ringksneks-abstrak

106
Lampiran: I. Ringkasan Eksekutif Penelitian DIPA 2011: 1. Dampak Kebakaran Hutan Ketua Pelaksana : Bambang Sukana, SKM, M.Kes Pembakaran hutan merupakan salah satu sumber utama pencemaran udara di pedesaan yang meluas ke daerah perkotaan. Penyakit saluran pernapasan, asma dan pneumonia merupakan penyakit yang terbanyak bagi negara berkembang. Salah satu penyebab terjadinya penyakit saluran pernapasan, asma dan pneumonia karena faktor kualitas udara yang buruk. Untuk mengetahui dampak kebakaran hutan terhadap kesehatan masyarakat khususnya penyakit saluran pernapasan, asma dan pneumonia perlu dilakukan penelitian. Penelitian dilakukan di dua lokasi yang berbeda yang pernah mengalami kebakaran hutan yaitu di Provinsi Kalimantan Tengah dan Provinsi Jambi. Sumber data yang digunakan adalah dengan melakukan pengumpulan data sekunder keadaan penyakit saluran pernapasan, asma dan pneumonia di daerah yang mengalami kebakaran hutan, keadaan kualitas udara di daerah penelitian dan upaya yang dilakukan Dinas Kesehatan Kabupaten dalam menanggulangi kebakaran hutan. Hasil penelitian menujukkan bahwa Keadaan Kualitas udara untuk para meter PM10, SO 2 , NO 2 , dan CO telah terjadi peningkatan pada saat angka hotspotnya tinggi,dan curah hujan rendah. Walaupun tinggi angka-angka tersebut masih di bawah nilai ambang batas yang diperkenankan. Angka tertinggi kualitas parameter PM10, SO 2 , NO 2 , dan CO terjadi pada bulan September dan Oktober, dimana pada bulan tersebut angka hotspot tinggi dan curah hujan rendah. Angka

Upload: msuhaimi24

Post on 02-Aug-2015

152 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: ringksneks-abstrak

Lampiran:

I. Ringkasan Eksekutif Penelitian DIPA 2011:

1. Dampak Kebakaran Hutan

Ketua Pelaksana : Bambang Sukana, SKM, M.Kes

Pembakaran hutan merupakan salah satu sumber utama pencemaran udara di

pedesaan yang meluas ke daerah perkotaan. Penyakit saluran pernapasan, asma dan

pneumonia merupakan penyakit yang terbanyak bagi negara berkembang. Salah

satu penyebab terjadinya penyakit saluran pernapasan, asma dan pneumonia karena

faktor kualitas udara yang buruk. Untuk mengetahui dampak kebakaran hutan terhadap

kesehatan masyarakat khususnya penyakit saluran pernapasan, asma dan pneumonia

perlu dilakukan penelitian. Penelitian dilakukan di dua lokasi yang berbeda yang pernah

mengalami kebakaran hutan yaitu di Provinsi Kalimantan Tengah dan Provinsi Jambi.

Sumber data yang digunakan adalah dengan melakukan pengumpulan data sekunder

keadaan penyakit saluran pernapasan, asma dan pneumonia di daerah yang mengalami

kebakaran hutan, keadaan kualitas udara di daerah penelitian dan upaya yang dilakukan

Dinas Kesehatan Kabupaten dalam menanggulangi kebakaran hutan.

Hasil penelitian menujukkan bahwa Keadaan Kualitas udara untuk para meter PM10,

SO2, NO2, dan CO telah terjadi peningkatan pada saat angka hotspotnya tinggi,dan

curah hujan rendah. Walaupun tinggi angka-angka tersebut masih di bawah nilai

ambang batas yang diperkenankan. Angka tertinggi kualitas parameter PM10, SO2, NO2,

dan CO terjadi pada bulan September dan Oktober, dimana pada bulan tersebut angka

hotspot tinggi dan curah hujan rendah. Angka kejadian pneumoni dan Ispa dibeberapa

lokasi penelitian menunjukkan hubungannya dengan keadaan kualitas udara parameter

PM10, SO2, NO2, dan CO. Upaya Pemda Kalimantan Tengah dan Jambi sudah cukup

baik dalam menanggulangi dan mencegah kebakaran hutan. Pengetahun sikap dan

perilaku petugas dan para tokoh masyarakat tentang kebakaran sudah cukup baik.

Dari hasil penelitian disarankan agar tidak terjadi kebakaran hutan lagi diperlukan

adanya koordinasi lintas sektor dengan melibatkan para tokoh masyarakat, terutama

tokoh adat, tokoh agama dalam menyadarkan masyarakat maupun pengusaha-

pengusaha perkebunan untuk tidak melakukan pembakaran hutan. Untuk dinas

kesehatan agar segera melakukan penyuluhan secara intensif tentang bahayanya

kebakaran hutan terhadap masyarakat dan para tokoh masyarakat. Selain itu anggaran

Page 2: ringksneks-abstrak

untuk upaya penanggulangan penyakit ISPA, pneumonia ditingkatkan sebagai kesiapan

bila terjadi kebakaran hutan.

2. Studi Pengembangan Model Pengendalian DBD di Provinsi Kalimantan Barat dan

Jawa Barat

Ketua Pelaksana: Dr. Amrul Munif, M.Sc, APU

Di Indonesia Demam berdarah dengue (DBD) masih merupakan masalah kesehatan

masyarakat di Indonesia. Akhir-akhir ini, angka kesakitan (Incidence rate, IR) dari tahun

ke tahun cenderung meningkat, walaupun angka kematian (Case fatality rate, CFR)

cenderung menurun. Obat dan vaksin belum ditemukan, sehingga pengendaliannya

difokuskan pada pengendalian vektor, promosi kesehatan, perlindungan diri (self

protection), manipulasi lingkungan, tatalaksana penderita dan pengembangan sistem

kewaspadaan dini. Pengendalian DBD di Indonesia banyak kendala, kendala teknis

maupun masih terbatas dukungan lintas sektor. Program pengendalian sudah

melakukan berbagai upaya dengan managamen lingkung, pengendalian dan

managamen kasus, namun belum memberikan hasil yang diharapkan, hal ini

mengindikasi masih perlunya upaya lain dalam rangka perbaikan program dalam

penanggulangan Demam Berdarah Dengue.

Proses penulaan, termasuk DBD meupakan poses dinamik, dengan demikian kajian

tenang penularan DBD harus mlibakan aspek dinamik tersebut (ketergantungan

terhadap waktu, yang selama ini diabaikan dalam berbagai penelitian yang berkaitan

dengan DBD. Dengan melibatkan aspek dinamik dari proses penularan tersebut akan

diperoleh suatu kesimpulan lebih tepat dalam menentukan kebijakan penanggulangan

penyakit tersebut. Dengan alasan ini, perlu dilakukan pengembangan model

pengendalian DBD yang lebih spesik dan dinamis. Tujuan penelitian ini adalah untuk

mendapatkan model pengendalian DBD yang tepat guna serta dapat diterima

masyarakat. Manfaat penelitian selain sebagai masukan bagi program pengendalian

DBD (Dinkes Kabupaten), dan sebagai rujukan teknologi dibidang pengendalian DBD.

Penelitian dilakukan pada tahun 2011 dan 2002 di 2 (dua) provinsi dengan IR tinggi

yaitu : di Jawa Barat akan dilakukan di Kabupaten Indramayu dan Sumedang dan

Kalimantan Barat akan dilakukan di Kabupaten Landak dan Kabupaten Sintang.

Pemilihan lokasi penelitian ini berdasarkan IR dan persamaan geografis pantai dan

pedalaman.

Page 3: ringksneks-abstrak

Penelitian akan dilakukan dengan tahap pertama menganalisis situasi inti program

penanggulangan DBD meliputi program manajemen lingkungan , pemberantasan vektor

dan manajemen kasus. Manajemen lingkungan terdiri dari beberapa faktor antara lain

siklus hidup, kasus endemis dengan mobilitas dan kepadatan penduduk tinggi, musim

hujan, kemarau sebagai Sistem Kewaspadaan Dini, survai nyamuk berdasarkan musim,

parameter House Indeks (ABJ), container indeks, tempat-tempat penampungan air di

lingkungan Tempat-tempat Umum/Tempat-tempat Instansi /sekolah. Manajemen

pengendalian vektor meliputi Penyelidikan Entomologi bila ada transmisi positif pada

radius 100 m, fogging fokus dengan sasaran nyamuk dewasa. Survailans Sistem

Kewaspadaan Dini vektor oleh jumantik, uji resistensi. Managamen kasus terdiri dari

Sistem Kewaspadaan dini mengenai kasus dini (penyuluhan gejala awal ke masyarakat

luas), penanganan kasus cepat dan tepat, tersedianya peralatan (tensimeter, infus set

dll), Sistem Kewaspadaan Dini berbasis laboratorium dengan pemeriksaan serologi.

Tahap kedua pengembangan model dari hasil review literatur mengenai

lingkungan,vektor, virus dan manusia pencegahan dan pengobatan merupakan kegiatan

yang dilakukan program serta rapid assessment procedure (RAP), untuk memperoleh

model intervensi. Dinamika program pengendalian DBD yang komplek memerlukan

suatu analisis yang memadai. Focks dalam Gubler (2001) telah menggunakan model

dinamika dan model stok kastik. Model ini digunakan karena perubahan nilai parameter

yang dinamis.pada dinamika kasus DBD, tidak hanya untuk dinamika transmisi tetapi

digunakan untuk strategi pencegahan dan kontrol. Setiap parameter mempunyai asumsi

dan konsep sendiri sehingga diperlukan suatu simulasi kegiatan pengendalian vektor

yang dilakukan program. Untuk memperoleh intervensi diperlukan analisis dinamika,

yang dikembangkan menjadi pola struktur dinamis.

Setiap pola struktur memiliki perbedaan pola perilaku yang ditetapkan dalam simpul-

simpul umpan balik (Causal loop). Semakin banyak simpul mengindikasikan semakin

banyak variabel atau unsur dan parameter sehingga model dan kesimpulan yang yang

dihasilkan semakin rinci. Perilaku dinamis bersumber dari keunikan struktur model yang

diperoleh dari hasil simulasi model. Pemahaman perilaku model hasil simulasi

berdasakan penelusuran terhadap struktur model, sedangkan simulasi bertujuan untuk

memahami proses intervensi.

Page 4: ringksneks-abstrak

Cara intervensi ini dilakukan di Wilayah kerja Puskesmas terpiliih yang dapat mewakili

criteria yang ditetapkan pada setiap Kabupaten, kemudian dibandingkan hasilnya

dengan wilayah intervensi program. Selanjutnya melakukan lokakarya lintas sektor

untuk mendapatkan komitmen dan dukungan kebijakan/regulasi. Out put penelitian yang

diharapkan adalah diperolehnya penurunan angka kesakitan (IR) paling rendah dari

target nasional IR 55 per 100.000 orang.

3. Pengembangan Model Surveilans Dampak Perubahan Iklim di Indonesia

Ketua Pelaksana : Dra. Athena Anwar, MSc

Perubahan iklim yang secara faktual sudah terjadi di tingkat lokal, regional maupun

global. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer,

yang seharusnya dapat menahan dan melindungi kehidupan di bumi dari radiasi sinar

matahari dan meredam perbedaan suhu secara ekstrem pada siang dan malam,

mengalami kerusakan penyusunnya. Dampak yang diduga  timbul akibat terjadinya

perubahan iklim  adalah peningkatan gangguan malnutrisi sebagai akibat dari

terganggunya pertanian (gagal panen) yang akan berimplikasi terhadap pertumbuhan

dan perkembangan anak, peningkatan kematian.

Dampak lain berupa penyakit dan cedera akibat gelombang panas, banjir, badai,

kebakaran dan kekeringan; beban terhadap penyakit diare; peningkatan frekuensi

penyakit jantung dan pernafasan karena meningkatnya kadar ozon; dan  berubahnya

distribusi spasial beberapa vektor penyakit menular . Dampak lain   diduga memicu

adanya berbagai penyakit infeksi baru seperti SARS, flu burung dan hantaan virus.

Dampak perubahan iklim yang mungkin timbul di Indonesia cenderung berupa bencana

dan penyakit-penyakit khas di wilayah tropis.

Meningkatnya insidens/prevalens penyakit tersebut di beberapa wilayah di Indonesia

diduga terkait dengan kerusakan lingkungan dan terjadinya perubahan iklim. Untuk

dapat mengetahui dampak perubahan iklim terhadap kesehatan manusia serta

menyusun upaya adaptasi terhadap dampak perubahan iklim tersebut, Puslitbang Ekogi

dan Status Kesehatan, Badan Litbangkes, Kemenkes  melakukan penelitian tentang

gambaran kejadian penyakit malaria, DBD, dan diare  di beberapa wilayah yang

dihubungkan dengan parameter iklim dari  tahun 1995 sampai 2009.   Dari penelitian

Page 5: ringksneks-abstrak

awal tersebut menunjukkan bahwa ketersediaan dan keakuratan data di level

kabupaten/kota masih terbatas, sehingga hasil analisis hubungan iklim dan

kecenderungan beberapa penyakit belum terlihat menunjukkan pola yang jelas. Untuk

itu pada tahun 2012 dilakukan penelitian pengembangan Model   Surveilans Dampak

Perubahan Iklim  Di Indonesia. denga tujuan diperolehnya  suatu sistem surveilans

dampak kesehatan akibat terjadinya perubahan iklim.

Penelitian ini didahului dengan suatu kegiatan rapid asessment untuk mengumpulkan

informasi tentang surveilans yang selama ini berjalan di Indonesia. Untuk menentukan

variabel yang akan dimasukkan ke dalam model surveilans,  dilakukan dengan cara

diskusi yang melibatkan lintas program, lintas sektor dan pakar dari perguruan tinggi.

Dari hasil pertemuan lintas program, lintas sektor maupun pertemuan dengan pakar

disepakati variabel penyakit yang masuk dalam model ini adalah malaria, DBD, Diare,

infuenza like illness (ILI), dan pneumonia. Untuk variabel iklim adalah suhu permukaan

bumi, curah hujan, dan hari hujan.  Hasil penelitian dan pengembangan ini berupa 

model surveilans yang dilengkapi dengan  Buku Pedoman  Surveilans Dampak

Kesehatan Perubahan Iklim Di Indonesia dan Buku Pedoman Pengguna Aplikasi

Surveilans Dampak Kesehatan Perubahan Iklim Di Indonesia. Sumber data penyakit

adalah sistem EWARS (pelaporan puskesmas/pustu/bidan desa), dan data iklim berasal

dari Badan Meteorologi, Klimatologi, Dan Geofisika (BMKG). Frekuensi pengumpulan

data penyakit maupun iklim disesuaikan dengan sistem EWARS, yaitu setiap minggu.

Pengolahan dan analisis data  dengan cara overlay antara variabel  penyakit (DBD,

malaria, diare, pneumonia, dan ILI) dengan variabel iklim (suhu dan curah hujan). Hasil

pengolahan dan analisis data berupa grafik distribusi dan trend, serta peta Geographic

Information System (GIS).

Untuk memudahkan tukar menukar dan memperbaharui informasi diantara pakar

maupun pengambil kebijakan, surveilans ini dibangun berdasarkan web yang dinamis.

 

4. Peningkatan sistem registrasi kematian dan sebab kematian di 15 kabupaten/kota

di Indonesia tahun 2011 (lanjutan)

Ketua Pelaksana : dr. Lamria Pangaribuan

(belum ada laporan)

5. Evaluasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Aksesibilitas, Peresepan dan

Penggunaan Obat Generik dan Obat Esensial

Page 6: ringksneks-abstrak

Ketua Pelaksana : Dra. Anny Victor Purba, M.Sc.,Ph.D, Apt

Peresepan obat generik (OG) akan meningkatkan keterjangkauan masyarakat terhadap

obat karena harga OG yang biasanya jauh lebih murah dari obat paten. OG merupakan

instrumen yang efektif dalam meningkatkan keterjangkauan bila ada peraturan

pemerintah yang mengharuskan penggunaan OG, jaminan kualitas dan penerimaan

pasien dan profesional. Peresepan OG berdasarkan beberapa penelitian masih rendah,

meskipun pemerintah dalam hal ini Kemkes telah mengeluarkan Peraturan Menteri

Kesehatan RI Nomor HK.02.02/Menkes/068/I/2010 tentang Kewajiban Menggunakan

OG di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah.

Obat generik adalah obat dengan nama resmi International Non Propietary Names (INN)

yang ditetapkan dalam Farmakope Indonesia atau buku standar lainnya untuk zat

berkhasiat yang dikandungnya. Kualitas OG tidak kalah dengan obat bermerk karena

dalam memproduksinya perusahaan farmasi harus melengkapi persyaratan ketat dalam

Cara-cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) yang dikeluarkan oleh Badan

Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM).

Obat esensial (OE) adalah obat terpilih yang paling dibutuhkan untuk pelayanan

kesehatan bagi masyarakat mencakup upaya diagnosis, profilaksis, terapi dan

tercantum, dalam Daftar Obat Esensial (DOEN) yang ditetapkan oleh mentri. OE dipilih

yang relevan dengan pola penyakit, terbukti berkhasiat dan aman, dan cost-effectivenes.

Aksesibilitas terhadap obat dapat ditingkatkan dengan: 1. Pemilihan obat yang rasional;

2. Harga obat yang terjangkau; 3. Pembiayaan obat yang berkesinambungan dan 4.

Sistem kesehatan dan suplai yang dapat diandalkan. Penggunaan OE yang rasional

merupakan salah satu aktivitas pelayanan kesehatan, meminimalkan pemborosan

dalam peresepan dan penggunaan obat. Akses kepada pelayanan kesehatan termasuk

OE adalah merupakan bagian dari hak azasi yang mendasar. Dalam penelitian ini

aksesibilitas dinilai berdasarkan ketersediaan obat, digunakan 40 jenis obat esensial inti

dari WHO.

Pada tahun 2007 Indonesia telah meratifikasi kesepakatan Millenium Development Goal

(MDG), kesepakatan internasional dengan 8 target yang ingin dicapai sebelum tahun

2015. Salah satu target yang ingin dicapai yaitu target 8, mengembangkan kerjasama

Page 7: ringksneks-abstrak

global dengan indikator: Proporsi penduduk dengan akses kepada OE yang

berkesinambungan.

Pertanyaan penelitian: Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi aksesibilitas,

peresepan dan penggunaan OG dan OE yang rasional.

Penelitian ini bertujuan untuk: Mengevaluasi faktor-faktor yang mempengaruhi:

aksesibilitas terhadap OG dan OE; dokter dalam meresepkan OG dan OE, masyarakat

menggunakan OG dan OE, mengevaluasi kesinambungan pembiayaan OG dan OE,

dan menyusun rekomendasi kebijakan dalam peningkatan aksesbibilitas, pengetahuan

dan mendorong, peresepan dan penggunaan OG maupun OE yang rasional.

Metoda penelitian: Penelitian ini bersifat non-intervensi, survei dengan rancangan

survei potong lintang. Penelitian dilakukan di 18 Provinsi (18 kota dan 20 kabupaten) di

Indonesia, selama kurun waktu 5 bulan, dari bulan Agustus 2011 sampai dengan bulan

Desember 2011. Lokasi pengumpulan data dilakukan di tiap-tiap kota, yakni 1 RSU, dan

1 RSUD.

Sebagai populasi adalah seluruh dokter umum yang praktek di rumah sakit, seluruh

pasien rawat jalan yang sedang berobat di poliklinik dan seluruh Kepala Instalasi

Farmasi Rumah Sakit. Sampel dokter, secara purposif diambil 10 orang dokter umum

atau spesialis yang bersedia diwawancarai. Sampel pasien, secara purposif diambil 10

orang pasien yang sedang mengambil obat diapotek.

Instrumen pengumpulan data untuk Aksisibilitas: dilihat ketersediaan obat yang

berkesinambungan melalui catatan laporan obat, selama 3 bulan yaitu bulan Mei, Juni

dan juli 2011dan wawancara terhadap Kepala Instalasi Farmasi di Rumah Sakit.

Untuk mendapatkan gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi dokter menulis resep

OG dan OE: dilakukan dengan wawancara terstruktur tentang pengetahuan

(kompetensi), Sikap, Peraturan, Harga dan Konsumen.

Untuk mendapatkan gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi pasien menggunakan

OG dan OE: dilakukan dengan wawancara terstruktur terhadap pasien yang bersedia

untuk berpartisipasi dalam penelitian. Wawancara dilakukan sekitar mengenai OG dan

OE, meliputi pengetahuan, kualitas dan penggunaannya dan sikap.

Page 8: ringksneks-abstrak

Manajemen dan Analisis Data: Untuk mendapatkan gambaran mengenai determinan

penggunaan obat data disuguhkan secara deskriptif mengenai data demografi peresep

(dokter), dan pasien.

Hasil wawancara dokter dan pasien dianalisis secara kualitatif, sedangkan hasil

wawancara dengan Kepala Instalasi Farmasi Rumah sakit dilakukan secara kuantitatif.

Hasil yang diperoleh dari wawancara terhadap Kepala Instalasi Farmasi RS

menggambarkan:

1. Faktor-faktor yang mempengaruhi aksesibilitas terhadap OG dan OE.

Kebijakan penggunaan OG dan OE persentase terbesar ada karena kebijakan

kemenkes dan internal RS, DOEN tersedia di ruang instalasi farmasi RS, digunakan

untuk dasar pengadaan obat, apoteker ada dan aktif di PFT, ada formularium RS,

yang dipatuhi sebagian besar dokter, ada pengobatan standar, yang dipatuhi oleh

sebagian besar dokter, ada evaluasi penggunaan OG dan ada tindak lanjutnya. RS

berhak mengganti obat nama dagang dengan obat generik.

Persentase terbesar RS memiliki pedoman perencanaan obat, dibuat oleh PFT,

berdasarkan metode konsumsi, tidak memiliki pedoman pengadaan obat, panitia

pengadaan adalah apoteker RS, dengan system tender, frekuensi 12-24 kali

setahun. Pelatihan manajemen obat tidak pernah, dan kendala OG adalah

kekosongan obat dari pabrik/ PBF

Pembiayaan OG dan OE persentase terbesar sesuai kebutuhan, harga beli tidak

sesuai dengan kemasannya dan harga jual tidak membedakan antara margin OG

dan OP.

Promosi OG dan OE persentase terbesar telah dilakukan terhadap penulis resep, tak

ada insentif bagi dokter penulis resep OG, tak ada insentif bagi instalasi penyedia

OG, pasien meminta obat generik, melayani asuransi.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi dokter dalam meresepkan OG dan OE a.l:

A. Pengetahuan

Dokter menyebutkan peraturan yang mereka ketahui untuk meresepkan OG adalah:

Imbauan IDI, himbauan RS, kepmenkes, himbauan kemenkes, PP, peraturan RS,

peraturan jamkesmas/jamkesda.

Dokter tidak tahu adanya peraturan yang mengatur OE dan tidak tahu apakah

peraturan itu memang diperlukan, dan implementasi peraturan itu berupa

diresepkannya OG pada pasien tidak mampu, untuk pasien dengan asuransi kecuali

Page 9: ringksneks-abstrak

untuk obat yang tidak ada generiknya, di RS mayoritas OG karena pasiennya

kebanyakan jamkesda.

Pada umumnya dokter menggunakan list obat askes (DPHO) sebagai formularium

RS dan sebagian besar RS belum memiliki pedoman pengobatan atau belum

berjalan

OG disebutkan kelebihannya: murah, akses mudah, ketersediaan banyak, variatif

kekurangannya: Kemasan kurang menarik, keterbatasan jenis, efektivitas kurang,

kesan di masyarakat kurang baik.

Sebagian besar dokter merasakan khasiat OG kurang bagus, lebih bagus OP,

pasien kurang percaya OG. Tetapi sebagian kecil lainnya merasakan sama saja

dengan OP namun reaksi agak lama.

Dokter berpendapat OG diperlukan karena harga terjangkau, dapat membantu biaya

pengobatan (terutama pasien umum yg kurang mampu), bisa diproduksi massal,

ketersediaan banyak, terutama utk pasien asuransi.

B. Peraturan

Dokter merasa bahwa pemerintah hanya menghimbau bukan kewajiban dalam

peresepan OG.

Menurut dokter sediaan OG belum cukup, yang perlu ditambah : obat hormonal

kalistrenol, primolut, anti bisa ular, anti tetanus, ambroksol, cetirizine, sukralfat,

omeprazol injeksi. OG selalu tersedia di RS. Harganya OG lebih murah, 2-30 x,

mutunya bagus, sama dengan OP. Namun ada juga yang menganggap mutu lebih

rendah.

Banyak dokter menyatakan belum pernah mendapat informasi mengenai OG.

Sebagian lagi ada juga yang menyebutkan dari iklan media cetak, dinas kesehatan

C. Sikap

Faktor-faktor yang menjadi pertimbangan dalam meresepkan OG yaitu tingkat sosial

ekonomi, melihat kondisi pasien, dalam hal kemanusiaan pekerjaan pasien, tempat

tinggal. Pada umumnya di RS pemerintah semuanya diresepkan OG, pasien

jamkesmas, jamkesda / jkss (jaminan kesehatan sepintu sedulang), jampersal,

askes dan pasien umum tertentu dan yang meminta kecuali pasien minta OP dan

keadaan penyakit pasien tidak terlalu berat atau membahayakan jiwa pasien, harga

dibanding nyawa?

Page 10: ringksneks-abstrak

Sedangkan OP diresepkan bila OG tidak tersedia, Dokter spesialis pada umumnya

merasa OG sudah tidak mempan. Pasien yang langsung diberikan OP tergantung

situasi kondisi, kalau pasien tidak cocok OG bisa diberikan OP, dengan iformed

consent dulu. Pasien dengan penyakit tertentu, yang tidak respon OG (tidak

mempan), contoh sepsis, ranson, bioxom. Ada juga yang mengemukakan bahwa

untuk penyakit yang memerlukan obat khusus, atau ketika tidak ada OG nya.

Pasien meminta OP, pasien dengan sosek menengah ke atas, pasien dengan

penyakit lebih berat.

Menurut pengakuan dokter meresepkan 60 – 90% OG

Dokter mengatakan peresepan rasional adalah yang sesuai dosisnya, sesuai

dengan klinis, sesuai dengan keluhan pasien. Namun bisa juga kalau pengalaman

meresepkan tidak sesuai dosis ya tidak masalah memberinya, tetapi ada juga dokter

yang tidak tahu. Sosialisasi dan upaya peningkatan penggunaan obat generik

diperlukan dikalangan penulis resep, agar lebih mantap, karena masih banyak juga

dokter yang belum mengerti, banyak masyarakat tidak mampu, kondisi penyakit

berbeda-beda.

Untuk meningkatkan peresepan OG diperlukan pengarahan dari dinkes, himbauan

kepada dokter dan masyarakat, peningkatan kualitas OG, peraturan di setiap

instansi, komunikasi dokter-pasien

Untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap OG dokter menyarankan

agar memberikan informasi atau penjelasan yang cukup kepada pasien,

memperbaiki kemasan, iklan tentang mutu OG bagus, membuktikan penggunaan

OG bisa menyembuhkan, mengurangi desas-desus OP

D. Harga

Menurut dokter harga jauh sekali bedanya, OG bisa terjangkau, OP mahal

Menurut dokter OG dan OP khasiatnya sama, OP efektivitas lebih cepat contoh

antibiotik OG agak lama, ada jug adokter yang lebih yakin OP

Jenis OG cukup banyak, sudah variatif, tapi masih ada beberapa obat yang belum

ada generiknya, ketersediaan sudah cukup baik, karena tiap bulan dievaluasi.

Menurut dokter, bagaimana cara paling efektif untuk meningkatkan penggunaan

obat generik?

Memberikan informasi yang cukup kepada pasien, himbauan/ aturan kepada dokter,

menghilangkan obat paten, meningkatkan mutu OG, meningkatkan ketersediaan.

Page 11: ringksneks-abstrak

E. Masyarakat / Konsumen

Sikap masyarakat menurut dokter terhadap OG ada yang memilih generik ada pula

OP bagi pasien yang skeptik, dokter spesialis sikapnya terserah dokter.

Masyarakat yang kurang mampu cenderung ke OG, masyarakat menengah keatas

cenderung OP

Menurut dokter tidak ada atau jarang pasien meminta OG, tergantung dokter karena

di RSU pasti memberi OG terlebih dahulu. Ada pasien yang meminta obat biasa, ada

yang meminta obat bagus tanpa menyebutkan obat biasa dan obat bagus itu apa.

Kendala yang dihadapi dokter dalam meresepkan OG (dalam hal ini komunikasi dgn

pasien (pengetahuan dan latarbelakang pasien), keterbatasan waktu berkomunikasi,

keterbatasan sarana / fasilitas)? Pada umumnya tidak ada kendala, tergantung pada

ketersediaan obat yang belum ada OG, tetapi ada juga kadang pasien minta obat

paten.

F. Sikap

Dokter mengatakan meresepkan OG hampir tiap hari. Jenis yang sering diresepkan

adalah antipiretik, antibiotik, analgesik, anti inflamasi, jantung, kolesterol, dispepsi,

anti emetik, vitamin, antipiretik, anti inflamasi, mukolitik, hampir semua jenis.

Dokter meresepkan OG terutama kepada semua pasien kecuali pasien meminta OP,

pasien Askes, jaminan kesehatan, kurang mampu, sudah ada ketentuan pemerintah,

sosek menengah kebawah

Dokter sendiri menggunakan OG dulu, karena kalau sudah paten nanti OG tidak

mempan, karena mutunya juga baik, sering, kualitas sama, parasetamol dan CTM

lebih efektif kalengan. Tetapi sebagian dokter mengaku jarang meresepkan OG

karena respon kurang baik.

Dokter selalu menyarankan pasien menggunakan OG. misal parasetamol, ranitidine.

Tetapi ada juga dokter yang tidak pernah menyarankan OG

Dokter tidak meresepkan OG apabila tidak tersedia OG nya, pasien sudah

pengalaman diberi OG tetapi tidak sembuh misalnya pasien rujukan dari puskesmas,

atau permintaan pasien dan praktek pribadi.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat menggunakan OG dan OE.

Page 12: ringksneks-abstrak

Sebagian besar pasien tahu OG berdasarkan logo, informasi dari dokter atau

sebagai obat kelas dua. Contohnya benar yaitu : paracetamol, amoksisilin, kaptopril.

Tetapi ada juga pasien mengatakan tahu dan memberi contoh yang salah yaitu obat

gosok badan. Persepsi tentang OG adalah murah.

Ada responden yang mengatakan OG adalah obat yang berasal dari pemerintah,

obat yang ada di RS dan puskesmas, sebagian besar responden mengidentikkan

obat generik sebagai obat murah dari pemerintah, untuk PNS, disarankan

pemerintah. Ada yang menjawab bahwa OG adalah obat yang dapat dibeli tanpa

resep dokter, bahwa OG adalah obat bantuan pemerintah atau obat yang harganya

murah

Pasien tidak tahu OE dan tidak dapat memberikan contoh OE, ada yang

mengatakan belum pernah mendengar istilah OE. Ada yang tahu tentang OE,

contohnya CTM, Paracetamol, ampisilin.

Sebagian besar pasien tahu OP karena tidak ada logo generik atau OP adalah obat

keluaran pabrik top, contoh sangobion, neorodex, tempra, dosisnya dan harganya

yang mahal. “yang ini obat aslinya karena cuma separonya, kalo yang ini (metformin)

harus satu makannya”. Ada responden yang menjawab bahwa OP adalah obat

yang kemasannya agak permanen, tidak bisa dibeli tanpa resep, tipe G,

mengandung psikotropika, antibiotik.

Lebih dari separuh pasien tahu obat yang diperolehnya dan dapat menyebutkan

contoh dengan benar. Sebagian besar pasien dapat membedakan obat antara OG

dengan OP, salah seorang pasien membedakannya dengan melihat dari harga obat

yang ditebusnya. Jika dilihat dari pola jawaban responden, pada umumnya mereka

tidak mengetahui dengan pasti yang mana OG dan yang mana OP. Pengenalan

mereka umumnya berdasarkan pengalaman, perkiraan atau harga. Ada pasien yang

mengaku tahu OG dan menyebutkan bahwa OG adalah obat racikan RS.Sebagian

besar responden tahu obat yang didapat dan dapat menyebutkan nama obatnya,

tetapi tidak diketahui apakah mereka dapat membedakan OG dan OP.

Sumber informasi berasal dari media massa, TV, koran, majalah, iklan, Internet,

tenaga kesehatan (kader dan bidan) di Puskesmas, teman/tetangga, dinkes, dari

logo pada kemasan obatnya, serta dari tempat kuliah dan kerja.

Pasien biasanya mengetahui khasiat obat berdasarkan pengenalan mereka

terhadap penyakit yang dialami, dari dokter, apotek, saudara atau teman yang

meminum obat, label dan kemasannya berupa blister.

Page 13: ringksneks-abstrak

Namun sering juga pasien tidak dapat mengingat khasiat obat atau tidak

menanyakannya. Jadi tidak tahu dengan pasti khasiat obat (salah menyebutkan)

sebagai contoh menyebutkan: “Metilprednisolon : memperlancar air kencing,

Omeprazol : mengurangi kolesterol, Simvastatin : penambah nafsu makan (karena

dimakannya sebelum makan).

Pasien menyatakan mendapat OG maupun OP sama mudahnya. OG mudah

diperoleh di Apotek

“Gampang-gampang susah, kadang-kadang ada, kadang-kadang harus beli di

apotek. Sama aja, tergantung dokternya. Kata saya mah lebih bagus yang bukan

generik karena harganya lebih mahal”

Sebagian besar responden menyatakan obat merk lebih mudah didapat tanpa

reseppun bisa. OG mudah didapat di RS, puskesmas dan apotek tetapi ada yang

berpendapat harus pakai resep.

Sebagian besar menyatakan OP lebih banyak tersedia terutama di warung-warung,

sedangkan OGlebih banyak di RS, puskesmas dan apotek

Harga OG menurut pasien lebih murah bahkan ada pasien yang mendapatkan obat

secara gratis.

Pasien mengatakan kalau di rumah sakit lebih sering diresepkan OG, tapi kalau di

dokter praktek luar lebih sering diresepkan OP.

Kualitas OG menurut pasien baik, hanya saja OG lama sembuhnya dan sebagian

tidak tahu.

Ada yang menambahkan bahwa jika patuh dalam pengobatan memakai OG atau OP

maka penyakitnya pasti sembuh. Mutunya bagus dan cepat sembuh, hanya

kemasannya saja yang berbeda.

Cara yang paling efektif menjelaskan mengenai OG melalui tenaga kesehatan, baik

itu melalui penjelasan dokter ataupun petugas di apotek, iklan TV, disampaikan dari

mulut ke mulut. koran, pemuka masyrakat/kepala banjar juga menjadi sumber

informasi dan Puskesmas. Sosialisasi OG, melalui posyandu, pertemuan ibu-ibu.

Sebagian kecil ( seorang) tidak tahu.

Cara paling efektif menginformasikan OG, sebagian besar pasien menjawab tidak

tahu, sebagian lainnya menjawab dari dokter dan penjajagan ke masyarakat.

OG yang disukai pasien adalah yang memakai kemasan (strip, blister), bukan dalam

bentuk curah seperti obat puskesmas. Sebagian lagi menjawab yang cepat

menyembuhkan, mutunya bagus, antibiotik, yang langsung bereaksi. Ada yang

Page 14: ringksneks-abstrak

mengenal dan menyukai OG berdasarkan bentuk sediaannya. Contoh : ”Yang bulet,

kalau dikasih kapsul saya sukanya yang bulet lebih gampang diminumnya, kalau

kapsul kadang2 napel (nempel)” sisanya menyatakan tidak tahu. Sebagian besar

responden menyukai obat berbentuk tablet/sirup terutama untuk anak. Obat generik

yang disukai adalah amoksisilin, leudian, parasetamol, serta obat generik yang bisa

tahan lama penyimpanannya, bila sakit tidak harus selalu ke dokter.

B. Perilaku

Ketika membeli obat sebagian menjawab biasanya membeli OP yang sudah tahu

khasiatnya. Ada yang menjawab akan membeli OG tergantung penyakitnya misalnya

obat sakit kepala. Kalau tidak sembuh baru beli OP. Sebagian menyatakan membeli

sendiri OP bila penyakit ringan seperti sakit kepala dan batuk.

Pasien ada yang meminta resep obat yang mahal kepada dokter ketika berobat, ada

yang meminta jenis obat tertentu biasanya vitamin. Seorang minta obat generik.

Seorang responden meminta obat yang bagus tapi murah. Pasien lain mengatakan

“Tergantung dokternya, dikasih apa. Emang bisa minta gitu?”

Saya Pernah, pada saat saya diare sebelumya saya dikasih obat cocok langsung

sembuh, kemudian ketika saya berobat selanjutnya (diare lagi), saya minta obat

yang sama ke dokter. hanya seorang yang pernah meminta obat tertentu karena

alergi dan vitamin. Sebagian lainnya yaitu 2 orang menyatakan pernah meminta

jenis obat karena tahu sakit nya.

Pasien seluruhnya tidak pernah mengajukan permintaan kepada dokter untuk

menuliskan obat generik, sebagian besar karena menuruti apa yang diresepkan

dokter. Ada yang menyatakan bahwa tanpa perlu diminta dokter sudah pasti

meresepkan obat generik. Terserah pada apa yang diresepkan dokter. Ada orang

yang pernah meminta paracetamol, Fe dan vitamin.

Pasien jika boleh memilih obat sendiri maunya OG mutu bagus, terjangkau dan

cocok obat darah tinggi

dan gula biar cepat sembuh, tidak ada OG pakai OP harga biar tinggi tidak apa-apa

yang penting sembuh.

4. Proporsi masyarakat menggunakan OG dan OE digambarkan dari

ketersediaannya di RS atau apotek RS.

Page 15: ringksneks-abstrak

Obat inti menurut WHO persentase terbesar tersedia di RS kecuali Atenolol dan

salbutamol.

Obat penyakit infeksi persentase terbesar tersedia di RS kecuali fluconazol dan

albendazol.

Obat penyakit kronik persentase terbesar tersedia di RS kecuali enalapril dan

beclometason inhaler.

Obat kesehatan reproduksi persentase terbesar tersedia di RS kecuali pil, injeksi

dan kondom.

Obat malaria persentase terbesar tersedia di RS kecuali sulfadoxin dan ACT.

Obat protease inhibititor dan obat antiretroviral umumnya tidak tersedia di RS

Obat anti tuberculosis dalam bentuk tunggal persentase terbesar tersedia di RS.

Obat lainnya persentase terbesar yang tersedia di RS adalah ibuprofen dan oralit.

5. Rekomendasi kebijakan dalam peningkatan aksesibilitas, pengetahuan dan

mendorong sikap dan perilaku dokter maupun pasien terhadap penggunaan OG

dan OE.

Sosialisasi dan upaya peningkatan penggunaan obat generik diperlukan dikalangan

penulis resep, agar lebih mantap, karena masih banyak juga dokter yang belum

mengerti, banyak masyarakat tidak mampu.

Untuk meningkatkan peresepan OG diperlukan pengarahan dari dinkes, himbauan

kepada dokter dan masyarakat, peningkatan kualitas OG, peraturan di setiap

instansi, komunikasi dokter-pasien

Untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap OG disarankan agar dokter

memberikan

informasi atau penjelasan yang cukup kepada pasien, memperbaiki kemasan, iklan

tentang mutu OG bagus, membuktikan penggunaan OG bisa menyembuhkan,

mengurangi desas-bahwa OP lebih bagus dari OG.

Cara yang paling efektif menjelaskan mengenai OG melalui tenaga kesehatan, baik

itu melalui penjelasan dokter ataupun petugas di apotek, iklan TV, disampaikan dari

mulut ke mulut. koran, pemuka masyrakat/kepala banjar juga menjadi sumber

informasi dan Puskesmas. Sosialisasi OG, melalui posyandu, pertemuan ibu-ibu.

Sebagian kecil ( seorang) tidak tahu.

6. Studi Monitoring Efek Samping Obat Antituberkulosis

Page 16: ringksneks-abstrak

Ketua Pelaksana : Ida Diana Sari, S.Si, MPH, Apt.

Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang diderita hampir sepertiga populasi

manusia di dunia. Insidens keterjangkitan tuberkulosis merupakan permasalahan

kesehatan dunia yang cukup serius. Hasil survai rumah tangga (SKRT) 1995

menunjukkan bahwa TB (Tuberkulosis) adalah penyebab kematian nomor tiga setelah

penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan pada semua kelompok usia

dan nomor satu dari golongan penyakit infeksi di Indonesia. Data WHO Global Report

yang dicantumkan pada Laporan Triwulan Sub Direktorat Penyakit TB dari Direktorat

Jenderal P2&PL tahun 2010 menyebutkan estimasi kasus baru TB di Indonesia tahun

2006 adalah 275 kasus per 100.000 penduduk/tahun dan pada tahun 2010 turun

menjadi 244 kasus/100.000 penduduk/tahun. Pada Riskesdas 2007 kasus Tuberkulosis

Paru ditemukan merata di seluruh provinsi di Indonesia dan pada Riskesdas 2010

Periode Prevalence Tuberkulosis Paru Nasional adalah 725 per 100.000 penduduk.

Morbiditas dan mortalitas akibat tuberkulosis merupakan permasalahan yang sangat

serius terutama akibat permasalahan timbulnya efek samping akibat penggunaan obat

antituberkulosis (OAT). Efek samping yang serius adalah hepatotoksik. Hal ini

menimbulkan dilema dalam pengobatan tuberkulosis dan eradikasi kuman tuberkulosis,

karena mempengaruhi keberhasilan terapi. Putusnya terapi akibat timbul efek samping,

menimbulkan resistensi kuman sehingga memperberat beban penyakit dan beban biaya

pada pasien.

Berdasarkan hasil penelitian, ke 92 pasien yang menjadi responden dalam penelitian ini

masih patuh dalam menjalani terapi antituberkulosis. Frekuensi kejadian tidak diinginkan

yang paling sering timbul adalah pada bulan pertama menjalani terapi obat

antituberkulosis yaitu mual 30, pusing 18, gatal 15, nyeri sendi pegal 13 dan penglihatan

terganggu 1. Pada bulan kedua, frekuensi kejadian tidak diinginkan akibat penggunaan

OAT adalah pusing 14, mual 13, nyeri sendi pegal 11 dan gatal 8. Pada bulan ketiga,

frekuensi kejadian tidak diinginkan adalah nyeri sendi pegal 10, mual 8, pusing 6 dan

gatal 6. Pada bulan keempat, frekuensi kejadian tidak diinginkan akibat penggunaan

OAT, adalah nyeri sendi pegal 15, gatal 11, pusing 8 dan mual 7. Pada bulan kelima dan

keenam, frekuensi kejadian tidak diinginkan mual 10 dan 4, nyeri sendi pegal 7 dan 6,

pusing 6 dan 1, gatal 4 dan 2. Insidens kejadian tidak diinginkan akibat penggunaan

obat antituberkulosis pada bulan pertama yang tertinggi adalah mual dengan insidens

6521/10.000 penderita, bulan kedua pusing 3043/10.000 penderita, bulan ketiga nyeri

Page 17: ringksneks-abstrak

sendi pegal 2174/10.000 penderita, bulan keempat nyeri sendi pegal 3261/10.000

penderita, bulan kelima mual 2174/10.000 penderita dan bulan keenam nyeri sendi

pegal 1304/10.000 penderita. Kejadian tidak diinginkan lain-lain yang sering timbul

akibat penggunaan OAT yaitu mengantuk dan lemas pada bulan pertama, kedua dan

ketiga.

Pasien yang menjadi responden dalam penelitian ini masih patuh dalam menjalani terapi

antituberkulosis dengan kejadian tidak diinginkan yang paling sering timbul adalah mual

dan nyeri sendi, pegal; insidens kejadian efek samping akibat penggunaan obat

antituberkulosis pada bulan pertama yang tertinggi adalah mual 6521/10.000 penderita,

bulan kedua pusing 3043/10.000 penderita, bulan ketiga nyeri sendi pegal 2174/10.000

penderita, bulan keempat nyeri sendi pegal 3261/10.000 penderita, bulan kelima mual

2174/10.000 penderita dan bulan keenam nyeri sendi pegal 1304/10.000 penderita;

Kejadian efek samping yang paling sering timbul akibat penggunaan obat

antituberkulosis pada bulan pertama adalah mual, bulan kedua pusing, bulan ketiga

nyeri sendi pegal, bulan keempat nyeri sendi pegal, bulan kelima mual dan bulan

keenam nyeri sendi pegal; Kejadian efek samping lain-lain yang paling banyak

dikeluhkan akibat penggunaan obat antituberkulosis adalah lemas. Pada kelompok

lansia terjadi peningkatan SGOT, SGPT dan ureum lebih besar dibandingkan dengan

kelompok anak dan kelompok umur dewasa; Pada kelompok umur dewasa terjadi

peningkatan SGOT, SGPT dan bilirubin total sebanyak 46,34-54,88% dan peningkatan

ureum/kreatinin sebanyak 17,07-53,66%; dan pada kelompok anak terjadi peningkatan

SGOT, SGPT dan bilirubin total sebanyak 28,57-57,14% dan peningkatan

ureum/kreatinin sebanyak 14,29-42,86%.

7. Dampak Radiasi Pada Pekerja di Bagian Radiologi di Beberapa RS Pemerintah

dan Swasta

Ketua Pelaksana : dr. Frans X. Suharyanto H., MS, Sp.OK

Penilaian risiko perlu dilakukan pada rumah sakit - rumah sakit yang memiliki fasilitas

radiasi pengion mengingat hal tersebut akan berpotensi menghasilkan pajanan radiasi

yang cukup besar bila tidak dikelola dengan baik. Kecelakaan radiasi yang dilaporkan

oleh United State Energy Atomic Commision dari tahun 1960-1968 disebakan oeh

kesalahan operator (68%), kesalahan prosedur (8%), kerusakan perlengkapan (15%)

dan lain-lain (9%). Bila dilihat secara rinci kesalahan operator yaitu tidak melakukan

survey radiasi (46%), tidak mengikuti prosedur (36%), tidak menggunakan peralatan

Page 18: ringksneks-abstrak

proteksi (6%), kesalahan manusiawi (6%), dan kesalahan menghitung paparan radiasi

(6%). Penelitian ini bertujuan mengkaji besarnya risiko pajanan radiasi pada pekerja

medis di rumah sakit,

Penelitian ini dilaksanakan pada 9 rumah sakit di 6 provinsi yaitu DKI Jakarta, Jawa

Barat, Jawa Tengah, DI Jogjakarta, Jawa Timur serta Bali. Jumlah sampel minimal yang

dibutuhkan sebanyak 97 responden. Waktu penelitian selama 8 bulan pada tahun 2011

dengan biaya dari anggaran DIPA tahun 2011 sebesar Rp 275.618.000,-. Penelitian ini

direncanakan beberapa tahun, pada tahun pertama (2011) dilakukan penilaian risiko

keselamatan kerja radiasi di rumah sakit. Pengumpulan data dilakukan dengan

menggunakan kuesioner, observasi dan pengukuran pajanan radiasi di tempat kerja

(pada waktu sedang mengoperasikan peralatan yang dugunakan). Kuesioner yang

digunakan meliputi pertanyaan – pertanyaan yang mencakup karakteristik rumah sakit,

kuesioner individu ( data umum responden, hasil pemeriksaan kesehatan berkala, alat

pelindung diri, pemeriksaan radiodiagnostik dan radioterapi ), kuesioner untuk pengelola

RS, selanjutnya dilakukan analisis secra deskriptif. Jumlah responden dalam peneliian

ini sebanyak 115 orang dari 9 rumah sakit.

Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar responden adalah laki-laki (51,3 %)

dan kelompok umur terbanyak 40-44 tahun (27 %) dengan status menikah (98,2 %).

Pendidikan terbanyak adalah lulusan D-3 (44,3 %) dengan jenis pekerjaan adalah

radiografer (59,1 %). Lama bekerja pada unit terakhir terbanyak pada kelompok dengan

lama kerja 11-15 tahun sebesar 26,1 %. Hasil pemeriksaan hemoglobin darah pada

perempuan rata-rata 12,42 g/dL sedangkan pada laki-laki 14,93 g/dL Hasil pemerksaan

darah rutin lainnya juga masih dalam batas normal. Pemakaian alat pelindung diri

(APD) terutama apron yang tak memakai cukup banyak sebesar 43,5%, karena mereka

merasa tempat kerja aman 31,3 %, tak nyaman 9,6 % dan rusak 2,6%.. Hasil

penghitungan estimasi besarnya pajanan radiasi di 9 RS antara 0,000008 – 0,49 mSv

per bulan, kecuali satu orang mencapai 5,13 mSv per bulan karena melakukan tugas

yang bukan bidang keahliannya. ( Nilai Batas Dosis tidak melebihi 50 mSv per tahun,

atau 4 mSv per bulan). Pemakaian film badge sebagai alat monitor perorangan sebesar

88,7 % dan sebagian besar tidak pernah mendapat dosis maksimum, hanya seorang

yang mendapat dosis maksimum karena melakukan pekerjaan yang bukan bidang

keahliannya.

Page 19: ringksneks-abstrak

Kesimpulan dari penelitian ini peraturan dan kebijakan proteksi radiasi untuk melindungi

para pekerja radiasi di semua rumah sakit ( 9 RS) sudah diterapkan, kecuali untuk SOP

pengoperasian peralatan radiasi 88,89%, penanganan limbah radiasi 88,89% dan

rekaman keadaan darurat 55,5%. Pajanan radiasi yang diterima para pekerja radiasi

per bulan di hampir semua rumah sakit (88,89%) masih di bawah Nilai Batas Dosis

(NBD) yang ditentukan yaitu 50 mSv per tahun ( 4 mSv per bulan). Besarnya pajanan

radiasi pada waktu alat sedang digunakan yang terbesar adalah pada waktu melakukan

kateterisasi jantung, dan posisi dokter merupakan posisi dengan pajanan terbesar,

kemudian perawat dan radiographer yang terendah. Hasil pemeriksaan kesehatan yang

didapat dari pemeriksaan kesehatan berkala masih dalam batas normal, hanya saja

pelaksanaan pemantauan kesehatan untuk tenaga medis belum sesuai dengan

Peraturan Kepala BAPETEN No.6 tahun 2010.

Saran pada penelitian ini agar penerapan peraturan dan kebijakan proteksi radiasi

termasuk pemakaian APD (safety culture ) harus terus menerus disosialisasikan dengan

menerapkan secara konsisten faktor keselamatan pasien, pekerja radiasi dan

lingkungan. Lebih mengaktifkan peran organisasi proteksi radiasi serta peningkatan

pengawasan internal oleh kepala instalasi terhadap pelaksanaan proteksi radiasi.

Pemantauan kesehatan untuk pekerja radiasi secara berkala harus dilaksanakan sesuai

dengan peraturan kepala Bapeten No. 6 tahun 2010 dan pada pemeriksaan darah

lengkap ditambahkan pemeriksaan gambaran darah tepi

8. Studi Intervensi Tradisi Se’i di Kabupaten Timor Tengah Selatan Tahap 2

(PARTICIPATORY ACTION RESEARCH)

Ketua Pelaksana : Dra. Rachmalina S, MSc.PH

Masalah kesehatan ibu dan anak di Indonesia masih memprihatinkan dimana Angka

Kematian Ibu masih tinggi yaitu 307 per 100.000 kelahiran hidup. Angka tersebut sekitar

3-6 kali dari AKI negara-negara ASEAN dan lebih dari 50 kali AKI negara maju

(Departemen Kesehatan RI, 1998). Penyebab kematian ibu tersebut sebagian besar

karena pendarahan, toxemia gravidarum dan infeksi. Di masyarakat Timor (dan juga

wilayah NTT lainnya) terdapat kebiasaan memanaskan ibu dalam rumah adat dengan

asap selama 40 hari yang disebut Se’i.

Page 20: ringksneks-abstrak

Tradisi ini jelas tidak baik untuk kesehatan ibu maupun bayinya, karena selama

pengasapan ibu dan bayi berada di lingkungan udara yang tercemar. Keadaan kualitas

udara dalam rumah lopo yang tidak memenuhi syarat menyebabkan gangguan saluran

pernapasan pada ibu dan bayi yang melakukan tradisi Se’i. Hal ini diperparah lagi

adanya kepercayaan ’pantangan ’ mengkonsumsi makanan tertentu (ikan, daging, telur)

pada ibu serta minimnya asupan jenis makanan pada ibu selama ia menjalankan tradisi

Se’i sehingga kemungkinan mengakibatkan ISPA yang merupakan penyakit terbanyak

pertama di Kab. TTS tahun 2007 yaitu 28,5%. Kondisi ini dapat berakibat buruk

terhadap kesehatan seperti gangguan saluran pernafasan sampai gangguan fungsi

paru. Studi Intervensi Tradisi Se’i Di Kabupaten Timor Tengah Selatan Tahap 2:

Participatory Action Research merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kondisi

kesehatan ibu-ibu sehabis melahirkan beserta bayinya dengan memperhatikan kondisi

gizi, lingkungan rumah di lokasi pengasapan melalui proses pemberdayaan masyarakat.

Pada konteks ini masyarakat dilibatkan untuk memahami dan menganalisa kondisi

kesehatan mereka saat ini, seperti kondisi kesehatan ibu; kesehatan bayi baru lahir,

kesehatan bayi, dan berbagai hubungan dan kekuasaan yang mempengaruhi kondisi

tersebut agar mereka mampu untuk melakukan aksi guna memperbaiki kondisi tersebut

berdasarkan analisa mereka dengan menggunakan potensi yang mereka miliki. Untuk

memfasilitasi mereka agar berpikir, menganalisa dan melakukan aksi, proses afektif dan

warga yang berperan melakukan fasilitasi sangat diperlukan.

Pada studi ini masyarakat bersama dengan tokoh masyarakat setempat secara

bergotomg royong membuat prototype “Rumah Bulat Sehat” bagi ibu untuk melakukan

tradisi Se’i. Rumah Bulat Sehat digunakan pada awal desember oleh Ibu Arkilaus saat

melahirkan. Selain itu bagi ibu yang tidak mempunyai rumah bulat sehat, sesudah

dilakukan penyuluhan, di akhir studi beberapa Ibu yang melahirkan sudah tidak lagi

melakukan tradisi Se’i di rumah bulat, tetapi di rumah sehat. Dengan adanya perubahan

perilaku, maka kesinambungan perilaku yang telah berubah dan kerjasama kemitraan

sangatlah penting. Hal tersebut penting untuk menentukan pola pembinaan, pelayanan

serta pemberian sarana pendukung untuk memperbaiki dan menurunkan angka

kesakitan yang disebabkan buruknya kualitas udara dalam rumah Ume ‘Kbubu.

Disamping data tersebut, perlu dijajaki kemungkinan sumber daya dan jalur-jalur yang

dapat dijadikan media intervensi bagi program kesehatan.

Page 21: ringksneks-abstrak

Implementasi dari studi ini bagi Program :

- Sebagai dasar Puskesmas untuk mengalokasian dana BOK dalam perencanaan

tahunan maupun bulanan untuk menjaring ibu nifas yang masih menjalankan tradisi

Se’i.

- Untuk penyegaran kader puskesmas dalam meningkatkan program kesehatan yang

bersifat promotif dan preventif untuk mengurangi dampak kesehatan dari tradisi Se’i

terutama di wilayah studi.

- Sebagai panduan untuk kebijakan pusat maupun daerah dalam mengurangi angka

kematian ibu dan balita di wilayah studi dengan konsep dan prototipe yang telah

diimplementasikan dalam studi ini seperti: penggunaan media dengan konten lokal

untuk penyuluhan, pembuatan rumah bulat (ume’ kbubu) sehat.

9. Program Penanggulangan Anak Balita Gizi Buruk dan Gizi Kurang Melalui Upaya

Kesehatan Berbasis Masyarakat

Ketua Pelaksana : Yekti Widodo, SKM, M.Kes

Data kasus anak balita gizi kurang dan gizi buruk di Indonesia masih tinggi. Hal tersebut

menunjukkan bahwa program penanggulangan anak balita gizi kurang dan gizi buruk

yang dilakukan selama ini belum efektif. Program penanggulangan anak balita gizi

kurang dan gizi buruk di Indonesia dilakukan melalui Pemberian Makanan Tambahan

Pemulihan (PMT-Pemulihan) selama 90 hari, berupa makanan pabrikan dan perawatan

di rumah sakit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan status gizi dan

kesehatan yang telah dicapai selama mendapat bantuan PMT atau selama dirawat di

rumah sakit sering tidak dapat dipertahankan agar tetap baik dan sehat setelah bantuan

berakhir atau sepulang dari rumah sakit.

Informasi tersebut menunjukkan bahwa program penanggulangan balita gizi kurang dan

gizi buruk yang dilakukan selama ini memiliki kelemahan, diantaranya:

1. Hasil yang telah dicapai selama mendapat bantuan PMT dan perawatan di rumah

sakit, sering tidak dapat ditingkatkan dan dipertahankan setelah bantuan PMT

berakhir atau pulang dari rumah sakit.

2. Pemberian bantuan PMT pabrikan cenderung menciptakan ketergantungan dan

menghambat kemandirian keluarga balita gizi kurang dan gizi buruk.

Page 22: ringksneks-abstrak

3. Program penanggulangan balita gizi kurang dan gizi buruk belum dilakukan secara

terpadu, bersinergi, berkelanjutan, dan berkemitraan, serta belum tercipta kerja

sama yang baik dengan lintas program dan lintas sektor.

4. Program bersifat top-down sehingga tidak secara aktif melibatkan masyarakat dalam

perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi program.

Salah satu model untuk meningkatkan optimalisasi hasil penanggulangan balita gizi

kurang dan gizi buruk adalah Program Penanggulangan Anak Balita Gizi Buruk dan Gizi

Kurang Melalui Pos PERGIZI dan Pos KPKIA. Pos PERGIZI (Pos Program Edukasi dan

Rehabilitasi Gizi) adalah salah satu bentuk upaya kesehatan berbasis masyarakat

(UKBM) untuk menanggulangi anak balita gizi kurang dan gizi buruk yang dilaksanakan

dengan memadukan antara kegiatan edukasi (penyuluhan) dengan rehabilitasi yang

meliputi pemeriksaan dan pengobatan, pemberian sirop zink untuk meningkatkan nafsu

makan, PMT-bersama berupa nasi, lauk, dan sayur, serta mengajak masyarakat

memberikan kontribusi berupa bahan makanan, tenaga, atau uang. Indikator kegiatan

Pos PERGIZI adalah peningkatan status gizi dan kesehatan serta kemampuan untuk

mempertahankan hasil yang telah dicapai.

Hasil penanggulangan anak balita gizi kurang dan gizi buruk melalui Pos PERGIZI

selama 24 minggu di 6 desa/Posyandu di Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten

Tangerang, adalah sebagai berikut :

1. Rata-rata partisipasi ibu balita mengikut kegiatan Pos PERGIZI adalah 78,1%.

2. Setelah mengikuti kegiatan Pos PERGIZI anak balita yang mempunyai nafsu makan

baik meningkat dari 8,9% menjadi 32,2%, anak balita yang sulit makan turun dari

55,6% menjadi 8,9%, dan anak balita yang mampu menghabiskan porsi makannya

naik dari 7,8% menjadi 44,4%.

3. Anak balita yang mengikuti Pos PERGIZI ketika diperiksa dalam keadaan sehat

meningkat dari 36,7% menjadi 82,2%.

4. Anak balita gizi buruk yang berhasil meningkat menjadi gizi baik 8,7% dan yang

meningkat menjadi gizi kurang mencapai 43,5%. Sedangakan anak balita gizi kurang

yang berhasil meningkat menjadi gizi baik mencapai 46,3%. Secara keseluruhan

47,8% anak balita yang mengikuti kegiatan Pos PERGIZI mengalami peningkatan

status gizi dan hasil yang telah dicapai cenderung meningkat dan dapat tetap

dipertahankan.

Page 23: ringksneks-abstrak

5. Ibu balita yang bersedia memberikan kontribusi berupa tenaga ataupun uang

mencapai 82,4%, dan frekuensi ibu balita memberikan kontribusi berkisar 1 sampai

30 kali dengan rata-rata adalah 16 kali.

Peningkatan status gizi yang telah dicapai, tetap dapat ditingkatkan dan dipertahankan.

Hal tersebut menunjukkan telah terjadi perubahan perilaku yang lebih sehat dan lebih

baik dalam merawat dan memberi makan anak. Keberhasilan ibu balita meningkatkan

dan mempertahankan status gizi dan kesehatan yang telah dicapai menunjukkan bahwa

telah terjadi perubahan perilaku dalam merawat dan memberi makan anak dan

perubahan tersebut cenderung bersifat permanen karena ibu balita telah merasakan

manfaat dan hasil yang posistif.

Partisipasi ibu balita dan masyarakat dalam memberikan kontribusi berupa bahan

makanan, tenaga, ataupun uang menunjukkan bahwa potensi masyarakat dapat

dimanfaatkan dan diberdayakan dalam penanggulangan balita gizi kurang dan gizi

buruk. Hal tersebut menunjukkan bahwa upaya pemberdayaan mulai memberikan hasil

positif. Berdasarkan hasil tersebut dapat dinyatakan bahwa Pos PERGIZI mempunyai

beberapa keunggulan komparatif, sebagai berikut :

1. Kegiatan Pos PERGIZI melibatkan masyarakat sejak proses perencanaan,

pelaksanaan, serta monitoring dan evaluasi kegiatan, agar masyarakat merasa

memiliki program.

2. Kegiatan Pos PERGIZI sesuai dengan masalah yang dirasakan (anak sering sakit

dan susah makan) dan kegiatan yang dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan

masyarakat (pemeriksaan dan pengobatan serta peningkatan nafsu makan).

3. Kegiatan Pos PERGIZI dapat mempercepat perubahan perilaku sehat ibu balita

dalam merawat dan memberi makan anak, karena disamping penyuluhan juga ada

praktik langsung memberi makan anak. Ketika ibu balita telah merasakan manfaat

dan hasil nyata yaitu peningkatan nafsu makan, berat badan, dan kesehatan, maka

perubahan perilaku sehat dalam merawat dan memberi makan anak cenderung

akan diulang dan bersifat permanen.

4. Pos PERGIZI menumbuhkan kemandirian dan mengurangi ketergantungan karena

ibu balita dan masyarakat diajak untuk peduli dan memberikan kontribusi dalam

mengatasi masalah balita gizi kurang dan gizi buruk.

5. Dalam jangka panjang biaya penanggulangan balita gizi kurang dan gizi buruk

melalui Pos PERGIZI relatif lebih murah daripada PMT-pemulihan berupa makanan

Page 24: ringksneks-abstrak

pabrikan. Hal ini dikarenakan Pos PERGIZI dapat menumbuhkan kemandirian dan

mengurangi ketergantungan serta adanya perubahan perilaku sehat dalam merawat

dan memberi makan

Upaya peningkatan status gizi anak balita gizi buruk dan gizi kurang harus dilakukan

secara terpadu melalui kegiatan penyuluhan, pemeriksaan kesehatan dan pengobatan,

pemberian sirop zink (micronutrient) untuk menambah nafsu makan, pemberian PMT-

Bersama berupa makan nasi, lauk, dan sayur, serta mengajak ibu balita dan masyarakat

untuk memberikan kontribusi berupa bahan makanan, tenaga, ataupun uang. Selain

harus terpadu, program penanggulangan balita gizi kurang dan gizi buruk harus

berkelanjutan, bersinergi, dan berkemitraan dengan lintas program dan lintas sektor.

Sebagai salah satu alternatif dalam penanggulangan balita gizi kurang dan gizi buruk,

Pos PERGIZI sangat cocok dikembangkan dan diterapkan di daerah yang mempunyai

prevalensi gizi kurang dan gizi buruk tinggi (>20%) dengan sistem monitoring dan

evaluasi yang terencana dan sistematis, dan idealnya dilakukan selama 6 bulan.

Pos KPKIA (Pos Kelompok Peminat Kesehatan Ibu dan Anak) adalah salah satu bentuk

upaya kesehatan berbasis masyarakat (UKBM) yang merupakan wadah dalam

meningkatkan pengetahuan untuk mengubah perilaku sehat, serta peningkatan status

gizi dan kesehatan ibu hamil yang dilaksanakan dengan memadukan kegiatan

penyuluhan dengan pemeriksaan ibu hamil dan janin, dan pemberian micronutrient

(tablet tambah darah) yang dilakukan secara terpadu di tingkat masyarakat. Pelayanan

pemeriksaan kehamilan inilah yang membedakan Pos KPKIA dengan kegiatan KPKIA

terdahulu dan Kelas Ibu Hamil, yang hanya memberikan penyuluhan.

Hasil pelaksanaan kegiatan Pos KPKIA di 4 desa di Kabupaten Sukabumi dan

Kabupaten Tangerang berdampak terhadap perilaku sehat ibu hamil yang meliputi

perilau berikut:

1. Cakupan pemeriksaan hamil kunjungan K-4 murni mencapai 97,1%,

2. Ibu hamil yang minum pil tambah darah sesuai anjuran (setiap hari) mencapai

88,7%,

3. Ibu hamil yang melahirkan ditolong tenaga kesehatan sebanyak 92,9%, dan yang

melahirkan di fasilitas kesehatan sebesar 82,1%,

Page 25: ringksneks-abstrak

4. Ibu melahirkan yang melakukan inisasi menyusu dini (IMD) mencapai 33,9% dan

bayi yang masih diberi ASI saja (ASI eksklusif) 60,7%.

Cakupan pemeriksaan ibu hamil K-4 murni yang tinggi eratkaitannya dengan adanya

pemeriksaan kandungan pada saat kegiatan Pos KPKIA yang dilaksanakan setiap 2

minggu sekali dan keberadaan bidan desa. Intensitas pertemuan atau kontak antara ibu

hamil dengan bidan yang tinggi menambah keyakinan ibu hamil untuk meminta

pertolongan bidan ketika melahirkan.

Pelaksanaan kegiatan Pos KPKIA belum berdampak terhadap perilaku untuk melakukan

pemeriksaan/kunjungan neonatus lengkap. Cakupan kunjungan neonates lengkap (KN-

Lengkap) masih sangat rendah, yaitu 14,3%. Rendahnya cakupan KN-Lengkap

disebabkan oleh dua alasan utama, yaitu: (1) merasa bayinya tidak sakit atau baik-baik

saja sehingga tidak perlu diperiksa oleh petugas kesehatan; dan (2) adanya tradisi atau

kebiasaan masyarakat yang melarang bayi baru lahir dibawa ‘keluar’ sebelum berumur

40 hari karena diyakini dapat berakibat kurang baik bagi bayi. Pelaksanaan kegiatan

Pos KPKIA juga belum banyak memberikan pengaruh terhadap pencegahan gangguan

gizi pada bayi. Bayi BBLR yang dilahirkan oleh ibu hamil yang mengikuti Pos KPKIA

masih relatif tinggi, yaitu 12,5% dan bayi yang mengalami gangguan gizi kurang

mencapai 14,3%.

Penyelenggaraan Pos KPKIA tetap perlu memadukan penyuluhan dengan pemeriksaan

ibu hamil oleh petugas kesehatan, untuk meningkatkan cakupan K-4 murni, persalinan

ditolong tenaga kesehatan dan di fasilitas kesehatan, mengatasi anemia pada ibu hamil,

serta meningkatkan inisiasi menyusu dini, dan pemberian ASI eksklusif. Ibu hamil

sasaran Pos KPKIA yang telah melahirkan harus tetap diberi penyuluhan dalam wadah

Pos KPKIA untuk ibu menyusui, guna meningkatkan kemampuan ibu menyusui dalam

merawat dan memberi makan bayi, serta mengatasi dan mencegah gangguan gizi dan

kesehatan pada bayi. Penyelenggaraan Pos KPKIA Ibu Menyusui perlu dipadukan

dengan pelayanan pemeriksaan neonatus dan ibu nifas, sebagai salah satu upaya untuk

meningkatkan cakupan kunjungan neonatus lengkap (KN-Lengkap) dan kunjungan ibu

nifas.

10. Kohort Tumbuh Kembang

Page 26: ringksneks-abstrak

Ketua Pelaksana : Dr.Ir.Anies Irawati, M.Kes

Latar Belakang

Anak sebagai harapan bangsa merupakan sebuah aset yang membutuhkan

pemantauan dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Dalam siklus daur kehidupan

tahapan prenatal, neonatus, periode bayi, pra sekolah, pra remaja, remaja sampai

dewasa dan lanjut usia, yang setiap tahapannya memerlukan perlakuan dan perhatian

yang berbeda1. Pertumbuhan dan perkembangan anak ditentukan oleh pertumbuhan

dan perkembangan pada umur sebelumnya, bahkan sejak dalam kandungan. Gangguan

pertumbuhan dan perkembangan yang terjadi selama kehamilan sampai anak umur

berumur 2 tahun, akan berlanjut pada umur selanjutnya (irreversible). Periode tersebut

merupakan periode window of opportunity yaitu kesempatan yang sangat singkat untuk

melakukan sesuatu yang menguntungkan. Kesempatan ini harus dimanfaatkan, sebab

bila terlewatkan berisiko pada kesehatan dikemudian hari, termasuk pertumbuhan dan

perkembangannya.

Beberapa penelitian yang dilakukan di beberapa lokasi yang berbeda menginformasikan

bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara pertumbuhan dan perkembangan.

Pertumbuhan dan perkembangan berlangsung secara simultan, sehingga gangguan

pertumbuhan pada anak akan diikuti oleh gangguan perkembangannya, dan

pertumbuhan dan perkembangan berlangsung secara berurutan.

Kondisi tersebut secara langsung berkaitan dengan penyakit dan konsumsi gizi, dan

faktor lain yang secara tidak langsung berkaitan adalah sanitasi lingkungan, pola asuh,

ketersediaan makanan, dan pelayanan kesehatan. Faktor tersebut tergantung pada

keberadaan dan kontrol sumberdaya keluarga (manusia, ekonomi dan organisasi) yang

dipengaruhi oleh potensi sumber daya. Secara makro sangat ditentukan oleh

pendidikan keluarga, politik, struktur ekonomi dan ideologi.

Untuk tercapainya tumbuh kembang yang optimal tergantung pada potensi biologinya.

Tingkat potensi biologi seorang anak merupakan hasil interaksi berbagai faktor yang

saling berkaitan yaitu genetik, lingkungan bio-fisiko-psiko-sosial, dan perilaku.

Fase pertumbuhan dan perkembangan anak dapat dikelompokkan dalam 6 (enam)

fase menurut kelompok umurnya yaitu fase janin (selama dalam kandungan), bayi (lahir

sampai umur 11 bulan), anak (12 – 35 bulan), anak pra sekolah (36 – 59 bulan), anak

usia sekolah (6 – 12 tahun) dan anak usia remaja ( 13 – 18 tahun).

Permasalahan

Page 27: ringksneks-abstrak

Data Riskesdas 2010 menginformasikan prevalensi anak balita gizi kurang buruk

sebanyak 17,9 % anak balita gizi kurang, dan sekitar 35,6 % anak pendek dan 14 %

anak dengan status gizi gemuk4. Kondisi ini menggambarkan adanya gangguan

pertumbuhan sejak lahir, bahkan kemungkinan sejak dalam kandungan.

Konsekuensinya perkembangan anak juga kemungkina terganggu termasuk

kecerdasannya. Anak yang pernah mengalami gangguan pertumbuhan mengalami

penurunan tingkat kecerdasan, dan hasil penelitian di Indonesia menginformasikan anak

yang pernah mengalami gizi buruk mengalami penurunan IQ sebesar 13 poin , serta

perkembangannya terhambat.

Konsekuensi masalah pertumbuhan terhadap perkembangan anak, yang pada

gilirannya mempengaruhi kualitas sumber daya manusia, khususnya anak di Indonesia.

Untuk itu studi kohor prospektif pertumbuhan perkembangan anak sejak janin sampai

umur 18 tahun perlu dilakukan, agar masalah gangguan multifaktor khusus untuk anak

Indonesia tersebut dapat diketahui. Penelitian difokuskan menurut fase pertumbuhan

dan perkembangan anak, yaitu fase janin (selama kehamilan) , bayi (lahir sampai umur

11 bulan), anak (12 – 35 bulan), anak pra sekolah (36 – 59 bulan), anak usia sekolah (6

– 12 tahun) dan anak usia remaja (13– 8 tahun). Faktor yang yang mempengaruhi

pertumbuhan dan perkembangan anak setiap fase tersebut berbeda-beda, sesuai

tahapan umurnya.

Outcome pertumbuhan perkembangan dan pajanan utama yang dipelajari disesuaikan

dengan umur anak. Pertumbuhan perkembangan anak pada setiap tahapan umur

berbeda, dan memerlukan instrumen yang berbeda pula; Untuk itu perlu dilakukan

persiapan studi kohor prospektif tumbuh kembang anak sejak dalam kandungan

sampai anak berumur 18 tahun. Pada tahap ini dipelajari pajanan utama dan outcome

dari masing-masing fase tersebut.

Tujuan Umum: Secara umum tujuan penelitian tahap pertama (tahun 2011) menyusun

protokol lengkap enam fase pertumbuhan dan perkembangan anak, instrumen, uji coba

dan sosialisasi di Kohor Tumbuh Kembang Anak.

Tujuan khusus: 1. Mengembangkan protokol kohor tumbuh kembang anak pada sejak

fase janin, lahir sampai anak umur 23 bulan, 24 – 59 bulan, 6 – 12 tahun dan 13 – 18

tahun. 2. Melakukan pengembangan kuesioner kohor tumbuh kembang anak. 3.

Melakukan pengembangan pedoman pengisian kuesioner kohor tumbuh kembang anak.

4. Melakukan kelayakan instrumen yang dilakukan melalui uji coba kohor tumbuh

kembang anak. 5. Melakukan kelayakan menejemen pengumpulan data yang dilakukan

Page 28: ringksneks-abstrak

melalui uji coba kohor tumbuh kembang. 6. Melakukan pengembangan program entri

yang dilakukan melalui uji coba kohor tumbuh kembang. 7. Melakukan sosialisasi kohor

tumbuh kembang anak. 8. Melakukan analisis situasi daerah/lokasi studi data kohor

tumbuh kembang.

Manfaat

Pada tahap persiapan ini protokol dan instrumen yang telah di uji cobakan ini akan

digunakan pada pengumpulan data kohor tumbuh kembang anak sejak dalam

kandungan sampai umur 18 (delapan belas) tahun. Sosialiasai dan persiapan lokasi

lapang untuk kelancaran pengumpulan data.

Bahan dan Metode:

Pada tahap ini lingkup penelitian adalah pengembangan protokol (termasuk kuesioner

dan pedoman), uji coba, sosialisasi dan persiapan penelitian kohor pertumbuhan

perkembangan janin tahun 2012. Mekanisme kerja: tahapan kegiatan adalah

penyusunan protokol tumbuh kembang anak, 2. penyusunan kuesioner, 3. penyusunan

pedoman pengisian kuesioner, dan 4. penyusunan pedoman pengorganisasian. 5.

pelatihan tenaga pemgumpul data, dan 6. uji coba kuesioner.; 7. Pembuatan program

entri, 8. editing dan entri data uji coba, dan 9. Sosialisasi studi kohor tumbuh kembang

anak. Pengumpulan data dasar rumah tangga dan ibu pra hamil dilakukan di satu RW

yang ada di Kelurahan Kebon Kelapa.

Semua kegiatan (kecuali uji coba instrumen) dilakukan melalui pertemuan secara

berkala yang terdiri dari peneliti litbangkes, peneliti ad hoc, dan pakar terkait. Uji coba

Analisis data dilakukan secara kualitatif terhadap alur pertanyaan dan fisibilitasnya. Data

dasar dianalisis secara diskriptif untuk mengetahui gambaran status sosial ekonomi dan

lingkungan rumah tangga, serta status gizi dan kesehatan ibu pra hamil.

Hasil:

Ada 5 (lima) hasil penelitian meliputi: 1. Protokol penelitian kohor tumbuh kembang

anak, dengan tujuan menilai pengaruh pola makan ibu dan anak terhadap pertumbuhan

dan perkembangan anak; 2. Kuesioner dan pedoman pengisian kuesioner meliputi: a.

Rumah Tangga (identitas, status sosek, sanitasi, perilaku merokok anggota rumah

tangga, dan pengeluaran rumah tangga); b. Individu, yang terdiri dari kuesioner individu

untuk ibu pra hamil umur 15 – 35 tahun, ibu hamil (semua umur dan trimester

kehamilan), bayi sejak lahir sampai 11 bulan, anak umur 12 – 23 bulan, anak umur 24 –

59 bulan, anak umur 5 – 12 tahun dan anak umur 13 – 18 tahun. Data yang

Page 29: ringksneks-abstrak

dikumpulkan untuk masing-masing kelompok umur adalah: data individu (pola makan,

pola asuh makan, pola asuh psikososial-Home Inventory ), data morbiditas, data

antropometri, konsumsi (recall 24 jam dan frekuensi makan), dan aktifitas.

Perkembangan anak diukur menggunakan instrumen dan observasi, yaitu untuk anak

balita menggunakan Mental Development Index dan Psikomotor Development Index di

ukur dengan Bayley test; dan untuk anak umur 5 – 18 tahun menggunakan konsentrasi

belajar, prestasi belajar dan perkembangan sosial. 3. Uji coba kuesioner dilakukan

pada 50 Ruta dan anggota Ruta (dengan umur sesuai kuesioner). Uji coba dilakukan

untuk menilai kelayakan dan alur kuesioner, serta waktu yang dibutuhkan untuk

pengumpulan data. Pada tahap uji coba tidak dilakukan pengumpulan data biomedis.

Pengumpulan data ibu dan bayi memerlukan waktu lebih dari 3 jam, oleh sebab itu

pengumpulan data ibu dan bayi harus dilakukan pada hari yang berbeda (tidak satu

waktu kunjungan); 4. Pedoman pengorganisasian mencakup organisasi kohor tumbuh

kembang dan organisasi di lapangan; 5. Software program entry dikembangkan sesuai

kuesioner yang telah disusun. Kuesioner uji coba yang telah terisi di uji coba di program

entry; 6. Sosialisasi dibuka oleh Ka Pusat teknologi Intervensi Kesehatan Masyarakat-

Litbangkes, dan dihadiri 2 orang dari Dinas Kesehatan Kota Bogor, 4 orang dari 6 orang

kepala Puskesmas di lingkungan kecamatan Bogor Tengah, 11 kepala kelurahan, dan

para peneliti litbangkes. 7. Persiapan laboratorium, uji coba pemeriksaan spesimen

biomedis, kontaminan makanan dan pengadaan alat ukur belum dilakukan sebab ada

kendala waktu dan biaya. 8. Data dasar rumah tangga pada 359 ruta menunjukkan

bahwa status sosial ekonomi rumah tangga bervariasi dari tingkat rendah sampai tinggi,

dan sebagian besar dengan status sosial menengah, dengan pendidikan kepala

keluarga terbanyak tamat SLTA. Sebanyak 89 % ruta memiliki rumah sendiri atau rumah

orang tua/keluarga. Kondisi fisik rumah sebagian besar ruta baik (dinding tembok, atap

genteng, lantai keramik/tegel, dan MCK milik sendiri serta kualitas air baik ), namun

masih ada 5 % ruta yang menggunakan air dengan kualitas kurang baik. Hasil diskusi

dengan pakar menyatakan bahwa data rumah tangga saja tidak cukup memberi

informasi faktor risiko tumbuh kembang anak, sehingga perlu dilakukan pengumpulan

data dasar seluruh anggota ruta, terutama data faktor risiko tumbuh kembang dan

penyakit tidak menular (hipertensi dan diabetes melitus). Ini disebabkan anak yang

mengalami gangguan tumbuh kembang berisiko menderita penyakit tidak menular.

Data dasar ibu pra hamil (123 ibu umur 15 – 35 tahun) yang ada di 359 ruta tersebut

mempunyai rerata umur ibu adalah 28,7 tahun. Sekitar 20 % ibu pra hamil dengan berat

Page 30: ringksneks-abstrak

badan lebih dari 45 kg, yang berarti bila ibu hamil akan berisiko melahirkan bayi dengan

berat lahir rendah bila selama kehamilan pertambahan berat badan ibu tidak mencapai

lebih dari 12 kg. Sebanyak 8 % ibu bila hamil berisiko melahirkan bayi dengan berat lahir

rendah dan atau pendek sebab tinggi badan ibu < 145 cm. Ibu pra hamil yang berisiko

kurang energi kronis (KEK) sebanyak 17 %, dan yang kurus sebanyak 11,4 %. Ini

menunjukkan bahwa sekitar 10 - 20 % ibu bila hamil berarti memulai kehamilan dengan

kondisi berisiko terhadap ‘outcome’ kehamilan.

Kesimpulan dan Saran

Persiapan penelitian kohor tumbuh kembang anak telah selesai dilakukan, kecuali

persiapan alat dan laboratorium (kendala dana). Untuk itu kegiatan penelitian dapat

dilakukan pada tahun 2012, namun dipersiapkan lebih dini pengadaan alat ukur dan

persiapan pemeriksaan spesimen biomedis. Pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan

bersamaan dengan pemeriksaan status kesehatan yang dilakukan di fasilitas pelayanan

kesehatan (Puskesmas Bogor Tengah).

Pengumpulan data ibu dan anak harus dilakukan pada waktu kunjungan yang berbeda,

sebab pengumpulan data anak memerlukan waktu yang lebih lama.

11. Kohort Penyakit Tidak Menular

Ketua Pelaksana : Dr. Ekowati Rahajeng, SKM, M.Kes

Penyakit tidak menular (PTM) utama (kardiovaskular, diabetes melitus, strok, kanker,

penyakit paru obstruktif kronik/PPOK) di banyak negara, terutama di negara

berkembang telah mengalami peningkatan kejadian dengan cepat yang berdampak pula

pada peningkatan angka kematian dan kecacatan. WHO memperkirakan bahwa pada

tahun 2020 PTM akan menyebabkan 73% kematian dan 60% dari seluruh kesakitan di

dunia. Di Indonesia prevalensi penyakit tersebut juga meningkat. Pada tahun 2001,

SKRT (Survei Kesehatan Rumah Tangga) mendapatkan prevalensi penyakit jantung

3‰, strok 3 ‰, dan diabetes melitus 1,2% (WHO/SEARO, 2005 dan Darmojo, 2000).

Pada Riskesdas di tahun 2007 didapatkan prevalensi penyakit jantung 7,2%, strok 8 ‰,

dan diabetes melitus di daerah perkotaan 5,7%. Demikian halnya dengan angka

kematian akibat PTM. Kematian yang disebabkan penyakit kardiovaskular mempunyai

proporsi tertinggi yaitu sebesar 19,8% pada tahun 1980, meningkat menjadi 26,3% pada

tahun 2004. Riskesdas tahun 2007 mendapatkan penyebab kematian untuk usia di atas

5 tahun, baik di perkotaan maupun di perdesaan yang terbanyak disebabkan strok.

Page 31: ringksneks-abstrak

Faktor risiko yang berperan menimbulkan penyakit PTM (jantung, diabetes melitus,

kanker, PPOK, dan strok) terdiri dari faktor risiko yang tak dapat/sulit diubah (umur, jenis

kelamin dan faktor genetik), faktor risiko perilaku yang dapat diubah (diet yang salah,

merokok, konsumsi alkohol, kurang aktivitas fisik), dan faktor risiko biologis/fisik yang

dikenal dengan sindrom metabolik (hiperkolesterolemia, hiperglikemia, hipertensi, dan

obesitas). Sindroma metabolik adalah suatu faktor risiko multipel untuk penyakit

kardioserebrovaskular, dan sindrom ini berkembang melalui interaksi antara obesitas

dan kerentanan metabolik.

PTM utama umumnya bersifat kronis, membutuhkan biaya pengobatan besar, dan dapat

menimbulkan cacat/disabilitas yang mengakibatkan penurunan produktifitas kerja.

Penyakit tersebut pada dasarnya dapat dicegah dengan pengendalian secara efektif

terhadap faktor risikonya. Metode pengendalian faktor risiko PTM yang efektif,

memerlukan informasi riwayat alamiah masing-masing penyakit termasuk bagaimana

kecepatan perubahan faktor risiko menjadi PTM utama. Meskipun sebagian besar faktor

risiko PTM utama telah diketahui faktor risikonya, namun beberapa faktor seperti

genomik faktor, dosis dan intensitas faktor risiko, prediktor utama PTM, serta kecepatan

perubahan faktor risiko terhadap PTM utama bagi masyarakat Indonesia belum banyak

diketahui. Prediktor utama PTM, dan lamanya perubahan faktor risiko menjadi PTM

diperkirakan sangat bervariasi, tergantung jenis PTM, jenis dan jumlah faktor risiko baik

genetik, perilaku maupun lingkungan, lamanya keterpaparan faktor risiko, dan

derajat/dosis/kadar/frekuensi faktor risiko PTM pada seseorang. Hal tersebut hanya

dapat diketahui dengan pasti melalui penelitian etiologi yang perlu dilakukan secara

longitudinal dengan desain studi kohor. Dengan tersedianya data longitudinal dari faktor

risiko yang dipantau secara prospektif dalam mengamati kejadian PTM utama dapat

dikembangkan berbagai studi intervensi lebih khusus untuk mendapatkan berbagai

model upaya pengendalian PTM secara efektif, baik pencegahan maupun

pengobatannya.

Tujuan umum penelitian ini adalah penelitian secara prospektif dan longitudinal terhadap

(faktor perilaku, biomedis, genomik) untuk mendapatkan informasi insidens sindrom

metabolik dan PTM utama (penyakit jantung, diabetes melitus, strok, kanker payudara,

kanker serviks, kanker kolon, kanker paru, PPOK), dan riwayat alamiah penyakit.

Adapun tujuan khusus meliputi mengukur insidens PTM utama dan sindrom metabolik,

mengidentifikasi etiologi dan prediktor sindrom metabolik dan PTM utama, mengukur

kecepatan perkembangan faktor risiko menjadi PTM utama, mengukur standar

Page 32: ringksneks-abstrak

(dosis/kadar/indeks/frekuesi) faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian PTM

utama dan mengidentifikasi model prediksi kejadian sindrom metabolik dan PTM Utama

di Indonesia.

Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini antara lain untuk mendapatka informasi

insidens dan kecepatan terjadinya sindrom metabolik, jantung koroner, diabetes melitus,

kanker, PPOK dan strok merupakan evidenve based penting yang diperlukan bagi

pelaksana program dalam rangka penyusunan rencana dan penentuan prioritas

program pengendalian faktor risiko PTM. Informasi prediktor utama PTM utama, dan

risiko relatif faktor bermanfaat untuk pengembangan model pencegahan dan

pengendalian PTM, serta pengobatannya secara efektif. Informasi prediktor PTM utama

dan sindrom metabolik serta kecepatan perubahan faktor risiko menjadi PTM

merupakan tambahan ilmu pengetahuan bagi ilmuwan untuk melakukan penelitian

etiologi lebih lanjut. Data dan laporan longitudinal dari studi ini dapat menggambarkan

riwayat alamiah penyakit. Hal ini merupakan sumber data yang berpotensi untuk

dianalisis lebih lanjut. Bagi masyarakat khususnya responden, penelitian ini akan

memberikan informasi faktor risiko dan PTM yang diderita. Dengan demikian masalah

kesehatan yang diderita dapat diketahui lebih dini, dan masyarakat dapat segera

menanggulanginya untuk mengurangi komplikasi lebih lanjut.

Pada penelitian ini dilakukan kohor terhadap faktor risiko PTM termasuk faktor risiko

perilaku dan sindrom metabolik dalam waktu minimal 10 tahun. Tahun 2011 dilakukan

survey baseline data faktor risiko PTM utama, selanjutnya penelitian ini akan mengikuti

(follow-up) setiap individu yang diteliti untuk mengetahui perubahan faktor risiko dan

kejadian PTM utama. Pengumpulan data dilakukan secara prospektif, dengan follow up

secara periodik setiap bulan/beberapa bulan untuk memantau faktor risiko perilaku dan

fisik, dan setiap tahun/beberapa tahun untuk memantau faktor risiko biologik dan

kejadian PTM. Penelitian ini membandingkan kecepatan perubahan faktor risiko menjadi

PTM dari kelompok individu yang memiliki faktor risiko PTM seperti diet tidak sehat

(kurang serat, tinggi garam, tinggi lemak), konsumsi alkohol, kurang aktivitas fisik,

merokok, sindrom metabolik (hipertensi, hiperglikemia/TGT, dislipidemia, obesitas) dan

kombinasinya, dengan kecepatan perubahan faktor risiko menjadi PTM pada kelompok

individu yang tidak mempunyai faktor risiko tersebut.

Page 33: ringksneks-abstrak

Penelitian ini merupakan studi observasional dengan desain studi kohor prospektif (multi

kohor) terhadap individu yang tidak menderita PTM tertentu (Diabetes, Strok, Kanker,

Jantung, PPOK). Observasi dikelompokkan menurut keberadaan faktor risiko perilaku

PTM untuk memantau kejadian sindrom metabolik, dan menurut keberadaan faktor

sindrom metabolik untuk memantau kejadian PTM. Sebagai pajanan utama penelitian ini

adalah faktor risiko perilaku (merokok, kurang konsumsi sayur-buah/serat, konsumsi

lemak tinggi dan tinggi garam, konsumsi alkohol, kurang aktifitas), faktor risiko fisik

(kegemukan, obesitas abdominal), faktor risiko biomedis (hipertensi, hiperkolesterol,

hiperglikemia), faktor genomik dan penyakit antara (sindrom metabolik). Hasil jadi

penelitian ini tediri dari beberapa kejadian yaitu sindrom metabolik, dan kejadian PTM

utama (DM Tipe 2, penyakit jantung koroner, kanker (payudara, serviks, paru), PPOK

dan strok). Responden yang terdiagnosis menderita PTM utama tidak diikutkan lagi

untuk gambaran faktor risiko tahap berikutnya, kecuali untuk status penyakit dan

kematian setelah periode beberapa tahun untuk mengetahui penyebab kematian

penderita PTM apabila meninggal .

Hasil jadi sindrom metabolik ditetapkan berdasarkan keberadaan 4 faktor yaitu

dislipidemia, hiperglikemi, hipertensi, dan obesitas. Diabetes ditetapkan berdasarkan

hasil wawancara gejala klinis dan pemeriksaan glukosa darah. Hasil jadi PJK non fatal

ditetapkan jika hasil wawancara menunjukkan responden mempunyai gejala klinis

serangan jantung iskemi dan pernah didiagnosis dokter/dirawat menderita penyakit

jantung iskemik dan/atau hasil pemeriksaan EKG waktu istirahat atau aktifitas/stress

menunjukkan kelainan jantung iskemik/infark berdasarkan kode Minesota MC-1, MC-4,

MC-5, MC-9.2 atau sesuai dengan kode Nova (NC) 5.1 – 5.8 yang menunjukkan

gelombang Q yang diagnostik dengan atau tanpa abnormalitas ST-T. Hasil jadi strok

ditetapkan berdasarkan hasil wawancara gejala klinis dan pemeriksaan neurologi.

Gejala-gejala klinis tersebut antara lain hemiparese/plegi, hemihipestesi, amaurosis

fugaks, afasi, hemianopia, kelumpuhan saraf otak, hemiparese alternans, ataksia,

vertigo, hemianopia yang timbul mendadak tanpa sebab yang berlangsung selama 24

jam atau lebih. Penyakit Kanker yang akan diteliti pada tahun 2011 dibatasi 3 lokasi

yaitu payudara, serviks, dan paru. Hasil jadi kanker serviks ditetapkan jika responden

pernah didiagnosis dokter menderita kanker atau dirawat karena kanker serviks dan

menunjukkan adanya invasi karsinoma yang dibuktikan dengan pemeriksaan patologi

anatomi (histopatologi), dan/atau adanya lesi pra kanker serviks pada responden

mempunyai hasil pemeriksaan IVA positif. Hasil jadi kanker payudara ditetapkan jika

Page 34: ringksneks-abstrak

hasil wawancara menunjukkan responden pernah didiagnosis kanker payudara/dirawat

karena kanker payudara yang dibuktikan dengan hasil pemeriksaan patologi anatomi,

atau responden yang mempunyai hasil pemeriksaan klinis payudara positif dan

mempunyai hasil pemeriksaan mamografi atau USG positif serta dilanjutkan

pemeriksaan patologi anatomi positif. Hasil jadi kanker paru ditetapkan jika hasil

wawancara menunjukkan responden pernah didiagnosis kanker paru/dirawat karena

kanker paru yang dibuktikan dengan hasil pemeriksaan patologi anatomi, atau

responden yang mempunyai hasil foto toraks positif dan hasil pemeriksaan bronkoskopi/

Trans Thoracal Needle Aspiration dengan hasil konfirmasi pemeriksaan patologi

anatomi positif. Hasil jadi penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK), ditetapkan jika hasil

wawancara menunjukkan adanya sesak napas kronis yang progresif, dan adanya

riwayat pajanan rokok/asap/gas berbahaya pada responden di atas usia 40 tahun,

dan/atau hasil pemeriksaan spirometri menunjukkan obstruksi VEP 1 kurang dari 80%

nilai prediksi, dan VEP 1 / KVP kurang dari 70% setelah bronco dilator pada kadar stabil

dengan salbutamol 400 mikro inhalasi, dan hasil uji bronkodilator terdapat kenaikan

volume VEP 1 kurang 12% dari 200 ml.

Populasi pada studi kohor faktor risiko PTM adalah seluruh penduduk dewasa (25 - 65

tahun), yang mempunyai kartu tanda penduduk (KTP) dan mempunyai tempat tinggal

tetap (rumah tinggal milik KK/sendiri) di kelurahan Kebon Kalapa, kecamatan Bogor

Tengah Kota Bogor. Tahun 2011 merupakan survey untuk baseline data. Sampel adalah

seluruh anggota rumah tangga dewasa pada Ruta yang memenuhi kriteria inklusi dan

eksklusi merupakan unit observasi/ pengamatan/sampel dalam rumah tangga, pada

survei data dasar studi kohor PTM. Jumlah sampel yang dikumpulkan sebanyak 1300

Ruta yang terdiri dari 2000 responden. Adapun data yang mempunyai hasil pemeriksaan

lengkap dan bisa dianalisis sekitar 1919 responden.

Pengumpulan data faktor risiko untuk monitoring (follow up) dilakukan melalui kegiatan

surveilens faktor risiko PTM yang akan dilakukan setiap tahun, mulai tahun 2011.

Pengumpulan data pada kegiatan surveilens dilakukan dengan menggunakan kuesioner

dan metode Steps Approach WHO (Pendekatan Steps). Pengumpulan data dalam

dibagi dalam 3 langkah : Step 1 yaitu pengumpulan data faktor demografi dan faktor

risiko perilaku (merokok, aktifitas fisik, diet) secara komprensif melalui wawancara

kesehatan. Step 2 meliputi pengumpulan data faktor risiko obesitas, hipertensi dan

aktifitas fisik melalui pengukuran fisik (antropometri dan tekanan darah) dan Step 3 yaitu

Page 35: ringksneks-abstrak

pengumpulan data fisiologis, biologis dan biomedis melalui pemeriksaan laboratorium.

Pemeriksaan ini meliputi glukosa (puasa dan pembebanan glukosa 75 gram) dan profil

lipid (kolesterol total , trigliserida, LDL dan HDL.), rekam janrung dengan

elektrokardiografi (EKG), fungsi paru dengan spirometri, pemeriksaan klinis serviks

dengan metode IVA (Inpeksi Visual Asam Asetat, pemeriksaan klinis payudara dengan

Clinical Breast Examination (CBE) dan USG serta foto toraks. Pengumpulan data

stres/gangguan mental emosional dilakukan dengan menggunakan kuesioner Self

Reporting Questionaire (SRQ) yang dikembangkan WHO untuk mengidentifikasi

masalah mental emosional.

Teknis pengumpulan data wawancara dengan kunjungan rumah dan pemeriksaan fisik

dan laboratorium dilakukan di fasilitas kesehatan (laboratorium terpadu Pusat Teknologi

Terapan dan Epidemiologi Klinis Balitbangkes Kemenkes RI). Petugas pemerksan

masing-masng penyakit dilakukan oelh petugas yang terlatih dan didampingi oleh

supervisor dari pakar masing-masing penyakit. Wawancara gizi dilakukan dengan

metode recall 24 jam dan pola kebiasaan makan dengan metode FFQ (Food Frequency

Questionairre). Data terdiri dari 3 jenis yaitu data tentang kesehatan masyarakat

(kesmas) Rumah Tangga (Ruta) dan Individu, data gizi (recall dan FFQ) dan data hasil

pemeriksaan fisik dan laboratorium. Ketiga jenis data dilakukan penggabungan (merger)

oleh tim manajemen data dengan menggunakan ID dan nomor NIK (Nomor Induk

Kependudukan). Data untuk baseline data dianalisis secara deskriptif dalam bentuk

tabulasi silang.

Hasil menunjukkan bahwa responden studi kohor faktor risiko PTM lebih banyak

perempuan (56,9%), usia produktif sekitar umur ≥35-44 tahun (28%), status menikah

(82,7%), tingkat pendidikan tamat SLTP dan SLTA (58,2%) dan bekerja sebagai Pekerja

Rumah Tangga (28%), memiliki asuransi kesehatan sekitar 36,9%. Responden memiliki

perilaku berisiko terhadap PTM antara lain merokok 31,3%, konsumsi minuman

beralkohol 13,9%, kurang aktifitas fisik 73,6%, gangguan emosional (stres) sekitar

28,6% dan pola konsumsi seperti beras >2x per hari (65%), konsumsi mie 2-4x/minggu

32,7%, sering makan ikan asin (11%), tahu tempe (62,3%), sayur (51,8%) dan buah-

buahan (62,8%). Penyakit tidak menular (PTM) menurut diagnosis tenaga kesehatan

ditemukan bahwa PJK sebesar 3,2%, hipertensi 16,9%, dan DM 3,2%. Sedang

responden yang terdiagnosis kanker/tumor payudara sekitar 0,3%, kanker serviks 0,2%,

PPOK 5,5% dan penyakit strok 1,8%.

Page 36: ringksneks-abstrak

Sindrom metabolik yang ditemukan dari pemeriksaan darah yaitu kadar kolesterol total

tinggi 42,9%, kolesterol LDL tinggi 80,5%, kolesterol HDL berisiko 55%, trigliserida tinggi

18,9%, hipertensi 31,2%, obesitas 42,5% dan obesitas sentral 50,6%. Penyakit tidak

menular (PTM) menurut hasil pemeriksaan kesehatan ditemukan PJK sebesar 12,2%

dan proporsi kelainan gambaran EKG sebesar 44,1%. Responden dengan TGT

(toleransi glukosa terganggu) 16,9% dan DM 9,2%. Penderita kanker/tumor payudara

berdasarkan pemeriksaan dengan metoda Clinical Breast Examination (CBE) sebesar

5,3%. Dari 574 responden yang diperiksa, diperoleh penderita kanker serviks 1 orang

(0,17%) dan IVA positif 24 orang (4,2%). Kasus PPOK berdasarkan pemeriksaan

spirometri sebesar 8,5%. Pemeriksaan foto toraks sebagai penunjang diagnosa

menunjukkan gambaran kardiomegali sebesar 9,7% dan jantung pendulum sebesar

0,4%. Suspek kanker paru dari hasil pemeriksaan foto rontgen sekitar 1,5%. Prevalensi

penyakit strok 2,6%.

Proporsi PJK meningkat seiring dengan peningkatan kelompok umur dan menurun

seiring dengan peningkatan tingkat pendidikan dan status sosial ekonomi. Proporsi PJK

tertinggi pada suku ayah Betawi, status perkawinan cerai hidup/mati, mempunyai

gangguan mental emosional, menggunakan minyak sawit kamasan, menggunakan

minyak berulang 3 kali atau lebih, mantan perokok, mempunyai orang tua dengan

riwayat PJK pada usia muda, obesitas umum maupun sentral, diabetes mellitus, kadar

kolesterol serum total, LDL, trigliserida, dan kreatinin tinggi.

Dari studi kohor faktor risiko penyakit tidak menular ditemukan 9,2% responden dengan

DM. Tingginya angka TGT yang hampir dua kali persentase DM sehingga perlu

mendapat perhatian khusus karena 1/3 kasus TGT dalam waktu 3-5 tahun akan

berkembang menjadi DM. Dalam terapi DM sebagian besar memilih mengatur pola

makan dan mengkonsumsi obat oral. Untuk pencegahan DM masih sedikit yang

melakukan pengaturan makan dan olahraga. Sebagian besar mempunyai riwayat dalam

keluarga yang menyandang DM. Faktor risiko seperti kebiasaan merokok dan profil lipid

menunjukkan kecendrungan tinggi pada responden dengan DM.

Secara umum proporsi suspek kanker paru dari hasil pemeriksaan foto rontgen adalah

sebesar 1,5%, dengan proporsi sedikit lebih tinggi pada laki-laki (1,9%) dibandingkan

perempuan (1,1%). Beberapa faktor social demografi yang menunjukkan proporsi

suspek kanker paru yang lebih tinggi dari proporsi secara keseluruhan adalah status

Page 37: ringksneks-abstrak

kawin, suku asal ayah, belum kawin dan suku asal ayah dari suku Betawi. Sementara

faktor perilaku berisiko yang erat kaitannya dengan proporsi suspek kanker paru adalah

kebiasaan merokok, mantan perokok dan menghisap rokok putih.

Berkaitan dengan gejala atau keluhan kanker paru, semua kelompok suspek kanker

paru mempunyai proporsi yang lebih tinggi pada kelompok dengan gejala atau keluhan

batuk lama, nyeri dada, sesak nafas, sulit menelan, suara serak atau parau, penurunan

berat badan, sering tesedak, batuk darah, dan bengkak di leher, terpapar asap di rumah

dan asap pembakaran dan asbes.

Menurut gejala batuk dan berdahak sebesar 9,7%, sesak napas (19,8%). Mayoritas

skala sesak napas 0 dan 1. Faktor risiko merokok (53,4%), mantan perokok (25,9%),

dan perokok pasif (61,7%). Jenis rokok terbanyak kretek dan rokok putih sebesar +50%.

Polutan di rumah terbanyak asap kompor (20,6%), polutan di luar rumah terbanyak asap

motor (63,5%), polutan di tempat kerja terbanyak asap mesin (43,6%) dan debu di

tempat kerja (69,7%)

Kasus PPOK berdasarkan pemeriksaan spirometri sebesar 8,6%, kebanyakan laki-laki

dengan kelompok umur terbanyak 50-60 tahun. Skala sesak napas terbanyak 3 dan 4.

Mayoritas merokok, polutan terbanyak debu di tempat kerja dan bahan kimia. PPOK

yang terdiagnosis Nakes, berdasarkan data demografi responden terbanyak perempuan

(58,2%), kelompok umur tertinggi 40-50 tahun sebesar 52,54%. Pendidikan mayoritas

rendah dan menengah. Pekerjaan terbanyak ibu rumah tangga. Penghasilan berimbang

antara kuintil I, III, dan V. Kepemilikan asuransi sebesar 37,9% dan jenis asuransi

terbanyak askeskin (14%). Menurut gejala batuk dan berdahak sebesar <10%, sesak

napas (19,8%). Mayoritas skala sesak napas 0 dan 1. Faktor risiko merokok (55,7%),

dan perokok pasif (37%). Jenis rokok terbanyak kretek dan rokok putih sebesar +50%.

Polutan di rumah terbanyak asap kompor (21,7%), polutan di luar rumah terbanyak asap

motor (61 %), polutan di tempat kerja terbanyak asap mesin (43,6%) dan debu di tempat

kerja (69,7%). Sedangkan hasil diagnosa nakes dari wawancara sebesar 5%.

Pada penelitian ini ditemukan penyakit strok 1,9%, mengalami migrain 16,9%, dengan

16,1% mempunyai riwayat keluarga. Gejala yang berhubungan dengan penyakit saraf

terbanyak adalah gangguan keseimbangan, kesemutan, pandangan ganda, kelemahan

tubuh sesisi. Rerata usia strok 49,55±7,74 tahun, dan kejadian strok lebih banyak pada

pendidikan rendah, status ekonomi tidak miskin dan pekerjaan buruh pabrik. Faktor

Page 38: ringksneks-abstrak

risiko strok pada penelitian ini yang terutama adalah hipertensi, diabetes mellitus,

hiperlipidemia, riwayat keluarga sakit jantung.

Kesimpulan dari penelitian antara lain bahwa penyakit tidak menular (PTM) menurut

diagnosis tenaga kesehatan ditemukan PJK sebesar 3,2%, hipertensi 16,9%, dan DM

3,2%. Sedangkan responden yang terdiagnosis kanker/tumor payudara sekitar 0,3%,

kanker serviks 0,2%, PPOK 5,5% dan penyakit strok 1,8%.

Sindrom metabolik yang ditemukan dari pemeriksaan darah yaitu kadar kolesterol total

tinggi 42,9%, kolesterol LDL tinggi 80,5%, kolesterol HDL berisiko 55%, trigliserida tinggi

18,9%, hipertensi 31,2%, obesitas 42,5% dan obesitas sentral 50,6%. Penyakit tidak

menular (PTM) menurut hasil pemeriksaan kesehatan ditemukan PJK sebesar 12,2%

dan proporsi kelainan gambaran EKG sebesar 44,1%. Responden dengan TGT

(toleransi glukosa terganggu) 16,9% dan DM 9,2%. Penderita kanker/tumor payudara

berdasarkan pemeriksaan dengan metoda Clinical Breast Examination (CBE) sebesar

5,3%. Dari 574 responden yang diperiksa, diperoleh penderita kanker serviks 1 orang

(0,17%) dan IVA positif 24 orang (4,2%). Kasus PPOK berdasarkan pemeriksaan

spirometri sebesar 8,5%. Pemeriksaan foto toraks sebagai penunjang diagnosa

menunjukkan gambaran kardiomegali sebesar 9,7% dan jantung pendulum sebesar

0,4%. Suspek kanker paru dari hasil pemeriksaan foto rontgen sekitar 1,5%. Penyakit

strok berdasarkan hasil pemeriksaan konfirmasi strok ditemukan sekitar 2,6%.

Responden yang mempunyai faktor risiko PTM perlu di follow up (dimonitoring) untuk

mengukur perubahan faktor risiko dan mengukur kecepatan munculnya PTM. Untuk

responden yang sudah terdiagnosis PTM perlu mendapatkan kemudahan rujukan dan

difasilitasi untuk mendapatkan tindakan pengobatan lanjut secara tuntas.

12. Studi Validasi Kematian Maternal Data Sensus Penduduk 2010

Ketua Pelaksana : Tin Afifah, SKM, MKM

(belum ada laporan)

13. Pengembangan Model Intervensi Kesehatan Reproduksi Remaja di 4 Kota Besar

Ketua Pelaksana : Drg. Ch. M. Kristanti, M.Sc

Penelitian Pengembangan Model Pelayanan Kesehatan Reproduksi Remaja di 4 Kota

tahun 2011 ini merupakan penelitian tahap 2 yang mengidentifikasi pelaksanaan

Page 39: ringksneks-abstrak

program PKPR oleh provider di masing-masing kota, dan kendala dalam pemberian

layanan tersebut; Disamping itu ditelusuri apakah pelayanan tersebut bisa diterima oleh

clientremaja, apakah sudah sesuai dengan kebutuhan/need remaja, dan apakah selama

ini sudah ada pelayanan kesehatan reproduksi dari kelompok sebaya yang terbentuk

secara informal maupun formal, dan bentuk pelayanan yang bagaimana yang mereka

butuhkan.

Hasil penelitian merupakan masukan untuk PKPR (Program Kesehatan Peduli Remaja)

dan program kesehatan remaja lainnya baik di pusat maupun di daerah. Pengembangan

model intervensi pelayanan kesehatan reproduksi yang efektif diharapkan membantu

remaja meyiapkan masa depan yaitu melakukan fungsi reproduksi dan fungsi keluarga

secara berkualitas.

Disain penelitian cross sectional. Jenis penelitian kuantitatif dan kualitatif. Penelitian

kuantitatif dilakukan dengan 2 cara yaitu mengumpulkan data primer tentang pelayanan

yang diberikan oleh provider (pelaksana PKPR di puskesmas) dan melakukan lokakarya

1 dan 2 untuk mendapatkan informasi tentang layanan remaja yang sudah dilakukan

oleh berbagai institusi/lembaga yaitu BKKBN, masyarakat, remaja, komisi sekolah,

Lembaga Swadaya Masyarakat/LSM, dan lintas sector lainnya, dan mendapatkan

informasi tentang layanan remaja yang diharapkan oleh remaja bermasalah. Informasi

yang diperoleh dari 2 sumber yang berbeda yaitu provider dan remaja, menunjukkan

kesenjangan antara layanan yang tersedia dan layanan yang dibutuhkan. Penelitian

kualitatif dilakukan dengan cara indepth interview dengan remaja bermasalah untuk

menentukan need/pelayanan yang dibutuhkan remaja dan Fokus Grup Diskusi (FGD)

dengan kelompok remaja bermasalah di wilayah kerja puskesmas yang terpilih.

Hasil menunjukkan adanya masalah remaja biopsikososial. Informan remaja perempuan

menghadapi permasalahan yang beragam antara lain merokok, alkohol, narkoba

obat/suntik, Infeksi Menular Seksual (IMS), HIV/AIDS, KDRT, diperkosa, bermasalah

seksual pranikah yang membuat mengalami kehamilan dan salah satunya sampai

mencoba untuk melakukan aborsi, hamil pada usia muda yaitu 16 dan 17 tahun,

tersagkut dirumah border. Informan remaja laki-laki bermasalah merokok,

alkohol/mabuk, KDRT, stress/depresi, ingin bunuh diri, diusir dari rumah, narkoba,

metadon, seks pranikah, seks dengan waria, nodong/jambret/maling, trafficking,

Page 40: ringksneks-abstrak

membunuh, masuk penjara. Penyebab munculnya permasalahan tersebut stress melihat

ekonomi keluarga, pengaruh lingkungan, dikasih teman dan rasa solider dengan teman,

keluarga menggunakan narkoba/Bandar narkoba.

Menurut informan remaja, faktor yang mempengaruhi kenakalan remaja adalah kurang

perhatian orang tua, masalah ekonomi, dan perlakuan orang tua/pacar/suami

melakukan kekerasan (KDRT), patah hati, suka sama suka ataupun pemaksaan dalam

hubungan seks, dijual sama teman, diculik dan dijual, faktor lingkungan dan faktor

ekonomi yang tidak mendukung/orang tua tidak bekerja atau tidak mempunyai

pekerjaan tetap. Membandingkan hasil penelitian tahun 2011 dan 2009, menunjukkan

permasalahan remaja di sektor informal lebih besar dan luas dibandingkan

permasalahan remaja di sektor formal.

Puskesmas “Sering” merupakan puskesmas PKPR binaan nomorsatu di Kota Medan.

Kegiatan baru di sektor formal yaitu melalui program UKS melakukan kegiatan PKPR.

Padahal kasus/masalah banyak di sektor non-formal. Puskesmas PKPR “Sering” juga

belum mempunyai catatan mengenai remaja. Kerjasama lintas sector belum ada,

demikian pula kerja sama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) belum ada,

PKPR hanya terkait dengan dinas kesehatan. Padahal Pelayanan Kesehatan Peduli

Remaja (PKPR) sangat diharapkan, dan agar dapat mencapai hasil yang optimal kerja

sama lintas sector dan dengan LSM diperlukan agar dapat bersama-sama untuk

mengatasi kondisi remaja yang sudah kritis dan memerlukan pelayanan.

Puskesmas PKPR Bandung sudah melakukan kerjasama lintas program/sector:

BKKBN, Dinas Pendidikan Nasional, Dinas Sosial, Lembaga Swadaya Masyarakat:

IMPACT, MCR, JRI (Jaringan Relawan Indonesia)/ LSM Bahtera, kerja sama dengan

organisasi profesi. Masing-masing Puskesmas menentukan sendiri kerjasama lintas

program dan LSM nya. Jumlah fasilitator PKPR 4 orang, dan jumlah fasilitator yang

merupakan tenaga puskesmas 3 orang, fasilitator yang berasal dari masyarakat dan

konselor dalam/luar sekolah belum ada. Pengalaman negatif untuk kegiatan PKPR:

tidak semua sekolah mau menerima layanan dari puskesmas ini. Diperlukan pelatihan

secara periodik dan refreshing untuk petugas puskesmas. Hal ini berkaitan dengan jenis

pelayanan yang direncanakan oleh puskesmas PKPR yang meliputi konseling,

penyuluhan ke sekolah, pelatihan kesehatan remaja. Hambatan: tidak tersedia ruang

Page 41: ringksneks-abstrak

konseling khusus di puskesmas, model penyuluhan belum ditentukan, biaya masih

terbatas dan belum ada dana untuk penelitian remaja/survey. Saran: Perlu ada

peningkatan tenaga terlatih secara berkesinambungan.

Pelaksanaan PKPR Jakarta Pusat menyampaikan hambatan sebagai berikut: belum

adanya dukungan lintas sektor yang sangat berperan dalam keberhasilan pelaksanaan

program PKPR. Belum mempunyai dokter jiwa atau psikolog. Belum adanya ruangan

konsultasi tersendiri untuk remaja dengan gaya remaja. Belum tersedia buku-buku

kespro yang bermanfaat untuk remaja. Belum ada pelatihan refreshing bagi petugas

PKPR, belum ada pembinaan sekolah secara berkala dan berkesinambungan. Belum

ada tambahan biaya transportasi pasien dan snack pada saat pertemuan. Pengalaman

negatif pelaksana PKPR Jakarta Pusat: SDM sangat berkurang karena mutasi. Sasaran

kegiatan PKPR sampai saat ini baru terjalin dengan sekolah. Belum semua sekolah mau

melaksanakan PKPR. Tidak ada ruangan tersendiri, sehingga sulit melakukan

pelayanan (tidak konsen). Banyaknya pekerjaan sehingga kurang dapat focus pada

PKPR. Hambatan posyandu remaja: kurang terkoordinasi karena beberapa tenaga

perawat tidak peduli dengan remaja/kurang paham akan kebutuhan remaja. Kendala

biaya transport dikarenakan jadwal pelayanan diluar jam kerja. Belum didukungnya

secara penuh untuk pembiayaan narasumber/program tertentu sehingga jadi terhambat

dalam pengembangan pelayanan. Secara legal, dipegang oleh Dinas Kesehatan tetapi

belum menjadi prioritas program kesehatan bagi remaja.

Puskesmas PKPR Surabaya belum mempunyai ruang tersendiri untuk pelayanan

PKPR. Sudah ada kerjasama lintas sekor. Posyandu remaja diKota Surabaya telah

berjalan kurang lebih 1 tahun. Menggunakan tempat pelayanan dib alai RW yang

dikoordinir oleh tenaga psikolog dan perawat. Program meliputi diskusi kelompok topik

permasalahan remaja masa kini, penyuluhan, refreshing activity hingga outbond.

Pengetahuan dan pendapat/persepsi remaja dan harapan tentang PKPR. Pada

umumnya remaja bermasalah belum mengetahui tentang PKPR, juga belum pernah

menggunakan pelayanan PKPR. Menurut informan, begitu pentingnya pelayanan

kesehatan remaja, tanpa adanya pelayanan kesehatan remaja kita tidak bisa apa-apa

jika kita sakit. Subyek berpendapat selama ini remaja yang belum mengetahui tentang

pelayanan PKPR, cenderung menceritakan permasalahannya ke teman dekat.

Page 42: ringksneks-abstrak

Lembaga/institusi yang cocok untuk mengkoordinir pelayanan PKPR adalah Dinas

Kesehatan jika memang berkaitan dengan masalah-masalah kesehatan. Harapan

informan terhadap pelayanan PKPR yaitu bisa menjadi tempat untuk sharing tentang

mereka.

Pelayanan Kesehatan Reproduksi Remaja yang diharapkan informan remaja adalah ada

ruang untuk curhat, tempat pribadi, penyuluhan bagi keluarga muda, konsultasi tentang

masalah rumah tangga, waktu pelayanan sebaiknya malam hari karena lebih santai,

jangan banyak orang, gedung/ruangan yang khusus, nyaman yang dapat menarik minat

remaja, dimana remaja diharapkan dapat ikut berperan aktif bersosialisasi seperti

contohnya karang taruna, sehingga remaja yang tadinya bermasalah menjadi

memilikiteman untuk berbagi. Disamping itu, masa-masa remaja ini memang sangat

rawan untuk melakukan banyak kenakalan sehingga sangat diperlukan sekali bentuk

pelayanan kesehatan khusus untuk remaja itu sendiri.

Tempat yang paling cocok untuk pelayanan remaja adalah tempat yang strategis di luar

puskesmas. Alasan remaja tidak ke Puskesmas adalah mereka perlu tempat yang pasti

untuk bisa ketemu orang yang dapat sharing masalah mereka (istilah yang mereka

gunakan untuk berbagi masalah). Orang tersebut harus bisa menjaga rahasia, halus dan

lembut, tidak membentak. Petugas psikolog sangat diperlukan menurut informan karena

peranan psikolog penting untuk menangani permasalahan remaja. Tenaga yang

member pelayanan kepada remaja harus simpatik. Waktu pelayanan tidak terikat waktu

(fleksibel) artinya kapanpun remaja itu butuh bantuan, maka tempat/wadah tersebut siap

untuk membantunya.

Biaya menurut informan sebaiknya gratis/perlu subsidi jika memungkinkan, namun jika

pelayanan tersebut dapat memberikan rasa nyaman dan kepuasan, maka tidak masalah

jika harus membayar.

Saran untuk posyandu remaja: Posyandu remaja yang sudah ada di beberapa

Puskesmas di Dinas Kesehatan Kota Surabaya sangat baik, patut dicontoh dan

dikembangkan lebih inovatif lagi dan dikembangkan bagi puskesmas PKPR Kota

Medan, Jakarta Pusat dan Bandung. Kondisi tempat pelayanan harus nyaman dan

tenang, hindari kesan puskesmas dengan petugas yang simpatik dan perhatian pada

Page 43: ringksneks-abstrak

masalah remaja, dan layanan gunakan gender yang sama dengan informan. Perlu

analisa kebutuhan posyandu remaja ini secara lokal spesifik kebutuhan. Untuk

mendapat dukungan dana untuk pelayanan PKPR perlu meningkatkan perhatian kepada

Pemerintah Kota. Kerjasama lintas program dengan BKKBN, dan juga kerjasama lintas

sektor yaitu antara Dinas Kesehatan Kota, Dinas Pendidikan Nasional, Dinas Sosial,

LSM dan perusahaan besar (corporate social responsibility). Semua subsistem harus

bergerak bersamaan dan sinergis sehingga dapat menurunkan permasalahan remaja.

Perlunya dukungan dana dan daya bagi terciptanya pelayanan kesehatan reproduksi

remaja yang sinergis dan bermanfaat bagi remaja pada khususnya.

II. Ringkasan Eksekutif Penelitian Risbinkes:

1. Pengaruh Penggunaan Obat Generik Terhadap Cost Saving dan Keterjangkauan

Harga Resep di 5 RSUD DKI Jakarta

Ketua Pelaksana : Muhamad Syaripuddin, S.Si, Apt. MKM

Pengeluaran untuk biaya kesehatan semakin meningkat dari tahun ke tahun dimana

hamper 30% pengeluaran biaya kesehatan tersebut adalah biaya obat. Salah satu cara

untuk mengurangi biaya obat adalah dengan menggunakan obat generik. Penelitian

obat generik di negara maju menunjukkan bahwa semakin besar penggunaan obat

generik semakin besar biaya yang dapat dihemat. Keberadaan obat generik di Negara

maju berbeda dengan di Indonesia, sehingga perlu dilakukan penelitian mengenai obat

generik khususnya biaya obat yang dapat disimpan dan keterjangkauan masyarakat

karena penggunaan obat generik.

Penelitian ini dilakukan di lima Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) DKI Jakarta selama

enam bulan. Penelitian ini termasuk kedalam jenis penelitian non intervensi dengan

rancangan potong lintang. Populasi pada penelitian ini adalah semua resep yang masuk

ke apotek pelayanan rumah sakit mulai bulan Januari hingga bulan Juni 2011. Pemilihan

sampel dilakukan dengan sistematika random sampling sesuai dengan jumlah resep

yang diperlukan ditiap-tiap rumah sakit yang dihitung secara proposional.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 1600 lembar resep yang menjadi sampel

terdapat 5891 jenis obat didalamnya atau dengan kata lain setiap lembar resep terdapat

3,6 jenis obat didalamnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar obat

yang sering diresepkan di rumah sakit belum memiliki obat generic. Perbandingan harga

Page 44: ringksneks-abstrak

antara obat bermerk dengan obat generik untuk obat sejenis antara 1,02-59 kali dengan

golongan obat antibiotik memiliki golongan harga tertinggi. Rata-rata harga resep di

RSUD DKI Jakarta sebesar Rp.119.357 namun setelah dikonversi dengan generik harga

rata-rata resep turun menjadi 90.624 atau sebesar 30% dari harga resep bermerek.

Kemampuan membayar dapat diukur dengan menggunakn upah minimum provinsi

dimana kalau upah ini dibagi dengan hari kerja akan menjadi daily wages. Penggunaan

obat generik dapat menurunkan biaya obat dari 2 hari daily wages menjadi 1 hari daily

wages.

Kebanyakan obat yang digunakan di rumah sakit adalah obat infuse dan injeksi dimana

jenis obat-obatan inijarang yang memiliki sediaan generik. Melihat hal ini seharusnya

pemerintah menyediakan obat-obatan generik yang sering diperlukan di rumah sakit

misalnya obat-obatan infuse dan injeksi. Dengan tersedianya obat-obat yang diperlukan

dalam bentuk infuse dan injeksi generik maka akan mempercepat penurunan biaya obat

yang harus ditanggung pemerintah. Pemerintah perlu meninjau kembali penetapan

Harga Eceran Tertinggi (HET) obat generik dengan mempertimbangkan keterjangkauan,

ketersediaan, kelangsungan produksi dan kepopuleran obat generik. Penghematan

biaya dengan obat generik sebesar #)% dari pengeluaran biaya obat membawa dampak

yang positif terhadap keluarga, masyarakat, perusahaan pemerintah dan asuransi.

Penggunaan obat generik juga dapat meningkatkan keterjangkauan masyarakat dan

menghemat pengeluaran pemerintah.

Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah penggunaan obat generik akan

meningkatkan cost saving dan akan meningkatkan keterjangkauan masyarakat. Sebagai

saran maka perlu usaha untuk menggiatkan kembali penggunaan obat generik untuk

menghemat pengeluaran biaya obat.

2. Pola Pemeriksaan Kehamilan dan Pertolongan Persalinan Pada Wilayah Kerja

Puskesmas Poned Kab. Karawang 2011

Ketua Pelaksana : Jerico F Pardosi, SKM, MPH

Laporan penelitian ini memberikan informasi mengenai pola pemeriksaan kehamilan dan

pertolongan persalinan pada 5 wilayah Puskesmas dengan Pelayanan Obstetri dan

Neonatal Emergensi Dasar (PONED) di Kabupaten Karawang tahun 2011.

Page 45: ringksneks-abstrak

Kabupaten Karawang masih memiliki jumlah kasus kematian ibu yang semakin

meningkat dari tahun 2003 hingga 2007 dan belum adanya data mengenai pola

pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan di wilayah kerja Puskesmas. Hal

tersebut dikarenakan masih rendahnya cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga

kesehatan dan pemeriksaan kehamilan yang masih rendah dibandingkan kabupaten lain

di Provinsi Jawa Barat.

Subjek dalam penelitian adalah ibu dengan riwayat kehamilan persalinan 1 tahun

terakhir dengan perkiraan sampel terpilih sebanyak 50 informan, 5 bidan koordinator

dan 1 orang bagian kebidanan di Rumah Sakit Umum Daerah Karawang. Penelitian

dilakukan di Puskesmas Rengasdengklok, Pedes, Tempuran, Jatisari dan Wanakarta

dalam periode April – Oktober 2011.

Hasil penelitian menunjukkan pola pemeriksaan kehamilan di 5 wilayah Puskesmas

PONED dimulai setelah usia kehamilan lebih dari 3 bulan dikarenakan kondisi jalan

yang rusak, jarak fasilitas kesehatan yang jauh dan kepercayaan masyarakat setempat

untuk memeriksakan kehamilannya setelah 3 bulan agar terhindar dari gagal hamil. Pola

pertolongan persalinan sebagian besar ditangani oleh bidan PONED namun terdapat

kendala dari kompetensi teknis bidan, prosedur persalinan, dukungan dan pengetahuan

keluarga/masyarakat, kondisi geografis dan dukungan fasilitas/alat. Untuk pola rujukan

persalinan dengan komplikasi masih terdapat masalah dalam kinerja bidan dan

dokumen rujukan.

Kebijakan yang fokus pada peningkatan pelayanan pemeriksaan kehamilan dan

pertolongan persalinan yang dimulai dari tingkat provinsi hingga Dinas Kesehatan

Kabupaten akan menurunkan risiko kematian ibu dan anak di Kabupaten Karawang.

Langkah-langkah yang perlu dilakukan antara lain pelatihan refreshing untuk bidan di

Puskesmas PONED mengenai kegawatdaruratan obstetrik serta deteksi dini faktor

keterlambatan dalam merujuk ibu bersalin, pelatihan bidan mengenai pola pengambilan

keputusan pada kasus kegawatdaruratan ibu bersalin, penyuluhan kepada kader

kesehatan mengenai pelayanan pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan

termasuk tindakan rujukan, penyuluhan kepada anggota keluarga mengenai pelayanan

pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan termasuk tindakan rujukan,

pemberdayaan masyarakat mengenai pemeriksaan kehamilan pada trimester pertama,

penguatan fasilitas pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan di 5 Puskesmas

Page 46: ringksneks-abstrak

PONED, peningkatkan pendidikan dasar 9 tahun khususnya bagi ibu dengan usia

reproduksi dengan bekerja sama bersama Dinas Pendidikan di Jawa Barat, perbaikan

akses jalan menuju dan dari fasilitas kesehatan dengan pihak pemerintah daerah, Dinas

Kesehatan Kabupaten dan pemerintah provinsi.

3. Konsumsi Gizi Pegawai Badan Litbangkes Menurut Suhu Lingkungan Kerja di

Jakarta Pusat dan Tawangmangu

Ketua Pelaksana : Fithia Dyah Puspitasari, S.Gz

Penelitian ini merupakan penelitian Risbinkes (Riset Bina Kesehatan) 2011. Tujuan dari

penelitian ini adalah untuk mengetahui konsumsi zat gizi dan status gizi pegawai Badan

Litbangkes di Tawangmangu dan Jakarta. Desain penelitian yang digunakan adalah

potong lintang non-intervensi. Seperti yang terlihat dari judul penelitian, yang menjadi

subyek dari penelitian ini adalah semua pegawai Badan Litbangkes (staf maupun

peneliti) yang memenuhi kriteria inklusi.

Data yang dikumpulkan meliputi data jenis kelamin, berat badan, tinggi badan, indeks

massa tubuh, konsumsi zat gizi selama 24 jam, faktor aktifitas, faktor stres. Proses

pengumpulan data meliputi pengukuran antropometri dan wawancara. Proses

pengumpulan data untuk masing-masing subyek memerlukan waktu ± 10 menit.

Pengumpulan data dilakukan oleh tim (terdiri dari 2 orang peneliti) dengan latar

belakang pendidikan gizi kesehatan dan telah mengikuti pelatihan antropometri di klinik

tumbuh kembang anak (Puslitbang Gizi Makanan, Bogor) yang diselenggarakan

sebelum penelitian dilakukan.

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah :

1. Jakarta

a. Status Gizi

Hasil pengukuran antropometri menunjukkan 49% subyek memiliki status gizi yang

normal, 31% subyek mengalami obese; 16% subyek berstatus gizi lebih dan 4%

subyek memiliki status gizi kurang (kurus).

b. Konsumsi Zat Gizi

- Konsumsi karbohidrat subyek di Jakarta baik pria maupun wanita dari semua

kelompok umur sudah cukup (≥ 80% AKG) bahkan melebihi (pada pria usia 19-

29 tahun dan 30-49 tahun).

Page 47: ringksneks-abstrak

- Konsumsi protein (%AKG) melebihi jumlah konsumsi karbohidrat (%AKG) baik

subyek laki-laki maupun wanita dan pada semua umur.

- Konsumsi Zat besi dan Kalsium masih dibawah AKG

- Konsumsi Vit A sudah lebih dari cukup pada semua subyek

2. Tawangmangu

a. Status Gizi

Hasil pengukuran antropometri menunjukkan 46% subyek memiliki status gizi yang

normal, 28% subyek mengalami obese; 19% subyek berstatus gizi lebih dan 7%

subyek memili status gizi kurang (kurus).

b. Konsumsi Zat Gizi

- Konsumsi energi dan karbohidrat subyek pria semua kelompok umur di

Tawangmangu masih kurang (<80% AKG)

- Konsumsi protein (%AKG) melebihi jumlah konsumsi karbohidrat (%AKG) pada

hampir semua subyek kecuali pada subyek wanita usia 50-64 tahun.

- Konsumsi Zat besi dan Kalsium masih dibawah AKG

- Konsumsi Vit A sudah lebih dari cukup pada hampir semua subyek kecuali

pada kelompok pria usia 19-29 tahun.

4. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Densitas Massa Tulang pada Wanita

Dewasa Muda Usia 25-35 Tahun

Ketua Pelaksana : Budi Setyawati, SP

Usia dewasa muda adalah masa pencapaian pembentukan massa tulang puncak.

Pencapaian massa tulang puncak berkontribusi besar pada kekuatan tulang. Densitas

massa tulang (DMT) memberikan sumbangan terbesar kekuatan tulang. Optimalnya

DMT yang dipertahankan sejak dini mampu mencegah osteoporosis di masa

selanjutnya. Oleh karenanya perlu diketahui faktor-faktor apa saja yang berhubungan

dengan DMT di usia dewasa muda.

Penelitian ini merupakan studi observasional deskriptif analitik dengan rancangan

potong lintang. Penelitian dilakukan di Kota Bogor yang melibatkan 173 responden.

Pemilihan daerah dilakukan secara multi stage random sampling dan terpilih Kelurahan

Cilendek Barat, Kecamatan Bogor Barat; Kelurahan Kebon Kalapa, Kecamatan Bogor

Tengah; dan Kelurahan Tanah Sareal Kecamatan Tanah Sareal. Pengumpulan data

dilakukan dengan cara wawancara, pengukuran antropometri dan DMT pada tumit

dengan ultrasound bone densitometry .

Page 48: ringksneks-abstrak

Variabel Terikat : DMT dan Variabel bebasnya : riwayat kesehatan, IMT, pendidikan,

paritas, KB hormonal, kebiasaan berolahraga, asupan kalsium, rasio asupan Ca:P,

konsumsi Protein, kebiasaan merokok, kebiasaan minum minuman beralkohol, dan

paparan sinar matahari. Analisis data meliputi uji univariat dan bivariat menggunakan uji

Chi-Square dengan Odds Ratio (95%CI). Tidak dilakukan analisis multivariat karena

tidak ada uji bivariat yang signifikan.

Sekitar 2/3 sampel wanita dewasa muda memiliki DMT rendah. Hanya 1/3 sampel yang

asupan kalsiumnya cukup. Tidak didapatkan hubungan signifikan antara pendidikan,

pendapatan, riwayat kesehatan, paritas, penggunaan KB hormonal, olahraga, paparan

sinar matahari, asupan kalsium, rasio asupan kalsium:fosfor, dan protein dengan DMT

pada sampel wanita dewasa muda.

5. Persepsi Body Image dan Upaya Mencapainya pada Remaja Putri di Bekasi

Ketua Pelaksana : Bunga Christitha Rosha, S.Sos, M.Si

Remaja memiliki peran yang besar dalam pembangunan karena remaja merupakan

populasi besar dari penduduk dunia. Jumlah remaja yang besar memungkinkan

permasalahan gizi yang dihadapi remaja juga besar. Permasalahan gizi dipengaruhi

beberapa faktor salah satunya terjadi karena remaja merasa tidak puas akan bentuk

tubuhnya dan memiliki gambaran negatif selama masa pubertas. Remaja juga

cenderung terobsesif dengan persepsi body image yang dimiliki dengan melakukan

upaya untuk mencapainya seperti diet dan peningkatan aktifitas fisik.

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan disain cross secional yang

bertujuan memperoleh gambaran mengenai body image pada remaja putri di Bekasi

serta upaya yang dilakukan dalam mencapai body image yang diinginkan. Sampel

dalam penelitian ini adalah 80 orang remaja putri usia 11-19 tahun yang terdistribusi di

Kota Bekasi di Kelurahan Jati Cempaka RW 01 dan Kabupaten Bekasi di Kelurahan

Jaya Mukti RW 08.

Analisis data melalui 3 tahap yaitu analisis univariat, analisis bivariat dengan uji statistik

chi square dan analisis multivariat dengan menggunakan regresi logistik. Hasil

penelitian menunjukkan faktor yang berhubungan dengan persepsi body image adalah

uang saku bulanan dan kepemilikan peer group, faktor determinan persepsi body

image adalah peer group, upaya yang dilakukan untuk mencapai body image adalah

aktifitas fisik dan diet, tetapi kedua variabel ini tidak berhubungan dengan persepsi

Page 49: ringksneks-abstrak

body image, persepsi body image dan status gizi remaja tidak berhubungan secara

signifikan.

Kata kunci : body image, faktor mempengaruhi, upaya mencapai body image, status gizi

6. Studi Teknik Pengukuran Panjang/Tinggi Badan Anak Balita di Posyandu

Ketua Pelaksana : Noviati Fuada,SP,M.Kes

Permasalahan status gizi balita meliputi permasalahan pada semua klasifikasi meliputi

permasalahan gizi balita akut dan kronis. Data dan fakta pada isu terkini adalah adanya

permasalahan gizi krosnis, yang ditandai dengan tingginya angka stunting (kependekan)

di Indonesia. Data resmi pemerintah terbaru (RISKESDAS) masih menununjukkan

tingginya kejadian balita pendek di Indonesia. Stunting yg cukup tinggi memerlukan

pemantauan tinggi badan balita. Sudah selayaknya kader juga dapat melakukan

pengukuran tinggi/panjang badan balita. Selama ini kader hanya melakukan kegiatan

menimbang (DEPKES RI 2002). Kader diharapkan dapat melakukan kegiatan

pemantauan tinggi/panjang badan, karena menurut Mantra IB (1997), kader dipilih

masyarakat sehingga dipercaya masyarakat, saran dan petunjuknya sering diikuti

masyarakat. Peneletian ini melakukan pelatihan pengukuran panjang/tibnggi badan

pada kader, karena menganut pada teori cara belajar orang dewasa (Depkes 2001).

Belajar pada orang dewasa mempunyai ciri antara lain, belajar tidak mau bergantung

pada orang lain, ada kebebasan untuk belajar, belajar untuk mengatasi masalah, belajar

secara aktif dan bekerjasama, memiliki pengalaman yang berbeda untuk setiap peserta

dan belajar merupakan kebutuhan.

Masalah : Kader belum berpengalaman melakukan pengukuran panjang/tinggi badan.

Tujuan : Menilai teknik pengukuran panjang/tinggi badan balita yang dilakukan oleh

kader posyandu sebelum dan sesudah intervensi/pelatihan

Tujuan: khususTujuan Khusus : Menilai faktor karakteristik demografi kader posyandu.

Menilai teknik/cara pengukuran kader dengan menggunakan alat ukur : panjang badan

(lengthboard), microtoice dan alat multifungsi sebelum dan sesudah

intervensi/pelatihan. Menilai perbedaan hasil ukur yang dilakukan kader dan

pelatih/gold standard

Metode: tempat penelitian dilakukan secara purposive di Kota yaitu kec.Bogor Tengan

dan Kab Bogor di kec Sukaraja. Analisis yang di gunakan deskriptif dan uji

nonparametrik. Desain penelitian : intervensi ”before and after” Jenis penelitian :

terapan. Populasi : kader yang melakukan pengkuran berat badan dan panjang

Page 50: ringksneks-abstrak

badan/tinggi badan balita dikota dan kab.Bogor. Sampel : kader posyandu masuk

kriteria inklusi

Estimasi besar sampel: Total sampel yang diambil di dua kecamatan sebanyak 100

kader.(hasil perhitungan sampel hipotesis uji rata2 berpasangan sebesar 66 kader).

Hasil : Pada umunya kader berpendidikan SLTA, berumur 31-40 th, lama menjadi

kader berkisar 2 s/d 4 th dan 74 % diantaranya tidak pernah mendapat penyegaran

pelatihan dalam kurun waktu1 th terakhir yang diadakan oleh dinas kesehatan2.

Berdasarkan hasil pengamatan, kader telah mau dan mampu secara teknik melakukan

pengukuran panjang dan tinggi badan balita sebelum dan seduah pelatihan. Terdapat

perbedaan teknik/cara mengukur balita yg sesuai persyaratan pengukuran. Secara

statistik menunjukkan perbedaan pengukuran antara sebelum pelatihan dan sesudah

pelatihan pada pemakaian alat multifungsi, lengthboard dan microtoise. Perubahan

rata delta hasil ukur mendekati gold standar. Kesimpulan : Hasil penilaian berdasarkan

uji stasitik menyatakan kader telah mampu mengukur mendekati gold standar setelah

pelatihan. Hasil pengamatan kader lebih mudah (sesuai standar pengamatan) dalam

menggunakan alat lengboard dan microtoice.

7. Karakterisasi genome hantavirus spesies Seoul virus (SEOV) strain Kepulauan

Seribu yang diisolasi dari Rattus norvegicus tahun 2009

Ketua Pelaksana : Dian Perwitasari, SKM

Infeksi hantavirus adalah salah satu new emerging diseases di Indonesia dan menjadi

penyakit potensial yang dapat menimbulkan kematian. Hantavirus merupakan salah satu

genus virus yang dapat ditularkan oleh beberapa spesies rodensia. Infeksi hantavirus

merupakan penyakit zoonosis yang dapat menyebabkan Hemorrhagic Fever with Renal

Syndrome (HFRS) dan Hemorrhagic pulmonary Syndrome (HPS) pada manusia.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Puslitbang Ekologi Kesehatan, Depkes RI tahun

2009 menemukan hantavirus dengan spesies SEOV strain Kepulauan Seribu. Salah

satu faktor yang mempengaruhi perkembangan penyakit ini adalah lingkungan yang

buruk sehingga menjadi tempat berkembangbiaknya hewan reservoir Sampel tersebut

telah dilakukan screening menggunakan ELISA untuk menemukan hasil positif

hantavirus. Dari 83 sampel rodensia yang ditangkap, diperoleh 4 sampel positif serologi.

Page 51: ringksneks-abstrak

Pada tahun 2010, dari 4 sampel tersebut dilakukan Real Time Polymerase Chain

Reaction (RT-PCR) untuk konfirmasi. Reaksi RT-PCR memperoleh 3 sampel positif

dengan nomor sampel KS74, KS80 dan KS90. Kemudian sampel tersebut diekstraksi

dan diisolasi menggunakan jaringan paru-paru rodensia sehingga menghasilkan RNA.

Kemudian RNA tersebut dilakukan reaksi balik menjadi cDNA dan disimpan pada

Laboratorium terpadu Pusat Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan dalam -20oC

sampai digunakan kembali.

Pada penelitian ini akan dilakukan karakterisasi yang berguna untuk memperoleh

informasi mengenai homologi nukleotida, homologi asam amino dan melihat adanya

epitop sel T di daerah lestari dari gen S, sedangkan untuk Gen M dilakukan karakterisasi

secara partial untuk melihat adanya kekerabatan dengan Seoul virus dari Negara lain.

Karakterisasi ini dilakukan karena strain virus di setiap tempat atau negara dapat

berbeda sehingga memungkinkan adanya perbedaan virulensinya.

Jenis penelitian ini adalah observasi laboratorium dengan mengamplifikasi virus

menggunakan 4 pasang primer untuk gen S dan 2 pasang primers untuk gen M yang

didesain dengan merujuk program NCBI, sedangkan primer untuk gen L sudah berhasil

didesain, tetapi belum dilakukan optimasi, sehingga primer gen L belum dapat

digunakan untuk karakterisasi. Setelah didapatkan hasil amplifikasi kemudian dilakukan

elektroforesis dan purifikasi selanjutnya di sekuensing menggunakan ABI 377 automatic

iv sequencer.

Analisis data menggunakan program Seqscape untuk menggabungkan hasil sekuen dan

program bioedit untuk melihat matrik homologi, selanjutnya menggunakan Mega5 untuk

membuat pohon filogenetik dan melihat daerah lestari.

Hasil sekuensing genom akan dibandingkan dengan sekuen nukleotida Seoul virus yang

berasal dari Negara lain merujuk dari gene bank. Hasil analisis perbandingan gen S

antara Seoul virus strain Indonesia dengan Seoul virus asal Korea menunjukkan bahwa

homologi tertinggi nukleotida di dapat dari strain KS74 sebesar 88.4% dan homologi

terendah pada strain KS90 sebesar 87.2%. Homologi gen S antar strain Kepulauan

Seribu yang dibandingkan didapatkan hasil antara 98.5% - 96.8%. Homologi tertinggi

Asam Amino gen S yang dibandingkan dengan asam amino Seoul virus dan strain dari

Page 52: ringksneks-abstrak

Singapore adalah 91.3 % pada strain KS74 dan terendah sebesar 89.5% pada strain

KS90. Homologi asam amino gen S antara strain Kepulauan Seribu berkisar antara

98.4% - 99.4%. Homologi nukleotida tertinggi pada gen M antara strain Kepulauan

Seribu yaitu pada KS90 dengan KS80 yaitu sebesar 95.5% dan terendah pada KS80

dengan KS74 yaitu sebesar 91.4%. Homologi asam amino gen M tertinggi antara strain

Kepulauan Seribu tertinggi pada KS90 dengan KS80 yaitu sebesar 89%, sedangkan

homologi terendah pada KS80 dengan KS74 yaitu sebesar 83,2%.

Terdapat perubahan pada asam amino gen S dari ketiga strain yang diteliti tetapi protein

tersebut tidak menyebabkan perubahan struktur dan sifat virus. Bagian conserved dari

gen S dapat digunakan untuk perkembangan uji diagnostik untuk hantavirus strain

Indonesia. Karakterisasi genom vírus ini akan memberikan informasi tentang

kekerabatan dan prediksi virulensi vírus berdasarkan sekuen asam amino. Diharapkan

hasil karakterisasi ini bermanfaat untuk perkembangan vaksin dan uji diagnostik Seoul

virus (SEOV) strain Indonésia.

III. Ringkasan Eksekutif / Abstrak Penelitian Ristek

1. Studi Vektor Model Sistem Peringatan Dini Kejadian Luar Biasa Demam Berdarah

Ketua Pelaksana : DR. Riris Nainggolan

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit endemik di Indonesia. Setiap

tahunnya banyak yang menderita penyakit ini dan tak sedikit yang meninggal dunia

akibat penanganan yang terlambat. Kerugian langsung akibat penyakit ini yang diderita

pasien atau kerugian sosioekonomik yang secara tidak langsung diderita pemerintah

semakin meningkat ketika terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB). Seringkali KLB ini, di mana

jumlah penderita penyakit di atas ambang batas tertentu, diketahui terlambat. Di lain

pihak, dana yang tersedia untuk penanggulangan KLB juga sangat terbatas.

Dengan latar belakang seringnya terjadi keterlambatan informasi terjadinya KLB,

besarnya kerugian yang diderita masyarakat dan pemerintah, dan kurangnya dana

penanggulangan KLB, dirasakan mutlak diperlukan sebuah alternatif jawaban atas

permasalahan tersebut. Salah satu alternatif jawaban adalah perlunya sebuah

perangkat yang mampu memberikan informasi tentang kemungkinan akan terjadinya

KLB sedini mungkin.

Page 53: ringksneks-abstrak

Pelaksanaan penelitian ini direncanakan dua tahun dengan salah satu tujuan membuat

sistem informasi tentang penyebaran DBD yang merupakan sistem peringatan dini

(SPD) sebagai bagian dari Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) untuk mengetahui

potensi KLB Demam Berdarah Dengue (DBD). Kegunaan dari sistem ini adalah untuk

monitoring populasi vektor, sehingga mampu mencegah terjadinya KLB sedini mungkin.

Sistem aplikasi ini dirancang dalam bentuk program yang interaktif dan user friendly,

sehingga dapat dimanfaatkan dengan mudah.

Penelitian dilakukan di Kecamatan Kedawung dan Kecamatan Gunung Jati.

Desa/kelurahan yang menjadi lokasi penelitian sekaligus tempat pemasangan ovitrap

ada 12 desa

Pada tahun pertama penelitian ini telah diadakan pelatihan untuk para juru pengamat

telur (jumantel). Pelatihan ini berlangsung selama 2 hari di bawah pengawasan Pusat

Teknologi Intervensi Kesehatan Masyarakat (Badan Litbangkes Jakarta) dan DinKes

Kabupaten Cirebon. Setelah itu para jumantel disebar ke lokasi yang menjadi perhatian

untuk mengumpulkan data populasi telur nyamuk di desa sekitar tempat tinggal mereka.

1. Para jumantel memeriksa telur nyamuk pada semua ovitrap dua kali seminggu dan

mengirimkan hasilnya melalui short message service (SMS) ke pengolah data.

Dalam hal ini telah terjalin kerja sama yang baik antara kader sebagai jumantel,

petugas puskesmas/Dinkes Kabupaten,dan peneliti (pengolah data).

2. Hasil perolehan data yang terkumpul melalui alur diagram di Kecamatan Gunung

Jati dengan hasil tertinggi pada Desa Pasindangan. Di Kecamatan Kedawung

dengan kepadatan telur dan jentik tertinggi adalah Desa Sutawinangun. Data jentik

diperoleh dari dua kecamatan dalam waktu yang lebih lambat dibanding

pengumpulan data telur.

3. Selama penelitian pada tahun 2011 tidak ada kejadian DBD sehingga tidak dapat

diplot jumlah kasus dengan pengamatan telur nyamuk. Data sekunder dari Dinas

Kesehatan penderita DBD pada tahun 2010 Kecamatan Kedawung menunjukkan

jumlah penderita DBD tertinggi. Demikian pula kasus DSS di di Kecamatan yang

sama memiliki tingkat pencatatan kasus tertinggi bila dibandingkan dengan

kecamatan lainnya. Data Kecamatan Gunung Jati, tidak terekap jumlah kasus yang

ditemukan untuk tahun . Namun pada tahun 2010 ditemukan kasus DBD maupun

DSS cukup tinggi.

Page 54: ringksneks-abstrak

4. Dengan pengetahuan masyarakat yang cukup baik kemungkinan mereka berperan

serta untuk menghindarkan kejadian luar biasa (KLB) dapat direalisasikan.

5. Hal yang menguntungkan adalah kebiasaan penduduk untuk memberitahukan

kepada aparat desa apabila ada anggota keluarga yang sakit.

6. Hasil uji bivariat menunjukkan beberapa variabel pengetahuan dan perilaku

masyarakat termasuk pengetahuan gejala DBD, cara pembrantasan tempat jentik,

selalu menguras bak mandi, selalu menaburkan abate dan meminta pertolongan

kepada orang yang tepat mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian

DBD sesuai dengan temuan peneliti lain di Kabupaten Kendal. Terdapat hubungan

antara perilaku kesehatan dengan kejadian DBD. Variabel yang berperan adalah

membersihkan tempat penyimpanan air (TPA); menguras bak mandi; mengubur

barang bekas; dan membuang sampah pada tempatnya.

7. Disarankan sebagai hal yang cukup penting agar dilakukan penyuluhan karena

sebagian masyarakat masih belum mengetahui bahaya dan pencegahan DBD dan

banyaknya keinginan mereka untuk mendapatkan penyuluhan kesehatan khususnya

DBD melalui tatap muka atau ceramah di balai desa.

Selanjutnya perlu tetap dilakukan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) mengingat

hasil observasi menunjukkan kebiasaan penduduk untuk menyimpan barang-barang

bekas di sekitar rumah.

2. Analisis dan Penyusunan Daftar Obat Essensial Untuk Anak dan Penggunanya di

Rumah Sakit

Ketua Pelaksana : Bryan Mario Isakh, SKM

Di seluruh dunia diperkirakan setiap tahun kematian anak dibawah 5 tahun sebesar 9,7

juta. Populasi anak (0-14 tahun) di Indonesia sebesar 27,23%. Sedangkan Angka

Kematian Bayi di Indonesia sebesar 34 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2007, dan

Angka Kematian Balita sebesar 44 per 1000 kelahiran hidup (SDKI). Penyebab

kematian terutama adalah pneumonia, diarrhea, malaria, neonatal pneumonia dan

sepsis, dan penyakit lain yang sebenarnya pengobatan yang efektif telah tersedia.

Millenium Development Goal (MDG), salah satu targetnya adalah Menurunkan angka

kematian anak. World Health Assembly (WHA) mengeluarkan resolusi WHA60.20,

yang mengidentifikasi langkah-langkah yang harus ditempuh agar obat yang lebih baik

tersedia buat anak (Better Medicine for Children Act). Resolusi meminta agar 193

Page 55: ringksneks-abstrak

negara anggota WHO: Mempromosikan akses ke obat esensial bagi anak dengan

memasukkan obat-obatan untuk anak kedalam daftar obat esensial National,

pengadaan dan pendistribusian, dan harga yang terjangkau.

Pasien anak bukanlah ukuran mini dari pasien dewasa, perubahan komposisi tubuh

yang tidak linear sehingga perhitungan dosis untuk anak tidak didasarkan pada usia

melainkan pada bobot tubuh anak.

Indonesia belum memiliki Kebijakan Obat Essensial untuk anak, Pengobatan untuk anak

masih menggunakan obat-obatan orang dewasa. Untuk itu perlu di teliti: ketersediaan

obat yang lebih baik untuk anak termasuk dalam daftar obat esensial Nasional, adanya

pedoman standar pengobatan (Standard Treatment Guideline) untuk anak.

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kebijakan obat essensial yang diperlukan untuk

pengobatan anak di Indonesia, mengevaluasi ketersediaan obat yang lebih baik untuk

anak pada fasilitas kesehatan pemerintah maupun swasta, menyusun dan

merekomendasikan daftar obat esensial untuk anak secara nasional.

3. Faktor Risiko Hipertensi dan Pengembangan Model Intervensi (Pengembangan

Model Simulasi Pencegahan dan Penanganan Hipertensi di Kota Bogor,

Kabupaten Bogor dan Kabupaten Lebak)

Ketua Pelaksana : dr. Julianty Pradono, MS

Hasil analisis kuantitatif menunjukkan, ada perbedaan variabel yang berkontribusi

terjadinya hipertensi pada dua kabupaten dan satu kota yang diteliti. Tetapi faktor umur

paling berkontribusi dalam meningkatkan tekanan darah. Prevalensi hipertensi pada

responden ≥ 35 tahun lebih tinggi dibandingkan kelompok umur 15-34 tahun.

Selanjutnya diikuti dengan kelebihan berat badan dan lingkar perut berisiko, lama

merokok, gangguan mental emosional, status ekonomi, dan status kawin. Juga

responden yang sering mengkonsumsi makanan berlemak. Pengaruh lingkungan seperti

pencemaran lingkungan dan klasifikasi kota dan desa turut berkontribusi terjadinya

hipertensi. Persentase klasifikasi benar diperoleh sebesar 72,5-81,2 persen (R-

squared). Temuan dari kajian ini menunjukkan bahwa memodifikasi gaya hidup sangat

penting dalam mencegah terjadinya hipertensi baik di kota maupun di kabupaten.

Denagn menargetkan orang dewasa dalam melakukan upaya promosi Perilaku Hidup

Page 56: ringksneks-abstrak

Bersih dan Sehat untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya factor risiko

terjadinya hipertensi.

Hasil Penelitian kualitatif menunjukkan kurangnya pengetahuan informan tentang faktor

penyebab terjadinya hipertensi, gejala hipertensi, upaya pencegahan maupun cara

mendeteksi atau cara pengobatan hipertensi yang membutuhkan jangka panjang dan

berkesinambungan. Dari provider menunjukkan belum adanya program yang secara

khusus mengenai pencegahan, dan penanganan hipertensi. Penempatanprogram untuk

pelaksanaan program tentang penyakit tidak menular yang merupakan paying besar dari

pencegahan hipertensi masih belum jelas. Juga dalam pelaksanaannya masih bersifat

pasif. Ketersediaan obat untuk kuratif, dirasakan masih jauh daricukup. Sehingga perlu

adanya Surat Keputusan Kemenkes dalam menangani permasalahan tersebut.

4. Model Pengembangan Metode Surveilance PTM (Jantung, Diabetes, Stroke)

Berbasis UKBM

Ketua Pelaksana : Dra.Nunik Kusumawardhani,M.Sc

Penelitian ini merupakan studi operasional pengembangan metode surveilans faktor

risiko PTM utama (obesitas, hipertensi, hiperkolesterol, hiperglikemi, merokok, kurang

aktifitas fisik, kurang konsumsi sayur-buah), berbasis pemberdayaan masyarakat dalam

pengendalian faktor risiko PTM, dalam bentuk Pos Pembinaan Terpadu (Posbindu).

Kegiatan akan dilakukan dalam dua tahap. Pertama, melakukan identifikasi sumber

daya dan potensi kelompok masyarakat yang aktif, selanjutnya akan dilakukan

pengembangan kegiatan Posbindu melalui pelatihan (pengetahuan dan keterampilan

mendeteksi faktor risiko PTM, kemampuan pencatatan dan pelaporan) dan pembinaan

pelaksanaan Posbindu PTM. Kedua, pada tahun berikutnya kemampuan dan efektifitas

pelaksanaan deteksi dan tindak lanjut dini faktor risiko PTM melalui Posbindutersebut

akan dievaluasi. Dari pengembangan model ini diharapkan masyarakat dapat

meningkatkan mawas diri terhadap faktor risiko PTM secara mandiri, dan faktor risiko

PTM di masyarakat dapat dideteksi dan ditindaklanjuti secara dini. Dengan demikian

komplikasi PTM, baik kecacatan maupun kematian dini dapat dicegah.

5. Peningkatan Tingkat Kepatuhan Minum Obat ARV pada ODH Berbasis pada

Kondisi Sosial Budaya Masyarakat

Ketua Pelaksana : Yuyun Yuniar, S.Si, Apt.,MA

Page 57: ringksneks-abstrak

Prevalensi kasus HIV AIDS di Indonesia makin meningkat sehingga upaya

penanggulangan dilakukan antara lain dengan membentuk komisi penanggulangan

AIDS nasional dan daerah serta menetapkan rumah sakit rujukan di Indonesia. Kasus

HIV AIDS tertinggi pada tahun 2010 dilaporkan berada di Provinsi DKI Jakarta, Jawa

Barat, Jawa TImur, Papua dan Bali. Penggunaan ARV (antiretroviral) merupakan salah

satu upaya penanggulangan dengan cara meningkatkan harapan hidup ODHA (orang

dengan HIV AIDS), meskipun tidak untuk menyembuhkan. ARV digunakan dalam

jangka waktu yang panjang, sehingga salah satu penyebab kegagalan terapi adalah

ketidakpatuhan terhadap pengobatan dengan ARV. Kepatuhan terhadap ARV bukan

hanya masalah medis, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial budaya

masyarakat setempat.

Penelitian ini dilakukan untuk mengeksplorasi faktor-faktor sosial budaya yang

mempengaruhi kepatuhan minum ARV yaitu faktor demografi (pendidikan, pekerjaan,

status pernikahan); faktor predisposisi seperti pengetahuan, persepsi dan lifestyle; faktor

pemungkin yaitu pertimbangan ekonomi, dan faktor penguat yang berupa faktor social

seperti kondisi lingkungan, gender, peer group, keagamaan, stigma dan diskriminasi

serta faktor-faktor lainnya yang mendukung kepatuhan minum obat atau sebaliknya.

Penelitian dilakukan secara purposif di dua provinsi yang termasuk dalam lima besar

kasus HIV AIDS di Indonesia dengan kondisi sosial budaya berbeda yaitu provinsi Jawa

Barat dan Bali, masing-masing di dua kabupaten/kota. Data diperoleh dengan cara

wawancara mendalam dengan para pihak yang mewakili stakeholder penanggulangan

AIDS, wawancara mendalam dengan ODHA yang pernah atau masih menggunakan

ARV, key informant, serta observasi di lingkungan setempat, lokasi pengobatan (rumah

sakit) serta aktifitas di Komisi Penanggulangan AIDSDaerah (KPAD) dan atau LSM yang

bergerak di bidang AIDS.

Dalam penelitian telah dilakukan wawancara dengan 10 orang ODHA serta

pendampingdan stakeholder lain yang terlibat dalam program penanggulangan HIV

AIDS di Kota Bandung dan Kota Cimahi. Hasil sementara yang diperoleh adalah data-

data HIV AIDS, riwayat status ODHA, faktor pendukung dan penghambat kepatuhan

serta saran-saran untuk meningkatkan kepatuhan minum obat ARV.

Page 58: ringksneks-abstrak

Faktor-faktor pendukung kepatuhan minum obat ARV antara lain yaitu dari diri sendiri,

dukungan teman-temandi LSM, dukungan keluarga, keinginan untuk hidup, punya

keturunan/anak, belum menikah/mau menikah lagi, agama/keyakinan, strategi minum

obat, pernah ada anak/keluarga yang meninggal, ketidaksengajaan, setelah dia sakit

atau anaknya sakit, dia baru patuh. Adanya layanan puskesmas untuk perkembangan

anak, VCT gratis dan pendampingan terutama saat mencapai titik jenuh.

Sedangkan faktor penghambat kepatuhan yaitu efek samping obat seperti mual, anemia

dan ruam-ruam, alasan ekonomi, aksesibilitas, takut diketahui pasangan, pacar atau

teman. Waktu minum obat mengganggu aktivitas lain, hubungan dengan tenaga

kesehatan, titik jenuh, bosan dan malas minum obat, masalah pribadi/psikologis,

perilaku, merasa tertekan karena harus minum obat, jadi banyak keluhan. Ada yang

putus asa, atau mitos bahwa obat ARV membunuh anak yang dikandung, sampai ke

yang sekedar ingin coba-coba berhenti minum obat untuk mengetahui apa yang terjadi

pada tubuhnya.

Saran untuk meningkatkan kepatuhan minum obat antara lain dengan melibatkan orang

terdekat ODHA, membuka status ODHA kepada keluarga, harus ada motivator dari segi

agama dan psikologis; lebih mengingatkan adherence dan ingatkan fungsi ARV,

mengingatkan waktu minum obat; adanya program warga peduli AIDS (WPA),

penguatan layanan dan koordinasi lintas sektor serta dukungan kebijakan, misalnya

pendanaan untuk melakukan pemeriksaan laboratorium.

Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi masukan bagi upaya penanggulangan AIDS

yang terkait dengan penggunaan ARV berdasarkan kondisi sosial budaya masyarakat

setempat.

6. Kebijakan Penetapan Apoteker sebagai Pengelola Obat di Puskesmas

Ketua Pelaksana : Dr. Sudibyo Supardi, Apt

Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan mensyaratkan tenaga

kesehatan yang melakukan pelayanan kesehatan di Indonesia harus mempunyai

kualifikasi minimum yang ditetapkan oleh penerintah. Peraturan Pemerintah No. 51

tahun 2009 mensyaratkan praktek kefarmasian harus dilakukan oleh apoteker. Belum

diketahui bagaimanakah kebijakan penempatan apoteker di Puskesmas. Tujuan

Page 59: ringksneks-abstrak

penelitian adalah (a) mendapatkan informasi pelaksanaan PP 51 tahun 2009 oleh

daerah provinsi dan kota terkait penempatan apoteker sebagai pengelola obat di

Puskesmas, (b) mendapatkan informasi faktor pendukung dan penghambat dalam

penempatan apoteker sebagai pengelola obat di puskesmas, (c) mendapatkan informasi

pengelolaan obat di puskesmas yang ada. Manfaat penelitian adalah informasi untuk

meningkatkan pelayanan kefarmasian di puskesmas sesuai peraturan perundangan.

Penelitian potong lintang akan dilakukan untuk mengetahui kebijakan penempatan

apoteker sebagai pengelola obat di puskesmas. Informan penelitian adalah pihak yang

terkait dengan kebijakan penempatan apoteker di puskesmas, yaitu dinas kesehatan

provinsi, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, kepala puskesmas dan IAI. Data

dikumpulkan melalui wawancara mendalam, diskusi kelompok terarah dan observasi

pengelolaan obat di puskesmas. Analisis data secara deskriptif dan analisis kualitatif

dengan metoda triangulasi. Hasil sementara disempurnakan dengan RTD di Jakarta.

Berdasarkan hasil dan pembahasan, maka disusun kesimpulan sebagai berikut:

1. Pelaksanaan peraturan perundangan yang terkait dengan penempatan apoteker di

Puskesmas sebagai berikut:

a. Dinkes provinsi tidak mempunyai wewenang dalam penempatan apoteker di

Puskesmas, tetapi hanya mencatat informasi penempatan tenaga kesehatan.

b. Dinkes Kabupaten/Kota sudah mengusulkan denga prioritas Puskesmas

perawatan, tetapi penetapannya dilakukan oleh pusat, sehingga belum

mencukupi kebutuhan. Kalau bisa apoteker di PTT kan, sehingga Dinkes

Kabupaten/Kota memiliki dasar hukum untuk menempatkan apoteker di

Puskesmas. Saat ini pembinaan dan pengawasan pengelolaan obat di

Puskesmas dilakukan oleh 6 orang apoteker dari Dinkes Kabupaten/Kota

termasuk dalam hal PIO.

c. BKD tidak membuat perencanaan tenaga, tetapi hanya mencatat dan

meneruskan permintaan kebutuhan tenaga Kabupaten/Kota ke BKN.

d. Kepala Puskesmas menyatakan beban kerja pelayanan resep di Puskesmas

sangat besar, harusada apoteker dan AA,minimal AA yang mencukupi.

2. Permasalahan yang terkait dengan penempatan apoteker di Puskesmas adalah

formasi belum mencukupi, Dinkes Kabupaten/Kota belum bisa mengangkat apoteker

sebagai tenaga PTT karena belum ada dasar hukumnya, dan beban kerja yang

Page 60: ringksneks-abstrak

terlalu berat, minimal melayani 60- 300 resep per hari. Beban kerja yang berat

menyebabkan tenaga farmasi tidak mungkin melakukan informasi obat dan

konseling pasien dengan optimal.

3. Pengelolaan obat di Puskesmas saat ini, termasuk informasi obat sudah berjalan

dengan keterbatasan beban kerja. Fungsi apoteker dalam konseling obat, home care

dan visite di puskesmas perawatan belum berjalan baik.

Kata kunci : apoteker, praktek kefarmasian, puskesmas, kebijakan, tenaga kesehatan.

7. Model Intervensi Pelayanan Kesehatan Gigi di Propinsi Kepulauan Bangka

Belitung Tahun 2011, Tahap II

Ketua Pelaksana : Drg. FX. Shintawati, MKes

Penelitian diawali pada tahun 2010 dimana telah dilakukan analisis consumer/penerima

pelayanan kesehatan gigi. Analisis berupa base line survey untuk mengetahui status

kesehatan gigi dan mulut penduduk Provinsi Bangka Belitun, perilaku membersihkan

gigi dan pola pencarian pengobatan apabila sakit gigi baik ke pelayanan medis, non

medis ataupun mengobati sendiri. Pada tahun 2011 ini penelitian dilanjutkan dengan

melakukan analisis program pelayanan kesehatan gigi dan mulut di seluruh

kabupaten/kota di provinsi Bangka Belitung dan mengembangkan model intervensi

pelayanan kesehatan gigi dan mulut.

Bahan dan cara : penelitian kuantitatif dilakukan dengan mengumpulkan data primer

tentang pelayanan yang diberikan oleh provider/pemberi layanan kesehatan gigi yang

terdiri dari dokter gigi PNS, dokter gigi PTT, perawat gigi, tenaga poltekes gigi. Informasi

yang dikumpulkan meliputi pelaksanaan kelima fungsi pelayanan kesehatan gigi di

masing-masing kabupaten/kota yaitu pelayanan promotif, protektif, deteksi dini dan

terapi, kuratif dan rehabilitatif. Keterbatasan/kendala yang dialami provider kesehatan

gigi di masing-masing kabupaten/kota meliputi sumber daya manusia, fasilitas,sarana

dan prasarana dan hambatan pelaksanaan pelayanan. Penelitian kualitatif dilakukan

dengan melakukan wawancara mendalam kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi,

Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan di Dinkes Provinsi, Ketua Organisasi Profesi,

Kepala Puskesmas. Output penelitian adalah model intervensi pelayanan kesehatan gigi

di Provinsi Bangka Belitung.

Page 61: ringksneks-abstrak

Hasil dilaporkan sebagai berikut: SDM dokter gigi sangat kurang, sebagian besar para

dokter gigi yang bertugas di provinsi Bangka Belitung adalah dokter gigi PTT yang masa

kerjanya terbatas. Kualitas dokter gigi perlu ditingkatkan, perlu pelatihan managemen

untuk dokter gigi, tenaga perawat gigi cukup, tidak ada tenaga promosi khusus gigi,

tidak ada alat peraga gigi. Instrumen penumpatan banyak yang hilang, juga bahan/obat

untuk penumpatan sangat terbatas. Instrumen pencabutan juga banyak yang dipakai ke

lapangan oleh perawat gigi. Hal ini berdampak pada pelayanan yang diberikan lebih

kepada pencabutan, selain itu juga permintaan pasien yang lebih memilih dicabut,

karena menurutnya gigi menjadi lebih putih dan bagus. Meskipun tersedia mobil

Puskesmas Keliling gigi, namun frekuensi kegiatan luar gedung dengan menggunakan

mobil keliling gigi sangat kurang karena kurang/tidak ada dana operasional.

Kebijakan/program pelayanan kesgilut dasar puskesmas tidak ada.

8. Faktor yang Berpengaruh Terhadap Pengembangan Sistem Pencatatan dan

Pelaporan Sebab Kematian

Ketua Pelaksana : Joko Irianto, SKM, MKes

Badan Litbangkes sudah lima tahun mengembangkan sistem pencatatan dan pelaporan

sebab kematian yaitu dari tahun 2006 yang sekarang sudah di 26 kabupaten/kota di

Indonesia. Dari daerah yang dikembangkan tersebut bervariasi menurut besar

pendanaan, waktu pendampingan, dan atensi dari masing-masing daerah. Dengan

variasi yang ada ini hasil yang dicapai antara masing-masing daerah juga sangat

bervariasi. Ada daerah yang mampu mengembangkan sistem dengan mengandalkan

sumber daya daerah sendiri dan ada daerah yang kurang dan tidak mampu

menjalankan sistem tersebut.

Belum diketahui dengan pasti faktor yang paling berpengaruh terhadap pengembangan

sistem pencatatan dan pelaporan sebab kematian sehingga sistem ini dapat berjalan

atau terhenti sama sekali. Dalam penelitian ini ingin diketahui faktor yang berpengaruh

terhadap keberhasilan pengembangan sistem pencatatan dan pelaporan sebab

kematian tersebut, yaitu dengan mengumpulkan data di daerah-daerah yang telah

diawali pengembangannya oleh Badan Litbangkes. Hasil penelitian ini akan bermanfaat

bagi Badan Litbangkes dan daerah yang sedang berupaya mengembangkan sistem ini

ke kabupaten/kota yang lain untuk tahun-tahun berikutnya.

Page 62: ringksneks-abstrak

Penelitian ini mengumpulkan data melalui instrumen terstruktur dan wawancara

mendalam terhadap pelaksana kegiatan di masing-masing daerah. Selanjutnya data

akan dianalisis uji multivariat dengan menggunakan SPSS, dengan demikian pada

akhirnya akan diketahui faktor yang mempenyai peranan yang paling besar terhadap

keberhasilan pengembangan sistem tersebut.

Hingga pada laporan tahap ini sudah tiga daerah yaitu Kota Surakarta, Kota Metro dan

Kabupaten Gorontalo yang sudah dilakukan pengumpulan data, namun sebagian data

masih dalam tahap penyelesaian, sedangkan di Kabupaten Pekalongan belum

dilaksanakan. Data Sensus Penduduk 2010 dari BPS juga belum didapat karena masih

dalam proses pengolahan di BPS.

Responden dari penelitian ini menunjukkan dominasi perempuan (dalam kisaran 70%)

sebagai petugas pelaksana wawancara autopsi verbal sebab kematian namun

semuanya telah dilatih ketrampilan untuk hal tersebut. Data kematian yang dilaporkan

diperkirakan masih di rendah, terutama data tahun 2010. Pada tahun 2010 pelaksanaan

pencatatan dan pelaporan sebab kematian di masing-masing daerah tersebut sudah

sepenuhnya mengandalkan kemampuan sendiri, termasuk dalam memnentukan

penyakit penyebab dasar kematian.

Penyakit penyebab dasar kematian masih di dominasi oleh penyakit degeratif walaupun

penyakit infeksi seperti Tuberkulosis, Diare, dan Pneumoni masih termasuk dalam 10

besar. Hal ini menunjukkan bahwa transisi epidemiologi telah bergeser dari penyakit

infeksi ke penyakit degeneratif, namun masih dalam transisi yang berat yaitu kasus

penyakit infeksi dan degeratif keduanya tinggi.

Kata kunci: Sistem, sebab kematian, penyakit

IV. Ringkasan Kegiatan Hibah

1. Perilaku Vektor Malaria Nyamuk Anopheles Spp Di Beberapa Daerah Di

Indonesia. (Behavioral Studies of Malaria Vector in Correlation with Molecular

Entomology in Indonesia).

Ketua Pelaksana : Prof.Supratman Sukowati

Page 63: ringksneks-abstrak

Malaria masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di kawasan Asia Tenggara,

termasuk Indonesia. Pada beberapa tahun terakhir telah terjadi transisi epidemiologi,

namun potensi penularan malaria masih tetap tinggi karena strategi pengendalian vektor

malaria belum berhasil karena terjadi resistensi dari parasit malaria terhadap klorokuin.

Kegagalan pengendalian vektor sebagian karena kurangnya pemahaman pengetahuan

mengenai perilaku dan ekologi dari spesies vektor dalam daerah ekologinya.

Spesies nyamuk anopheline yang telah dilaporkan di Indonesia berjumlah 82 spesies,

dan 22 spesies diantaranya dikonfirmasi sebagai vektor malaria yang tersebar di

dataran rendah, di rawa atau di dataran tinggi. Studi bio-ekologi vektor malaria telah

banyak dilakukan di Jawa Tengah, Lombok dan Sulawesi. Namun di daerah endemik

malaria di luar Jawa terutama di Indonesia bagian Timur seperti di NTT, Maluku dan

Papua masih sangat langka. Pemahaman tentang perilaku dan ekologi vektor malaria

akan sangat berguna untuk menentukan strategi pengendaliannya.

Studi ini akan dilakukan di 5 daerah eko-epidemiologi di Indonesia: yaitu

a) Lampung Selatan, Sumatera (daerah transmisi menengah), b) Maluku (daerah

transmisi tinggi), c). Papua (daerah transmisi tinggi), d) Sabang (daerah transmisi

rendah dan e). Nusa Tenggara Timur (daerah transmisi menengah).

Yang akan dipelajari adalah spesies vektor malaria, distribusi dan pemetaan spesies

vektor, karakteristik habitat perkembang-biakannya dan perilaku (kebiasaan menggigit,

pilihan menghisap darah, aktivitas menghisap darah, kelimpahan musiman dan

habitatnya masing-masing). Kerentanan spesies vector terhadap parasit malaria akan

ditentukan menggunakan pemeriksaan ELISA untuk deteksi spesies-protein spesifik

circumsporozoite (CSP). Uji precipitin spesies anopheline akan dilakukan pada kertas

filter, untuk menentukan preferensi host. Ovarium akan dibedah untuk mengidentifikasi

tingkat paritas. Spesimen yang terkumpul akan diidentifikasi untuk menentukan adanya

kompleks spesies atau sibling spesies.

Hasil yang Dicapai :

1) Mendapatkan informasi ilmiah berupa bioekologi spesies Anopheles, yang dapat

digunakan sebagai dasar pengendalian vektor malaria di wilayah penyebarannya.

2) Mendapatkan peta sebaran spesies Anopheles yang dapat digunakan untuk

memudahkan petugas dalam mengenali lokasi dan melakukan pengendalian vektor

malaria.

Page 64: ringksneks-abstrak

3) Mengetahui karakteristik habitat perkembangbiakan tiap spesies aniopheline

terutama vektor malaria di daerah penyebarannya.

2. Penulisan Jurnal Ilmiah Ke-2 dan Penerbitan Jurnal Kesehatan Reproduksi (The

2nd Scientific Writing and RH Journal Printing).

Ketua Pelaksana : dr.Teti Tejayanti, MKM

Kesehatan reproduksi sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam indikator

pembangunan kesehatan karena menyangkut issue-issue kesehatan yang sangat

esensial seperti kematian ibu, kematian bayi, kematian balita, HIV Aids dengan

kehamilan, dsb.

Dalam rangka meningkatkan kesehatan reproduksi tersebut, Kementrian Kesehatan

khususnya Badan Litbangkes melakukan kerjasama dengan UNFPA. Kerjasama

dilakukan dalam bentuk pembentukan Jurnal Kesehatan Reproduksi. Jurnal kesehatan

reproduksi merupakan jurnal ilmiah yang menyajikan artikel orisinal tentang

pengetahuan dan informasi/aplikasi riset dan pengembangan terkini yang berhubungan

dengan kesehatan reproduksi. Fungsi dari Jurnal Kesehatan Reproduksi adalah sebagai

media menyebarluaskan berbagai tulisan ilmiah mengenai kesehatan reproduksi.

Melalui jurnal kesehatan, temuan baru dari peneliti dan ilmuwan dikomunikasikan ke

masyarakat, guna mendapat tanggapan, dikembangkan dan disempurnakan oleh

ilmuwan lain, sehingga kesempurnaan dan kebenaran ilmunya menjadi lebih baik.

Kehadiran berbagai jurnal ilmiah dalam masyarakat akademik juga merupakan investasi

jangka panjang untuk memacu meningkatkan sumber daya manusia.

Jurnal Kesehatan Reproduksi akan terbit tiga kali dalam setahun. Untuk mendukung

tetap terbit, maka diperlukan artikel yang memenuhi syarat layak terbit. Untuk memenuhi

kebutuhan tersebut maka dilakukan beberapa kegiatan yaitu sosialisasi Jurnal

Kesehatan Reproduksi pada peneliti dan kalangan di luar Litbangkes, pelatihan

penulisan artikel( scientific writing on Reproductive Health), pertemuan Tim Redaksi dan

pertemuan Mitrabestari. Tujuan kegiatan adalah Menerbitkan Jurnal Kesehatan

Reproduksi Indonesia.

Kegiatan :

Page 65: ringksneks-abstrak

1. Pertemuan rutin internal tiap bulan untuk koordinasi dewan redaksi.

2. Pertemuan Tim Jurnal Kesehatan Reproduksi (dengan Mitra Bestari/pakar) 3 kali/

setahun.

3. Pelatihan penulisan ilmiah dua kali dalam setahun.

4. Review dan editing artikel oleh Tim Jurnal Kesehatan Reproduksi Indonesia.

5. Penerbitan Jurnal Kesehatan Reproduksi Indonesia dan pengiriman ke stake holder.

6. Peningkatan capacity building Tim Jurnal : life table.

Luaran yang dihasilkan yaitu:

1. Tersosialisasinya Jurnal Kesehatan Reproduksi.

2. Terbit Jurnal Kesehatan Reproduksi Volume 1 ( No 2 dan 3) dan Volume 2 ( No 1)

3. Meningkatnya kapasitas peneliti.

3. Situasi Epidemiologi dan Program Pengendalian Penyakit Tidak Menular di

Indonesia (The Development of Indonesia NCD Burden and Epidemiological

Situation).

Ketua Pelaksana : Nunik kusumawardani, SKM, MScPH

Bukti secara global maupun nasional telah menunjukkan besarnya masalah penyakit

tidak menular (PTM) sudah membutuhkan lebih banyak perhatian dari berbagai pihak

terkait. Penyakit tidak menular (PTM), khususnya penyakit jantung, kanker, diabetes

mellitus, strok dan penyakit paru obstruksi kronik, sudah menjadi masalah kesehatan

global sejak beberapa dekade lalu. PTM menyebabkan sekitar 60% dari kematian di

dunia. Diperkirakan kematian yang berkaitan dengan PTM akan meningkat sebesar 21%

pada tahun 2006 s/d 2015.

Di Indonesia, kematian akibat PTM meningkat dari 41% pada tahun 1995 menjadi

59.5% pada tahun 2007. Data dari Riskesdas 2007 menunjukkan bahwa prevalensi

hipertensiadalah 31.7%. Prevalensi pernah didiagnosa strok sebesar 8.3%, serta 1.1%

untuk diabetes mellitus, 7.2% untuk penyakit jantung dan 4.3% untuk tumor.

Program pengendalian dan pencegahan PTM telah dikembangkan secara global oleh

WHO sejak tahun 2000. Sebagai tindak lanjut dari komitmen global untuk pengendalian

PTM, pemerintah Indonesia telah mengembangkan kebijakan dan strategi nasional

pengendalian PTM pada tahun 2003 yang dikoordinasi oleh Pusat Promosi Kesehatan,

Kementerian Kesehatan. Program PTM secara resmi masuk dalam struktur organisasi

Page 66: ringksneks-abstrak

Pusat Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kementerian

Kesehatan pada tahun 2006 (Keputusan Kemenkes No.1575 tahun 2005 dan

No.439/Menkes/Per/VI/2009).

Sejak diterapkannya kebijakan nasional pada tahun 2006, implementasi dari kebijakan

dan strategi nasional pengendalian PTM di Indonesia masih dalam tahap dini, terutama

ditingkat provinsi dan kabupaten. Setiap provinsi dan kabupaten mempunyai sumber

daya dan karakteristik wilayah yang spesifik dan bervariasi, sehingga masing-masing

wilayah mempunyai kebutuhan dan prioritas program yang spesifik dalam upaya

pengendalian PTM. Dengan demikian penting untuk menganalisa dan mempelajari lebih

lanjut situasi terkini program pengendalian PTM ditingkat nasional maupun kabupaten.

Hasil dari analisa situasi ini akan bermanfaat dalam upaya memperbaiki kebijakan dan

strategi dimasa yang akan dating berdasarkan kebutuhan masyarakat dan pelajaran

yang didapatkan dari pengalaman dibeberapa kabupaten di Indonesia.

Analisa inibertujuan untuk menggambarkan situasi terkini program pengendalian PTM

(PPTM) dalam upaya memperbaiki strategi dan kebijakan yang berdasarkan kebutuhan

dari perspektif pemerintah dan masyarakat, dengan studi kasus di wilayah Jakarta

Barat, Kota Cilegon, Kota Padang Panjang dan Kota Depok. Informasi dalam analisa ini

didapatkan dari data kualitatif dan kuantitatif. Informasi Kualitatif diperoleh melalui

wawancara mendalam, diskusi kelompok dan pengamatan. Data kuantitatif adalah data

sekunder dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), Sistem Informasi Rumah Sakit dan

data dari laporan Jamkesmas.

Bukti kuantitatif sudah menunjukkan bahwa beberapa PTM utama seperti penyakit

jantung, strok, diabetes mellitus, kanker dan PPOK dan faktor resiko bersama PTM

sudah menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia, terutama yang terlihat dari

angka fatalitas penyakit, serta dampak sosial dan ekonomi dari penyakit. Data dari

Riskesdas 2007 menunjukkan bahwa strok merupakan penyakit utama penyebab

kematian. Laporan dari data rumah sakit pada tahun 2008 menggambarkan bahwa

kasus terbanyak penyebab kematian adalah strok dan angka fasilitas tertinggidi rumah

sakit adalah diabetes mellitus diikuti oleh strok.

Page 67: ringksneks-abstrak

Strategi nasional pencegahan dan pengendalian PTM pada prinsipnya sudah sejalan

dengan strategi global sejak pertama kali dikembangkan pada tahun 2003. Strategi

nasional pencegahan dan pengendalian PTM mencakup tiga dimensi, seperti

pendekatan berbasis masyarakat, sistem surveilan dan penanganan kasus. Strategi

program telah diimplementasikan dibawah koordinasi Direktorat PTM, Kemeterian

Kesehatan yang terdiri dari lima sub-direktorat PTM (penyakit jantung, diabetes mellitus,

kanker, cedera dan kekerasan serta penyakit kronik dan degeneratif lainnya). Sebagian

besar pemerintah provinsi dan kabupaten masih belum sepenuhnya dapat menerapkan

kebijakan dan strategi nasional karena keterbatasan dalam aspek sumber daya,

kebijakan daerah dan peran masyarakat. Secara umum, sumber daya manusia,

infrastruktur, struktur organisasi dan finansial masih relatif terbatas disebagian besar

provinsi dan kabupaten di Indonesia dalam implementasi program pengendalian PTM.

Dukungan kebijakan di tingkat provinsi dan kabupaten kurang optimal karena masih

lemahnya advokasi dan koordinasi antara sector kesehatan dan sector non kesehatan,

termasuk dengan pemerintah daerah setempat.

Sebagai dampak dari penerapan sistem pemerintahan desentralisasi, pemerintah

daerah mempunyai kewenangan untuk dapat menetapkan prioritas pembangunan

daerahnya, termasuk pembangunan kesehatan, secara lebih mandiri. Konsekwensinya,

dinas kesehatan kabupaten mempunyai struktur organisasi yang berbeda antara

kabupaten, sehingga program PPTM bisa ada dibawah seksi PTM, pengendalian

penyakit, promosi kesehatan, surveilans atau tidak ada dibawah seksi manapun.

Sementara itu, partisipasi masyarakat untuk upaya pencegahan faktor resiko PTM yang

terbentuk dalam kegiatan “Posbindu PTM”, berjalan dengan aktif dengan dukungan kuat

dari kader kesehatan yang aktif serta bimbingan dari tenaga kesehatan puskesmas

setempat. Di beberapa wilayah puskesmas dan kantor kepala desa atau kelurahan

setempat masih belum mempunyai pemahaman, kapasitas dan sumber daya yang

memadai untuk pencegahan dan pengendalian faktor resiko PTM khususnya dalam

menjalankan intervensi berbasis masyarakat yang lebih efektif dan berkelanjutan.

Peran Kemenkes (Direktorat PPTM) sangat penting dalam menjadikan kebijakan

pemerintah dapat diterapkan dengan optimal ditingkat propinsi dan kabupaten.

Direktorat PPTM telah menunjukkan kemajuan yang signifikan dalam pengembangan

program pencegahan dan pengendalian PTM sejak pertama kali dibentuk pada tahun

Page 68: ringksneks-abstrak

2006. Meskipun merupakan direktorat yang baru, beberapa upaya dan inisiatif telah

dilakukan sebagai tanggapan atau respon terhadap strategi dan kebijakan global

pengendalian PTM. Untuk masa yang akan datang serta perbaikan program maka

pemerintah perlu untuk lebih mengarahkan strategi program pada pendekatan factor

resiko, program pencegahan berbasis masyarakat, sistem surveilans terintegrasi,

pedoman lengkap sistem pencatatan di setiap tingkat serta sosialisasi dan advokasi

yang lebih kuat di tingkat provinsi dan kabupaten.

Hasil dari analisa ini secara garis besar merekomendasikan beberapa hal, termasuk

penguatan strategi melalui pendekatan faktor resiko bersama PTM utama untuk

pengembangan sistem surveilans, intervensi berbasis masyarakat dan kemitraan serta

kolaborasi multi sector, memperkuat kemitraan lintas sektor maupun lintas program,

memperbaiki akses dan kualitas pelayanan kasus PTM terutama untuk populasi yang

paling membutuhkan serta meningkatkan peran kemenkes dalam proses advokasi untuk

terciptanya kebijakan public yang sehat untuk pembangunan secara nasional maupun di

tingkat daerah.

4. National Workshop on Sharing and Learning for Effective Health Researches on

Climate Change in Indonesia.

Ketua Pelaksana : Dr. Ir. Inswiasri, MKes

Description, Duration and outcomes (i.e.Results) from the DFC Activities – From Date to

Date

In Indonesia, some research on climate change that linked to public health concern have

been conducted and some results are as below:

1. Prolonged drought in 1990 – 1994 has sparked forest fires in Sumatra and

Kalimantan.The incident over and over again in the years 2003 and in 2006 and has

linked to Acute Respiratory Illnes (ARI) in the province of South Kalimantan and

Central Kalimantan in 2006. Drought has also caused crop failure in Pantura Java

which has forced people to seek livelihoods in the surrounding towns.

2. Rising temperatures on the plateau in the District of Ungaran-Semarang Central

Java have allowed mosquitoes to reach the area, though originally there is no

malaria mosquito in that area (Prop. Health office, Central Java, 2008).

Page 69: ringksneks-abstrak

3. High rainfall has caused floods and landslides in East Java Province. In 2008 saw

major flooding in Karanganyar regency, Central Java Province, due to overflow from

the solo river.

4. Sea level rise and tidal has affected people in coastal areas like the north coast of

Java, including in Semarang and Tegal in 2008. The incident has caused economic

losses and public health threats due to the mosquitoes breeding places and quality

of clean water.

Looking some of results above, there is a need to held a workshop of study on health

impact of climate change in Indonesia involving universities and research center and

other ministries.

It is expected that during workshop, researchers could share the methodology, model,

and result of the study that have been carried out so that the institutional capacity to

conduct the study of broaden the research on climate change should address health

risk. The purpose of the workshop is also to prepare for the wider action that meet the

institution-wide challenge of adapting to health risks from climate change.

The purpose of the workshop to prepare of wider actions that meet the institution-wide

challenge of adapting to health risk from climate change.

a. To share & discuss on health experiences on health impact of CC among

stakeholders for health, adaption & mitigation.

b. Needs, research models & results to be expected so as to guide & prioritize studies

for near future.

This is to:

1. Strengthen key function of environmental management, vulnerability & health impact

assessment, disease surveillance & response, preparedness to natural disasters &

new emerging diseases to safeguard human health from CC

2. Discuss on proactive approaches for development of decisions with adequate

inclusionof necessary adaptation & mitigation measures to CC & protection of human

health.

Page 70: ringksneks-abstrak

3. Intensifying preventive public health liking it with sustainable development & healthy

environment.

The workshop has conducted for 2 days (10-11 October 2011). Participants of this

meeting or this discussion are:

1. Experts or participants from universities who concern to public health problem

especially.

2. Institutions in Environment Health Protection like Ministry of Health, Ministry of

Environment, State Ministry of Research and Technology.

3. Universities (University of Indonesia – Faculty of Public Health, Center of

Environmental Study)

4. Non-Government Organization (UNEP, ASEAN, World Bank)

5. Research Institutions (NIHRD, Research Unit In Universities)

6. District Authorities (Local government-Provincial/Municipality level)

The result of the workshop were:

1. Health impact of climate change have been identified using many references:

malaria, DHF, Chikungunya, Diarrhea, ARI, and malnutrition.

2. Depend on continouing data, many researchers study on vector burn diseases

(malaria, DBD, and diarrhea). Others have to create using surveillance system.

3. Patern of diseases and climate are vary in Indonesia. Data of risk factor of diseases

have not recorded yet routinely. So there are not easy to analyzed health impact of

climate change.

4. Researcher from University of Indonesia suggested those prority research for

Indonesia are a) climate early warning system for diseases: Malaria, DHF, ARI, and

Diarrhea, b) Mapping of health vulnerability: population, diseases, and area, c)

Environment and diseases surveillance systems effectiveness, d) climate change

and non-comunicable diseases.

5. LIPI has plan to study climate change impact on malaria in Semarang and Kebumen,

Central Java for 4 years up to 2014.

6. Faculty of Public Health, Diponegoro University, Semarang plan to study climate

change and vector of DHF along the coastal.

7. Institute of Bandung Technology (ITB) has conduct study on climate change and

prediction to DHF in South of Sumatera and Malang using deterministic model.

Page 71: ringksneks-abstrak

8. Medicine school of Padjadjaran University has analyzed data climate change and

health impact (Malaria, DHF, and Diarrhea) using vulnerability and risk assessment.

9. BMKG has analyzed data of climate change and health impact (DHF patern) using

statistics model.

10. We can conclude that the result of this workshop are: study of health impact of

climate change have already done by many research institutions and university

focusing on malaria, DHF, Diarrhea. Method of analysis of the study are description

or prediction diseases using statistical model, deterministic model, and GIS. Area of

study: along coastal, vulnerable area or population (Sumatera Selatan, Malang,

Semarang, Kebumen, and Parakan).

5. Alih Bahasa Pedoman Pelatihan Penelitian Operasional Kesehatan Reproduksi

(Adaptation of Training Module on Operational Research of Reproductive Health

in Indonesia).

Ketua Pelaksana : Iram Barida,SKM,MKM

WHO telah menerbitkan modul penelitian operasional kesehatan reproduksi yang sudah

diakui memenuhi metode ilmiah dan dapat diaplikasikan di daerah. Namun modul

tersebut ditulis dalam bahasa Inggris yang sebagian besar belum dapat dengan mudah

dipahami, untukitu perlu diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia agar lebih mudah

dipahami sehingga mudah dilatihkan dan digunakan di daerah.

Modul pelatihan penelitian operasional adalah prosedur yang harus diikuti oleh pengusul

penelitian yang dikembangkan oleh WHO. Untuk itu modul tersebut perlu dialih

bahasakan sehingga mudah dipahami bagi fasilitator dan peserta pelatihan dan

pemerhati kesehatan reproduksi di seluruh Indonesia. Modul ini menjadi bahan ajar

standar bagi pelatihan peneliti untuk dapat mengembangkan usulan penelitian.

Kegiatan ini ditujukan untuk mengalihbahasakan Pedoman penelitian operasional

kesehatan reproduksi ke dalam bahasa Indonesia. Dalam penulisan ini disesuaikan

dengan keinginan adanya pedoman untuk digunakan dalam pemberdayaan daerah

melalui pelatihan penelitian operasional kesehatan reproduksi. Adapun contoh kasus

dalam pedoman akan disesuaikan dengan kasus yang terjadi atau yang sedang

berkembang di Indonesia.

Page 72: ringksneks-abstrak

Kegiatan utama adalah mengalihbahasakan modul pelatihan penelitian operasional

kesehatan reproduksi. Untuk menyempurnakan hasil dari kegiatan ini diperlukan

masukan dari narasumber melalui beberapa pertemuan seperti pertemuan persiapan,

alih bahasa, editing dan pencetakan.

Hasil yang didapatkan dari seluruh rangkaian kegiatan ini adalah tersusunnya sebuah

modul pelatihan riset operasional bagi manager/pemegang program kesehatan

reproduksi. Dengan adanya buku panduan ini, diharapkan para pemegang program

mampu meningkatkan kinerjanya menjadi lebih baik dan efisien serta tepat sasaran.

V. Ringkasan Kegiatan Bersumber Dana Lintas Program

Asesmen Program Internsip Dokter Indonesia

Ketua Pelaksana: DR.dr. Harimat H

Internsip adalah proses pemagangan yang diperlukan agar seorang mahasiswa kedokteran

yang telah memiliki ijasah dokter dapat berpraktik mandiri. Program Internsip Dokter

Indonesia pertama telah dilaksanakan di Sumatera Barat pada Bulan Pebruari 2010.

Setelah 1 tahun pelaksanaan kegiatan internsip, Kementerian Kesehatan memandang perlu

untuk melakukan suatu penilaian terhadap pencapaian kegiatan internsip.

Asesmen dilakukan antara Bulan Pebruari – Maret 2011, dengan lokasi di 4 kabupaten di

Sumatera Barat, yakni Pariaman, Pesisir Selatan, 50 Kota, dan Solok Selatan. Pemilihan

kabupaten/kota lokasi asesmen dilakukan secara random (acak) dengan

mempertimbangkan keterwakilan RS Kelas C, RS Kelas D, Puskesmas rawat inap dan non

rawat inap.

Program Internsip Dokter Indonesia telah berjalan dengan cukup baik di Sumatera Barat. Ini

tercermin dari telah ditempatkannya peserta internsip di puskesmas-puskesmas dan RSUD

di seluruh kabupaten/kota di Sumatera Barat beserta kelengkapannya (pendamping, buku

pedoman). Secara umum, tujuan internsip telah tercapai. Seluruh peserta

sudah mencapai target minimal 400 kasus yang harus ditangani selama menjalani

internsip, namun ternyata masih ada peserta yang tidak memenuhi target proporsi yang

sudah ditetapkan.

Page 73: ringksneks-abstrak

Internsip bermanfaat baik untuk peserta maupun untuk wahana tempat ia ditempatkan.

Selain dapat mengaplikasikan ilmu dan keterampilan yang diterima juga keberadaan

internsip dinilai dapat meningkatkan jumlah kunjungan di beberapa puskesmas, menutup

celah kekurangan tenaga, membawa suasana akademik dan proses transfer of knowledge.

Dalam pelaksanaannya, terdapat beberapa hal yang memerlukan pembenahan, antara lain

manajemen internsip, perbaikan buku pedoman dan log book, serta kelengkapan sarana di

wahana internsip. Beberapa rumah sakit dan puskesmas belum memenuhi persyaratan

sebagai wahana internsip. Umumnya pendamping dinilai sudah memiliki kompetensi yang

baik untuk menjadi pendamping internsip. Program internsip tetap dibutuhkan, namun

dianggap perlu untuk melakukan penyesuaian lama pelaksanaannya dengan

mempertimbangkan pencapaian target UKP dan UKM.

Belum ada dukungan nyata dari Pemerintah Daerah terhadap keberadaan dokter internsip

sehingga tidak ada best practices yang dapat disarikan. Kendala yang dihadapi peserta

Internsip antara lain keterbatasan sarana dan fasilitas diagnostik, penunjang diagnostik, dan

sarana penunjang internsip lainnya; persepsi yang salah mengenai status internsip, serta

kekurangteraturan manajemen meliputi pendaftaran dan rekruitmen peserta,

pengorganisasian dan penempatan di wahana, pembuatan laporan, pengisian buku log, tata

tertib, penerimaan honorarium dan bantuan hidup, serta monitoring dan evaluasi.