ringksneks-abstrak
TRANSCRIPT
![Page 1: ringksneks-abstrak](https://reader034.vdocuments.mx/reader034/viewer/2022052301/557210dd497959fc0b8dceba/html5/thumbnails/1.jpg)
Lampiran:
I. Ringkasan Eksekutif Penelitian DIPA 2011:
1. Dampak Kebakaran Hutan
Ketua Pelaksana : Bambang Sukana, SKM, M.Kes
Pembakaran hutan merupakan salah satu sumber utama pencemaran udara di
pedesaan yang meluas ke daerah perkotaan. Penyakit saluran pernapasan, asma dan
pneumonia merupakan penyakit yang terbanyak bagi negara berkembang. Salah
satu penyebab terjadinya penyakit saluran pernapasan, asma dan pneumonia karena
faktor kualitas udara yang buruk. Untuk mengetahui dampak kebakaran hutan terhadap
kesehatan masyarakat khususnya penyakit saluran pernapasan, asma dan pneumonia
perlu dilakukan penelitian. Penelitian dilakukan di dua lokasi yang berbeda yang pernah
mengalami kebakaran hutan yaitu di Provinsi Kalimantan Tengah dan Provinsi Jambi.
Sumber data yang digunakan adalah dengan melakukan pengumpulan data sekunder
keadaan penyakit saluran pernapasan, asma dan pneumonia di daerah yang mengalami
kebakaran hutan, keadaan kualitas udara di daerah penelitian dan upaya yang dilakukan
Dinas Kesehatan Kabupaten dalam menanggulangi kebakaran hutan.
Hasil penelitian menujukkan bahwa Keadaan Kualitas udara untuk para meter PM10,
SO2, NO2, dan CO telah terjadi peningkatan pada saat angka hotspotnya tinggi,dan
curah hujan rendah. Walaupun tinggi angka-angka tersebut masih di bawah nilai
ambang batas yang diperkenankan. Angka tertinggi kualitas parameter PM10, SO2, NO2,
dan CO terjadi pada bulan September dan Oktober, dimana pada bulan tersebut angka
hotspot tinggi dan curah hujan rendah. Angka kejadian pneumoni dan Ispa dibeberapa
lokasi penelitian menunjukkan hubungannya dengan keadaan kualitas udara parameter
PM10, SO2, NO2, dan CO. Upaya Pemda Kalimantan Tengah dan Jambi sudah cukup
baik dalam menanggulangi dan mencegah kebakaran hutan. Pengetahun sikap dan
perilaku petugas dan para tokoh masyarakat tentang kebakaran sudah cukup baik.
Dari hasil penelitian disarankan agar tidak terjadi kebakaran hutan lagi diperlukan
adanya koordinasi lintas sektor dengan melibatkan para tokoh masyarakat, terutama
tokoh adat, tokoh agama dalam menyadarkan masyarakat maupun pengusaha-
pengusaha perkebunan untuk tidak melakukan pembakaran hutan. Untuk dinas
kesehatan agar segera melakukan penyuluhan secara intensif tentang bahayanya
kebakaran hutan terhadap masyarakat dan para tokoh masyarakat. Selain itu anggaran
![Page 2: ringksneks-abstrak](https://reader034.vdocuments.mx/reader034/viewer/2022052301/557210dd497959fc0b8dceba/html5/thumbnails/2.jpg)
untuk upaya penanggulangan penyakit ISPA, pneumonia ditingkatkan sebagai kesiapan
bila terjadi kebakaran hutan.
2. Studi Pengembangan Model Pengendalian DBD di Provinsi Kalimantan Barat dan
Jawa Barat
Ketua Pelaksana: Dr. Amrul Munif, M.Sc, APU
Di Indonesia Demam berdarah dengue (DBD) masih merupakan masalah kesehatan
masyarakat di Indonesia. Akhir-akhir ini, angka kesakitan (Incidence rate, IR) dari tahun
ke tahun cenderung meningkat, walaupun angka kematian (Case fatality rate, CFR)
cenderung menurun. Obat dan vaksin belum ditemukan, sehingga pengendaliannya
difokuskan pada pengendalian vektor, promosi kesehatan, perlindungan diri (self
protection), manipulasi lingkungan, tatalaksana penderita dan pengembangan sistem
kewaspadaan dini. Pengendalian DBD di Indonesia banyak kendala, kendala teknis
maupun masih terbatas dukungan lintas sektor. Program pengendalian sudah
melakukan berbagai upaya dengan managamen lingkung, pengendalian dan
managamen kasus, namun belum memberikan hasil yang diharapkan, hal ini
mengindikasi masih perlunya upaya lain dalam rangka perbaikan program dalam
penanggulangan Demam Berdarah Dengue.
Proses penulaan, termasuk DBD meupakan poses dinamik, dengan demikian kajian
tenang penularan DBD harus mlibakan aspek dinamik tersebut (ketergantungan
terhadap waktu, yang selama ini diabaikan dalam berbagai penelitian yang berkaitan
dengan DBD. Dengan melibatkan aspek dinamik dari proses penularan tersebut akan
diperoleh suatu kesimpulan lebih tepat dalam menentukan kebijakan penanggulangan
penyakit tersebut. Dengan alasan ini, perlu dilakukan pengembangan model
pengendalian DBD yang lebih spesik dan dinamis. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mendapatkan model pengendalian DBD yang tepat guna serta dapat diterima
masyarakat. Manfaat penelitian selain sebagai masukan bagi program pengendalian
DBD (Dinkes Kabupaten), dan sebagai rujukan teknologi dibidang pengendalian DBD.
Penelitian dilakukan pada tahun 2011 dan 2002 di 2 (dua) provinsi dengan IR tinggi
yaitu : di Jawa Barat akan dilakukan di Kabupaten Indramayu dan Sumedang dan
Kalimantan Barat akan dilakukan di Kabupaten Landak dan Kabupaten Sintang.
Pemilihan lokasi penelitian ini berdasarkan IR dan persamaan geografis pantai dan
pedalaman.
![Page 3: ringksneks-abstrak](https://reader034.vdocuments.mx/reader034/viewer/2022052301/557210dd497959fc0b8dceba/html5/thumbnails/3.jpg)
Penelitian akan dilakukan dengan tahap pertama menganalisis situasi inti program
penanggulangan DBD meliputi program manajemen lingkungan , pemberantasan vektor
dan manajemen kasus. Manajemen lingkungan terdiri dari beberapa faktor antara lain
siklus hidup, kasus endemis dengan mobilitas dan kepadatan penduduk tinggi, musim
hujan, kemarau sebagai Sistem Kewaspadaan Dini, survai nyamuk berdasarkan musim,
parameter House Indeks (ABJ), container indeks, tempat-tempat penampungan air di
lingkungan Tempat-tempat Umum/Tempat-tempat Instansi /sekolah. Manajemen
pengendalian vektor meliputi Penyelidikan Entomologi bila ada transmisi positif pada
radius 100 m, fogging fokus dengan sasaran nyamuk dewasa. Survailans Sistem
Kewaspadaan Dini vektor oleh jumantik, uji resistensi. Managamen kasus terdiri dari
Sistem Kewaspadaan dini mengenai kasus dini (penyuluhan gejala awal ke masyarakat
luas), penanganan kasus cepat dan tepat, tersedianya peralatan (tensimeter, infus set
dll), Sistem Kewaspadaan Dini berbasis laboratorium dengan pemeriksaan serologi.
Tahap kedua pengembangan model dari hasil review literatur mengenai
lingkungan,vektor, virus dan manusia pencegahan dan pengobatan merupakan kegiatan
yang dilakukan program serta rapid assessment procedure (RAP), untuk memperoleh
model intervensi. Dinamika program pengendalian DBD yang komplek memerlukan
suatu analisis yang memadai. Focks dalam Gubler (2001) telah menggunakan model
dinamika dan model stok kastik. Model ini digunakan karena perubahan nilai parameter
yang dinamis.pada dinamika kasus DBD, tidak hanya untuk dinamika transmisi tetapi
digunakan untuk strategi pencegahan dan kontrol. Setiap parameter mempunyai asumsi
dan konsep sendiri sehingga diperlukan suatu simulasi kegiatan pengendalian vektor
yang dilakukan program. Untuk memperoleh intervensi diperlukan analisis dinamika,
yang dikembangkan menjadi pola struktur dinamis.
Setiap pola struktur memiliki perbedaan pola perilaku yang ditetapkan dalam simpul-
simpul umpan balik (Causal loop). Semakin banyak simpul mengindikasikan semakin
banyak variabel atau unsur dan parameter sehingga model dan kesimpulan yang yang
dihasilkan semakin rinci. Perilaku dinamis bersumber dari keunikan struktur model yang
diperoleh dari hasil simulasi model. Pemahaman perilaku model hasil simulasi
berdasakan penelusuran terhadap struktur model, sedangkan simulasi bertujuan untuk
memahami proses intervensi.
![Page 4: ringksneks-abstrak](https://reader034.vdocuments.mx/reader034/viewer/2022052301/557210dd497959fc0b8dceba/html5/thumbnails/4.jpg)
Cara intervensi ini dilakukan di Wilayah kerja Puskesmas terpiliih yang dapat mewakili
criteria yang ditetapkan pada setiap Kabupaten, kemudian dibandingkan hasilnya
dengan wilayah intervensi program. Selanjutnya melakukan lokakarya lintas sektor
untuk mendapatkan komitmen dan dukungan kebijakan/regulasi. Out put penelitian yang
diharapkan adalah diperolehnya penurunan angka kesakitan (IR) paling rendah dari
target nasional IR 55 per 100.000 orang.
3. Pengembangan Model Surveilans Dampak Perubahan Iklim di Indonesia
Ketua Pelaksana : Dra. Athena Anwar, MSc
Perubahan iklim yang secara faktual sudah terjadi di tingkat lokal, regional maupun
global. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer,
yang seharusnya dapat menahan dan melindungi kehidupan di bumi dari radiasi sinar
matahari dan meredam perbedaan suhu secara ekstrem pada siang dan malam,
mengalami kerusakan penyusunnya. Dampak yang diduga timbul akibat terjadinya
perubahan iklim adalah peningkatan gangguan malnutrisi sebagai akibat dari
terganggunya pertanian (gagal panen) yang akan berimplikasi terhadap pertumbuhan
dan perkembangan anak, peningkatan kematian.
Dampak lain berupa penyakit dan cedera akibat gelombang panas, banjir, badai,
kebakaran dan kekeringan; beban terhadap penyakit diare; peningkatan frekuensi
penyakit jantung dan pernafasan karena meningkatnya kadar ozon; dan berubahnya
distribusi spasial beberapa vektor penyakit menular . Dampak lain diduga memicu
adanya berbagai penyakit infeksi baru seperti SARS, flu burung dan hantaan virus.
Dampak perubahan iklim yang mungkin timbul di Indonesia cenderung berupa bencana
dan penyakit-penyakit khas di wilayah tropis.
Meningkatnya insidens/prevalens penyakit tersebut di beberapa wilayah di Indonesia
diduga terkait dengan kerusakan lingkungan dan terjadinya perubahan iklim. Untuk
dapat mengetahui dampak perubahan iklim terhadap kesehatan manusia serta
menyusun upaya adaptasi terhadap dampak perubahan iklim tersebut, Puslitbang Ekogi
dan Status Kesehatan, Badan Litbangkes, Kemenkes melakukan penelitian tentang
gambaran kejadian penyakit malaria, DBD, dan diare di beberapa wilayah yang
dihubungkan dengan parameter iklim dari tahun 1995 sampai 2009. Dari penelitian
![Page 5: ringksneks-abstrak](https://reader034.vdocuments.mx/reader034/viewer/2022052301/557210dd497959fc0b8dceba/html5/thumbnails/5.jpg)
awal tersebut menunjukkan bahwa ketersediaan dan keakuratan data di level
kabupaten/kota masih terbatas, sehingga hasil analisis hubungan iklim dan
kecenderungan beberapa penyakit belum terlihat menunjukkan pola yang jelas. Untuk
itu pada tahun 2012 dilakukan penelitian pengembangan Model Surveilans Dampak
Perubahan Iklim Di Indonesia. denga tujuan diperolehnya suatu sistem surveilans
dampak kesehatan akibat terjadinya perubahan iklim.
Penelitian ini didahului dengan suatu kegiatan rapid asessment untuk mengumpulkan
informasi tentang surveilans yang selama ini berjalan di Indonesia. Untuk menentukan
variabel yang akan dimasukkan ke dalam model surveilans, dilakukan dengan cara
diskusi yang melibatkan lintas program, lintas sektor dan pakar dari perguruan tinggi.
Dari hasil pertemuan lintas program, lintas sektor maupun pertemuan dengan pakar
disepakati variabel penyakit yang masuk dalam model ini adalah malaria, DBD, Diare,
infuenza like illness (ILI), dan pneumonia. Untuk variabel iklim adalah suhu permukaan
bumi, curah hujan, dan hari hujan. Hasil penelitian dan pengembangan ini berupa
model surveilans yang dilengkapi dengan Buku Pedoman Surveilans Dampak
Kesehatan Perubahan Iklim Di Indonesia dan Buku Pedoman Pengguna Aplikasi
Surveilans Dampak Kesehatan Perubahan Iklim Di Indonesia. Sumber data penyakit
adalah sistem EWARS (pelaporan puskesmas/pustu/bidan desa), dan data iklim berasal
dari Badan Meteorologi, Klimatologi, Dan Geofisika (BMKG). Frekuensi pengumpulan
data penyakit maupun iklim disesuaikan dengan sistem EWARS, yaitu setiap minggu.
Pengolahan dan analisis data dengan cara overlay antara variabel penyakit (DBD,
malaria, diare, pneumonia, dan ILI) dengan variabel iklim (suhu dan curah hujan). Hasil
pengolahan dan analisis data berupa grafik distribusi dan trend, serta peta Geographic
Information System (GIS).
Untuk memudahkan tukar menukar dan memperbaharui informasi diantara pakar
maupun pengambil kebijakan, surveilans ini dibangun berdasarkan web yang dinamis.
4. Peningkatan sistem registrasi kematian dan sebab kematian di 15 kabupaten/kota
di Indonesia tahun 2011 (lanjutan)
Ketua Pelaksana : dr. Lamria Pangaribuan
(belum ada laporan)
5. Evaluasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Aksesibilitas, Peresepan dan
Penggunaan Obat Generik dan Obat Esensial
![Page 6: ringksneks-abstrak](https://reader034.vdocuments.mx/reader034/viewer/2022052301/557210dd497959fc0b8dceba/html5/thumbnails/6.jpg)
Ketua Pelaksana : Dra. Anny Victor Purba, M.Sc.,Ph.D, Apt
Peresepan obat generik (OG) akan meningkatkan keterjangkauan masyarakat terhadap
obat karena harga OG yang biasanya jauh lebih murah dari obat paten. OG merupakan
instrumen yang efektif dalam meningkatkan keterjangkauan bila ada peraturan
pemerintah yang mengharuskan penggunaan OG, jaminan kualitas dan penerimaan
pasien dan profesional. Peresepan OG berdasarkan beberapa penelitian masih rendah,
meskipun pemerintah dalam hal ini Kemkes telah mengeluarkan Peraturan Menteri
Kesehatan RI Nomor HK.02.02/Menkes/068/I/2010 tentang Kewajiban Menggunakan
OG di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah.
Obat generik adalah obat dengan nama resmi International Non Propietary Names (INN)
yang ditetapkan dalam Farmakope Indonesia atau buku standar lainnya untuk zat
berkhasiat yang dikandungnya. Kualitas OG tidak kalah dengan obat bermerk karena
dalam memproduksinya perusahaan farmasi harus melengkapi persyaratan ketat dalam
Cara-cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) yang dikeluarkan oleh Badan
Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM).
Obat esensial (OE) adalah obat terpilih yang paling dibutuhkan untuk pelayanan
kesehatan bagi masyarakat mencakup upaya diagnosis, profilaksis, terapi dan
tercantum, dalam Daftar Obat Esensial (DOEN) yang ditetapkan oleh mentri. OE dipilih
yang relevan dengan pola penyakit, terbukti berkhasiat dan aman, dan cost-effectivenes.
Aksesibilitas terhadap obat dapat ditingkatkan dengan: 1. Pemilihan obat yang rasional;
2. Harga obat yang terjangkau; 3. Pembiayaan obat yang berkesinambungan dan 4.
Sistem kesehatan dan suplai yang dapat diandalkan. Penggunaan OE yang rasional
merupakan salah satu aktivitas pelayanan kesehatan, meminimalkan pemborosan
dalam peresepan dan penggunaan obat. Akses kepada pelayanan kesehatan termasuk
OE adalah merupakan bagian dari hak azasi yang mendasar. Dalam penelitian ini
aksesibilitas dinilai berdasarkan ketersediaan obat, digunakan 40 jenis obat esensial inti
dari WHO.
Pada tahun 2007 Indonesia telah meratifikasi kesepakatan Millenium Development Goal
(MDG), kesepakatan internasional dengan 8 target yang ingin dicapai sebelum tahun
2015. Salah satu target yang ingin dicapai yaitu target 8, mengembangkan kerjasama
![Page 7: ringksneks-abstrak](https://reader034.vdocuments.mx/reader034/viewer/2022052301/557210dd497959fc0b8dceba/html5/thumbnails/7.jpg)
global dengan indikator: Proporsi penduduk dengan akses kepada OE yang
berkesinambungan.
Pertanyaan penelitian: Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi aksesibilitas,
peresepan dan penggunaan OG dan OE yang rasional.
Penelitian ini bertujuan untuk: Mengevaluasi faktor-faktor yang mempengaruhi:
aksesibilitas terhadap OG dan OE; dokter dalam meresepkan OG dan OE, masyarakat
menggunakan OG dan OE, mengevaluasi kesinambungan pembiayaan OG dan OE,
dan menyusun rekomendasi kebijakan dalam peningkatan aksesbibilitas, pengetahuan
dan mendorong, peresepan dan penggunaan OG maupun OE yang rasional.
Metoda penelitian: Penelitian ini bersifat non-intervensi, survei dengan rancangan
survei potong lintang. Penelitian dilakukan di 18 Provinsi (18 kota dan 20 kabupaten) di
Indonesia, selama kurun waktu 5 bulan, dari bulan Agustus 2011 sampai dengan bulan
Desember 2011. Lokasi pengumpulan data dilakukan di tiap-tiap kota, yakni 1 RSU, dan
1 RSUD.
Sebagai populasi adalah seluruh dokter umum yang praktek di rumah sakit, seluruh
pasien rawat jalan yang sedang berobat di poliklinik dan seluruh Kepala Instalasi
Farmasi Rumah Sakit. Sampel dokter, secara purposif diambil 10 orang dokter umum
atau spesialis yang bersedia diwawancarai. Sampel pasien, secara purposif diambil 10
orang pasien yang sedang mengambil obat diapotek.
Instrumen pengumpulan data untuk Aksisibilitas: dilihat ketersediaan obat yang
berkesinambungan melalui catatan laporan obat, selama 3 bulan yaitu bulan Mei, Juni
dan juli 2011dan wawancara terhadap Kepala Instalasi Farmasi di Rumah Sakit.
Untuk mendapatkan gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi dokter menulis resep
OG dan OE: dilakukan dengan wawancara terstruktur tentang pengetahuan
(kompetensi), Sikap, Peraturan, Harga dan Konsumen.
Untuk mendapatkan gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi pasien menggunakan
OG dan OE: dilakukan dengan wawancara terstruktur terhadap pasien yang bersedia
untuk berpartisipasi dalam penelitian. Wawancara dilakukan sekitar mengenai OG dan
OE, meliputi pengetahuan, kualitas dan penggunaannya dan sikap.
![Page 8: ringksneks-abstrak](https://reader034.vdocuments.mx/reader034/viewer/2022052301/557210dd497959fc0b8dceba/html5/thumbnails/8.jpg)
Manajemen dan Analisis Data: Untuk mendapatkan gambaran mengenai determinan
penggunaan obat data disuguhkan secara deskriptif mengenai data demografi peresep
(dokter), dan pasien.
Hasil wawancara dokter dan pasien dianalisis secara kualitatif, sedangkan hasil
wawancara dengan Kepala Instalasi Farmasi Rumah sakit dilakukan secara kuantitatif.
Hasil yang diperoleh dari wawancara terhadap Kepala Instalasi Farmasi RS
menggambarkan:
1. Faktor-faktor yang mempengaruhi aksesibilitas terhadap OG dan OE.
Kebijakan penggunaan OG dan OE persentase terbesar ada karena kebijakan
kemenkes dan internal RS, DOEN tersedia di ruang instalasi farmasi RS, digunakan
untuk dasar pengadaan obat, apoteker ada dan aktif di PFT, ada formularium RS,
yang dipatuhi sebagian besar dokter, ada pengobatan standar, yang dipatuhi oleh
sebagian besar dokter, ada evaluasi penggunaan OG dan ada tindak lanjutnya. RS
berhak mengganti obat nama dagang dengan obat generik.
Persentase terbesar RS memiliki pedoman perencanaan obat, dibuat oleh PFT,
berdasarkan metode konsumsi, tidak memiliki pedoman pengadaan obat, panitia
pengadaan adalah apoteker RS, dengan system tender, frekuensi 12-24 kali
setahun. Pelatihan manajemen obat tidak pernah, dan kendala OG adalah
kekosongan obat dari pabrik/ PBF
Pembiayaan OG dan OE persentase terbesar sesuai kebutuhan, harga beli tidak
sesuai dengan kemasannya dan harga jual tidak membedakan antara margin OG
dan OP.
Promosi OG dan OE persentase terbesar telah dilakukan terhadap penulis resep, tak
ada insentif bagi dokter penulis resep OG, tak ada insentif bagi instalasi penyedia
OG, pasien meminta obat generik, melayani asuransi.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi dokter dalam meresepkan OG dan OE a.l:
A. Pengetahuan
Dokter menyebutkan peraturan yang mereka ketahui untuk meresepkan OG adalah:
Imbauan IDI, himbauan RS, kepmenkes, himbauan kemenkes, PP, peraturan RS,
peraturan jamkesmas/jamkesda.
Dokter tidak tahu adanya peraturan yang mengatur OE dan tidak tahu apakah
peraturan itu memang diperlukan, dan implementasi peraturan itu berupa
diresepkannya OG pada pasien tidak mampu, untuk pasien dengan asuransi kecuali
![Page 9: ringksneks-abstrak](https://reader034.vdocuments.mx/reader034/viewer/2022052301/557210dd497959fc0b8dceba/html5/thumbnails/9.jpg)
untuk obat yang tidak ada generiknya, di RS mayoritas OG karena pasiennya
kebanyakan jamkesda.
Pada umumnya dokter menggunakan list obat askes (DPHO) sebagai formularium
RS dan sebagian besar RS belum memiliki pedoman pengobatan atau belum
berjalan
OG disebutkan kelebihannya: murah, akses mudah, ketersediaan banyak, variatif
kekurangannya: Kemasan kurang menarik, keterbatasan jenis, efektivitas kurang,
kesan di masyarakat kurang baik.
Sebagian besar dokter merasakan khasiat OG kurang bagus, lebih bagus OP,
pasien kurang percaya OG. Tetapi sebagian kecil lainnya merasakan sama saja
dengan OP namun reaksi agak lama.
Dokter berpendapat OG diperlukan karena harga terjangkau, dapat membantu biaya
pengobatan (terutama pasien umum yg kurang mampu), bisa diproduksi massal,
ketersediaan banyak, terutama utk pasien asuransi.
B. Peraturan
Dokter merasa bahwa pemerintah hanya menghimbau bukan kewajiban dalam
peresepan OG.
Menurut dokter sediaan OG belum cukup, yang perlu ditambah : obat hormonal
kalistrenol, primolut, anti bisa ular, anti tetanus, ambroksol, cetirizine, sukralfat,
omeprazol injeksi. OG selalu tersedia di RS. Harganya OG lebih murah, 2-30 x,
mutunya bagus, sama dengan OP. Namun ada juga yang menganggap mutu lebih
rendah.
Banyak dokter menyatakan belum pernah mendapat informasi mengenai OG.
Sebagian lagi ada juga yang menyebutkan dari iklan media cetak, dinas kesehatan
C. Sikap
Faktor-faktor yang menjadi pertimbangan dalam meresepkan OG yaitu tingkat sosial
ekonomi, melihat kondisi pasien, dalam hal kemanusiaan pekerjaan pasien, tempat
tinggal. Pada umumnya di RS pemerintah semuanya diresepkan OG, pasien
jamkesmas, jamkesda / jkss (jaminan kesehatan sepintu sedulang), jampersal,
askes dan pasien umum tertentu dan yang meminta kecuali pasien minta OP dan
keadaan penyakit pasien tidak terlalu berat atau membahayakan jiwa pasien, harga
dibanding nyawa?
![Page 10: ringksneks-abstrak](https://reader034.vdocuments.mx/reader034/viewer/2022052301/557210dd497959fc0b8dceba/html5/thumbnails/10.jpg)
Sedangkan OP diresepkan bila OG tidak tersedia, Dokter spesialis pada umumnya
merasa OG sudah tidak mempan. Pasien yang langsung diberikan OP tergantung
situasi kondisi, kalau pasien tidak cocok OG bisa diberikan OP, dengan iformed
consent dulu. Pasien dengan penyakit tertentu, yang tidak respon OG (tidak
mempan), contoh sepsis, ranson, bioxom. Ada juga yang mengemukakan bahwa
untuk penyakit yang memerlukan obat khusus, atau ketika tidak ada OG nya.
Pasien meminta OP, pasien dengan sosek menengah ke atas, pasien dengan
penyakit lebih berat.
Menurut pengakuan dokter meresepkan 60 – 90% OG
Dokter mengatakan peresepan rasional adalah yang sesuai dosisnya, sesuai
dengan klinis, sesuai dengan keluhan pasien. Namun bisa juga kalau pengalaman
meresepkan tidak sesuai dosis ya tidak masalah memberinya, tetapi ada juga dokter
yang tidak tahu. Sosialisasi dan upaya peningkatan penggunaan obat generik
diperlukan dikalangan penulis resep, agar lebih mantap, karena masih banyak juga
dokter yang belum mengerti, banyak masyarakat tidak mampu, kondisi penyakit
berbeda-beda.
Untuk meningkatkan peresepan OG diperlukan pengarahan dari dinkes, himbauan
kepada dokter dan masyarakat, peningkatan kualitas OG, peraturan di setiap
instansi, komunikasi dokter-pasien
Untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap OG dokter menyarankan
agar memberikan informasi atau penjelasan yang cukup kepada pasien,
memperbaiki kemasan, iklan tentang mutu OG bagus, membuktikan penggunaan
OG bisa menyembuhkan, mengurangi desas-desus OP
D. Harga
Menurut dokter harga jauh sekali bedanya, OG bisa terjangkau, OP mahal
Menurut dokter OG dan OP khasiatnya sama, OP efektivitas lebih cepat contoh
antibiotik OG agak lama, ada jug adokter yang lebih yakin OP
Jenis OG cukup banyak, sudah variatif, tapi masih ada beberapa obat yang belum
ada generiknya, ketersediaan sudah cukup baik, karena tiap bulan dievaluasi.
Menurut dokter, bagaimana cara paling efektif untuk meningkatkan penggunaan
obat generik?
Memberikan informasi yang cukup kepada pasien, himbauan/ aturan kepada dokter,
menghilangkan obat paten, meningkatkan mutu OG, meningkatkan ketersediaan.
![Page 11: ringksneks-abstrak](https://reader034.vdocuments.mx/reader034/viewer/2022052301/557210dd497959fc0b8dceba/html5/thumbnails/11.jpg)
E. Masyarakat / Konsumen
Sikap masyarakat menurut dokter terhadap OG ada yang memilih generik ada pula
OP bagi pasien yang skeptik, dokter spesialis sikapnya terserah dokter.
Masyarakat yang kurang mampu cenderung ke OG, masyarakat menengah keatas
cenderung OP
Menurut dokter tidak ada atau jarang pasien meminta OG, tergantung dokter karena
di RSU pasti memberi OG terlebih dahulu. Ada pasien yang meminta obat biasa, ada
yang meminta obat bagus tanpa menyebutkan obat biasa dan obat bagus itu apa.
Kendala yang dihadapi dokter dalam meresepkan OG (dalam hal ini komunikasi dgn
pasien (pengetahuan dan latarbelakang pasien), keterbatasan waktu berkomunikasi,
keterbatasan sarana / fasilitas)? Pada umumnya tidak ada kendala, tergantung pada
ketersediaan obat yang belum ada OG, tetapi ada juga kadang pasien minta obat
paten.
F. Sikap
Dokter mengatakan meresepkan OG hampir tiap hari. Jenis yang sering diresepkan
adalah antipiretik, antibiotik, analgesik, anti inflamasi, jantung, kolesterol, dispepsi,
anti emetik, vitamin, antipiretik, anti inflamasi, mukolitik, hampir semua jenis.
Dokter meresepkan OG terutama kepada semua pasien kecuali pasien meminta OP,
pasien Askes, jaminan kesehatan, kurang mampu, sudah ada ketentuan pemerintah,
sosek menengah kebawah
Dokter sendiri menggunakan OG dulu, karena kalau sudah paten nanti OG tidak
mempan, karena mutunya juga baik, sering, kualitas sama, parasetamol dan CTM
lebih efektif kalengan. Tetapi sebagian dokter mengaku jarang meresepkan OG
karena respon kurang baik.
Dokter selalu menyarankan pasien menggunakan OG. misal parasetamol, ranitidine.
Tetapi ada juga dokter yang tidak pernah menyarankan OG
Dokter tidak meresepkan OG apabila tidak tersedia OG nya, pasien sudah
pengalaman diberi OG tetapi tidak sembuh misalnya pasien rujukan dari puskesmas,
atau permintaan pasien dan praktek pribadi.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat menggunakan OG dan OE.
![Page 12: ringksneks-abstrak](https://reader034.vdocuments.mx/reader034/viewer/2022052301/557210dd497959fc0b8dceba/html5/thumbnails/12.jpg)
Sebagian besar pasien tahu OG berdasarkan logo, informasi dari dokter atau
sebagai obat kelas dua. Contohnya benar yaitu : paracetamol, amoksisilin, kaptopril.
Tetapi ada juga pasien mengatakan tahu dan memberi contoh yang salah yaitu obat
gosok badan. Persepsi tentang OG adalah murah.
Ada responden yang mengatakan OG adalah obat yang berasal dari pemerintah,
obat yang ada di RS dan puskesmas, sebagian besar responden mengidentikkan
obat generik sebagai obat murah dari pemerintah, untuk PNS, disarankan
pemerintah. Ada yang menjawab bahwa OG adalah obat yang dapat dibeli tanpa
resep dokter, bahwa OG adalah obat bantuan pemerintah atau obat yang harganya
murah
Pasien tidak tahu OE dan tidak dapat memberikan contoh OE, ada yang
mengatakan belum pernah mendengar istilah OE. Ada yang tahu tentang OE,
contohnya CTM, Paracetamol, ampisilin.
Sebagian besar pasien tahu OP karena tidak ada logo generik atau OP adalah obat
keluaran pabrik top, contoh sangobion, neorodex, tempra, dosisnya dan harganya
yang mahal. “yang ini obat aslinya karena cuma separonya, kalo yang ini (metformin)
harus satu makannya”. Ada responden yang menjawab bahwa OP adalah obat
yang kemasannya agak permanen, tidak bisa dibeli tanpa resep, tipe G,
mengandung psikotropika, antibiotik.
Lebih dari separuh pasien tahu obat yang diperolehnya dan dapat menyebutkan
contoh dengan benar. Sebagian besar pasien dapat membedakan obat antara OG
dengan OP, salah seorang pasien membedakannya dengan melihat dari harga obat
yang ditebusnya. Jika dilihat dari pola jawaban responden, pada umumnya mereka
tidak mengetahui dengan pasti yang mana OG dan yang mana OP. Pengenalan
mereka umumnya berdasarkan pengalaman, perkiraan atau harga. Ada pasien yang
mengaku tahu OG dan menyebutkan bahwa OG adalah obat racikan RS.Sebagian
besar responden tahu obat yang didapat dan dapat menyebutkan nama obatnya,
tetapi tidak diketahui apakah mereka dapat membedakan OG dan OP.
Sumber informasi berasal dari media massa, TV, koran, majalah, iklan, Internet,
tenaga kesehatan (kader dan bidan) di Puskesmas, teman/tetangga, dinkes, dari
logo pada kemasan obatnya, serta dari tempat kuliah dan kerja.
Pasien biasanya mengetahui khasiat obat berdasarkan pengenalan mereka
terhadap penyakit yang dialami, dari dokter, apotek, saudara atau teman yang
meminum obat, label dan kemasannya berupa blister.
![Page 13: ringksneks-abstrak](https://reader034.vdocuments.mx/reader034/viewer/2022052301/557210dd497959fc0b8dceba/html5/thumbnails/13.jpg)
Namun sering juga pasien tidak dapat mengingat khasiat obat atau tidak
menanyakannya. Jadi tidak tahu dengan pasti khasiat obat (salah menyebutkan)
sebagai contoh menyebutkan: “Metilprednisolon : memperlancar air kencing,
Omeprazol : mengurangi kolesterol, Simvastatin : penambah nafsu makan (karena
dimakannya sebelum makan).
Pasien menyatakan mendapat OG maupun OP sama mudahnya. OG mudah
diperoleh di Apotek
“Gampang-gampang susah, kadang-kadang ada, kadang-kadang harus beli di
apotek. Sama aja, tergantung dokternya. Kata saya mah lebih bagus yang bukan
generik karena harganya lebih mahal”
Sebagian besar responden menyatakan obat merk lebih mudah didapat tanpa
reseppun bisa. OG mudah didapat di RS, puskesmas dan apotek tetapi ada yang
berpendapat harus pakai resep.
Sebagian besar menyatakan OP lebih banyak tersedia terutama di warung-warung,
sedangkan OGlebih banyak di RS, puskesmas dan apotek
Harga OG menurut pasien lebih murah bahkan ada pasien yang mendapatkan obat
secara gratis.
Pasien mengatakan kalau di rumah sakit lebih sering diresepkan OG, tapi kalau di
dokter praktek luar lebih sering diresepkan OP.
Kualitas OG menurut pasien baik, hanya saja OG lama sembuhnya dan sebagian
tidak tahu.
Ada yang menambahkan bahwa jika patuh dalam pengobatan memakai OG atau OP
maka penyakitnya pasti sembuh. Mutunya bagus dan cepat sembuh, hanya
kemasannya saja yang berbeda.
Cara yang paling efektif menjelaskan mengenai OG melalui tenaga kesehatan, baik
itu melalui penjelasan dokter ataupun petugas di apotek, iklan TV, disampaikan dari
mulut ke mulut. koran, pemuka masyrakat/kepala banjar juga menjadi sumber
informasi dan Puskesmas. Sosialisasi OG, melalui posyandu, pertemuan ibu-ibu.
Sebagian kecil ( seorang) tidak tahu.
Cara paling efektif menginformasikan OG, sebagian besar pasien menjawab tidak
tahu, sebagian lainnya menjawab dari dokter dan penjajagan ke masyarakat.
OG yang disukai pasien adalah yang memakai kemasan (strip, blister), bukan dalam
bentuk curah seperti obat puskesmas. Sebagian lagi menjawab yang cepat
menyembuhkan, mutunya bagus, antibiotik, yang langsung bereaksi. Ada yang
![Page 14: ringksneks-abstrak](https://reader034.vdocuments.mx/reader034/viewer/2022052301/557210dd497959fc0b8dceba/html5/thumbnails/14.jpg)
mengenal dan menyukai OG berdasarkan bentuk sediaannya. Contoh : ”Yang bulet,
kalau dikasih kapsul saya sukanya yang bulet lebih gampang diminumnya, kalau
kapsul kadang2 napel (nempel)” sisanya menyatakan tidak tahu. Sebagian besar
responden menyukai obat berbentuk tablet/sirup terutama untuk anak. Obat generik
yang disukai adalah amoksisilin, leudian, parasetamol, serta obat generik yang bisa
tahan lama penyimpanannya, bila sakit tidak harus selalu ke dokter.
B. Perilaku
Ketika membeli obat sebagian menjawab biasanya membeli OP yang sudah tahu
khasiatnya. Ada yang menjawab akan membeli OG tergantung penyakitnya misalnya
obat sakit kepala. Kalau tidak sembuh baru beli OP. Sebagian menyatakan membeli
sendiri OP bila penyakit ringan seperti sakit kepala dan batuk.
Pasien ada yang meminta resep obat yang mahal kepada dokter ketika berobat, ada
yang meminta jenis obat tertentu biasanya vitamin. Seorang minta obat generik.
Seorang responden meminta obat yang bagus tapi murah. Pasien lain mengatakan
“Tergantung dokternya, dikasih apa. Emang bisa minta gitu?”
Saya Pernah, pada saat saya diare sebelumya saya dikasih obat cocok langsung
sembuh, kemudian ketika saya berobat selanjutnya (diare lagi), saya minta obat
yang sama ke dokter. hanya seorang yang pernah meminta obat tertentu karena
alergi dan vitamin. Sebagian lainnya yaitu 2 orang menyatakan pernah meminta
jenis obat karena tahu sakit nya.
Pasien seluruhnya tidak pernah mengajukan permintaan kepada dokter untuk
menuliskan obat generik, sebagian besar karena menuruti apa yang diresepkan
dokter. Ada yang menyatakan bahwa tanpa perlu diminta dokter sudah pasti
meresepkan obat generik. Terserah pada apa yang diresepkan dokter. Ada orang
yang pernah meminta paracetamol, Fe dan vitamin.
Pasien jika boleh memilih obat sendiri maunya OG mutu bagus, terjangkau dan
cocok obat darah tinggi
dan gula biar cepat sembuh, tidak ada OG pakai OP harga biar tinggi tidak apa-apa
yang penting sembuh.
4. Proporsi masyarakat menggunakan OG dan OE digambarkan dari
ketersediaannya di RS atau apotek RS.
![Page 15: ringksneks-abstrak](https://reader034.vdocuments.mx/reader034/viewer/2022052301/557210dd497959fc0b8dceba/html5/thumbnails/15.jpg)
Obat inti menurut WHO persentase terbesar tersedia di RS kecuali Atenolol dan
salbutamol.
Obat penyakit infeksi persentase terbesar tersedia di RS kecuali fluconazol dan
albendazol.
Obat penyakit kronik persentase terbesar tersedia di RS kecuali enalapril dan
beclometason inhaler.
Obat kesehatan reproduksi persentase terbesar tersedia di RS kecuali pil, injeksi
dan kondom.
Obat malaria persentase terbesar tersedia di RS kecuali sulfadoxin dan ACT.
Obat protease inhibititor dan obat antiretroviral umumnya tidak tersedia di RS
Obat anti tuberculosis dalam bentuk tunggal persentase terbesar tersedia di RS.
Obat lainnya persentase terbesar yang tersedia di RS adalah ibuprofen dan oralit.
5. Rekomendasi kebijakan dalam peningkatan aksesibilitas, pengetahuan dan
mendorong sikap dan perilaku dokter maupun pasien terhadap penggunaan OG
dan OE.
Sosialisasi dan upaya peningkatan penggunaan obat generik diperlukan dikalangan
penulis resep, agar lebih mantap, karena masih banyak juga dokter yang belum
mengerti, banyak masyarakat tidak mampu.
Untuk meningkatkan peresepan OG diperlukan pengarahan dari dinkes, himbauan
kepada dokter dan masyarakat, peningkatan kualitas OG, peraturan di setiap
instansi, komunikasi dokter-pasien
Untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap OG disarankan agar dokter
memberikan
informasi atau penjelasan yang cukup kepada pasien, memperbaiki kemasan, iklan
tentang mutu OG bagus, membuktikan penggunaan OG bisa menyembuhkan,
mengurangi desas-bahwa OP lebih bagus dari OG.
Cara yang paling efektif menjelaskan mengenai OG melalui tenaga kesehatan, baik
itu melalui penjelasan dokter ataupun petugas di apotek, iklan TV, disampaikan dari
mulut ke mulut. koran, pemuka masyrakat/kepala banjar juga menjadi sumber
informasi dan Puskesmas. Sosialisasi OG, melalui posyandu, pertemuan ibu-ibu.
Sebagian kecil ( seorang) tidak tahu.
6. Studi Monitoring Efek Samping Obat Antituberkulosis
![Page 16: ringksneks-abstrak](https://reader034.vdocuments.mx/reader034/viewer/2022052301/557210dd497959fc0b8dceba/html5/thumbnails/16.jpg)
Ketua Pelaksana : Ida Diana Sari, S.Si, MPH, Apt.
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang diderita hampir sepertiga populasi
manusia di dunia. Insidens keterjangkitan tuberkulosis merupakan permasalahan
kesehatan dunia yang cukup serius. Hasil survai rumah tangga (SKRT) 1995
menunjukkan bahwa TB (Tuberkulosis) adalah penyebab kematian nomor tiga setelah
penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan pada semua kelompok usia
dan nomor satu dari golongan penyakit infeksi di Indonesia. Data WHO Global Report
yang dicantumkan pada Laporan Triwulan Sub Direktorat Penyakit TB dari Direktorat
Jenderal P2&PL tahun 2010 menyebutkan estimasi kasus baru TB di Indonesia tahun
2006 adalah 275 kasus per 100.000 penduduk/tahun dan pada tahun 2010 turun
menjadi 244 kasus/100.000 penduduk/tahun. Pada Riskesdas 2007 kasus Tuberkulosis
Paru ditemukan merata di seluruh provinsi di Indonesia dan pada Riskesdas 2010
Periode Prevalence Tuberkulosis Paru Nasional adalah 725 per 100.000 penduduk.
Morbiditas dan mortalitas akibat tuberkulosis merupakan permasalahan yang sangat
serius terutama akibat permasalahan timbulnya efek samping akibat penggunaan obat
antituberkulosis (OAT). Efek samping yang serius adalah hepatotoksik. Hal ini
menimbulkan dilema dalam pengobatan tuberkulosis dan eradikasi kuman tuberkulosis,
karena mempengaruhi keberhasilan terapi. Putusnya terapi akibat timbul efek samping,
menimbulkan resistensi kuman sehingga memperberat beban penyakit dan beban biaya
pada pasien.
Berdasarkan hasil penelitian, ke 92 pasien yang menjadi responden dalam penelitian ini
masih patuh dalam menjalani terapi antituberkulosis. Frekuensi kejadian tidak diinginkan
yang paling sering timbul adalah pada bulan pertama menjalani terapi obat
antituberkulosis yaitu mual 30, pusing 18, gatal 15, nyeri sendi pegal 13 dan penglihatan
terganggu 1. Pada bulan kedua, frekuensi kejadian tidak diinginkan akibat penggunaan
OAT adalah pusing 14, mual 13, nyeri sendi pegal 11 dan gatal 8. Pada bulan ketiga,
frekuensi kejadian tidak diinginkan adalah nyeri sendi pegal 10, mual 8, pusing 6 dan
gatal 6. Pada bulan keempat, frekuensi kejadian tidak diinginkan akibat penggunaan
OAT, adalah nyeri sendi pegal 15, gatal 11, pusing 8 dan mual 7. Pada bulan kelima dan
keenam, frekuensi kejadian tidak diinginkan mual 10 dan 4, nyeri sendi pegal 7 dan 6,
pusing 6 dan 1, gatal 4 dan 2. Insidens kejadian tidak diinginkan akibat penggunaan
obat antituberkulosis pada bulan pertama yang tertinggi adalah mual dengan insidens
6521/10.000 penderita, bulan kedua pusing 3043/10.000 penderita, bulan ketiga nyeri
![Page 17: ringksneks-abstrak](https://reader034.vdocuments.mx/reader034/viewer/2022052301/557210dd497959fc0b8dceba/html5/thumbnails/17.jpg)
sendi pegal 2174/10.000 penderita, bulan keempat nyeri sendi pegal 3261/10.000
penderita, bulan kelima mual 2174/10.000 penderita dan bulan keenam nyeri sendi
pegal 1304/10.000 penderita. Kejadian tidak diinginkan lain-lain yang sering timbul
akibat penggunaan OAT yaitu mengantuk dan lemas pada bulan pertama, kedua dan
ketiga.
Pasien yang menjadi responden dalam penelitian ini masih patuh dalam menjalani terapi
antituberkulosis dengan kejadian tidak diinginkan yang paling sering timbul adalah mual
dan nyeri sendi, pegal; insidens kejadian efek samping akibat penggunaan obat
antituberkulosis pada bulan pertama yang tertinggi adalah mual 6521/10.000 penderita,
bulan kedua pusing 3043/10.000 penderita, bulan ketiga nyeri sendi pegal 2174/10.000
penderita, bulan keempat nyeri sendi pegal 3261/10.000 penderita, bulan kelima mual
2174/10.000 penderita dan bulan keenam nyeri sendi pegal 1304/10.000 penderita;
Kejadian efek samping yang paling sering timbul akibat penggunaan obat
antituberkulosis pada bulan pertama adalah mual, bulan kedua pusing, bulan ketiga
nyeri sendi pegal, bulan keempat nyeri sendi pegal, bulan kelima mual dan bulan
keenam nyeri sendi pegal; Kejadian efek samping lain-lain yang paling banyak
dikeluhkan akibat penggunaan obat antituberkulosis adalah lemas. Pada kelompok
lansia terjadi peningkatan SGOT, SGPT dan ureum lebih besar dibandingkan dengan
kelompok anak dan kelompok umur dewasa; Pada kelompok umur dewasa terjadi
peningkatan SGOT, SGPT dan bilirubin total sebanyak 46,34-54,88% dan peningkatan
ureum/kreatinin sebanyak 17,07-53,66%; dan pada kelompok anak terjadi peningkatan
SGOT, SGPT dan bilirubin total sebanyak 28,57-57,14% dan peningkatan
ureum/kreatinin sebanyak 14,29-42,86%.
7. Dampak Radiasi Pada Pekerja di Bagian Radiologi di Beberapa RS Pemerintah
dan Swasta
Ketua Pelaksana : dr. Frans X. Suharyanto H., MS, Sp.OK
Penilaian risiko perlu dilakukan pada rumah sakit - rumah sakit yang memiliki fasilitas
radiasi pengion mengingat hal tersebut akan berpotensi menghasilkan pajanan radiasi
yang cukup besar bila tidak dikelola dengan baik. Kecelakaan radiasi yang dilaporkan
oleh United State Energy Atomic Commision dari tahun 1960-1968 disebakan oeh
kesalahan operator (68%), kesalahan prosedur (8%), kerusakan perlengkapan (15%)
dan lain-lain (9%). Bila dilihat secara rinci kesalahan operator yaitu tidak melakukan
survey radiasi (46%), tidak mengikuti prosedur (36%), tidak menggunakan peralatan
![Page 18: ringksneks-abstrak](https://reader034.vdocuments.mx/reader034/viewer/2022052301/557210dd497959fc0b8dceba/html5/thumbnails/18.jpg)
proteksi (6%), kesalahan manusiawi (6%), dan kesalahan menghitung paparan radiasi
(6%). Penelitian ini bertujuan mengkaji besarnya risiko pajanan radiasi pada pekerja
medis di rumah sakit,
Penelitian ini dilaksanakan pada 9 rumah sakit di 6 provinsi yaitu DKI Jakarta, Jawa
Barat, Jawa Tengah, DI Jogjakarta, Jawa Timur serta Bali. Jumlah sampel minimal yang
dibutuhkan sebanyak 97 responden. Waktu penelitian selama 8 bulan pada tahun 2011
dengan biaya dari anggaran DIPA tahun 2011 sebesar Rp 275.618.000,-. Penelitian ini
direncanakan beberapa tahun, pada tahun pertama (2011) dilakukan penilaian risiko
keselamatan kerja radiasi di rumah sakit. Pengumpulan data dilakukan dengan
menggunakan kuesioner, observasi dan pengukuran pajanan radiasi di tempat kerja
(pada waktu sedang mengoperasikan peralatan yang dugunakan). Kuesioner yang
digunakan meliputi pertanyaan – pertanyaan yang mencakup karakteristik rumah sakit,
kuesioner individu ( data umum responden, hasil pemeriksaan kesehatan berkala, alat
pelindung diri, pemeriksaan radiodiagnostik dan radioterapi ), kuesioner untuk pengelola
RS, selanjutnya dilakukan analisis secra deskriptif. Jumlah responden dalam peneliian
ini sebanyak 115 orang dari 9 rumah sakit.
Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar responden adalah laki-laki (51,3 %)
dan kelompok umur terbanyak 40-44 tahun (27 %) dengan status menikah (98,2 %).
Pendidikan terbanyak adalah lulusan D-3 (44,3 %) dengan jenis pekerjaan adalah
radiografer (59,1 %). Lama bekerja pada unit terakhir terbanyak pada kelompok dengan
lama kerja 11-15 tahun sebesar 26,1 %. Hasil pemeriksaan hemoglobin darah pada
perempuan rata-rata 12,42 g/dL sedangkan pada laki-laki 14,93 g/dL Hasil pemerksaan
darah rutin lainnya juga masih dalam batas normal. Pemakaian alat pelindung diri
(APD) terutama apron yang tak memakai cukup banyak sebesar 43,5%, karena mereka
merasa tempat kerja aman 31,3 %, tak nyaman 9,6 % dan rusak 2,6%.. Hasil
penghitungan estimasi besarnya pajanan radiasi di 9 RS antara 0,000008 – 0,49 mSv
per bulan, kecuali satu orang mencapai 5,13 mSv per bulan karena melakukan tugas
yang bukan bidang keahliannya. ( Nilai Batas Dosis tidak melebihi 50 mSv per tahun,
atau 4 mSv per bulan). Pemakaian film badge sebagai alat monitor perorangan sebesar
88,7 % dan sebagian besar tidak pernah mendapat dosis maksimum, hanya seorang
yang mendapat dosis maksimum karena melakukan pekerjaan yang bukan bidang
keahliannya.
![Page 19: ringksneks-abstrak](https://reader034.vdocuments.mx/reader034/viewer/2022052301/557210dd497959fc0b8dceba/html5/thumbnails/19.jpg)
Kesimpulan dari penelitian ini peraturan dan kebijakan proteksi radiasi untuk melindungi
para pekerja radiasi di semua rumah sakit ( 9 RS) sudah diterapkan, kecuali untuk SOP
pengoperasian peralatan radiasi 88,89%, penanganan limbah radiasi 88,89% dan
rekaman keadaan darurat 55,5%. Pajanan radiasi yang diterima para pekerja radiasi
per bulan di hampir semua rumah sakit (88,89%) masih di bawah Nilai Batas Dosis
(NBD) yang ditentukan yaitu 50 mSv per tahun ( 4 mSv per bulan). Besarnya pajanan
radiasi pada waktu alat sedang digunakan yang terbesar adalah pada waktu melakukan
kateterisasi jantung, dan posisi dokter merupakan posisi dengan pajanan terbesar,
kemudian perawat dan radiographer yang terendah. Hasil pemeriksaan kesehatan yang
didapat dari pemeriksaan kesehatan berkala masih dalam batas normal, hanya saja
pelaksanaan pemantauan kesehatan untuk tenaga medis belum sesuai dengan
Peraturan Kepala BAPETEN No.6 tahun 2010.
Saran pada penelitian ini agar penerapan peraturan dan kebijakan proteksi radiasi
termasuk pemakaian APD (safety culture ) harus terus menerus disosialisasikan dengan
menerapkan secara konsisten faktor keselamatan pasien, pekerja radiasi dan
lingkungan. Lebih mengaktifkan peran organisasi proteksi radiasi serta peningkatan
pengawasan internal oleh kepala instalasi terhadap pelaksanaan proteksi radiasi.
Pemantauan kesehatan untuk pekerja radiasi secara berkala harus dilaksanakan sesuai
dengan peraturan kepala Bapeten No. 6 tahun 2010 dan pada pemeriksaan darah
lengkap ditambahkan pemeriksaan gambaran darah tepi
8. Studi Intervensi Tradisi Se’i di Kabupaten Timor Tengah Selatan Tahap 2
(PARTICIPATORY ACTION RESEARCH)
Ketua Pelaksana : Dra. Rachmalina S, MSc.PH
Masalah kesehatan ibu dan anak di Indonesia masih memprihatinkan dimana Angka
Kematian Ibu masih tinggi yaitu 307 per 100.000 kelahiran hidup. Angka tersebut sekitar
3-6 kali dari AKI negara-negara ASEAN dan lebih dari 50 kali AKI negara maju
(Departemen Kesehatan RI, 1998). Penyebab kematian ibu tersebut sebagian besar
karena pendarahan, toxemia gravidarum dan infeksi. Di masyarakat Timor (dan juga
wilayah NTT lainnya) terdapat kebiasaan memanaskan ibu dalam rumah adat dengan
asap selama 40 hari yang disebut Se’i.
![Page 20: ringksneks-abstrak](https://reader034.vdocuments.mx/reader034/viewer/2022052301/557210dd497959fc0b8dceba/html5/thumbnails/20.jpg)
Tradisi ini jelas tidak baik untuk kesehatan ibu maupun bayinya, karena selama
pengasapan ibu dan bayi berada di lingkungan udara yang tercemar. Keadaan kualitas
udara dalam rumah lopo yang tidak memenuhi syarat menyebabkan gangguan saluran
pernapasan pada ibu dan bayi yang melakukan tradisi Se’i. Hal ini diperparah lagi
adanya kepercayaan ’pantangan ’ mengkonsumsi makanan tertentu (ikan, daging, telur)
pada ibu serta minimnya asupan jenis makanan pada ibu selama ia menjalankan tradisi
Se’i sehingga kemungkinan mengakibatkan ISPA yang merupakan penyakit terbanyak
pertama di Kab. TTS tahun 2007 yaitu 28,5%. Kondisi ini dapat berakibat buruk
terhadap kesehatan seperti gangguan saluran pernafasan sampai gangguan fungsi
paru. Studi Intervensi Tradisi Se’i Di Kabupaten Timor Tengah Selatan Tahap 2:
Participatory Action Research merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kondisi
kesehatan ibu-ibu sehabis melahirkan beserta bayinya dengan memperhatikan kondisi
gizi, lingkungan rumah di lokasi pengasapan melalui proses pemberdayaan masyarakat.
Pada konteks ini masyarakat dilibatkan untuk memahami dan menganalisa kondisi
kesehatan mereka saat ini, seperti kondisi kesehatan ibu; kesehatan bayi baru lahir,
kesehatan bayi, dan berbagai hubungan dan kekuasaan yang mempengaruhi kondisi
tersebut agar mereka mampu untuk melakukan aksi guna memperbaiki kondisi tersebut
berdasarkan analisa mereka dengan menggunakan potensi yang mereka miliki. Untuk
memfasilitasi mereka agar berpikir, menganalisa dan melakukan aksi, proses afektif dan
warga yang berperan melakukan fasilitasi sangat diperlukan.
Pada studi ini masyarakat bersama dengan tokoh masyarakat setempat secara
bergotomg royong membuat prototype “Rumah Bulat Sehat” bagi ibu untuk melakukan
tradisi Se’i. Rumah Bulat Sehat digunakan pada awal desember oleh Ibu Arkilaus saat
melahirkan. Selain itu bagi ibu yang tidak mempunyai rumah bulat sehat, sesudah
dilakukan penyuluhan, di akhir studi beberapa Ibu yang melahirkan sudah tidak lagi
melakukan tradisi Se’i di rumah bulat, tetapi di rumah sehat. Dengan adanya perubahan
perilaku, maka kesinambungan perilaku yang telah berubah dan kerjasama kemitraan
sangatlah penting. Hal tersebut penting untuk menentukan pola pembinaan, pelayanan
serta pemberian sarana pendukung untuk memperbaiki dan menurunkan angka
kesakitan yang disebabkan buruknya kualitas udara dalam rumah Ume ‘Kbubu.
Disamping data tersebut, perlu dijajaki kemungkinan sumber daya dan jalur-jalur yang
dapat dijadikan media intervensi bagi program kesehatan.
![Page 21: ringksneks-abstrak](https://reader034.vdocuments.mx/reader034/viewer/2022052301/557210dd497959fc0b8dceba/html5/thumbnails/21.jpg)
Implementasi dari studi ini bagi Program :
- Sebagai dasar Puskesmas untuk mengalokasian dana BOK dalam perencanaan
tahunan maupun bulanan untuk menjaring ibu nifas yang masih menjalankan tradisi
Se’i.
- Untuk penyegaran kader puskesmas dalam meningkatkan program kesehatan yang
bersifat promotif dan preventif untuk mengurangi dampak kesehatan dari tradisi Se’i
terutama di wilayah studi.
- Sebagai panduan untuk kebijakan pusat maupun daerah dalam mengurangi angka
kematian ibu dan balita di wilayah studi dengan konsep dan prototipe yang telah
diimplementasikan dalam studi ini seperti: penggunaan media dengan konten lokal
untuk penyuluhan, pembuatan rumah bulat (ume’ kbubu) sehat.
9. Program Penanggulangan Anak Balita Gizi Buruk dan Gizi Kurang Melalui Upaya
Kesehatan Berbasis Masyarakat
Ketua Pelaksana : Yekti Widodo, SKM, M.Kes
Data kasus anak balita gizi kurang dan gizi buruk di Indonesia masih tinggi. Hal tersebut
menunjukkan bahwa program penanggulangan anak balita gizi kurang dan gizi buruk
yang dilakukan selama ini belum efektif. Program penanggulangan anak balita gizi
kurang dan gizi buruk di Indonesia dilakukan melalui Pemberian Makanan Tambahan
Pemulihan (PMT-Pemulihan) selama 90 hari, berupa makanan pabrikan dan perawatan
di rumah sakit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan status gizi dan
kesehatan yang telah dicapai selama mendapat bantuan PMT atau selama dirawat di
rumah sakit sering tidak dapat dipertahankan agar tetap baik dan sehat setelah bantuan
berakhir atau sepulang dari rumah sakit.
Informasi tersebut menunjukkan bahwa program penanggulangan balita gizi kurang dan
gizi buruk yang dilakukan selama ini memiliki kelemahan, diantaranya:
1. Hasil yang telah dicapai selama mendapat bantuan PMT dan perawatan di rumah
sakit, sering tidak dapat ditingkatkan dan dipertahankan setelah bantuan PMT
berakhir atau pulang dari rumah sakit.
2. Pemberian bantuan PMT pabrikan cenderung menciptakan ketergantungan dan
menghambat kemandirian keluarga balita gizi kurang dan gizi buruk.
![Page 22: ringksneks-abstrak](https://reader034.vdocuments.mx/reader034/viewer/2022052301/557210dd497959fc0b8dceba/html5/thumbnails/22.jpg)
3. Program penanggulangan balita gizi kurang dan gizi buruk belum dilakukan secara
terpadu, bersinergi, berkelanjutan, dan berkemitraan, serta belum tercipta kerja
sama yang baik dengan lintas program dan lintas sektor.
4. Program bersifat top-down sehingga tidak secara aktif melibatkan masyarakat dalam
perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi program.
Salah satu model untuk meningkatkan optimalisasi hasil penanggulangan balita gizi
kurang dan gizi buruk adalah Program Penanggulangan Anak Balita Gizi Buruk dan Gizi
Kurang Melalui Pos PERGIZI dan Pos KPKIA. Pos PERGIZI (Pos Program Edukasi dan
Rehabilitasi Gizi) adalah salah satu bentuk upaya kesehatan berbasis masyarakat
(UKBM) untuk menanggulangi anak balita gizi kurang dan gizi buruk yang dilaksanakan
dengan memadukan antara kegiatan edukasi (penyuluhan) dengan rehabilitasi yang
meliputi pemeriksaan dan pengobatan, pemberian sirop zink untuk meningkatkan nafsu
makan, PMT-bersama berupa nasi, lauk, dan sayur, serta mengajak masyarakat
memberikan kontribusi berupa bahan makanan, tenaga, atau uang. Indikator kegiatan
Pos PERGIZI adalah peningkatan status gizi dan kesehatan serta kemampuan untuk
mempertahankan hasil yang telah dicapai.
Hasil penanggulangan anak balita gizi kurang dan gizi buruk melalui Pos PERGIZI
selama 24 minggu di 6 desa/Posyandu di Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten
Tangerang, adalah sebagai berikut :
1. Rata-rata partisipasi ibu balita mengikut kegiatan Pos PERGIZI adalah 78,1%.
2. Setelah mengikuti kegiatan Pos PERGIZI anak balita yang mempunyai nafsu makan
baik meningkat dari 8,9% menjadi 32,2%, anak balita yang sulit makan turun dari
55,6% menjadi 8,9%, dan anak balita yang mampu menghabiskan porsi makannya
naik dari 7,8% menjadi 44,4%.
3. Anak balita yang mengikuti Pos PERGIZI ketika diperiksa dalam keadaan sehat
meningkat dari 36,7% menjadi 82,2%.
4. Anak balita gizi buruk yang berhasil meningkat menjadi gizi baik 8,7% dan yang
meningkat menjadi gizi kurang mencapai 43,5%. Sedangakan anak balita gizi kurang
yang berhasil meningkat menjadi gizi baik mencapai 46,3%. Secara keseluruhan
47,8% anak balita yang mengikuti kegiatan Pos PERGIZI mengalami peningkatan
status gizi dan hasil yang telah dicapai cenderung meningkat dan dapat tetap
dipertahankan.
![Page 23: ringksneks-abstrak](https://reader034.vdocuments.mx/reader034/viewer/2022052301/557210dd497959fc0b8dceba/html5/thumbnails/23.jpg)
5. Ibu balita yang bersedia memberikan kontribusi berupa tenaga ataupun uang
mencapai 82,4%, dan frekuensi ibu balita memberikan kontribusi berkisar 1 sampai
30 kali dengan rata-rata adalah 16 kali.
Peningkatan status gizi yang telah dicapai, tetap dapat ditingkatkan dan dipertahankan.
Hal tersebut menunjukkan telah terjadi perubahan perilaku yang lebih sehat dan lebih
baik dalam merawat dan memberi makan anak. Keberhasilan ibu balita meningkatkan
dan mempertahankan status gizi dan kesehatan yang telah dicapai menunjukkan bahwa
telah terjadi perubahan perilaku dalam merawat dan memberi makan anak dan
perubahan tersebut cenderung bersifat permanen karena ibu balita telah merasakan
manfaat dan hasil yang posistif.
Partisipasi ibu balita dan masyarakat dalam memberikan kontribusi berupa bahan
makanan, tenaga, ataupun uang menunjukkan bahwa potensi masyarakat dapat
dimanfaatkan dan diberdayakan dalam penanggulangan balita gizi kurang dan gizi
buruk. Hal tersebut menunjukkan bahwa upaya pemberdayaan mulai memberikan hasil
positif. Berdasarkan hasil tersebut dapat dinyatakan bahwa Pos PERGIZI mempunyai
beberapa keunggulan komparatif, sebagai berikut :
1. Kegiatan Pos PERGIZI melibatkan masyarakat sejak proses perencanaan,
pelaksanaan, serta monitoring dan evaluasi kegiatan, agar masyarakat merasa
memiliki program.
2. Kegiatan Pos PERGIZI sesuai dengan masalah yang dirasakan (anak sering sakit
dan susah makan) dan kegiatan yang dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan
masyarakat (pemeriksaan dan pengobatan serta peningkatan nafsu makan).
3. Kegiatan Pos PERGIZI dapat mempercepat perubahan perilaku sehat ibu balita
dalam merawat dan memberi makan anak, karena disamping penyuluhan juga ada
praktik langsung memberi makan anak. Ketika ibu balita telah merasakan manfaat
dan hasil nyata yaitu peningkatan nafsu makan, berat badan, dan kesehatan, maka
perubahan perilaku sehat dalam merawat dan memberi makan anak cenderung
akan diulang dan bersifat permanen.
4. Pos PERGIZI menumbuhkan kemandirian dan mengurangi ketergantungan karena
ibu balita dan masyarakat diajak untuk peduli dan memberikan kontribusi dalam
mengatasi masalah balita gizi kurang dan gizi buruk.
5. Dalam jangka panjang biaya penanggulangan balita gizi kurang dan gizi buruk
melalui Pos PERGIZI relatif lebih murah daripada PMT-pemulihan berupa makanan
![Page 24: ringksneks-abstrak](https://reader034.vdocuments.mx/reader034/viewer/2022052301/557210dd497959fc0b8dceba/html5/thumbnails/24.jpg)
pabrikan. Hal ini dikarenakan Pos PERGIZI dapat menumbuhkan kemandirian dan
mengurangi ketergantungan serta adanya perubahan perilaku sehat dalam merawat
dan memberi makan
Upaya peningkatan status gizi anak balita gizi buruk dan gizi kurang harus dilakukan
secara terpadu melalui kegiatan penyuluhan, pemeriksaan kesehatan dan pengobatan,
pemberian sirop zink (micronutrient) untuk menambah nafsu makan, pemberian PMT-
Bersama berupa makan nasi, lauk, dan sayur, serta mengajak ibu balita dan masyarakat
untuk memberikan kontribusi berupa bahan makanan, tenaga, ataupun uang. Selain
harus terpadu, program penanggulangan balita gizi kurang dan gizi buruk harus
berkelanjutan, bersinergi, dan berkemitraan dengan lintas program dan lintas sektor.
Sebagai salah satu alternatif dalam penanggulangan balita gizi kurang dan gizi buruk,
Pos PERGIZI sangat cocok dikembangkan dan diterapkan di daerah yang mempunyai
prevalensi gizi kurang dan gizi buruk tinggi (>20%) dengan sistem monitoring dan
evaluasi yang terencana dan sistematis, dan idealnya dilakukan selama 6 bulan.
Pos KPKIA (Pos Kelompok Peminat Kesehatan Ibu dan Anak) adalah salah satu bentuk
upaya kesehatan berbasis masyarakat (UKBM) yang merupakan wadah dalam
meningkatkan pengetahuan untuk mengubah perilaku sehat, serta peningkatan status
gizi dan kesehatan ibu hamil yang dilaksanakan dengan memadukan kegiatan
penyuluhan dengan pemeriksaan ibu hamil dan janin, dan pemberian micronutrient
(tablet tambah darah) yang dilakukan secara terpadu di tingkat masyarakat. Pelayanan
pemeriksaan kehamilan inilah yang membedakan Pos KPKIA dengan kegiatan KPKIA
terdahulu dan Kelas Ibu Hamil, yang hanya memberikan penyuluhan.
Hasil pelaksanaan kegiatan Pos KPKIA di 4 desa di Kabupaten Sukabumi dan
Kabupaten Tangerang berdampak terhadap perilaku sehat ibu hamil yang meliputi
perilau berikut:
1. Cakupan pemeriksaan hamil kunjungan K-4 murni mencapai 97,1%,
2. Ibu hamil yang minum pil tambah darah sesuai anjuran (setiap hari) mencapai
88,7%,
3. Ibu hamil yang melahirkan ditolong tenaga kesehatan sebanyak 92,9%, dan yang
melahirkan di fasilitas kesehatan sebesar 82,1%,
![Page 25: ringksneks-abstrak](https://reader034.vdocuments.mx/reader034/viewer/2022052301/557210dd497959fc0b8dceba/html5/thumbnails/25.jpg)
4. Ibu melahirkan yang melakukan inisasi menyusu dini (IMD) mencapai 33,9% dan
bayi yang masih diberi ASI saja (ASI eksklusif) 60,7%.
Cakupan pemeriksaan ibu hamil K-4 murni yang tinggi eratkaitannya dengan adanya
pemeriksaan kandungan pada saat kegiatan Pos KPKIA yang dilaksanakan setiap 2
minggu sekali dan keberadaan bidan desa. Intensitas pertemuan atau kontak antara ibu
hamil dengan bidan yang tinggi menambah keyakinan ibu hamil untuk meminta
pertolongan bidan ketika melahirkan.
Pelaksanaan kegiatan Pos KPKIA belum berdampak terhadap perilaku untuk melakukan
pemeriksaan/kunjungan neonatus lengkap. Cakupan kunjungan neonates lengkap (KN-
Lengkap) masih sangat rendah, yaitu 14,3%. Rendahnya cakupan KN-Lengkap
disebabkan oleh dua alasan utama, yaitu: (1) merasa bayinya tidak sakit atau baik-baik
saja sehingga tidak perlu diperiksa oleh petugas kesehatan; dan (2) adanya tradisi atau
kebiasaan masyarakat yang melarang bayi baru lahir dibawa ‘keluar’ sebelum berumur
40 hari karena diyakini dapat berakibat kurang baik bagi bayi. Pelaksanaan kegiatan
Pos KPKIA juga belum banyak memberikan pengaruh terhadap pencegahan gangguan
gizi pada bayi. Bayi BBLR yang dilahirkan oleh ibu hamil yang mengikuti Pos KPKIA
masih relatif tinggi, yaitu 12,5% dan bayi yang mengalami gangguan gizi kurang
mencapai 14,3%.
Penyelenggaraan Pos KPKIA tetap perlu memadukan penyuluhan dengan pemeriksaan
ibu hamil oleh petugas kesehatan, untuk meningkatkan cakupan K-4 murni, persalinan
ditolong tenaga kesehatan dan di fasilitas kesehatan, mengatasi anemia pada ibu hamil,
serta meningkatkan inisiasi menyusu dini, dan pemberian ASI eksklusif. Ibu hamil
sasaran Pos KPKIA yang telah melahirkan harus tetap diberi penyuluhan dalam wadah
Pos KPKIA untuk ibu menyusui, guna meningkatkan kemampuan ibu menyusui dalam
merawat dan memberi makan bayi, serta mengatasi dan mencegah gangguan gizi dan
kesehatan pada bayi. Penyelenggaraan Pos KPKIA Ibu Menyusui perlu dipadukan
dengan pelayanan pemeriksaan neonatus dan ibu nifas, sebagai salah satu upaya untuk
meningkatkan cakupan kunjungan neonatus lengkap (KN-Lengkap) dan kunjungan ibu
nifas.
10. Kohort Tumbuh Kembang
![Page 26: ringksneks-abstrak](https://reader034.vdocuments.mx/reader034/viewer/2022052301/557210dd497959fc0b8dceba/html5/thumbnails/26.jpg)
Ketua Pelaksana : Dr.Ir.Anies Irawati, M.Kes
Latar Belakang
Anak sebagai harapan bangsa merupakan sebuah aset yang membutuhkan
pemantauan dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Dalam siklus daur kehidupan
tahapan prenatal, neonatus, periode bayi, pra sekolah, pra remaja, remaja sampai
dewasa dan lanjut usia, yang setiap tahapannya memerlukan perlakuan dan perhatian
yang berbeda1. Pertumbuhan dan perkembangan anak ditentukan oleh pertumbuhan
dan perkembangan pada umur sebelumnya, bahkan sejak dalam kandungan. Gangguan
pertumbuhan dan perkembangan yang terjadi selama kehamilan sampai anak umur
berumur 2 tahun, akan berlanjut pada umur selanjutnya (irreversible). Periode tersebut
merupakan periode window of opportunity yaitu kesempatan yang sangat singkat untuk
melakukan sesuatu yang menguntungkan. Kesempatan ini harus dimanfaatkan, sebab
bila terlewatkan berisiko pada kesehatan dikemudian hari, termasuk pertumbuhan dan
perkembangannya.
Beberapa penelitian yang dilakukan di beberapa lokasi yang berbeda menginformasikan
bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara pertumbuhan dan perkembangan.
Pertumbuhan dan perkembangan berlangsung secara simultan, sehingga gangguan
pertumbuhan pada anak akan diikuti oleh gangguan perkembangannya, dan
pertumbuhan dan perkembangan berlangsung secara berurutan.
Kondisi tersebut secara langsung berkaitan dengan penyakit dan konsumsi gizi, dan
faktor lain yang secara tidak langsung berkaitan adalah sanitasi lingkungan, pola asuh,
ketersediaan makanan, dan pelayanan kesehatan. Faktor tersebut tergantung pada
keberadaan dan kontrol sumberdaya keluarga (manusia, ekonomi dan organisasi) yang
dipengaruhi oleh potensi sumber daya. Secara makro sangat ditentukan oleh
pendidikan keluarga, politik, struktur ekonomi dan ideologi.
Untuk tercapainya tumbuh kembang yang optimal tergantung pada potensi biologinya.
Tingkat potensi biologi seorang anak merupakan hasil interaksi berbagai faktor yang
saling berkaitan yaitu genetik, lingkungan bio-fisiko-psiko-sosial, dan perilaku.
Fase pertumbuhan dan perkembangan anak dapat dikelompokkan dalam 6 (enam)
fase menurut kelompok umurnya yaitu fase janin (selama dalam kandungan), bayi (lahir
sampai umur 11 bulan), anak (12 – 35 bulan), anak pra sekolah (36 – 59 bulan), anak
usia sekolah (6 – 12 tahun) dan anak usia remaja ( 13 – 18 tahun).
Permasalahan
![Page 27: ringksneks-abstrak](https://reader034.vdocuments.mx/reader034/viewer/2022052301/557210dd497959fc0b8dceba/html5/thumbnails/27.jpg)
Data Riskesdas 2010 menginformasikan prevalensi anak balita gizi kurang buruk
sebanyak 17,9 % anak balita gizi kurang, dan sekitar 35,6 % anak pendek dan 14 %
anak dengan status gizi gemuk4. Kondisi ini menggambarkan adanya gangguan
pertumbuhan sejak lahir, bahkan kemungkinan sejak dalam kandungan.
Konsekuensinya perkembangan anak juga kemungkina terganggu termasuk
kecerdasannya. Anak yang pernah mengalami gangguan pertumbuhan mengalami
penurunan tingkat kecerdasan, dan hasil penelitian di Indonesia menginformasikan anak
yang pernah mengalami gizi buruk mengalami penurunan IQ sebesar 13 poin , serta
perkembangannya terhambat.
Konsekuensi masalah pertumbuhan terhadap perkembangan anak, yang pada
gilirannya mempengaruhi kualitas sumber daya manusia, khususnya anak di Indonesia.
Untuk itu studi kohor prospektif pertumbuhan perkembangan anak sejak janin sampai
umur 18 tahun perlu dilakukan, agar masalah gangguan multifaktor khusus untuk anak
Indonesia tersebut dapat diketahui. Penelitian difokuskan menurut fase pertumbuhan
dan perkembangan anak, yaitu fase janin (selama kehamilan) , bayi (lahir sampai umur
11 bulan), anak (12 – 35 bulan), anak pra sekolah (36 – 59 bulan), anak usia sekolah (6
– 12 tahun) dan anak usia remaja (13– 8 tahun). Faktor yang yang mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan anak setiap fase tersebut berbeda-beda, sesuai
tahapan umurnya.
Outcome pertumbuhan perkembangan dan pajanan utama yang dipelajari disesuaikan
dengan umur anak. Pertumbuhan perkembangan anak pada setiap tahapan umur
berbeda, dan memerlukan instrumen yang berbeda pula; Untuk itu perlu dilakukan
persiapan studi kohor prospektif tumbuh kembang anak sejak dalam kandungan
sampai anak berumur 18 tahun. Pada tahap ini dipelajari pajanan utama dan outcome
dari masing-masing fase tersebut.
Tujuan Umum: Secara umum tujuan penelitian tahap pertama (tahun 2011) menyusun
protokol lengkap enam fase pertumbuhan dan perkembangan anak, instrumen, uji coba
dan sosialisasi di Kohor Tumbuh Kembang Anak.
Tujuan khusus: 1. Mengembangkan protokol kohor tumbuh kembang anak pada sejak
fase janin, lahir sampai anak umur 23 bulan, 24 – 59 bulan, 6 – 12 tahun dan 13 – 18
tahun. 2. Melakukan pengembangan kuesioner kohor tumbuh kembang anak. 3.
Melakukan pengembangan pedoman pengisian kuesioner kohor tumbuh kembang anak.
4. Melakukan kelayakan instrumen yang dilakukan melalui uji coba kohor tumbuh
kembang anak. 5. Melakukan kelayakan menejemen pengumpulan data yang dilakukan
![Page 28: ringksneks-abstrak](https://reader034.vdocuments.mx/reader034/viewer/2022052301/557210dd497959fc0b8dceba/html5/thumbnails/28.jpg)
melalui uji coba kohor tumbuh kembang. 6. Melakukan pengembangan program entri
yang dilakukan melalui uji coba kohor tumbuh kembang. 7. Melakukan sosialisasi kohor
tumbuh kembang anak. 8. Melakukan analisis situasi daerah/lokasi studi data kohor
tumbuh kembang.
Manfaat
Pada tahap persiapan ini protokol dan instrumen yang telah di uji cobakan ini akan
digunakan pada pengumpulan data kohor tumbuh kembang anak sejak dalam
kandungan sampai umur 18 (delapan belas) tahun. Sosialiasai dan persiapan lokasi
lapang untuk kelancaran pengumpulan data.
Bahan dan Metode:
Pada tahap ini lingkup penelitian adalah pengembangan protokol (termasuk kuesioner
dan pedoman), uji coba, sosialisasi dan persiapan penelitian kohor pertumbuhan
perkembangan janin tahun 2012. Mekanisme kerja: tahapan kegiatan adalah
penyusunan protokol tumbuh kembang anak, 2. penyusunan kuesioner, 3. penyusunan
pedoman pengisian kuesioner, dan 4. penyusunan pedoman pengorganisasian. 5.
pelatihan tenaga pemgumpul data, dan 6. uji coba kuesioner.; 7. Pembuatan program
entri, 8. editing dan entri data uji coba, dan 9. Sosialisasi studi kohor tumbuh kembang
anak. Pengumpulan data dasar rumah tangga dan ibu pra hamil dilakukan di satu RW
yang ada di Kelurahan Kebon Kelapa.
Semua kegiatan (kecuali uji coba instrumen) dilakukan melalui pertemuan secara
berkala yang terdiri dari peneliti litbangkes, peneliti ad hoc, dan pakar terkait. Uji coba
Analisis data dilakukan secara kualitatif terhadap alur pertanyaan dan fisibilitasnya. Data
dasar dianalisis secara diskriptif untuk mengetahui gambaran status sosial ekonomi dan
lingkungan rumah tangga, serta status gizi dan kesehatan ibu pra hamil.
Hasil:
Ada 5 (lima) hasil penelitian meliputi: 1. Protokol penelitian kohor tumbuh kembang
anak, dengan tujuan menilai pengaruh pola makan ibu dan anak terhadap pertumbuhan
dan perkembangan anak; 2. Kuesioner dan pedoman pengisian kuesioner meliputi: a.
Rumah Tangga (identitas, status sosek, sanitasi, perilaku merokok anggota rumah
tangga, dan pengeluaran rumah tangga); b. Individu, yang terdiri dari kuesioner individu
untuk ibu pra hamil umur 15 – 35 tahun, ibu hamil (semua umur dan trimester
kehamilan), bayi sejak lahir sampai 11 bulan, anak umur 12 – 23 bulan, anak umur 24 –
59 bulan, anak umur 5 – 12 tahun dan anak umur 13 – 18 tahun. Data yang
![Page 29: ringksneks-abstrak](https://reader034.vdocuments.mx/reader034/viewer/2022052301/557210dd497959fc0b8dceba/html5/thumbnails/29.jpg)
dikumpulkan untuk masing-masing kelompok umur adalah: data individu (pola makan,
pola asuh makan, pola asuh psikososial-Home Inventory ), data morbiditas, data
antropometri, konsumsi (recall 24 jam dan frekuensi makan), dan aktifitas.
Perkembangan anak diukur menggunakan instrumen dan observasi, yaitu untuk anak
balita menggunakan Mental Development Index dan Psikomotor Development Index di
ukur dengan Bayley test; dan untuk anak umur 5 – 18 tahun menggunakan konsentrasi
belajar, prestasi belajar dan perkembangan sosial. 3. Uji coba kuesioner dilakukan
pada 50 Ruta dan anggota Ruta (dengan umur sesuai kuesioner). Uji coba dilakukan
untuk menilai kelayakan dan alur kuesioner, serta waktu yang dibutuhkan untuk
pengumpulan data. Pada tahap uji coba tidak dilakukan pengumpulan data biomedis.
Pengumpulan data ibu dan bayi memerlukan waktu lebih dari 3 jam, oleh sebab itu
pengumpulan data ibu dan bayi harus dilakukan pada hari yang berbeda (tidak satu
waktu kunjungan); 4. Pedoman pengorganisasian mencakup organisasi kohor tumbuh
kembang dan organisasi di lapangan; 5. Software program entry dikembangkan sesuai
kuesioner yang telah disusun. Kuesioner uji coba yang telah terisi di uji coba di program
entry; 6. Sosialisasi dibuka oleh Ka Pusat teknologi Intervensi Kesehatan Masyarakat-
Litbangkes, dan dihadiri 2 orang dari Dinas Kesehatan Kota Bogor, 4 orang dari 6 orang
kepala Puskesmas di lingkungan kecamatan Bogor Tengah, 11 kepala kelurahan, dan
para peneliti litbangkes. 7. Persiapan laboratorium, uji coba pemeriksaan spesimen
biomedis, kontaminan makanan dan pengadaan alat ukur belum dilakukan sebab ada
kendala waktu dan biaya. 8. Data dasar rumah tangga pada 359 ruta menunjukkan
bahwa status sosial ekonomi rumah tangga bervariasi dari tingkat rendah sampai tinggi,
dan sebagian besar dengan status sosial menengah, dengan pendidikan kepala
keluarga terbanyak tamat SLTA. Sebanyak 89 % ruta memiliki rumah sendiri atau rumah
orang tua/keluarga. Kondisi fisik rumah sebagian besar ruta baik (dinding tembok, atap
genteng, lantai keramik/tegel, dan MCK milik sendiri serta kualitas air baik ), namun
masih ada 5 % ruta yang menggunakan air dengan kualitas kurang baik. Hasil diskusi
dengan pakar menyatakan bahwa data rumah tangga saja tidak cukup memberi
informasi faktor risiko tumbuh kembang anak, sehingga perlu dilakukan pengumpulan
data dasar seluruh anggota ruta, terutama data faktor risiko tumbuh kembang dan
penyakit tidak menular (hipertensi dan diabetes melitus). Ini disebabkan anak yang
mengalami gangguan tumbuh kembang berisiko menderita penyakit tidak menular.
Data dasar ibu pra hamil (123 ibu umur 15 – 35 tahun) yang ada di 359 ruta tersebut
mempunyai rerata umur ibu adalah 28,7 tahun. Sekitar 20 % ibu pra hamil dengan berat
![Page 30: ringksneks-abstrak](https://reader034.vdocuments.mx/reader034/viewer/2022052301/557210dd497959fc0b8dceba/html5/thumbnails/30.jpg)
badan lebih dari 45 kg, yang berarti bila ibu hamil akan berisiko melahirkan bayi dengan
berat lahir rendah bila selama kehamilan pertambahan berat badan ibu tidak mencapai
lebih dari 12 kg. Sebanyak 8 % ibu bila hamil berisiko melahirkan bayi dengan berat lahir
rendah dan atau pendek sebab tinggi badan ibu < 145 cm. Ibu pra hamil yang berisiko
kurang energi kronis (KEK) sebanyak 17 %, dan yang kurus sebanyak 11,4 %. Ini
menunjukkan bahwa sekitar 10 - 20 % ibu bila hamil berarti memulai kehamilan dengan
kondisi berisiko terhadap ‘outcome’ kehamilan.
Kesimpulan dan Saran
Persiapan penelitian kohor tumbuh kembang anak telah selesai dilakukan, kecuali
persiapan alat dan laboratorium (kendala dana). Untuk itu kegiatan penelitian dapat
dilakukan pada tahun 2012, namun dipersiapkan lebih dini pengadaan alat ukur dan
persiapan pemeriksaan spesimen biomedis. Pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan
bersamaan dengan pemeriksaan status kesehatan yang dilakukan di fasilitas pelayanan
kesehatan (Puskesmas Bogor Tengah).
Pengumpulan data ibu dan anak harus dilakukan pada waktu kunjungan yang berbeda,
sebab pengumpulan data anak memerlukan waktu yang lebih lama.
11. Kohort Penyakit Tidak Menular
Ketua Pelaksana : Dr. Ekowati Rahajeng, SKM, M.Kes
Penyakit tidak menular (PTM) utama (kardiovaskular, diabetes melitus, strok, kanker,
penyakit paru obstruktif kronik/PPOK) di banyak negara, terutama di negara
berkembang telah mengalami peningkatan kejadian dengan cepat yang berdampak pula
pada peningkatan angka kematian dan kecacatan. WHO memperkirakan bahwa pada
tahun 2020 PTM akan menyebabkan 73% kematian dan 60% dari seluruh kesakitan di
dunia. Di Indonesia prevalensi penyakit tersebut juga meningkat. Pada tahun 2001,
SKRT (Survei Kesehatan Rumah Tangga) mendapatkan prevalensi penyakit jantung
3‰, strok 3 ‰, dan diabetes melitus 1,2% (WHO/SEARO, 2005 dan Darmojo, 2000).
Pada Riskesdas di tahun 2007 didapatkan prevalensi penyakit jantung 7,2%, strok 8 ‰,
dan diabetes melitus di daerah perkotaan 5,7%. Demikian halnya dengan angka
kematian akibat PTM. Kematian yang disebabkan penyakit kardiovaskular mempunyai
proporsi tertinggi yaitu sebesar 19,8% pada tahun 1980, meningkat menjadi 26,3% pada
tahun 2004. Riskesdas tahun 2007 mendapatkan penyebab kematian untuk usia di atas
5 tahun, baik di perkotaan maupun di perdesaan yang terbanyak disebabkan strok.
![Page 31: ringksneks-abstrak](https://reader034.vdocuments.mx/reader034/viewer/2022052301/557210dd497959fc0b8dceba/html5/thumbnails/31.jpg)
Faktor risiko yang berperan menimbulkan penyakit PTM (jantung, diabetes melitus,
kanker, PPOK, dan strok) terdiri dari faktor risiko yang tak dapat/sulit diubah (umur, jenis
kelamin dan faktor genetik), faktor risiko perilaku yang dapat diubah (diet yang salah,
merokok, konsumsi alkohol, kurang aktivitas fisik), dan faktor risiko biologis/fisik yang
dikenal dengan sindrom metabolik (hiperkolesterolemia, hiperglikemia, hipertensi, dan
obesitas). Sindroma metabolik adalah suatu faktor risiko multipel untuk penyakit
kardioserebrovaskular, dan sindrom ini berkembang melalui interaksi antara obesitas
dan kerentanan metabolik.
PTM utama umumnya bersifat kronis, membutuhkan biaya pengobatan besar, dan dapat
menimbulkan cacat/disabilitas yang mengakibatkan penurunan produktifitas kerja.
Penyakit tersebut pada dasarnya dapat dicegah dengan pengendalian secara efektif
terhadap faktor risikonya. Metode pengendalian faktor risiko PTM yang efektif,
memerlukan informasi riwayat alamiah masing-masing penyakit termasuk bagaimana
kecepatan perubahan faktor risiko menjadi PTM utama. Meskipun sebagian besar faktor
risiko PTM utama telah diketahui faktor risikonya, namun beberapa faktor seperti
genomik faktor, dosis dan intensitas faktor risiko, prediktor utama PTM, serta kecepatan
perubahan faktor risiko terhadap PTM utama bagi masyarakat Indonesia belum banyak
diketahui. Prediktor utama PTM, dan lamanya perubahan faktor risiko menjadi PTM
diperkirakan sangat bervariasi, tergantung jenis PTM, jenis dan jumlah faktor risiko baik
genetik, perilaku maupun lingkungan, lamanya keterpaparan faktor risiko, dan
derajat/dosis/kadar/frekuensi faktor risiko PTM pada seseorang. Hal tersebut hanya
dapat diketahui dengan pasti melalui penelitian etiologi yang perlu dilakukan secara
longitudinal dengan desain studi kohor. Dengan tersedianya data longitudinal dari faktor
risiko yang dipantau secara prospektif dalam mengamati kejadian PTM utama dapat
dikembangkan berbagai studi intervensi lebih khusus untuk mendapatkan berbagai
model upaya pengendalian PTM secara efektif, baik pencegahan maupun
pengobatannya.
Tujuan umum penelitian ini adalah penelitian secara prospektif dan longitudinal terhadap
(faktor perilaku, biomedis, genomik) untuk mendapatkan informasi insidens sindrom
metabolik dan PTM utama (penyakit jantung, diabetes melitus, strok, kanker payudara,
kanker serviks, kanker kolon, kanker paru, PPOK), dan riwayat alamiah penyakit.
Adapun tujuan khusus meliputi mengukur insidens PTM utama dan sindrom metabolik,
mengidentifikasi etiologi dan prediktor sindrom metabolik dan PTM utama, mengukur
kecepatan perkembangan faktor risiko menjadi PTM utama, mengukur standar
![Page 32: ringksneks-abstrak](https://reader034.vdocuments.mx/reader034/viewer/2022052301/557210dd497959fc0b8dceba/html5/thumbnails/32.jpg)
(dosis/kadar/indeks/frekuesi) faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian PTM
utama dan mengidentifikasi model prediksi kejadian sindrom metabolik dan PTM Utama
di Indonesia.
Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini antara lain untuk mendapatka informasi
insidens dan kecepatan terjadinya sindrom metabolik, jantung koroner, diabetes melitus,
kanker, PPOK dan strok merupakan evidenve based penting yang diperlukan bagi
pelaksana program dalam rangka penyusunan rencana dan penentuan prioritas
program pengendalian faktor risiko PTM. Informasi prediktor utama PTM utama, dan
risiko relatif faktor bermanfaat untuk pengembangan model pencegahan dan
pengendalian PTM, serta pengobatannya secara efektif. Informasi prediktor PTM utama
dan sindrom metabolik serta kecepatan perubahan faktor risiko menjadi PTM
merupakan tambahan ilmu pengetahuan bagi ilmuwan untuk melakukan penelitian
etiologi lebih lanjut. Data dan laporan longitudinal dari studi ini dapat menggambarkan
riwayat alamiah penyakit. Hal ini merupakan sumber data yang berpotensi untuk
dianalisis lebih lanjut. Bagi masyarakat khususnya responden, penelitian ini akan
memberikan informasi faktor risiko dan PTM yang diderita. Dengan demikian masalah
kesehatan yang diderita dapat diketahui lebih dini, dan masyarakat dapat segera
menanggulanginya untuk mengurangi komplikasi lebih lanjut.
Pada penelitian ini dilakukan kohor terhadap faktor risiko PTM termasuk faktor risiko
perilaku dan sindrom metabolik dalam waktu minimal 10 tahun. Tahun 2011 dilakukan
survey baseline data faktor risiko PTM utama, selanjutnya penelitian ini akan mengikuti
(follow-up) setiap individu yang diteliti untuk mengetahui perubahan faktor risiko dan
kejadian PTM utama. Pengumpulan data dilakukan secara prospektif, dengan follow up
secara periodik setiap bulan/beberapa bulan untuk memantau faktor risiko perilaku dan
fisik, dan setiap tahun/beberapa tahun untuk memantau faktor risiko biologik dan
kejadian PTM. Penelitian ini membandingkan kecepatan perubahan faktor risiko menjadi
PTM dari kelompok individu yang memiliki faktor risiko PTM seperti diet tidak sehat
(kurang serat, tinggi garam, tinggi lemak), konsumsi alkohol, kurang aktivitas fisik,
merokok, sindrom metabolik (hipertensi, hiperglikemia/TGT, dislipidemia, obesitas) dan
kombinasinya, dengan kecepatan perubahan faktor risiko menjadi PTM pada kelompok
individu yang tidak mempunyai faktor risiko tersebut.
![Page 33: ringksneks-abstrak](https://reader034.vdocuments.mx/reader034/viewer/2022052301/557210dd497959fc0b8dceba/html5/thumbnails/33.jpg)
Penelitian ini merupakan studi observasional dengan desain studi kohor prospektif (multi
kohor) terhadap individu yang tidak menderita PTM tertentu (Diabetes, Strok, Kanker,
Jantung, PPOK). Observasi dikelompokkan menurut keberadaan faktor risiko perilaku
PTM untuk memantau kejadian sindrom metabolik, dan menurut keberadaan faktor
sindrom metabolik untuk memantau kejadian PTM. Sebagai pajanan utama penelitian ini
adalah faktor risiko perilaku (merokok, kurang konsumsi sayur-buah/serat, konsumsi
lemak tinggi dan tinggi garam, konsumsi alkohol, kurang aktifitas), faktor risiko fisik
(kegemukan, obesitas abdominal), faktor risiko biomedis (hipertensi, hiperkolesterol,
hiperglikemia), faktor genomik dan penyakit antara (sindrom metabolik). Hasil jadi
penelitian ini tediri dari beberapa kejadian yaitu sindrom metabolik, dan kejadian PTM
utama (DM Tipe 2, penyakit jantung koroner, kanker (payudara, serviks, paru), PPOK
dan strok). Responden yang terdiagnosis menderita PTM utama tidak diikutkan lagi
untuk gambaran faktor risiko tahap berikutnya, kecuali untuk status penyakit dan
kematian setelah periode beberapa tahun untuk mengetahui penyebab kematian
penderita PTM apabila meninggal .
Hasil jadi sindrom metabolik ditetapkan berdasarkan keberadaan 4 faktor yaitu
dislipidemia, hiperglikemi, hipertensi, dan obesitas. Diabetes ditetapkan berdasarkan
hasil wawancara gejala klinis dan pemeriksaan glukosa darah. Hasil jadi PJK non fatal
ditetapkan jika hasil wawancara menunjukkan responden mempunyai gejala klinis
serangan jantung iskemi dan pernah didiagnosis dokter/dirawat menderita penyakit
jantung iskemik dan/atau hasil pemeriksaan EKG waktu istirahat atau aktifitas/stress
menunjukkan kelainan jantung iskemik/infark berdasarkan kode Minesota MC-1, MC-4,
MC-5, MC-9.2 atau sesuai dengan kode Nova (NC) 5.1 – 5.8 yang menunjukkan
gelombang Q yang diagnostik dengan atau tanpa abnormalitas ST-T. Hasil jadi strok
ditetapkan berdasarkan hasil wawancara gejala klinis dan pemeriksaan neurologi.
Gejala-gejala klinis tersebut antara lain hemiparese/plegi, hemihipestesi, amaurosis
fugaks, afasi, hemianopia, kelumpuhan saraf otak, hemiparese alternans, ataksia,
vertigo, hemianopia yang timbul mendadak tanpa sebab yang berlangsung selama 24
jam atau lebih. Penyakit Kanker yang akan diteliti pada tahun 2011 dibatasi 3 lokasi
yaitu payudara, serviks, dan paru. Hasil jadi kanker serviks ditetapkan jika responden
pernah didiagnosis dokter menderita kanker atau dirawat karena kanker serviks dan
menunjukkan adanya invasi karsinoma yang dibuktikan dengan pemeriksaan patologi
anatomi (histopatologi), dan/atau adanya lesi pra kanker serviks pada responden
mempunyai hasil pemeriksaan IVA positif. Hasil jadi kanker payudara ditetapkan jika
![Page 34: ringksneks-abstrak](https://reader034.vdocuments.mx/reader034/viewer/2022052301/557210dd497959fc0b8dceba/html5/thumbnails/34.jpg)
hasil wawancara menunjukkan responden pernah didiagnosis kanker payudara/dirawat
karena kanker payudara yang dibuktikan dengan hasil pemeriksaan patologi anatomi,
atau responden yang mempunyai hasil pemeriksaan klinis payudara positif dan
mempunyai hasil pemeriksaan mamografi atau USG positif serta dilanjutkan
pemeriksaan patologi anatomi positif. Hasil jadi kanker paru ditetapkan jika hasil
wawancara menunjukkan responden pernah didiagnosis kanker paru/dirawat karena
kanker paru yang dibuktikan dengan hasil pemeriksaan patologi anatomi, atau
responden yang mempunyai hasil foto toraks positif dan hasil pemeriksaan bronkoskopi/
Trans Thoracal Needle Aspiration dengan hasil konfirmasi pemeriksaan patologi
anatomi positif. Hasil jadi penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK), ditetapkan jika hasil
wawancara menunjukkan adanya sesak napas kronis yang progresif, dan adanya
riwayat pajanan rokok/asap/gas berbahaya pada responden di atas usia 40 tahun,
dan/atau hasil pemeriksaan spirometri menunjukkan obstruksi VEP 1 kurang dari 80%
nilai prediksi, dan VEP 1 / KVP kurang dari 70% setelah bronco dilator pada kadar stabil
dengan salbutamol 400 mikro inhalasi, dan hasil uji bronkodilator terdapat kenaikan
volume VEP 1 kurang 12% dari 200 ml.
Populasi pada studi kohor faktor risiko PTM adalah seluruh penduduk dewasa (25 - 65
tahun), yang mempunyai kartu tanda penduduk (KTP) dan mempunyai tempat tinggal
tetap (rumah tinggal milik KK/sendiri) di kelurahan Kebon Kalapa, kecamatan Bogor
Tengah Kota Bogor. Tahun 2011 merupakan survey untuk baseline data. Sampel adalah
seluruh anggota rumah tangga dewasa pada Ruta yang memenuhi kriteria inklusi dan
eksklusi merupakan unit observasi/ pengamatan/sampel dalam rumah tangga, pada
survei data dasar studi kohor PTM. Jumlah sampel yang dikumpulkan sebanyak 1300
Ruta yang terdiri dari 2000 responden. Adapun data yang mempunyai hasil pemeriksaan
lengkap dan bisa dianalisis sekitar 1919 responden.
Pengumpulan data faktor risiko untuk monitoring (follow up) dilakukan melalui kegiatan
surveilens faktor risiko PTM yang akan dilakukan setiap tahun, mulai tahun 2011.
Pengumpulan data pada kegiatan surveilens dilakukan dengan menggunakan kuesioner
dan metode Steps Approach WHO (Pendekatan Steps). Pengumpulan data dalam
dibagi dalam 3 langkah : Step 1 yaitu pengumpulan data faktor demografi dan faktor
risiko perilaku (merokok, aktifitas fisik, diet) secara komprensif melalui wawancara
kesehatan. Step 2 meliputi pengumpulan data faktor risiko obesitas, hipertensi dan
aktifitas fisik melalui pengukuran fisik (antropometri dan tekanan darah) dan Step 3 yaitu
![Page 35: ringksneks-abstrak](https://reader034.vdocuments.mx/reader034/viewer/2022052301/557210dd497959fc0b8dceba/html5/thumbnails/35.jpg)
pengumpulan data fisiologis, biologis dan biomedis melalui pemeriksaan laboratorium.
Pemeriksaan ini meliputi glukosa (puasa dan pembebanan glukosa 75 gram) dan profil
lipid (kolesterol total , trigliserida, LDL dan HDL.), rekam janrung dengan
elektrokardiografi (EKG), fungsi paru dengan spirometri, pemeriksaan klinis serviks
dengan metode IVA (Inpeksi Visual Asam Asetat, pemeriksaan klinis payudara dengan
Clinical Breast Examination (CBE) dan USG serta foto toraks. Pengumpulan data
stres/gangguan mental emosional dilakukan dengan menggunakan kuesioner Self
Reporting Questionaire (SRQ) yang dikembangkan WHO untuk mengidentifikasi
masalah mental emosional.
Teknis pengumpulan data wawancara dengan kunjungan rumah dan pemeriksaan fisik
dan laboratorium dilakukan di fasilitas kesehatan (laboratorium terpadu Pusat Teknologi
Terapan dan Epidemiologi Klinis Balitbangkes Kemenkes RI). Petugas pemerksan
masing-masng penyakit dilakukan oelh petugas yang terlatih dan didampingi oleh
supervisor dari pakar masing-masing penyakit. Wawancara gizi dilakukan dengan
metode recall 24 jam dan pola kebiasaan makan dengan metode FFQ (Food Frequency
Questionairre). Data terdiri dari 3 jenis yaitu data tentang kesehatan masyarakat
(kesmas) Rumah Tangga (Ruta) dan Individu, data gizi (recall dan FFQ) dan data hasil
pemeriksaan fisik dan laboratorium. Ketiga jenis data dilakukan penggabungan (merger)
oleh tim manajemen data dengan menggunakan ID dan nomor NIK (Nomor Induk
Kependudukan). Data untuk baseline data dianalisis secara deskriptif dalam bentuk
tabulasi silang.
Hasil menunjukkan bahwa responden studi kohor faktor risiko PTM lebih banyak
perempuan (56,9%), usia produktif sekitar umur ≥35-44 tahun (28%), status menikah
(82,7%), tingkat pendidikan tamat SLTP dan SLTA (58,2%) dan bekerja sebagai Pekerja
Rumah Tangga (28%), memiliki asuransi kesehatan sekitar 36,9%. Responden memiliki
perilaku berisiko terhadap PTM antara lain merokok 31,3%, konsumsi minuman
beralkohol 13,9%, kurang aktifitas fisik 73,6%, gangguan emosional (stres) sekitar
28,6% dan pola konsumsi seperti beras >2x per hari (65%), konsumsi mie 2-4x/minggu
32,7%, sering makan ikan asin (11%), tahu tempe (62,3%), sayur (51,8%) dan buah-
buahan (62,8%). Penyakit tidak menular (PTM) menurut diagnosis tenaga kesehatan
ditemukan bahwa PJK sebesar 3,2%, hipertensi 16,9%, dan DM 3,2%. Sedang
responden yang terdiagnosis kanker/tumor payudara sekitar 0,3%, kanker serviks 0,2%,
PPOK 5,5% dan penyakit strok 1,8%.
![Page 36: ringksneks-abstrak](https://reader034.vdocuments.mx/reader034/viewer/2022052301/557210dd497959fc0b8dceba/html5/thumbnails/36.jpg)
Sindrom metabolik yang ditemukan dari pemeriksaan darah yaitu kadar kolesterol total
tinggi 42,9%, kolesterol LDL tinggi 80,5%, kolesterol HDL berisiko 55%, trigliserida tinggi
18,9%, hipertensi 31,2%, obesitas 42,5% dan obesitas sentral 50,6%. Penyakit tidak
menular (PTM) menurut hasil pemeriksaan kesehatan ditemukan PJK sebesar 12,2%
dan proporsi kelainan gambaran EKG sebesar 44,1%. Responden dengan TGT
(toleransi glukosa terganggu) 16,9% dan DM 9,2%. Penderita kanker/tumor payudara
berdasarkan pemeriksaan dengan metoda Clinical Breast Examination (CBE) sebesar
5,3%. Dari 574 responden yang diperiksa, diperoleh penderita kanker serviks 1 orang
(0,17%) dan IVA positif 24 orang (4,2%). Kasus PPOK berdasarkan pemeriksaan
spirometri sebesar 8,5%. Pemeriksaan foto toraks sebagai penunjang diagnosa
menunjukkan gambaran kardiomegali sebesar 9,7% dan jantung pendulum sebesar
0,4%. Suspek kanker paru dari hasil pemeriksaan foto rontgen sekitar 1,5%. Prevalensi
penyakit strok 2,6%.
Proporsi PJK meningkat seiring dengan peningkatan kelompok umur dan menurun
seiring dengan peningkatan tingkat pendidikan dan status sosial ekonomi. Proporsi PJK
tertinggi pada suku ayah Betawi, status perkawinan cerai hidup/mati, mempunyai
gangguan mental emosional, menggunakan minyak sawit kamasan, menggunakan
minyak berulang 3 kali atau lebih, mantan perokok, mempunyai orang tua dengan
riwayat PJK pada usia muda, obesitas umum maupun sentral, diabetes mellitus, kadar
kolesterol serum total, LDL, trigliserida, dan kreatinin tinggi.
Dari studi kohor faktor risiko penyakit tidak menular ditemukan 9,2% responden dengan
DM. Tingginya angka TGT yang hampir dua kali persentase DM sehingga perlu
mendapat perhatian khusus karena 1/3 kasus TGT dalam waktu 3-5 tahun akan
berkembang menjadi DM. Dalam terapi DM sebagian besar memilih mengatur pola
makan dan mengkonsumsi obat oral. Untuk pencegahan DM masih sedikit yang
melakukan pengaturan makan dan olahraga. Sebagian besar mempunyai riwayat dalam
keluarga yang menyandang DM. Faktor risiko seperti kebiasaan merokok dan profil lipid
menunjukkan kecendrungan tinggi pada responden dengan DM.
Secara umum proporsi suspek kanker paru dari hasil pemeriksaan foto rontgen adalah
sebesar 1,5%, dengan proporsi sedikit lebih tinggi pada laki-laki (1,9%) dibandingkan
perempuan (1,1%). Beberapa faktor social demografi yang menunjukkan proporsi
suspek kanker paru yang lebih tinggi dari proporsi secara keseluruhan adalah status
![Page 37: ringksneks-abstrak](https://reader034.vdocuments.mx/reader034/viewer/2022052301/557210dd497959fc0b8dceba/html5/thumbnails/37.jpg)
kawin, suku asal ayah, belum kawin dan suku asal ayah dari suku Betawi. Sementara
faktor perilaku berisiko yang erat kaitannya dengan proporsi suspek kanker paru adalah
kebiasaan merokok, mantan perokok dan menghisap rokok putih.
Berkaitan dengan gejala atau keluhan kanker paru, semua kelompok suspek kanker
paru mempunyai proporsi yang lebih tinggi pada kelompok dengan gejala atau keluhan
batuk lama, nyeri dada, sesak nafas, sulit menelan, suara serak atau parau, penurunan
berat badan, sering tesedak, batuk darah, dan bengkak di leher, terpapar asap di rumah
dan asap pembakaran dan asbes.
Menurut gejala batuk dan berdahak sebesar 9,7%, sesak napas (19,8%). Mayoritas
skala sesak napas 0 dan 1. Faktor risiko merokok (53,4%), mantan perokok (25,9%),
dan perokok pasif (61,7%). Jenis rokok terbanyak kretek dan rokok putih sebesar +50%.
Polutan di rumah terbanyak asap kompor (20,6%), polutan di luar rumah terbanyak asap
motor (63,5%), polutan di tempat kerja terbanyak asap mesin (43,6%) dan debu di
tempat kerja (69,7%)
Kasus PPOK berdasarkan pemeriksaan spirometri sebesar 8,6%, kebanyakan laki-laki
dengan kelompok umur terbanyak 50-60 tahun. Skala sesak napas terbanyak 3 dan 4.
Mayoritas merokok, polutan terbanyak debu di tempat kerja dan bahan kimia. PPOK
yang terdiagnosis Nakes, berdasarkan data demografi responden terbanyak perempuan
(58,2%), kelompok umur tertinggi 40-50 tahun sebesar 52,54%. Pendidikan mayoritas
rendah dan menengah. Pekerjaan terbanyak ibu rumah tangga. Penghasilan berimbang
antara kuintil I, III, dan V. Kepemilikan asuransi sebesar 37,9% dan jenis asuransi
terbanyak askeskin (14%). Menurut gejala batuk dan berdahak sebesar <10%, sesak
napas (19,8%). Mayoritas skala sesak napas 0 dan 1. Faktor risiko merokok (55,7%),
dan perokok pasif (37%). Jenis rokok terbanyak kretek dan rokok putih sebesar +50%.
Polutan di rumah terbanyak asap kompor (21,7%), polutan di luar rumah terbanyak asap
motor (61 %), polutan di tempat kerja terbanyak asap mesin (43,6%) dan debu di tempat
kerja (69,7%). Sedangkan hasil diagnosa nakes dari wawancara sebesar 5%.
Pada penelitian ini ditemukan penyakit strok 1,9%, mengalami migrain 16,9%, dengan
16,1% mempunyai riwayat keluarga. Gejala yang berhubungan dengan penyakit saraf
terbanyak adalah gangguan keseimbangan, kesemutan, pandangan ganda, kelemahan
tubuh sesisi. Rerata usia strok 49,55±7,74 tahun, dan kejadian strok lebih banyak pada
pendidikan rendah, status ekonomi tidak miskin dan pekerjaan buruh pabrik. Faktor
![Page 38: ringksneks-abstrak](https://reader034.vdocuments.mx/reader034/viewer/2022052301/557210dd497959fc0b8dceba/html5/thumbnails/38.jpg)
risiko strok pada penelitian ini yang terutama adalah hipertensi, diabetes mellitus,
hiperlipidemia, riwayat keluarga sakit jantung.
Kesimpulan dari penelitian antara lain bahwa penyakit tidak menular (PTM) menurut
diagnosis tenaga kesehatan ditemukan PJK sebesar 3,2%, hipertensi 16,9%, dan DM
3,2%. Sedangkan responden yang terdiagnosis kanker/tumor payudara sekitar 0,3%,
kanker serviks 0,2%, PPOK 5,5% dan penyakit strok 1,8%.
Sindrom metabolik yang ditemukan dari pemeriksaan darah yaitu kadar kolesterol total
tinggi 42,9%, kolesterol LDL tinggi 80,5%, kolesterol HDL berisiko 55%, trigliserida tinggi
18,9%, hipertensi 31,2%, obesitas 42,5% dan obesitas sentral 50,6%. Penyakit tidak
menular (PTM) menurut hasil pemeriksaan kesehatan ditemukan PJK sebesar 12,2%
dan proporsi kelainan gambaran EKG sebesar 44,1%. Responden dengan TGT
(toleransi glukosa terganggu) 16,9% dan DM 9,2%. Penderita kanker/tumor payudara
berdasarkan pemeriksaan dengan metoda Clinical Breast Examination (CBE) sebesar
5,3%. Dari 574 responden yang diperiksa, diperoleh penderita kanker serviks 1 orang
(0,17%) dan IVA positif 24 orang (4,2%). Kasus PPOK berdasarkan pemeriksaan
spirometri sebesar 8,5%. Pemeriksaan foto toraks sebagai penunjang diagnosa
menunjukkan gambaran kardiomegali sebesar 9,7% dan jantung pendulum sebesar
0,4%. Suspek kanker paru dari hasil pemeriksaan foto rontgen sekitar 1,5%. Penyakit
strok berdasarkan hasil pemeriksaan konfirmasi strok ditemukan sekitar 2,6%.
Responden yang mempunyai faktor risiko PTM perlu di follow up (dimonitoring) untuk
mengukur perubahan faktor risiko dan mengukur kecepatan munculnya PTM. Untuk
responden yang sudah terdiagnosis PTM perlu mendapatkan kemudahan rujukan dan
difasilitasi untuk mendapatkan tindakan pengobatan lanjut secara tuntas.
12. Studi Validasi Kematian Maternal Data Sensus Penduduk 2010
Ketua Pelaksana : Tin Afifah, SKM, MKM
(belum ada laporan)
13. Pengembangan Model Intervensi Kesehatan Reproduksi Remaja di 4 Kota Besar
Ketua Pelaksana : Drg. Ch. M. Kristanti, M.Sc
Penelitian Pengembangan Model Pelayanan Kesehatan Reproduksi Remaja di 4 Kota
tahun 2011 ini merupakan penelitian tahap 2 yang mengidentifikasi pelaksanaan
![Page 39: ringksneks-abstrak](https://reader034.vdocuments.mx/reader034/viewer/2022052301/557210dd497959fc0b8dceba/html5/thumbnails/39.jpg)
program PKPR oleh provider di masing-masing kota, dan kendala dalam pemberian
layanan tersebut; Disamping itu ditelusuri apakah pelayanan tersebut bisa diterima oleh
clientremaja, apakah sudah sesuai dengan kebutuhan/need remaja, dan apakah selama
ini sudah ada pelayanan kesehatan reproduksi dari kelompok sebaya yang terbentuk
secara informal maupun formal, dan bentuk pelayanan yang bagaimana yang mereka
butuhkan.
Hasil penelitian merupakan masukan untuk PKPR (Program Kesehatan Peduli Remaja)
dan program kesehatan remaja lainnya baik di pusat maupun di daerah. Pengembangan
model intervensi pelayanan kesehatan reproduksi yang efektif diharapkan membantu
remaja meyiapkan masa depan yaitu melakukan fungsi reproduksi dan fungsi keluarga
secara berkualitas.
Disain penelitian cross sectional. Jenis penelitian kuantitatif dan kualitatif. Penelitian
kuantitatif dilakukan dengan 2 cara yaitu mengumpulkan data primer tentang pelayanan
yang diberikan oleh provider (pelaksana PKPR di puskesmas) dan melakukan lokakarya
1 dan 2 untuk mendapatkan informasi tentang layanan remaja yang sudah dilakukan
oleh berbagai institusi/lembaga yaitu BKKBN, masyarakat, remaja, komisi sekolah,
Lembaga Swadaya Masyarakat/LSM, dan lintas sector lainnya, dan mendapatkan
informasi tentang layanan remaja yang diharapkan oleh remaja bermasalah. Informasi
yang diperoleh dari 2 sumber yang berbeda yaitu provider dan remaja, menunjukkan
kesenjangan antara layanan yang tersedia dan layanan yang dibutuhkan. Penelitian
kualitatif dilakukan dengan cara indepth interview dengan remaja bermasalah untuk
menentukan need/pelayanan yang dibutuhkan remaja dan Fokus Grup Diskusi (FGD)
dengan kelompok remaja bermasalah di wilayah kerja puskesmas yang terpilih.
Hasil menunjukkan adanya masalah remaja biopsikososial. Informan remaja perempuan
menghadapi permasalahan yang beragam antara lain merokok, alkohol, narkoba
obat/suntik, Infeksi Menular Seksual (IMS), HIV/AIDS, KDRT, diperkosa, bermasalah
seksual pranikah yang membuat mengalami kehamilan dan salah satunya sampai
mencoba untuk melakukan aborsi, hamil pada usia muda yaitu 16 dan 17 tahun,
tersagkut dirumah border. Informan remaja laki-laki bermasalah merokok,
alkohol/mabuk, KDRT, stress/depresi, ingin bunuh diri, diusir dari rumah, narkoba,
metadon, seks pranikah, seks dengan waria, nodong/jambret/maling, trafficking,
![Page 40: ringksneks-abstrak](https://reader034.vdocuments.mx/reader034/viewer/2022052301/557210dd497959fc0b8dceba/html5/thumbnails/40.jpg)
membunuh, masuk penjara. Penyebab munculnya permasalahan tersebut stress melihat
ekonomi keluarga, pengaruh lingkungan, dikasih teman dan rasa solider dengan teman,
keluarga menggunakan narkoba/Bandar narkoba.
Menurut informan remaja, faktor yang mempengaruhi kenakalan remaja adalah kurang
perhatian orang tua, masalah ekonomi, dan perlakuan orang tua/pacar/suami
melakukan kekerasan (KDRT), patah hati, suka sama suka ataupun pemaksaan dalam
hubungan seks, dijual sama teman, diculik dan dijual, faktor lingkungan dan faktor
ekonomi yang tidak mendukung/orang tua tidak bekerja atau tidak mempunyai
pekerjaan tetap. Membandingkan hasil penelitian tahun 2011 dan 2009, menunjukkan
permasalahan remaja di sektor informal lebih besar dan luas dibandingkan
permasalahan remaja di sektor formal.
Puskesmas “Sering” merupakan puskesmas PKPR binaan nomorsatu di Kota Medan.
Kegiatan baru di sektor formal yaitu melalui program UKS melakukan kegiatan PKPR.
Padahal kasus/masalah banyak di sektor non-formal. Puskesmas PKPR “Sering” juga
belum mempunyai catatan mengenai remaja. Kerjasama lintas sector belum ada,
demikian pula kerja sama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) belum ada,
PKPR hanya terkait dengan dinas kesehatan. Padahal Pelayanan Kesehatan Peduli
Remaja (PKPR) sangat diharapkan, dan agar dapat mencapai hasil yang optimal kerja
sama lintas sector dan dengan LSM diperlukan agar dapat bersama-sama untuk
mengatasi kondisi remaja yang sudah kritis dan memerlukan pelayanan.
Puskesmas PKPR Bandung sudah melakukan kerjasama lintas program/sector:
BKKBN, Dinas Pendidikan Nasional, Dinas Sosial, Lembaga Swadaya Masyarakat:
IMPACT, MCR, JRI (Jaringan Relawan Indonesia)/ LSM Bahtera, kerja sama dengan
organisasi profesi. Masing-masing Puskesmas menentukan sendiri kerjasama lintas
program dan LSM nya. Jumlah fasilitator PKPR 4 orang, dan jumlah fasilitator yang
merupakan tenaga puskesmas 3 orang, fasilitator yang berasal dari masyarakat dan
konselor dalam/luar sekolah belum ada. Pengalaman negatif untuk kegiatan PKPR:
tidak semua sekolah mau menerima layanan dari puskesmas ini. Diperlukan pelatihan
secara periodik dan refreshing untuk petugas puskesmas. Hal ini berkaitan dengan jenis
pelayanan yang direncanakan oleh puskesmas PKPR yang meliputi konseling,
penyuluhan ke sekolah, pelatihan kesehatan remaja. Hambatan: tidak tersedia ruang
![Page 41: ringksneks-abstrak](https://reader034.vdocuments.mx/reader034/viewer/2022052301/557210dd497959fc0b8dceba/html5/thumbnails/41.jpg)
konseling khusus di puskesmas, model penyuluhan belum ditentukan, biaya masih
terbatas dan belum ada dana untuk penelitian remaja/survey. Saran: Perlu ada
peningkatan tenaga terlatih secara berkesinambungan.
Pelaksanaan PKPR Jakarta Pusat menyampaikan hambatan sebagai berikut: belum
adanya dukungan lintas sektor yang sangat berperan dalam keberhasilan pelaksanaan
program PKPR. Belum mempunyai dokter jiwa atau psikolog. Belum adanya ruangan
konsultasi tersendiri untuk remaja dengan gaya remaja. Belum tersedia buku-buku
kespro yang bermanfaat untuk remaja. Belum ada pelatihan refreshing bagi petugas
PKPR, belum ada pembinaan sekolah secara berkala dan berkesinambungan. Belum
ada tambahan biaya transportasi pasien dan snack pada saat pertemuan. Pengalaman
negatif pelaksana PKPR Jakarta Pusat: SDM sangat berkurang karena mutasi. Sasaran
kegiatan PKPR sampai saat ini baru terjalin dengan sekolah. Belum semua sekolah mau
melaksanakan PKPR. Tidak ada ruangan tersendiri, sehingga sulit melakukan
pelayanan (tidak konsen). Banyaknya pekerjaan sehingga kurang dapat focus pada
PKPR. Hambatan posyandu remaja: kurang terkoordinasi karena beberapa tenaga
perawat tidak peduli dengan remaja/kurang paham akan kebutuhan remaja. Kendala
biaya transport dikarenakan jadwal pelayanan diluar jam kerja. Belum didukungnya
secara penuh untuk pembiayaan narasumber/program tertentu sehingga jadi terhambat
dalam pengembangan pelayanan. Secara legal, dipegang oleh Dinas Kesehatan tetapi
belum menjadi prioritas program kesehatan bagi remaja.
Puskesmas PKPR Surabaya belum mempunyai ruang tersendiri untuk pelayanan
PKPR. Sudah ada kerjasama lintas sekor. Posyandu remaja diKota Surabaya telah
berjalan kurang lebih 1 tahun. Menggunakan tempat pelayanan dib alai RW yang
dikoordinir oleh tenaga psikolog dan perawat. Program meliputi diskusi kelompok topik
permasalahan remaja masa kini, penyuluhan, refreshing activity hingga outbond.
Pengetahuan dan pendapat/persepsi remaja dan harapan tentang PKPR. Pada
umumnya remaja bermasalah belum mengetahui tentang PKPR, juga belum pernah
menggunakan pelayanan PKPR. Menurut informan, begitu pentingnya pelayanan
kesehatan remaja, tanpa adanya pelayanan kesehatan remaja kita tidak bisa apa-apa
jika kita sakit. Subyek berpendapat selama ini remaja yang belum mengetahui tentang
pelayanan PKPR, cenderung menceritakan permasalahannya ke teman dekat.
![Page 42: ringksneks-abstrak](https://reader034.vdocuments.mx/reader034/viewer/2022052301/557210dd497959fc0b8dceba/html5/thumbnails/42.jpg)
Lembaga/institusi yang cocok untuk mengkoordinir pelayanan PKPR adalah Dinas
Kesehatan jika memang berkaitan dengan masalah-masalah kesehatan. Harapan
informan terhadap pelayanan PKPR yaitu bisa menjadi tempat untuk sharing tentang
mereka.
Pelayanan Kesehatan Reproduksi Remaja yang diharapkan informan remaja adalah ada
ruang untuk curhat, tempat pribadi, penyuluhan bagi keluarga muda, konsultasi tentang
masalah rumah tangga, waktu pelayanan sebaiknya malam hari karena lebih santai,
jangan banyak orang, gedung/ruangan yang khusus, nyaman yang dapat menarik minat
remaja, dimana remaja diharapkan dapat ikut berperan aktif bersosialisasi seperti
contohnya karang taruna, sehingga remaja yang tadinya bermasalah menjadi
memilikiteman untuk berbagi. Disamping itu, masa-masa remaja ini memang sangat
rawan untuk melakukan banyak kenakalan sehingga sangat diperlukan sekali bentuk
pelayanan kesehatan khusus untuk remaja itu sendiri.
Tempat yang paling cocok untuk pelayanan remaja adalah tempat yang strategis di luar
puskesmas. Alasan remaja tidak ke Puskesmas adalah mereka perlu tempat yang pasti
untuk bisa ketemu orang yang dapat sharing masalah mereka (istilah yang mereka
gunakan untuk berbagi masalah). Orang tersebut harus bisa menjaga rahasia, halus dan
lembut, tidak membentak. Petugas psikolog sangat diperlukan menurut informan karena
peranan psikolog penting untuk menangani permasalahan remaja. Tenaga yang
member pelayanan kepada remaja harus simpatik. Waktu pelayanan tidak terikat waktu
(fleksibel) artinya kapanpun remaja itu butuh bantuan, maka tempat/wadah tersebut siap
untuk membantunya.
Biaya menurut informan sebaiknya gratis/perlu subsidi jika memungkinkan, namun jika
pelayanan tersebut dapat memberikan rasa nyaman dan kepuasan, maka tidak masalah
jika harus membayar.
Saran untuk posyandu remaja: Posyandu remaja yang sudah ada di beberapa
Puskesmas di Dinas Kesehatan Kota Surabaya sangat baik, patut dicontoh dan
dikembangkan lebih inovatif lagi dan dikembangkan bagi puskesmas PKPR Kota
Medan, Jakarta Pusat dan Bandung. Kondisi tempat pelayanan harus nyaman dan
tenang, hindari kesan puskesmas dengan petugas yang simpatik dan perhatian pada
![Page 43: ringksneks-abstrak](https://reader034.vdocuments.mx/reader034/viewer/2022052301/557210dd497959fc0b8dceba/html5/thumbnails/43.jpg)
masalah remaja, dan layanan gunakan gender yang sama dengan informan. Perlu
analisa kebutuhan posyandu remaja ini secara lokal spesifik kebutuhan. Untuk
mendapat dukungan dana untuk pelayanan PKPR perlu meningkatkan perhatian kepada
Pemerintah Kota. Kerjasama lintas program dengan BKKBN, dan juga kerjasama lintas
sektor yaitu antara Dinas Kesehatan Kota, Dinas Pendidikan Nasional, Dinas Sosial,
LSM dan perusahaan besar (corporate social responsibility). Semua subsistem harus
bergerak bersamaan dan sinergis sehingga dapat menurunkan permasalahan remaja.
Perlunya dukungan dana dan daya bagi terciptanya pelayanan kesehatan reproduksi
remaja yang sinergis dan bermanfaat bagi remaja pada khususnya.
II. Ringkasan Eksekutif Penelitian Risbinkes:
1. Pengaruh Penggunaan Obat Generik Terhadap Cost Saving dan Keterjangkauan
Harga Resep di 5 RSUD DKI Jakarta
Ketua Pelaksana : Muhamad Syaripuddin, S.Si, Apt. MKM
Pengeluaran untuk biaya kesehatan semakin meningkat dari tahun ke tahun dimana
hamper 30% pengeluaran biaya kesehatan tersebut adalah biaya obat. Salah satu cara
untuk mengurangi biaya obat adalah dengan menggunakan obat generik. Penelitian
obat generik di negara maju menunjukkan bahwa semakin besar penggunaan obat
generik semakin besar biaya yang dapat dihemat. Keberadaan obat generik di Negara
maju berbeda dengan di Indonesia, sehingga perlu dilakukan penelitian mengenai obat
generik khususnya biaya obat yang dapat disimpan dan keterjangkauan masyarakat
karena penggunaan obat generik.
Penelitian ini dilakukan di lima Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) DKI Jakarta selama
enam bulan. Penelitian ini termasuk kedalam jenis penelitian non intervensi dengan
rancangan potong lintang. Populasi pada penelitian ini adalah semua resep yang masuk
ke apotek pelayanan rumah sakit mulai bulan Januari hingga bulan Juni 2011. Pemilihan
sampel dilakukan dengan sistematika random sampling sesuai dengan jumlah resep
yang diperlukan ditiap-tiap rumah sakit yang dihitung secara proposional.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 1600 lembar resep yang menjadi sampel
terdapat 5891 jenis obat didalamnya atau dengan kata lain setiap lembar resep terdapat
3,6 jenis obat didalamnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar obat
yang sering diresepkan di rumah sakit belum memiliki obat generic. Perbandingan harga
![Page 44: ringksneks-abstrak](https://reader034.vdocuments.mx/reader034/viewer/2022052301/557210dd497959fc0b8dceba/html5/thumbnails/44.jpg)
antara obat bermerk dengan obat generik untuk obat sejenis antara 1,02-59 kali dengan
golongan obat antibiotik memiliki golongan harga tertinggi. Rata-rata harga resep di
RSUD DKI Jakarta sebesar Rp.119.357 namun setelah dikonversi dengan generik harga
rata-rata resep turun menjadi 90.624 atau sebesar 30% dari harga resep bermerek.
Kemampuan membayar dapat diukur dengan menggunakn upah minimum provinsi
dimana kalau upah ini dibagi dengan hari kerja akan menjadi daily wages. Penggunaan
obat generik dapat menurunkan biaya obat dari 2 hari daily wages menjadi 1 hari daily
wages.
Kebanyakan obat yang digunakan di rumah sakit adalah obat infuse dan injeksi dimana
jenis obat-obatan inijarang yang memiliki sediaan generik. Melihat hal ini seharusnya
pemerintah menyediakan obat-obatan generik yang sering diperlukan di rumah sakit
misalnya obat-obatan infuse dan injeksi. Dengan tersedianya obat-obat yang diperlukan
dalam bentuk infuse dan injeksi generik maka akan mempercepat penurunan biaya obat
yang harus ditanggung pemerintah. Pemerintah perlu meninjau kembali penetapan
Harga Eceran Tertinggi (HET) obat generik dengan mempertimbangkan keterjangkauan,
ketersediaan, kelangsungan produksi dan kepopuleran obat generik. Penghematan
biaya dengan obat generik sebesar #)% dari pengeluaran biaya obat membawa dampak
yang positif terhadap keluarga, masyarakat, perusahaan pemerintah dan asuransi.
Penggunaan obat generik juga dapat meningkatkan keterjangkauan masyarakat dan
menghemat pengeluaran pemerintah.
Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah penggunaan obat generik akan
meningkatkan cost saving dan akan meningkatkan keterjangkauan masyarakat. Sebagai
saran maka perlu usaha untuk menggiatkan kembali penggunaan obat generik untuk
menghemat pengeluaran biaya obat.
2. Pola Pemeriksaan Kehamilan dan Pertolongan Persalinan Pada Wilayah Kerja
Puskesmas Poned Kab. Karawang 2011
Ketua Pelaksana : Jerico F Pardosi, SKM, MPH
Laporan penelitian ini memberikan informasi mengenai pola pemeriksaan kehamilan dan
pertolongan persalinan pada 5 wilayah Puskesmas dengan Pelayanan Obstetri dan
Neonatal Emergensi Dasar (PONED) di Kabupaten Karawang tahun 2011.
![Page 45: ringksneks-abstrak](https://reader034.vdocuments.mx/reader034/viewer/2022052301/557210dd497959fc0b8dceba/html5/thumbnails/45.jpg)
Kabupaten Karawang masih memiliki jumlah kasus kematian ibu yang semakin
meningkat dari tahun 2003 hingga 2007 dan belum adanya data mengenai pola
pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan di wilayah kerja Puskesmas. Hal
tersebut dikarenakan masih rendahnya cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga
kesehatan dan pemeriksaan kehamilan yang masih rendah dibandingkan kabupaten lain
di Provinsi Jawa Barat.
Subjek dalam penelitian adalah ibu dengan riwayat kehamilan persalinan 1 tahun
terakhir dengan perkiraan sampel terpilih sebanyak 50 informan, 5 bidan koordinator
dan 1 orang bagian kebidanan di Rumah Sakit Umum Daerah Karawang. Penelitian
dilakukan di Puskesmas Rengasdengklok, Pedes, Tempuran, Jatisari dan Wanakarta
dalam periode April – Oktober 2011.
Hasil penelitian menunjukkan pola pemeriksaan kehamilan di 5 wilayah Puskesmas
PONED dimulai setelah usia kehamilan lebih dari 3 bulan dikarenakan kondisi jalan
yang rusak, jarak fasilitas kesehatan yang jauh dan kepercayaan masyarakat setempat
untuk memeriksakan kehamilannya setelah 3 bulan agar terhindar dari gagal hamil. Pola
pertolongan persalinan sebagian besar ditangani oleh bidan PONED namun terdapat
kendala dari kompetensi teknis bidan, prosedur persalinan, dukungan dan pengetahuan
keluarga/masyarakat, kondisi geografis dan dukungan fasilitas/alat. Untuk pola rujukan
persalinan dengan komplikasi masih terdapat masalah dalam kinerja bidan dan
dokumen rujukan.
Kebijakan yang fokus pada peningkatan pelayanan pemeriksaan kehamilan dan
pertolongan persalinan yang dimulai dari tingkat provinsi hingga Dinas Kesehatan
Kabupaten akan menurunkan risiko kematian ibu dan anak di Kabupaten Karawang.
Langkah-langkah yang perlu dilakukan antara lain pelatihan refreshing untuk bidan di
Puskesmas PONED mengenai kegawatdaruratan obstetrik serta deteksi dini faktor
keterlambatan dalam merujuk ibu bersalin, pelatihan bidan mengenai pola pengambilan
keputusan pada kasus kegawatdaruratan ibu bersalin, penyuluhan kepada kader
kesehatan mengenai pelayanan pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan
termasuk tindakan rujukan, penyuluhan kepada anggota keluarga mengenai pelayanan
pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan termasuk tindakan rujukan,
pemberdayaan masyarakat mengenai pemeriksaan kehamilan pada trimester pertama,
penguatan fasilitas pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan di 5 Puskesmas
![Page 46: ringksneks-abstrak](https://reader034.vdocuments.mx/reader034/viewer/2022052301/557210dd497959fc0b8dceba/html5/thumbnails/46.jpg)
PONED, peningkatkan pendidikan dasar 9 tahun khususnya bagi ibu dengan usia
reproduksi dengan bekerja sama bersama Dinas Pendidikan di Jawa Barat, perbaikan
akses jalan menuju dan dari fasilitas kesehatan dengan pihak pemerintah daerah, Dinas
Kesehatan Kabupaten dan pemerintah provinsi.
3. Konsumsi Gizi Pegawai Badan Litbangkes Menurut Suhu Lingkungan Kerja di
Jakarta Pusat dan Tawangmangu
Ketua Pelaksana : Fithia Dyah Puspitasari, S.Gz
Penelitian ini merupakan penelitian Risbinkes (Riset Bina Kesehatan) 2011. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui konsumsi zat gizi dan status gizi pegawai Badan
Litbangkes di Tawangmangu dan Jakarta. Desain penelitian yang digunakan adalah
potong lintang non-intervensi. Seperti yang terlihat dari judul penelitian, yang menjadi
subyek dari penelitian ini adalah semua pegawai Badan Litbangkes (staf maupun
peneliti) yang memenuhi kriteria inklusi.
Data yang dikumpulkan meliputi data jenis kelamin, berat badan, tinggi badan, indeks
massa tubuh, konsumsi zat gizi selama 24 jam, faktor aktifitas, faktor stres. Proses
pengumpulan data meliputi pengukuran antropometri dan wawancara. Proses
pengumpulan data untuk masing-masing subyek memerlukan waktu ± 10 menit.
Pengumpulan data dilakukan oleh tim (terdiri dari 2 orang peneliti) dengan latar
belakang pendidikan gizi kesehatan dan telah mengikuti pelatihan antropometri di klinik
tumbuh kembang anak (Puslitbang Gizi Makanan, Bogor) yang diselenggarakan
sebelum penelitian dilakukan.
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah :
1. Jakarta
a. Status Gizi
Hasil pengukuran antropometri menunjukkan 49% subyek memiliki status gizi yang
normal, 31% subyek mengalami obese; 16% subyek berstatus gizi lebih dan 4%
subyek memiliki status gizi kurang (kurus).
b. Konsumsi Zat Gizi
- Konsumsi karbohidrat subyek di Jakarta baik pria maupun wanita dari semua
kelompok umur sudah cukup (≥ 80% AKG) bahkan melebihi (pada pria usia 19-
29 tahun dan 30-49 tahun).
![Page 47: ringksneks-abstrak](https://reader034.vdocuments.mx/reader034/viewer/2022052301/557210dd497959fc0b8dceba/html5/thumbnails/47.jpg)
- Konsumsi protein (%AKG) melebihi jumlah konsumsi karbohidrat (%AKG) baik
subyek laki-laki maupun wanita dan pada semua umur.
- Konsumsi Zat besi dan Kalsium masih dibawah AKG
- Konsumsi Vit A sudah lebih dari cukup pada semua subyek
2. Tawangmangu
a. Status Gizi
Hasil pengukuran antropometri menunjukkan 46% subyek memiliki status gizi yang
normal, 28% subyek mengalami obese; 19% subyek berstatus gizi lebih dan 7%
subyek memili status gizi kurang (kurus).
b. Konsumsi Zat Gizi
- Konsumsi energi dan karbohidrat subyek pria semua kelompok umur di
Tawangmangu masih kurang (<80% AKG)
- Konsumsi protein (%AKG) melebihi jumlah konsumsi karbohidrat (%AKG) pada
hampir semua subyek kecuali pada subyek wanita usia 50-64 tahun.
- Konsumsi Zat besi dan Kalsium masih dibawah AKG
- Konsumsi Vit A sudah lebih dari cukup pada hampir semua subyek kecuali
pada kelompok pria usia 19-29 tahun.
4. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Densitas Massa Tulang pada Wanita
Dewasa Muda Usia 25-35 Tahun
Ketua Pelaksana : Budi Setyawati, SP
Usia dewasa muda adalah masa pencapaian pembentukan massa tulang puncak.
Pencapaian massa tulang puncak berkontribusi besar pada kekuatan tulang. Densitas
massa tulang (DMT) memberikan sumbangan terbesar kekuatan tulang. Optimalnya
DMT yang dipertahankan sejak dini mampu mencegah osteoporosis di masa
selanjutnya. Oleh karenanya perlu diketahui faktor-faktor apa saja yang berhubungan
dengan DMT di usia dewasa muda.
Penelitian ini merupakan studi observasional deskriptif analitik dengan rancangan
potong lintang. Penelitian dilakukan di Kota Bogor yang melibatkan 173 responden.
Pemilihan daerah dilakukan secara multi stage random sampling dan terpilih Kelurahan
Cilendek Barat, Kecamatan Bogor Barat; Kelurahan Kebon Kalapa, Kecamatan Bogor
Tengah; dan Kelurahan Tanah Sareal Kecamatan Tanah Sareal. Pengumpulan data
dilakukan dengan cara wawancara, pengukuran antropometri dan DMT pada tumit
dengan ultrasound bone densitometry .
![Page 48: ringksneks-abstrak](https://reader034.vdocuments.mx/reader034/viewer/2022052301/557210dd497959fc0b8dceba/html5/thumbnails/48.jpg)
Variabel Terikat : DMT dan Variabel bebasnya : riwayat kesehatan, IMT, pendidikan,
paritas, KB hormonal, kebiasaan berolahraga, asupan kalsium, rasio asupan Ca:P,
konsumsi Protein, kebiasaan merokok, kebiasaan minum minuman beralkohol, dan
paparan sinar matahari. Analisis data meliputi uji univariat dan bivariat menggunakan uji
Chi-Square dengan Odds Ratio (95%CI). Tidak dilakukan analisis multivariat karena
tidak ada uji bivariat yang signifikan.
Sekitar 2/3 sampel wanita dewasa muda memiliki DMT rendah. Hanya 1/3 sampel yang
asupan kalsiumnya cukup. Tidak didapatkan hubungan signifikan antara pendidikan,
pendapatan, riwayat kesehatan, paritas, penggunaan KB hormonal, olahraga, paparan
sinar matahari, asupan kalsium, rasio asupan kalsium:fosfor, dan protein dengan DMT
pada sampel wanita dewasa muda.
5. Persepsi Body Image dan Upaya Mencapainya pada Remaja Putri di Bekasi
Ketua Pelaksana : Bunga Christitha Rosha, S.Sos, M.Si
Remaja memiliki peran yang besar dalam pembangunan karena remaja merupakan
populasi besar dari penduduk dunia. Jumlah remaja yang besar memungkinkan
permasalahan gizi yang dihadapi remaja juga besar. Permasalahan gizi dipengaruhi
beberapa faktor salah satunya terjadi karena remaja merasa tidak puas akan bentuk
tubuhnya dan memiliki gambaran negatif selama masa pubertas. Remaja juga
cenderung terobsesif dengan persepsi body image yang dimiliki dengan melakukan
upaya untuk mencapainya seperti diet dan peningkatan aktifitas fisik.
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan disain cross secional yang
bertujuan memperoleh gambaran mengenai body image pada remaja putri di Bekasi
serta upaya yang dilakukan dalam mencapai body image yang diinginkan. Sampel
dalam penelitian ini adalah 80 orang remaja putri usia 11-19 tahun yang terdistribusi di
Kota Bekasi di Kelurahan Jati Cempaka RW 01 dan Kabupaten Bekasi di Kelurahan
Jaya Mukti RW 08.
Analisis data melalui 3 tahap yaitu analisis univariat, analisis bivariat dengan uji statistik
chi square dan analisis multivariat dengan menggunakan regresi logistik. Hasil
penelitian menunjukkan faktor yang berhubungan dengan persepsi body image adalah
uang saku bulanan dan kepemilikan peer group, faktor determinan persepsi body
image adalah peer group, upaya yang dilakukan untuk mencapai body image adalah
aktifitas fisik dan diet, tetapi kedua variabel ini tidak berhubungan dengan persepsi
![Page 49: ringksneks-abstrak](https://reader034.vdocuments.mx/reader034/viewer/2022052301/557210dd497959fc0b8dceba/html5/thumbnails/49.jpg)
body image, persepsi body image dan status gizi remaja tidak berhubungan secara
signifikan.
Kata kunci : body image, faktor mempengaruhi, upaya mencapai body image, status gizi
6. Studi Teknik Pengukuran Panjang/Tinggi Badan Anak Balita di Posyandu
Ketua Pelaksana : Noviati Fuada,SP,M.Kes
Permasalahan status gizi balita meliputi permasalahan pada semua klasifikasi meliputi
permasalahan gizi balita akut dan kronis. Data dan fakta pada isu terkini adalah adanya
permasalahan gizi krosnis, yang ditandai dengan tingginya angka stunting (kependekan)
di Indonesia. Data resmi pemerintah terbaru (RISKESDAS) masih menununjukkan
tingginya kejadian balita pendek di Indonesia. Stunting yg cukup tinggi memerlukan
pemantauan tinggi badan balita. Sudah selayaknya kader juga dapat melakukan
pengukuran tinggi/panjang badan balita. Selama ini kader hanya melakukan kegiatan
menimbang (DEPKES RI 2002). Kader diharapkan dapat melakukan kegiatan
pemantauan tinggi/panjang badan, karena menurut Mantra IB (1997), kader dipilih
masyarakat sehingga dipercaya masyarakat, saran dan petunjuknya sering diikuti
masyarakat. Peneletian ini melakukan pelatihan pengukuran panjang/tibnggi badan
pada kader, karena menganut pada teori cara belajar orang dewasa (Depkes 2001).
Belajar pada orang dewasa mempunyai ciri antara lain, belajar tidak mau bergantung
pada orang lain, ada kebebasan untuk belajar, belajar untuk mengatasi masalah, belajar
secara aktif dan bekerjasama, memiliki pengalaman yang berbeda untuk setiap peserta
dan belajar merupakan kebutuhan.
Masalah : Kader belum berpengalaman melakukan pengukuran panjang/tinggi badan.
Tujuan : Menilai teknik pengukuran panjang/tinggi badan balita yang dilakukan oleh
kader posyandu sebelum dan sesudah intervensi/pelatihan
Tujuan: khususTujuan Khusus : Menilai faktor karakteristik demografi kader posyandu.
Menilai teknik/cara pengukuran kader dengan menggunakan alat ukur : panjang badan
(lengthboard), microtoice dan alat multifungsi sebelum dan sesudah
intervensi/pelatihan. Menilai perbedaan hasil ukur yang dilakukan kader dan
pelatih/gold standard
Metode: tempat penelitian dilakukan secara purposive di Kota yaitu kec.Bogor Tengan
dan Kab Bogor di kec Sukaraja. Analisis yang di gunakan deskriptif dan uji
nonparametrik. Desain penelitian : intervensi ”before and after” Jenis penelitian :
terapan. Populasi : kader yang melakukan pengkuran berat badan dan panjang
![Page 50: ringksneks-abstrak](https://reader034.vdocuments.mx/reader034/viewer/2022052301/557210dd497959fc0b8dceba/html5/thumbnails/50.jpg)
badan/tinggi badan balita dikota dan kab.Bogor. Sampel : kader posyandu masuk
kriteria inklusi
Estimasi besar sampel: Total sampel yang diambil di dua kecamatan sebanyak 100
kader.(hasil perhitungan sampel hipotesis uji rata2 berpasangan sebesar 66 kader).
Hasil : Pada umunya kader berpendidikan SLTA, berumur 31-40 th, lama menjadi
kader berkisar 2 s/d 4 th dan 74 % diantaranya tidak pernah mendapat penyegaran
pelatihan dalam kurun waktu1 th terakhir yang diadakan oleh dinas kesehatan2.
Berdasarkan hasil pengamatan, kader telah mau dan mampu secara teknik melakukan
pengukuran panjang dan tinggi badan balita sebelum dan seduah pelatihan. Terdapat
perbedaan teknik/cara mengukur balita yg sesuai persyaratan pengukuran. Secara
statistik menunjukkan perbedaan pengukuran antara sebelum pelatihan dan sesudah
pelatihan pada pemakaian alat multifungsi, lengthboard dan microtoise. Perubahan
rata delta hasil ukur mendekati gold standar. Kesimpulan : Hasil penilaian berdasarkan
uji stasitik menyatakan kader telah mampu mengukur mendekati gold standar setelah
pelatihan. Hasil pengamatan kader lebih mudah (sesuai standar pengamatan) dalam
menggunakan alat lengboard dan microtoice.
7. Karakterisasi genome hantavirus spesies Seoul virus (SEOV) strain Kepulauan
Seribu yang diisolasi dari Rattus norvegicus tahun 2009
Ketua Pelaksana : Dian Perwitasari, SKM
Infeksi hantavirus adalah salah satu new emerging diseases di Indonesia dan menjadi
penyakit potensial yang dapat menimbulkan kematian. Hantavirus merupakan salah satu
genus virus yang dapat ditularkan oleh beberapa spesies rodensia. Infeksi hantavirus
merupakan penyakit zoonosis yang dapat menyebabkan Hemorrhagic Fever with Renal
Syndrome (HFRS) dan Hemorrhagic pulmonary Syndrome (HPS) pada manusia.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Puslitbang Ekologi Kesehatan, Depkes RI tahun
2009 menemukan hantavirus dengan spesies SEOV strain Kepulauan Seribu. Salah
satu faktor yang mempengaruhi perkembangan penyakit ini adalah lingkungan yang
buruk sehingga menjadi tempat berkembangbiaknya hewan reservoir Sampel tersebut
telah dilakukan screening menggunakan ELISA untuk menemukan hasil positif
hantavirus. Dari 83 sampel rodensia yang ditangkap, diperoleh 4 sampel positif serologi.
![Page 51: ringksneks-abstrak](https://reader034.vdocuments.mx/reader034/viewer/2022052301/557210dd497959fc0b8dceba/html5/thumbnails/51.jpg)
Pada tahun 2010, dari 4 sampel tersebut dilakukan Real Time Polymerase Chain
Reaction (RT-PCR) untuk konfirmasi. Reaksi RT-PCR memperoleh 3 sampel positif
dengan nomor sampel KS74, KS80 dan KS90. Kemudian sampel tersebut diekstraksi
dan diisolasi menggunakan jaringan paru-paru rodensia sehingga menghasilkan RNA.
Kemudian RNA tersebut dilakukan reaksi balik menjadi cDNA dan disimpan pada
Laboratorium terpadu Pusat Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan dalam -20oC
sampai digunakan kembali.
Pada penelitian ini akan dilakukan karakterisasi yang berguna untuk memperoleh
informasi mengenai homologi nukleotida, homologi asam amino dan melihat adanya
epitop sel T di daerah lestari dari gen S, sedangkan untuk Gen M dilakukan karakterisasi
secara partial untuk melihat adanya kekerabatan dengan Seoul virus dari Negara lain.
Karakterisasi ini dilakukan karena strain virus di setiap tempat atau negara dapat
berbeda sehingga memungkinkan adanya perbedaan virulensinya.
Jenis penelitian ini adalah observasi laboratorium dengan mengamplifikasi virus
menggunakan 4 pasang primer untuk gen S dan 2 pasang primers untuk gen M yang
didesain dengan merujuk program NCBI, sedangkan primer untuk gen L sudah berhasil
didesain, tetapi belum dilakukan optimasi, sehingga primer gen L belum dapat
digunakan untuk karakterisasi. Setelah didapatkan hasil amplifikasi kemudian dilakukan
elektroforesis dan purifikasi selanjutnya di sekuensing menggunakan ABI 377 automatic
iv sequencer.
Analisis data menggunakan program Seqscape untuk menggabungkan hasil sekuen dan
program bioedit untuk melihat matrik homologi, selanjutnya menggunakan Mega5 untuk
membuat pohon filogenetik dan melihat daerah lestari.
Hasil sekuensing genom akan dibandingkan dengan sekuen nukleotida Seoul virus yang
berasal dari Negara lain merujuk dari gene bank. Hasil analisis perbandingan gen S
antara Seoul virus strain Indonesia dengan Seoul virus asal Korea menunjukkan bahwa
homologi tertinggi nukleotida di dapat dari strain KS74 sebesar 88.4% dan homologi
terendah pada strain KS90 sebesar 87.2%. Homologi gen S antar strain Kepulauan
Seribu yang dibandingkan didapatkan hasil antara 98.5% - 96.8%. Homologi tertinggi
Asam Amino gen S yang dibandingkan dengan asam amino Seoul virus dan strain dari
![Page 52: ringksneks-abstrak](https://reader034.vdocuments.mx/reader034/viewer/2022052301/557210dd497959fc0b8dceba/html5/thumbnails/52.jpg)
Singapore adalah 91.3 % pada strain KS74 dan terendah sebesar 89.5% pada strain
KS90. Homologi asam amino gen S antara strain Kepulauan Seribu berkisar antara
98.4% - 99.4%. Homologi nukleotida tertinggi pada gen M antara strain Kepulauan
Seribu yaitu pada KS90 dengan KS80 yaitu sebesar 95.5% dan terendah pada KS80
dengan KS74 yaitu sebesar 91.4%. Homologi asam amino gen M tertinggi antara strain
Kepulauan Seribu tertinggi pada KS90 dengan KS80 yaitu sebesar 89%, sedangkan
homologi terendah pada KS80 dengan KS74 yaitu sebesar 83,2%.
Terdapat perubahan pada asam amino gen S dari ketiga strain yang diteliti tetapi protein
tersebut tidak menyebabkan perubahan struktur dan sifat virus. Bagian conserved dari
gen S dapat digunakan untuk perkembangan uji diagnostik untuk hantavirus strain
Indonesia. Karakterisasi genom vírus ini akan memberikan informasi tentang
kekerabatan dan prediksi virulensi vírus berdasarkan sekuen asam amino. Diharapkan
hasil karakterisasi ini bermanfaat untuk perkembangan vaksin dan uji diagnostik Seoul
virus (SEOV) strain Indonésia.
III. Ringkasan Eksekutif / Abstrak Penelitian Ristek
1. Studi Vektor Model Sistem Peringatan Dini Kejadian Luar Biasa Demam Berdarah
Ketua Pelaksana : DR. Riris Nainggolan
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit endemik di Indonesia. Setiap
tahunnya banyak yang menderita penyakit ini dan tak sedikit yang meninggal dunia
akibat penanganan yang terlambat. Kerugian langsung akibat penyakit ini yang diderita
pasien atau kerugian sosioekonomik yang secara tidak langsung diderita pemerintah
semakin meningkat ketika terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB). Seringkali KLB ini, di mana
jumlah penderita penyakit di atas ambang batas tertentu, diketahui terlambat. Di lain
pihak, dana yang tersedia untuk penanggulangan KLB juga sangat terbatas.
Dengan latar belakang seringnya terjadi keterlambatan informasi terjadinya KLB,
besarnya kerugian yang diderita masyarakat dan pemerintah, dan kurangnya dana
penanggulangan KLB, dirasakan mutlak diperlukan sebuah alternatif jawaban atas
permasalahan tersebut. Salah satu alternatif jawaban adalah perlunya sebuah
perangkat yang mampu memberikan informasi tentang kemungkinan akan terjadinya
KLB sedini mungkin.
![Page 53: ringksneks-abstrak](https://reader034.vdocuments.mx/reader034/viewer/2022052301/557210dd497959fc0b8dceba/html5/thumbnails/53.jpg)
Pelaksanaan penelitian ini direncanakan dua tahun dengan salah satu tujuan membuat
sistem informasi tentang penyebaran DBD yang merupakan sistem peringatan dini
(SPD) sebagai bagian dari Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) untuk mengetahui
potensi KLB Demam Berdarah Dengue (DBD). Kegunaan dari sistem ini adalah untuk
monitoring populasi vektor, sehingga mampu mencegah terjadinya KLB sedini mungkin.
Sistem aplikasi ini dirancang dalam bentuk program yang interaktif dan user friendly,
sehingga dapat dimanfaatkan dengan mudah.
Penelitian dilakukan di Kecamatan Kedawung dan Kecamatan Gunung Jati.
Desa/kelurahan yang menjadi lokasi penelitian sekaligus tempat pemasangan ovitrap
ada 12 desa
Pada tahun pertama penelitian ini telah diadakan pelatihan untuk para juru pengamat
telur (jumantel). Pelatihan ini berlangsung selama 2 hari di bawah pengawasan Pusat
Teknologi Intervensi Kesehatan Masyarakat (Badan Litbangkes Jakarta) dan DinKes
Kabupaten Cirebon. Setelah itu para jumantel disebar ke lokasi yang menjadi perhatian
untuk mengumpulkan data populasi telur nyamuk di desa sekitar tempat tinggal mereka.
1. Para jumantel memeriksa telur nyamuk pada semua ovitrap dua kali seminggu dan
mengirimkan hasilnya melalui short message service (SMS) ke pengolah data.
Dalam hal ini telah terjalin kerja sama yang baik antara kader sebagai jumantel,
petugas puskesmas/Dinkes Kabupaten,dan peneliti (pengolah data).
2. Hasil perolehan data yang terkumpul melalui alur diagram di Kecamatan Gunung
Jati dengan hasil tertinggi pada Desa Pasindangan. Di Kecamatan Kedawung
dengan kepadatan telur dan jentik tertinggi adalah Desa Sutawinangun. Data jentik
diperoleh dari dua kecamatan dalam waktu yang lebih lambat dibanding
pengumpulan data telur.
3. Selama penelitian pada tahun 2011 tidak ada kejadian DBD sehingga tidak dapat
diplot jumlah kasus dengan pengamatan telur nyamuk. Data sekunder dari Dinas
Kesehatan penderita DBD pada tahun 2010 Kecamatan Kedawung menunjukkan
jumlah penderita DBD tertinggi. Demikian pula kasus DSS di di Kecamatan yang
sama memiliki tingkat pencatatan kasus tertinggi bila dibandingkan dengan
kecamatan lainnya. Data Kecamatan Gunung Jati, tidak terekap jumlah kasus yang
ditemukan untuk tahun . Namun pada tahun 2010 ditemukan kasus DBD maupun
DSS cukup tinggi.
![Page 54: ringksneks-abstrak](https://reader034.vdocuments.mx/reader034/viewer/2022052301/557210dd497959fc0b8dceba/html5/thumbnails/54.jpg)
4. Dengan pengetahuan masyarakat yang cukup baik kemungkinan mereka berperan
serta untuk menghindarkan kejadian luar biasa (KLB) dapat direalisasikan.
5. Hal yang menguntungkan adalah kebiasaan penduduk untuk memberitahukan
kepada aparat desa apabila ada anggota keluarga yang sakit.
6. Hasil uji bivariat menunjukkan beberapa variabel pengetahuan dan perilaku
masyarakat termasuk pengetahuan gejala DBD, cara pembrantasan tempat jentik,
selalu menguras bak mandi, selalu menaburkan abate dan meminta pertolongan
kepada orang yang tepat mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian
DBD sesuai dengan temuan peneliti lain di Kabupaten Kendal. Terdapat hubungan
antara perilaku kesehatan dengan kejadian DBD. Variabel yang berperan adalah
membersihkan tempat penyimpanan air (TPA); menguras bak mandi; mengubur
barang bekas; dan membuang sampah pada tempatnya.
7. Disarankan sebagai hal yang cukup penting agar dilakukan penyuluhan karena
sebagian masyarakat masih belum mengetahui bahaya dan pencegahan DBD dan
banyaknya keinginan mereka untuk mendapatkan penyuluhan kesehatan khususnya
DBD melalui tatap muka atau ceramah di balai desa.
Selanjutnya perlu tetap dilakukan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) mengingat
hasil observasi menunjukkan kebiasaan penduduk untuk menyimpan barang-barang
bekas di sekitar rumah.
2. Analisis dan Penyusunan Daftar Obat Essensial Untuk Anak dan Penggunanya di
Rumah Sakit
Ketua Pelaksana : Bryan Mario Isakh, SKM
Di seluruh dunia diperkirakan setiap tahun kematian anak dibawah 5 tahun sebesar 9,7
juta. Populasi anak (0-14 tahun) di Indonesia sebesar 27,23%. Sedangkan Angka
Kematian Bayi di Indonesia sebesar 34 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2007, dan
Angka Kematian Balita sebesar 44 per 1000 kelahiran hidup (SDKI). Penyebab
kematian terutama adalah pneumonia, diarrhea, malaria, neonatal pneumonia dan
sepsis, dan penyakit lain yang sebenarnya pengobatan yang efektif telah tersedia.
Millenium Development Goal (MDG), salah satu targetnya adalah Menurunkan angka
kematian anak. World Health Assembly (WHA) mengeluarkan resolusi WHA60.20,
yang mengidentifikasi langkah-langkah yang harus ditempuh agar obat yang lebih baik
tersedia buat anak (Better Medicine for Children Act). Resolusi meminta agar 193
![Page 55: ringksneks-abstrak](https://reader034.vdocuments.mx/reader034/viewer/2022052301/557210dd497959fc0b8dceba/html5/thumbnails/55.jpg)
negara anggota WHO: Mempromosikan akses ke obat esensial bagi anak dengan
memasukkan obat-obatan untuk anak kedalam daftar obat esensial National,
pengadaan dan pendistribusian, dan harga yang terjangkau.
Pasien anak bukanlah ukuran mini dari pasien dewasa, perubahan komposisi tubuh
yang tidak linear sehingga perhitungan dosis untuk anak tidak didasarkan pada usia
melainkan pada bobot tubuh anak.
Indonesia belum memiliki Kebijakan Obat Essensial untuk anak, Pengobatan untuk anak
masih menggunakan obat-obatan orang dewasa. Untuk itu perlu di teliti: ketersediaan
obat yang lebih baik untuk anak termasuk dalam daftar obat esensial Nasional, adanya
pedoman standar pengobatan (Standard Treatment Guideline) untuk anak.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kebijakan obat essensial yang diperlukan untuk
pengobatan anak di Indonesia, mengevaluasi ketersediaan obat yang lebih baik untuk
anak pada fasilitas kesehatan pemerintah maupun swasta, menyusun dan
merekomendasikan daftar obat esensial untuk anak secara nasional.
3. Faktor Risiko Hipertensi dan Pengembangan Model Intervensi (Pengembangan
Model Simulasi Pencegahan dan Penanganan Hipertensi di Kota Bogor,
Kabupaten Bogor dan Kabupaten Lebak)
Ketua Pelaksana : dr. Julianty Pradono, MS
Hasil analisis kuantitatif menunjukkan, ada perbedaan variabel yang berkontribusi
terjadinya hipertensi pada dua kabupaten dan satu kota yang diteliti. Tetapi faktor umur
paling berkontribusi dalam meningkatkan tekanan darah. Prevalensi hipertensi pada
responden ≥ 35 tahun lebih tinggi dibandingkan kelompok umur 15-34 tahun.
Selanjutnya diikuti dengan kelebihan berat badan dan lingkar perut berisiko, lama
merokok, gangguan mental emosional, status ekonomi, dan status kawin. Juga
responden yang sering mengkonsumsi makanan berlemak. Pengaruh lingkungan seperti
pencemaran lingkungan dan klasifikasi kota dan desa turut berkontribusi terjadinya
hipertensi. Persentase klasifikasi benar diperoleh sebesar 72,5-81,2 persen (R-
squared). Temuan dari kajian ini menunjukkan bahwa memodifikasi gaya hidup sangat
penting dalam mencegah terjadinya hipertensi baik di kota maupun di kabupaten.
Denagn menargetkan orang dewasa dalam melakukan upaya promosi Perilaku Hidup
![Page 56: ringksneks-abstrak](https://reader034.vdocuments.mx/reader034/viewer/2022052301/557210dd497959fc0b8dceba/html5/thumbnails/56.jpg)
Bersih dan Sehat untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya factor risiko
terjadinya hipertensi.
Hasil Penelitian kualitatif menunjukkan kurangnya pengetahuan informan tentang faktor
penyebab terjadinya hipertensi, gejala hipertensi, upaya pencegahan maupun cara
mendeteksi atau cara pengobatan hipertensi yang membutuhkan jangka panjang dan
berkesinambungan. Dari provider menunjukkan belum adanya program yang secara
khusus mengenai pencegahan, dan penanganan hipertensi. Penempatanprogram untuk
pelaksanaan program tentang penyakit tidak menular yang merupakan paying besar dari
pencegahan hipertensi masih belum jelas. Juga dalam pelaksanaannya masih bersifat
pasif. Ketersediaan obat untuk kuratif, dirasakan masih jauh daricukup. Sehingga perlu
adanya Surat Keputusan Kemenkes dalam menangani permasalahan tersebut.
4. Model Pengembangan Metode Surveilance PTM (Jantung, Diabetes, Stroke)
Berbasis UKBM
Ketua Pelaksana : Dra.Nunik Kusumawardhani,M.Sc
Penelitian ini merupakan studi operasional pengembangan metode surveilans faktor
risiko PTM utama (obesitas, hipertensi, hiperkolesterol, hiperglikemi, merokok, kurang
aktifitas fisik, kurang konsumsi sayur-buah), berbasis pemberdayaan masyarakat dalam
pengendalian faktor risiko PTM, dalam bentuk Pos Pembinaan Terpadu (Posbindu).
Kegiatan akan dilakukan dalam dua tahap. Pertama, melakukan identifikasi sumber
daya dan potensi kelompok masyarakat yang aktif, selanjutnya akan dilakukan
pengembangan kegiatan Posbindu melalui pelatihan (pengetahuan dan keterampilan
mendeteksi faktor risiko PTM, kemampuan pencatatan dan pelaporan) dan pembinaan
pelaksanaan Posbindu PTM. Kedua, pada tahun berikutnya kemampuan dan efektifitas
pelaksanaan deteksi dan tindak lanjut dini faktor risiko PTM melalui Posbindutersebut
akan dievaluasi. Dari pengembangan model ini diharapkan masyarakat dapat
meningkatkan mawas diri terhadap faktor risiko PTM secara mandiri, dan faktor risiko
PTM di masyarakat dapat dideteksi dan ditindaklanjuti secara dini. Dengan demikian
komplikasi PTM, baik kecacatan maupun kematian dini dapat dicegah.
5. Peningkatan Tingkat Kepatuhan Minum Obat ARV pada ODH Berbasis pada
Kondisi Sosial Budaya Masyarakat
Ketua Pelaksana : Yuyun Yuniar, S.Si, Apt.,MA
![Page 57: ringksneks-abstrak](https://reader034.vdocuments.mx/reader034/viewer/2022052301/557210dd497959fc0b8dceba/html5/thumbnails/57.jpg)
Prevalensi kasus HIV AIDS di Indonesia makin meningkat sehingga upaya
penanggulangan dilakukan antara lain dengan membentuk komisi penanggulangan
AIDS nasional dan daerah serta menetapkan rumah sakit rujukan di Indonesia. Kasus
HIV AIDS tertinggi pada tahun 2010 dilaporkan berada di Provinsi DKI Jakarta, Jawa
Barat, Jawa TImur, Papua dan Bali. Penggunaan ARV (antiretroviral) merupakan salah
satu upaya penanggulangan dengan cara meningkatkan harapan hidup ODHA (orang
dengan HIV AIDS), meskipun tidak untuk menyembuhkan. ARV digunakan dalam
jangka waktu yang panjang, sehingga salah satu penyebab kegagalan terapi adalah
ketidakpatuhan terhadap pengobatan dengan ARV. Kepatuhan terhadap ARV bukan
hanya masalah medis, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial budaya
masyarakat setempat.
Penelitian ini dilakukan untuk mengeksplorasi faktor-faktor sosial budaya yang
mempengaruhi kepatuhan minum ARV yaitu faktor demografi (pendidikan, pekerjaan,
status pernikahan); faktor predisposisi seperti pengetahuan, persepsi dan lifestyle; faktor
pemungkin yaitu pertimbangan ekonomi, dan faktor penguat yang berupa faktor social
seperti kondisi lingkungan, gender, peer group, keagamaan, stigma dan diskriminasi
serta faktor-faktor lainnya yang mendukung kepatuhan minum obat atau sebaliknya.
Penelitian dilakukan secara purposif di dua provinsi yang termasuk dalam lima besar
kasus HIV AIDS di Indonesia dengan kondisi sosial budaya berbeda yaitu provinsi Jawa
Barat dan Bali, masing-masing di dua kabupaten/kota. Data diperoleh dengan cara
wawancara mendalam dengan para pihak yang mewakili stakeholder penanggulangan
AIDS, wawancara mendalam dengan ODHA yang pernah atau masih menggunakan
ARV, key informant, serta observasi di lingkungan setempat, lokasi pengobatan (rumah
sakit) serta aktifitas di Komisi Penanggulangan AIDSDaerah (KPAD) dan atau LSM yang
bergerak di bidang AIDS.
Dalam penelitian telah dilakukan wawancara dengan 10 orang ODHA serta
pendampingdan stakeholder lain yang terlibat dalam program penanggulangan HIV
AIDS di Kota Bandung dan Kota Cimahi. Hasil sementara yang diperoleh adalah data-
data HIV AIDS, riwayat status ODHA, faktor pendukung dan penghambat kepatuhan
serta saran-saran untuk meningkatkan kepatuhan minum obat ARV.
![Page 58: ringksneks-abstrak](https://reader034.vdocuments.mx/reader034/viewer/2022052301/557210dd497959fc0b8dceba/html5/thumbnails/58.jpg)
Faktor-faktor pendukung kepatuhan minum obat ARV antara lain yaitu dari diri sendiri,
dukungan teman-temandi LSM, dukungan keluarga, keinginan untuk hidup, punya
keturunan/anak, belum menikah/mau menikah lagi, agama/keyakinan, strategi minum
obat, pernah ada anak/keluarga yang meninggal, ketidaksengajaan, setelah dia sakit
atau anaknya sakit, dia baru patuh. Adanya layanan puskesmas untuk perkembangan
anak, VCT gratis dan pendampingan terutama saat mencapai titik jenuh.
Sedangkan faktor penghambat kepatuhan yaitu efek samping obat seperti mual, anemia
dan ruam-ruam, alasan ekonomi, aksesibilitas, takut diketahui pasangan, pacar atau
teman. Waktu minum obat mengganggu aktivitas lain, hubungan dengan tenaga
kesehatan, titik jenuh, bosan dan malas minum obat, masalah pribadi/psikologis,
perilaku, merasa tertekan karena harus minum obat, jadi banyak keluhan. Ada yang
putus asa, atau mitos bahwa obat ARV membunuh anak yang dikandung, sampai ke
yang sekedar ingin coba-coba berhenti minum obat untuk mengetahui apa yang terjadi
pada tubuhnya.
Saran untuk meningkatkan kepatuhan minum obat antara lain dengan melibatkan orang
terdekat ODHA, membuka status ODHA kepada keluarga, harus ada motivator dari segi
agama dan psikologis; lebih mengingatkan adherence dan ingatkan fungsi ARV,
mengingatkan waktu minum obat; adanya program warga peduli AIDS (WPA),
penguatan layanan dan koordinasi lintas sektor serta dukungan kebijakan, misalnya
pendanaan untuk melakukan pemeriksaan laboratorium.
Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi masukan bagi upaya penanggulangan AIDS
yang terkait dengan penggunaan ARV berdasarkan kondisi sosial budaya masyarakat
setempat.
6. Kebijakan Penetapan Apoteker sebagai Pengelola Obat di Puskesmas
Ketua Pelaksana : Dr. Sudibyo Supardi, Apt
Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan mensyaratkan tenaga
kesehatan yang melakukan pelayanan kesehatan di Indonesia harus mempunyai
kualifikasi minimum yang ditetapkan oleh penerintah. Peraturan Pemerintah No. 51
tahun 2009 mensyaratkan praktek kefarmasian harus dilakukan oleh apoteker. Belum
diketahui bagaimanakah kebijakan penempatan apoteker di Puskesmas. Tujuan
![Page 59: ringksneks-abstrak](https://reader034.vdocuments.mx/reader034/viewer/2022052301/557210dd497959fc0b8dceba/html5/thumbnails/59.jpg)
penelitian adalah (a) mendapatkan informasi pelaksanaan PP 51 tahun 2009 oleh
daerah provinsi dan kota terkait penempatan apoteker sebagai pengelola obat di
Puskesmas, (b) mendapatkan informasi faktor pendukung dan penghambat dalam
penempatan apoteker sebagai pengelola obat di puskesmas, (c) mendapatkan informasi
pengelolaan obat di puskesmas yang ada. Manfaat penelitian adalah informasi untuk
meningkatkan pelayanan kefarmasian di puskesmas sesuai peraturan perundangan.
Penelitian potong lintang akan dilakukan untuk mengetahui kebijakan penempatan
apoteker sebagai pengelola obat di puskesmas. Informan penelitian adalah pihak yang
terkait dengan kebijakan penempatan apoteker di puskesmas, yaitu dinas kesehatan
provinsi, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, kepala puskesmas dan IAI. Data
dikumpulkan melalui wawancara mendalam, diskusi kelompok terarah dan observasi
pengelolaan obat di puskesmas. Analisis data secara deskriptif dan analisis kualitatif
dengan metoda triangulasi. Hasil sementara disempurnakan dengan RTD di Jakarta.
Berdasarkan hasil dan pembahasan, maka disusun kesimpulan sebagai berikut:
1. Pelaksanaan peraturan perundangan yang terkait dengan penempatan apoteker di
Puskesmas sebagai berikut:
a. Dinkes provinsi tidak mempunyai wewenang dalam penempatan apoteker di
Puskesmas, tetapi hanya mencatat informasi penempatan tenaga kesehatan.
b. Dinkes Kabupaten/Kota sudah mengusulkan denga prioritas Puskesmas
perawatan, tetapi penetapannya dilakukan oleh pusat, sehingga belum
mencukupi kebutuhan. Kalau bisa apoteker di PTT kan, sehingga Dinkes
Kabupaten/Kota memiliki dasar hukum untuk menempatkan apoteker di
Puskesmas. Saat ini pembinaan dan pengawasan pengelolaan obat di
Puskesmas dilakukan oleh 6 orang apoteker dari Dinkes Kabupaten/Kota
termasuk dalam hal PIO.
c. BKD tidak membuat perencanaan tenaga, tetapi hanya mencatat dan
meneruskan permintaan kebutuhan tenaga Kabupaten/Kota ke BKN.
d. Kepala Puskesmas menyatakan beban kerja pelayanan resep di Puskesmas
sangat besar, harusada apoteker dan AA,minimal AA yang mencukupi.
2. Permasalahan yang terkait dengan penempatan apoteker di Puskesmas adalah
formasi belum mencukupi, Dinkes Kabupaten/Kota belum bisa mengangkat apoteker
sebagai tenaga PTT karena belum ada dasar hukumnya, dan beban kerja yang
![Page 60: ringksneks-abstrak](https://reader034.vdocuments.mx/reader034/viewer/2022052301/557210dd497959fc0b8dceba/html5/thumbnails/60.jpg)
terlalu berat, minimal melayani 60- 300 resep per hari. Beban kerja yang berat
menyebabkan tenaga farmasi tidak mungkin melakukan informasi obat dan
konseling pasien dengan optimal.
3. Pengelolaan obat di Puskesmas saat ini, termasuk informasi obat sudah berjalan
dengan keterbatasan beban kerja. Fungsi apoteker dalam konseling obat, home care
dan visite di puskesmas perawatan belum berjalan baik.
Kata kunci : apoteker, praktek kefarmasian, puskesmas, kebijakan, tenaga kesehatan.
7. Model Intervensi Pelayanan Kesehatan Gigi di Propinsi Kepulauan Bangka
Belitung Tahun 2011, Tahap II
Ketua Pelaksana : Drg. FX. Shintawati, MKes
Penelitian diawali pada tahun 2010 dimana telah dilakukan analisis consumer/penerima
pelayanan kesehatan gigi. Analisis berupa base line survey untuk mengetahui status
kesehatan gigi dan mulut penduduk Provinsi Bangka Belitun, perilaku membersihkan
gigi dan pola pencarian pengobatan apabila sakit gigi baik ke pelayanan medis, non
medis ataupun mengobati sendiri. Pada tahun 2011 ini penelitian dilanjutkan dengan
melakukan analisis program pelayanan kesehatan gigi dan mulut di seluruh
kabupaten/kota di provinsi Bangka Belitung dan mengembangkan model intervensi
pelayanan kesehatan gigi dan mulut.
Bahan dan cara : penelitian kuantitatif dilakukan dengan mengumpulkan data primer
tentang pelayanan yang diberikan oleh provider/pemberi layanan kesehatan gigi yang
terdiri dari dokter gigi PNS, dokter gigi PTT, perawat gigi, tenaga poltekes gigi. Informasi
yang dikumpulkan meliputi pelaksanaan kelima fungsi pelayanan kesehatan gigi di
masing-masing kabupaten/kota yaitu pelayanan promotif, protektif, deteksi dini dan
terapi, kuratif dan rehabilitatif. Keterbatasan/kendala yang dialami provider kesehatan
gigi di masing-masing kabupaten/kota meliputi sumber daya manusia, fasilitas,sarana
dan prasarana dan hambatan pelaksanaan pelayanan. Penelitian kualitatif dilakukan
dengan melakukan wawancara mendalam kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi,
Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan di Dinkes Provinsi, Ketua Organisasi Profesi,
Kepala Puskesmas. Output penelitian adalah model intervensi pelayanan kesehatan gigi
di Provinsi Bangka Belitung.
![Page 61: ringksneks-abstrak](https://reader034.vdocuments.mx/reader034/viewer/2022052301/557210dd497959fc0b8dceba/html5/thumbnails/61.jpg)
Hasil dilaporkan sebagai berikut: SDM dokter gigi sangat kurang, sebagian besar para
dokter gigi yang bertugas di provinsi Bangka Belitung adalah dokter gigi PTT yang masa
kerjanya terbatas. Kualitas dokter gigi perlu ditingkatkan, perlu pelatihan managemen
untuk dokter gigi, tenaga perawat gigi cukup, tidak ada tenaga promosi khusus gigi,
tidak ada alat peraga gigi. Instrumen penumpatan banyak yang hilang, juga bahan/obat
untuk penumpatan sangat terbatas. Instrumen pencabutan juga banyak yang dipakai ke
lapangan oleh perawat gigi. Hal ini berdampak pada pelayanan yang diberikan lebih
kepada pencabutan, selain itu juga permintaan pasien yang lebih memilih dicabut,
karena menurutnya gigi menjadi lebih putih dan bagus. Meskipun tersedia mobil
Puskesmas Keliling gigi, namun frekuensi kegiatan luar gedung dengan menggunakan
mobil keliling gigi sangat kurang karena kurang/tidak ada dana operasional.
Kebijakan/program pelayanan kesgilut dasar puskesmas tidak ada.
8. Faktor yang Berpengaruh Terhadap Pengembangan Sistem Pencatatan dan
Pelaporan Sebab Kematian
Ketua Pelaksana : Joko Irianto, SKM, MKes
Badan Litbangkes sudah lima tahun mengembangkan sistem pencatatan dan pelaporan
sebab kematian yaitu dari tahun 2006 yang sekarang sudah di 26 kabupaten/kota di
Indonesia. Dari daerah yang dikembangkan tersebut bervariasi menurut besar
pendanaan, waktu pendampingan, dan atensi dari masing-masing daerah. Dengan
variasi yang ada ini hasil yang dicapai antara masing-masing daerah juga sangat
bervariasi. Ada daerah yang mampu mengembangkan sistem dengan mengandalkan
sumber daya daerah sendiri dan ada daerah yang kurang dan tidak mampu
menjalankan sistem tersebut.
Belum diketahui dengan pasti faktor yang paling berpengaruh terhadap pengembangan
sistem pencatatan dan pelaporan sebab kematian sehingga sistem ini dapat berjalan
atau terhenti sama sekali. Dalam penelitian ini ingin diketahui faktor yang berpengaruh
terhadap keberhasilan pengembangan sistem pencatatan dan pelaporan sebab
kematian tersebut, yaitu dengan mengumpulkan data di daerah-daerah yang telah
diawali pengembangannya oleh Badan Litbangkes. Hasil penelitian ini akan bermanfaat
bagi Badan Litbangkes dan daerah yang sedang berupaya mengembangkan sistem ini
ke kabupaten/kota yang lain untuk tahun-tahun berikutnya.
![Page 62: ringksneks-abstrak](https://reader034.vdocuments.mx/reader034/viewer/2022052301/557210dd497959fc0b8dceba/html5/thumbnails/62.jpg)
Penelitian ini mengumpulkan data melalui instrumen terstruktur dan wawancara
mendalam terhadap pelaksana kegiatan di masing-masing daerah. Selanjutnya data
akan dianalisis uji multivariat dengan menggunakan SPSS, dengan demikian pada
akhirnya akan diketahui faktor yang mempenyai peranan yang paling besar terhadap
keberhasilan pengembangan sistem tersebut.
Hingga pada laporan tahap ini sudah tiga daerah yaitu Kota Surakarta, Kota Metro dan
Kabupaten Gorontalo yang sudah dilakukan pengumpulan data, namun sebagian data
masih dalam tahap penyelesaian, sedangkan di Kabupaten Pekalongan belum
dilaksanakan. Data Sensus Penduduk 2010 dari BPS juga belum didapat karena masih
dalam proses pengolahan di BPS.
Responden dari penelitian ini menunjukkan dominasi perempuan (dalam kisaran 70%)
sebagai petugas pelaksana wawancara autopsi verbal sebab kematian namun
semuanya telah dilatih ketrampilan untuk hal tersebut. Data kematian yang dilaporkan
diperkirakan masih di rendah, terutama data tahun 2010. Pada tahun 2010 pelaksanaan
pencatatan dan pelaporan sebab kematian di masing-masing daerah tersebut sudah
sepenuhnya mengandalkan kemampuan sendiri, termasuk dalam memnentukan
penyakit penyebab dasar kematian.
Penyakit penyebab dasar kematian masih di dominasi oleh penyakit degeratif walaupun
penyakit infeksi seperti Tuberkulosis, Diare, dan Pneumoni masih termasuk dalam 10
besar. Hal ini menunjukkan bahwa transisi epidemiologi telah bergeser dari penyakit
infeksi ke penyakit degeneratif, namun masih dalam transisi yang berat yaitu kasus
penyakit infeksi dan degeratif keduanya tinggi.
Kata kunci: Sistem, sebab kematian, penyakit
IV. Ringkasan Kegiatan Hibah
1. Perilaku Vektor Malaria Nyamuk Anopheles Spp Di Beberapa Daerah Di
Indonesia. (Behavioral Studies of Malaria Vector in Correlation with Molecular
Entomology in Indonesia).
Ketua Pelaksana : Prof.Supratman Sukowati
![Page 63: ringksneks-abstrak](https://reader034.vdocuments.mx/reader034/viewer/2022052301/557210dd497959fc0b8dceba/html5/thumbnails/63.jpg)
Malaria masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di kawasan Asia Tenggara,
termasuk Indonesia. Pada beberapa tahun terakhir telah terjadi transisi epidemiologi,
namun potensi penularan malaria masih tetap tinggi karena strategi pengendalian vektor
malaria belum berhasil karena terjadi resistensi dari parasit malaria terhadap klorokuin.
Kegagalan pengendalian vektor sebagian karena kurangnya pemahaman pengetahuan
mengenai perilaku dan ekologi dari spesies vektor dalam daerah ekologinya.
Spesies nyamuk anopheline yang telah dilaporkan di Indonesia berjumlah 82 spesies,
dan 22 spesies diantaranya dikonfirmasi sebagai vektor malaria yang tersebar di
dataran rendah, di rawa atau di dataran tinggi. Studi bio-ekologi vektor malaria telah
banyak dilakukan di Jawa Tengah, Lombok dan Sulawesi. Namun di daerah endemik
malaria di luar Jawa terutama di Indonesia bagian Timur seperti di NTT, Maluku dan
Papua masih sangat langka. Pemahaman tentang perilaku dan ekologi vektor malaria
akan sangat berguna untuk menentukan strategi pengendaliannya.
Studi ini akan dilakukan di 5 daerah eko-epidemiologi di Indonesia: yaitu
a) Lampung Selatan, Sumatera (daerah transmisi menengah), b) Maluku (daerah
transmisi tinggi), c). Papua (daerah transmisi tinggi), d) Sabang (daerah transmisi
rendah dan e). Nusa Tenggara Timur (daerah transmisi menengah).
Yang akan dipelajari adalah spesies vektor malaria, distribusi dan pemetaan spesies
vektor, karakteristik habitat perkembang-biakannya dan perilaku (kebiasaan menggigit,
pilihan menghisap darah, aktivitas menghisap darah, kelimpahan musiman dan
habitatnya masing-masing). Kerentanan spesies vector terhadap parasit malaria akan
ditentukan menggunakan pemeriksaan ELISA untuk deteksi spesies-protein spesifik
circumsporozoite (CSP). Uji precipitin spesies anopheline akan dilakukan pada kertas
filter, untuk menentukan preferensi host. Ovarium akan dibedah untuk mengidentifikasi
tingkat paritas. Spesimen yang terkumpul akan diidentifikasi untuk menentukan adanya
kompleks spesies atau sibling spesies.
Hasil yang Dicapai :
1) Mendapatkan informasi ilmiah berupa bioekologi spesies Anopheles, yang dapat
digunakan sebagai dasar pengendalian vektor malaria di wilayah penyebarannya.
2) Mendapatkan peta sebaran spesies Anopheles yang dapat digunakan untuk
memudahkan petugas dalam mengenali lokasi dan melakukan pengendalian vektor
malaria.
![Page 64: ringksneks-abstrak](https://reader034.vdocuments.mx/reader034/viewer/2022052301/557210dd497959fc0b8dceba/html5/thumbnails/64.jpg)
3) Mengetahui karakteristik habitat perkembangbiakan tiap spesies aniopheline
terutama vektor malaria di daerah penyebarannya.
2. Penulisan Jurnal Ilmiah Ke-2 dan Penerbitan Jurnal Kesehatan Reproduksi (The
2nd Scientific Writing and RH Journal Printing).
Ketua Pelaksana : dr.Teti Tejayanti, MKM
Kesehatan reproduksi sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam indikator
pembangunan kesehatan karena menyangkut issue-issue kesehatan yang sangat
esensial seperti kematian ibu, kematian bayi, kematian balita, HIV Aids dengan
kehamilan, dsb.
Dalam rangka meningkatkan kesehatan reproduksi tersebut, Kementrian Kesehatan
khususnya Badan Litbangkes melakukan kerjasama dengan UNFPA. Kerjasama
dilakukan dalam bentuk pembentukan Jurnal Kesehatan Reproduksi. Jurnal kesehatan
reproduksi merupakan jurnal ilmiah yang menyajikan artikel orisinal tentang
pengetahuan dan informasi/aplikasi riset dan pengembangan terkini yang berhubungan
dengan kesehatan reproduksi. Fungsi dari Jurnal Kesehatan Reproduksi adalah sebagai
media menyebarluaskan berbagai tulisan ilmiah mengenai kesehatan reproduksi.
Melalui jurnal kesehatan, temuan baru dari peneliti dan ilmuwan dikomunikasikan ke
masyarakat, guna mendapat tanggapan, dikembangkan dan disempurnakan oleh
ilmuwan lain, sehingga kesempurnaan dan kebenaran ilmunya menjadi lebih baik.
Kehadiran berbagai jurnal ilmiah dalam masyarakat akademik juga merupakan investasi
jangka panjang untuk memacu meningkatkan sumber daya manusia.
Jurnal Kesehatan Reproduksi akan terbit tiga kali dalam setahun. Untuk mendukung
tetap terbit, maka diperlukan artikel yang memenuhi syarat layak terbit. Untuk memenuhi
kebutuhan tersebut maka dilakukan beberapa kegiatan yaitu sosialisasi Jurnal
Kesehatan Reproduksi pada peneliti dan kalangan di luar Litbangkes, pelatihan
penulisan artikel( scientific writing on Reproductive Health), pertemuan Tim Redaksi dan
pertemuan Mitrabestari. Tujuan kegiatan adalah Menerbitkan Jurnal Kesehatan
Reproduksi Indonesia.
Kegiatan :
![Page 65: ringksneks-abstrak](https://reader034.vdocuments.mx/reader034/viewer/2022052301/557210dd497959fc0b8dceba/html5/thumbnails/65.jpg)
1. Pertemuan rutin internal tiap bulan untuk koordinasi dewan redaksi.
2. Pertemuan Tim Jurnal Kesehatan Reproduksi (dengan Mitra Bestari/pakar) 3 kali/
setahun.
3. Pelatihan penulisan ilmiah dua kali dalam setahun.
4. Review dan editing artikel oleh Tim Jurnal Kesehatan Reproduksi Indonesia.
5. Penerbitan Jurnal Kesehatan Reproduksi Indonesia dan pengiriman ke stake holder.
6. Peningkatan capacity building Tim Jurnal : life table.
Luaran yang dihasilkan yaitu:
1. Tersosialisasinya Jurnal Kesehatan Reproduksi.
2. Terbit Jurnal Kesehatan Reproduksi Volume 1 ( No 2 dan 3) dan Volume 2 ( No 1)
3. Meningkatnya kapasitas peneliti.
3. Situasi Epidemiologi dan Program Pengendalian Penyakit Tidak Menular di
Indonesia (The Development of Indonesia NCD Burden and Epidemiological
Situation).
Ketua Pelaksana : Nunik kusumawardani, SKM, MScPH
Bukti secara global maupun nasional telah menunjukkan besarnya masalah penyakit
tidak menular (PTM) sudah membutuhkan lebih banyak perhatian dari berbagai pihak
terkait. Penyakit tidak menular (PTM), khususnya penyakit jantung, kanker, diabetes
mellitus, strok dan penyakit paru obstruksi kronik, sudah menjadi masalah kesehatan
global sejak beberapa dekade lalu. PTM menyebabkan sekitar 60% dari kematian di
dunia. Diperkirakan kematian yang berkaitan dengan PTM akan meningkat sebesar 21%
pada tahun 2006 s/d 2015.
Di Indonesia, kematian akibat PTM meningkat dari 41% pada tahun 1995 menjadi
59.5% pada tahun 2007. Data dari Riskesdas 2007 menunjukkan bahwa prevalensi
hipertensiadalah 31.7%. Prevalensi pernah didiagnosa strok sebesar 8.3%, serta 1.1%
untuk diabetes mellitus, 7.2% untuk penyakit jantung dan 4.3% untuk tumor.
Program pengendalian dan pencegahan PTM telah dikembangkan secara global oleh
WHO sejak tahun 2000. Sebagai tindak lanjut dari komitmen global untuk pengendalian
PTM, pemerintah Indonesia telah mengembangkan kebijakan dan strategi nasional
pengendalian PTM pada tahun 2003 yang dikoordinasi oleh Pusat Promosi Kesehatan,
Kementerian Kesehatan. Program PTM secara resmi masuk dalam struktur organisasi
![Page 66: ringksneks-abstrak](https://reader034.vdocuments.mx/reader034/viewer/2022052301/557210dd497959fc0b8dceba/html5/thumbnails/66.jpg)
Pusat Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kementerian
Kesehatan pada tahun 2006 (Keputusan Kemenkes No.1575 tahun 2005 dan
No.439/Menkes/Per/VI/2009).
Sejak diterapkannya kebijakan nasional pada tahun 2006, implementasi dari kebijakan
dan strategi nasional pengendalian PTM di Indonesia masih dalam tahap dini, terutama
ditingkat provinsi dan kabupaten. Setiap provinsi dan kabupaten mempunyai sumber
daya dan karakteristik wilayah yang spesifik dan bervariasi, sehingga masing-masing
wilayah mempunyai kebutuhan dan prioritas program yang spesifik dalam upaya
pengendalian PTM. Dengan demikian penting untuk menganalisa dan mempelajari lebih
lanjut situasi terkini program pengendalian PTM ditingkat nasional maupun kabupaten.
Hasil dari analisa situasi ini akan bermanfaat dalam upaya memperbaiki kebijakan dan
strategi dimasa yang akan dating berdasarkan kebutuhan masyarakat dan pelajaran
yang didapatkan dari pengalaman dibeberapa kabupaten di Indonesia.
Analisa inibertujuan untuk menggambarkan situasi terkini program pengendalian PTM
(PPTM) dalam upaya memperbaiki strategi dan kebijakan yang berdasarkan kebutuhan
dari perspektif pemerintah dan masyarakat, dengan studi kasus di wilayah Jakarta
Barat, Kota Cilegon, Kota Padang Panjang dan Kota Depok. Informasi dalam analisa ini
didapatkan dari data kualitatif dan kuantitatif. Informasi Kualitatif diperoleh melalui
wawancara mendalam, diskusi kelompok dan pengamatan. Data kuantitatif adalah data
sekunder dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), Sistem Informasi Rumah Sakit dan
data dari laporan Jamkesmas.
Bukti kuantitatif sudah menunjukkan bahwa beberapa PTM utama seperti penyakit
jantung, strok, diabetes mellitus, kanker dan PPOK dan faktor resiko bersama PTM
sudah menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia, terutama yang terlihat dari
angka fatalitas penyakit, serta dampak sosial dan ekonomi dari penyakit. Data dari
Riskesdas 2007 menunjukkan bahwa strok merupakan penyakit utama penyebab
kematian. Laporan dari data rumah sakit pada tahun 2008 menggambarkan bahwa
kasus terbanyak penyebab kematian adalah strok dan angka fasilitas tertinggidi rumah
sakit adalah diabetes mellitus diikuti oleh strok.
![Page 67: ringksneks-abstrak](https://reader034.vdocuments.mx/reader034/viewer/2022052301/557210dd497959fc0b8dceba/html5/thumbnails/67.jpg)
Strategi nasional pencegahan dan pengendalian PTM pada prinsipnya sudah sejalan
dengan strategi global sejak pertama kali dikembangkan pada tahun 2003. Strategi
nasional pencegahan dan pengendalian PTM mencakup tiga dimensi, seperti
pendekatan berbasis masyarakat, sistem surveilan dan penanganan kasus. Strategi
program telah diimplementasikan dibawah koordinasi Direktorat PTM, Kemeterian
Kesehatan yang terdiri dari lima sub-direktorat PTM (penyakit jantung, diabetes mellitus,
kanker, cedera dan kekerasan serta penyakit kronik dan degeneratif lainnya). Sebagian
besar pemerintah provinsi dan kabupaten masih belum sepenuhnya dapat menerapkan
kebijakan dan strategi nasional karena keterbatasan dalam aspek sumber daya,
kebijakan daerah dan peran masyarakat. Secara umum, sumber daya manusia,
infrastruktur, struktur organisasi dan finansial masih relatif terbatas disebagian besar
provinsi dan kabupaten di Indonesia dalam implementasi program pengendalian PTM.
Dukungan kebijakan di tingkat provinsi dan kabupaten kurang optimal karena masih
lemahnya advokasi dan koordinasi antara sector kesehatan dan sector non kesehatan,
termasuk dengan pemerintah daerah setempat.
Sebagai dampak dari penerapan sistem pemerintahan desentralisasi, pemerintah
daerah mempunyai kewenangan untuk dapat menetapkan prioritas pembangunan
daerahnya, termasuk pembangunan kesehatan, secara lebih mandiri. Konsekwensinya,
dinas kesehatan kabupaten mempunyai struktur organisasi yang berbeda antara
kabupaten, sehingga program PPTM bisa ada dibawah seksi PTM, pengendalian
penyakit, promosi kesehatan, surveilans atau tidak ada dibawah seksi manapun.
Sementara itu, partisipasi masyarakat untuk upaya pencegahan faktor resiko PTM yang
terbentuk dalam kegiatan “Posbindu PTM”, berjalan dengan aktif dengan dukungan kuat
dari kader kesehatan yang aktif serta bimbingan dari tenaga kesehatan puskesmas
setempat. Di beberapa wilayah puskesmas dan kantor kepala desa atau kelurahan
setempat masih belum mempunyai pemahaman, kapasitas dan sumber daya yang
memadai untuk pencegahan dan pengendalian faktor resiko PTM khususnya dalam
menjalankan intervensi berbasis masyarakat yang lebih efektif dan berkelanjutan.
Peran Kemenkes (Direktorat PPTM) sangat penting dalam menjadikan kebijakan
pemerintah dapat diterapkan dengan optimal ditingkat propinsi dan kabupaten.
Direktorat PPTM telah menunjukkan kemajuan yang signifikan dalam pengembangan
program pencegahan dan pengendalian PTM sejak pertama kali dibentuk pada tahun
![Page 68: ringksneks-abstrak](https://reader034.vdocuments.mx/reader034/viewer/2022052301/557210dd497959fc0b8dceba/html5/thumbnails/68.jpg)
2006. Meskipun merupakan direktorat yang baru, beberapa upaya dan inisiatif telah
dilakukan sebagai tanggapan atau respon terhadap strategi dan kebijakan global
pengendalian PTM. Untuk masa yang akan datang serta perbaikan program maka
pemerintah perlu untuk lebih mengarahkan strategi program pada pendekatan factor
resiko, program pencegahan berbasis masyarakat, sistem surveilans terintegrasi,
pedoman lengkap sistem pencatatan di setiap tingkat serta sosialisasi dan advokasi
yang lebih kuat di tingkat provinsi dan kabupaten.
Hasil dari analisa ini secara garis besar merekomendasikan beberapa hal, termasuk
penguatan strategi melalui pendekatan faktor resiko bersama PTM utama untuk
pengembangan sistem surveilans, intervensi berbasis masyarakat dan kemitraan serta
kolaborasi multi sector, memperkuat kemitraan lintas sektor maupun lintas program,
memperbaiki akses dan kualitas pelayanan kasus PTM terutama untuk populasi yang
paling membutuhkan serta meningkatkan peran kemenkes dalam proses advokasi untuk
terciptanya kebijakan public yang sehat untuk pembangunan secara nasional maupun di
tingkat daerah.
4. National Workshop on Sharing and Learning for Effective Health Researches on
Climate Change in Indonesia.
Ketua Pelaksana : Dr. Ir. Inswiasri, MKes
Description, Duration and outcomes (i.e.Results) from the DFC Activities – From Date to
Date
In Indonesia, some research on climate change that linked to public health concern have
been conducted and some results are as below:
1. Prolonged drought in 1990 – 1994 has sparked forest fires in Sumatra and
Kalimantan.The incident over and over again in the years 2003 and in 2006 and has
linked to Acute Respiratory Illnes (ARI) in the province of South Kalimantan and
Central Kalimantan in 2006. Drought has also caused crop failure in Pantura Java
which has forced people to seek livelihoods in the surrounding towns.
2. Rising temperatures on the plateau in the District of Ungaran-Semarang Central
Java have allowed mosquitoes to reach the area, though originally there is no
malaria mosquito in that area (Prop. Health office, Central Java, 2008).
![Page 69: ringksneks-abstrak](https://reader034.vdocuments.mx/reader034/viewer/2022052301/557210dd497959fc0b8dceba/html5/thumbnails/69.jpg)
3. High rainfall has caused floods and landslides in East Java Province. In 2008 saw
major flooding in Karanganyar regency, Central Java Province, due to overflow from
the solo river.
4. Sea level rise and tidal has affected people in coastal areas like the north coast of
Java, including in Semarang and Tegal in 2008. The incident has caused economic
losses and public health threats due to the mosquitoes breeding places and quality
of clean water.
Looking some of results above, there is a need to held a workshop of study on health
impact of climate change in Indonesia involving universities and research center and
other ministries.
It is expected that during workshop, researchers could share the methodology, model,
and result of the study that have been carried out so that the institutional capacity to
conduct the study of broaden the research on climate change should address health
risk. The purpose of the workshop is also to prepare for the wider action that meet the
institution-wide challenge of adapting to health risks from climate change.
The purpose of the workshop to prepare of wider actions that meet the institution-wide
challenge of adapting to health risk from climate change.
a. To share & discuss on health experiences on health impact of CC among
stakeholders for health, adaption & mitigation.
b. Needs, research models & results to be expected so as to guide & prioritize studies
for near future.
This is to:
1. Strengthen key function of environmental management, vulnerability & health impact
assessment, disease surveillance & response, preparedness to natural disasters &
new emerging diseases to safeguard human health from CC
2. Discuss on proactive approaches for development of decisions with adequate
inclusionof necessary adaptation & mitigation measures to CC & protection of human
health.
![Page 70: ringksneks-abstrak](https://reader034.vdocuments.mx/reader034/viewer/2022052301/557210dd497959fc0b8dceba/html5/thumbnails/70.jpg)
3. Intensifying preventive public health liking it with sustainable development & healthy
environment.
The workshop has conducted for 2 days (10-11 October 2011). Participants of this
meeting or this discussion are:
1. Experts or participants from universities who concern to public health problem
especially.
2. Institutions in Environment Health Protection like Ministry of Health, Ministry of
Environment, State Ministry of Research and Technology.
3. Universities (University of Indonesia – Faculty of Public Health, Center of
Environmental Study)
4. Non-Government Organization (UNEP, ASEAN, World Bank)
5. Research Institutions (NIHRD, Research Unit In Universities)
6. District Authorities (Local government-Provincial/Municipality level)
The result of the workshop were:
1. Health impact of climate change have been identified using many references:
malaria, DHF, Chikungunya, Diarrhea, ARI, and malnutrition.
2. Depend on continouing data, many researchers study on vector burn diseases
(malaria, DBD, and diarrhea). Others have to create using surveillance system.
3. Patern of diseases and climate are vary in Indonesia. Data of risk factor of diseases
have not recorded yet routinely. So there are not easy to analyzed health impact of
climate change.
4. Researcher from University of Indonesia suggested those prority research for
Indonesia are a) climate early warning system for diseases: Malaria, DHF, ARI, and
Diarrhea, b) Mapping of health vulnerability: population, diseases, and area, c)
Environment and diseases surveillance systems effectiveness, d) climate change
and non-comunicable diseases.
5. LIPI has plan to study climate change impact on malaria in Semarang and Kebumen,
Central Java for 4 years up to 2014.
6. Faculty of Public Health, Diponegoro University, Semarang plan to study climate
change and vector of DHF along the coastal.
7. Institute of Bandung Technology (ITB) has conduct study on climate change and
prediction to DHF in South of Sumatera and Malang using deterministic model.
![Page 71: ringksneks-abstrak](https://reader034.vdocuments.mx/reader034/viewer/2022052301/557210dd497959fc0b8dceba/html5/thumbnails/71.jpg)
8. Medicine school of Padjadjaran University has analyzed data climate change and
health impact (Malaria, DHF, and Diarrhea) using vulnerability and risk assessment.
9. BMKG has analyzed data of climate change and health impact (DHF patern) using
statistics model.
10. We can conclude that the result of this workshop are: study of health impact of
climate change have already done by many research institutions and university
focusing on malaria, DHF, Diarrhea. Method of analysis of the study are description
or prediction diseases using statistical model, deterministic model, and GIS. Area of
study: along coastal, vulnerable area or population (Sumatera Selatan, Malang,
Semarang, Kebumen, and Parakan).
5. Alih Bahasa Pedoman Pelatihan Penelitian Operasional Kesehatan Reproduksi
(Adaptation of Training Module on Operational Research of Reproductive Health
in Indonesia).
Ketua Pelaksana : Iram Barida,SKM,MKM
WHO telah menerbitkan modul penelitian operasional kesehatan reproduksi yang sudah
diakui memenuhi metode ilmiah dan dapat diaplikasikan di daerah. Namun modul
tersebut ditulis dalam bahasa Inggris yang sebagian besar belum dapat dengan mudah
dipahami, untukitu perlu diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia agar lebih mudah
dipahami sehingga mudah dilatihkan dan digunakan di daerah.
Modul pelatihan penelitian operasional adalah prosedur yang harus diikuti oleh pengusul
penelitian yang dikembangkan oleh WHO. Untuk itu modul tersebut perlu dialih
bahasakan sehingga mudah dipahami bagi fasilitator dan peserta pelatihan dan
pemerhati kesehatan reproduksi di seluruh Indonesia. Modul ini menjadi bahan ajar
standar bagi pelatihan peneliti untuk dapat mengembangkan usulan penelitian.
Kegiatan ini ditujukan untuk mengalihbahasakan Pedoman penelitian operasional
kesehatan reproduksi ke dalam bahasa Indonesia. Dalam penulisan ini disesuaikan
dengan keinginan adanya pedoman untuk digunakan dalam pemberdayaan daerah
melalui pelatihan penelitian operasional kesehatan reproduksi. Adapun contoh kasus
dalam pedoman akan disesuaikan dengan kasus yang terjadi atau yang sedang
berkembang di Indonesia.
![Page 72: ringksneks-abstrak](https://reader034.vdocuments.mx/reader034/viewer/2022052301/557210dd497959fc0b8dceba/html5/thumbnails/72.jpg)
Kegiatan utama adalah mengalihbahasakan modul pelatihan penelitian operasional
kesehatan reproduksi. Untuk menyempurnakan hasil dari kegiatan ini diperlukan
masukan dari narasumber melalui beberapa pertemuan seperti pertemuan persiapan,
alih bahasa, editing dan pencetakan.
Hasil yang didapatkan dari seluruh rangkaian kegiatan ini adalah tersusunnya sebuah
modul pelatihan riset operasional bagi manager/pemegang program kesehatan
reproduksi. Dengan adanya buku panduan ini, diharapkan para pemegang program
mampu meningkatkan kinerjanya menjadi lebih baik dan efisien serta tepat sasaran.
V. Ringkasan Kegiatan Bersumber Dana Lintas Program
Asesmen Program Internsip Dokter Indonesia
Ketua Pelaksana: DR.dr. Harimat H
Internsip adalah proses pemagangan yang diperlukan agar seorang mahasiswa kedokteran
yang telah memiliki ijasah dokter dapat berpraktik mandiri. Program Internsip Dokter
Indonesia pertama telah dilaksanakan di Sumatera Barat pada Bulan Pebruari 2010.
Setelah 1 tahun pelaksanaan kegiatan internsip, Kementerian Kesehatan memandang perlu
untuk melakukan suatu penilaian terhadap pencapaian kegiatan internsip.
Asesmen dilakukan antara Bulan Pebruari – Maret 2011, dengan lokasi di 4 kabupaten di
Sumatera Barat, yakni Pariaman, Pesisir Selatan, 50 Kota, dan Solok Selatan. Pemilihan
kabupaten/kota lokasi asesmen dilakukan secara random (acak) dengan
mempertimbangkan keterwakilan RS Kelas C, RS Kelas D, Puskesmas rawat inap dan non
rawat inap.
Program Internsip Dokter Indonesia telah berjalan dengan cukup baik di Sumatera Barat. Ini
tercermin dari telah ditempatkannya peserta internsip di puskesmas-puskesmas dan RSUD
di seluruh kabupaten/kota di Sumatera Barat beserta kelengkapannya (pendamping, buku
pedoman). Secara umum, tujuan internsip telah tercapai. Seluruh peserta
sudah mencapai target minimal 400 kasus yang harus ditangani selama menjalani
internsip, namun ternyata masih ada peserta yang tidak memenuhi target proporsi yang
sudah ditetapkan.
![Page 73: ringksneks-abstrak](https://reader034.vdocuments.mx/reader034/viewer/2022052301/557210dd497959fc0b8dceba/html5/thumbnails/73.jpg)
Internsip bermanfaat baik untuk peserta maupun untuk wahana tempat ia ditempatkan.
Selain dapat mengaplikasikan ilmu dan keterampilan yang diterima juga keberadaan
internsip dinilai dapat meningkatkan jumlah kunjungan di beberapa puskesmas, menutup
celah kekurangan tenaga, membawa suasana akademik dan proses transfer of knowledge.
Dalam pelaksanaannya, terdapat beberapa hal yang memerlukan pembenahan, antara lain
manajemen internsip, perbaikan buku pedoman dan log book, serta kelengkapan sarana di
wahana internsip. Beberapa rumah sakit dan puskesmas belum memenuhi persyaratan
sebagai wahana internsip. Umumnya pendamping dinilai sudah memiliki kompetensi yang
baik untuk menjadi pendamping internsip. Program internsip tetap dibutuhkan, namun
dianggap perlu untuk melakukan penyesuaian lama pelaksanaannya dengan
mempertimbangkan pencapaian target UKP dan UKM.
Belum ada dukungan nyata dari Pemerintah Daerah terhadap keberadaan dokter internsip
sehingga tidak ada best practices yang dapat disarikan. Kendala yang dihadapi peserta
Internsip antara lain keterbatasan sarana dan fasilitas diagnostik, penunjang diagnostik, dan
sarana penunjang internsip lainnya; persepsi yang salah mengenai status internsip, serta
kekurangteraturan manajemen meliputi pendaftaran dan rekruitmen peserta,
pengorganisasian dan penempatan di wahana, pembuatan laporan, pengisian buku log, tata
tertib, penerimaan honorarium dan bantuan hidup, serta monitoring dan evaluasi.