analisa uu bantuan hukum

Upload: siti-aminah

Post on 17-Jul-2015

1.302 views

Category:

Documents


13 download

TRANSCRIPT

HAK BANTUAN HUKUM DALAM BERBAGAI KONTEKS (ANALISA TERHADAP UU NO.16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN HUKUM) Oleh : Siti Aminah1

I.

PENDAHULUAN Dalam negara demokratis, setiap warga negara memiliki hak untuk mendapatkan

keadilan (access to Justice) dan hak untuk mendapatkan peradilan yang adil dan tidak memihak (fair trial), diantaranya melalui hak bantuan hukum. Karenanya, hak bantuan hukum menjadi indikator penting dalam pemenuhan hak mendapatkan keadilan dan peradilan yang adil di setiap negara. Di Indonesia, hak atas bantuan hokum tidak secara tegas dinyatakan dalam konstitusi. Namun, bahwa Indonesia adalah negara hukum dan prinsip persamaan di hadapan hokum, menjadikan hak bantuan hukum sebagai hak konstitusional. Demikianhalnya dengan sejumlah konvensi internasional yang telah diratifikasi Indonesia mewajibkan negara pihak memberikan hak bantuan hukum. Salah satu masalah pemenuhan hak bantuan hukum di Indonesia adalah tidak adanya legislasi yang mengatur system layanan bantuan hukum oleh negara. Layanan bantuan hukum lebih banyak dilakukan secara pro bono oleh masyarakat sipil. Untuk menjawab masalah tersebut, Bapenas menyusun strategi diantaranya melalui pembentukan

peraturan perundang-undangan yang menjamin akses masyarakat miskin untuk memperoleh layanan dan bantuan hukum. Strategi Akses Keadilan ini menjadi bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). Dan sebagai implementasinya DPR RI telah mengesahkan UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Inisiatif negara untuk membangun sistem bantuan hukum merupakan langkah maju. Namun, apakah UU Bantuan Hukum telah mengadopsi prinsip-prinsip fair trial dan akses keadilan ? Mengingat bantuan hukum dianggap sebagai pusat dalam menyediakan aksesPenulis adalah Advokat dan Peneliti di The Indonesian Legal Resource Center (ILRC), sedang mengikuti program International Fellow dari Public Interest Law Network (PILnet). Untuk masukan dan komentar silahkan ke [email protected]

Page 1 of 26

terhadap keadilan dengan memastikan setiap warga negara mendapatkan persamaan di depan hukum (equality before the law), hak untuk nasihat (right to counsel) dan hak untuk peradilan yang adil (fair trial) Tulisan ini menganalisa UU Bantuan Hukum dari prinsip-prinsip fair trial dan akses keadilan. Pembahasan terbagi ke dalam tiga bagian, pertama membahas konsep legal aid dan konsep probono, untuk membedakan sistem layanan bantuan hukum yang disediakan oleh negara dan profesi advokat; kedua, membahas prinsip-prinsip fair trial dan akses keadilan, sebagai alat untuk menguji uu bantuan hukum, dan ketiga, menganalisa uu bantuan hukum. Dalam kesimpulan, terdapat rekomendasi peluang yang dapat didayagunakan untuk pemenuhan hak atas bantuan hukum.

II.

BANTUAN HUKUM DALAM BERBAGAI KONTEKS

2.1

Konsep Legal Aid dan Probono Publico Di dalam sejumlah diskusi, berkembang pertanyaan mengapa masih dibutuhkan UU

Bantuan Hukum, sedang telah ada UU Advokat dan lembaga pelaksanaanya. Pertanyaan ini tidak terlepas dari kesimpangsiuran pemahaman konsep legal aid dan konsep probono yang berkembang di Indonesia. Tidak dapat dipungkiri, stakeholder utama pemberian layanan hukum adalah advokat, dan dalam sejarah advokat-lah yang terlebih dahulu memberikan bantuan hukum terhadap orang miskin, yang disebut dengan probono publico. Dalam dunia hukum, probono menjadi salah satu strategi untuk membela kepentingan umum, selain legal aid. Pengertiannya sendiri merujuk pada a very range of legal work that performed voluntarily and free of charge to underrepresented and vulnerable segments of society2 Bantuan hukum dalam konsep probono meliputi empat elemen, yaitu : 1) Meliputi seluruh kerja-kerja di wilayah hukum; 2) Sukarela ; 3) Cuma-Cuma; dan 4) Untuk Masyarakat yang kurang terwakili dan rentan. Kewajiban ini sebagai sebuah konsekuensi ethic profesi advokat sebagai profesi terhormat (officium nobbile).

2

PILnet:The Global Network for Public Interest Law, Probono Presentation, 2011

Page 2 of 26

Kewajiban ini diatur melalui UU No.18 Tahun 2003 tentang Advokat, PP 83 tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma dan Peraturan Peradi No 1 tahun 2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma Cuma. Untuk melaksanakannya dibentuk unit kerja bernama PBH Peradi. Ketentuan tersebut menjadi sistem pemberian bantuan hukum yang dibangun oleh organisasi advokat sebagai bagian dari gerakan probono publico. Sedangkan konsep legal aid merujuk pada pengertian state subsidized, pelayanan hukum yang dibiayai atau disubsidi oleh negara. Ide bantuan hukum yang dibiayai negara (publicly funded legal aid) pertama kali ditemukan di Inggris dan Amerika Serikat. Setelah perang dunia ke dua berakhir, pemerintah Inggris membentuk the Rushcliff Committee dengan tujuan untuk meneliti kebutuhan bantuan hukum di Inggris dan Wales. Berdasarkan laporan dari the Rushcliff Committee merekomendasikan, diantara rekomendasi bahwa bantuan hukum harus dibiayai oleh negara3. Sedangkan, di Amerika Serikat awalnya bantuan hukum merupakan bagian dari program anti kemiskinan pada tahun 1964. Pemerintah membentuk lembaga The Office Economic Opportunity (OEO) yang diantaranya membiayai bantuan hukum melalui sistem Judicare, yaitu Advokat atau Bar Association menyediakan layanan bantuan hukum untuk masyarakat miskin, kemudian jasa bantuan hukum tersebut dibiayai oleh negara4. Konsep ini lahir sebagai sebuah konsekuensi dari perkembangan konsep negara kesejahteraan (welfare state) dimana pemerintah mempunyai kewajiban untuk memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya. Bantuan hukum dimasukkan sebagai salah satu program peningkatan kesejahteraan rakyat, terutama dibidang sosial politik dan hukum. Dengan demikian, UU Bantuan Hukum dirancang sebagai upaya pemenuhan tanggungjawab negara dalam memberikan bantuan hukum kepada warganya. Hal ini dapat dilihat dalam penjelasannya, yang menyatakan sebagai berikut :

Baca Roger Smith, Legal Aid in England and Wales: Entering the Endgames, 2011, http://www.ilagnet.org/jscripts/tiny_mce/plugins/filemanager/files/papers/Legal_Aid_in_England_and_Wales__Entering_the_Endgame.pdf Kini layanan bantuan hukum dilakukan melalui system Staff Artoney, Judicare dan The Community Legal Clinic, yang dikelola oleh Legal Services Corporation (CLS) Board yang didirikan dibawah LSC Act,1974, baca lebih lanjut Alan W Houseman dan Linda E Perle, A Brief History of Civil Legal Assistance in the United State, Center for Law and Social Policy, 20074

3

Page 3 of 26

....Penyelenggaraan pemberian bantuan hukum kepada warga negara merupakan upaya untuk memenuhi dan sekaligus sebagai implementasi negara hukum yang mengakui dan melindungi serta menjamin hak asasi warga negara akan kebutuhan akses terhadap keadilan (access to justice) dan kesamaan di hadapan hukum (equality before the law). Jaminan atas hak konstitusional tersebut belum mendapatkan perhatian secara memadai, sehingga dibentuknya Undang-Undang tentang Bantuan Hukum ini menjadi dasar bagi negara untuk menjamin warga negara khususnya bagi orang atau kelompok orang miskin untuk mendapatkan akses keadilan dan kesamaan di hadapan hukum5

Sehingga keduanya, baik System Probono maupun System Legal Aid, merupakan strategi untuk memberikan pelayanan hukum (legal services) bagi masyarakat miskin dan rentan. System probono bukanlah penganti dari sistem legal aid, tetapi ikut mendukungnya dengan keterlibatan para advokat sebagai salah satu pemberi layanan. Demikian halnya system legal aid tidak meniadakan kewajiban probono advokat. 2.2 Bantuan Hukum dalam Konteks Fair Trial Sebagai bagian dari proses peradilan yang adil (fair trial) dan inherent di negara hukum, hak atas bantuan hukum merupakan salah satu prinsip HAM yang telah diterima secara universal. Hal ini dinyatakan dalam Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM)6, dan selanjutnya dijabarkan dalam International Covenant on Civil dan Political Rights (ICCPR) dan dikategorikan sebagai non-derogable rights, hak yang tidak dapat dikurangi atau ditangguhkan dalam kondisi apapun. Indonesia sendiri meratifikasi ICCPR melalui UU Nomor 12/2005. Sehingga, pemerintah berkewajiban untuk mentransformasi dan menerjemahkan norma-norma ICCPR ke dalam sistem hukum nasional, termasuk hak atas peradilan yang adil (Fair Trial). Hak atas

peradilan yang adil dijamin dalam Pasal 14 dan 15, yang terdiri dari 16 jaminan hak, yang dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kategori yaitu Prinsip Dasar Hak Fair Trial (The Basic Rules of Fair Trial) 7, Jaminan Prosedur Minimum (the Minimum Guarantees of Fair Trial Rights)8dan Ketentuan Lain (Others Provisions of Fair Trial Rights)9.

5

Penjelasan bagian umum UU Bantuan Hukum Pasal 7 DUHAM.

6

7

Dalam kategori ini adalah hak (i) Prosedur dan Persamaan Kedudukan (equality of arms), (ii) Persidangan Terbuka untuk Umum dan dilakukan secara lisan, (iii) Pengadilan yang kompeten, Independen dan Tidak Memihak yang ditetapkan oleh hokum, (iv) Azas Legalitas dan (v) Azas Praduga Tidak Bersalah

Page 4 of 26

Sebagian substansi ICCPR telah diadopsi dalam Pasal 28 Amandemen Undang Undang Dasar 194510 dan peraturan lain, di antaranya UU No.8/1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)11, UU 39/1999 tentang HAM12, UU No.3/1997 tentang Pengadilan Anak dan UU No. 23/2003 tentang Perlindungan Anak. Dengan demikian, sebelum meratifikasinya, Indonesia telah memiliki ketentuan-ketentuan yang selaras dengan ICCPR. Namun, masih tetap terdapat sejumlah ketentuan yang tidak sesuai dengan prinsipprinsip fair trial, termasuk hak bantuan hukum. Dalam konteks fair trial, hak bantuan hukum disamping sebagai hak prosedural, juga merupakan pelaksanaan dari prinsip dasar equality of arms (persamaan kekuasaan) antara pihak tersangka/terdakwa dan penuntut umum yang harus ditaati pada seluruh proses pemeriksaan tindak pidana. Prinsip ini didasarkan pada keadaan tersangka/ terdakwa yang tidak seimbang berhadapan dengan negara. Asas ini menuntut penyediaan hak bantuan hukum untuk menyeimbangkan posisi antara tersangka/terdakwa dengan negara.13

Sehingga

Dalam kategori ini meliputi (i) Hak untuk diinformasikan tuntutan yang dibuat oleh pihak berwenang, (ii) Hak atas fasilitas-fasilitas dan waktu yang memadai untuk menyiapkan pembelaan, termasuk berkomunikasi dengan penasehat hukum, (iii) Peradilan Tanpa Penundaan Yang Tidak Semestinya, (iv) Hak Untuk Hadir selama persidangan, hak untuk membela Diri dan Hak atas Bantuan Hukum, (v) Hak Atas Saksi, (vi) Hak Atas Penerjemah/Juru Bahasa, (vii) Asas Non Self-Incrimination Dalam kategori ini meliputi (i) Jaminan dan prosedur khusus untuk anak-anak (juvenile person), (ii) Hak untuk banding, (iii) Hak atas Kompensasi, (iv) Asas Nebis In Idem Pasal 28D Ayat (1) Amandemen UUD 1945, menyatakan Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hokum. Tidak ada ketentuan dalam Pasal-pasal UUD 1945 yang mengatur secara limitatif bagaimana perlindungan hak-hak tersangka dalam proses peradilan. Namun, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) menegaskan bahwa hak atas peradilan yang adil adalah inherent di dalam prinsip negara hukum Asas-asas di dalam KUHAP yang paralel dengan instrumen hukum internasional, adalah asas legalitas, asas keseimbangan, asas praduga tak bersalah, prinsip pembatasan penahanan, asas ganti rugi dan rehabilitasi, penggabungan pidana dengan tuntutan ganti rugi, asas unifikasi, prinsip diferensiasi fungsional, prinsip saling koordinasi, asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan dan prinsip peradilan terbuka untuk umum. Secara khusus sistem due process law dijadikan model dalam KUHAP yang membawa konsekuensi pada hubungan pihak-pihak dalam proses peradilan pidana yaitu tersangka/ terdakwa diakui dan dijamin hak-haknya. UU No.39/1999, Pasal 3 (2) menjamin bahwa Setiap orang berhak atas pegakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hokum. Ketentuan yang terkait dengan fair trial terdapat dalam Pasal 5, 7 dan dalam Sub Bab tentang Hak Memperoleh Keadilan;13 12 11 10 9

8

Dalam proses pemeriksaan tindak pidana, prinsip persamaan kedudukan menentukan persamaan prosedural antara terdakwa dan penuntut umum. Diantaranya (1) Penuntut umum dan terdakwa harus diberikan waktu yang sama untuk mempresentasikan bukti-bukti; (2) Saksi-saksi penuntut umum dan saksi-saksi terdakwa harus diberikan perlakuan yang sama dalam setiap prosedur perkara; dan (3) Bukti yang didapatkan secara ilegal dianggap sebagai pelanggaran serius terhadap hak-hak asasi manusia yang dilindungi secara internasional dan

Page 5 of 26

melalui bantuan hukum, Tersangka/Terdakwa dapat terhindar dari tindakan sewenangwenang negara. Walau masuk dalam kategori prosedural, hak bantuan hukum tidak boleh dilepaskan dari substansi fair trial maupun hak-hak lain yang dijamin dalam ICCPR. Secara lebih spesific, hak bantuan hukum dinyatakan dalam Pasal 14 (3) d ICCPR yaitu dalam menentukan setiap tuduhan pidana yang ditujukan pada seseorang, setiap orang harus diberi hak ....to have legal assistance assigned to him, in any case where the interests of justice so require, and without payment by him in any such case if he does not have sufficient means to pay for it;.14 Dari ketentuan ini, terdapat dua syarat untuk mendapatkan hak bantuan hukum yaitu : (1) Kepentingan-kepentinga keadilan; (2) Tidak mampu membayar Advokat. Kedua syarat tersebut bersifat akumulatif dan bukan persyaratan alternatif. Tidak terdapat penjelasan apa yang dimaksud dengan the interest of justice, secara umum dinyatakan sebagai berikut :15 a. Kepentingan keadilan dalam kasus tertentu ditentukan oleh pemikiran yang serius tentang tindak pidana yang dituduhkan kepada tersangka dan hukuman apa saja yang akan diterimanya. b. Kepentingan keadilan selalu membutuhkan penasihat untuk tersangka dalam kasus dengan ancaman hukuman mati. Tersangka untuk kasus dengan ancaman hukuman mati berhak memilih perwakilan hukumnya dalam setiap proses pemeriksaan kasusnya. Tersangka dengan ancaman hukuman mati dapat membandingkan antara perwakilan hukum pilihannya dengan yang ditunjuk oleh pengadilan. Narapidana mati berhak untuk menunjuk penasehat untuk permohonan post-conviction judicial relief, permohonan grasi, keringanan hukuman, amnesti atau pengampunan. c. Tersangka tidak dapat meniadakan penasihat hukum atas dasar ia telah diberi kesempatan untuk membela dirinya sendiri tetapi tidak menghendaki untuk membela dirinya.

tidak dapat digunakan sebagai bukti yang memberatkan terdakwa atau orang lain dalam proses pemeriksaan di depan sidang.14

Pasal 14 ICCPR

15

Koalisi untuk Pembaharuan Hukum Acara Pidana (KuHAP), Position Paper Advokasi RUU KUHAP, Jakarta, 2009. Lihat pula General Comment General Comment No. 32 Article 14: Right to equality before courts and tribunals and to a fair trial, http://www2.ohchr.org/english/law/ccpr.htm

Page 6 of 26

Uli Parulian Sihombing, berdasarkan yurisprudensi di sejumlah pengadilan HAM menyimpulkan bahwa kepentingan keadilan diartikan tidak terbatas pada kemampuan finansial, namun ditafsirkan lebih luas yaitu dalam hal16 : 1. Berat ringannya hukuman (the severety of penalty), yaitu untuk jenis-jenis kejahatan berat (the most serious crimes); 2. Apakah kebebasan tersangka atau terdakwa berada dalam ancaman (liberty is at stake); 3. Kerumitan kasus baik mengenai hukumnya ataupun faktanya (complexs); 4. Kemampuan untuk melakukan pembelaan secara sendiri; 5. Terhadap kasus-kasus mental disability seperti pengujian apakah penahanan tersangka/terdakwa dapat dilanjutkan atau tidak (detention review). 6. Terhadap kasus-kasus kejahatan ringan, ketika kepentingan keadilan memungkinkan yaitu tersangka-terdakwa tidak bisa melakukan penbelaan sendiri; dan harus ada bantuan dari advokat dan juga lebih kondisi ekonomi dari tersangka/terdakwa yang merupakan unemployee 7. Kasus-kasus terorisme; Di Indonesia, hak bantuan hukum untuk tersangka/terdakwa diatur dalam Pasal 54, 55, 56 dan 114 KUHAP. Untuk kriteria penerima bantuan hukum dan kepentingan keadilan terdapat dalam Pasal 56 Ayat (1) KUHAP 17 yang masih mendasarkan pada berat ringannya hukuman, yaitu ancaman pidana diatas lima tahun dan kemampuan keuangan dari terdakwa/tersangka. Ketentuan ini sangat sempit jika dikaitkan dengan prinsip equality of arms, perkembangan pengertian dalam jurisprudensi pengadilan HAM maupun perkembangan kasus-kasus di Indonesia, seperti kompleksitas atau rumitnya suatu kasus, kasus-kasus pencemaran nama baik, fitnah, yang ancamannya dibawah lima tahun, namun berdimensi pelanggaran hak-hak fundamental yaitu kebebasan berekpresi dan menyatakan pendapat warga negara. Begitupun dengan kasus-kasus dengan tersangka anak, ataupun memiliki disabilities. Dengan demikian,

Uli Parulian Sihombing, Hak Atas Peradilan Yang Adil Yurisprudensi Pengadilan HAM Eropa,Komite HAM PBB Dan Pengadilan HAM Inter-Amerika,ILRC, Jakarta, 2008 dan Hak-Hak Tersangka/Terdakwa Atas Bantuan Hukum Menurut Standard Internasional, Makalah, Yogyakarta, 2008 Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka.17

16

Page 7 of 26

RUU KUHAP dan UU Bantuan Hukum seharusnya mengadopsi prinsip-prinsip dan perkembangan penafsiran kepentingan keadilan dalam substansi kriteria penerima bantuan hukum. 2.3 Bantuan Hukum dalam Konteks Pemenuhan Hak atas Keadilan Secara umum, pengertian akses keadilan merujuk pada definisi UNDP yaitu Access to justice is the ability of people from disadvantaged groups to prevent and overcome human poverty, through formal and informal justice systems, by seeking and obtaining a remedy for grievances in accordance with human rights principles and standards18 Dari definisi ini akses terhadap keadilan terkait erat dengan memerangi kemiskinan, mencegah dan menyelesaikan konflik. Kelompok yang tidak beruntung yaitu orang miskin, perempuan, masyarakat adat, penyandang cacat dan orang dengan HIV/Aids akan sangat rentan mengalami kemunduran kesejahteraan akibat menjadi korban atau pelaku dari kejahatan, ketidakmampuan melindungi hak atas tanah, atau gagal memperoleh jaminan hak atas warisan atau aset akibat perceraian. Artinya ketika mereka berhadapan dengan persoalan hukum yang tidak segera selesai akan berdampak serius terhadap kondisi keuangannya. Program akses keadilan menggunakan pendekatan berbasis hak asasi manusia, dan tidak dapat dilepaskan dari standar dan konvensi HAM internasional. Dalam buku panduannya, UNDP menyatakan bahwa pendekatan ini berguna untuk : 19 1) Fokus pada penyebab langsung dari masalah-masalah yang menghambat akses; 2) Mengidentifikasi "pemegang klaim" atau penerima manfaat yaitu yang paling rentan (antara lain orang miskin di pedesaan, perempuan dan anak-anak, dissabilitis, minoritas etnis); 3) Mengidentifikasi "pengemban kewajiban"-yang bertanggung jawab untuk menangani isu-isu / masalah (lembaga, kelompok, tokoh masyarakat, dll), dan 4) Menilai dan menganalisis kesenjangan kapasitas klaim-pemegang untuk dapat mengklaim hak-hak mereka dan pengemban tugas untuk dapat memenuhi kewajiban dan menggunakan analisis untuk memfokuskan strategi pengembangan kapasitas.

18

http://www.undp.or.id/programme/governance/ UNDP, Access to Justice, Practise Note, UNDP, 2004, halaman 6

19

Page 8 of 26

Karena itu akses keadilan, tidak sekedar meningkatkan akses individu ke pengadilan, atau menjamin adanya penasehat hukum, melainkan bagaimana hukum seharusnya dapat diakses oleh semua orang dari berbagai kalangan; dan memberikan pemulihan bagi setiap pengaduan/keluhan. Sedangkan untuk kapasitas dan tindakan yang diperlukan untuk mencapai akses keadilan, digambarkan sebagai berikut : Diagram Element Dasar dari Akses Keadilan20 Action NeededGRIEVANCE RECOGNITION

Capacities NeededLEGAL PROTECTION LEGAL AWARENESS LEGAL AID AND COUNCEL ADJUDICATION

AWARENESS

CLAIMING

ADJUDICATING

REMEDY

ENFORCING

ENFORCEMENT AND CIVIL SOCIETY OVERSIGHT

Dari diagram diatas, nampak jelas bahwa promosi akses terhadap keadilan memerlukan berbagai jenis dukungan. Hak atas bantuan hukum hanya salah satu bagian dari pemenuhan akses keadilan, dan harus terintegrasi dengan komponen yang lainnya. Pemerintah Indonesia dengan dukungan UNDP telah menghasilkan naskah Strategi Nasional Akses terhadap Keadilan (2009). Stranas ini diharapkan menjadi bagian dari upaya memperkuat peningkatan kesejahteraan rakyat dan untuk mencapai salah satu tujuan rencana pembangunan jangka panjang yaitu Indonesia Adil. Akses keadilan dalam konteks Indonesia diartikan sebagai :...keadaan dan proses di mana negara menjamin terpenuhinya hak-hak dasar berdasarkan UUD 1945 dan prinsip- prinsip universal hak asasi manusia, dan menjamin akses bagi setiap warga negara (claim holder) agar dapat memiliki kemampuan untuk mengetahui, memahami, menyadari dan menggunakan hak-hak dasar tersebut melalui lembaga-lembaga20

ibid

Page 9 of 26

formal maupun nonformal, didukung oleh mekanisme keluhan publik (public complaint mechanism) yang baik dan responsif, agar dapat memperoleh manfaat yang optimal dan memperbaiki kualitas kehidupannya sendiri.21

Dari definisi tersebut, nampak bahwa pemerintah Indonesia mengadopsi definisi yang dikembangkan UNDP. Dalam kata pengantarnya, Paskah Suzeta menyatakan bahwa Indonesia memiliki keterikatan secara politis dan moral terhadap beberapa kesepakatan internasional seperti Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals atau MDGs). Salah satu tujuan MDGs adalah pengentasan kemiskinan yang memerlukan strategi baru yang mengakomodasi aspek pemenuhan dan perlindungan hak-hak asasi manusia, keadilan, dan kesejahteraan sosial.22 Definisi ini juga menggarisbawahi pemulihan hak untuk melindungi diri dari kerugian yang mungkin ditimbulkan oleh orang lain ketika terlibat dalam perselisihan atau konflik kepentingan. Kerugian yang dimaksud meliputi kerugian yang disebabkan pelanggaran hak asasi manusia, hukum pidana, maupun perdata. Dari keseluruhan isi dokumen, stranas menjadikan orang miskin dan terpinggirkan23 sebagai subjek utama/prioritas akses keadilan. Rumusan kemiskinan berbasis hak membawa implikasi antara lain: a) adanya kewajiban negara untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak dasar masyarakat miskin; sehingga pengabaian terhadap kewajiban tersebut merupakan pelanggaran oleh negara; dan b) kemiskinan tidak hanya mencakup pendapatan, melainkan juga kerentanan dan kerawanan untuk menjadi miskin. Dengan demikian, persoalan menyangkut kelompok masyarakat miskin mencakup pula persoalan orang atau kelompok orang yang tertindas dan terpinggirkan tidak hanya karena kemiskinan, tetapi kelompok yang karena kondisi sosial menjadi rentan24. Stranas menekankan pentingnya akses keadilan kepada kelompok-kelompok rentan yaitu perempuan, tenaga kerja dan anak. Untuk memenuhi akses keadilan terdapat 8 (delapan) strategi yang ditawarkan25 diantaranya Strategi Akses terhadap Keadilan dalam pada Bidang Bantuan Hukum.21

Bappenas, Strategi Nasional Akses terhadap Keadilan, Bapennas, Jakarta, 2009 halaman 5 Ibid, kata pengantar, halaman x Pada beberapa bagian digunakan istilah marginal Strategi Nasional, Ringkasan Eksekutif halaman xii, dijabarkan di halaman 53-58

22

23

24

25

Delapan strategi yang ditawarkan yaitu (1) Strategi Akses terhadap Keadilan pada Bidang Reformasi Hukum dan Peradilan; (2) Strategi Akses terhadap Keadilan dalam pada Bidang Bantuan Hukum; (3) Strategi Akses

Page 10 of 26

Kedelapan strategi tersebut harus saling terintegrasi dan memiliki fungsi yang sama pentingnya. Bidang bantuan hukum tidak dapat menegasikan keadilan di bidang sumberdaya alam, tenaga kerja, perempuan, anak maupun reformasi peradilan. Demikianhalnya dengan pendekatan berbasis HAM, bidang bantuan hukum tidak dapat menegasikan hak-hak dasar yang telah diakui dalam berbagai peraturan maupun konvensi internasional. Bapenas menyusun strategi bantuan hokum, yaitu :26Pertama, pemenuhan hak bantuan hokum, melalui (i) pemenuhan hak bantuan hukum bagi setiap orang miskin dan terpinggirkan...(ii) Mewujudkan persamaan di muka hukum; (iii) Mewujudkan sistem peradilan yang fair dan efektif (iv) Mempromosikan peningkatan kualitas pelayanan bantuan hukum bagi masyarakat miskin; (v) Menyelesaika masalah hukum lebih cepat dan mencegah konflik; Kedua, perencanaan legislasi bantuan hokum melalui penyusuanan rencana pengembangan yang komprehensip mencakup (i) pembentukan peraturan perundang-undangan yang menjamin akses masyarakat miskin untuk memperoleh layanan dan bantuan hokum (iii) pengembangan kapasitas kelembagaan dan sdm (iii) penyediaan dana pemerintah dan masyarakat sebagai bagian dari upaya pemberdayaan masyarakat;(iv) pengembangan pendidikan hokum yang mendukung implementasi bantuan hokum dan (vi) pemberian reward bagi pengabdi bantuan hukum.

Dengan demikian pembentukan UU Bantuan Hukum, merupakan salah satu implementasi dari Strategi Nasional Akses Keadilan. Maka, substansi UU Bantuan Hukum tidak dapat lepas dari konsep-konsep dasar dan strategi lainnya dari Strategi Nasional Akses Keadilan dan tidak dapat menegasikan hak bantuan hukum yang telah diakui dan dijamin dalam UU, baik dalam konteks spesific yaitu fair trial, maupun konteks yang lebih luas yaitu akses keadilan, sebagaimana dapat dilihat dalam tabel berikut : Tabel 1 UU Dengan Muatan Hak Bantuan HukumKonteks Fair Trial UU No.48/2009 ttg Kekuasaan Kehakiman UU No.49/2009 ttg Peradilan Umum UU No.8/1981 ttg KUHAP UU No.39/1999 ttg HAM UU No.11/2005 ttg Ratifikasi ICCPR UU No. 3/1997 ttg Pengadilan Anak UU No.23/2002 ttg Perlindungan Anak UU No.31/1997 tentang Pengadilan Militer Konteks Akses Keadilan UU No.48/2009 ttg Kekuasaan Kehakiman UU No.49/2009 ttg Peradilan Umum UU No.50/2009 ttg Peradilan Agama UU No.51/2009 ttg PTUN UU No.39/1999 ttg HAM UU No.23/2002 ttg Perlindungan Anak KUHPER UU No.13/2006 ttg Perlindungan Saksi dan

terhadap Keadilan pada Bidang Tata Kelola Pemerintahan Daerah; (4) Strategi Akses terhadap Keadilan pada Bidang Tanah dan Sumber Daya Alam; (5) Strategi Akses terhadap Keadilan bagi Perempuan; (6) Strategi Akses terhadap Keadilan bagi Anak; (7) Strategi Akses terhadap Keadilan bagi Tenaga Kerja; dan (8) Strategi Akses terhadap Keadilan bagi Masyarakat Miskin dan Terpinggirkan26

Bapenas,Strategi Nasional Akses Keadilan, halaman 53-58

Page 11 of 26

UU No.26/2006 tentang Pengadilan HAM

Korban UU No.26/22006 tentang Pengadilan HAM UU No.23/2004 tentang PKDRT UU 21/ 2007 ttg Pemberantasan Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Orang UU No.8/1999 tentang Perlindungan Konsumen UU No.2/2004 tentang Pengadilan Penyelesaian Hubungan Industrial

III.

ANALISA ATAS UU BANTUAN HUKUM

DPR RI menjadikan RUU Bantuan Hukum sebagai hak inisiatifnya dan masuk ke dalam Prolegnas 2010, dan mulai dibahas pada April 2010. Sebelum adanya hak inisiatif, Masyarakat Sipil yang dimotori LBH Jakarta telah merumuskan draft RUU Bantuan Hukum pada tahun 200727

. Namun, draft ini tidak dapat diajukan pemerintah pada prolegnas 2009.

Menteri Hukum dan HAM membentuk Panitia Penyusunan RUU Bantuan Hukum pada 19 Januari 2009, dan menghasilkan draft RUU Bantuan Hukum.28 Dalam proses pembahasan digunakan draft versi Baleg DPR RI, dan setelah melalui proses pembahasan selama tiga kali masa sidang, RUU Bantuan Hukum disahkan. 3.1 Naskah Akademik Yang Rancu, Sempit dan Tidak Terintegrasi dengan Strategi Nasional Akses Keadilan Dalam naskah akademik, latar belakang pembentukan UU Bantuan Hukum adalah perubahan UUD 1945 yang mengukuhan Indonesia sebagai negara hukum dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Untuk mewujudkan gagasan negara hukum, maka negara perlu campur tangan karena menjadi kewajiban negara untuk menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan keadilan29. Sedangkan dalam penjelasan UU Bantuan Hukum, Pembentukan27

Kegiatan dan inisiasi tersebut melibatkan perwakilan organisasi/lembaga, yaitu: Universitas Muhamadiyah Malang, Universitas Diponegoro, Komite Reformasi Hukum Nasional (KRHN), LBH Surabaya, LBH Padang, LBH Palembang, LBH Aceh, LBH Yogyakarta, dan YLBHI. Tim dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor PPE.34.PP.)1.02 Tahun 2009 tentang Pembentukan Panitia Penyusunan Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Bantuan Hukum tertanggal 19 januari 2009. Dengan struktur keanggotaan sbb: Ketua: Patra M.Zen (YLBHI); Wakil Ketua: Abdul Wahid Masru (Dirjen PP); Sekretaris: Bunyamin (Sekretaris Ditjen PP); dengan komposisi keanggotaan yang yang terdiri dari unsur Pemerintah, cendikiawan dan masyarakat, yaitu antara lain, yaitu: Suhariyono (Dir. Perencanaan PP); Wiciptosetiadi (Dir. Harmonisasi PP), Wisnu Setiawan (Sekneg); Indriyanto Seno Adji; Apong Herlina; LBH Apik, LKBH UI dan YLBHI

28

29

Naskah Akademik RUU Bantuan Hukum, Baleg DPR RI, halaman 1. Naskah Akademik dalam tulisan ini adalah naskah akademik yang didapat dari Baleg pada April 2010

Page 12 of 26

UU walau juga untuk mewujudkan negara hukum, namun lebih menekankan kepada bantuan hukum dalam konteks fair trial, yang lebih sempit dibandingkan hak bantuan hukum dalam konteks akses keadilan. Hal ini bisa dibaca dalam alinea pertama penjelasan sebagai berikut :Hak atas Bantuan Hukum telah diterima secara universal yang dijamin dalam Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)). Pasal 16 dan Pasal 26 ICCPR menjamin semua orang berhak memperoleh perlindungan hukum serta harus dihindarkan dari segala bentuk diskriminasi. Sedangkan Pasal 14 ayat (3) ICCPR, memberikan syarat terkait Bantuan Hukum yaitu: 1) kepentingan-kepentingan keadilan, dan 2) tidak mampu membayar Advokat.30

Walau tidak salah, namun seharusnya penyusun UU Bantuan Hukum tetap konsisten membingkai hak bantuan hukum dalam konteks akses keadilan. Karena dalam konteks akses keadilan, bantuan hukum meliputi fair trial, pemulihan korban, saksi, pemberdayaan hukum dan tindakan litigasi/non litigasi selain dalam hukum pidana. Ketidakkonsistenan ini disayangkan, karena akan merancukan konsep dan pemberian bantuan hukum itu sendiri. Demikianhalnya dalam Naskah Akademik, penyusun UU Bantuan Hukum tidak dapat membedakan bantuan hukum dalam konteks probono dan konteks legal aid. Naskah akademik dalam tinjauan yuridis terhadap UU Advokat menilai advokat juga mempunyai kewajiban untuk melakukan pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma..... Tetapi kewajiban tersebut tidak jelas dan tidak fokus karena tugas pemberian bantuan hukum secara cuma-cumanya menjadi salah satu tugas tambahan dan sampingan advokat.31 Selanjutnya ....Ketentuan Pasal 23 tersebut juga ambivalensi dan kontradiktif dengan ketentuan Pasal 22 di atas. Sebab paradigma bantuan hukum cuma-cuma seakan dianggap tidak penting dan tidak perlu menjadi kewajiban dan urusan advokat secara profesional. Bagaimana bisa dijelaskan secara akademik, sosiologis, dan filosofis, tiba-tiba advokat asing hanya boleh memberikan jasa hukum secara cuma-cuma kepada dunia pendidikan dan penelitian hukum.32 Pernyataan tersebut memperlihatkan penyusun RUU Bantuan Hukum tidak dapat membedakan bantuan hukum dalam konteks probono sebagai kewajiban profesi Advokat dan bantuan hukum (legal aid) sebagai kewajiban negara, dan tidak mengetahui secara baik mengapa advokat asing dibatasi di dunia pendidikan dan penelitian. Pernyataan

30

Penjelasan UU Bantuan Hukum, Bab Umum, halaman 1 Naskah Akademik, halaman 25 Naskah Akademik, halaman 26

31

32

Page 13 of 26

tersebut juga terkesan menghakimi dan para penyusun tidak melakukan penelitian terkait gerakan probono itu sendiri. Ketidakmampuan membedakan konsep probono dan legal aid terlihat pula dalam Bab II tentang pengertian bantuan hukum, yang memindahkan sejarah LBH/YLBHI, sesungguhnya adalah bantuan hukum dalam konsep probono. Sedangkan bantuan hukum dalam konteks kewajiban negara (legal aid) seperti pemberian bantuan hukum melalui pengadilan atau bantuan hukum yang diselenggarakan pemerintah daerah, departemen, BUMN melalui biro hukum tidak disinggung sama sekali. Sejak disepakatinya Strategi Nasional Akses Keadilan, RUU Bantuan Hukum digadang-gadang sebagai salah satu strategi di bidang bantuan hukum, namun dalam naskah akademik maupun penjelasan tidak merujuk kepada konsep-konsep yang telah dihasilkan dalam Stranas. Ini memperlihatkan bahwa proses penyusunan UU tidak terintegrasi dan sinergis satu sama lain, dan hasilnya menjadi kontraproduktif bagi akses keadilan itu sendiri. Misalkan, naskah akademik hanya merujuk UUD 1945, Pasal 56 KUHAP, KUHPer, UU HAM, UU Advokat dan UU Kekuasaan Kehakiman, yang lebih menekankan pada bantuan hukum pada Tersangka/Terdakwa, dan proses peradilan umum (kasus pidana dan perdata). Padahal jika merujuk pada pengertian akses keadilan, pemulihan mencakup pula kepentingan saksi, korban dan kelompok-kelompok rentan yang dalam berbagai peraturan sektoral diakui dan dijamin hak atas bantuan hukumnya. (lihat Tabel UU Dengan Muatan Hak Bantuan Hukum) 3.2 Cek Kosong UU Bantuan Hukum Dengan berbagai kelemahan pada naskah akademik, pada akhirnya DPR RI dan Pemerintah memutuskan UU Bantuan Hukum, pada Oktober 2011. UU ini terdiri dari XI Bab dan 25 pasal yang terbagi dalam struktur yaitu : Bab I Ketentuan Umum (Pasal 1-3), Bab II Ruang Lingkup (Pasal 4-5), Bab III Penyelenggaraan Bantuan Hukum (Pasal 6-7), Bab IV Pemberi Bantuan Hukum (Pasal 8-11), Bab V Hak dan Kewajiban Penerima Bantuan Hukum (Pasal 12-13), Bab VI Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum (Pasal 14-15), Bab VII Pendanaan (Pasal 16-19), Bab VIII Larangan (Pasal 20), Bab IX Ketentuan Pidana (Pasal 21), Bab X Ketentuan Peralihan (Pasal 22-23), dan Bab XI Penutup (Pasal 24-25).

Page 14 of 26

Untuk mengimplementasikan UU Bantuan Hukum mengamanatkan 4 (empat) peraturan pelaksanaannya, yaitu : 1. Peraturan Menteri tentang tata cara verifikasi dan akreditasi pemberi bantuan hukum; 2. Peraturan Menteri tentang Standar Layanan Bantuan Hukum 3. Peraturan Pemerintah mengenai syarat dan tata cara pemberian Bantuan Hukum. 4. Peraturan Pemerintah mengenai tata cara penyaluran dana Bantuan Hukum Dan sayangnya UU tidak memberikan batasan waktu, kapan keempat peraturan tersebut harus selesai dilakukan. Hanya pernyataan Menteri Hukum dan HAM, Patrialis Akbar yaitu UU Bantuan Hukum diharapkan pada tahun 2013 sudah bisa diberlakukan.33 Sehingga bisa dikatakan bahwa UU Bantuan Hukum telah memberikan cek kosong kepada pencari keadilan. 3.3 Penerima Bantuan Hukum Tidak Mencakup Kelompok Rentan dan Kepentingan Keadilan UU Bantuan Hukum membatasai penerima bantuan hukum dalam pengertian miskin secara ekonomi, seperti dinyatakan dalam Pasal 5, sebagai berikut :(1) Penerima Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat 1) meliputi setiap orang atau kelompok orang miskin yang tidak dapat memenuhi hak dasar secara layak dan mandiri. (2) Hak dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi hak atas pangan, sandang, layanan kesehatan, layanan pendidikan, pekerjaan dan berusaha, dan/atau perumahan.

Perumusan pasal ini didasarkan pada alasan bahwa negara harus memberikan prioritas bantuan hukum. Namun perumusan ini tidak sesuai konvensi internasional yang mencakup vulnerable groups, dan kepentingan keadilan berdasarkan ancaman pidana. Pendekatan berbasis HAM menekankan prinsip keadilan dan non-diskriminasi dalam memenuhi hak fair trial dan akses keadilan. Dalam persfektif ini diakui terdapat kelompok-kelompok yang mengalami hambatan tidak saja karena miskin, melainkan karena hambatan sosial, jenis kelamin, maupun budaya yang menjadikan mereka rentan (vulnerable)34. Kategori kelompokUU Bantuan Hukum pada 2013 sudah berlaku http://www.antaranews.com/berita/278857/uu-bantuan-hukumpada-2013-sudah-berlaku Human Rights Reference menyebutkan bahwa yang tergolong ke dalam Kelompok Rentan adalah: a. Refugees, b, Internally Displaced Persons (IDPs); c. National Minorities, d. Migrant Workers; e. Indigenous Peoples, f. Children; dan g. Women34 33

Page 15 of 26

rentan dapat ditemui dalam penjelasan Pasal 5 Ayat (3) UU No.39/1999 tentang HAM antara lain, adalah orang lanjut usia, anak- anak, fakir miskin, wanita dan penyandang cacat. Demikianhalnya dalam frame strategi akses keadilan yang termasuk kategori kelompok miskin adalah kelompok kelompok orang yang tertindas dan terpinggirkan tidak hanya karena kemiskinan, tetapi kelompok yang karena kondisi sosial menjadi rentan. Dalam persfektif ini, affirmative action untuk kelompok rentan merupakan hak dasar. Alasan negara harus membuat skala prioritas bantuan hukum dapat dipahami. Namun, tidak berarti menegasikan hak-hak dasar yang telah dijamin. 3.4 Penyelenggaraan Bantuan Hukum : Tugas dan Kewenangan tanpa Kontrol Dalam proses pembahasan, terjadi perdebatan yang cukup alot terkait penyelenggara bantuan hukum. DPR RI mengusulkan dibentuknya Komisi Bantuan Hukum, dengan pertimbangan independensi, sedangkan Pemerintah keberatan dengan pertimbangan pembentukan komisi baru akan menguras anggaran negara. Pada akhirnya disepakati penyelenggaran bantuan hukum dilakukan oleh Menteri Hukum dan HAM, yang tergambar dalam skema sebagai berikut : Skema Penyelenggaraan Bantuan Hukum

MENTERI HUKUM DAN HAM

DPR RI

PANITIA VERIFIKASI & AKREDITASI

PEMBERI BANTUAN HUKUM (LBH ATAU ORMAS )

PENERIMA BANTUAN HUKUM (ORANG MISKIN)

garis perintah dan pengawasan garis pelaporan/pertanggungjawaban

Page 16 of 26

Pemberian Bantuan Hukum kepada pencari keadilan diselenggarakan oleh Menteri Hukum dan HAM. Menteri memiliki 5 (lima) tugas, yaitu: a. menyusun dan menetapkan kebijakan penyelenggaraan Bantuan Hukum; b. menyusun dan menetapkan Standar Bantuan Hukum berdasarkan asas-asas pemberian Bantuan Hukum; c. menyusun rencana anggaran Bantuan Hukum; d. mengelola anggaran Bantuan Hukum secara efektif, efisien, transparan, dan akuntabel; dan e. menyusun dan menyampaikan laporan penyelenggaraan Bantuan Hukum kepada Dewan Perwakilan Rakyat pada setiap akhir tahun anggaran. Tugas menteri meliputi dari proses penyusunan kebijakan, anggaran (penyusunan dan pengelolaan), pengawasan sampai pada pelaporan. Dan untuk lima tugas ini, Menteri diberikan wewenang untuk mengawasi dan memastikan penyelenggaraan dan pemberian Bantuan Hukum dan melakukan verifikasi dan akreditasi terhadap lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan untuk memenuhi kelayakannya. Untuk melaksanakan bantuan hukum, Menteri akan mendelegasikan pelaksanaannya kepada Pemberi Bantuan Hukum, yaitu LBH atau Organisasi Kemasyarakatan35. Untuk menentukan LBH/Ormas mana yang layak, Menteri membentuk panitia adhoc untuk melakukan verifikasi dan akreditasi36. Walau verifikasi dan akreditasi dilakukan oleh panitia, penetapan kebijakan tetap di tangan Menteri. Proses ini dikuatirkan dapat berubah menjadi : a. Sarana kontrol negara terhadap lembaga-lembaga pemberi bantuan hukum. LBH/Ormas yang kerap berhadapan dengan negara, dapat saja tidak lolos verifikasi/akreditasi atau mendapat tekanan jika ingin lolos verifikasi/akreditasi dan menjadi pelaksana bantuan hukum.

35

Syarat-syarat Pemberi Bantuan Hukum meliputi :a. berbadan hukum; b. terakreditasi berdasarkan UndangUndang ini; c. memiliki kantor atau sekretariat yang tetap; d. memiliki pengurus; dan e. memiliki program Bantuan Hukum (Pasal 8 ayat (2) UU Bantuan Hukum)

Panitia terdiri atas unsur a. kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia;b. akademisi; c. tokoh masyarakat; dan d.lembaga atau organisasi yang memberi layanan Bantuan Hukum. Verifikasi dan akreditasi dilakukan setiap 3 (tiga) tahun. Namun tidak jelas apakah panitia bersifat tetap atau adhoc.

36

Page 17 of 26

b. Tidak tepat sasaran, sebagaimana diketahui terdapat berbagai varian LBH yaitu LBH yang didirikan secara independen oleh masyarakat sipil (mis : YLBHI, LBH APIK,PBHI dll), LBH Kampus, LBH di bawah ormas, bahkan LBH di bawah partai politik. Tidak dapat dipungkiri akan terjadi tarik menarik kepentingan dalam penyaluran dana bantuan hukum, dan berpotensi tidak tepat sasaran. c. Wahana KKN, kontrol yang hanya terdapat di DPR dan pemusatan seluruh anggaran bantuan hukum berpotensi menjadikan anggaran bantuan hukum sebagai ladang baru korupsi. Di balik ketentuan ini, UU bantuan hukum berlaku HANYA bagi LBH/Ormas yang mengikatkan diri dengan Menteri untuk menjadi pelaksana bantuan hukum, dan tidak mengikat LBH/Ormas yang lainnya. LBH/Ormas yang memilih untuk tetap independen dalam memberikan bantuan hukum dengan sendirinya tidak perlu mengikuti proses verifikasi dan akreditasi, dan tidak terikat dengan ketentuan didalamnya. Sedang bagi pencari keadilan, permohonan bantuan keadilan diajukan kepada LBH/Ormas yang ditunjuk, dan selanjuntya LBH/Ormas memberikan layanan bantuan hukum dan mempertanggungjawabkannya kepada Menteri Hukum dan HAM. Dan Menteri Hukum dan HAM melaporkan kepada DPR RI setiap akhir tahun anggaran. Dalam mekanisme ini, tidak terdapat peran serta masyarakat untuk melakukan pengawasan terhadap Menteri maupun LBH/Ormas. Satu-satunya mekanisme kontrol adalah melalui DPR RI yang diberikan setahun sekali. Sehingga dapat dipahami kekhawatiran, akan munculnya penyalahgunaan kekuasaan dalam pemberian bantuan hukum. 3.4 Tidak ditentukannya Sistem Legal Aid Fund UU Bantuan Hukum menjamin dana negara untuk bantuan hukum (legal aid fund). Secara umum terdapat beberapa model program bantuan hukum yang dibiayai negara, yaitu :37

a) Menggaji Pembela Umum (Public Defender ); Negara mengaji secara penuh waktu pembela umum yang biasanya di bawah Kantor Pengacara Publik (Public Attorneys Office ) di bawah Departemen Kehakiman;37

UNDP, Programming for Justice Access for All, Chapter 5: Capacity to Demand Justice Remedies, h 145

Page 18 of 26

b) Membiayai Pengacara Swasta (Judicare Sistem). Negara mendanai sektor swasta untuk memberikan layanan kepada warganegara. Pengacara swasta mengajukan anggaran untuk mengganti biaya memberikan bantuan hukum. Sistem ini dikelola oleh Departemen Kehakiman atau langsung oleh pengadilan; c) Kontrak (Contracting). Negara melakukan subkontrak penyediaan bantuan hukum dengan pihak swasta; d) Sistem Campuran (Mixed System). Sistem campuran menggabungkan dua atau lebih komponen di atas. Misalkan tetap mengaji public defender untuk merujuk atau supervisi kasus-kasus tertentu, namun mengontrak pengacara swasta untuk kategori yang lain. Keempat sistem tersebut memiliki keuntungan dan keterbatasan, yang dapat digambarkan dalam tabel berikut : Tabel Keuntungan dan Keterbatasan Sistem Legal Aid Fund KEUNTUNGANPUBLIC DEFENDER SYSTEM Potensi kualitas pelayanan lebih baik karena komitmen yang lebih tinggi / orientasi untuk pelayanan publik, dan untuk spesialisasi di bidang yang menjadi perhatian untuk orang miskin dan kelompok yang kurang beruntung (misalnya, hukum pidana); Potensi untuk kontrol kualitas pelayanan Kemungkinan untuk pelatihan dan pengembangan profesional Menjamin akuntabilitas Lebih memudahkan perencanaan keuangan dan melacak pembiayaan Akses kepada ketrampilan dan pengacara yang berpengalaman; Terdakwa memiliki banyak pilihan.

KETERBATASANKarakteristik : Kelebihan kasus, tidak memadai (terutama di pedesaan), dan birokratis Persaingan dengan sektor swasta, dikombinasikan dengan upah rendah, dapat menyebabkan tingkat pergantian staf yang tinggi Bersifat tradisional terbatas pada pidana. Kurangnya kapasitas untuk menangani dengan kasus lain (misalnya, hukum keluarga, hukum administrasi hukum), atau ADR Sulit untuk mendapatkan kepercayaan klien yang mungkin berpikir bahwa pengadilan, Jaksa dan pembela umum saling terhubung Kesulitan untuk mencocokkan ketrampilan hukum yang tersedia dengan sifat kasus; Potensi untuk menjadi sangat mahal, karena berkompetisi dengan sektor swasta; Kesulitan dalam memastikan kualitas layanan, karena tidak memungkinkan masyarakat memberikan feedback. Konflik kepentingan- resiko tidak mewakili klien dalam beberapa kasus karena ketergantungan kontrak dengan negara Tidak stabil, karena sulit untuk mendapatkan penawaran pengacara berkualitas karena harga akan semakin tinggi.

JUDICARE SYSTEM

CONTRACT

Biaya administrasi dan operasional yang rendah dari negara; Beberapa pengaruh pada kualitas layanan hukum dan akuntabilitas; Fleksibilitas perencanaan anggaran dan pembiayaan

Page 19 of 26

MIXED SYSTEM

Efisien dengan sistem terpusat Memanfaatkan sumber daya yang ada dalam organisasi pengacara Kapasitas untuk analisis statistik, transparansi dan perencanaan anggaran Kemungkinan untuk pelatihan dan kontrol kualitas

Sistem campuran adalah pengalaman terakhir dan inovasi yang nampak menjanjikan, namun belum ada evaluasi terhadap sistem ini

Didalam UU Bantuan Hukum tidak terdapat kejelasan mengenai sistem legal aid fund mana yang akan dianut, karena UU mengamanatkan akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (PP) tentang Tata Cara Penyaluran Dana Bantuan Hukum. Namun, dengan merujuk pada ketentuan adanya proses verifikasi dan akreditasi, maka kemungkinan adalah sistem judicare atau contract yang diterapkan. 3.4 Kriminalisasi Pemberi Bantuan Hukum : Sistem Pertanggungjawaban Koorporasi atau Kelalaian Pengeditan ? Hal yang patut mendapatkan perhatian adalah pasal 20 dan pasal 21 yang melarang Pemberi Bantuan Hukum untuk menerima atau meminta pembayaran dari Penerima Bantuan Hukum dan/atau pihak lain yang terkait dengan perkara yang sedang ditangani Pemberi Bantuan Hukum. Dan jika terbukti dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). 38 Pengertian Pemberi Bantuan Hukum dalam pengertian umum merujuk pada lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan Bantuan Hukum.39 Perumusan pasal ini membingungkan kepada siapa pasal ini ditujukan (addressat norm). Apakah ditujukan kepada Pemberi Bantuan Hukum sebagai organisasi ataukah kepada individu pemberi layanan seperti advokat, dosen dan mahasiswa ?. Jika ditujukan kepada organisasi/lembaga pemberi bantuan hukum, ini berarti UU Bantuan Hukum menganut sistem pertanggungjawaban korporasi. Jika menganut sistem pertanggungjawaban korporasi, apakah tepat mengingat untuk pertanggungjawaban korporasi diperlukan sejumlah syarat. Penulis berpendapat telah terjadi kelalaian dalam proses pengeditan perumusan pasal kriminalisasi pemberi bantuan hukum. Dalam draft sebelumnya pemberi bantuan hukum merujuk kepada Advokat, Paralegal, Dosen, dan mahasiswa fakultas hukum, sehingga pertanggungjawaban pidana bersifat individu. Namun pergantian perumusan dalam pemberi38

Pasal 20 dan Pasal 21 UU Bankum Pasal 1 huruf 3 tentang Pengertian Umum

39

Page 20 of 26

bantuan hukum tidak diikuti dengan penyelarasan dengan pasal-pasal lainnya. Dengan rancunya perumusan addressat norm ini, dengan sendirinya pasal ini seharusnya tidak dapat diterapkan. Perumusan kriminalisasi ini didasarkan pada pemikiran, bahwa LBH/Ormas sebagai pemberi bantuan hukum telah mendapatkan dana bantuan hukum dari negara, sehingga tidak dibenarkan untuk meminta atau menerima bayaran dari pencari keadilan. Hal ini berkonsekwensi kepada jumlah kompesasi yang diberikan negara kepada LBH/Ormas untuk setiap kasusnya. Jumlah kompensasi yang memadai akan memacu LBH/Ormas untuk memberikan bantuan hukum yang efektif dan berkualitas. Dan sebagai bentuk pelanggaran atas kontrak dengan negara, seharusnya UU Bantuan Hukum terlebih dahulu

mendayagunakan hukum perdata dan hukum administrasi sebagai primum remedium. Misalkan dengan menghentikan kontrak kerjasama dan menghukum individu berdasarkan kode etik advokat atau standar pelayanan bantuan hukum. Sehingga perumusan ini tetap dapat dikategorikan sebagai overcriminalization. 3.5 Pengakuan dan Jaminan Hukum bagi Human Rights Defender Advokat, Dosen, Paralegal dan Mahasiswa yang memberikan bantuan hukum dapat dikategorikan sebagai Human Rights Defender (HRD), karena pekerjaannya ditujukan untuk memenuhi dan mempromosikan HAM, demokrasi, dan the rule of law. Namun, dalam melakukan kerjanya HRD kerap menemui hambatan (seperti hambatan prosedural, informasi), kekerasan dan ancaman kekerasan. Dan profesi yang menjadi salah satu target pengacara dan mahasiswa.40 Dan negara memiliki kewajiban untuk melindungi hak-hak HRD dalam melakukan kerja-kerjanya. UU Bantuan Hukum, memberikan langkah positif dalam jaminan dan perlindungan pemberi bantuan hukum, dengan merumuskan 6 (enam) hak dalam Pasal 9 dan Pasal 11 yang dapat dikategorikan sebagai bentuk jaminan dan perlindungan HRD, yaitu : melakukan pelayanan Bantuan Hukum;

40

Imparsial,Perlindungan terhadap Human Rights defender (Hambatan dan Ancaman dalam Peraturan Perundang-Undngan) Sebuah Studi Kebijakan di Indonesia, tim Imparsial, Jakarta,November 2005, halaman 3

Page 21 of 26

menyelenggarakan penyuluhan hukum, konsultasi hukum, dan program kegiatan lain yang berkaitan dengan penyelenggaraan Bantuan Hukum; mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya di dalam sidang pengadilan; mendapatkan informasi dan data lain dari pemerintah ataupun instansi lain, untuk kepentingan pembelaan perkara; dan mendapatkan jaminan perlindungan hukum, keamanan, dan keselamatan selama menjalankan pemberian Bantuan Hukum Pemberi Bantuan Hukum tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana dalam memberikan Bantuan Hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang dilakukan dengan iktikad baik di dalam maupun di luar sidang pengadilan Walau hak ini terbatas pada pemberi bantuan hukum yang ditunjuk oleh Menteri, hak hak ini dapat diartikan bahwa ketergantungan dana, seharusnya tidak menjadi alasan bantuan hukum yang tidak berkualitas ketika berhadapan dengan negara.

3.6 UU Bantuan Hukum menjadi Sandaran Hukum bagi Perda tentang Bantuan Hukum Pada tingkat daerah, inisiatif pemberian bantuan hukum oleh Pemerintah Daerah (Pemda) menguat seiring demokratisasi di tingkat propinsi, maupun kabupaten/kota. Dari penelitian Samuel Gultom dan Tandiono Bawor Purbaya,tercatat telah terdapat 7 kebijakan daerah baik di tingkat Propinsi, Kabupaten atau Kota yang telah membangun inisiatif pemberian bantuan hukum41. Lahirnya inisiatif tidak dapat dilepaskan dari proses Pemilihan Langsung Kepala Daerah (Pilkada), yang menjadi peluang untuk memasukkan berbagai kepentingan, -termasuk kepentingan masyarakat miskin- yang menjadi janji politik setiap pasangan yang mengikuti pemilihan kepala daerah. Misalkan program dan komitmen politik pasangan Wali kota dan Wakil Walikota Makasar terpilih yaitu IASMO BEBAS, yaitu bebas dari lahir sampai41

Yaitu Kota Makassar/Keputusan Walikota Makassar No.63 tahun 2009 , Kabupaten Sinjai/Peraturan No.8 tahun 2010 Propinsi Sumatera Selatan, Propinsi Jawa Tengah, Kota Semarang/ Perda 4/2008 tentang Penanggulangan Kemiskinan di Kota Semarang dan Perwali 10/2010 fasilitasi bantuan hokum bagi warga miskin kota Semarang Kabupaten Sumenep, Kabupaten Bantul melalui Peraturan Bupati No 54/2007 tentang Bantuan Pemberdayaan Hukum untuk Keluarga Meskin di Kabupaten Bantul.

Page 22 of 26

meninggal, yang bentuknya adalah pembebasan biaya persalinan, biaya angkutan anak sekolah, biaya Kartu Keluarga, KTP dan akte kelahiran, biaya bantuan hukum bagi warga tidak mampu, dan bebas biaya pemakaman jenazah. Dan negara memberikan ruang hukum untuk merealisasikan komitmen politik pimpinan daerah terpilih dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah. Namun, umumnya inisiatif ini dituangkan dalam bentuk Surat Keputusan atau Peraturan Walikota, sehingga dimungkinkan kebijakan bantuan hukum akan berubah dengan pergantian pimpinan daerah. Masalah lain adalah pengalokasian dana APBD bukan dikhususkan untuk dana bantuan hukum, tetapi dapat berupa dana bantuan sosial, bagian dari dana pemberdayaan ekonomi atau pembayaran jasa. Dengan ketentuan Pasal 19 UU Bantuan Hukum yang menyatakan Daerah dapat mengalokasikan anggaran penyelenggaraan Bantuan Hukum dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, maka inisiatif bantuan hukum oleh pemerintah daerah memiliki sandaran hukum yang kuat. Dan masyarakat sipil dapat mendorong lahirnya Perda Bantuan Hukum yang sesuai dengan kondisi daerahnya masing-masing.

IV.

KESIMPULAN

Untuk memberikan layanan Bantuan Hukum terdapat dua system yaitu Probono, sistem layanan berdasarkan kewajiban profesi advokat, dan Legal Aid, sistem layanan berdasarkan kepada kewajiban negara. Dalam persfektif HAM, bantuan hukum merupakan bagian dari hak akses keadilan dan hak fair trial. Dalam konteks akses keadilan, bantuan hukum merupakan mekanisme untuk mendapatkan pemulihan hak, untuk melindungi diri dari kerugian yang mungkin ditimbulkan oleh orang lain ketika terlibat dalam perselisihan atau konflik kepentingan. Kerugian yang dimaksud meliputi kerugian yang disebabkan pelanggaran hak asasi manusia, hukum pidana, maupun perdata. Dalam hal ini bantuan hukum berlaku untuk saksi, korban, tersangka/terdakwa di dalam sistem keadilan formal/informal, termasuk kelompok rentan yaitu anak, perempuan, masyarakat adat dan penyandang cacat. Sedang dalam konteks fair trial, hak bantuan hukum ditujukan untuk melindungi kepentingan tersangka/terdakwa dalam berhadapan dengan negara, dengan mempertimbangkan kepentingan keadilan dan miskin. Strategi Nasional Akses terhadap Keadilan merumuskan Strategi Akses terhadap Keadilan dalam pada Bidang Bantuan Hukum, diantaranya pembentukan UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Terdapat sejumlah kelemahan dalam UU ini yaitu : (a)Page 23 of 26

Naskah Akademik Yang Rancu, Sempit dan Tidak Terintegrasi dengan Strategi Nasional Akses Keadilan; (b) Terdapat empat peraturan pelaksana (Cek Kosong) untuk mengimplementasikan UU Bantuan Hukum; (c) Penerima Bantuan Hukum Tidak Mencakup Kelompok Rentan dan Kepentingan Keadilan; (d) Penyelenggaraan bantuan hukum tanpa kontrol masyarakat berpotensi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi; (e) Tidak ditentukannya Sistem Legal Aid Fund (f) Perumusan kriminalisasi pemberi bantuan hukum yang tidak jelas, antara pertanggungjawaban korporasi atau individu, dan mengedepankan pendekatan pidana dibandingkan perdata atau administrasi negara. Walau penuh dengan kekurangan, UU Bantuan Hukum memberikan hal positif yaitu adanya pengakuan dan jaminan hukum bagi pemberi bantuan hukum yang dapat dikategorikan sebagai Human Rights Defender. Dan UU Bantuan Hukum menjadi sandaran Hukum bagi pembentukan Perda tentang Bantuan Hukum. Sandaran hukum ini menjadi peluang besar bagi masyarakat sipil untuk mendorong pemenuhan hak bantuan hukum di tingkat daerah, karena lingkup wilayah yang lebih kecil, populasi dan lebih dekat dengan kepentingan masyarakat miskin dan rentan. UU Bantuan Hukum memberikan peluang kepada LBH/Ormas untuk mengikuti proses akreditasi dan verifikasi untuk menjadi pemberi bantuan hukum yang dibiayai negara. Hal ini membawa konsekwensi LBH/Ormas meningkatkan kualitas layanan dan manajemen, dan terikat pada seluruh ketentuan dalam UU ini. Namun bagi LBH/Ormas juga dapat memilih TIDAK mengikuti proses akreditasi dan verifikasi dan tetap independent dalam memberikan layanan bantuan hukumnya, dan dengan sendirinya tidak terikat pada ketentuan dalam UU Bantuan Hukum.

Page 24 of 26

DAFTAR PUSTAKA Alan W Houseman dan Linda E Perle, A Brief History of Civil Legal Assistance in the United State, Center for Law and Social Policy, 2007 Imparsial,Perlindungan terhadap Human Rights defender (Hambatan dan Ancaman dalam Peraturan Perundang-Undngan) Sebuah Studi Kebijakan di Indonesia, tim Imparsial, Jakarta, November 2005 Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS)Direktorat Hukum dan HAM, Strategi Nasional Akses terhadap Keadilan, Cetakan Pertama, Mei 2009 Koalisi untuk Pembaharuan Hukum Acara Pidana (KuHAP), Position Paper Advokasi RUU KUHAP, Jakarta, 2009. Naskah Akademik RUU Bantuan Hukum, Baleg DPR RI, 2010 PILnet: The Global Network for Public Interest Law, Probono Presentation, 2011 Roger Smith, Legal Aid in England and Wales: Entering the Endgames, 2011, http://www.ilagnet.org/jscripts/tiny_mce/plugins/filemanager/files/papers/Legal_Aid_in_Eng land_and_Wales_-_Entering_the_Endgame.pdf The Human Rights Commitee, General Comment No. 32 Article 14: Right to Equality Before Courts and Tribunals and to a Fair Trial, http://www2.ohchr.org/english/law/ccpr.htm Uli Parulian Sihombing, Hak Atas Peradilan Yang Adil Yurisprudensi Pengadilan HAM Eropa,Komite HAM PBB Dan Pengadilan HAM Inter-Amerika,ILRC, Jakarta, 2008 Uli Parulian Sihombing, Hak-Hak Tersangka/Terdakwa Atas Bantuan Hukum Menurut Standard Internasional, Makalah, Yogyakarta, 2008 UNDP, Access to Justice, Practise Note, UNDP, 2004, halaman 6 UNDP, Programming for Justice Access for All, Chapter 5: Capacity to Demand Justice Remedies, 2005 Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia. International Convention on Civil and Political Rights (ICCPR) UUD 1945 UU No.16/2011 tentang Bantuan Hukum UU No.39/1999 tentang HAM

Page 25 of 26

Page 26 of 26