ordo yang sensitif dengan rendahnya air dan oksigen

(Kurdziel dan Bell, 1992).

Pada lamun Th. hemprichii selain ordo Harpacticoida yang

banyak ditemukan lagi adalah Polychaeta. Anggota kelas

Polychaeta yang selalu ditemukan adalah famili Spirorbidae. Pada

umumunya Spirorbidae memang hidup menempel pada daun

lamun (Susetiono, 2004). Famili Spirorbidae mempunyai mukus

yang disebarkan merata mengelilingi cangkangnya. Mukus

tersebut berguna untuk menangkap bahan organik dan media bagi

perkembangan bakteria. Dengan menjulurkan tentakelnya serpulid

menyapu bakteria yang telah berkembang biak di sekelilingnya

sebagai makanannya (Aswandy dan Azkab, 2000). Polychaeta

dapat memakan berbagai jenis makanan seperti mikroalga, detritus,

deposit feeder, bakteri dan protozoa (Giere, 1993).

Pada lamun Cymodocea sp. yang paling banyak ditemukan

adalah Harpacticoida, Polychaeta dan kemudian Foraminifera.

Menurut Goodday (1988) ordo Foraminifera sering dijumpai di

permukaan lamun. Anggota ordo Foraminifera banyak ditemukan

di lamun karena terjadinya pengadukan sedimen oleh arus

sehingga menempel pada helaian daun lamun (Kiswara, 1994).

Penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya di Pantai

Bama pernah dilakukan oleh Lestari (2010) dan Kurniawan (2010)

dimana meiofauna dari ordo Harpacticoida, kelas Ostracoda dan

Prosobranchia cenderung menghuni lamun En. acoroides. Lamun

Page 63: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

46

Th. hemprichii cenderung dihuni oleh meiofauna dari kelas

Polychaeta. Lamun jenis Cymodocea rotundata cenderung dihuni

meiofauna genus Cyatholaimus dari filum Nematoda.

Pada penelitian ini tidak ditemukan banyak individu

Nematoda di lamun Cymodoceae sp. pada Pantai Kajang maupun

Pantai Bama. Namun, masih menjadi terbanyak ke empat setelah

Harpacticoida, Polychaeta, dan Foraminifera pada lamun Th.

hemprichii di Pantai Bama. Hal ini diperkirakan dapat terjadi

karena Nematoda biasa ditemukan di sedimen, mempunyai

adaptasi morfologi tubuh yang kecil dan raming yang

memudahkan untuk meliang serta memanfaatkan ruang interstisial

antara butiran pasir baik yang kasar maupun halus (Susetiono,

2000; Heip, 1985).

4.3.2 Kelimpahan Jenis Meiofauna

Hasil pengamatan pada 60 sampel daun menunjukkan hasil

yang berbeda dalam hal kelimpahan jenis dan jumlah spesies

meiofauna epifit pada Pantai bama dan Pantai Kajang; seperti

ditunjukkan pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3 Kelimpahan Meiofauna Epifit pada Daun Lamun di

Pantai Bama dan Kajang

No. Lamun Kepadatan (ind./10cm²)

Rata-rata Bama Kajang

1 Enhalus acoroides 15,16±13,46 11,03±8,39 13,09

2 Thalassia hemprichii 4,50±5,39 6,04±4,43 5,27

3 Cymodocea spp 2,75±3,77 2.25±1,31 2,50

Rata-rata 7,47 6,44 6,96

Kelimpahan dapat diartikan juga sebagai pengukuran

sederhana jumlah spesies yang terdapat dalam suatu komunitas

atau tingkatan trofik (Nybakken, 1992). Kelimpahan total

meiofauna epifit yang ditemukan pada Pantai Bama adalah 710

Page 64: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

47

individu sedangkan kelimpahan total pada Pantai Kajang adalah

505 individu.

Pada penelitian ini, data kelimpahan meiofauna tidak

terdistribusi secara normal, ditunjukkan dengan nilai deviasi yang

sangat tinggi, baik di Pantai Bama maupun Kajang sehingga

perbandingan kelimpahan hanya dilakukan secara deskriptif

kuantitatif. Pada lamun En. acoroides, kelimpahan meiofauna

epifit per 10 cm2 luasan daun lamun di Pantai Bama berkisar antara

2-33,5 individu sedangkan di Kajang antara 2,86-31,43 individu.

Pada lamun Th. hemprichii, kelimpahan bervariasi antara 0,5-18,57

individu di Bama dan 1-10,67 individu di Kajang sedangkan untuk

lamun jenis Cymodocea spp antara 0,5-12,17 individu di Bama dan

0,5-3,83 individu.

Berdasarkan deskripsi diatas dan Tabel 4.3, tampak bahwa

kepadatan atau kelimpahan jenis meiofauna epifit pada daun lamun

En. acoroides per 10 cm2 luasan daun lamun di lokasi Pantai Bama

adalah lebih besar dibandingkan dengan lokasi Pantai Kajang.

Untuk jenis lamun Th. hemprichii, rata-rata kelimpahan meiofauna

epifit lebih tinggi di Pantai Kajang daripada Bama sedangkan

untuk jenis lamun Cymodocea spp relatif tidak terdapat perbedaan

kelimpahan nilai meiofauna epifit yang ada.

Deviasi yang tinggi juga terjadi pada variabel jumlah jenis

seperti ditunjukkan pada Tabel 4.4. Pada lamun En. acoroides

dijumpai 2-19 taksa meiofauna epifit di Pantai Bama dan 4-15

taksa di Kajang. Untuk jenis lamun Th. hemprichii, rata-rata jumlah

taksa meiofauna epifit di Pantai Kajang dan Bama adalah setara,

yaitu 1-9 dan 2-9 taksa untuk kedua lokasi. Pada lamun Cymodocea

spp juga tidak terdapat perbedaan jumlah taksa meiofauna epifit

yang ada, yaitu 1-9 taksa untuk kedua lokasi.

Page 65: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

48

Tabel 4.4 Jumlah Taksa Meiofauna Epifit pada Daun Lamun di

Pantai Bama dan Kajang

No. Lamun Jumlah taksa

Bama Kajang

1 Enhalus acoroides 2-19 4-15

2 Thalassia hemprichii 1-9 2-9

3 Cymodocea spp 1-9 1-9

Perbandingan kelimpahan dan jumlah taksa meiofauna epifit

pada ketiga jenis lamun di kedua lokasi menunjukkan bahwa lamun

En. acoroides memiliki kelimpahan dan jumlah taksa meiofauna

epifit yang lebih tinggi dibandingkan dengan kedua jenis lamun

lainnya. Hal tersebut dapat terjadi karena helaian daun En.

acoroides yang lebih panjang daripada helaian daun Th. hemprichii

dan Cymodocea spp (Lestari,2010). Menurut Susetiono (1994,

1996) dan De Troch et al. (2001), pada lamun En. acoroides

biasanya juga akan dijumpai lebih banyak jenis dan individu

meiofauna epifit.

Pada penelitian ini, meiofauna epifit yang paling banyak

ditemukan adalah dari kelompok Harpacticoida, Polychaeta,

Nematoda dan Foraminifera. Harpacticoida adalah taksa

meiofauna bentik yang paling banyak mendominasi (Susetiono,

1996; Long, 1999). Kelimpahan Harpacticoida sangat dipengaruhi

oleh kadar oksigen terlarut, dimana Harpacticoida akan lebih

banyak ditemukan pada kadar oksigen terlarut yang tinggi.

Sehingga kelimpahan Harpacticoida akan semakin menurun

seiring dengan meningkatnya kedalaman (Kotwicki, 2002).

Kelimpahan total tertinggi meiofauna epifit pada Pantai Bama dan

Kajang adalah pada lamun En. acoroides dengan ditemukannya

Harpacticoida yang terdiri dari famili Thalestridae, Peltidiidae,

Tegastidae, Cletodidae, Harpacticidae dan Tisbidae.

Berbeda dengan Harpacticoida, Nematoda adalah taksa

meiofauna yang mampu bertahan pada kondisi kadar oksigen

terlarut yang rendah. Pada penelitian ini total kelimpahan

Page 66: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

49

Nematoda ditemukan sebanyak 32 individu pada Pantai Bama dan

13 individu pada Pantai Kajang. Nematoda yang ditemukan

tersebut adalah dari genus Cyatholaimus dan dari famili

Desmoscolecidae. Nematoda juga merupakan meiofauna epifit

yang umum dijumpai di daun lamun (Susetiono, 1996).

Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian Eckrich et

al., (2000) yang menyatakan bahwa terdapat penurunan jumlah

individu makro dan meiofauna di padang lamun karena dampak

dari injakan kaki (trampling) manusia dimana semakin banyak

trampling maka kelimpahan makro dan meiofauna akan semakin

menurun.

Demikian pula hasil studi oleh Brown and Taylor (1999)

yang menunjukkan bahwa trampling memberikan dampak negatif

berupa penurunan kelimpahan fauna epifitik yang mendiami alga

berkapur. Semakin tinggi intensitas trampling maka kelimpahan

epifauna akan semakin berkurang.

Tingginya kelimpahan meiofauna epifit pada daun lamun di

Pantai Bama daripada Pantai Kajang dapat dijelaskan melalui

beberapa hal yaitu faktor kebiasaan makan (food habits) dan

perilaku harian meiofauna itu sendiri.

Sebagian besar meiofauna epifit yang ditemukan pada

penelitian ini adalah copepoda dari ordo Harpacticoida, terutama

dari famili Thalestridae, Peltiidae, Tegastidae, Cletodidae,

Harpacticidae dan Tisbidae. Sebagian besar dari Harpacticoid

tersebut merupakan organisme omnivor yang bersifat detritus

feeder (pemakan sisa) dan indiscriminant feeder terhadap diatom

dan bakteri (Rieper, 1982; Higgins and Thiel, 1988; Susetiono,

1996; Wyckmans et al., 2007; Montagna, 1983 dalam Muzaki,

2011). Meiofauna juga diketahui merupakan deposit feeder yang

memakan sisa-sisa tumbuhan atau organisme lain (Gwyther dan

Fairweather, 2002).

Di padang lamun, sumber makanan meiofauna berupa

detritus, diatom dan bakteri bentik umumnya terdapat dalam

sedimen dan menempel atau epifitik pada helaian daun lamun

Page 67: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

50

(Susetiono, 1996). Oleh karena itu, diperkirakan bahwa

melimpahnya Harpacticoid di Pantai Bama terkait dengan

tingginya ketersediaan pakan dimana pada penelitian ini, nilai

TOM di Pantai Bama adalah lebih tinggi yaitu sebesar 12,49%

dibandingkan dengan Pantai Kajang yaitu sebesar 3,78%.

Keterkaitan antara kandungan TOM dan kelimpahan

meiofauna juga dijelaskan melalui penelitian Gheskiere et al.

(2005) yang menyebutkan bahwa penurunan TOM yang

mengakibatkan penurunan kelimpahan meiofauna di pantai dapat

terjadi sebagai akibat pembersihan sampah organik.

Faktor perilaku harian Harpacticoida juga dapat menjadi

penjelasan mengenai kelimpahan kelompok tersebut yang

cenderung tinggi di lokasi Pantai Bama. Copepoda Harpactioida

sebagian bersifat escaper, yaitu dapat menuju ke kolom perairan

pada saat pasang-surut atau adanya disturbansi (baik alami maupun

antropogenik) dan kembali menuju ke sedimen atau melekat

sebagai epifit pada helaian daun lamun saat disturbansi sudah

berkurang atau hilang (Susetiono, 1999).

Meiofauna epifit di Pantai Bama dimungkinkan dapat

menghindar dari adanya disturbansi berupa kegiatan wisata seperti

berenang dan berjalan-jalan (trampling) dan kembali melakukan

recovery saat disturbansi tersebut telah hilang atau berkurang.

Kemampuan untuk menghindar dari adanya disturbansi juga

ditunjukkan oleh penelitian Casu et al. (2006) dimana meiofauna

yang sifatnya mobile seperti Harpacticoida dapat menghindar dari

disturbasi seperti trampling dan kembali melakukan rekolonisasi

setelah hilangnya disturbansi.

Berdasarkan deskripsi-deskripsi sebelumnya, kegiatan

wisatawan di Pantai Bama berupa berenang, bermain air dan

berjalan-jalan di pantai diperkirakan tidak memberikan dampak

yang signifikan bagi kelimpahan dan kekayaan jenis meiofauna

epifit di padang lamun, khususnya bagi copepoda Harpacticoida.

Selain dari faktor kebiasaan makanan dan perilaku, hal

tersebut mungkin juga terjadi karena kehidupan meiofauna lebih

Page 68: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

51

terpengaruh oleh faktor alam seperti tipe substrat dan habitat,

persediaan makanan, dan hubungan meiofauna dengan predatornya

(Sarmento et al, 2011). Dalam skala yang kecil, proses interaksi

antara biota dan habitat dianggap lebih berperan menentukan pola

distribusi meiofauna (Higgins and Thiel, 1988).

4.3.3 Keanekaragaman Jenis Meiofauna

Keanekaragaman menunjukkan sejumlah variasi yang ada

pada makhluk hidup baik variasi gen, jumlah beserta

kelimpahannya pada suatu komunitas. Keanekaragaman pada

suatu komunitas dapat diukur menggunakan indeks

keanekaragaman (Sofani, 2015). Komunitas yang stabil akan

memiliki nilai indeks keanekaragaman yang cenderung tinggi

(Bower, 1998 dalam Ibadah, 2017). Pada penelitian ini dihasilkan

data hasil perhitungan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener

(H’) dari masing-masing lokasi pengambilan sampel yang

disajikan pada Tabel 4.5.

Tabel 4.5 Nilai Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener (H’)

Meiofauna Epifit pada Daun Lamun di Pantai Bama

dan Kajang

Lokasi Lamun Nilai H' Kategori

Bama

T 0,00-1,73 Rendah

E 0,00-1,61 Rendah

C 0,00-1,30 Rendah

Kajang

T 0,00-2,40 Rendah-Sedang

E 0,00-2,00 Rendah-Sedang

C 0,50-1,90 Rendah

Keterangan: T. Thalassia hemprichii; E. Enhalus acoroides; C.

Cymodocea spp

Berdasarkan Ludwig dan Reynolds (1988) pada Tabel 4.5

menunjukkan bahwa kategori untuk indeks keanekaragaman

hampir seluruhanya termasuk kategori ‘Rendah’ karena memiliki

nilai <2,00 (Ludwig dan Reynolds, 1988). Nilai H’ pada lokasi

Page 69: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

52

Pantai Bama berkisar antara 0,00-1,73, sedangkan H’ Pantai

Kajang berkisar antara 0,00-2,40. Terdapat dua titik yang

berkategori ‘Sedang’ yang memiliki nilai H’≥2,00, dan keduanya

terdapat di Pantai Kajang yaitu pada lamun Th. hemprichii dengan

nilai H’ = 2 dan lamun En. acoroides. Rendahnya nilai H’

dikarenakan adanya dominansi dari spesies yang terdapat di suatu

lokasi (Odum, 1971 dalam Setiawan, 2013).

Lamun jenis En. acoroides selalu memiliki nilai H’ atau

tingkat keanekaragaman tertinggi. Hal ini disebabkan karena pada

lamun jenis tersebut memiliki rata-rata jumlah taksa dan

kelimpahan meiofauna epifit tertinggi.

Keanekaragaman jenis disusun oleh komponen utama yaitu

keragaman atau jumlah spesies serta kelimpahan relatif suatu

spesies terhadap kelimpahan total seluruh spesies dalam komunitas

tersebut. Dengan demikian, apabila pada suatu lokasi terdapat

banyak spesies berbeda dengan kelimpahan yang setara (tidak

berbeda) atau tidak ada spesies yang sangat mendominasi maka

nilai H’ akan meningkat (tinggi). Sebaliknya, keberadaan satu atau

beberapa spesies yang sangat dominan dalam komunitas berpotensi

menurunkan nilai H’ atau keanekaragaman komunitas tersebut.

Tinggi rendahnya nilai indeks keanekaragaman dapat

disebabkan oleh beberapa hal seperti jumlah kelompok atau

individu yang didapat serta ada atau tidaknya dominansi dari

kelompok tertentu atau karena kondisi lingkungan yang kurang

kondusif yang menyebabkan keterbatasan makanan sehingga

hanya ada jenis-jenis atau kelompok tertentu yang dapat bertahan

hidup.

Kestabilan komunitas dapat digambarkan dengan nilai

indeks kemerataan Pielou (J). Nilai indeks kemerataan berkisar

antara 0,00 hingga 1,00. Apabila nilai J adalah 1,00 atau semakin

mendekati 1,00 maka pada komunitas tersebut persebaran jenis

atau kelompok adalah relatif merata; atau dapat dikatakan bahwa

semakin tinggi nilai indeks keanekaragaman jenis maka akan

Page 70: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

53

semakin merata persebaran populasinya (Magurran, 1988 dalam

Trisnawati, 2012).

Tabel 4.6 Nilai Indeks Jenis Pielou (J) Meiofauna Epifit pada Daun

Lamun di Pantai Bama dan Kajang

Lokasi Lamun Nilai J Kategori

Bama

T 0,00-1,00 Rendah-Tinggi

E 0,00-0,90 Rendah-Tinggi

C 0,00-0,90 Rendah-Tinggi

Kajang

T 0,70-1,00 Tinggi

E 0,20-0,90 Rendah-Tinggi

C 0,00-0,90 Rendah-Tinggi

Keterangan: T. Thalassia hemprichii; E. Enhalus acoroides; C.

Cymodocea spp

Berdasarkan Tabel 4.6 menunjukkan bahwa sebagian besar

transek di Pantai Bama dan Kajang memiliki kategori ‘Tinggi’

karena nilai J adalah lebih dari 0,60. Akan tetapi juga terdapat

transek dengan tingkat kemerataan jenis yang termasuk ‘Sedang’

yaitu pada lamun En. acoroides di titik 6 Pantai Bama dan titik 9

Pantai Kajang serta pada lamun Th. hemprichii di titik 10 Pantai

Kajang.

Juga terdapat transek dengan tingkat kemerataan jenis yang

rendah. Hal tersebut disebabkan karena adanya ketidak-merataan

jumlah individu setiap spesies atau merata hanya pada salah satu

jenis yang ditemukan sehingga mempengaruhi nilai J. Oleh karena

itu, bila nilai J mendekati 0,00 maka penyebaran populasi

dikatakan semakin tidak merata dan cenderung terjadi dominansi

oleh salah satu atau beberapa speies tertentu pada area tersebut

(Ferianita-Fahrul, 2007).

Page 71: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

54

“Halaman ini sengaja dikosongkan”

Page 72: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

55

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis data maka dapat disimpulkan

bahwa;

1. Komunitas meiofauna epifit pada daun lamun di Pantai

Bama dan Kajang didominasi oleh copepoda anggota ordo

Harpacticoida.

2. Tidak terdapat perbedaan rata-rata jumlah taksa dan

kelimpahan meiofauna epifit pada daun lamun di Pantai

Bama dan Kajang.

3. Lamun jenis Enhalus acoroides memiliki jumlah taksa dan

kelimpahan serta keanekaragaman meiofauna epifit

dibandingkan lamun Thalassia hemprichii dan Cymodocea

spp baik di lokasi Pantai Bama maupun Kajang.

4. Tingkat keanekaragaman meiofauna epifit pada daun lamun

di Pantai Bama dan Kajang hampir seluruhnya termasuk

dalam kategori Rendah hingga Sedang. Nilai H’ di Bama

antara 0,00-1,73 sedangkan di Kajang antara 0,00-2,40.

5.2 Saran

Berdasarkan evaluasi dari pelaksanaan penelitian ini, maka

saran yang dapat diberikan antara lain adalah;

1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan pengambilan

data yang dilakukan lebih dari 1 kali (dengan jarak

pengambilan yang berdekatan) sehingga dapat diperoleh

kesimpulan yang lebih representatif untuk

menggambarkan kondisi komunitas meiofauna bentik di

Pantai Bama dan Kajang. 2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan

membandingkan antara komunitas meiofauna epifitik dan

bentik (interstitial) untuk lebih mengetahui pengaruh

kegiatan wisata terhadap komunitas meiofauna pada Pantai

Bama dan Kajang.

Page 73: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

56

“Halaman ini sengaja dikosongkan”

Page 74: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

57

DAFTAR PUSTAKA

Aliza, D., Winaruddin, dan Sipahutar, L.W. 2013. Efek

Peningkatan Suhu Air terhadap Perubahan Perilaku, Patologi

Anatom, dan Histopatologi Insang Ikan Nila (Oreochromis

niloticus). Jurnal Medika Veterinaria 7(2): 142-145.

Aljetlawi, A.A., Albertson. J., Leonardsson. K. 2000. Effect of

Food and Sediment Pretreatment in Experiments with a Deposit-

Feeding Amphipod, Monoporeia affinis. Journal of

Experimental Marine Biology and Ecology. 246:125-138.

Aller, R. C., Aller, J. Y. 1992. Meiofauna and Solute Transport in

Marine Muds. Limnology Oceanography. 35 (5): 1018 – 1033.

Arroyo, N. L., Maldonado, M., Perezportela, R., Benito, J. 2004.

Distribution Patterns of Meiofauna Associated with a Sublitoral

Laminaria Bed in the Cantabrian Sea (North-Eastern Atlantic).

Marine Biology. 144: 231 -242.

Aswandy, I. dan M. H. Azkab. 2000. Hubungan Fauna dengan

Padang Lamun. Oseana 3: 19 - 24

Azkab, M. H. dan Muchtar, M. 1998. Seberapa Jauh Peranan

Oksigen di Laut?. Jurnal Oseana. Volume XXIII No. 1 1998: 9 -

18

Azkab, M.H. 2006. Ada apa dengan lamun. Majalah Ilmiah Semi

Populer Osena. Lembaga Penelitian Oseanografi – LIPI. Jakarta.

31(3): 45-55.

Balsamo, M., Semprucci, F., Frontalini, F. dan Coccioni, R. 2012.

Meiofauna as a Tool for Marine Ecosystem Biomonitoring.

Marine Ecosystem, Dr. Antonio Cruzado (Ed.) Department of

Earth, Life and Environmental Sciences (DiSTeVA), Italy:

University of Urbino, Italy.

Page 75: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

58

Barber, B. J. 1985. Effects of elevated temperature on seasonal in

situ leaf productivity of Thalassia testudinum banks ex konig and

Syringodium fliforme kutzing. Aquatic Botany. 22:61-69.

Barnes, R. S. K., Hughes, R. N. 2004. An Introduction to Marine

Ecology, 3rd Edition. Oxford: Blackwell Science Ltd.

Bengen, D. G. 2000. Teknik pengambilan contoh dan analisis

data biofisik sumberdaya pesisir. Bogor: PKSPL-IPB.

Bengen, D.G. 2004. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir

dan Laut serta Prinsip Pengelolaannya. PKSPL-IPB. Bogor.

Biere, S., Traunspurger. 2002. The Meiofauna Community of Two

Small German Streams as Indicator of Pollution. Journal of

Aquatic Ecosystem Stress and Recovery. 8 (3): 387 – 405

Bogut, I., J. Vidakovic, D. Cerba, G. Palijan. 2009. Epiphytic

Meiofauna in Stand of Differents Submerged Macrophytes.

Ekoloji. 18 (70) : 1 – 37.

Bonita, M.K. 2016. Analisis Perbedaan Faktor Habitat Mangrove

Alam dengan Mangrove Rehabilitasi di Teluk Sepi Desa Buwun

Mas Kecamatan Sekotong Kabupaten Lombok Barat. Jurnal

Sangkareang Mataram 2(1): 6-12.

Bostrom, C., Bonsdorff. 2000. Zoobenthic Community

Establishment – The Importannce of Seagrass Shoot – Density,

Morfology and Physical Disturbance for Faunal Recruitmen.

Marine Ecology Progress Series. 205: 123 – 138.

Brower, J.E., Zar, J.H., Von Ende, C.N. 1997. Field and

laboratory method for general ecology 4th ed. USA: The

McGraw-Hill Companies, Inc.

Page 76: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

59

Brown, P.J., and Taylor, R.B. 1999. Effects of trampling by

humans on animals inhabiting coralline algal turf in the rocky

intertidal. Journal of Experimental Marine Biology and

Ecology 235: 45-53.

Bryant, P. J. 2014. Harpacticoid Copepod.

http://nathistoc.bio.uci.edu [05 Mei 2017].

Casu, D. Ceccherelli, G. Castelli, A. 2006. Imeddiate Effect of

Experimental Human Trampling on Mid-Upper Intertidal Benthic

Invertebrates at the Asinara Island MPA (NW Mediterranean).

Hydrobiologia. 555: 271 – 279.

Coull, B. C. 1988. Ecology of Marine Meiofauna. Washington

DC: Smithsonian Institution Press.

Coull, B. C., 1999. Role of Meiofauna in Estuarine Soft-Bottom

Habitats. Australian Journal of Ecology 24: 327–343.

Coull, B.C., Chandler, G. T. 1992. Pollution and Meiofauna: Field,

Laboratory, and Mesocosm Studies. Oceanography and Marine

Biology: An Annual. 30:191-271.

Cox, G.W. 1996. Laboratory Manual of General Ecology: 7th

Edition. Dubuque: Wm.C.Brown Company Publisher.

Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut, Aset

Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. Jakarta: PT Gramedia

Pustaka Utama.

Darajat, Mutfi N.A, 2014. Partisipasi Masyarakat dalam

pengelolaan dan Pengembangan Kawasan Ekowisata Taman

Nasional Baluran. Malang: Universitas Brawijaya.

De Troch, M. D, S. Gurdebeke, F, Fiers., M. Vincx. 2001. Zonation

and Structuring Factors of Meiofauna Communities in a Tropical

Page 77: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

60

Seagrass Bed (Gazi Bay, Kenya). Journal of Sea Research. 45:

45 – 61.

De Troch, M., Mees, J., Wakwabi, E.O., 1998. Diets of Abundant

Fishes from Beach Seine Catches in Seagrass Beds of a Tropical

Bay (Gazi Bay, Kenya). Belg. J. Zool. 128, 135±154.

Dhahiyat, Y., D. Sinuhaji & H. Hamdani. 2003. Struktur

Komunitas Ikan Karang di Daerah Transplantasi Karang Pulau

Pari, Kepulauan Seribu. Jurnal Iktiologi Indonesia. 3(2): 87-94.

Eckrich CE, Holmquist JG. 2000. Trampling in a seagrass

assemblage: Direct Effects, Response Of Associated Fauna, and

the Role Of Substrate Characteristics. Marine Ecology Progress

Series 201:199–209

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air: Bagi Pengelolaan

Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Yogyakarta: Penerbit

Kanisius.

Fachrul dan Ferianita, M. 2007. Metode Sampling Bioekologi.

Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Fageneli, J., Herndl, G. J. 1991. Behaviour of Dissolved Organic

Matter in Pore Waters of Near – Shore Marine Sediment In:

Berthelin J, editor. Diversity of Environmental

Biogeochemistry. Development in Geochemistry 6. Netrherland:

Elsevier Science Publisher BV

Fandeli, Chafid. Mukhlison. 2000. Pengusahaan Ekowisata.

Makalah UGM Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada

Yogyakarta. Yogyakarta.

Fonseca, G., Hutchings, P., dan Galluci. F. 2011. Meiobentic

communities of segrass bed (Zostera capricorni) and unvegetated

Page 78: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

61

sediments along the coast of New South Wales, Australia.

Estuarine. Coastal and Shelf Science. 91: 69-77.

Funch, P. dan R. M. Kristensen. 2002. Coda: The Micrognathoz –

a New Class or Phylum of Freshwater Meiofauna?. Freshwater

Meiofauna: Biology and Ecology. 337 – 348.

Gambi, M.C., Conti, G., Bremec, C. S. 1998. Polychaeta

Distribution, Diversity and Seasonality related to Seagrass Cover

in Shallow Soft Bottoms of the Tyrrhenian Sea (Italy). Science

Marine. 62: 1 – 17

Gee, J. M., Somerfield, P. J. 1997. Do Mangrove Diversity and

Leaf Litter Decay Promote Meiofaunal Diversity?. Journal of

Experimental Marine Biology Ecology. 218: 13 – 33

Gheskiere, T., M. Vincx, J.M. Weslawski, F. Scapini, and S.

Degraer, 2005. Meiofauna as descriptor of tourism-induced

changes at sandy beaches. Marine Environmental Research 60:

245 – 265.

Giere, O. 1993. Meiobenthology: The Microscopic Fauna in

Aquatic Sediment. Berlin: Springer – Verlag.

Gooday AJ. 1988. Sarcomastigophora. In: Higgins RP, Thiel H,

editors. Introduction to the Study of Meiofauna. Washington

DC: Smithsonian Institution Press. pp. 243-257.

Green, R. H., Montagna, P. 1996. Meiofauna Implications for

Monitoring: Study Design and Interpretation of Result. Canadian

Journal of Fisheries and Aquatic Sciences. 53: 2629 -2636.

Guerrini, A., Colangelo, M. A., Ceccherelli, P. U. 1998.

Recolonization patterns of meiobenthic communities in brackish

vegetated and unvegetated habitats after induced hypoxia/anoxia.

Hydrobiologia. 375-76:73-87

Page 79: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

62

Gwyther. J., Fairweather. P. G. 2002. Colonization by Epibionts

and Meiofauna of Real and Mimic Pneumatophores in a Cool

Temperate Mangrove Habitat. Marine Ecologi Progress Series.

229:137-149.

Hall, M. O., Bell, S. S. 1993. Meiofauna on the Seagrass Thalassia

testudinum: Population Characteristic of Harpacticoid Copepods

and Associations with Algal Epiphytes. Marine Biology. 116: 137

– 146

Harguinteguy, C. A., Cirelli, A. F., and Pignata, M. L. 2014. Heavy

Metal Accumulation in Leaves of Aquatic Plant Stuckenia

filiformis and Its Relationship with Sediment and Water in the

Suquia River (Argentina). Microchemical Journal. 114: 111-118.

Hartog, C. D. 1970. The Seagrasses of the World. Amsterdam,

London: North – Holland Publishing Company.

Hawkes, A. 1978. Invertebrate as Indicator of River Water

Quality. In: A. James and L. Evinson (Eds). Biological

Indocators of Water Qualiti. John Wiley and Sons. Toronto.

Heip, C., Vincx, M., Vranken. 1985. The Ecology of Marine

Nematodes. Oceanografi Marine Biology. 21: 67 – 175.

Herman PMJ, Heip C. 1988. On the use of meiofauna in ecological

monitoring: Who needs taxonomy? Mar Pollut Bull 19(12):665-

668.

Higgins, R. P dan Thiel, H.1988. Introduction to the study of

meiofauna. Washington DC : Smithsonian Institute Press.

Hodda, M., Nicholas, W. L. 1985. Meiofauna Associated with

Mangroves in the Hunter River Estuary and Fullerton Cove, South-

Eastern Australia. Australian Journal of Marine and

Freshwater Research. 36(1):41-50.

Page 80: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

63

Huff, T. M. 2011. Effects of human trampling on macro- and

meiofauna communities associated with intertidal algal turfs and

implications for management of protected areas on rocky shores

(Southern California). Marine Ecology. 32: 335–345.

Hutabarat, S. dan S. M. Evans. 1985. Pengantar Oseanografi.

Jakarta: Universitas Indonesia.

Hutomo, M., Azkab, M. H. 1987. Peranan lamun di Perairan Laut

Dangkal. Oseana. XII (1); 13 – 23

Ibadah, A.S. 2017. Struktur Komunitas Juvenil Ikan dan Ikan Kecil

pada Ekosistem Mangrove dengan Sistem Perakaran Berbeda di

Kecamatan Sepulu – Madura. Skripsi. Departemen Biologi

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut

Teknologi Sepuluh Nopember.

Ingole., Parelukar, A. H. 1984. Role of Salinity in Structuring the

Intertidal Meiofauna of a Tropical Estuarine Beach: Field

Evidence. Indian Journal of Marine Sciences. Vol. 27: 356 –

361.

Izzati, M. 2008. Perubahan Konsentrasi Oksigen Terlarut dan pH

Perairan Tambak setelah Penambahan Rumput Laut Sargassum

plagyophyllum dan Ekstraknya. Ejournal Undip: 60-69.

Kennish, M. j. 1990. Ecology of Estuaries. Vol II: Biological

Aspects. Florida: CRC Press Inc.

Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nd8omor 51 Tahun

2004 Tentang Baku Mutu Air Laut

Kim, T. K. 2015. T – Test as a Parametric Statistic. Korean

Journal of Anesthesiology. 68 (6): 540 - 546

Page 81: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

64

Kiswara, W. 1992. Vegetasi Lamun (Seagrass) di Rataan

Terumbu Pulau Pari, Pulau – Pulau Seribu. Jakarta: Oseanologi

di Indonesia.

Kiswara, W. 1997. Biomas biota menempel pada Daun Lamun

Enhalus acoroides di Teluk Kuta, Lombok Selatan. Seminar

Nasional Biologi. 15: 1428 – 1431.

Kiswara, W., Moosa, M.K., Hutomo, M. 1994. Struktur

Komunitas Biologi Padang Lamun di Pantai Selatan Lombok

dan Kondisi Lingkungannya. Jakarta: Pusat Penelitian dan

Pengembangan Oseanologi – LIPI.

Kommritz, J. G. 2017. Jurgen Guerrerro.

http://jurgenguerrerro.info [05 Mei 2017].

Kotwicki. L. 2002. Benthic Harpacticoida (Crustacea, Copepod)

from the Svalbard Archipelago. Polish Polar Research. Vo l 23.

No. 1: 185 – 191.

Krantz, G. W. and Walter, D. E. 2009. (Hrsg.): A Manual of

Acarology. Third edition. Texas: Texas Tech University Press

Krebs, C. J. 1972. Ecology; The Experimental Analysis of

Distribution and Abundance. New York: Harper and Row.

Kurdziel. J. P., Bell S. S. 1992. Emergence and Dispersal of Phytal-

Dwelling Meiobenthic Copepods. Journal Experimental Marine

Biology Ecology. 163:43-64

Kurniawan, M. L., Akbar, M. L., Saptarini, D. 2010. Analisis

Kecenderungan Persebaran Meiofauna pada Lamun yang

Dipengaruhi oleh Variabel Lingkungan Studi Kasus di Pantai

Bama Taman Nasional Baluran Situbondo. Skripsi. Institut

Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya.

Page 82: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

65

Lascurain, C. H. 1993. Tourism, ecotourism and protected areas.

In Kusler, J.A. Ecotourism and Resource Conservation: A

Collection of Papers, Vol. 1. Omnipress, Madison, WI. pp 24–30.

Lee, M. R., Correa, J. A. Castilla, J. C. 2000. Meiofaunal

Bioindicators of Metals Impact in the Littoral Sedimentary

Enviroment of Northern Chile. Poster. SETAC (Society of

Environmental Toxicology and Chemistry) 20th Annual Meeting.

12th – 16th Vovember2000. Nashville. USA.

Lestari, R. M. 2010. Kelimpahan dan Komposisi Meiofauna Epifit

pada Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, dan Cymodocea

rotundata di Pantai Bama Taman Nasional Baluran Jawa Timur.

Skripsi. Jurusan Biologi Fakultas Ilmu Pengetahuan Alam Institut

Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya.

Liao, Jian-Xiang., Yeh, Hsin-Ming., Mok, Hin-Kiu. 2015.

Meiofaunal Communities in a Tropical Seagrass Bed and Adjacent

Unvegetated Sediments with Note on Sufficient Sample Size for

Determining Local Diversity Indices. Zoological Studies. 54:14

Libes, S. M. 1992. An Introduction to Marine Biogeochemistry.

New York: John Wiley & Sons Inc.

Linhart, J., Vickovd, S., Uvira, V. 2002. Moss-dwelling

Meiobenthos and Flow Velocity in Low-Order Streams.

Biological. 39-40: 111 – 122

Long S. M dan Ross. O. B. H. 1999. Vertical Distribution of

Nematodes (Nematoda) and Harpacticoid Copepods (Copepoda:

Harpacticoida) in Muddy and Sandy Bottom of Intertidal Zone at

Lok Kawi. Sabah. Malaysia. The Raffles Bulletin of Zoology.

47(2): 349-363.

Ludwig, J.A & J.F. Reynolds. 1988. Statistical Ecology: A

Primer in Methods and Computing. New York: John Wiley &

Sons.

Page 83: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

66

Magurran, A. E. 1988. Ecological Diversity and Its

Measurement. Princeton University. New Jersey

Mann, K.H., Barnes, R.S.K. 1982. Fundamental of Aquatic

Ecositems. London: Blackwell Scientific Publication.

Mardesyawati, A., Anggraini, K. 2009. Persen dan penutupan

Jenis Lamun di Kepulauan Seribu. Jakarta: Yayasan terangi.

Martinez, M. 2011. Antropogenic Impact on Meiofauna in Myrtle

Beach Area Estuaries. Thesis. Coastal Carolina University.

Menez, E. G., Phillips, R. C., Calumpong, H. P. 1983. Seagrasses

from the Philippines. Washington: Smithsonian Publication.

Milazzo, M. Chemello, R. Badalamenti, F. 2002. The Impact of

Human Recreational Activities in Marine Protected Areas: What

Lessons Should Be Learnt in the Mediterranean Sea?. Marine

Ecology. 23. Sup 1: 280 – 290

Millero, F. J. Sohn, M. L. 1992. Chemical Oceanography.

Florida: CRC Press, Inc.

Mirto, S., Rosa, T. L., Danovaro, R., Mazzola, A. 2000. Microbial

and Meiofauna Response to Intensive Mussel-farm Biodeposition

in Coastal Sediment of the Western Mediterranean. Marine

Pollution Bulletin. 40(3): 244 -252.

Mistri, M., Fano, E. A., Ghion, F., Rossi, R. 2002. Disturbance and

Community Pattern of Polychaetes Inhabiting Valle Magnavacca

(Valli di Comacchio, Northern Adratic Sea Italy). Marine

Ecology. 23(1):31-49.

Montagna PA, Harper DE Jr. 1996. Benthic Infaunal Long-Term

Response to Offshore Production Platform in the Gulf of Mexico.

Cannadian Journal of Fish Aquatic Science. 53:2567-2588.

Page 84: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

67

Monthum. Y., Aryuthaka. C. 2006. Spatial Distribution of

Meiobenthic Community in Tha Len Seagrass Bed, Krabi

Province, Thailand. Coastal Marine Science. 30:146 - 153

Moreno, M., Vezzuli, L., Marin, V., Laconi, P., Albertelly, G. dan

Fabiano, M. 2008. The Use of Meiofauna Diversity as an Indicator

of Pollutan in Harbours. ICES Journal of Marine Science.

65:1428 – 1435.

Muzaki, F. K. 2011. Pengaruh Negatif Kegiatan Wisata Terhadap

Komunitas Meiofauna Bentik di Pantai Berpasir. Tesis. Program

Studi Magister (S2) Biologi, Jurusan Biologi, Universitas

Airlangga.

Narayanaswamy, B. E., Lamont, P. A., Serpetti, N.2016. What Lies

Within; Annelid Polychaetes Found in Micro-Habitats of

Coral/Carbonate Material from SW Indian Ocean. Article in Deep

Sea Research Part II Topical Studies in Oceanography. Scottish

Association for Marine Science, Scottish Marine Institute, Oban,

Argyll, Scotland – UK Galway-Mayo Institute of Technology,

Dublin Road, Galway, Ireland

Nasira, K., F. Shahina, and M. Kamran. 2009. Marine Nematodes

at Port Bin Qasim of Arabian Sea and Their Role in The

Ecosystem. Pakistan Journal of Nematology. 27: 187 – 191.

Nontji A. 1993. Laut Nusantara. Jakarta: Djambatan,

Nugroho, S.H., A. Basit. 2014. Sebaran Sedimen Berdasarkan

Analisis Ukuran Butir di Teluk Weda, Maluku Utara. Jurnal Ilmu

dan Teknologi Kelautan Tropis. 6(1):229-240

Nybakken, J. W. 1992. Biologi Laut, Suatu Pendekatan

Ekologis. Jakarta: Gramedia.

Nybakken, J. W., Bertness. 2005. Marine Biology: An Ecological

Approach, 3rd Edition. New York: Pearson Benjamin Cummings

Page 85: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

68

Odum, E. P. 1971. Dasar-Dasar Ekologi Edisi ketiga. Gadjah

Mada University Press. Yogyakarta

Pati, A. C., Belmonte, G., Ceccherelli, V. U., Boero, F. 1999. The

Inactive Temporary Component: An Unexplored Fraction of

Meiobenthos. Marine Biology. 134: 419 – 427

Perdana, T., Melani, W. R., Zulfikar, A. 2014. Kajian Kandungan

Bahan Organik Terhadap Kelimpahan Keong Bakau (Telescopium

telescopium) di Perairan Teluk Riau Tanjungpinang. Skripsi. FIKP

UMRAH. Riau

Pielou, E. C. 1977. Mathematical Ecology. Toronto: John Wiley

and Sons

Prathep A, Marrs RH, Norton TA. 2003. Spatial and Temporal

Variations in Sediment Accumulation in an Algal Turf and Their

Impact on Associated Fauna. Marine Biology. 142:381-390.

Prianto. E., Jhonnerie. R., Firdaus. R., Hidayat. T., Miswadi. 2006.

Keanekaragaman Hayati dan Struktur Ekologi Mangrove Dewasa

di Kawasan Pesisir Kota Dumai Propinsi Riau. Biodiversitas.

Volume 7 No 4: 327 - 332

Raffaelli, D. 2000. Trends in Research on Shallow Water Food

Webs. Journal Experimental Marine Biology Ecology. 250: 23

– 232.

Rieper, M. 1982. Feeding preferences of marine Harpacticoid

copepods for various species of bacteria. Marine Ecology

Progress Series 7: 303 – 307.

Rodriguez, J. G., Lopez, J., Jaramillo, E. 2001. Community

Structure of the Intertidal Meiofauna Along a Gradient of

Morphodynamic Sandy Beach Types in Southern Chile. Revista

Chilena de Historia Natural. 74(4): 1 – 19

Page 86: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

69

Romimohartoto. K., Juwana. 2005. Biologi Laut. Djambatan.

Jakarta

Romimohtarto, K. dan S. Juwana. 2001 Biologi Laut, Ilmu

Pengetahuan tentang Biologi Laut. Jakarta: Djambatan

Rzeznik-Orignac, J., G. Boucher, D. Fichet, and P. Richard, 2008.

Stable isotope analysis of food source and trophic position of

intertidal nematodes and copepods. Marine Ecology Progress

Series 359: 145 – 150.

Sabarno, M. Y. 2001. Savana Taman Nasional Baluran.

Biodiversitas. 3(1): 207 – 212

Sarmento, V. C., Barreto, A. F. S., Santos, P. J. P. 2011. The

Response of Meiofaunal to Human Trampling on Coral Reefs.

Scienta Marina. 75(3): 559 – 570.

Schneider, F. I. and K. H. Mann. 1991. Species specific

relationships of invertebrates to vegetation in a seagrass bed. II.

Experiments on the importance of macrophyte shape, epiphyte

cover and predation. Journal of Experimental Marine Biology

and Ecology. Vol 145 (1) (pp.119 – 139)

Schratzberger, M. 2007. World Register of Marine Species.

http://marinespecies.org [05 Mei 2017].

Setiawan, H. 2013. Status Ekolgi Hutan Mangrove pada Berbagai

Tingkat Ketebalan. Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea 2(2):

104-120.

Smith, R. W., Bergen, M., Weisberg, S. B., Cadian, D., Dalkey, A.,

Montagne, D., Stull, J. K., Velarde, R. G. 2001. Benthic Response

Index for Assessing Infaunal Communities on the Southern

California Mainland Shelf. Ecology Apllication. 11 (4): 1073 –

1087.

Page 87: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

70

Soedharma, D. 2007. Pertumbuhan, Produktivitas, dan

Biomassa, Fungsi dan Peranan Lamun. Bogor: Institut Pertanian

Bogor.

Sofani, M. A. 2015. Struktur Komunitas Meiofauna Bentik yang

Terpengaruh Air Bahang di Perairan PLTU Paiton Probolinggo.

Skripsi. Jurusan Biologi Fakultas Ilmu Pengetahuan Alam Institut

Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya.

Sogard, S.M., 1984. Utilisation of Meiofauna as a Food Source by

a Grassbed Fish, the Spotted Dragonet Callionymus pauciradiatus.

Marine Ecology Progress Series. 17, 183±191.

Stead, T. K., Araya, J. M. Schmid., Hildrew, A. G. 2005.

Secondary Production of a Stream Metazoan Community: Does the

Meiofauna Make a Difference? Limnology Oceanografi. 50(1):

398 – 403

Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 279/Kpts.-VI/1997

tanggal 23 Mei 1997 tentang luas Taman Nasional Baluran,

Situbondo, Jawa Timur.

Susetiono, 1996. Meiofauna of seagrass beds in Kuta Bay,

Lombok, Indonesia. Proceeding of Seventh Joint Seminar on

Marine Science. Tokyo: JSPS and ORI, University of Tokyo.

Susetiono. 1999. Perilaku meiofauna dalam Padang Lamun

Enhalus acoroides, Teluk Kuta, Lombok. Jakarta: Puslitbang

Oseanografi – LIPI.

Susetiono. 2000. Ekologi Makan Nematode di Padang Lamun

Enhalus acoroides Teluk Kuta. Lombak. Pesisir dan Pantai

Indonesia IV. Jakarta: Pusat Penelitian Oseanografi - LIPI.

Page 88: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

71

Susetiono. 2004. Fauna Padang Lamun Tanjung Merah Selat

Lembeh. Jakarta: Pusat Penelitian Oseanografi, LIPI.

The International Ecotourism Society (TIES) (1990), What is

Ecotourism?: The Definition, Entry from :

http://www.ecotourism.org/what-is-ecotourism

TN Baluran. 2017. Baluran National Park

http://balurannationalpark.web.id/ [05 Mei 2017]

Trisnawati, N. 2012. Struktur Komunitas Meiofauna Interstisial di

Substrat Padang Lamun Pulau Pari Kepulauan Seribu. Skripsi.

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas

Indonesia. Depok.

Tuwo, A. 2011. Pengelolaan Ekowisata Pesisir dan Laut.

Surabaya: Brilian Internasional.

Ugolini, A., G. Ungherese, S. Somigli, G. Galanti, D. Baroni, F.

Borghini, N. Cipriani, M. Passaponti, and S. Focardi. 2008. The

Amphipoda Talitrus salvator as a Bioindicator of Human

Trampling on Sandy Beaches. Marine Environmental Research.

65: 349 – 357.

UNWTO. 2013. Sustainable Tourism for Development

Guidebook. Madrid. Spain: World Tourism Organization.

Vezzulli, L., Marrale, D., Moreno, M., Fabiano, M. 2003. Sediment

Organic Matter and Meiofauna Community Response to Long-

Term Fish-Farm Impact in the Ligurian Sea (Western

Mediterranean). Chemistry Ecology. 19(6):431-440.

Wetzel, R.G. 1983. Limnology. Second Edition. Toronto:

Saunders College Publishing.

Wimbaningrum, R. 2003 Komunitas Lamun di Rataan Terumbu,

Pantai Bama, Taman Nasional Baluran, Jawa Timur. Jurnal Ilmu

Page 89: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

72

Wyckmans, M., Chepurnov, V.A, Vanreusel, A., and de Troch, M.

2007. Effects of food diversity on diatom selection by harpacticoid

copepods. Journal of Experimental Marine Biology and

Ecology 345: 119-128.

Zeppilli, D., Leduc, D., Sarrazin, J., Fernandes, D. 2015. Is the

Meiofauna a Good Indicator for Climate Change and

Anthropoganic Impacts?. Marine Biodiversity. DOI. 10. 1007/

512526-015-0359.

Zulkifli. 2008. Dinamika Komunitas Meiofauna Interstisial di

Perairan Selat Dampak Kepulauan Riau. Tesis. Sekolah

Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.

Zulkifli, H., Z. Hanafiah., D. A. Puspitawati. 2009. Struktur dan

Fungsi Komunitas Makrozoobenthos di Perairan Sungai Musi Kota

Palembang: Telaah Indikator Pencemaran Air. Jurusan FMIPA.

Universitas Sriwijaya.

Page 90: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

73

LAMPIRAN

Lampiran 1. Dokumentasi Pengambilan Sampel, Lokasi

Sampel dan Meiofauna Epifit yang Teramati

Gambar 1. Pantai Bama

Page 91: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

74

Gambar 2. Pantai Kajang

Gambar 3. Pemotongan daun lamun didalam air

Page 92: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

75

Gambar 4. Peltidiidae (Harpacticoida)

Gambar 5. Thalestridae (Harpacticoida)

Page 93: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

76

Gambar 6. Sebidae (Amphipoda)

Gambar 7. Dinophilidae (Polychaeta)

Page 94: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

77

Gambar 8. Calcarina (Foraminifera)

Gambar 9. Ammonia (Foraminifera)

Page 95: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

78

Gambar 10. Cletodidae (Harpacticoida)

Gambar 11. Spirorbidae (Polychaeta)

Page 96: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

79

Gambar 12. Cyatholaimus (Nematoda)

Page 97: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

80

“Halaman ini sengaja dikosongkan”

Page 98: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

81

Lampiran 2. Tabel Komposisi Meiofauna Epifit pada Lamun Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii dan Cymodocea spp. di Pantai Bama dan Pantai Kajang

Taman Nasional Baluran Situbondo Jawa Timur.

KAJANG 3

T E C T E C T E C T E C T E C T E C T E C T E C T E C T E C T E C T E C T E C T E C T E C T E C T E C T E C T E C T E C

1 Sebidae - f Amphipoda - o 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 4 1 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

2 Sididae - f Cladocera - o 0 0 0 0 0 0 2 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 1 0 2 3 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 1

3 Elphidium - g Foraminifera - fi 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 2 3 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

4 Ammonia - g Foraminifera - fi 4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

5 Haplophragmoides - g Foraminifera - fi 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 3 1 2 2 0 10 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0 0 0 0

6 Quinquiloculina - g Foraminifera - fi 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

7 Calcarina - g Foraminifera - fi 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

8 Sarcomastigophora - g Foraminifera - fi 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

9 Gastropoda - k Gastropoda - k 1 0 1 3 1 0 1 0 0 0 0 19 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

10 Acari - g Arthropoda - k 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0

11 Thalestridae - f Harpacticoida - o 1 2 1 1 1 1 2 0 0 0 0 1 11 1 1 9 29 1 0 4 0 20 42 26 0 3 26 3 177 3 2 9 0 1 0 1 0 1 1 4 1 7 10 4 12 4 3 3 8 2 5 2 3 2 0 4 0 0 2 3

12 Peltidiidae - f Harpacticoida - o 4 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 3 0 0 0 0 1 0 0 0 1 1 0 5 3 1 1 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 4 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0

13 Tegastidae - f Harpacticoida - o 0 1 1 1 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 34 0 4 1 2 1 21 13 0 0 3 13 1 0 3 1 15 0 2 0 1 1 0 1 1 2 9 4 0 0 0 0 7 4 3 2 3 9 0 4 8 0 21 3 3

14 Cletodidae - f Harpacticoida - o 0 2 1 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 2 14 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 25 1 3 5 0 0 2 0 0 1 0 7 0 0 0 0 4 4 2 2 0 4 0 0 0 0 1 0 2

15 Harpacticidae - f Harpacticoida - o 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 8 13 0 0 0 0 1 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 6 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0

16 Tisbidae - f Harpacticoida - o 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

17 Cyatholaimus - g Nematoda - fi 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 17 1 0 0 0 0 7 5 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 3 0 1 0 0 0 1 0 0 0 2 2 0 0 0 0 0 0 0

18 Desmoscolecidae - f Nematoda - fi 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0

19 Odonata - g Insecta - k 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0

20 Cypridina - g Ostracoda - k 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 1 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 1 0 2 0 0 0 1 0 0 0 1 1 0 0 1

21 Nereididae - f Polychaeta - k 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 6 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0

22 Spirorbidae - f Polychaeta - k 1 3 1 0 0 0 2 0 0 0 3 0 0 0 1 7 2 2 1 1 0 25 0 0 0 0 0 9 0 0 0 1 0 1 2 1 0 2 0 2 6 0 2 0 0 3 1 0 5 4 4 5 5 2 4 24 6 9 12 5

23 Syllidae - f Polychaeta - k 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 3 0

24 Dinophilidae - f Polychaeta - k 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 18 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0 0 0 0 0 1 0

25 Pisionidae - f Polychaeta - k 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0

26 Protodrilidae - f Polychaeta - k 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 2 0 0 1 0 0 0 0 0 0 4 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 5 0 0 0 0 0 1 1

27 Polygordius - g Polychaeta - k 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0

28 Sigalionidae - f Polychaeta - k 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

13 8 5 6 3 1 10 3 2 1 3 24 12 1 4 91 36 7 4 8 2 83 73 26 9 7 39 21 201 7 11 56 7 7 10 4 1 6 4 16 15 44 31 5 22 9 4 18 25 15 17 14 31 4 11 39 8 32 23 16

KAJANG 10

TOTAL

KAJANG 4 KAJANG 5 KAJANG 6 KAJANG 7 KAJANG 8BAMA 7 BAMA 8 BAMA 9 BAMA 10 KAJANG 1 KAJANG 2No BAMA 4 BAMA 5 BAMA 6

LOKASI

KAJANG 9Genus/Famili Ordo/Kelas/Filum BAMA 1 BAMA 2 BAMA3

Page 99: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

82

“Halaman ini sengaja dikosongkan”

Page 100: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

83

BIODATA PENULIS

Penulis bernama lengkap

Rifqianingrum Ayu Prayogi dilahirkan di Surabaya pada hari Jumat

tanggal 28 April 1995 sebagai anak

kedua dari tiga bersaudara dari

pasangan Rubinson dan Endang

Budiarti. Penulis menempuh

pendidikan dari mulai taman kanak –

kanak di TK Islam Bakti 3, kemudian

dilanjutkan dengan sekolag dasar di

SDN 2 Randuagung Gresik, lalu SMPN

2 Gresik dan SMAN 1 Gresik. Pada tahun 2013 penulis lolos

seleksi Nasional Penerimaan Mahasiswa Baru Perguruan

Tinggi. Penulis memilih Jurusan Biologi Fakultas Matematika

dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh

Nopember Surabaya.

Selama menjadi mahasiswa di Biologi ITS, penulis

bergabung dalam Himpunan Mahasiswa Biologi ITS dan

menjabat sebagai ketua divisi Internal Departemen Dalam

Negeri periode 2015/2016. Penulis juga bergabung dalam

Surveyor Laboratorium Ekologi Jurusan Biologi ITS. Penulis

juga merupakan aktivis yang menyukai kegiatan konservasi

alam terutama burung, sehingga penulis bergabung dalam

Badan Semi Otonom Kelompok Studi Burung Liar Pecuk.

Penulis memiliki hobi adventure dan traveling sehingga lebih

suka kegiatan di alam dibandingkan dengan kegiatan yang

allday di laboratorium, sehingga penulis mengambil bidang

minat Jurusan Biologi ITS yaitu ekologi.

Page 101: STUDI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MEIOFAUNA …

74

“Halaman ini sengaja dikosongkan”