step 1-7 skenario 3
DESCRIPTION
hnbgcfhkTRANSCRIPT
SKENARIO
Ana, seorang gadis berusia 21 tahun sudah didiagnosa menderita rheumatoid arthritis sejak 5
tahun yang lalu. Sejak itu dia rutin mengkonsumsi obat-obatan yang diberikan dokter, antara lain
analgetik, antiinflamasi golomgan kortikosteroid.
Namun sejak 3 bulan terakhir ini dia mengeluh kenapa badannya terasa lebih gemuk terutama di
daerah bahu dan pipi. Di samping itu pada kulitnya mulai muncul striae. Karena takut akan
menimbulkan komplikasi yang lebih hebat, dia mengkonsultasikan penyakitnya ke seorang
dokter penyakit dalam.
1
Step 1
1. Striae : - rupturnya serabut elastic pada kulit yang member gambaran warna ungu
- parut yang berbentuk garis
- biasa terletak di abdomen, paha dikarenakan pemakaian kortikosteroid jangka
panjang
2. Rheumatoid arthritis : penyakit pada sendi karena autoimun yang merusak persendian dan
kapsul sendi.
3. Kortikosteroid : semua bentuk hormon steroid yang dihasilkan oleh korteks adrenal kecuali
hormone seks.
Step 2
1. Apakah obat-obat yang dipakai Ana mempengaruhi keluhan yang ia derita?
2. Bagaimana timbul keluhan badan terasa lebih gemuk dengan pemakaian obat-obatan?
3. Apa saja komplikasi yang dapat terjadi?
4. Apa saja hormon di korteks adrenal dan bagaimana mekanisme kerjanya?
5. Bagaimana striae terjadi?
6. Bagaimana farmakodinamik, farmakokinetik dan mekanisme kerja kortikosteroid?
7. Benar atau tidak kortikosteroid yang menyebabkan keluhan apa ada faktor lain?
8. Bagaimana diagnosis serta penatalaksanaan dari kasus?
9. Bagaiman farmakodinamik dan mekanisme kerja dari analgetik?
Step 3
1. Ya, mempengaruhi terutama obat kortikosteroid. Efek dari obat analgesic tidak begitu
besar disbanding antiinflamasi kortikosteroid.
Jika kortikosteroid dipakai terus-menerus maka akan menimbulkan efek-efek yang tidak
diinginkan.
2. Karena efek dari kortisol yaitu menyebakan terjadi perubahan distribusi adiposa
sedangkan efek mineralokortikoid yaitu retensi Na.
3. Kompliksai (LO)
4. Kelenjar adrenal tersusun atas:
- Kapsul adrenal
2
- Korteks adrenal →- glomerulosa : mineralokortikoid bekerjasama dengan angiotensin
untukretensiNa.
-retikularis
- fasikulata : glukokortikoid yang memiliki efek terhadap stress
berhubungan dengan ACTRH, antiinflamasi dan imunopsupresi.
- Medulla adrenal → epinefrin dan norepinefrin serta katekolamin
Mekanisme kerja kortisol adalah dengan cara berikatan dengan reseptor yang kemudian
menyebar ke jaringan.
ACTH disekresi oleh hipofisis anterior karena CRH di hipotalamus
↓ umpan balik
retikularis dan fasikulata mensekresi hormon kortisol
Hormon seks yang dihasilkan di korteks adrenal : - androgen
- estrogen dan progesterone
5. - Kortisol →glukoneogenesis →lemak terserap → timbul striae
- jaringan elastin dan kolagen di kulit rusak karena metabolisme sehingga kulit
kehilangan elastisitasnya.
6. Farmakokinetik, farmakodinamik dan mekanisme kerja:
- Distribusi per oral, IV dan IM
- Transortasi melalui darah
- metabolisme di hati
- mekanisme kerja lebih efektif bekerja pada reaksi alergi
- Penggunaan jangka pendek adalah prednisolon, jangka panjang adalah betametakson
(1-1,5 hari)
- Efek kortikosteroid tidak disimpan tapi menyebar dalam plasma. (sifatnya mirip
dengan hormon adrenal)
- Kortikosteroid jika terlalu sedikit yang disekresikan kelenjar adrenal akan menjadi
stimulus terhadap hipotalamus dan hipofisis untuk mensekresi ACTH
3
7. Penyebab lain yang dapat menimbulkan keluhan seperti di kasus :
- Tumor hipotalamus/hipofisis
- CRH dari hipotalamus
- ACTH banyak yang disekresikan karena adanya hyperplasia adrenal
- Tumor adenoma hipofisis
8. LO
9. Analgesik NSAID mempunyai efek antiinflamasi dan analgesik. Contoh dari NSAID
adalah asam mefenamat. NSAID memicu siklus siklooksigenase yang mengakibatkan
proses pembentukan tromboksan A2 yang kemudian menjadi prostaglandin
Step 4
6. Pembagian kortikosteroid:
- Glukokortikoid → kortisol
- Mineralokortikoid → aldosteron (mengatur keseimbangan osmolaritas)
Glukokortikoid mempunyai efek :
- Terhadap lambung → sekresi HCL meningkat
- Eritropoesis
- Terhadap elektrolit
- Distribusi adiposa
- Metabolisme karbohidrat → glukoneogenesis
- Antiperadangan
- Metabolisme protein → sintesis protein terhambat
- Otak
4
Glukokortikoid : - hormon → hidrokortison
- sintetik → prednison (efeknya 4x lebih besar dari kortisol),
prednisolon,dll
Mineralokortikoid : aldosteron ( akan meningkat jika ion Na di ekstraselluler meningkat )
ACTH mempengaruhi sekresi aldosteron dan berpengaruh kecil terhadap kecepatannya.
Pengaruh aldosteron terhadap respon inflamasi meliputi respon sel limfosit B dan
resistensi limfosit B.
Glukokortikoid ↑ →hipotalamus → ACTH ↑ →adenokortikoid → kortisol →ketika ada
peradangan → umpan balik negative
Kortikosteroid sintetik:
Steroid masuk → intrasel → nukleus → kromatin → transduksi genetic → keluar →
darah → hati dan ginjal
Efek samping penggunaan kortikosteroid sintetik : mual, muntah dan sakit kepala.
Respon stress :
Glikokortikoid → katekolamin (mempengaruhi saraf simpatis)→ epinefrin →
vasokonstriksi pembuluh darah
Hormon korteks adrenal : glukokortikoid, mineralokortikoid, androgen dan estrogen.
Efek kortisol :
- Antianabolik protein sehingga sekresi protein terhambat
- Glukoneogenasis sehingga banyak glukosa yang tidak di metabolisme yang kemudian
menjadi keadaan hiperglikemi (terutama pada orang yang insulin disekresi sedikit)
- Gangguan psikologis
- Sindrom Cushing karena pemakain kortisol jangka panjang
Hipoaldosteron :
- Primer : tumor
5
- Sekunder : tekanan arteriol glomerulus → mengaktifkan angiotensin → aldosteron
meningkat
Androgen mempunyai efekmemicu pertumbuhan rambut. Androgen meliputi DHEA,
testosterone dan 4 beta
Step 5
1. Komplikasi pemakaian kortikosteroid
2. Anabolik Steroid
3. Sindrom cushing
4. Kortikosteroid
5. korteks Adrenal Failure
6. Mengapa gemuk di wajah
7. Kortikosteroid pada hipertensi
Step 6
Belajar Mandiri!
6
Step 7
1. KOMPLIKASI
Contoh-contoh manifestasi penyakit endokrin. (Manifestasi tidak
selalu terjadi pada semua kasus, dan keparahan dapat sangat berbeda).
o Nyeri Abdomen: Krisis Addisonian; ketoasidosis diabetika; hiperparatiroidism
o Amenorea : Insufisiensi adrenal; sindroma adrenogenital, anoreksia nervosa,
sindroma Cushing, keadaan hiperprolaktinemia, hipopituitarisme,hipotiroidisme, menopause,
kegagalan ovarium, ovarium polikistik;sindroma pseudohermafrodit.
o Anemia : Insufisiensi Adrenal, insufisiensi gonad, hipotiroidisme, hiperparatiroidisme,
panhipopitiutarisme.
o Anoreksia : Penyakit Addison, ketoasidosis diabetika, hiperkalsemia,(misal :
hiperparatiroidisme, hipotiroidisme)
o Konstipasi : Neuropati diabetika, hiperkalserriia, hipotiroidisme, feokromositoma
o Depresi : Insufisiensi adrenal, sindroma Cushing, keadaan hiperkalsemia, hipoglikemia,
hipotiroidisme
o Diare : Hipertiroidisme, tumor karsinoid metastatik, karsinoma medular tiroid
metastatik.
o Demam : Insufisiensi adrenal, hipertiroidlsme (krisis tiroid berat), penyakit hipotatamus.
o Perubahan rambut : Penurunan rambut badan (hipotlroidisme, hipopituitarisme, sindroma
Cushing, tirotoksikosis); hirsutisme (keadaan kelebihan androgen, sindroma Cushing,
akromegali)
o Sakit kepala : Episode hipertensi pada feokromositoma, hipoglikemia, tumor hipofisis
o Hipotermia : Hipoglikemia, hipotiroidisme
7
o Perubahan libido : Insufisiensi adrenal, sindroma Cushing, hiperkalsemia,
hiperprolaktinemia, hipertiroidisme, hipokalemia, hipopituitarisme, hipotiroidisme, diabetes tidak
terkontrol
o Kegugupan : Sindroma Cushing, hipertiroidisme
o Poliuria : Diabetes insipidus, diabetes melitus, hiperkalsemia, hipokalemia
o Perubahan kulit : Akantosis nigrikans (Obesitas, ovarium polikistik, resistensi insulin berat,
sindroma Cushing, akromegali); akne (kelebihan androgen); hiperpigmentasi (insufisiensi
adrenal, sindroma Nelson); kulit kering (hipotiroidisme); hipopigmentasi (panhipopituitarisme);
striae, pletora, memar, ekomosis (sindroma Cushing); vitiligo (penyakit tiroid autoimum,
penyakit Addison).
o Kelemahan dan keletihan: Penyakit Addison, sindroma Cushing, diabetes melitus, hipokalsemia
(mis, aldosteron primer, sindroma Bartter), hipotiroidisme, hipertiroidisme, hiperkalsemia (mis.
hiperrparatiroidisme, panhipopituitarisme, feokromositoma).
o Penambahan berat badan: Penyakit susunan saraf pusat, sindroma Cushing, hipotiroidisme,
insulinoma, tumor hipofisis.
o Penurunan berat: Insufisiensi adrenal, anoreksia nervosa, kanker endokrin,hipertiroidisme,
diabetes melitus dependen insulin, panhipopituitarisme, feokromasitoma.
2. ANABOLIK STEROID
Menurut McArdle dkk.(1981) banyak zat ergogenik yang dianggap dapat nenicu penampilan para
atlet, termasuk di dalamnya: alcohol, amphetamine, ephineprin, aspartat, kofein, steroid, protein, phospat,
campuran udara kaya oksigen, kokain dan lain-lain. Dari sekian banyak zat-zat tersebut diatas, kanya
sedikit yang digunakan para atlet dan menunjukkan pengaruh memacu penampilan para atlet, salah
satunya adalah anabolic steroid.
Biasanya anabolic steroid digunakan dengan tujuan meningkatkan ukutan dan kekuatan otot
dengan menstimulus sintesis protein kontraktil otot. Di samping itu steroid juga mengurangi peradangan
yang sering dihasilkan dari latihan berat dan lama.
Penelitian pada binatang menunjukkan bahwa anabolik steroid dikombinasikan dengan latihan dan
pemberian protein yang cukup, dapat menstimulus sintesis protein danmenaikkan isi protein kontraktil
otot. Namun efek ergogeniknya pada manusia masih diragukan. Hali ini disebabkan oleh bervariasinya
8
rancangan penelitian, control yang jelek, teknik pengukuran, pengalaman-pengalaman sebelum menjadi
subjek penelitian yang tidak terkontrol, dan sebagainya. Bahwa terda[at dugaan bahwa androgenik residu
dari anabolik steroid justru meningkatkan sifat agresif dan kompetitif. Sehingga mereka berlatih lebih giat
untuk periode yang lebih panjang (McArdle, 1981)
1. Otot dapat brkembang secara alamiah bila dilatih secara teratur, bahwa perkembangan otot
tersebut mengikuti prinsip “used and disused”.
2. Latihan akan mendorong sel-sel otot untuk mendorong sel-sel otot untuk membangun protein
kontraktilnya,bila latihan dihentikan protin kontraktil akan dibongkor kembali.
3. Anabolik steroid diduga dapat memacu sintesis protein kontraktil otot.
4. Diduga bahwa androgenik residu dari anabolik steroid menghasilkan sifat agresif dan kompetitif,
sehingga mereka dapat berlatih lebih giat dalam waktu yang relatif lebih lama.
5. Penggunaan anabolik steroid secara rutin akan memberikan pengaruh negative terhadap
kesehatan; gangguan paa hati, kardiovaskuler, depresi, tendensi bunuh diri, merasa tidak
terkalahkan, halusinasi pendengaran, kemandulan pada pria, atropi testis, haid tidak teratur,
penurunan hormone seks pada wanita, mengecilnya buah dada, wanita lebih maskulin, dan
membesarnya klitoris.
3. SINDROM CUSHING
Sindrom Cushing terjadi akibat aktivitas korteks adrenal yang berlebihan. Sindrom tersebut dapat terjadi
akibat pemberian kortikosteroid atau ACTH yang berlebih atau akibat hiperplasia korteks adrenal.
Dalam praktis klinis, sebagian besar kasus sindrom cushing disebabkan oleh pemberian glukokortikoid
eksogen. Penyebab lain bersifat endogen dan disebabkan oleh salah satu dari berikut:
o Penyakit primer hipotalamus-hipofisis yang menyebabkan hipersekresiACTH
o Hiperplasia atau neoplasia adrenokorteks primer
o SekresiACTH ektopik oleh neoplasma nonendokrin
KLASIFIKASI :
9
SindromCushing terbagi 2, yaitu:
1. Tergantung ACTH:
o Hiperfungsi korteks adrenal nontumor
o SindromACTH ektopik
2. Tidak tergantungACTH:
o Hiperplasia korteks adrenal otonom
o Tumor dengan hiperfungsi korteks adrenal
o Adenoma
o Karsinoma
PATOLOGI :
1. 75 % ditemukan hiperplasia adrenal. Dan 50%berat adrenalnya < 8gr.
2. Hiperplasia pada sindrom cushing berbedadengan hiperplasia pada sindrom Adrenogenital.
3. 25% disebabkan adenoma atau karsinoma.
IDENTIFIKASI LESI :
Identifikasi didasarkan pada pemeriksaan radiografi hipofisis dan lesi-lesi adrenal dan dengan pajanan
nuklir kelenjar adrenal. CT Scan resolusi tinggi pada kelenjar hipofisis dapat menunjukkan daerah dengan
penurunan atau peningkatan densitas yang konsisten dengan mikro adenoma. MRI dengan kontras
gadolinium memberikan temuan positif padamayoritas penderita.
DIAGNOSIS LABORATORIUM
Didasarkan pada:
1. Kadar kortisol bebas urin 24 jam yang selalu meningkat
10
2. Hilangnya pola diurnal normal sekresi kortisol Penentuan lokasi penyebab sindrom cushing
bergantung pada:
3. Kadar ACTH serum
4. Pengukuran sekresi steroid urine setelah pemberian glukokortikoid sintetik deksametason
Cushing disease
Cushing disease adalah suatu keadan hypercortisolemi yang disebabkan karena produksi ACTH
yang berlebihan dari adenoma hipofisis. Sedang yang dimaksud Cushing’s syndroma adalah kondisi
hypercortisolemia yang disebabkan dari berbagai sumber selain hipofisis.
Hal lain yang timbul oleh karena kelebihan ACTH yaitu Nelson’s syndroma
berpigmentasi oleh karena adanya stimulasi melanin stimulating hormon yang
bereaksi silang dengan ACTH, terjadi pada 10-20% pasien yang menjalani operasi adrenalectomy sebagai
terapi dari cushing’s syndromanya.
Banyak tumor kelenjar hipofisis yang bersekresi, ternyata juga memproduksi
amophilic ACTH (Cushing’s disease). Ini merupakan tantangan untuk diagnosa dan terapi karena
biasanya tumor ini gejalanya tidak khas dimana dengan MRI dan CT scan jelas terlihat tetapi pilihan
terapi tetap sulit. Dilainpihak hypercortisolemia ini akan menimbulkan problem yang berat, kondisi
pasien akan semakin memburuk dengan kelemahan dan nyeri otot yang difus, emosi menjadi labil, timbul
aterosklerosis, hipertensi, DM, osteoporosis, kegemukan, kemungkinan infeksi ulkus peptikum dan
trombosis yang memerlukan identifikasi dan penanganan yang segera.
Pada kebanyakan kasus hypercortisolemia pada orang dewasa disebabkan oleh:
o mikroadenoma hipofisis bagian anterior (60-80% kasus) yang sering kali tidak terlihat
pada pemeriksaan dengan MRI dan CT scan
o Adanya ektopik over produksi ACTH dan atau CRH dari suatu benign atau malignant
tumor kelenjar adrenal yang mensintesa cortisol secara otonom (10-20% kasus)
11
o Adanya produksi ACTH ektopik dari tumor paru-paru (terutama) pankreas (1- 10%kasus)
o Hal lainnya yaitu iatrogenik, alkoholik atau depresif pseudo cushing state;
membedakan antara cushing’s disease dengan cushing’s syndroma
merupakan problem diagnostik tersendiri.
Pada cushing hipofisis primer (dengan single adenoma) sebaiknya dilakukan adenomectomy secara
selektif, pada hyperplasia sebaiknya dioperasi dengan
hypophysectomy komplit atau menggonakan obat-obatan untuk mengatur
stimulasi tersebut. Pada intermediate lobe cushing’s mungkin masih berrespon
terhadap bromokriptin, dimana pada cushing’s type yang lain terapi medis tidak
berefek.
Gejala:
o Biasanya menyerang wanita sekitar usia 40 tahun
o Khas ditandai dengan truncal obesity, hipertensi, hirsutisme (waita),
hyperpigmentasi, diabetes atau glukosa intoleran, amenorrhea, acne,
striae abdominal, buffallo hump dan moon facies
o Kelainan endokrinologik yang berat ini sudah muncul pada tahap sangat dini dari
tumornya yang menyulitkan dalam mendeteksi dan identifikasi sumbernya.
Diagnosa:
o CRH dilepaskan dari hipotalamus dan akan merangsang sekresi ACTH dari
adenihipofisis, ACTH akanmeningkatkan produksi dan sekresi cortisol dari adrenal
cortex yang selanjutnya dengan umpan balik negatif akan menurunkan ACTH. Pada
kondisi stres fisik dan metabolik kadar cortisol meningkat, secara klinik sulit mengukur
ACTH, maka cortisol dalam sirkulasi dan metabolitnya dalam urine digunakan untuk
status diagnosa dari keadaan kelebihan adrenal. Cushing’s syndroma secara klinik mudah
dikenal tapi sulit untuk menentukan etiologinya.
o Pengukuran plasma kortisol, kortisol urine dan derifatnya seacra basal maupun dalam
respon terhadap dexametason, maupun penetuan plasma ACTH, bisa dipakai untuk
menentukan apakah penyakitnya primer adrenal, hipofisis atau sumber keganasan ektopi.
12
o Jika datatsb seimbang maka diperlukan pengukuran CRH dan test perangsangan CRH
dengan pengukuran ACTH dan cortisol perifer atau pada aliran vena sinus petrosus
bilateral untuk membuktikan adanya Cushing’s disease. Jika sudah ditentukan sumbernya
hipofisis, akan lebih sulit lagi menentukan bagian hipofisis yang mana yang
memproduksi hipersereksi ACTH.
Testnya sebagai berikut:
1. untuk screning tentukan kadar cortisol pada jam 8 pagi, normal kadarnya 6-18
ug/100 ml. Jika meningkat, hiperkortikolisme. Jika menurun hipoadrenalisme
(primer atau sekunder)
2. jika hiperkortikolisme terjadi, tentukan etiologinya dengan test supresi
deksametason dosis rendah, dimana deksametason akan menekan pelepasan
ACTH tapi pada tumor adrenal atau pada produksi ACTH ektopik (terutama Ca
bronkhus) supresi tidak terjadi,
caranya sebagai berikut:
o test dosis rendah semalam, beri dexametason 1 mg po pada jam 11 malam, ukur kadar kortisol
pada jam 8 keesokan harinya. Cortisol < 5ug/dl ; bukan Cushing’s syndrome Cortisol 5-10 ug/dl ;
meragukan, ulangi test Cortisol > 10 ug/dl; kemungkinan Caushing’s syndrome, fals positip
terjadi pada pseudo caushing states yaitu pada:
- 15% pasien gemuk
- penderita sakit kronik
- pada kadar estrogen yang meninggi
- uremia
- depresi
- alkoholik
- pasien yang mendapat terapi phenobarbital atau
phenitoin
13
o test dosis rendah 2 hari digunakan jika tes dosis rendah semalam hasilnya equivocal. Berikan
dexameason 0,5 mg po tiap 6 jam selama 2 hari dimulai jam 6 pagi. Ambil urine 24 jam sebelum
tes dan pada hari kedua tes, normal dexametason akan menekan 17 hydorxycorticosteroids
kurang dari 4 mg/24 jam. Pada Caushing’s syndrome hasilnya akan meningkat.
o Untuk membedakan Caushing’s disesase dengan ektopik ACTH atau tumor adrenal dilakukan tes
supresi dexametason dosis tinggi (>20% pasien dengan Caushing’s disesase tidak akan disupresi
dengan deksametason dosis tinggi, phenitoin akan mempengaruhi test ini)
sebagai berikut:
1. Ambil plasma cortisol pada jam 8 pagi, lalu berikan 8 mg deksametason po pada jam 11
malam, ukur plasma cortisol pada jam 8 keesokan harinya. 95% Caushing’s disesase
plasma cortisolnya akan rendah (50% kurang dari basal). Pada ektopik ACTH atau tumor
adrenal tidak berubah
2. CRH test, beri CRH 0,1 ug/kg IV bolus, pada Caushing’s disesase plasma ACTH dan
level cortisol akan meningkat, sedangkan pada ektopik ACTh dan tumor adrenal tidak
3. Karena banayak dari kasus ini tidak terbukti dengan pemeriksaan MRI, maka teknik
sampling sinus petrosus digunakan untuk memastikan diagnosa dan mengarahkan operasi
sekreksesi karean bisa dipakai untuk menentukan sisi dimana makroadenoma hipofisis
berada. Pasien dengan Caushing’s disesase mempunyai level ACTH yang tinggi yang
diproduksi langsung dari kelenjar hipofisis dan levelnya mengarah pada isi dimana
adenoma berada. Perbedaan antara kadar ACTH perifer dengan ACTH hipofisis yaitu
kadar di perifer tidak tetap, pada sekresi ACTH yang ektopik dimana kelenjar hipofisis
diinhibisi, kadar ACTH perifer maupun hipofisis nya keduanya tidak tetap, jug atidak ada
perbedaan anatara keduia sisi pada pengukuran secara sampling sinus petrosus. Pada
hyperplasia corticotrophs kadar ACTH sentral meningkat pada kedua sisi kelenjar.
Indikasi pemeriksaan pengukuran kadar ACTH pada aliran vena
sinus petrosus bilateral:
1. pasien dengan data lab yang seimbang, dimana sumber pasti produksi ACTH yang berlebihan
sulit ditentukan dan pemeriksaan MRI negatip.
14
2. pasien dengan data lab jelas mengarah ke kel hipofisis, tetapi MRI negatif, maka arah operasi
reseksi hemihyposectomy jika adenoma tidak terlihat pada waktu operasi, ditentukan dari pemerikasaan
ini, yaitu pada arah dimana kadar ACTHnya meningkat sesudah dirangsang CRH. Hal ini perlu
diperhatikan terutama jika pasien muda terutama wanita yang masih subur.
3. pasien yang tidak ada perbaikan sesudah operasi, maka perlu dievaluasi kembali apakah betul
menderita Caushing’s disesase atau kelebihan ACTHnya akibat dari produksi ektopik.
Terapi:
1. Operasi
Operasi mikro transphenoidal explorasi dari kelenjar hipofisis dengan selektif adenomectomy atau partial
atau hemihyposectomy.pada tumor yang sangat besar atau invasive maka sesudah operasi dilanjutkan
dengan terapi radiasi, terapi obat-obatan dan kadang-kadang adrenalectomy. Angka kesembuhan penyakit
ini sesudah menjalani terapi operasi < 90%. Kurang dari 10% pasien dengan ACTH hipofise yang
berlebihan disebabkan karena basophilik
hiperplasia yang meliputi seluruh kelenjar. 3,7-9,3% pasien akanmengalami rekurensi, karena sel-sel
sekitar peritumor tidak terangkat atau etiologi primernya bukan pada tumornya tetapi karena stimulasi
yang berlebihan dari CRH nya sehingga ACTHnya tetap berlebih. Insiden kekambuhan besar pada pasien
yang menjalani operasi selektif adenomectomy. Pasen yang tidak membaik sesudah menjalani operasi
selektif terjadi pada:
a. pasien dengan adenoma yang invasive
b. pasien dengan microadenoma yang tidak teridentifikasi
c. pasien dengan hyperplasia corticotrop
d. pasien dengan ektopik sekresi ACTH atau CRH
Pada operasi pengangkatan tumor secara komplit maka akan timbul hypocortisolemia untuk 3-6 bulan,
jika cortisolnya tetap normal maka akan cenderung mengalami rekurensi.
2. Radiasi
15
Steretactic radiasi digunakan secara tersendiri atau kombinasi dengan operasi, dilaporkan angka
kesembuhannya bervariasi antara 50-100%. Karena diperlukan waktu yang lama untuk mencapai efek
kesembuhan dan karena tingginya insiden hipopituitarism maka indikasi terapi radiasi hanya ditujukan
jika operasi gagal.
3. Obat-obatan
Terapi dengan obat-obatan bertujuan untuk memblok ACTH atau produksi cortisol, dimana terapi hanya
mengobati gejalanya saja tanpa menghilangkan tumornya. Hal ini seringkali perbaikan yang didapat tidak
lengkap dan sangat potensil untuk timbulnya efek samping yang berbahaya. Obat-obatan yang digunakan
sebagai berikut:
a. Ketoconazole
Merupakan obat anti jamur yang poten, akan menghambat adrenal steroidogenesis dengan memblok 11
beta hydroksilase (dan enzim lain yang terlibat pada produksi cortisol dan endosteron) umumnya
ditoleransi dengan baik, walaupun kadang-kadang timbul sedasi jikan mungkin dosis dinaikkan
secukupnya sampai tercapai eucortisolemia, ini sulit. Sering ada maksudnya untuk mencapai sukresi
adrenal tapi suatu saat tambahan terapi steroid terus dimakan karena berbagai step dalam produksi steroid
berhenti, pengaruh terhadap kolesterol, viatmin D, mineralocorticoid, produksi estrogen dan endogren
memerlukan evaluasi yang ketat sebelum ketococonacole digunakan untuk jangka panjang. Obat ini
digunakan jika diagnosa sudah tegak tapi terapi operasi terapi ditangguhkan, atau pada keadaan diamana
etiology yang pasti dari Caushing’s disesase masih kabur dan terapi sementara ini cocok.
b. Cyproheptadin
Merupakan obat anti serotonin (maupun anti histamin dan anti cholinergic), diduga menurut Kriger et al
bisa digunakan untuk mengatur pelepasan ACTH, tetapi dari berbagai laporan obat ini mengecewakan.
c. Bromocriptine
Obat ini digunakan terutama untuk menurunkan produksi prolastin, dilaporkan penggunaan obat ini
dengan atau tanpa cyproheptadin akan menormalkan produksi cortisol pada penderita Caushing’s
16
syndrome, terutama pada pasien dengan intermediate lobe Caushing’s disesase dimana sering bersama
dengan meningginya kadar prolastin. Efek samping yang terjadi yaitu kelemahan, mual, aneroksia dan
pening kepala.
4. ADRENOKORTIKOSTEROID DAN ANALOG SINTETIKNYA
BIOSINTESIS DAN KIMIA
Biosintesis kortikosteroid dapat dilihat pada Gambar . Korteks adrenal mengubah asetat menjadi
kolesterol, yang kemudian dengan bantuan berbagai enzim diubah menjadi kortikosteroid dengan
21 atom karbon dan androgen lemah dg 19 atom karbon. Androgen ini juga merpkan sumber
estradiol. Sebagian besar kolesterol yang digunakan untuk steroidogenesis berasal dari luar
(eksogen), baik pada keadaan basal maupun setelah pemberian ACTH.
Meskipun kelenjar adrenal dapat mensintesis androgen, pada wanita sekitar 50% androgen
plasma berasal dari luar kelenjar adrenal. pada pria androgen dari adrenal hanya sebagian kecil
dari seluruh androgen plasma.
dalam korteks adrenal kortikosteroid tidak disimpan sehingga harus disintesis terus menerus.
Gambar . Biosintesis adrenokortikosterold dan androgen adrenal.
17
Tabel 1. KECEPATAN SEKRESI DAN KADAR PLASMA KORTIKOSTEROID UTAMA PD
MANUSIA
PENGATURAN SEKRESI
18
Fungsi sekresi korteks adrenal sangat dipengaruhi oleh ACTH. Sistem saraf tidak mempunyai
pengaruh langsung terhadap fungsi sekresi korteks adrenal. Ini terbukti pada percobaan
transplantasi kelenjar adrenal dimana fungsi sekresinya tetap normal.
ACTH terutama berpengaruh pada zona fasikulata, sedangkan terhadap zona glomerulosa
pengaruhnya hanya sedikit. Akibat pengaruh ACTH ini zona fasikulata akan mensekresi kortisol
dan kortikosteron. Sebaliknya bila kadar kedua hormon tersebut dalam darah meningkat,
terutama kortisol, terjadi penghambatan sekresi ACTH. Peninggian kadar aldosteron dalam darah
tidak menyebabkan penghambatan sekresi ACTH.
MEKANISME KERJA
Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis protein. Molekul hormon
memasuki sel jaringan melalui membran plasma secara difusi pasif di jaringan target, kemudian
bereaksi dengan reseptor protein yang spesifik dalam sitoplasma sel jaringan dan membentuk
kompleks reseptor-steroid. Kompleks ini mengalami perubahan konformasi, lalu bergerak
menuju nukleus dan berikatan dengan kromatin. lkatan ini menstimulasi transkripsi RNA dan
sintesis protein spesifik. Induksi sintesis protein ini merupakan perantara efek fisiologik
steroid.
Pada beberapa jaringan, misalnya hepar, hormon steroid merangsang transkripsi dan sintesis
protein spesifik: pada jaringan lain, misalnya sel limfoid dan fibroblas, hormon ini bersifat
katabolik.
FAAL DAN FARMAKODINAMIK
Kortikosteroid mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein dan lemak; dan mempengaruhi
juga fungsi sistem kardiovaskular, ginjal, otot lurik, sistem saraf dan organ lain. Karena fungsi
kortikosteroid penting untuk kelangsungan hidup organisme, maka dikatakan bahwa korteks
adrenal berfungsi homeostatik, artinya: penting bagi organisme untuk dapat mempertahankan
diri dalam menghadapi perubahan lingkungan.
19
Meskipun kortikosteroid mempunyai berbagai macam aktivitas biologik, umumnya potensi
sediaan alamiah maupun yang sintetik, ditentukan oleh besarnya efek retensi natrium dan
penyimpanan glikogen di hepar atau besarnya khasiat anti-inflamasinya.
Tabel menunjukkan penggolongan kortikosteroid berdasarkan masa kerja masing-masing sediaan
sesuai dg aktivitas biologisnya.
TABEL PERBANDINGAN POTENSI RELATIF DAN DOSIS EKUIVALEN BEBERAPA
SEDIAAN KORTIKOSTEROID
Keterangan:
20
* hanya berlaku utk pemberian oral atau iv
S - kerja singkat (t ½ biologlk 8-12 Jam):
I - kerja sedang (t ½ biologik 12-36 jam);
L - kerja lama (t ½ biologik 36-72 Jam).
Pengaruh kortikosteroid thd fungsi dan organ tubuh adalah sbg berikut :
METABOLISME.
Metabolisme karbohidrat dan protein.
Dalam hepar glukokortikoid merangsang sintesis enzim yang berperanan dalam proses
glukoneogenesis dan metabolisme asam amino, antara lain terjadi peningkatan enzim
fosfoenolpiruvat-karboksikinase, fruktosa-1,6-difosfatase, dan glukosa 6-fosfatase, yang
mengkatalisis sintesis glukosa. Rangsangan sintesis enzim ini tdk timbul dengan segera,
tetapi membutuhkan waktu beberapa jam.
Efek yang lebih cepat timbulnya ialah pengaruh hormon terhadap mitokondria hepar, di
mana sintesis piruvat karboksilase sebagai katalisator pembentukan oksaloasetat
dipercepat. Pembentukan oksaloasetat ini merupakan reaksi permulaan sintesis glukosa
dari piruvat.
Metabolisme karbohidrat dan protein
Penggunaan glukokortikoid untuk jangka lama dapat menyebabkan peninggian glukagon
plasma yang dapat merangsang glukoneogenesis. Keadaan ini dapat pula merupakan
salah satu penyebab bertambahnya sintesis glukosa. Peninggian penyimpanan glikogen
21
di hepar setelah pemberlan glukokortikoid diduga akibat aktivasi glikogen sintetase di
hepar.
Metabolisme lemak.
Pada penggunaan glukokortikoid dosis besar jangka panjang atau pada sindrom Cushing,
terjadi gangguan distribusi lemak tubuh yang khas. Lemak akan terkumpul secara
berlebihan pada depot lemak, leher bagian belakang {buffalo hump), daerah
supraklavikula dan juga di muka (moon face), sebaliknya lemak di daerah ekstremitas
akan menghilang.
Salah satu hipotesis yang menerangkan keadaan di atas ialah sebagai berikut: jaringan
adiposa yang mengalami hipertroti pada sindroma Cushing bereaksi terhadap efek
lipogenik dan antilipolitik insulin, yang kadarnya meningkat akibat hiperglikemia yang
ditimbulkan oleh glukokortikoid. Sel lemak di ekstremitas bila dibandingkan dengan sel
lemak tubuh, kurang sensitif terhadap insulin, dan lebih sensitif terhadap efek lipolitik
hormon lain yang diinduksi oleh glukokortikoid.
KESEIMBANGAN AIR DAN ELEKTROLIT
Mineralokortikoid dapat meningkatkan reabsorpsi ion Na serta ekskresi K+ dan H+ di tubuli
distal. dengan dasar mekanisme inilah, pada hiperkortisisme terjadi : retensi Na yang disertai
ekspansi volume cairan ekstrasel, hipokalemia, dan alkalosis. pada hipokortisisme terjadi
keadaan sebaliknya: hiponatremia, hiperkalemia, volume cairan ekstrasel berkurang dan hidrasi
sel.
Terjadinya pengeluaran Na* yang berlebihan melalui ginjal pada insufisiensi adrenal dapat
diterangkan sebagai benkut : pada keadaan normal dengan diet normal, hampir seluruh Na+ yang
difiltrasi glomerulus (± 99,5%) akan direabsorpsi oleh tubuli ginjal: jumlah ini diperlukan untuk
mempertahankan keseimbangan Na* dan ini identik dg 24.000 mEq Na*.
22
Desoksikortikosteron merupakan mineralokortikoid yang pertama disintesis dan digunakan
untuk pengobatan pasien penyakit Addison. Hormon ini hampir tidak mempunyai efek
glukokortikoid. Secara kualitatif pengaruhnya terhadap elektrolit sama dengan aldosteron tetapi
secara kuantitatif potensinya hanya 1/30 aldosteron.
Dosis tunggal dapat meningkatkan reabsorpsi Na+ dan ekskresi K+ Sesudah pemberian beberapa
hari pada hewan utuh atau hewan yang di adrenalektomi, efek retensi Na+ lenyap dan terjadi
keseimbangan Na+ kembali; tetapi K+ tetap diekskresi walaupun terjadi hipokalemia. Pemberian
sediaan ini dalam dosis besar dan terus menerus akan menimbulkan polidipsia dan poliuria.
Kortisol dapat menyebabkan retensi Na+ dan meningkatkan ekskresi K+, tetapi efek ini jauh
lebih kecil dari pada aldosteron, oleh karena itu penggunaan kortisol datam waktu singkat
biasanya tidak menambah sekresi asam. Berlawanan dengan aldosteron, kortisol pada keadaan
tertentu dapat meningkatkan ekskresi Na+; hal ini mungkin disebabkan karena hormon tersebut
dapat menambah kecepatan filtrasi glomeruli. Selain itu kortisol juga dapat meningkatkan sekresi
tubuli ginjal.
Hiperkortisisme akibat sekresi kortisol berlebihan atau karena pemberian kortisol dosis besar
terus menerus, sesekali menyebabkan alkalosis hipoklorernik yang tidak berat. Keadaan ini
menunjukkan bahwa efek kortisol terhadap keseimbangan air dan elektrolit tidak sekuat
aldosteron. Kelemahan otot yang timbul pada keadaan ini disebabkan oleh berkurangnya masa
jaringan otot, jadi bukan karena kehilangan K+.
BEBERAPA SEDIAAN KORTIKOSTEROID & ANALOG SINTETIKNYA
23
EFEK SAMPING
Efek samping dapat timbul karena penghentian pengobatan tiba-tiba atau pemberian terus-
menerus terutama dengan dosis besar. Pemberian kortikosteroid yang dihentikan tiba-tiba dapat
menimbulkan insufisiensi adrenal akut dengan gejala demam, mialgia, artralgia dan malaise.
Gejala-gejala ini sukar dibedakan dengan gejala reaktivasi artritis reumatoid atau dernam
reumatik yang sering terjadi bila kortikosteroid dihentikan.
Komplikasi yang timbul akibat pengobatan lama lalah akibat gangguan cairan dan elektrolit,
hiperglikemia dan glikosuria, mudah mendapat infeksi terutama tuberkulosis, pasien tukak
peptik mungkin dapat mengalami perdarahan atau perforasi, osteoporosis, miopati yang
karakteristik, psikosis, habitus pasien Cushing (antara lain muka rembulan, buffalo hump,
timbunan lemak suprakiavikular, obesitas sentral, striae, ekimosis, akne dan hirsutisme).
24
Alkalosis hipokalernik jarang terjadi pada pasien dengan pengobatan derivat kortikosteroid
sintetik dan hampir tidak pernah dijumpai pada pasien dengan terapi 16-a-substitusi seperti
triamsinolon dan deksametason. Keadaan ini mudah diatasi dengan pemberian KCI tanpa
menghentikan pengobatan. Penggunaan triamsinolon dan deksametason lebih cocok bagi pasien
yang cenderung menderita udem. Bila timbul udern, pengobatan dapat diteruskan dengan
disertai diet rendah garam dan pemberian diuretik.
Glikosuria dapat diatasi dengan diet dan pemberian insulin atau hipoglikemik oral.
Tukak peptik ialah komplikasi yg kadang-kadang terjadi pada pengobatan dengan kortikosteroid.
Osteoporosis dan fraktur vertebra karena kompresi juga merpkan komplikasi hebat yang sering
terjadi pada semua umur.
KONTRAINDIKASI
Sebenarnya sampai sekarang tidak ada kontraindikasi absolut kortikosteroid. Seperti diuraikan
dalam pembahasan mengenai indikasi, pemberian dosis tunggal besar dapat dibenarkan. dalam
hal ini keadaan yang mungkin dapat merpkan kontraindikasi retatif dapat dilupakan, terutama
pada keadaan yang mengancam jiwa pasien. Tetapi bila obat akan diberikan untuk beberapa hari
atau beberapa minggu, keadaan seperti : diabetes melitus, tukak peptik, infeksi berat, hipertensi
atau gangguan sistem kardiovaskular lain patut diperhatikan. dalam hal yang terakhir ini
dibutuhkan pertimbangan matang antara risiko dan keuntungan sebelum obat diberikan.
PENGHAMBAT KORTIKOSTEROID
Telah diternukan beberapa zat yang dapat menghambal sekresi kortikosteroid, antara lain:
mitotan (O, p'-DDD), metirapon dan aminoglutetimid.
METIRAPON. Obat ini menghambat kerja enzim 11-b-hidroksilase (lihat gambar 2), sehingga
reaksi berhenti pada pembentukan 11 -desoksikortisol, yang tidak mempunyai efek
penghambatan terhadap sekresi ACTH. Akibatnya, metirapon pada orang normal dapat
25
menimbulkan peningkatan sekresi ACTH dan ekskresi 11-desoksikortisol, suatu 17-
hidroksikortikoid.
Metirapon digunakan untuk menguji kemampuan hipofisis untuk mengadakan kompensasi
terhadap penurunan kortisol, pada pasien dengan gangguan sistem hipotalamus-hipofisis yang
tidak dapat mengadakan reaksi kompensasi tersebut, pemberian metirapon tidak menimbulkan
peningkatan ekskresi 17-hidroksikortikoid. Sebelum penggunaan metirapon, lebih dahulu harus
diketahui bahwa fungsi adrenal terhadap rangsangan ACTH normal, karena metirapon hanya
berguna bila adrenal masih berfungsi terhadap rangsangan ACTH. pada pasien dengan fungsi
sekretoris adrenal yang menurun, obat ini dapat menyebabkan insutisiensi adrenal yang akut.
Metirapon dapat mengatasi hiperkortisolisme akibat neoplasma adrenal yang berfungsi secara
otonomik atau akibat produksi ACTH ektopik oleh adanya tumor. Namun pada hiperkortisolisme
akibat hipersekresi ACTH pada sindroma Cushing, metirapon tidak dapat digunakan. Di sini
penurunan kadar kortisol dalam darah akibat metirapon merangsang pengeluaran ACTH, yang
selanjutnya merangsang sekresi kortisol yg berada dlm penghambatan parsial, shg kadarnya dlm
plasma kembali pada keadaan sebelum pemberian metirapon. Penggunaan jangka lama dapat
menyebabkan hipertensi karena sekresi desoksikortikosteron yang berlebihan. Metirapon
(metopiron), tersedia dalam bentuk tablet oral 250 mg.
AMINOGLUTETIMID. Aminoglutetimid (a-etil-p-aminofenil glutarimid) menghambat
konversi kolesterol menjadi A-5-pregnenolon. Penghambatan ini menyebabkan gangguan
produksi kortisol, aldosteron, dan steroid kelamin. Obat ini digunakan untuk hiperkortisolisme
akibat tumor adrenal yang berfungsi otonornik maupun akibat produksi ACTH ektopik.
Pemberian kombinasi aminoglutetimid bersama dengan metirapon dapat mengatasi sindrom
Cushing akibat hipersekresi ACTH dari hipofisis. dalam hal ini mungkin dibutuhkan kortisol
fisiologik untuk mencegah insufisiensi adrenal. Obat ini tersedia dalam bentuk tablet oral 250
mg.
5. INSUFISIENSI ADRENAL
26
Insufisiensi adrenal adalah keadaan dimana kurangnnya produksi glukokortikoid atau mineralokortikoid
di adrenal, apakah karena kerusakan atau disfungsi dari kortek atau sekunder akibat kekurangan sekresi
ACTH pituitary.9 Kerusakan pada kortek adrenal akan menimbulkan IA primer. Sedangkan IA sekunder
terjadi akibat penyakit pituitary atau hipotalamus.
PENAMPAKAN KLASIK DARI IA
Insufisiensi adrenal dapat dikelompokkan menjadi
3 kategori yang besar :
1) Insufisiensi adrenal primer kronis, yang juga disebut penyakit Addison’s, sebagai akibat
kerusakan dari korteks adrenal. Penyebab tersering adalah penyakit autoimun (sekitar 70-80%),
tuberculosis (20%), perdarahan adrenal, metastase ke adrenal dan AIDS yang dikaitkan dengan infeksi
cytomegalo virus dan terapi ketokonazole.
2) Insufisiensi adrenal sekunder kronis, yang terjadi bila terjadi kekurangan hormone
adrenokortikotropin (ACTH) yang menstimulasi korteks adrenal. Paling sering karena terapi
glukokortikoid eksogen, tapi dapat juga terjadi akibat hipopituitarism generalisata (biasanya akibat tumor
pituitary atau hipotalamus) atau defisiensi ACTH (mungkin karena proses autoimun).
3) Krisis adrenal akut akibat dari stress pada pasien dengan IA kronis yang tidak mendapat pengganti
yang adekuat, juga terjadi pada pasien dengan perdarahan adrenal apopleksi pituitary.
Baik pada IA kronis primer maupun sekunder akan menimbulkan defisiensi glukokortikoid dan kadang-
kadang defisiensi androgen (pada wanita). Gambaran klinis sama pada IA primer maupun sekunder
meliputi hipotensi, kelemahan, fatigue, anoreksia, penurunan berat badan, mual dan muntah. Eosinofilia
dan anemia normositik sering dan kadang juga
27
ditemukan hiperkalsemia. Hipoglikemia dapat muncul terutama pada anak-anak dengan IA primer dan
pada pasien IA sekunder dalam keadaan panhipopituitarism dimana growth hormone juga hilang. IA
primer kronis dapat disertai dengan penyakit autoimun (kegagalan poliglandular, yang paling sering
adalah penyakit tiroid autoimun (Grave’s atau Hasimoto’s). hipopituitari autoimun jarang ditemukan dan
pasien seperti ini akan ditemui dengan hipokalsemia. Ada dua gambaran yang membedakan IA primer
dan sekunder. Pertama, defisiensi mineralokortikoid ditemukan pada IA primer dan tidak ada pada IA
sekunder (ACTH tidak memegang peranan utama pada pengaturan aldosteron). Oleh karena itu
hiperkalemia biasanya ditemukan pada IA primer dan tidak ada pada IA sekunder. Hiponatremia
merupakan gambaran dari keduanya, tapi pada IA primer ini berkaitan dengan pengurangan volume
akibat peningkatan nitrogen urea darah (BUN) dan kreatinin. Hiponatremia pada IA sekunder merupakan
dilusional karena penurunan kemampuan mengeluarkan air dan meningkatnya kadar vasopressin.
Gambaran berbeda yang kedua yaitu tingginya kadar ACTH dan peptide lain turunan propiomelanokortin
(POMC) pada IA primer dan kadarnya rendah atau normal pada IA sekunder. Hal ini secara khas akan
menimbulkan hiperpigmentasi pada IA primer (akibat dari melanosit yang distimulasi peptide derivate
POMC) dan kurangnya pigmentasi dan kadang pucat ditemukan pada IA sekunder. Krisis adrenal akut
ditandai dengan hipotensi dan syok, demam, kebingungan, mual, dan muntah. Pada keadaan perdarahan
adrenal, beberapa pasien juga akan disertai nyeri perut, flank atau pinggang. Apopleksi pituitary biasanya
dikaitkan dengan sakit kepala yang hebat dan sering dengan opthalmoplegia. Kelainan laboratorium
meliputi azotemia dan eosinofilia.
Penyebab IA akut :
IA akut terjada pada pasien yang tidak bias meningkatkan produksi kortisol selama keadaan stress akut.
Meliputi pasien dengan kelainan hipotalamus dan pituitary, dan pasien dengan kerusakan kelenjar
adrenal. IA sekunder sering pada pasien yang diterapi dengan kortikosteroid eksogen. Namun penyebab
tersering dari IA akut adalah sepsis dan SIRS.
Insufisiensi adrenal akut
Mempertimbangkan kemungkinan IA merupakan hal yang penting pada pasien dalam sakit kritis. Jika
diagnosis terlewatkan, pasien kemungkinan akan meninggal. IA seharusnya dicurigai jika ditemukan
hipotensi yang resisten terhadap katekolamin, terutama jika pasien memiliki hiperpigmentasi, vitiligo,
pucat, rambut aksila dan pubis yang jarang, hiponatremia atau hiperkalemia. Sebagai tambahan,
kemungkinan IA spontan karena perdarahan adrenal dan thrombosis vena adrenal harus dipertimbangkan
28
pada pasien dengan nyeri perut bagian atas, kekakuan perut, muntah, kebingungan, dan hipotensi arterial.
Pada pasien yang dicurigai, maka sampel darah untuk pemeriksaan kadar kortisol dan kortikotropin harus
diambil. Dan segera terapi kortisol dosis tinggi seharusnya diberikan. Plasma kortisol pada nilai normal
tidak berarti menyingkirkan IA pada pasien yang sakit sangat akut. Berdasarkan atas hasil penelitian
terakhir dari kadar kortisol plasma pada pasien dengan sepsis dan trauma, nilai kortisol plasma lebih dari
25 ug per dL pada pasien yang memerlukan perawatan intensif kemungkinan menyingkirkan kemugkinan
IA, tetapi nilai cutoff yang aman belum diketahui.10 Hiponatremia yang terjadi pada pasien dengan IA
sekunder mungkin juga akan mengancam nyawa. Hiponatremia (Na <120 mmol per liter) mungkin akan
menimbulkan delirium, koma, dan kejang. Pasien ini mempunyai respon yang jelek terhadap cairan NaCl
tapi berespon baik (ekskresi kelebihan air) terhadap hidrokortison.
Addison disease
DEFINISI
Penyakit Addison adalah Kegagalan kelenjar adrenal untuk memproduksi hormone dalam jumlah yang
adekuat sehingga akan mempengaruhi kerja tubuh dalam menekan dan meregulasi tekanan darah serta
mengatur keseimbangan air dan garam.
ETIOLOGI
Hipofungsi korteks adrenal primer dapat disebabkan oleh beberapa sebab :
1) Proses autoimun Penyakit Addison karena proses autoimun didapatkan pada 75% dari penderita.
Secara histologik tidak didapatkan 3 lapisan korteks adrenal, tampak bercak-bercak fibrosis dan infiltrasi
limfosit korteks adrena Pada serum penderita didapatkan antibody adrenal yang dapat diperiksa dengan
cara Coons test, ANA test, serta terdapat peningkatan immunoglobulin G.
2) Tuberkulosis
Kerusakan kelenjar adrenal akibat tuberkulosis didapatkan pada 21% dari penderita. Tampak daerah
nekrosis yang dikelilingi oleh jaringan ikat dengan serbukan sel-sel limfosit, kadang-kadang dapat
dijumpai tuberkel serta kalsifikasi Seringkali didapatkan proses tuberculosis yang aktif pada organ-organ
lain, misalnya tuberkulosis paru, tuberculosis genito-urinari, tuberkulosis vertebrata (Pott s disease), hati,
limpa serta kelenjar limpa.
29
3) Infeksi lain
Penyebab kerusakan kelenjar adrenal karena infeksi yang lebih jarang ialah karena :
histoplasmosis, koksidioidomikosis, serta septikemi karena kuman stafilokok atau meningokok yang
sering menyebabkan perdarahan dan nekrosis.
4) Bahan-bahan kimia
Obat-obatan yang dapat menyebabkan hipofungsi kelenjar adrenal dengan menghalangi biosintesis yaitu
metirapon; sedang yang membloking enzim misalnya amfenon, amino-glutetimid dan O.p.D.D.D
5) Iskemia
Embolisasi dan trombosis dapat menyebabkan iskemia korteks adrenal, walaupun hal ini jarang terjadi.
6) Infiltrasi
Hipofungsi korteks adrenal akibat infiltrasi misalnya metastasis tumor, sarkoidosis, penyakit amiloid dan
hemo-kromatosis
7) Perdarahan
Perdarahan korteks adrenal dapat terjadi pada penderita yang mendapat pengobatan dengan antikoagulan,
pasca operasi tumor adrenal.
8) Lain-lain
Akibat pengobatan radiasi, adrenalektomi bilateral dan kelainan congenital.
MANIFESTASI KLINIS
Gejala-gejala dari ketidakcukupan adrenal biasanya mulainya secara berangsur-angsur.
Karakteristik-karakteristik dari penyakit adalah:
Hipotensi Postural : tekanan darah rendah yang jatuh lebih lanjut ketika berdiri, menyebabkan
kepeningan atau membuat pingsan. Perubahan-perubahan kulit pada penyakit Addison, dengan
area-area dari hyperpigmentation, atau penggelapan, yang mencakup bagian-bagian tubuh yang
tertutup dan tidak tertutup. Pigmentasi pada penyakit Addison disebabkan karena timbun-an
melanin pada kulit dan mukosa. Pigmentasi juga dapat terjadi pada penderita yang menggunakan
30
kortikosteroid jangka panjang, karena timbul insufisiensi adrenal dengan akibat meningkatnya
hormon adrenokortikotropik. Hormon adrenokortikotropik ini mempunyai MSH-like effect. Pada
penyakit Addison terdapat peningkatan kadar beta MSH dan hormon adrenokortikotropik Tidak
didapatkan hubung-an antara beratnya penyakit Addison dengan luasnya pigmen-tasi. Pigmentasi
ini sifatnya difus, terutama pada kulit yang mendapat tekanan (misalnya pinggang dan bahu), siku,
jaringan parut, garis-garis telapak tangan dan ketiak. Pada daerah perianal, perivulva, skrotum dan
areola mamma tampak lebih gelap. Pigmentasi pada mukosa sering tampak pada mukosa mulut
yaitu pada bibir, gusi, lidah, faring, konjungtiva, vagina dan vulva. Pigmentasi didapatkan 100%
pada penderita penyakit Addison. Thorn dan kawan-kawan melaporkan dari 158 kasus Addison
seluruhnya didapatkan pigmentasi. Rowntree dan Snell melaporkan dari 108 kasus didapat 1 kasus
tanpa pigmentasi. Penderita dengan kegagalan adrenokortikal sekunder karena hipopituitarisme
tidak didapatkan gejala hiperpigmentasi.
Sistim Kardiovaskuler
1) Hipotensi
Hipotensi merupakan gejala dini dari penyakit Addison, dimana tekanan darah sistolik
biasanya antara 80--100 mmHg, sedang tekanan diastolik 50--60 mmHg. Mekanisme
penyebab terjadinya hipotensi ini diduga karena menurunnya salt hormon yang
mempunyai efek langsung pada tonus arteriol serta akibat gangguan elektrolit. Reaksi
tekanan darah terhadap perubahan sikap adalah abnormal, pada perubahan posisi dari
berbaring menjadi posisi tegak maka tekanan darah akan menurun (postural hipotensi)
yang menimbulkan keluhan pusing, lemah, penglihatan kabur, berdebar-debar.
Hipotensi ini juga terdapat pada penderita dengan atrofi korteks adrenal dengan medula
yang intak, sehingga diduga bahwa epinefrin bukan penyebab dari hipotensi ini.
Tekanan darah akan kembali normal setelah pemberian garam dan desoksikortikosteron
yang meningkatkan tonus vasomotor.
2) Jantung
Ukuran jantung penderita Addison biasanya mengecil pada pemeriksaan radiologi, hal
ini mungkin karena penurunan volume darah sekunder akibat kehilangan air.
Bertambah besarnya ukuran jantung merupakan petunjuk berhasilnya pengobatan.
31
Perubahan elektrokardiografi biasanya tampak tapi tak mempunyai nilai diagnostik,
seringkali didapatkan voltase yang rendah, PR dan QT interval memanjang, oleh karena
kelainan degeneratif organik pada otot jantung serta akibat gangguan elektrolit. Gejala
lain adalah kelemahan kontraksi otot jantung, nadi kecil dan sinkop Akibat
hiperkalemia dapat terjadi aritmia yang dapat menyebabkan kematian mendadak.
Kelemahan Badan
Kelemahan badan ini disebabkan karena gangguan keseimbangan air dan elektrolit serta
gangguan metabolisme karbohidrat. dan protein sehingga didapat kelemahan sampai
paralisis otot bergaris. Di samping itu, akibat metabolisme protein, terutama pada sel-sel
otot menyebabkan otot-otot bergaris atropi, bicaranya lemah. Gejala kelemahan otot ini
berkurang setelah pemberian cairan, garam serta kortikosteroid. Nicholson dan Spaeth
melaporkan pada beberapa penderita. Addison dapat terjadi paralisis flasid yang bersifat
periodic akibat hiperkalemia dimana mekanismenya belum diketahui, walaupun hal ini
jarang didapatkan.
Penurunan berat badan
Penurunan berat badan biasanya berkisar antara 10--15 kg dalam waktu 6--12 bulan.
Penurunan berat badan ini karena adanya anoreksia, gangguan gastrointestinal lain,
dehidrasi, serta katabolisme protein yang meningkat pada jaringan ekstrahepatik, terutama
jaringan otot. Dengan pengobatan yang adekuat akan didapatkan kenaikan berat badan.
Kelainan gastrointestinal
Kelainan gastrointestinal didapatkan pada 80% dari kasus. Addison. Anoreksia biasanya
merupakan gejala yang mula-mula tampak, disertai perasaan mual dan muntah, nyeri
epigastrium, disfagia, konstipasi, kadang-kadang dapat timbul diare. Cairan lambung
biasanya menunjukkan hipoklorhidria sampai aklorhidria. Ini karena rendahnya konsentrasi
klorida dan natrium dalam darah dan jaringan, sehingga produksi asam klorida lambung
menurun. Hipoklorhidria biasanya kern- bali normal bila keseirnbangan elektrolit sudah
diperbaiki.
Gangguan elektrolit dan air
32
Penurunan hormon aldosteron menyebabkan pengeluaran natrium, klorida dan air serta
retensi kalium. Sebagai akibat dari gangguan elektrolit ini terjadi dehidrasi,
hemokonsentrasi dan asidosis.
Gangguan Metabolisme Karbohidrat
Akibat proses glukoneogenesis yang menurun, penggunaan glukosa oleh jaringan yang
meningkat serta gangguan absorbs karbohidrat pada usus halus, akan terjadi hipoglikemi
puasa, di mana kadar gula darah puasa. lebih rendah dari harga normal. Pada tes toleransi
glukosa oral didapat kenaikan kadar gula darah yang kurang adekuat, yaitu menunjukkan
kurve yang datar
Darah Tepi
Sel-sel darah merah dan hemoglobin sedikit menurun dengan hemokonsentrasi. Jumlah sel
darah putih sedikit menurun dengan relatif limfositosis, eosinofil sedikit meningkat
Perubahan gambaran darah tepi di atas karena menurunnya hidrokortison. Gambaran
hematologi ini tak mempunyai arti yang khas untuk diagnostic.
Gangguan Neurologi dan psikiatri
Manifestasi kelainan pada saraf antara lain penglihatan kabur ngantuk, yang mungkin
berhubungan dengan kelemahan yang progresif, kadang-kadang penderita gelisah, mudah
tersinggung serta dapat timbul psikosis. Pada elektro-ensefalogram didapat gelombang alfa
lebih pelan terutama pada daerah frontalis, serta menghilangnya gelombang beta.
5. Karena efek dari kortisol yaitu menyebakan terjadi perubahan distribusi adiposa
sedangkan efek mineralokortikoid yaitu retensi Na. Dan distribusi lemak sering terjadi
pada daerah yang jaringan bawah kulitnya longgar seperti pada pipi, belakang leher,
perut, dan bahu (daerah depot lemak). Dipengaruhi juga oleh insulin yang kurang sensitif
pada daerah ekstremitas sehingga tidak menyababkan penimbunan lemak pada daerah
ekstremitas tangan ataupun kaki.
33
7. Tujuan pengobatan adalah mengontrol manifestasi penyakit, sehingga anak dapat memiliki kualitas
hidup yang baik tanpa eksaserbasi berat, sekaligus mencegah kerusakan organ serius yang dapat
menyebabkan kematian. Adapun obat-obatan yang dibutuhkan seperti:
o Antiinflamasi non-steroid
Untuk pengobatan simptomatik artralgia nyeri sendi).
o Antimalaria
Diberikan untuk lupus diskoid. Pemakaian jangka panjang memerlukan evaluasi retina setiap 6 bulan.
o Kortikosteroid Dosis rendah,
untuk mengatasi gejala klinis seperti demam, dermatitis, efusi pleura. Diberikan selama 4 minggu
minimal sebelum dilakukan penyapihan.
Dosis tinggi, untuk mengatasi krisis lupus, gejala nefritis, SSP, dan anemi hemolitik.
o Obat imunosupresan/sitostatika
Imunosupresan diberikan pada SLE dengan keterlibatan SSP, nefritis difus dan membranosa, anemia
hemolitik akut, dan kasus yang resisten terhadap pemberian kortikosteroid.
o Obat antihipertensi
Atasi hipertensi pada nefritis lupus dengan agresif
o Kalsium
Semua pasien LES yang mengalami artritis serta mendapat terapi prednison berisiko untuk mengalami
osteopenia, karenanya memerlukan suplementasi kalsium.
DAFTAR PUSTAKA
Guyton, Artur C dan Hall, Jhon E.2005. Fisiologi Kedokteran edisi 9. Jakarta : EGC
Harrison. 2005. Principles of Internal Medicine edisi 16. Mc Graw Hill
Harper. 2003. Biokimia edisi 25. Jakarta : EGC
Hamid A.Toha,Abdul,2001,Biokimia Metabolisme Biomolekul,Bandung:Penerbit Alfabeta
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Malnutrisi energi protein. Dalam : Standar Pelayanan
Medis Kesehatan Anak. Edisi I. Jakarta : 2004 ; 217-222.
34
Jonqueira dkk. 1995. Histologi Dasar. Jakarta : EGC
Katzung, Betram. 1995. Farmakologi Dasar Klinik Edisi VI. Jakarta : EGC
Kumar SP. WHO Global Database on Child Growth and Malnutrition – World Health
Organization. Avaliable from : http://www.Who.int//nutgrowthdb>. Last update January 2007
[diakses pada tanggal 20 November 2007].
Mansjoer, Arif, dkk. 2000. Kapita selekta kedokteran edisi III. Jakarta : Media Aesculapius.
Martoharsono,Seoharsono,2000,Biokimia jilid 2,Yogyakarta:Penerbit Universitas Gajah Mada
Murray Md,Phd,Robert K,1997,Biokimia Harper edisi 24,Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran
EGC
Mycek, dkk. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar. Jakarta : Widya Medika
Nelson. 2000. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : EGC
Poedjiadi,Anna,1994, Dasar-Dasar Biokimia,Jakarta:Penerbit Universitas Indonesia
Robbin dan Kumar. 2001. Buka Ajar Patologi Anatomi. Jakarta : EGC
Sarwono, dkk. 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jlid I dam II Edisi ketiga. Jakarta : FKUI.
Staf pengajar IKA FKUI. 1985. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : FKUI
Sherwood, Laurale. 2001. Fisiologi Tubuh Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta : EGC.
Subowo. 1992. Histologi Umum. Bandung : Bina rupa aksara
Supariasa, dkk. 2001. Gizi Dalam Daur Kehidupan. Jakarta : EGC
Tropical Medicine Central Resource. Kwashiorkor (Protein-Calorie Malnutrition). Avaliable
from : http://tmcr.Usuhs.mil/tmcr/chapter16/Kwashiorkor.htm. Last update July 2007 [diakses
pada tanggal 17 November 2007].
Van Voorhees BW. Kwashiorkor. Avaliable from :
http://Pennhealth.com/ency/article/001604.htm. Last update June 13rd 2007 [diakses pada
tanggal 20 November 2007].
Wilson dan price. 2002. Patofisiologi 1 & 2. Jakarta : EGC
35