stereotip gender di perpustakaan - uinsu

13
JIPI (Jurnal Ilmu Perpustakaan dan Informasi) Vol. 4 No. 1 Tahun 2019 ISSN (online): 2528-021X 18 STEREOTIP GENDER DI PERPUSTAKAAN Mulyadi Mahasiswa Program Doktor Ilmu Perpustakaan dan Informasi (IPII) Sunan Kalijaga dan Dosen Ilmu Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Raden Fatah Palembang E-mail: [email protected] Abstrak Konsep gender di perpustakaan merupakan konsep penting yang perlu dipahami dalam rangka membahas masalah kaum perempuan atau pustakawan perempuan yang ada di perpustakaan. Pemahaman ini sangatlah diperlukan dalam melakukan analisis untuk memahami persoalan- persoalan ketidakadilan sosial yang menimpa kaum perempuan di perpustakaan. Sehingga kita tidak lagi mengartikan gender sebagai seks (jenis kelamin) melainkan sebagai suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural. Penyebab ketidak adilan terhadap pustakawan perempuan adalah pemahaman tentang Stereotip yaitu konsepsi mengenai sifat suatu golongan berdasarkan berasarkan prasangka yang subjektif dan tidak tepat atau dalam bahasa sehari hari dikenal dengan pelabelan. Teori feminis exixtentialist Simone De Beauvoir biasa menganalisis keberadaan pustakawan perempuan di perpustakaan. Pustakawan perempuan sebagai internalisasi liyan Stereotip, ternyata pustakawan perempuan tidak bebas memilih yang berikutnya dan jalannya dirinya sendiri. Sementara itu kita juga sepakat bahwa tidak semua pustakawan perempuan menjadi liyan, beberapa wanita memiliki Kesadaran dirinya dan pentingnya pekerjaannya sebagai pustakawan perempuan. Keywords : Gender, stereotip, Library, Librarian. Abstract The gender concept in the library is an important concept that needs to be understood within the framework of discussing the issue of women or librarians in libraries. This understanding is needed in conducting an analysis to understand the problems of social injustice affecting women in libraries. We no longer interpret gender as sex (sex) as attributes to men and women who are socially and culturally constructed. The cause of injustice against female librarians is the notion of Stereotype that is the conception of the nature of a group based on subjective prejudices that are subjective and inappropriateness or in ordinary language known as labeling. Exixtentialist feminist theory Simone De Beauvoir used to analyze the guidance of female librarians in libraries. The female librarian as an internalization of the Stereotypes, it turns out that the female librarian is not free to choose the next and her own way. In the meantime we are not all librarian librarians, some women have Awareness of themselves and their duties as female librarians. Keywords: Gender, stereotypes, Library, Librarian. PENDAHULUAN Pustakawan adalah seseorang yang memiliki kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan dan/atau pelatihan kepustakawanan serta mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk melaksanakan pengelolaan dan pelayanan perpustakaan (UU Nomor 43, 2007:3). Profesi pustakawan telah banyak diminati oleh sebagian masyarakat dan seringkali yang mengisi profesi pustakawan lebih banyak perempuan daripada laki-laki, karena berhubungan dengan masyarakat dan pelayanan. Pustakawan sebagai sumber daya manusia dalam

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: STEREOTIP GENDER DI PERPUSTAKAAN - UINSU

JIPI (Jurnal Ilmu Perpustakaan dan Informasi) Vol. 4 No. 1 Tahun 2019

ISSN (online): 2528-021X

18

STEREOTIP GENDER DI PERPUSTAKAAN

Mulyadi

Mahasiswa Program Doktor Ilmu Perpustakaan dan Informasi (IPII) Sunan Kalijaga dan Dosen Ilmu

Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Raden Fatah Palembang E-mail: [email protected]

Abstrak

Konsep gender di perpustakaan merupakan konsep penting yang perlu dipahami dalam rangka

membahas masalah kaum perempuan atau pustakawan perempuan yang ada di perpustakaan.

Pemahaman ini sangatlah diperlukan dalam melakukan analisis untuk memahami persoalan-

persoalan ketidakadilan sosial yang menimpa kaum perempuan di perpustakaan. Sehingga kita

tidak lagi mengartikan gender sebagai seks (jenis kelamin) melainkan sebagai suatu sifat yang

melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural.

Penyebab ketidak adilan terhadap pustakawan perempuan adalah pemahaman tentang Stereotip yaitu konsepsi mengenai sifat suatu golongan berdasarkan berasarkan prasangka yang subjektif

dan tidak tepat atau dalam bahasa sehari hari dikenal dengan pelabelan. Teori feminis exixtentialist

Simone De Beauvoir biasa menganalisis keberadaan pustakawan perempuan di perpustakaan.

Pustakawan perempuan sebagai internalisasi liyan Stereotip, ternyata pustakawan perempuan tidak

bebas memilih yang berikutnya dan jalannya dirinya sendiri. Sementara itu kita juga sepakat

bahwa tidak semua pustakawan perempuan menjadi liyan, beberapa wanita memiliki Kesadaran

dirinya dan pentingnya pekerjaannya sebagai pustakawan perempuan.

Keywords : Gender, stereotip, Library, Librarian.

Abstract

The gender concept in the library is an important concept that needs to be understood within the

framework of discussing the issue of women or librarians in libraries. This understanding is

needed in conducting an analysis to understand the problems of social injustice affecting women in

libraries. We no longer interpret gender as sex (sex) as attributes to men and women who are

socially and culturally constructed. The cause of injustice against female librarians is the notion of Stereotype that is the conception of the nature of a group based on subjective prejudices that are

subjective and inappropriateness or in ordinary language known as labeling. Exixtentialist feminist

theory Simone De Beauvoir used to analyze the guidance of female librarians in libraries. The

female librarian as an internalization of the Stereotypes, it turns out that the female librarian is not

free to choose the next and her own way. In the meantime we are not all librarian librarians, some

women have Awareness of themselves and their duties as female librarians.

Keywords: Gender, stereotypes, Library, Librarian.

PENDAHULUAN

Pustakawan adalah seseorang yang memiliki kompetensi yang diperoleh melalui

pendidikan dan/atau pelatihan kepustakawanan serta mempunyai tugas dan tanggung jawab

untuk melaksanakan pengelolaan dan pelayanan perpustakaan (UU Nomor 43, 2007:3).

Profesi pustakawan telah banyak diminati oleh sebagian masyarakat dan seringkali yang

mengisi profesi pustakawan lebih banyak perempuan daripada laki-laki, karena berhubungan

dengan masyarakat dan pelayanan. Pustakawan sebagai sumber daya manusia dalam

Page 2: STEREOTIP GENDER DI PERPUSTAKAAN - UINSU

JIPI (Jurnal Ilmu Perpustakaan dan Informasi) Vol. 4 No. 1 Tahun 2019

ISSN (online): 2528-021X

19

perpustakaan dituntut untuk mampu menyediakan layanan untuk memenuhi kebutuhan

masyarakat.

Berbicara mengenai pustakawan perempuan di perpustakaan maka terkait dengan

istilah gender khususnya di perustakaan. Secara bahasa gender diartikan sebagai jenis

kelamin (Hasan Shadily dkk., 1995:265). Kata gender dalam kamus bahasa Inggris di artikan

: “Clasification of a noun or pronoun as masculine or feminine; sexual classification; sex; the

male and female genders”. Diartikan gender merupakan klasifikasi benda atau kata ganti

benda sebagai maskulin ataum feminim, klasifikasi seksual, sek, gender laki-laki dan gender

perempuan (A.S. Hornby, 1989:512). Namun istilah gender juga dibedakan dengan istilah

jenis kelamin (seks). Gender adalah dimensi sosiokultural dan psikologis dari pria dan

wanita, sedang seks berhubungan dengan dimensi biologis pria dan wanita. Gender masih

diartikan oleh masyarakat sebagai perbedaan jenis kelamin. Masyarakat belum memahami

bahwa gender adalah suatu konstruksi budaya tentang peran fungsi dan tanggung jawab sosial

antara laki-laki dan perempuan di perpustakaan. Kondisi demikian mengakibatkan

kesenjangan peran sosial dan tanggung jawab sehingga terjadi diskriminasi, terhadap laki-laki

dan perempuan. Hanya saja bila dibandingkan, diskriminasi terhadap perempuan kurang

menguntungkan dibandingkan laki-laki.

Penyebab ketidakadilan terhadap pustakawan perempuan karena masyarakat sudah

memberikan kesimpulan bahwa perempuan memiliki pisik dan pemikiran yang lemah di

banding dengan laki-laki atau dengan kata lain masyarakat sudah memberikan pelabelan yang

kita kenal dengan stereotip. Stereotip merupakan pendapat mengenai suatu aspek kenyataan

yang telah dibentuk sebelumnya, khususnya mengenai manusia dan kelompok-kelompok

sosial berupa prasangka yang terlalu sederhana terhadap kelompok tertentu (Dali, 1982:282).

Sehingga dapat disimpulkan bahwa stereotipe itu sendiri adalah pelabelan yang diawali

dengan proses persepsi terhadap objek persepsi mengenai berbagai macam ciri dan sifat-sifat

personal yang melekat (seakan permanen) pada sekelompok orang. Kita sering mempunyai

stereotip (pelabelan) atau memberikan anggapan kepada orang Madura, Makasar, dan

sebagian suku bangsa sebagai orang yang keras dan kasar perilakunya, sedang orang Jawa

dan sebagian suku bangsa lain sebagai orang yang halus, lembut dan lain sebagainya.

Barangkali saja perilaku yang sudah di-judment-kan kepada mereka tersebut merupakan hasil

dari self fulfilling prophecies (peramalan diri) terhadap stereotipe yang sudah terbentuk

sebelumnya.

Page 3: STEREOTIP GENDER DI PERPUSTAKAAN - UINSU

JIPI (Jurnal Ilmu Perpustakaan dan Informasi) Vol. 4 No. 1 Tahun 2019

ISSN (online): 2528-021X

20

Penomena stereotip juga masuk ke perpustakaan karena terjadi perbedaan dalam

banyak hal terkait dengan pustakawan laki-laki dan pustakawan perempuan. Sesungguhnya

perbedaan gender dengan pemilahan sifat, peran, dan posisi tidak menjadi masalah sepanjang

tidak melahirkan ketidakadilan. Namun pada kenyataannya perbedaan gender telah

melahirkan berbagai ketidak adilan bagi kaum perempuan. Berbagai pembedaan peran,

fungsi, tugas dan tanggung jawab serta kedudukan antara laki-laki dan perempuan di

perpustakaan baik secara langsung maupun tidak langsung, dan dampak suatu peraturan

perundang-undangan maupun kebijakan telah menimbulkan berbagai ketidakadilan karena

telah berakar dalam adat, norma ataupun struktur masyarakat.

Ketidakadilan dan diskriminasi gender merupakan sistem dan struktur dimana baik

perempuan maupun laki-laki menjadi korban dalam sistem tersebut. Berbagai pembedaan

peran dan kedudukan antara perempuan dan laki-laki baik secara langsung yang berupa

perlakuan maupun sikap, dan yang tidak langsung berupa dampak suatu peraturan perundang-

undangan maupun kebijakan telah menimbulkan berbagai ketidakadilan. Ketidakadilan

gender terjadi karena adanya keyakinan dan pembenaran yang ditanamkan sepanjang

peradaban manusia dalam berbagai bentuk yang bukan hanya menimpa perempuan saja tetapi

juga dialami oleh laki-laki. Ketidakadilan gender merupakan bentuk perbedaan perlakuan

berdasarkan alasan gender, seperti pembatasan peran, penyingkiran atau pilih kasih yang

mengakibatkan terjadinya pelanggaran atas pengakuan hak asasinya, persamaan antara laki-

laki dan perempuan, maupun hak dasar di perpustakaan. Ketidakadilan gender ini dapat

bersifat : Langsung, yaitu pembedaan perlakuan secara terbuka dan berlangsung, baik

disebabkan perilaku/sikap, norma/nilai, maupun aturan yang berlaku. Tidak langsung, seperti

peraturan sama, tapi pelaksanaannya menguntungkan jenis kelamin tertentu. Sistemik, yaitu

ketidakadilan yang berakar dalam sejarah, norma atau struktur masyarakat yang mewariskan

keadaan yang bersifat membedabedakan.

Stereotif yang meyatakan bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah berbanding

terbalik dengan kenyataan bahwa tidak sedikit profil perempuan-perempuan yang kuat,

rasional dan bahkan memiliki kapasitas kepemimpinan yang tinggi (Inayah, 2017:11). Inilah

yang akan menjadi permasalahan dalam makalah ini bahwa mengapa di perpustakaan sering

terjadi perlakuan yang tidak sama oleh penentu kebijakan terhadap pustakawan perempuan,

baik di perpustakaan daerah maupun sekolah sampai perguruan tinggi. Mungkinkah

penomena ini akan terus berlangsung ataukah di masa mendatang para pustakawan

Page 4: STEREOTIP GENDER DI PERPUSTAKAAN - UINSU

JIPI (Jurnal Ilmu Perpustakaan dan Informasi) Vol. 4 No. 1 Tahun 2019

ISSN (online): 2528-021X

21

perempuan bisa menunjukan bahwa sudah sa’atnya antara pustakawan laki-laki dan

perempuan berdiri sejajar dalam segala hal di dalam perpustakaan.

PEMBAHASAN

Pengertian Stereotip dan Gender.

Kata stereotip berasal dari gabungan dua kata Yunani, yaitu stereos yag berarti padat-

kaku dan typos yang bermakna model (Schneider, 2004:14). Stereotip adalah citra mental

yang distandarisasi, pelabelan yang generalisasi yang dipegang oleh kelompok-kelompok

sosial berdasarkan sikap prasangka atau kurangnya penilaian kritis (Inayah, 2017:24).

Pelabelan yang di standarisasi biasanya merugikan, yang dilekatkan pada kelompok tertentu

dalam hal ini perempuan sehingga perempuan mendapat citra negatif.

Stereotip memiliki tiga macam karakteristik: Pengkategorisasian atau pengelompokkan

orang ke dalam ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu yang bersifat relasional-perseptual, konsensus

terhadap ciri atau sifat-sifat relasional-perseptual tersebut, dan adanya perbedaan atau

ketidakcocokan antara ciri atau sifat-sifat relasional-perseptual dengan sifat atau ciri-ciri

aktual. Oleh karena itu stereotipe juga diartikan sebuah rangkaian kepercayaan yang

terstruktur mengenai berbagai macam ciri atau sifat-sifat personal dari sekelompok orang.

Stereotip tersebut adalah hasil generalisasi dari person per person, bukan perilaku

kumulatif yang ada pada sebuah komunitas tertentu, namun karena pelabelan tersebut

akhirnya masing-masing individu akan melakukan self fulfilling prophecies, melakukan

pembenaran apa yang telah di sangkakan terhadap mereka, sehingga terlihat jelas ciri khas

perilaku kumulatif tersebut pada tahap selanjutnya. Banyak efek yang diakibatkan oleh

adanya stereotip. Akibat perilaku stereotip memunculkan apa yang disebut dengan

marginalisasi. Marginalisasi adalah proses peminggiran yang merugikan salah satu pihak dan

biasanya perempuan sebagai pihak yang interior dan tersubordir. Marginalisasi perempuan

bisa bersumber atau terjadi pada wilayah Negara, keyakinan, masyarakat, agama (institusi

dan tafsir agama), tempat kerja, keluarga atau diri sendiri (Fakih, 1996:14-15). Hasil studi

yang dilakukan oleh beberapa psikolog Barat, dapat disimpulkan bahwa efek dari stereotipe

antara lain adalah diskriminasi kelompok minoritas dan lemah. Sebagai contoh adalah adanya

diskriminasi yang dilakukan oleh kelompok kulit putih yang mayoritas, terhadap kelompok

kulit hitam yang minoritas di negara Barat. Diawali dengan stereotipe (pelabelan) negatif dari

kelompok yang mayoritas terhadap kelompok yang minoritas, selanjutnya berpengaruh pada

sikap mereka, dan akhirnya diimplementasikan secara nyata dalam perilaku agresif, dan

menyerang terhadap kelompok lawannya tersebut. Apa yang terjadi setelah itu? Jawabnya

Page 5: STEREOTIP GENDER DI PERPUSTAKAAN - UINSU

JIPI (Jurnal Ilmu Perpustakaan dan Informasi) Vol. 4 No. 1 Tahun 2019

ISSN (online): 2528-021X

22

tidak lain adalah perlawanan terhadap kelompok tertindas terhadap yang menindas, maka tak

terelakan pula terjadinya peperangan.

Sedangkan konsep gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan

perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun cultural. Misalnya, bahwa perempuan

dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sementara lakilaki dianggap kuat,

rasional, jantan, perkasa. Ciri dan sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat

dipertukarkan. Artinya ada laki-laki yang emosional, lemah lembut, keibuan, sementara juga

ada perempuan yang kuat, rasional dan perkasa (Fakih, 1996:6-7). Dengan mengenali

perbedaan gender sebagai sesuatu yang tidak tetap memudahkan kita untuk membangun

gambaran tentang realitas relasi laki-laki dan perempuan yang dinamis, yang lebih tepat dan

cocok dengan kenyataan yang ada dalam masyarakat. Hubungan gender adalah hubungan

sosial antara laki-laki dan perempuan yang bersifat saling membantu atau sebaliknya, serta

memiliki banyak perbedaan dan ketidaksetaraan. Hubungan gender berbeda dari waktu ke

waktu dan antara masyarakat satu dengan masyarakat yang lain akibat perbedaan suku,

agama, status sosial maupun nilai (tradisi dan norma yang dianut). Perbedaan konsep gender

secara sosial telah melahirkan perbedaan peran perempuan dan laki-laki dalam

masyarakatnya. Secara umum adanya gender telah melahirkan perbedaan peran, tanggung

jawab, fungsi dan bahkan ruang tempat dimana manusia beraktivitas.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa stereotipe gender adalah gambaran-gambaran yang

ada dalam pikiran seseorang mengenai sifat khas dari karakteristik psikologis antara pria dan

wanita secara sosial budaya. Atau bisa juga diartikan bahwa stereotip gender adalah proses

menggeneralisasikan keseluruhan kelas dari suatu fenomena berdasarkan sedikit pengetahuan

yang di dapat dari anggota kelas tersebut. Jika kita bisa menghilangkan stereotip gender di

perpustakaan maka akan muncul kesetaraan gender berarti kesamaan kondisi bagi laki-laki

dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar

mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya,

pendidikan dan pertahanan keamanan nasional (Hamkamnas), serta kesamaan dalam

menikmati hasil pembangunan tersebut. Kesetaraan gender juga meliputi penghapusan

diskriminasi dan ketidakadilan struktural baik terhadap laki-laki maupun perempuan

Stereotip Peran Gender di perpustakaan

Setelah mengetahui tentang stereotipe secara umum, maka tidak lepas pula peran

gender sering dijadikan sebagai salah satu pokok dalam pembahasan stereotip gender yang

merupakan ekspektasi sosial yang merumuskan bagaimana pria dan wanita seharusnya

Page 6: STEREOTIP GENDER DI PERPUSTAKAAN - UINSU

JIPI (Jurnal Ilmu Perpustakaan dan Informasi) Vol. 4 No. 1 Tahun 2019

ISSN (online): 2528-021X

23

berpikir, merasa, dan berbuat, adalah produk dari stereotipe. Stereotip secara kultural

menentukan gambaran yang mendistorsi bagian kognitif individu dan persepinya tentang

dunia atas realitas (Sunarto, 2009:237). Oleh karenanya apa yang hendak ditampilkan atau

dibangun oleh media mengenai stereotip tertentu memiliki pengaruh yang besar dalam

masyarakat. Masyarakat akan cenderung menganggap benar apa yang dikonstruksi oleh

media.

Seperti yang telah di jelaskan bahwa stereotipe merupakan pelabelan yang diawali

dengan proses persepsi terhadap objek persepsi mengenai berbagai macam ciri dan sifat-sifat

personal yang melekat (seakan permanen) pada sekelompok orang. Maka peran gender

merupakan hasil pelabelan yang akhirnya menjadi ekspektasi (harapan) sosial, dan sangat

sulit untuk diadakan perubahan konsep karena sudah menjadi stereotipe. Gender sendiri

merupakan pelabelan atas laki-laki dan perempuan. Kontruksi ini tidak lagi membedakan

laki-laki dan perempuan atas perbedaan seks yang dimiliki. Dasar sosialisasi ini secara kuat

telah membentuk ideologi gender, melalui kontruksi sosial yang melembaga. Misalnya,

perempuan dikenal lemah lembut, cantik, emosional dan keibuan. Sementara laki-laki

dianggap kuat, rasional, perkasa, dan jantan.

Stereotip adalah bentuk ketidakadilan. Secara umum stereotip merupakan pelabelan

atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu, dan biasanya pelabelan selalu berakibat

pada ketidakadian, sehingga dinamakan stereotip negatif. Hal ini disebabkan pelabelan yang

sudah melekat pada laki-laki, misalnya laki-laki adalah manusia yang kuat, rasional, jantan,

perkasa. Sedangkan perempuan adalah makhluk yang lembut cantik, emosional atau keibuan

(Trisakti dkk., 2009:16-17). Streotip gender adalah kategori luas yang merefleksikan kesan

dan keyakinan tentang perilaku laki-laki dan perempuan. Semua streotip baik berhubungan

dengan gender, etnis atau kategori lain mengacu pada citra anggota tersebut. Banyak streotip

yang muncul dan bersifat umum sehingga menjadi ambigu, misalkan kategori maskulin dan

feminin.

Stereotip gender mencegah perempuan mendapatkan pekerjaan-pekerjaan tertentu,

mencegah promosi tertentuk untuk perempuan serta menghambat perempuan mendapatkan

upah yang sama dalam pekerjaannya. Adanya streotip tersebut tentu saja akan muncul

banyak streotip yang dikontruksi oleh masyarakat sebagai hasil hbungan sosial tentang

perbedaan laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu perempuan identik dengan pekerjaan-

pekerjaan dirumah, maka peluang perempuan untuk bekerja di luar rumah sangat terbatas,

bahkan ada perempuan yang berpendidikan tinggi tidak pernah menerapkan pendidikannya

Page 7: STEREOTIP GENDER DI PERPUSTAKAAN - UINSU

JIPI (Jurnal Ilmu Perpustakaan dan Informasi) Vol. 4 No. 1 Tahun 2019

ISSN (online): 2528-021X

24

untuk mengaktualisasikan diri. Akibat adanya streotip (pelabelan) banyak tindakan-tindakan

yang seolah-olah sudah merupakan kodrat.

Simone de Beaviour adalah tokoh dari feminis eksistensialisme. Beauvoir menganalisis

situasi perempuan pada begitu banyak ranah (sastra, agama, politik, kerja, pendidikan) yang

berbeda dan tidak memiliki sumber historis yang sebanding. Beauvoir memberikan

sumbangsih pemikiran feminis tentang keliyanan perempuan (Rosemarie, 2004:253-254).

liyan adalah perempuan yang tidak dapat menggariskan hidupnya sendiri, tidak bebas

memilih sesuai dengan keinginannya ,cenderung diarahkan dan terstreotip oleh keluarga

maupun lingkungan untuk bekerja di perpustakaan sebagai pustakawan atau staf

perpustakaan. Transendensi keliyanan menjadi diri dilakukan bukan dengan cara yang mudah

tetapi penuh perjuangan. Perempuan sebagai diri terus menemukan arti hidupnya dengan cara

melakukan perjuangan untuk mencari jatidiri menemukan makna dalam profesinya. Setelah

menemukan arti dirinya dan kesadaran makna dirinya ia akan secara tulus menjalankan

peranan profesinya.

Perempuan dikontruksikan sebagai makhluk yang perlu dilindungi, kurang mandiri,

tidak rasional, hanya mengandalkan perasaan, dan lain-lain. Konsekuensinya, muncul

batasan-batasan yang menempatkan perempuan pada ruang penuh dengan aturan baku yang

perlu dijalankan. Padahal, banyak sisi positif dari perempuan yang membedakannya dengan

laki-laki dan jarang diekspos. Yaitu watak dan karakter. Seperti kemampuan pengendalian

diri, kekuatan emosi, kepekaan sosial. Konsep pembakuan peran gender yang mengotak-

kotakkan peran laki-laki atau suami dan perempuan atau istri ini hanya memungkinkan

perempuan berperan di wilayah domestik yakni sebagai pengurus rumah tangga sementara

laki-laki di wilayah publik sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah utama.

Kata kunci untuk memahami gender ada pada kata pembagian, yang dapat dibedakan

pada dua sifat, yaitu : Pembagian yang sifatnya kodrati dan pembagian yang bersifatnya

berubah-rubah sehingga dapat dipertukarkan. Pembagian yang pertama merupakan

pemberian Tuhan yang tidak dapat dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan dinamakan

sebagai pembagian seksual. Sedangkan pembagian peran, sifat dan watak serta

tanggungjawab yang dapat dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan itulah yang

dinamakan gender. Dari pembagian itulah kemudian muncul perbedaan gender. Oleh karena

itu, gender sesungguhnya berkaitan erat dengan proses keyakinan bagaimana seharusnya laki-

laki dan perempuan diharapkan untuk berfikir dan bertindak sesuai dengan ketentuan sosial

dan budaya dimana mereka berada. Menurut Simone De Beauvoir kebebasan yang diberikan

Page 8: STEREOTIP GENDER DI PERPUSTAKAAN - UINSU

JIPI (Jurnal Ilmu Perpustakaan dan Informasi) Vol. 4 No. 1 Tahun 2019

ISSN (online): 2528-021X

25

kepada perempuan haruslah kebebasan yang sama diberikan kepada laki-laki. Kebebasan

yang sejati adalah kebebasan yang didasarkan pada kesadaran dalam diri sendiri (Riyanto,

2011:110). Berdasarkan keyakinan itulah masyarakat membedakan peran dan fungsi gender

sesuai dengan kebutuhannya. Demikian bahwa stereotip peran gender juga merupakan

kategori luas yang merefleksikan kesan dan keyakinan tentang apa perilaku yang tepat untuk

pria dan wanita.

Ideologi Stereotif Gender, Partriarki dan Agama di Perpustakaan

Adanya stereotip yang telah melekat pada pustakawan perempuan melahirkan patriarki.

Pelabelan, ciri, sifat perempuan dan laki-laki akan melahirkan perbedaan dalam segala hal di

perpustakaan. dibedabedakan tersebut diatas, dipengaruhi beberapa faktor. Sebagian

memandang karena faktor biologis, dan sebagian yang lain menekankan pada faktor sosial

atau kognitif. Dalam konteks keagamaan, karena yang dikembangkan oleh kaum laki-laki,

maka dalam prakteknya pemahaman agama memberik keistimewaan terhadap kaum laki-laki

dan pengalamannya dibanding kaum perempuan di perpustakaan.

Memang para di ahli tafsir bersepakat bahwa kodrat perempuan di hadapan Allah sama

dengan laki-laki yang membedakannya adalah kadar ketaqwaannya. Dasar normative tentang

kesetaraan ini biasanya merujuk pada Q.S. Al-Hujarat : 13 yang berbunyi :

أتقاكم يا أيها النهاس إنها خلقناكم من ذكر وأنثى وجعلناكم شعوبا وقبائل لتعارفوا إنه أك رمكم عند الله

عليم خبيرالحجرات إنه الله

Artinya : “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan

seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku

supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia

diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.

Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Tetapi dalam prakteknya tetap saja mengutamakan kaum laki-laki. Sebagaimana yang

dicontohkan dalam ayat Al-Qur’an lainnya :

1. Tentang laki-laki setingkat lebih tinggi di surat Al-Baqarah : 228

فى ثة قروء ول يحل لهنه أن يكتمن ما خلق ٱلله ت يتربهصن بأنفسهنه ثل أرحامهنه إن كنه يؤمنه وٱلمطلهق

وٱليوم ٱلءاخر وبعولتهنه أ حا ولهنه مثل ٱلهذى عليهنه بٱلمعروف بٱلله لك إن أرادوا إصل هنه فى ذ حق برد

عزيز حكيم جال عليهنه درجة وٱلله وللر

Artinya : “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru

Tidak boleh mereka mehnyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam

rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-

suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para

suami) itu menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang

Page 9: STEREOTIP GENDER DI PERPUSTAKAAN - UINSU

JIPI (Jurnal Ilmu Perpustakaan dan Informasi) Vol. 4 No. 1 Tahun 2019

ISSN (online): 2528-021X

26

seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para

suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha

Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (Al-Baqarah : 228)

2. Laki-laki pelindung perempuan di suran An-Nisa : 34

بعضهم عل ل الله امون على الن ساء بما فضه جال قوه ال ا من أموالهم بما أنفقوعض و ى ب الر حات فالصه

تي تخافون قانتات حافظات للغيب بما حفظ الله اهجروهنه في المضاجع وهنه و فعظ زهنه نشو والله

إنه فإن أطعنكم فل تبغوا عليهنه سبيل واضربوهنه ﴾٣٤﴿النساء: يران عليا كب كا الله

Artinya : “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah

melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita),

dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.

Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi

memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara

(mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah

mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka.

Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan

untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (

QS. An-Nisa : 34

3. Laki-laki mendapat warisan lebih banyak di surat An- Nisa ayat : 11.

رك وإن كانت في أولدكم للذهكر مثل حظ النثيين فإن كنه نساء فوق اثنتين فلهنه ثلثا ما ت يوصيكم الله

ا ترك إن كان له و لد فإن لم يكن له ولد وورثه واحدة فلها الن صف ولبويه لكل واحد منهما السدس ممه

ه السدس من بعد وصيهة يوصي بها أو دي ه الثلث فإن كان له إخوة فلم ن آباؤكم وأبناؤكم ل أبواه فلم

كان عليما حكيماتدرون أيهم أقرب لكم نفعا فريض إنه الله ة من الله )

Artinya : “Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu.

Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak

perempuan]; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi

mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu

seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-

bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika

yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak

mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya

mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara,

maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas)

sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya.

(Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di

antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah

ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha

Bijaksana.” (QS. An-Nisa : 11).

Berbagai dasar dari sudut pandang agama inilah pada akhirnya masih saja akibat dari

stereotip melahirkan patriarki di perpustakaan. Perempuan merupakan sebuah konsep

derifatif yang keberadaanya hanyalah sebagai objek perhatian laki-laki. Perempuan secara

historis dan diskursif dibentuk dan selalu bersifat relative terhadap berbagai kategori yang

Page 10: STEREOTIP GENDER DI PERPUSTAKAAN - UINSU

JIPI (Jurnal Ilmu Perpustakaan dan Informasi) Vol. 4 No. 1 Tahun 2019

ISSN (online): 2528-021X

27

berubah, perempuan adalah sebuah kolektifitas yang mudah berubah dimana para perempuan

dapat diposisikan secara sangat berbeda (Castelli, 2001:5). Hal ini juga terjadi pada

pustakawan perempuan yang ada di perpustakaan.

Pustakawan perempuan pada saat ini digambarkan sebagai manusia yang harus hidup

dalam situasi dilematis. Di satu sisi pustakawan perempuan dituntut untukberperan dalam

semua sektor, tetapi di sisi lain muncul pula tuntutan lain agar pustakawan perempuan tidak

melupakan kodrat mereka sebagai perempuan. Contohnya situasi tersebut dialami oleh

pustakawan perempuan di perpustakaan yang berkarir. Di satu sisi perempuan karir merasa

terpanggil untuk mendarmabaktikan bakat dan keahliannya bagi perkembangan perpustakaan,

namun di sisi lain mereka dihantui oleh opini yang ada dalam perpustakaan yang melihat

bahwa pustakawan perempuan sebagai salah satu sumber ketidakberhasilan apabila

menduduki jabatan di perpustakaan.

Sementara di perpustakaan yang tenaga pengelola diisi oleh pustakawan perempuan

dan laki-laki yang semuanya juga memiliki peranan dan kedudukan yang sama. Peranan

adalah konsep yang digunakan untuk mengetahui pola tingkah laku yang teratur dan relatif

bebas dari orang-orang tertentu yang kebetulan menduduki berbagai posisi dan menunjukkan

tingkah laku yang sesuai dengan tuntutan peranan yang dilakukannya (Blalock, 1987:19).

Berbicara mengenai peran perempuan dan laki-laki dalam masyarakat, maka tidak akan

terlepas dari sebuah dikotomi culture dan nature. Dimana hal tersebut menunjukkan

stratifikasi jenis kelamin tersebut melahirkan suatu ideology yang memisahkan sektor

kehidupan ke dalam dua domain, yaitu domestik dan publik. Ideologi tersebut menempatkan

perempuan pada sektor domestik dan laki-laki pada sektor public (Abdullah, 2001:106).

Ideologi tersebut dikiatkan oleh pranata dan lembaga sosial dalam masyarakat. Hal ini pada

akhirnya menjadi realitas sosial mengenai status dan peran yang harusdimainkan oleh

perempuan dan laki-laki.

Seorang pemimpin memegang peranan penting dalam sebuah struktur kepemimpinan.

Seorang pemimpin harus memenuhi persyaratan visi, semangat, karakter, integritas,

kapabilitas, energi, relasi, respon, otoritas, dan respek yang baik (Tikno, 2003:5-12). Tidak

mengherankan jika persyaratan atau ciri untuk menjadi seorang pemimpin akhirnya

mendominasi pandangan bahwa sosok yang lebih tepat untuk menjadi pemimpin adalah laki-

laki bukan perempuan. Pada era sekarang ini sudah mengalami pergeseran pandangan, bahwa

pemimpin masa depan yaitu dibutuhkan pemimpin berkualitas dengan paradigma baru.

Pemimpin masa depan bukan lagi pemimpin diangkat atas dasar kekuasaan, manipulasi,

Page 11: STEREOTIP GENDER DI PERPUSTAKAAN - UINSU

JIPI (Jurnal Ilmu Perpustakaan dan Informasi) Vol. 4 No. 1 Tahun 2019

ISSN (online): 2528-021X

28

pemaksaan kedudukan, asal usul maupun gender (Martha, 2002:16). Masyarakat masa depan

adalah masyarakat demokratis, didasari penghormatan dan pengakuan hak asasi manusia.

Terbukanya kesempatan bagi perempuan untuk berperan sebagai pemimpin, berarti membuka

juga peluang untuk perempuan dalam mengambil bagian dalam penentuan keputusan dan

kebijakan (Murniati, 2004:55). Begitu juga di perpustakaan selama ini, setiap kepala

perpustakaan sebagai pimpinan tertinggi hampir selalu dikaitkan dengan sifat laki-laki yang

maskulin sehingga hampir semua keputusan didominasi oleh kaum pria. Perempuan

sebenarnya juga mempunyai peran dalam pengambil keputusan, tetapi menduduki posisi

subordinat saja. Jadi, ketika kepala perpustakaan dipegang oleh seorang pustakawan

perempuan, maka kesempatan yang sama juga diberikan kepada perempuan untuk

menentukan keputusan demi terwujudnya tujuan organisasi, sehingga persamaan peran dan

fungsi kesetaraan gender dalam masyarakat dapat diaplikasikan secara baik.

PENUTUP

Simpulan

Diskriminasi gender telah melahirkan ketimpangan dalam kehidupan berkeluarga,

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, termasuk di perpustakaan. selain itu ketimpangan

lebih banyak dialami perempuan dari pada laki-laki. Perempuan dan laki-laki ketika

memasuki dunia pekerjaan membawa stereotip tersendiri kedalamnya. Perempuan

mengalami stereotip yang melekat pada diri perempuan ketika akan memasuki ranah publik,

tidak hanya disitu ketika mereka telah berada di ranah publik ada stereotip yang juga melekat

dan membuat mereka mengalami diskriminasi dalam bentuk pemisahan bidang kerja.

Bahkan dari segi pemahaman agama pun masih saja tidak ada keberpihakan terhadap

kaum perempuan. Secara keseluruhan derajat manusia ditentukan oleh kadar taqwanya, tetapi

dalam prakteknya banyak-ayat-ayat yang mengutamakan kaum laki-laki, seperti dalah hal

kedudukan, waris, pelindung dll.

Di perpustakaan memang terdapat pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin.

Perempuan cenderung mengisi pekerjaan pelayanan dan laki-laki ditempatkan pada pekerjaan

lapangan dan berhubungan dengan fisik yang kuat dan kecanggihan teknologi. Bagi

perempuan yang ingin berprofesi pustakawan. Jangan sampai memutuskan berprofesi sebagai

pustakawan karena paksaan terlebih karena terstreotip bahwa perpustakaan sesuai dengan

karakter perempuan. Sebenarnya banyak pekerjaan yang bisa dikerjakan oleh perempuan

tanpa melihat gender. Ketika perempuan memutuskan untuk bekerja sebagai pustakawan

Page 12: STEREOTIP GENDER DI PERPUSTAKAAN - UINSU

JIPI (Jurnal Ilmu Perpustakaan dan Informasi) Vol. 4 No. 1 Tahun 2019

ISSN (online): 2528-021X

29

harus berdasarkan kesadaran dirinya sendiri. Sehingga kualitaslah yang akan membuktikan

jika menjadi pustakawan karena kesadaran.

Pimpinan tertinggi di perpustakaan adalah di perpustakaan, selama ini di dominasi oleh

pustakawan laki-laki di masa yang akan datang siapapun bisa menduduki kepemimpinan

tersebut. Dan sedikit demi sedikit stereotif yang melahirkan patriarki di perpustakaan

berkurang, sesuai dengan kemampuan dan integritas tanpa melihat apakah dia laki-laki atau

perempuan, semuanya memiliki kedudukan dan hak yang sama.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Irwan. Sangkan Paran Gender. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.

Blalock, Hubert M. Jr. Pengantar Penelitian Sosial. Jakarta: Rajawali Press, 1987.

Castelli, Elizabet A. Women, Gender, Religion. New York: Palgrave, 2001.

Dali, Gulo. Kamus Psycology. Bandung: Tonis, 1982.

Echols, Jhons M, and Hasan Shadily. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: Gramedia, 1995.

Fakih, Mansour. Analisis Gender & Transformasi Sosial (Gender Analysis & Social

Transformation. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.

Fakih Mansour. Membincang Feminisme Biskursus Gender Perspektif Islam. Surabaya:

Risalah Gusti, 1996.

Hornby, A.S. Oxford Advanced Learnr’s Dictionary. Oxford: Oxford Univerity Press, 1989.

Inayah, Rohmaniyah. Gender Dan Kontruksi Patriarki Dalam Tafsir Agama. Yogyakarta:

Diandra Pustaka Indonesia, 2017.

Martha, Tilaar. Leadership Quotient : Perempuan Pemimpin Indonesia. Jakarta: Grasindo,

2002.

Murniati, A. Nunuk P. Getar Gender: Buku Kedua, Perempuan Indonesia Dalam Perspektif

Agama, Budaya Dan Keluarga. Magelang: Indonesiatera, 2004.

RI, Perpustakaan Nasional. UU No.43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan. Jakarta: PNRI,

2007.

Riyanto, Armada. Aku & Liyan. Malang: Widya Sasana Publication, 2011.

Rosemarie, Putnam Tong. Feminis Thought, Terjemahan Aquarini. Yogyakarta: Jalasutra,

2004.

Schneider, David J. The Psychology Of Stereotyping. New York: The Guilford Press, 2004.

Page 13: STEREOTIP GENDER DI PERPUSTAKAAN - UINSU

JIPI (Jurnal Ilmu Perpustakaan dan Informasi) Vol. 4 No. 1 Tahun 2019

ISSN (online): 2528-021X

30

Sugiartati, Handayani, Trisakti. Konsep Dan Teknik Penelitian Gender. Malang: Universitas

Negeri Malang, 2005.

Sunarto. Televisi, Kekerasan, Dan Perempuan. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2009.

Tikno, Lensufie. Leadership Untuk Profesional Dan Mahasiswa. Jakarta: Erlangga, 2003.