step 1-7 skenario 3

51
SKENARIO Ana, seorang gadis berusia 21 tahun sudah didiagnosa menderita rheumatoid arthritis sejak 5 tahun yang lalu. Sejak itu dia rutin mengkonsumsi obat-obatan yang diberikan dokter, antara lain analgetik, antiinflamasi golomgan kortikosteroid. Namun sejak 3 bulan terakhir ini dia mengeluh kenapa badannya terasa lebih gemuk terutama di daerah bahu dan pipi. Di samping itu pada kulitnya mulai muncul striae. Karena takut akan menimbulkan komplikasi yang lebih hebat, dia mengkonsultasikan penyakitnya ke seorang dokter penyakit dalam. 1

Upload: arief-yudho-prabowo

Post on 05-Dec-2014

146 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

hnbgcfhk

TRANSCRIPT

Page 1: Step 1-7 Skenario 3

SKENARIO

Ana, seorang gadis berusia 21 tahun sudah didiagnosa menderita rheumatoid arthritis sejak 5

tahun yang lalu. Sejak itu dia rutin mengkonsumsi obat-obatan yang diberikan dokter, antara lain

analgetik, antiinflamasi golomgan kortikosteroid.

Namun sejak 3 bulan terakhir ini dia mengeluh kenapa badannya terasa lebih gemuk terutama di

daerah bahu dan pipi. Di samping itu pada kulitnya mulai muncul striae. Karena takut akan

menimbulkan komplikasi yang lebih hebat, dia mengkonsultasikan penyakitnya ke seorang

dokter penyakit dalam.

1

Page 2: Step 1-7 Skenario 3

Step 1

1. Striae : - rupturnya serabut elastic pada kulit yang member gambaran warna ungu

- parut yang berbentuk garis

- biasa terletak di abdomen, paha dikarenakan pemakaian kortikosteroid jangka

panjang

2. Rheumatoid arthritis : penyakit pada sendi karena autoimun yang merusak persendian dan

kapsul sendi.

3. Kortikosteroid : semua bentuk hormon steroid yang dihasilkan oleh korteks adrenal kecuali

hormone seks.

Step 2

1. Apakah obat-obat yang dipakai Ana mempengaruhi keluhan yang ia derita?

2. Bagaimana timbul keluhan badan terasa lebih gemuk dengan pemakaian obat-obatan?

3. Apa saja komplikasi yang dapat terjadi?

4. Apa saja hormon di korteks adrenal dan bagaimana mekanisme kerjanya?

5. Bagaimana striae terjadi?

6. Bagaimana farmakodinamik, farmakokinetik dan mekanisme kerja kortikosteroid?

7. Benar atau tidak kortikosteroid yang menyebabkan keluhan apa ada faktor lain?

8. Bagaimana diagnosis serta penatalaksanaan dari kasus?

9. Bagaiman farmakodinamik dan mekanisme kerja dari analgetik?

Step 3

1. Ya, mempengaruhi terutama obat kortikosteroid. Efek dari obat analgesic tidak begitu

besar disbanding antiinflamasi kortikosteroid.

Jika kortikosteroid dipakai terus-menerus maka akan menimbulkan efek-efek yang tidak

diinginkan.

2. Karena efek dari kortisol yaitu menyebakan terjadi perubahan distribusi adiposa

sedangkan efek mineralokortikoid yaitu retensi Na.

3. Kompliksai (LO)

4. Kelenjar adrenal tersusun atas:

- Kapsul adrenal

2

Page 3: Step 1-7 Skenario 3

- Korteks adrenal →- glomerulosa : mineralokortikoid bekerjasama dengan angiotensin

untukretensiNa.

-retikularis

- fasikulata : glukokortikoid yang memiliki efek terhadap stress

berhubungan dengan ACTRH, antiinflamasi dan imunopsupresi.

- Medulla adrenal → epinefrin dan norepinefrin serta katekolamin

Mekanisme kerja kortisol adalah dengan cara berikatan dengan reseptor yang kemudian

menyebar ke jaringan.

ACTH disekresi oleh hipofisis anterior karena CRH di hipotalamus

↓ umpan balik

retikularis dan fasikulata mensekresi hormon kortisol

Hormon seks yang dihasilkan di korteks adrenal : - androgen

- estrogen dan progesterone

5. - Kortisol →glukoneogenesis →lemak terserap → timbul striae

- jaringan elastin dan kolagen di kulit rusak karena metabolisme sehingga kulit

kehilangan elastisitasnya.

6. Farmakokinetik, farmakodinamik dan mekanisme kerja:

- Distribusi per oral, IV dan IM

- Transortasi melalui darah

- metabolisme di hati

- mekanisme kerja lebih efektif bekerja pada reaksi alergi

- Penggunaan jangka pendek adalah prednisolon, jangka panjang adalah betametakson

(1-1,5 hari)

- Efek kortikosteroid tidak disimpan tapi menyebar dalam plasma. (sifatnya mirip

dengan hormon adrenal)

- Kortikosteroid jika terlalu sedikit yang disekresikan kelenjar adrenal akan menjadi

stimulus terhadap hipotalamus dan hipofisis untuk mensekresi ACTH

3

Page 4: Step 1-7 Skenario 3

7. Penyebab lain yang dapat menimbulkan keluhan seperti di kasus :

- Tumor hipotalamus/hipofisis

- CRH dari hipotalamus

- ACTH banyak yang disekresikan karena adanya hyperplasia adrenal

- Tumor adenoma hipofisis

8. LO

9. Analgesik NSAID mempunyai efek antiinflamasi dan analgesik. Contoh dari NSAID

adalah asam mefenamat. NSAID memicu siklus siklooksigenase yang mengakibatkan

proses pembentukan tromboksan A2 yang kemudian menjadi prostaglandin

Step 4

6. Pembagian kortikosteroid:

- Glukokortikoid → kortisol

- Mineralokortikoid → aldosteron (mengatur keseimbangan osmolaritas)

Glukokortikoid mempunyai efek :

- Terhadap lambung → sekresi HCL meningkat

- Eritropoesis

- Terhadap elektrolit

- Distribusi adiposa

- Metabolisme karbohidrat → glukoneogenesis

- Antiperadangan

- Metabolisme protein → sintesis protein terhambat

- Otak

4

Page 5: Step 1-7 Skenario 3

Glukokortikoid : - hormon → hidrokortison

- sintetik → prednison (efeknya 4x lebih besar dari kortisol),

prednisolon,dll

Mineralokortikoid : aldosteron ( akan meningkat jika ion Na di ekstraselluler meningkat )

ACTH mempengaruhi sekresi aldosteron dan berpengaruh kecil terhadap kecepatannya.

Pengaruh aldosteron terhadap respon inflamasi meliputi respon sel limfosit B dan

resistensi limfosit B.

Glukokortikoid ↑ →hipotalamus → ACTH ↑ →adenokortikoid → kortisol →ketika ada

peradangan → umpan balik negative

Kortikosteroid sintetik:

Steroid masuk → intrasel → nukleus → kromatin → transduksi genetic → keluar →

darah → hati dan ginjal

Efek samping penggunaan kortikosteroid sintetik : mual, muntah dan sakit kepala.

Respon stress :

Glikokortikoid → katekolamin (mempengaruhi saraf simpatis)→ epinefrin →

vasokonstriksi pembuluh darah

Hormon korteks adrenal : glukokortikoid, mineralokortikoid, androgen dan estrogen.

Efek kortisol :

- Antianabolik protein sehingga sekresi protein terhambat

- Glukoneogenasis sehingga banyak glukosa yang tidak di metabolisme yang kemudian

menjadi keadaan hiperglikemi (terutama pada orang yang insulin disekresi sedikit)

- Gangguan psikologis

- Sindrom Cushing karena pemakain kortisol jangka panjang

Hipoaldosteron :

- Primer : tumor

5

Page 6: Step 1-7 Skenario 3

- Sekunder : tekanan arteriol glomerulus → mengaktifkan angiotensin → aldosteron

meningkat

Androgen mempunyai efekmemicu pertumbuhan rambut. Androgen meliputi DHEA,

testosterone dan 4 beta

Step 5

1. Komplikasi pemakaian kortikosteroid

2. Anabolik Steroid

3. Sindrom cushing

4. Kortikosteroid

5. korteks Adrenal Failure

6. Mengapa gemuk di wajah

7. Kortikosteroid pada hipertensi

Step 6

Belajar Mandiri!

6

Page 7: Step 1-7 Skenario 3

Step 7

1. KOMPLIKASI

Contoh-contoh manifestasi penyakit endokrin. (Manifestasi tidak

selalu terjadi pada semua kasus, dan keparahan dapat sangat berbeda).

o Nyeri Abdomen: Krisis Addisonian; ketoasidosis diabetika; hiperparatiroidism

o Amenorea : Insufisiensi adrenal; sindroma adrenogenital, anoreksia nervosa,

sindroma Cushing, keadaan hiperprolaktinemia, hipopituitarisme,hipotiroidisme, menopause,

kegagalan ovarium, ovarium polikistik;sindroma pseudohermafrodit.

o Anemia : Insufisiensi Adrenal, insufisiensi gonad, hipotiroidisme, hiperparatiroidisme,

panhipopitiutarisme.

o Anoreksia : Penyakit Addison, ketoasidosis diabetika, hiperkalsemia,(misal :

hiperparatiroidisme, hipotiroidisme)

o Konstipasi : Neuropati diabetika, hiperkalserriia, hipotiroidisme, feokromositoma

o Depresi : Insufisiensi adrenal, sindroma Cushing, keadaan hiperkalsemia, hipoglikemia,

hipotiroidisme

o Diare : Hipertiroidisme, tumor karsinoid metastatik, karsinoma medular tiroid

metastatik.

o Demam : Insufisiensi adrenal, hipertiroidlsme (krisis tiroid berat), penyakit hipotatamus.

o Perubahan rambut : Penurunan rambut badan (hipotlroidisme, hipopituitarisme, sindroma

Cushing, tirotoksikosis); hirsutisme (keadaan kelebihan androgen, sindroma Cushing,

akromegali)

o Sakit kepala : Episode hipertensi pada feokromositoma, hipoglikemia, tumor hipofisis

o Hipotermia : Hipoglikemia, hipotiroidisme

7

Page 8: Step 1-7 Skenario 3

o Perubahan libido : Insufisiensi adrenal, sindroma Cushing, hiperkalsemia,

hiperprolaktinemia, hipertiroidisme, hipokalemia, hipopituitarisme, hipotiroidisme, diabetes tidak

terkontrol

o Kegugupan : Sindroma Cushing, hipertiroidisme

o Poliuria : Diabetes insipidus, diabetes melitus, hiperkalsemia, hipokalemia

o Perubahan kulit : Akantosis nigrikans (Obesitas, ovarium polikistik, resistensi insulin berat,

sindroma Cushing, akromegali); akne (kelebihan androgen); hiperpigmentasi (insufisiensi

adrenal, sindroma Nelson); kulit kering (hipotiroidisme); hipopigmentasi (panhipopituitarisme);

striae, pletora, memar, ekomosis (sindroma Cushing); vitiligo (penyakit tiroid autoimum,

penyakit Addison).

o Kelemahan dan keletihan: Penyakit Addison, sindroma Cushing, diabetes melitus, hipokalsemia

(mis, aldosteron primer, sindroma Bartter), hipotiroidisme, hipertiroidisme, hiperkalsemia (mis.

hiperrparatiroidisme, panhipopituitarisme, feokromositoma).

o Penambahan berat badan: Penyakit susunan saraf pusat, sindroma Cushing, hipotiroidisme,

insulinoma, tumor hipofisis.

o Penurunan berat: Insufisiensi adrenal, anoreksia nervosa, kanker endokrin,hipertiroidisme,

diabetes melitus dependen insulin, panhipopituitarisme, feokromasitoma.

2. ANABOLIK STEROID

Menurut McArdle dkk.(1981) banyak zat ergogenik yang dianggap dapat nenicu penampilan para

atlet, termasuk di dalamnya: alcohol, amphetamine, ephineprin, aspartat, kofein, steroid, protein, phospat,

campuran udara kaya oksigen, kokain dan lain-lain. Dari sekian banyak zat-zat tersebut diatas, kanya

sedikit yang digunakan para atlet dan menunjukkan pengaruh memacu penampilan para atlet, salah

satunya adalah anabolic steroid.

Biasanya anabolic steroid digunakan dengan tujuan meningkatkan ukutan dan kekuatan otot

dengan menstimulus sintesis protein kontraktil otot. Di samping itu steroid juga mengurangi peradangan

yang sering dihasilkan dari latihan berat dan lama.

Penelitian pada binatang menunjukkan bahwa anabolik steroid dikombinasikan dengan latihan dan

pemberian protein yang cukup, dapat menstimulus sintesis protein danmenaikkan isi protein kontraktil

otot. Namun efek ergogeniknya pada manusia masih diragukan. Hali ini disebabkan oleh bervariasinya

8

Page 9: Step 1-7 Skenario 3

rancangan penelitian, control yang jelek, teknik pengukuran, pengalaman-pengalaman sebelum menjadi

subjek penelitian yang tidak terkontrol, dan sebagainya. Bahwa terda[at dugaan bahwa androgenik residu

dari anabolik steroid justru meningkatkan sifat agresif dan kompetitif. Sehingga mereka berlatih lebih giat

untuk periode yang lebih panjang (McArdle, 1981)

1. Otot dapat brkembang secara alamiah bila dilatih secara teratur, bahwa perkembangan otot

tersebut mengikuti prinsip “used and disused”.

2. Latihan akan mendorong sel-sel otot untuk mendorong sel-sel otot untuk membangun protein

kontraktilnya,bila latihan dihentikan protin kontraktil akan dibongkor kembali.

3. Anabolik steroid diduga dapat memacu sintesis protein kontraktil otot.

4. Diduga bahwa androgenik residu dari anabolik steroid menghasilkan sifat agresif dan kompetitif,

sehingga mereka dapat berlatih lebih giat dalam waktu yang relatif lebih lama.

5. Penggunaan anabolik steroid secara rutin akan memberikan pengaruh negative terhadap

kesehatan; gangguan paa hati, kardiovaskuler, depresi, tendensi bunuh diri, merasa tidak

terkalahkan, halusinasi pendengaran, kemandulan pada pria, atropi testis, haid tidak teratur,

penurunan hormone seks pada wanita, mengecilnya buah dada, wanita lebih maskulin, dan

membesarnya klitoris.

3. SINDROM CUSHING

Sindrom Cushing terjadi akibat aktivitas korteks adrenal yang berlebihan. Sindrom tersebut dapat terjadi

akibat pemberian kortikosteroid atau ACTH yang berlebih atau akibat hiperplasia korteks adrenal.

Dalam praktis klinis, sebagian besar kasus sindrom cushing disebabkan oleh pemberian glukokortikoid

eksogen. Penyebab lain bersifat endogen dan disebabkan oleh salah satu dari berikut:

o Penyakit primer hipotalamus-hipofisis yang menyebabkan hipersekresiACTH

o Hiperplasia atau neoplasia adrenokorteks primer

o SekresiACTH ektopik oleh neoplasma nonendokrin

KLASIFIKASI :

9

Page 10: Step 1-7 Skenario 3

SindromCushing terbagi 2, yaitu:

1. Tergantung ACTH:

o Hiperfungsi korteks adrenal nontumor

o SindromACTH ektopik

2. Tidak tergantungACTH:

o Hiperplasia korteks adrenal otonom

o Tumor dengan hiperfungsi korteks adrenal

o Adenoma

o Karsinoma

PATOLOGI :

1. 75 % ditemukan hiperplasia adrenal. Dan 50%berat adrenalnya < 8gr.

2. Hiperplasia pada sindrom cushing berbedadengan hiperplasia pada sindrom Adrenogenital.

3. 25% disebabkan adenoma atau karsinoma.

IDENTIFIKASI LESI :

Identifikasi didasarkan pada pemeriksaan radiografi hipofisis dan lesi-lesi adrenal dan dengan pajanan

nuklir kelenjar adrenal. CT Scan resolusi tinggi pada kelenjar hipofisis dapat menunjukkan daerah dengan

penurunan atau peningkatan densitas yang konsisten dengan mikro adenoma. MRI dengan kontras

gadolinium memberikan temuan positif padamayoritas penderita.

DIAGNOSIS LABORATORIUM

Didasarkan pada:

1. Kadar kortisol bebas urin 24 jam yang selalu meningkat

10

Page 11: Step 1-7 Skenario 3

2. Hilangnya pola diurnal normal sekresi kortisol Penentuan lokasi penyebab sindrom cushing

bergantung pada:

3. Kadar ACTH serum

4. Pengukuran sekresi steroid urine setelah pemberian glukokortikoid sintetik deksametason

Cushing disease

Cushing disease adalah suatu keadan hypercortisolemi yang disebabkan karena produksi ACTH

yang berlebihan dari adenoma hipofisis. Sedang yang dimaksud Cushing’s syndroma adalah kondisi

hypercortisolemia yang disebabkan dari berbagai sumber selain hipofisis.

Hal lain yang timbul oleh karena kelebihan ACTH yaitu Nelson’s syndroma

berpigmentasi oleh karena adanya stimulasi melanin stimulating hormon yang

bereaksi silang dengan ACTH, terjadi pada 10-20% pasien yang menjalani operasi adrenalectomy sebagai

terapi dari cushing’s syndromanya.

Banyak tumor kelenjar hipofisis yang bersekresi, ternyata juga memproduksi

amophilic ACTH (Cushing’s disease). Ini merupakan tantangan untuk diagnosa dan terapi karena

biasanya tumor ini gejalanya tidak khas dimana dengan MRI dan CT scan jelas terlihat tetapi pilihan

terapi tetap sulit. Dilainpihak hypercortisolemia ini akan menimbulkan problem yang berat, kondisi

pasien akan semakin memburuk dengan kelemahan dan nyeri otot yang difus, emosi menjadi labil, timbul

aterosklerosis, hipertensi, DM, osteoporosis, kegemukan, kemungkinan infeksi ulkus peptikum dan

trombosis yang memerlukan identifikasi dan penanganan yang segera.

Pada kebanyakan kasus hypercortisolemia pada orang dewasa disebabkan oleh:

o mikroadenoma hipofisis bagian anterior (60-80% kasus) yang sering kali tidak terlihat

pada pemeriksaan dengan MRI dan CT scan

o Adanya ektopik over produksi ACTH dan atau CRH dari suatu benign atau malignant

tumor kelenjar adrenal yang mensintesa cortisol secara otonom (10-20% kasus)

11

Page 12: Step 1-7 Skenario 3

o Adanya produksi ACTH ektopik dari tumor paru-paru (terutama) pankreas (1- 10%kasus)

o Hal lainnya yaitu iatrogenik, alkoholik atau depresif pseudo cushing state;

membedakan antara cushing’s disease dengan cushing’s syndroma

merupakan problem diagnostik tersendiri.

Pada cushing hipofisis primer (dengan single adenoma) sebaiknya dilakukan adenomectomy secara

selektif, pada hyperplasia sebaiknya dioperasi dengan

hypophysectomy komplit atau menggonakan obat-obatan untuk mengatur

stimulasi tersebut. Pada intermediate lobe cushing’s mungkin masih berrespon

terhadap bromokriptin, dimana pada cushing’s type yang lain terapi medis tidak

berefek.

Gejala:

o Biasanya menyerang wanita sekitar usia 40 tahun

o Khas ditandai dengan truncal obesity, hipertensi, hirsutisme (waita),

hyperpigmentasi, diabetes atau glukosa intoleran, amenorrhea, acne,

striae abdominal, buffallo hump dan moon facies

o Kelainan endokrinologik yang berat ini sudah muncul pada tahap sangat dini dari

tumornya yang menyulitkan dalam mendeteksi dan identifikasi sumbernya.

Diagnosa:

o CRH dilepaskan dari hipotalamus dan akan merangsang sekresi ACTH dari

adenihipofisis, ACTH akanmeningkatkan produksi dan sekresi cortisol dari adrenal

cortex yang selanjutnya dengan umpan balik negatif akan menurunkan ACTH. Pada

kondisi stres fisik dan metabolik kadar cortisol meningkat, secara klinik sulit mengukur

ACTH, maka cortisol dalam sirkulasi dan metabolitnya dalam urine digunakan untuk

status diagnosa dari keadaan kelebihan adrenal. Cushing’s syndroma secara klinik mudah

dikenal tapi sulit untuk menentukan etiologinya.

o Pengukuran plasma kortisol, kortisol urine dan derifatnya seacra basal maupun dalam

respon terhadap dexametason, maupun penetuan plasma ACTH, bisa dipakai untuk

menentukan apakah penyakitnya primer adrenal, hipofisis atau sumber keganasan ektopi.

12

Page 13: Step 1-7 Skenario 3

o Jika datatsb seimbang maka diperlukan pengukuran CRH dan test perangsangan CRH

dengan pengukuran ACTH dan cortisol perifer atau pada aliran vena sinus petrosus

bilateral untuk membuktikan adanya Cushing’s disease. Jika sudah ditentukan sumbernya

hipofisis, akan lebih sulit lagi menentukan bagian hipofisis yang mana yang

memproduksi hipersereksi ACTH.

Testnya sebagai berikut:

1. untuk screning tentukan kadar cortisol pada jam 8 pagi, normal kadarnya 6-18

ug/100 ml. Jika meningkat, hiperkortikolisme. Jika menurun hipoadrenalisme

(primer atau sekunder)

2. jika hiperkortikolisme terjadi, tentukan etiologinya dengan test supresi

deksametason dosis rendah, dimana deksametason akan menekan pelepasan

ACTH tapi pada tumor adrenal atau pada produksi ACTH ektopik (terutama Ca

bronkhus) supresi tidak terjadi,

caranya sebagai berikut:

o test dosis rendah semalam, beri dexametason 1 mg po pada jam 11 malam, ukur kadar kortisol

pada jam 8 keesokan harinya. Cortisol < 5ug/dl ; bukan Cushing’s syndrome Cortisol 5-10 ug/dl ;

meragukan, ulangi test Cortisol > 10 ug/dl; kemungkinan Caushing’s syndrome, fals positip

terjadi pada pseudo caushing states yaitu pada:

- 15% pasien gemuk

- penderita sakit kronik

- pada kadar estrogen yang meninggi

- uremia

- depresi

- alkoholik

- pasien yang mendapat terapi phenobarbital atau

phenitoin

13

Page 14: Step 1-7 Skenario 3

o test dosis rendah 2 hari digunakan jika tes dosis rendah semalam hasilnya equivocal. Berikan

dexameason 0,5 mg po tiap 6 jam selama 2 hari dimulai jam 6 pagi. Ambil urine 24 jam sebelum

tes dan pada hari kedua tes, normal dexametason akan menekan 17 hydorxycorticosteroids

kurang dari 4 mg/24 jam. Pada Caushing’s syndrome hasilnya akan meningkat.

o Untuk membedakan Caushing’s disesase dengan ektopik ACTH atau tumor adrenal dilakukan tes

supresi dexametason dosis tinggi (>20% pasien dengan Caushing’s disesase tidak akan disupresi

dengan deksametason dosis tinggi, phenitoin akan mempengaruhi test ini)

sebagai berikut:

1. Ambil plasma cortisol pada jam 8 pagi, lalu berikan 8 mg deksametason po pada jam 11

malam, ukur plasma cortisol pada jam 8 keesokan harinya. 95% Caushing’s disesase

plasma cortisolnya akan rendah (50% kurang dari basal). Pada ektopik ACTH atau tumor

adrenal tidak berubah

2. CRH test, beri CRH 0,1 ug/kg IV bolus, pada Caushing’s disesase plasma ACTH dan

level cortisol akan meningkat, sedangkan pada ektopik ACTh dan tumor adrenal tidak

3. Karena banayak dari kasus ini tidak terbukti dengan pemeriksaan MRI, maka teknik

sampling sinus petrosus digunakan untuk memastikan diagnosa dan mengarahkan operasi

sekreksesi karean bisa dipakai untuk menentukan sisi dimana makroadenoma hipofisis

berada. Pasien dengan Caushing’s disesase mempunyai level ACTH yang tinggi yang

diproduksi langsung dari kelenjar hipofisis dan levelnya mengarah pada isi dimana

adenoma berada. Perbedaan antara kadar ACTH perifer dengan ACTH hipofisis yaitu

kadar di perifer tidak tetap, pada sekresi ACTH yang ektopik dimana kelenjar hipofisis

diinhibisi, kadar ACTH perifer maupun hipofisis nya keduanya tidak tetap, jug atidak ada

perbedaan anatara keduia sisi pada pengukuran secara sampling sinus petrosus. Pada

hyperplasia corticotrophs kadar ACTH sentral meningkat pada kedua sisi kelenjar.

Indikasi pemeriksaan pengukuran kadar ACTH pada aliran vena

sinus petrosus bilateral:

1. pasien dengan data lab yang seimbang, dimana sumber pasti produksi ACTH yang berlebihan

sulit ditentukan dan pemeriksaan MRI negatip.

14

Page 15: Step 1-7 Skenario 3

2. pasien dengan data lab jelas mengarah ke kel hipofisis, tetapi MRI negatif, maka arah operasi

reseksi hemihyposectomy jika adenoma tidak terlihat pada waktu operasi, ditentukan dari pemerikasaan

ini, yaitu pada arah dimana kadar ACTHnya meningkat sesudah dirangsang CRH. Hal ini perlu

diperhatikan terutama jika pasien muda terutama wanita yang masih subur.

3. pasien yang tidak ada perbaikan sesudah operasi, maka perlu dievaluasi kembali apakah betul

menderita Caushing’s disesase atau kelebihan ACTHnya akibat dari produksi ektopik.

Terapi:

1. Operasi

Operasi mikro transphenoidal explorasi dari kelenjar hipofisis dengan selektif adenomectomy atau partial

atau hemihyposectomy.pada tumor yang sangat besar atau invasive maka sesudah operasi dilanjutkan

dengan terapi radiasi, terapi obat-obatan dan kadang-kadang adrenalectomy. Angka kesembuhan penyakit

ini sesudah menjalani terapi operasi < 90%. Kurang dari 10% pasien dengan ACTH hipofise yang

berlebihan disebabkan karena basophilik

hiperplasia yang meliputi seluruh kelenjar. 3,7-9,3% pasien akanmengalami rekurensi, karena sel-sel

sekitar peritumor tidak terangkat atau etiologi primernya bukan pada tumornya tetapi karena stimulasi

yang berlebihan dari CRH nya sehingga ACTHnya tetap berlebih. Insiden kekambuhan besar pada pasien

yang menjalani operasi selektif adenomectomy. Pasen yang tidak membaik sesudah menjalani operasi

selektif terjadi pada:

a. pasien dengan adenoma yang invasive

b. pasien dengan microadenoma yang tidak teridentifikasi

c. pasien dengan hyperplasia corticotrop

d. pasien dengan ektopik sekresi ACTH atau CRH

Pada operasi pengangkatan tumor secara komplit maka akan timbul hypocortisolemia untuk 3-6 bulan,

jika cortisolnya tetap normal maka akan cenderung mengalami rekurensi.

2. Radiasi

15

Page 16: Step 1-7 Skenario 3

Steretactic radiasi digunakan secara tersendiri atau kombinasi dengan operasi, dilaporkan angka

kesembuhannya bervariasi antara 50-100%. Karena diperlukan waktu yang lama untuk mencapai efek

kesembuhan dan karena tingginya insiden hipopituitarism maka indikasi terapi radiasi hanya ditujukan

jika operasi gagal.

3. Obat-obatan

Terapi dengan obat-obatan bertujuan untuk memblok ACTH atau produksi cortisol, dimana terapi hanya

mengobati gejalanya saja tanpa menghilangkan tumornya. Hal ini seringkali perbaikan yang didapat tidak

lengkap dan sangat potensil untuk timbulnya efek samping yang berbahaya. Obat-obatan yang digunakan

sebagai berikut:

a. Ketoconazole

Merupakan obat anti jamur yang poten, akan menghambat adrenal steroidogenesis dengan memblok 11

beta hydroksilase (dan enzim lain yang terlibat pada produksi cortisol dan endosteron) umumnya

ditoleransi dengan baik, walaupun kadang-kadang timbul sedasi jikan mungkin dosis dinaikkan

secukupnya sampai tercapai eucortisolemia, ini sulit. Sering ada maksudnya untuk mencapai sukresi

adrenal tapi suatu saat tambahan terapi steroid terus dimakan karena berbagai step dalam produksi steroid

berhenti, pengaruh terhadap kolesterol, viatmin D, mineralocorticoid, produksi estrogen dan endogren

memerlukan evaluasi yang ketat sebelum ketococonacole digunakan untuk jangka panjang. Obat ini

digunakan jika diagnosa sudah tegak tapi terapi operasi terapi ditangguhkan, atau pada keadaan diamana

etiology yang pasti dari Caushing’s disesase masih kabur dan terapi sementara ini cocok.

b. Cyproheptadin

Merupakan obat anti serotonin (maupun anti histamin dan anti cholinergic), diduga menurut Kriger et al

bisa digunakan untuk mengatur pelepasan ACTH, tetapi dari berbagai laporan obat ini mengecewakan.

c. Bromocriptine

Obat ini digunakan terutama untuk menurunkan produksi prolastin, dilaporkan penggunaan obat ini

dengan atau tanpa cyproheptadin akan menormalkan produksi cortisol pada penderita Caushing’s

16

Page 17: Step 1-7 Skenario 3

syndrome, terutama pada pasien dengan intermediate lobe Caushing’s disesase dimana sering bersama

dengan meningginya kadar prolastin. Efek samping yang terjadi yaitu kelemahan, mual, aneroksia dan

pening kepala.

4. ADRENOKORTIKOSTEROID DAN ANALOG SINTETIKNYA

BIOSINTESIS DAN KIMIA

Biosintesis kortikosteroid dapat dilihat pada Gambar . Korteks adrenal mengubah asetat menjadi

kolesterol, yang kemudian dengan bantuan berbagai enzim diubah menjadi kortikosteroid dengan

21 atom karbon dan androgen lemah dg 19 atom karbon. Androgen ini juga merpkan sumber

estradiol. Sebagian besar kolesterol yang digunakan untuk steroidogenesis berasal dari luar

(eksogen), baik pada keadaan basal maupun setelah pemberian ACTH.

Meskipun kelenjar adrenal dapat mensintesis androgen, pada wanita sekitar 50% androgen

plasma berasal dari luar kelenjar adrenal. pada pria androgen dari adrenal hanya sebagian kecil

dari seluruh androgen plasma.

dalam korteks adrenal kortikosteroid tidak disimpan sehingga harus disintesis terus menerus.

Gambar . Biosintesis adrenokortikosterold dan androgen adrenal.

17

Page 18: Step 1-7 Skenario 3

Tabel 1. KECEPATAN SEKRESI DAN KADAR PLASMA KORTIKOSTEROID UTAMA PD

MANUSIA

PENGATURAN SEKRESI

18

Page 19: Step 1-7 Skenario 3

Fungsi sekresi korteks adrenal sangat dipengaruhi oleh ACTH. Sistem saraf tidak mempunyai

pengaruh langsung terhadap fungsi sekresi korteks adrenal. Ini terbukti pada percobaan

transplantasi kelenjar adrenal dimana fungsi sekresinya tetap normal.

ACTH terutama berpengaruh pada zona fasikulata, sedangkan terhadap zona glomerulosa

pengaruhnya hanya sedikit. Akibat pengaruh ACTH ini zona fasikulata akan mensekresi kortisol

dan kortikosteron. Sebaliknya bila kadar kedua hormon tersebut dalam darah meningkat,

terutama kortisol, terjadi penghambatan sekresi ACTH. Peninggian kadar aldosteron dalam darah

tidak menyebabkan penghambatan sekresi ACTH.

MEKANISME KERJA

Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis protein. Molekul hormon

memasuki sel jaringan melalui membran plasma secara difusi pasif di jaringan target, kemudian

bereaksi dengan reseptor protein yang spesifik dalam sitoplasma sel jaringan dan membentuk

kompleks reseptor-steroid. Kompleks ini mengalami perubahan konformasi, lalu bergerak

menuju nukleus dan berikatan dengan kromatin. lkatan ini menstimulasi transkripsi RNA dan

sintesis protein spesifik. Induksi sintesis protein ini merupakan perantara efek fisiologik

steroid.

Pada beberapa jaringan, misalnya hepar, hormon steroid merangsang transkripsi dan sintesis

protein spesifik: pada jaringan lain, misalnya sel limfoid dan fibroblas, hormon ini bersifat

katabolik.

FAAL DAN FARMAKODINAMIK

Kortikosteroid mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein dan lemak; dan mempengaruhi

juga fungsi sistem kardiovaskular, ginjal, otot lurik, sistem saraf dan organ lain. Karena fungsi

kortikosteroid penting untuk kelangsungan hidup organisme, maka dikatakan bahwa korteks

adrenal berfungsi homeostatik, artinya: penting bagi organisme untuk dapat mempertahankan

diri dalam menghadapi perubahan lingkungan.

19

Page 20: Step 1-7 Skenario 3

Meskipun kortikosteroid mempunyai berbagai macam aktivitas biologik, umumnya potensi

sediaan alamiah maupun yang sintetik, ditentukan oleh besarnya efek retensi natrium dan

penyimpanan glikogen di hepar atau besarnya khasiat anti-inflamasinya.

Tabel menunjukkan penggolongan kortikosteroid berdasarkan masa kerja masing-masing sediaan

sesuai dg aktivitas biologisnya.

TABEL PERBANDINGAN POTENSI RELATIF DAN DOSIS EKUIVALEN BEBERAPA

SEDIAAN KORTIKOSTEROID

Keterangan:

20

Page 21: Step 1-7 Skenario 3

* hanya berlaku utk pemberian oral atau iv

S - kerja singkat (t ½ biologlk 8-12 Jam):

I - kerja sedang (t ½ biologik 12-36 jam);

L - kerja lama (t ½ biologik 36-72 Jam).

Pengaruh kortikosteroid thd fungsi dan organ tubuh adalah sbg berikut :

METABOLISME.

Metabolisme karbohidrat dan protein.

Dalam hepar glukokortikoid merangsang sintesis enzim yang berperanan dalam proses

glukoneogenesis dan metabolisme asam amino, antara lain terjadi peningkatan enzim

fosfoenolpiruvat-karboksikinase, fruktosa-1,6-difosfatase, dan glukosa 6-fosfatase, yang

mengkatalisis sintesis glukosa. Rangsangan sintesis enzim ini tdk timbul dengan segera,

tetapi membutuhkan waktu beberapa jam.

Efek yang lebih cepat timbulnya ialah pengaruh hormon terhadap mitokondria hepar, di

mana sintesis piruvat karboksilase sebagai katalisator pembentukan oksaloasetat

dipercepat. Pembentukan oksaloasetat ini merupakan reaksi permulaan sintesis glukosa

dari piruvat.

Metabolisme karbohidrat dan protein

Penggunaan glukokortikoid untuk jangka lama dapat menyebabkan peninggian glukagon

plasma yang dapat merangsang glukoneogenesis. Keadaan ini dapat pula merupakan

salah satu penyebab bertambahnya sintesis glukosa. Peninggian penyimpanan glikogen

21

Page 22: Step 1-7 Skenario 3

di hepar setelah pemberlan glukokortikoid diduga akibat aktivasi glikogen sintetase di

hepar.

Metabolisme lemak.

Pada penggunaan glukokortikoid dosis besar jangka panjang atau pada sindrom Cushing,

terjadi gangguan distribusi lemak tubuh yang khas. Lemak akan terkumpul secara

berlebihan pada depot lemak, leher bagian belakang {buffalo hump), daerah

supraklavikula dan juga di muka (moon face), sebaliknya lemak di daerah ekstremitas

akan menghilang.

Salah satu hipotesis yang menerangkan keadaan di atas ialah sebagai berikut: jaringan

adiposa yang mengalami hipertroti pada sindroma Cushing bereaksi terhadap efek

lipogenik dan antilipolitik insulin, yang kadarnya meningkat akibat hiperglikemia yang

ditimbulkan oleh glukokortikoid. Sel lemak di ekstremitas bila dibandingkan dengan sel

lemak tubuh, kurang sensitif terhadap insulin, dan lebih sensitif terhadap efek lipolitik

hormon lain yang diinduksi oleh glukokortikoid.

KESEIMBANGAN AIR DAN ELEKTROLIT

Mineralokortikoid dapat meningkatkan reabsorpsi ion Na serta ekskresi K+ dan H+ di tubuli

distal. dengan dasar mekanisme inilah, pada hiperkortisisme terjadi : retensi Na yang disertai

ekspansi volume cairan ekstrasel, hipokalemia, dan alkalosis. pada hipokortisisme terjadi

keadaan sebaliknya: hiponatremia, hiperkalemia, volume cairan ekstrasel berkurang dan hidrasi

sel.

Terjadinya pengeluaran Na* yang berlebihan melalui ginjal pada insufisiensi adrenal dapat

diterangkan sebagai benkut : pada keadaan normal dengan diet normal, hampir seluruh Na+ yang

difiltrasi glomerulus (± 99,5%) akan direabsorpsi oleh tubuli ginjal: jumlah ini diperlukan untuk

mempertahankan keseimbangan Na* dan ini identik dg 24.000 mEq Na*.

22

Page 23: Step 1-7 Skenario 3

Desoksikortikosteron merupakan mineralokortikoid yang pertama disintesis dan digunakan

untuk pengobatan pasien penyakit Addison. Hormon ini hampir tidak mempunyai efek

glukokortikoid. Secara kualitatif pengaruhnya terhadap elektrolit sama dengan aldosteron tetapi

secara kuantitatif potensinya hanya 1/30 aldosteron.

Dosis tunggal dapat meningkatkan reabsorpsi Na+ dan ekskresi K+ Sesudah pemberian beberapa

hari pada hewan utuh atau hewan yang di adrenalektomi, efek retensi Na+ lenyap dan terjadi

keseimbangan Na+ kembali; tetapi K+ tetap diekskresi walaupun terjadi hipokalemia. Pemberian

sediaan ini dalam dosis besar dan terus menerus akan menimbulkan polidipsia dan poliuria.

Kortisol dapat menyebabkan retensi Na+ dan meningkatkan ekskresi K+, tetapi efek ini jauh

lebih kecil dari pada aldosteron, oleh karena itu penggunaan kortisol datam waktu singkat

biasanya tidak menambah sekresi asam. Berlawanan dengan aldosteron, kortisol pada keadaan

tertentu dapat meningkatkan ekskresi Na+; hal ini mungkin disebabkan karena hormon tersebut

dapat menambah kecepatan filtrasi glomeruli. Selain itu kortisol juga dapat meningkatkan sekresi

tubuli ginjal.

Hiperkortisisme akibat sekresi kortisol berlebihan atau karena pemberian kortisol dosis besar

terus menerus, sesekali menyebabkan alkalosis hipoklorernik yang tidak berat. Keadaan ini

menunjukkan bahwa efek kortisol terhadap keseimbangan air dan elektrolit tidak sekuat

aldosteron. Kelemahan otot yang timbul pada keadaan ini disebabkan oleh berkurangnya masa

jaringan otot, jadi bukan karena kehilangan K+.

BEBERAPA SEDIAAN KORTIKOSTEROID & ANALOG SINTETIKNYA

23

Page 24: Step 1-7 Skenario 3

EFEK SAMPING

Efek samping dapat timbul karena penghentian pengobatan tiba-tiba atau pemberian terus-

menerus terutama dengan dosis besar. Pemberian kortikosteroid yang dihentikan tiba-tiba dapat

menimbulkan insufisiensi adrenal akut dengan gejala demam, mialgia, artralgia dan malaise.

Gejala-gejala ini sukar dibedakan dengan gejala reaktivasi artritis reumatoid atau dernam

reumatik yang sering terjadi bila kortikosteroid dihentikan.

Komplikasi yang timbul akibat pengobatan lama lalah akibat gangguan cairan dan elektrolit,

hiperglikemia dan glikosuria, mudah mendapat infeksi terutama tuberkulosis, pasien tukak

peptik mungkin dapat mengalami perdarahan atau perforasi, osteoporosis, miopati yang

karakteristik, psikosis, habitus pasien Cushing (antara lain muka rembulan, buffalo hump,

timbunan lemak suprakiavikular, obesitas sentral, striae, ekimosis, akne dan hirsutisme).

24

Page 25: Step 1-7 Skenario 3

Alkalosis hipokalernik jarang terjadi pada pasien dengan pengobatan derivat kortikosteroid

sintetik dan hampir tidak pernah dijumpai pada pasien dengan terapi 16-a-substitusi seperti

triamsinolon dan deksametason. Keadaan ini mudah diatasi dengan pemberian KCI tanpa

menghentikan pengobatan. Penggunaan triamsinolon dan deksametason lebih cocok bagi pasien

yang cenderung menderita udem. Bila timbul udern, pengobatan dapat diteruskan dengan

disertai diet rendah garam dan pemberian diuretik.

Glikosuria dapat diatasi dengan diet dan pemberian insulin atau hipoglikemik oral.

Tukak peptik ialah komplikasi yg kadang-kadang terjadi pada pengobatan dengan kortikosteroid.

Osteoporosis dan fraktur vertebra karena kompresi juga merpkan komplikasi hebat yang sering

terjadi pada semua umur.

KONTRAINDIKASI

Sebenarnya sampai sekarang tidak ada kontraindikasi absolut kortikosteroid. Seperti diuraikan

dalam pembahasan mengenai indikasi, pemberian dosis tunggal besar dapat dibenarkan. dalam

hal ini keadaan yang mungkin dapat merpkan kontraindikasi retatif dapat dilupakan, terutama

pada keadaan yang mengancam jiwa pasien. Tetapi bila obat akan diberikan untuk beberapa hari

atau beberapa minggu, keadaan seperti : diabetes melitus, tukak peptik, infeksi berat, hipertensi

atau gangguan sistem kardiovaskular lain patut diperhatikan. dalam hal yang terakhir ini

dibutuhkan pertimbangan matang antara risiko dan keuntungan sebelum obat diberikan.

PENGHAMBAT KORTIKOSTEROID

Telah diternukan beberapa zat yang dapat menghambal sekresi kortikosteroid, antara lain:

mitotan (O, p'-DDD), metirapon dan aminoglutetimid.

METIRAPON. Obat ini menghambat kerja enzim 11-b-hidroksilase (lihat gambar 2), sehingga

reaksi berhenti pada pembentukan 11 -desoksikortisol, yang tidak mempunyai efek

penghambatan terhadap sekresi ACTH. Akibatnya, metirapon pada orang normal dapat

25

Page 26: Step 1-7 Skenario 3

menimbulkan peningkatan sekresi ACTH dan ekskresi 11-desoksikortisol, suatu 17-

hidroksikortikoid.

Metirapon digunakan untuk menguji kemampuan hipofisis untuk mengadakan kompensasi

terhadap penurunan kortisol, pada pasien dengan gangguan sistem hipotalamus-hipofisis yang

tidak dapat mengadakan reaksi kompensasi tersebut, pemberian metirapon tidak menimbulkan

peningkatan ekskresi 17-hidroksikortikoid. Sebelum penggunaan metirapon, lebih dahulu harus

diketahui bahwa fungsi adrenal terhadap rangsangan ACTH normal, karena metirapon hanya

berguna bila adrenal masih berfungsi terhadap rangsangan ACTH. pada pasien dengan fungsi

sekretoris adrenal yang menurun, obat ini dapat menyebabkan insutisiensi adrenal yang akut.

Metirapon dapat mengatasi hiperkortisolisme akibat neoplasma adrenal yang berfungsi secara

otonomik atau akibat produksi ACTH ektopik oleh adanya tumor. Namun pada hiperkortisolisme

akibat hipersekresi ACTH pada sindroma Cushing, metirapon tidak dapat digunakan. Di sini

penurunan kadar kortisol dalam darah akibat metirapon merangsang pengeluaran ACTH, yang

selanjutnya merangsang sekresi kortisol yg berada dlm penghambatan parsial, shg kadarnya dlm

plasma kembali pada keadaan sebelum pemberian metirapon. Penggunaan jangka lama dapat

menyebabkan hipertensi karena sekresi desoksikortikosteron yang berlebihan. Metirapon

(metopiron), tersedia dalam bentuk tablet oral 250 mg.

AMINOGLUTETIMID. Aminoglutetimid (a-etil-p-aminofenil glutarimid) menghambat

konversi kolesterol menjadi A-5-pregnenolon. Penghambatan ini menyebabkan gangguan

produksi kortisol, aldosteron, dan steroid kelamin. Obat ini digunakan untuk hiperkortisolisme

akibat tumor adrenal yang berfungsi otonornik maupun akibat produksi ACTH ektopik.

Pemberian kombinasi aminoglutetimid bersama dengan metirapon dapat mengatasi sindrom

Cushing akibat hipersekresi ACTH dari hipofisis. dalam hal ini mungkin dibutuhkan kortisol

fisiologik untuk mencegah insufisiensi adrenal. Obat ini tersedia dalam bentuk tablet oral 250

mg.

5. INSUFISIENSI ADRENAL

26

Page 27: Step 1-7 Skenario 3

Insufisiensi adrenal adalah keadaan dimana kurangnnya produksi glukokortikoid atau mineralokortikoid

di adrenal, apakah karena kerusakan atau disfungsi dari kortek atau sekunder akibat kekurangan sekresi

ACTH pituitary.9 Kerusakan pada kortek adrenal akan menimbulkan IA primer. Sedangkan IA sekunder

terjadi akibat penyakit pituitary atau hipotalamus.

PENAMPAKAN KLASIK DARI IA

Insufisiensi adrenal dapat dikelompokkan menjadi

3 kategori yang besar :

1) Insufisiensi adrenal primer kronis, yang juga disebut penyakit Addison’s, sebagai akibat

kerusakan dari korteks adrenal. Penyebab tersering adalah penyakit autoimun (sekitar 70-80%),

tuberculosis (20%), perdarahan adrenal, metastase ke adrenal dan AIDS yang dikaitkan dengan infeksi

cytomegalo virus dan terapi ketokonazole.

2) Insufisiensi adrenal sekunder kronis, yang terjadi bila terjadi kekurangan hormone

adrenokortikotropin (ACTH) yang menstimulasi korteks adrenal. Paling sering karena terapi

glukokortikoid eksogen, tapi dapat juga terjadi akibat hipopituitarism generalisata (biasanya akibat tumor

pituitary atau hipotalamus) atau defisiensi ACTH (mungkin karena proses autoimun).

3) Krisis adrenal akut akibat dari stress pada pasien dengan IA kronis yang tidak mendapat pengganti

yang adekuat, juga terjadi pada pasien dengan perdarahan adrenal apopleksi pituitary.

Baik pada IA kronis primer maupun sekunder akan menimbulkan defisiensi glukokortikoid dan kadang-

kadang defisiensi androgen (pada wanita). Gambaran klinis sama pada IA primer maupun sekunder

meliputi hipotensi, kelemahan, fatigue, anoreksia, penurunan berat badan, mual dan muntah. Eosinofilia

dan anemia normositik sering dan kadang juga

27

Page 28: Step 1-7 Skenario 3

ditemukan hiperkalsemia. Hipoglikemia dapat muncul terutama pada anak-anak dengan IA primer dan

pada pasien IA sekunder dalam keadaan panhipopituitarism dimana growth hormone juga hilang. IA

primer kronis dapat disertai dengan penyakit autoimun (kegagalan poliglandular, yang paling sering

adalah penyakit tiroid autoimun (Grave’s atau Hasimoto’s). hipopituitari autoimun jarang ditemukan dan

pasien seperti ini akan ditemui dengan hipokalsemia. Ada dua gambaran yang membedakan IA primer

dan sekunder. Pertama, defisiensi mineralokortikoid ditemukan pada IA primer dan tidak ada pada IA

sekunder (ACTH tidak memegang peranan utama pada pengaturan aldosteron). Oleh karena itu

hiperkalemia biasanya ditemukan pada IA primer dan tidak ada pada IA sekunder. Hiponatremia

merupakan gambaran dari keduanya, tapi pada IA primer ini berkaitan dengan pengurangan volume

akibat peningkatan nitrogen urea darah (BUN) dan kreatinin. Hiponatremia pada IA sekunder merupakan

dilusional karena penurunan kemampuan mengeluarkan air dan meningkatnya kadar vasopressin.

Gambaran berbeda yang kedua yaitu tingginya kadar ACTH dan peptide lain turunan propiomelanokortin

(POMC) pada IA primer dan kadarnya rendah atau normal pada IA sekunder. Hal ini secara khas akan

menimbulkan hiperpigmentasi pada IA primer (akibat dari melanosit yang distimulasi peptide derivate

POMC) dan kurangnya pigmentasi dan kadang pucat ditemukan pada IA sekunder. Krisis adrenal akut

ditandai dengan hipotensi dan syok, demam, kebingungan, mual, dan muntah. Pada keadaan perdarahan

adrenal, beberapa pasien juga akan disertai nyeri perut, flank atau pinggang. Apopleksi pituitary biasanya

dikaitkan dengan sakit kepala yang hebat dan sering dengan opthalmoplegia. Kelainan laboratorium

meliputi azotemia dan eosinofilia.

Penyebab IA akut :

IA akut terjada pada pasien yang tidak bias meningkatkan produksi kortisol selama keadaan stress akut.

Meliputi pasien dengan kelainan hipotalamus dan pituitary, dan pasien dengan kerusakan kelenjar

adrenal. IA sekunder sering pada pasien yang diterapi dengan kortikosteroid eksogen. Namun penyebab

tersering dari IA akut adalah sepsis dan SIRS.

Insufisiensi adrenal akut

Mempertimbangkan kemungkinan IA merupakan hal yang penting pada pasien dalam sakit kritis. Jika

diagnosis terlewatkan, pasien kemungkinan akan meninggal. IA seharusnya dicurigai jika ditemukan

hipotensi yang resisten terhadap katekolamin, terutama jika pasien memiliki hiperpigmentasi, vitiligo,

pucat, rambut aksila dan pubis yang jarang, hiponatremia atau hiperkalemia. Sebagai tambahan,

kemungkinan IA spontan karena perdarahan adrenal dan thrombosis vena adrenal harus dipertimbangkan

28

Page 29: Step 1-7 Skenario 3

pada pasien dengan nyeri perut bagian atas, kekakuan perut, muntah, kebingungan, dan hipotensi arterial.

Pada pasien yang dicurigai, maka sampel darah untuk pemeriksaan kadar kortisol dan kortikotropin harus

diambil. Dan segera terapi kortisol dosis tinggi seharusnya diberikan. Plasma kortisol pada nilai normal

tidak berarti menyingkirkan IA pada pasien yang sakit sangat akut. Berdasarkan atas hasil penelitian

terakhir dari kadar kortisol plasma pada pasien dengan sepsis dan trauma, nilai kortisol plasma lebih dari

25 ug per dL pada pasien yang memerlukan perawatan intensif kemungkinan menyingkirkan kemugkinan

IA, tetapi nilai cutoff yang aman belum diketahui.10 Hiponatremia yang terjadi pada pasien dengan IA

sekunder mungkin juga akan mengancam nyawa. Hiponatremia (Na <120 mmol per liter) mungkin akan

menimbulkan delirium, koma, dan kejang. Pasien ini mempunyai respon yang jelek terhadap cairan NaCl

tapi berespon baik (ekskresi kelebihan air) terhadap hidrokortison.

Addison disease

DEFINISI

Penyakit Addison adalah Kegagalan kelenjar adrenal untuk memproduksi hormone dalam jumlah yang

adekuat sehingga akan mempengaruhi kerja tubuh dalam menekan dan meregulasi tekanan darah serta

mengatur keseimbangan air dan garam.

ETIOLOGI

Hipofungsi korteks adrenal primer dapat disebabkan oleh beberapa sebab :

1) Proses autoimun Penyakit Addison karena proses autoimun didapatkan pada 75% dari penderita.

Secara histologik tidak didapatkan 3 lapisan korteks adrenal, tampak bercak-bercak fibrosis dan infiltrasi

limfosit korteks adrena Pada serum penderita didapatkan antibody adrenal yang dapat diperiksa dengan

cara Coons test, ANA test, serta terdapat peningkatan immunoglobulin G.

2) Tuberkulosis

Kerusakan kelenjar adrenal akibat tuberkulosis didapatkan pada 21% dari penderita. Tampak daerah

nekrosis yang dikelilingi oleh jaringan ikat dengan serbukan sel-sel limfosit, kadang-kadang dapat

dijumpai tuberkel serta kalsifikasi Seringkali didapatkan proses tuberculosis yang aktif pada organ-organ

lain, misalnya tuberkulosis paru, tuberculosis genito-urinari, tuberkulosis vertebrata (Pott s disease), hati,

limpa serta kelenjar limpa.

29

Page 30: Step 1-7 Skenario 3

3) Infeksi lain

Penyebab kerusakan kelenjar adrenal karena infeksi yang lebih jarang ialah karena :

histoplasmosis, koksidioidomikosis, serta septikemi karena kuman stafilokok atau meningokok yang

sering menyebabkan perdarahan dan nekrosis.

4) Bahan-bahan kimia

Obat-obatan yang dapat menyebabkan hipofungsi kelenjar adrenal dengan menghalangi biosintesis yaitu

metirapon; sedang yang membloking enzim misalnya amfenon, amino-glutetimid dan O.p.D.D.D

5) Iskemia

Embolisasi dan trombosis dapat menyebabkan iskemia korteks adrenal, walaupun hal ini jarang terjadi.

6) Infiltrasi

Hipofungsi korteks adrenal akibat infiltrasi misalnya metastasis tumor, sarkoidosis, penyakit amiloid dan

hemo-kromatosis

7) Perdarahan

Perdarahan korteks adrenal dapat terjadi pada penderita yang mendapat pengobatan dengan antikoagulan,

pasca operasi tumor adrenal.

8) Lain-lain

Akibat pengobatan radiasi, adrenalektomi bilateral dan kelainan congenital.

MANIFESTASI KLINIS

Gejala-gejala dari ketidakcukupan adrenal biasanya mulainya secara berangsur-angsur.

Karakteristik-karakteristik dari penyakit adalah:

Hipotensi Postural : tekanan darah rendah yang jatuh lebih lanjut ketika berdiri, menyebabkan

kepeningan atau membuat pingsan. Perubahan-perubahan kulit pada penyakit Addison, dengan

area-area dari hyperpigmentation, atau penggelapan, yang mencakup bagian-bagian tubuh yang

tertutup dan tidak tertutup. Pigmentasi pada penyakit Addison disebabkan karena timbun-an

melanin pada kulit dan mukosa. Pigmentasi juga dapat terjadi pada penderita yang menggunakan

30

Page 31: Step 1-7 Skenario 3

kortikosteroid jangka panjang, karena timbul insufisiensi adrenal dengan akibat meningkatnya

hormon adrenokortikotropik. Hormon adrenokortikotropik ini mempunyai MSH-like effect. Pada

penyakit Addison terdapat peningkatan kadar beta MSH dan hormon adrenokortikotropik Tidak

didapatkan hubung-an antara beratnya penyakit Addison dengan luasnya pigmen-tasi. Pigmentasi

ini sifatnya difus, terutama pada kulit yang mendapat tekanan (misalnya pinggang dan bahu), siku,

jaringan parut, garis-garis telapak tangan dan ketiak. Pada daerah perianal, perivulva, skrotum dan

areola mamma tampak lebih gelap. Pigmentasi pada mukosa sering tampak pada mukosa mulut

yaitu pada bibir, gusi, lidah, faring, konjungtiva, vagina dan vulva. Pigmentasi didapatkan 100%

pada penderita penyakit Addison. Thorn dan kawan-kawan melaporkan dari 158 kasus Addison

seluruhnya didapatkan pigmentasi. Rowntree dan Snell melaporkan dari 108 kasus didapat 1 kasus

tanpa pigmentasi. Penderita dengan kegagalan adrenokortikal sekunder karena hipopituitarisme

tidak didapatkan gejala hiperpigmentasi.

Sistim Kardiovaskuler

1) Hipotensi

Hipotensi merupakan gejala dini dari penyakit Addison, dimana tekanan darah sistolik

biasanya antara 80--100 mmHg, sedang tekanan diastolik 50--60 mmHg. Mekanisme

penyebab terjadinya hipotensi ini diduga karena menurunnya salt hormon yang

mempunyai efek langsung pada tonus arteriol serta akibat gangguan elektrolit. Reaksi

tekanan darah terhadap perubahan sikap adalah abnormal, pada perubahan posisi dari

berbaring menjadi posisi tegak maka tekanan darah akan menurun (postural hipotensi)

yang menimbulkan keluhan pusing, lemah, penglihatan kabur, berdebar-debar.

Hipotensi ini juga terdapat pada penderita dengan atrofi korteks adrenal dengan medula

yang intak, sehingga diduga bahwa epinefrin bukan penyebab dari hipotensi ini.

Tekanan darah akan kembali normal setelah pemberian garam dan desoksikortikosteron

yang meningkatkan tonus vasomotor.

2) Jantung

Ukuran jantung penderita Addison biasanya mengecil pada pemeriksaan radiologi, hal

ini mungkin karena penurunan volume darah sekunder akibat kehilangan air.

Bertambah besarnya ukuran jantung merupakan petunjuk berhasilnya pengobatan.

31

Page 32: Step 1-7 Skenario 3

Perubahan elektrokardiografi biasanya tampak tapi tak mempunyai nilai diagnostik,

seringkali didapatkan voltase yang rendah, PR dan QT interval memanjang, oleh karena

kelainan degeneratif organik pada otot jantung serta akibat gangguan elektrolit. Gejala

lain adalah kelemahan kontraksi otot jantung, nadi kecil dan sinkop Akibat

hiperkalemia dapat terjadi aritmia yang dapat menyebabkan kematian mendadak.

Kelemahan Badan

Kelemahan badan ini disebabkan karena gangguan keseimbangan air dan elektrolit serta

gangguan metabolisme karbohidrat. dan protein sehingga didapat kelemahan sampai

paralisis otot bergaris. Di samping itu, akibat metabolisme protein, terutama pada sel-sel

otot menyebabkan otot-otot bergaris atropi, bicaranya lemah. Gejala kelemahan otot ini

berkurang setelah pemberian cairan, garam serta kortikosteroid. Nicholson dan Spaeth

melaporkan pada beberapa penderita. Addison dapat terjadi paralisis flasid yang bersifat

periodic akibat hiperkalemia dimana mekanismenya belum diketahui, walaupun hal ini

jarang didapatkan.

Penurunan berat badan

Penurunan berat badan biasanya berkisar antara 10--15 kg dalam waktu 6--12 bulan.

Penurunan berat badan ini karena adanya anoreksia, gangguan gastrointestinal lain,

dehidrasi, serta katabolisme protein yang meningkat pada jaringan ekstrahepatik, terutama

jaringan otot. Dengan pengobatan yang adekuat akan didapatkan kenaikan berat badan.

Kelainan gastrointestinal

Kelainan gastrointestinal didapatkan pada 80% dari kasus. Addison. Anoreksia biasanya

merupakan gejala yang mula-mula tampak, disertai perasaan mual dan muntah, nyeri

epigastrium, disfagia, konstipasi, kadang-kadang dapat timbul diare. Cairan lambung

biasanya menunjukkan hipoklorhidria sampai aklorhidria. Ini karena rendahnya konsentrasi

klorida dan natrium dalam darah dan jaringan, sehingga produksi asam klorida lambung

menurun. Hipoklorhidria biasanya kern- bali normal bila keseirnbangan elektrolit sudah

diperbaiki.

Gangguan elektrolit dan air

32

Page 33: Step 1-7 Skenario 3

Penurunan hormon aldosteron menyebabkan pengeluaran natrium, klorida dan air serta

retensi kalium. Sebagai akibat dari gangguan elektrolit ini terjadi dehidrasi,

hemokonsentrasi dan asidosis.

Gangguan Metabolisme Karbohidrat

Akibat proses glukoneogenesis yang menurun, penggunaan glukosa oleh jaringan yang

meningkat serta gangguan absorbs karbohidrat pada usus halus, akan terjadi hipoglikemi

puasa, di mana kadar gula darah puasa. lebih rendah dari harga normal. Pada tes toleransi

glukosa oral didapat kenaikan kadar gula darah yang kurang adekuat, yaitu menunjukkan

kurve yang datar

Darah Tepi

Sel-sel darah merah dan hemoglobin sedikit menurun dengan hemokonsentrasi. Jumlah sel

darah putih sedikit menurun dengan relatif limfositosis, eosinofil sedikit meningkat

Perubahan gambaran darah tepi di atas karena menurunnya hidrokortison. Gambaran

hematologi ini tak mempunyai arti yang khas untuk diagnostic.

Gangguan Neurologi dan psikiatri

Manifestasi kelainan pada saraf antara lain penglihatan kabur ngantuk, yang mungkin

berhubungan dengan kelemahan yang progresif, kadang-kadang penderita gelisah, mudah

tersinggung serta dapat timbul psikosis. Pada elektro-ensefalogram didapat gelombang alfa

lebih pelan terutama pada daerah frontalis, serta menghilangnya gelombang beta.

5. Karena efek dari kortisol yaitu menyebakan terjadi perubahan distribusi adiposa

sedangkan efek mineralokortikoid yaitu retensi Na. Dan distribusi lemak sering terjadi

pada daerah yang jaringan bawah kulitnya longgar seperti pada pipi, belakang leher,

perut, dan bahu (daerah depot lemak). Dipengaruhi juga oleh insulin yang kurang sensitif

pada daerah ekstremitas sehingga tidak menyababkan penimbunan lemak pada daerah

ekstremitas tangan ataupun kaki.

33

Page 34: Step 1-7 Skenario 3

7. Tujuan pengobatan adalah mengontrol manifestasi penyakit, sehingga anak dapat memiliki kualitas

hidup yang baik tanpa eksaserbasi berat, sekaligus mencegah kerusakan organ serius yang dapat

menyebabkan kematian. Adapun obat-obatan yang dibutuhkan seperti:

o Antiinflamasi non-steroid

Untuk pengobatan simptomatik artralgia nyeri sendi).

o Antimalaria

Diberikan untuk lupus diskoid. Pemakaian jangka panjang memerlukan evaluasi retina setiap 6 bulan.

o Kortikosteroid Dosis rendah,

untuk mengatasi gejala klinis seperti demam, dermatitis, efusi pleura. Diberikan selama 4 minggu

minimal sebelum dilakukan penyapihan.

Dosis tinggi, untuk mengatasi krisis lupus, gejala nefritis, SSP, dan anemi hemolitik.

o Obat imunosupresan/sitostatika

Imunosupresan diberikan pada SLE dengan keterlibatan SSP, nefritis difus dan membranosa, anemia

hemolitik akut, dan kasus yang resisten terhadap pemberian kortikosteroid.

o Obat antihipertensi

Atasi hipertensi pada nefritis lupus dengan agresif

o Kalsium

Semua pasien LES yang mengalami artritis serta mendapat terapi prednison berisiko untuk mengalami

osteopenia, karenanya memerlukan suplementasi kalsium.

DAFTAR PUSTAKA

Guyton, Artur C dan Hall, Jhon E.2005. Fisiologi Kedokteran edisi 9. Jakarta : EGC

Harrison. 2005. Principles of Internal Medicine edisi 16. Mc Graw Hill

Harper. 2003. Biokimia edisi 25. Jakarta : EGC

Hamid A.Toha,Abdul,2001,Biokimia Metabolisme Biomolekul,Bandung:Penerbit Alfabeta

Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Malnutrisi energi protein. Dalam : Standar Pelayanan

Medis Kesehatan Anak. Edisi I. Jakarta : 2004 ; 217-222.

34

Page 35: Step 1-7 Skenario 3

Jonqueira dkk. 1995. Histologi Dasar. Jakarta : EGC

Katzung, Betram. 1995. Farmakologi Dasar Klinik Edisi VI. Jakarta : EGC

Kumar SP. WHO Global Database on Child Growth and Malnutrition – World Health

Organization. Avaliable from : http://www.Who.int//nutgrowthdb>. Last update January 2007

[diakses pada tanggal 20 November 2007].

Mansjoer, Arif, dkk. 2000. Kapita selekta kedokteran edisi III. Jakarta : Media Aesculapius.

Martoharsono,Seoharsono,2000,Biokimia jilid 2,Yogyakarta:Penerbit Universitas Gajah Mada

Murray Md,Phd,Robert K,1997,Biokimia Harper edisi 24,Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran

EGC

Mycek, dkk. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar. Jakarta : Widya Medika

Nelson. 2000. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : EGC

Poedjiadi,Anna,1994, Dasar-Dasar Biokimia,Jakarta:Penerbit Universitas Indonesia

Robbin dan Kumar. 2001. Buka Ajar Patologi Anatomi. Jakarta : EGC

Sarwono, dkk. 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jlid I dam II Edisi ketiga. Jakarta : FKUI.

Staf pengajar IKA FKUI. 1985. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : FKUI

Sherwood, Laurale. 2001. Fisiologi Tubuh Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta : EGC.

Subowo. 1992. Histologi Umum. Bandung : Bina rupa aksara

Supariasa, dkk. 2001. Gizi Dalam Daur Kehidupan. Jakarta : EGC

Tropical Medicine Central Resource. Kwashiorkor (Protein-Calorie Malnutrition). Avaliable

from : http://tmcr.Usuhs.mil/tmcr/chapter16/Kwashiorkor.htm. Last update July 2007 [diakses

pada tanggal 17 November 2007].

Van Voorhees BW. Kwashiorkor. Avaliable from :

http://Pennhealth.com/ency/article/001604.htm. Last update June 13rd 2007 [diakses pada

tanggal 20 November 2007].

Wilson dan price. 2002. Patofisiologi 1 & 2. Jakarta : EGC

35