skripsi karakteristik mutu ikan tenggiri (scomberomorus commersonii) di kecamatan manggar, kabupaten...
TRANSCRIPT
KARAKTERISTIK MUTU IKAN TENGGIRI (Scomberomorus commersonii) DI KECAMATAN MANGGAR, KABUPATEN BELITUNG TIMUR
Oleh :
Tri Septiarini C34104008
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN
TRI SEPTIARINI. C34104008. Karakteristik Mutu Ikan Tenggiri (Scomberomorus commersonii) di Kecamatan Manggar, Kabupaten Belitung Timur. Dibimbing oleh SRI PURWANINGSIH dan TATI NURHAYATI.
Potensi sumberdaya hayati laut di Kecamatan Manggar, Kabupaten Belitung Timur cukup besar dengan wilayah laut cukup luas (17.763,60 km2). Produksi perikanan tangkap, khususnya ikan tenggiri pada tahun 2005 sebesar 1.854,631 ton. Ikan jenis tenggiri dikirim ke Jakarta untuk pemenuhan konsumsi, oleh sebab itu diperlukan informasi mengenai tingkat kesegaran ikan tenggiri di Kecamatan Manggar sejak ditangkap sampai di Jakarta.
Tujuan penelitian secara umum adalah mempelajari karakteristik mutu ikan tenggiri yang ditangkap menggunakan jaring serta tingkat kerusakan pasca panen. Tujuan khusus antara lain: mempelajari pengaruh metode dan proses penanganan terhadap mutu ikan tenggiri, serta mempelajari perbandingan metode penanganan nelayan dengan peneliti dalam hal penurunan mutu ikan tenggiri.
Penelitian ini terbagi dua, yaitu penelitian pendahuluan dan utama. Penelitian pendahuluan berupa pengisian koesioner dan pengamatan langsung penangkapan ikan di laut. Penelitian utama merupakan pengujian pengaruh metode dan proses penanganan terhadap karakteristik mutu dan tingkat kesegaran ikan tenggiri (organoleptik, derajat keasaman (pH), Total Plate Count (TPC), Total Volatile Base (TVB) dan proksimat).
Alat tangkap yang sering digunakan oleh nelayan di Kecamatan Manggar adalah jaring insang (gillnet). Metode penanganan yang digunakan oleh nelayan adalah metode pendinginan chilled sea water (CSW) yaitu ikan didinginkan dengan air laut bercampur es.
Perlakuan metode penanganan nelayan dan peneliti saat ikan baru ditangkap adalah sama dari nilai organoleptik yaitu 9; kadar air 75,38 %; kadar lemak 1,03 %; kadar protein 20,19 %; kadar abu 1,54 %; pH 6,28; TVB 21,86 mg N/100 g; dan log TPC 3,32 CFU/ml. Perlakuan metode penanganan nelayan dan peneliti saat ikan tiba di Jakarta berturut-turut menunjukkan nilai organoleptik yaitu 5 dan 6; kadar air 76,36 % dan 76,49 %; kadar lemak 0,79 % dan 0,90 %; kadar protein 18,73 % dan 19,23 %; kadar abu 1,46 % dan 1,38 %; nilai pH 6,56 dan 6,16; TVB 24,28 mg N/100 g dan 23,40 mg N/100 g; serta log TPC sebesar 4,67 CFU/ml dan 4,29 CFU/ml. Hasil uji terhadap kesegaran ikan menurut metode penanganan nelayan dan peneliti menunjukkan bahwa mutu ikan tergolong agak segar dan masih dapat dikonsumsi setelah tiba di Jakarta.
Hasil analisis ragam dengan α=0,05 diketahui bahwa perlakuan metode penanganan dari nelayan dan peneliti berpengaruh nyata terhadap nilai dari semua parameter organoleptik ikan tenggiri, sedangkan proses penanganan sejak ikan ditangkap sampai tiba di Jakarta berpengaruh nyata terhadap nilai dari semua parameter organoleptik, dan TPC ikan tenggiri. Menurut uji t dengan α=0,05 diketahui bahwa metode penanganan nelayan dan peneliti saat ikan tiba di Jakarta serta proses penanganan untuk metode nelayan dan peneliti berpengaruh nyata terhadap kadar air dan protein ikan tenggiri.
KARAKTERISTIK MUTU IKAN TENGGIRI (Scomberomorus commersonii) DI KECAMATAN MANGGAR, KABUPATEN BELITUNG TIMUR
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor
Oleh :
Tri Septiarini C34104008
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
Judul Skripsi : KARAKTERISTIK MUTU IKAN TENGGIRI (Scomberomorus Commersonii) DI KECAMATAN MANGGAR, KABUPATEN BELITUNG TIMUR
Nama Mahasiswa : Tri Septiarini
NRP : C34104008
Disetujui,
Komisi Pembimbing
Pembimbing I
Dr. Ir. Sri Purwaningsih, MSi NIP. 131 878 935
Pembimbing II
Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, MSi NIP. 132 149 436
Diketahui,
Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, MSc NIP. 131 578 799
Tanggal lulus :
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, penulis panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan
baik.
Skripsi dengan berjudul Karakteristik Mutu Ikan Tenggiri
(Scomberomorus commersonii) di Kecamatan Manggar, Kabupaten Belitung
Timur, telah disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Perikanan pada Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi
informasi awal bagi pemecahan masalah-masalah seputar penanganan mutu di
dunia perikanan lainnya.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini, terutama kepada:
1. Ibu Dr. Ir. Sri Purwaningsih, MSi dan Ibu Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, MSi selaku
komisi pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan
selama menyelesaikan skripsi ini.
2. Ibu Ir. Nurjanah, MS dan Bapak Ir. Djoko Poernomo, BSc selaku dosen
penguji atas masukan serta bimbingannya kepada penulis.
3. Bapak Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil selaku pembimbing akademik atas
bimbingan dan dorongan semangatnya kepada penulis.
4. Seluruh staf dosen dan TU THP, terima kasih atas dukungan dan bantuannya
selama ini kepada penulis.
5. Ibu Endang, Ibu Ari, dan Bapak Wahid di PAU serta ibu Ema atas bantuan
dan bimbingan selama proses penelitian.
6. Bapak (Masran San Kardi), ibu (Sumiati), serta kakak-kakak tercinta (Mesi
Ristanti dan Dewi Febriyani), atas semua dukungan, pengorbanan, semangat
dan kasih sayang yang diberikan, baik moril maupun materil serta doa yang
selalu mengalir tanpa henti kepada penulis.
7. Keluarga besar Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Belitung Barat dan
Belitung Timur, terutama Bapak Satarman, Bapak Depuk, dan Bapak
Subriandi atas informasi dan bantuannya kepada penulis selama penelitian.
8. Nelayan-nelayan di Kecamatan Manggar, terutama Iwan dan teman-teman
atas bantuannya selama melaksanakan penelitian baik saat wawancara dan
melaut.
9. Teman-teman yang telah banyak membantu : Niken, Heru dan terutama Indra
atas kesediaan dan bantuan kepada penulis selama melaksanakan penelitian di
lapangan serta Attika, Dwi, Santi, Dery, Alim, Dede, dan Fuji atas
kebersamaan dan bantuannya kepada penulis selama melaksanakan penelitian
di Laboratorium.
10. Teman-teman di Wahda Indah : Mba Acen, Roza, Resi, Achil, Ani, Eva, Fuji,
Icha, Oni, Mada, dan Simau atas semangat dan dorongan kepada penulis untuk
segera menyelesaikan seminar dan sidang.
11. Semua pihak yang telah membantu penulis selama penelitian dan penyusunan
skripsi yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa di dalam skripsi ini masih terdapat banyak
kekurangan. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun demi penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan.
Bogor, Desember 2008
Tri Septiarini
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 28 September 1986
di Manggar-Belitung. Penulis adalah anak ketiga dari tiga
bersaudara, pasangan Bapak Masran San Kardi dan Ibu
Sumiati.
Penulis mengawali pendidikan di TK Bhayangkari
Manggar pada tahun 1990 hingga tahun 1992. Pendidikan
dasar diawali pada tahun 1992 di SDN 28 Manggar-Belitung
dan diselesaikan pada tahun 1998. Penulis melanjutkan pendidikan di SMP
Negeri 1 Manggar (1998-2001) dan SMA Negeri 1 Manggar (2001-2004). Pada
tahun 2004, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) sebagai mahasiswa
Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).
Selama kuliah, penulis aktif di organisasi Forum Keluarga Muslim-
Perikanan (FKM-C) selama periode 2004-2005 dan tergabung dalam Ikatan
Keluarga Pelajar Belitung dari tahun 2004 hingga sekarang. Penulis juga aktif
sebagai asisten dosen mata kuliah Biokimia Hasil Perikanan (2006-2007), dan
Penanganan Hasil Perikanan (2006/2007). Dalam kegiatan lainnya penulis aktif
dalam penulisan karya ilmiah dan berhasil masuk sebagai finalis pada Pekan
Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) XX di Universitas Lampung.
Penulis melakukan penelitian dan menyusun skripsi sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, dengan judul Karakteristik Mutu Ikan Tenggiri
(Scomberomorus commersonii) di Kecamatan Manggar, Kabupaten Belitung
Timur, dibimbing oleh Dr. Ir. Sri Purwaningsih, MSi dan Dr. Tati Nurhayati, S.Pi,
MSi.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ........................................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... viii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... ix
1 PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................... 1
1.2 Tujuan Umum .................................................................................... 3
1.3 Tujuan Khusus ................................................................................... 3
2 TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 4
2.1 Klasifikasi dan Deskripsi Ikan Tenggiri (Scomberomorus commersonii) .................................................... .... 4
2.2 Mutu Ikan ........................................................................................... 5 2.2.1. Pengertian mutu ikan ............................................................... 5 2.2.2. Parameter mutu ikan segar ....................................................... 6
2.3 Kemunduran Mutu Ikan ..................................................................... 11
2.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penurunan Mutu Ikan Segar ..... 17 2.4.1. Cara kematian .......................................................................... 17 2.4.2. Kondisi biologis dan lingkungan ............................................. 18 2.4.3. Suhu ......................................................................................... 18 2.4.4. Pengaruh cara penanganan dan pembongkaran ....................... 20 2.4.5. Sanitasi dan higiene ................................................................. 20
2.5 Penanganan ........................................................................................ 21 2.5.1. Penanganan ikan di atas kapal penangkap ikan ....................... 22 2.5.2. Pembongkaran ikan .................................................................. 23 2.5.3. Penanganan ikan di darat ......................................................... 24 2.5.4. Penanganan ikan selama pengangkutan dan distribusi ............ 25 2.5.6. Penanganan tingkat pedagang dan pengecer ............................ 25
3 METODOLOGI ....................................................................................... 26
3.1 Waktu dan Tempat ......................................................................... .... 26
3.2 Alat dan Bahan ............................................................................... .... 26 3.2.1. Alat ....................................................................................... .... 26 3.2.2. Bahan ................................................................................... .... 27
3.3 Metode Penelitian .............................................................................. 27 3.3.1 Penelitian pendahuluan ........................................................ .... 27 3.3.2 Penelitian utama .................................................................. .... 28
3.4 Pengamatan ........................................................................................ 30 3.4.1 Uji organoleptik (BSN 2006) .................................................... 30 3.4.2 Analisis kadar air (AOAC 1995) ............................................. 31 3.4.3 Analisis kadar abu (AOAC 1995) ............................................. 31 3.4.4 Analisis kadar protein (AOAC 1995) ....................................... 32 3.4.5 Analisis kadar lemak(AOAC 1995) ......................................... 33 3.4.6 Penentuan nilai pH (Apriyantono et al. 1989) .................... .... 33 3.4.7 Penetapan Total Volatile Base (TVB) (AOAC 1995) .......... .... 34 3.4.8 Uji mikrobiologis atau Total Plate Count (TPC) (Fardiaz 1987) ...................................................................... .... 35
3.5 Rancangan Percobaan dan Analisis Data ....................................... .... 35
4 HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ .... 39
4.1 Penelitian Pendahuluan .................................................................. .... 39 4.1.1 Alat tangkap dan jenis ikan yang ditangkap ....................... .... 39 4.1.2 Persiapan penangkapan ikan ............................................... .... 41 4.1.3 Proses penanganan ikan ...................................................... .... 44 4.1.4 Sanitasi dan higiene ............................................................ .... 46 4.1.5 Penggunaan es ..................................................................... .... 48
4.2 Penelitian Utama ........................................................................... .... 49 4.2.1 Organoleptik ..................................................................... .... 49 1) Mata ............................................................................ .... 50 2) Insang .......................................................................... .... 52 3) Daging dan perut ......................................................... .... 54 4) Konsistensi .................................................................. .... 57 4.2.2 Hasil analisis kimiawi-biokimiawi ................................... .... 59 1) Analisis proksimat ...................................................... .... 59 a) Kadar air .................................................................. .... 60 b) Kadar lemak ............................................................ .... 61 c) Kadar protein .......................................................... .... 63 d) Kadar abu ................................................................ .... 65 2) Penentuan pH ................................................................ .... 66 3) Penentuan Total Volatile Base (TVB) .......................... .... 67 4) Penentuan Total Plate Count (TPC) ............................. .... 70
4.2.3 Hasil pengamatan parameter kesegaran ikan secara keseluruhan ....................................................................... .... 72
5 KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................ .... 75
5.1 Kesimpulan ................................................................................... .... 75
5.2 Saran ............................................................................................ .... 76
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 77
LAMPIRAN ..................................................................................................... 83
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1 Tanda-tanda ikan segar yang dapat dikonsumsi ......................................... 7
2 Spesiifikasi persyaratan mutu ikan segar .................................................... 8
3 Nilai ”K” beberapa produk olahan ikan segar ............................................ 9
4 Faktor intrinsik yang mempengaruhi laju penurunan mutu ikan yang disimpan dalam es ....................................................................................... 17
5 Hubungan antara suhu, kegiatan bakteri dan mutu ikan ............................. 19
6 Hasil pengamatan seluruh parameter kesegaran ikan .................................. 73
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman 1 Ikan tenggiri (Scomberomorus commersonii) ........................................... 4
2 Diagram proses kemunduran mutu ikan segar (Ilyas 1972) .................... 12
3 Hubungan antara laju pertumbuhan bakteri dengan kemunduran mutu ikan segar ................................................................................................. 16
4 Skema tata niaga pemasaran ikan segar ................................................... 24
5 Diagram alir proses penanganan ikan laut segar ....................................... 28
6 Kerangka pemikiran penelitian ................................................................ 29
7 Jaring insang ............................................................................................. 40
8 Persiapan jaring ....................................................................................... . 41
9 Proses penebaran jaring .......................................................................... . 42
10 Jaring yang disusun setelah dipakai ......................................................... . 42
11 Proses penarikan jaring (hauling) ........................................................... . 43
12 Pengambilan ikan dari jaring ................................................................... . 43
13 Jaring yang sedang diperbaiki ................................................................. . 44
14 Ikan disusun bertumpuk dan akan diberi es ............................................ . 44
15 Penyusunan ikan dalam fiber box oleh nelayan ...................................... 48
16 Histogram rata-rata nilai organoleptik mata ikan tenggiri ...................... . 51
17 Histogram rata-rata nilai organoleptik insang ikan tenggiri ................... . 53
18 Histogram rata-rata nilai organoleptik daging dan perut ikan tenggiri ... . 55
19 Histogram rata-rata nilai organoleptik konsistensi ikan tenggiri ............ . 57
20 Histogram rata-rata kadar air ikan tenggiri selama proses penanganan .. . 60
21 Histogram rata-rata kadar lemak ikan tenggiri selama proses penanganan ............................................................................................. . 62
22 Histogram rata-rata kadar protein ikan tenggiri selama proses penanganan ............................................................................................. . 64
23 Histogram rata-rata kadar abu ikan tenggiri selama proses penanganan .. 66
24 Histogram rata-rata nilai pH ikan tenggiri selama proses penanganan .... 67
25 Histogram rata-rata nilai TVB ikan tenggiri selama proses penanganan . 69
26 Histogram rata-rata nilai TPC ikan tenggiri selama proses penanganan . . 71
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1 Contoh kuesioner untuk nelayan/pemilik kapal ........................................
84
2 Score sheet uji organoleptik ikan segar (SNI 01-2346-2006) .................... 86
3 Data mentah organoleptik ikan tenggiri ulangan 1 selama proses penanganan ................................................................................................. 88
4 Data mentah organoleptik ikan tenggiri ulangan 2 selama proses penanganan .................................................................................................
89
5 Hasil uji Kruskal-Wallis nilai organoleptik ikan tenggiri terhadap
perlakuan metode dan proses penanganan ................................................. 90
6 Hasil uji Kruskal-Wallis organoleptik mata ............................................... 90
7 Hasil uji lanjut Multiple Comparisons pengaruh proses penanganan terhadap nilai organoleptik mata ............................................................... 90
8 Hasil uji Kruskal-Wallis organoleptik insang ............................................ 90
9 Hasil uji lanjut Multiple Comparisons pengaruh proses penanganan terhadap nilai organoleptik insang ............................................................ 91
10 Hasil uji Kruskal-Wallis organoleptik daging dan perut ............................ 91
11 Hasil uji lanjut Multiple Comparisons pengaruh interaksi metode dan proses penanganan terhadap nilai organoleptik daging dan perut ............. 91
12 Hasil uji Kruskal-Wallis organoleptik konsistensi ..................................... 92
13 Hasil uji lanjut Multiple Comparisons pengaruh interaksi metode dan proses penanganan terhadap nilai organoleptik konsistensi ...................... 92
14 Hasil uji normalitas analisis proksimat selama proses penanganan ........... 92
15 Hasil uji t kadar air untuk metode penanganan saat ikan tiba di Jakarta .... 92
16 Hasil uji t kadar air saat proses penanganan oleh nelayan ......................... 93
17 Hasil uji t kadar air saat proses penanganan oleh peneliti ......................... 93
18 Kadar lemak ikan tenggiri sejak ditangkap sampai tiba di Jakarta ............ 93
19 Hasil uji t kadar lemak untuk metode penanganan saat ikan tiba di Jakarta ........................................................................................................ 93
20 Hasil uji t kadar lemak saat proses penanganan oleh nelayan ................... 93
21 Hasil uji t kadar lemak saat proses penanganan oleh peneliti .................... 94
22 Kadar protein ikan tenggiri sejak ditangkap sampai tiba di Jakarta .......... 94
23 Hasil uji t kadar protein untuk metode penanganan saat ikan tiba di Jakarta ......................................................................................................... 94 24 Hasil uji t kadar protein saat proses penanganan oleh nelayan .................. 94
25 Hasil uji t kadar protein saat proses penanganan oleh peneliti .................. 94
26 Kadar abu ikan tenggiri sejak ikan ditangkap sampai tiba di Jakarta ........ 95
27 Hasil uji t kadar abu untuk metode penanganan saat ikan tiba di Jakarta .. 95
28 Hasil uji t kadar abu saat proses penanganan oleh nelayan ....................... 95
29 Hasil uji t kadar abu saat proses penanganan oleh peneliti ........................ 95
30 Nilai pH selama proses penanganan .......................................................... 95
31 Uji normalitas pH selama proses penanganan ........................................... 96
32 Hasil uji keragaman pH selama proses penanganan .................................. 96
33 Nilai TVB selama proses penanganan ....................................................... 96
34 Uji normalitas TVB selama proses penanganan ........................................ 96
35 Hasil uji keragaman TVB selama proses penanganan ............................... 97
36 Nilai log TPC selama proses penanganan .................................................. 97
37 Uji normalitas log TPC selama proses penanganan ................................... 97
38 Hasil uji keragaman log TPC selama proses penanganan .......................... 97
39 Hasil uji lanjut Duncan pengaruh proses penanganan terhadap log TPC .. 98
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia memiliki sumberdaya hayati yang sangat besar dengan
kandungan berbagai macam jenis makhluk hidup di dalamnya. Kekayaan hayati
tersebut diantaranya adalah ikan yang mempunyai manfaat dalam bidang
kesehatan karena ikan memiliki kandungan gizi tinggi serta dapat memberikan
keuntungan dari segi ekonomi dengan nilai jual yang tinggi. Kandungan gizi
utama pada ikan adalah protein serta asam-asam lemak esensial yang sangat
berguna bagi kesehatan manusia.
Ikan serta hasil-hasil perikanan lainnya merupakan sumber protein bernilai
gizi tinggi dibandingkan dengan sumber-sumber protein hewani lainnya. Ikan
merupakan sumber alami asam lemak omega-3 yaitu Eicosa Pentaenoic Acid
(EPA) dan Docosa Hexaenoic Acid (DHA) yang berfungsi untuk mencegah
aterosklerosis (terutama EPA). Kedua asam lemak omega-3 tersebut dapat
menurunkan kadar trigliserida di dalam darah dan kadar kolesterol di dalam hati
dan jantung. Kadar asam lemak omega-3 dalam beberapa jenis ikan laut di
perairan Indonesia berkisar antara 0,1-0,5 g/100 g daging ikan. Berdasarkan data
yang dikeluarkan oleh Lembaga Gizi Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
beberapa jenis ikan laut Indonesia memiliki kandungan asam lemak omega-3
tinggi (sampai 10,9 g/100 g), seperti ikan sidat, terubuk, tenggiri, kembung,
layang, bawal, seren, slengseng, dan tuna (Suriawiria 2002).
Kabupaten Belitung Timur secara geografis terletak diantara bujur
02o30’00”-03o15’00” LS (lintang selatan) dan 107o35’00”-108o18’00” BT (bujur
timur). Luas wilayah Kabupaten Belitung Timur terdiri dari wilayah daratan
seluas 691,68 km2 dan wilayah lautan seluas 17.763,60 km2 dengan panjang
pantai 7.730,515 km2 serta memiliki 90 buah pulau, dengan batas wilayah sebelah
utara berbatasan dengan Laut Cina Selatan, sebelah timur berbatasan dengan Selat
Karimata, sebelah selatan berbatasan dengan Laut Jawa dan sebelah barat
berbatasan dengan Kabupaten Belitung. Berdasarkan gambaran kondisi di atas,
dapat dikatakan bahwa Kabupaten Belitung Timur merupakan kabupaten
kepulauan yang wilayahnya secara umum dikelilingi oleh laut, yang berarti
memiliki potensi yang sangat besar di sektor kelautan dan perikanan. Namun
potensi ini belum dimanfaatkan secara opimal karena keterbatasan sarana dan
prasarana baik dari segi kualitas maupun kuantitas (Dinas Kelautan dan Perikanan
2005a).
Kabupaten Belitung Timur memiliki potensi perikanan tangkap sangat
besar dengan wilayah laut cukup luas (17.763,60 km2). Pemanfaatan potensi
tersebut memerlukan sumber daya manusia dan penerapan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi (IPTEK) dalam penangkapan ikan. Kegiatan penangkapan ikan
umumnya dilakukan oleh nelayan tradisional yang menggunakan kapal motor di
bawah 3 Gross Ton (GT) dan menggunakan alat tangkap jaring kepiting, pancing
dan jaring udang (tramel net) (Dinas Kelautan dan Perikanan 2005a).
Ikan tenggiri termasuk ikan pelagis yang hidup di permukaan laut atau
didekatnya. Jumlah produksi ikan tenggiri di Kabupaten Belitung Timur pada
tahun 2005 sebesar 1.854,631 ton (Dinas Kelautan dan Perikanan 2005a). Ikan
tenggiri merupakan ikan laut hasil tangkapan yang sangat ekonomis karena
harganya yang relatif lebih mahal dibandingkan dengan ikan laut tangkapan
lainnya, tetapi ikan tenggiri tersedia pada musim tertentu saja karena tergolong
ikan musiman sehingga jumlah hasil tangkapan tergantung pada musim.
Penanganan yang baik adalah menggunakan sistem rantai dingin dan
mengutamakan sanitasi dan higiene. Namun pada kenyataannya, penanganan
ikan yang dilakukan para nelayan di Indonesia terutama nelayan tradisional belum
menerapkan penanganan pasca-panen dengan baik, sehingga ikan-ikan yang
didaratkan pada umumnya telah mengalami kemunduran mutu yang cukup tinggi,
sehingga akan merugikan nelayan dan juga konsumen baik dari segi gizi maupun
ekonomi. Hal tersebut yang mendorong sebagian nelayan tradisional
menggunakan bahan pengawet, seperti formalin yang berbahaya bagi konsumen.
Hal ini dilakukan untuk menutupi biaya operasional yang dikeluarkan para
nelayan, namun apa yang dilakukan para nelayan ini sangat merugikan
masyarakat (konsumen) terutama dalam hal kesehatan. Pentingnya penelitian ini
dilaksanakan agar diperoleh data dan informasi mengenai cara penanganan ikan
sejak ikan ditangkap sampai ke darat, komposisi gizi ikan yang didaratkan
khususnya ikan tenggiri dan melihat kemunduran mutu ikan tersebut sebagai
informasi awal mengenai mutu hasil perikanan tangkap oleh nelayan di
Kecamatan Manggar, Kabupaten Belitung Timur.
1.2 Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari karakteristik mutu ikan tenggiri
yang ditangkap menggunakan jaring serta tingkat kerusakan pasca panen.
1.3 Tujuan Khusus
1) mempelajari pengaruh metode penanganan terhadap mutu ikan tenggiri;
2) mempelajari pengaruh proses penanganan sejak ikan ditangkap sampai tiba di
Jakarta terhadap mutu ikan tenggiri;
3) mempelajari perbandingan metode penanganan yang dilakukan oleh nelayan
dengan peneliti dalam hal penurunan mutu ikan tenggiri.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Klasifikasi dan Deskripsi Ikan Tenggiri (Scomberomorus commersonii)
Tenggiri termasuk ikan pelagis yang hidup di permukaan laut atau
didekatnya. Salah satu dari sifat ikan pelagis besar ini adalah suka bergerombol,
sehingga penyebarannya pada suatu perairan tidak merata (Martosubroto et al.
1991 diacu dalam Mutakin 2001). Taksonomi ikan tenggiri diklasifikasikan
sebagai berikut (Saanin 1984) :
Filum : Chordata
Sub filum : Vertebrata
Kelas : Pisces
Sub kelas : Teleostei
Ordo : Percomorphi
Sub ordo : Scombridea
Famili : Scombridae
Sub famili : Scombrinae
Genus : Scomberomorus
Spesies : Scomberomorus commersonii
Gambar 1. Ikan Tenggiri (Scomberomorus commersonii) Sumber : Anonim (2007a)
Ikan tenggiri umumnya hidup di sekitar perairan pantai dan sering pula
ditemukan di dekat perairan karang. Penyebaran spesies ini cukup luas mencakup
seluruh wilayah Indo-Pasifik Barat dari Afrika Utara dan Laut Merah sampai ke
perairan Indonesia, perairan Australia dan perairan Fiji ke Utara sampai ke
perairan China dan Jepang (Martosubroto et al. 1991 diacu dalam Mutakin 2001).
Ciri-ciri tenggiri (S. commersonii) adalah mempunyai tubuh yang panjang,
berbentuk terpedo dan merupakan perenang cepat. Secara morfologi, ikan ini
memiliki karakteristik spesifik pada bagian mulut, sirip, dan bagian tubuh
(Martosubroto et al. 1991 diacu dalam Mutakin 2001).
Tenggiri mempunyai mulut lebar dengan ujung runcing, gigi pada rahang
gepeng dan tajam. Pada bagian punggung ikan terdapat dua sirip. Sirip punggung
pertama berjari-jari keras 15-18 buah, sedangkan sirip punggung kedua berjari-jari
15-20 buah yang diikuti 8-10 buah sirip tambahan (finlet). Sirip dubur tenggiri
biasanya berjumlah 18-19 buah dan sifatnya berjari-jari lemah sebanyak
21-24 buah (Martosubroto et al. 1991 diacu dalam Mutakin 2001).
Bagian punggung tenggiri berwarna biru gelap atau biru kehijauan. Pada
individu dewasa terdapat garis berwarna abu-abu pada bagian perut sebanyak
40-50. Bagian rahang ke bawah berwarna putih keperakan, sirip punggung
pertama berwarna biru terang sampai biru gelap dan sirip dada berwarna abu-abu
keperakan sampai biru gelap. Punggung ikan tenggiri berwarna biru abu-abu dan
perak kebiru-biruan di bagian sisi. Ban-ban warna gelap, menggelombang
melintang badan. Sirip-siripnya biru keabuan. Ukuran panjang tubuh dapat
mencapai 200 cm dan biasanya 60-90 cm (Anonim 2007b).
2.2 Mutu Ikan
Mutu mengandung arti nilai-nilai tertentu yang diinginkan pada suatu
materi, produk atau jasa, seperti pada hasil pertanian pada umumnya, hasil
perikanan juga memiliki paling kurang beberapa aspek mutu, antara lain aspek
bio-tekno-ekonomis, aspek sanitasi dan higiene, aspek industrial dan lain-lain.
Mutu ikan merupakan nilai-nilai tertentu yang diinginkan dari ikan (Ilyas 1983).
2.2.1 Pengertian mutu ikan
Pengertian mutu untuk hasil perikanan sebenarnya identik dengan
kesegaran. Ikan segar mempunyai dua pengertian, yang pertama merupakan ikan
baru saja ditangkap, tidak disimpan atau diawetkan dan pengertian yang kedua,
ikan yang mutunya masih baik; belum disimpan atau diawetkan dan mempunyai
mutu yang tidak berubah serta belum mengalami kemunduran, baik secara kimia,
fisika, maupun biologi walaupun sudah mengalami penyimpanan, misalnya ikan-
ikan yang dibekukan (FAO 1995a).
2.2.2 Parameter mutu ikan segar
Definisi ikan segar menurut SNI 01-2729-2006 adalah produk yang
berasal dari perikanan dengan bahan baku ikan, yang telah mengalami perlakuan
pencucian, penyiangan atau tidak penyiangan, pendinginan dan pengemasan. Ikan
segar yang didefinisikan oleh FAO (1995a) adalah ikan yang baru saja ditangkap,
belum disimpan atau diolah, atau ikan-ikan yang memiliki sifat-sifat kesegaran
yang kuat serta belum mengalami pembusukan. Ikan segar memiliki ciri-ciri
(Stansby 1963) sebagai berikut :
(1) daging ikan padat elastis, tidak mudah lepas dari tulang belakangnya;
(2) aroma atau baunya segar dan lunak seperti bau rumput laut;
(3) mata berwarna cerah dan bersih, menonjol penuh serta transparan;
(4) insang berwarna merah cerah;
(5) kulit mengkilat dengan warna cerah.
Kesegaran ikan tidak sulit diketahui. Cara yang paling mudah adalah
dengan pengamatan secara visual terhadap penampilan ikan, dengan
menggunakan metode 4 M, yaitu melihat, meraba, menekan dan mencium.
Pertama adalah dengan melihat dan mengamati penampilan ikan secara
menyeluruh terutama penampilan fisik, mata, insang, adanya lendir dan
sebagainya. Kedua adalah dengan meraba ikan untuk mengamati kondisi ikan
terutama adanya lendir, kelenturan ikan dan sebagainya. Penilaian visual dengan
meraba dapat dilanjutkan dengan menekan daging ikan untuk melihat teksturnya
dan diikuti dengan mencium bau ikan. Secara fisik kesegaran ikan dapat
ditentukan dengan mengamati tanda-tanda visualnya, seperti yang terdapat pada
Tabel 1 yang memuat tentang tanda-tanda ikan segar bermutu tinggi (Yunizal dan
Wibowo 1998).
Nogueras et al. (2002) melaporkan bahwa otot ikan memiliki kepekaan
yang sangat tinggi terhadap pembusukan selama penyimpanan terutama berkaitan
dengan pertumbuhan dan aktivitas bakteri aerob gram negatif. Kesegaran ikan
umumnya diukur dengan metode sensori berdasarkan perubahan penampakan,
bau, warna, flavor dan tekstur.
Tabel 1. Tanda-tanda ikan segar yang dapat dikonsumsi segar
No. Parameter Tanda-tanda
1. Penampakan Ikan cemerlang mengkilap sesuai jenisnya, badan ikan utuh, tidak patah, tidak rusak fisik, bagian perut masih utuh dan liat serta lubang anus tertutup.
2. Mata Cerah (terang), selaput mata jernih, pupil hitam dan menonjol.
3. Insang Insang berwarna merah cemerlang atau sedikit kecoklatan, tidak ada lendir atau sedikit.
4. Bau Bau segar spesifik jenis, atau sedikit bau amis yang lembut
5. Lendir Selaput lendir di permukaan tubuh tipis, encer, bening, mengkilap cerah, tidak lengket, berbau sedikit amis dan tidak berbau busuk.
6. Tekstur dan daging
Ikan kaku atau masih lemas dengan daging pejal, jika ditekan dengan jari cepat pulih kembali, sisik tidak mudah lepas, jika daging disayat tampak jaringan antar daging masih kuat dan kompak, sayatan cemerlang dengan menampilkan warna daging ikan asli.
Sumber : Yunizal dan Wibowo (1998)
Bahan baku harus secepatnya diolah dengan tujuan untuk
mempertahankan mutu ikan segar. Apabila terpaksa harus menunggu proses lebih
lanjut maka ikan harus disimpan dengan es atau air dingin (0-5 oC), saniter dan
higienis (SNI 01-2729-1-2006). Penentuan tingkat kesegaran ikan dapat
dilakukan dengan :
(1) Pemeriksaan secara organoleptik atau sensorik
Cara organoleptik adalah cara penilaian dengan hanya mempergunakan
indera manusia (sensorik). Cara ini sangat cepat, murah dan praktis untuk
dikerjakan, tetapi ketelitiannya tergantung pada tingkat kepandaian orang yang
melaksanakannya. Penetapan kemunduran mutu ikan secara subyektif
(organoleptik) dapat dilakukan menggunakan score sheet yang telah ditetapkan
oleh Badan Standardisasi Nasional dengan SNI 01-2346-2006. Pengamatan pada
metode ini meliputi warna, bau, konsistensi dan penampakan daging. Perubahan
organoleptik disebabkan karena melunaknya tekstur daging ikan. Pelunakan
tekstur terjadi karena penguraian protein menjadi senyawa yang lebih sederhana,
yaitu polipeptida, asam amino dan amoniak yang dapat meningkatkan pH ikan.
Keadaan basa adanya hasil pemecahan protein, lemak, dan karbohidrat merupakan
media yang baik untuk pertumbuhan bakteri (Murniyati dan Sunarman 2000).
Persyaratan mutu ikan segar yang harus dipenuhi tercantum pada Tabel 2.
Tabel 2. Spesifikasi persyaratan mutu ikan segar
Jenis mutu Satuan Persyaratan mutu
a) Organoleptik Nilai min b) Cemaran mikroba 1. ALT/g, maks 2. Escherichia coli 3. Vibrio cholerae
Koloni/g APM/g Per 25 g
7
5 x 105 <3
negatif Sumber: SNI 01-2729-2006 Keterangan: ALT = Angka Lempeng Total, APM = Angka Paling Memungkinkan
(2) Pemeriksaan dengan K-Value
Analisis ini didasarkan pada katabolisme nukleotida dan dapat dilakukan
pada sejumlah ikan. Nukleotida yang umum berada dalam bentuk Adenosine
Trifosfat (ATP) yang akan berubah menjadi Adenosine Difosfat (ADP), Adenosine
Monofosfat (AMP), Inosin Monofosfat (IMP), dan Inosin (HxR) sampai akhirnya
terbentuk Hypoxanthine (Hx). Hypoxanthine merupakan indikasi yang baik pada
perubahan post mortem daging ikan. Hypoxanthine dapat terakumulasi dari
0,5 µmol menjadi 2,8 µmol per gram daging dalam waktu 24 jam dan menjadi
8,8 µmol per gram daging dalam waktu 48 jam (Zen 2002).
Perubahan nilai K selama penyimpanan bervariasi tergantung pada spesies
dan jenis daging (daging merah/daging putih). Terdapat hubungan antara
kesegaran ikan dan K-value. Analisis K-value umumnya dilakukan menggunakan
HPLC (High Performance Liquid Chromotography). Rumus K-value adalah
sebagai berikut :
%100sin
sin% x
nhypoxanthiinoAMPADPATP
nhypoxanthiinoK
+++++=
Keterangan : ATP :Adenosine triphosphate ADP :Adenosine diphosphate IMP :Inosine monophosphate I :Inosine
Beberapa produk olahan ikan segar memiliki kisaran nilai K yang berbeda-
beda dan dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Nilai “K” beberapa produk olahan ikan segar
Nilai (K) Terdapat pada
Kurang dari 5 % Ikan yang baru mati
20 % Ikan untuk bahan sasimi dan sushi
22,5 % Rata-rata daging ikan di pusat pendaratan
40-60 % Rata-rata daging ikan untuk kamaboko dan surimi
Lebih dari 70 % Ikan mulai mengalami kebusukan
Sumber : Murniyati dan Sunarman (2000)
(3) Pemeriksaan secara mikrobiologis
Penetapan kesegaran ikan secara mikrobiologis dapat dilakukan dengan
menghitung jumlah bakteri yang ada pada daging ikan. Ada dua cara yang dapat
digunakan yaitu pengujian jumlah bakteri secara tepat dan cara pengujian jumlah
bakteri praduga (pendugaan). Pengujian bakteri secara tepat dilakukan
menggunakan metode Total Plate Count (TPC), yaitu penghitungan jumlah
bakteri yang ditmbuhkan pada suatu media pertumbuhan (media agar) dan
diinkubasi selama 24 jam. Koloni bakteri yang tumbuh dihitung. Batas
maksimum bakteri untuk ikan segar yaitu 5 x 105 koloni/g (SNI-01-2729-2006).
Pengujian bakteri secara praduga dapat dilihat dengan menentukan kekeruhan dari
cairan daging ikan (Hadiwiyoto 1993).
(4) Pemeriksaan secara kimiawi
Penentuan kesegaran ikan secara kimiawi dapat dilakukan menggunakan
prinsip penetapan Total Volatile Base (TVB). Prinsip penetapan TVB adalah
menguapkan senyawa-senyawa yang terbentuk karena penguraian asam-asam
amino yang terdapat pada daging ikan (Hadiwiyoto 1993). Nilai TVB maksimum
untuk ikan segar, yaitu 30 mg N/100 g (Anonim 1985).
Komponen utama TVB adalah amoniak (NH3), trimetilamin (TMA) dan
dimetilamin (DMA). Beberapa spesies ikan ditemukan mempunyai
korelasi/hubungan antara kandungan TVB dan penilaian organoleptik. Perubahan
kandungan TVB selama pembusukan mirip dengan TMA, namun kandungan
awalnya lebih tinggi. Basa volatil total dapat dijadikan sebagai indeks kesegaran
ikan semenjak basa volatil terakumulasi dalam daging ikan sampai dengan tahap
akhir pembusukan. Batas penerimaan pada ikan, yaitu bila mempunyai
kandungan TVB 20-30 mg/100 g ikan (Soekarto 1990). Tingkat kesegaran hasil
perikanan berdasarkan TVBN dikelompokkan menjadi 4 (Farber 1965), yaitu :
- ikan sangat segar dengan kadar TVBN 10 mg N/100 g atau lebih kecil;
- ikan segar dengan kadar TVBN sebesar 10–20 mg N/100 g;
- ikan yang berada pada garis batas kesegaran yang masih dapat dikonsumsi
dengan kadar TVBN 20–30 mg N/100 g;
- ikan busuk yang tidak dapat dikonsumsi dengan kadar TVBN lebih besar dari
30 mg N/ 100 g.
(5) Trimetilamin oksida (TMAO)
Perubahan kimiawi TMAO dapat dibagi menjadi 2 jenis yaitu
mikrobiologis dan autolisis. Perubahan TMAO menjadi TMA akan berlangsung
secara bakteriologis, yaitu karena aktivitas bakteri yang terdapat pada ikan yang
disimpan pada suhu kamar atau pada suhu es (chilling) tetapi perubahan TMAO
menjadi DMA dan formaldehida akan dominan pada ikan yang disimpan pada
suhu beku. Ikan ditambah es atau dibekukan untuk menghambat perubahan
TMAO, tetapi dengan es aktivitas bakteri masih ada sehingga ikan umumnya
hanya dapat disimpan dalam es maksimal 16 hari tergantung jenis ikannya.
Senyawa ini terbentuk selama pembusukan ikan oleh bakteri terhadap TMAO.
Beberapa jenis ikan terutama ikan air tawar, memiliki sedikit TMAO. Ikan
dikatakan busuk bila mempunyai kadar TMAO sebesar 2,7 mg nitrogen/100 g
(Murniyati dan Sunarman 2000).
Kesegaran ikan dapat digolongkan ke dalam empat kelas mutu
(Hadiwiyoto 1993), yaitu :
(1) Ikan yang kesegarannya masih baik sekali (prima)
Ikan pada kondisi ini merupakan ikan yang baru saja ditangkap dan baru
saja mengalami kematian. Semua organ tubuhnya baik daging, mata, maupun
insangnya masih benar-benar dalam keadaan segar.
(2) Ikan yang kesegarannya masih baik (advanced)
Pada kondisi ini, ikan masih dalam keadaan segar namun tidak sesegar
seperti kondisi pertama. Ciri-cirinya adalah bola mata yang agak cerah, kornea
agak keruh, warna insang agak kusam, warna daging masih cemerlang namun
lunak bila ditekan.
(3) Ikan yang kesegarannya sudah mulai mundur (sedang)
Ikan pada kondisi ini organ tubuhnya sudah banyak mengalami perubahan,
bola mata agak cekung, kornea agak keruh, warna insang mulai berubah
menjadi merah muda, warna sayatan daging mulai pudar dan daging lembek.
(4) Ikan yang sudah tidak segar lagi (busuk)
Pada kondisi ini ikan sudah tidak layak lagi dikonsumsi. Ciri-cirinya adalah
daging sudah lunak, sayatan daging tidak cemerlang lagi, bola mata cekung,
insang berubah jadi berwarna coklat tua, sisik mudah lepas dan sudah
menyebarkan bau busuk.
2.3 Kemunduran Mutu Ikan
Proses kerusakan ikan berlangsung cepat di daerah beriklim tropis dengan
suhu dan kelembaban harian tinggi. Proses tersebut semakin dipercepat dengan
praktek-praktek atau penangkapan yang tidak baik, cara penanganan yang kurang
tepat, sanitasi dan higiene yang tidak memadai, terbatasnya sarana distribusi dan
sistem pemasaran dan lain-lain. Di negara-negara berkembang, seperti Indonesia
seringkali ikan ditangkap dan didaratkan tanpa pemberian es yang layak.
Akibatnya, dengan suhu harian yang tinggi (25-32 oC) dan kelembaban yang
tinggi (70-90 %) ikan cepat sekali rusak. Jika penanganannya tidak baik, hanya
dalam 10-12 jam saja ikan sudah busuk (Yunizal dan Wibowo 1998).
Segera setelah ikan mati terjadi perubahan-perubahan mutu yang
mengarah pada kebusukan yang disebabkan oleh aktivitas enzim, biokimia, fisik
dan mikrobiologi. Hal-hal lain yang menyebabkan kebusukan pada ikan adalah
kegiatan oksidatif yang merupakan penguraian lemak dan proses oksidasi, serta
kegiatan fisik ikan pada saat ditangkap (Ilyas 1972).
Secara kronologis, pembusukan ikan berjalan melalui empat tahapan
sebagai berikut (Murniyati dan Sunarman 2000) :
(1) Hiperaemia
Setelah ikan mati, berbagai proses perubahan fisik, kimia, biokimia, dan
mikrobiologi terjadi dengan cepat. Semua proses perubahan ini akhirnya
mengarah pada pembusukan. Lendir ikan terlepas dari kelenjar-kelenjarnya di
dalam kulit, membentuk lapisan bening yang tebal di sekeliling tubuh ikan.
Pelepasan lendir dari kelenjar lendir ini merupakan reaksi alami ikan yang sedang
sekarat terhadap keadaan yang tidak menyenangkan. Jumlah lendir yang terlepas
dan menyelimuti tubuh sangat banyak jumlahnya hingga mencapai 1–2,5 % dari
berat tubuhnya. Lendir itu sendiri terdiri atas glucoprotein mucin yang
merupakan substrat yang sangat baik bagi pertumbuhan bakteri (Murniyati dan
Sunarman 2000). Keadaan ini secara biokimia ditandai dengan menurunnya
kadar ATP dan kreatin fosfat seperti pada reaksi aktif glikolisis. Proses
kemunduran mutu ikan segar dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Diagram proses kemunduran mutu ikan segar (Ilyas 1972)
(2) Rigor mortis
Perubahan selanjutnya, ikan memasuki tahap rigor mortis ditandai dengan
mengejangnya tubuh ikan setelah mati, sebagai hasil perubahan biokimia yang
kompleks dalam tubuh ikan (FAO 1995a). Hilangnya kelenturan berhubungan
dengan terbentuknya aktomiosin. Aktomiosin adalah suatu senyawa protein
kompleks yang dibentuk selama otot berkontraksi. Pada mamalia, aves dan ikan,
bentuk senyawa aktomiosin sebagai hasil dari penurunan jumlah ATP selama
post-mortem (Sikorski 2001). Tingkat rigor ditandai dengan mengejangnya tubuh
ikan setelah mati. Rigor mortis pada ikan mulai terjadi pada bagian ekor dan terus
merambat ke bagian kepala. Lama tidaknya masa rigor mortis tergantung pada
beberapa faktor, yaitu (Murniyati dan Sunarman 2000):
(a) Suhu lingkungan
Suhu lingkungan yang rendah akan memperpanjang masa rigor mortis yang
berarti dapat memperpanjang tingkat kesegaran ikan, sehingga pascapanen ikan
harus menerapkan prinsip rantai dingin.
(b) Cara ikan mati
Ikan yang mati dengan cara dibunuh langsung, segera setelah ditangkap akan
mempunyai masa rigor yang lebih lama. Hal ini berkaitan dengan kandungan
glikogen yang ada pada tubuh ikan, apabila mati dalam keadaan stres maka
kandungan glikogennya akan cepat habis.
(c) Kandungan glikogen setelah ikan mati
Kandungan glikogen yang ada pada ikan setelah mati dapat menunjukkan
lamanya proses rigor mortis. Jika kandungan glikogen dalam tubuh ikan semakin
lama habis, maka masa rigor akan semakin lama. Ikan yang bergerak cepat
banyak mengeluarkan tenaga sebelum mati sehingga akan menurunkan
kandungan glikogen dalam daging. Hal ini menyebabkan fase rigor mortis akan
cepat datang dan waktunya lebih singkat.
Ikan yang mengalami stress sebelum mati maka datangnya rigor akan
lebih awal dan perkembangannya lebih cepat dibandingkan yang tidak mengalami
stress. Jika dibandingkan dengan mamalia, rigor mortis ikan lebih cepat, yaitu
sekitar 1-7 jam. Ikan yang disiangi dan disimpan dalam es, proses rigor mortis
mulai 32-93 jam setelah ikan mati, sedangkan untuk ikan yang tidak diberi es,
proses rigor mortis berlangsung 5-22 jam. Rigor mortis pada ikan juga terjadi
secara beriringan dengan penurunan pH jaringan otot yang disebabkan oleh
adanya asam laktat (Murniyati dan Sunarman 2000).
Produksi asam laktat yang terjadi pada fase rigor mortis ini, menyebabkan
pH tubuh ikan menurun dari kisaran 6,9-7,2 menjadi 6,2-6,6. Tinggi rendahnya
pH awal ikan sangat tergantung pada jumlah glikogen yang ada dan kekuatan
penyangga (buffering power) pada daging ikan. Kekuatan penyangga pada daging
ikan dipengaruhi oleh kandungan protein, asam laktat, asam fosfat, trimetilamin
oksida (TMAO), dan basa-basa volatil. Kekuatan penyangga pada daging ikan
disebabkan oleh protein, asam laktat, asam fosfat, TMAO, dan basa-basa
menguap. Setelah fase rigor mortis berakhir dan pembusukan bakteri berlangsung
maka pH daging ikan naik mendekati netral hingga 7,5-8,0 atau lebih tinggi jika
pembusukan telah sangat parah. Tingkat keparahan pembusukan disebabkan oleh
kadar senyawa-senyawa yang bersifat basa. pH ikan pada kondisi ini naik dengan
perlahan-lahan dan dengan semakin banyak senyawa yang terbentuk akan
semakin mempercepat kenaikan pH ikan (Junianto 2003).
(3) Autolisis
Autolisis adalah proses penguraian protein dan lemak oleh enzim (protease
dan lipase) yang terdapat di dalam daging ikan. Daging ikan yang terdiri atas
protein menyebabkan proses autolisis dapat juga disebut proteolisis. Enzim-
enzim ini sebetulnya sudah aktif sejak ikan masih hidup, akan tetapi ketika itu
hasil aktivitasnya dimanfaatkan untuk menghasilkan energi dan pemeliharaan
tubuh. Autolisis dimulai bersamaan dengan penurunan pH. Selain asam amino,
autolisis menghasilkan sejumlah kecil pirimidin dan purin, basa yang dibebaskan
pada waktu pemecahan asam nukleat. Bersamaan dengan itu, hidrolisis lemak
menghasilkan lemak bebas dan gliserol. Autolisis akan merubah struktur daging
sehingga kekenyalan menurun (Murniyati dan Sunarman 2000).
Autolisis berperan dalam bermacam-macam tingkat pembusukan secara
keseluruhan dan sebagai media pertumbuhan bakteri (FAO 1995a). Proses
penguraian jaringan secara enzimatis (autolisis) berjalan dengan sendirinya
setelah ikan mati dengan mekanisme yang kompleks. Beberapa enzim yang
berperan dalam proses ini, antara lain: katepsin (dalam daging), enzim tripsin,
kemotripsin, dan pepsin (dalam organ pencernaan) serta enzim dari
mikroorganisme yang ada pada tubuh ikan. Enzim-enzim yang dapat
menguraikan protein (proteolitik) berperan dalam proses kemunduran mutu ikan
(Moeljanto 1992).
(4) Pembusukan oleh bakteri
Tahapan pembusukan oleh bakteri ditandai oleh jumlah bakteri yang sudah
cukup tinggi akibat perkembangbiakan yang terjadi pada fase-fae sebelumnya.
Kegiatan bakteri pembusuk dimulai pada saat yang hampir bersamaan dengan
autolisis, dan kemudian berjalan sejajar. Bakteri merusak ikan lebih parah
daripada kerusakan yang diakibatkan oleh enzim. Sejumlah bakteri bersarang
pada permukaan tubuh, insang dan di dalam perutnya. Bakteri itu secara bertahap
memasuki daging ikan, sehingga penguraian oleh bakteri mulai berlangsung
intensif setelah selesainya rigor mortis yaitu setelah daging menjadi lunak dan
celah-celah seratnya terisi cairan.
Meskipun bakteri mampu menguraikan protein, tetapi substrat yang
terbaik ialah hasil-hasil hidrolisis yang terbentuk selama autolisis dan senyawa-
senyawa nitrogen non-protein (trimetilamin oksida, urea) yang terdapat dalam
daging. Daging ikan laut lebih banyak mengandung senyawa non-protein
daripada ikan air tawar, dengan demikian ikan laut lebih cepat diuraikan oleh
bakteri (Murniyati dan Sunarman 2000).
Penanganan ikan yang kurang saniter dan higienis serta penyimpanan
dalam keadaan tidak dilindungi dengan baik mengakibatkan ikan sangat rentan
terhadap kerusakan biologis. Kerusakan biologis dapat menyebabkan proses
pembusukan pada ikan oleh bakteri berlangsung sangat cepat (Heruwati 2002).
Daging ikan yang baru ditangkap masih steril karena memiliki sistem
kekebalan yang mencegah bakteri tumbuh pada daging. Setelah ikan mati, sistem
kekebalan tersebut tidak berfungsi lagi dan bakteri dapat berkembang biak dengan
bebas. Bakteri bergerak ke seluruh tubuh pada permukaan kulit dan selama
penyimpanan bakteri menyerang daging dan bergerak antara serat otot. Jumlah
mikroorganisme yang menyerang sangat terbatas dan pertumbuhan bakteri
sebagian besar berlangsung di permukaan. Proses pembusukan terjadi akibat
adanya enzim yang dihasilkan bakteri yang merusak bahan gizi pada daging ikan
(FAO 1995a).
Hubungan yang terjadi antara laju pertumbuhan bakteri dengan
kemunduran mutu ikan segar dapat dilihat pada Gambar 3.
Keterangan : A-B adalah fase lag ----------------------------- a-b adalah fase rigor mortis B-C adalah fase akselerasi---------------------- b-c terjadi perubahan-perubahan
organoleptik, hilangnya karakteristik ikan segar
C-D adalah fase logaritmik--------------------- c-d mulainya pembusukan dengan jumlah bakteri meningkat pesat sekali
D-E adalah fase terminal stasioner------------- d-e aktivitas pembusukan maksimum, ikan mendekati busuk (putrid)
Gambar 3. Hubungan antara laju pertumbuhan bakteri dengan kemunduran mutu ikan segar (Ilyas 1983)
Laju penurunan mutu dan daya awet ikan dipengaruhi oleh beberapa
parameter seperti yang tercantum pada Tabel 4. Secara umum dapat dinyatakan
bahwa ikan berukuran besar mengalami penurunan mutu yang lebih lambat
dibandingkan dengan ikan berukuran kecil, ikan berbentuk pipih dapat disimpan
lebih lama dari pada ikan berbentuk bulat, ikan berlemak rendah dapat
dipertahankan lebih lama dari pada ikan yang berlemak tinggi pada kondisi
aerobik dan ikan yang bertulang keras dapat lebih lama disimpan daripada ikan
bertulang rawan (Huss 1995).
Tabel 4. Faktor intrinsik yang mempengaruhi laju penurunan mutu ikan yang disimpan dalam es
Parameter Laju penurunan
Cepat Lambat
Ukuran Ikan kecil Ikan besar
pH post mortem pH tinggi pH rendah
Kandungan lemak Spesies lemak tinggi Spesies lemak rendah
Ketebalan kulit Kulit tipis Kulit tebal
Sumber : Huss (1995)
2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penurunan Mutu Ikan Segar
Ikan yang sangat segar dan baru ditangkap mempunyai karakteristik
kesegaran yang umumnya dikenal dari rupa dan baunya. Kualitas ikan selalu
dikaitkan dengan kesegaran dan kerusakannya, maka perlu diketahui bahwa mutu
dan kualitas ikan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain adalah cara
kematian dan penangkapan ikan, kondisi biologis dan lingkungan hidup ikan,
suhu, pengaruh cara penanganan dan pembongkaran, serta sanitasi dan higiene.
2.4.1 Cara kematian
Ikan yang telah ditangkap kemudian mati dengan segera akan lebih baik
daripada ikan yang matinya perlahan-lahan karena rigor mortis akan datang lebih
lambat dan berlangsung lebih lama (Ilyas 1983). Gejala ini berhubungan dengan
semakin rendah cadangan glikogen otot dan semakin kecilnya pH yang
disebabkan oleh banyaknya asam yang dihasilkan terutama asam laktat, misalnya
ikan yang ditangkap dengan pancing dan langsung dibunuh lebih baik daripada
ikan yang ditangkap dengan gillnet dan mati secara perlahan-lahan.
Cara pembunuhan ikan juga dapat mempengaruhi waktu pencapaian
kondisi fase rigor mortis. Penghancuran otak ikan yang telah ditangkap secara
langsung dan menyeluruh menghasilkan waktu yang lebih lama untuk mencapai
waktu rigor mortis karena tidak ada pergerakan otot selama proses tersebut. Ikan
yang menunjukkan aktivitas otot sebelum mati telah memiliki tingkat asam laktat
yang tinggi. Hal ini dikarenakan otot tersebut telah lebih dahulu kekurangan
oksigen. Otot ikan akan melakukan respirasi anaerobik terus menerus setelah ikan
mati dan memproduksi asam laktat berlebih. Hal ini akan mempersingkat waktu
ikan tersebut mencapai rigor mortis dan juga menghasilkan kondisi ikan yang
lebih kaku karena lebih banyak sel yang mencapai kondisi rigor mortis pada saat
bersamaan (Robb 2002).
Cara penangkapan juga berpengaruh terhadap proses kemunduran mutu
ikan, sehingga perlu diperhatikan penyesuaian antara metode penangkapan dan
jenis alat tangkap yang digunakan dengan jenis ikan yang ditangkap (Ilyas 1983).
2.4.2 Kondisi biologis dan lingkungan
Ikan berukuran kecil akan lebih cepat menurun mutunya dibandingkan
dengan ikan yang berukuran lebih besar, untuk jenis yang sama. Tingkat
kedewasaan seksual pada ikan yang ditangkap juga berpengaruh terhadap
kemunduran mutunya. Ikan yang matang gonad akan lebih cepat menurun
mutunya dibandingkan dengan ikan yang belum matang gonad (Robb 2002). Ikan
yang tertangkap pada waktu perut penuh dengan makanan akan lebih cepat busuk
daripada waktu perut tidak penuh karena enzim-enzim pencernaan sedang aktif
bekerja (Ilyas 1983).
Jenis makanan ikan juga berpengaruh terhadap kemunduran mutu ikan.
Ikan dasar (demersal) akan lebih cepat busuk daripada ikan permukaan (pelagis)
dan ikan yang sedang bertelur akan lebih cepat busuk daripada ikan yang tidak
bertelur (Anonim 1983).
2.4.3 Suhu
Suhu air saat ikan ditangkap mempengaruhi kemunduran mutu ikan
terutama pada air yang bersuhu tinggi dan ikan berada lebih lama di dalam air
sebelum diangkat dapat mempercepat proses kemunduran mutu ikan. Perairan
tropis dimana suhu air 20-24 oC ikan di dalam air sudah mengalami pembusukan
sebelum diangkat dari alat penangkapan, sedangkan pada daerah subtropis yang
memiliki suhu 7-10 oC bahaya pembusukan tidak terlalu besar (Ilyas 1983).
Bakteri dapat tumbuh dalam selang suhu yang besar yaitu dari 0-45 oC.
Suhu ikan dapat naik antara 25-35 oC di dalam air. Perlakuan suhu rendah yang
diberikan pada saat pembusukan, kurang efektif dalam hubungannya dengan
pencegahan pertumbuhan mikroorganisme dan akan memberikan hasil yang
kurang memuaskan (Nasran 1972).
Suhu yang rendah dapat menekan pertumbuhan mikroorganisme, tetapi
pertumbuhan tersebut dan reaksi biokimia masih berpengaruh terhadap proses
pembusukan. Tidak semua mikroorganisme pada kondisi tersebut dapat terbunuh.
Beberapa diantaranya hanya dapat dihambat pertumbuhannya.
Perkembangbiakan bakteri pada ikan sangat dipengaruhi oleh suhu. Jika suhu
yang digunakan semakin rendah, maka pertumbuhan bakteri akan semakin
dihambat. Pengukuran suhu ikan diusahakan sedikit mungkin memegang bagian
ikan agar panas dari tangan tidak banyak berkonduksi ke dalam ikan dan
pengamatan dilakukan pada beberapa ekor ikan secara acak (random) dalam satu
wadah serta dari bagian yang menurut perkiraan paling panas (Ilyas 1983).
Hubungan antara suhu, kegiatan bakteri dan mutu ikan dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Hubungan antara suhu, kegiatan bakteri dan mutu ikan
Suhu Kegiatan Bakteri Mutu Ikan
25-10 oC Luar biasa cepat Cepat menurun, daya awet sangat pendek (3-10 jam)
10-2 oC Pertumbuhan kurang cepat
Mutu menurun kurang cepat, daya awet pendek (2-5 hari)
2-(-1) oC Pertumbuhan bakteri jauh berkurang
Penurunan mutu agak dihambat, daya awet wajar (3-10 hari)
-1 oC Kegiatan dapat ditekan Sebagai ikan basah, penurunan suhu minimum sehingga daya awet maksimum 5-20 hari
-1-(-10) oC Ditekan tidak aktif Penurunan mutu minimum, tekstur dan rasa ikan rendah, daya awet panjang 7-30 hari
-18 oC dan lebih rendah
Ditekan minimum, bakteri tersisa tidak aktif
Mutu ikan beku lebih baik, daya awet sampai setahun
Sumber : Ilyas (1983)
Penanganan ikan yang baik harus memperhatikan suhu ikan, karena
kenaikan suhu berkorelasi positif dengan pertumbuhan bakteri dan peningkatan
kadar TVB pada ikan merupakan faktor koreksi terhadap kesegarannya. Jika suhu
yang digunakan dalam penanganan semakin tinggi, maka kecenderungan
pertumbuhan bakteri dan peningkatan nilai TVB akan semakin cepat. Sebaliknya,
semakin rendah suhu yang digunakan akan menyebabkan pertumbuhan bakteri
terhambat dan kadar TVB dalam tubuh ikan juga semakin kecil bila dibandingkan
dengan penggunaan suhu tinggi. Standar suhu penanganan ikan segar adalah
sebagai berikut (Anonim 1988) :
(1) pada penyortiran, suhu yang digunakan maksimal 5 oC;
(2) pada pencucian, suhu yang digunakan maksimal 10 oC;
(3) pada penimbangan, suhu yang digunakan maksimal 5 oC;
(4) pada penyimpanan sementara, suhu yang digunakan maksimal 5 oC;
(5) pada pengemasan, suhu dalam pengemasan antara 0-2 oC.
2.4.4 Pengaruh cara penanganan dan pembongkaran
Ikan yang bermutu dan memiliki daya awet yang tinggi dapat diperoleh
dengan cara bekerja cepat, cermat, hemat dan bersih serta pada suhu yang
rendah/pendinginan ikan (Ilyas 1983). Pemahaman yang mendalam akan prinsip
penanganan yang baik bagi nelayan dan pengusaha dapat membantu
mempertahankan atau memperpanjang mutu ikan. Penyediaan sarana yang
diperlukan untuk mendukung pelaksanaan prinsip cepat, cermat, bersih perlu
diperhatikan untuk mendapatkan mutu ikan yang baik. Pembongkaran ikan pada
kapal penangkapan harus dilakukan dengan hati-hati dan sedapat mungkin tidak
menggunakan sekop atau garpu untuk menghindari luka atau memar pada ikan.
Ikan-ikan jangan dibiarkan terkena sinar matahari langsung (Moeljanto 1992).
2.4.5 Sanitasi dan higiene
Kebersihan dalam penanganan ikan mengandung beberapa pengertian,
antara lain membuang sumber pembusukan dari ikan, seperti lendir, darah, bakteri
dan insang, isi perut, mencuci bersih ikan, cepat mendinginkan dan
menyimpannya, melindungi ikan dari kemungkinan pencemaran dari air selokan
di bawah palka atau di darat dari panas dan serangga. Kebersihan dan higiene
karyawan, palka, alat-alat yang digunakan dan lain-lain perlu ditingkatkan (Ilyas
1983).
Sanitasi dan higiene dalam penanganan ikan sangat penting. Contoh yang
dapat diambil yaitu pada saat sortasi dan penyiangan. Selama sortasi dan
penyiangan diusahakan sekecil mungkin terjadi kontaminasi. Hal ini dapat
dicapai dengan menyarankan para pekerja untuk menggunakan sarung tangan
(Junianto 2003).
2.5 Penanganan
Ikan merupakan salah satu komoditas pangan yang cepat mengalami
proses pembusukan (perishable food). Oleh karena itu diperlukan penanganan
yang cermat dan cepat dengan memperhatikan sanitasi dan higiene yang baik
dengan menerapkan sistem rantai dingin (cold chain system). Penanganan ikan
pada dasarnya ditujukan untuk mempertahankan kesegaran ikan yang harus
dilakukan sejak ikan diangkat dari air sampai di tangan konsumen (from catch to
table). Perlakuan dan penerapan teknik penanganan disesuaikan menurut jenis
dan tujuan pemanfaatannya baik yang berasal dari hasil tangkapan maupun hasil
budidaya.
Penanganan ikan merupakan tahapan perlakuan yang diberikan pada ikan
sejak ikan ditangkap atau diangkat dari perairan, didaratkan atau diangkat sampai
ke pabrik pengolahan atau dijual pada konsumen. Tujuan utama penanganan ikan
segar adalah mengusahakan agar kesegaran ikan setelah tertangkap dapat
dipertahankan selama mungkin (Irawan 1995).
Metode pendinginan merupakan cara yang paling umum diterapkan dalam
penanganan ikan segar karena dianggap paling memuaskan untuk
mempertahankan mutu kesegaran bila dilakukan dengan cara yang benar, yaitu
dengan prosedur yang cepat, tepat dan cermat dan disertai dengan upaya menjaga
kebersihan, sanitasi dan higiene (Heruwati 2002).
Penggunaan es untuk penanganan ikan segar sebagai media pendinginan
adalah paling umum digunakan dan dianggap paling efektif. Penerapan Hazard
Analysis Critical Control Points (HACCP) untuk penanganan ikan ditetapkan
batas kritis suhu ikan sebesar 4,5 oC dengan waktu tidak lebih dari 4 jam. Hal ini
hanya bisa dicapai dengan penggunaan es keping (flake ice). Perbandingan
es : ikan yang dijadikan sebagai acuan adalah 1:2 atau 1:1 untuk lama perjalanan
18 hari (FAO 1995b). Kebutuhan pendinginan ini dapat dihitung berdasarkan
pengetahuan tentang panas dari ruang penyimpanan (palka), lama perjalanan dan
suhu lingkungan (FAO 1992). Selain medium pendingin, untuk mempertahankan
suhu ikan dan sebagai tempat penyimpanan diperlukan suatu sarana berupa wadah
yang kedap terhadap panas (Ilyas 1983).
Peti pendingin (coolbox) terutama digunakan untuk menyimpan hasil
tangkapan dalam jumlah sedikit, seperti hasil tangkapan nelayan skala kecil,
sedangkan palka berinsulasi biasanya digunakan untuk penyimpanan hasil
tangkapan dalam jumlah yang banyak. Hasil tangkapan ikan nelayan tradisional
sampai saat ini belum ditangani dengan baik dan benar. Hal ini mengakibatkan
penurunan mutu atau tingkat kehilangan semakin tinggi akibat busuk atau rusak
dan berdampak terhadap tingkat pendapatan nelayan semakin rendah. Upaya
mempertahankan kesegaran ikan sangat penting kaitannya dengan harga jual,
peningkatan pendapatan nelayan, nilai gizi dan konsumsi ikan dalam penyediaan
bahan baku industri pengolahan, disamping itu untuk menekan tingkat kehilangan
atau losses (Heruwati 2002).
Penanganan ikan di setiap tahapan proses produksi dari mulai penanganan
ikan di atas kapal, cara pembongkaran ikan, penanganan ikan selama distribusi
dan penanganan ikan selama penjualan di tingkat pengecer perlu diperhatikan.
2.5.1 Penanganan ikan di atas kapal penangkap ikan
Proses atau prosedur penanganan ikan di atas kapal harus dilakukan
dengan baik supaya kualitas ikan yang diperoleh memuaskan. Tahapan
penanganan ikan di atas kapal (Junianto 2003) adalah sebagai berikut :
(1) Setelah tertangkap secepatnya ikan dibunuh supaya ikan tidak melakukan
perlawanan yang menyebabkan ikan luka atau memar akibat benturan. Luka
atau memar pada ikan memudahkan ikan terkontaminasi oleh bakteri
sehingga proses pembusukan akan semakin cepat.
(2) Sortasi dilakukan untuk memisahkan jenis, ukuran dan mutu sehingga
memudahkan dalam proses penjualan di darat dan memperkecil kontaminasi
bakteri atau perlakuan fisik saat ikan disortir oleh pembeli.
(3) Pencucian dapat dilakukan bersamaan dengan sortasi atau setelah sortasi.
Pencucian yang baik dilakukan dengan menyemprotkan air laut bersih atau
air tawar dingin yang bersih untuk membebaskan ikan dari bakteri
pembusuk.
(4) Penirisan dapat dilakukan dengan menempatkan keranjang ikan di atas dek
dan diusahakan ikan jangan sampai terkena sinar matahari secara langsung.
(5) Pendinginan menggunakan es curai, dengan cara penyusunan berlapis-lapis
antara ikan dan es dengan perbandingan es dan ikan minimal 1:1.
Pendinginan dilakukan dalam wadah berinsulasi atau styrofoam.
Penyimpanan ikan harus disertai dengan es atau air dingin bersuhu 0-5 oC
secara saniter dan higienis.
2.5.2 Pembongkaran ikan
Pembongkaran ikan pada suatu pelabuhan berperan penting dalam
penanganan ikan. Baik buruknya kondisi tempat pembongkaran, peralatan yang
digunakan dan kondisi kesehatan karyawan akan sangat berpengaruh pada
kesegaran ikan. Pembongkaran ikan dalam palka saat ikan memasuki pelabuhan
(Batubara 1989), harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
(1) pembongkaran harus dilaksanakan pada waktu pagi hari, untuk menghindari
pengaruh langsung matahari;
(2) mata rantai pendinginan harus tetap terjaga, artinya di tempat pembongkaran
harus dipersiapkan wadah-wadah yang diisi dengan air dingin;
(3) cara pengangkatan ikan harus sedemikian rupa, sehingga badan ikan tidak
tertekuk;
(4) tempat-tempat yang runcing dan tajam yang akan dilalui oleh ikan harus
diberi lapisan pelunak, sehingga tidak merusak kulit ikan.
Hasil tangkapan yang berbeda hari atau waktu penangkapannya sebaiknya
dipisahkan pada saat membongkar muatan kapal, pemakaian alat-alat seperti
sekop, garpu atau sendok harus dihindari karena dapat menyebabkan kerusakan
pada ikan (Anggawati 1993). Cara pembongkaran yang lain harus diperhatikan
untuk tetap mempertahankan kesegaran ikan, yaitu memisahkan es yang belum
mencair, membongkar ikan dan menempatkannya dalam wadah, melakukan
sortasi bila di atas kapal belum dilakukan sortasi, pencucian ikan dalam
keranjang dengan air tawar atau air laut dingin yang bersih dan diberi es
diatasnya (Junianto 2003).
2.5.3 Penanganan ikan di darat
Penanganan ikan segar di darat berkaitan erat dengan tata niaga
pemasarannya. Ikan segar melalui beberapa tahapan penanganan untuk sampai
ke tangan konsumen akhir, yaitu penanganan di TPI (tempat pelelangan ikan),
penanganan di tingkat pedagang dan penanganan selama pengangkutan dan
distribusi. Secara umum, tata niaga pemasaran ikan segar dapat diilustrasikan
seperti pada Gambar 4.
Gambar 4. Skema tata niaga pemasaran ikan segar (Junianto 2003)
Kesegaran ikan laut yang didaratkan tergantung pada perlakuan pertama,
kecepatan dalam penanganan dan cara penyimpanan di kapal. Ikan dapat
menjadi lebih segar jika disimpan dalam pecahan-pecahan es atau pendingin
lainnya (Junianto 2003). Prinsip penanganan ikan segar di darat dengan
menerapkan suhu rendah memakai es, pendinginan dalam ruang dingin, atau
dengan air yang didinginkan, ketentuan sanitasi dan higiene, dan
memperhatikan faktor waktu. Oleh karena itu, setiap pengumpul perlu
dilengkapi sarana dan prasarana agar ikan tetap segar seperti air bersih,
pendinginan (es), wadah penanganan dan penyimpanan, serta sarana
pengepakan untuk pengiriman barang (Ilyas 1983).
Tempat Pelelangan Ikan (TPI)
Pasar Induk Pabrik Pengolahan
Pasar Pengecer Supermarket
Konsumen Akhir
Pedagang Keliling
2.5.4 Penanganan ikan selama pengangkutan dan distribusi
Keberhasilan pengangkutan ikan segar adalah mempertahankan tingkat
kesegaran ikan semaksimal mungkin selama pengangkutan berlangsung.
Tingkat keberhasilan pengangkutan tersebut berkorelasi positif dengan nilai jual
ikan, yaitu harga jual akan tetap tinggi jika ikan masih tetap segar.
Suhu ikan dijaga agar tetap rendah selama pengangkutan dan distribusi,
alas wadah harus dilapisi es halus kemudian lapisan ikan yang ditaburi es
disusun di atasnya. Ikan harus dilapisi lapisan es yang tebal di atas dan di
bawah tumpukan peti (Anggawati 1993). Banyaknya es atau ketebalan es
tergantung dari jarak atau lama pengangkutan dan distribusi. Sinar matahari
secara langsung harus dihindari selama pengangkutan dan distribusi karena
mengakibatkan kenaikan suhu ikan.
2.5.5 Penanganan tingkat pedagang dan pengecer
Perlakuan pendinginan yang dilakukan tingkat pedagang sangat bervariasi,
tergantung dari sarana dan prasarana yang dimilikinya sehingga ikan yang
diperjualbelikan oleh pedagang dalam satu pasar atau pasar yang lain
mempunyai tingkat kesegaran yang berbeda meskipun didatangkan dari TPI
yang sama. Beberapa hal lain yang harus diperhatikan untuk mendukung
penanganan ikan yang baik di tingkat pedagang adalah lokasi pemasaran, sarana
air bersih, dan tersedianya depot es (Murdiyanto 2002). Lokasi pemasaran
harus ditata rapi, terutama sistem drainasenya. Sistem drainase yang kurang
baik akan menyebabkan terjadinya genangan air sehingga mengundang banyak
masalah, seperti lalat-lalat berdatangan, bau yang tidak menyenangkan, dan
tempat penjualan becek. Kondisi ini menjadi sumber kontaminan potensial pada
ikan yang dipasarkan (Anggawati 1993).
Selama penjualan pengeceran, suhu ikan harus dipertahankan tetap dingin.
Suhu sekitar 0 oC dengan cara melapisi dengan es curai. Ikan harus ditempatkan
khusus, terpisah dari produk pangan lainnya, harus dilindungi dari pengaruh
panas matahari, debu, serangga dan kotoran lainnya. Ikan-ikan disusun rapi
dalam lapisan yang tipis, di atas dan di bawahnya ditaburi es curai dan
diusahakan tidak terlalu sering tersentuh oleh tangan (Dinas Kelautan dan
Perikanan 2005b).
3. METODOLOGI
3.1. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Desember
2008. Penelitian lapang dilakukan di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Manggar,
Kecamatan Manggar, Kabupaten Belitung Timur. Uji total jumlah mikroba
(TPC), nilai pH dan TVB dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Hasil
Perikanan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Pengujian proksimat dilakukan di
Laboratorium Kimia Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas
Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
3.2. Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian berhubungan dengan
pengamatan, pengujian mutu ikan baik secara sensoris (score sheet organoleptik),
pengujian kimiawi-biokimiawi (analisis proksimat, kadar TVB dan pH) dan
analisis mikrobiologis.
3.2.1. Alat
Alat-alat yang digunakan pada penelitian antara lain coolbox sebagai
wadah penyimpanan botol sampel, botol film, termometer untuk pengukuran
suhu, score sheet organoleptik, mesin penggiling atau blender, timbangan kue,
timbangan digital, alat untuk analisis kadar air (oven, desikator, cawan) dan tanur
untuk analisis kadar abu. Alat-alat yang digunakan untuk analisis kadar protein,
yaitu tabung kjeltec, kjeltec system, erlenmeyer, buret dan alat untuk analisis kadar
lemak yaitu alat ekstraksi soxhlet, kertas saring, selongsong lemak, labu lemak,
tabung soxhlet, oven, dan desikator. Alat-alat yang digunakan untuk analisis
TVB, yaitu kertas saring, cawan conway, pipet, inkubator, magnetic stirrer, buret;
dan untuk analisis TPC, yaitu labu erlenmeyer, pipet, cawan petri, tabung reaksi,
inkubator, bunsen, gelas piala, dan alat hitung bakteri (bakteri Quebec). Alat-alat
yang digunakan untuk pengukuran pH, yaitu blender, pH-meter, homogenizer,
gelas kimia, dan pH indikator universal.
3.2.2. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain ikan tenggiri
(Scomberomorus commersonii), es, gelly ice, dan media pertumbuhan bakteri.
Bahan kimia yang digunakan untuk analisis kadar protein, yaitu tablet kjeltab,
H2SO4, air, asam borat, HCl 0,1 N, dan analisis kadar lemak yaitu pelarut lemak
(petroleum benzene). Bahan-bahan yang digunakan untuk analisis TVB, yaitu
TCA (trikhloroacetic acid) 7 %, larutan K2CO3, TCA 5 % (blanko), HCl 0,02 N,
NaOH 0,01 N, asam borat dan untuk analisis TPC, yaitu larutan garam 0,85 %
steril, media agar, akuades, dan alkohol 95 %. Bahan-bahan yang digunakan
untuk pengukuran nilai pH adalah larutan buffer pH 7 dan akuades.
3.3. Metode Penelitian
Kerangka pemikiran yang mendasari penelitian ini adalah mengetahui
tentang penanganan (handling) yang dilakukan oleh para nelayan dimulai sejak
ikan pertama kali diangkat dari laut (post harvest), selama penyimpanan dalam
fiber box ketika di atas kapal sampai tiba di darat (pengumpul) dan selama
pengiriman ikan ke Tanjung Pandan sampai ke Jakarta untuk mengetahui
karakteristik mutu ikan tersebut dengan menggunakan analisis kesegaran ikan.
Penelitian ini didasarkan pada survey lapangan dalam mengamati proses
penanganan ikan pasca-panen, khususnya ikan tenggiri dengan pengisian
kuesioner, wawancara, dan ikut serta dalam proses penangkapan ikan.
3.3.1. Penelitian pendahuluan
Penelitian pendahuluan dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui
kondisi umum perikanan di Kecamatan Manggar khususnya penangkapan yang
meliputi berbagai jenis ikan yang ditangkap, alat tangkap yang digunakan dan
tahap-tahap penanganan ikan oleh nelayan Kecamatan Manggar, Kabupaten
Belitung Timur.
Tahap ini dilakukan dengan cara mengisi kuesioner (Lampiran 1) yang
ditujukan kepada nelayan untuk mempelajari sampai sejauh mana nelayan
mengetahui proses penanganan ikan laut segar dan ikut langsung bersama nelayan
selama proses penangkapan ikan. Kuesioner ini meliputi data responden dan hal-
hal yang berkaitan dengan cara penanganan ikan segar.
3.3.2. Penelitian Utama
Penelitian pada tahap ini bertujuan untuk mengetahui secara langsung
pengaruh penanganan ikan terhadap kehilangan atau kerusakan hasil perikanan
tangkap khususnya ikan tenggiri. Pada penelitian utama digunakan dua perlakuan
yaitu: (1) metode penanganan, yaitu nelayan dan peneliti (es dan ikan adalah 1:1);
dan (2) proses penanganan sejak ikan ditangkap, sampai di darat, pengumpul, saat
akan berangkat ke Jakarta hingga tiba di Jakarta dengan dua kali ulangan.
Penelitian menitikberatkan pada metode organoleptik untuk melihat perubahan
tingkat kesegaran ikan dan analisis laboratorium (analisis kimia, proksimat dan
jumlah bakteri) terhadap sampel yang diambil pada setiap proses penanganan
yang berfungsi juga sebagai titik pengamatan. Tiap titik pengamatan masing-
masing diambil satu ekor ikan dan dagingnya diambil kemudian diblender serta
dimasukkan dalam botol sampel (botol film). Botol sampel disimpan dalam
coolbox yang berisi gelly ice untuk analisis proksimat, uji TVB dan TPC serta
penentuan pH. Hasil pengamatan di laut akan diperoleh data organoleptik ikan
pada tiap titik pengamatan. Peneliti juga melakukan pengamatan penanganan
ikan segar yang dilakukan sendiri dengan menggunakan perbandingan es : ikan
adalah 1:1. Diagram alir proses penanganan ikan laut segar dapat dilihat pada
Gambar 5.
Ikan ditangkap*
Ikan sampai di darat*
Pengumpul*
Transportasi atau distribusi
Penyimpanan
Saat berangkat ke Jakarta*
Transportasi atau distribusi
Sampai di Jakarta*
Keterangan: *) proses penanganan yang dijadikan titik pengamatan
Gambar 5. Diagram alir proses penanganan ikan laut segar
Keterangan: : Penelitian Pendahuluan : Penelitian Utama
Gambar 6. Kerangka pemikiran penelitian
Keadaan Riil
Proses Penangkapan
Proses Handling di Laut dan di Darat
Identifikasi Perlakuan Penyebab Perubahan Mutu
dan Tingkat Kesegaran
Penetapan Perlakuan (Titik Pengamatan) Pengamatan
Analisis Laboratorium
Penanganan ikan yang baik
Organoleptik Analisis Proksimat
Data
Analisis Jumlah Bakteri
Analisis Kimia
(TVB, pH)
Karakteristik Mutu dan Tingkat Kesegaran Ikan
3.4. Pengamatan
Pengamatan yang dilakukan pada penelitian ini meliputi hasil tangkapan,
penangkapan ikan di laut dan proses penanganan (laut dan darat), uji organoleptik
(penampakan) pada saat ikan baru ditangkap sampai tiba di Jakarta. Uji pH, uji
proksimat (analisis kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak), uji TVB dan
uji mikrobiologi yaitu TPC mulai dilakukan pada saat ikan tiba di laboratorium
(darat) pada setiap titik pengamatan (proses penanganan) yang telah ditentukan.
3.4.1. Uji organoleptik (BSN 2006)
Pengujian organoleptik merupakan cara pengujian menggunakan indera
manusia sebagai alat utama untuk mengukur daya penerimaannya terhadap ikan
sampel. Sasaran alat indera pada pengujian organoleptik ikan segar yang
ditetapkan oleh SNI 01-2346-2006 adalah konsistensi, penampakan mata, insang,
keadaan isi perut serta daging ikan. Metode yang digunakan dalam pengujian
organolpetik adalah scoring test yaitu menggunakan skala angka. Skala angka
terdiri dari angka 1-9 dengan spesifikasi untuk tiap angka yang dapat memberikan
pengertian tertentu bagi panelis. Nilai pengujian dicantumkan oleh panelis pada
score sheet (lembar penilaian) (Lampiran 2). Ada beberapa syarat yang harus
dipenuhi oleh panelis, antara lain: tertarik dan mau berpartisipasi dalam uji
organoleptik; konsisten dalam mengambil keputusan; siap sedia pada saat
dibutuhkan dalam pengujian; berbadan sehat; bebas dari penyakit THT, mata/buta
warna, dan gangguan psikologis; tidak menolak contoh yang akan diuji; tidak
merokok, minum-minuman keras dan makan permen sebelum pengujian; jumlah
panelis minimum untuk satu kali pengujian adalah 6 orang (panelis standar).
Data yang diperoleh kemudian dianalisis kesegaran ikannya dengan
kriteria sebagai berikut:
Segar : nilai organoleptik berkisar antara 7-9
Agak segar : nilai organoleptik berkisar antara 5-6
Tidak segar : nilai organoleptik berkisar antara 1-3
3.4.2. Analisis kadar air (AOAC 1995)
Penentuan kadar air dilakukan berdasarkan perbedaan bobot contoh
sebelum dan sesudah pengeringan. Mula-mula cawan kosong dikeringkan dalam
oven 102-105 oC selama lebih kurang 30 menit dan didinginkan dalam desikator.
Contoh ditimbang sebanyak 2,0-3,0 gram dan dipanaskan dalam oven pada suhu
102-105 oC selama kurang lebih 3-5 jam sampai beratnya konstan. Contoh yang
sudah dikeringkan tersebut dimasukkan ke dalam desikator selama 15 menit, lalu
ditimbang. Kadar air dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
Keterangan:
A = Berat cawan kosong (gram) B = Berat cawan dengan daging ikan (gram) C = Berat cawan porselin dan daging ikan setelah dikeringkan (gram)
3.4.3. Analisis kadar abu (AOAC 1995)
Contoh ditimbang sebanyak (2-3) gram dalam cawan kering yang telah
diketahui beratnya. Lalu dikeringkan dalam oven selama 6 jam dengan suhu
120 oC. Cawan berisi sampel yang telah didinginkan dalam desikator kemudian
ditimbang, kemudian sampel diabukan dalam tanur bersuhu 600 oC sampai
diperoleh abu berwarna keputih-putihan. Cawan beserta abu dimasukkan ke
dalam desikator dan setelah dingin beratnya ditimbang.
Cawan beserta abu dimasukkan kembali ke dalam tanur selama 30 menit
dan didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang kembali. Perlakuan ini
diulang sampai diperoleh berat abu yang konstan. Kadar abu dihitung dengan
menggunakan rumus sebagai berikut:
Keterangan:
A = Berat cawan abu porselin kosong (gram) B = Berat cawan abu porselin dan daging ikan (gram)
C = Berat cawan abu porselin dan daging ikan setelah dimasukkan ke dalam tungku
% Kadar Air = B – C B – A
x 100 %
% Kadar Abu = C – A B – A
x 100 %
3.4.4. Analisis kadar protein (AOAC 1995)
Cara penentuan kadar protein dilakukan berdasarkan metode kjeldahl.
Prinsip analisis protein dengan metode kjeldahl meliputi destruksi, destilasi dan
titrasi. Pada tahap destruksi, sampel ditimbang sebanyak 0,3 gram untuk daging
kering sedangkan untuk daging basah sebanyak 0,5 gram, kemudian dimasukkan
ke dalam tabung kjeltec. Satu buah tablet kjeltab dimasukkan ke dalam tabung
tersebut dan ditambahkan 10 ml H2SO4. Tabung yang berisi larutan tersebut
dimasukkan ke dalam alat pemanas dengan suhu 410 oC ditambahkan 10 ml air.
Proses destruksi dilakukan sampai warna larutan menjadi bening.
Tahap destilasi dimulai dengan persiapan (pemanasan) alat kjeltec system.
Persiapan dilakukan dengan membuka kran air dan melakukan pengecekan alkali
dan air dalam tangki, tabung dan erlenmeyer yang berisi akuades diletakkan pada
tempatnya dan dihubungkan dengan selang, selanjutnya pintu pengaman tabung
ditutup rapat. Tombol power pada kjeltec system ditekan yang dilanjutkan dengan
menekan tombol steam dan ditunggu beberapa lama sampai air di dalam tabung
mendidih. Steam dimatikan dan tabung kjeltec serta erlenmeyer dikeluarkan dari
alat kjeltec system.
Analisis dimulai setelah persiapan selesai dilakukan, yaitu dengan sampel
yang telah didestruksi. Tabung yang berisi daging ikan yang sudah didestruksi
diletakkan ke dalam kjeltec system, lalu pintu pengaman tabung ditutup.
Erlenmeyer yang diberi asam borat diletakkan pada tempatnya sambil
memasukkan selang ke dalamnya, kemudian tombol alkali ditekan dan ditunggu
hingga lampu tombol tersebut berhenti menyala, lalu tombol steam ditekan.
Destilasi dilakukan sampai volume larutan dalam erlenmeyer yang berisi asam
borat mencapai 200 ml.
Tahap titrasi dilakukan menggunakan HCl 0,1 N sampai warna larutan
pada erlenmeyer sampai berubah warna menjadi pink. Selanjutnya kadar protein
dari daging ikan dapat diperoleh dengan perhitungan menggunakan:
% Nitrogen = ( ml HCl daging ikan – ml HCl blanko) x 0,1 N HCl x 14 x 100 %
mg sampel
% Kadar Protein = % Nitrogen x faktor konversi (6,25)
3.4.5. Analisis kadar lemak (AOAC 1995)
Cara penentuan kadar lemak adalah menggunakan metode soxhlet. Labu
yang sesuai ukurannya dengan alat ekstraksi soxhlet dikeringkan dalam oven lalu
didinginkan dalam desikator, lalu ditimbang, kemudian disambungkan dengan
tabung soxhlet.
Sampel seberat 3 gram (W1) dimasukkan ke dalam kertas saring dan
dimasukkan ke dalam selongsong lemak, kemudian dimasukkan ke dalam labu
lemak yang sudah ditimbang berat tetapnya (W2) dan disambungkan dengan
tabung soxhlet. Selongsong lemak dimasukkan ke dalam ruang ekstraktor tabung
soxhlet dan disiram dengan pelarut lemak (petroleum benzen). Tabung ekstraksi
dipasang pada alat destilasi soxhlet lalu dipanaskan pada suhu 40 oC
menggunakan listrik selama 16 jam. Pelarut lemak yang ada dalam labu lemak
didestilasi hingga semua pelarut lemak menguap. Pada saat destilasi, pelarut akan
tertampung diruang ekstraktor, pelarut dikeluarkan sehingga tidak kembali ke
dalam labu lemak, selanjutnya labu lemak dikeringkan dalam oven pada suhu
105 oC, setelah itu labu didinginkan dalam desikator sampai beratnya konstan
(W3). Kadar lemak pada sampel diketahui dengan menggunakan rumus sebagai
berikut:
Keterangan:
W1 = Berat sampel (gram) W2 = Berat labu lemak tanpa lemak (gram) W3 = Berat labu lemak dengan lemak (gram)
3.4.6. Penentuan nilai pH (Apriyantono et al. 1989)
Cara mengukur pH yang praktis adalah dengan menggunakan pH-meter
dengan cara kalibrasi terlebih dahulu. Sampel sebanyak 10 gram digiling dan
dihomogenisasi dengan 90 ml air destilata. Kemudian pH homogenate diukur
dengan pH meter yang sebelumnya telah dikalibrasi dengan buffer standar pH 4
dan 7.
% Kadar Lemak = W3 – W2
W1 x 100 %
3.4.7. Penetapan Total Volatile Base (TVB) (AOAC 1995)
Penetapan ini bertujuan untuk menentukan jumlah kandungan senyawa-
senyawa basa volatil yang terbentuk akibat degradasi protein. Prinsip analisis
TVB adalah menguapkan senyawa-senyawa basa volatil (ammonia, mono-, di-,
dan trimetilamin) yang terdapat dalam ekstrak sampel. Senyawa tersebut diikat
oleh asam borat dan dititrasi dengan larutan asam klorida.
Sampel sebanyak 25 gram ditambahkan 75 ml larutan TCA 7 % (W/V)
kemudian diblender selama 1 menit dan disaring dengan kertas saring sehingga
filtrat yang diperoleh berwarna jernih. Larutan asam borat 1 ml dimasukkan ke
dalam inner chamber cawan Conway lalu diletakkan tutup cawan dengan posisi
hampir menutupi cawan.
Filtrat dimasukkan ke dalam outer chamber disebelah kiri menggunakan
pipet ukuran 1 ml yang lain, kemudian ditambahkan 1 ml larutan K2CO3 jenuh ke
dalam outer chamber sebelah kanan sehingga filtrat dan K2CO3 tidak tercampur.
Cawan segera ditutup yang sebelumnya telah diberi vaselin, kemudian digerakkan
memutar sehingga kedua cairan di outer chamber tercampur. Selain itu, blanko
dikerjakan dengan prosedur yang sama tetapi filtrat diganti dengan larutan TCA
5 %.
Kedua cawan Conway tersebut disimpan dalam inkubator pada suhu
37 oC selama 24 jam. Setelah disimpan, larutan asam borat dalam inner chamber
cawan Conway yang berisi blanko dititrasi dengan larutan HCl 0,02 N (Vo)
dengan menggunakan magnetic stirrer diaduk sehingga berubah warna menjadi
merah muda. Selanjutnya cawan Conway yang berisi sampel dititrasi dengan
larutan yang sama sehingga berubah menjadi warna merah muda yang sama
dengan blanko (V1).
MX
XVVoXW
g
mgNTVB
100
5
01.0)1()100(14
100
−+=
Keterangan:
V1 = Volume NaOH 0,01 M yang dibutuhkan untuk titrasi Vo = Volume titrasi blanko M = Berat sampel W = Jumlah kadar air dalam bahan 14 = Bobot atom N
3.4.8. Uji mikrobiologis atau Total Plate Count (TPC) (Fardiaz 1987)
Prinsip kerja analisis TPC adalah penghitungan jumlah bakteri yang ada
di dalam sampel (daging ikan) dengan pengenceran sesuai keperluan dan
dilakukan secara duplo. Pembuatan larutan contoh dengan mencampurkan
sebanyak 25 gram sampel dan dimasukkan ke dalam botol yang berisi 225 ml
larutan garam 0,85 %, kemudian diblender sampai larutan homogen. Campuran
tersebut diambil 1 ml dan dimasukkan ke dalam botol berisi 9 ml larutan garam
0,85 % steril sehingga diperoleh contoh dengan pengenceran 10-2, setelah itu
dikocok agar homogen. Banyaknya pengenceran dilakukan sesuai dengan
keperluan penelitian, biasanya sampai pengenceran 10-5. Pemipetan dilakukan
dari masing-masing tabung pengenceran sebanyak 1 ml larutan contoh dan
dipindahkan ke dalam cawan petri steril secara duplo dengan menggunakan pipet
steril. Media agar dimasukkan ke dalam cawan petri sebanyak 10 ml dan
digoyangkan sampai permukaan agar merata (metode tuang), kemudian
didiamkan beberapa saat hingga dingin dan mengeras. Cawan petri yang telah
berisi agar dan larutan contoh dimasukkan ke dalam inkubator dengan posisi
terbalik, yaitu tutup cawan diletakkan dibagian bawah. Suhu inkubator yang
digunakan adalah sekitar 35 oC dan diinkubasi selama 48 jam, selanjutnya
dilakukan pengamatan dengan menghitung jumlah koloni yang ada di dalam
cawan petri.
Seluruh pekerjaan dilakukan secara aseptik untuk mencegah kontaminasi
yang tidak diinginkan dan pengamatan secara duplo dapat meningkatkan
ketelitian. Jumlah koloni bakteri yang dihitung adalah cawan petri yang
mempunyai koloni bakteri antara 30-300 koloni. Hasil yang dilaporkan hanya
terdiri dari dua angka, yaitu angka pertama dan angka kedua kemudian dikalikan
dengan satu per faktor pengencerannya. Jika angka yang ketiga sama atau lebih
besar dari 5, maka dibulatkan satu angka lebih tinggi dari angka kedua.
3.5. Rancangan Percobaan dan Analisis Data
Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah
Rancangan Dua Faktor dalam Rancangan Acak Lengkap (Two Factors
Experiments in Completely Randomized Design). Faktor yang digunakan ada dua
yaitu faktor metode penanganan (A) dan faktor tahap penanganan (B). Faktor (A)
terdiri dari dua taraf (penanganan oleh nelayan dan penanganan oleh peneliti),
sedangkan faktor (B) terdiri dari lima taraf (ikan ditangkap (P1), ikan sampai di
darat (P2), pengumpul (P3), saat berangkat ke Jakarta (P4) dan ketika sampai di
Jakarta (P5).
Model perancangan yang digunakan adalah (Mattjik dan Sumertajaya
2002):
Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + εijk
Keterangan:
Y ijk = Nilai pengamatan pada faktor A taraf ke-i, faktor B taraf ke-j dan ulangan ke-k
µ = Komponen aditif dari rataan αi = Pengaruh utama faktor A βj = Pengaruh utama faktor B (αβ)ij = Komponen interaksi dari faktor A dan Faktor B εijk = Pengaruh acak yang menyebar Normal (0,σε
2)
Jika hasil uji analisis ragam menunjukkan hasil yang berbeda nyata pada
selang 95 % (α=0,05) maka dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan sebagai uji
lanjutan untuk mengetahui adanya perbedaan pada perlakuan yang diberikan.
Rumus uji Duncan adalah:
Rр = q (Σ p;dbs;α) r
kts
Keterangan: Rр = nilai kritikal untuk perlakuan yang dibandingkan P = perlakuan dbs = derajat bebas kts = jumlah kuadrat tengah r = ulangan
Hasil yang diperoleh dari pengamatan serta pengukuran terhadap nilai
organoleptik, TPC, TVB dan pH dicari nilai rata-ratanya. Rata-rata nilai
organoleptik, jumlah total bakteri, TVB dan nilai pH dapat dicari dengan
menggunakan rumus (Walpole 1975):
n
XiX
n
i∑
== 1
Keterangan: X = Nilai rata-rata Xi = Nilai X ke i N = Jumlah data Data yang diperoleh dari hasil uji kesegaran ikan (organoleptik) dianalisis
dengan analisis nonparametrik menggunakan uji Kruskal-Wallis. Rumus uji
Kruskal-Wallis adalah sebagai berikut (Steel dan Torrie 1993):
H = )1(3)1(
12 2
+−
+ ∑ nni
Ri
nn
H’ = Pembagi
H
Pembagi = nnn )1)(1(
1+−
Τ− ∑
T = (t - 1) (t + 1)
Keterangan: H = Simpangan baku H’ = H terkecil Ri = Jumlah ranking pada perlakuan ke-i Ni = Banyaknya pengamatan dalam perlakuan ke-i n = Jumlah total pengamatan t = Banyaknya pengamatan yang seri dalam kelompok
Jika hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan hasil yang berbeda nyata
selanjutnya dilakukan uji Multiple Comparison dengan rumus sebagai berikut
(Steel dan Torrie 1993):
Ri – Rj >< Zα 2ρ 6
)1(k
xN +
ρ = 2
)1( +kk
Keterangan: Ri = Rata-rata nilai ranking perlakuan ke-i Rj = Rata-rata nilai ranking perlakuan ke-j k = Banyaknya perlakuan n = Jumlah total data Data yang diperoleh hasil uji proksimat (kadar air, lemak, protein, dan
abu) dianalisis dengan pengujian-t beda rata-rata (nilai tengah) dua sampel yang
berhubungan. Rumus pengujian-t adalah sebagai berikut (Jogiyanto 2008):
t = D
SD n
dengan:
D = n
D∑
( )
1
2
2
−=∑
∑−
nn
DD
SD
Keterangan: D = perbedaan nilai rata-rata dua sampel SD = perbedaan deviasi standar dua sampel n = jumlah observasi di dalam sampel ke-1 atau sampel ke-2.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Penelitian Pendahuluan
Pada penelitian pendahuluan diperoleh data mengenai alat tangkap yang
digunakan nelayan Kecamatan Manggar, data mengenai proses penanganan
(handling) yang dilakukan nelayan beserta alat yang digunakan mulai dari saat
ikan ditangkap sampai ikan tiba di pengumpul. Data ini diperoleh melalui
pengisian kuesioner dan wawancara langsung kepada nelayan setempat, serta
pengamatan langsung ke lapangan dengan ikut dalam proses penangkapan ikan di
perairan Kecamatan Manggar, Kabupaten Belitung Timur.
4.1.1 Alat tangkap dan jenis ikan yang ditangkap
Berdasarkan hasil kuesioner diperoleh data bahwa sebagian besar alat
tangkap yang digunakan oleh nelayan Kecamatan Manggar, Kabupaten Belitung
Timur adalah sejenis jaring insang (gillnet). Jaring insang yang digunakan berasal
dari bantuan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kecamatan Manggar dan
sebagian merupakan milik nelayan. Kualitas bahan jaring yang dimiliki setiap
nelayan berbeda-beda. Hal ini turut mempengaruhi ikan hasil tangkapan dan
kualitas jaring. Jaring yang terbuat dari bahan berkualitas bagus (bahan sutra)
tidak mudah robek sehingga ikan target terperangkap oleh jaring dengan mudah.
Jaring insang adalah salah satu dari jenis alat penangkapan ikan dari bahan
jaring monofilamen atau multifilamen yang dibentuk menjadi empat persegi
panjang. Bagian atasnya dilengkapi dengan beberapa pelampung (floats) dan
bagian bawahnya dilengkapi dengan beberapa pemberat (singkers), sehingga
dengan adanya dua gaya yang berlawanan memungkinkan jaring insang dapat
dipasang di daerah penangkapan dengan keadaan tegak menghadang biota
perairan. Jumlah mata jaring ke arah horizontal atau ke arah Mesh Length (ML)
jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah mata jaring ke arah vertikal atau
ke arah Mesh Depth (MD) sehingga lebar lebih pendek jika dibandingkan dengan
panjangnya (Martasuganda 2004).
Target penangkapan dengan jaring insang adalah segala jenis ikan, antara
lain ikan demersal, ikan karang, maupun ikan pelagis. Ikan dapat tertangkap
disebabkan bagian penutup insang terjerat atau tergulung oleh mata jaring. Jaring
insang mempunyai keuntungan dan kekurangan. Keuntungan jaring insang yaitu
dapat dioperasikan di daerah terumbu karang dan cukup selektif terhadap ikan
tangkapan, sehingga mata jaring yang digunakan perlu disesuaikan dengan ikan
target. Kekurangannya adalah jaring mudah rusak. Jenis ikan yang ditangkap
menggunakan jaring insang di daerah ini antara lain tongkol, tenggiri, kepiting,
kembung, dan ikan-ikan kecil lainnya. Jaring insang yang umum digunakan dapat
dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Jaring insang (Departemen Kelautan dan Perikanan 2006)
Jaring insang termasuk jaring yang mudah rusak atau robek setelah
digunakan sehingga nelayan memanfaatkan waktu perjalanan pulang ke darat
dengan memperbaiki mata jaring yang rusak agar bisa digunakan lagi. Rusaknya
mata jaring disebabkan nelayan sulit melepaskan ikan dari mata jaring akibat
tutup insangnya tersangkut mata jaring pada saat ikan tertangkap. Kegiatan ini
juga dilakukan pada saat musim bulan terang. Pada musim ini nelayan juga
memperbaiki mesin kapal yang rusak dan tidak turun ke laut karena sedang tidak
musim ikan.
4.1.2 Persiapan penangkapan ikan
Sebagian besar nelayan Kecamatan Manggar melakukan penangkapan
dengan kapal-kapal berkapasitas 3-5 Gross Ton (GT). Sesaat sebelum kapal
berangkat, nelayan membeli es balok di pabrik es bernama ”Long Pan” dan bahan
bakar berupa solar yang berada di sekitar pelabuhan. Es balok yang dibawa
berkisar 3-5 balok yang disimpan dalam fiber box sampai digunakan untuk
pengesan hasil tangkapan. Kapal berangkat rata-rata berkisar pada pukul 13.00
waktu Indonesia bagian Barat (WIB) siang sampai dengan pukul 07.00 WIB pagi.
Daerah penangkapan rata-rata ditempuh dalam waktu kurang lebih 3-3,5 jam.
Penentuan daerah ini berdasarkan informasi banyaknya ikan target dari rekan
nelayan lain atas hasil tangkapan sebelumnya. Penangkapan pertama dilakukan
pada bulan Mei dengan daerah penangkapan di sekitar Pulau Nangka berjarak 27
mil dan penangkapan kedua dilakukan pada bulan November di sekitar daerah
Pulau Buku Limau berjarak 21,12 mil. Nelayan mempersiapkan jaring apabila
telah sampai di daerah penangkapan yang dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Persiapan jaring
Pelampung tanda diturunkan setelah kapal tiba di daerah penangkapan
(fishing ground). Pelampung ini direkatkan pada tongkat kayu panjang dan ujung
atasnya dilengkapi lampu kerlap-kerlip sebagai tanda bagi kapal lain agar tidak
menabrak jaring insang tersebut. Jaring mulai diturunkan setelah pelampung
tanda diturunkan dengan posisi vertikal (lurus) di sepanjang perairan. Panjang
jaring sekitar 2 mil yang dapat dilihat pada Gambar 9. Proses penurunan jaring
ini memakan waktu ± 1 jam dan dibiarkan di dalam perairan selama ± 4 jam
tergantung panjang pendeknya jaring. Jaring yang semakin panjang maka
semakin lama pula waktu yang digunakan untuk menurunkan jaring ke dalam
perairan.
Gambar 9. Proses penebaran jaring
Proses penarikan jaring (hauling) dilakukan setelah jaring dibiarkan
selama ± 4 jam atau sampai timbulnya bulan. Jaring diatur dengan baik seperti
semula setelah ikan dilepaskan dari jaring (Gambar 10) untuk memudahkan
operasi penangkapan berikutnya. Proses hauling membutuhkan waktu 3-5 jam
tergantung panjang pendeknya jaring yang ditebar dan dilakukan paling banyak
oleh 3 orang. Proses ini dapat dilihat pada Gambar 11.
Gambar 10. Jaring yang disusun setelah dipakai
Gambar 11. Proses penarikan jaring (hauling)
Ikan yang terjebak pada jaring dilepaskan dengan cepat (Gambar 12).
Nelayan akan melepaskan ikan dari jaring dengan paksa apabila sulit dilepaskan
sehingga terkadang fisik dari ikan agak rusak dan kemungkinan jaring menjadi
robek. Fisik ikan yang rusak pada saat penanganan di atas kapal akan
mempercepat proses kemunduran mutu ikan.
Gambar 12. Pengambilan ikan dari jaring
Jaring yang robek setelah dipakai akan diperbaiki selama perjalanan
pulang ke darat agar bisa digunakan lagi pada siang harinya. Proses perbaikan
jaring yang robek dapat dilihat pada Gambar 13. Jaring yang robek juga biasanya
diperbaiki pada saat nelayan tidak turun ke laut atau saat bulan terang.
Gambar 13. Jaring yang sedang diperbaiki
4.1.3 Proses penanganan ikan
Penanganan (handling) ikan segar sejak ditangkap sampai ke konsumen
berperan sangat penting. Tujuan utamanya adalah mengusahakan agar kesegaran
ikan setelah tertangkap dapat dipertahankan selama mungkin (Irawan 1995).
Proses penanganan ikan tenggiri dimulai setelah seluruh jaring terangkat. Ikan
dikumpulkan di atas kapal selama proses hauling dan sesekali disiram dengan air
laut untuk mencegah terjadinya kemunduran mutu. Ikan yang tertangkap seperti
tenggiri, tongkol, kembung dan ikan-ikan kecil lainnya dimasukkan ke dalam
fiber box. Fiber box yang digunakan dapat menampung ikan sebanyak ± 100 kg.
Ikan hasil tangkapan yang disusun dalam fiber box dapat dilihat pada Gambar 14.
Ikan disusun berlawanan arah dan ditumpuk dengan cara mengisi ruang kosong
diantara ikan yang berada dibawahnya.
Gambar 14. Ikan disusun bertumpuk dan akan diberi es
Semua ikan yang telah tersusun di dalam fiber box diberi hancuran es
balok yang diletakkan hanya pada bagian atas ikan. Selanjutnya nelayan
menyiram sejumlah air laut ke atas permukaan ikan sampai seluruh ikan terendam
di dalam fiber box. Cara ini dikenal dengan istilah Chilled Sea Water (CSW).
Metode CSW memiliki kelebihan, yaitu mempunyai suhu pendinginan
lebih rendah dari es dan waktu yang diperlukan untuk menurunkan suhunya lebih
cepat daripada media pendingin es saja. Hal ini disebabkan media pendingin
CSW lebih banyak bersinggungan langsung dengan permukaan ikan. Air laut
yang mengandung garam dapat menurunkan titik lebur es sehingga es lebih
lambat melebur (Junianto 2003). Cara penanganan di atas kapal dengan metode
ini diharapkan dapat menghambat kemunduran mutu ikan sampai tiba di darat.
Kapal tiba di pelabuhan Manggar pada pukul 07.00 - 08.00 WIB. Ikan
yang disimpan dalam fiber box langsung dipindahkan ke keranjang yang diperoleh
dari pengumpul setelah kapal merapat ke pelabuhan. Pengumpul di daerah
Manggar dinamakan “Toke”, mereka membeli ikan hasil tangkapan nelayan
terlebih dahulu sebelum nelayan pergi melaut. Hal ini berarti semua nelayan
harus menjual ikan hasil tangkapan hanya kepada “Toke”. Semua hasil tangkapan
para nelayan dijual kepada “Toke” dengan harga yang jauh lebih murah daripada
harga yang diperuntukkan kepada konsumen.
Nelayan di Kecamatan Manggar tidak melakukan sortasi dalam proses
penanganan di atas kapal. Ikan hasil tangkapan disortasi setelah tiba di
pengumpul. Ikan dipisahkan menurut jenis dan ukuran. Ikan yang bernilai jual
tinggi dipisahkan dari ikan-ikan lainnya dan biasanya dikirim ke luar daerah
seperti Bangka dan Jakarta.
Kegiatan sortasi seharusnya dilakukan setelah ikan ada di atas dek yang
bertujuan untuk memudahkan dalam proses penjualan di darat dan memperkecil
terkontaminasinya ikan oleh bakteri atau perlakuan-perlakuan fisik saat ikan
disortir oleh pembeli (Junianto 2003). Sortasi juga bertujuan untuk memisahkan
jenis-jenis ikan ekonomis penting dengan jenis-jenis ikan non ekonomis penting
dan mempermudah pemasaran (Nasran 1972).
Ikan tenggiri digunakan sebagai obyek pengamatan pada penelitian ini.
Ikan tenggiri merupakan salah satu ikan ekonomis penting di Kecamatan
Manggar, biasanya dijual ke Jakarta dengan harga yang lebih mahal melalui jalan
laut dan udara. Penelitian ini terfokus pada pengiriman ikan tenggiri ke Jakarta
melalui jalan udara. Ikan yang ada di pengumpul disusun rapi dalam box
styrofoam yang diberi es dan kemudian dipak rapi. Ikan yang telah dipak
disimpan dalam gudang penyimpanan dingin untuk siap dikirim ke Jakarta hari
berikutnya. Es yang digunakan untuk mengawetkan ikan agar mutunya masih
bagus diganti dalam jangka waktu tertentu (kira-kira setiap pukul 13.00, 19.00,
23.00 dan 03.00 WIB) dan air dari es yang meleleh dibuang agar tidak
mempengaruhi mutu ikan.
Kesegaran ikan laut yang didaratkan tergantung pada perlakuan pertama
saat ikan ditangkap, kecepatan dalam penanganan dan cara penyimpanan di kapal
(Junianto 2003). Cara penanganan ikan di kapal oleh nelayan tergolong lambat
karena tergantung pada jumlah ikan yang ditangkap. Ikan yang semakin banyak
tertangkap maka penanganannya akan semakin lambat karena proses penanganan
di atas kapal mulai dilakukan setelah semua ikan yang tertangkap diangkat dari
atas permukaan air. Cara penyusunan ikan dalam fiber box yang dilakukan
nelayan kurang baik karena ikan diletakkan kurang teratur dan terlalu tinggi
(hampir memenuhi fiber box). Ikan sebaiknya diatur agar tidak berhimpitan dan
diusahakan tidak terlalu tinggi. Hal ini dilakukan agar fisik ikan tidak cepat rusak.
4.1.4 Sanitasi dan higiene
Kebersihan dalam penanganan ikan mempunyai beberapa pengertian,
antara lain membuang sumber pembusukan ikan (lendir, darah, insang, isi perut),
mencuci bersih ikan, cepat menurunkan suhu dengan pendinginan serta
melindungi ikan dari kemungkinan pencemaran atau kontaminasi (Ilyas 1983).
Sanitasi dan higiene memegang peranan penting dalam penanganan ikan.
Sebagian besar nelayan menggunakan perahu sebagai tempat tinggal sehingga
seluruh aktivitasnyapun dilakukan di perahu. Bagian dari perahu terbuat dari
kayu, sehingga sulit dibersihkan jika kotor selama proses penanganan berlangsung
(sanitasi dan higiene sukar dilakukan). Nelayan Kecamatan Manggar
membersihkan lantai kapal menggunakan air tawar dan sabun. Kegiatan ini tidak
selalu dilakukan setiap saat yaitu hanya sebulan sekali sehingga dapat dikatakan
bahwa kebersihan kapal tidak terjamin.
Kapal seharusnya dibersihkan sebelum dan setelah proses penangkapan.
Kapal dibersihkan terlebih dahulu sebelum proses penangkapan yang dilakukan
selama perjalanan ke daerah penangkapan ikan. Kegiatan ini menggunakan air
tawar bersih atau air laut bersih berasal dari luar pelabuhan. Selain itu, kapal juga
dibersihkan setelah proses penangkapan ikan menggunakan air laut bersih,
detergen, dan saniter. Kapal kemudian dibilas dengan air tawar atau air laut
bersih dan dikeringkan di bawah sinar matahari jika memungkinkan (Anonim
2003).
Sarana fisik yang digunakan selama proses penanganan ikan adalah
keranjang plastik, keranjang kayu dan fiber box tetapi kebersihan dari peralatan
tersebut kurang diperhatikan. Keranjang plastik dan kayu dipakai untuk
menampung hasil tangkapan saat di darat tanpa dibersihkan setiap hari. Fiber box
sebelum digunakan seringkali terdapat sisa ikan hasil tangkapan sebelumnya dan
dibersihkan saat akan pergi melaut. Proses pembersihan dilakukan hanya dengan
membuang air sisa lelehan es melalui lubang saluran air di bagian bawah fiber box
tanpa dibilas dengan air sampai benar-benar bersih. Hal ini dapat mempercepat
kemunduran mutu ikan yang disimpan dalam fiber box karena terjadinya
kontaminasi silang mikroba dari fiber box yang tidak bersih.
Program higiene harus meliputi semua orang yang terlibat di dalam proses
penanganan ikan, untuk itu semua fasilitas kebersihan harus disediakan untuk
mereka. Kondisi karyawan atau pekerja yang kotor dapat menyebabkan ikan
terkontaminasi dengan kotoran (Ilyas 1983). Higiene para nelayan dapat dilihat
dari pakaian dan kebiasaan nelayan ketika sedang bekerja. Para nelayan ketika
bekerja sering merokok, meludah, buang air kecil di atas kapal dan bersin
sembarang tempat. Kebiasaan jelek ini seharusnya dihilangkan, karena akan
memperburuk keadaan sanitasi proses penanganan ikan. Pada Gambar 15 dapat
dilihat bahwa nelayan menyusun ikan hasil tangkapan dalam fiber box
menggunakan sarung tangan yang belum terjamin kebesihannya. Sarung tangan
ini terlihat kotor karena jarang dibersihkan sehingga belum terjamin
kebersihannya dan mempengaruhi kemunduran mutu ikan.
Gambar 15. Penyusunan ikan dalam fiber box oleh nelayan
4.1.5 Penggunaan es
Ikan yang mempunyai kesegaran baik diperoleh dengan memperhatikan
jumlah es yang digunakan dan lamanya pengesan. Banyaknya es yang digunakan
atau rasio antara jumlah es dan jumlah ikan yang didinginkan merupakan faktor
yang menentukan. Hal ini menyangkut suhu ikan yang ingin dicapai. Jika
rasionya kecil, suhu yang dicapai tidak cukup rendah untuk tetap mempertahankan
kesegaran ikan dalam waktu yang lama. Sebaliknya jika rasionya terlalu besar
akan dapat menyebabkan ikan rusak secara fisik karena himpitan dan tekanan oleh
bongkahan atau pecahan es yang digunakan. Prinsipnya es yang ditambahkan
harus dapat menurunkan suhu ikan sampai 0 oC, kemudian mempertahankan suhu
tersebut selama penyimpanan (Hadiwiyoto 1993). Perbandingan yang baik untuk
memperpanjang kesegaran ikan adalah 1:1 (1 kg es digunakan untuk
mendinginkan 1 kg ikan) (Moeljanto 1992).
Hancuran es dalam pengesan ikan sebaiknya digunakan es curah yang
terbuat dari air bersih supaya himpitan atau tekanan pada ikan dapat dikurangi.
Hancuran es yang digunakan hanya pada bagian atas permukaan ikan, akan
menghasilkan produk yang kurang baik karena distribusi suhunya tidak merata.
Jika jumlah ikannya banyak, pemberian hancuran es dilakukan dengan cara
menyusun ikan dan es bergantian, sehingga terbentuk lapisan-lapisan antara es
dan ikan. Lapisan yang terbawah dan teratas adalah lapisan es. Pendinginan ikan
dapat pula dilakukan dengan air laut yang direfrigerasikan sehingga dengan usaha
pendinginan tersebut suhu ikan dapat mencapai sekitar 0 oC (Hadiwiyoto 1993).
Es yang digunakan nelayan dibeli sesaat sebelum kapal berangkat dan langsung
diletakkan di dalam box fiber yang telah disiapkan di atas kapal, tanpa dicuci dan
dihancurkan terlebih dahulu. Nelayan Kecamatan Manggar menggunakan es
balok yang dihancurkan dan hanya diletakkan pada bagian atas ikan. Hal ini
menyebabkan distribusi suhu tidak merata ke seluruh bagian ikan. Setelah itu,
sejumlah air laut disiram ke dalam fiber sehingga ikan terendam oleh air laut yang
dingin oleh es. Metode penanganan yang dilakukan diharapkan dapat menjaga
ikan tetap segar sampai tiba di darat.
4.2 Penelitian Utama
Penelitian utama yang dilakukan merupakan penentuan pengaruh metode
dan proses penanganan terhadap kemunduran mutu ikan tenggiri melalui
pengujian subyektif dan obyektif. Pengujian subyektif yang dilakukan adalah uji
organoleptik yang dilakukan selama proses penanganan sejak ikan ditangkap,
sampai di darat, pengumpul, saat akan berangkat ke Jakarta dan ketika ikan tiba di
Jakarta. Pengamatan ini dilakukan untuk masing-masing metode penanganan
yang digunakan dalam hal pemakaian es, yaitu penanganan oleh nelayan dan
peneliti (perbandingan ikan : es yaitu 1:1). Pengujian obyektif yang digunakan
adalah uji analisis proksimat (kadar air, lemak, protein dan abu), TPC, TVB, serta
pH. Keempat uji tersebut dilakukan pada dua metode penanganan, yaitu nelayan
dan peneliti untuk setiap proses penanganan (titik pengamatan).
4.2.1 Organoleptik
Uji organoleptik adalah cara penilaian dengan hanya mempergunakan
indera manusia (sensorik). Penilaian organoleptik merupakan cara yang paling
banyak dilakukan dalam menentukan tanda-tanda kesegaran ikan karena lebih
mudah dan lebih cepat dikerjakan, tidak memerlukan banyak peralatan serta
murah (Hadiwiyoto 1993). Penetapan kemunduran mutu ikan secara subyektif
(organoleptik) dapat dilakukan dengan menggunakan score sheet yang telah
ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional dengan SNI 01-2346-2006, meliputi
penampakan luar, kelenturan daging ikan (konsistensi), keadaan mata, daging dan
perut, serta warna insang. Data lengkap hasil uji organoleptik dapat dilihat pada
Lampiran 3 dan 4. Berdasarkan uji Kruskal-Wallis nilai organoleptik mata,
insang, daging dan perut, serta konsistensi dipengaruhi secara nyata oleh metode
dan proses penanganan (Lampiran 5).
1) Mata
Mata merupakan salah satu bagian dari tubuh ikan yang dapat dijadikan
parameter tingkat kesegaran ikan. Ikan segar memiliki ciri-ciri mata berwarna
cerah dan bersih, menonjol penuh serta transparan (Stansby 1963). Bola mata
ikan busuk berbentuk cekung dan keruh serta pupil mata kelabu tertutup lendir
(Junianto 2003).
Berdasarkan uji Kruskal-Wallis dengan α=0,05 (Lampiran 6), perlakuan
metode penanganan dan proses penanganan memberikan pengaruh yang berbeda
nyata terhadap rata-rata nilai organoleptik mata ikan tenggiri, sedangkan interaksi
antara kedua perlakuan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap rata-rata nilai
organoleptik mata ikan tenggiri. Metode penanganan yang digunakan adalah es
yang berfungsi sebagai media pendingin untuk mempertahankan ikan tetap
bermutu baik. Es yang digunakan oleh nelayan tidak berdasarkan pada jumlah
ikan yang ditangkap melainkan berdasarkan pengalaman mereka sebagai nelayan,
sedangkan peneliti menggunakan perbandingan es dan ikan sebesar 1:1.
Penerapan HACCP pada proses penanganan ikan menetapkan batas kritis
suhu ikan sebesar 4,5 oC dengan waktu tidak lebih dari 4 jam yang hanya bisa
dicapai dengan penggunaan es keping (flake ice) yang mempunyai perbandingan
es:ikan adalah 1:2 atau 1:1 disesuaikan dengan lamanya proses penanganan (FAO
1995a). Media pendingin yang paling umum digunakan untuk menjaga ikan tetap
segar adalah es. Jumlah es curai untuk pendinginan ikan segar adalah sangat
penting, perbandingannya paling sedikit 1:1 (berat/berat) dan kadang-kadang es
yang dibutuhkan lebih banyak pada daerah tropis (Santos et al. 1981 diacu dalam
Jeyasekaran et al. 2006). Proses penanganan dimulai sejak ikan ditangkap, ikan
tiba di darat, tiba di pengumpul, saat akan dikirim ke Jakarta dan ketika ikan tiba
di Jakarta berkaitan erat dengan kemunduran mutu ikan. Perubahan rata-rata nilai
organoleptik mata ikan tenggiri selama proses penanganan dapat dilihat pada
Gambar 16.
9f
7,4a,b8c,d 8c,d
7,1a
9f 8,6e,f8,2d,e
7,8b,c,d
7,5a,b
0123456789
10
Ikanditangkap
Ikan sampaidi darat
Pengumpul Saatberangkatke Jakarta
Tiba diJakarta
Proses Penanganan
Nil
ai O
rgan
ole
pti
k
Nelayan
Peneliti
Keterangan: Superscript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata
Gambar 16. Histogram rata-rata nilai organoleptik mata ikan tenggiri
Gambar 16 menunjukkan bahwa mata ikan tenggiri pada saat ditangkap
memiliki kisaran rata-rata nilai organoleptik sangat segar dengan nilai 9 baik pada
perlakuan nelayan maupun peneliti. Saat ikan sampai di darat, mata ikan tenggiri
masih dalam keadaan sangat segar karena memiliki rata-rata nilai organoleptik
sebesar 8 (metode penanganan nelayan) dan 8,6 (metode penanganan peneliti).
Mata ikan tenggiri masih dalam keadaan sangat segar pada saat sampai di
pengumpul dengan rata-rata nilai organoleptik berkisar antara 8 (nelayan) sampai
8,2 (peneliti). Rata-rata nilai organoleptik mata ikan tenggiri mengalami
penurunan pada saat ikan akan dikirim ke Jakarta yaitu 7,4 (nelayan) dan 7,8
(peneliti) dan saat ikan tiba di Jakarta dengan rata-rata nilai organoleptik 7,1 untuk
perlakuan nelayan dan 7,5 untuk perlakuan peneliti. Mata ikan tenggiri saat tiba
di Jakarta baik dengan metode penanganan nelayan maupun peneliti masih
tergolong kategori segar karena menurut SNI 01-2346-2006, nilai organoleptik
ikan yang tergolong kategori segar berkisar antara 7-9.
Hasil uji penilaian organoleptik memperlihatkan bahwa selama proses
penanganan yang dimulai sejak ikan ditangkap sampai tiba di Jakarta, nilai rata-
rata organoleptik mata tertinggi terdapat pada ikan yang menggunakan metode
penanganan dari peneliti yaitu dengan menggunakan perbandingan es dan ikan
sebesar 1:1. Penggunaan es sebagai media pendingin berhubungan dengan suhu
ikan. Suhu ikan akan rendah apabila es yang digunakan semakin banyak sehingga
proses kemunduran mutu ikan berlangsung dengan lambat. Begitu pula
sebaliknya, jika suhu semakin tinggi maka kemunduran mutu ikan akan
berlangsung sangat cepat.
Berdasarkan hasil uji Multiple Comparison (Lampiran 7) diketahui bahwa
perlakuan proses penanganan terbaik adalah pada saat ikan baru ditangkap dan
nilai organoleptik mata paling kecil pada saat ikan tiba di Jakarta. Nilai
organoleptik mata tertinggi pada metode penanganan adalah dari metode
penanganan peneliti (es:ikan = 1:1). Jumlah es yang digunakan oleh peneliti
disesuaikan dengan jumlah ikan yang ada sehingga akan diperoleh suhu
pendinginan yang lebih rendah, sedangkan jumlah es yang digunakan oleh
nelayan lebih sedikit dari jumlah ikan yang ada sehingga suhu pendinginan yang
dihasilkan tidak cukup dingin untuk mempertahankan kesegaran ikan dalam
waktu yang ditentukan. Hal ini akan mempengaruhi nilai organoleptik mata ikan
tenggiri selama proses penanganan.
2) Insang
Insang merupakan bagian dari tubuh ikan yang banyak ditemukan adanya
bakteri sehingga dapat dijadikan parameter tingkat kesegaran (Irawan 1995).
Insang yang segar berwarna merah cemerlang atau sedikit kecoklatan, sedikit atau
tidak ada lendir (Yunizal dan Wibowo 1998).
Berdasarkan uji Kruskal-Wallis dengan α=0,05 (Lampiran 8) diketahui
bahwa perlakuan metode dan proses penanganan memberikan pengaruh nyata
terhadap rata-rata nilai organoleptik insang, sedangkan interaksi antara kedua
perlakuan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap rata-rata nilai organoleptik
insang ikan tenggiri. Penurunan suhu tubuh ikan dilakukan dengan media
pendingin yang berfungsi untuk menarik panas dari dalam tubuh ikan sehingga
suhu tubuh ikan menjadi lebih rendah. Semakin besar panas ikan yang diserap
oleh media pendingin tersebut maka suhu ikan akan semakin rendah. Proses-
proses biokimia yang berlangsung dalam tubuh ikan mengarah kepada
kemunduran mutu ikan menjadi lebih lambat pada suhu rendah (dingin atau beku).
Perubahan rata-rata organoleptik insang ikan tenggiri dapat dilihat pada
Gambar 17.
8d 8d
7,3d
6,2c
3,7a
8d 8d 7,8d
7,2d
3b
01
23
45
67
89
Ikanditangkap
Ikan sampaidi darat
Pengumpul Saatberangkatke Jakarta
Tiba diJakarta
Proses Penanganan
Nil
ai O
rgan
ole
pti
kNelayan
Peneliti
Keterangan: Superscript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata
Gambar 17. Histogram rata-rata nilai organoleptik insang ikan tenggiri
Berdasarkan histogram pada Gambar 17 dapat dilihat bahwa insang ikan
tenggiri ketika ditangkap dan sampai di darat memiliki kisaran rata-rata nilai
organoleptik sangat segar dengan nilai 8,0 pada ikan perlakuan metode
penanganan nelayan dan peneliti. Pada saat ikan sampai di pengumpul, nilai rata-
rata organoleptik mengalami penurunan tetapi masih berada pada kondisi segar
dengan nilai 7,3 (metode penanganan nelayan) dan 7,8 (metode penanganan
peneliti). Saat ikan akan berangkat ke Jakarta, nilai rata-rata organoleptik insang
ikan mengalami penurunan untuk metode penanganan nelayan dan peneliti
masing-masing yaitu 6,7 dan 7,2. Ikan yang tiba di Jakarta memiliki nilai rata-
rata organoleptik berturut-turut 3,7 dan 3 untuk metode penanganan nelayan dan
peneliti.
Berdasarkan hasil uji Multiple Comparison diketahui bahwa perlakuan
metode penanganan terbaik adalah peneliti dengan perbandingan es:ikan sebesar
1:1. Proses penanganan yang menghasilkan nilai organoleptik insang ikan
tenggiri terbaik adalah saat ikan baru saja ditangkap dan tiba di darat, sedangkan
nilai organoleptik insang paling jelek terdapat saat ikan tiba di Jakarta
(Lampiran 9).
Faktor-faktor yang berhubungan dengan penurunan nilai sensori akibat
kontaminasi mikroba adalah proses penanganan ikan yang lambat, suhu
lingkungan serta kondisi sanitasi alat dan pekerja yang buruk. Semakin banyak
kepingan es yang ditambahkan untuk mendinginkan ikan, semakin panjang pula
daya awetnya. Pada proses pendinginan dengan es terjadi perpindahan panas dari
tubuh ikan ke kristal es. Ikan dengan suhu lebih tinggi akan melepaskan sejumlah
energi panas yang kemudian diserap oleh kristal es. Suhu tubuh ikan menurun,
kristal es meleleh karena suhu meningkat (FAO 1992). Media pendingin yang
digunakan oleh nelayan dan peneliti untuk mendinginkan ikan tenggiri dapat
menghambat pertumbuhan mikroba pada ikan.
Ikan yang mempunyai nilai organoleptik dengan kisaran 1-3 termasuk
kategori tidak segar (SNI 01-2346-2006). Nilai organoleptik insang ikan tenggiri
saat ikan tiba di Jakarta adalah 3,7 (metode penanganan nelayan) dan 3 (peneliti),
sehingga dapat dikatakan bahwa kondisi insang ikan tenggiri setelah tiba di
Jakarta sudah tergolong tidak segar. Hal ini disebabkan insang ikan termasuk
organ tubuh yang paling rentan terhadap kebusukan dan cepat mengalami
kebusukan dibanding organ tubuh lain karena akumulasi bakteri dalam jumlah
tinggi pada insang.
3) Daging dan Perut
Daging dan perut merupakan bagian dari tubuh ikan yang dapat digunakan
sebagai parameter kesegaran ikan. Keadaan perut yang tidak pecah, masih utuh
dan warna sayatan daging cemerlang, serta jika ikan dibelah daging merekat kuat
pada tulang terutama rusuknya menandakan bahwa ikan masih dalam keadaan
segar. Ikan yang telah busuk memiliki ciri-ciri perut sobek, warna sayatan daging
kurang cemerlang dan terdapat warna merah sepanjang tulang belakang serta jika
dibelah daging mudah lepas (Junianto 2003).
Hasil uji Kruskal-Wallis dengan α=0,05 (Lampiran 10) diketahui bahwa
perlakuan metode penanganan, proses penanganan, dan interaksi diantara
keduanya masing-masing memberikan pengaruh nyata terhadap rata-rata nilai
organoleptik daging dan perut ikan tenggiri. Perubahan rata-rata nilai
organoleptik daging dan perut ikan tenggiri selama proses penanganan dapat
dilihat pada Gambar 18.
5a5,8b
8d8d9e
6,9c7,1c8d8d
9e
0123456789
10
Ikanditangkap
Ikan sampaidi darat
Pengumpul Saatberangkatke Jakarta
Tiba diJakarta
Proses Penanganan
Nil
ai O
rgan
ole
pti
k
Nelayan
Peneliti
Keterangan: Superscript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata
Gambar 18. Histogram rata-rata nilai organoleptik daging dan perut ikan tenggiri
Pada Gambar 18 dapat dilihat bahwa daging dan perut ikan tenggiri ketika
ditangkap dan sampai di darat memiliki kisaran rata-rata nilai organoleptik sangat
segar dengan nilai 9,0 dan 8,0 berturut-turut pada ikan perlakuan metode
penanganan nelayan dan peneliti. Nilai rata-rata organoleptik saat ikan sampai di
pengumpul sama dengan saat tiba di darat yaitu 8,0 untuk kedua perlakuan metode
penanganan. Hal ini disebabkan jarak waktu antara ikan sampai di darat dan
pengumpul tidak terlalu lama, karena ikan langsung dibawa dengan keranjang
menuju tempat pengumpul. Nilai rata-rata organoleptik daging dan perut ikan
saat akan berangkat ke Jakarta mengalami penurunan dengan nilai 5,8 (metode
penanganan nelayan) dan 7,1 (metode penanganan peneliti). Ikan saat tiba di
Jakarta memiliki nilai rata-rata organoleptik daging dan perut berturut-turut 5 dan
6,9 untuk metode penanganan nelayan dan peneliti.
Berdasarkan hasil uji Multiple Comparison diketahui bahwa interaksi
antara perlakuan metode dan proses penanganan yang menghasilkan nilai
organoleptik daging dan perut terbaik adalah pada saat ikan baru ditangkap baik
dengan metode penanganan oleh nelayan dan peneliti. Nilai organoleptik daging
dan perut paling jelek terdapat pada interaksi perlakuan metode penanganan
nelayan saat ikan tiba di Jakarta (Lampiran 11).
Beberapa faktor seperti spesies, ukuran, metode penangkapan, penanganan
suhu ikan, dan kondisi fisik ikan dapat mempengaruhi kesegaran ikan selama
penyimpanan (Huss 1988 diacu dalam Kose dan Erdem 2001). Metode
penanganan yang dilakukan nelayan dan peneliti yaitu menggunakan es.
Perbandingan es dan ikan yang digunakan peneliti lebih banyak dibandingkan
dengan nelayan sehingga mempengaruhi nilai organoleptik daging dan perut ikan
tenggiri. Pendinginan/suhu rendah yang kurang oleh nelayan menyebabkan
meningkatnya degradasi senyawa pada tubuh ikan oleh mikroba, sehingga
menyebabkan menurunnya kesegaran ikan.
Ikan yang mempunyai nilai organoleptik dengan kisaran 5-6 termasuk
kategori agak segar dan kisaran nilai organoleptik antara 7-9 termasuk kategori
segar (SNI 01-2346-2006). Nilai organoleptik insang ikan tenggiri saat ikan tiba
di Jakarta adalah 5 (metode penanganan nelayan) termasuk dalam kondisi agak
segar dan 6,9 (metode penanganan peneliti) yang tergolong kategori masih segar.
Pemberian es yang kurang oleh nelayan dapat menurunkan nilai sensori ikan
karena es berfungsi menghambat kerja enzim dan pertumbuhan bakteri selama
proses pendinginan berlangsung yang dapat mempengaruhi mutu ikan. Penurunan
nilai sensori daging dan perut ikan tenggiri juga diduga terjadi karena ikan telah
melewati masa rigor mortis yang ditandai dengan mulai mengendurnya jaringan
daging ikan, adanya proses autolisis dan penyerangan bakteri terhadap tubuh ikan.
Rigor mortis ikan lebih cepat daripada mamalia yaitu sekitar 1-7 jam.
Proses ini mulai 32-93 jam setelah ikan mati jika disimpan dalam es (Murniyati
dan Sunarman 2000). Fase post mortem ikan berbeda-beda dipengaruhi oleh
berbagai faktor diantaranya spesies, ukuran, kadar glikogen dalam tubuh, dan
jenis kelamin. Sufianto (2004) melaporkan bahwa fase post mortem ikan patin
yang memiliki bobot tubuh ± 1000 gram dan panjang total ± 45 cm yaitu: pre
rigor pada 0-11 jam, rigor mortis 12-27 jam, dan post rigor 28 jam. Jarak waktu
sejak ikan ditangkap sampai tiba di Jakarta sekitar 34 jam dan ikan masih dalam
kondisi agak segar.
4) Konsistensi
Parameter penting dalam penentuan tingkat kesegaran ikan adalah tekstur
(konsistensi) karena perubahan tekstur sangat jelas terlihat ketika terjadi
perubahan tahap-tahap kemunduran mutu ikan. Tekstur daging ikan segar adalah
elastis dan jika ditekan tidak ada bekas jari, serta padat atau kompak. Ikan busuk
sendiri memiliki ciri-ciri daging kehilangan elastisitasnya atau lunak dan jika
ditekan dengan jari maka bekas tekanannya lama hilang (Junianto 2003).
Berdasarkan hasil uji Kruskal-Wallis dengan α=0,05 (Lampiran 12)
diketahui bahwa perlakuan metode penanganan, proses penanganan dan interaksi
diantara kedua perlakuan masing-masing memberikan pengaruh nyata terhadap
rata-rata nilai organoleptik konsistensi (tekstur) ikan tenggiri. Metode
penanganan berkaitan erat dengan fase kemunduran mutu ikan. Penggunaan es
yang tidak cukup dapat mempercepat kemunduran mutu ikan terutama pada tiap
fase post mortem yang terjadi, kondisi tekstur daging ikan akan berbeda-beda.
Nilai rata-rata organoleptik tekstur ikan tenggiri dapat dilihat pada Gambar 19.
5,7a6,6b7,1c7,4c,d
9f
7,4c,d7,6d,e8e8e9f
0123456789
10
Ikanditangkap
Ikan sampaidi darat
Pengumpul Saatberangkatke Jakarta
Tiba diJakarta
Proses Penanganan
Nil
ai O
rgan
ole
pti
k
Nelayan
Peneliti
Keterangan: Superscript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata
Gambar 19. Histogram rata-rata nilai organoleptik konsistensi ikan tenggiri
Pada Gambar 19 dapat dilihat tekstur daging ikan tenggiri ketika ditangkap
memiliki kisaran rata-rata nilai organoleptik sangat segar dengan nilai sama yaitu
9,0 baik pada perlakuan metode penanganan nelayan maupun peneliti. Nilai rata-
rata organoleptik tekstur daging ikan tenggiri saat tiba di darat, yaitu 7,4 (nelayan)
dan 8 (peneliti). Saat ikan sampai di pengumpul, nilai rata-rata organoleptik
tekstur dengan metode penanganan nelayan dan peneliti masing-masing yaitu 7,1
dan 8,0. Pada saat ikan akan berangkat ke Jakarta, nilai rata-rata organoleptik
tekstur daging ikan mengalami penurunan, yaitu 6,6 (nelayan) dan 7,6 (peneliti)
dan ketika ikan tenggiri tiba di Jakarta, nilai rata-rata organoleptik tekstur
berturut-turut 5,7 dan 7,4 untuk metode penanganan nelayan dan peneliti.
Berdasarkan uji Multiple Comparison (Lampiran 13) diketahui bahwa
interaksi perlakuan metode penanganan peneliti (perbandingan es:ikan sebesar
1:1) dan nelayan pada saat ikan baru saja ditangkap menghasilkan nilai
organoleptik konsistensi paling bagus, sedangkan nilai organoleptik yang paling
jelek pada perlakuan metode penanganan oleh nelayan saat ikan tiba di Jakarta.
Perbedaan jumlah es yang dipakai oleh nelayan dan peneliti mempengaruhi nilai
organoleptik konsistensi ikan tenggiri karena diketahui bahwa es sebagai media
pendingin dapat menghambat terjadinya degradasi senyawa-senyawa oleh
mikroba pada tubuh ikan.
Perubahan dalam sifat tekstur otot ikan dapat dihasilkan dari agregasi
(pengumpulan) dan denaturasi protein, terutama protein miofibril yang
menyebabkan penurunan kelarutan protein selama penyimpanan beku (Chang dan
Regenstein 1997, Saeed dan Howell 2004 diacu dalam Tokur et al. 2006).
Perubahan organoleptik disebabkan melunaknya tekstur daging ikan.
Pelunakan tekstur terjadi karena penguraian protein senyawa yang lebih
sederhana, yaitu polipeptida, asam amino dan amoniak yang dapat meningkatkan
pH ikan. Keadaan basa adanya hasil pemecahan protein, lemak dan karbohidrat
merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri (Murniyati dan Sunarman
2000). Konsistensi (tekstur) ikan tenggiri saat tiba di Jakarta dengan metode
penanganan oleh nelayan mengalami perubahan menjadi agak lunak. Hal ini
disebabkan kurangnya pendinginan dari es menyebabkan terjadinya penguraian
protein senyawa menjadi lebih sederhana berlangsung lebih cepat sehingga tekstur
daging mulai melunak.
Ikan yang mempunyai nilai organoleptik dengan kisaran 5-6 termasuk
kategori agak segar dan kisaran nilai organoleptik antara 7-9 termasuk kategori
segar (SNI 01-2346-2006). Nilai organoleptik insang ikan tenggiri saat ikan tiba
di Jakarta adalah 5,7 (metode penanganan nelayan) termasuk dalam kondisi agak
segar dan 7,4 (metode penanganan peneliti) yang tergolong kategori masih segar.
Pemberian es yang lebih banyak untuk metode penanganan oleh peneliti
menghasilkan konsistensi ikan yang masih tergolong segar karena es berfungsi
menghambat kerja enzim dan pertumbuhan bakteri selama proses pendinginan
berlangsung yang dapat mempengaruhi mutu ikan.
Faktor-faktor lain yang berhubungan dengan penurunan nilai sensori akibat
kontaminasi mikroba adalah proses penanganan ikan yang lambat, suhu
lingkungan serta kondisi sanitasi alat dan pekerja yang buruk. Semakin banyak
kepingan es yang ditambahkan untuk mendinginkan ikan, semakin panjang pula
daya awetnya (FAO 1992). Kondisi sanitasi dan higiene lingkungan dan para
pekerja berkaitan pula dengan mutu ikan secara sensori. Kondisi alat-alat yang
digunakan dan pekerja kurang terjamin kebersihannya selama proses penanganan
ikan tenggiri oleh nelayan. Ikan diletakkan di atas kapal yang jarang dibersihkan
setelah ikan dilepaskan dari jaring. Keranjang yang digunakan pengumpul tidak
dibersihkan terlebih dahulu sehingga sisa-sisa darah dari ikan lain masih
menempel di keranjang. Kondisi ini menjadi sumber kontaminan potensial pada
ikan hasil tangkapan nelayan.
4.2.2 Hasil analisis kimiawi-mikrobiologi
Analisis kimiawi-mikrobiologi ikan tenggiri meliputi kadar proksimat
(air, lemak, protein dan abu), TVB, TPC, dan pH. Pengambilan sampel dilakukan
pada setiap tahap proses penanganan ikan (titik pengamatan) yaitu sejak ikan
ditangkap, tiba di darat, pengumpul, saat berangkat ke Jakarta, dan saat tiba di
Jakarta pada masing-masing metode penanganan yang dilakukan oleh nelayan dan
peneliti yang diduga dapat mempengaruhi penurunan mutu ikan secara kimiawi-
mikrobiologi.
1) Analisis proksimat
Analisis proksimat yang dilakukan pada sampel ikan tenggiri saat ikan
ditangkap dan tiba di Jakarta antara lain kadar air, protein, lemak dan abu. Ikan
merupakan salah satu sumber zat gizi penting bagi proses kelangsungan hidup
manusia. Ikan mengandung zat gizi utama berupa protein, lemak, vitamin dan
mineral sebagai bahan pangan.
a) Kadar air
Air merupakan sumber komponen penting dalam bahan makanan yang
dapat mempengaruhi penampakan, tekstur dan cita rasa makanan. Kadar air
dalam bahan makanan ikut menentukan kesegaran dan daya awet bahan makanan
tersebut (Winarno 1991). Air diperlukan untuk kehidupan, yaitu sebagai alat
pengatur suhu tubuh, sebagai pelarut, sebagai pembawa zat gizi dan produk sisa,
sebagai pereaksi dan reaksi medium, sebagai minyak pelumas (lubricant) dan
plastizer, sebagai penstabil pembentukan biopolimer, kemungkinan
mempermudah jalan dinamis dari makromolekul, termasuk sifat katalisisnya
(enzimatis) (Fennema 1996). Air adalah salah satu faktor yang paling penting
dalam pangan yang mempengaruhi reaksi deteriorasi. Secara khusus, kemajuan
perkembangan mikroba atau deteriorasi berhubungan erat dengan kandungan air
bebas maupun air terikat dari pangan (Certel dan Ertugay 1996 diacu dalam
Şengör 2001).
Nilai rata-rata kadar air ikan tenggiri selama proses penanganan dengan
menggunakan metode penanganan dari nelayan dan peneliti (ikan:es = 1:1)
masing-masing dapat dilihat pada Gambar 20.
75,38a 76,36a75,38a 76,49a
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
Ikan ditangkap Tiba di Jakarta
Proses Penanganan
Kad
ar A
ir (
%)
Nelayan
Peneliti
Keterangan: Superscript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata
Gambar 20. Histogram rata-rata kadar air ikan tenggiri selama proses penanganan
Kadar air ikan tenggiri yang dilihat pada Gambar 20, diketahui bahwa saat
ikan ditangkap untuk perlakuan metode penanganan dari nelayan dan peneliti
adalah sama sebesar 75,38 % karena pada saat ikan ditangkap belum terdapat
perlakuan antara nelayan dan peneliti (es:ikan = 1:1). Kadar air ikan tenggiri
ketika tiba di Jakarta adalah 76,36 % (metode penanganan nelayan) dan
76,49 % (metode penanganan peneliti).
Uji normalitas data analisis proksimat ikan tenggiri selama proses
penanganan dilakukan untuk melihat data menyebar normal atau tidak agar dapat
dilakukan analisis ragam (Lampiran 14). Menurut hasil uji t (uji perbedaan nilai
tengah) dengan selang kepercayaan 95 % (Lampiran 15), diketahui bahwa metode
penanganan nelayan dan peneliti memberikan pengaruh nyata terhadap kadar air
ikan tenggiri saat tiba di Jakarta. Proses penanganan sejak ikan ditangkap sampai
tiba di Jakarta untuk metode penanganan nelayan (Lampiran 16) dan peneliti
(Lampiran 17) memberikan pengaruh nyata terhadap kadar air setelah dilakukan
uji t. Ikan tenggiri disimpan dalam box styrofoam yang berisi es selama proses
pengiriman ke Jakarta, sehingga suhu lingkungan lebih rendah daripada suhu ikan.
Jumlah es yang digunakan oleh peneliti (ikan:es = 1:1) lebih banyak daripada
nelayan yang berarti suhu lingkungan ikan tenggiri yang disimpan dalam box
styrofoam lebih dingin. Hal ini menyebabkan penyerapan air dari lingkungan ke
ikan lebih banyak sehingga kadar air ikan tenggiri yang disimpan dalam box
styrofoam saat ikan tiba di Jakarta menjadi naik.
Penurunan dan peningkatan kadar air selama penyimpanan disebabkan
oleh kelembaban udara di sekitar bahan tersebut. Apabila kadar air bahan rendah
sedangkan kelembaban udara di sekitarnya tinggi maka akan terjadi penyerapan
uap air dari udara sekitarnya sehingga kadar airnya menjadi tinggi demikian pula
sebaliknya (Winarno et al. 1981). Hidayat (2004) melaporkan bahwa kadar air
ikan belanak yang disimpan dalam palka berisi es menjadi meningkat akibat
penyerapan kadar air dari lingkungan ke ikan.
b) Kadar lemak
Lemak terdiri dari kelompok besar komponen yang umumnya larut dalam
pelarut organik. Lemak dalam pangan menunjukkan sifat fisik dan kimia yang
unik. Komposisi, struktur kristal, sifat mencair, dan kemampuannya berhubungan
dengan air dan molekul non lemak lainnya. Lemak mengalami perubahan kimia
yang kompleks dan bereaksi dengan unsur pokok pangan lainnya, menghasilkan
banyak komponen baik yang diinginkan maupun yang merusak kualitas pangan
selama proses penyimpanan dan penanganan pangan (Fennema 1996).
Kadar lemak ikan tenggiri dengan dua perlakuan metode penanganan
(nelayan dan peneliti) diukur pada saat ikan baru saja ditangkap dan saat tiba di
Jakarta untuk mengetahui pengaruh metode penanganan dan proses penanganan
terhadap kadar lemak (Lampiran 18). Nilai rata-rata kadar lemak ikan tenggiri
selama proses penanganan dengan menggunakan metode penanganan dari nelayan
dan peneliti (ikan:es = 1:1) masing-masing dapat dilihat pada Gambar 21.
0,79a
1,03a
0,90a
1,03a
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
Ikan ditangkap Tiba di Jakarta
Proses Penanganan
Kad
ar L
emak
(%
)
Nelayan
Peneliti
Keterangan: Superscript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata
Gambar 21. Histogram rata-rata kadar lemak ikan tenggiri selama proses penanganan
Kadar lemak ikan tenggiri pada Gambar 21 saat ditangkap adalah sama
untuk metode penanganan nelayan dan peneliti, yaitu 1,03 %. Kadar lemak ikan
tenggiri saat tiba di Jakarta dengan metode penanganan nelayan dan peneliti
masing-masing adalah 0,79 % dan 0,90 %.
Berdasarkan hasil uji t dengan selang kepercayaan 95 % (Lampiran 19)
diketahui bahwa metode penanganan nelayan dan peneliti saat ikan tiba di Jakarta
tidak memberikan pengaruh nyata terhadap kadar lemak ikan tenggiri. Proses
penanganan sejak ikan ditangkap sampai tiba di Jakarta untuk metode penanganan
nelayan (Lampiran 20) dan peneliti (Lampiran 21) tidak memberikan pengaruh
nyata terhadap kadar lemak setelah dilakukan uji t. Hal ini berarti bahwa nilai
kadar lemak ikan tenggiri sejak ditangkap sampai tiba di Jakarta baik dengan
metode penanganan nelayan dan peneliti adalah sama.
Ikan secara umum yang tergolong berlemak rendah memiliki kadar lemak
< 5 % dan ikan berlemak tinggi memiliki kadar lemak > 15 % (Junianto 2003).
Ikan tenggiri yang ditangkap di perairan Belitung Timur termasuk ikan pelagis
dan tergolong ikan berlemak rendah karena kadar lemaknya < 5 %, yaitu sebesar
1,03 % (saat ikan ditangkap).
Lemak ikan tenggiri setelah tiba di Jakarta belum mengalami degradasi.
Hal ini terbukti dari hasil analisis statistik yang menyatakan bahwa kadar lemak
ikan tenggiri selama proses penanganan adalah sama dan didukung oleh nilai
organoleptik ikan sampai tiba di Jakarta masih tergolong agak segar.
Degradasi lemak sangat dipengaruhi oleh suhu penyimpanan. Penurunan
kandungan lemak diduga karena terjadinya oksidasi lemak, sebagai akibat dari
adanya peristiwa bereaksinya asam lemak dengan oksigen yang berasal dari
lingkungan (Huss 1995).
c) Kadar protein
Kandungan protein ikan erat sekali kaitannya dengan kandungan lemak
dan air. Ikan yang mengandung lemak rendah rata-rata memiliki nilai protein
dalam jumlah besar. Daging ikan memiliki sedikit sekali tenunan pengikat
(tendon) sehingga sangat mudah dicerna oleh enzim autolisis. Hasil autolisis
tersebut menjadi media yang cocok untuk pertumbuhan mikroorganisme
(Adawyah 2006).
Adanya variasi dalam protein baik jumlah maupun komponen
penyusunnya disebabkan oleh berbagai faktor yaitu faktor intrinsik dan faktor
ekstrinsik. Yang termasuk dalam faktor intrinsik adalah jenis dan golongan ikan,
umur ikan, jenis kelamin dan sifat warisan, sedangkan yang termasuk faktor
ekstrinsik adalah daerah kehidupan ikan, musim dan jenis makanan yang tersedia
(Hadiwiyoto 1993). Kadar protein ikan tenggiri dengan dua perlakuan metode
penanganan (nelayan dan peneliti) diukur pada saat ikan baru saja ditangkap
sampai tiba di Jakarta untuk mengetahui pengaruh metode penanganan dan proses
penanganan terhadap kadar protein (Lampiran 22). Nilai rata-rata kadar protein
ikan tenggiri dapat dilihat pada Gambar 22.
Kadar protein pada saat ikan ditangkap baik nelayan maupun peneliti
adalah sama, yaitu sebesar 20,19 %, karena ikan belum mendapatkan perlakuan
pada saat ditangkap. Kadar protein pada metode penanganan oleh nelayan dan
peneliti saat tiba di Jakarta masing-masing adalah 18,73 % dan 19,23 % yang
dapat dilihat pada Gambar 22.
18,73a20,19a
19,23a20,19a
0
5
10
15
20
25
Ikan ditangkap Tiba di Jakarta
Proses Penanganan
Kad
ar P
rote
in (
%)
Nelayan
Peneliti
Keterangan: Superscript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata
Gambar 22. Histogram rata-rata kadar protein ikan tenggiri selama proses penanganan
Berdasarkan uji t dengan selang kepercayaan 95 % diketahui bahwa
metode penanganan nelayan dan peneliti saat ikan tiba di Jakarta memberikan
pengaruh nyata terhadap kadar protein ikan tenggiri (Lampiran 23). Proses
penanganan sejak ikan ditangkap sampai tiba di Jakarta untuk metode penanganan
nelayan (Lampiran 24) dan peneliti (Lampiran 25) memberikan pengaruh nyata
terhadap kadar protein setelah dilakukan uji t. Penurunan kadar protein ikan
tenggiri disebabkan kadar airnya mengalami peningkatan. Hal ini berhubungan
dengan jumlah proporsional kadar air, lemak, protein dan abu. Kadar lemak dan
abu ikan tenggiri tidak mengalami perubahan, sedangkan kadar airnya mengalami
peningkatan sehingga menyebabkan kadar protein menjadi turun.
Es yang digunakan oleh peneliti (ikan:es = 1:1) lebih banyak daripada
nelayan yang berarti suhu lingkungan ikan tenggiri yang disimpan dalam box
styrofoam lebih dingin, sehingga proses degradasi protein oleh enzim maupun
mikroorganisme dapat dihambat oleh es yang bersuhu suhu rendah. Selama
proses penanganan belum terdapat protein yang terdegradasi. Hal ini didukung
oleh kondisi ikan yang masih tergolong agak segar. Protein mulai terdegradasi
saat ikan sudah tidak segar lagi.
Ikan secara umum yang tergolong berprotein rendah memiliki kadar
protein < 15 % dan ikan dengan protein tinggi memiliki kadar protein 15-20 %
hingga > 20 % (Junianto 2003). Ikan tenggiri yang ditangkap di perairan Belitung
Timur tergolong ikan berprotein tinggi karena kadar proteinnya > 20 %, yaitu
sebesar 20,19 % (saat ikan ditangkap).
Penguraian protein oleh enzim maupun mikroorganisme berkaitan erat
dengan peningkatan nilai TVB. Penanganan ikan yang baik harus memperhatikan
suhu ikan, karena kenaikan suhu berkorelasi positif dengan pertumbuhan bakteri
dan peningkatan kadar TVB pada ikan yang merupakan faktor koreksi terhadap
kesegarannya (Desrosier 1977 diacu dalam Saragih 1998).
d) Kadar abu
Abu termasuk dalam data dasar zat gizi sebagai salah satu komponen
proksimat dalam pangan. Abu menyediakan sebuah perkiraan kandungan total
mineral pangan. Mineral dalam abu berada dalam bentuk logam oksida, fosfat,
nitrat, sulfat, klorida dan halida lainnya (Fennema 1996). Kadar abu ikan tenggiri
diukur sejak ikan ditangkap sampai tiba di Jakarta (Lampiran 26). Nilai rata-rata
kadar abu ikan tenggiri masing-masing perlakuan metode penanganan sejak ikan
ditangkap sampai tiba di Jakarta dapat dilihat lebih jelas pada Gambar 23.
Kadar abu pada saat ikan ditangkap untuk perlakuan metode penanganan
dari nelayan dan peneliti adalah sama, yaitu 1,54 %. Kadar abu ikan tenggiri saat
tiba di Jakarta untuk perlakuan nelayan dan peneliti masing-masing adalah 1,46 %
dan 1,38 %.
1,46a1,54a
1,38a1,54a
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
1.8
Ikan ditangkap Tiba di Jakarta
Proses Penanganan
Kad
ar A
bu
(%
)
Nelayan
Peneliti
Keterangan: Superscript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata
Gambar 23. Histogram rata-rata kadar abu ikan tenggiri selama proses penanganan
Menurut hasil uji t dengan selang kepercayaan 95 % (Lampiran 27)
diketahui bahwa metode penanganan nelayan dan peneliti saat ikan tiba di Jakarta
tidak memberikan pengaruh nyata terhadap kadar abu ikan tenggiri. Berdasarkan
uji t dapat diketahui pula bahwa proses penanganan sejak ikan ditangkap sampai
tiba di Jakarta untuk metode penanganan nelayan (Lampiran 28) dan peneliti
(Lampiran 29) tidak memberikan pengaruh nyata terhadap kadar abu ikan
tenggiri. Hal ini berarti bahwa perbedaan perbandingan penggunaan es oleh
nelayan dan peneliti sejak ikan ditangkap sampai tiba di Jakarta memberikan nilai
kadar abu yang relatif sama.
Perubahan kadar abu berhubungan dengan komposisi kimia lainnya seperti
lemak dan protein yang juga mengalami perubahan (Suyani 2002 diacu dalam
Hidayat 2004). Menurut Daramola et al. (2007), kadar abu dipengaruhi oleh
ukuran ikan serta rasio antara daging dan tulang. Kadar abu ikan tenggiri dengan
metode penanganan nelayan dan peneliti selama proses penanganan tidak
mengalami perubahan disebabkan ukuran ikan yang digunakan sebagai sampel
relatif seragam.
2) Penentuan pH
Uji derajat keasaman (pH) adalah suatu metode untuk mengetahui tingkat
keasaman atau kebasaan suatu produk, yang pengukurannya didasarkan pada
konsentrasi ion hidrogen pada suatu medium atau pelarut. Nilai pH ikan segera
setelah ditangkap dilaporkan berada diantara 6,0 sampai 6,5. Ikan masih dapat
diterima sampai pH 6,8 tetapi menjadi busuk dengan pH di atas 7,0 (Huss 1988
diacu dalam Kose 2003).
Nilai pH ikan tenggiri tidak berbeda antara metode nelayan dan peneliti
(Lampiran 30). Nilai pH ikan tenggiri dengan dua metode penanganan sejak ikan
ditangkap sampai tiba di Jakarta dapat dilihat pada Gambar 24.
6,28a
6,38a 6,36
a6,45
a 6,56a
6,28a
6,41a
6,35a
6,19a 6,16
a
0.0
1.0
2.0
3.0
4.0
5.0
6.0
7.0
Ikanditangkap
Ikansampai di
darat
Pengumpul Saatberangkatke Jakarta
Tiba diJakarta
Proses Penanganan
Nila
i pH Nelayan
Peneliti
Keterangan: Superscript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata
Gambar 24. Histogram rata-rata nilai pH ikan tenggiri selama proses penanganan
Nilai pH ikan tenggiri pada Gambar 24 dengan perlakuan metode
penanganan dari nelayan dan peneliti pada saat ikan ditangkap adalah sama, yaitu
6,28. Nilai pH setelah ikan sampai di darat baik dengan metode penanganan
nelayan maupun peneliti berturut-turut adalah 6,38 dan 6,41. Saat ikan tiba di
pengumpul, nilai pH ikan sebesar 6,36 (metode penanganan nelayan) dan 6,35
(metode penanganan peneliti). Nilai pH ikan tenggiri saat tiba di Jakarta adalah
6,56 untuk metode penanganan oleh nelayan dan 6,16 untuk metode penanganan
dari peneliti.
Hasil normalitas data nilai pH (Lampiran 31) dan analisis ragam α=0,05
(Lampiran 32), diketahui bahwa perlakuan metode penanganan, proses
penanganan, dan interaksi kedua perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap
perubahan nilai pH ikan tenggiri. Hal ini berarti bahwa perbedaan es yang
digunakan oleh nelayan dan peneliti selama proses penanganan sejak ikan
ditangkap sampai tiba di Jakarta tidak mempengaruhi perubahan nilai pH daging
ikan tenggiri. Nilai pH kedua metode penanganan selama proses penanganan
adalah relatif sama sehingga kemunduran mutu ikan antara kedua perlakuan juga
sama.
Nilai pH ikan tenggiri saat tiba di Jakarta untuk metode penanganan
nelayan diketahui sebesar 6,56 dan 6,16 untuk metode penanganan peneliti,
sehingga dapat dikatakan bahwa ikan tenggiri yang ditangkap di perairan Belitung
Timur masih bisa diterima (pH < 6,8) untuk dikonsumsi dan belum memasuki
fase busuk. Hal ini sesuai dengan pendapat Huss (1988) diacu dalam Kose (2003)
yang mengatakan bahwa nilai pH ikan masih dapat diterima sampai pH 6,8 dan
menjadi busuk dengan pH di atas 7,0
3) Penentuan Total Volatile Bases (TVB)
Penentuan kesegaran ikan secara kimiawi dapat dilakukan menggunakan
prinsip penetapan TVB. Prinsip penetapan TVB adalah menguapkan senyawa-
senyawa yang terbentuk karena penguraian asam-asam amino yang terdapat pada
daging ikan (Hadiwiyoto 1993). Perbedaan nilai TVB ikan tidak berbeda selama
proses penanganan dengan metode nelayan dan peneliti (Lampiran 33). Nilai
rata-rata TVB ikan tenggiri pada metode penanganan dari nelayan dan peneliti
selama proses penanganan sejak ikan ditangkap sampai tiba di Jakarta dapat
dilihat pada Gambar 25.
Nilai rata-rata TVB ikan tenggiri saat ditangkap sebesar 21,86 mg N/100 g
dengan metode penanganan baik dari nelayan maupun peneliti. Saat ikan sampai
di darat, nilai rata-rata TVB untuk metode penanganan nelayan dan peneliti
berturut-turut adalah 23,94 mg N/100 g dan 22,44 mg N/100 g. Saat ikan sampai
di pengumpul, nilai TVB terendah sebesar 23,16 mg N/100 g (peneliti) dan
tertinggi sebesar 24,04 mg N/100 g (nelayan). Nilai TVB ikan tenggiri saat tiba di
Jakarta, yaitu 24,28 mg N/100 g untuk metode penanganan oleh nelayan dan
23,40 mg N/100 g untuk metode penanganan peneliti.
24,28a24,77
a24,04
a23,94
a
21,86a 23,72
a23,40
a23,16
a22,44
a21,86
a
0.00
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
30.00
Ikanditangkap
Ikansampai di
darat
Pengumpul Saatberangkatke Jakarta
Tiba diJakarta
Proses Penanganan
Nila
i TV
B (m
gN
/100
gr)
Nelayan
Peneliti
Keterangan: Superscript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata
Gambar 25. Histogram rata-rata nilai TVB ikan tenggiri selama proses penanganan Hasil uji normalitas data (Lampiran 34) dan analisis ragam (Lampiran 35),
diketahui bahwa perlakuan metode penanganan, proses penanganan, serta
interaksi antara kedua perlakuan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap nilai
TVB. Hal ini disebabkan pengaruh es yang dapat menghambat kemunduran mutu
ikan dan kandungan trimetilamin oksida (TMAO) pada ikan tenggiri relatif sama.
Konsentrasi TVB pada ikan tangkapan segar secara khusus berada antara
5-20 mg TVB/100 g daging, tetapi tingkat 30-35 mg TVB/100 g daging umumnya
dianggap sebagai limit dari penerimaan untuk ikan yang disimpan dalam air es
dingin (Kyrana et al. 1997 diacu dalam Kose 2003). Seafood dikategorikan
berdasarkan nilai TVB-N. Mereka menetapkan kandungan TVB-N sebesar
25 mg N/100 g sangat bagus, 30 mg N/100 g bagus, 35 mg N/100 g yang
dipasarkan dan nilai TVB-N yang lebih dari 35 mg N/100 g menandakan
pembusukan (Ludorff dan Meyer 1973, dan Schormőller 1968 diacu dalam Metin
et al. 2001).
Berdasarkan batasan yang diperoleh dari literatur, ikan tenggiri sejak
ditangkap, sampai di darat, pengumpul, saat akan berangkat ke Jakarta dan saat
tiba di Jakarta baik dengan metode penanganan dari nelayan maupun peneliti,
memiliki nilai TVB yang berada pada garis batas kesegaran ikan yang masih
dapat dikonsumsi. Ikan tenggiri saat tiba di Jakarta selama proses penanganan
sebesar 24,28 mg N/100 g (nelayan) dan 23,40 mg N/100 g (peneliti) dapat
dikatakan masih tergolong ikan yang sangat bagus karena menurut Ludorff dan
Meyer (1973), dan Schormőller (1968) diacu dalam Metin et al. (2001), ikan
dengan kandungan TVB sebesar 25 mg N/100 g tergolong sangat bagus.
Beberapa ikan yang tidak mengandung TMAO atau dimana pembusukan
disebabkan oleh penurunan flora non-TMAO, peningkatan TVBN lemah. Hal ini
bisa terlihat selama penyimpanan, kemungkinan dihasilkan dari deaminasi asam
amino (Huss 1995). Reduksi kandungan non-protein nitrogen (NPN)
menunjukkan bahwa asam amino adalah komponen utama dari NPN dalam otot
ikan. Jaringan enzim dan aktivitas bakteri baru mulai terjadi menghasilkan
amonia (tidak semua tingkat terdeteksi dari bau) pada kondisi penyimpanan oleh
deaminasi asam amino bebas, asam amino baru, dan peptida oleh proteolisis
(Sikorski 1990 diacu dalam Mazorra-Manzano et al. 2000).
Basa volatil total terbentuk akibat terdegradasi atau terurainya protein oleh
aktivitas mikroba yang menghasilkan sejumlah basa-basa yang mudah menguap,
seperti amoniak, trimetilamin, histamine, hydrogen sulfide (H2S) yang berbau
busuk (Zaitsev et al. 1969 diacu dalam Suryawan 2004). Nilai TVB-N secara luas
digunakan sebagai indikator awal kesegaran ikan dan produk perikanan.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa nilai TVB-N untuk ikan dan produk
perikanan tidak stabil selama penyimpanan beku dan dapat berubah berdasarkan
spesies, metode penanganan, dan suhu penyimpanan (Rehbein dan
Oehlenschlager 1982, Ben-gigirey et al. 1999, Suvanich et al. 2000, Tokur et al.
2004 diacu dalam Tokur et al. 2006).
4) Penentuan Total Plate Count (TPC)
Ikan mengandung bakteri cukup banyak yang terkonsentrasi pada
permukaan kulit, insang dan saluran pencernaan. Pengujian kesegaran ikan secara
mikrobiologis dapat dilakukan dengan cara menghitung jumlah bakteri yang ada
pada daging ikan. Penghitungan bakteri dilakukan dengan menggunakan metode
TPC, yaitu penghitungan jumlah bakteri yang ditumbuhkan pada suatu media
(medium agar) dan diinkubasi selama 24 jam. Metode hitungan cawan didasarkan
pada anggapan bahwa setiap sel yang dapat hidup akan berkembang menjadi satu
koloni. Jadi jumlah koloni yang muncul pada cawan merupakan suatu indeks bagi
jumlah organisme yang dapat hidup dan terkandung dalam sampel (Hadiwiyoto
1993). Nilai TPC ikan tenggiri selama proses penanganan dengan metode nelayan
dan peneliti tidak berbeda (Lampiran 36). Nilai log TPC ikan tenggiri
menggunakan metode penanganan dari nelayan dan peneliti selama proses
penanganan sejak ikan ditangkap hingga sampai di Jakarta dapat dilihat pada
Gambar 27.
Jumlah log TPC selama proses penanganan yang dilakukan disajikan pada
Gambar 26. Saat ikan ditangkap, nilai log TPC ikan tenggiri dengan metode
penanganan nelayan dan peneliti adalah sama, yaitu 3,32 CFU/ml. Nilai log TPC
kemudian meningkat saat ikan sampai di darat yaitu perlakuan metode
penanganan nelayan dan peneliti secara berturut-turut, yaitu 3,65 CFU/ml dan
3,52 CFU/ml. Nilai log TPC ikan tenggiri semakin meningkat hingga ikan tiba di
Jakarta. Nilai log TPC ikan saat tiba di Jakarta baik dengan metode penanganan
nelayan maupun peneliti masing-masing adalah 4,67 CFU/ml dan 4,29 CFU/ml.
3,68a
3,32a
3,65a
4,33a
4,67a
3,32a 3,52
a3,40
a
4,06a 4,29
a
00.5
11.5
22.5
33.5
44.5
5
Ikanditangkap
Ikan sampaidi darat
Pengumpul Saatberangkat ke
Jakarta
Tiba diJakarta
Proses Penangkapan
Nila
i lo
g T
PC
(C
FU
/ml)
Nelayan
Peneliti
Keterangan: Superscript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata
Gambar 26. Histogram rata-rata nilai TPC ikan tenggiri selama proses penanganan
Hasil uji normalitas data (Lampiran 37) dan analisis ragam α=0,05
(Lampiran 38) menunjukkan bahwa proses penanganan memberikan pengaruh
nyata terhadap nilai log TPC ikan tenggiri, sedangkan metode penanganan
(nelayan dan peneliti) serta interaksi antara kedua perlakuan tidak memberikan
pengaruh nyata terhadap nilai log TPC. Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 39)
dapat diketahui bahwa, nilai log TPC ikan tenggiri saat tiba di Jakarta berbeda
nyata dengan nilai log TPC ketika ikan baru saja ditangkap, sampai di darat dan
tiba di pengumpul. Proses penanganan yang menghasilkan log TPC paling tinggi
secara nyata adalah saat ikan tiba di Jakarta. Nilai log TPC yang tinggi saat ikan
tiba di Jakarta berarti bahwa proses kemunduran mutu ikan tenggiri pada saat itu
sudah mulai terjadi.
Batas maksimum jumlah bakteri yang terdapat pada ikan segar adalah
5x105 koloni/gram (nilai lognya adalah 5,7 koloni/gram) (SNI 01-2729-2006) dan
ikan masih dalam kategori segar jika jumlah bakterinya tidak melebihi 105 (log
TPC adalah 5) (Junianto 2003). Nilai log TPC ikan tenggiri saat tiba di Jakarta,
yaitu 4,67 (metode penanganan nelayan) dan 4,29 (metode penanganan peneliti).
Hal ini berarti bahwa kondisi ikan tenggiri dengan kedua perlakuan metode
penanganan selama proses penanganan masih dalam keadaan segar karena nilai
log TPC masih di bawah 5.
Daging dan cairan tubuh ikan segar, pada umumnya steril secara alamiah,
akan tetapi kulit, lendir, insang dan saluran pencernaan ikan biasanya
mengandung sejumlah mikroorganisme terutama bakteri. Selama ikan mati,
tenunan ikan tidak dapat mencegah serangan bakteri yang terdapat pada kulit,
lendir, insang, dan saluran usus, sehingga bakteri dapat menenbus tenunan dan
menyebabkan peningkatan bakteri pada tubuh ikan (Rahayu et al. 1992). Pada
saat pengambilan sampel, daging ikan tenggiri di seluruh tubuh diambil dan
dihomogenkan dengan blender, kemudian sampel diambil secara acak. Bakteri
yang teranalisis pada saat ikan ditangkap berasal dari kulit dan lendir. Selama
proses penanganan sampai tiba di Jakarta, bakteri yang teranalisis berasal dari
daging, insang, lendir, kulit dan saluran pencernaan ikan tenggiri.
4.2.3 Hasil pengamatan parameter kesegaran ikan secara keseluruhan
Tingkat kesegaran ikan dapat ditentukan antara lain dengan pemeriksaan
secara subyektif dan obyektif. Pemeriksaan secara subyektif, yaitu pemeriksaan
secara organoleptik menggunakan panca indera manusia. Pemeriksaan secara
obyektif, yaitu pemeriksaan secara mikrobiologis dan kimiawi menggunakan
analisis di laboratorium. Pemeriksaan secara mikrobiologis dapat dilakukan
dengan menghitung jumlah bakteri yang ditumbuhkan pada media agar sehingga
dapat dilihat banyaknya bakteri yang ada pada ikan selama proses penanganan,
sedangkan pemeriksaan secara kimiawi dapat dilakukan dengan menghitung nilai
pH, TVB dan TPC ikan tenggiri yang digunakan dalam penelitian. Hasil
pengamatan seluruh parameter kesegaran ikan dapat dilihat pada Tabel 6. Hasil
pengamatan dari seluruh parameter kesegaran ikan yang telah dilakukan dapat
memberikan informasi mengenai tingkat kesegaran ikan tenggiri dengan metode
penanganan dari nelayan dan peneliti selama proses penanganan sejak ikan
ditangkap, tiba di darat, pengumpul, saat akan berangkat ke Jakarta dan ketika
sampai di Jakarta.
Tabel 6. Hasil pengamatan seluruh parameter kesegaran ikan
Proses penanganan
Metode Penanganan
Nelayan Keterangan Peneliti Keterangan
Organoleptik pH TVB Log TPC
Organoleptik pH TVB TPC
Saat ditangkap
9 6,28 21,86 3,32 Segar, bagus dan masih bisa dikonsumsi
9 6,28 21,86 3,32 Segar, bagus dan masih bisa dikonsumsi
Saat tiba di darat
8 6,38 23,94 3,65 Segar, bagus dan masih bisa dikonsumsi
8 6,41 22,44 3,52 Segar, bagus dan masih bisa dikonsumsi
Pengumpul 8 6,36 24,04 3,68 Segar, bagus dan masih bisa dikonsumsi
8 6,35 23,16 3,40 Segar, bagus dan masih bisa dikonsumsi
Saat akan berangkat ke Jakarta
7 6,45 24,77 4,33 Segar, bagus dan masih bisa dikonsumsi
7 6,19 23,72 4,06 Segar, bagus dan masih bisa dikonsumsi
Saat tiba di Jakarta
5 6,56 24,28 4,67 Agak segar, bagus dan masih bisa dikonsumsi
6 6,16 23,40 4,29 Agak segar, bagus dan masih bisa dikonsumsi
Berdasarkan Tabel 6 dapat disimpulkan bahwa ikan tenggiri yang
ditangkap di perairan Kecamatan Manggar, Kabupaten Belitung Timur selama
proses penanganan sejak ikan ditangkap sampai tiba di Jakarta menggunakan
metode penanganan dari nelayan dan peneliti, secara keseluruhan memiliki
karakteristik mutu yang masih agak segar dan masih bisa dikonsumsi. Perbedaan
penggunaan es yang digunakan nelayan dan peneliti sebagai metode penanganan
tidak mempengaruhi kesegaran ikan tenggiri, sehingga dapat dikatakan bahwa
metode penanganan hasil tangkapan yang digunakan oleh nelayan Kecamatan
Manggar sudah tergolong baik.
Persyaratan mutu ikan segar minimal memiliki nilai organoleptik sebesar 7
(SNI 31-2729-2006). Nilai organoleptik rata-rata ikan tenggiri setelah tiba di
Jakarta adalah 5 (nelayan) dan 6 (peneliti). Hal ini berarti bahwa nilai
organoleptik yang diperoleh selama penelitian masih berada di bawah nilai
organoleptik yang dispesifikasi oleh SNI, sehingga perlu dilakukan perbaikan
dalam metode penanganan. Ikan mengalami penyimpanan cukup lama (± 28 jam)
saat akan dikirim ke Jakarta dan penggantian es dilakukan dalam waktu tertentu
saja. Periode waktu penggantian es dan pembuangan sisa lelehan es perlu
ditingkatkan agar kesegaran ikan dapat dipertahankan lebih lama.
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Tingkat kemunduran mutu ikan tenggiri yang ditangkap oleh nelayan
Kecamatan Manggar, Kabupaten Belitung Timur menggunakan jaring gillnet
(insang) tergolong masih kecil. Metode penanganan yang digunakan oleh nelayan
adalah metode pendinginan chilled sea water (CSW) yaitu ikan didinginkan
dengan air laut bercampur es.
Perlakuan metode penanganan nelayan dan peneliti saat ikan baru
ditangkap adalah sama dari nilai organoleptik yaitu 9; kadar air 75,38 %; kadar
lemak 1,03 %; kadar protein 20,19 %; kadar abu 1,54 %; pH 6,28;
TVB 21,86 mg N/100 g; dan log TPC 3,32 CFU/ml. Perlakuan metode
penanganan nelayan dan peneliti saat ikan tiba di Jakarta berturut-turut
menunjukkan nilai organoleptik yaitu 5 dan 6; kadar air 76,36 % dan 76,49 %;
kadar lemak 0,79 % dan 0,90 %; kadar protein 18,73 % dan 19,23 %; kadar abu
1,46 % dan 1,38 %; nilai pH 6,56 dan 6,16; TVB 24,28 mg N/100 g dan
23,40 mg N/100 g; serta log TPC sebesar 4,67 CFU/ml dan 4,29 CFU/ml. Metode
penanganan yang digunakan oleh nelayan dan peneliti menunjukkan kualitas
(mutu) ikan yang masih tergolong agak segar dan masih dapat dikonsumsi setelah
diuji baik secara organoleptik, kimia, dan mikrobiologis.
Menurut analisis ragam diketahui bahwa perlakuan metode penanganan
berpengaruh nyata terhadap nilai organoleptik mata, insang, daging dan perut,
serta konsistensi, dan tidak berpengaruh nyata terhadap nilai pH, TVB dan TPC
ikan tenggiri. Proses penanganan sejak ikan ditangkap sampai tiba di Jakarta
berpengaruh nyata terhadap nilai organoleptik, serta TPC ikan tenggiri, tetapi
tidak berpengaruh nyata terhadap nilai pH, serta TVB. Menurut uji t diketahui
bahwa metode dan proses penanganan untuk metode nelayan dan peneliti
berpengaruh nyata terhadap kadar air dan protein, serta tidak berpengaruh nyata
terhadap kadar lemak dan abu ikan tenggiri.
5.2 Saran
Penentuan karakteristik mutu ikan ekonomis penting lain di daerah Belitung
Timur perlu dilakukan dengan musim dan daerah penangkapan yang sama selama
proses penanganan oleh nelayan, baik menggunakan alat tangkap jaring maupun
pancing. Penerapan rantai dingin dalam setiap proses penanganan perlu dilakukan
agar kesegaran ikan dapat dipertahankan lebih lama.
DAFTAR PUSTAKA
Adawyah R. 2006. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Jakarta: Bumi Aksara. Anggawati AM. 1993 Penanganan Ikan Laut Segar. Kumpulan Hasil-Hasil
Penelitian Pasca Panen Perikanan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan.
Anonim. 1983. Proseding Rakernis Perikanan Tuna dan Cakalang. Jakarta: Pusat
dan Pengembangan Pertanian. Badan Peneliti dan Pengembangan Perikanan. Departemen Pertanian.
. 1985. Kumpulan Standar Mutu Hasil Perikanan. Direktorat Jendral
Perikanan. Jakarta: Departemen Pertanian.
. 1988. Petunjuk Praktek Penanganan dan Transportasi Ikan Segar. Direktorat Jenderal Perikanan. Jakarta: Departemen Pertanian. . 2003. Food safety guidelines for inshore fishing vessels. http://www. food safety guidelines.html. [23 Januari 2008]. . 2007a. Tenggiri. http://images.google.co.id/imgres?imgurl=. [27 Februari 2008].
. 2007b. Deskripsi kategori spesies pelagis besar. http://www.pipp.dkp.go.id/pipp2/sdi_index.html. [27 Februari 2008].
[AOAC] Association of Official Analytical Chemyst. 1995. Official Method of
Analysis. USA: Published by The Association of Official Analytical Chemyst Inc.
Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Sedarnawati, Budiyanto S. 1989.
Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor.
Batubara HMP. 1989. Manajemen pengusaha perikanan tuna suatu pengalaman
usaha PT Perikanan Samudra Besar. Di dalam: Himpunan Makalah Lokakarya Perikanan Tuna. Warta Mina. Direktorat Jenderal Perikanan. Jakarta: Departemen Pertanian.
Ben-gigirey B, Sousa JMVB, Villa J, Barros-velazques. 1999. Chemical changes
and visual appearance of albacore tuna as related to frozen storage. J Food Sci 64(1): 20-24.
[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2006. Standar Nasional Indonesia 01-2346.
Uji Organoleptik Ikan Segar. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional Indonesia.
. 2006. Standar Nasional Indonesia 01-2729. Ikan Segar. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional Indonesia.
Certel M, Ertugay MF. 1996. Gidalarda su aktivitesi termodinamigi. Gida 21:
193-198. Chang CC, Regenstein JM. 1997. Textural changes and functional properties of
cod mince protein as affected by kidney tissue and cryoprotectans. J Food Sci 62: 299-304.
Daramola JA, Fasakin EA, Adeparusi EO. 2007. Changes in physicochemical and
sensory characteristics of smoke dried fish spesies stored at ambient temperature. Ajfand Vol.7(6).
Departemen Kelautan dan Perikanan. 2006. Panduan jenis-jenis penangkapan
ikan ramah lingkungan Vol I. www.dkp.com. [10 November 2008]. [DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan. 2005a. Potensi Kelautan dan Perikanan
Kabupaten Belitung Tahun 2005. Pemerintah Kabupaten Belitung Timur.
. 2005b. Penanganan ikan segar. www.dkp.com. [2 November 2008].
[FAO] Food and Agriculture Organization. 1992. Ice in Fisheries. Di dalam:
Graham J, Johnston WA, Nicholson FJ, editor. Roma: FAO Fisheries Technical Paper No 331. 75pp.
. 1995a. Quality and Quality Changes in Fresh Fish. Di dalam: Huss HH, editor. Roma: FAO Fisheries Technical Paper 331: 0-65.
. 1995b. Introduction of Chilled
Seawater (CSW) Holding Systems for The Lampara Fleet. Di dalam: Medina PAF, Ben AA, editor. Technical Briefing Notes. Roma: FAO Fisheries Technical Paper 27.
Farber L. 1965. Freshness test. Di dalam: Borgstorm G, editor. Fish as Food Vol
IV. New York: Academic Press. Fardiaz S. 1987. Penuntun Praktek Mikrobiologi Pangan. Bogor: LSI-IPB. Fennema OR. 1996. Food Chemistry. New York: Marcel Dekker, Inc. Hadiwiyoto S. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Jilid 1. Jakarta:
Penerbit Liberty. Heruwati ES. 2002. Pengolahan ikan secara tradisional: prospek dan peluang
pengembangan. Jurnal Litbang Pertanian 21(3): 92-99.
Hidayat D. 2004. Evaluasi dan identifikasi tingkat kemunduran mutu hasil perikanan tangkap ikan belanak (Mugil spp) (studi kasus di Muara Angke Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara). [skripsi]. Bogor: Departemen Teknologi Hasil Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Huss HH. 1988. Fresh Fish Quality and Quality Changes. Roma: FAO Fisheries
Series, No. 29, 132 pp Huss HH. 1995. Quality and Quality Changes in Fresh Fish. Roma: Food and
Agriculture Organization of United Nation. Ilyas S. 1972 Pengantar Pengolahan Ikan. Lembaga Teknologi Perikanan.
Jakarta: Direktorat Jenderal Perikanan.
. 1983. Teknologi Refrigerasi Hasil Perikanan. Jilid 1. Jakarta: CV Paripurna.
Irawan A. 1995. Pengawetan Ikan dan Hasil Perikanan. Solo: Penerbit Aneka. Jeyasekaran G, Ganesan P, Anandaraj R, Shakila JR, Sukumar D. 2006. Effect of
pre-chilling on the shelf-life and quality of silver pomfret (Pampus argenteus) stored in dry ice and wet ice. American J Food Tech American 1 (2): 117-128.
Jogiyanto HM. 2008. Metodologi Penelitian Sistem Informasi: Pedoman dan
Contoh Melakukan Penelitian di Bidang Sistem Teknologi Informasi. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Junianto. 2003. Teknik Penanganan Ikan. Jakarta: Penebar Swadaya. Kyrana WR, Laugovis VP, Valsamis DS. 1997. Assessment of shelf-life of
maricultured gilthead sea bram (Sparus aurata) stored in ice. J Food Sci. Technol 32: 339-347.
Kose S. 2003. An investigation of quality in anchovy (Engraulis encrasicolus)
stored at different temperatures. Turk J Vet Anim Sci 28: 575-582. Kose S, Erdem ME. 2001. Quality changes of whiting (Merlangius merlangus
euxinus, N. 1840) stored at ambient and refrigerated temperatures. J Fish Aquat Sci 1: 59-65.
Ludorff W, Meyer V. 1973. Fische Und Fischerzeugnisse. Paul Parey Verlag.
Hamburg-Berlin 95 (111): 176-269. Martasuganda S. 2004. Jaring Insang (Gillnet). Bogor: Program Studi
Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Institut Pertanian Bogor.
Matjik AA, Sumertajaya M. 2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab Jilid 1. Bogor: IPB Press.
Mazorra-Manzano MA, Aquilar RP, Rojas EID, Sanchez MEL. 2000.
Postmortem changes in black skipjack muscle during storage in ice. J Food Sci 65 (5): 774-779.
Metin S, Erkan N, Varlik C. 2001. The application of hypoxanthine activity as a
quality indicator of cold stored fish burgers. Turk J Vet Anim Sci 26: 363-367.
Moeljanto. 1992. Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Jakarta:
Penebar Swadaya. Murdiyanto B. 2002. Pelabuhan perikanan: fungsi, fasilitas, panduan operasional
dan antrian kapal. Bogor: Jurusan Pemanfaatan Hasil Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Murniyati AS, Sunarman. 2000. Pendinginan, Pembekuan dan Pengawetan Ikan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Mutakin, J. 2001. Analisis potensi dan musim penangkapan iIkan tenggiri
(Scomberomorus spp.) di Pangandaran Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Nasran S. 1972. Handling ikan basah. Di dalam: Ikan Basah: Cara-cara
Handling dan Sarana-sarana yang Diperlukan. Prociding Petunjuk praktis dalam Handling. Jakarta: Lembaga Teknologi Perikanan.
Nogueras SB, Bover-Cid S, Veciana-Nogues T, Vidal-Carou MC. 2002.
Chemical and sensory changes in Mediterranean Hake (Merluccius merluccius) under refrigeration (6-8 oC) and stored in ice. J Agric Food Chem 50: 6504-6510.
Rahayu WP, Ma’oen S, Suliantri Fardiaz S. 1992. Teknologi Fermentasi Produk
Perikanan. Bogor: PAU Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Rehbein H, Oehlenschlager J. 1982. Zur zusammensetzug der tvb-n fraktion
(fluchtige basen) in sauren extrakten und alkalischen destilaten von seefischfilet. Archiv Fur Lebensmittelhygiene 33: 44-48.
Robb D. 2002. The Killing of Quality: The Impact of Slaughter Procedures on
Fish Flesh. Di dalam: Alasalvar C dan Taylor T, editor: Seafood-Quality, Technology and Nutraceutical Applications. New York: Springer. hlm 7-10.
Saanin H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Vol I dan II. Bandung : Binacipta. 508 hal.
Saeed S, Howell NK. 2004. Rheological and differential scanning calorimetry
studies on structural and textural changes in frozen Atlantic mackerel (Scomber scombrus). J Sci Food Agric 84: 1216-1222.
Saragih BS. 1998. Aplikasi pengawetan ikan segar dan olahan dengan preparat
biji atung. [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Schormőller J. 1968. Handbuch Der Lebensmittel Chemie. Band III/2 Teil.
Tierische Lebensmittel Eier, Fleisch, Buttermilch. Springer. Verlag. Berlin-Heidelberg-New York : 1341-1397.
Sengör GF. 2001. The determination of microbial flora, water activity and
chemical analyses in smoked, canned mussels (Mytilus galloprovincialis, L.). Turk J Vet Anim Sci 28: 793-797.
Sikorski Z. 1990. Resources and their availability. Di dalam: Zikorski Z, editor.
Seafood: Resources, nutritional composition and preservation. Boca Raton: CRC Press Inc. p 39.
Soekarto ST. 1990. Dasar-dasar Pengenalan Standardisasi Mutu Pangan.
Bogor: IPB Press. Stansby ME. 1963. Industrial Fishery Technology. London: Reinhold Publ. Co
Chapman and Hall Ltd. Steel RGD, Torrie JH. 1989. Prinsip dan Prosedur Statistika. Suatu Pendekatan
Biometrik. Sumantri B, penerjemah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Terjemahan dari: The Principle and Procedure of Statistics. A Biometrics Approach.
Sufianto B. 2004. Kemunduran mutu ikan patin (Pangasius hypopthalmus) segar
selama penyimpanan suhu ruang [skripsi]. Departemen Teknologi Hasil Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor
Suriawiria U. 2002. Omega 3 ikan mengurangi sakit jantung. http
://www.suaramerdeka.com/harian/0210/28/ragam1.htm. [23 Agustus 2006].
Suryawan AG. 2004. Karakteristik perubahan mutu ikan selama penanganan
oleh nelayan tradisional dengan jaring rampus (studi kasus di Kaliadem, Muara Angke, DKI Jakarta. [skripsi]. Bogor: Departemen Teknologi Hasil Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Suvanich V, Jahncke ML, Marshall DL. 2000. Changes in selected chemical quality characteristics of channel catfish frame mince during chill and frozen storage. J Food Sci 65 (1): 24-29.
Tokur B, Polat A, Beklevik G, Ozkutuk S. 2004. The quality changes of tilapia
(Oreochromis niloticus) burger during frozen storage. European Food Research and Technology 218 (5): 420-423.
Tokur B, Cakli S, Polat A. 2006. The quality changes of trout (Oncorhynchus
mykiss W., 1972) with a vegetable topping during frozen storage (-18 oC). J Fisheries and Aquatic Sci 23 (3-4): 345-350.
Walpole. 1975. Pengantar Statistik. Sumantri B, penerjemah. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama. Terjemahan dari: The Introduction of Statistics. Winarno FG, Fardiaz D, Fardiaz S. 1981. Pengantar Teknologi Pangan. Jakarta:
PT Gramedia Indonesia. Winarno FG. 1991. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama. Yunizal, Wibowo S. 1998. Penanganan Ikan Segar. Jakarta: Instalasi Penelitian
Perikanan Laut Slipi. Zen JM, Lai YY, Yang YY, Kumar AS. 2002. Multianalyte sensor for the
simultaneous determination of hipoxanthine, xanthine and uric acid based on a preanodezed nontronite-coated screen-printed electrode. Journal Sensor and Actuators B: 237-244.
Lampiran 1. Contoh kuesioner untuk nelayan / pemilik kapal
KUESIONER PENELITIAN KARAKTERISTIK MUTU IKAN TENGGIRI DI KECAMATAN
MANGGAR, KABUPATEN BELITUNG TIMUR
Jenis responden : Nelayan / pemilik kapal Tanggal wawancara : ……………………….. A. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama : ………………………… 2. Umur : ………………………… B. INFORMASI UMUM 1. Lama bekerja menjadi nelayan : ………………………. 2. Lama bekerja di pemilik kapal : ………………………. a. Jenis kapal : ........................................... b. Jumlah perahu yang dimiliki : ........................................... c. Kapasitas/volume palka perahu : ........................................... < 5 GT 5 – 10 GT > 10 GT d. Daerah operasi penangkapan : < 25 mil dari pantai 25 – 50 mil dari pantai > 50 mil dari pantai C. INFORMASI KHUSUS 1. Sistem penanganan di kapal : a. Teknologi yang digunakan Penggunaan es Penambahan garam Lainnya : ......................................................... b. Bila digunakan es, darimana didapatkan dan jumlah rata-rata yang
dibawa kapal untuk sekali berangkat : Membeli dari : ..................(nama perusahaan), jumlah : .......kg Milik sendiri : ..................(nama perusahaan), jumlah : .......kg c. Wadah yang digunakan selama penangkapan di kapal, adalah Keranjang Gentong plastik Lainnya .............................. d. Alat tangkap yang digunakan di kapal : Perangkap atau bubu Jaring Pancing Lainnya ............................. e. Bila menggunakan jaring, sebutkan jenis jaring ...............
2. Berapa jam waktu yang dibutuhkan nelayan untuk melaut dalam sehari, ● Dari pukul : ........................... sampai dengan ........................... 3. Penanganan ikan di atas kapal ► Pencucian ● Dicuci dengan air ? Air bersih Air kolam pelabuhan Air sungai ● Apa saja yang dibersihkan ? ● Apakah para ABK mengetahui cara pembersihan ikan yang baik dan
benar ? 4. Bagaimana sanitasi di kapal ? a. Pembersihan geladak kapal setelah dipakai mencuci dan menyortir,
menggunanakan : Air bersih Air dan sabun Desinfektan Lainnya ..........................................
b. Pembersihan dasar palkah dari genangan bekas lelehan es, menggunakan ?
Lampiran 2. Score sheet uji organoleptik ikan segar (SNI-01-2346-2006)
Nama Panelis : …………………………………….. Tanggal : …………………………………….. Cantumkan kode contoh pada kolom yang tersedia sebelum melakukan pengujian Berilah tanda √ pada nilai yang dipilih sesuai dengan kode sampel yang diuji.
SPESIFIKASI
Nilai
KODE CONTOH ...
Tgl Pengamatan :
Jam ke-
2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22
1. MATA
* Cerah, bola mata menonjol, kornea jernih 9
* Cerah, bola mata rata, kornea jernih 8
* Agak cerah, bola mata rata, pupil agak keabu-abuan, kornea agak keruh 7
* Bola mata agak cekung, pupil berubah keabu-abuan, kornea agak keruh 6
* Bola mata agak cekung, pupil keabu-abuan, kornea agak keruh 5
* Bola mata cekung, pupil putih susu, kornea keruh 3
* Bola mata sangat cekung, kornea agak kuning. 1
2. INSANG * Warna cerah cemerlang, tanpa lendir 9 * Warna merah kurang cemerlang tanpa lendir 8
* Warna agak kusam, tanpa lendir 7
* Merah agak kusam, sedikit lendir 6
* Mulai ada perubahan warna, merah kecoklatan, sedikit lendir, tanpa lendir 5
* Warna merah coklat lendir tebal 3
* Warna merah coklat ada sedikit putih, lendir tebal 1
3. LENDIR PERMUKAAN BADAN * Lapisan lendir jernih, transparan, mengkilat cerah. 9
* Lapisan lendir jernih, transparan, cerah, belum ada perubahan warna. 8
* Lapisan lendir mulai agak keruh, warna agak putih, kurang transparan. 7
* Lapisan lendir mulai keruh, warna putih agak kusam, kurang transparan 6
* Lendir tebal menggumpal, mulai berubah warna putih, keruh 5
* Lendir tebal menggumpal, berwarna putih kuning 3
* Lendir tebal menggumpal, warna kuning kecoklatan 1
4. DAGING ( WARNA DAN KENAMPAKAN) * Sayatan daging sangat cemerlang, spesifik jenis, tidak ada pemerahan sepanjang tulang belakang, dinding perut daging utuh 9
* Sayatan daging cemerlang spesifik jenis, tidak ada pemerahan sepanjang tulang belakang, dinding perut utuh 8
* Sayatan daging sedikit kurang cemerlang, spesifik jenis, tidak ada pemerahan sepanjang tulang belakang, dinding perut daging utuh. 7
* Sayatan daging masih cemerlang, agak kemerahan pada tulang belakang, dinding perut agak lembek, sedikit bau susu 5
* Sayatan daging mulai pudar, banyak kemerahan pada tulang belakang, dinding perut lembek, bau segar seperti susu 4
* Sayatan daging kusam, warna merah jelas sekali sepanjang tulang belakang, dinding perut lunak 3
* Sayatan daging kusam sekali, warna merah jelas sekali sepanjang tulang belakang, dinding perut sangat lunak 1
5. BAU
* Bau sangat segar, spesifik jenis 9
* Segar, spesifik jenis 8
* Netral 7
* Bau amoniak mulai tercium, sedikit bau asam 5
* Bau amoniak kuat, ada bau H2S, bau asam jelas dan busuk 3
* Bau busuk jelas 1
6. TEKSTUR
* Padat, elastis bila ditekan dengan jari, sulit menyobek daging dari tulang belakang 9
* Agak padat, elastis bila ditekan dengan jari, sulit menyobek daging dari tulang belakang 8
* Agak padat, agak elastis bila ditekan dengan jari, sulit menyobek daging dari tulang belakang 7
* Agak lunak, kurang elastis bila ditekan dengan jari, agak mudah menyobek daging dari tulang belakang 5
* Lunak, bekas jari terlihat bila ditekan, mudah menyobek daging dari tulang belakang 3
* Sangat lunak, bekas jari tidak hilang bila ditekan, mudah sekali menyobek daging dari tulang belakang 1
Lampiran 3. Hasil uji organoleptik ikan tenggiri ulangan 1 selama proses penanganan
Proses Penanganan
Spesifikasi
Nilai organoleptik untuk panelis ke- Nelayan Peneliti
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
P1 (saat ikan ditangkap)
1. Mata 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 2. Insang 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 3. Daging dan perut 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 4. Konsistensi 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9
P2 (saat ikan tiba
di darat)
1. Mata 8 8 8 8 8 9 8 9 8 9 2. Insang 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 3. Daging dan perut 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 4. Konsistensi 7 8 7 8 7 8 8 8 8 8
P3 (tiba di
pengumpul)
1. Mata 8 8 8 8 8 9 8 9 8 8 2. Insang 8 7 7 7 8 8 8 8 7 8 3. Daging dan perut 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 4. Konsistensi 7 8 7 7 7 8 8 8 8 8
P4 (saat akan
berangkat ke Jakarta)
1. Mata 8 8 8 8 8 9 8 9 8 8 2. Insang 6 6 6 6 7 7 7 8 7 7 3. Daging dan perut 5 5 5 7 5 7 7 7 7 7 4. Konsistensi 7 7 7 7 7 7 8 7 8 8
P5 (saat tiba di
Jakarta)
1. Mata 8 7 7 8 7 8 8 9 8 8 2. Insang 3 2 3 2 3 3 3 3 3 3 3. Daging dan perut 4 4 4 5 4 7 7 5 7 7 4. Konsistensi 6 6 6 6 4 6 8 6 8 8
Lampiran 4. Hasil uji organoleptik ikan tenggiri ulangan 2 selama proses penanganan
Proses Penanganan
Spesifikasi
Nilai organoleptik untuk panelis ke- Nelayan Peneliti
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
P1 (saat ikan ditangkap)
1. Mata 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 2. Insang 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 3. Daging dan perut 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 4. Konsistensi 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9
P2 (saat ikan tiba
di darat)
1. Mata 8 8 8 8 8 9 8 9 8 9 2. Insang 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 3. Daging dan perut 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 4. Konsistensi 7 8 7 8 7 8 8 8 8 8
P3 (tiba di
pengumpul)
1. Mata 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 2. Insang 8 7 7 7 7 8 8 8 8 8 3. Daging dan perut 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 4. Konsistensi 7 7 7 7 7 8 8 8 8 8
P4 (saat akan
berangkat ke Jakarta)
1. Mata 7 6 7 7 7 7 8 7 7 7 2. Insang 6 6 7 6 6 7 7 7 7 7 3. Daging dan perut 7 5 7 7 5 7 8 7 7 7 4. Konsistensi 7 6 6 6 6 7 8 8 7 8
P5 (saat tiba di
Jakarta)
1. Mata 7 6 7 7 7 7 8 7 6 6 2. Insang 1 4 7 6 6 6 7 7 6 6 3. Daging dan perut 7 3 7 7 5 7 8 7 7 7 4. Konsistensi 7 4 6 6 6 7 8 8 7 8
Lampiran 5. Hasil uji Kruskal-Wallis nilai organoleptik ikan tenggiri terhadap perlakuan metode dan proses penanganan
Mata Insang Daging dan
Perut Konsistensi X2 hitung 64,998 87,293 93,722 82,984
Derajat bebas 9 9 9 9 Signifikan 0,000* 0,000* 0,000* 0,000*
Keterangan: Superscript menunjukkan berbeda nyata Lampiran 6. Hasil uji Kruskal-Wallis organoleptik mata
Kadar air Jumlah kuadrat
Derajat bebas
Kuadrat tengah
F hitung
Signifikan
Metode penanganan 2,560 1 2,560 9,071 0,003* Proses penanganan 34,640 4 8,660 30,685 0,000* Metode dan proses penanganan
1,040 4 0,260 0,921 0,455
Galat 25,400 90 0,282 Total 63,640 99
Keterangan: Superscript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata Lampiran 7. Hasil uji lanjut Multiple Comparisons pengaruh proses penanganan
terhadap nilai organoleptik mata
Proses Penanganan N α = 0,05
1 2 3 Saat tiba di Jakarta 20 7.30 Saat akan berangkat ke Jakarta
20 7.60
Pengumpul 20 8.10 Ikan tiba di darat 20 8.30 Saat ikan ditangkap 20 9.00
Lampiran 8. Hasil uji Kruskal-Wallis organoleptik insang
Kadar air Jumlah kuadrat
Derajat bebas
Kuadrat tengah
F hitung
Signifikan
Metode penanganan 6,250 1 6,250 7,845 0,006* Proses penanganan 205,240 4 51,310 64,406 0,000* Metode dan proses penanganan
4,600 4 1,150 1,444 0,226
Galat 71,700 90 0,797 Total 287,790 99
Keterangan: Superscript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata
Lampiran 9. Hasil uji lanjut Multiple Comparisons pengaruh proses penanganan terhadap nilai organoleptik insang
Proses Penanganan N α = 0,05
1 2 3 Saat tiba di Jakarta 20 4.20 Saat akan berangkat ke Jakarta
20 6.65
Pengumpul 20 7.60 Saat ikan ditangkap 20 8.00 Ikan tiba di darat 20 8.00
Lampiran 10. Hasil uji Kruskal-Wallis organoleptik daging dan perut Kadar air Jumlah
kuadrat Derajat bebas
Kuadrat tengah
F hitung
Signifikan
Metode penanganan 10,240 1 10,240 26,034 0,000* Proses penanganan 125,060 4 31,265 79,487 0,000* Metode dan proses penanganan
16,260 4 4,065 10,335 0,000*
Galat 35,400 90 0,393 Total 186,960 99
Keterangan: Superscript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata Lampiran 11. Hasil uji lanjut Multiple Comparisons pengaruh interaksi metode
dan proses penanganan terhadap nilai organoleptik daging dan perut
Perlakuan N α = 0,05 1 2 3 4 5
Nelayan ; P5 10 5,00 Nelayan ; P4 10 5,80
Peneliti ; P5 10 6,90
Peneliti ; P4 10 7,10
Nelayan ; P2 10 8,00
Nelayan ; P3 10 8,00
Peneliti ; P2 10 8,00
Peneliti ; P3 10 8,00
Nelayan ; P1 10 9,00
Peneliti ; P1 10 9,00
Lampiran 12. Hasil uji Kruskal-Wallis organoleptik konsistensi
Kadar air Jumlah kuadrat
Derajat bebas
Kuadrat tengah
F hitung
Signifikan
Metode penanganan 17,640 1 17,640 70,248 0,000* Proses penanganan 66,460 4 16,615 66,166 0,000* Metode dan proses penanganan
7,660 4 1,915 7,626 0,000*
Galat 22,600 90 0,251 Total 114,360 99
Keterangan: Superscript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata
Lampiran 13. Hasil uji lanjut Multiple Comparisons pengaruh interaksi metode dan proses penanganan terhadap nilai organoleptik konsistensi
Perlakuan N α = 0,05 1 2 3 4 5 6
Nelayan ; P5 10 5,70 Nelayan ; P4 10 6,60 Nelayan ; P3 10 7,10 Nelayan ; P2 10 7,40 7,40 Peneliti ; P5 10 7,40 7,40 Peneliti ; P4 10 7,60 7,60 Peneliti ; P2 10 8,00 Peneliti ; P3 10 8,00 Nelayan ; P1 10 9,00 Peneliti ; P1 10 9,00
Lampiran 14. Hasil uji normalitas analisis proksimat selama proses penanganan
Proksimat
Kolmogorov-Smirnov Statistik Derajat bebas Signifikan
Kadar air 0,269 8 0,092 Kadar lemak 0,251 8 0,148 Kadar protein
0,273 8 0,08
Kadar abu 0,285 8 0,054 Keterangan: data menyebar normal yaitu signifikan > 0,0
Lampiran 15. Hasil uji t kadar air untuk metode penanganan saat ikan tiba di
Jakarta
Perbedaan berhubungan t Derajat bebas
Signifikan Rata-rata Standar
deviasi Metode penanganan-kadar air
-74,92625
0,58682 -255,364
3 0,000*
Keterangan: Superscript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata
Lampiran 16. Hasil uji t kadar air saat proses penanganan oleh nelayan
Perbedaan berhubungan t Derajat bebas
Signifikan Rata-rata Standar
deviasi Proses penanganan-kadar air
-74,37125 0,20762 -716,415
3 0,000*
Keterangan: Superscript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata Lampiran 17. Hasil uji t kadar air saat proses penanganan oleh peneliti
Perbedaan berhubungan t Derajat bebas
Signifikan Rata-rata Standar
deviasi Proses penanganan-kadar air
-74,4375 0,25234 -589,980
3 0,000*
Keterangan: Superscript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata Lampiran 18. Kadar lemak ikan tenggiri sejak ditangkap sampai tiba di Jakarta
Kadar Ulangan
Nelayan Peneliti (ikan : es = 1:1) Basis Basah (%) Basis Kering (%) Basis Basah (%) Basis Kering (%)
Ikan ditangkap
Tiba di
Jakarta Ikan
ditangkap
Tiba di
Jakarta Ikan
ditangkap
Tiba di
Jakarta Ikan
ditangkap
Tiba di
Jakarta
Lemak 1 1,22 0,36 4,73 1,56 1,22 0,93 4,73 3,96
2 0,85 1,23 3,44 5,15 0,85 0,88 3,44 3,79
Rataan 1,035 0,795 4,085 3,355 1,035 0,905 4,085 3,875
Lampiran 19. Hasil uji t kadar lemak untuk metode penanganan
Perbedaan berhubungan t Derajat bebas
Signifikan Rata-rata Standar
deviasi Metode penanganan-kadar lemak
0,65 0,62498 2,080 3 0,129
Keterangan: Superscript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata Lampiran 20. Hasil uji t kadar lemak saat proses penanganan oleh nelayan
Perbedaan berhubungan t Derajat bebas
Signifikan Rata-rata Standar
deviasi Proses penanganan-kadar lemak
0,585 0,81333 -0,70918
3 0,246
Keterangan: Superscript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata
Lampiran 21. Hasil uji t kadar lemak saat proses penanganan oleh peneliti
Perbedaan berhubungan t Derajat bebas
Signifikan Rata-rata Standar
deviasi Proses penanganan-kadar lemak
0,53 0,66998 1,582 3 0,212
Keterangan: Superscript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata Lampiran 22. Kadar protein ikan tenggiri sejak ditangkap sampai tiba di Jakarta
Kadar Ulangan
Nelayan Peneliti (ikan : es = 1:1)
Basis Basah (%) Basis Kering (%) Basis Basah (%) Basis Kering (%)
Ikan ditangkap
Tiba di
Jakarta Ikan
ditangkap
Tiba di
Jakarta Ikan
ditangkap
Tiba di
Jakarta Ikan
ditangkap
Tiba di
Jakarta
Protein 1 19,47 19,17 79,56 82,01 19,47 19,28 79,56 81,2
2 20,65 18,26 83,60 76,47 20,65 19,18 83,60 82,60
Rataan 20,06 18,715 81,58 79,24 20,06 19,23 81,58 81,9
Lampiran 23. Hasil uji t kadar protein untuk metode penanganan
Perbedaan berhubungan t Derajat bebas
Signifikan Rata-rata Standar
deviasi Metode penanganan-kadar protein
-17,4725 0,467 -74,828 3 0,000*
Keterangan: Superscript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata
Lampiran 24. Hasil uji t kadar protein saat proses penanganan oleh nelayan
Perbedaan berhubungan t Derajat bebas
Signifikan Rata-rata Standar
deviasi Proses penanganan-kadar protein
-17,8875 1,48428 -24,103 3 0,000*
Keterangan: Superscript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata Lampiran 25. Hasil uji t kadar protein saat proses penanganan oleh peneliti
Perbedaan berhubungan t Derajat bebas
Signifikan Rata-rata Standar
deviasi Proses penanganan-kadar protein
-18,145 1,13191 -31,233 3 0,000*
Keterangan: Superscript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata
Lampiran 26. Kadar abu ikan tenggiri sejak ikan ditangkap sampai tiba di Jakarta
Kadar Ulangan
Nelayan Peneliti (ikan : es = 1:1)
Basis Basah (%) Basis Kering (%) Basis Basah (%) Basis Kering (%)
Ikan ditangkap
Tiba di
Jakarta Ikan
ditangkap
Tiba di
Jakarta Ikan
ditangkap
Tiba di
Jakarta Ikan
ditangkap
Tiba di
Jakarta
Abu 1 1,74 1,48 7,14 6,34 1,74 2,62 7,14 5,52
2 1,34 1,44 5,43 6,03 1,34 1,45 5,43 6,24
Rataan 1,54 1,46 6,285 6,185 1,54 2,035 6,285 5,88
Lampiran 27. Hasil uji t kadar abu untuk metode penanganan
Perbedaan berhubungan t Derajat bebas
Signifikan Rata-rata Standar
deviasi Metode penanganan-kadar abu
-0,2475 0,53724 -0,921 3 0,425
Keterangan: Superscript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata
Lampiran 28. Hasil uji t kadar abu saat proses penanganan oleh nelayan
Perbedaan berhubungan t Derajat bebas
Signifikan Rata-rata Standar
deviasi Proses penanganan-kadar abu
0,000 0,64477 0,32239 3 1,000
Keterangan: Superscript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata
Lampiran 29. Hasil uji t kadar abu saat proses penanganan oleh peneliti
Perbedaan berhubungan t Derajat bebas
Signifikan Rata-rata Standar
deviasi Proses penanganan-kadar abu
-0,28750 0,58295 -0,986 3 0,397
Keterangan: Superscript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata
Lampiran 30. Nilai pH selama proses penanganan
Metode penanganan Ulangan Proses penanganan
P1 P2 P3 P4 P5
Nelayan 1 6.26 6.24 6.15 6.13 6.38
2 6.31 6.53 6.57 6.77 6.75
Rata-rata 6.285 6.385 6.36 6.45 6.565
Peneliti 1 6.26 6.235 6.155 6.145 6.12
2 6.31 6.59 6.55 6.25 6.21
Rata-rata 6.285 6.4125 6.3525 6.1975 6.165
Keterangan: masing-masing ulangan dilakukan secara duplo
Lampiran 31. Uji normalitas pH selama proses penanganan
pH
Kolmogorov-Smirnov Statistik Derajat bebas Signifikan
Ulangan 1 0,164 10 0,200(*) Ulangan 2 0,255 10 0,064
Keterangan: data menyebar normal yaitu signifikan > 0,05
Lampiran 32. Hasil uji keragaman pH selama proses penanganan
pH Jumlah kuadrat
Derajat bebas
Kuadrat tengah
F hitung
Signifikan
Metode penanganan 0,080 1 0,080 1,438 0,258 Proses penanganan 0,030 4 0,007 0,134 0,966 Metode dan proses penanganan
0,145 4 0,036 0,649 0,640
Galat 0,557 10 0,056 Total 0,811 19
Keterangan: signifikan < 0,05 berarti berpengaruh
Lampiran 33. Nilai TVB selama proses penanganan
Metode penanganan Ulangan Proses penanganan
P1 P2 P3 P4 P5
Nelayan 1 22.2033 23.4365
23.0924
24.2921
24.0348
2 21.5079
24.4468
24.9783
25.2538
24.5255
Rata-rata 21.85561
23.94167
24.03532
24.77296
24.28017
Peneliti 1 22.2033 23.4124
21.5869
23.2591
24.46
2 21.5079 21.4712
24.7312
24.1907
22.3463
Rata-rata 21.85561 22.44179
23.15902
23.72488
23.40313
Keterangan: masing-masing ulangan dilakukan secara duplo
Lampiran 34. Uji normalitas TVB selama proses penanganan
TVB
Kolmogorov-Smirnov Statistik Derajat bebas Signifikan
Nelayan 0,158 10 0,200(*) Peneliti
0,172 10
0,200(*) Keterangan: data menyebar normal yaitu signifikan > 0,05
Lampiran 35. Hasil uji keragaman TVB selama proses penanganan
TVB Jumlah
kuadrat Derajat bebas
Kuadrat tengah
F hitung
Signifikan
Metode penanganan 3,700 1 3,700 2,880 0,121 Proses penanganan 13,476 4 3,369 2,622 0,099 Metode dan proses penanganan
1,185 4 0,296 0,231 0,919
Galat 12,850 10 1,285 Total 31,212 19
Keterangan: signifikan < 0,05 berarti berpengaruh nyata
Lampiran 36. Nilai log TPC selama proses penanganan
Metode penanganan Ulangan Proses penanganan
P1 P2 P3 P4 P5
Nelayan 1 3.949 3.544 3.58 4.322 4.708
2 2.699 3.763 3.785 4.342 4.633
Rata-rata 3.324 3.6535 3.6825 4.332 4.6705
Peneliti 1 3.949 3.69 3.204 4.041 3.591
2 2.699 3.342 3.602 4.079 4.996
Rata-rata 3.324 3.516 3.403 4.06 4.2935
Keterangan: masing-masing ulangan dilakukan secara duplo
Lampiran 37. Uji normalitas log TPC selama proses penanganan
TPC
Kolmogorov-Smirnov Statistik Derajat bebas Signifikan
Ulangan 1 0,151 10 0,200(*) Ulangan 2
0,126 10
0,200(*) Keterangan: data menyebar normal yaitu signifikan > 0,05
Lampiran 38. Hasil uji keragaman log TPC selama proses penanganan
TPC Jumlah kuadrat
Derajat bebas
Kuadrat tengah
F hitung
Signifikan
Metode penanganan 0,227 1 0,227 0,830 0,384 Proses penanganan 3,831 4 0,958 3,498 0,049 Metode dan proses penanganan
0,086 4 0,021 0,078 0,987
Galat 2,738 10 0,274 Total 6,882 19
Keterangan: signifikan < 0,05 berarti berpengaruh nyata
Lampiran 39. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh proses penanganan terhadap log TPC
Proses penanganan N α = 0,05 1 2
P1 (saat ikan ditangkap)
4 3,32400
P2 (saat ikan tiba di darat)
4 3,58475
P3 (tiba di pengumpul)
4 3,54275
P4 (saat akan berangkat ke
Jakarta) 4 4,19600 4,19600
P5 (saat tiba di Jakarta)
4 4,48200