ruu tentang bantuan hukum

58
1 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR … TAHUN … TENTANG BANTUAN HUKUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara menjamin hak konstitusional setiap orang untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagai sarana perlindungan hak asasi manusia; b. bahwa pemberian bantuan hukum bagi orang miskin sebagai perwujudan akses terhadap keadilan belum terpenuhi secara optimal; c. bahwa jaminan penyelenggaraan bantuan hukum cuma- cuma bagi orang miskin belum diatur dengan undang- undang; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Bantuan Hukum; Mengingat: Pasal 20, Pasal 21, Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), dan Pasal 28I ayat (4) dan ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, MEMUTUSKAN:

Upload: parlemen

Post on 26-Dec-2015

34 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

RUU Tentang Bantuan Hukum

TRANSCRIPT

Page 1: RUU Tentang Bantuan Hukum

1

RANCANGAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR … TAHUN …

TENTANG

BANTUAN HUKUM

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: a. bahwa negara menjamin hak konstitusional setiap oranguntuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan,dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang samadi hadapan hukum sebagai sarana perlindungan hak asasimanusia;

b. bahwa pemberian bantuan hukum bagi orang miskinsebagai perwujudan akses terhadap keadilan belumterpenuhi secara optimal;

c. bahwa jaminan penyelenggaraan bantuan hukum cuma-cuma bagi orang miskin belum diatur dengan undang-undang;

d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksuddalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentukUndang-Undang tentang Bantuan Hukum;

Mengingat: Pasal 20, Pasal 21, Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1),Pasal 28H ayat (2), dan Pasal 28I ayat (4) dan ayat (5)Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945;

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MEMUTUSKAN:

Page 2: RUU Tentang Bantuan Hukum

2

Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG BANTUAN HUKUM.

BAB IKETENTUAN UMUM

Pasal 1Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:1. Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Pemberi Bantuan

Hukum secara cuma-cuma kepada Penerima Bantuan Hukum.2. Penerima Bantuan Hukum adalah orang miskin, orang atau kelompok orang

yang ditentukan dalam Undang-Undang ini.3. Pemberi Bantuan Hukum adalah Advokat, Paralegal, dosen, dan mahasiswa

fakultas hukum yang ditentukan dalam Undang-Undang ini.4. Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum di dalam dan di

luar pengadilan yang memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuanperaturan perundang-undangan.

5. Paralegal adalah orang yang memiliki latar belakang pendidikan hukum ataumemiliki pengalaman pekerjaan di bidang hukum yang membantu pemberianbantuan hukum sesuai dengan Undang-Undang ini.

6. Komisi Nasional Bantuan Hukum yang selanjutnya disingkat Komnas Bankumadalah komisi yang berwenang menyelenggarakan bantuan hukum di seluruhwilayah Negara Republik Indonesia.

7. Standar Bantuan Hukum adalah pedoman yang ditetapkan oleh KomnasBankum dalam melaksanakan pemberian bantuan hukum.

8. Kode Etik Advokat adalah kode etik yang ditetapkan oleh organisasi profesiadvokat yang berlaku bagi Advokat.

BAB IIASAS DAN TUJUAN

Pasal 2Bantuan hukum dilaksanakan berdasarkan asas:a. keadilan;b. persamaan di hadapan hukum;c. keterbukaan;d. efisiensi dan efektivitas; dane. akuntabilitas.

Pasal 3Penyelenggaraan Bantuan Hukum bertujuan untuk:a. menjamin dan memenuhi hak bagi orang miskin untuk mendapatkan akses

keadilan;b. mewujudkan hak konstitusional warga negara sesuai dengan prinsip

persamaan di hadapan hukum;c. menjamin kepastian penyelenggaraan Bantuan Hukum dilaksanakan secara

merata di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia; dand. mewujudkan peradilan yang efektif, efisien, dan dapat

dipertanggungjawabkan.

Page 3: RUU Tentang Bantuan Hukum

3

BAB IIIRUANG LINGKUP

Pasal 4(1) Bantuan hukum diberikan kepada orang miskin yang menghadapi masalah

hukum.(2) Orang miskin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi setiap orang

yang tidak bisa memenuhi hak dasar secara layak dan mandiri.(3) Hak dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi hak atas pangan,

sandang, layanan kesehatan, layanan pendidikan, pekerjaan dan berusaha,dan perumahan.

(4) Selain kepada orang miskin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BantuanHukum diberikan kepada:a. orang atau kelompok orang yang termarjinalkan karena suatu kebijakan

publik;b. orang atau kelompok orang yang hak-hak sipil dan politiknya terabaikan;c. komunitas masyarakat adat; dand. orang yang dianggap patut dan memenuhi persyaratan yang ditentukan

oleh Komnas Bankum.(5) Masalah hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam

perkara perdata, pidana, perburuhan, dan tata usaha negara.(6) Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi menjalankan

kuasa, mendampingi, mewakili, membela, dan/atau melakukan tindakanhukum lain untuk kepentingan hukum Penerima Bantuan Hukum.

Pasal 5(1) Bantuan Hukum diberikan oleh Advokat, Paralegal, dosen, dan mahasiswa

fakultas hukum.(2) Advokat dan dosen memberikan bantuan hukum dalam semua masalah

hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.(3) Advokat dapat melibatkan Paralegal dan mahasiswa fakultas hukum dalam

memberikan bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2).(4) Paralegal dan mahasiswa fakultas hukum memberikan bantuan hukum

dalam bentuk konsultasi hukum dan penyelesaian sengketa di luarpengadilan.

(5) Dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memberikan bantuan hukumhanya berdasarkan Undang-Undang ini.

(6) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pemberian bantuan hukum olehAdvokat, Paralegal, dosen dan mahasiswa fakultas hukum diatur dalamPeraturan Komnas Bankum.

BAB IVHAK DAN KEWAJIBAN PENERIMA BANTUAN HUKUM

Pasal 6Penerima Bantuan Hukum berhak:a. mendapatkan Bantuan Hukum hingga masalah hukumnya selesai dan/atau

perkaranya telah mempunyai kekuatan hukum tetap, selama PenerimaBantuan Hukum yang bersangkutan tidak mencabut surat kuasa;

Page 4: RUU Tentang Bantuan Hukum

4

b. mendapatkan Bantuan Hukum sesuai dengan Standar Bantuan Hukumdan/atau Kode Etik Advokat; dan

c. mendapatkan informasi dan dokumen yang berkaitan dengan pelaksanaanpemberian Bantuan Hukum.

Pasal 7Penerima Bantuan Hukum wajib:a. menyampaikan bukti, informasi, dan/atau keterangan perkara secara benar

kepada Komnas Bankum atau Pemberi Bantuan Hukum; danb. membantu kelancaran pemberian Bantuan Hukum.

BAB VHAK DAN KEWAJIBAN PEMBERI BANTUAN HUKUM

Pasal 8Pemberi Bantuan Hukum wajib:a. memberikan Bantuan Hukum kepada Penerima Bantuan Hukum berdasarkan

syarat dan tata cara yang ditentukan dalam Undang-Undang ini sampaiperkaranya selesai, kecuali ada alasan yang sah secara hukum;

b. menjaga kerahasiaan data, informasi, dan/atau keterangan yang diperoleh dariPenerima Bantuan Hukum berkaitan dengan perkara yang sedang ditangani,kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang; dan

c. mematuhi dan berperilaku sesuai dengan Standar Bantuan Hukum dan/atauKode Etik Advokat.

Pasal 9Pemberi Bantuan Hukum berhak:a. mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela perkara yang

menjadi tanggung jawabnya di dalam sidang pengadilan sesuai denganStandar Bantuan Hukum dan/atau Kode Etik Advokat;

b. mendapatkan informasi dan data lain dari pemerintah ataupun instansi lain,untuk kepentingan pembelaan perkara;

c. mendapatkan jaminan perlindungan hukum, keamanan, dan keselamatanselama menjalankan pemberian Bantuan Hukum.

Pasal 10Pemberi Bantuan Hukum tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidanadalam memberikan Bantuan Hukum yang menjadi tanggung jawabnya dandilakukan dengan itikad baik di dalam sidang pengadilan sesuai dengan StandarBantuan Hukum dan/atau Kode Etik Advokat.

BAB VISYARAT DAN TATA CARA PERMOHONAN BANTUAN HUKUM

Pasal 11(1) Untuk memperoleh Bantuan Hukum, pemohon Bantuan Hukum harus

memenuhi syarat-syarat:a. mengajukan permohonan secara tertulis yang berisi sekurang-kurangnya

identitas pemohon dan uraian singkat mengenai pokok persoalan yangdimohonkan Bantuan Hukum;

b. menyerahkan dokumen yang berkenaan dengan perkara; dan

Page 5: RUU Tentang Bantuan Hukum

5

c. melampirkan surat keterangan miskin dari lurah, kepala desa, atau pejabatyang setingkat di tempat tinggal pemohon Bantuan Hukum.

(2) Dalam hal pemohon Bantuan Hukum tidak mampu menyusun permohonansecara tertulis, permohonan dapat diajukan secara lisan.

Pasal 12(1) Pemohon Bantuan Hukum mengajukan permohonan bantuan hukum kepada

Komnas Bankum.(2) Komnas Bankum dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah

permohonan bantuan hukum dinyatakan lengkap harus memberikan jawabanmenerima atau menolak permohonan bantuan hukum.

(3) Dalam hal permohonan bantuan hukum diterima, Pemberi Bantuan Hukummemberikan Bantuan Hukum berdasarkan Surat Kuasa Khusus dari PenerimaBantuan Hukum.

(4) Dalam hal permohonan bantuan hukum ditolak, Komnas Bankum wajibmencantumkan alasan-alasan penolakan.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan administrasi pemberian bantuanhukum diatur dengan Peraturan Komnas Bankum.

BAB VIIKOMISI NASIONAL BANTUAN HUKUM

Bagian KesatuKedudukan

Pasal 13(1) Untuk menjamin penyelenggaraan Bantuan Hukum dibentuk Komnas Bankum.(2) Komnas Bankum merupakan lembaga yang mandiri.(3) Komnas Bankum bertanggung jawab kepada publik atas pelaksanaan

tugasnya dan menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepadaPresiden, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Badan Pemeriksa Keuangan.

(4) Komnas Bankum berkedudukan di ibukota Negara Republik Indonesia.

Bagian KeduaKelembagaan

Pasal 14Keanggotaan Komnas Bankum berjumlah 5 (lima) orang yang terdiri dari 2 (dua)orang dari unsur advokat, 2 (dua) orang dari unsur akademisi, dan 1 (satu) orangdari unsur tokoh masyarakat yang mempunyai pengalaman di bidang pemenuhanbantuan hukum dan/atau pemajuan hak asasi manusia.

Pasal 15(1) Komnas Bankum terdiri dari satu orang ketua merangkap anggota dan empat

orang anggota.(2) Ketua Komnas Bankum dipilih dari dan oleh anggota Komnas Bankum.(3) Apabila ketua berhalangan, anggota dapat menunjuk salah satu anggota

sebagai pelaksana tugas ketua sesuai dengan peraturan Komnas Bankum.(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan Ketua Komnas Bankum

diatur dengan Peraturan Komnas Bankum.

Page 6: RUU Tentang Bantuan Hukum

6

Pasal 16(1) Masa jabatan anggota Komnas Bankum adalah 5 (lima) tahun.(2) Setelah berakhir masa jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), anggota

Komnas Bankum dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.

Bagian KetigaPengangkatan dan Pemberhentian

Pasal 17(1) Untuk dapat menjadi anggota Komnas Bankum, harus memenuhi syarat

sebagai berikut:a. warga negara Indonesia;b. sehat jasmani dan rohani;c. tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yangdiancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;

d. berusia paling rendah 35 (tiga puluh lima) tahun dan paling tinggi 65 (enampuluh lima) tahun pada saat proses pemilihan;

e. berpendidikan paling rendah S 1 (strata satu);f. berpengalaman di bidang hukum dan hak asasi manusia paling singkat 10

(sepuluh) tahun;g. memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela; danh. memiliki nomor pokok wajib pajak.

(2) Seleksi dan pemilihan anggota Komnas Bankum dilakukan oleh PanitiaSeleksi yang dibentuk oleh Presiden.

(3) Panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas 5 (lima)orang, dengan susunan sebagai berikut:a. 2 (dua) orang berasal dari unsur pemerintah; danb. 3 (tiga) orang berasal dari unsur tokoh masyarakat.

(4) Anggota panitia seleksi tidak dapat dicalonkan sebagai anggota KomnasBankum.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan panitia seleksi, tata carapelaksanaan seleksi, dan pemilihan calon anggota Komnas Bankum diaturdengan Peraturan Presiden.

Pasal 18(1) Panitia seleksi mengusulkan 15 (lima belas) orang calon yang telah memenuhi

persyaratan kepada Presiden.(2) Presiden mengajukan 15 (lima belas) orang calon sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) kepada Dewan Perwakilan Rakyat.(3) Dewan Perwakilan Rakyat memilih dan menyetujui 5 (lima) orang dari calon

sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

Pasal 19(1) Dewan Perwakilan Rakyat memberikan persetujuan dalam jangka waktu paling

lambat 30 (tiga puluh) hari sidang terhitung sejak tanggal pengajuan calonanggota Komnas Bankum diterima.

(2) Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat tidak memberikan persetujuan terhadapseorang calon atau lebih yang diajukan oleh Presiden, dalam jangka waktupaling lambat 30 (tiga puluh) hari sidang terhitung sejak tanggal diterimanya

Page 7: RUU Tentang Bantuan Hukum

7

pengajuan calon anggota Komnas Bankum, Dewan Perwakilan Rakyat harusmemberitahukan kepada Presiden disertai dengan alasan.

(3) Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat tidak memberikan persetujuansebagaimana dimaksud pada ayat (2), Presiden mengajukan calon penggantisebanyak 2 (dua) kali jumlah calon anggota yang tidak disetujui denganmemperhatikan komposisi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17.

(4) Dewan Perwakilan Rakyat wajib memberikan persetujuan terhadap calonpengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dalam jangka waktu palinglambat 30 (tiga puluh) hari sidang terhitung sejak tanggal pengajuan calonpengganti diterima.

(5) Presiden menetapkan anggota Komnas Bankum yang telah memperolehpersetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam jangka waktu paling lambat 30(tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan diterima Presiden.

Pasal 20(1) Sebelum memangku jabatannya, anggota Komnas Bankum bersumpah

menurut agama, atau berjanji dengan bersungguh-sungguh, yang berbunyisebagai berikut:“Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban sebagai anggotaKomnas Bankum dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguhUndang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbaktikepada nusa dan bangsa”.

Janji anggota Komnas Bankum:“Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban sebagaianggota Komnas Bankum dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya,memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa”.

(2) Pengucapan sumpah atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1)dilakukan di hadapan Presiden.

Pasal 21Anggota Komnas Bankum dilarang merangkap menjadi anggota dan penguruspartai politik, pejabat negara, atau pegawai negeri sipil.

Pasal 22Anggota Komnas Bankum diberhentikan karena:a. meninggal dunia;b. masa tugasnya telah berakhir;c. atas permintaan sendiri;d. sakit jasmani atau rohani yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan tugas

selama 90 (sembilan puluh) hari secara terus menerus;e. melakukan perbuatan tercela yang dapat mencemarkan martabat dan reputasi,

dan/atau mengurangi kemandirian dan kredibilitas Komnas Bankum; atauf. dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam denganpidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.

Page 8: RUU Tentang Bantuan Hukum

8

Pasal 23Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan dan pemberhentiananggota Komnas Bankum diatur dengan Peraturan Presiden.

Pasal 24(1) Dalam pelaksanaan tugasnya, Komnas Bankum dibantu oleh sekretariat

jenderal yang dipimpin oleh sekretaris jenderal yang bertugas memberikanpelayanan administrasi bagi kegiatan Komnas Bankum.

(2) Sekretaris jenderal diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usulKomnas Bankum.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kedudukan, susunan, organisasi, tugas, dantanggung jawab sekretariat jenderal sebagaimana dimaksud pada ayat (2)diatur dengan Peraturan Presiden.

Bagian KeempatTugas dan Kewenangan

Pasal 25Komnas Bankum bertugas:a. menyusun dan menetapkan kebijakan penyelenggaraan bantuan hukum;b. menyusun dan merumuskan strategi serta kebijakan umum pemberian bantuan

hukum;c. menyusun rencana, menetapkan dan mengelola penggunaan anggaran

bantuan hukum;d. menyusun Pedoman Pemberian Bantuan Hukum;e. menerapkan standar atau prinsip-prinsip tata kelola pemberian bantuan hukum

yang baik;f. menerapkan prinsip efisiensi dan efektivitas dalam penggunaan anggaran

bantuan hukum dan sumber daya manusia;dang. menyampaikan laporan kegiatan dan keuangan kepada Presiden, Dewan

Perwakilan Rakyat, dan Badan Pemeriksa Keuangan.

Pasal 26Untuk menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, KomnasBankum berwenang:a. membentuk Komnas Bankum Daerah di tingkat provinsi dan kabupaten/kota;b. mengkoordinasikan penyelenggaraan bantuan hukum dengan

instansi/lembaga terkait;c. mengawasi dan memastikan penyelenggaraan bantuan hukum dan pemberian

bantuan hukum dijalankan sesuai asas dan tujuan yang ditetapkan dalamundang-undang ini; dan

d. menunjuk Advokat dan Paralegal untuk melaksanakan pemberian bantuanhukum sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.

Pasal 27(1) Komnas Bankum menunjuk Advokat dan/atau Paralegal atau dapat

mempekerjakan secara penuh Advokat dan/atau Paralegal untukmelaksanakan pemberian Bantuan Hukum sesuai dengan ketentuan dalamUndang-Undang ini.

Page 9: RUU Tentang Bantuan Hukum

9

(2) Jika Komnas Bankum memperkerjakan secara penuh Advokat dan/atauParalegal, maka persyaratan pekerjaan dan hubungan kerjanya ditentukanoleh Komnas Bankum.

Bagian KelimaKerja Sama

Pasal 28(1) Komnas Bankum bekerja sama dengan lembaga bantuan hukum untuk

memberikan Bantuan Hukum.(2) Lembaga bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan

lembaga yang menjalankan jasa pelayanan hukum.(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara kerja sama dengan

lembaga bantuan hukum diatur dalam Peraturan Komnas Bankum.

Pasal 29(1) Komnas Bankum bekerja sama dengan organisasi advokat atau kantor hukum

advokat untuk menyelenggarakan dan/atau memberikan Bantuan Hukumsebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

(2) Organisasi advokat menyampaikan daftar advokat kepada Komnas Bankum.(3) Advokat melaksanakan dan/atau menjalankan Bantuan Hukum berdasarkan

syarat dan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini atauperaturan perundang-undangan lainnya.

(4) Penolakan untuk memberikan Bantuan Hukum oleh Advokat tanpa alasanyang jelas merupakan pelanggaran Kode Etik Advokat.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara kerja sama KomnasBankum dengan organisasi advokat atau kantor hukum advokat diatur dalamPeraturan Komnas Bankum.

BAB VIIIPEMBIAYAAN

Bagian KesatuUmum

Pasal 30(1) Pembiayaan bantuan hukum yang diperlukan dan digunakan untuk

penyelenggaraan bantuan hukum sesuai dengan Undang-Undang inidibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

(2) Selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sumber pembiayaan bantuanhukum berasal dari:a. Anggaran Pendapatan Belanja Daerah;b. hibah atau sumbangan; dan/atauc. sumber pembiayaan lain yang sah dan tidak mengikat.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perolehan dan pengelolaanpembiayaan Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diaturdalam Peraturan Pemerintah.

Page 10: RUU Tentang Bantuan Hukum

10

Pasal 31Segala biaya yang berkaitan dengan pemberian bantuan hukum kepada PenerimaBantuan Hukum menjadi tanggung jawab Komnas Bankum.

Bagian KeduaKewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah

Pasal 32Pemerintah wajib mengalokasikan pembiayaan penyelenggaraan Bantuan Hukumdalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Pasal 33Pemerintah Daerah wajib mengalokasikan pembiayaan Bantuan Hukum dalamAnggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

BAB IXLARANGAN

Pasal 34Pemberi Bantuan Hukum dilarang menerima atau meminta sesuatu apapun dariPenerima Bantuan Hukum dan/atau pihak lain yang terkait dengan perkara yangsedang ditangani Pemberi Bantuan Hukum.

Pasal 35Penerima Bantuan Hukum dilarang menerima sesuatu apapun dari pihak lainyang terkait dengan perkara yang sedang ditangani Pemberi Bantuan Hukum.

Pasal 36Komnas Bankum dilarang menolak memberikan bantuan hukum kepada pemohonbantuan hukum tanpa alasan yang diatur Komnas Bankum.

BAB XKETENTUAN PIDANA

Pasal 37Pemberi Bantuan Hukum yang terbukti menerima atau meminta sesuatu dariPenerima Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dipidanadengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp150.000.000 (seratus lima puluh juta rupiah).

Pasal 38Penerima Bantuan Hukum yang terbukti menerima sesuatu apapun dari pihak lainyang terkait dengan perkara yang sedang ditangani sebagaimana dimaksud dalamPasal 36, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau dendapaling banyak Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).

Pasal 39Ketua atau anggota Komnas Bankum yang menolak memberikan bantuan hukumkepada pemohon bantuan hukum tanpa alasan yang diatur Komnas Bankum

Page 11: RUU Tentang Bantuan Hukum

11

sebagaimana dimaksud Pasal 37, dipidana dengan pidana penjara 4 (empat)tahun dan denda paling banyak Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah).

BAB XIKETENTUAN PERALIHAN

Pasal 40Segala ketentuan yang mengatur mengenai bantuan hukum tetap berlaku,sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.

Pasal 41Pembentukan Komnas Bankum paling lambat 1 (satu) tahun setelah berlakunyaUndang-Undang ini.

BAB XIIKETENTUAN PENUTUP

Pasal 42Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakartapada tanggal .............................

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakartapada tanggal ............................

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIAREPUBLIK INDONESIA,

PATRIALIS AKBAR

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN ... NOMOR ...

Page 12: RUU Tentang Bantuan Hukum

12

NASKAH AKADEMIS RUU TENTANG BANTUAN HUKUM

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejak Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945)

diberlakukan pertama kali pada tanggal 18 Agusutus 1945, bangsa Indonesia

telah memiliki kesadaran akan konsep negara hukum sebagai pilihan yang

ideal bagi negara Indonesia yang diproklamasikan sehari sebelumnya, yaitu

pada 17 Agustus 1945. Hal ini terbukti, dimana dalam Penjelasan UUD 1945

disebutkan bahwa “Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum

(rechtsstaat). Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak

berdasarkan kekuasaan belaka (Machtsstaat).” Setelah mengalami pasang

surut, perjalanan ketatanegaraan Indonesia sampai pada era reformasi tahun

1998. Salah satu tuntutan reformasi adalah perubahan tatanan berbangsa dan

bernegara Indonesia ke arah yang lebih konkret dengan semangat

konstitusionalisme.

Oleh karenanya, amandemen terhadap UUD 1945 menjadi sebuah

keniscayaan, mengingat selama rezim Orde Baru mengubah UUD 1945

dianggap sesuatu yang tabu. Sehubungan dengan itu, UUD 1945 telah

diamandemen sebanyak empat kali yaitu tahun 1999 (Perubahan Pertama),

2000 (Perubahan Kedua), 2001 (Perubahan Ketiga), dan 2002 (Perubahan

Keempat). Pada Perubahan Ketiga, konsep atau gagasan bahwa Indonesia

sebagai negara hukum semakin diperkukuh. Hal ini terbukti jika sebelum

amandemen konsep negara hukum hanya ada dalam Penjelasan, pasca

amandemen telah eksplisit dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, yang

merumuskan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”.

Page 13: RUU Tentang Bantuan Hukum

13

Pengukuhan Indonesia sebagai negara hukum dalam Pasal 1 ayat (3) UUD

1945 memberi pesan adanya keinginan kuat bahwa negara menjamin

terselenggaranya persamaan kedudukan dalam hukum, yang antara lain

ditandai dengan terciptanya suatu keadaan dimana hak setiap orang untuk

mendapatkan perlakuan yang sama di depan hukum serta jaminan kepada

setiap orang yang berhak mendapatkan akses keadilan (justice for all). Hal ini

bahkan merupakan hak dasar setiap orang yang bersifat universal. Konsep ini

menjadi penting karena negara selalu dihadapkan pada kenyataan adanya

sekelompok masyarakat yang miskin atau tidak mampu, sehingga sering tidak

bisa mewujudkan haknya untuk mendapatkan keadilan (yang semestinya

terselenggara dalam kaitannya dengan konsep negara hukum).

Untuk mewujudkan terselenggaranya gagasan negara hukum

(konstitusionalisme) tersebut, maka negara perlu campur tangan karena hal itu

menjadi kewajiban negara untuk menjamin hak setiap orang mendapatkan

keadilan. Dengan kata lain, negara harus menjamin terselenggaranya bantuan

hukum kepada orang miskin atau orang yang tidak mampu sehingga tidak ada

yang luput dari akses keadilan yang merupakan amanat konstitusi.

B. Perumusan Masalah

Akses keadilan sebagai salah satu hak dasar yang bersifat universal, oleh

karenanya pengalaman di berbagai negara dalam memberikan bantuan

hukum bagi warga negara yang tergolong miskin atau tidak mampu adalah

relevan dalam mewujudkan negara hukum yang demokratis. Hal ini tentu

berlaku bagi Negara Republik Indonesia yang juga merupakan negara hukum

yang demokratis (konstitusionalisme).

Fakta empiris menunjukkan bahwa dalam masyarakat telah terdapat berbagai

lembaga bantuan hukum baik berupa lembaga swadaya masyarakat maupun

yang dikelola oleh fakultas hukum di perguruan tinggi yang telah memberikan

bukti konkret dan kontribusi luar biasa terhadap warga negara Indonesia yang

miskin atau tidak mampu untuk mendapatkan akses keadilan. Selain itu,

terdapat juga ribuan advokat yang menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun

Page 14: RUU Tentang Bantuan Hukum

14

2003 tentang Advokat, diwajibkan untuk memberikan bantuan hukum secara

cuma-cuma bagi orang yang tidak mampu.

Akan tetapi, mengingat besarnya jumlah penduduk Indonesia yang mencapai

220 juta jiwa serta jumlah penduduk miskin yang mencapai 32 juta jiwa serta

wilayah Indonesia yang sedemikian luas, akses keadilan bagi mereka yang

tergolong miskin atau tidak mampu masih jauh dari tingkat yang ideal. Secara

kuantitatif saja, ratio antara advokat dan jumlah penduduk Indonesia saat ini

masih sangat timpang. Menurut catatan resmi di Mahkamah Agung Republik

Indonesia, jumlah advokat sampai dengan tahun 2005 berjumlah kurang dari

30.000 orang, bandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang

mencapai 220 juta jiwa.

C. Tujuan

Adapun yang menjadi tujuan penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang

Bantuan Hukum adalah sebagai berikut:

1. menjamin dan memenuhi hak bagi fakir miskin untuk mendapatkan akses

keadilan, baik di dalam maupun di luar proses peradilan;

2. mewujudkan hak konstitusional warga negara sesuai dengan prinsip

persamaan di hadapan hukum;

3. menjamin kepastian penyelenggaraan bantuan hukum dilaksanakan secara

merata di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia; dan

4. mewujudkan peradilan yang efektif, efisien, dan dapat

dipertanggungjawabkan.

D. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penulisan Naskah Akademik ini adalah metode

penelitian yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif yang dilakukan untuk

menganalisis peraturan perundang-undangan yang mengatur atau di

dalamnya terdapat ketentuan mengenai bantuan hukum. Pasal-pasal

peraturan perundangan yang telah ada yang mengatur tentang bantuan

hukum adalah bagian yang menjadi fokus dalam penelitian ini. Adapun bahan

hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Page 15: RUU Tentang Bantuan Hukum

15

1. Bahan hukum primer yang meliputi :

a) Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 27 ayat (1),

Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28G, dan Pasal 28I ayat

(4) dan ayat (5);

b) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, diumumkan dengan Maklumat

Tanggal 30 April 1847, S. 1847-23;

c) Reglemen Acara Perdata, (Reglement op de Rechtsvordering), S.1847-

52 jo.1849-63.

d) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 3209);

e) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM (Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 165 Tahun 1999, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886);

f) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, (Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 49 Tahun 2003, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4288);

g) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman, (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 157 Tahun

2009, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076).

2. Bahan hukum sekunder, yaitu buku, surat kabar, dan Putusan Mahkamah

Konstitusi RI Perkara Nomor 006/PUU-lI/2004 tentang Pengujian Undang-

Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat terhadap Undang-Undang

Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

Selanjutnya, analisis terhadap bahan-bahan hukum dan data yang diperoleh

dilakukan dengan tahapan: kompilasi bahan-bahan hukum, klasifikasi,

sistematisasi, yang selanjutnya dilakukan interpretasi sesuai dengan teori

hukum yang dapat dipertanggung jawabkan secara akademis.

Page 16: RUU Tentang Bantuan Hukum

16

BAB IIBANTUAN HUKUM SEBAGAI AMANAT KONSTITUSI

A. Pengertian Bantuan Hukum

Page 17: RUU Tentang Bantuan Hukum

17

Ada beberapa definisi bantuan hukum yang sudah ada. Black’s Law Dictionary

mendefinisikan bahwa bantuan hukum adalah “Country wide system

administered locally by legal services is rendered to those in financial need and

who can not afford private counsel.” Menurut The International Legal Aid,

bantuan hukum didefinisikan sebagai “The legal aid work is an accepted plan

under which the services of the legal profession are made available to ensure

that no one is deprived of the right to receive legal advice or, where necessary

legal representation before the courts or tribunals, especially by reason of his

or her lack of financial resources” (Frans Hendra Winarta, 2009 : 21)

Selain itu, menurut Adnan Buyung Nasution, bantuan hukum adalah sebuah

program yang tidak hanya merupakan aksi kultural akan tetapi juga aksi

struktural yang diarahkan pada perubahan tatanan masyarakat yang tidak adil

menuju tatanan masyarakat yang lebih mampu memberikan nafas yang

nyaman bagi golongan mayoritas. Oleh karenanya bantuan hukum bukanlah

masalah sederhana, melainkan sebuah rangkaian tindakan guna pembebasan

masyarakat dari belenggu struktur politik, ekonomi, dan sosial yang sarat

dengan penindasan.

Berdasarkan beberapa definisi tersebut di atas, Frans Hendra Winarta

menyimpulkan bahwa bantuan hukum merupakan jasa hukum yang khusus

diberikan kepada fakir miskin yang memerlukan pembelaan secara cuma-

cuma, baik di luar maupun di dalam pengadilan, secara pidana, perdata, dan

tata usaha negara, dari seseorang yang mengerti seluk beluk pembelaan

hukum, asas-asas dan kaidah hukum, serta hak asasi manusia (Frans Hendra

Winarta, 2009 : 23)

Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 83 Tahun 2008

tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-

Cuma, bantuan hukum secara cuma-cuma adalah jasa hukum yang diberikan

advokat tanpa menerima pembayaran honorarium meliputi pemberian

konsultasi hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan

melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan pencari keadilan yang tidak

mampu.

Page 18: RUU Tentang Bantuan Hukum

18

Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat diketahui bahwa dalam bantuan

hukum terdapat beberapa unsur, yaitu:

a. penerima bantuan hukum adalah fakir miskin atau orang yang tidak mampu

secara ekonomi;

b. bantuan hukum diberikan baik di dalam maupun di luar proses peradilan;

c. bantuan hukum diberikan baik dalam lingkup peradilan pidana, perdata

maupun tata usaha negara;

d. bantuan hukum diberikan secara cuma-cuma.

B. Hubungan Bantuan Hukum dan Konstitusionalisme

Bantuan hukum jelas mempunyai hubungan dengan konstitusionalisme.

Konstitusionalisme adalah sebuah gagasan tentang pembatasan kekuasaan

dalam pemerintahan, yang didukung oleh adanya undang-undang dasar,

adanya lembaga perwakilan yamg demokratis, kebebasan warga, dan

persamaan kedudukan dalam hukum. Persamaan kedudukan dalam hukum

berarti adanya kesempatan atau hak yang sama bagi setiap orang untuk

mendapatkan keadilan. Hal ini tercermin dalam beberapa pasal dari UUD

1945, sehingga memberi suatu pesan (konstitusi) bahwa bantuan hukum yang

diselenggarakan oleh negara adalah sebuah keniscayaan.

Berikut beberapa pasal dari UUD 1945 yang berkaitan dengan perlunya

jaminan negara untuk menyelenggarakan bantuan hukum:

1. Pasal 28D:Ayat (1) “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dankepastian hukum yangadil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.”

Pasal 28D ayat (1) tersebut menjamin bahwa setiap orang termasuk orang

yang tidak mampu, mempunyai hak untuk mendapatkan akses terhadap

keadilan agar hak-hak mereka atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan

kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum

dapat diwujudkan. Karena sangat sulit dipahami secara konstitusional,

bahwa orang miskin dapat memperoleh jaminan terhadap hak pengakuan,

Page 19: RUU Tentang Bantuan Hukum

19

jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan

yang sama di hadapan hukum, tetapi mereka orang tidak mampu dan tidak

pula diberi akses terhadap keadilan, melalui lembaga-lembaga pengadilan

Negara (litigasi) maupun proses non litigasi.

Dalam konsteks demikian sangat diperlukan kehadiran pemberi bantuan

hukum, yang memang sejak awal didesain untuk melakukan pekerjaan

hukum untuk orang yang tidak mampu. Agar orang yang tidak mampu

dapat dijamin hak-haknya, dan mengakses keadilan dengan mendapatkan

bantuan hukum dari pemberi bantuan hukum secara cuma-cuma.

Kehadiran pemberi bantuan hukum adalah implementasi kewajiban negara

untuk membantu negara dalam tugas pemberian bantuan hukum bagi

orang yang tidak mampu. Negara, bagi terciptanya kesejahteraan

kehidupan masyarakatnya khususnya dalam jaminan hak-hak pengakuan,

dan jaminan hukum, sudah seyogyanya apabila visi dan misi yang diusung

oleh pemberi bantuan hukum dalam melakukan tugas bantuan hukum

cuma-cuma kepada orang yang tidak mampu, berbeda dengan pemberian

bantuan hukum sebagaimana yang dilakukan oleh pihak lain, yakni advokat

sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003

tentang Advokat. Pemberi bantuan hukum sejak awal mempunyai

komitmen memberikan bantuan hukum kepada orang tidak mampu secara

cuma-cuma, tetapi advokat sejak awal didesain untuk menjadi orang yang

berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan,

berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan

kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum

lain untuk kepentingan hukum klien, secara profesional dengan

mendapatkan honorarium dari klien, di samping memang advokat juga

mempunyai kewajiban memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma

kepada pencari keadilan yang tidak mampu. Beda antara pemberi bantuan

hukum dengan advokat sebagaimana ketentuan Undang-Undang Nomor 18

Tahun 2003 pemberi bantuan hukum didesain sejak awal mengemban

tugas untuk memberi bantuan hukum cuma-cuma dan tidak sebagai

sebuah profesi serta mata pencaharian/pekerjaan. Sedangkan advokat

Page 20: RUU Tentang Bantuan Hukum

20

adalah pekerjaan profesi atau mata pencaharian sehingga selalu terdapat

motif imbalan atau honorarium.

Pasal 28D Ayat (2) tersebut, memberikan hak kepada pemberi bantuan

hukum dalam melakukan tugas bantuan hukum, mendapat imbalan dan

perlakukan yang adil dan layak dalam hubungan kerja yang terbentuk

antara pemberi bantuan hukum dengan orang yang tidak mampu yang

mendapatkan bantuan hukum. Oleh karenanya, adalah menjadi kewajiban

negara untuk menyediakan anggaran bagi kepentingan pemberian bantuan

hukum yang dilakukan oleh pemberi bantuan hukum. Sebab sangat tidak

mungkin, aktivitas pemberi bantuan hukum dalam melakukan tugas

bantuan hukum berjalan dengan baik dan optimal, jika tidak mendapatkan

dukungan khususnya anggaran dari negara. Tanpa menghilangkan

semangat pemberian bantuan hukum oleh pemberi bantuan hukum kepada

orang miskin secara cuma-cuma (prodeo), maksud pemberian imbalan dan

perlakuan yang adil dan layak bagi pemberi bantuan hukum harus diartikan

sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam konteks

perlakuan adil dan layak karena telah melakukan pekerjaan bantuan hukum

sebagai pemberi bantuan hukum. Imbalan tidak sama artinya dengan

honorarium yang diterima advokat dari kliennya, melainkan anggaran dana

yang diperlukan oleh pemberi bantuan hukum dalam melakukan tugas

bantuan hukum.

3. Pasal 28H Ayat (2):Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untukmemperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapaipersamaan dan keadilan.

Ketentuan Pasal 28H ayat (2) tersebut semakin memperkuat terjaminnya

setiap warga negara khususnya warga negara tidak mampu, mengakses

keadilan dengan cara mendapatkan bantuan hukum dari pemberi bantuan

hukum agar haknya untuk mendapatkan kemudahan dan perlakukan

khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna

mencapai persamaan dan keadilan, benar-benar dapat dijamin dan

terwujud. Meskipun kehadiran organisasi bantuan hukum bukanlah menjadi

satu-satunya pihak yang paling bertanggung jawab dalam melakukan tugas

Page 21: RUU Tentang Bantuan Hukum

21

bantuan hukum khusus bagi orang yang tidak mampu secara cuma-cuma.

Tetapi mengingat visi dan misi yang diusung oleh pemberi bantuan hukum

sejak awal adalah dalam jalur ”pengabdian” dan kerja sukarela (volunteer),

maka sangat bisa dipertanggungjawabkan apabila kemudian. kehadiran

pemberi bantuan hukum perlu diatur dalam undang-undang tersendiri

tentang Bantuan Hukum, tanpa harus ditafsir bahwa kehadirannya sudah

cukup terwakili dengan hadirnya advokat dalam Undang-Undang Nomor 18

Tahun 2003.

5. Pasal 28I

Ayat (4)Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusiaadalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.

Ayat (5)Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai denganprinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasimanusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.

Ketentuan Pasal 28I ayat (4) dan (5) tersebut semakin meneguhkan

jaminan hak-hak setiap orang khususnya yang tidak mampu dalam

mendapatkan akses keadilan melalui kehadiran Undang-Undang tentang

Bantuan Hukum. Pasal 28I ayat (4) dan (5), sebagai pintu utama bagi

penegakan jaminan hak-hak setiap orang yang tidak mampu untuk

mendapatkan akses keadilan melalui pemberian bantuan hukum dari

pemberi bantuan hukum, yang sekaligus dasar utama konstitusional bagi

perlunya kehadiran pemberi bantuan hukum untuk mendapatkan

pengaturan secara khusus dalam bentuk Undang-Undang tentang Bantuan

Hukum, mengingat kedudukan, tugas, dan fungsinya yang sangat strategis,

yakni melaksanakan amanat konstitusi. Dengan demikian tidak cukup

alasan bagi pihak manapun untuk menolak dan tidak setuju dengan

kehadiran Undang-Undang tentang Bantuan Hukum.

C. Sejarah Singkat Bantuan Hukum di Indonesia

Page 22: RUU Tentang Bantuan Hukum

22

Gerakan bantuan hukum di negara berkembang umumya didorong oleh

kebutuhan domestik akan suatu strategi pembangunan hukum yang responsif

(Garuda Nusantara, 1983). Pembangunan hukum adalah segala usaha yang

dilakukan oleh berbagai kelompok sosial dalam masyarakat untuk

mempengaruhi pembentukan, konseptualisasi, penerapan dan

pengembangan hukum dalam suatu proses politik. Di negara berkembang

pembangunan hukum cenderung bersifat ortodoks, di mana lembaga-lembaga

negara (beserta aparat birokrasinya) mendominasi arah perkembangan

hukum (Garuda Nusantara, 1983). Hukum yang dihasilkan dari pola ortodoks

adalah hukum yang bersifat positivis-instrumentalis dan menempatkan hukum

sebagai alat yang ampuh bagi pelaksanaan ideologi dan program negara,

seperti persatuan nasional, stabilitas politik, modernisasi, dan pembangunan

sosial. Dalam strategi ini, keinginan untuk mewujudkan otonomi hukum yang

melibatkan pembatasan dan kontrol atas kekuasaan negara serta peran

penting lembaga peradilan dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan

hukum, tidak mendapat ruang yang memadai.

Kebutuhan akan pembangunan hukum yang responsif muncul dari kesadaran

atas tidak akomodatifnya hukum positivis-instrumentalis yang dihasilkan pola

ortodoks terhadap kebutuhan dan perasaan keadilan masyarakat. Suatu

produk hukum yang lebih responsif terhadap tuntutan-tuntutan dari berbagai

kelompok sosial dan individu dalam masyarakat hanya akan dapat dicapai

melalui strategi pembagunan hukum yang menempatkan hukum sebagai

wahana emansipasi (Peters dan Siswosoebroto dalam Kusumah 1995).

Strategi responsif menempatkan hukum sebagai suatu alat bagi perubahan

yang independen terhadap suatu sistem politik. Keabsahan hukum didasarkan

pada keadilan substansif, coersion lebih bercorak insentif dan kewajiban moral

mandiri, sedangkan moralitas yang berkembang adalah keterpaduan antara

aspirasi hukum dan politik yang tidak bersifat sub-ordinatif (Khusumah, 1995).

Strategi hukum responsif akan memberikan ruang yang besar bagi partisipasi

masyarakat dalam pembangunan hukum dan memungkinkan lembaga

peradilan menjadi kreatif dan mandiri (Garuda Nusantara, 1983).

Page 23: RUU Tentang Bantuan Hukum

23

Kebutuhan yang sama juga dirasakan di Indonesia. Hanya saja, meskipun

sudah mulai berkembang sejak zaman pra kemerdekaan, bantuan hukum

yang berkembang sebelum dekade 1970-an tersebut lebih merupakan

tanggung jawab moral maupun inisiatif profesional para advokat dalam

membela hak asasi manusia dengan memberikan bantuan hukum secara

cuma-cuma kepada masyarakat yang lemah dan tidak mampu. Membela

orang miskin juga bagian dari pelaksanaan prinsip persamaan di hadapan

hukum (equality before the law) dan hak setiap orang. Tidak bisa dipungkiri

bahwa, secara umum bantuan hukum yang berkembang saat itu masih

bersifat tradisional sehingga pelayanan yang diberikan lebih bersifat individual,

pasif, terbatas pada pendekatan formal legal sehingga bertumpu pada

pendampingan kasus dan pembelaan, baik di dalam maupun di luar

pengadilan (Garuda Nusantara, 1981).

Nasution (1981) menilai bahwa bangkitnya paham konstitusionalisme pada

awal Orde Baru memegang peran kunci bagi perluasan gerakan bantuan

hukum. Konstitusionalisme adalah abstraksi yang lebih tinggi dari 'rule of law'

(rechtsstaat) dan menekankan pentingnya suatu 'negara terbatas' di mana

kekuasaan politik resmi dikelilingi oleh hukum yang jelas dan penerimaannya

akan mengubah 'kekuasaan' menjadi wewenang yang ditentukan secara

hukum (Lev, 1990). Paham ini pada dasarnya menghendaki pemulihan negara

hukum sesuai konstitusi yang berlaku sebagai koreksi atas berbagai

penyimpangan yang terjadi pada masa Demokrasi Terpimpin (Nasution 1981;

dalam Garuda Nusantara, 1987). Secara umum mereka menghendaki: (i)

pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia yang mengandung

persamaan dalam bidang politik, hukum, ekonomi, kultural, sosial dan

pendidikan; (ii) peradilan yang bebas dan tidak memihak serta tidak

dipengaruhi oleh sesuatu kekuatan atau kekuasaan lain apa pun; dan (iii)

legalisasi dalam arti hukum dalam segala bentuknya.

Berkembangnya pemikiran konstitusionalis ini dipengaruhi oleh masuk dan

menguatnya pemikiran liberalisme di Indonesia khususnya kalangan kelas

menengah, pada dekade 1970-an. Paham ini dicirikan oleh kepercayaan

terhadap netralitas dan otonomi hukum serta pentingnya keberadaan pranata-

Page 24: RUU Tentang Bantuan Hukum

24

pranata demokrasi ala barat, seperti parlemen dan kekuasaan kehakiman,

yang berfungsi dengan baik bagi terwujudnya demokrasi (Uhlin, 1998 dalam

Garuda Nusantara, 1981). Berkembangnya Liberalisme Indonesia di kelompok

kelas menengah dan elite masyarakat sipil, menurut Lev (dalam Uhlin, 1998)

juga ditandai oleh tekad untuk secara konseptual memisahkan negara dari

masyarakat dan memperkuat posisi masyarakat terhadap negara.

Faktor-faktor tersebut kemudian mendorong bergesernya pola bantuan hukum

dari bantuan hukum tradisional menjadi gerakan bantuan hukum konstitusional

(Garuda Nusantara, 1981). Bantuan hukum konstitusional merupakan bantuan

hukum untuk masyarakat miskin yang dilakukan dalam rangka usaha-usaha

dan tujuan yang lebih luas dari sekadar pelayanan hukum di dalam

pengadilan. Pola ini berusaha menyadarkan masyarakat miskin sebagai

subyek hukum, atas hak-hak yang dimilikinya serta menempatkan penegakan

dan pengembangan nilai-nilai hak asasi manusia sebagai sendi utama

tegaknya negara hukum. Sifat bantuan hukum yang diberikan juga lebih aktif,

tidak terbatas pada pendampingan individual namun juga diberikan kepada

kelompok masyarakat secara kolektif. Pendekatan yang ditempuh juga tidak

selalu pendekatan formal legal, namun juga melalui jalan politik dan negosiasi

sehingga aktivitas seperti kampanye bagi penghapusan perundangan yang

diskriminatif terhadap kaum miskin, kontrol terhadap birokrasi maupun

pendidikan hukum masyarakat menjadi bagian yang esensial di dalamnya.

Orientasi gerakan bantuan hukum ini tidak lagi hanya menjadi perwujudan

negara hukum yang berlaku, namun telah bergeser menjadi perwujudan

negara hukum yang berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi

manusia. Bantuan hukum untuk rakyat miskin dipandang sebagai suatu

kewajiban dalam rangka untuk menyadarkan mereka sebagai subyek hukum

yang mempunyai hak-hak yang sama dengan golongan masyarakat lainnya.

Tanpa menafikan kemajuan-kemajuan yang dibawa oleh bantuan hukum

konstitusional pada akhir 1970-an mulai timbul kegelisahan akan masih

terbatasnya kemampuan gerakan bantuan hukum untuk menembus

permasalahan dasar yang dihadapi masyarakat miskin di Indonesia (Garuda

Nusantara, 1981). Kesadaran ini makin menguat dengan munculnya wacana

Page 25: RUU Tentang Bantuan Hukum

25

tentang ‘kemiskinan struktural’ pada awal tahun 1980-an kemiskinan struktural

adalah kemiskinan yang timbul secara alamiah namun disebabkan struktur

kelembagaan yang timpang (Garuda Nusantara, 1981). Struktur yang timpang

ini menyebabkan terjadinya ketimpangan penguasaan akses terhadap sumber

daya dan penguasaan teknologi. Dalam kemiskinan struktural, struktur sosial

yang ada telah memfasilitasi berlangsungnya proses yang merenggut hak-hak

dasar manusia. Inilah yang kemudian dirasakan secara luas tengah

berlangsung dalam politik pembangunan Orde Baru. Berbagai struktur

kelembagaan, baik itu sosial, ekonomi, politik, bahkan termasuk hukum telah

menciptakan problem-problem kemiskinan.

Dalam kacamata kemiskinan struktural, hukum tidak lagi bersifat netral.

Hukum merupakan produk dari proses sosial yang terjadi di masyarakat.

Suatu masyarakat dengan pola hubungan yang timpang tidak mungkin

menghasilkan hukum yang adil bagi semua orang. Timbul kebutuhan bagi

suatu ideologi hukum yang bersifat 'merombak' untuk membebaskan

mayoritas masyarakat yang selama ini dimarjinalisasi dan ditelantarkan oleh

struktur yang timpang. Nasution (1981) menyatakan bahwa bantuan hukum

bukan hanya merupakan aksi kultural namun juga melibatkan aksi struktural

untuk mengubah tatanan masyarakat dan membebaskan masyarakat dari

struktur politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang sarat dengan penindasan.

Ditinggalkannya netralitas hukum serta kebutuhan akan perubahan struktural

itulah yang mendorong pergeseran gerakan bantuan hukum dari yang bersifat

konstitusional menjadi bantuan hukum struktural.

Bantuan hukum struktural merupakan kegiatan yang bertujuan untuk

menciptakan kondisi bagi terwujudnya hukum yang mampu mengubah struktur

yang timpang menuju ke arah yang lebih adil, tempat peraturan hukum dan

pelaksanaannya menjamin persamaan kedudukan baik di lapangan politik

maupun ekonomi (Garuda Nusantara, 1981). Patra M. Zen menjelaskan bahwa

jika hukum sebagai sistem dipilah menjadi tiga elemen yaitu struktur sistem

hukum (structure of legal system), substansi sistem hukum (substance of legal

system), dan budaya hukum (legal culture), maka bantuan hukum struktural

melihat bahwa perubahan yang signifikan hanya bisa dilakukan melalui

perombakan struktur sistem hukum.

Page 26: RUU Tentang Bantuan Hukum

26

Tujuan akhir dari bantuan hukum struktural bukan lagi menawarkan jasa

bantuan hukum pada rakyat (fakir miskin) namun lebih kepada perubahan

tatanan sosial dari yang semula timpang menjadi lebih berkeadilan. Merujuk

pada Fauzi Abdullah, perbedaan tersebut ada pada ‘positioning’ gerakan

bantuan hukum dimana: (i) analisis yang dilakukan menggunakan pisau

analisis struktural; (ii) berpegang pada nilai-nilai keadilan sedangkan hukum

positif merupakan objek analisis; (iii) relasi yang dikembangkan setara antara

masyarakat (pencari keadilan) dengan public defender (pemberi jasa bantuan

hukum); (iv) fakta yang dihimpun meliputi fakta-fakta sosial; serta (v)

melibatkan tindakan non hukum/non litigasi, seperti penyadaran hak dan

pengorganisasian serta penilaian.

Bantuan hukum struktural memang melibatkan tindakan yang lebih luas

dibandingkan dengan bantuan hukum yang ada sebelumnya. Hendardi lebih

jauh menjelaskan bahwa jalur-jalur non hukum merupakan bagian penting

dalam bantuan hukum. Jalur-jalur ekstra legal tersebut mencakup pula lobby,

pressure, maupun kampanye publik serta jalur-jalur lain yang bisa

membangkitkan daya di dalam masyarakat untuk mengaktualisasikan hak-

haknya di dalam hukum. Seperti yang kemudian direfleksikan oleh Lev (1990),

dalam bantuan hukum struktural, organisasi bantuan hukum menggunakan

hukum sebagai ‘jalan pintas bagi pembaharuan politik, sosial bahkan kultural’.

Pemberian bantuan hukum hanya merupakan basis bagi upaya yang lebih luas

yang dikembangkan untuk mewakili kepentingan petani dan buruh, kritisisme

sosial-legal dan politik, desakan melalui lobby untuk pembaharuan hukum,

pembelaan terhadap pengadilan politik yang juga digunakan sebagai forum

untuk komentar politik dan hukum, serta kampanye untuk hak-hak asasi.

Satu hal yang menarik dari transformasi gerakan bantuan hukum konstitusional

menjadi bantuan hukum struktural adalah terjadinya pergeseran pengarah

wacana yang berkembang dalam masyarakat sipil. Merujuk pada klasifikasi

Uhlin (1998) maupun Eldrigde (1989), wacana liberal yang sebelumnya

mendominasi pada dekade 1970-an telah digantikan oleh wacana radikal kiri.

Persentuhan dengan teori kritis, seperti dependency theory, memang diakui

telah memberikan inspirasi bagi pematangan konsep bantuan hukum

Page 27: RUU Tentang Bantuan Hukum

27

struktural. Hal ini juga dialami oleh Fauzi Abdullah maupun Hendardi. Mereka

menyatakan bahwa perkenalan mereka dengan pemikir di luar gerakan

bantuan hukum, seperti Paul Mudigdo, telah memfasilitasi persentuhan mereka

dengan wacana baru tersebut. Paul Mudigdo adalah sosok yang sering disebut

sebagai tokoh kunci dalam persentuhan para aktivis bantuan hukum di

Indonesia dengan teori kritis dan mendorong perkembangan pemikiran

bantuan hukum struktural. Adnan Buyung Nasution, Fauzi Abdullah, dan Abdul

Hakim Garuda Nusantara mengakui peran penting kriminolog dari Utrecht

tersebut.

Secara langsung maupun tidak langsung, pemikiran-pemikiran tersebut juga

beririsan dengan perkembangan pemikiran yang ada di dalam ilmu hukum

sendiri, khususnya pemikiran critical legal studies (CLS). Seperti yang

dikemukakan Simarmata (2003), pemikiran CLS juga memandang konsep

netralitas hukum adalah sebuah kebohongan besar. Seperti halnya diyakini

dalam bantuan hukum struktural, CLS juga memandang bahwa hukum tidak

pernah netral, kebal, apalagi otonom terhadap faktor-faktor di luar hukum

(Simarmata, 2003).

Mengemukanya pendekatan bantuan hukum struktural telah mengubah ‘wajah’

gerakan bantuan hukum yang ada di Indonesia sejak awal tahun 1980-an.

Dalam pandangan Mohammad Zaidan, walaupun wacana bantuan hukum

struktural di LBH (kemudian YLBHI) telah dicetuskan sejak zaman Adnan

Buyung Nasution dan terus dikembangkan oleh generasi Todung Mulya Lubis

(1983-1987), namun pematangan konsep bantuan hukum struktural sendiri

baru terjadi dalam masa kepemimpinan Abdul Hakim Garuda Nusantara (1987-

1993). Olle Tornquist pada tahun 1984 saat mencermati peran LBH dalam

gerakan pro demokrasi di Indonesia menyatakan bahwa LBH merupakan

‘penyambung yang mungkin di antara LSM berbasis kelas menengah, yang

tidak punya basis massa, dengan gerakan buruh’. LBH Jakarta telah

memainkan peran sebagai ‘issue enterpreneurs’ dengan membangkitkan

kesadaran masyarakat (khususnya masyarakat miskin) akan hak untuk

mendapatkan bantuan hukum serta memberikan alternatif untuk tidak

bergantung pada inisiatif negara. Arti penting lain LBH adalah perannya dalam

Page 28: RUU Tentang Bantuan Hukum

28

mengembangkan kekuatan organisasi non pemerintah (ORNOP) di Indonesia.

Merujuk pada Uhlin (1998), lembaga bantuan hukum merupakan sedikit dari

generasi senior tersebut yang menjadi ‘cetak biru’ dan sumber inspirasi bagi

proses radikalisasi ORNOP pada dekade 1980 dan 1990-an.

Posisi tersebut tidak bisa dilepaskan dari peran lembaga bantuan hukum

dalam mendorong pendekatan bantuan hukum struktural. LBH sejak tahun

1980-an secara bertahap mulai membangun kesadaran kritis dan kekuatan

kolektif di kelompok-kelompok strategis, khususnya buruh dan petani. Seperti

diungkapkan Mohammad Zaidun, kesadaran kritis tersebut dibutuhkan agar

timbul daya dari kelompok strategis tersebut untuk secara bersama-sama

memecahkan masalah kolektif yang timbul dari represi yang mereka alami.

Tidak hanya itu, untuk memperkuat gagasan dan daya jangkau gerakan

bantuan hukum struktural, LBH dan banyak para aktivisnya juga mendukung

dan banyak terlibat dalam jaringan advokasi beragam ORNOP dengan tema

struktural yang lebih spesifik.

Kolaborasi antara LBH dengan komunitas ORNOP tersebut juga menghasilkan

inovasi yang menarik. Sebagai contoh, LBH bersama WALHI secara inovatif

menggunakan prinsip legal standing (dan kemudian juga class action) untuk

mewakili kepentingan publik dalam memperkarakan “aktor-aktor”, baik negara

maupun bukan negara, yang dinilai merusak kelestarian lingkungan hidup.

Salah satu tonggak dalam kerja jejaring dan kolaborasi LBH dengan kelompok

masyarakat sipil lain adalah kasus Kedung Ombo. Terlepas dari terbatasnya

dampak kebijakan yang dihasilkannya dalam tataran domestik, merujuk pada

Rochman (2002), LBH berhasil membangun koalisi luas dengan “masyarakat

akar rumput” (korban gusuran), komunitas ORNOP lingkungan (WALHI dan

SKEPHI) serta organisasi bantuan hukum yang. Brown dan Fox (2000) bahkan

secara tidak langsung menilai peran sentral LBH (tepatnya YLBHI) untuk

mengoordinasikan jejaring ORNOP merupakan hal yang unik dalam sejarah

koalisi masyarakat sipil melawan proyek-proyek raksasa Bank Dunia.

Membandingkan delapan kasus perlawanan kasus koalisi masyarakat sipil

melawan Bank Dunia di Asia dan Amerika Latin, Brown dan Fox hanya

Page 29: RUU Tentang Bantuan Hukum

29

menemukan keterlibatan sentral organisasi bantuan hukum dalam kasus

Kedung Ombo.

Hal lain yang penting dicatat dari LBH adalah relasi yang dikembangkannya

dengan negara. Orde Baru merupakan suatu rezim otoriter dan represif

sehingga merupakan hal yang menarik ketika rezim tersebut tidak hanya

‘merestui’ namun bahkan memberikan dukungan sumber daya bagi terbentuk

sebuah lembaga semacam LBH yang memperjuangkan negara hukum. Seperti

halnya yang dianalisis oleh Lubis (1986), hal itu mungkin didorong oleh

harapan pemerintah untuk menjadikan LBH sebagai ‘alat pereda konflik yang

ampuh’ untuk memperkukuh tatanan (struktural) yang ada atau suatu

‘establishment within the establishment’. Hanya saja argumentasi tersebut

tidak memadai untuk menjelaskan reaksi negara yang terkesan ‘cukup lunak’

terhadap LBH ketika LBH mulai menangani kasus-kasus yang bersifat politik,

seperti kasus Malari, pembelaan HR Dharsono serta Thomas W. Wainggai,

dan pengusutan kasus penembakan misterius (petrus). Seperti dikemukakan

Lev (1990), negara mempunyai kemampuan untuk ‘memberangus’ LBH

sebagai sebuah organisasi untuk selama-lamanya, namun yang dipilih

kemudian hanyalah kombinasi dari represi kelembagaan yang terbatas serta

represi ‘setengah hati’ terhadap individu aktivisnya.

Mohammad Zaidun dalam refleksinya terhadap pengalaman LBH Surabaya

sepanjang Orde Baru menyatakan bahwa secara lembaga LBH tidak pernah

mengalami represi yang sangat signifikan sebagai alat dari aktivitas bantuan

hukumnya. Di saat kebanyakan aktivitas formal mengalami tekanan sistemik,

baik dalam bentuk penangkapan maupun pemanggilan, LBH termasuk salah

satu dari sedikit lembaga yang tidak pernah dipanggil untuk diminta keterangan

tentang aktivitasnya. Kecenderungan yang sama juga berlangsung di tingkat

nasional. Sebagai contoh, walaupun sempat dihambat untuk memperluas

jaringan kantor LBH di daerah, larangan tersebut kemudian dihapus pada

tahun 1978 dan pada akhirnya memungkinkan terbentuknya YLBHI (Uhlin,

1998). Menurut Mohammad Zaidun, kemampuan LBH saat itu untuk

‘meminimalisasi’ represi negara bersumber dari kemampuannya untuk

memelihara keseimbangan antara kuatnya dukungan ‘populer’ dari masyarakat

Page 30: RUU Tentang Bantuan Hukum

30

dan “kelompok akar rumput”, serta dukungan ‘informal’ dari komponen

birokrasi pemerintahan dan militer. Seperti yang dikemukakan Lev (1990),

meskipun pemerintahan Orde Baru dari segi politik lebih kuat dari

pemerintahan lain yang pernah ada di Indonesia sejak kemerdekaan, namun

dari segi ideologi tidak pernah sepi dari perdebatan. Selalu ada ‘perbedaan

sudut pandang’, bahkan di antara pemegang peran intinya, tentang jenis

negara apa yang seharusnya merupakan sifat negara Indonesia dan jenis

masyarakat apa yang seharusnya dibangun, jika bukan jenis yang sudah ada.

Konsep negara hukum dan kemudian perubahan struktural yang dibawa LBH

membantu mengisi ruang yang terbuka akibat perdebatan tersebut dan mampu

menarik simpati dari dalam rezim Orde Baru sendiri. Tidak mengherankan jika

kemudian Eldrigde (1989) menggolongkan YLBHI sebagai ORNOP yang

menggunakan strategi ‘politik tingkat tinggi-mobilisasi akar rumput’. Organisasi

semacam ini membatasi kerja sama dengan pemerintah karena lebih

mengutamakan peningkatan kesadaran kritis di masyarakat namun memiliki

hubungan baik, bahkan pengaruh, jaringan militer dan birokrasi di pusat

maupun di daerah yang dapat digunakan untuk memberikan perlindungan

terhadap aktivitas-aktivitas mereka.

Lev (1990), di sisi lain, menyatakan bahwa posisi LBH yang kuat dalam

relasinya dengan negara tersebut tidak bisa dilepaskan dari kemampuannya

untuk menghimpun basis dukungan dan sumber daya, tidak hanya dari

birokrasi maupun masyarakat, namun juga entitas kelas menengah lain dan

pihak ketiga serta tidak hanya basis dukungan domestik namun juga dari luar

negeri. Menurutnya, dukungan terhadap LBH juga datang dari unsur

pengusaha dan kaum profesional kelas menengah yang di satu sisi berterima

kasih kepada kesempatan ekonomi yang diberikan rezim Orde Baru, namun di

sisi lain, mulai muak dengan meningkatnya korupsi serta kesewenangan politik

yang dilakukan oleh rezim yang sama. Dukungan lain juga diperoleh dari pers

yang bersimpati serta memiliki jangkauan nasional yang luas, seperti harian

Kompas, Sinar Harapan dan mingguan Tempo. Menurut Lev, tanpa dukungan

pers, LBH tidak akan dapat mengembangkan banyak pengaruh, bahkan

mungkin tidak akan dapat bertahan. Pernyataan Lev tentang peranan pers

tersebut juga diamini oleh Budiman Tanuredjo. Budiman menyatakan bahwa

Page 31: RUU Tentang Bantuan Hukum

31

tanpa adanya peran mediasi dari media massa sebagai agen komunikator

maka ide-ide bantuan hukum struktural dari tokoh-tokoh LBH tidak akan

pernah tersosialisasikan ke masyarakat. Budiman merujuk pada pengalaman

kolaborasi media massa dan LBH saat menolak pengundangan RUU

Keselamatan dan Keamanan Negara oleh Presiden BJ. Habibie yang dinilai

bisa membangkitkan lagi Orde Baru. Saat itu, LBH bertindak sebagai pemasok

ide tentang bahaya RUU tersebut sedangkan media massa berperan untuk

melakukan kapitalisasi isu dan melakukan penyadaran secara luas di tingkat

masyarakat tentang perlunya masyarakat sipil menolak RUU tersebut.

Peran donor internasional dalam aktivitas YLBHI memang acap mengundang

kritik. Beberapa pengamat menyatakan bahwa ketergantungan terhadap donor

bisa melemahkan kemandirian organisasi sehingga YLBHI lebih cenderung

melayani kepentingan donor dibandingkan membela kepentingan rakyat

miskin. Terlepas dari akurasi ‘tuduhan’ tersebut, mobilisasi sumber dana

memang cukup dilematis bagi YLBHI. Seperti yang disampaikan Abdul Hakim

Garuda Nusantara, YLBHI memandang bahwa mobilisasi dana dari donor

asing adalah suatu kewajaran karena hak asasi manusia merupakan isu

global. Hal itu menjadi makin tidak terelakkan ketika mobilisasi sumber dana

domestik mengalami banyak kendala. Seperti yang disampaikan Mohammad

Zaidun, LBH Surabaya tidak mungkin menerima dana dari pemerintah daerah

karena secara politis itu akan menyulitkan posisi LBH dan akan membuat

masyarakat dampingan mempertanyakan kemandirian LBH terhadap negara.

Hal yang sama juga dialami oleh beberapa LBH di daerah lain. Hal senada

disampaikan oleh Direktur LBH Bandung saat itu, Dindin Maulani. Dindin

mencontohkan kasus batalnya sokongan dana dari Pemda Jawa Barat ketika

LBH membela kasus klien yang bersengketa dengan pemerintah (The Jakarta

Post, 30 Oktober 1990). Ini menyebabkan donor internasional tetap menjadi

pilihan utama mengingat mereka memiliki sumber daya yang lebih besar dan

kredibilitas yang lebih tinggi dibandingkan sumber daya domestik yang tidak

bisa dilepaskan dari citra represif-kooptatif rezim Orde Baru.

D. Tinjauan Filosofis, Sosiologis, dan Yuridis

D.1. Tinjauan Filosofis

Page 32: RUU Tentang Bantuan Hukum

32

Setiap orang berhak mendapatkan peradilan yang adil dan tidak

memihak (fair dan impartial court).

Hak ini merupakan hak dasar setiap manusia yang bersifat universal,

berlaku di manapun, kapanpun dan pada siapapun tanpa ada

diskriminasi. Pemenuhan hak ini merupakan tugas dan kewajiban

Negara.

Setiap warga negara tanpa memandang suku, warna kulit, status sosial,

kepercayaan, dan pandangan politik berhak mendapatkan akses

terhadap keadilan. Indonesia sebagai negara hukum menjamin

kesetaraan bagi warga negaranya di hadapan hukum dalam dasar

negara dan konstitusinya. Sila Kedua Pancasila "Kemanusiaan yang

adil dan beradab" dan Sila Kelima Pancasila "Keadilan sosial bagi

seluruh rakyat Indonesia" mengakui dan menghormati hak warga

negara Indonesia untuk keadilan ini. UUD 1945 menegaskan bahwa

setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlidungan dan

kepastian hukum yang ada serta perlakuan yang sama di hadapan

hukum dan setiap warga negara berhak memporoleh kesempatan yang

sama dalam pemerintahan. UUD 1945 juga mengakui hak setiap orang

untuk bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif, atas dasar apa

pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang

bersifat diskriminatif itu. Tanggung jawab negara ini harus dapat

diimplementasikan melalui ikhtiar ketatanegaraan pada ranah legislatif,

yudikatif, dan eksekutif.

Kedudukan yang lemah dan ketidakmampuan seseorang tidak boleh

menghalangi orang tersebut mendapatkan keadilan. Pendampingan

hukum (legal representation) kepada setiap orang tanpa diskriminasi itu

merupakan perwujudan dari perlindungan dan perlakuan yang sama di

hadapan hukum tersebut. Tanpa adanya pendampingan hukum maka

kesetaraan di hadapan hukum sebagaimana diamanatkan konstitusi dan

nilai universal hak asasi manusia tersebut tidak akan pernah terpenuhi.

Page 33: RUU Tentang Bantuan Hukum

33

Bantuan Hukum adalah media bagi warga negara yang tidak mampu

untuk dapat mengakses keadilan sebagai manifestasi, jaminan hak-

haknya secara konstitusional. Masalah bantuan hukum meliputi masalah

hak warga negara secara konstitusional yang tidak mampu, masalah

pemberdayaan warga negara yang tidak mampu dalam akses terhadap

keadilan, dan masalah hukum faktual yang dialami warga negara yang

tidak mampu menghadapi kekuatan negara secara struktural.

Disamping itu, pemberian bantuan hukum juga harus dimaksudkan

sebagai bagian integral dari kewajiban warga negara lain yang

mempunyai kemampuan dan kompetensi dalam memberikan bantuan

hukum bagi warga negara yang tidak mampu. Pemberian bantuan

hukum, mempunyai manfaat besar bagi perkembangan pendidikan

penyadaran hak-hak warga negara yang tidak mampu khususnya

secara ekonomi, dalam akses terhadap keadilan, serta perubahan sosial

masyarakat ke arah peningkatan kesejahteraan hidup dalam semua

bidang kehidupan berdasarkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat

Indonesia.

Oleh karena itu dibutuhkan suatu peraturan perundang-undangan yang

menjamin hak warga negara Indonesia untuk mendapatkan akses

keadilan dan pendampingan hukum termasuk bantuan hukum (legal aid)

bagi warga negara yang tidak mampu.

D.2. Tinjauan Sosiologis

Secara sosiologis bantuan hukum adalah jenis pelayanan yang sangat

dibutuhkan oleh para pencari keadilan di Indonesia. Menurut catatan di

Mahkamah Agung jumlah advokat sampai dengan tahun 2005 adalah

kurang dari 3000 orang, bandingkan dengan jumlah penduduk

Indonesia yang mencapai 220 juta jiwa sehingga rasio penduduk

berbanding advokat adalah 1 : 7.333. Akibat dari rasio yang sangat

timpang itu maka sangat banyak pencari keadilan yang tidak mendapat

pelayanan pendampingan hukum yang semestinya adalah haknya.

Ketimpangan ini terus terjadi bahkan sampai tahun-tahun yang lebih

Page 34: RUU Tentang Bantuan Hukum

34

kontemporer. Sebagai contoh selama satu tahun pemberlakuan status

darurat militer di Aceh Mei 2003 sampai Mei 2004 sebanyak 3.562

orang dan dalam masa penerapan status darurat sipil Mei 2004 sampai

Mei 2005 setidaknya 2.185 orang ditangkap/menyerahkan diri (Lihat:

‘Stop violence’ After the End of Martial Law, the Jakarta Post,

Wednesday, May 19, 2004. Lihat Sejak Darurat Militer, 3.761 Anggota

GAM Tewas, Media Indonesia, Jumat, 29 April 2005). Hanya puluhan

orang dari jumlah yang demikian besar yang mendapat bantuan hukum

dalam sidang pidana di pengadilan atas tuduhan makar terhadap

mereka.

Populasi penduduk miskin Indonesia yang tinggi turut mempengaruhi

akses masyarakat miskin untuk mendapat bantuan hukum dari para

pengacara atau pekerja bantuan hukum. Untuk mengurangi

ketimpangan pemberian pendampingan hukum itu maka lembaga

bantuan hukum yang ada seperti LBH dan BKBH kampus bekerja sama

dengan paralegal memainkan peranan yang penting dan tak

tergantikan.

Indonesia tidak mempunyai pengalaman spesifik di bidang pendidikan

layanan hukum maupun perhatian terhadap pemberian bantuan hukum.

Pengalaman dalam upaya penegakan hukum dan keadilan sepanjang

sejarah Republik Indonesia, juga belum bisa dijadikan patokan dasar

untuk membuat formula dan model bantuan hukum yang baik, yang

dapat menjamin hak-hak konstitusional warga negara khususnya yang

tidak mampu dalam akses keadilan.

Mahkamah Konstitusi dalam salah satu pertimbangannya juga mengutip

pendapat McClymont dan Golub, “...university legal aid clinic are now

part of the educational and legal landscape in most regions of the world.

They have already made contributions to social justice and public

service in the developing world, and there are compelling benefits that

recommend their consideration in strategies for legal education and

public interest law”.

Page 35: RUU Tentang Bantuan Hukum

35

Di sisi lain banyak pula pemberi bantuan hukum yang

mengatasnamakan dan menyebut diri sebagai lembaga bantuan hukum

namun berpraktik dan melakukan perbuatan pelayanan hukum dengan

menarik bayaran. Ini jelas penyimpangan. Rancangan Undang-Undang

ini ingin meluruskan penyimpangan itu.

Penerima bantuan hukum umumnya adalah fakir miskin dan buta hukum

dan harus dijaga dari kemungkinan diperalat oleh pihak-pihak yang lebih

kuat, termasuk oleh penyedia jasa bantuan hukum itu sendiri. Oleh

karena itu, pemberi bantuan hukum haruslah memiliki integritas dan

memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam Rancangan Undang-

Undang ini.

Gambaran tersebut di atas memberikan penegasan bahwa pemberian

bantuan hukum bagi warga negara yang tidak mampu adalah hak

konstitusional dalam memperoleh akses keadilan yang merupakan hak

asasi manusia yang diperoleh dari Tuhan Yang Maha Esa dan melekat

pada setiap orang serta tidak dapat dihapus dengan alasan dan dasar

apa pun. Secara sosiologis, dalam kemasan agenda dan cita-cita

reformasi, pemberian bantuan hukum bagi warga negara yang tidak

mampu adalah kebutuhan pokok untuk mewujudkan cita-cita proklamasi

kemerdekaan bangsa Indonesia yakni keadilan bagi seluruh rakyat

Indonesia.

D.3. Tinjauan Yuridis

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa dalam Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara

implisit merumuskan beberapa hal yang mengamanatkan pentingnya

bantuan hukum. Hal ini terdapat dalam:

Page 36: RUU Tentang Bantuan Hukum

36

a. Pasal 28D:Ayat (1)

“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan,dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.”

b. Pasal 28HAyat (2):Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuankhusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang samaguna mencapai persamaan dan keadilan.

c. Pasal 28IAyat (4)Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasimanusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.

Ayat (5)Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuaidengan prinsip negara hukum yang demokratis, makapelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkandalam peraturan perundang-undangan.

2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP)

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

disahkan sejak tanggal 31 Desember 1981, Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76. Sebelum Undang-

Undang ini berlaku, peraturan yang menjadi dasar bagi pelaksanaan

hukum acara pidana dalam Lingkungan peradilan umum adalah HIR

(Staatsblad Tahun 1941 Nomor 44, Het Herziene Inlandsch

Reglement) atau dalam bahasa Indonesia dikenal dengan Reglemen

Indonesia yang Diperbaharui.

Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 terdapat Ketentuan

antara lain:

Pasal 54Guna kepentinan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhakmendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasehat hukumselama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menuruttata cara yang ditentukan dalam UU ini.

Ketentuan Pasal 54 tersebut, juga memberikan dasar yuridis

perlunya dibentuk UU tentang Bantuan Hukum, karena mendapatkan

Page 37: RUU Tentang Bantuan Hukum

37

bantuan hukum adalah hak (asasi) dari tersangka atau terdakwa.

Penyebutan penasehat hukum (tidak dapat secara serta merta

dimaksudkan sebagai advokat atau bukan advokat sebagaimana

ketentuan UU No. 18 Tahun 2003) sebagai pihak yang memberikan

bantuan hukum dalam pasal tersebut, bukan berarti menegaskan

kehadiran pemberi bantuan hukum dalam RUU Bantuan Hukum.

Dalam ketentuan pasal tersebut menekankan pada substansi

pemberian bantuan hukum sebagai manifestasi hak (asasi)

tersangka atau terdakwa dan bukan pada siapa yang seharusnya

menjadi satu-satunya pihak yang mempunyai kewajiban memberikan

bantuan hukum.

3. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Per)

Pasal 1792Pemberian kuasa ialah suatu persetujuan yang diberikan pemberankekuasaan keada orang lain yang menerimanya untuk melaksanakansesuatu atas nama yang memberi kuasa.

Pasal 1793Kuasa dapat diberikan dan diterima dengan suatu akta umum dengan suatusurat di bawah tangan, bahkan dengan sepucuk surat atapun lisan.Penerimaan surat kuasa dapat pula terjadi secara diam-diam daridisampaikan dari pelaksanaan kuasa itu oleh yang diberi kuasa itu.

Pasal 1794Pemberian kuasa terjadi dengan cuma-cuma, kecuali jika diperjanjikansebaliknya. Jika dalam hal yang terakhir upahnya tidak ditentukan dengantegas, maka penerima kuasa tidak boleh meminta upah yang lebih daripadayang ditentukan dalam Pasal 411 untuk wali.

Ketentuan pasal-pasal tersebut menegaskan bahwa yang menerima kuasa

tidak harus seorang advokat atau bukan. Bahkan kuasa diberikan secara

cuma-cuma, hal ini yang menjadi dasar yuridis bahwa bantuan hukum

secara cuma-cuma bagi warga negara yang tidak mampu menjadi penting

untuk diatur dalam sebuah undang-undang khusus tentang bantuan hukum.

4. Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtsvordering, S. 1847-52 jo. 1849-63)

Bagian 12. Berperkara secara cuma-cuma (prodeo) atau dengan biayadengan tarip yang dikurangi.

Page 38: RUU Tentang Bantuan Hukum

38

Pasal 887Untuk memperoleh ketetapan izin berperkara secara prodeo atau dengantarip yang dikurangi tidak dipungut biaya.Dalam biaya pada pasal ini termasuk gaji penasehat hukum dan juru sita(Rv. 880)

Pasal 879Akibat diizinkannya berperkara secara prodeo atau dengan tarip yangdikurangi adalah, bahwa biaya kepaniteraan dalam hal pertama seluruhnya,sedangkan dalam hal yang kedua untuk separuhnya, dibebaskankepadanya, bahwa masing-masing untuk hal yang pertama tidak dipungutdan untuk hal yang kedua dipungut separuh gaji pengacara dan juru sita,juga masing-masing untuk hal yang pertama secara cuma-cuma dan dalamhal kedua dipungut separuh biaya pelaksanaan keputusan hakim (RO.72,190,201; Rv. 887, 881 dst)

Perjanjian yang bertentangan dengan apa yang ditentukan dalam kesatuadalah batal.

Pasal 882Bila ada alasan-alasan untuk pihak lawan dari orang yang diizinkan untukberperkara secara prodeo, atau dengan tarip yang dikurangi, untukmenanggung biayanya, maka hakim karena jabatannya akanmenghukumnya untuk membayar kepada panitera biaya kepaniteraanmenurut ketentuan pasal 879, begitu pula mengganti biaya yang telahdikeluarkan pemerintah untuk uang jalan juru sita juga gaji pengacara danpara juru sita yang termasuk dalam pengertian biaya sepanjang pemohonyang telah dibayarkan terlebih dulu.

Putusannya menyebutkan masing-masing yang harus dibayarkan.

Pihak lawan dipaksa untuk melakukannya dengan suatu surat perintahpelaksanaan yang dikeluarkan oleh ketua raad van justitie yangmenjatuhkan putusan. Penyerahan tidak ada dilaksanakan sebelumkeputusan mempunyai kekuatan hukum yang pasti. Terhadap suratperintah itu tidak ada upaya hukum yang lebih tinggi.

Pasal 884Dalam hal penyelesaian yang sangat buru-buru sambil menunggu putusanmengenai permohonannya, ketua majelis, seperti dimaksud dalam pasal873, dapat mengizinkan permohonan untuk berperkara secara prodeo ataudengan tarip yang dikurangi.

Izin itu dimohon dengan surat permohonan yangditandatangani olehpengacara. Tentang keharusan menyampaikan surat-surat untukmenguatkan keadaan miskin atau kurang mampu ditetapkan oleh ketua.Untuk memperoleh ketetapan mengenai permohonan tidak boleh dipungutbiaya…

Page 39: RUU Tentang Bantuan Hukum

39

Ketentuan pasal-pasal tersebut menegaskan bahwa bantuan hukum harus

diberikan kepada orang yang tidak mampu. Sehingga kelahiran Undang-

Undang Bantuan Hukum menjadi sangat tepat untuk melegitimasi secara

konstitusional hak warga negara yang tidak mampu dalam mendapatkan

akses keadilan dalam perkara perdata.

5. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Pasal 18(Ayat 4)Setiap orang yang diperiksa berhak mendapatkan bantuan hukum sejaksaat penyidikan sampai adanya putusan pengadilan yang telahmemperoleh kekuatan hukum tetap.

Ketentuan pasal tersebut jelas bahwa bantuan hukum sangat dibutuhkan

baik sejak penyidikan, penuntutan, dan pengadilan di semua tingkatan

sampai memperoleh kekuatan hukum tetap. Sehingga jelas bahwa RUU

tentang Bantuan Hukum relevan untuk dibentuk.

6. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2003 tentangAdvokat

Pasal 22(Ayat 1)Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepadapencari keadilan yang tidak mampu.

Ayat (2)Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pemberian bantuan hukumsebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dengan PeraturanPemerintah.

Ketentuan pasal tersebut bermakna bahwa advokat juga mempunyai

kewajiban untuk melakukan pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma

kepada pencari keadilan yang tidak mampu. Tetapi kewajiban tersebut tidak

jelas dan tidak fokus karena tugas pemberian bantuan hukum secara cuma-

cumanya menjadi salah satu tugas “tambahan dan sampingan” advokat.

Terlepas dari itu semua, visi dan misi advokat memang berbeda dengan

visi dan misi pemberi bantuan hukum yang pengaturannya akan diatur

dalam rancangan undang-undang tentang bantuan hukum. Karena akses

keadilan sebagaimana ketentuan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (1),

Page 40: RUU Tentang Bantuan Hukum

40

Pasal 28 H ayat (2), dan Pasal 28 I ayat (4) dan ayat (5), memang dijamin

oleh konstitusi dan hanya sangat mungkin diwujudkan apabila dilakukan

oleh orang dan pihak khusus serta pengaturan yang khusus pula. Dengan

demikian tidak ada alasan apapun untuk menolak kehadiran Undang-

Undang tentang Bantuan Hukum hanya karena dengan argumentasi dan

alasan sudah ada ketentuan Pasal 22 tersebut.

Pasal 23Ayat (1)Advokat asing wajib memberikan jasa hukum secara cuma-cuma untuksuatu waktu tertentu kepada dunia pendidikan dan penelitian hukum.

Ayat (2)Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara mempekerjakan advokatasing serta kewajiban memberikan jasa hukum secara cuma-cuma kepadadunia pendidikan dan penelitian hukum diatur lebih lanjut denganKeputusan Menteri.

Ketentuan Pasal 23 tersebut juga ambivalensi dan kontradiktif dengan

ketentuan Pasal 22 di atas. Sebab paradigma bantuan hukum cuma-cuma

seakan dianggap tidak penting dan tidak perlu menjadi kewajiban dan

urusan advokat secara profesional. Bagaimana bisa dijelaskan secara

akademik, sosiologis, dan filosofis, tiba-tiba advokat asing hanya boleh

memberikan jasa hukum secara cuma-cuma kepada dunia pendidikan dan

penelitian hukum. Sementara pengertian jasa hukum sebagaimana

ketentuan Pasal 1 angka 2 UU No. 18 tahun 2003 adalah jasa yang

diberikan advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum,

menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela dan melakukan

tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien. Dari ketentuan

Undang-Undang No. 18 tahun 2003 bahwa dunia pendidikan dan penelitian

hukum diartikan sebagai Klien advokat asing dan oleh karenanya advokat

asing dapat memberikan jasa hukumnya. Tetapi kalau memang benar

demikian, kenapa tidak juga menjadi kewajiban dari advokat yang pribumi,

apakah memang advokat pribumi tidak ada yang mampu dan tidak mau

memberikan jasa hukum (memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum,

menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela dan melakukan

tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien) kepada dunia

Page 41: RUU Tentang Bantuan Hukum

41

pendidikan dan penelitian hukum. Ataukah ketentuan Pasal 23 tersebut

semakin menegaskan bahwa konsepsi dan paradigma bantuan hukum

cuma-cuma memang bukan menjadi domain dan wilayah kewajiban

advokat untuk melakukannya. Kalau memang demikian berarti semakin

menguatkan alasan bahwa perlu dibentuk Undang-Undang khusus tentang

Bantuan Hukum.

7. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentangKekuasaan Kehakiman

Pasal 56Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum.

Pasal 57Bantuan Hukum dan Pos Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud dalamPasal 56 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dari ketentuan Pasal 56 dan Pasal 57 tersebut jelas bahwa perlu dibentuk

Undang-Undang yang mengatur tentang bantuan hukum. Sehingga jelas

landasan filosofis, yuridis, sosiologis, dan politis perlunya bantuan hukum

diatur secara khusus. Sebab bantuan hukum bukan komoditas yang bisa

diperjualbelikan oleh pihak manapun. Kehadiran Undang-Undang Bantuan

Hukum adalah dalam konteks menegaskan secara paradigmatik bahwa

bantuan hukum bukan sebagai komoditas yang dapat diperjualbelikan

secara profesional dengan tarif jasa tertentu walaupun atas dasar

kesepakatan antara pemberi bantuan hukum dengan penerima bantuan

hukum. Bantuan hukum adalah satu hak yang menjadi kewajiban pihak

lainnya untuk memberikannya. Posisi negara seharusnya menjadi sangat

penting dan urgen untuk mengambil peran dan posisi dalam menjamin hak

warga negara untuk mendapatkan bantuan hukum secara memadai yang

dijamin konstitusi.

E. Bantuan Hukum di Berbagai Negara

Belajar dari kesuksesan dan kegagalan bangsa lain adalah salah satu cara

yang bijak dalam merancang dan melaksanakan bantuan hukum di Indonesia.

Page 42: RUU Tentang Bantuan Hukum

42

Kelima negara yang diuraikan di bawah ini merepresentasikan pengalaman

dalam pemberian bantuan hukum.

E.1. Belanda

Belanda menuangkan program bantuan hukumnya dalam Undang-Undang

Bantuan Hukum Tahun 1994 yang kemudian diamandemen pada 2004.

Undang-undang ini menyediakan seperangkat peraturan yang menjadi

dasar bantuan hukum di negara ini. Menurut ketentuan undang-undang ini

hanya orang atau badan tertentu yang kemampuan keuangan atau

kekayaannya tidak mencapai jumlah tertentu pengeluaran maksimum

(maximum disposable income) misalnya berpenghasilan Rp 13 juta atau

memiliki aset senilai Rp 90 juta.

Program ini dilaksanakan oleh suatu badan yang disebut Legal Aid, Advice

& Assistance Centres (Pusat Bantuan, Nasehat dan Pembelaan Hukum)

yang merupakan lembaga independen dan didanai dari dana publik.

Lembaga ini menangani seluruh jenis perkara, asalkan pemohon bantuan

telah memenuhi kriteria batas penghasilan sebagaimana disebutkan di

atas. Namun demikian, perkara-perkara dengan nilai di bawah 180 Euro

(Rp 2 juta), perkara yang tidak memiliki dasar yang jelas (manifestly

unfounded), perkara dengan biaya yang tidak proporsional, dan perkara

dengan ancaman hukuman yang terlalu ringan juga tidak ditangani oleh

lembaga ini.

Dana bantuan hukum ini hanya membayar biaya advokat. Sedangkan biaya

sidang dan biaya-biaya lain tidak didanai.

Selain bisa menggunakan advokat dari The Legal Aid, Advice & Assistance

Centres, pemohon bantuan hukum juga dapat memilih sendiri advokatnya.

Masyarakat yang membutuhkan bantuan untuk memilih advokat boleh

meminta nasehat dari Raad voor Rechtsbijstand atau asosiasi advokat di

sana.

E.2. Afrika Selatan

Page 43: RUU Tentang Bantuan Hukum

43

Hak rakyat Afrika Selatan dan kewajiban pemerintahnya untuk

menyediakan bantuan Hukum dilindungi dan diakui oleh undang-undang

dasar negara ini yaitu dalam Section 28 dan Section 35 The Constitution of

South Africa. Lebih lanjut ketentuan undang-undang dasar ini dijabarkan

dalam Legal Aid Act No. 22 of 1969, South Africa Bill of Rights; Act 108 of

1999, Public Finance Management Act; Restitution of Land Rights; Security

of Tenure dan Criminal Procedures Act. Undang-undang ini memandatkan

pembentukan suatu badan yang disebut Legal Aid Board (LAB) dan didanai

sepenuhnya oleh dana negara. Sekalipun didanai oleh negara LAB adalah

lembaga independen yang tidak dapat dicampuri oleh pemerintah.

Warga negara yang mendapat dakwaan pidana namun miskin, atau ditahan

dengan perpanjangan terus menerus atau dicurigai tidak akan

mendapatkan pengadilan yang adil jika tidak dibela berhak mendapatkan

pelayanan dari LAB. Sedangkan warga negara yang berperkara secara

perdata harus memenuhi kriteria tingkat pendapatan atau kekayaan tertentu

untuk mendapatkan bantuan ini, jelas hanya yang miskin yang berhak

mendapatkannya. Salah satu hal khusus dalam kompetensi lembaga

bantuan hukum ini adalah kewenangan mereka untuk membela kasus-

kasus kesejahteraan binatang dan perlindungan alam liar (Animal and

Nature Conservation cases).

Secara teknis LAB melaksanakan peran pembelaannya di pengadilan-

pengadilan di seluruh Afrika Selatan melalui advokat-advokat yang

begabung dalam Justice Centres dan Petugas Bantuan Hukum (Legal Aid

Officer) pada Pengadilan Magistrat (Magistrate Court).

E.3. Australia

Berbeda dari kedua negara di atas, Australia justru tidak mencantumkan

hak bantuan hukum dalam konstitusinya, demikian pula tidak terdapat hak

ini dalam undang-undang federalnya. Hak-hak ini diakui dalam jurisprudensi

dan undang-undang negara bagian yang menciptakan komisi bantuan

hukum. Jurisprudensi yang umum diikuti oleh hakim di Australia

Page 44: RUU Tentang Bantuan Hukum

44

berdasarkan kekuatan mengikat jurisprudensi (legal binding force of

jurisprudence).

Untuk mendapatkan bantuan hukum pemohon harus diuji melalui tiga

kriteria yaitu kriteria pendapatan (Means Test), kriteria kelayakan perkara

(Reasonableness Test) dan kriteria jenis perkara (Kind of Cases). Pemohon

diperiksa pendapatan dan kekayaannya dalam kriteria pendapatan. Dalam

kriteria kelayakan perkara yang dimohonkan pembelaannya akan dinilai

kemungkinan menangnya, efisiensi biaya berbanding dengan manfaat

untuk klien, dan kelayakan biaya berbanding dengan kebutuhan lain yang

lebih mendesak. Untuk kriteria jenis perkara, dana bantuan hukum ini tidak

disediakan untuk perkara-perkara tertentu seperti perkara sewa menyewa

dan perkara perburuhan.

Sehari-hari bantuan hukum dilaksanakan oleh pusat-pusat pelayanan

hukum masyarakat (Community Legal Centres) yang dilaksanakan oleh

NGO dan organisasi-organisasi masyarakat sipil lainnya. Di seluruh

Australia terdapat 214 pusat pelayanan hukum masyarakat ini yang

mempekerjakan 580 pekerja purna waktu, 662 pekerja paruh waktu dan

3.464 sukarelawan. Dalam lingkup yang lebih luas pusat pelayanan hukum

masyarakat ini juga mengelola program-program bantuan hukum di luar

beracara di pengadilan.

Lembaga ini juga mengelola program pendidikan dan pelatihan hukum

(Clinical Legal Education) bersama-sama dengan fakultas hukum dari

berbagai universitas, program pendidikan hukum komunitas (Community

Legal Education) dengan melaksanakan kegiatan-kegiatan seperti

penerbitan, online resouces, publikasi melalui radio, workshop dan

sebagainya. Lembaga ini juga aktif dalam melakukan advokasi dan

reformasi hukum secara keseluruhan.

Selain disediakan oleh pusat pelayanan bantuan hukum sebagaimana

dijelaskan di atas, bantuan hukum juga dilaksanakan secara aktif oleh

advokat prodeo (pro bono lawyers) yang tergabung dalam National Pro

Page 45: RUU Tentang Bantuan Hukum

45

Bono Resource Centre, Public Interest Law Clearing House atau dikelola

sendiri oleh firma-firma hukum di negara ini. Para advokat prodeo ini

diperkirakan telah menyumbang setidaknya 866.300 jam kerja untuk

melaksanakan pendampingan hukum gratis, 123.100 jam kerja untuk

reformasi hukum dan pendidikan hukum masyarakat dan membantu

mengurangi beban biaya pengacara sampai 536.700 jam kerja.

Program ini didanai oleh pemerintah federal Australia, pemerintah negara-

negara bagian sebesar $AU9.700.000, dari persemakmuran

(Commonwealth) sebesar $AU 20.400.000 dan berbagai sumber dana yang

lain seperti universitas.

E.4. TAIWAN

Pemerintah Taiwan mengundangkan Legal Aid Act tahun 2004 sebagai

dasar bagi program bantuan hukum oleh pemerintah di negara ini.

Pelaksanaan ketentuan ini dibebankan kepada the Taiwan Legal Aid

Foundation yang didanai dengan dana publik namun dioperasikan oleh

masyarakat sipil. Dana untuk Taiwan Legal Aid Foundation ini disediakan

oleh Judicial Yuan, namun dikelola secara independen oleh Taiwan Legal

Aid Foundation. Dewan Direktur lembaga ini beranggotakan lima orang

pegawai pemerintah dan delapan orang warga sipil yang empat orang di

antaranya adalah advokat. Sekalipun hampir setengah dari anggota dewan

ini adalah pegawai pemerintah namun independensinya tetap ditegakkan.

Taiwan Legal Aid Foundation menyediakan bantuan hukum yang

komprehensif dan meluas dalam wilayah perkara pidana, perdata dan

administratif. Pendekatan yang dilakukan adalah multi tasks legal aid yang

berarti menyediakan pelayanan konsultasi, penyusunan dokumen-dokumen

hukum, pendampingan dalam mediasi dan perdamaian, serta

pendampingan di depan persidangan.

Terdapat dua kelompok masyarakat yang berhak memanfaatkan fasilitas ini

yaitu masyarakat miskin dan mereka yang didakwa dalam perkara-perkara

yang harus didampingi (compulsory defense cases). Ada dua syarat bagi

masyarakat yang ingin menggunakan fasilitas bantuan hukum bagi mereka

Page 46: RUU Tentang Bantuan Hukum

46

yang secara finansial tidak mampu sehingga layak untuk dibela yaitu:

pendapatan/kekayaan mereka harus sesuai dengan standar yang

ditentukan: dan tersedianya alasan yang layak bagi perkara yang

dimintakan pembelaannya. Sedangkan untuk perkara yang harus

didampingi (compulsory defense case) kemampuan klien secara finansial

tidak boleh menjadi dasar untuk menolak permohonan. Namun demikian

kasus itu tetap bisa diuji kelayakannya oleh tiga orang anggota Komite

Penguji (Examining Comitte) pada setiap kantor cabang. Komite ini

beranggotakan advokat, hakim atau jaksa setempat. Setelah wawancara

dengan pemohon, komisioner bermusyawarah untuk memutuskan apakah

akan memberikan bantuan hukum atau tidak.

Taiwan Legal Aid Foundation membayar honor advokat berdasarkan kasus

yang ditangani. Setiap kasus didanai sekitar 20,000 sampai 30,000 Dolar

Taiwan, kasus-kasus yang lebih kompleks atau kasus yang bertempat di

tempat yang jauh dapat meminta penambahan biaya sampai 40,000 Dollar

Taiwan per perkara. Honor ini adalah sekitar sepertiga dari dana yang

umum dibayarkan dalam perkara yang dibela oleh advokat privat. Taiwan

Legal Aid Foundation juga membayar biaya perkara dan biaya penting

lainnya. Penerima dana bantuan hukum umumnya tidak diminta mengganti

uang yang telah dikeluarkan oleh Taiwan Legal Aid Foundation namun jika

ia menerima ganti rugi lebih dari 500,000 Dolar Taiwan sebagai hasil dari

bantuan yang diberikan oleh Taiwan Legal Aid Foundation maka ia dituntut

untuk mengembalikan setidaknya sebagian dari dana bantuan yang

diberikan. Jika ganti rugi yang didapatkan mencapai 1,000,000 Dollar

Taiwan atau lebih maka klien diharapkan untuk membayar kembali

sepenuhnya.

E.5. THAILAND

Section 242 Konstitusi Thailand menegaskan hak rakyat untuk

mendapatkan bantuan hukum dari negara. Thailand juga telah meratifikasi

Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik yang memberikan jaminan

Page 47: RUU Tentang Bantuan Hukum

47

untuk hak ini. Namun demikian tidak ada undang-undang yang diturunkan

dari ketentuan undang-undang dasar ini.

Saat ini Thailand masih memberlakukan sistem Ex-Officcio Assigned

Counsel System. Bantuan hukum dilaksanakan oleh pengadilan, institusi

negara termasuk kantor perdana menteri dan kejaksaan agung, dan oleh

Dewan Advokat Thailand (The Lawyers Council of Thailand-LCT). Masing-

masing lembaga itu menunjuk advokat untuk membela terdakwa yang

miskin dan bayaran advokat yang ditunjuk diambil dari dana negara yang

khusus dialokasikan untuk tujuan ini.

Sistem ini menyediakan pembelaan terutama untuk perkara pidana yang

mewajibkan adanya pembela. Konstitusi mewajibkan Negara untuk

menyediakan bantuan hukum cuma-cuma mulai dari pengusutan sampai

pemeriksaan di pengadilan sebagai prasyarat mutlak untuk keabsahan

suatu pemeriksaan yang jika tidak dipenuhi akan mengarah pada putusan

pada tingkat banding. Pasal 173 Criminal Procedural Code (CPC)

mewajibkan pengadilan untuk menyediakan pembela bagi terdakwa yang

diancam dengan hukuman mati. Kewajiban ini juga ditetapkan jika terdakwa

adalah terdakwa anak. Sedangkan dalam perkara perdata, yang berhak

mendapatkan pendampingan hukum hanya mereka yang miskin.

Selain itu sebagian perkara ditangani oleh The Lawyers Council of Thailand

(LCT) yang dibentuk berdasarkan sebuah undang-undang pada tahun 1985

sebagai organisasi profesi untuk praktisi hukum. Advokat yang bergabung

di LCT juga membela perkara yang menjadi kepentingan umum, seperti

perkara-perkara lingkungan hidup, hak asasi manusia, dan perkara-perkara

perlindungan konsumen dengan bekerja sama dengan NGO. Sebagian

dana yang dibutuhkan oleh LCT yang juga melaksanakan bantuan hukum

ini disubsidi dengan dana yang disediakan oleh pemerintah sebesar US$

1,3 juta per tahun.

Page 48: RUU Tentang Bantuan Hukum

48

BAB IIIKETERKAITAN BANTUAN HUKUM DENGAN UNDANG-UNDANG YANG

BERLAKU, ASAS-ASAS, DAN MATERI MUATAN RUU

A. Keterkaitan dengan Undang-Undang yang Berlaku

Dalam beberapa undang-undang, sudah disinggung perihal bantuan hukum.

Namun, pengaturannya masih bersifat deklarator semata dan belum mengatur

secara lengkap mengenai bantuan hukum tersebut. Hal ini antara lain

ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Reglemen Acara Perdata

(Reglement op de Rechtsvordering, S. 1847-52 jo. 1849-63), Undang-undang

Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, dan Undang-

undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman.

1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP)

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

disahkan sejak tanggal 31 Desember 1981, Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 1981 Nomor 76. Sebelum Undang-Undang ini berlaku,

Page 49: RUU Tentang Bantuan Hukum

49

peraturan yang menjadi dasar bagi pelaksanaan hukum acara pidana

dalam lingkungan peradilan umum adalah HIR Staatsblad Tahun 1941

Nomor 44 (Het Herziene Inlandsch Reglement) atau dalam bahasa

Indonesia dikenal dengan Reglemen Indonesia yang Diperbaharui.

Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 terdapat Ketentuan antara

lain:

Pasal 54Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapatbantuan hukum dari seorang atau lebih penasehat hukum selama dalamwaktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tata cara yangditentukan dalam UU ini.

2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Pasal 1792Pemberian kuasa ialah suatu persetujuan yang diberikan pemberiankekuasaan kepada orang lain yang menerimanya untuk melaksanakansesuatu atas nama yang memberi kuasa.

Pasal 1793Kuasa dapat diberikan dan diterima dengan suatu akta umum dengan suatusurat di bawah tangan, bahkan dengan sepucuk surat atapun lisan.Penerimaan surat kuasa dapat pula terjadi secara diam-diam daridisampaikan dari pelaksanaan kuasa itu oleh yang diberi kuasa itu.

Pasal 1794Pemberian kuasa terjadi dengan cuma-cuma, kecuali jika diperjanjikansebaliknya. Jika dalam hal yang terakhir upahnya tidak ditentukan dengantegas, maka penerima kuasa tidak boleh meminta upah yang lebih daripadayang ditentukan dalam Pasal 411 untuk wali.

3. Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtsvordering, S. 1847-52 jo. 1849-63)

Bagian 12. berperkara secara cuma-cuma (prodeo) atau dengan biayadengan tarip yang dikurangi.

Pasal 887Untuk memperoleh ketetapan izin berperkara secara prodeo atau dengantarip yang dikurangi tidak dipungut biaya.Dalam biaya pada pasal ini termasuk gaji penasehat hukum dan juru sita(Rv. 880)

Page 50: RUU Tentang Bantuan Hukum

50

Pasal 879Akibat diizinkannya berperkara secara prodeo atau dengan tarip yangdikurangi adalah, bahwa biaya kepanitraan dalam hal pertama seluruhnya,sedangkan dalam hal yang kedua untuk separuhnya, dibebaskankepadanya, bahwa masing-masing untuk hal yang pertama tidak dipungutdan untuk hal yang kedua dipungut separuh gaji pengacara dan juru sita,juga masing-masing untuk hal yang pertama secara cuma-cuma dan dalamhal kedua dipungut separuh biaya pelaksanaan keputusan hakim (RO.72,190,201; Rv. 887, 881 dst)

Pasal 882Bila ada alasan-alasan untuk pihak lawan dari orang yang diizinkan untukberperkara secara prodeo, atau dengan tarip yang dikurangi, untukmenanggung biayanya, maka hakim karena jabatannya akanmenghukumnya untuk membayar kepada panitera biaya kepaniteraanmenurut ketentuan Pasal 879, begitu pula mengganti biaya yang telahdikeluarkan pemerintah untuk uang jalan juru sita juga gaji pengacara danpara juru sita yang termasuk dalam pengertian biaya sepanjang pemohonyang telah dibayarkan terlebih dulu.

Pasal 884Dalam hal penyelesaian yang sangat buru-buru sambil menunggu putusanmengenai permohonannya, ketua majelis, seperti dimaksud dalam Pasal873, dapat mengizinkan permohonan untuk berperkara secara prodeo ataudengan tarip yang dikurangi.

Izin itu dimohon dengan surat permohonan yang ditandatangani olehpengacara. Tentang keharusan menyampaikan surat-surat untukmenguatkan keadaan miskin atau kurang mampu ditetapkan oleh ketua.Untuk memperoleh ketetapan mengenai permohonan tidak boleh dipungutbiaya.

4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2003 tentangAdvokat

Pasal 22Ayat (1)Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepadapencari keadilan yang tidak mampu.

Ayat (2)Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pemberian bantuan hukumsebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dengan PeraturanPemerintah.

Pasal 23Ayat (1)

Page 51: RUU Tentang Bantuan Hukum

51

Advokat asing wajib memberikan jasa hukum secara cuma-cuma untuksuatu waktu tertentu kepada dunia pendidikan dan penelitian hukum.

Ayat (2)Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara mempekerjakan advokatasing serta kewajiban memberikan jasa hukum secara cuma-cuma kepadadunia pendidikan dan penelitian hukum diatur lebih lanjut denganKeputusan Menteri.

5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentangKekuasaan Kehakiman

Pasal 56Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum.

Pasal 57Bantuan Hukum dan Pos Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud dalamPasal 56 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ketentuan pasal KUH Perdata menegaskan bahwa yang menerima kuasa

tidak harus seorang Advokat. Hal ini menjadi dasar yuridis bahwa bantuan

hukum secara cuma-cuma bagi warga negara yang tidak mampu menjadi

sangat penting untuk diatur dalam sebuah undang-undang khusus tentang

Bantuan Hukum.

Ketentuan pasal-pasal RV tersebut menegaskan bahwa bantuan hukum

harus diberikan kepada orang yang tidak mampu. Sehingga kehadiran

Undang-Undang Bantuan Hukum menjadi sangat tepat untuk melegitimasi

secara konstitusional hak warga negara yang tidak mampu untuk

mendapatkan akses keadilan dalam perkara perdata.

Ketentuan dalam pasal Undang-Undang Advokat bermakna bahwa Advokat

juga mempunyai kewajiban untuk melakukan pemberian bantuan hukum

secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu. Tetapi

kewajiban tersebut tidak jelas dan tidak fokus karena tugas pemberian

bantuan hukum secara cuma-cuma menjadi salah satu tugas “tambahan

dan sampingan” Advokat. Sebab tidak ada pengaturan sanksi secara tegas

(melakukan kewajiban memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma,

hanya dipandang sebagai masalah etis). Terlepas dari itu semua, visi dan

Page 52: RUU Tentang Bantuan Hukum

52

misi advokat berbeda dengan visi dan misi pemberi bantuan hukum yang

pengaturannya akan diatur dalam undang-undang khusus tentang bantuan

hukum. Akses keadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1),

Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28 H ayat (2), dan Pasal 28 I ayat (4) dan (5),

memang dijamin oleh konstitusi dan hanya mungkin diwujudkan apabila

dilakukan oleh orang atau pihak tertentu dalam pengaturan yang khusus.

Dengan demikian tidak ada alasan apapun untuk menolak kehadiran

Undang-Undang tentang Bantuan Hukum.

Ketentuan Pasal 23 Undang-Undang tentang Advokat tersebut juga

ambivalensi dan kontradiktif dengan ketentuan Pasal 22. Sebab paradigma

bantuan hukum cuma-cuma seakan dianggap tidak penting dan tidak perlu

menjadi kewajiban dan urusan advokat secara profesional. Bagaimana

mungkin dapat dijelaskan secara akademik, sosiologis, dan filosofis, tiba-

tiba advokat asing hanya boleh memberikan jasa hukum secara cuma-

cuma kepada dunia pendidikan dan penelitian hukum. Sementara

pengertian jasa hukum sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-

Undang No. 18 Tahun 2003 adalah jasa yang diberikan advokat berupa

pemberian konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa,

mewakili, mendampingi, membela dan melakukan tindakan hukum lain

untuk kepentingan hukum klien. Dari ketentuan yang mana dalam Undang-

Undang No. 18 Tahun 2003 bahwa dunia pendidikan dan penelitian hukum

diartikan sebagai Klien advokat asing. Apabila benar demikian, mengapa

advokat pribumi tidak diwajibkan memberikan jasa hukum (memberikan

konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili,

mendampingi, membela dan melakukan tindakan hukum lain untuk

kepentingan hukum klien) kepada dunia pendidikan dan penelitian hukum.

Ketentuan Pasal 23 tersebut semakin menegaskan bahwa konsepsi dan

paradigma bantuan hukum cuma-cuma memang bukan menjadi domain

dan wilayah kewajiban advokat untuk melakukannya. Jika demikian berarti

semakin menguatkan alasan bahwa perlu dibentuk Undang-Undang

tentang Bantuan Hukum.

Page 53: RUU Tentang Bantuan Hukum

53

Pasal 56 dan Pasal 57 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman

menegaskan perlunya dibentuk Undang-Undang yang mengatur tentang

bantuan hukum. Sebab bantuan hukum bukan komoditas yang dapat

diperjualbelikan oleh pihak manapun. Kehadiran Undang-Undang tentang

Bantuan Hukum adalah dalam konteks menegaskan secara paradigmatik

bahwa bantuan hukum bukan komoditas, oleh karenanya tidak dapat

diperjualbelikan secara profesional dengan tarif jasa tertentu walaupun

berdasarkan kesepakatan antara pemberi bantuan hukum dengan

penerima bantuan hukum. Bantuan hukum adalah hak yang menjadi

kewajiban pihak lainnya untuk memberikannya. Posisi negara seharusnya

menjadi sangat penting berdasarkan konstitusi untuk mengambil peran dan

posisi menjamin hak warga negara mendapatkan bantuan hukum secara

memadai.

B. Asas-Asas Penyusunan Rancangan Undang-Undang

Pasal 5 Undang-Undang 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan ditentukan bahwa pembentukan suatu undang-undang

didasarkan pada beberapa asas, meliputi:

f. pengayoman;

g. kemanusiaan;

h. kebangsaan;

i. kekeluargaan;

j. kenusantaraan;

k. bhineka tunggal ika;

l. keadilan;

m. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;

n. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau

o. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

Selain asas-asas tersebut di atas, Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 juga

menentukan dimungkinkannya menggunakan asas lain sesuai dengan

bidang hukum peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.

Page 54: RUU Tentang Bantuan Hukum

54

Dalam rangka penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Bantuan

Hukum, digunakan asas-asas sebagai berikut:

a. keadilan;

b. persamaan di hadapan hukum;

c. keterbukaan;

d. efisiensi dan efektivitas;

e. pemberdayaan; dan

f. akuntabilitas.

C. Materi Muatan Rancangan Undang-Undang Bantuan Hukum

Adapun pokok-pokok materi muatan Rancangan Undang-Undang Bantuan

Hukum adalah sebagai berikut:

1. Bab I: Ketentuan Umum

Ketentuan Umum memuat definisi tentang:

a. Bantuan Hukum

b. Penerima Bantuan Hukum

c. Pemberi bantuan hukum

d. Advokat

e. Calon Advokat

f. Paralegal;

g. Badan Bantuan Hukum Indonesia;

h. Standar Bantuan Hukum;

i. Kode Etik Advokat

2. Bab II: Asas dan Tujuan

Pelaksanaan Bantuan Hukum dalam Rancangan Undang-Undang ini

berdasarkan asas keadilan, persamaan di hadapan hukum,

keterbukaan, efisiensi dan efektivitas, pemberdayaan, serta

akuntabilitas. Sedangkan tujuan Rancangan Undang-Undang ini adalah:

e. menjamin dan memenuhi hak bagi fakir miskin untuk mendapatkan

akses keadilan;

Page 55: RUU Tentang Bantuan Hukum

55

f. mewujudkan hak konstitusional warga negara sesuai dengan prinsip

persamaan di hadapan hukum;

g. menjamin kepastian penyelenggaraan Bantuan Hukum dilaksanakan

secara merata di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia; dan

h. mewujudkan peradilan yang efektif, efisien, dan dapat

dipertanggungjawabkan.

3. Bab III: Ruang Lingkup

Bantuan hukum yang diberikan dalam Rancangan Undang-Undang ini

meliputi baik di dalam maupun di luar proses peradilan. Bantuan hukum

dalam proses peradilan melingkupi peradilan umum, agama, militer dan

peradilan tata usaha negara di semua tingkatan. Untuk proses di luar

peradilan, meliputi: konsultasi hukum, pembuatan dokumen hukum,

penyelesaian sengketa di luar pengadilan, pendidikan dan pelatihan

hukum, penyuluhan hukum dan pemberdayaan masyarakat di bidang

hukum.

4. Bab IV: Penerima Bantuan Hukum

Yang menjadi penerima bantuan hukum dalam Rancangan Undang-

Undang ini, adalah:

a. fakir miskin;

b. orang atau sekelompok orang yang termarjinalkan karena suatu

kebijakan publik;

c. komunitas masyarakat adat terpencil; dan

d. orang yang dianggap patut dan memenuhi persyaratan yang

ditentukan oleh Badan Bantuan Hukum Indonesia.

5. Bab V: Pemberi bantuan hukum

Pemberi bantuan hukum meliputi advokat, calon advokat, paralegal, dan

mahasiswa fakultas hukum.

Page 56: RUU Tentang Bantuan Hukum

56

6. Bab VI: Syarat dan Tata Cara Permohonan Bantuan Hukum

Pemberian bantuan hukum dalam proses peradilan, dilakukan dengan

mengajukan permohonan bantuan hukum terlebih dahulu kepada Kantor

Bantuan Hukum dengan mengikuti syarat dan tata cara yang diatur

dalam Rancangan Undang-Undang ini.

Bantuan Hukum di luar proses peradilan wajib diberikan oleh Kantor

Bantuan Hukum baik dengan atau tanpa mengajukan permohonan.

7. Bab VII: Badan Bantuan Hukum Indonesia

Untuk menyelenggarakan bantuan hukum di seluruh wilayah Negara

Republik Indonesia dibentuk suatu badan yaitu Badan Bantuan Hukum

Indonesia, disingkat BBHI. BBHI membentuk Kantor Cabang Bantuan

Hukum di setiap provinsi dan Kantor Bantuan Hukum di setiap

kabupaten/kota agar penyelenggaraan bantuan hukum merata di

seluruh wilayah Republik Indonesia.

8. Bab VIII: Pembiayaan

Segala pembiayaan yang berkenaan dengan penyelenggaraan bantuan

hukum menurut Rancangan Undang-Undang ini, dibebankan pada

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, serta didukung oleh

Anggaran Pendapatan Belanja Daerah, hibah, sumbangan dan sumber

pembiayaan lain yang sah dan tidak mengikat.

Dalam hal ini, penerima bantuan hukum tidak dibenarkan untuk dibebani

segala biaya yang berkaitan dengan perkara oleh pemberi bantuan

hukum.

9. Bab IX: Larangan

Larangan yang diatur dalam Rancangan Undang-Undang ini:

Page 57: RUU Tentang Bantuan Hukum

57

a. Pemberi bantuan hukum dilarang menerima atau meminta sesuatu

apapun dari Penerima Bantuan Hukum;

b. Pejabat Kantor Bantuan Hukum dilarang menolak memberikan

bantuan hukum kepada pemohon bantuan hukum tanpa alasan yang

diatur BBHI

10. Bab X: Ketentuan Pidana

Ketentuan pidana memuat sanksi terhadap:

a. Penerima Bantuan Hukum yang terbukti bukan orang yang berhak.

b. Pemberi bantuan hukum yang terbukti menerima atau meminta

sesuatu dari penerima bantuan hukum.

c. Pejabat Kantor Bantuan Hukum yang menolak memberikan bantuan

hukum kepada pemohon bantuan hukum tanpa alasan yang diatur

BBHI.

11. Bab XI: Ketentuan Peralihan

Ketentuan peralihan memuat aturan tentang tenggang waktu

pembentukan BBHI, Kantor Cabang, dan Kantor Bantuan Hukum

12. Bab XII: Ketentuan Penutup.

Page 58: RUU Tentang Bantuan Hukum

58

BAB IV

PENUTUP

a. Kesimpulan

Berdasarkan uraian terdahulu, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

i. Bantuan hukum merupakan salah satu bentuk hak asasi manusia yang

secara konstitusional mewajibkan Negara menjamin dan

menyelenggarakannya;

ii. Mengenai bantuan hukum telah diatur dalam berbagai peraturan

perundang-undangan, namun hanya bersifat deklaratif yang menegaskan

bahwa bantuan hukum memang wajib diberikan kepada mereka yang tidak

mampu;

iii. Bantuan hukum diberikan kepada fakir miskin, orang-orang yang

termarjinalkan, masyarakat adat terpencil dan orang atau kelompok

masyarakat yang tidak mampu.

b. Rekomendasi

Sehubungan dengan kesimpulan tersebut, maka Rancangan Undang-Undang

tentang Bantuan Hukum adalah sebuah keniscayaan, sehingga Rancangan

Undang-Undang ini perlu segera dibahas untuk disahkan menjadi Undang-

Undang.

----------------------------------