senin, 9 mei 2011 toleransi di persemayaman para dewa filecandi terendam air telaga. antara 1856 dan...

1
Sekitar 90% penduduk sekitar candi adalah muslim dan tidak ada penganut Hindu yang tersisa. Meski demikian, keberadaan Candi Dieng yang sejatinya dianggap tempat kesayangan para dewa Hindu tidak serta-merta hilang. Toleransi di Persemayaman para Dewa LILIEK DHARMAWAN K ABUT putih tipis ber gerak pelan di atas Dieng. Dalam bahasa Sanskerta, nama tempat itu diambil dari kata di (tempat) dan hyang (de- wa) sehingga diartikan sebagai tempat persemayaman para dewa. Beberapa bangunan candi yang berwarna kontras me- nyembul di antara gulungan kabut. Tempat itu memang tak pernah lepas dari kabut karena terletak di ketinggian 2.093 me- ter di atas permukaan laut. Adapun candi-candi itu ialah candi Hindu beraliran Syiwa yang nama-namanya diambil dari cerita Mahabharata. Misal- nya Arjuna, Gatotkaca, Dwara- wati, dan Bima. Candi-candi tersebut disebut yang tertua di Jawa. Letaknya terpencar dalam sebuah area dengan bentuk menyerupai avokad sepanjang 1,8 kilometer dan lebar 800 meter. Menurut ahli-ahli sejarah Indonesia, gaya arsitektur kom- pleks Candi Dieng unik. Candi Bima yang memiliki fondasi 6 meter x 6 meter dan tinggi 8 meter merupakan perpaduan gaya arsitektur India Utara dan India Selatan. Gaya arsitek India Utara tam- pak pada bagian atas yang dise- but dengan sikhara, sedangkan arsitektur India Selatan terlihat dengan adanya hiasan kudu, yakni kepala-kepala dewa yang seolah melongok keluar dari bilik jendela. Sampai hari ini, makna pe- ninggalan itu masih menyi- sakan misteri. Sejarah hanya sempat mencatat bahwa se- masa kejayaan Mataram Kuno, di kawasan Dieng bermunculan sejumlah desa perdikan (yang dibebaskan dari pembayaran upeti). Para warga yang men- diami desa perdikan tersebut beragama Hindu dan bertugas untuk memelihara candi-candi yang ada. Perkembangan selanjutnya, 90% penduduk sekitar candi adalah muslim dan tidak ada penganut Hindu yang tersisa. Meski demikian, keberadaan Candi Dieng yang sejatinya dianggap tempat kesayangan para dewa Hindu tidak serta- merta hilang. “Kami sadar bahwa candi- candi di Dieng merupakan peninggalan kerajaan yang ber- agama Hindu. Namun, kami tidak terpengaruh oleh per- bedaan itu. Sekarang yang memelihara serta merawatnya adalah warga muslim,” gumam Alif, tokoh pemuda di Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur, Banjarnegara, tersebut. Menurut Alif, warga sadar bahwa candi tersebut meru- pakan salah satu mahakarya yang harus dijaga. “Apa pun latar belakang penciptanya,” kata dia. Sikap toleran dan kesan da- mai dalam hidup berdamping- an itu juga yang dikagumi sejumlah wisatawan. Itu me- niupkan kesan positif di tengah maraknya isu perbedaan yang berbuntut konflik horizontal negeri ini. Setelah melihat toleransi warga, beberapa turis Jepang terlihat asyik merekam panora- ma di antara candi dan masjid dalam satu frame. “Kata mereka, masyarakat Dieng amat toleran. Ada candi dan masjid yang berdiri di kawasan itu,” kata Bambang, seorang pemandu yang mener- jemahkan komentar wisatawan ‘Negeri Sakura’ itu. Sejarah Di kawasan Dieng dulunya dikenal seorang pemimpin ber- nama Rakai Kayu Wangi yang kemudian menjadi raja de- ngan gelar Sri Maharaja Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala. Ia memerintah Kerajaan Mataram Kuno pada 855-885. Diduga, Dieng dulunya cu- kup ramai penduduk kemudian sepi dan selama berabad-abad mati sehingga secara alamiah tertutup hutan belantara. Ka- wasan itu disingkap kembali pada 1814, saat seorang tentara Inggris yang berwisata ke dae- rah Dieng melihat sekumpulan candi terendam air telaga. Antara 1856 dan 1864, Van Kinsbergen memimpin upaya pengeringan telaga tempat kumpulan candi tersebut ber- ada, dilanjutkan pencatatan dan pengambilan gambar. Koordinator Museum Kailasa Dieng Alif Rahman mencerita- kan fondasi sekitar candi yang terbuat dari kayu menunjukkan pada masa itu, fondasi tersebut merupakan bekas bangunan yang digunakan sebagai peris- tirahatan oleh para pendeta dan murid-murid. Selain bangun- an tempat peristirahatan, ada jalan dari arah selatan, tepatnya di Desa Siterus, yang disebut Ondho Budho. Dulunya jalan itu dipakai sebagai pintu masuk langsung ke kompleks candi. Setelah masa kejayaan Ma- taram Kuno pudar, sepertinya Dieng mulai ditinggalkan. Ada versi lain keberadaan Dieng yang tertuang dalam kitab Tantu Penggelaran. Buku yang ditulis dalam huruf Jawa pertengahan pada zaman Ma- ASAL USUL ORANG Sunda berguru seni kepada alam. Banyak kesenian yang lahir dari peristiwa alam atau terbuat dari bahan-bahan yang asli berasal dari alam. Salah satu kesenian yang asli alam itu adalah rengkong. Nama rengkong merujuk pada nama alatnya, yakni sebuah pikulan, yang dibebani ikatan padi dengan berat sekitar 25 kilogram. Padi itu diikatkan ke pikulan dengan injuk kawung atau tali ijuk. Saat dibawa dan pemikulnya berjalan, bunyi gesekan ijuk dengan batang pikulan menimbulkan suara yang khas. Bunyinya nyaris menyerupai suara burung rangkong, unggas sejenis angsa. Suara gesekan mirip jerit rangkong ini kemudian disebut rengkong. Rengkong adalah kesenian asli masyarakat Kampung Kandang- sapi, Desa Cisarandi, Kecamatan Warungkondang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. H Sopjan, seorang seniman di wilayah itu adalah orang yang pertama kali menciptakan dan memopulerkan kesenian ini. Kesenian ini muncul pertama kali sekitar 1964. Rengkong adalah seni yang merupakan sari pati tata cara masyarakat Sunda, saat menanam padi sampai menuai. Namun, sebenarnya rengkong sangat dekat dengan kegiatan mengangkut padi, dari sawah atau ladang ke lumbung. Seni ini tercipta puluhan tahun lalu, saat tidak ada alat transpor- tasi untuk mengangkut padi. Petani harus memikul hasil panen dengan pikulan yang terbuat dari bambu. Suara khas yang dihasilkan dari gesekan pikulan dan ijuk juga menjadi hiburan. Itu juga menjadi pengalih perhatian bagi petani yang kelelahan mengangkat beban padi. Masyarakat Sunda juga percaya rengkong adalah ungkapan rasa syukur kepada Tuhan dan Dewi Sri Pohaci atau Dewi Kesuburan. Kini, di beberapa daerah, seperti Banten, Sukabumi, Sumedang, dan Bogor, sering kali setelah panen, warga menggelar pesta adat, yang menyertakan rengkong di dalam urutan acaranya. Dengan rengkong, petani memanjatkan rasa syukur kepada Tuhan karena telah mendapatkan hasil panen yang melimpah. Kini, rengkong telah menjadi salah satu kesenian tradisional Sun- da. Tidak hanya digelar pada pesta adat panen atau seren taun, tapi juga jadi seni yang lazim dipertunjukkan saat hari besar nasional, penyambutan tamu, juga upacara keagamaan dan perkawinan. Seperti musik-musik khas Sunda lainnya, rengkong juga ditun- jang perangkat lain, seperti dogdog dan angklung buncis. Ada juga hatong, alat tiup yang terbuat dari bambu. Pemain rengkong juga khas masyarakat petani di Pasundan. Mereka tampil dengan celana pangsi, baju kampret, ikat kepala, dan tanpa alas kaki. Ada 5-6 pemain yang bermain 1 jam. (EM/N-2) japahit tersebut menyebut- kan Dieng menjadi tempat bersemedinya Bhatara Guru dan tempat memohon kepada Brahmana dan Wisnu supaya memberikan keselamatan bagi penghuni di Jawa. Seluruh dewa akhirnya me- mutuskan bertempat tinggal di situ serta memindahkan Gunung Meru di Negeri Jam- budvipa atau India ke Dieng. Dieng disebut juga sebagai ‘lingga bagi dunia’ yang men- jadi tempat kesayangan bagi para dewata. Sejarah Dieng beserta candi- candinya memang tidak dapat dipastikan kapan didirikan. Apa- lagi dari 22 prasasti yang ada, ha- nya satu prasasti yang mencatat angka tahun 808 Masehi. Menurut Arif, isi prasasti itu memang menggambarkan Dieng sebagai pusat kegiatan religius. Dieng diibaratkan sebagai kailasa atau tempat suci Syiwa, pusat dunia dan tempat bersemayam para arwah. “Namun, sampai sekarang Dieng masih tetap menyim- pan misteri, bagai bermain puzzle yang belum selesai. Dari sekitar 22 prasasti, yang bisa terbaca tinggal satu prasasti. Yang lainnya sudah rusak se- perti prasasti yang tersimpan di museum ini,” ujar pemelihara Candi Dieng dan Museum Kailasa, Tusar, sambil menun- jukkan prasasti yang tulisan Jawa Kuna-nya telah terhapus. (N-3) [email protected] BERDAMPINGAN: Wisatawan asal Jepang melintasi kompleks Candi Arjuna, Dieng, Jawa Tengah (Jateng), yang sejajar dengan masjid warga Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur, Banjarnegara, beberapa waktu lalu. Meski candi tersebut peninggalan Hindu, warga setempat yang mayoritas muslim tetap memeliharanya dengan baik. MI/LILIEK DHARMAWAN k A SAL USUL CANDI ARJUNA: Pengunjung melintas di kompleks Candi Arjuna di kawasan dataran tinggi Dieng, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu. Candi-candi tersebut merupakan peninggalan pada masa Kerajaan Mataram Kuno. MI/LILIEK DHARMAWAN Kesenian Rengkong ANTARA SENIN, 9 MEI 2011 9 N USANTARA ka se jem ‘N Se di na ke ng Ka m Ku ku se m te w pa In ra ca Ki pe ku ad da Di ka te pa m ya tir k s

Upload: duonglien

Post on 14-Apr-2019

216 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: SENIN, 9 MEI 2011 Toleransi di Persemayaman para Dewa filecandi terendam air telaga. Antara 1856 dan 1864, ... ASAL USUL ORANG Sunda berguru ... Rengkong adalah seni yang merupakan

Sekitar 90% penduduk sekitar candi adalah muslim dan tidak ada penganut Hindu yang tersisa. Meski demikian, keberadaan Candi Dieng yang sejatinya dianggap tempat kesayangan para dewa Hindu tidak serta-merta hilang.

Toleransi di Persemayaman para Dewa

LILIEK DHARMAWAN

KABUT putih tipis ber gerak pelan di atas Dieng. Dalam ba hasa Sanskerta,

na ma tempat itu diambil dari kata di (tempat) dan hyang (de-wa) sehingga diartikan sebagai tempat persemayaman para de wa.

Beberapa bangunan candi yang berwarna kontras me-nyem bul di antara gulungan kabut. Tempat itu memang tak pernah lepas dari kabut karena terletak di ketinggian 2.093 me-ter di atas permukaan laut.

Adapun candi-candi itu ialah candi Hindu beraliran Syiwa yang nama-namanya diambil dari cerita Mahabharata. Misal-nya Arjuna, Gatotkaca, Dwara-wati, dan Bima.

Candi-candi tersebut disebut yang tertua di Jawa. Letaknya terpencar dalam sebuah area dengan bentuk menyerupai avo kad sepanjang 1,8 kilometer dan lebar 800 meter.

Menurut ahli-ahli sejarah Indonesia, gaya arsitektur kom-pleks Candi Dieng unik. Candi Bima yang memiliki fondasi 6 meter x 6 meter dan tinggi 8 me ter merupakan perpaduan gaya arsitektur India Utara dan India Selatan.

Gaya arsitek India Utara tam-pak pada bagian atas yang dise-but dengan sikhara, sedangkan arsitektur India Selatan terlihat dengan adanya hiasan kudu, yakni kepala-kepala dewa yang seolah melongok keluar dari bi lik jendela.

Sampai hari ini, makna pe-

ninggalan itu masih menyi-sakan misteri. Sejarah hanya sempat mencatat bahwa se-masa kejayaan Mataram Kuno, di kawasan Dieng bermunculan sejumlah desa perdikan (yang dibebaskan dari pembayaran upeti). Para warga yang men-diami desa perdikan tersebut beragama Hindu dan bertugas untuk memelihara candi-candi yang ada.

Perkembangan selanjutnya, 90% penduduk sekitar candi adalah muslim dan tidak ada penganut Hindu yang tersisa. Meski demikian, keberadaan Candi Dieng yang sejatinya dianggap tempat kesayangan para dewa Hindu tidak serta-merta hilang.

“Kami sadar bahwa candi-candi di Dieng merupakan peninggalan kerajaan yang ber-agama Hindu. Namun, kami tidak terpengaruh oleh per-bedaan itu. Sekarang yang memelihara serta merawatnya adalah warga muslim,” gumam Alif, tokoh pemuda di Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur, Banjarnegara, tersebut.

Menurut Alif, warga sadar bahwa candi tersebut meru-pakan salah satu mahakarya yang harus dijaga. “Apa pun latar belakang penciptanya,” kata dia.

Sikap toleran dan kesan da-mai dalam hidup berdamping-an itu juga yang dikagumi sejumlah wisatawan. Itu me-niupkan kesan positif di tengah maraknya isu perbedaan yang berbuntut konflik horizontal negeri ini.

Setelah melihat toleransi

warga, beberapa turis Jepang terlihat asyik merekam panora-ma di antara candi dan masjid dalam satu frame.

“Kata mereka, masyarakat Dieng amat toleran. Ada candi dan masjid yang berdiri di kawasan itu,” kata Bambang, seorang pemandu yang mener-jemahkan komentar wisatawan ‘Negeri Sakura’ itu.

SejarahDi kawasan Dieng dulunya

dikenal seorang pemimpin ber-nama Rakai Kayu Wangi yang kemudian menjadi raja de-ngan gelar Sri Maharaja Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala. Ia memerintah Kerajaan Mataram Kuno pada 855-885.

Diduga, Dieng dulunya cu-kup ramai penduduk kemudian sepi dan selama berabad-abad mati sehingga secara alamiah tertutup hutan belantara. Ka-wasan itu disingkap kembali pada 1814, saat seorang tentara Inggris yang berwisata ke dae-rah Dieng melihat sekumpulan candi terendam air telaga.

Antara 1856 dan 1864, Van Kinsbergen memimpin upaya pengeringan telaga tempat kumpulan candi tersebut ber-ada, dilanjutkan pencatatan dan pengambilan gambar.

Koordinator Museum Kailasa Dieng Alif Rahman mencerita-kan fondasi sekitar candi yang terbuat dari kayu menunjukkan pada masa itu, fondasi tersebut merupakan bekas bangunan yang digunakan sebagai peris-tirahatan oleh para pendeta dan

murid-murid. Selain bangun-an tempat peristirahatan, ada jalan dari arah selatan, tepatnya di Desa Siterus, yang disebut Ondho Budho. Dulunya jalan itu dipakai sebagai pintu masuk langsung ke kompleks candi.

Setelah masa kejayaan Ma-

taram Kuno pudar, sepertinya Dieng mulai ditinggalkan.

Ada versi lain keberadaan Dieng yang tertuang dalam kitab Tantu Penggelaran. Buku yang ditulis dalam huruf Jawa pertengahan pada zaman Ma-

ASAL USUL

ORANG Sunda berguru seni kepada alam. Banyak kesenian yang lahir dari peristiwa alam atau terbuat dari bahan-bahan yang asli berasal dari alam.

Salah satu kesenian yang asli alam itu adalah rengkong. Nama rengkong merujuk pada nama alatnya, yakni sebuah pikulan, yang dibebani ikatan padi dengan berat sekitar 25 kilogram. Padi itu diikatkan ke pikulan dengan injuk kawung atau tali ijuk.

Saat dibawa dan pemikulnya berjalan, bunyi gesekan ijuk dengan batang pikulan menimbulkan suara yang khas. Bunyinya nyaris menyerupai suara burung rangkong, unggas sejenis angsa. Suara gesekan mirip jerit rangkong ini kemudian disebut rengkong.

Rengkong adalah kesenian asli masyarakat Kampung Kandang-sapi, Desa Cisarandi, Kecamatan Warungkondang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. H Sopjan, seorang seniman di wilayah itu adalah orang yang pertama kali menciptakan dan memopulerkan kesenian ini. Kesenian ini muncul pertama kali sekitar 1964.

Rengkong adalah seni yang merupakan sari pati tata cara masyarakat Sunda, saat menanam padi sampai menuai. Namun, sebenarnya rengkong sangat dekat dengan kegiatan mengangkut padi, dari sawah atau ladang ke lumbung.

Seni ini tercipta puluhan tahun lalu, saat tidak ada alat transpor-tasi untuk mengangkut padi. Petani harus memikul hasil panen dengan pikulan yang terbuat dari bambu.

Suara khas yang dihasilkan dari gesekan pikulan dan ijuk juga menjadi hiburan. Itu juga menjadi pengalih perhatian bagi petani yang kelelahan mengangkat beban padi.

Masyarakat Sunda juga percaya rengkong adalah ungkapan rasa syukur kepada Tuhan dan Dewi Sri Pohaci atau Dewi Kesuburan. Kini, di beberapa daerah, seperti Banten, Sukabumi, Sumedang, dan Bogor, sering kali setelah panen, warga menggelar pesta adat, yang menyertakan rengkong di dalam urutan acaranya. Dengan rengkong, petani memanjatkan rasa syukur kepada Tuhan karena telah mendapatkan hasil panen yang melimpah.

Kini, rengkong telah menjadi salah satu kesenian tradisional Sun-da. Tidak hanya digelar pada pesta adat panen atau seren taun, tapi juga jadi seni yang lazim dipertunjukkan saat hari besar nasional, penyambutan tamu, juga upacara keagamaan dan perkawinan.

Seperti musik-musik khas Sunda lainnya, rengkong juga ditun-jang perangkat lain, seperti dogdog dan angklung buncis. Ada juga hatong, alat tiup yang terbuat dari bambu.

Pemain rengkong juga khas masyarakat petani di Pasundan. Mereka tampil dengan celana pangsi, baju kampret, ikat kepala, dan tanpa alas kaki. Ada 5-6 pemain yang bermain 1 jam. (EM/N-2)

japahit tersebut menyebut-kan Dieng menjadi tempat bersemedinya Bhatara Guru dan tempat memohon kepada Brahmana dan Wisnu supaya memberikan keselamatan bagi penghuni di Jawa.

Seluruh dewa akhirnya me-

mutuskan bertempat tinggal di situ serta memindahkan Gunung Meru di Negeri Jam-budvipa atau India ke Dieng. Dieng disebut juga sebagai ‘lingga bagi dunia’ yang men-jadi tempat kesayangan bagi

para dewata.Sejarah Dieng beserta candi-

candinya memang tidak dapat dipastikan kapan didirikan. Apa-lagi dari 22 prasasti yang ada, ha-nya satu prasasti yang mencatat angka tahun 808 Masehi.

Menurut Arif, isi prasasti

itu memang menggambarkan Dieng sebagai pusat kegiatan religius. Dieng diibaratkan sebagai kailasa atau tempat suci Syiwa, pusat dunia dan tempat bersemayam para arwah.

“Namun, sampai sekarang

Dieng masih tetap menyim-pan misteri, bagai bermain puzzle yang belum selesai. Dari sekitar 22 prasasti, yang bisa terbaca tinggal satu prasasti. Yang lainnya sudah rusak se-perti prasasti yang tersimpan di museum ini,” ujar pemelihara

Candi Dieng dan Museum Kailasa, Tusar, sambil menun-jukkan prasasti yang tulisan Jawa Kuna-nya telah terhapus. (N-3)

[email protected]

BERDAMPINGAN: Wisatawan asal Jepang melintasi kompleks Candi Arjuna, Dieng, Jawa Tengah (Jateng), yang sejajar dengan masjid warga Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur, Banjarnegara, beberapa waktu lalu. Meski candi tersebut peninggalan Hindu, warga setempat yang mayoritas muslim tetap memeliharanya dengan baik.

MI/LILIEK DHARMAWAN

k

ASAL USUL

CANDI ARJUNA: Pengunjung melintas di kompleks Candi Arjuna di kawasan dataran tinggi Dieng, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu. Candi-candi tersebut merupakan peninggalan pada masa Kerajaan Mataram Kuno.

MI/LILIEK DHARMAWAN

Kesenian Rengkong

ANTARA

SENIN, 9 MEI 2011 9NUSANTARA

kasejem‘N

Se

dinakengKamKu

kusemtewpaInraca

Kipekuadda

Dikatepamyatir

ks