ringkasan fg1
DESCRIPTION
Manusia terus menerus berkontak dengan agen eksternal yang dapat membahayakan jika masuk ke dalam tubuh. Contoh yang paling serius adalah mikroorganisme penyebab penyakit. Jika bakteri atau virus akhirnya masuk ke dalam tubuh , maka tubuh dilengkapi oleh sistem pertahanan internal yang kompleks dan multifaset, yaitu sistem imun. Sistem imun adalah kemampuan tubuh untuk menahan atau menghilangkan benda asing atau sel abnormal yang berpotensi merugikan. Tujuan utama sistem ini adalah untuk mempertahankan tubuh dari serangan mikroorganisme. Sistem imun memiliki beberapa fungsi, yaitu:- Mempertahankan tubuh dari patogen invasif (mikroorganisme penyebab penyakit misalnya bakteri dan virus)- Menyingkirkan sel yang “aus” dan jaringan yang rusak oleh trauma atau penyakit, memudahkan jalan untuk penyembuhan luka dan perbaikan jaringan.- Mengenali dan menghancurkan sel abnormal atau mutan yang berasal dari tubuh. Fungsi ini disebut Immune Surveillance, merupakan mekanisme pertahanan internal utama terhadap kanker.- Melakukan respons imun yang tidak pada tempatnya yang menyebabkan alergi, yang terjadi ketika tubuh melawan entitas kimiawai lingkungan yang normalnya tidak berbahaya, atau menyebabkan penyakit otoimun, yang terjadi ketika sistem pertahanan secara salah menghasilkan antibodi terhadap tipe tertentu sel tubuh sendiri.Terdapat beberapa kelainan sistem imun yang digolongkan dalam berbagai kelainan imunologik yang mencakup: imunodefisiensi, penyakit autoimun, kelainan imunoproliferatif, dan reaksi hipersensitivitas.• ImunodefisiensiImunodefisiensi adalah keadaan dimana terjadi penurunan atau ketiadaan respon hormon normal. Imunodefisiensi dapat terjadi secara primer dan sekunder. Imunodefisiensi primer pada umumnya didasari kelaianan genetik yang diturunkan. Sedangkan imunodefisiensi sekunder diperoleh melalui infeksi atau diproduksi oleh obat. Contoh imunodefisiensi primer adalah Common Variable Immunodeficiency (CVI) yang merupakan kelainan yang timbul sebagai kelainanTRANSCRIPT
ILMU DASAR KEPERAWATAN
Konsep Dasar Kelainan Sistem Imun
Oleh:
Agustina Melviani (1206218852)
Alfiya Aini (1206218985)
Hasna Fauziyah (1206218921)
Widya Handari (1206278782)
Yoshepin Melati Damanik (1206218972)
Yuli Astuti (1206247852)
Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia
2013
Manusia terus menerus berkontak dengan agen eksternal yang dapat membahayakan
jika masuk ke dalam tubuh. Contoh yang paling serius adalah mikroorganisme penyebab
penyakit. Jika bakteri atau virus akhirnya masuk ke dalam tubuh , maka tubuh dilengkapi
oleh sistem pertahanan internal yang kompleks dan multifaset, yaitu sistem imun.
Sistem imun adalah kemampuan tubuh untuk menahan atau menghilangkan benda
asing atau sel abnormal yang berpotensi merugikan. Tujuan utama sistem ini adalah untuk
mempertahankan tubuh dari serangan mikroorganisme. Sistem imun memiliki beberapa
fungsi, yaitu:
- Mempertahankan tubuh dari patogen invasif (mikroorganisme penyebab penyakit
misalnya bakteri dan virus)
- Menyingkirkan sel yang “aus” dan jaringan yang rusak oleh trauma atau penyakit,
memudahkan jalan untuk penyembuhan luka dan perbaikan jaringan.
- Mengenali dan menghancurkan sel abnormal atau mutan yang berasal dari tubuh.
Fungsi ini disebut Immune Surveillance, merupakan mekanisme pertahanan internal
utama terhadap kanker.
- Melakukan respons imun yang tidak pada tempatnya yang menyebabkan alergi, yang
terjadi ketika tubuh melawan entitas kimiawai lingkungan yang normalnya tidak
berbahaya, atau menyebabkan penyakit otoimun, yang terjadi ketika sistem
pertahanan secara salah menghasilkan antibodi terhadap tipe tertentu sel tubuh
sendiri.
Terdapat beberapa kelainan sistem imun yang digolongkan dalam berbagai kelainan
imunologik yang mencakup: imunodefisiensi, penyakit autoimun, kelainan
imunoproliferatif, dan reaksi hipersensitivitas.
Imunodefisiensi
Imunodefisiensi adalah keadaan dimana terjadi penurunan atau ketiadaan respon
hormon normal. Imunodefisiensi dapat terjadi secara primer dan sekunder.
Imunodefisiensi primer pada umumnya didasari kelaianan genetik yang
diturunkan. Sedangkan imunodefisiensi sekunder diperoleh melalui infeksi atau
diproduksi oleh obat. Contoh imunodefisiensi primer adalah Common Variable
Immunodeficiency (CVI) yang merupakan kelainan yang timbul sebagai kelainan
primer atau sekunder dan merupakan suatu kelompok kelaianan dengan
mekanisme dasar defisiensi immunoglobulin yang bervariasi. Pada kelainan ini,
secara umum jumlah sel B cukup namun terdapat cacat pada proses diferensiasi
atau fungsi terminalnya. Contoh lain imunodefisiensi primer ialah defisiensi IgA,
Severe combined immunodeficiency (SCID), Sindrom DiGeorge (thymus
displasia) Sedangkan, imunodefisiensi sekunder, contoh penyakitnya yaitu HIV
AIDS.
Autoimun
Autoimun didefinisikan sebagai suatu keadaan nonresponsif yang normal terhadap
antigen diri sendiri (Mitchel, et al., 2006: 144). Penyakit autoimun timbul akibat
patahnya toleransi kekebalan diri dan dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu
genetik, gender, infeksi, sifat autoantigen, obat-obatan, dan umur. Beberapa
contoh penyakit autoimun yaitu lupus eritematosus sistemik (LES) yaitu penyakit
ini tergolong autoimun non organ spesifik. Penderita umumnya adalah wanita dan
kebanyakan menjangkiti usia reproduktif, namun dapat juga terjadi pada masa
kanak-kanak. Selain lupus eritematosus sistemik (LES), contoh lain penyakit
autoimun ialah lupus eritematosus discoid, sindroma syogren, skleroderma
(sclerosis sistemik), dan myasthenia gravis.
Mekanisme yang mampu meningkatkan risiko penyakit autoimun adalah sebagai
berikut(dalam Pringgoutomo, Himawan & Tjarta, 2006: 264)
1. Ketidakseimbangan Th-Tb. Penurunan atau peningkatan kuantitas serta
fungsi sel Ts menimbulkan sel Ts hilang kendali dalam membentuk
antibodi, sehingga berisiko terhadap kemunculan penyakit autoimun.
2. Adanya aktivasi limfosit poliklonal. Keberadaan infeksi seperti virus
Epstem Barr memiliki kemampuan dalam perangsangan non spesifik
berbagai klon untuk menghasilkan jenis antibodi dan autoantibodi.
3. Kemunculan antigen yang rusak. Adanya pajanan antigen-antigen
dimana sebelumnya merupakan hidden antigen dapat berakibat pada
trauma atau inflamasi dan dapat memicu terjadinya reaksi autoimun.
Adapun mekanisme autoimun yang melalui beberapa tahapan (Syahrin, 2009: 7)
A. Antigen tersembunyi. Keberadaan
interaksi antara antigen dan sistem
imun dalam dosis antigen yang
kecil yakni di bawah ambang
imunologik, dapat memicu self
tolerance dan antigen menjadi
tersembunyi dan tak terpajan pada
sistem imun.
B. Perubahan karakteristik antigen
melalui rangsangan kimia, meliputi
proses adanya zat kimia ke resptor
kimia dan disusul dengan adanya
perubahan antigen.
C. Perubahan karakteristik antigen
melalui virus.
D. Antibodi menjembatani reaksi antara sel tubuh sendiri dan benda asing Ab.
Imunoproliferatif
Penyakit imunoproliferatif adalah neoplasma sistem imun yang meliputi sel
limfosit, dalam berbagai tahap diferensiasi termasuk sel plasma dan
histosit/makrofag. Beberapa contoh penyakit imunoproliferatif yaitu neoplasma
sel limfosit, neoplasma sel plasma merupakan tumor di sumsum tulang belakang
atau di luar sumsum tulang, Plasmasitoma soliter yang ditandai dengan lesi litik di
hampir seluruh tulang, Mieloma multiple, makroglobulinemia, dan gamopati
monoklinal jinak (benign monoclonal gammopathy).
Reaksi Hipersensitivitas
Reaksi hipersensitivitas adalah respon imun yang menimbulkan kerusakan
jaringan. Reaksi hipersensitivitas yang diperantarai oleh immunoglobulin disebut
reaksi hipersnsitivitas tipe cepat (humoral), sedangkan yang diperantarai oleh
mekanisme imun selular disebut reaksi hipersensitivitas tipe lambat (cell
mediated). Namun seiring perkembangan zaman, reaksi hipersensitivitas dibagi
menjadi 4 jenis yaitu, hipersensitivitas tipe I, hipersensitivitas tipe II,
hipersensitivitas tipe III, dan hipersensitivitas tipe IV.
1. Tipe I, Hipersensitivitas Tipe-Cepat (Anafilaksis):
Hipersensitivitas tipe I merupakan reaksi imun yang terjadi segera,
dalam beberapa menit setelah terkena antigen penyebabnya. Perbedaan
antara respon imun normal dan hipersensitivitas tipe I adalah adanya
sekresi IgE yang dihasilkan oleh sel plasma. Antibodi ini akan berikatan
dengan reseptor Fc pada permukaan jaringan sel mast dan basofil. Sel mast
dan basofil yang dilapisi oleh IgE akan tersensitisasi (fase sensitisasi).
Karena sel B memerlukan waktu untuk menghasilkan IgE, maka pada
kontak pertama, tidak terjadi apa-apa. Waktu yang diperlukan bervariasi
dari 15-30 menit hingga 10-20 jam.
Adanya alergen pada kontak pertama menstimulasi sel B untuk
memproduksi antibodi, yaitu IgE yang bertindak sebagai faktor
pertumbuhan untuk sel mast, serta merekrut dan mengaktifkan eusinofil.
IgE kemudian masuk ke aliran darah dan berikatan dengan reseptor di sel
mast dan basofil sehingga sel mast atau basofil menjadi tersensitisasi. Pada
saat kontak ulang dengan alergen, maka alergen akan berikatan dengan
IgE yang berikatan dengan antibodi di sel mast atau basofil dan
menyebabkan terjadinya granulasi. Degranulasi menyebabkan pelepasan
mediator inflamasi primer dan sekunder. Mediator primer menyebabkan
kemotaksis eosinofil dan neutrofil serta menstimulasi terjadinya urtikaria,
vasodilatasi, meningkatnya permeabilitas vaskular. Sedangkan mediator
sekunder menyebabkan peningkatan pelepasan metabolit asam arakidonat
(prostaglandin dan leukotrien) and protein (sitokin and enzim). Yang
sering menjadi penyebab reaktivitas tipe I adalah bisa serangga, serbuk
sari, alergen hewan, jamur, obat dan makanan.
Contoh reaksi tipe 1: Hay fever, alergi kacang, dan situasi anafilaksis
serius yang disertai bronkokonstriksi yang berlebihan.
Mekanisme:
2. Tipe II, Hipersensitivitas Sitotoksik
Hipersensitivitas tipe II diperantarai oleh antibodi yang diarahkan
untuk melawan antigen target pada permukaan sel atau komponen jaringan
lainnya. Reaksi ini disebut juga reaksi sitotoksik, terjadi karena
dibentuknya antibodi jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan
bagian sel penjamu. Antibodi tersebut berperan untuk mengaktifkan sel K
yang memiliki reseptor Fc sebagai efektor Antibody Dependent Cellular
Cytotoxicity (ADCC). Selanjutnya, ikatan antigen-antibodi dapat
mengaktifkan omplementer yang melalui reseptor C3b memudahkan
fagositosis dan menimbulkan lisis. Contoh umum untuk reaksi tipe II
adalah destruksi eritrosit sewaktu transfusi golongan darah yang ABO-nya
tidak cocok, hemolytic disease of the newborn (HDN) akibat
ketidaksesuaian faktor resus (Rhesus incompatibility), dan anemia
hemolitik akibat obat serta kerusakan jaringan pada penolakan jaringan
transplantasi hiperakut akibat interaksi dengan antibodi yang telah ada
sebelumnya pada resipien.
Mekanisme:
3. Tipe III, hipersensitivitas diperantarai kompleks imun
Reaksi tipe III disebut juga reaksi kompleks imun, terjadi bila
kompleks antigen-antibodi ditemukan dalam jaringan atau sirkulasi/
dinding pembuluh darah dan mengaktifkan komplemen. Antibodi disni
biasanya jenis IgM atau IgG. Komplemen yang diaktifkan kemudian
melepas Macrophage Chemotactic Factor, makrofag yang paling
dikerahkan ke tempat tersebut melepaskan enzim yang dapat merusak
jaringan sekitarnya.
Antigen dapat berasal dari infeksi kuman patogen yang persisten
(malaria) bahan yang terhirup (spora jamur yang menimbulkan alveolitis
alergik ekstrinsik) atau jaringan sendiri (penyakit autoimun). Infeksi dapat
disertai dengan antigen dalam jumlah yang berlebihan, tetapi tanpa adanya
respons antibodi yang efektif. Pada reaksi hipersensitivitas tpe III, antibodi
bereaksi dengan antigen bersangkutan membentuk kompleks antigen
antibodi yang akan menimbulkan reaksi inflamasi. Aktivasi sistem
komplemen, menyebabkan pelepasan berbagai mediator oleh mastosit.
Selanjutnya terjadi vasodilatasi dan akumulasi PMN yang menghancurkan
kompleks. Dilain pihak proses itu juga merangsang PMN sehingga sel–sel
tersebut melepaskan isi granula berupa enzim proteolitik diantaranya
proteinase, kolegenase, dan enzim pembentuk kinin. Apabila kompleks
antigen-antibodi itu mengendap dijaringan, proses diatas bersama–sama
dengan aktivasi komplemen dapat sekaligus merusak jaringan sekitar
kompleks.
Mekanisme :
4. Tipe IV, Hipersensitivitas Tipe-Lambat
Reaksi tipe IV (reaksi yang diperantarai oleh sel, reaksi
hipersensitivitas tipe lambat) diperantarai oleh kontak sel-sel T yang telah
tersensitisasi dengan imunogen yang sesuai. Reaksi ini cenderung terjadi
12 sampai 24 jam setelah pajanan awal ke imunogen.sel-sel CD4 (sel T
penolong) melepaskan sitokinin yang menarik dan merangsang makrofag
untuk membebaskan mediator-mediator peradangan. Apabila imunogen
menetap, maka kerusakan jaringan yang disebabkan oleh proses ini dapat
berkembang menjadi reaksi granulomatosa kronik misalnya berkumpulnya
sel-sel mononukleus di daerah kerusakan jaringan. Berbagai imunogen
seperti virus, bakteri, fungus, hapten, dan obat dapat memicu reaksi tipe
IV. Contoh: penolakan cangkokan (graft) yang disebabkan oleh sel T.
Reaksi tipe IV merupakan penyebab utama penolakan yang terjadi
pada bebrapa transplantasi organ. Apabila jaringan hidup dari satu organ
ditandur ke orang lain, baik berupa sepotong kulit maupun organ
keseluruhan, maka kecuali apabila donor dan resipien identik secara
genetis, jaringan yang ditandur akan dianggap oleh imun resipien sebagai
benda asing dan nonself. Setelah suatu fase induksi yang singkat, limfosit
yang secara spesifik tersensitisasi ke antigen MHC dari donor akan
menyerbu tandur. Limfosit-limfosit ini menyebabkan destruksi atau
penolakan tandur melalui sejumlah mekanisme yang melibatkan
limfositotoksisitas langsung atau rekrutmen makrofag. Walaupun sel T
berperan penting dalam menolak tandur, namun dalam beberapa keadaan
imunoglobin juga berperan penting.
Mekanisme:
Perbandingan hipersensitivitas tipe I, II, III, dan IV (Roitt, Brostoff,
and Male, 1996) dapat dilihat pada tabel berikut.
Tipe
Hipersensitivitas
Diperantarai
Oleh
Pemicu Efektor Contoh
Hipersensitivitas
tipe I
IgE Antigen ruangan
yang tidak
berbahaya (debu
rumah, serbuk sari)
Sel mast dan
basofil
Alergi yang
menimbulkan
gejala asma,
radang selaput
lendir, dll.
Hipersensitivitas
tipe II
IgG dan IgM Antigen diri
sendiri, dan/atau
antigen dari luar
Sel Killer,
neutrofil,
eosinofil,
makrofag/monosit
Penolakan
pada tansfusi
darah
Hipersensitivitas
tipe III
IgG dan IgM Antigen kuman,
antigen dari jamur,
tumbuhan, dan
hewan
Sel mast, PMN Malaria, viral
hepatitis,
systemic lupus
erythematosus
Hipersensitivitas
tipe IV
Limfosit T Nikel pada kaitan
jam
Sel T Eczema
(Kelainan
pada kulit bila
kontak dengan
sesuatu)
Referensi
Baratawidjaja, Karnen Garna. (2000). Imunologi Dasar Edisi ke-4. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia
Behrman, R.E., Kliegman, R.M., dan Arvin, M.(2000). Ilmu Kesehatan Anak Nelson.
Jakarta: EGC
Brooker, Chris. 2009. Churchill Livingstone’s Mini Encyclopedia of Nursing, 1ST Edition
translated. Jakarta: EGC.
Kumar, Robins. (2004). Patolgi Edisi 7 Volume 1. Jakarta: EGC
Mitchell, R.N., et al. 2006. Buku Saku Dasar Patologis Penyakit Robbins & Cotran. Singapore: Elsevier Inc.
Price, Sylvia Anderson & Wilson, Lorraine McCarty. (2005). Patofisiologi: Konsep Klinis
Proses-proses Penyakit Edisi ke-6. Jakarta: EGC
Pringgoutomo, S., Himawan, S., dan Tjarta, A. (2006). Buku Ajar Patologi (Umum). Jakarta:
Sagung Seto
Roitt, Brostoff, and Male. 1996. Immunology 4th Edition. London: Mosby.
Rubtsov, A.V., et al. (2011). Toll-like Receptor 7 (TLR 7) Driven Accumulation of a Novel
CDIIC B-Cell Population is Important for the Development of Autoimmunity. Blood,
2011; 118 (5) 1305 Dol: 10.1102/blood-2011-01-331462
Sherwood, L. (2012). Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem. Jakarta: EGC
Sloane, E. (2004). Anatomi dan Fisiologi. Jakarta: EGC
Syahrin, P.A. (2009). Alteration in Immune Function. Depok: FIK UI
Sumawinata, Narlan. (2002). Senarai Istilah Kedokteran Gigi Inggris-Indonesia. Jakarta:
EGC
Underwood, J. C. E. (1999) Patologi Umum dan Sistematik. Jakarta: EGC
Watson, R. (2002). Anatomi dan Fisiologi untuk Perawat. Jakarta: EGC