sts
TRANSCRIPT
PENDEKATAN KONSEP
SAINS TEKNOLOGI MASYARAKAT (STM)
DALAM PEMBELAJARAN
MATA KULIAH : PENGAJARAN BIOLOGI
Oleh:
NUNI RISMAYANTI NURQALBI (1200981)
RANTI AN NISAA (12012090)
BIOLOGI 1B
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2012
PENDEKATAN KONSEP SAINS TEKNOLOGI MASYARAKAT (STM)
DALAM PEMBELAJARAN
1. Sejarah Perkembangan STM
Istilah STS untuk pertama kali diciptakan oleh John Ziman dalam bukunya
“Teaching and Learning About Science and Society”. Ziman mencoba mengungkapkan
bahwa konsep-konsep dan proses-proses sains yang diajarkan seharusnya relevan dengan
kehidupan siswa sehari-hari (Galib, 2001).
Yager dan Roy (Galib, 2001) menyatakan sejarah singkat STS sebagai berikut.
Mulai tahun 1970, beberapa universitas di AS, Cornell, Penn State, Stanford, dan SUNY-
Stock Brook, secara resmi memulai program yang menawarkan pelajaran pada bidang
studi yang sekarang disebut STS/STM. Hal yang sama juga dilakukan pada konsorsium
universitas di Inggris. Kemudian secara berangsur beberapa negara dan lembaga lain
bekerja sama, menjadi penelitian utama universitas, dan sekitar 100 lembaga menjadikan
STM sebagai bidang akademik. Sebagai suatu momentum perkembangan STM, pada
tahun 1977 muncul sebuah proyek yang disebut Norris Harms’ Project Synthesis dengan
empat tujuan utama, yaitu: (1) mempersiapkan siswa untuk menggunakan sains bagi
pengembangan hidup dan mengikuti perkembangan dunia teknologi; (2) mengajar para
siswa untuk mengambil tanggung jawab dengan isu-isu teknologi/masyarakat; (3)
mengidentifikasi tubuh pengetahuan fundamental sehingga siswa secara tuntas
memperoleh kepandaian dengan isu-isu STM; dan (4) memberikan suatu gambaran yang
akurat kepada siswa tentang peersyaratan dan kesempatan dalam karir yang tersedia
dalam bidang STM.
Setelah proyek tersebut dilaporkan pada tahun 1981 (Harms dan Yager dalam Galib,
2001), The National Science Teachers Association (NSTA), berinisiatif melakukan suatu
penelitian untuk meningkatkan mutu program pendidikan sains. Dalam hal itu, STM
merupakan salah satu bidang penelitian awal pada tahun 1982-1983 dan juga tahun 1986.
Sejak itu, STM menjadi fokus bagi sekolah sains untuk mengidentifikasi tujuan-tujuan
baru, kurikulum baru, modul-modul, strategi pembelajaran yang baru, dan bentuk-bentuk
baru untuk evaluasi. Hal itu telah digunakan dalam pembaruan pendidikan sains di Iowa
sejak dimulai suatu program Chautauqua NSTA-NSF pada tahun 1983 (Yager dalam
King). Dan sekarang, sudah lebih dari 1.700 guru, khususnya pada kelas 4-9 telah
mengembangkan dan memperkenalkan modul-modul STM dalam ruang kelas sains
mereka. Dalam tahun 1990 di AS, STM telah diperkenalkan pada 2000 fakultas dan 1000
SLTA dalam bentuk pelajaran (Harms dan Yager dalam Galib, 2001).
Pendekatan STM merupakan merupakan pendekatan pembelajaran, dikembangkan
berdasarkan pada filosofis kontruktivisme baru diperkenalkan di Indonesia pada awal
tahun 1990-an yang telah diuji coba dan dilakukan di berbagai sekolah di Jawa Barat dan
daerah lain di Indonesia (http://pelangi.dit-pp.go.id).
2. Hakikat Pendekatan STM
Salah satu hakekat pendidikan adalah proses mengarahkan anak pada pertumbuhan
yang makin sempurna. Melalui pendidikan anak diharapkan dapat diarahkan secara
terprogram untuk mencapai penguasaan pengetahuan, keterampilan, dan sikap tertentu
demi tugas-tugas profesional dan hidup. Dalam hal ini, pendidikan mengarahkan anak
pada hal yang bersifat occupation-oriented atau training for life.
Pendidikan sains memiliki peran yang penting dalam menyiapkan anak memasuki
dunia kehidupannya. Sains pada hakekatnya merupakan sebuah produk dan proses.
Produk sains meliputi fakta, konsep, prinsip, teori dan hukum. Sedangkan proses sains
meliputi cara-cara memperoleh, mengembangkan dan menerapkan pengetahuan yang
mencakup cara kerja, cara berfikir, cara memecahkan masalah, dan cara bersikap. Oleh
karena itu, sains dirumuskan secara sistematis, terutama didasarkan atas pengamatan
eksperimen dan induksi.
Sains melandasi perkembangan teknologi, sedangkan teknologi menunjang
perkembangan sains. Sains terutama digunakan untuk aktivitas discovery dalam upaya
memperoleh penjelasan tentang objek dan fenomena alam serta untuk aktivitas invention
(penemuan) berupa rumus-rumus. Sedangkan teknologi merupakan aplikasi sains yang
terutama dalam kegiatan invention, berupa alat-alat atau barang-barang untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat. Dalam hal ini, pengembangan sains tidak selalu dikaitkan dengan
aspek kebutuhan masyarakat, sedangkan pengembangan teknologi selalu dikaitkan
dengan kebutuhan masyarakat. Dengan demikian sains, teknologi dan masyarakat
merupakan bagian yang tak terpisahkan
Dalam kurikulum pendidikan nasional tahun 2006, pendidikan sains merupakan
kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi. Pemberian mata pelajaran
sains bagi anak dimaksudkan untuk memperoleh kompetensi ilmu pengetahuan dan
teknologi serta membudayakan berpikir ilmiah secara kritis, kreatif dan mandiri. Prinsip
pengembangan kurikulum didasarkan bahwa peserta didik memiliki posisi sentral untuk
mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mendukung pencapaian tujuan tersebut
pengembangan kompetensi peserta didik harus disesuaikan dengan potensi,
perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik serta tuntutan lingkungan.
Dalam realitasnya, ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang secara dinamis.
Semangat dan isi kurikulum mendorong peserta didik untuk mengikuti dan memanfaatkan
secara tepat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Menjamin relevansi dengan
kebutuhan kehidupan, termasuk di dalamnya kehidupan kemasyarakatan, dunia usaha
dan dunia kerja. Oleh karena itu, pengembangan keterampilan pribadi, keterampilan
berpikir, keterampilan sosial, keterampilan akademik, dan keterampilan vokasional
mutlak harus dilaksanakan.
Dengan demikian, pembelajaran sains semestinya dapat dikaitkan dengan
pengalaman keseharian anak. Sebagai bagian dari anggota masyarakat, anak dapat
dibiasakan untuk menemukan masalah dalam lingkungan lokal maupun secara global, dan
merumuskan solusi ilmiah yang mengaitkan dengan konsep sains yang sedang
dipelajarinya. Pembelajaran sains dapat berekspansi keluar dari sekedar mempelajari
pengetahuan menuju ke penggunaan pengetahuan dan keterampilan dalam menyelesaikan
masalah-masalah praktis yang dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-sehari. Ketika
keberadaan sains menjadi lebih dekat dengan diri dan kehidupan anak, pembelajaran
sainspun akan menjadi menarik dan lebih diminati oleh anak untuk dipelajari.
Dari pemikiran di atas, dapat dikemukakan bahwa tantangan pembelajaran sains
saat ini adalah perlu menyesuaikan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi,
serta dapat mengantisipasi masalah-masalah sosial yang berkaitan dengan sains dan
teknologi. Untuk kepentingan itu, pembelajaran sains perlu dikaitkan dengan aspek
teknologi dan masyarakat. Pembelajaran yang mengkaitkan sains dengan teknologi dan
masyarakat, dikenal dengan pembelajaran dengan pendekatan sains, teknologi dan
Masyarakat (STM) atau Science, Technology and Society (STS).
Sains merupakan suatu tubuh pengetahuan (body of knowledge) dan proses
penemuan pengetahuan. Teknologi merupakan suatu perangkat keras ataupun perangkat
lunak yang digunakan untuk memecahkan masalah bagi pemenuhan kebutuhan manusia.
Sedangkan masyarakat adalah sekelompok manusia yang memiliki wilayah, kebutuhan,
dan norma-norma sosial tertentu. Sains, teknologi dan masyarakat satu sama lain saling
berinteraksi (Widyatiningtyas, 2009).
Menurut Widyatiningtyas (2009), pendekatan STM dapat menghubungkan
kehidupan dunia nyata anak sebagai anggota masyarakat dengan kelas sebagai ruang
belajar sains. Proses pendekatan ini dapat memberikan pengalaman belajar bagi anak
dalam mengidentifikasi potensi masalah, mengumpulkan data yang berkaitan dengan
masalah, mempertimbangkan solusi alternatif, dan mempertimbangkan konsekuensi
berdasarkan keputusan tertentu.
Pendekatan Sains Teknologi dan Masyarakat (STM) dalam pandangan ilmu-ilmu
sosial dan humaniora, pada dasarnya memberikan pemahaman tentang kaitan antara sains
teknologi dan masyarakat, melatih kepekaan penilaian peserta didik terhadap dampak
lingkungan sebagai akibat perkembangan sains dan teknologi (Poedjiadi, 2005). Menurut
Raja (2009), keputusan yang dibuat oleh masyarakat biasanya memerlukan penggunaan
teknologi untuk melaksanakannya. Bahkan, masyarakat dan ilmu pengetahuan
menggunakan teknologi sebagai sarana untuk menyimpan informasi. Peranan penting
yang dimiliki oleh teknologi dapat berfungsi sebagai sarana tindakan dan penyidikan
dalam pendekatan STM. Data juga menyiratkan sifat ilmu pengetahuan sebagai sebuah
bidang di semua masyarakat.
STM berusaha menjembatani antara ilmu dan masyarakat, sehingga ilmu yang
diperoleh di bangku sekolah akan sangat terasa manfaatnya apabila diterapkan dalam
masyarakat.
Gambar 1. Hungerford, Volk & Ramsey (Galib, 2001) menggambarkan keterkaitan
sains, teknologi, dan masyarakat dalam suatu paradigma interaksi
Gambar di atas menunjukkan bahwa sains-teknologi-masyarakat sangat erat
keterkaitannya. Dalam hal itu, Dimyati (Galib, 2001) menyatakan bahwa teknologi dan
sains tidak pernah terpisah. Karena itu, menurut Hoolbrool, memahami sains hanya
sebagai suatu kesatuan konsep-konsep atau prinsip-prinsip, berarti memisahkan sains dari
teknologi, dan sains hanya dipandang sebagai ilmu murni ketimbang sebagai mata
pelajaran yang dapat diterapkan. Pernyataan tersebut mengandung suatu makna bahwa
siswa yang telah belajar konsep-konsep sains perlu didorong untuk
menggunakan/menerapkannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, misalnya untuk
menghasilkan teknologi dan menjelaskan fenomena/peristiwa-peristiwa alam yang
dijumpai.
3. Landasan Pendekatan STM
Menurut Rusmansyah (2003) dalam Aisyah (2007), pendekatan STM dilandasi oleh
tiga hal penting yaitu:
a. Adanya keterkaitan yang erat antara sains, teknologi dan masyarakat.
b. Proses belajar-mengajar menganut pandangan konstruktivisme, yang pada pokoknya
menggambarkan bahwa anak membentuk atau membangun pengetahuannya melalui
interaksinya dengan lingkungan.
c. Dalam pengajarannya terkandung lima ranah, yang terdiri atas ranah pengetahuan,
ranah sikap, ranah proses sains, ranah kreativitas, dan ranah hubungan dan aplikasi.
4. Tujuan Pembelajaran STM
Tujuan dari pendekatan STM ini adalah menghasilkan peserta didik yang cukup
memiliki bekal pengetahuan, sehingga mampu mengambil keputusan penting tentang
masalah-masalah dalam masyarakat serta mengambil tindakan sehubungan dengan
keputusan yang telah diambilnya.
Menurut Yager, tujuan pembelajaran STM adalah sebagai berikut:
a. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk membandingkan dan mengkontraskan
sains dan teknologi serta menghargai bagaimana sains dan teknologi memberikan
kontribusi pada pengetahuan dan pengaruh baru.
b. Memberikan contoh-contoh dari masa lalu dan sekarang mengenai perubahan-
perubahan yang sangat besar dalam bidang sains dan teknologi yang dibawa
masyarakat, pertambahan ekonomi, dan proses-proses politik.
c. Memberikan/menawarkan pandangan global pada hubungan sains dan teknologi pada
masyarakat, menunjukkan dampaknya pada pengembangan bangsa dan ekologi bumi.
5. Karakteristik STM
Yager (1992), mendefinisikan STM yaitu mencakup tujuan kurikulum, assesmen
dan khususnya mengenai pengajaran. Yager dan kawan-kawan mengembangkan
pendekatan STM, model yang dikembangkan Yager dan kawan-kawan itu dikenal dengan
“Model Chautauqua Iowa” yang dilaksanakan sejak tahun 1983 yang dikoordinasi oleh
NSTA. Pada tahun 1983-1986 Yager dan kawan-kawannya bekerja sama dengan 30-50
guru setiap tahunnya.
STM memiliki 11 karakteristik (Yager dalam Sukri, 2000):
a. Identifikasi masalah-masalah setempat/lokal yang memiliki kepentingan dan dampak.
b. Penggunaan sumber daya setempat/lokal (manusia dan benda) untuk mencari
informasi yang dapat digunakan dalam memecahkan masalah.
c. Keikutsertaan yang aktif dari siswa dalam mencari informasi yang dapat diterapkan
untuk memecahkan masalah-masalah dalam kehidupan sehari-hari.
d. Penambahan/perpanjangan belajar di luar kelas dan sekolah.
e. Fokus kepada dampak dari sains dan teknologi terhadap siswa.
f. Suatu pandangan bahwa konten sains bukan hanya konsep-konsep yang harus
dikuasai siswa dalam tes.
g. Penekanan dalam keterampilan proses dimana siswa dapat menggunakannya dalam
memecahkan masalah.
h. Penekanan pada kesadaran karir yang berkaitan dengan sains dan teknologi.
i. Kesempatan bagi siswa untuk mencoba berperan sebagai warga negara atau anggota
masyarakat dimana ia mencoba untuk memecahkan isu-isu yang telah diidentifikasi
j. Identifikasi dampak sains dan teknologi di masa depan.
k. Kebebasan atau otonomi dalam proses belajar.
6. Ranah Pembelajaran STM
Menurut Yagger (1994), penilaian terhadap proses pembelajaran yang
menggunakan pendekatan STM dapat dilakukan dengan menggunakan lima domain,
yaitu:
a. Konsep, yang meliputi penguasaan konsep dasar, fakta dan generalisasi.
Domain ini memfokuskan pada muatan sains, tujuan-tujuan sains untuk
mengelompokkan alam yang teramati ke dalam unit-unit yang teratur untuk studi dan
penjelasan hubungan-hubungan fisika dan biologi dari pengajaran sains yang
melibatkan siswa belajar konsep-konsep utama dari sains. Domain konsep meliputi
fakta-fakta, informasi, hukum-hukum, prinsip-prinsip, penjelasan-penjelasan
keberadaan sesuatu dan teori yang digunakan oleh sains.
b. Proses, penggunaan proses ilmiah dalam menemukan konsep atau penyelidikan.
Proses-proses sains berhubungan dengan bagaimana saintis berpikir dan bekerja, yaitu
menggambarkan dimensi sains. Proses-proses sains telah diidentifikasikan oleh “The
American Association for the Advancement of Science” (AAAS) dalam pengembangan
“Science a Process Approach (1963)”, yaitu ada 15 keterampilan proses yang
meliputi:
1) mengobservasi,
2) menggunakan ruang/waktu,
3) mengklasifikasi,
4) mengelompokkan dan mengorganisasi,
5) menggunakan bilangan,
6) mengkuantifikasi,
7) mengukur,
8) mengkomunikasikan,
9) menginferensi,
10) memprediksikan,
11) mengendalikan dan mengidentifikasi variabel,
12) menginterpretasikan data,
13) merumuskan hipotesis,
14) memberikan definisi secara operasional,
15) melaksanakan eksperimen.
c. Aplikasi, penggunaan konsep dan proses dalam situasi yang baru atau dalam
kehidupan.
Domain ini meliputi mengaplikasikan konsep-konsep dan keterampilan dalam
memecahkan masalah sehari-hari, memahami prinsip-prinsip ilmiah dan prinsip-
prinsip teknologi yang terdapat dalam rumah tangga, menggunakan proses-proses
ilmiah dalam memecahkan masalah yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari,
memahami dan menilai laporan media masa dalam kehidupan sehari-hari, memahami
dan menilai laporan media masa mengenai perkembangan pengetahuan, mengambil
keputusan yang berhubungan dengan kesehatan pribadi, gaji dan gaya hidup yang
didasari oleh pengetahuan konsep-konsep ilmiah daripada emosi, mengintegrasikan
sains dengan subjek-subjek lain, mengambil tindakan khusus yang dirancang untuk
memecahkan masalah dan atau memberi kontribusi untuk pemecahan masalah yang
dihadapi secara lokal, nasional, maupun internasional dan terlibat dalam kegiatan-
kegiatan di masyarakat.
d. Kreativitas, pengembangan kuantitas dan kualitas pertanyaan, penjelasan, dan tes
untuk memvalidasi penjelasan secara personal.
Kemampuan manusia yang terpenting dalam domain ini diantaranya meliputi
visualisasi, menghasilkan gambaran mental, menggabungkan objek-objek dan ide-ide
dalam cara-cara baru, memecahkan masalah dan teka-teki, memprediksi konsekuensi-
konsekuensi yang mungkin, menyarankan alasan-alasan yang mungkin, mendesain
alat atau mesin, dan menghasilkan ide-ide yang tidak biasa.
e. Sikap, mengembangkan perasaan positif dalam sains, belajar sains, guru sains dan
karir sains.
Domain sikap meliputi pengembangan sikap-sikap terhadap sains pada umumnya,
kelas sains, kegunaan belajar sains, dan untuk guru terbentuknya pengembangan
sikap-sikap positif terhadap diri sendiri (sikap dapat mengerjakan sesuatu), eksplorasi
emosi manusia, mengembangkan kepekaan dan rasa hormat terhadap perasaan-
perasaan orang lain, mengekspresikan perasaan dengan cara-cara yang konstruktif,
mengambil keputusan mengenai nilai-nilai perorangan, mengambil keputusan
mengenai isu-isu lingkungan sosial dan mengeksplorasi argumen dalam sudut
pandang yang berbeda mengenai isu-isu yang ada.
7. Implementasi pendekatan STM dalam Pembelajaran
Model pembelajaran STM yang diajukan oleh Yager meliputi empat fase
pembelajaran, yaitu fase invitasi/undangan/inisiasi, eksplorasi, mengusulkan penjelasan
dan solusi, dan mengambil tindakan.
a. Fase Invitasi
Pada Preservice teachers (PSTs), guru melakukan brainstorming dan
menghasilkan beberapa kemungkinan topik untuk penyelidikan. Topik dapat bersifat
global atau lokal, tetapi harus merupakan minat siswa dan memberikan wilayah yang
cukup untuk penyelidikan bagi siswa. Menurut Aisyah (2007), Apersepsi dalam
kehidupan juga dapat dilakukan, yaitu mengaitkan peristiwa yang telah diketahui
siswa dengan materi yang akan dibahas. Dengan demikian, tampak adanya
kesinambungan pengetahuan, karena diawali dengan hal-hal yang telah diketahui
siswa sebelumnya dan ditekankan pada keadaan yang ditemui dalam kehidupan
sehari-hari.
b. Fase Eksplorasi
Pada tahap ini, guru dan siswa mengidentifikasi daerah kritis penyelidikan.
Data-data dan informasi dapat dikumpulkan melalui pertanyaan-pertanyaan atau
wawancara, kemudian menganalisis informasi tersebut. Data dan informasi dapat pula
diperoleh melalui telekomunikasi, perpustakaan dan sumber-sumber dokumen publik
lainnya. Dari sumber-sumber informasi, siswa dapat mengembangkan penyelidikan
berbasis ilmu pengetahuan untuk menyelidiki isu-isu yang berkaitan dengan masalah
ini. Pemahaman tentang hujan asam, misalnya, dilakukan dalam laboratorium untuk
menyelidiki sifat-sifat asam dan basa. Penyelidikan ini memberikan pemahaman dasar
untuk pengembangan, pengujian hipotesis, dan mengusulkan tindakan (Dass, 1999
dalam Raja, 2009).
Menurut Aisyah (2007), tahap kedua ini merupakan proses pembentukan konsep
yang dapat dilakukan melalui berbagai pendekatan dan metode. Misalnya pendekatan
keterampilan proses, pendekatan sejarah, pendekatan kecakapan hidup, metode
demonstrasi, eksperimen di labolatorium, diskusi kelompok, bermain peran dan lain-
lain. Pada akhir tahap kedua, diharapkan melalui konstruksi dan rekonstruksi siswa
menemukan konsep-konsep yang benar atau konsep-konsep para ilmuan. Selanjutnya
berbekal pemahaman konsep yang benar siswa melanjutkan analisis isu atau masalah
yang disebut aplikasi konsep dalam kehidupan.
c. Fase Mengusulkan Penjelasan dan Solusi
Pada tahap ini, siswa mengatur dan mensintesis informasi yang mereka telah
kembangkan sebelumnya dalam penyelidikan. Proses ini termasuk komunikasi lebih
lanjut dengan para ahli di lapangan, pengembangan lebih lanjut, memperbaiki, dan
menguji hipotesis mereka, dan kemudian mengembangkan penjelasan tentatif dan
proposal untuk solusi dan tindakan. Hasil tersebut kemudian dilaporkan dan disajikan
kepada rekan-rekan kelas untuk menggambarkan temuan, posisi yang diambil, dan
tindakan yang diusulkan (Dass, 1999 dalam Raja, 2009).
Menurut Aisyah (2007), apabila selama proses pembentukan konsep dalam
tahap ini tidak tampak, ada miskonsepsi yang terjadi pada siswa, demikian pula
setelah akhir analisis isu dan penyelesaian masalah, guru tetap harus melakukan
pemantapan konsep melalui penekanan pada konsep-konsep kunci yang penting
diketahui dalam bahan kajian tertentu. Hal ini dilakukan karena konsep-konsep kunci
yang ditekankan pada akhir pembelajaran akan memiliki retensi lebih lama
dibandingkan dengan kalau tidak dimantapkan atau ditekankan oleh guru pada akhir
pembelajaran.
d. Fase Mengambil Tindakan
Berdasarkan temuan yang dilaporkan dalam fase ketiga, siswa menerapkan
temuan-temuan mereka dalam beberapa bentuk aksi sosial. Jika tindakan ini
melibatkan masyarakat sebagai pelaksana, misalnya membersihkan daerah berbahaya,
anak dapat menghubungi pejabat publik yang dapat mendukung pikiran dan temuan
mereka. Anak menyajikan informasi ini kepada rekan-rekan kelas mereka. Proposal
ini akan dimasukkan sebagai tindakan follow up (Dass, 1999 dalam Raja, 2009).
Dalam pembelajaran dengan pendekatan STM ini banyak metode mengajar yang
dapat digunakan guru. Metode yang dapat digunakan misalnya diskusi, bermain peran,
studi kasus, eksperimen, survey dan studi lapangan. Penggunaan metode-metode tersebut
menekankan pada keterlibatan siswa secara aktif dalam belajar. Untuk mengetahui
keberhasilan siswa dengan pendekatan STM tetap diadakan pengujian dan penilaian
terhadap siswa. Mungkin pengujian hasil belajar siswa agak sulit pelaksanaannya karena
meliputi banyak aspek dan bahkan menyangkut beberapa bidang studi baik sains maupun
non-sains.
Langkah yang perlu dilakukan dalam penilaian siswa adalah merumuskan tujuan
umum dan tujuan khusus. Kemudian merumuskan kelebihan-kelebihan yang akan
diperoleh siswa setelah mempelajari suatu topik dalam pendekatan STM itu. Perumusan
tujuan hendaknya meliputi 5 domain (konsep, proses, aplikasi, kreativitas, dan sikap).
8. Keunggulan dan Kelemahan Pendekatan STM
Menurut Wahyudi, dkk dalam Munawarah (2004 : 7) ada beberapa keunggulan
yang dapat diperoleh dari pendekatan Sains Teknologi Masyarakat (STM) yaitu:
a. Keunggulan pendekatan STM jika ditinjau dari segi tujuan
Sumber: Carin 1997:74 dan Horsley, 1990: 59
Gambar 2. Sintaks pembelajaran IPA dengan model STM
Meningkatkan keterampilan inquiry dan pemecahan masalah, di samping
keterampilan proses.
Menekankan cara belajar yang baik yang mencakup ranah kognitif, afektif dan
psikomotorik.
Menekankan sains dalam keterpaduan inter dan intra bidang studi.
b. Keunggulan pendekatan STM jika ditinjau dari segi pembelajaran
menekankan keberhasilan siswa
menggunakan berbagai strategi
menyadarkan guru bahwa kadang-kadang dirinya tidak selalu berfungsi sebagai
sumber informasi.
c. Keunggulan pendekatan STM ditinjau dari segi evaluasi
ada hubungan antara tujuan, proses dan hasil belajar
perbedaan antara kecakapan, kematangan serta latar belakang siswa juga
diperhatikan.
kualitas efisiensi dan keefektifan serta fungsi program juga dievaluasi.
Guru juga termasuk yang dievaluasi usahanya yang terus menerus dalam
membantu siswa.
Sedangkan kelemahan STM, yaitu:
a. Kurangnya bahan pengajaran yang dimiliki guru, sehingga proses pembelajaran tidak
berjalan dengan lancar. Disarankan untuk guru memperluas wawasannya dengan
banyak membaca buku atau bertanya kepada nara sumber
b. Memerlukan sedikit tambahan waktu jika dibandingkan dengan pembelajaran biasa.
Oleh karena itu, guru harus merinci secara cermat pembagian waktu pembelajaran
agar tidak menyita waktu untuk pokok bahasan lain.
c. Dibutuhkan dana tambahan untuk menerapkan model STM dalam pembelajaran,
sementara anggaran yang tersedia sangat terbatas, maka harus dicari jalan keluarnya.
Beberapa hal yang dapat dijadikan rekomendasi jika hendak menggunakan model
pembelajaran STM ini, yaitu:
a. Perlu dibuat materi penunjang oleh para pakar yang tersedia sebagai booklets atau
leaflets
b. Perlu membiasakan berdiskusi dengan teman sejawat guru untuk mencari isu di
lapangan
c. Model STM yang ideal cukup dilaksanakan sekali dalam satu semester saja melalui
topic yang sesuai
d. Kaitan antara STM perlu sering dikemukakan pada peserta didik.
9. Problematika Pendekatan STM dalam Pembelajaran
Mitchener & Anderson (1989) dalam Raja (2009), melaporkan hasil penelitian
tentang perspektif guru dalam penyusunan dan pelaksanaan sebuah pembelajaran dengan
pendekatan STM bahwa guru memiliki hambatan dalam penerapan pendekatan ini dan
menunjukkan kekhawatiran berupa concerns over (kekhawatiran), discomfort with
grouping (ketidaknyamanan dengan pengelompokan), uncertainties about evaluation
(ketidakpastian tentang evaluasi), and confusion over the teacher’s role (kebingungan
peran guru), waktu, biaya, kompetensi guru, dan komunikasi dengan stakeholder. Hasil-
hasil temuan tersebut akan berguna dalam menyelenggarakan program pengembangan
guru.
a. Concerns over (kekhawatiran)
Kekhawatiran terhadap konten dapat terjadi karena persentasi waktu yang rendah bagi
peran guru dalam transfer pengetahuan kepada anak. Guru lebih banyak berperan
dalam mengarahkan pengetahuan anak pada upaya penemuan masalah dan
konseptualisasi berdasarkan disiplin ilmu. Penanaman konsep lebih banyak dilakukan
pada momen-momen tertentu secara tepat, sehingga memiliki tingkat retensi yang
lebih lama.
b. Discomfort with grouping (ketidaknyamanan dengan pengelompokan)
Bagi sekolah dengan populasi siswa yang tinggi dalam kelas, dapat menjadi masalah
tersendiri bagi guru. Jika kelompok yang dibentuk dalam kelas banyak, guru akan
kewalahan dalam pendampingan kelompok dan pembimbingan kajian masalah.
Sedangkan ketika kelompok dikurangi (populasi dalam kelompok tinggi)
konsekuensinya dapat terjadi peran yang tidak efektif bagi anak. Sehingga
penggunaan pendekatan STM, harus dirancang untuk melibatkan pihak lain dalam
proses pembelajaran.
c. Confusion over the teacher’s role (kebingungan peran guru),
Kompetensi guru sangat penting dalam pembelajaran STM, terutama dalam
penguasaan materi inti, problem solving dan hubungan interpersonal. Umumnya guru
belum memiliki pengetahuan yang baik tentang pendekatan STM sehingga penerapan
pendekatan ini masih sangat jarang ditemukan. Selain itu, paradigma guru dalam
menginterpretasikan dan mengembangkan kurikulum, masih berbasis konten sehingga
guru merasa dituntut untuk menyampaikan materi tepat pada waktunya dan lupa
berinovasi dalam pembelajaran (Aisyah, 2007).
d. Waktu, biaya, kompetensi guru, dan komunikasi dengan stakeholder (orang tua,
masyarakat, dan birokrat).
Waktu merupakan faktor penting untuk menentukan materi-materi apa yang
akan diajarkan pada siswa. Pelaksanaan seluruh fase pembelajaran pada konten
tertentu, kadang-kadang membutuhkan waktu yang panjang sehingga memerlukan
analisa yang baik untuk memilih dan mengalokasikan waktu untuk implementasinya.
Siswa membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mengumpulkan data dari
narasumber secara mendetail. Oleh karena itu, siswa harus kerjasama dengan baik
antar anggota kelompok agar data yang diperoleh dapat maksimal. Beberapa sekolah
memilih waktu di sore hari atau jalur ekstrakurikuler untuk penerapan STM agar tidak
terganggu dengan aktivitas belajar yang lain. Bahkan, gelar kasus (show case) yang
dilanjutkan dengan refleksi diri, biasanya dilaksanakan pada akhir semester (Aisyah,
2007).
Biaya merupakan faktor yang penting dalam implementasi STM. Biaya
dibutuhkan untuk mendukung pelaksanaan pembelajaran dengan pendekatan STM
dari mulai identifikasi masalah, sampai pelaksanaan gelar kasus (show case).
Umumnya, pihak sekolah belum mengalokasikan biaya untuk kegiatan pembelajaran
STM. Oleh karena itu, pihak sekolah khususnya hendaknya memberi dorongan moril
maupun materil untuk terselenggaranya penerapan STM ini. Dalam hal dorongan
materil, dapat dirintis pembiayaan penerapan metode ini secara swadaya (Aisyah,
2007).
Menurut Aisyah (2007), hambatan lain dalam penerapan pendekatan ini adalah
siswa belum terbiasa untuk berpikir kritis dan belajar mengambil pengalaman di
lapangan, sehingga dibutuhkan kesabaran dan ketekunan guru untuk mengarahkan
dan membimbing siswa dalam pembelajaran. Untuk menerapkan pendekatan ini,
peranan guru dimulai dari perencanaan pengajaran, pengelola pengajaran, penilai
hasil belajar, motivator dan pembimbing. Pendekatan STM menuntut kompetensi
pedagogik, kompetensi professional, kompetensi sosial dan kompetensi kepribadian
yang baik.
Kerja sama antara sekolah dengan lembaga-lembaga terkait diperlukan pada saat
siswa merencanakan untuk mengunjungi lembaga tertentu atau meninjau kawasan
yang menjadi tanggung jawab lembaga tertentu. Misalnya mengunjungi rumah sakit
daerah, observasi pada pabrik produk bahan makanan dan sebagainya. Untuk
kelancaran kegiatan, anak perlu dibekali surat pengantar dari sekolah, atau sekolah
melakukan pemrosesan izin ke lembaga yang terkait sebelum kegiatan dilaksanakan.
Selain itu, komunikasi dengan orang tua perlu diintensifkan. Orang tua perlu diberi
pemahaman sehingga seluruh aktivitas anak yang menyita waktu dapat dimaklumi
atau mendapat support dari orang tua (Aisyah, 2007).
10. Hubungan Antara Model Pembelajaran STM dengan LIFE SKILL
Kecakapan hidup diperkenalkan pada masyarakat bersamaan dengan pelaksanaan
kurikulum 2004 sehingga seolah-olah pendekatan ini baru dalam pelaksanaannya, padahal
telah ada sebelumnya.
Di dalam model pembelajaran STM ada suatu metode yang mendukung life skill
yaitu metode proyek. Metode ini telah dikembangkan sejak tahun 70an yang melatih
siswa untuk kreatif dalam memilih, merancang, dan memanipulasi alat untuk
menghasilkan suatu produk yang berkaitan dengan konsep-konsep yang telah diberikan
pada siswa.
Disebutkan dalam model pembelajaran STM bahwa semua individu mempunyai
kalbu dan ratio yang merupakan dasar untuk melakukan suatu sikap tindakan nyata. Yang
dimaksud dengan tindakan nyata adalah harapan akan terbentuknya kecakapan hidup
siswa setelah diberikan suatu pembelajaran dengan menggunakan model STM.
Kesimpulan
1. Pendekatan STM pada hakekatnya dimaksudkan untuk menjembatani kesenjangan antara
kemajuan iptek, membanjirnya informasi ilmiah dalam dunia pendidikan, dan nilai-nilai
iptek itu sendiri dalam kehidupan siswa sehari-hari sebagai anggota masyarakat.
2. Implementasi pendekatan STM, dapat dilakukan melalui empat fase yaitu invitasi,
eksplorasi, mengusulkan penjelasan dan solusi, dan mengambil tindakan.
3. Problematika dalam penerapan pendekatan dapat berupa concerns over (kekhawatiran),
discomfort with grouping (ketidaknyamanan dengan pengelompokan), uncertainties
about evaluation (ketidakpastian tentang evaluasi), and confusion over the teacher’s role
(kebingungan peran guru), waktu, biaya, kompetensi guru, dan komunikasi dengan
stakeholder.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.sarjanaku.com/2011/03/pendekatan-stm-sains-teknologi.html http://biologipedia.blogspot.com/2010/05/stm.html
Makalah Pendidikan Disampaikan dalam Perkuliahan Pengembangan Bahan Ajar Biologi
Sekolah Lanjutan di Sekolah Pascasarjana UPI Tahun 2007