stereotip terhadap masyarakat tionghoa
TRANSCRIPT
-
7/22/2019 Stereotip Terhadap masyarakat tionghoa
1/114
STEREOTIP TERHADAP MASYARAKAT TIONGHOA
DALAM CA-BAU-KAN
SUKOJATI PRASNOWO
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA
UNIVERSITAS INDONESIA
2007
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
-
7/22/2019 Stereotip Terhadap masyarakat tionghoa
2/114
STEREOTIP TERHADAP MASYARAKAT TIONGHOA
DALAM CA-BAU-KAN
Skripsi
diajukan untuk melengkapi
persyaratan mencapai gelar
Sarjana Humaniora
oleh
SUKOJATI PRASNOWO
NPM 0702010366
Program Studi Indonesia
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA
UNIVERSITAS INDONESIA
2007
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
-
7/22/2019 Stereotip Terhadap masyarakat tionghoa
3/114
Sebuah persembahan untuk:Mbah Kakung R. Nototaruno Mbah Putri ToemirahBapak Soetadi dan Mas Bintoro Prakoso S.di pemakaman keluarga kuruwangsa R. Djojotaruno Jogjakarta;Ibu Soekartilah di Mampang JakartaKakak-kakak juga keponakan-keponakan
di Surabaya dan Jakarta
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
-
7/22/2019 Stereotip Terhadap masyarakat tionghoa
4/114
Skripsi ini telah diujikan pada hari Jumat, tanggal 12 Januari 2007
PANITIA UJIAN
Ketua Pembimbing
M. Umar Muslim, Ph. D. Edwina Satmoko Tanojo, M. Hum.
Panitera Pembaca I
Ken Myryam Vivikanda, S. Hum. Syahrial, M. Hum
Pembaca II
M. Umar Muslim, PH. D.
Disahkan pada hari , tanggal oleh:
Koordinator Program Studi Dekan
Dewaki Kramadibrata, M. Hum. Prof. Dr. Ida Sundari Husen
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
-
7/22/2019 Stereotip Terhadap masyarakat tionghoa
5/114
Seluruh isi skripsi ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.
Depok, 17 Januari 2007
Penulis
Sukojati Prasnowo
NPM. 0702010366
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
-
7/22/2019 Stereotip Terhadap masyarakat tionghoa
6/114
KATA PENGANTAR
Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? Firman
Allah swt. yang diulang-ulang dalam surat Ar Rahmaan itu seharusnya menyadarkan
kita akan kebesaran dan kebijaksanaan-Nya kepada seluruh umat manusia. Begitu
pula dengan saya dalam proses penulisan dan pengujian skripsi ini. Untuk itu, saya
haturkan puji dan syukur kepada-Nya.Alhamdulillahirabbilalamiin.
Berkat kebesaran dan kebijaksaan-Nya, skripsi ini berhasil ditulis dengan
bantuan dan dukungan banyak orang. Dari sekian banyak orang itu, (Ibu) Edwina
Satmoko Tanojo, M. Hum adalah salah seorang yang besar jasanya dalam proses
penulisan skripsi ini. Beliau telah memberikan bimbingan yang kerap diselingi
candaan-candaan penghilang penat, yang membantu dan memudahkan saya dalam
menulis skripsi ini. Semoga Tuhan memberikan imbalan atas jasanya dan
memudahkan serta melindunginya agar dapat membantu banyak orang. Amin.
Ucapan terima kasih juga saya haturkan kepada (Bapak) M. Umar Muslim,
Ph. D. dan (Bapak) Syahrial, M. Hum. yang telah meluangkan waktu dan pikirannya
untuk membaca, mengoreksi, memberi masukan dan saran. Kedua pembaca skripsi
saya ini telah banyak membantu dan mengingatkan saya akan kerancuan dan
kekeliruan dalam menuangkan pikiran pada skripsi saya ini sebelum dibaca banyak
orang.
Saya juga menghaturkan terima kasih kepada (Bpk.) Ibnu Wahyudi, M. A.
dan (Bpk.) M. Yoesoev, M. Hum. atas diskusi-diskusi tentang kesusastraan ketika
viStereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
-
7/22/2019 Stereotip Terhadap masyarakat tionghoa
7/114
skripsi ini ditulis; juga (Mas) Asep Sambodja, S. S. atas pemberian artikel Tentang
Ca-Bau-Kan Karangan Remy Sylado. Terima kasih juga untuk (Bpk.) Tommy
Christomy, Ph. D., (Mbak) Sri Munawarah S. S., dan (Mbak) R. Niken Pramanik, M.
Hum. yang secara berurutan telah menjadi pembimbing akademik saya. Kepada
koordinator dan para pengajar di Program Studi Indonesia yang lainnya saya juga
menghaturkan terima kasih atas tuntunan dalam memahami ilmu linguistik, sastra,
dan filologi. Terima kasih juga untuk (Mbak) Sri Murniati Dewayani, S. S. alias
Mbak Ninin atas doa dan petuah menghadapi sidang skripsi dari Pulau Dewata.
Tidak lupa, saya menghaturkan terima kasih kepada Bpk. Soetadi (alm.) dan
Ibu Soekartilah yang telah melahirkan, membesarkan, dan mengayomi saya dengan
arif dan bijak. Jika ada sikap yang kurang berkenan pada diri saya adalah tanggung
jawab saya, bukan mereka. Semoga Allah swt. memudahkan saya membalas jerih
payah dan segala kebaikan kedua orang tua saya itu.
Selain itu, ucapan terima kasih juga saya haturkan untuk kakak-kakak: Mas S.
Hartoyo, Mbak Lidya Rina Tatkari, Mbak Restu Triwening, Mbak Catur Faerasati,
Mas Bintoro Prakoso S. (alm.), Mbak Endah Saraswati, Soewoko Hanggoro, dan Selo
Hastomo. Mereka telah menjadi kakak yang baik dengan segala kelebihan dan
kekurangan masing-masing. Mereka juga telah meramaikan kehidupan saya dengan
memberikan keponakan-keponakan yang lucu, nakal, pintar, dan menggemaskan:
Raka, Lintang, Astri, Thania, Dhian, Bayu, Tyo, Bobby, Hazel, Kenan, dan Keisya.
Terima kasih juga untuk papanya Astri atas penghibahan printer Canon BC 2100SP
pada masa awal kuliah dan bapaknya Dhian atas penghibahan layar monitor.
viiStereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
-
7/22/2019 Stereotip Terhadap masyarakat tionghoa
8/114
Kepada teman-teman di kampus, di sekitar rumah Mampang Prapatan, dan
pada masa sekolah saya juga menghaturkan terima kasih karena telah menemani saya
menjalani kehidupan ini. Mereka itu di antaranya adalah:
1. Teman-teman angkatan 2002 yang jatuh bangunbersama: Silva (Cipe) yangtelah menghibahkan cartridge dengan printheadCanon BC-20 yang dipakai
untuk mencetak skripsi ini; Agung (Asep) yang kerap memberikan celaan dan
sindiran yang justru membangkitkan semangat, ajakan mengajar di bimbel,
dan catatan doa menjelang sidang; Teni dan Eka yang selalu hadir pada masa
jatuh dari ketinggian; Desril (Fetty Vera) dan Hana (Keplek) yang selalu
berusaha mengorek isi hati saat gundah dan resah; Rinda yang mengajarkan
betapa pentingnya membuka wawasan dan pergaulan; Diana yang menjadi
inspirasi untuk berbisnis, Yusdja yang menjadi cermin orientasi akademik;
Riskianti Wulandari yang menemaniku melangkah selama tiga tahun
terakhir dan kemudian memilih berjalan sendiri; Tanti, Arum, Anto, Anita,
Fahri, Niken, Edi, Hakim, Awie, Adek, Dinie, dan The Linggisers;
2. Teman-teman IKSI (Ikatan Keluarga Sastra Indonesia): Nazarudin yang disela-sela kesibukannya mau menemani melewati gelap dan sunyinya malam
menjelang sidang; Andri yang telah meminjamkan bertumpuk buku untuk
menyusun skripsi ini; Fakhrul dan Abduh yang tidak jemu-jemunya menjamu
di kantor BIPA; Kenny yang telah menjadi panitera sidang; angkatan 2003
(Hari, Arne, Nelly, Atre, i, Ika-nya Nazar, Ino, Teteh, Nia, Liesta, Amir, dll.)
viiiStereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
-
7/22/2019 Stereotip Terhadap masyarakat tionghoa
9/114
dan angkatan 2004 (Vanny, Jasmin, Dimas, Ikhwan King of Kong, Lucky,
Genih, Dhani, Arief Kiwil, dll) yang telah menjadi adik sekaligus teman;
3. Teman-teman sekitar Mampang Prapatan: Sarie dan Wiwiet yang menjaditeman, saksi hidup sejak kanak-kanak, dan tempat pengaduan; Uki Ambon
yang dengan sukarela pernah menjadi my bodyguard dan Bang Fendy yang
menjadi teman bertukar pikiran;
4. Teman-teman alumni SMUN 55 JKT: Gank Nobar (Maria Bhoge, Eckal,Are-fun, Wilmana Joker, Bayu Idung), Babeh Ikhsan, Ade N. F., Wildan,
cewek-cewek T-Chels (Ririe, Puthe, Mega, Shanti, dll.), Said, Errol, Pai, dll.
Akhir kata, saya mohon maaf kepada orang yang tidak tersebut namanya
karena keterbatasan ruang. Semoga skripsi ini dapat berguna bagi banyak orang dan
orang-orang yang secara langsung ataupun tidak langsung telah membantu proses
penulisan skripsi ini diberikan pahala oleh Allah swt. Amin.
Jakarta, 17 Januari 2007
Sukojati Prasnowo
ixStereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
-
7/22/2019 Stereotip Terhadap masyarakat tionghoa
10/114
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....iv
DAFTAR ISI....x
IKHTISARxiii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang..11.2 Perumusan Masalah.61.3 Tujuan Penelitian..71.4 Ruang Lingkup Penelitian...71.5 Landasan Teori.81.6 Metode Penelitian.91.7 Penelitian Terdahulu..........101.8 Kemaknawian Penelitian...131.9 Sistematika Penyajian....14
BAB 2 KERANGKA TEORI
2. 1 Pengantar....16
2.2 Pendekatan Sosio-Kultural...16
2.3 Konsep-Konsep..19
xStereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
-
7/22/2019 Stereotip Terhadap masyarakat tionghoa
11/114
2.3.1 Tokoh dan Penokohan...19
2.3.2 Latar Fisik dan Latar Sosial.....21
2. 3. 3 Konsep Interaksi Sosial.....21
2.4.2 Kajian Multikultural.....23
BAB 3 TOKOH DAN LATAR CA-BAU-KAN
3.1 Pengantar....25
3.2 Ringkasan Cerita CBK..25
3.3 Tokoh......33
3.3.1 Tokoh Tinung.....333.3.2 Tokoh Tan Peng Liang Asal Semarang (TPL Semarang) ....343.3.3 Tokoh Tan Peng Liang Asal Bandung (TPL Bandung) ...413.3.4 Saodah.....423.3.5 Tan Soen Bie...443.3.6 Tan Kim San dan Tan Kim Hok..453.3.7 Tan Tiang Tjing (Ayah TPL Semarang) ........463.3.8 Soetini (Ibu TPL Semarang) ....463.3.9 Soetardjo Rahardjo...473.3.10 Jan Max Awuy...483.3.11 Jeng Tut..493.3.12 Tjia Wan Sen..503.3.13 Oey Eng Goan....51
xiStereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
-
7/22/2019 Stereotip Terhadap masyarakat tionghoa
12/114
3.3.14 Thio Boen Hiap..543.3.15
Lie Kok Pien...56
3.3.16 Kwee Tjie Sien...583.3.17 Mr. Liem Kiem Jang.583.3.18 Timothy Wu...613.3.19 Tan Giok Lan (Nyonya G.P.A. Dijhkoff)....613.4 Latar........63
3.4.1 Latar Fisik..63
3.4.2 Latar Sosial........67
BAB 4 STREOTIP TERHADAP MASYARAKAT TIONGHOA
4.1 Pengantar....704.2 Pengertian Stereotip..714.3 Stereotip Terhadap Masyarakat Tionghoa dalam CBK...734.3.1 Keteguhan Menjunjung Adat-Istiadat dan Kepercayaan.734.3.2 Praktik Prostitusi dan Pergundikan....744.3.3 Pandangan Masyarakat Tionghoa terhadap Suku Bangsa Lain..764.3.4 Status Tionghoa Peranakan (Kiau-Seng)
dan Status Tionghoa Totok (Hoa-Kiau) .....78
4.3.5 Kepercayaan Orang-Orang Tionghoa di Jawapada Tahayul Pesugihan..80
4.3.6 Status Kehormatan Perempuan sebagai Istridalam Masyarakat Tionghoa....80
xiiStereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
-
7/22/2019 Stereotip Terhadap masyarakat tionghoa
13/114
4.3.7 Pedagang Perabotan Rumah Tangga(Pandangan terhadap Suku Kwung-Fu).........82
4.3.8 Rasa Permusuhan Jepang terhadap Masyarakat Tionghoa.....834.4 Kajian Interaksi Sosial.......844.5 Kajian Multikultural..87
BAB 5 KESIMPULAN..91
DAFTAR PUSTAKA....95
LAMPIRAN...98
RIWAYAT HIDUP PENULIS.99
xiiiStereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
-
7/22/2019 Stereotip Terhadap masyarakat tionghoa
14/114
IKHTISAR
SUKOJATI PRASNOWO. Stereotip terhadap Masyarakat Tionghoa dalam
Ca-Bau-Kan (Di bawah bimbingan Edwina Satmoko Tanojo, M. Hum.) Fakultas
Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, 2007.
Skripsi ini adalah hasil penelitian terhadap aspek sosio-kultural novel Ca-
Bau-Kan (1999). Perumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Stereotip masyarakat Tionghoa apa saja yang ditampilkan dalam CBK danapa dampak dari stereotip itu pada lakuan para tokohnya?
2. Benarkah hipotesis penulis bahwa stereotip terhadap masyarakat Tionghoayang terkandung dalam cerita CBK mematahkan stereotip yang berkembang
dalam masyarakat?
Berdasarkan perumusan masalah tersebut penelitian ini bertujuan
mendeskripsikan stereotip-stereotip masyarakat Tionghoa dalam CBK dan
dampaknya dalam lakuan para tokohnya. Dari deskripsi itu penelitian ini juga akan
menguji hipotesis penulis bahwa stereotip terhadap masyarakat Tionghoa yang
terkandung dalam cerita CBK mematahkan stereotip-stereotip masyarakat Tionghoa
yang ada dalam masyarakat.
Sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian, penelitian ini
menggunakan pendekatan sosio-kultural. Dengan penggunaan pendekatan sosio-
kultural penelitian ini melibatkan unsur-unsur ekstrinsik dan unsur intrinsik. Unsur
intrinsik yang dilibatkan adalah tokoh dan latar.
xivStereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
-
7/22/2019 Stereotip Terhadap masyarakat tionghoa
15/114
Analisis terhadap kedua unsur intrinsik itu didukung dengan penggunaan
konsep interaksi sosial dari sosiologi dan kajian multikultural yang berdasarkan
paham multikulturalisme. Dengan analisis seperti itu penelitian ini menghasilkan
beberapa pencapaian yang dapat disimpulkan sebagai berikut.
Pertama, ada delapan stereotip masayarakat Tionghoa yang terdaftar dari
cerita CBK. Delapan stereotip yang terdaftar dari cerita CBK itu adalah:
(1)keteguhan masyarakat Tionghoa menjunjung adat-istiadat dankepercayaannya;(2)laki-laki Tionghoa suka berprostitusi dan mempraktikkan sistem pergundikan;
(3)masyarakat Tionghoa memandang rendah suku bangsa lain;(4)status orang-orang Hoa-Kiau lebih tinggi daripada status Kiau-Seng;(5)masyarakat Tionghoa di Jawa banyak yang percaya pada tahayul pesugihan;(6)status kehormatan perempuan sebagai istri dalam masyarakat Tionghoa
ditentukan dari kemampuannya melahirkan anak untuk suami;
(7)suku Kwung-Fu (salah satu subetnis Tionghoa) dikenal sebagai pedagangperabotan rumah tangga dan dianggap tidak berbakat berdagang;
(8)masyarakat Tionghoa memusuhi Jepang.Stereotip-stereotip itu berdampak pada lakuan para tokohnya karena stereotip
digunakan dalam proses awal interaksi sosial. Stereotip itu selanjutnya turut
menentukan sikap yang diambil para tokoh yang berlakuan. Stereotip itu
menunjukkan dampaknya melalui sikap dari orang yang ikut berinteraksi. Sikap itu
selanjutnya dapat menimbulkan konflik atau tidak.
Kedua, secara keseluruhan, stereotip terhadap masyarakat Tionghoa yang ada
di CBK dapat diasumsikan sebagai penjelasan atas stereotip masyarakat Tionghoa
yang beredar di masyarakat saat ini. Tidak semua stereotip yang beredar di
masyarakat seperti yang disebut Winarta terbantahkan oleh cerita CBK. Akan tetapi,
CBK menampilkan realitasnya dalam lakuan para tokohnya.
xvStereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
-
7/22/2019 Stereotip Terhadap masyarakat tionghoa
16/114
BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar BelakangDalam sejarah kesusastraan Indonesia tercatat satu masa yang menunjukkan
peran aktif masyarakat keturunan Tionghoa. Menurut Sumardjo, masa itu dimulai
pada tahun 1884 yang dirintis oleh Lie Kim Hok. Pada tahun itu Lie Kim Hok
menulis novel Sobat Anak-anak, yang merupakan novel bahasa Melayu pertama.
Pada masa yang sama, Wiggers dan Pengemanan turut mengembangkan jenis novel
populer dengan tema dan bahan cerita bersifat Indonesia dan digali dari kehidupan
Indonesia di kota-kota. Masyarakat yang digambarkan dalam karya mereka adalah
masyarakat Tionghoa di zaman penjajahan: pedagang, pemilik toko, pedagang pasar,
pengurus perkebunan, pemilik pabrik gula, kapten Cina, bestuurCina. Tradisi yang
ditanamkan Lie Kim Hok, Wiggers, dan Pangemanan itu pun berkembang dalam
bentuk novel Melayu-Cina. Bentuk novel itu terus berkembang dan mencapai zaman
keemasannya setelah tahun 1925 (Sumardjo, 2000: 676677).
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
-
7/22/2019 Stereotip Terhadap masyarakat tionghoa
17/114
Menurut Salmon (1985: 147), ketika Jepang menyerbu Indonesia pada tahun
1942 perkembangan itu terhenti. Saat itu Jepang tahu bahwa orang-orang Tionghoa di
Indonesia menjadikan pers dan karya sastra sebagai wahana untuk menyuarakan
patriotisme mereka, mendukung Cina dalam perang melawan Jepang, dan
mengingatkan orang Indonesia akan bahaya imperialisme Jepang di Asia. Setelah
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tahun 1945 perkembangan itu secara perlahan
berlanjut kembali.
Perkembangan itu, menurut Sumardjo (2000: 682), terhenti lagi pada tahun
1950-an karena masyarakat Cina (Tionghoa) sudah diintegrasikan dengan masyarakat
Indonesia (sic!). Karya-karya yang muncul kemudian (pertengahan 1950-an)
cenderung berupa cerita silat. Meskipun demikian, cerita silat Cina ini tidak hanya
digemari oleh masyarakat Tionghoa saja, tetapi juga masyarakat Indonesia asli
(pibumi). Seiring perkembangannya, novel Melayu-Cina yang berciri mirip dengan
cerita western (mengutamakan keramaian berkelahi, suspense, dan kepahlawanan-
kejujuran) semakin berorientasi ke Barat (Sumardjo, 2000: 682683).
Pada awal tahun 1960-an pemerintahan Orde Lama menghentikan semua
lektur Barat. Film, majalah luar negeri, dan hasil budaya Barat pun dilarang beredar.
Novel-novel saduran atau terjemahan Barat seperti novel detektif, novel western
(Barat), novel perang, dan novel spy(mata-mata) pun beredar untuk memenuhi selera
terhadap kebudayaan itu. Populernya novel seperti itu mengakibatkan tergesernya
novel Melayu-Cina kedudukannya dalam masyarakat (Sumardjo, 2000: 684).
2Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
-
7/22/2019 Stereotip Terhadap masyarakat tionghoa
18/114
Hal itu masih ditambah lagi dengan ketatnya peraturan pemerintah Orde Baru
terhadap kebebasan masyarakat keturunan Tionghoa. Peraturan-peraturan itu di
antaranya adalah:
1. Keputusan Presidium No. 127/U/Kep/12/1966 mengenai peraturan ganti namabagi WNI yang memakai nama Cina;
2. Instruksi Presiden No. 37/U/IN/6/1967 mengenai Badan Koordinasi MasalahCina (BKMC);
3. Instruksi Presiden No. 14 Tahun 1967 mengenai agama, kepercayaan, danadat-istiadat Cina;
4. SE Presidium Kabinet RI No. Se-06/Pres-Kab/6/1967 mengenai penggantianistilah Tiongkok dan Tionghoa menjadi Cina;
5. SE. 02/SE/Ditjen/ppg/k/1988 mengenai larangan penerbitan dan percetakantulisan/iklan beraksara dan berbahasa Cina;
6. Instruksi Mendagri No. 455.2-360 Tahun 1968 tentang penataan klenteng.Menurut Winarta (Suara Pembaruan, 28 Juli 2004), peraturan-peraturan itu
menekan kehidupan sosial budaya dan mengucilkan etnis Tionghoa di Indonesia.
Wujud nyata penekanan dan pengucilan itu adalah pelarangan terhadap penggunaan
huruf, bahasa, pembatasan surat kabar, dan penutupan sekolah Tionghoa. Selain itu,
penekanan dan pengucilan itu juga berupa pembatasan perayaan imlek dan arak-
arakannya (Cap Gome), upacara di klenteng, serta formalisasi penggunaan istilah
Cina. Peraturan-peratuan tersebut telah membelenggu masyarakat Tionghoa dan
secara terbuka mendiskreditkan mereka.
3Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
-
7/22/2019 Stereotip Terhadap masyarakat tionghoa
19/114
Setelah Orde Baru runtuh barulah masyarakat Tionghoa merasakan sedikit
kebebasan, meski sebelum itu mereka harus mengalami suatu peristiwa yang
merugikan kaum mereka. Peristiwa itu adalah Kerusuhan Mei 1998, yang menjadikan
mereka sebagai objek kemarahan dan amukan massa karena kecemburuan sosial.
Dalam peristiwa itu banyak bangunan rumah toko milik mereka yang dirusak dan
dibakar massa. Peristiwa itu merupakan salah satu dampak dari diskriminasi terhadap
mereka, yang juga menjadi puncak kebencian masyarakat pribumi terhadap mereka.
Bila ditelusuri lebih lanjut dari segi sejarah, masyarakat Tionghoa di
Indonesia memang kerap mengalami diskriminasi. Pada masa kolonialisasi Belanda
mereka mengalami diskriminasi melalui peraturan pemerintah kolonial, yaitu
penerapan sistem opsir (Kapitan Cina), sistem pemukiman, dan pas jalan. Peraturan
itu membuat mereka tidak dapat berbaur dengan pibumi. Akibatnya, menurut Winarta
(2004), hingga saat ini masyarakat Tionghoa digambarkan sebagai suatu komunitas
yang licik, mau menang sendiri, eksklusif, kikir, dan serigala ekonomi. Pada
akhirnya hal tersebut menimbulkan kebencian yang mendalam dari golongan pribumi
terhadap mereka.
Perihal kehidupan masyarakat Tionghoa di masa kolonialisasi Belanda seperti
itulah yang tergambar dalam cerita novel Ca-Bau-Kan (selanjutnya disingkat CBK)
karya Remy Sylado (1999), yang diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia (KPG).
Novel yang diterbitkan sebagai langkah awal dari proyek penerbitan Sastra Peranakan
Tionghoa itu (catatan KPG, hlm. V) berhasil menarik perhatian masyarakat banyak.
4Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
-
7/22/2019 Stereotip Terhadap masyarakat tionghoa
20/114
Buktinya adalah pencetakan ulang novel ini sebanyak delapan kali dan diadaptasinya
novel ini menjadi film pada tahun 2001.
Kehadiran CBKyang mengusung tema kehidupan sosial budaya masyarakat
Tionghoa di Indonesia dalam kesusastraan Indonesia pada akhir dekade 1990-an patut
disambut dengan baik. Semenjak terhentinya perkembangan Sastra Peranakan
Tionghoa, kehidupan sosial budaya masyarakat Tionghoa hampir luput dari perhatian
penggiat sastra Indonesia. Karya-karya sastra, khususnya genre prosa, memang terus
berkembang. Namun, tidak banyak karya yang menampilkan kehidupan sosial budaya
masyarakat Tionghoa dalam bermasyarakat di Indonesia.
Berdasarkan pengamatan Wasono (1999: 1620), cerita yang
mempersoalkan hubungan antara masyarakat Tionghoa dan masyarakat pibumi (yang
merupakan bagian dari kehidupan sosial budayanya, pen.) sangat minim.
Menurutnya, kalau pun ada, masalah itu hanya muncul sekilas dan tidak menjadi
pusat perhatian utama. Ia menyebut Di Kaki Bukit Cibalak (1986) karya Ahmad
Tohari sebagai contoh karya sastra yang hanya memunculkan persoalan itu secara
sekilas. Kemudian, ia menyebut Senandung Puncak Gunung (1982) karya Wahyu
Dewantoro sebagai karya yang sepenuhnya berbicara tentang pembauran. Sayang,
menurutnya, tema karya itu kurang baik penggarapannya. Hal itu disebabkan oleh
lemahnya penggambaran tokoh dan latarnya sehingga tema itu terkesan dipaksakan.
Satu karya yang juga menampilkan tema sejenis adalah Jalan Menikung
(1999) karya Umar Kayam. Dalam novel itu ditampilkan masalah perkawinan orang
Jawa dan orang Tionghoa yang dikhawatirkan akan menggoyahkan status kepriyayian
5Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
-
7/22/2019 Stereotip Terhadap masyarakat tionghoa
21/114
orang Jawa. Hanya saja tema itu bukanlah tema sentral. Tema sentralnya adalah
kehidupan sosial budaya kaum priyayi Jawa, yang berinteraksi dengan budaya lain:
Yahudi-Amerika, Minangkabau, Tionghoa, dan Jepang.
Hadirnya CBK mengisi rumpang atau kekosongan itu. CBK secara tegas
menampilkan kehidupan sosial budaya masyarakat Tionghoa dengan gambaran tokoh
dan latar yang jelas. Penerbitan CBK pun disusul penerbitan karya lain yang
mengusung tema sejenis, di antaranya novel Lie Jangan Bilang Aku Cina (2000)
karya S. Satya Dharma dan kumpulan cerpen Panggil Aku Peng Hwa (2002) karya
Veven Sp. Wardhana.
1.2Perumusan MasalahSeperti telah diungkapkan dalam latar belakang, beberapa stereotip yang
timbul terhadap masyarakat Tionghoa disebabkan oleh diskriminasi yang dilakukan
pemerintah kolonial Belanda. Pernyataan tersebut sepaham dengan pendapat
Pramoedya Ananta Toer (1998: 77) bahwa sejak sebelum adanya VOC (Belanda,
pen.) tak pernah ada kerancuan dalam hubungan antara rakyat dan Hoakiau
(masyarakat Tionghoa, pen.) di Indonesia. Ia menambahkan bahwa sejak datangnya
VOC itu Hoa-Kiau diletakkan pada satu tempat yang harus dapat disorot dan dilihat
segi-seginya yang buruk (Toer, 1998: 77).
Ditampilkannya masyarakat Tionghoa pada masa kolonialisasi Belanda dalam
CBK membuat penulis berhipotesis bahwa cerita yang terkandung di dalamnya
mematahkan stereotip-stereotip yang berkembang dalam masyarakat Indonesia saat
6Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
-
7/22/2019 Stereotip Terhadap masyarakat tionghoa
22/114
ini. Di tengah meningkatnya primordialisme dan konflik antarkelompok, menurut
Budianta (2003: 136), sastra memang dapat berfungsi untuk mendobrak stereotip dan
menekankan tema solidaritas dan empati. Permasalahannya, stereotip masyarakat
Tionghoa apa saja yang ditampilkan dalam CBK dan apa dampak dari stereotip itu
pada lakuan para tokohnya? Benarkah hipotesis penulis bahwa stereotip terhadap
masyarakat Tionghoa yang terkandung dalam cerita CBK mematahkan stereotip yang
berkembang dalam masyarakat tentang masyarakat Tionghoa saat ini seperti yang
disebut Winarta di bagian sebelumnya? Permasalahan itulah yang mendasari
penelitian ini.
1.3Tujuan PenelitianSesuai dengan permasalahan, penelitian ini bertujuan untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang tersebut dalam perumusan masalah. Hasil penelitian ini
akan berupa deskripsi stereotip-stereotip masyarakat Tionghoa dalam CBK dan
dampaknya dalam lakuan para tokohnya. Dari deskripsi itu penelitian ini juga akan
menguji hipotesis penulis bahwa stereotip terhadap masyarakat Tionghoa yang
terkandung dalam cerita CBK mematahkan stereotip-stereotip masyarakat Tionghoa
yang ada di masyarakat.
1.4Ruang Lingkup PenelitianAgar penelitian ini mencapai tujuannya, penulis perlu membatasi ruang
lingkup penelitian. Sebagai objek penelitian, penulis hanya memakai novel CBK.
7Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
-
7/22/2019 Stereotip Terhadap masyarakat tionghoa
23/114
Apabila ada penyebutan novel lain semata-mata hanya berfungsi sebagai pembanding
atau penjelas.
Sebenarnya, novel CBK dapat diteliti dari berbagai sudut pandang. Dari segi
bentuk, novel yang dapat dikatakan sebagai novel sejarah ini dapat diteliti dengan
melihat pemakaian unsur-unsur sejarah sebagai unsur pembangun ceritanya. Selain
itu, sebagai novel populer, novel ini pun dapat diteliti dari segi penceritaan atau
penarasiannya; yang tentunya berbeda dengan novel-novel yang disebut novel serius.
Karena sudah diangkat menjadi cerita film, novel ini juga dapat diteliti dengan
melihat bentuk transformasinya: dari sebuah karya sastra menjadi sebuah film.
Berbeda dengan beberapa sudut pandang itu, penelitian ini memfokuskan
bahasan pada stereotip masyarakat Tionghoa. Meski ada banyak masyarakat yang
tergambar dalam novel CBK, penelitian ini membatasinya pada masyarakat Tionghoa
saja. Hal ini disebabkan dalam CBK masyarakat Tionghoa menjadi fokus
penceritaan.
1.5Landasan TeoriPenelitian ini berlandaskan teori sosial sastra yang menyebutkan adanya
hubungan antara sastra dan masyarakat. Teori itu berkaitan dengan satu pengertian
bahwa sebuah karya sastra dapat dianggap sebagai cermin masyarakat. Pengertian itu
diperkuat oleh kedudukan sastra sebagai sebuah produk kebudayaan.
Menurut Damono (1984: 14), teori tentang hubungan antara sastra dan
masyarakat itu dipelopori oleh Plato dalam karyanya yang berjudulIon danRepublik.
8Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
-
7/22/2019 Stereotip Terhadap masyarakat tionghoa
24/114
Dari dua karya itu, Plato mengungkapkan peran sastra dalam masyarakat terutama
dalamRepublikBab I dan X. Dalam karyanya itu, Plato menyebut segala yang ada di
dunia ini sebagai tiruan dari kenyataan tertinggi yang berada di dunia gagasan. Pada
tahap selanjutnya, pandangan Plato itu berkembang menjadi kritik mimesis (tiruan).
Berdasarkan teori sosial sastra itu, penelitian ini memilih pendekatan
sosiokultural yang dijelaskan Greibstein untuk menjawab permasalahan penelitian.
Berdasarkan teori itu juga penelitian ini akan menggunakan beberapa konsep
pendukung analisis penelitian. Konsep-konsep itu adalah konsep interaksi sosial dari
sosiologi dan konsep atau paham multikulturalisme, yang akan dijelaskan lebih lanjut
pada bagian kerangka teori.
1.6Metode PenelitianMenurut Nazir (1988: 52) metode penelitian berkaitan dengan pembicaraan
bagaimana secara berurut suatu penelitian dilakukan, yaitu dengan alat apa dan
prosedur bagaimana suatu metode dilakukan. Penentuan metode dalam sebuah
penelitian penting dilakukan untuk mencapai tujuan penelitian. Untuk itu, dalam
penelitian ini dipilih suatu metode yang sesuai guna mencapai tujuan penelitian.
Metode yang dipilih dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analisis.
Mengenai metode ini, Ratna (2004: 53) menyebutkan bahwa metode deskriptif
analisis dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul
dengan analisis. Metode ini, menurut Nazir (1988: 64), bukan saja memberikan
gambaran terhadap fenomena-fenomena, tetapi juga menerangkan hubungan, menguji
9Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
-
7/22/2019 Stereotip Terhadap masyarakat tionghoa
25/114
hipotesa, membuat prediksi serta mendapatkan makna dan implikasi dari suatu
masalah yang ingin dipecahkan.
1.7Penelitian TerdahuluAda beberapa penelitian yang memiliki keterkaitan baik secara langsung
maupun tidak langsung dengan penelitian ini. Keterkaitan itu dapat berupa kesamaan
pendekatan yang dipakai dalam penelitian, yaitu pendekatan sosiologi sastra.
Keterkaitan itu juga dapat berupa kesamaan data penelitian (novel CBK) dan topik
atau sorotan penelitian.
Penelitian-penelitian yang menggunakan pendekatan sosiologi sastra telah
banyak dilakukan di Indonesia. Akan tetapi, pada bagian ini hanya disebut beberapa
penelitian dengan pendekatan itu yang ada di lingkungan Fakultas Ilmu Pengetahuan
Budaya Universitas Indonesia (FIB UI) saja. Beberapa penelitian itu adalah sebagai
berikut.
Penelitian tentang kawin campur dan pernyaian pernah dilakukan Jean
Tanuwibawa. Penelitian itu berjudul Perkawinan Campuran dan Pernyanyian dalam
Dua Novel Sastra Indonesia Sebelum Perang: Telaah Perbandingan antara Tjerita
Njai Dasima dan Tjerita Njai Soemirah (1988). Penelitian ini melihat aspek
keterkaitan pengarang dengan objek penelitiannya mengenai masalah kawin campur
dan pernyaian. Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa kedua pengarang objek
penelitian itu secara tidak langsung berusaha membela asal keturunan mereka: Eropa
(G. Francis melalui Njai Dasima) dan Tionghoa (Thio Tjin Boen melalui Tjerita
Njai Soemirah).
10Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
-
7/22/2019 Stereotip Terhadap masyarakat tionghoa
26/114
Penelitian lain dilakukan Tri Fajar Marhaeni (1996) yang menyoroti pengaruh
F. Wiggers pada pola penulisan drama Indonesia dan pengaruh situasi sosial masa
Hindia Belanda dalam Lelakon Raden Beij Soerio Retno. Penelitian itu berjudul
Drama Lelakon Raden Beij Soerio Retno (1910) Karya F. Wiggers: Tinjauan
Sosiologi Sastra. Hasilnya, Marhaeni menyatakan bahwa Wiggers dengan gaya
realisnya melalui drama itu menjadi penanda keberadaan drama modern Indonesia.
Kemudian, situasi sosial pada masa karya itu diciptakan tercermin pada sikap para
tokoh berupa sikap hidup tradisional dan modern.
Selain kedua penelitian itu, ada juga penelitian yang dilakukan Andriyati
(2006) dengan judul Gambaran Latar Sosial Budaya Masyarakat Pribumi dan
Peranakan dalam The Belle of Tjililin. Penelitian yang dilakukan Andriyati
mendeskripsikan penggambaran sosial budaya masyarakat pribumi dan peranakan
dalam novel The Belle of Tjililin. Dari deskripsi itu ia mengungkapkan permasalahan-
permasalahan sosial budaya pada kedua masyarakat itu, perubahan-perubahan nilai
sosial buadaya di dalamnya, serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Selanjutnya, ada penelitian yang memiliki kesamaan objek dengan penelitian
ini. Penelitian itu dilakukan David Hwa Kian Hauw yang dipublikasikan dalam media
Kita Sama KitaNo. 5 Tahun II Januari 2002. Penelitian itu berjudul Tentang Ca-
Bau-Kan Karangan Remy Sylado. Penelitian itu membahas secara detail perihal
kandungan novel CBK mulai dari istilah-istilah yang ada, penamaan tokoh dan
transliterasinya, penokohan, sampai agama dan kepercayaan, tata krama dan adat-
istiadat, upacara masyarakat Tionghoa, dan yang lainnya.
11Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
-
7/22/2019 Stereotip Terhadap masyarakat tionghoa
27/114
Penelitian itu memang telah secara lengkap membahas kandungan cerita
CBK, yang diperkuat dengan berbagai kutipan yang dapat dipercaya. Sayangnya,
penelitian ini terjebak pada alur berpikir yang mencari-cari kesalahan dalam
kandungan cerita CBK. Peneliti melalui penelitian tersebut telah secara semena-mena
menganggap bahwa sesuatu yang terungkap dalam fiksi haruslah sesuai dengan
kenyataan.
Pernyataan itu dapat dipahami karena penelitinya menganggap CBK sebagai
novel sejarah, yang kerap menimbulkan asumsi bahwa sebuah novel dari jenis ini
harus sesuai dengan kenyataan yang ada. Padahal, seperti diungkap Tarigan (1984:
122), novel sebagai karya fiksi bersifat realitas dan karya non-fiksi bersifat
aktualitas. Jadi, sebuah sebuah karya fiksi tidak harus menampilkan sesuatu yang
aktual seperti karya non-fiksi. Sepanjang sebuah karya fiksi menampilkan sesuatu
yang real (nyata) maka karya fiksi dapat diterima keberadaannya. Begitu juga CBK,
meski ceritanya disebut David Hwa Kian Hauw banyak menampilkan hal-hal yang
tidak aktual, ceritanya tetap dapat diterima karena realitasnya terjaga.
Kemungkinan karena pikiran yang subjektif, David Hwa Kian Hauw juga
menyebut CBK sebagai karya yang sarat akan stigma, stereotip, dan prejudis yang
tendensius dari masyarakat Tionghoa. Ia menganggapnya sebagai bias dari rezim orde
baru. Pernyataan itu tidak diungkapkan dengan menganalisis lebih jauh perihal
12Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
-
7/22/2019 Stereotip Terhadap masyarakat tionghoa
28/114
stereotip masyarakat Tionghoa yang terkandung dalam CBK. Hal itu menjadi
kekurangan dalam penelitian itu.
Penelitian lain, yang memiliki kesamaan topik atau sorotan penelitian,
dilakukan Oriana Titisari (2003) dengan judul Stereotip dan Multikulturalisme
dalam Karya Sastra Indonesia. Beberapa karya sastra yang dianalisis dalam
penelitian ini adalah Gado-Gado (2001) karya Pramoedya Ananta Toer, Cerita dari
Tanah Pengasingan (2002) karya Sobron Aidit, Clara (1999) karya Seno Gumira
Ajidarma, dan Saman (2002) karya Ayu Utami. Penelitian ini berkesimpulan bahwa
karya sastra dapat menjadi media yang efektif untuk menanamkan konsep
multikulturalisme kepada masyarakat. Titisari mengatakan bahwa karya sastra yang
disebutnya itu dapat melawan stereotip sebuah masyarakat yang ada dan bahkan
menciptakan sebuah stereotip yang baru.
Beberapa penelitian yang telah disebut sebelumnya menjadi bahan pemikiran
dalam penelitian ini. Beberapa kelemahan atau kekurangan yang ada dari penelitian-
penelitian itu akan menjadi perhatian dalam penelitian ini.
1.8Kemaknawian PenelitianPenelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi perkembangan kajian sastra
Indonesia selanjutnya. Pengkajian terhadap karya sastra Indonesia penting dilakukan
sebagai suatu upaya untuk membantu perkembangan sastra Indonesia. Mengingat
sastra dapat disebut sebagai salah satu sektor kebudayaan yang mampu
mendewasakan manusia (Sumardjo, 1995:23), penulis menganggap berbagai
13Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
-
7/22/2019 Stereotip Terhadap masyarakat tionghoa
29/114
penelitian terhadap karya sastra juga turut mendukung fungsi itu, termasuk penelitian
ini.
Selain itu, penelitian ini juga dianggap perlu untuk menjelaskan hal-hal yang
terkandung dalam CBK, khususnya tentang masyarakat Tionghoa, kepada
masyarakat. Di tengah kehidupan masyarakat Indonesia yang multikultural, penelitian
terhadap suatu karya yang menampilkan sebuah kelompok yang dianggap minoritas
dalam kehidupan bermasyarakat sangatlah perlu. Penelitian seperti ini diharapkan
dapat membantu proses pemahaman antaretnis untuk mengurangi terjadinya konflik
antaretnis.
1.9 Sistematika PenyajianPenelitian ini ditulis dengan penyajian sebagai berikut.
Pada Bab 1 atau Pendahuluan disajikan hal-hal yang mendasari penelitian,
yaitu latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, ruang lingkup penelitian,
landasan teori, metode penelitian, penelitian terdahulu, kemaknawian penelitian, dan
sistematika penyajian.
Bab 2, Kerangka Teori, merupakan bagian yang memaparkan konsep-konsep
yang dipakai dalam penelitian ini. Konsep-konsep yang dijelaskan pada Bab 2 ini
adalah konsep-konsep yang mendukung teori yang menjadi landasan berpikir dan
analisis dalam penelitian ini. Konsep-konsep yang akan dijelaskan pada bagian
tersebut adalah konsep tokoh dan latar, konsep interaksi sosial dari sosiologi, dan
konsep atau ideologi multikulturalisme.
14Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
-
7/22/2019 Stereotip Terhadap masyarakat tionghoa
30/114
Bab 3 berisi analisis tokoh dan latar CBK. Analisis kedua unsur intrinsik itu
akan menunjukkan stereotip terhadap masyarakat Tionghoa dalam CBK. Stereotip-
stereotip itu akan ditampilkan pada bagian selanjutnya
Untuk memperjelas pengertian, macam, dan fungsi stereotip dalam
masyarakat multietnis disusun penjelasan di Bab 4. Bagian ini juga merupakan inti
dari penelitian. Stereotip yang ditampilkan pada bagian ini selanjutnya akan dianalisis
dengan konsep interaksi sosial dan multikulturalisme untuk mencapai tujuan
penelitian.
Kemudian, hasil dari analisis itu akan diperjelas pada Bab 5, Kesimpulan.
Bagian penutup ini juga akan menjelaskan pencapaian penelitian ini. Hal-hal yang
menjadi permasalahan penelitian dan selanjutnya menjadi tujuan penelitian akan
dijelaskan pada bagian ini.
15Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
-
7/22/2019 Stereotip Terhadap masyarakat tionghoa
31/114
BAB 2
KERANGKA TEORI
2. 1 Pengantar
Seperti yang disebut pada bagian pendahuluan, penelitian ini berlandaskan
pada teori sosial sastra yang dipelopori oleh Plato. Sebagai tindak lanjutnya,
penelitian ini memakai pendekatan sosio-kultural untuk mencapai tujuan penelitian.
Pada bagian ini akan dijelaskan beberapa konsep yang akan menunjang pemakaian
teori dan pendekatan itu.
2.2 Pendekatan Sosio-Kultural
Pemilihan pendekatan sosio-kultural adalah untuk mencapai tujuan penelitian
ini. Seperti telah disebut di bagian sebelumnya, penelitian ini memiliki dua tujuan.
Pertama, penelitian ini akan mendeskripsikan stereotip-stereotip masyarakat
Tionghoa dalam CBK dan dampaknya dalam lakuan para tokohnya. Kedua,
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
-
7/22/2019 Stereotip Terhadap masyarakat tionghoa
32/114
penelitian ini juga akan menguji hipotesis penulis bahwa kandungan cerita CBK
mematahkan stereotip yang berkembang di masyarakat tentang masyarakat Tionghoa.
Pendekatan ini cocok untuk mencapai tujuan tersebut karena sesuai dengan
tujuan utamanya. Mengenai hal itu, Damono (1993: 7) dalam Darmoko (2006: 69)
menyebutkan bahwa yang menjadi perhatian utama dalam pendekatan ini adalah
pengaruh timbal balik antara karya sastra dan kehidupan. Pengaruh timbal balik itu
menyangkut maksud politik, sosial, ekonomi, moral, dan kultural sebuah karya sastra.
Secara lebih jelas, Damono (2002: 2) mengatakan bahwa istilah sosio-kultural
pada dasarnya tidak berbeda dengan sosio-sastra dan pendekatan sosiologis. Dalam
banyak pembahasan tentang penelitian sastra, istilah-istilah itu disebut sebagai
sosiologi sastra, salah satunya Ratna dalam Teori, Metode, dan Teknik Penelitian
Sastra (2004). Hanya saja, setiap istilah itu didasarkan pada sikap dan pandangan
teoritis tertentu. Damono juga mengatakan bahwa istilah pendekatan sosio-kultural
terhadap sastra dikemukakan Grebstein (1968) dengan kesimpulan sebagai berikut.
(a)Karya sastra tidak dapat dipahami secara selengkap-lengkapnyaapabila dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan atau
peradaban yang telah menghasilkan. Ia harus dipelajari dalamkonteks yang seluas-luasnya, dan tidak hanya dirinya sendiri.
Setiap karya sastra adalah hasil dari pengaruh timbal-balik yang
rumit dari faktor-faktor sosial dan kultural, dan karya itu sendirimerupakan obyek kultural yang rumit. Bagaimanapun, karya
sastra bukanlah suatu gejala yang tersendiri.
(b)Gagasan dalam karya sastra sama pentingnya dengan bentuk danteknik penulisannya; bahkan boleh dikatakan bentuk dan teknik
itu ditentukan gagasan tersebut. Tak ada karya sastra besar yang
diciptakan berdasarkan gagasan sepele dan dangkal; dalam
pengertian ini sastra adalah kegiatan yang sungguh-sungguh.(c)Setiap karya sastra yang bisa bertahan lama pada hakikatnya
adalah suatu moral, baik dalam hubungannya dengan
17Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
-
7/22/2019 Stereotip Terhadap masyarakat tionghoa
33/114
kebudayaan sumbernya maupun dalam hubungannya dengan
orang-seorang. Karya sastra bukan merupakan moral dalam
artinya yang sempit, yakni yang sesuai dengan suatu kode dansistem tindak-tanduk tertentu, melainkan dalam pengertian
bahwa ia terlibat dalam kehidupan dan menampilkan tanggapan
evaluatif terhadapnya. Dengan demikian sastra adalaheksperimen moral.
(d)Masyarakat dapat mendekati karya sastra dari dua arah: pertama,sebagai suatu kekuatan atau faktor material istimewa, dan kedua,sebagai tradisiyakni kecenderungan-kecenderungan spiritual
maupun kultural yang bersifat kolektif. Bentuk dan isi karya
sastra dengan demikian dapat mencerminkan perkembangan
sosiologis, atau menunjukkan perubahan-perubahan yang halus
dalam watak kultural.(e)Kritik sastra seharusnya lebih dari sekadar perenungan estetisyang tanpa pamrih; ia harus melibatkan diri dalam suatu tujuantertentu. Kritik adalah kegiatan penting yang harus mampu
mempengaruhi penciptaan sastratidak dengan cara mendikte
sastrawan agar memilih tema tertentu, misalnya, melainkandengan menciptakan iklim tertentu yang bermanfaat bagi
penciptaan seni besar.
(f) Kritikus bertanggung jawab baik kepada sastra masa silammaupun sastra masa datang. Dari sumber sastra yang sangat luas
itu kritikus harus memilih yang sesuai untuk masa kini.
Perhatiannya bukanlah seperti pengumpul benda kuno yang
kerjanya hanya menyusun kembali, tetapi memberi penafsiranseperti yang dibutuhkan oleh masa kini. Dan karena setiap
generasi membutuhkan pilihan yang berbeda-beda, tugas kritikusuntuk menggali masa lalu tak ada habisnya. (Damono, 2002: 6
7)
Pendekatan ini merupakan pendekatan terhadap unsur ekstrinsik karya sastra.
Meskipun demikian, pendekatan terhadap unsur ektrinsik sebuah karya sastra tidak
terlepas dari unsur yang terkandung di dalamnya, yakni unsur intrinsik. Mengenai hal
itu, Wellek dan Warren (1989: 157) menyatakan bahwa penelitian sastra sewajarnya
bertolak dari interpretsi dan analisis karya sastra itu sendiri. Pendekatan terhadap
unsur intrinsik karya sastra juga dapat membantu penelitian dengan pendekatan
18Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
-
7/22/2019 Stereotip Terhadap masyarakat tionghoa
34/114
ekstrinsik. Dengan begitu, sesuai pernyataan Wellek dan Warren tersebut, sebuah
penelitian sastra dapat terjaga keobjektifannya.
Untuk itu, dalam penelitian ini analisis akan dilakukan terhadap unsur
intrinsik tokoh dan latar. Kedua unsur intrinsik ini dipilih karena dapat
mengungkapkan stereotip masyarakat Tionghoa dalam CBK. Kemudian, stereotip itu
akan dianalisis dengan menggunakan konsep interaksi sosial dari sosiologi dan
konsep atau paham multikulturalisme.
2.3 Konsep-Konsep
Ada tiga konsep yang akan menunjang pemakaian teori sosial sastra pada
penelitian ini. Pertama, konsep mengenai tokoh dan latar. Kedua, konsep interaksi
sosial. Ketiga, konsep atau paham multikulturalisme. Penjelasan konsep-konsep itu
adalah sebagai berikut.
2.3.1 Tokoh dan Penokohan
Tokoh cerita (character), menurut Abrams (1981: 20) yang dikutip
Nurgiyantoro (2002: 165), adalah orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif,
atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan
kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang
dilakukan dalam tindakan. Pengertian itu selaras dengan pengertian tokoh dari
Sudjiman (1988: 16), yaitu individu rekaan yang yang mengalami peristiwa atau
berlakuan dalam berbagai peristiwa dalam cerita.
19Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
-
7/22/2019 Stereotip Terhadap masyarakat tionghoa
35/114
Membicarakan tokoh dalam sebuah cerita rekaan erat kaitannya dengan
penokohan. Walaupun demikian, istilah tokoh dan penokohan merupakan dua hal
yang berbeda. Sudjiman (1986: 80) menjelaskan penokohan sebagai penyajian watak
tokoh dan penciptaan citra tokoh. Sejalan dengan pengertian itu, Jones (1968: 33)
yang dikutip Nurgiyantoro (2002: 165) menjabarkan penokohan sebagai pelukisan
gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita.
Penokohan ditampilkan pengarang cerita dengan beberapa metode. Hudson
(1913: 192) menyebut dua metode penokohan, yaitu the direct or analytical methods
(metode langsung atau analitis) dan the indirect or dramatic methods (metode tak
langsung atau dramatik). Mengenai metode langsung atau analitis, Sudjiman (1988:
2326) menjelaskannya sebagai metode yang digunakan pengarang untuk
memaparkan ciri lahir (fisik) dan batin (watak) tokoh secara langsung. Untuk metode
yang kedua, ia menjelaskannya sebagai penyampaian tak langsung yang memerlukan
penyimpulan pembaca dari lakuan, penampilan fisik, dan gambaran lingkungan atau
tampat tokoh.
Selain metode yang disebut Hudson, Kenney (1966: 3436) menyebut dua
metode penokohan, yaitu metode diskursif dan metode kontekstual (Sudjiman, 1988:
1722). Metode diskursif merupakan metode yang sama dengan metode langsung
yang disebut Hudson, sedangkan metode kontekstual menggunakan bahasa yang
dipakai pengarang untuk menggambarkan watak tokoh.
20Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
-
7/22/2019 Stereotip Terhadap masyarakat tionghoa
36/114
2.3.2 Latar Fisik dan Latar Sosial
Pembahasan latar dalam penelitian ini mengacu pada pembedaan latar yang
disebut Hudson (1963: 209). Ia menyebut latar sebagai what we have called its time
and place of action (waktu dan tempat terjadinya cerita), termasuk manners (cara
bersikap), customs (adat), dan way of life (gaya hidup). Kemudian, ia membedakan
latar menjadi dua: latar fisik dan latar sosial. Sudjiman (1984: 44) menjelaskan
pembedaan latar yang dibuat Hudson itu sebagai berikut.
Latar sosial mencakup penggambaran keadaan masyarakat,
kelompok-kelompok sosial dan sikapnya, adat kebiasaan, cara hidup,bahasa, dan lain-lain yang melatari peristiwa. Adapun yang
dimaksud dengan latar fisik adalah tempat dalam ujud fisiknya, yaitu
bangunan, daerah, dan sebagainya.
Unsur ini dapat dikatakan sebagai unsur yang dominan dalam sebuah cerita
rekaan. Sebagai unsur dalam cerita rekaan, latar merupakan bagian dari satu keutuhan
yang tidak dapat berdiri sendiri dan harus dipahami dalam hubungannya dengan
unsur-unsur lain. Walaupun demikian, latar dapat menentukan tipe tokoh cerita dan
mengungkapkan watak tokoh (Sudjiman, 1984: 4849).
2. 3. 3 Konsep Interaksi Sosial
Sebelum ke pembahasan lebih jauh mengenai pemahaman konsep interaksi
sosial, ada baiknya diketahui definisi sosiologi dari para ahli yang disebut Soekanto
(1998: 2021) sebagai berikut. Roucek dan Warren (1962) mengemukakan bahwa
sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antarmanusia dalam kelompok-
21Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
-
7/22/2019 Stereotip Terhadap masyarakat tionghoa
37/114
kelompok. Sejalan dengan pendapat itu, William F. Ogburn dan Meyer F. Nimkoff
(1964) berpendapat bahwa sosiologi adalah penelitian secara ilmiah terhadap
interaksi sosial dan hasilnya yaitu organisasi sosial. Kemudian, Selo Soemarjan dan
Soeleman Soemardi (1974) mendefinisikan sosiologi sebagai ilmu yang mempelajari
struktur sosial dan proses-proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial.
Dari beberapa pengertian itu, penulis memutuskan memakai pemahaman
interaksi sosial dalam penelitian ini. Pemahaman interaksi sosial itu akan membantu
penulis mewujudkan tujuan pertama penelitian ini, yakni memaparkan dampak
stereotip masyarakat Tionghoa dalam CBK kepada lakuan para tokohnya. Lakuan
para tokoh dalam menanggapi stereotip tentunya bersinggungan dengan interaksi
sosial.
Interaksi sosial, yang juga dapat disebut sebagai proses sosial, sendiri
dijelaskan Soekanto (1998: 66) sebagai berikut.
Proses sosial merupakan cara-cara berhubungan yang dilihat apabila
orang perorangan dan kelompok-kelompok sosial saling bertemu danmenentukan sistem serta bentuk-bentuk hubungan tersebut atau apa
yang akan terjadi apabila ada perubahan-perubahan yang
menyebabkan goyahnya pola-pola kehidupan yang sudah ada.Dengan perkataan lain proses sosial diartikan sebagai pengaruh
timbal-balik antara pelbagai segi kehidupan bersama, misalnya,
pengaruh-mempengaruhi antara sosial dengan politik, politik denganekonomi, ekonomi dan hukum, dan seterusnya.
Kemudian, dengan mengutip Gillin dan Gillin (1954), Soekanto (1998: 66) juga
mengatakan bahwa interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang
dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-perorangan antara kelompok-
kelompok manusia, maupun antara orang-perorangan dengan kelompok manusia.
22Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
-
7/22/2019 Stereotip Terhadap masyarakat tionghoa
38/114
Pemakaian konsep interaksi itu akan dikerucutkan pada konsep hubungan
antarsuku bangsa yang diungkapkan Suparlan (2004: 15). Menurutnya, pada
hubungan seperti itu interaksi antarindividu menggunakan suku bangsa sebagai acuan
bagi jati diri suku bangsanya, dan bersamaan dengan itu menggunakan streotip-
stereotip mengenai ciri-ciri suku bangsa.
2.4.2 Kajian Multikultural
Suparlan (2004: 123) dalam bukunya yang berjudul Hubungan Antar-
Sukubangsa menjelaskan multikulturalisme sebagai berikut.
Multikulturalisme adalah sebuah ideologi yangmenggabungkan perbedaan dalam kesederajatan (Bennet 1995, Jary
dan Jary 1991, Niero 1992, Watson 2000). Baik perbedaan
individual maupun perbedaan kebudayaan. Multikulturalismemenjadi acuan keyakinan untuk terwujudnya pluralisme budaya, dan
terutama memperjuangkan kesamaan hak dan berbagai golongan
minoritas baik secara hukum maupun secara sosial. Dalam
perjuangan ini multikulturalisme merupakan acuan yang palingdapat diterima dalam masyarakat yang demokratis karena yang
diperjuangkan oleh pendukung multikulturalisme adalah sejalandengan perjuangan para penganut demokrasi.
Pengertian lain tentang multikulturalisme diungkapkan oleh Lawrence Blum, yang
dikutip Lubis (2004: 123). Kutipannya sebagai berikut.
Multikulturalisme mencakup suatu pemahaman, penghargaan, dan
penilaian atas budaya seseorang, serta suatu penghormatan dankeingintahuan tentang budaya etnis orang lain. Ia mencakupi
penilaian terhadap budaya-budaya orang lain, bukan untuk
menyetujui seluruh aspek budaya tersebut, tetapi untuk melihat
bagaimana sebuah budaya asli dapat mengekspresikan nilai bagi paraanggotanya.
23Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
-
7/22/2019 Stereotip Terhadap masyarakat tionghoa
39/114
Kedua pengertian itu memberikan gambaran bahwa multikulturalisme adalah
sebuah paham yang menentang diskriminasi, khususnya yang disebabkan oleh
perbedaan individual dan kebudayaan. Secara khusus, multikulturalisme
memperjuangkan persamaan hak bagi golongan minoritas. Sebagai paham yang
tumbuh dalam masyarakat yang multikultural, multikulturalisme menuntut
pemahaman antarkultur agar tidak terjadi benturan-benturan akibat saling tidak tahu.
Dalam hubungannya dengan penelitian ini, penulis menerapkan kajian
multikultural untuk menguji hipotesis bahwa kandungan cerita CBK mematahkan
stereotip yang berkembang di masyarakat tentang masyarakat Tionghoa.
24Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
-
7/22/2019 Stereotip Terhadap masyarakat tionghoa
40/114
BAB 3
TOKOH DAN LATAR CBK
3.1 Pengantar
Bab ini berisi analisis unsur intrinsik tokoh dan latar CBK. Dari deskripsi
unsur intrinsik itu nantinya akan muncul deskripsi stereotip terhadap masyarakat
Tionghoa dalam CBK, yang akan ditampilkan pada bab berikutnya. Sebelum analisis
unsur intrinsik itu terlebih dahulu penulis tampilkan ringkasan cerita CBK.
3.2 Ringkasan Cerita CBK
CBK berkisah tentang seorang perempuan bernama Tinung yang hidup di
antara masyarakat Tionghoa. Ia adalah perempuan pibumi yang berprofesi sebagai ca-
bau-kan (perempuan penghibur) di Kali Jodo karena kesulitan ekonomi warga
Batavia sebagai dampak dari malaise (kesulitan ekonomi dunia setelah Perang Dunia
I) saat itu. Karena kecantikan dan keluguan parasnya, ia terkenal di kalangan laki-laki
Tionghoa yang kerap datang ke tempat itu. Bahkan, seorang tauke bernama Tan Peng
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
-
7/22/2019 Stereotip Terhadap masyarakat tionghoa
41/114
Liang asal Gang Tamim, Bandung (selanjutnya disebut TPL Bandung) membawanya
ke Sewan, Tangerang untuk dijadikan perempuan simpanan karena tauke itu sangat
menyukainya.
Beberapa bulan kemudian Tinung meninggalkan Sewan sebab tidak betah
melihat penyiksaan yang dilakukan TPL Bandung terhadap penduduk sekitar yang
tidak mampu membayar hutang. Padahal, saat itu ia sedang mengandung anaknya. Ia
pun kembali ke Batavia.
Kemudian, karena kekurangan uang, Tinung kembali lagi ke Kali Jodo. Akan
tetapi, kembalinya Tinung ke Kali Jodo tidak berlangsung lama karena perahu tempat
ia bekerja terbakar. Semua itu disebabkan ulah centeng Tan Peng Liang asal Gang
Tamim, Bandung yang menyerang teman kencan Tinung di atas perahu yang
dipasangi lampion itu. Karena tidak ada pekerjaan di Kali Jodo, Saodah (saudara
sepupu ibu Tinung) mengajak Tinung ke tempat seniman lagu-lagu klasik Tionghoa
yang bernama Njoo Tek Hong, yang merupakan gurunya.
Beberapa lama setelah itu ia bertemu dengan Tan Peng Liang asal Gang
Pinggir, Semarang (selanjutnya disingkat TPL Semarang). Laki-laki ini mengajaknya
tinggal di rumahnya di Gang Chaulan. TPL Semarang menjadikan Tinung lebih dari
sekadar perempuan simpanan. Ia menyayangi Tinung dan memperlakukannya dengan
baik dan penuh kasih sayang.
TPL Semarang merupakan seorang keturunan Tionghoa yang berprofesi
sebagai pengusaha candu dan tembakau di Glodok. Kehadiran dan sepak terjangnya
sebagai pengusaha ternyata menimbulkan keresahan seorang pengusaha lainnya, yaitu
26Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
-
7/22/2019 Stereotip Terhadap masyarakat tionghoa
42/114
Thio Boen Hiap. Pengusaha itu merasa tersaingi dalam hal berbisnis tembakau. Ia
merasa ada keganjilan pada kesuksesan TPL Semarang sebab pada saat itu terjadi
kesulitan ekonomi. Akan tetapi, situasi itu tidak berpengaruh pada TPL Semarang.
Thio Boen Hiap pun menjadi bertanya-tanya perihal asal modal usaha TPL
Semarang.
Dari persaingan bisnis itu kemudian muncul konflik sosial. Ada suatu
peristiwa yang menyebabkan TPL Semarang berselisih dengan orang-orang dari
perkumpulan Tionghoa yang disebut Kong Koan atau Raad van Chinezen. Saat pesta
Cio Ko berlangsung, TPL Semarang yang hadir dengan undangan dari Kong Koan
membagi-bagikan uang kepada orang-orang bersamaan dengan pembagian makanan
sesaji yang dilakukan oleh pejabat Kong Koan. Sikap TPL Semarang itu membuat
orang-orang beralih perhatian dari pembagian makanan sesaji yang dilakukan Kong
Koan pada pembagian uang yang dilakukannya. Hal itu membuat Oey Eng Goan,
ketua Kong Koan, merasa tidak suka dan berusaha menghentikannya dengan cara
menarik lengan TPL Semarang. Cara itu membuat TPL Semarang geram dan
akhirnya menampar ketua Kong Koan itu.
Dengan posisinya sebagai ketua dan ditambah hasutan dari Thio Boen Hiap,
Oey Eng Goan membawa permusuhan dengan TPL Semarang ke dalam tubuh Kong
Koan. Satu hal yang semakin mempertajam permusuhan itu adalah status TPL
Semarang sebagai kiauw-seng atau masyarakat Tionghoa keturunan yang berbeda
dengan status pejabat-pejabat Kong Koan yang orang Hoakiau atau Tionghoa
totok/asli.
27Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
-
7/22/2019 Stereotip Terhadap masyarakat tionghoa
43/114
Perselisihan itu terus berlangsung hingga persaingan bisnis yang terjadi sarat
akan intrik. TPL Semarang membeli tembakau hasil produksi Thio Boen Hiap
melalui penyamaran kemenakannya Tan Soen Bie. Kemudian, ia menjualnya lagi
dengan harga yang lebih murah. Ketika tahu akan penipuan itu, Thio Boen Hiap
memutuskan untuk membalasnya dengan cara menghancurkan usaha TPL Semarang.
Ia merencanakan pembakaran gudang tembakau TPL Semarang di Glodok. Hal itu
pun dibicarakannya di majelis Kong Koan. Meski tanpa dukungan pejabat-pejabat
Kong Koan yang lain, pembakaran gudang milik TPL Semarang melalui orang
suruhan Thio Boen Hiap itu akhirnya terjadi juga.
Sebenarnya TPL Semarang dapat mencegah peristiwa itu karena
kemenakannya memergoki dan menangkap orang suruhan Thio Boen Hiap ketika
akan membakar gudangnya. Namun, ia justru membiarkan hal itu terjadi untuk
menyerang Thio Boen Hiap melalui jalur hukum. Untuk tujuannya itu TPL Semarang
mendekati J. P. Verdoorn, polisi Belanda yang berwenang saat itu. Selain itu, ia juga
mendekati Jaksa Adrian van der Aa dan orang-orang surat kabar Betawi Baroe. TPL
Semarang mendekati mereka dengan cara memberikan angpauw (amplop yang berisi
uang). Mereka semua didekatinya dengan maksud tertentu agar tujuannya membalas
perbuatan Thio Boen Hiap dapat tercapai.
Ketika tujuannya itu hampir tercapai, yaitu dengan ditangkap dan ditahannya
Thio Boen Hiap selama tiga bulan untuk diadili, sindikat pemalsuan uang yang
dilakukannya terbongkar. Terungkaplah hal yang selama ini menjadi pertanyaan di
benak Thio Boen Hiap tentang asal modal usaha TPL Semarang. Pengungkapan
28Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
-
7/22/2019 Stereotip Terhadap masyarakat tionghoa
44/114
pemalsuan uang itu dilakukan oleh Tjia Wan Sen, laki-laki yang pernah diserang
centeng TPL Bandung saat mengencani Tinung dan mengiranya sebagai perbuatan
TPL Semarang, dan wartawanBetawi Baroe yang bernama Jan Max Awuy.
Selanjutnya, TPL Semarang ditangkap. Anehnya, dengan sikap berani dan
jujur ia mengakui semua perbuatannya dan meminta hakim memvonisnya dengan
hukuman yang seberat-beratnya. Ia yang saat itu dibela oleh sepupunya sendiri
(Soetardjo) pun dipenjara di Cipinang. Namun, ia hanya mampu bertahan selama
tujuh bulan di penjara itu. Ia melarikan diri dengan cara menyuap kepala penjara, lalu
kabur ke Makao melalui Singapura.
Sepeninggal TPL Semarang, Tinung tinggal di rumah Gang Chaulan bersama
dua anaknya: satu dari TPL Bandung dan satu lagi dari TPL Semarang. Tidak lama ia
tinggal di rumah itu tanpa TPL Semarang karena kemudian rumah itu disita
kejaksaan. Ia pun kembali ke rumah orang tuanya.
Kemudian, karena persediaan hartanya habis dan ditambah dengan desakan
ibu serta sepupu ibunya, Tinung kembali lagi ke Kali Jodo untuk menjadi ca-bau-kan.
Ia terpaksa kembali ke tempat itu untuk menghidupi kedua anaknya. Di Kali Jodo ia
bertemu lagi dengan orang-orang yang dulu pernah mengencaninya, salah seorang di
antaranya adalah Tjia Wan Sen. Bahkan, laki-laki itu mengajak Tinung untuk ikut
dan menikah dengannya.
Sekembalinya Tinung ke Kali Jodo, anaknya dari TPL Bandung sakit keras. Ia
pun harus meninggalkan Kali Jodo untuk mengurus anaknya. Akhirnya, anak itu
dibawa ke dokter. Di sana ia bertemu dengan Nonya Karel Willem Teeuwen.
29Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
-
7/22/2019 Stereotip Terhadap masyarakat tionghoa
45/114
Perempuan Belanda itu dan suaminyalah yang kemudian mengadopsi kedua anak
Tinung dan membawanya ke Belanda. Meski tidak ikhlas pada pengadopsian itu, ia
membiarkan kedua anaknya dibawa ke Belanda karena desakan ibunya yang telah
menerima sejumlah uang dari pasangan suami istri Belanda itu.
Kehidupan Tinung sebagai ca-bau-kan pun terus berlanjut. Selama tiga bulan
kabar melalui surat dari Belanda terus berdatangan. Akan tetapi, karena ia buta huruf,
surat-surat itu tidak dibacanya dan hanya ditaruh di dinding gedek. Padahal, surat
yang terakhir berisi kabar kematian salah satu anaknya karena sakit.
Malang nasibnya ketika usai berkencan dengan Tjia Wan Sen, centeng-
centeng TPL Bandung mencoba membawanya ke Sewan, Tangerang. Namun, karena
perlawanan Tjia Wan Sen yang berujung pada penikaman tubuhnya, Tinung berhasil
kabur. Kemudian, Tinung terpaksa kembali lagi ke Kali Jodo karena desakan ibunya.
Sekembalinya ke tempat itu, ia tertangkap oleh centeng-centeng TPL Bandung dan
dibawa ke Sewan.
Berkat usaha Tan Soen Bie, Tinung berhasil diselamatkan dari TPL Bandung
dan dibawa ke Semarang. Semua itu atas permintaan TPL Semarang melalui suratnya
dari Makao yang meminta Tan Soen Bie untuk membawa Tinung dan Giok Lan ke
Semarang. Untuk beberapa saat Tinung pun hidup dengan tenang di Semarang.
Pada tahun 1941, TPL Semarang melalui suratnya meminta Tan Soen Bie
mengumumkan dan mengatur upacara kematian untuknya di Batavia. Banyak orang
yang percaya akan kematian itu, termasuk orang-orang Kong Koan. Padahal,
30Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
-
7/22/2019 Stereotip Terhadap masyarakat tionghoa
46/114
sebenarnya TPL Semarang mengirimkan candu dari Makao sebagai modal usaha
keluarganya dalam peti matinya.
Setelah itu Jepang datang ke Indonesia menggusur kekuasaan Belanda.
Datangnya Jepang ke Indonesia membawa beberapa perubahan pada banyak orang.
Perubahan itu di antaranya adalah Soetardjo (sepupu TPL Semarang) dan Max Awuy
(reporterBetawi Baroe) menjadi tentara didikan Jepang; Tinung kembali ke rumah di
Gang Chaulan bersama Tan Kim San dan Tan Kim Hok; F. D Pangemanan (pemmpin
redaksi Betawi Baroe) bekerja di lembaga propaganda Jepang. Perubahan yang
terburuk terjadi pada orang-orang Kong Koan sebab Jepang menganggap orang
Tionghoa memusuhi mereka. Jadi, mereka pun dicurigai Jepang. Tidak hanya
mereka, pada akhirnya Tinung juga mengalami nasib yang buruk. Oleh sebab hasutan
Thio Boen Hiap, ia dijadikan jugun ianfu, wanita pemuas seks para tentara Jepang.
Pada saat yang sama TPL Semarang mencoba kembali ke Batavia melalui
Bangkok, Thailand. Di Bangkok ia berkenalan dengan tokoh komunis yang
menguasai penjualan dan penyelundupan senjata ke Malaya. Ia menyelundupkan
senjata ke Malaya hingga empat kali. Namun, pada akhirnya ia memutuskan untuk
pulang karena rindu akan keluarga. Dengan berbagai rintangan dan halangan, TPL
Semarang berhasil pulang ke Batavia.
Betapa terkejutnya ia ketika kembali ke Jakarta, Tinung tidak ada. Karena
kemenakan dan dua anak lelakinya tidak tahu keberadaan Tinung, TPL Semarang ke
Semarang menemui sepupunya. Di sana Soetardjo menjelaskan bahwa Tinung
dijadikan jugun ianfu oleh Jepang karena hasutan Thio Boen Hiap, lalu ia
31Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
-
7/22/2019 Stereotip Terhadap masyarakat tionghoa
47/114
menyelamatkannya ke rumah sakit rehabilitasi mental di Sukabumi. Ia juga
menjelaskan bahwa perjuangan pergerakan Indonesia kesulitan menghadapi Jepang
karena kekurangan senjata. TPL Semarang berjanji akan membantu perjuangan
pergerakan Indonesia, lalu menjemput dan membawa Tinung pulang ke Semarang.
Tindakan TPL Semarang selanjutnya adalah menyelundupkan senjata dari
Thailand ke Indonesia untuk pergerakan perjuangan Indonesia. Kehidupan mereka
pun terus berlanjut hingga datang tentara sekutu. Ia membunuh Thio Boen Hiap
dengan pistol setelah tahu bahwa orang itu menghasut Tan Soen Bie untuk
membencinya. Ia memutuskan melakukan hal itu karena sudah banyak perbuatan
jahat Thio Boen Hiap kepadanya.
Setelah Indonesia merdeka mereka hidup tenang dan damai. Pada tahun 1951,
TPL Semarang meresmikan Bank Tandagra miliknya. Banyak orang yang hadir,
termasuk orang-orang Kong Koan kecuali Thio Boen Hiap tentunya. TPL Semarang
hidup bahagia bersama Tinung dan keluarganya. Ia juga dikaruniai seorang anak laki-
laki. Akan tetapi, akhirnya ia tewas mengenaskan karena diracun. Oey Eng Goan
menjadi dalang peracunannya itu. Ia juga mencemarkan nama baik TPL Semarang
dengan cara menyuruh pembantu Thio Boen Hiap mengaku sebagai wanita
simpanannya di pemakamannya. Pengakuan itu membuat Tinung merasa terpukul
hingga jatuh sakit, lalu meninggal karena terjatuh dari tangga.
32Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
-
7/22/2019 Stereotip Terhadap masyarakat tionghoa
48/114
3.3 Tokoh
3.3.1Tokoh Tinung
Tokoh utama dalam cerita ini adalah seorang perempuan bernama Tinung. Ia
adalah seorang perempuan pribumi keturunan Betawi yang tinggal di Batavia. Tinung
berasal dari keluarga miskin dan tidak berpendidikan. Ia menikah pada usia muda
dengan juragan perahu yang sudah beristri empat. Latar belakangnya yang miskin dan
tidak berpendidikan membuat Tinung tidak berdaya ketika ibu mertuanya
mengusirnya dari rumah suaminya. Padahal, saat itu ia sedang mengandung.
Tinung digambarkan sebagai perempuan yang mudah dipengaruhi. Setelah
peristiwa pengusiran itu dan keguguran anaknya, ia dengan mudahnya dipengaruhi
Saodah untuk menjadi ca-bau-kan di Kali Jodo. Dengan bujuk rayu Saodah dan
diperkuat oleh dukungan sang ibu, Tinung pun akhirnya memutuskan pergi ke Kali
Jodo. Di Kali Jodo, Tinung diberikan julukan Si Chixiang, dari bahasa Kuo-Yu yang
berarti sangat masyhur dan dicari-cari. Tinung mendapat julukan itu karena ia
masih muda dan memiliki tubuh yang indah, langsing, elok, berpadan antara dada
dan pinggul,... (hlm. 16)
Ciri Tinung yang lain di antaranya adalah lugu, berpikiran kuno, dan pemalu.
Ia adalah perempuan cantik yang lugu. Namun, justru wajah Tinung yang lugu dan
nyaris dungu di satu pihak, malah mengandung semacam undangan yang ramah
terhadap birahi dan maksiat di lain pihak. (hlm. 27) Keluguan wajahnyalah yang
menjadi salah satu alasan ia disukai banyak laki-laki di Kali Jodo meskipun dalam
keadaan hamil. Selain itu, ia juga berpikiran kuno. Ketika lari dari Sewan pada
33Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
-
7/22/2019 Stereotip Terhadap masyarakat tionghoa
49/114
malam hari ia dibayang-bayangi oleh pikiran dan perasaan takut terhadap setan,
gendruwo, memedi, kuntilanak, sundel bolong, dan sebangsanya. Ia juga seorang
perempuan yang pemalu. Saat TPL Semarang bertanya kepadanya perihal apakah dia
mampu bernyanyi seperti Saodah, Tinung menyimpai badannya, tergelung begitu
rupa, sehingga mirip seekor hewan tertentu yang bisa menyusut. (hlm. 41) Akan
tetapi, lagi-lagi sikapnya itu justru membuat laki-laki tertarik, tidak terkecuali TPL
Semarang.
Di balik semua cirinya itu, Tinung adalah seorang perempuan setia. Ia memang
berprofesi sebagai ca-bau-kan, tetapi kesetiaannya pada TPL Semarang sangatlah
tinggi. Setelah anaknya diadopsi pasangan Belanda dan dibawa ke sana ia terpaksa
kembali ke Kali Jodo. Ia memang tidur dengan banyak laki-laki. Namun, hatinya
tetap ia jaga hanya untuk TPL Semarang. Ketika ada seorang lelaki yang memintanya
untuk menikah karena mencintainya, Tinung menolak dengan tegas. Ia mengatakan
pada laki-laki itu, Tjia Wan Sen, bahwa cintanya hanya untuk TPL Semarang.
Sebagai tokoh utama, tokoh ini menghubungkan semua tokoh yang ada dalam
CBK. Melalui ketokohannya tergambar kehidupan masyarakat Tionghoa yang
muncul setelah ia menjadi ca-bau-kan.
3.3.2Tokoh Tan Peng Liang Asal Semarang (TPL Semarang)TPL Semarang adalah seorang pria keturunan Tionghoa dari suku Hok-kian
yang dilahirkan di Semarang. Secara singkat, tokoh ini digambarkan sebagai berikut.
34Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
-
7/22/2019 Stereotip Terhadap masyarakat tionghoa
50/114
Dia keras, mandiri seperti harimau, suka menarik perhatian, bisa
ramah dengan keramahan yang paling palsu, tapi sewaktu-waktu
bisa juga langsung menjadi lalim dengan kelaliman yang palingtulen hanya karena gengsinya disepelekan. Dia sulit memercayai
orang, apalagi menghormati, kecuali terhadap sepasang nama di
Semarang, yaitu Tan Tiang Tjing ayahnya, berumur 60 tahun, guruuntuk segala hal, dan Soetini ibunya, perempuan Jawa dari keluarga
Raden Ngabehi Sastradiningrat asal Kartasura yang sehari-harian
menyulam menghitung jumlah terbit dan terbenamnya matahari.(hlm. 37)
Ia digambarkan sebagai pengusaha tembakau dan candu yang sukses di Glodok.
Usahanya berkembang dengan pesat hanya dalam beberapa tahun saja. Bahkan, ia
membeli sebuah gudang gula milik pengusaha dari suku Kwung-Fu, yang tidak
disebut namanya, karena barang dagangannya terus bertambah. Mengenai pemilik
gudang yang dibeli TPL Semarang itu, dalam CBK disebut sebagai berikut.
Kata orang, pengelola usaha itu dari suku kwung-fu, suku dalammasyarakat Tionghoa yang terbilang kecil di Hindia Belanda, dan
biasanya dikenal berusaha di bidang perabotan rumahtangga, serta
yang dianggap oleh masyarakat Tionghoa sendiri: tak berbakat untuk
berdagang pula. (hlm. 14)
Kesuksesannya itu juga dapat diketahui dari caranya berpakaian.
Dia berpakaian cara Belanda: stelan jas dan dasi sutra serta topi
laken, sementara masih banyak Tionghoa lain yang ber-tocang, yaitumodel kepang yang dikuncir dengan ikatan sutra berwarna khas,
misalnya sutra hitam untuk lelaki dewasa, sutra merah untuk remaja,
sutra putih untuk yang berkabung. (hlm. 37)
Caranya berpakaian di masa kolonial itu menunjukkan bahwa ia memiliki banyak
uang.
TPL Semarang mempunyai seorang istri bernama Nio Kat Nio dan dua orang
anak laki-laki bernama Tan Kim San dan Tan Kim Hok. Ia juga mempunyai seorang
35Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
-
7/22/2019 Stereotip Terhadap masyarakat tionghoa
51/114
kemenakan laki-laki bernama Tan Soen Bie, yang setia mendampingi kegiatannya
sehari-hari. Kepada kemenakannya tersebut ia membebani segala pekerjaan yang
berhubungan dengan kekerasan.
Selain kedua anaknya itu, sebenarnya TPL Semarang masih mempunyai
seorang anak perempuan bernama Tan Giok Lan. Akan tetapi, anak itu
dikorbankannya sebagai tumbal pesugihan. Sikapnya itu menunjukkan bahwa ia
percaya pada tahayul, yang banyak dipercaya orang-orang Tionghoa di Jawa. (hlm.
63)
Meski pengorbanan itu atas maunya sendiri, TPL Semarang merasa
kehilangan putrinya. Apalagi ditambah istrinya tidak mampu lagi memberikan anak
perempuan karena sakit-sakitan dan lumpuh. Oleh sebab itu, ia menjadikan Tinung
sebagai istri simpanannya untuk mendapatkan anak perempuan sebagai pengganti
putrinya itu. Bahkan, ia berjanji akan memberikan rumah di Gang Chaulan kepada
Tinung bila ia dapat memberikan anak perempuan kepadanya. Sikap sayang dan
perhatiannya kepada Tinung pun bertambah ketika ia tahu Tinung hamil.
Tan Peng Liang asal Gang Pinggir, Semarang ini,memperlakukannya dengan kelembutan yang hampir tidak masuk
akal. Semua diperhatikannya. Apa lagi setelah Tinung hamil, makin
lama makin besar perutnya. Tan Peng Liang betul-betulmengharapkan anakanak perempuanitu selalu dikatakannya
pada Tinung. (hlm. 84)
Pada bulan ketujuh kehamilan Tinung, TPL Semarang mengajaknya ke
Semarang untuk sembahyang dan menikahinya di kuil keluarga seh Tan. Di
Semarang ia menjelaskan pada ibunya bahwa dari Tinung ia mengharapkan anak
36Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
-
7/22/2019 Stereotip Terhadap masyarakat tionghoa
52/114
perempuan karena istrinya sakit-sakitan dan lumpuh (hlm. 93). Di Semarang, TPL
Semarang juga bertemu dengan saudara sepupunya dari pihak ibu.
Sepupunya adalah seorang pribumi Jawa yang bernama Soetardjo Rahardjo.
Ia seoang aktivis perjuangan. Dari pertemuan TPL Semarang dengan sepupunya itu
tampak sikapnya yang acuh tak acuh pada perjuangan pergerakan kemerdekaan
Indonesia. Justru ayahnyalah yang menunjukkan ketertarikannya pada perjuangan itu.
Walaupun demikian, TPL Semarang menunjukkan simpatinya dengan cara memberi
bantuan finansial kepada organisasi sepupunya itu. Bahkan, di kemudian hari ia
membantu menyelundupkan senjata dari Thailand untuk membantu pergerakan
kemerdekaan Indonesia. Hal itu dilakukannya sebagai bagian dari perasaan
nasionalisnya, sebagai bagian dari pribumi karena lahir dari seorang perempuan
pribumi.
Karena lahir dari ibu seorang pribumi, TPL Semarang disebut Kiau-Seng
(Tionghoa Peranakan); berbeda dengan orang-orang yang disebut Hoa-Kiau
(Tionghoa Totok). Kedua istilah itu dalam CBK dijelaskan sebagai berikut.
Istilah kiau-seng dimaksudkan untuk menyebut orang-orangTionghoa bukan asli, yang oleh lamanya tinggal di Hindia Belanda,
dianggap kurang beradat, dan tidak menguasai bahasa resmi Kuo-Yu
kecuali bahasa lokal. Itu berbeda dengan hoa-kiau, yaitu golonganperantauan yang merasa dirinya masih murni, yang menganggap
tinggal di Hindia Belanda hanya sementara saja sekadar mencari
kekayaan lalu nanti pulang kembali ke tanah leluhur, Tiongkok.(hlm. 3940)
Sebagai kiau-seng, ia memiliki masalah kebahasaan dalam bersosialisasi dengan
hoakiau, yakni tidak fasih bercakap bahasa resmi Kuo-Yu. Bahasa yang dipakainya
37Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
-
7/22/2019 Stereotip Terhadap masyarakat tionghoa
53/114
sehari-hari adalah bahasa khas kiau-seng Jawa asal Semarang, campur-aduk antara
bahasa Melayu, Jawa, dan Hok-Kian.
1
Jika ia berkata dia,yang diucapkannya adalah diak-e; kata di
mana menjadi ada mana atau dan mana;ambilkan jadiambik-ke; tidak dapat jadi ndak isa; lihat jadi liak;
cantik jadi ciamik; sial jadi cialat; dan seterusnya. (hlm.
65)
Selanjutnya, status Kiau-Seng itu membuatnya terpisah dari orang-orang Hoa-
Kiau. Status itu pula yang menyebabkannya dipandang rendah orang-orang Kong
Koan, majelis khusus Thionghoa yang mengurus masyarakat Thionghoa di Hindia-
Belanda. Sikap orang-orang Kong Koan yang menganggap rendah dirinya itu
kemudian menjadi alasannya untuk memusuhi mereka. Hal ini dikatakannya kepada
Tan Soen Bie sewaktu berada di rumah Pondok Bambu.
Tapi ingat juga, musuhmu ada di dua arah. Di kiri adalah, tetap,
musuh keluarga kita. Kita ini satu keluarga. Kakekmu ditahan sebab
dia menyokong saudaramu yang pribumi itu. Dan sebab kakekmu
ditahan, maka nenekmu terguncang setengah mati. Musuhmu yangsatu lagi, di kanan, adalah orang-orang Kong Koan, yang mengira
mereka lebih penting daripada kita. Mereka ajak kita berperang. Dankita tidak menolak. Mengerti? (hlm. 103)
Dari perkataan TPL Semarang itu juga tampak sikap dan alasannya memusuhi
Belanda. Untuk itu, ia mencetak uang palsu. Dengan membuat uang palsu, ia
menganggap dapat menyerang musuh-musuhnya.
Uang palsu itu kemudian dipakai untuk transaksi pembelian tembakau Thio
Boen Hiap melalui penyamaran Tan Soen Bie. Dengan begitu, uang palsu itu akan
1Harimurti Kridalaksana (1991: 176) menyebut ciri-ciri bahasa Jawa yang dipergunakan oleh
masyarakat keturunan Tionghoa di Semarang itu: tidak ada kata-kata krama dan banyak terdapat
kata-kata Melayu.
38Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
-
7/22/2019 Stereotip Terhadap masyarakat tionghoa
54/114
masuk ke NV Bankvereeniging Oey Eng Goan. Masuknya uang itu ke bank milik
Oey Eng Goan tersebut secara tidak langsung merugikan pihak Belanda, yang juga
berarti penyerangan kepada musuh-musuh TPL Semarang itu. Mengenai penyerangan
tersebut, kepada sepupunya ia pernah mengatakan bahwa serangan secara fisik
kepada pihak Belanda sangatlah sulit. Untuk itu, ia melakukan penyerangan secara
halus untuk menghancurkan perekonomian Belanda. Maksud itu ia ungkapkan
sewaktu ia berada di penjara Cipinang. Kutipannya sebagai berikut.
Untuk melawan dan mengucar-kacirkan Belanda, bukan
dengan bedil, sebab bedil selalu kalah. Coba saja sampeyan ingatperang dengan bedil yang pernah terjadi di sini, mulai dari
Pattimura, Hasanuddin, Diponegoro, sampai Cut Nyak Dien,
semuanya dikalahkan hanya oleh muslihat tipu. Ya toh? Lasekarang, sebab bedil kalah, ya, kita perlu pakai perang dengan
senjata ekonomi, uang. (hlm. 212)
Penyerangan kepada kedua pihak yang menjadi musuhnya itu juga dilakukan
dalam bentuk lain, khususnya kepada orang-orang Kong Koan yang menjadi musuh
utamanya: Oey Eng Goan dan Thio Boen Hiap. Kepada Oey Eng Goan, ia pernah
mempermalukan ketua Kong Koan itu dalam lelang lukisan-lukisan seniman Belanda
dengan cara memberikan penawaran harga yang lebih tinggi dari penawaran-
penawarannya. Secara otomatis, tindakan TPL Semarang itu mempermalukan sang
ketua Kong Koan di depan khalayak umum. Sebagai pemilik bank, tentunya Oey Eng
Goan terusik harga dirinya karena penawaran yang diajukannya selalu kalah dengan
penawaran dari orang yang dianggapnya berstatus lebih rendah.
Kemudian, kepada Thio Boen Hiap, ia menyerangnya melalui jalur hukum. Ia
mengarahkan polisi dan jaksa untuk berpikir bahwa orang yang membakar gudang
39Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
-
7/22/2019 Stereotip Terhadap masyarakat tionghoa
55/114
tembakaunya adalah Thio Boen Hiap. Ia kemukakan beberapa bukti yang
menguatkan arahannya itu, yaitu penggantian gembok-gembok gudang Thio Boen
Hiap dan pemberitahuan nama orang suruhan Thio Boen Hiap untuk membakar
gudangnya.
Untuk menyerang Thio Boen Hiap, ia melakukan beberapa tindakan yang
menunjukkan kelihaiannya berstrategi. Ia memberikan amplop yang berisi sejumlah
uang kepada orang-orang yang dapat mendukung penyerangannya itu, yaitu polisi
Belanda bernama Verdoorn, jaksa Adrian van der Aa, dan orang-orang harianBetawi
Baroe. Pemberian amplop itu, yang dalam masyarakat Tionghoa disebut ang-pau,
menurutnya adalah sebagai bagian dari tradisi masyarakatnya. Ketika menyerahkan
amplop kepada Verdoorn, ia berkata sebagai berikut.
Bingkisan ini kami sebut ang-pau. Ini kewajiban dalam
kepercayaan yang harus dilaksanakan oleh orang-orang Tionghoa.
Kalau Tuan tidak menerima, Tuan menyakiti hati kami. (hlm. 152)
Dari sekian banyak sikap TPL Semarang terhadap musuh-musuhnya itu, ada
satu sikap yang menonjol berkaitan dengan keluarga dalam kehidupannya. Sikap itu
adalah sikap mengutamakan kepentingan, ketenangan, dan kebahagiaan keluarga.
Keluarga, adalah selalu, idaman ideal dalam hidupnya. Ini juga
adalah suatu hal yang istimewa dalam hidupnya, bahwa segalanyaboleh puntang-cerenang, tapi keluarga, dan arti ana-anak di
dalamnya, mestilah terus terpelihara dengan baik. (hlm. 275)
Sewaktu berbisnis menyelundupkan senjata dari Thailand ke Malaya, ia
menunjukkan sikap itu dengan kembali ke Indonesia karena rindu pada keluarganya.
Sewaktu akan membantu menyelundupkan senjata untuk perjuangan pergerakan
40Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
-
7/22/2019 Stereotip Terhadap masyarakat tionghoa
56/114
kemerdekaan Indonesia ia mengatakan bahwa ia ingin selalu hidup tenang bersama
keluarga.
Yang penting, kalau Indonesia nanti berdaulat, dan kamu semua
punya kedudukan dalam pemerintahan, jangan lupa pada saya. Sayaingin hidup tenang, tanpa dek-dekan, bersama keluarga. (hlm. 362)
3.3.3Tokoh Tan Peng Liang Asal Bandung (TPL Bandung)Tokoh ini memiliki nama yang sama dengan tokoh TPL Semarang. Hanya
saja, ia berasal dari daerah yang berbeda, yaitu Gang Tamim, Bandung. Orang ini
termasuk cukong, tapi bukan dari kelas penimbun kekayaan. Makanya dia tidak
dikenal oleh pejabat-pejabat Kong Koan atau Raad van Chinezen. (hlm. 17)
Sebagaimana TPL Semarang yang menggunakan bahasa yang campur-aduk
antara bahasa Melayu, Jawa, dan Hok-Kian; bahasa yang dipakainya adalah bahasa
campu-aduk antara bahasa Melayu, Sunda, dan Hok-Kian. Perbedaan bahasa itu
terjadi karena perbedaan asal mereka. Sebagai kiau-seng, mereka memang
terpengaruh oleh unsur lokal tempat mereka tinggal, termasuk bahasa mereka.
Pekerjaannya yang utama adalah mengelola kebun pisang. Di samping itu, ia
menjadi rentenir (pembunga uang) bagi orang-orang miskin di sekitarnya. Namun,
justru dari usaha membungakan uang itu ia memperoleh banyak uang. Bahkan, ia
sering menunjukkan sikap lalim dan kejam. Bila ada orang yang yang terlambat atau
tidak bisa membayar utang padanya, ia tidak segan-segan menyiksa orang itu dengan
bantuan centeng-centengnya.
41Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
-
7/22/2019 Stereotip Terhadap masyarakat tionghoa
57/114
Ia digambarkan sebagai orang yang cepat hangat terhadap asmara birahi
sekaligus cepat dingin terhadap kekerasan. (hlm. 24) Ia sangat menyukai Tinung
sebagai pemuas kebutuhan birahinya, karena itu ia membawa Tinung ke Sewan,
Tangerang. Akan tetapi, ketika tahu bahwa Tinung mencoba lari dari rumahnya
setelah menyaksikan pembunuhan yang dilakukan centengnya, ia memerintahkan
agar Tinung ditangkap. Bahkan, setelah Tinung berhasil kabur, ia menyuruh centeng-
centengnya untuk membunuh Tinung. Padahal, ia tahu saat itu Tinung sedang
mengandung anaknya.
3.3.4SaodahSaodah adalah sepupu dari Mpok Jene, ibu Tinung. Tokoh ini berperan
penting dalam proses Tinung menjadi ca-bau-kan di Kali Jodo dan pertemuannya
dengan TPL Semarang. Melalui Saodah, Tinung masuk ke dunia pelacuran di Kali
Jodo.
Saat kehidupan Tinung menjadi semakin sulit setelah diusir oleh ibu
mertuanya dan keguguran anaknya, Saodah datang ke rumah ibunya. Ia menceritakan
pekerjaan ca-bau-kan kepada Mpok Jene. Kemudian, karena latar ekonomi yang sulit
dan pikiran yang dangkal, Mpok Jene mendorong Tinung untuk menjadi ca-bau-kan.
Menurut Mpok Jene, Tinung lebih baik menjadi ca-bau-kan daripada mengurung diri
di rumah.
Mengetahui ketertarikan sepupunya, Saodah turut serta mendorong Tinung
menjadi ca-bau-kan seperti dirinya. Ia dengan penuh keyakinan membujuk Tinung
42Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
-
7/22/2019 Stereotip Terhadap masyarakat tionghoa
58/114
untuk ikut dengannya ke Kali Jodo. Ia meyakinkan Tinung bahwa pekerjaan ca-bau-
kan di Kali Jodo tidak sulit dan mengiming-imingi uang dan harta yang akan
diperolehnya. Perkataan Saodah untuk meyakinkan Tinung sebagai berikut.
Lu sih mude, Nung, kata Saodah. Pasti banyak nyang
naksir. Kalo pas lu dapet cukong, lu tinggal buka baju, lu antepin
dienye nikmatin badan lu, duit bisa segepok. Kalo cukong entunagih, bisa-bisa lu dipiarekayak si Atimdijadiin ca-bau-kan.
Punye rume, perabotan, gelang-kalung mas. (hlm. 14)
Sebenarnya, pekerjaan Saodah yang utama bukanlah ca-bau-kan, tetapi
penyanyi dan penari cokek. Kemampuannya yang paling menonjol adalah menyanyi
lagu-lagu klasik Tiongkok sambil menari cokek, yang membuatnya dijuluki Si
Mingyanrenyang berarti orang yang perasaannya halus di Kali Jodo. Ia tergabung
dalam kelompok gambang kromong khusus lagu-lagu Tiongkok. Namun, sebagai
akibat zaman Malaise, kelompok gambang kromongnya jarang dipanggil untuk pesta-
pesta atau perayaan masyarakat Tionghoa. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya,
Saodah pun memilih menjadi ca-bau-kan di Kali Jodo.
Kemampuannya menyanyi dan menari cokek didapatnya dari belajar kepada
Njoo Tek Hong, pimpinan kelompok gambang kromongnya. Dari laki-laki itu ia
memperoleh pekerjaan menyanyi lagu-lagu klasik dan menari cokek di pesta-pesta
atau perayaan khusus masyarakat Tionghoa. Kepada laki-laki itu pula kemudian hari
ia membawa Tinung untuk belajar menyanyi lagu-lagu klasik dan menari cokek, yang
sarat dengan gerakan-gerakan sensual.
Keputusan Saodah itulah yang kemudian membuat Tinung bertemu dengan
TPL Semarang di pesta Cio-Ko dan Peh Cun, saat ia menyanyi dan menari cokek.
43Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
-
7/22/2019 Stereotip Terhadap masyarakat tionghoa
59/114
Jadi, Saodahlah yang secara tidak langsung mempertemukan mereka. Dari hal itu
kemudian tampak peranan Saodah dalam hidup Tinung.
Semua yang dilakukan Saodah kepada Tinung semata-mata bukan hanya
untuk membantu, tetapi karena ada pamrih. Ia sebenarnya berperan seperti mucikari
untuk Tinung, misalnya saja ketika Tinung akan dibawa TPL Bandung ke Sewan dan
ketika Tinung diminta TPL Semarang menginap di rumah Gang Cahaulan. Ketika
Tinung akan dibawa ke Sewan, Saodah yang bernegoisasi dengan TPL Ban