s umber hukum islam
TRANSCRIPT
PENGERTIAN SUMBER HUKUM ISLAM DAN
AHKAM AL-KHAMSAH
Makalah ini disusun untuk tugas mata kuliah Studi Fiqih
Dosen Pembimbing Bapak Drs.H.Farid Hasyim,M.Ag
Disusun oleh :
Titin Winarsih (09110018)
Amaliyah (09110024)
Ridha Fitriani (09110027)
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
Oktober 2010
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Hukum islam merupakan istilah khas di Indonesia,sebagai terjemahan dari al-fiqh
al-islamy atau dalam keadaan konteks tertentu dari as-syariah al islamy.Istilah ini dalam wacana
ahli Hukum Barat disebut Islamic Law.Dalam Al-Qur’an dan Sunnah,istilah al-hukm al-Islam
tidak ditemukan.Namun yang digunakan adalah kata syari’at islam,yang kemudian dalam
penjabarannya disebut istilah fiqih.Uraian diatas memberi asumsi bahwa hukum dimaksud
adalah hukum islam.Sebab,kajiannya dalam perspektif hukum islam,maka yang dimaksudkan
pula adalah hukum syara’ yang bertalian dengan akidah dan akhlak.
Penyebutan hukum islam sering dipakai sebagai terjemahan dari syari’at islam
atau fiqh islam.Apabila syari’at islam diterjemahkan sebagai hukum islam,maka berarti syari’at
islam yang dipahami dalam makna yang sempit.Pada dimensi lain penyebutan hukum islam
selalu dihubungkan dengan legalitas formal suatu Negara,baik yang sudah terdapat dalam kitab-
kitab fiqh maupun yang belum.Menurut T.M,Hasbi Ashshiddiqy mendefinisikan hukum islam
adalah koleksi daya upaya para ahli hukum untuk menerapkan syariat atas kebutuhan
masyarakat.Dalam khazanah ilmu hukum islam di Indonesia,istilah hukum islam dipahami
sebagai penggabungan dua kata,hukum dan islam.Hukum adalah seperangkat peraturan tentang
tindak tanduk atau tingkah laku yang diakui oleh suatu Negara atau masyarakat yang berlaku dan
mengikat untuk seluruh anggotanya.Kemudian kata hukum disandarkan kepada kata
islam.Jadi,dapat dipahami bahwa hukum islam adalah peraturan yang dirumuskan berdasarkan
wahyu Allah dan sunnah Rasul tentang tingkah laku mukallaf (orang yang sudah dapat dibebani
kewajiban) yang diakui dan diyakini berlaku mengikat bagi semua pemeluk agama islam.
II.2 Rumusan masalah
1. Bagaimana pengertian tentang Sumber Hukum Islam?
2. Bidang kajian apa sajakah yang erat kaitannya dengan Sumber Hukum Islam?
3. Bagaimana pengertian tentang Ahkam al-Khamsah?
II.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui tentang pengertian Sumber Hukum Islam
2. Untuk mengetahui bidang kajian apa saja yang berkaitan dengan Sumber Hukum Islam
3. Untuk mengetahui pengertian Ahkam al-Khamsah
BAB II
PEMBAHASAN
A.Sumber Hukum Islam
II.1 Pengertian Sumber Hukum Islam
Pengertian sumber hukum ialah segala sesuatu yang melahirkan atau menimbulkan aturan
yang mempunyai kekuatan yang bersifat mengikat,yaitu peraturan yang apabila dilanggar akan
menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata.Sumber Hukum Islam ialah segala sesuatu yang
dijadikan pedoman atau yang menjadi sumber syari’at islam yaitu Al-Qur’an dan Hadist Nabi
Muhammad (Sunnah Rasulullah SAW).Sebagian besar pendapat ulama ilmu fiqih sepakat bahwa
pada prinsipnya sumber utama hukum islam adalah Al-Qur’an dan Hadist.Disamping itu terdapat
beberapa bidang kajian yang erat berkaitan dengan sumber hukum islam yaitu : ijma’, ijtihad,
istishab, istislah, istihsun, maslahat mursalah, qiyas,ray’yu, dan ‘urf.
II.2 Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah sumber atau dasar hukum yang utama dari semua ajaran dan syari’at
islam. Hal ini ditegaskan di dalam Al-Qur’an yaitu
105. Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran,
supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan
janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang
yang khianat[347],
Definisi tentang Al-Qur’an telah banyak dirumuskan oleh beberapa ulama’,akan tetapi
dari beberapa definisi tersebut terdapat empat unsur pokok,yaitu :
1. Bahwa Al-Qur’an itu berbentuk lafazt yang mengandung arti bahwa apa yang
disampaikan Allah melalui Jibril kepada Nabi Muhammad dalam bentuk makna dan
dilafazkan oleh Nabi dengan ibaratnya sendiri tidaklah disebut Al-Qur’an.
2. Bahwa Al-Qur’an itu adalah berbahasa Arab
3. Bahwa Al-Qur’an ini diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW
4. Bahwa Al-Qur’an itu dinukilkan secara mutawatir
Ayat Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan beberapa cara dan
keadaan,antara lain, yaitu :
1. Malaikat memasukkan wahyu ke dalam hati Nabi Muhammad SAW
2. Malaikat menampakkan dirinya kepada Nabi Muhammad SAW berupa seorang laki-laki
yang mengucapkan kata-katanya
3. Wahyu datang seperti gemirincing lonceng
4. Malaikat menampakkan diri kepada Nabi Muhammad SAW benar-benar sebagaimana
rupanya yang asli
Ayat-ayat yang diturunkan tadi dibagi menjadi dua bagian/jenis,yaitu :
1. Ayat-ayat Makkiyah
2. Ayat-ayat Madaniyah
Di dalam ajaran islam terdapat ketentuan-ketentuan untuk membentuk sesuatu
hukum,yaitu ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Ushul Fiqih.Pengertian bahasa arab
“Ushul Fiqih” secara harfiah adalah akar pikiran,dan secara ibarat (tamsil) adalah sumber hukum
atau prinsip-prinsip tentang ilmu fiqih.Pada umumnya para fuhaka sepakat menetapkan dan
Qiyas.
II.3 Sunnah Nabi/Hadist
Hadist adalah ucapan Rasulullah SAW tentang suatu yang berkaitan dengan kehidupan
manusia atau tentang suatu hal,atau disebut pula sunnah Qauliyyah.Hadist merupakan bagian
dari sunnah Rasulullah.Pengertian sunnah sangat luas,sebab sunnah mencakup dan meliputi:
1. Semua ucapan Rasulullah SAW yang mencakup sunnah qauliyah
2. Semua perbuatan Rasulullah SAW disebut sunnah fi’liyah
3. Semua persetujuan Rasulullah SAW yang disebut sunnah taqririyah
Pada prinsipnya fungsi sunnah terhadap Al-Qur’an sebagai penganut hukum yang ada dalam
Al-Qur’an.Sebagai penganut hukum yang ada dalam Al-Qur’an,sebagai
penjelasan/penafsir/pemerinci hal-hal yang masih global.Sunnah dapat juga membentuk hukum
sendiri tentang suatu hal yang tidak disebutkan dalam Al-Qur’an.Dalam sunnah terdapat unsur-
unsur sanad (keseimbangan antar perawi),matan (isi materi) dan rowi (periwayat).
Dilihat dari segi jumlah perawinya sunnah dapat dibagi kedalam tiga kelompok yaitu :
1. Sunnah Mutawattir : sunnah yang diriwayatkan banyak perawi
2. Sunnah Masyur : sunnah yang diriwayatkan 2 orang atau lebih yang tidak mencapai
tingkatan mutawattir
3. Sunnah ahad : sunnah yang diriwayatkan satu perawi saja.
Pembagian hadist dapat pula dilakukan melalui pembagian berdasarkan rawinya dan
berdasarkan sifat perawinya.
1. Matan, teks atau bunyi yang lengkap dari hadist itu dalam susunan kalimat yang
tertentu.
2. Sanad, bagian yangg menjadi dasar untuk menentukan dapat di percaya atau tidaknya
sesuatu hadist. Jadi tentang nama dan keadaan orang-orang yang sambung-
bersambung menerima dan menyampaikan hadist tersebut, dimulai dari orang yang
memberikannya sampai kepada sumbernya Nabi Muhammad SAW yang disebut
rawi.
Ditinjau dari sudut periwayatnya ( rawi ) maka hadist dapat di golongkan ke dalam empat
tingakatan yaitu:
Hadist mutawir, hadist yang diriwayatkan oleh kaum dari kaum yang lain hingga sampai
pada Nabi Muhammad SAW.
Hadist masyur, hadist yang diriwayatkan oleh sejumlah orang, kemudian tersebar luas. Dari
nabi hanya diberikan oleh seorang saja atau lebih.
Hadist ahad, hadist yang diriwayatkan oleh satu, dua atau lebih hingga sampai kepada nabi
muhammad.
Hadist mursal, hadist yang rangkaian riwayatnya terputus di tengah-tengah,se hingga tidak
sampai kepada Nabi Muhammad SAW.
Sunan berkedudukan sebagai dalil hukum islam. Hal ini didasarkan kepada nash Al-
quran yaitu:
Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari allah, dan apa saja bencana yang menimpamu,
maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi rasul kepada segenap
manusia. Dan cukuplah allah menjadi saksi.(QS.annisa’:79)
Surat Al-Arab ayat 158 sebagai berikut :
158.katakanlah : “ hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan allah kepadamu semua yaitu
allah yang mempunyai kerjaan langit dan bumi, tidak ada tuhan selain dia. Yang menghidupkan
dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada allah dan rasulnya, nabi ysng ummi yang
beriman kepada allah dan kepada kalimat-kalimatnya (kitab-kitabnya) dan ikutilah dia, supaya
kamu mendapat petunjuk,” (QS. Al-a’rab : 158)
Di dalamnya memahami hadist terdapat dari kutub yang harus diperhatikan, yaitu:
1. Hadist shahih
2. Hadist dhaif
Ciri-ciri hadist yang shahih itu ialah yang kata- katanya bebas dari bahasa yang rendah (tidak
pantas) serta maksudnya tidak bertetangga dengan ayat atau kabar (hadis) yang mutawir atau
ijma’(yang gamblang), dan yang meriwayatkannya orang-orang yang pantas dipercaya.
Adapun ciri-ciri hadist dhaif sebagaimana diungkapkan K.H.E abdurrohman ialah bertentangan
dengan nash al-quran sunnah yang mutawir, atau bertentangan dengan putusan akal yang
gamblang.
Didalam ilmu hadist dikenal adanya ulama hadist yang masykur. Keenam ulama tersebut,
ialah :
1. Al-Bukhari (194 - 256 H/810 - 870 M)
2. Muslim (204 - 261 H/817 - 875 M)
3. Abu Daud (202 - 275 /817 - 889 M)
4. An-Nasai (225 - 303 H/839 - 915 M)
5. At-Turmudzi (209 - 272 / 824 - 892 M)
6. Ibnu Majah 9207 - 273 / 824 - 887 M)
II.4 Al-Ijma’
Ijma’ menurut hukum islam pada prinsipnya ijma’ adalah kesepakatan beberapa ahli
istihan atau sejumlah mujtahid umat islam setelah masa rasulullah tentang hukum atau ketentuan
beberapa masa yang berkaitan dengan syariat atau suatu hal. Ijma merupakan salah satu upaya
istihad umat islam setalah qiyas.
Kata ijma’ berasal dari kata jam’ artinya maenghimpun atau mengumpulkan. Ijma’
mempunyai dua makna, yaitu menyusun mengatur suatu hal yang tak teratur,oleh sebab itu
berarti menetapkan memutuskan suatu perkara,dan berarti pula istilah ulama fiqih (fuqaha). Ijma
berati kesepakatan pendapat di antara mujtahid, atau persetujuan pendapat di antara ulama fiqih
dari abad tertentu mengenai masalah hukum.
Apabila di kaji lebih mendalam dan mendasar terutama dari segi cara melakukannya, maka
terdapat dua macam ijma’ yaitu :
1. Ijma’ shoreh (jelas atau nyata) adalah apabila ijtihad terdapat beberapa ahli ijtihad atau
mujtahid menyampaikan ucapan atau perbuatan masing-masing secara tegas dan jelas.
2. Ijma’ sukuti (diam atau tidak jelas) adalah apabila beberapa ahli ijtihad atau sejumlah
mujtahid mengemukakan pendapatnya atau pemikirannya secara jelas.
Apabila ditinjau dari segi adanya kepastian hukum tentang suatu hal, maka ijma’ dapat
digolongkan menjadi :
1. Ijma’ qathi yaitu apabila ijma’ tersebut memiliki kepastian hukum ( tentang suatu hal)
2. Ijma’ dzanni yaitu ijma’ yang hanya menghasilkan suatu ketentuan hukum yang tidak
pasti.
Pada hakikatnya ijma’ harus memiliki sandaran, danya keharusan tersebut memiliki beberapa
aturan yaitu :
Pertama: bahwa bila ijma’ tidak mempunyai dalil tempat sandarannya, ijma’ tidak akan sampai
kepada kebenaran.
Kedua: bahwa para sahabat keadaanya tidak akan lebih baik keadaan nabi, sebagaimana
diketahui, nabi saja tidak pernah menetapkan suatu hukum kecuali berdasarkan kepada wahyu.
Ketiga: bahwa pendapat tentang agama tanpa menggunakan dalil baik kuat maupun lemah
adalah salah.kalau mereka sepakat berbuat begitu berati mereka sepakat berbuat suatu kesalahan
yang demikian tidak mungkin terjadi.
Keempat: bahwa pendapat yang tidak didasarkan kepada dalil tidak dapat diketahui kaitannya
dengan hukum syara’ kalau tidak dapat dihubungkan kepada syara’ tidak wajib diikuti
II.5 Al-Ijtihad
Mencurahkan seluruh potensi pikiran untuk mengambil suatu hukum dari dalil-dalil syara’
( Al-quran dan sunnah).Menurut definisi bahasa arab ijtihad ialah mencurahkan segala
kemampuan di dalam mendapatkan hukum syara’ dengan cara istimbat dari Al-Quran dan
hadist.Mujtahid adalah seseorang yang melakukan ijtihad. Para mujtahid pada zaman sahabat
hingga zaman tabi’in mengambil hukum-hukum suatu masalah langsung dari Al-Quran dan
hadist muhammad SAW.
Mujtahid dapat dikelompokkan ke dalam 4 klasifikasi:
1. Mujtahid yang bekemampuan berijtihad seluruh amsalah hukum islam dan hasilnya
diikuti oleh orang-orang yang tidak sanggup berijtihad. Mereka berusaha sendiri,
tanpa memungut pendapat orang lain.
2. Mujtahid filmadzhab atau mujtahid yang di dalam berijtihad mengikuti pendapat
salah satu madzhab dengan beberapa perbedaan. Misalnya abu yusuf yang mengikuti
pendapat madzhab manafi.
3. Mujtahid fil masail atau mujtahid yang hanya membidangi dalam masalah-masalah
tertentu. Ciri mujtahid kelas ini yaitu:
a. Dalam berijtihad mengikuti pendapat imam madzhab tertentu.
b. Lapangan ijtihadnya terbatas pada soal-soal tertentu dan menyangkut hal-hal yang
cabang saja.
4. Mujtahid yang mengikatnya diri muqoyyad ciri-ciri mujtahid yang termasuk dalam
kelas muqoyyad:
a. Mengikuti pendapat-pendapat ulama’ salaf
b. Mengetahui sumber-sumber hukum dan masalahnya
c. Mampu memilih pendapat yang di anggap lebih baik dan benar.
II.6 Al-Qiyas
Qiyas ialah menyamakan suatu peristiwa yang tidak ada hukumnya dalam nash kepada
kejadian yang lain yang hukumnya dalam nash karena adanya kesamaan dua kejadian dalam illat
hukumnya.Seterusnya dalam perkembangan hukum islam kita jumpai qiyas sebagai sumber
hukum yang keempat. Arti perkataan bahasa arab “Qiyas” adalah menurut bahasa ukuran,
timbangan. Persamaan (analogy) dan menurut istilah ali ushul fiqih mencari sebanyak mungkin
persamaan antara dua peristiwa dengan mempergunakan cara deduksi (analogical deduction).
Yaitu menciptakan atau menyalurkan atau menarik suatu garis hukum yang baru dari garis
hukum yang lama dengan maksud memakaiakan garis hukum yang baru itu kepada suatu
keadaan, karena garis hukum yang baru itu ada persamaanya dari garis hukum yang
lama.Sebagai contoh dapat dihadirkan dalam hal ini yaitu surat Al-Maidah ayat 90,yakni :
“ hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk
berhala) mengundi nasb dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan.
Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”(QS.Al-Maidah :
ayat 90)
Menurut ketentuan nash, khamar dilarang karena memabukkan da dampak negatifnya
akan menyebabkan rusaknya badan, pikiran dan pergaulan. Dengan demikian sifat memabukkan
dimiliki sebagai sebab bagi ketentuan hukum haram. Hal ini dapat diqiyaskan bahwa setiap
minuman yang memabukkan haram hukumnya jadi dilarang di dalam hukum islam.
Qiyas sebagai salah satu hukum islam yang tdak dapat dikesampingkan keberadaannya di
dalam menetapkan beberpa ketentuan hukum islam memiliki 4 hukum yaitu:
1. Sesuatu yang hukumnya tidak terdapat dalam nash atau hukum islam.
2. Sesuatu yang hukumnya tidak terdapat dalam nash (far’u : cabang)
3. Hukm syara’ yang terdapat dalam nash berdasar unsur pokok.
4. Illat, yaitu sebab
II.7 Al-istikhsan
Al-istikhsan adlah meninggalkan hukum yang diperoleh melalui qiyas yang jelas (jali)
untuk menjalankan hukum yang tidak jelas (khafi) karena adanya dalil syara’ atau logika yang
membenarkan atau meneruskan meninggalkannya. Pada prinsipnya adalah meninggalkan hukum
yang bersifat umum untuk melaksanakan istisna oleh karena aa atau terdapat dalil tertentu.
Perbedaan pendapat tentang istihsan pada penggunaanya sebagai dalil sebenarnya prbedaan
dalam memberi arti kepada istihsan itu dari banyak istilah yang dikemukakan tntang istihsan
maka yang paling tepat dan sesuai dengan maksud penolakan imam syafi’i menurut yang sering
di nukilkan itu adalah “ sesuatu cara yang cenderung dan senang perasaan manusia
melakukannya sedangkan pihak lain menganganggapnya baik” atau “ petunjuk atau dalil yang
muncul pada diri seseorang mujtahid sedangkan dia tidak mampu melahirkannya. “
Disamping itu ditegaskan pula bahwa imam syafi’i berpendapat bila seseorang
dibenarkan menggunakan istihsan ia akan berpendapat orang lain pun bebas menggunakan
istihsan, tentu akan dapat menimbulkan beberapa putusan yang benar atau beberapa fatwa dalm
kasus yang sama. Oleh karena itu imam syafi’i menetapkan tidak boleh memutuskan berdasrkan
istihsan. Yang dibenarkan hanya menggunakan ijtihad dengan qiyas, bila dalam suatu kejadian
tidak ditemukan nash dalam bentuk al-quran maupun al-sunnah.
Dalam istihsan pada suatu peristiwa terdapat dalil untuk dipilih. Untuk itu seorang mujtahid salh
satu dalil yang jelas atau kuat untuk menjalankan dalil yang tidak jelas disebabkan adanya
sesuatu hal. Istihsan berbeda dengan qiyas sebab dalamqiyas tentang sesuatu belum ada baik
berupa nash atau ijma’ karena adanya hukum, maka peristiwa atau hal dipersamakn dengan
peristiwa yang sudah ada hukumnya. Karena adanya persamaan illat sedangkan dalam istihsan
hukumnya sudah ada bahkan ada dua hukum yang harus dipilih.
Dalam istihsan ada dua aspek penting yaitu:
1. Aspek yang ditinggalkan dan dalil yang dipakai
2. Aspek dalil yang dijadikan landasan dasar istihsan.
Meninggalkan dalil yang umum dan menggunakan dalil yang khusus karena adanya
darurat.
Contoh : kasus seperti tersebut dalam (QS. Al-Maidah : 38) tentang pengecualian potong tangan
bagi pencuri karena keadaan yang tidak memungkinkan seerti dalam keadaan atau musim
kelaparan. Hal ini pernah diperatekkan umar bin khatab yang berati menyalahi dari kandungan
surat Al-Maidah ayat : 38 yaitu :
38.” Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah tangan kedua saya
(sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari allah. Dan allah
maha perkasa lagi maha bijaksana (QS. Al-Maidah : 38).
II.8 Al-Maslahah Mursalah
Maslahah mursalah atau lengkapnya “ al-masalihul mursalah berarti kemaslahatan yang
dilepaskan. Maslahah mursaah adalah kebaikan atau kemaslahatan yang tidak disinggung-
singgung syara’ mengenai hukumnya, baik di dalam mengerjakan atau meninggalkannya akan
tetapi dikerjakannya, akan tetapi dikerjakan akan membawa manfaat dan menjauhkan
kemudhoratannya, bahkan kemudhorotan tersebut dapat hilang sama sekali.
Syarat maslahat mursalah yaitu :
1. Hanya berlaku dalam bidang muamalah jadi tidak berlaku dibidang aqidah dan ibadah.
2. Tidak bertentangn dengan maksud hukum islam atau salah satu dalilnya yang sudah
dikenal ( dalam hal ini Al-Quran dan hadist nabi)
3. Ditetapkan karena kepentingan yang jelas dan sangat diperlukanmasyarakat yang luas.
Menurut A. Hanafi di dalam pengantar dan sejarah hukum islam ditegaskan bahwa:
“maslahat mursalah ialah pembinaan (penetapan hukum berdasarkan maslahat
(kebikan,kepentingan) yang tidak ada ketentuannya dari syara’ baik ketentuan secara umum atau
secara khusus.”
Oleh karena itu maka maslahat tersebut di namai “ mursal” artinya terlepas dengan tidak
terbatas. Akan tetapi jika sesuatu maslahat telah ada ketentuan dari syara’ yang menujuk
kepadanya secara khusus, seperti penulisan Qur’an karena dikhawatirkan akan tersia-sia atau
seperti membrantas buta huruf (mengajarkan menulis dan membaca), atau ada nash umum yang
menunjukkan macamnya maslahat yang harus dipertimbangkan, seperti wajibnyamencari dan
menyiarkan ilmu pengetahuan pada umumnya, atau seperti amar ma’ruf dan nahi mungkar, maka
maslahat-masahat trsebut tidak lagi disebut maslahat mursalah, dan penetapan hulkumannya
didasarkan atas nash bukan didasrkan atas aturan maslaht mursalah.
II.9 Al-‘Urf
“urf diakui keberadaannya di dalamenentukan hukum, terutama dalam menghadpi lafal-
lafal yang bersifat umum. Untuk maksud tersebut, mujtahid harus berusaha mendapatkannya.
Billa tidak mungkin mendapatkannya daklam al-quran dan sunnah dapat di tempat cara lain
diluar dua dalil tersebut,diantara ‘urf atau adat. Kebanyakan ulama menggunakan dalil ‘urf atau
adat sebagai dalil takhsin. Karena fungsi dari takhsis itu adalah menjelaskan, maka ini berarti
bahwa nash (teks) yang umum dalam al-quran atau sunnah dapat dijelaskan atau dipahami
menurut pemahaman ‘urf atau adat. Sehingga tidak perlu heran jika banyak ayat-ayat yang
maksudnya umum berlaku universal di pahami.
Sedangkan madzhab hanafi meletakkan ‘urf sebagai salah satu hukum madzhabnya. Yang
disimpulkan oleh abdullah siddik yang menegaskan bahwa:
1. Qur’an
2. Sunnah rasul atau hadist. Hadist yang diterima adalah hadit mutawir dan hadist masyhur.
Hadist ahad(sanad tunggal) di tolak,mereka lebih abik mendahulukan qiyas daripada
menggunakan hadist ahad.
3. Fatwa-fatwa para sahabat didahulukan dari qiyas
4. Qiyas
5. Istihsan (menjalankan keputusan pribadi, yang tidak didasarkan pada qiyas, tetapi
didasarkan kepada kepentingan umum atau kepentingan keadilan. Contoh maslah
musyatarakah dalm hukum waris (fara’id) tidak memberikan pusaka kepada para saudara
lelaki sekandung dengan jalan berserikat dengan para saudara lelaki seibu adalh atas
dasar qiyas. Sedangkan memberi pusaka kepada para saudara lelaki dengan jalan
menerima faraidh sudara-saudara lelaki seibu yang sepertiga itu apabila dhu-faraid
menghabisi harta peninggalan, hingga tak ada yang tinggal untuk saudara lelaki saudara
sekandung sebagainashabah adalah atas dasr istihsan.
6. Adat yang telah berlaku di dalam masyarakat, apabila tidak bertentangan dengan Quran
dan sunnah rasulnya.
II.10 Al-istihab
Istilah istihab memiliki arti tersendiri, sedangkan dalam ilmu ushul sendiri, menetapkan
hukum sesuatu menurut keadaan yang terjadi sebelumnya sampai ada dalil yang merubahnya.
Pada dasarnya istihab adalah menjadikan hukum tentang sesuatu hal yang telah ada sejak semula
tetap berlaku sampai adanya peristiwa berikutnya, kecuali ada dalil yang mengubah hukum itu.
Istihab merupakan salah satu cara dari istidlal,istihab dapat dibagi ke dalam dua jenis yaitu:
1. Istihab kepada hukum akal dalam predikat”boleh” istihab ini berdasarkan atas prinsip
bahwa asal sesuatu itu boleh. Karena itu kalau tidak ada dalil pelarangan atau suruhan,
maka sesuatu itu di hukumi boleh atau mubah.
2. Istihab kepada hukum syara’ yang sudah ada dalilnya dan tidak ada sesuatu dalil yang
merubahnya.
B. Al-ahkam al-khamsah
Istilah Ahkam berasal dari bahasa Arab yang merupakan jamak dari kata hukum Khamsah
artinya lima. Adapun arti ‘’al-hukmu’’ adalah menetapkan suatu hal atau perkara terhadap suatu
hal atau perkara. Ahkamul khamsah artinya ketentuan atau lima ketentuan. Pada dasarnya
‘’ahkamul khamsah erat kaitannya dengan perbuatan manusia. Oleh karena itu, gabungan kedua
kata dimaksud (Al-ahkam Al-khamsah) atau biasa juga disebut hukum taklifi. Hukum taklifi
adalah ketentuan hukum yang menuntut para mukallaf atau orang yang dipandang oleh hukum
cakap melakukan perbuatan hukum baik dalam bentuk hak, kewajiban, maupun dalam bentuk
larangan. Hukum taklifi di maksud, mencakup lima macam kaidah atau lima kategori penilaian
mengenai benda dan tingkah laku manusia dalam hukum islam yaitu jaiz, sunnah, makruh,
wajib, dan haram. Lain halnya hukum wadh’I yaitu hukum yang mengandung sebab, syarat,
halangan yang akan terjadi atau terwujud sesuatu ketentuan hukum. Al-ahkam al-khamsahakan
dijelaskan sebagai berikut:
1. Jaiz atau mubah
Jaiz atau mubah adalah sesuatu perbuatan yang dibolehkan untuk memilih oleh Allah
SWT atau Rasul-Nya kepada manusia mukallaf (aqil-baligh) untuk mengerjakan atau
meninggalkan (sesuatu yang boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan kalau ditinggalkan
tidak dapat pahala dan tidak berdosa ). Hal ini dalam pembahasan asas hukum Islam
(ushul fiqh) disebut hukum takhyiri. Ketentuan mubah biasanya dinyatakan dalam tiga
bentuk, yaitu meniadakan dosa bagi sesuatu perbuatan, pengungkapan halal bagi suatu
perbuatan dan tidak ada pernyataan bagi sesuatu perbuatan.
Contohnya:melakukan gerak badan di pagi hari, seorang laki-laki boleh menikahi dua
orang,tiga dan empat orang perempuan sebagai istrinya selama ia mampu berbuat adil.
2. Sunnah (mandub)
Sunnah (mandub) adalah sesuatu perbuatan yang dianjurkan oleh Allah SWT atau
Rasul-Nya kepada manusia mukallaf (aqil-baligh). Namun bentuk anjuran itu diimbangi
dengan pahala kepada orang mukallaf yang mengerjakannya dan tidak mendapat dosa
bagi yang meninggalkannya.
Sunnah (mandub) ini terbagi menjadi tiga yaitu: sunnah muakkad, sunnah zaidah, dan
sunnah fadhilah. Ketiga bentuk sunnah dimaksud akan diuraikan sebagai berikut
Sunnah muakkad yaitu suatu ketentuan hukum islam yang tidak mengikat tetapi
penting. Karena Rasulullah saw. senantiasa melakukannya, dan hampir tidak
pernah meninggalkannya atau dengan ketentuan kalau perintah sunnah itu
dikerjakan, ia dapat pahala sebaliknya kalau tidak dikerjakan tidak berdosa.
Contohnya: azan sebelum salat, member sedekah, salat jamaah untuk salat
fardhu, dan dua salat hari raya yakni idhul fitri dan idhul Adha.
Sunnah zaidah yaitu ketentuan hukum islam yang tidak mengikat dan tidak
sepenting sunnah muakkad. Sebab, Nabi Muhammad biasa melakukannya dan
sering juga meninggalkannya.
Contohnya: puasa senin dan kamis, bersedekah kepada fakir miskin.
Sunnah fadhilah yaitu ketentuan hukum yang mengikuti tradisi Nabi
Muhammad dari segi kebiasaan-kebiasaan budayanya.
Contohnya: tata cara makan, minum, dan tidur dan sebagainya.
3. Makruh
Makruh (tercela) adalah sesuatu perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT atau Rasul-
Nya kepada manusia mukallaf (aqil-baliqh). Namun bentuk larangan itu tidak sampai
kepada yang haram.
Contohnya: masuk rumah orang dengan tidak mengucapkan salam, ketika melaksanakan
ibadah puasa di bulan ramadhan memperlambat berbuka puasa.
4. Haram
Haram adalah larangan keras dengan pengertian kalau dikerjakan akan berdosa atau
dikenakan hukuman dan jika ditinggalkan akan mendapat pahala
Contohnya: berzina, minum yang memabukkan, mencari, menipu dan sebagainya.
5. Wajib
Wajib menurut hukum islam adalah sesuatu yang diperintahkan oleh Allah SWT kepada
manusia mukallaf (aqil-baligh) untuk mengerjakannya, mesti dikerjakannya ia mendapat
pahala, sebaliknya bila ditinggalkan ia berdosa atau dikenakan hukuman.
Contohnya: melaksanakan salat 5 waktu yang telah diperintahkan oleh Allah, puasa di
bulan ramadhan dll.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Sumber Hukum Islam ialah segala sesuatu yang dijadikan pedoman atau yang menjadi
sumber syari’at islam yaitu Al-Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad (Sunnah Rasulullah
SAW).Sebagian besar pendapat ulama ilmu fiqih sepakat bahwa pada prinsipnya sumber utama
hukum islam adalah Al-Qur’an dan Hadist. Disamping itu terdapat beberapa bidang kajian yang
erat berkaitan dengan sumber hukum islam yaitu : ijma’, ijtihad, istishab, istislah, istihsun,
maslahat mursalah, qiyas,ray’yu, dan ‘urf.
Ahkamul khamsah artinya ketentuan atau lima ketentuan. Pada dasarnya ‘’ahkamul
khamsah erat kaitannya dengan perbuatan manusia. Oleh karena itu, gabungan kedua kata
dimaksud (Al-ahkam Al-khamsah) atau biasa juga disebut hukum taklifi. Hukum taklifi adalah
ketentuan hukum yang menuntut para mukallaf atau orang yang dipandang oleh hukum cakap
melakukan perbuatan hukum baik dalam bentuk hak, kewajiban, maupun dalam bentuk larangan.
Hukum taklifi di maksud, mencakup lima macam kaidah atau lima kategori penilaian mengenai
benda dan tingkah laku manusia dalam hukum islam yaitu jaiz, sunnah, makruh, wajib, dan
haram.
DAFTAR PUSTAKA
♣ Ali Zainuddin, 2006, Hukum Islam. Jakarta : Sinar Grafika
♣ Sudarsono,