romly muar, m.hi - sejarah ilmu kritik hadits
DESCRIPTION
Ketika mempelajari hadits, maka murnikan niat untuk memelihara dan melestarikan pesan yang dibawanya. Jangan untuk komersil atau sekedar mencari sensasi seperti para OrientalisTRANSCRIPT
SEJARAH ILMU KRITIK HADITS
MAKALAH
Oleh:
M. Romli Muar (dosen STAI Raden Rakhmat, Kepanjen)
No HP: 081334228030
PROGRAM PASCASARJANA
STUDI AL- AHWAL AL-SYAKHSIYAH UIN MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG Oktober 2010
2
BAB I
PENDAHULUAN
Hadits Nabi SAW. adalah petunjuk bagi umat Islam setelah al-Qur'an, yang
sekaligus merupakan penjelas utama al-Qur'an. Para pemerhati dan pemikir keislaman
yang kritis, sudah cukup lama peduli pada sumber ajaran Islam kedua ini. Sampai para
orientalispun tertarik untuk mencoba mencari titik lemah dari hadits.
Menurut Fazlur Rahman menyebutkan, bahwa secara historis Hadits Nabi SAW.
dalam rangka formalisasinya untuk dijadikan sebagai otoritas pasca al-Qur'an itu telah
mengalami evolusi. Katanya, ada tiga tahapan dalam perkembangan evolutifnya;
informal, semi formal, dan formal. (baca: kritik).
Dengan demikian, penelitian terhadap Hadits Nabi SAW. sangat perlu sekali
dilakukan, demi menjaga autentisitasnya. Hemat penulis, berbagai kajian yang dimaksud
tersebut, masih cukup sedikit yang membahas secara langsung tentang "Ilmu Kritik
Hadits ('ilm naqd al-hadits)", atau lebih tepatnya yang menggunakan term kritik. Baru
sekitar abad XIV Hijriyah pengkajian itu dilakukan secara serius. Jika dikatakan, bahwa
kritik terhadap Hadits telah dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW. atau pada masa
kegemilangan sejarah Islam, penulis berasumsi, itu masih berupa "cikal bakal" atau
proses dari suatu kajian yang mengarah ke kritik yang sebenarnya, yakni sistematisasi,
metodologisasi atau kajian yang komprehensif dalam ulum al-hadits.
Makalah ini, tentu saja tidak menyelesaikan semua penjelasan tentang kritik
hadits. Karena itu, maksud penulis hanya sekedar (cukup) untuk memperkenalkan saja
tentang "Studi Kritik Hadits", yaitu kajian model mutakhir dari metodologi penelitian
Hadits Nabi SAW. Ini juga, lebih banyak mengambil referensi dari berbagai kitab dan
buku yang telah ada, khususnya sejak abad tersebut.
Beberapa pemerhati dan literatur yang telah membahas dan langsung
menyebutkan dengan istilah "kritik (naqd)" hadits, antara lain; Nur ad-Din 'Itr dengan
karyanya, Manhaj an-Naqd fi 'Ulum al-Hadits, Muhammad Mustafa A'zami dalam
Studies In Hadith Methodology and Literature dan Manhaj an-Naqd 'ind al-Muhadditsin:
Nasy'atuh wa Tarikhuh, Muhammad Syuhudi Isma'il dalam Hadits Nabi Menurut
Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya, Ali Mustafa Ya'qub dalam Imam Bukhari &
3
Metodologi Kritik dalam Hadits dan Kritik Hadits, dan Dr Umi Sumbulah, M.Ag Kritik
Hadits Pendekatan Historis Metodologis.
Berawal dari merekalah pengkajian atas studi kritik ini dilakukan. Sekalipun,
kajian itu belum memberikan pemahaman yang utuh sekali. Kita akan mendapatkan
sesuatu yang agak utuh, baru dari para pengkaji dan beberapa literatur mengenai kritik
Hadits Nabi SAW. yang lebih spesifik, baik untuk sanad ataupun matan hadits.
Lebih lanjut, diantara para ilmuan ada yang telah mencoba
mengaktualisasikannya dalam pergulatan intelektual kontemporer dan menerapkannya
secara kontekstual. Antara lain; Shalahuddin ibn Ahmad al-Adlabi, Manhaj Naqd al-
Matn 'inda 'Ulama al-Hadits an-Nabawi; Muhammad Thahir al-Jawabi, Juhud al-
Muhadditsin fi Naqd Matn al-Hadits an-Nabawi asy-Syarif; Afif Muhammad, "Kritik
Matan: Menuju Pendekatan Kontekstual atas Hadis Nabi SAW."; dan Said Agil Husein
al-Munawwar, "Urgensi Kritik Matan dalam Studi Hadits Kontemporer: Rekonstruksi
Metodologi atas Kriteria Kesahihan Hadits". Yang menjadi latar belakang makalah ini
adalah sebagai berikut :
1. Apa definisi kritik hadits itu?
2. Bagaimana Sejarah kemunculannya?
3. Siapa saja tokoh-tokohnya?
4. Apa saja kitab-kitabnya?
5. Bagaimana para ulama hadits menilai status sebuah hadits?
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kritik Hadits
Dr. Muhammad Mushthafa al A’dzami mendefinisikan al Naqdu sebagai
berikut :
1تمييز الدراھم واخراج الزيف منھا: النقد لغة
Memisah-misahkan dirham dan mengeluarkan yang palsu darinya
Agar dapat memperluas pendefinisian, maka penulis mencoba mengembangkan
pemaknaan dari sisi lain, kata kritik sebenarnya berasal dari bahasa Yunani krites
yang berarti “a judge (seorang hakim), kata a judge bisa berarti; pertama a person
who expresses an unfavuorable opinion or something, dan kedua a person who
reviwes literacy or artistic works .2
Di sini kata “kritik” dipakai untuk menunjuk kepada kata arab an-naqd dalam
studi hadits. Dalam literatur Arab kata “an-naqd” dipakai untuk arti “kritik”,3. Kata
“an-naqd” dalam pengertian tersebut tidak dijumpai dalam al-Qur’an maupun hadits.
Namun kata yang memiliki pengertian yang sama disebutkan dalam al-Qur’an, yaitu
kata tamyiz yang berarti memisahkan sesuatu dari sesuatu yang lain.4
Naqd dalam bahasa ilmiah berarti penelitian, analisis, pengecekan dan
pembedaan. Selanjutnya, dalam pembicaraan umum orang Indonesia, kata kritik
berkonotasi pengertian bersifat tidak mudah percaya, tajam dalam penganalisaan, ada
uraian pertimbangan baik buruk terhadap suatu karya.5 Dari tebaran arti kebahasaan
tersebut, kata kritik bisa di artikan sebagai upaya membedakan antara yang benar
(asli) dan yang salah/ tiruan (palsu).
Seiring arti di atas, seorang pakar hadits abad ketiga Hijriah, Imam Muslim (w.
261 H / 875 M) memberi judul bukunya yang mebahas metode kritik hadits dengan 1 Muhammad Mushthafa al A’dzami, Manhaju al Nqdi Inde al Muhadditsin Nasy atuhu wa Tarikhuhu,
Syirkahtu al Thaba’ah al Su’udiyah, 1982, hlm 5 2 Catherine Soanes (ed), Oxford Dictionary, Thesaurus, and Wordpower Guide, New York: Oxford
University Press, 2001, Hlm. 283. 3 A.W. Munawwir, Kamus Al Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Yogyakarta: Unit PP Al-munawwir,
2000, Hlm. 1551 4 Bustamin dan M. Isa H. A. Salam. Metodologi Kritik Hadits, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Hlm. 5 5 Atar Semi, kritik Sastra (Bandung: Angkasa, 1987), hlm 7
5
al-Tamyiz. Sebagian ulama menamakan istilah an-naqd dalam studi hadits dengan
sebutan al-jarh wa at-tadil sehingga dikenallah cabang ilmu hadits, al-jarh wa at-
tadil yaitu ilmu untuk menunjukkan ketidaksahihan dan keandalan.
dalam bahasa Indonsia, kritik berarti berusaha menemukan kekeliruan dan
kesalahan identik dengan kata “menyeleksi” yang secara leksikal memiliki arti
menyaring atau memilih.6
Sedangkan dalam arti istilah ulama Hadits, al Naqdu diartikan sebgai berikut:
7والحكم على الرواة توثيقا وتجريما, حيحة من الضعيفةتمييز ا�حاديث الص
Membedakan Hadits-hadits shaheh dari yang dhaif serta menetapkan hukum
tsiqah atau tidaknya para rawi.
Muhammad Tahir al-Jawaby sebagaimana dikutip Al Fudhaily adalah:
“Ilmu kritik hadits adalah ketentuan terhadap para periwayat hadits baik kecacatan
atau keadilannya dengan menggunakan ungkapan-ungkapan tertentu yang dikenal
oleh ulama-ulama hadits. Kemudian meneliti matn hadits yang telah dinyatakan sahih
dari aspek sanad untuk menetukan keabsahan atau ke-dhaifan matn hadits tersebut,
mengatasi kesulitan pemahaman dari hadits yang telah dinyatakan sahih, mengatasi
kontradisi pemahaman hadits dengan pertimbangan yang mendalam”8
Adapun M. Azami memaknai kritik hadits dengan “Kemungkinan definisi
kritik hadits adalah membedakan (al-Tamyis) antara hadits-hadits sahih dari hadits-
hadits da’if dan menetukan kedudukan para periwayat hadits tentang kredibilitas
maupun kecacatannya”9 Dari beberapa pengertian kata atau istilah kritik di atas,
dapat ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan kritik hadits (naqd al-hadits) ialah
usaha untuk menyeleksi hadits sehingga dapat ditentukan antara hadits yang sahih
atau lebih kuat dan yang tidak.
B. Sejarah Kritik Hadits
1. Pada Masa Rasulullah saw dan Sahabat
Bila kita teliti dari sisi historis, maka kritik atau seleksi hadits, dalam arti
upaya untuk membedakan antara yang benar dan yang salah, telah ada dan
6 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balau Pustaka, 1996), Hlm. 965 7 Ibnu Abi Hatim al Razy, al Jarhu wa al Ta’dilu, Hidir abad, 1371 H, hlm 6 8 Ahmad Fudhaili,. Perempuan dilembaran Suci: Kritik atas Hadits-Hadits Sahih. (Yogyakarta: Pilar
media, 2005). hlm. 27 9 Ibid, Hlm. 28
6
dimulai pada masa Nabi masih hidup, meskipun dalam bentuk yang sederhana.
Praktik penyelidikan atau pembuktian untuk meneliti hadits Nabi pada masa itu
tercermin dari kegiatan para sahabat yang pergi menemui atau merujuk kepada
Nabi untuk membuktikan apakah sesuatu benar-benar telah dikatakan oleh beliau.
Berkenaan dengan hal ini, Umi Sumbulah menyatakan bahwa:
“Jika kritik dipahami sebagai sebuah upaya untuk memilah-milah antara yang
sahih dan yang tidak, maka dapat dipahami bahwa kegiatan kritik hadits telah
ada sejak masa Rasulullah, meski disadari bahwa kegiatan tersebut masih
dilakukan dalam bentuk yang sangat sederhana. Pada masa ini masih dalam
bentuk konfirmasi, yakni para sahabat yang tidak secara langsung mendengar
secara langsung dari beliau, tetapi dari sahabat lainyang mendengarkannya”.10
Dengan demikian, para sahabat dapat secara langsung dapat mengetahui
valid dan tidaknya hadits yang mereka terima. Pada dasarnya, aktifitas tersebut
tidak dikarenakan ada kecurigaan terhadap pembawa berita bahwa ia telah
berdusta, namun kebih didasarkan bahwa berita yang berasal dari Rasulullah
memang benar-benar ada.11 Namun demikian, para ulama bersepakat bahwa
konfirmasi di era Rasulullah ini dipandang sebagai embrio atua cikal bakal
lahirnya ilmu kritik hadits, yang dalam tahap berikutnya menurut Jalaluddin Al
Suyuthi sebagaimana dikutup Umu Sumbulah menjadi salah satu dari 93 cabang
ilmu hadits.12 Praktik kritik hadits dengan pola konfirmasi ini berhenti dengan
wafatnya Rasulullah, namum buka berarti bahwa kritik hadits telah kehilangan
urgensinya.
Setelah Nabi wafat (11 H=632 M), tradisi kritik hadits dilanjutkan oleh
para sahabat. Pada periode ini, kritik hadits lebih bersifat komparatif. Tercatat
sejumlah sahabat perintis dalam bidang ini, yaitu Abu Bakar as-Siddiq (w. 13
H=634 M) dengan mensyaratkan adanya saksi yang mendukung terkait kasus
waris bagi nenek yang ditinggalkan cucunya, yang diikuti oleh Umar bin Khattab
(w. 234 H=644 M) dalam kasus salam yang dilakukan oleh Abu Musa al Asyari
10 Umi Sumbulah, Kritik Hadits: Pendekatan Historis Metodologis, Malang: UIN Malang Press, 2008,
Hlm. 33 11 Ali Musthafa Ya’qub, Kritik Hadits, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995, Hlm. 2 12 Umi Sumbulah, Op.Cit, Hlm. 37
7
juga mensyaratkan untuk mendatangkan seorang saksi yang membenarkan
ucapan itu.13
Di samping kedua metode kritik di atas, pada periode ini juga
menggunakan periode kritik yang merupakan pengembangan dari metode
komparatif. Perbedaannya pada tidak hanya mengandalkan pada kekuatan hafalan
belaka, namun juga dilakukan perbandingan pada data tertulis yang ada. Diantara
para kritikus misalnya Abdullah Ibn Abbas (w. 65 H), ‘Aisyah (w. 52 H=678 M),
Abdullah bn Umar (w.83 H), Abdullah ibn ‘Amr ibn Al Ash (w. 65 H); Abu sa’id
Al Khuddzuri (w. 79 H), serta Anas ibn Malik (w. 92 H.).14
2. Pada Masa Setelah Sahabat
Pada periode pasca sahabat, mulai ditandai dengan penyebaran hadits
yang semakin banyak dan meluas, dan banyak bermunculan hadits palsu
(maudhu’). Menanggapi keadaan seperti itu, bangkitlah para ulama untuk
melakukan kritik atau seleksi guna menentukan hadits-hadits yang benar-benar
berasal dari Nabi, dan yang tidak. Sementara itu, rangkaian para periwayat hadits
yang “tersebar” menjadi lebih banyak dan panjang. Perhatian ulama untuk
meneliti matan dan sanad hadits makin bertambah besar, karena jumlah
periwayat yang tidak dapat dipercaya riwayatnya semakin bertambah banyak.
Mereka pun merumuskan kaidah dan cara untuk melakukan kritik atau seleksi
hadits.
Sejak abad kedua sampai keenam Hijriah tercatat usaha para ulama yang
berusaha untuk merumuskan kaidah kesahihan hadits, sampai kemudian para
ulama menetapkan persyaratan hadits sahih, yaitu sanadnya bersambung (sampai
kepada Nabi), diriwayatkan oleh para periwayat yang bersifat tsiqah (adil dan
dhabit) sampai akhir sanad, dan dalam (sanad) hadits itu tidak terdapat
kejanggalan (syuzuz) dan cacat (‘illat).
Para ulama’ hadits menetapkan beberapa syarat untuk menyeleksi antara
hadits-hadits yang sahih dan yang maudhu‘ para pakar hadits menetapkan ciri-ciri
hadits shahih sebagai tolok ukurnya. Tiga syarat berkenaan dengan sanad dan dua
13 Ibid, Hlm. 38-39. Lebih lanjut diungkapkan bahwa kritik terhadap hadits pada masa Abu Bakar dan
Umar tidak dalam rangka ketidakpercayaan, tapi lebih karena kewajiban moral untuk memberikan teladan kepada umat Islam. Kritik yang dilakukan lebih dipahami sebagai bentuk keteladanan yang harus di contoh, terutama dalam kaitannya dengan penerimaan dan penolakan riwayat hadits.
14 Ibid, Hlm. 40
8
berkenaan dengan matan hadits.15 Subhi Shalih dan Mahmud Tahhan
mengartikan hadits dikatakan shahih apabila memenuhi beberapa kriteria
berikut:16
الحديث المسند الذي اتصل سنده بنقل العدل الضابط عن العدل الضابط حتى ينتھي الى رسول
هللا صلى هللا عليه وسلم أو الى منتھاه من صحابي أو من دونه و� يكون شاذا و� معل6
“Hadits yang sanadnya sambung, dikutip oleh orang yang adil lagi dlobith
(cermat) dari orang yang sama, sampai berakhir kepada Rosulullah saw. atau
kepada sahabat atau kepada tabi’in, bukan hadits yang syadz (kontroversial) dan
terkena illat (yang menyebabkannya cacat dalam penerimaannya).”
Dari definisi di atas dapat ditarik simpulan bahwa untuk memenuhi kriteria
keshohihan hadits, terdapat lima poin syarat yang harus dipenuhi.17
artinya setiap perowi benar-benar meriwayatkan hadits tersebut langsung اتصال السند .1
dari orang (guru) diatasnya. Begitu seterusnya hingga akhir sanad.
artinya setiap perowi adalah seorang muslim yang sudah baligh dan عدالة الرواة .2
berakal sehat yang tidak memiliki sifat fasiq serta terjaga wibawanya.
,artinya setiap perowi adalah seorang pemelihara hadits yang sempurna ضبط الرواة .3
baik menjaganya dengan hati (hafalan) maupun dengan tulisan.
artinya hadits tersebut tidak berpredikat syadz yaitu hadits yang عدم الشذوذ .4
bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh orang yang lebih tsiqoh
(terpercaya)
artinya hadits tersebut bukan hadits yang terkena illat. Yaitu sifat samar عدم العلة .5
yang mengakibatkan hadits tersebut cacat dalam penerimaanya, kendati secara
lahiriyah hadits tersebut terbebas dari illat.
Beberapa persyaratan di atas cukup menjamin ketelitian dan penukilan
serta penerimaan suatu berita tentang Nabi. Bahkan kita dapat menyatakan bahwa
dalam sejarah peradaban manusia tidak pernah dijumpai contoh ketelitian dan
kehati-hatian yang menyamai apa yang telah dipersyaratkan dalam kaidah
15 Syaikh Muhammad Al Ghazali, Studi Kritik Atas Hadits Nabi SAW : Antara Pemahaman Tekstual dan
Kontekstual, Penj. Muhammad Al Baqir, (Bandung: Mizan, 1993). Hlm. 25-26 16 Subhi Shalih, Ulum Al-Hadits Wa Mustholahuhu, Beirut: Dar Al-Ilm Li Al-Malayin, 1997. Hlm.145 17 Mahmud Tahhan, 1985, Taysir Musthalah Al-Hadits, Surabaya: al-Hidayah, cet.VIII, hlm.34
9
kesahihan hadits. Namun yang lebih penting lagi adalah kemampuan yang cukup
untuk mempraktikan persyaratan-persyaratan tersebut.
Seiring dengan itu, perhatian para ulama dalam menyeleksi hadits banyak
terporsir untuk meneliti orang-orang yang meriwayatkan hadits. Jadi, dapat
dikatakan bahwa studi hadits pada periode ini mengalamai pergeseran pada
periode Rasul dan Sahabat kritik hadits tertuju pada matannya, sedangkan periode
sesudahnya cenderung lebih banyak mengkaji aspek sanadnya. Hal tersebut dapat
dimaklumi karena tuntutan dan situsi zaman yang berbeda, pada periode sahabat
Nabi belum dikenal tradisi sanad, sedangkan pasca sahabat sanad dan seleksi
sanad menjadi suatu keniscayaan dalam proses penerimaan dan penyampaian
(tahammul wa al-ada) hadits.
C. Tokoh-tokoh Kritik Hadits
Ketika membaca sejarah kritik Hadits, maka jelaslah bagi kita bahwa tokoh
pertama yang meletakkan dasar-dasar konsep kritik Hadits adalah Abu Bakar r.a yang
beliau lakukan sejak masa Rasulullah saw.18
Langkah beliau dilanjutkan oleh Shahabat Umar r.a dan Ali r.a. Seiring
penyebaran Hadits, maka bermunculanlah madrasah di Madinah dan Iraq yang
membahas kritik Hadits.
Tokoh-tokoh madrasah Madinah pride pertama:
1. Said bin Musayyab
2. Ak Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar
3. Salim bin Abdillah bin Umar
4. Ali bin Husen bin Ali
5. Abu Salmah bin Abdi al Rahman bin Auf
6. Abdullah bin Abdullah bin Utbah
7. Kharijah bin Zaid bin Tsabit
8. Urwah bin Zubair bin al Uwam
9. Abu Bakar bin Abdu al Rahman bin Harits bin Hisyam
10. Sulaiman bin Yasar
Tokoh-tokoh madrasah Madinah pride kedua:
18 Dr. Muhammad Mushthafa al A’dzami, Manhaju al Nqdi Inde al Muhadditsin Nasy atuhu wa Tarikhuhu,
Syirkahtu al Thaba’ah al Su’udiyah, 1982, hlm 10
10
1. Al-Zuhri (w. 124 H)
2. Yahya ibn Sa’id al0Anshari,
3. Hisyam ibn ‘Urwah
4. Sa’ad ibn Ibrahim
Tokoh-tokoh di Iraq pertama:
Di Irak kegiatan penelitian dan kritik hadits telah digalakkan pada abad pertama
hijriah, Al-Tarmidzi menyebutkan telah muncul beberapa tokoh Tabi’in yang
meneliti tentang keadaan Rijal (para perawi) hadits, seperti :
1. Al-Hasan al-Bashri (w. 110 H)
2. Sa’id ibn Jubair
3. Ibrahim al-Nukha’i
4. Amir al Sya’bi
5. Ibn Sirin (w. 110 H).
Menurut Ibn Rajab, Ibn Sirin adalah ulama pertama yang tidak melakukan
kritik rijal hadits serta melakukan pemisahan antara perawi yang tsiqat dari yang
tidak tsiqat.19
Langkah-langkah mereka disusul oleh beberapa ulama di berbagai penjuru daerah
diantaranya :
1. Sufyan ibn Sa’id al-Tsauri (97 – 161 H) di Kuffah,
2. Malik ibn Anas (93 – 179 H) di Madinah,
3. Syu’bah ibn al – Hajjaj (83 – 100 H) di Wasith,
4. ‘Abd al-Rahman ibn ‘Amr al-Auza’i (88 – 158 H) di Beirut,
5. Hammad ibn Salamah (w. 167 H) di Basrah,
6. Al-Laits ibn Sa’d (w. 175 H) di Mesir,
7. Hammad ibn Zaid (w. 179 H) di Mekkah,
8. Sufyan ibn ‘Uyainah (107 – 198 H) di Mekkah,
9. ‘Abd Allah ibn al-Mubarak (118 – 181 H) dari Marw,
10. Yahya ibn Sa’id a;-Qaththan (w. 198 H) dari Basrah,
11. Waki’ ibn al-Jarrah (w. 196 H) dari Kuffah,
12. ‘Abd al-Rahman ibn Mahdi (w. 198 H) dari Basrah,
19 Ibid, hlm 5
11
13. Muhammad ibn Idris al-Syafi’i (w. 204 H) dari Mesir,
14. Dan lain-lain.
Dari sejumlah nama di atas, maka yang paling terkenal adalah Syu’bah, Yahya
ibn Sa’id dan ibn Mahdi.
Para ulama di atas selanjutnya melahirkan sejumlah murid yang terkenal dalam
lapangan kritik hadits, diantara mereka adalah :
1. Yahya ibn Ma’in (w. 233 H) dari Baghdad,
2. ‘Ali ibn al-Madini (w. 234 H) dari Basrah,
3. Ahmad ibn Hanbal (w. 241 H) dari Baghdad,
4. Abu Bakr ibn Abu Syaibah (w. 235 H) dari Wasith,
5. Ishaw ibn Rahwaih (w. 238 H) dari Marw,
6. ‘Ubaid Allah ibn ‘Umar al-Qawariri (w. 235 H) dari Basrah
7. Zuhair ibn Harb (w. 234 H) dari Baghdad.
Dari para ulama yang disebutkan di atas lahir pula sejumlah ulama hadits yang
terkenal dalam bidang kritik hadits yang terkenal dalam bidang kritik hadits, dan
periode mereka bersama-sama dengan guru mereka adalah merupakan periode
puncak untuk titik kulminasi dari studi dan kritik hadits. Para ulama tersebut adalah :
1) Muhammad ibn Yahya ibn ‘Abd Allah al-Dzuhali al-Naisaburi (w. 258 H / 870
M),
2) ‘Abd Allah ibn ‘Abd al-Rahman al-Darimi (181 – 255 H / 797 – 896 M),
3) Abu Zur’ah ‘Ubaid Allah ibn ‘Abd al-Karim ibn Yazid al-Razi (200 – 264 H /
815 – 878 M),
4) Muhammad ibn Ism’il al-Ja’fi al –Bukhari (194 – 256 H / 809 – 869 M),
5) Muslim ibn al-Hajjaj al-Naisaburi (206 – 261 H / 821 – 875 M),
6) Abu Dawud Sulaiman ibn al-Asy’ats al-Sijistan (w. 275 H / 888 M),
7) Ahmad ibn Syu’aib.
Setelah mereka, lahir pula kritikus hadits seperti Muhammad ibn ‘Isa ibn
Saurah al-Tirmidzi (210 – 279 H / 825 – 892 H), Ahmad ibn ‘Amr ibn ‘Abd al-
Khaliq Abu Bakr al-Bazzar (w. 292 H 905 M), Ibrahim ibn Ishaq al-Harbi (198 – 285
H / 814 – 898 M), ‘Utsman ibn Sa’id al-Tamimi al-Sijistani al-Darimi (200 – 280
H/816-893 M).20
20 Ibid, 15,16,17
12
D. Urgensi Ilmu Kritik Hadits
Ada beberapa faktor yang menjadikan penelitian / kritik hadits berkedudukan
sangat penting. Menurut Syuhudi Ismail faktor-faktor tersebut adalah:
1. Hadits Nabi sebagai salah satu sumber ajaran Islam. Kita harus memberikan
perhatian yang khusus karena hadits merupakan sumber dasar hukum Islam
kedua setelah al-Qur’an dan kita harus menyakininya.
2. Tidaklah seluruh hadits tertulis pada zaman Nabi. Nabi pernah melarang
sahabat untuk menulis hadits, tetapi dalam perjalannnya hadits ternyata
dibutuhkan untuk dibukukan.
3. Telah timbul berbagai masalah pemalsuan hadits. Kegiatan pemalsuan hadits
ini mulai muncul kira-kira pada masa pemerintahan khalifah Ali bin Abi
Thalib, demikaian pendapat sebagaian ulama hadits pada umumnya.
4. Proses penghimpunan hadits yang memakan waktu yang lama. Karena proses
yag panjang maka diperlukan penelitian hadits, sebagai upaya kewaspadaan
dari adanya hadits yang tidak bisa dipertanggung jawabkan.
5. Jumlah kitab hadits yang banyak dengan model penyusunan yang beragam.
Bayaknya metode memunculkan kriteria yag berbeda mengenai hadits,
terkadang kitab-kitab hadits hanya mengumpulkan /menghimpun hadits
tanpa menyebut rawi, maka hal ini perlu diteliti lebih lanjut.
6. Telah terjadi periwayatan hadits secara makna, hal ini dikhawatirkan
terputusan sumber informasinya.21
Sisi lain, banyak problem yang menimpa keotentikan hadits, mulai dari
persoalan ekternal sampai internal ahli hadits. Bermunculan aksi gugat mengugat
yang datang dari kalangan non muslim atau orientalis maupun muslim sendiri, yang
mempersoalkan keberadaan hadits. Tokoh-tokoh eksternal yang mempersoalkan
keberadaan hadits misalnya Ignas Goldziher dan Joseph Schacht, dua orientalis ini
sangat getol mengkritik hadits atau meragukan otentisitasnya.22
Adapun persoalan yang mengemukakan dari sisi internal, adalah persoalan yang
bersangkutan dari figur Nabi, sebagai figus sentral. Sebagai Nabi akhir zaman,
otomatis ajaran-ajaran beliau berlaku bagi keseluruhan umat, dari berbagai tempat,
waktu sampai pada akhir zaman, sementara hadits itu sendiri turun pada kisaran
21 Syuhudi Ismail. Metodologi Penelitian Hadits Nabi.. (Jakarta: Bulan Bintang, 1992). Hlm. 7-20 22 Fazlur Rahman. Dkk. Wacana Studi Hadits Kontemporer. (Yogjakarta:.Tiara Wacana, 2002). hlm. 138
13
kehidupan Nabi. Disamping itu tidak semua hadits mempuyai asbab al-wurud, yang
menyebabkan hadits bersifat umum atau khusus. Dengan melihat kondisi yang
melatar belakangi menculnya suatu hadits, menjadikan sebuah hadits kadang
difahami secara tekstual dan secara kontektual.
Keberadaan Nabi dalam berbagai posisi dan fungsinya yang terkadang sebagai
manusia biasa, sebagai pribadi, suami, sebagai utusan Allah, sebagai kepala negara,
sebagai panglima perang, sebagai hakim dan lainya. Keberadan Rasulullah ini
menjadi acuan bahwa untuk memahami hadits perlu dikaitkan dengan peran apa yang
beliau ‘mainkan’. Oleh karenanya penting sekali untuk mendudukan pemahaman
hadits pada tempatnya yang proporsional, kapan dipahami secara tekstual, kontektual,
universal, temporal, situasional maupun lokal.23 Itulah sekelumit pentingnya
mengenal ilmu penelitian/kritik hadits, hal ini akan memudahkan kita memahami
hadits, mengerti maksud dan tujuannya, serta tak kalah pentingnya kita juga bisa
menilai kualitas suatu hadits.
E. Kitab-kitab Dalam Kritik Hadits
Keberadaan sejarah ilmu kritik hadits mulai lahirnya hingga sekarang bisa dibagi
menjadi dua priode besar. Periode pertama disebut dengan masa riwayah. Setiap
hadits pada masa ini diriwayatkan dengan sanad tersendiri yang menghubungkan
penuturnya dengan pemilik perkataan tersebut, baik Nabi Saw, sahabat, atau tabiin,
dengan urutan nama-nama perawi yang disebut sanad. Pada masa yang berakhir kira-
kira abad keempat/kelima hijriah ini, sanad merupakan tulang punggung yang
menentukan validitas sebuah riwayat sehingga menjadi bagian penting dari agama.24
Buku-buku yang ditulis di masa ini pun sarat dengan sanad-sanad yang
menghubungkan para pengarang buku dengan sumber referensinya. Hal ini kita bisa
temukan misalnya pada Muwattha Imam Malik (w. 179), buku-buku Imam Asy-Syafii
23 Ibid. hlm. 139-140 24 Pembagian priode riwayah dan pasca riwayah, lalu pembagian ahli hadits menjadi Al-Mutaqaddimin dan
Al-Mutaakhirin ditegaskan oleh Dr Hamzah Al-Malyabari dalam buku-bukunya seperti Al-Muwazanah baina al-Mutaqaddimin wa Al-Mutaakhirin fi Ta'lil Al-Ahaadits wa Tashhihiha (Dar Ibn Hazm, Beirut, cet. Kedua, 2001). Di Damaskus, pembagian ini ditegaskan juga oleh guru hadits muda yang sangat cemerlang: Fadhilah Syeikh Riyadh bin Muhammad Salim Al-Khiraqi.
14
(w. 204 H) dan Imam Ahmad (w. 224 H), Al-Bukhari (w. 256 H), Muslim (w. 261 H),
dan buku-buku lain yang ditulis hingga masa Al-Daruquthni (w. 385 H)25.
Dari pentingnya sanad pada masa ini melahirkan perhatian dan upaya luar biasa
yang dicurahkan ulama hadits untuk mengoleksi dan memverifikasi setiap riwayat
dengan seksama, demi memastikan tertutupnya semua celah yang memungkinkan
penyusupan unsur asing yang dapat mengeruhkan kejernihan ajaran Islam. Ibn
Hibban (w. 354 H) dengan sangat indah menjelaskan upaya luar biasa ahli hadits ini
dengan berkata, “…Andai salah seorang dari ulama itu ditanya berapa jumlah huruf
dalam setiap hadits niscaya dia mampu menghitungnya. Dan andai seorang perawi
menambahkan alif atau wau ke dalam sebuah hadits, mereka akan menyingkapnya
dengan mudah dan menjelaskannya dengan ikhlas. Tanpa mereka, atsar pasti punah
dan hadits pasti hilang, dan niscaya ajaran sesat akan menyebar dan ahli bid'ah
akan meraja lela.”26 Al-Baihaqi (w. 458 H) menambahkan bahwa upaya
pengumpulan hadits di masa riwayah ini telah sempurna, “maka barangsiapa pada
hari ini meriwayatkan hadits yang tidak terdapat di -dalam buku-buku karangan-
mereka maka hadits itu tidak dapat diterima.”27
Periode kedua dinamakan dengan masa pasca riwayah. Pada periode yang
terbentang sejak berakhirnya priode riwayah hingga sekarang ini, hadits-hadits telah
terkumpul di dalam kitab-kitab sunnah yang sangat masyhur hasil upaya keras para
ulama di periode sebelumnya. Oleh karena itu, perhatian ahli hadits pada saat ini
beralih dari koleksi riwayat kepada upaya memelihara warisan ilmiah itu dengan teliti
agar tidak terjadi kekeliruan membaca (tashhif dan tahrif) yang dapat mereduksi
makna. Sanad tidak lagi urgen, minimal tidak sepenting pada masa riwayah, dan
disampaikan hanya sekedar untuk melestarikan keistimewaan umat islam yang tidak
dimiliki oleh umat lain itu. Pada periode ini juga, bermunculan buku-buku khusus
yang menjelaskan secara seksama teori seleksi riwayat dan menafsirkan makna
istilah-istilah teknis yang digunakan oleh ahli hadits dalam praktek ilmiah mereka.
Buku 'Ulum Al-Hadits -dikenal juga dengan nama Muqaddimah- karya Ibn Al-
25 Abdullah bin Al-Mubarak berkata, “Sanad adalah bagian dari agama. Tanpa sanad, setiap orang bisa
berbicara sembarang keinginannya.” Sufyan Al-Tsauri berkata, “Sanad adalah senjata muslim.” “Shahih Muslim” (Dar Al-Salam, Riyadh, 1998) hal. 12.
26 Hamdi Al-Silafi, Al-Majruhiin min al-Muhadditsin,, Dar Al-Shamai'i, Riyadh, cet. Pertama, 2000, 1/54-55.
27 Al-Sayyid Ahmad Shaqr , Manaqib Al-Syafi'I,, Maktabah Dar Al-Turats, Cairo tt, 2/321.
15
Shalah (w. 643 H) tampil menjadi rujukan terpenting sebelum kemudian karya Ibn
Hajar (w. 852 H), Nukhbat Al-Fikar dan Syarh-nya, merebut posisi bergengsi itu
beberapa abad kemudian.28
Pada masa-masa selanjutnya, bermunculan kitab-kitab baru, diantaranya buku-
buku yang ditulis khusus untuk menyebutkan nama-nama perawi yang “bermasalah”
seperti Al-Dhu'afa karya Al-'Uqaili (w. 322 H), Kitab Al-Majruhin karya Ibn Hibban
(w. 354 H) dan Al-Kamil fi Al-Dhu'afa milik Ibn 'Adi (w. 365 H), akan mendapati
bahwa setiap perawi yang dinyatakan dhaif oleh ahli hadits disebutkan juga
bersamanya bukti-bukti).” “Kitab Al-Majruhin” 1/413.
Sementara itu, jika kita beralih ke buku-buku karya ahli hadits mutaakhirin dan
kontemporer kita melihat penilaian mereka terhadap seorang perawi bertumpu kepada
referensi-referensi yang hanya memberikan penilaian global kepada setiap perawi
seperti “Taqrib Al-Tahdzib” dan “Tahdzib Al-Tahdzib” karya Ibn Hajar, juga “Al-
Jarh wa Al-Ta'dil” karya Ibn Abi Hatim. 29
Jika kita pisah dalam kategori obyek bahasan dari kitab-kitab kritik hadits, maka
dapat kita uraikan sebagai berikut :
1. Kritik Sanad
� Al Tarikh al Kabir karya Al Bukhari (w. 256 H)
� Al Jarh wa al Ta’dil karya Ibn abi Haitam al Razi (w. 328 H)
� Siyar A’lam al Nubala’ karya Utsman Al Dzahabi (w. 748 H)
� Al Kamal fi Asma al Rijal karya Abdul Al Ghani Al Maqdisi (w. 600 H)
� Al Kasyif karya Al Dzahabi (748 H)
� Al Tsiqah karya Ibn Shalih al ‘Ijli (261 H)
� Al Isabah fi Tamyiz al Sahabah karya Ibn Hajar Al Asqalani (w. 852 H)
� dll
2. Kritik Matan
� Ikhtilaf al Hadits karya Muhammad ibn Idris al Syafi’i (w. 204H)
� Ta’wil Mukhtalif al Hadits karya Ibn Qutaibah Al Dinuri (w. 276 H)
� Manhaj Naqd al Matn ‘inda ‘Ulama Al Hadits al Nabawi karya Salahuddin
Ibn Ahmad Al Dzahabi
28 Dr Nuruddin 'Itr ,Ulum Al-Hadits, atau Muqaddimah Ibn Al-Shalah, Dar Al-Fikr, Damaskus, cet.
Ketiga, 2002 hal. 17. 29 Al Majruuhiin, op.cit, I/413
16
� Juhud Al Muhaditsin fi Naqd Matn Al Hadits Al Nabawi Al Syarif karya
Muhammad Thair Al Jawabi
� Manhaj al Naqd ‘inda al muhaditsin karya Muhammad Musthofa Al Azami
� Assunah An Nabawiyah bayn ahl al fiqh wa Ahl al Hadits karya Muhammad
Al Ghazali.
� dll
E. Indikasi mayor dan minor sanad hadits Shahih
Kaedah mayor yang dimaksud dalam sub ini adalah penilaian Maksimal terhadap
sanad. Sedangkan kaedah minor adalah nilai minimalnya.
Unsur-unsur kaedah mayor yang berkenaan dengan sanad, dapat kami paparkan
lebih lanjut. Para ulama mutaqaddim belum menetapkan kriteria hadits shahih secara
jelas, tapi pada umumnya mereka hanya memberikan pernyataan tentang penerimaan
berita yang bisa dipegangi. Pernyataan yang dimaksud antara lain sebagai berikut:
1. Tidak boleh diterima suatu riwayat hadits kecuali dari orang yang tsiqah.
2. Periwayat harus dilihat kualitas ibadahnya, perilaku dan keadaannya.
3. Harus mempunyai pengetahuan tentang hadits.
4. Tidak berdusta dan tidak suka mengikuti hawa nafsunya.
5. Tidak ditolak kesaksiannya.30
Kalau ditelusuri antara Bukhari dan Muslim umpamanya, tampak ketidak jelasan
kriteria yang ditetapkan. Keduanya hanya berdasar pada penelitian para ulama,
sehingga kriteria yang dipegangi oleh keduanya adalah: (1) sanadnya harus
bersambung (2) sanadnya harus tsiqah (3) terhindar dari cacat dan illat (4) sanad
yang berdekatan harus sezaman dan bertemu.31 Mengenai sanad yang berdekatan bagi
Muslim cukup sezaman, sedangkan Bukhari mengharuskan bertemu langsung,32
sehingga dapat dikatakan bahwa kriteria yang ditetapkan oleh Bukhari lebih ketat
dibanding kriteria yang ditetapkan oleh Muslim.
Pada bagian lain, ulama muthakhirin telah memberikan penjelasan yang tegas
tentang apa yang dimaksud hadis shahih, seperti yang dikemukakan oleh ibnu al-
30 Abu Muhammad bin ‘Abd. Rahman bin Abi Hatim al-Razi, Kitab Jarh Wa al-Ta’dil, Juz II, Dairat al-
Ma’arif, 1952, hlm. 27-33 31 Ibnu Hajar al-Askalani, Hadyu ak-Sari Muqaddimah Faht al-Bari’, Juz XIV,Beirut: Dar al-Fikr, tt hlm.
8-10. 32 Ibid., hlm. 12
17
Shalah, yaitu: a) Sanadnya bersambung sampai kepada Nabi, b) Seluruh
periwayatannya adil dan dhabit, c) Terhindar dari Syaz dan Illat.33 Penegasan tersebut
meliputi sanad dan matan hadits.
Hal senada juga dikemukakan oleh para Muhadditsin lainnya, seperti al-Nawawi,
Mahmud Thahan, Subhi al-Saleh. Oleh M. Syuhudi Ismail semua pendapat tersebbut
disimpulkan, baik dari para ulama Mutaqqaddimin maupun dari para ulama
Mutaakhirin sebagai berikut:
1) Sanadnya bersambung
2) Seluruh periwayat dalam sanad bersifat dhabit
3) Seluruh periwayat dalam sanad bersifat adil
4) Sanad hadis terhindar dari syuzus
5) Sanad hadis terhindar dari Illat.34
Kelima syarat ini selanjutnya oleh M. Syuhudi Ismail diperas menjadi tiga kaidah
mayor yaitu: nomor 1 sampai nomor 3, sedangkan yang keempat dan kelima
dimasukkan dalam kaidah minor, sanad bersambung dan periwayat yang dhabit.
Alasannya, bahwa penyebab terjadinya syuzus dan illat illat adalah tidak
bersambungnya sanad dan tidak sempurnanya kedhabitan, sehingga kalau meneliti
sanad bersambung dan sempurna kedhabitan para periwayat, maka syuzus dan illat
ikut didalamnya.35
Arti Syuzus, dikemukakan oleh Imam Syafi’i adalah apabila suatu hadits
diriwayatkan oleh seorang tsiqah bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh
orang banyak yang tsiqah.36 Karena itu suatu syuzus ada pada suatu hadis jika ada
pertentangan. Sedangkan illat adalah suatu sebab yang tersembunyi yang
menyebabkan rusaknya kualitas hadis,37 dimana hadis itu kelihatannya sahih, setelah
diteliti ternyata tidak shahih.
Sedangkan unsur-unsur kaidah minor yang berkenaan dengan shahih hadits
adalah sebagaimana paparan di bawah ini.
33 Lihat Ibnu Salah, Ulum al-Hadits, Madinah: al-Maktabat al-Islamiyah, 1972, hlm. 10 34 M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadist Telaah Kritis Dan Tinjauan Dengan Pendekatan
Ilmu Sejarah, Jakarta; Bulan Bintang, 1988, hlm. 111 35 Ibid., h. 132-133 36 Ibid., h. 122 37 Ibnu al-Shalah, Op. cit., h. 81
18
Yang menjadi dasar dalam pembahasan kaidah minor kesahihan sanad hadis
adalah kaidah mayor itu sendiri, sesuai pendapat M. Syuhudi Ismail, yaitu:
1. Sanad Bersambung
Maksudnya adalah, bahwa dalam peristiwa suatu hadis dimana sanad pertama
bersambung terus sampai akhir sanad, yakni setiap sanad terdekat dari sanad lain
harus bertemu, minimal sezaman. Untuk mengetahui bersambung tidaknya suatu
sanad hadis. Maka jalan yang harus ditempuh adalah:
a) Mencatat semua periwayat dalam sanad yang diteliti.
b) Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat.
c) Meneliti kata-kata yang dipakai sebagai penghubung.38
Hadits yang bersambung sanadnya disebut muttasil. Sedangkan yang sanadnya
sampai kepada sahabat disebut maukuf dan yang sampai kepada Nabi disebut
marfu’: Oleh karena itu kaedah minornya adalah: (a) Muttasil, (b) Marfu’ dan (c)
terhindar dari syuzus dan illat .39
2. Periwayat Bersifat Adil
Adil menurut pengertian bahasa adalah, tidak berat sebelah, tidak sewenang-
wenang.40 Namun dalam hal ini terdapat perbedaan di antara para muhaddisin
tentang apa yang dimaksud dengan periwayat bersifat adil. Walaupun demikian
oleh M. Syuhudi Ismail menyimpulkan dari beberapa pendapat dimaksud sebagai
berikut:
a. Beragama Islam
b. Mukallaf yang meliputi baligh dan berakal
c. Melaksanakan ketentuan agama, yang meliputi:
1) Teguh dalam agama
2) Tidak berbuat dosa besar
3) Menjauhi dosa kecil
4) Tidak berbuat bid’ah
5) Tidak berbuat maksiat
6) Tidak berbuat fasiq
38 M. Syuhudi Ismail, Kaidah, Op. Cit., h. 112 39 Lihat M. Syuhudi Ismail, Hadits Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya, (Jakarta: Gema
Insani Press, 1990), h. 77 40 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Ba;ai Pustaka,
1990), h. 6
19
7) Berakhlak yang baik
8) Memelihara muruah dengan hal-hal yang dapat merusak muruah.41
Mengenai ketaqwaan seorang periwayat, menjadi kriteria umum yang meliputi
kaedah kesahihan sanad. Adapun kriteria seorang periwayat adalah dapat
dipercaya beritanya dan biasanya benar merupakan akibat dari sosok pribadi yang
telah memenuhi persyaratan di atas.42 Secara implisit telah tercakup pada empat
poin dimaksud dengan periwayat yang adil. Jika kaidah minor dari periwayat
yang bersifat adil adalah: (1) Beragama Islam, (2) mukallaf, (3) melaksanakan
ketentuan agama (4) memelihara muru’ah.
3. Periwayat Bersifat Dlabith
Secara etimologi, dlabith berarti kokoh, kuat dan tepat, mempunyai hapalan yang
kuat dan sempurna.43 Sedangkan menurut muhadditsin, dlabith adalah sikap
penuh kesadaran dan tidak lalai, kuat hapalannya bila hadits yang diriwayatkan
berdasarkan hapalan, benar tulisannya manakala hadits yang diriwayatkan
berdasarkan tulisan, dan jika meriwayatkan secara makna, maka ia pintar memilih
kata-kata yang tepat digunakan.44
Adapun kaedah minornya adalah sebagai berikut:
1. Periwayat itu memahami dengan baik riwayat yang telah didengarnya.
2. Periwayat hapal dengan baik riwayat yang diterimanya.
3. Mampu menyampaikan riwayat yang diterima dengan baik kepada orang lain
kapan saja diperlukan.45
F. Indikasi mayor dan minor matan hadis shahih
Dari ketentuan hadist Shahih seperti yang dikemukakan oleh Ibn al-Shaleh, maka
tampak adanya unsur sanad dan matan hadist di dalamnya, sebab suatu hadist
dikatakan shahih manakala shahih dari segi sanad dan matan unsur kaedah kesahehan
matan hadist dalam ketentuan dimaksud adalah terhindar dari syudzuz dan illat .
Secara etimologi Syadz berarti: jarang menyendiri, yang asing, menyalahi anturan
dari orang banyak.46 Karena itu syadz adalah suatu matan hadist bertentangan dengan
41 Lihat M. Syuhudi Ismail, Kaidah, Op. cit., h. 118 42 Ibid 43 Lihat Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah, (Beirut: Dar al-Masriq, 1973), h. 445 44 Nuruddin Itr, Op. cit., h. 66 45 M. Syuhudi Ismail, Kaedah, Op. cit., h. 120
20
matan-matan hadist lain yang lebih kuat dan mempunyai obyek pembahasan yang
sama. Sedangkan Illat berarti cacat, penyakit atau keburukan.47 Karena itu juga suatu
matan hadist yang mengandung cacat, mengurangi nilai dan kualitas hadits.
Menurut M. Syuhudi Ismail, kedua unsur itu menjadi kaedah mayor dari kaedah
kesahihan matan hadist.48 Hanya saja kaedah minornya tidak terinci sebagaimana
yang terdapat pada kaedah kesahihan sanad. Hal tersebut bukan berarti tidak ada
patokan tertentu. Yang jelas, dalam meneliti suatu matan hadist merupakan
penjabaran dari kedua unsur tersebut.
Adapun yang dapat dijelaskan patokan dalam penelitian matan hadist adalah yang
dikemukakan oleh al-Khatib Al-Bagdadi, sebagaimana yang dikutip oleh M. Syuhudi
Ismail sebagai berikut:
1. Tidak bertentangan dengan ayat-ayat al-Quran yang muhkam.
2. Tidak bertentangan dengan akal sehat
3. Tidak bertentangan dengan hadist mutawatir
4. Tidak bertentangan dengan amalan yang menjadi kesepakatan ulama salaf.
5. Tidak bertentangan dengan dalil yang sudah pasti.
6. Tidak bertentangan dengan hadist ahad yang kualitasnya lebih kuat.49
Di samping enam patokan di atas, M. Syuhudi Ismail menambahkan satu patokan
yaitu mempunyai susunan bahasan yang baik dan sesuai dengan fakta sejarah,50 yakni
matan hadist harus sesuai dengan kaedah bahasa Arab dan tidak bertentang dengan
fakta sejarah yang ada.
Sementara itu, Shalahuddin al-Abidi mengemukakan empat macam kaedah
kesahihan matan hadist, yaitu sebagai berikut:
1. Tidak bertentangan dengan petunjuk al-Quran
2. Tidak bertentangan dengan hadist yang kualitasnya lebih kuat
3. Tidak bertentangan dengan akal sehat
4. Susunan pernyataan menunjukan ciri-ciri sabda kenabian.51
46 Lihat Louis Maluf, Op. cit., h. 379 47 Lihat Ibnu Manzur, Jamaluddin Muhammad bin Mukrimal-Anshari, Lisan al-‘Arab, (Kairo: Dar al-
Mishriyah li al-Tarjamah, t. th), h. 495 48 Lihat M. Syuhudi Ismail, Loc. cit 49 Lihat M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 126 50 Lihat M. Syuhudi Ismail, Hadits, Op. cit. 51 Ibid.,
21
Walaupun kaedah tersebut masih bersifat umum bila dibandingkan dengan yang
dikemukakan oleh al-Khatib al-Bagdadi, namun masih nampak adanya hal-hal yang
tidak tercakup didalamnya.
Menurut jumhur Ulama, tanda-tanda matan hadist palsu adalah:
1. Susunan bahasanya rancu
2. Isinya bertentangan dengan akal yang sehat dan sangat sulit diinterpretasikan
secara rasional.
3. Isinya bertentangan dengan tujuan pokok ajaran Islam.
4. Isinya bertentangan dengan hukum alam (sunnatullah)
5. Isinya bertentangan dengan petunjuk al-Quran atau hadist mutawatir yang telah
mengandung petunjuk secara pasti.
6. Isinya bertentangan dengan sejarah
7. Isinya berbeda di luar kewajiban bila diukur dari petunjuk umum ajaran Islam.52
Jika yang menjadi tanda-tanda hadist palsu dipakai dalam menentukan kaedah
kesahehan matan hadist, maka matan hadist shahih adalah yang bertentangan dengan
hadist palsu. Dalam bahasa lain, matan hadis sahih adalah:
1. Tidak bertentangan dengan Al-Quran
2. Tidak bertentangan dengan hadis mutawatir dan hadis ahad yang kualitasnya
lebih kuat.
3. Tidak bertentangan dengan akal sehat
4. Tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan
5. Tidak bertentangan dengan ijma’ ulama salaf.
6. Susunan bahasanya sesuai kaedah bahasa Arab
7. Tidak bertentangan dengan fakta sejarah dan sunnatullah.
G. Contoh Kritik Sanad dan Matan Hdits
حدثنا وقيع عن ا�مش عن ابي صالح عن ابي ھريرة عن النبي : لحدثنا ابو كريب والحسين بن حريث قا
يارسول هللا فمن ھلك : قيل , كل مولود يولد على الفطرة فابواه يھودانه او ينصرانه او يشركانه: صلعم قال
هللا اعلم بما كانوا عاملينز: قبل دلك ؟ قال
52 Fazlurahman, Ikhtisar Mustalahul Hadis, (Bandung: al-Ma’arif, 1995), h. 143-145 dan Ahmad
Muhammad Syakir, al-Ba’ith al-Hadits fi Ikhtisar al-Hadits, (Baeirut: Dar al-Fikr, t. th), h. 40-41
22
I. Sanad
Setelah tersusun diagram transmiter sanad hadits seperti di atas, selanjutnya dikupas
satu persatu person yang ada di dalamnya. (lengkapnya; lihat Ummi Sumbulah, Kritik
Hadits, hlm 132 – 143).
II. Matan
Untuk matan, maka berlaku penelitian sebagaimana ketentuan pada sub bab
sebelumnya. (lengkapnya; lihat Ummi Sumbulah, Kritik Hadits, hlm 144 – 151).
كل مولود يولد على الفطرة: قال رسول هللا صلعم
ابو ھريرة
ابو صالح
ا�عمس
وكيع
ابو كريب الحسين بن حريث
الترمدي
عن
عن
عن
عن
حدثنا
حدثنا
23
BAB III KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Kritik hadits sudah ada sejak jaman Nabi Muhammad saw. Tapi masih bersifat
konfirmasi. Pada masa sahabat, berkembang menjadi bersifat konfirmasi dan
komperatif. Jadi masih bersifat kritik matan.
Pada abad kedua sampai enam baru muncul kritik sanad yang bersamaan dengan
maraknya kodifikasi hadits. Lebih lanjut, dalam perkembangannya, kritik tertumpu
pada sanad dan matan secara bersamaan. Para ulama hadits meletakkan kaedah-
kaedah untuk menyaring hadits-hadits yang beredar. Semua itu tertuju untuk menjaga
dan memelihara hadit Nabi saw.
B. Saran-saran
“Jika kita minum, maka tidak akan membuat kenyang. Jika kita makan, tidak
akan membuat hilang dahaga kita” (karangan penulis). Dimaksudkan : Segala sesuatu
yang dihasilkan dari perbuatan seseorang, adalah sesuai dengan perbuatan tersebut.
Ketika mempelajari hadits, maka murnikan niat untuk memelihara dan
melestarikan pesan yang dibawanya, jangan untuk komersil atau sekedar mencari
sensasi seperti para orientalis.
24
DAFTAR PUSTAKA
Abu Muhammad bin ‘Abd. Rahman bin Abi Hatim al-Razi, Kitab Jarh Wa al-Ta’dil, Juz II, Dairat al-Ma’arif, 1952 Ahmad Fudhaili,. Perempuan dilembaran Suci: Kritik atas Hadits-Hadits Sahih. Yogyakarta: Pilar media, 2005 Ali Musthafa Ya’qub, Kritik Hadits, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995 Al-Sayyid Ahmad Shaqr , Manaqib Al-Syafi'I,, Maktabah Dar Al-Turats, Cairo tt A.W. Munawwir, Kamus Al Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Yogyakarta: Unit PP Almunawwir, 2000 Bustamin dan M. Isa H. A. Salam. Metodologi Kritik Hadits, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Catherine Soanes (ed), Oxford Dictionary, Thesaurus, and Wordpower Guide, New York: Oxford University Press, 2001 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: BaLai Pustaka, 1990) Fazlurahman, Ikhtisar Mustalahul Hadis, Bandung: al-Ma’arif, 1995 Fazlur Rahman. Dkk. Wacana Studi Hadits Kontemporer. Yogjakarta:.Tiara Wacana, 2002 Hamdi Al-Silafi, Al-Majruhiin min al-Muhadditsin,, Dar Al-Shamai'i, Riyadh, cet. Pertama, 2000 Ibnu Abi Hatim al Razy, al Jarhu wa al Ta’dilu, Hidir abad, 1371 Ibnu Hajar al-Askalani, Hadyu ak-Sari Muqaddimah Faht al-Bari’, Juz XIV,Beirut: Dar al-Fikr, tt . Ibnu Manzur, Jamaluddin Muhammad bin Mukrimal-Anshari, Lisan al-‘Arab, Kairo: Dar al-Mishriyah li al-Tarjamah, t. Th Ibnu Salah, Ulum al-Hadits, Madinah: al-Maktabat al-Islamiyah, 1972 Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah, Beirut: Dar al-Masriq, 1973 Mahmud Tahhan, 1985, Taysir Musthalah Al-Hadits, Surabaya: al-Hidayah, cet.VIII,
25
Muhammad Mushthafa al A’zami, Manhaju al Nqdi Inde al Muhadditsin Nasy atuhu wa Tarikhuhu, Syirkahtu al Thaba’ah al Su’udiyah, 1982 M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadist Telaah Kritis Dan Tinjauan Dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, Jakarta; Bulan Bintang, 1988 _______________, Hadits Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya, Jakarta: Gema Insani Press, 1990 _______________, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, Jakarta: Bulan Bintang, 1992 Nuruddin 'Itr ,Ulum Al-Hadits, atau Muqaddimah Ibn Al-Shalah, Dar Al-Fikr, Damaskus, cet. Ketiga, 2002 Subhi Shalih, Ulum Al-Hadits Wa Mustholahuhu, Beirut: Dar Al-Ilm Li Al-Malayin, 1997 Syaikh Muhammad Al Ghazali, Studi Kritik Atas Hadits Nabi SAW : Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual, Penj. Muhammad Al Baqir, Bandung: Mizan, 1993 Umi Sumbulah, Kritik Hadits: Pendekatan Historis Metodologis, Malang: UIN Malang Press, 2008 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balau Pustaka, 1996