ronalyweprints.unm.ac.id/7492/1/skripsi rifqah.docx · web viewakan memberikan ruang bagi setiap...

103
1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Globalisasi sangat berpengaruh kepada sisi kehidupan manusia, salah satu sisi kehidupan itu adalah kesenian. Atik Sopandi (1999) mengemukakan bahwa didalam arus globalisasi ini harus bisa bersaing untuk mencapai tuntutan kebutuhan masing- masing. Arus globalisasi menggiring untuk bisa meningkatkan diri dalam hal pendidikan, prestasi yang tinggi, komersial, berkomunikasi lebih berkembang, serta mobilitas yang cukup tinggi pula, di samping harus dapat memanfaatkan hasil teknologi dan ilmu pengetahuan yang cukup tinggi. Jika tidak demikian, maka tuntutan kebutuhan yang dicapai akan memprihatinkan keadaannya. Soedarsono (1998) mengemukakan bahwa era globalisasi telah memungkinkan bangsa Indonesia untuk menikmati bentuk seni pertunjukan, baik yang

Upload: doantuyen

Post on 31-Mar-2019

226 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Globalisasi sangat berpengaruh kepada sisi kehidupan manusia, salah

satu sisi kehidupan itu adalah kesenian. Atik Sopandi (1999) mengemukakan

bahwa didalam arus globalisasi ini harus bisa bersaing untuk mencapai tuntutan

kebutuhan masing-masing. Arus globalisasi menggiring untuk bisa

meningkatkan diri dalam hal pendidikan, prestasi yang tinggi, komersial,

berkomunikasi lebih berkembang, serta mobilitas yang cukup tinggi pula, di

samping harus dapat memanfaatkan hasil teknologi dan ilmu pengetahuan yang

cukup tinggi. Jika tidak demikian, maka tuntutan kebutuhan yang dicapai akan

memprihatinkan keadaannya.

Soedarsono (1998) mengemukakan bahwa era globalisasi telah

memungkinkan bangsa Indonesia untuk menikmati bentuk seni pertunjukan,

baik yang disajikan secara langsung maupun yang ditayangkan lewat media

rekam yang canggih. Suatu bentuk pertunjukan dari suatu kesenian memiliki

fungsi yang sangat kompleks dalam kehidupan manusia.

Indonesia dikenal memiliki beragam jenis kesenian, salah satu jenis

kesenian yang ada yaitu Seni pertunjukan. Dyastriningrum (2009: 1)

mengemukakan bahwa seni pertunjukan terbagi dua, yakni Seni pertunjukan

tradisional dan seni pertunjukan moderen atau seni pertunjukan yang sering

muncul belakangan ini. Seni pertunjukan tradisional selalu membawa misi

yang ingin disampaikan kepada penonton. Misi atau pesan itu dapat bersifat

1

2

sosial, politik, moral, dan sebagainya. Sedangkan seni pertunjukan modern

bersifat luas dan banyak ditampilkan di media elektronik seperti televisi.

Berbicara tentang seni pertunjukan tradisional, Adapun contoh seni

pertunjukan tradisional adalah Wayang Kulit, Wayang Orang, dan Ketoprak.

sedangkan seni pertunjukan moderen adalah film, drama, dan teater.

Di Sulawesi Selatan, khususnya di Kabupaten Sinjai masih tetap menjaga

dan melestarikan kebudayaannya. Terutama dalam upacara-upacara adat kuno

tetap menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakatnya. Walaupun saat

ini teknologi dan pola hidup moderan telah mulai merambah. Hal ini terlihat

pada saat Upacara Mapogau Hanua. Upacara Mapogau Hanua merupakan

suatu upacara adat terbesar yang dilaksanakan setiap tahun oleh masyarakat

pendukung kebudayaan Karampuang.

Inti dari Mapogau Hanua adalah pemujaan leluhur menggunakan media

tinggalan megalitik dan persembahan sesaji. Pemberian sesaji sebagai bentuk

pengabdian manusia terhadap leluhurnya yang dipuja dan mengandung arti

yang mendasar, yaitu sebagai simbol pengukuhan hubungan emosional antara

warga dengan leluhurnya. Hubungan itu begitu penting dalam pikiran mereka

agar kesuburan tanah tetap terjaga dalam melaksanakan kehidupan

kepetaniaanya.(Muhannis: 2009 )

Upacaranya berlangsung dengan sangat meriah, diikuti oleh ribuan orang

dan dipusatkan dalam kawasan adat. Upacaranya sendiri berlangsung dalam

beberapa tahap.Dengan beberapa prosesi-prosesi penting yang berjalan

dirangkaikan pula adanya kesenian-kesenian tradisional adat masyarakat

3

Karampuang seperti pertunjukan kesenian tradisional Mappaddekko yaitu acara

menumbuk lesung sambil berdendang gembira sebagai isyarat acara ritual akan

segera dimulai.

Kesenian tradisional yang dilaksanakan sesudah panen padi yang

dinamakan Mappadendang (mangala ase). Adapun di masyarakat bugis

Karampuang Sinjai yang dikenal salah satu kesenian yang juga menggunakan

lesung sebagai instrumen musik yaitu Mappaddekko. Pertunjukan tradisional

ini hidup dan berkembang ditengah-tengah masyarakat, khususnya pada

masyarakat Karampuang. Masyarakat Karampuang adalah daerah yang

memiliki adat yang sangat kental, termasuk dalam mengadakan pesta panen

yang diadakan satu kali setahun. Pesta panen ini merupakan bentuk rasa syukur

masyarakat atas panen yang dihasilkan. Dalam pesta panen ini masyarakat

berpesta ria dengan mempertunjukan Mappaddekko.

Mappaddekko merupakan sebuah acara tradisional pesta panen yang

setiap tahunnya dilakukan sebelum upacara adat Mapogau Hanua dilaksanakan

oleh masyarakat bugis Karampuang yang sampai saat ini masih masih dapat

kita jumpai pada setiap pelaksanaan kegiatan-kegiatan tertentu, terutama dalam

pelaksanaan upacara tradisi Mapogau Hanua. Mappaddekko atau

Mappadendang dimainkan dengan menggunakan lesung atau “palungeng” dan

alu. Acara ini dilaksanakan sebagai wujud rasa syukur masyarakat

Karampuang kepada sang pencipta setelah panen berhasil. Pertunjukan

Mappaddekko merupakan kesenian rakyat yang ada di Sinjai. (Muhannis:

2009).

4

Apabila paddekko sudah dibunyikan, maka ini adalah isyarat bahwa tidak

lama lagi ritual di puncak gunung akan segera dilaksanakan, Ritual inilah

dinamakan Upacara Mapogau Hanua. Mapogau Hanua merupakan suatu

upacara adat terbesar yang dilaksanakan setiap tahun oleh masyarakat

pendukung kebudayaan Karampuang. Upacaranya berlangsung dengan sangat

meriah, diikuti oleh ribuan orang dan dipusatkan dalam kawasan adat.

Mappaddekko senantiasa dipertunjukkan kepada seluruh masyarakat karena

memiliki keunikan yang berbeda dengan kesenian tradisional lainnya dan juga

memiliki unsur seni musik dan tari, dimana unsur musiknya terdapat pada

ketukan yang menghasilkan irama bunyi dengan cara padi yang ditumbuk,

sedangkan unsur tarinya yaitu para pemain menabuh alu dengan gerak.

Muh.Jafar (2009: 1) mengemukakan bahwa tradisi turun temurun

merupakan salah satu seni pertunjukan masa lampau yang mengandung nilai-

nilai kearifan, namun kini terancam punah. Nilai-nilai tersebut lahir dari bentuk

pertunjukannya yang menyimpan filosofi yang sangat tinggi yang merupakan

sarana nenek moyang untuk memperkuat persatuan dan kesatuan.

Namun, seiring perjalanan zaman, pesta panen ini mulai tergeser oleh

kecanggihan teknologi dan perjalanan zaman. Kesenian tradisional

Mappaddeko keberadaanya dapat dikatakan sudah kurang mendapat perhatian

dari masyarakatnya. Apabila tidak disadari hal ini, maka kearifan lokal suatu

saat tinggal kenangan dan hanya merupakan hiasan bibir bagi masyarakat

pemiliknya dan memerlukan kajian yang dapat mengangkat bentuk

5

pertunjukannya sebagai upaya untuk membangkitkan dan melestarikan kembali

kesenian tradisional dalam dunia global.

Kesenian tradisional mappaddeko akan memberikan ruang bagi setiap

kesenian untuk diperkenalkan senantiasa seni pertunjukan tradisional dapat

dikembangkan, olehnya itu sebagai langkah awal dalam upaya menggali,

melestarikan dan mengembangkan seni budaya bangsa pada umumnya dan

secara khusus cabang seni budaya terutama pertunjukan Mappaddekko dan

mengharapkan sehingga kesenian lokal dapat diangkat ke permukaan.

Mappaddekko menjadi salah satu masalah yang pelik. Alasan yang mendasari

adalah karena bentuk penyajian kesenian belum sepenuhnya terungkap ke

wacana global.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengangkat

tentang latar belakang Mappaddekko dan bentuk pertunjukan kesenian

Mappaddekko pada masyarakat Bugis Karampuang Sinjai dalam Upacara

Mapogau Hanua.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan penelitian ini, penulis mengangkat satu permasalahan yaitu :

1. Bagaimana latar belakang keberadaan Mappaddekko dalam Upacara

Mappogau Hanua Masyarakat Bugis Karampuang Sinjai.

2. Bagaimana bentuk Penyajian Mappaddekko dalam Upacara Mappogau

Hanua masyarakat bugis Karampuang Sinjai.

6

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pokok permasalahan pada penelitian ini, maka tujuan yang akan

dicapai adalah :

1. Untuk memperoleh informasi dan data tentang Latar belakang keberadaan

Mappaddekko dalam Upacara Mappogau Hanua masyarakat Bugis

Karampuang Sinjai.

2. Untuk memperoleh informasi dan data tentang Bagaimana Bentuk

penyajian Mappaddekko dalam Upacara Mappogau Hanua masyarakat

Bugis Karampuang Sinjai yaitu cara pelaksanaan Mappaddeko yang

meliputi bentuk gerak, kostum, dan lainnya.

D. Manfaat Hasil Penelitian

Penelitian tentang Pertunjukan Mappaddekko dalam Upacara Mappogau

Hanua masyarakat Bugis Karampuang Sinjai diharapkan dapat memberikan

manfaat baik secarapraktis dan teoritis

1. Secara Teoritis

a) Memberikan sumbangsih terhadap perkembangan dan kemajuan

kesenian Mappaddekko dalam masyarakat Sinjai.

b) Sebagai informasi tambahan bagi lembaga pendidikan dan masyarakat

Sinjai mengenai perkembangan Mappaddekko.

2. Secara Praktis

a) Penelitian ini diharakan menjadi bahan bagi masarakat Sinjai agar

dapat mengetahui latar belakang keberadaan dan bentuk penyajian

7

pertunjukan Mappaddekko dalam Upacara Mapogau Hanua

masyarakat bugis Karampuang Sinjai.

b) Berguna bagi masyarakat khususnya generasi penerus agar dapat

mengenal dan mengetahui tentang salah satu bentuk kesenian daerah.

c) Mendorong terciptanya kesadaran dalam jiwa para seniman untuk

meneliti lebih lanjut guna melestarikan kebudayaan, khususnya budaya

Sinjai, Sulawesi selatan.

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERFIKIR

A. Tinjauan Pustaka

Berikut ini diuraikan beberapa hal sehubungan judul penelitian dengan

sebuah studi pustaka sebagai landasan teori, adapun hal-hal yang diuraikan

sebagai berikut:

1. Kesenian Tradisional

Salah satu unsur dari kebudayaan adalah kesenian (Kuntjoroningrat:

2002: 12). Kata seni berasal dari bahasa Belanda (genie) yang berarti

jenius/keahlian. Aristoteles mengemukakan bahwa Seni adalah kemampuan

membuat sesuatu dalam hubungannya dengan upaya mencapai suatu tujuan

yang telah ditentukan oleh gagasan tertentu.

Kesenian adalah salah satu unsur yang selalu ada pada setiap bentuk

kebudayaan.Kesenian meupakan bagian dari budaya dan merupakan saran

yang digunakan untuk mengekpresikan rasa keindahan dari dalam jiwa

manusia. Keberadaannya sangat terkait dengan kebutuhan manusia untuk

memenuhi kepuasaannya akan unsur estetis. Sementara kesenian Indonesia

yang berada disetiap daerah secara terpisah, tumbuh dan berkembang

sendiri-sendiri sejak masa lampau mengikuti kemajuan zaman. Kesenian

juga mempunyai fungsi lain. Misalnya, mitos berfungsi menentukan norma

untuk perilaku yang teratur serta meneruskan adat dan nilai-nilai

kebudayaan. Secara umum, kesenian dapat mempererat ikatan solidaritas

suatu masyarakat.(H.Ajeip Padindang: 2003: 13)

8

9

Dalam hal ini kesenian dipandang sebagai salah satu unsur

kebudayaan. Kesenian merupakan ekspresi jiwa manusia akan keindahan.

Kesenian sebagai hasil ekspresi keindahan yang mengandung pesan budaya

terwujud dalam bermacam-macam bentuk seperti seni musik, seni tari, seni

teater, seni sastra, film dan seni rupa.

Menurut Kuntjaraningrat, Kesenian adalah suatu kompleks dari ide-ide

gagasan, nilai-nilai, norma-norma, dan peraturan dimana kompleks

aktivitas dan tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat dan biasanya

berwujud benda-benda hasil manusia.

William A. Haviland, Kesenian adalah keseluruhan sistem yang

melibatkan proses penggunaan imajinasi manusia secara kreatif didalam

sebuah kelompok masyarakat dengan kebudayaan tertentu.

J.J Hogman, kesenian adalah sesuatu yang mempunyai unsure ideas,

activities, dan artifacts.

Tradisi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ”adat kebiasaan turun

temurun dari nenek moyang yang masih dijalankan oleh suatu masyarakat

dan penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan

yang paling baik dan benar”. (Sugono; 2008: 1483)

Tradisi (Bahasa Latin: tradition, “diteruskan”) atau kebiasaan dalam pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang telah dilakukan sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama. Hal yang paling penting mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang diteruskan dari generasi ke generasi

10

baik tertulis maupun (sering kali) lisan, karena tanpa adanya ini, suatu tradisi dapat punah.

Dalam pengertian lain tradisi adalah adat-adat atau kebiasaan yang turun temurun yang masih dijalankan dimasyarakat. (Jalius: 2009: 1)

Murgianto (2004: 10) mengemukakan bahwa Tradisi merupakan

gambaran sikap dan prilaku manusia yang telah berproses dalam waktu

lama dan dilaksanakan secara turun temurun dari nenek moyang.tradisi

dipengaruhi oleh kecendrungan untuk berbuat sesuatu dan mengulang suatu

sehingga menjadi kebiasaan. Tradisi didefenisikan sebagai cara mewariskan

pemikiran, kebiasaan, kepercayaan, kesenian, tarian dari generasi ke

generasi, dari leluhur ke anak cucu secara lisan.

Keseian tradisional adalah suatu hasil ekspresi hasrat manusia akan

keindahan dengan latar belakang tradisi atau sistem budaya masyarakat

pemilik kesenian tersebut. Dalam karya seni tradisional tersirat pesan dari

masyarakatnya berupa pengetahuan, gagasan, kepercayaan, nilai, norma

dan sebagainya.

Dalam kaitannya dengan penelitian ini, kebudayaan Indonesia

merupakan cerminan bangsa atau masyarakat Indonesia, tata cara

kehidupan bermasyarakat dapat dinilai tingkat keberadaannya, serta derajat

kemanusiaan dalam suatu masyarakat atau daerah tersebut. Sehubugan

dengan itu pula, maka kebudayaan asli yang diwariskan dari generasi ke

generasi perlu dilestarikan dan dijaga kelestariannya, terutama dari

pengaruh yang datang dari pengaruh yang datang dari luar yang tidak

sesuai dengan norma-norma yang berlaku di negara Indonesia tercinta ini.

11

Secara kronologis seni tradisional hidup, selalu dan terus berevolusi,

bermutasi tahap demi tahap menurut tata nilai hidup sesuai zamannya.

2. Seni Pertunjukan dalam Kehidupan Masyarakat

Dalam buku Seni Pertunjukan Indonesia tulisan Murgiyanto (1996)

mengemukakan bahwa seni pertunjukan tampak masih berkembang

dibeberapa wilayah. Seni pertunjukan merupakan bagian dari kehidupan

suatu masyarakat. Seni pertunjukan hadir ditengah-tengah masyarakat

tertentu karena diperlukan oleh masyarakat bersangkutan. Tidak jarang seni

pertunjukan berada dalam lingkungan suatu masyarakat untuk kebutuhan

upacara tertentu. Upacara sebagai suatu tindakan yang dilakukan menurut

adat kebiasaan atau keagamaan untuk menandai kehikmatan suatu peristiwa

memilki bermacam-macam aturan serta sarana dalam menjalankannya.

Diantara saran yang diperlukan untuk memenuhi upacara dapat berupa seni

pertunjukan.

Seni pertunjukan (Bahasa Inggris: performance art) adalah Karya seni

yang melibatkan aksi individu atau kelompok di tempat dan waktu tertentu.

performance biasanya melibatkan empat unsur: waktu, ruang, tubuh si

seniman dan hubungan seniman dengan penonton. Meskipun seni

performance bisa juga dikatakan termasuk di dalamnya kegiatan-kegiatan

seni mainstream seperti teater, tari, musik dan sirkus, tapi biasanya

kegiatan-kegiatan seni tersebut pada umumnya lebih dikenal dengan istilah

'seni pertunjukan' (performing arts). Seni performance adalah istilah yang

12

biasanya mengacu pada senikonseptual atau avant garde yang tumbuh dari

senirupa dan kini mulai beralih ke arah seni kontemporer.

Seni pertunjukan kehadirannya menjadi salah satu kebutuhan hidup,

serta penyelenggaraannya terus berlangsung sejalan dengan masyarakat.Seni

pertunjukan ditempatkan sebagaimana masyarakatnya menghendaki dan

tegak saling bersandar dengan pendukungnya. Masih banyak dijumpai di

dalam masyarakat bahwa kegiatan–kegiatan tersebut. Kadang mengembang

kekuatan–kekuatan magis, namun sering pula merupakan tanda syukur pada

peristiwa-peristiwa tertentu. Di lingkungan masyarakat pedesaan, permainan

rakyat sering difungsikan sebagai peringatan pada leluhur atau nenek

moyang, sebagai pelengkap dalam suatu upacara dalam suatu upacara adat

dan sebagai seni pertunjukan yang sifatnya sebagai hiburan.

3. Ritual atau Upacara Adat

Ritual merupakan suatu bentuk upacara atau perayaan (celebration)

yang berhubungan dengan beberapa kepercayaan atau agama dengan

ditandai oleh sifat khusus yang menimbulkan rasa hormat yang luhur dalam

arti merupakan suatu pengalaman yang suci (O’Dea, 1995:5-36).

Pengalaman itu mencakup segala sesuatu yang dibuat atau

dipergunakan oleh manusia untuk menyatakan hubungannya dengan yang

tertinggi, dan hubungan perjumpaan itu bukan sesuatu yang sifatnya biasa

atau umum, tetapi, sesuatu yang bersifat khusus atau istimewa, sehingga

manusia membuat suatu cara yang pantas guna melaksanakan pertemuan itu.

(Maryam, 2013: 1)

13

Upacara Adat dalam kamus Besar Bahasa Indonesia adalah rangkaian

tindakan atau perbuatan yang terikat pada aturan – aturan tertentu, menurut

adat atau agama. (Yudistira, 2005: 892 ). Upacara adalah rangkaian tindakan

atau perbuatan yang terikat pada aturan tertentu menurut adat atau agama

(Ali, 1981): 981: 1969). Sedangkan menurut Wiwi P Yusuf dalam bukunya

bahwa upacara berarti perayaan atau pesta (Widiawati, 2000, p. 30)

Pendapat lain yang dikemukakan oleh Dr. Th. Fiscer dalam upacara

tradisional bahwa :

Upacara adalah suatu permohonan dalam pemujaan, berterima kasih atau

pengabdian yang ditujukan kepada kekuasaan yang luhur menggenggam

kehidupan manusia (Widiawati, 2000 : 30)

Sementara pendapat Sumiani mengemukakan bahwa :

Dalam lingkungan agraris di Indonesia seni pertunjukan sering berhubungan dengan peristiwa ritual atau upacara.Upacara merupakan aspek terpenting dalam kehidupan mereka. Upacara merupakan susunan yang berpola dan terpilih dari perilaku manusia yang umumnya memilki tujuan dan selalu bersifat serius. Dalam arti sempit upacara dapat dimaksudkan sebagai ungkapan maksud manusia yang segera harus diwujudkan. Seni pertunjukan yang berupa tari-tarian, permainan, teater rakyat dalam suatu upacara, dapat dipahami sebagai ungkapan total dari harapan dan maksud yang ingin dicapai (Sumiani, 2004).

Seperti halnya beberapa suku di Indonesia, masyarakat bugis Karampuang

yang umumnya sebagai petani, tetap menyelenggarakan berbagai upacara,

begitu pula halnya dengan pertunjukan Mappaddekko yang selalu di adakan

setiap tahunnya oleh masyarakat Karampuang.

14

4.Musik

“Musik adalah seni menata bunyi menjadi suatu harmoni yang indah

didengar”. (Yayat Nusantara, 2007:22).

“Musik adalah suatu jenis kesenian dengan mempergunakan suara

sebagai media ekspresinya baik suara manusia atau alat-alat”.(Yaya Sukarya,

1982:2).

Musik merupakan salah satu cabang seni budaya yang dijadikan sarana

komunitatif untuk menyampaikan maksud hati nurani keluar melalui produk

resonansi yang tepat atau titian bayi instrument mengalun melalui angkasa

bebas kemudian mampir sejenak ditelinga lalu menghilang dengan

meninggalkan kesan yang beraneka ragam rasa. (M.A. Arifin, 1992: 1)

Musik menurut M.Soeharto dalam bukunya “Kamus Musik” dijelaskan

bahwa pengertian musik adalah pengungkapan melalui gagasan melalui

bunyi, yang unsur dasarnya berupa melodi, irama, dan harmoni dengan unsur

pendukung berupa gagasan, sifat dan warna bunyi.

Menurut Aristoteles, musik mempunyai kemampuan sebagai terapi

rekreatif, mendamaikan hati yang gundah dan menumbuhkan jiwa

patriotisme.

Pengertian musik pada Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu :

a. Ilmu atau seni penyusunan nada/suara, kombinasi, dan hubungan

temporal untuk menghasilkan komposisi (suara) yang mempunyai

kesatuan dan kesinambungan.

15

b. Nada atau suara yang disusun sedemikian rupa sehingga mengandung

irama, lagu, dan keharmonisan (terutama yang menggunakan alat-alat

yang dapat menghasilkan bunyi-bunyi itu)

Dari pernyataan diatas dapat di simpulkan bahwa Musik adalah suatu karya

seni yang dapat dilihat, dirasa dan didengar dan orang dapat

mengungkapkannya melalui suatu imajinasi dari apa yang dipahaminya.

5. Bentuk Penyajian

Humardani (Nurlina, 2003:65) mengemukakan bahwa bentuk penyajian

merupakan wujud ungkapan, isi pandang dan tanggapan kedalam bentuk sisi

yang dapat di tangkap indra. Dalam bentuk seni terdapat hubungan antara

bentuk dan isi. Bentuk yang dimaksud adalah bentuk fisik, bentuk yang diamati

sebagai sarana untuk menuangkan nilai yang di ungkapkan oleh seseorang.

Adapun isi adalah ungkapan yang menyangkut nilai-nilai ataupun pengalaman

jiwa. Nilai-nilai atau pengalaman jiwa itu digarap dan diungkapakan sehingga

dapat di tangkap atau dirasakan penikmat melalui fisik, seperti garis, warna,

suara manusia, bunyi-bunyian alat, gerak tubuh dan kata.

Bentuk Penyajian dalam kamus Besar Bahasa Indonesia adalah “proses

pembuatan atau cara untuk menyajikan suatu pengaturan penampilan tentang

tata cara pertunjukan untuk memuaskan penonton.

Dalam bentuk pertunjukan musik terdapat beberapa bentuk pertunjukan

yang berkitan erat dengantujuan serta jenis musik yang disajikan. Secara garis

besar bentuk-bentuk penyajian musik dibagi dua yaitu secara tradisional dan

modern. Apabila dilihat dari perkembangannya akan terlihat bahwa penyajian

16

seni pertunjukan tradisional kalah berkembang dengan penyajian seni

pertunjukan modern. Apabila tidak diantisipasi dengan baik, bukan tidak

mungkin seni pertunjukan tradisional tersebut akan hilang.

B. Kerangka Pikir

Pelestarian dan pengembangan musik tradisional tidak terlepas dari

masyarakat pendukungnya, namun dalam pelaksanaan tersebut ada banyak

faktor pendukung diantaranya adalah instrumen itu sendiri dalam hal ini

paddekko tidak hanya menarik dari segi pertunjukannya tetapi dari kwalitas

karakter bunyi yang dihasilkan adalah merupakan daya tarik tersendiri untuk

dimainkan oleh kalangan remaja dan orang dewasa yang berminat

memainkannya. Dengan menjadikan paddekko sebagai salah satu media

pertunjukan musik tradisional, diharapkan dapat mengangkat dan

memperkaya musik tradisional yang pada muaranya dapat memotivasi

masyarakat untuk mencintai dan menghargai hasil karya seni, khususnya

musik tradisional.

Penelitian ini bertujuan untuk menelusuri berbagai unsur yang saling

berkaitan antara satu dengan yang lain. Adapun unsur-unsur tersebut adalah:

Pertunjukan mappaddekko dalam Upacara Mapogau Hanua Masyarakat

Bugis Karampuang Sinjai. Sebelum terwujudnya suatu karya, baik tradisional

maupun bentuk lain, terlebih dahulu melalui suatu idea atau latar belakang. Di

dalam penciptaan ini yang malalui suatu ide secara otomatis harus pula

memikirkan tentang Mappaddekko tersebut, baik sebagai upacara ritual,

sarana hiburan ataupun sebagai media pendidikan. Demikian pula dengan

17

Pertunjukan Mappaddekko, jelas mempunyai arti khusus dalam pelaksanaan

Upacara Mapogau Hanua.

Berdasarkan judul yang diangkat dalam penelitian ini yaitu: Bentuk

Pertunjukan Mappaddekko dalam Upacara Mappogau Hanua Masyarakat

Bugis Karampuang Sinjai yang berkaitan dengan rumusan-rumusan masalah,

maka dibuatlah skema kerangka berpikir sebagai berikut :

Gambar 1.Skema Kerangka pikir

Diagram kerangka pikir yang terdapat pada gambar diatas menjelaskan

bahwa pokok penelitian ini berpusat pada latar belakang keberadaan dan bentuk

penyajian Mappaddekko dengan demikian bahan pendukung penelitian ini adalah

Upacara Mapogau Hanua masyarakat Bugis Karampuang Sinjai di Kecamatan

Bulupoddo Kabupaten Sinjai.

Petunjukan Mappaddekko

dalam Upacara Mappogau

Hanua masyarakat bugis

Karampuang Sinjai.

Bentuk penyajian pertunjukan Mappaddekko dalam Upacara Mappogau Hanua masyarakat bugis Karampuang Sinjai

Latar belakang keberadaan Mappaddekko dalam Upacara Mappogau Hanua masyarakat bugis Karampuang Sinjai

18

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Objek dan Desain Penelitian

1. Objek penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk mengolah data tentang Pertunjukan

Mappaddekko dalam Upacara Mapogau Hanua masyarakat Bugis

Karampuang¸ Sinjai. Dengan demikian variabel yang akan di amati dalam

penelitian ini yaitu :

a. Mappaddekko dalam Upacara Mappogau Hanua masyarakat Bugis

Karampuang Sinjai

b. Bentuk pertunjukan Mappaddekko dalam Upacara Mappogau Hanua

masyarakat Bugis Karampuang Sinjai.

2. Desain Penelitian

Desain penelitian adalah suatu rencana mengenai keadaan atau kondisi

untuk pengumpulan dan analisis data dalam suatu cara untuk menyatukan

hubungan (atau perlunya) maksud atau tujuan penelitian dengan

pengamatan dan prosedur. Mengenai Pertunjukan Mappaddekko dalam

Upacara Mapogau Hanua Masyarakat Bugis Karampuang Sinjai di

Kabupaten Sinjai, maka sebagai pedoman dalam pelaksanaan dapat disusun

desain penelitan sebagai berikut:

18

19

Gambar 2.Skema Desain penelitian

Pengolahan data dan Analisis Data

Kesimpulan

Petunjukan Mappaddekko dalam

Upacara Mappogau Hanua masyarakat

Bugis Karampuang Sinjai..

Bentuk Penyajian Mappaddekko dalam Upacara Mappogau Hanua masyarakat Bugis Karampuang Sinjai.

Latar Belakang Mappaddekko dalam Upacara Mappogau Hanua masyarakat Bugis Karampuang Sinjai.

20

B. Defenisi Operasional Variabel

Dalam penambahan variabel telah dikemukakan mengenai variabel-

variabel yang akan diamati. Oleh karena itu agar tercapai tujuan yang

diharapkan dalam pelaksanaan, sehingga pendefenisian tentang maksud-

maksud variabel penelitian sangat penting dijelaskan.

Adapun yang menjadi defenisi operasional variabel penelitian yaitu :

1. Mappaddekko adalah latar belakang keberadaan Mappaddekko pada

Upacara Mapogau Hanua sebagai salah satu acara penyambutan

masyarakat bugis Karampuang Sinjai di Kecamatan Bulupoddo Kabupaten

Sinjai.

2. Bentuk pertunjukan yang dimaksud adalah tahapan pelaksanaan

Mappaddekko pada Upacara Mapogau Hanua sebagai salah satu acara

penyambutan masyarakat bugis di Karampuang Sinjai Kecamatan

Bulupoddo Kabupaten Sinjai.

C. Lokasi Penelitian

Berdasarkan judul tersebut, lokasi penelitian ini adalah di Karampuang

desa Tompobulu, Kecamatan Bulupoddo Kabupaten Sinjai. Kondisi alam di

Karampuang desa Tompobulu merupakan daerah pegunungan yang memiliki

hutan yang lebat. Hutan adat Karampuang sebagai simbol harmonis antara

hutan dan masyarakat. Disekitar wilayah tersebut terdapat bayak lahan kebun

dan sawah. Peneliti memilih lokasi karena disinilah biasa diadakan Upacara

Mapogau Hanua khususnya mempertunjukkan kesenian Mappaddekko.

21

D. Sasaran dan Responden

1. Sasaran

Sasaran dalam penelititan ini ialah Pertunjukan Mappaddekko dalam

Upacara Mapogau Hanua Masyarakat Bugis Karampuang Sinjai.

2. Responden

Responden dalam penelitian ini adalah orang yang dapat memberikan

informasi mengenai Pertunjukan Mappaddekko dalam Upacara Mapogau

Hanua Masyarakat Bugis Karampuang Sinjai.

E. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan untuk

memperoleh data tentang pertunjukan Mappaddekko yaitu:

1. Studi Pustaka

Studi pustaka digunakan untuk pengetahuan tambahan dan dasar teori

yang diteliti seperti membaca buku-buku ilmiah yaitu dokumen sejarah dan

laporan penelitian lain yang punya kaitan dengan obyek penelitian. Studi

pustaka dengan mengkaji literature yang sesuai dengan kajian tentang

Pertunjukan Mappaddekko. Soedarsono R. (1999). Seni Pertunjukan

Indonesia di Era Globalisasi. Jakarta”Era globalisasi telah memungkinkan

bangsa Indonesia untuk menikmati bentuk seni pertunjukan, baik yang

disajikan secara langsung maupun yang ditayangkan lewat media rekam

yang canggih”, Muhannis. 2009. Karampuang dan Bunga Rampai Sinjai.

Yogyakarta “Sebagian besar dari bentuk-bentuk seni pertunjukan

22

merupakan penyajian estetis yang meluluuntuk dinikmati keindahannya”,

dan Yayat Nursantara, 2007.Seni budaya untuk SMA kelas X. Jakarta

“Musik adalah seni menata bunyi menjadi suatu harmoni yang indah

didengar” dan beberapa contoh skripsi lainnya.

2. Observasi

“Pengamatan (observasi) adalah penelitian data yang dikontrol

validitas dan reliabilitasnya.”.(Alwasilah C, 2003: 211). Pada teknik

observasi ini, peneliti mengadakan pengamatan secara langsung terhadap

obyek yang akan di teliti. Kegiatan observasi meliputi melakukan

pencatatan secara sitematik kejadian-kejadian, perilaku, objek-objek yang

dilihat dan hal-hal lain yang diperlukan dalam mendukung penelitian yang

sedang dilakukan. Pada tahap awal observasi dilakukan secara umum,

peneliti mengumpulkan data atau informasi sebanyak mungkin.Tahap

selanjutnya peneliti melakukan observasi yang terfokus, yaitu mulai

menyempitkan data atau informasi yang diperlukan. Observasi dilakukan di

Karampuang, Kabupaten Sinjai.

3. Wawancara

“Wawancara adalah suatu pengumpulan data untuk mendapatkan

informasi, yang dimaksudkan untuk mendapatkan data langsung secara lisan

dari para narasumber atau informasi yang telah ditentukan. Tentang hal

yang berhubungan dengan penulisan tahap ini dilakukan melalui dialog

langsung antara penulis dengan para sumber guna mendapatkan imformasi

selengkap mungkin tentang Mappaddekko dan melakukan wawancara

23

dengan Ammatoa, budayawan yaitu Bapak Muhannis dan beberapa tokoh

masyarakat yang memahami permasalahan penelitian ini. Penelitian ini

dilaksanakan di Karampuang, Kabupaten Sinjai.

4. Dokumentasi

Teknik ini dilakukan mengumpulkan data-data yang kongkrit berupa

gambar,foto-foto dan dokumentasi lainya. Dokumentasi tahap ini dilakukan

agar peneliti memperoleh data dalam bentuk audio dan visual. Dokumentasi

dalam bentuk audio yaitu maddekko itu sendiri sedangkan perekaman visual

dalam bentuk foto yaitu dilakukan dengan menggunakan kamera. Selain itu

akan digunakan buku catatan untuk mencatat data yang tidak bisa

didokumentasikan dengan cara audio.

E. Teknik Analisis Data

Dalam penelitian ini data yang digunakan adalah data kualitatif, yaitu

karena penelitiannya dilakukan pada kondisi yang alamiah, disebut pula

sebagai metode etnografi karena pada awalnya metode ini lebih banyak

digunakan karena data yang dikumpulkan dan dianalisis lebih bersifat

kualitatif. Prosesnya berbentuk siklus, yang didalamnya terlihat sifat

interaktif pengumpulan (koleksi) data dengan analisis data. Bahkan

pengumpulan data juga ditempatkan sebagai komponen integral dari kegiatan

analisis data (Bungin, 2010: 69) .

24

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Sekilas tentang Mapogau Hanua

Sulawesi Selatan merupakan salah satu provinsi daerah tingkat satu

yang berpotensi dalam bidang kebudayaan, khususnya upacara adat.

Upacara adat di daerah Sulawesi Selatan merupakan suatu warisan daerah

yang harus dibawa dan dikembangkan sebagai suatu perwujudan dari

sistem kepercayaan masyarakat yang turun temurun sejak dahulu sampai

sekarang. Dan ini merupakan suatu nilai yang harus dengan jalan

menanamkan apresiasi dikalangan generasi muda dengan dapat menunjang

kebudayaan nasional.

Di daerah Provinsi Sulawesi Selatan khususnya di Kabupaten Sinjai

merupakan salah satu daerah yang masih menjaga kebudayaannya. Salah

satu bentuk kesenian tradisioanal yaitu Upacara Mapogau Hanua.

Upacara Mapogau Hanua pada masyarakat Karampuang adalah salah satu

bentuk ungkapan seni yang hingga kini masih tetap diadakan secara turun

temurun oleh masyarakat pendukung kebudayaan kawasan adat

Karampuang. Hal ini masih sangat sulit dipisahkan dari kehidupan

masyarakat Karampuang.

Upacara adat Mapogau Hanua atau juga disebut Pesta Kampung

merupakan suatu upacara adat terbesar yang dilaksanakan setiap tahun

oleh masyarakat pendukung kebudayaan Karampuang. Upacaranya

29

25

berlangsung dengan sangat meriah, diikuti oleh ribuan orang dan

dipusatkan dalam kawasan adat. Dalam kawasan adat Karampuang banyak

menyimpan peninggalan-peninggalan purba yang tetap dipertahankan dan

dijaga sebagai bagian dari kehidupan mereka dan sebagaian lagi masih

digunakan sebagai bagian dari ritual adat. Tinggalan-tinggalan arkeologi

yang tersisa memberikan gambaran pada kita, betapa di masa lalu dalam

kawasan adat ini pernah ada kebudayaan maju. Kejayaan masa

megalitikum masih dapat memberikan bayangan nyata akan periode

sejarah itu. (Muhannis: 2009: 53)

Mapogau Hanua merupakan bahasa Bugis yang berasal dari kata

Mapogau dan Hanua. Mapogau dalam bahasa Bugis yaitu majjama-jama

yang artinya melakukan suatu pekerjaan dalam acara atau pesta,

sedangkan Hanua adalah kampung dalam bahasa Bugis kampong artinya

satu kampung. Mapogau Hanua adalah suatu kegiatan pesta adat yang

dilaksanakan oleh satu kampung. Mapogau Hanua atau pesta kampung

yang dilaksanakan merupakan upacara adat terbesar yang dilaksanakan

setiap tahun oleh masyarakat pendukung kebudayaan oleh masyarakat

Karampuang, sebagai bentuk ungkapan rasa syukur pada leluhur sekaligus

sebagai symbol pengukuhan hubungan emosional antara masyarakat

Karampuang dengan para leluhurnya.

Muhannis (2009: 62) mengemukakan bahwa upacara adat Mappugau

Hanua ini adalah salah satu agenda wisata yang dapat dinikmati di

Karampuang. Pelaksanaan pesta adat Mappogau Hanua merupakan

26

perwujudan rasa syukur atas keberhasilan panen pertanian atau

perkebunan masyarakat. Alasan utama masyarakat Karampuang

melaksanakan Upacara Mapogau Hanua yaitu untuk mengenang kembali

beberapa kematian mallajang. Mallajang adalah nenek moyang atau

leluhurnya. Upacara ini sekaligus melepaskan nazar kepada leluhurnya

yang diucapkan pada pelaksanaan pesta tahun sebelumnya.

Acara ini dilaksanakan satu kali setahun dan pada saat musim panen

padi di sawah telah selesai upacara ini berlangsung selama satu minggu

berjalan. Upacara adat tersebut dirangkaikan dengan beberapa atraksi

budaya wisata. Upacara Mappogau Hanua ini dihadiri oleh seluruh

komponen masyarakat Karampuang pada khususnya, baik yang masih

berdomisili di sekitar wilayah adat maupun berbagai masyarakat sinjai

pada umumnya dan daerah-daerah lainnya. Hajatan ini selalu saja dihadiri

oleh ratusan bahkan ribuan manusia. Prosesi pesta adat Mapogau hanua

atau disebut dengan pesta kampung. (wawancara Benyamin, 23 Januari

2014)

Di dalam prosesi adat Mapogau Hanua yang berdimesni sangat luas

dan memiliki makna yang bermacam-macam pula, maka dalam

pelaksanaanya juga melibatkan jabatan-jabatan lain dalam pelaksanaannya

karena dalam pemerintahan kawasan adat Karampuang, ada 4 (empat)

pemangku adat yaitu Arungnge, Gella, Guru, dan Amatoa.Segala ritual

yang berhubungan dengan hal-hal sacral dan dengan orang-orang suci,

keramat menjadi tanggung jawab Tomatoaatau Arung, segala yang

27

berhubungan dengan masalah tanah, pertanian serta kehidupan rakyat

banyak, maka yang jadi penanggung jawab adalah Gella. Upacara yang

berhubungan dengan kesejahteraan, kesehatan warga menjadi tanggung

jawab Guru.Tetapi dalam prosesi adat Mapogau Hanua maka dalam

pelaksanaannya semua jabatan lainnya terlibat dalam Upacara Mapogau

Hanua.(Wawancara: Haris, 23 Januari 2014)

Inti dari pelaksanaan Mappogau Hanua adalah pemujaan leluhur

menggunakan media tinggalan megalitik dan persembahan sesaji.

Pemberian sesaji sebagai bentuk pengabdian manusia terhadap leluhurnya

yang dipuja dan mengandung arti yang mendasar, yaitu sebagai hubungan

emosional antara warga dan leluhurnya. Hubungan itu penting dalam

pikiran mereka agar kesuburan tanah tetap terjaga dalam melaksanakan

kehidupan kepetaniaannya.(Muhannis: 2009: 66)

Diketahui bahwa masyarakat memiliki sistem nilai yang mengatur tata

kehidupannya dalam hidup bermasyarakat. Sistem budaya tersebut

merupakan suatu rangkaian konsep-konsep abstrak yang hidup dalam

pkiran sebagian besar warga masyarakat. Sistem nilai budaya tersebut

berfungsi sebagai pedoman sekaligus pendorong sikap ( perilaku manusia

dalam hidup sehingga berfungsi sebagai suatu sistem lakuan yang paling

tinggi tingkatannya (Koentjaraningrat, 1992:42).

Masyarakat Karampuang sebagai masyarakat yang tetap memelihara

tradisi Mapogau Hanua tentunya mengandung nilai yang diyakini oleh

masyarakat pendukungnya. Lestarinya tradisi ini tentunya ditopang oleh

28

keyakinan bersama dari nilai-nilai yang dikandung. Acara ini juga dihadiri

oleh masyarakat yang datang karena memiliki hajatan ataupun tujuan

khusus di situs purba tersebut. Upacara adat Mapogau Hanua berlangsung

dalam beberapa tahap, namun tahapan atau prosesi yang paling ditunggu-

tunggu masyarakat pendukung adalah prosesi Menre’ri bulu.

Salah satu seni pertunjukan pada upacara Mapogau Hanua adalah

Mappaddekko. Sebelum upacara menre’ri bulu dilakukan adapun iring-

iringan yang dilaksanakan oleh masyarakat Karampuang yaitu

Mappaddekko merupakan permainan dan pertunjukan yang

menggambarkan pengucapan syukur atas hasil panen yang berhasil.

2. Latar belakang keberadaan Mappaddekko dalam Upacara Mapogau

Hanua

Aktivitas bertanam padi yang berlangsung dari generasi ke generasi

melahirkan budaya yang mempertunjukan kesenian tradisional dari

instrumen lesung dan alu yaitu Mappaddekko. Keberadaan musik

mappaddekko di tengah kehidupan masyarakat Bugis Karampuang terkait

dengan adanya suatu peristiwa besar yaitu kisah To Manurung, yakni

dengan munculnya seseorang yang tak dikenal sebagai To Manurung. To

Manurung ini muncul di atas sebuah bukit yang saat ini dikenal dengan

nama Batu Lappa. Dalam Lontara Karampuang dikisahkan bahwa asal

mula adanya daratan di Sinjai, berawal dari Karampuang. Pada zaman

dahulu kawasan adat Karampuang merupakan tempat persinggahan orang-

29

orang dari Kerajaan Bone dan Gowa, saat itu Karampuang masih

dinamakan Karampulue (berdiri bulu roma). Setelah munculnya

Tomanurung di puncak bukit, pada saat itu perebutan hegemoni Kerajaan

Bone dan Gowa sehingga Karampulue berubah nama menjadi

Karampuang, perpaduan antara Karaeng dari Kerajaan Gowa dan Puang

dari Kerajaan Bone. Dalam konsep adat Karampuang kehidupan

leluhurnya dan kehidupan nyata sekarang ini adalah dua kehidupan

masing-masing secara aktif menjalankan roda kehidupan dalam dua alam

yang berbeda tetapi tetap saling berhubungan. Salah satu cara yang

berhubungan yaitu malalui ritual suci. Adapun pesan leluhurnya apabila

tidak menjalankan ritual maka “tenna solong waede, tenna loloang raung

kaju lele saie” yang artinya Bahwa air takkan mengalir, daun-daun tak

akan menghijau, penyakit akan merajalela. Jadi masyarakat di kawasan

adat Karampuang harus melaksanakan Upacara ritual suci yaitu Mapogau

Hanua atau Pesta Kampung yang melibatkan seluruh komponen

masyarakat kawasan adat Karampuang. (wawancara: Muhannis, 23 Januari

2014)

Upacara Mapogau Hanua pada masyarakat Bugis khususnya di

Karampuang Kecamatan Bulupoddo Kabupaten Sinjai sebagai wujud

syukur atas apa yang telah dihasilkan oleh para petani, yakni setiap satu

tahun sekali. Berbagai cara yang dilakukan termasuk Mappaddekko

dilakukan pada setiap selesai panen padi. Dilihat dari segi sosial seluruh

masyarakat melihat Mappaddekko ini merupakan kegiatan yang dikenal

30

oleh masyarakat Karampuang.Bukan hanya membudaya pada masyarakat

Karampuang, bahkan sudah dikenal oleh masyarakat diluar daerah

Kabupaten Sinjai. Keberadaan musik Mappaddekko merupakan salah satu

pertunjukan musikyang secara turun temurun selalu dilaksanakan dalam

menyambut keberhasilan panen padi di Karampuang Kecamatan

Bulupoddo Kabupaten Sinjai.

Keberadaan mappaddekko sudah ada sejak mereka mengenal yang

namanya pesta adat tersebut, Adapun hasil wawancara tanggal 23 Januari

2014, menurut Puang Gella (selaku pemangku adat kawasan

Karampuang), menjelaskan tentang sejarah Mappaddekko‘’pada zaman

dahulu, setelah mangngala ase atau mengambil padi, masyarakat

menggunakan peralatan tradisional yang sederhana karena belum ada

penggilingan beras, maka masyarakat pada waktu itu hanya menggunakan

lesung untuk menumbuk padi guna memisahkan padi dari kulitnya, tidak

beberapa lama dilakukan, setelah lama mallampu atau menumbuk dan

merasa mulai capek, dan untuk menghilangkan rasa capek, dilakukanlah

mappaddekko sebagai hiburan mereka supaya tidak bosan’’, namun

kegiatan yang awalnya hanya menumbuk padi, perlahan menjadi suatu

adat tradisi yang secara turun temurun dilaksanakan oleh masyarakat

Karampuang.

Berbicara tentang Mappaddekko tidak terlepas dari Upacara Mapogau

Hanua, Berdasarkan hasil wawancara dengan bapak Muhannis, 23 Januari

2014, selaku seniman di Kabupaten Sinjai, “konon di Karampuang Di

31

Desa TompoBulu Kecamatan Buluppoddo Kabupaten Sinjai

Mappaddekko muncul karena adanya bulan ditelan naga dan untuk

melepaskan naga ditaklukkan dengan bunyi-bunyian yaitu Paddekko.Pada

saat Paddekko juga dibunyikan adapun para gadis mencari beras untuk

ditumbuk dan dihaluskan sebagai masker kecantikan baginya dan cepat

dapat jodoh.

Pada saat pesta panen, mereka mempercayai adanya bunyi-bunyian

paddekko tersebut dapat dipercaya akan didengar leluhurnya bahwa

panennya berhasil dan meyakini bahwa dengan adanya bunyi-bunyian

tersebut maka akan membuat apa yang mereka tanam bisa tumbuh dan

sesuai harapan. Misalnya padi bisa berbuah dengan bagus, dan hasil bumi

lainnya”.“mappaddekko” acara musik tradisional yang sumber bunyinya

berasal dari tumbukan alu dan lesung. Alu adalah alat yang digunakan

sebagai penumbuk padi yang berukuran 2 m yang berbentuk silindris

berdiameter 5-10 cm yang terbuat dari kayu cendana. Pada bagian

tengahnya ada lubang sebagai tempat untuk menumbuk padi dan alat ini

masih ada sampai sekarang dan masih biasa digunakan pada saat

Mappaddekko. (wawancara: P.Haris, 23 Januari 2014)

Pada pelaksanaan Upacara Mapogau Hanua sebelumnya, acara ini

dulu dilakukan tanpa menggunakan iringan. Mapogau Hanua yang dikenal

sebagai acara yang sakral, sebenarnya hanyalah acara biasa, upacara

tersebut merupakan tanda syukur kepada yang Kuasa juga pada nenek

moyang mereka yang telah memberikan hasil panen yang bagus. Setelah

32

beberapa tahun berlalu, acara Mapogau Hanua dilaksanakantanpa

menggunakan bunyian Paddekko, Puang Sandro (sebagai penanggung

jawab dalam setiap acara sakral), merasakan adanya kejanggalan pada saat

dilaksanakannya acara Mapogau Hanua, Puang Sandro merasakan ada

yang kurang. Dengan demikian Puang Sandro menyampaikan kepada

masyarakat Karampuang bahwa perlu dilibatkan acara Mappaddekko

dalam Upacara Mapogau Hanua guna untuk memanggil orang-orang

disekitar kawasan adat Karampuang maupun diluar kawasan adat

Karampuang. Acara ini merupakan tradisi penghormatan akan dimulainya

pesta adat atau penyambutan tamu undangan yang hadir pada Upacara

Mapogau Hanua. Ketika Paddekko sudah dibunyikan, maka ini isyarat

bahwa tidak lama lagi acara dipuncak gunung akan segera dimulai.

Menurut kepercayaan masyarakat setempat, Mappaddekko ini merupakan

acara Mangolli’ tau maega atau memanggil massa. (Wawancara: P.Gella,

23 Januari 2014)

Mappaddekko dulu sering dilaksanakan pada upacara ritual

tertentu, namun dengan bergesernya zaman, acara Mappaddekko ini bisa

ditiadakan dalam acara tersebut, tetapi tanpa adanya bunyi-bunyian

Paddekko, Upacara Mapogau Hanua tidak akan terlaksana dengan baik.

Maka dari itu perlu dilibatkan dan dihadirkan pada saat perayaan pesta

kampung yaitu Mapogau Hanua. Sayangnya, tradisi paddekko ini kurang

mendapat perhatian dari pemerintah, baik dalam bentuk materil maupun

spirit. Faktor penghambat mendasar kurangnya dana untuk menyewa

33

perlengkapan seperti pakaian adat, namun meski dalam kondisi demikian,

antusias masyarakat dalam melaksanakan warisan leluhur mereka

sangatlah tinggi. Oleh karena itu, paddekko perlu dilestarikan demi

menjaganya dari kepunahan.

Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat disimpulkan bahwa

Mappaddekko memiliki arti khusus dan sangat erat kaitannya dalam

Upacara Mapogau Hanua, Dalam pelaksanaan Upacara Mapogau Hanua

dalam hubungannya dengan mappaddekko yaitu sebagai tradisi

penyambutan tamu yang hadir dalam upacara tersebut. Mapogau Hanua

hanya dapat dilaksanakan ketika masyarakat sudah panen, dan jika upacara

ini dilangsungkan tanpa bunyi-bunyian mereka yakini akan mengalami

hambatan. Oleh sebab itu pada setiap pelaksanaan Upacara Mapogau

Hanua wajib disertai dengan bunyi-bunyian yaitu Mappaddekko.

3. Bentuk Penyajian Mappaddekko dalam Upacara Mappogau Hanua

Pertunjukan Mappaddekko adalah kegiatan menumbuk lesung dengan

menggunakan alu oleh masyarakat setempat. Mappaddekko merupakan

bagian dari pelaksanaan Upacara Mapogau Hanua yang dilaksanakan

setiap tahunnya. Proses menumbuk padi dilakukan oleh beberapa orang

yang telah mahir dalam memainkan paddekko. Sebelum pertunjukan

mappaddekko dimulai, adapun beberapa hal yang harus diketahui yaitu:

jumlah, nama, dan pekerjaan pemain dan teknik bermain. Peserta

Paddekko terdiri atas pemain laki-laki dan perempuan. Ada enam orang

pemain dalam pertunjukan, satu laki-laki yang bernama P.Usman dan lima

34

perempuan yang bernama: P.Ati, P.Baya, P.Rahe’, P.Te’ne dan P.Halija

dan usianya rata-rata 50an keatas. Pekerjaan mereka tidak terikat oleh

suatu manajemen apapun, mereka hanya berstatus petani dan ibu rumah

tangga.

Sebelum acara menre’ri bulu dimulai, masyarakat asli karampuang

melakukan kegiatan mangala uhae atau mengambil air dan menyimpannya

di rumah adat Karampuang yang digunakan oleh masyarakat setempat

untuk mengolah bahan makanan bagi tamu yang datang dan masyarakat

yang lain untuk menghadiri upacara Mappogau Hanua. Persiapan

selanjutnya adalah menyiapkan alat-alat yang akan digunakan untuk

pertunjukan Mappaddekko. Adapun instrumen yang telah disiapkan yaitu

lesung dan alu.Para pemain langsung mengambil alu masing-masing.

Setelah semua siap dibunyikanlah iring-iringan sebagai tanda ritual di

puncak gunung akan segera dimulai.

Adapun pemain pertama laki-laki berada di ulunna (kepala lesung) dan

dua orang perempuan berada di samping kanan dan tiga orang perempuan

disamping kiri lesung dan saling berhadapan. Sebelum menabuh lesung,

pertama-tama yang dilakukan yaitu pemain memegang alu (alat menabuh)

dengan memakai tangan kanan dan kiri dengan posisi yang benar sehingga

alu pada saat dipegangnya itu kuat dan tidak gampang terlepas pada saat

memainkan. Tumbukan pertama diawalinya pertunjukan Mappaddekko

yaitu diawalinya pola tabuhan mappadudu. Pemain mangolai segera

menumbukkan alunya mengikuti tumbukan mappadudu, kemudian

35

dimainkan dan divariasikan oleh makkumba dan tumbukan ini bisa

berubah-ubah pola tabuhannya. Berdasarkan dari sumber bunyinya,

paddekko termasuk dalam alat musik Idiophone/alat musik yang sumber

bunyinya berasal dari benda itu sendiri.

Dilihat dari tabuhan lesung pada saat Pertunjukan Mappadekko,

tabuhan lesung terbagi 3 (tiga) teknik bermain yaitu :

1) Mappadudu’

Dimana pada bagian ini ada dua orang pemain menumbuk lesung

dengan cara satu kali menumbuk lesung dengan pola tabuhan secara

berulang-ulang, menggunakan tempo sedang, cepat, cepat sekali,

dengan susunan perempuan dibagi menjadi dua saling berhadapan,

masing-masing satu orang dibagian kanan dan kiri lesung.

2) Makkumba’

Pada bagian ini ada tiga orang pemain menumbuk lesung dengan cara

tiga kali tumbukan pada lesung secara berulang-ulang dengan tempo

sedang, cepat, cepat sekali dengan susunan, dua orang dibagian kanan

lesung dan satu bagian kiri lesung.

3) Mangolai’

Pada bagian ini ada satu orang pemain menggunakan alu menumbuk

lesung dengan cara tiga kali tumbukan pada lesung secara berulang-

ulang dengan tempo sedang, cepat, cepat sekali, dan tumbukan ini

bisa berubah ketukannya, tergantung pemain. (Wawancara: Usman,

23 Januari 2014).

36

Adapun pola tabuhan yang dihasilkan yaitu :

Berdasarkan gambar tersebut, apabila dilihat dari pukulan lesung pada

saat pertunjukan mappaddekko mulai dari awal pertunjukan maupun sampai

akhir pertunjukan, pukulan lesung hanya diulang-ulang dengan tempo sedang,

cepat, cepat sekali kemudian kembali lagi ketempo sedang begitu selanjutnya

sampai berakhir pertunjukan. Iringan musik seakan-akan sebagai ilustrasi

pembangun suasana, yang ritme maupun iramanya tidak mengikat pukulan

dari lesung.

37

Gambar 1.Persiapan sebelum Pertunjukan Mappaddekko(Dokumentasi: Rifqah, Karampuang,28 Oktober 2013)

Pada gambar di atas merupakan persiapan sebelum pertunjukan

Mappaddekko dilaksanakan, terlihat pula seniman bapak Muhannis yang

berdiri selaku pemimpin acara pertunjukan Mappaddekko tersebut. Sebelum

acara dimulai, masyarakat Karampuang sudah mempersiapkan bahan

makanan, termasuk makanan yang akan digunakan sebagai konsumsi peserta

upacara. Tidak lama kemudian, acaranya pun dimulai, semua warga yang

mendengar musik paddekko tersebut segera berkumpul di halaman rumah adat

Karampuang, dimana pertunjukan Mappaddekko akan dilaksanakan.

Dalam pertunjukan Mappaddekko sangatlah menarik, mereka sangat

antraktif dalam mempertunjukan kebolehan dalam memainkan instrument

musik lesung dan alu. Ekspresi gerak dalam menabuh yang lincah dan saling

berbalas-balasan. Ekpresi gerak dalam menabuh yang dihasilkan bisa

diumpamakan seperti orang yang berbicara atau melakukan tanya jawab

38

karena gerakan lincah dan aktif. Mereka bergerak dengan menggunakan gaya

mereka masing-masing.

Gambar 2. Proses Mappaddekko(Dokumentasi: Rifqah, Karampuang,28 Oktober 2013)

Pada gambar di atas terlihat pertunjukan Mappaddekko yangdiadakan

ditempat terbuka yakni dihalaman rumah adat Karampuang, tepatnya didepan

pintu masuk halaman rumah adat Gella. Gerakan Paddekko ringan dan santai

tanpa ketegangan otot-otot sedikit pun. Sikap tubuh pemain selama bermain

senantiasa vertikal keatas, torso tidak tegak tetapi otot perut tidak ditegangkan,

hanya badan yang membungkuk sedikit melihat arah yang ditumbuk. Dan

posisi kedua tangan memegang alu, pada saat memegang alu, posisi tangan

kanan diatas dan tangan kanan dibawah, bisa juga sebaliknya, tergantung

pemain. Setelah dua menit kemudian, mereka berhenti sejenak kemudian

melanjutkan kembali bermain paddekko. Pertunjukan berlangsung sampai

39

salah satu pemain lainnya terlihat letih yang pada akhirnya pemain

mengundurkan diri semuanya sampai selesai. Mappaddekko ini merupakan

tradisi penyambutan tamu yang berfungsi untuk mengumpulkan massa atau

mangngolli’tau maega. (Wawancara: Muhannis, 23 Januari 2014.

Mappaddeko merupakan tradisi penghormatan akan dimulainya pesta

adat atau penyambutan tamu undangan yang hadir pada Upacara Mapogau

Hanua. Penonton yang hadir dalam pertunjukan Mappaddekko terdiri dari

berbagai daerah.Mulai dari kalangan anak-anak, remaja dan orang dewasa dan

orang tua ikut memeriahkan acara tersebut. Adapula pejabat tinggi yang

sempat hadir yaitu Bapak Bupati Sinjai beserta jajarannya mengikuti

rangkaian Upacara Mapogau Hanua.

Adapun unsur pendukung dalam pelaksanaan Pertunjukan Mappaddekko

yaitu:

a. Properti

Gambar 4 .Lesung dan Alu(Dokumentasi Rifqah: Karampuang, 23 Januari 2014)

40

Pada gambar diatas adalah sebuah alat yang digunakan untuk suatu

pertunjukan atau pelengkap atribut pertunjukan. Perlengkapan atau peralatan

yang digunakan seperti pada pertunjukan Mappaddekko, alat yang digunakan

adalah Lesung dan Alu. Lesung adalah salah satu alat untuk menumbuk atau

menghancurkan seuatu, contohnya padi, beras, gula dan lain-lain. Alu adalah

alat yang digunakan sebagai penumbuk padi yang berukuran 2 m yang

berbentuk silindris berdiameter 5-10 cm yang terbuat dari kayu cendana.

Pada bagian tengahnya ada lubang sebagai tempat untuk menumbuk padi dan

alat ini masih ada sampai sekarang dan masih biasa digunakan pada saat

Mappaddekko. (Padindang, 2003: 20)

b. Kostum

Kostum merupakan suatu elemen penting dalam sebuah pertunjukan

akan tetapi yang sering digunakan dalam suatu pementasan tidak harus

mewah atau megah, melainkan sesuatu yang sederhana dan dapat

mencerminkan suatu kebudayaan dan ciri khas didaerah dan juga

masyarakat. Seperti halnya kostum pada pertunjukan Mappaddekko yang

menggambarkan bahwa kesederhanaan masyarakat di Desa Tompo Bulu

Kecamatan Buluppoddo Kabupaten Sinjai. Kostum yang digunakan

pertunjukan Mappaddekko adalah bagi laki-laki adalah pakaian biasa yang

berwarna merah dianggap sebagai warna kebesaran bagi masyarakat

Karampuang dan penutup kepala (songko’. Bagi perempuan baju tokko (baju

bodo)yang berwarna merah dan biru dan lipa’bate’(sarung batik).

( Wawancara P.Ati: 23 Januari 2014)

41

Berdasarkan uraian diatas, alasan utama masyarakat melaksanakan

Upacara Mapogau Hanua adalah mengenang beberapa penguburan leluhur

atau nenek moyang.maka inti dari pelaksanaan Mappogau Hanua adalah

pemujaan leluhur menggunakan media tinggalan megalitik dan persembahan

sesaji. Pemberian sesaji sebagai bentuk pengabdian manusia terhadap

leluhurnya yang dipuja dan mengandung arti yang mendasar, yaitu sebagai

hubungan emosional antara warga dan leluhurnya. Hubungan itu penting

dalam pikiran mereka agar kesuburan tanah tetap terjaga dalam

melaksanakan kehidupan kepetaniaannya.

Setelah itu iring-iringan berlanjut dengan tabuhan gendrang sandro.

Adapula musik gendrang sandro yang juga termasuk bagian dari prosesi

akan dimulainya acara naik ke puncak gunung atau menre’ri bulu. Penabuh

gendrang berjumlah dua orang laki-laki yang bernama P. Hardin dan P.

Hamid. Mereka berdua sangat ahli dalam memainkan musik gendrang

sandro. Setelah selesai semua warga berbondong-bondong menuju ke rumah

adat Karampuang, karena ini pesta kampung, maka semua orang bisa naik

dan masuk ke rumah adat, tapi pengunjung harus antri dan bersabar karena

ratusan bahkan ribuan pengunjung yang datang berlomba-lomba ingin

masuk ke rumah adat tersebut. Di dalam rumah adat sudah disajikan

hidangan khas Karampuang yang sudah disiapkan sebelumnya.

42

Gambar 3. Penabuhan Gendrang Sandro(Dokumentasi: Rifqah, Karampuang,28 Oktober 2013)

Pada gambar tersebut, selama pertunjukan Mappaddekko berlangsung,.

Iring-iringan ini berlanjut sampai ke rumah adat Karampuang dan mengiringi

Bapak Bupati yang sempat hadir dalam upacara tersebut sampai naik kerumah

adat Karampuang. Salah satu hal yang mngejutkan, tabuhan gendrang ini juga

mengundang roh nenek moyang. Suasana dalam ruangan rumah adat berubah

menjadi dingin. Masyarakat kemudian beberapa macam sesajen dan setelah

semuanya siap maka Puang sandro sebagai pemimpin upacara ritual

menggiring msyarakat menuju puncak gunung. Dalam acara Manre Ase Baru

atau makan beras baru, yang pertama turun dari rumah adat dan menjejakkan

kakinya di tanah adalah Sanro.

43

Gambar 3. Perjalanan menuju puncak(Dokumentasi: Rifqah, Karampuang,28 Oktober 2013)

Hal inilah yang terlihat pada saat Mappogau hanua dilaksanakan.

Setelah usai bersantap bersama, tokoh adat dan gadis-gadis pengiringnya

meninggalkan rumah adat menuju kepuncak gunung. Mereka bergegas turun

dari rumah dan melihat langsung bahwa yang pertama turun dari rumah adat

Tomatoa adalah seorang perempuan berbaju dan bersarung putih, diikuti anak

perempuan dengan mengenakan pakaian putih. Dimana lokasi ritual ini sudah

dipadati warga. Tempat prosesi sesungguhnya akan berlangsung pun dimulai

Sanro diikuti Arung, Gella,Guru serta masyarakat bergegas mendaki bukit

menuju puncak. Masyarakat berbondong-bondong menuju puncak bukit

dengan membawa hasil bumi untuk melepaskan nasar.

44

Gambar 5. Proses Menre’ ri bulu(Dokumentasi: Rifqah, Karampuang, 28 Oktober 2013)

Pada gambar tersebut merupakan perjalanan menuju ke puncak bukit

Karampuang. Sementara di kaki bukit, sebelum naik bersama, seorang  tokoh adat

wanita yang disebut Sandro terlebih dahulu memukul batu bertuah sebanyak tujuh

kali. Saat itulah warga diharapkan tertib dan tenang saat mendaki gunung.

Didahului oleh pembawa perangkat adat.seluruh bahan upacara kemudian diarak

menuju puncak gunung dan langsung menuju suatu tempat khusus yang disebut

Emba atau dalam bahasa Arkeologi disebut batu gelang. Sampai di puncak bukit,

dimana ada sedikit dataran dengan kontur tanah dan ada beberapa bagian tertutupi

batu. Puncak bukit berbatu dan disitulah nanti prosesi sesungguhnya akan

berlangsung.Sebelum sampai di dataran dengan kontur berbatu tersebut, beberapa

meter sebelumnya, kami diminta untuk membuka alas kaki. Menurut warga, ini

sudah aturan adat. Prosesi adat sesungguhnya pun dimulai, Sanro meminta warga

45

masyarakat yang membawa persembahan, seperti kambing, ayam, hasil bumi,dll

diminta untuk mendekat. Ada lingkaran batu, dengan naungan kain putih

diatasnya, tempat Sanro melakukan prosesi ini. Warga pun menyimpan

persembahan yang mereka bawa di sekitar lingkaran batu itu. Tak ada ribut-ribut,

hening, semua dilakukan dengan tenang. Setelah ritual adat berlangsung, ayam

dan kambing yang merupakan bentuk persembahan atau ungkapan rasa syukur

atas hasil panen yang cukup melimpah, kemudian dilepas dan menjadi rebutan

warga masyarakat yang hadir.

Perjalanan menuruni bukit tak terasa, dan ternyata ada beberapa spot menarik

yang bernilai sejarah dan budaya cukup tinggi tentunya yang dilalui, akibat

ketergasan menuju puncak bukit. Beberapa diantaranya adalah, sumur tua, yang

biasanya digunakan warga untuk memandikan bayi dan anak2 mereka.Ada juga

beberapa peninggalan zaman batu besar atau megalitikum (selain di puncak

bukit). Hal tersebut menjadi kesimpulankarena batu-batu yang ada memiliki

ukuran yang cukup besar.(wawancara: P. Gella, 23 Januari 2014).

A. Pembahasan

Upacara adat Mapogau Hanua merupakan salah satu bentuk upacara

tradisonal yang ada di Sulawesi Selatan bagi etnis Bugis. Upacara adat

Mapogau Hanua yang diadakan sekali dalam setahun setelah pesta panen padi

selesai maka masyarakat beramai-ramai naik kepuncak gunung atau menre’ri

bulu dengan ditandai adanya Pertunjukan Mappaddekko.Mappaddekko

merupakan bentuk syukuran kepada leluhur atas hasil yang diperoleh.

Pertunjukan musikmappaddekko dikenal sebagai budaya daerah Sulawesi

46

Selatan pada umumnya dan di Kabupaten Sinjai pada khususnya, tepatnya di

Karampuang. Mappaddekko merupakan salah satu jenis musik tradisional yang

secara turun temurun digemari oleh masyarakat Karampuang.

Berbicara tentang keberadaan pertunjukan Mappaddekko, Mappaddekko

merupakan adat nenek moyang yang sekarang masih dilaksanakan setiap panen

raya tiba yang menunjukkan rasa syukur terhadap leluhurnya. Hal ini sudah tak

lazim lagi untuk masyarakat Desa Tompobulu akan pertunjukan tersebut

karena dilaksanakan setiap satu kali setahun. Pelaksanaan Mappaddekko dalam

upacara menyambut hasil panen mempunyai peranan penting sebagai sarana

upacara sakral yang menghadirkan daya magis, kemujaraban, menambah

kesakralan atau kehikmatan upacara sebagai tanda syukur kepada Tuhan dan

leluhurnya karena mendapat rahmat dengan hasil panennya.

Alasan utama melaksanakan kegiatan Mappaddekko yaitu adanya pesan

leluhur yang mengatakan bahwa apabila tidak menjalankan ritual maka akan

dipercaya bahwa apa yang diharapkan tidak akan sesuai dengan keinginan dan

penyakit akan merajalela.

Menurut kepercayaan masyarakat setempat, pada masa lalu sebelum

diterapkan sistem mekanisme dibidang pertanian, masyarakat petani masih

menggunakan peralatan yang sangat sederhana, misalnya dalam membajak

sawah hanya dengan menggunakan kerbau, demikian pula ketika usai panen

maka padi tersebut hanya ditumbuk dengan lesung sehingga menjadi beras.

Dalam mengerjakan semua pekerjaan tersebut, juga masih dilakukan secara

gotong royong oleh masyarakat Karampuang.

47

Demikian masyarakat Karampuang apabila selesai melaksanakan panen,

yang biasanya memproses dari biji padi menjadi beras harus ditumbuk dalam

sebuah lesung yang terbuat dari kayu cendana, karena pada saat itu memang

belum mengenal adanya pabrik pengilingan padi, seperti sekarang ini.

Paddekko juga biasa dimainkan pada beberapa suasana, seperti pada saat

gerhana bulan. Bila terjadi gerhana bulan, kepercayaan orang dulu ialah karena

bulan ditelan naga dan untuk melepaskan bulan ditaklukkan dengan bunyi –

bunyian, bunyian ini adalah Paddekko.

Konon pada saat Paddekko dibunyikan, para gadis berlarian mencari

ramuan pedang karena dipercaya akan membuat wajahnya cerah seperti bulan

dan cepat mendapat jodoh. Adapun kepercayaan lainnya, apabila suasana

kemarau berkepanjangan, Paddekko juga biasa dibunyikan pada saat

Maddumpu langi’atau Marumpu langi’, yaitu kerbau dibakar hidup-hidup

diiringi dengan bunyian Paddekko. Dan ketika malam hari ibu – ibu biasanya

menyebar garam ke seluruh penjuru.

Masyarakat Karampuang Desa Tompobulu Kecamatan Buluppoddo.

mempercayai dulu Mappaddekko sebagai sarana permohonan rejeki panen tiba

karena Mappaddekko suatu perwujudan rasa syukur dan rasa gembira terhadap

hasil panen yang melimpah sehingga masyarakat mempertunjukkan

Mappaddekko untuk mengumpulkan masyarakat dan bisa menikmati

kegembiraanya.

Seperti hadirnya pertunjukan Mappaddekkodalam upacara Mapogau

Hanua di Kecamatan Bulupoddo Kabupaten Sinjai. Tertariknya masyarakat

48

dengan musik tersebut, karena bunyi yang dihasilkan sangat merdu sehingga

dapat membawa penonton kesuasana yang sangat takjub, Dengan adanya

paddekko masyarakat Karampuang meyakini bahwa dengan adanya bunyi-

bunyian tersebut maka akan membuat apa yang mereka tanam bisa tumbuh

dengan subur sesuai harapan mereka.

Kemudian paddekko mengalami perubahan menjadi hiburan bagi

masyarakat umum yang datang berkunjung di kawasan adat Karampuang

tersebut. Pukulan alu berfungsi sebagai tanda pemberitaan kepada kerabat dan

masyarakat bahwa di kampung tersebut ada yang mengadakan hajatan.

Oleh karena itu Pertunjukan Mapaddekko sangatlah berperan penting guna

terlaksananya Upacara adat Mapogau Hanua, karenajuga berperan sebagai

sarana atau media apresiasi terhadap budaya lokal bagi masyarakat khususnya

dikalangan remaja dan anak-anak sebagai bentuk pembelajaran mengenai

kesenian rakyat dan musik tradisional. Masyarakat yang datang menyaksikan

pertunjukan Mappaddekko dapat melihat dan belajar bagaimana sejarah, fungsi,

serta pertunjukan Mappaddekko itu sendiri.

Pelaksanaan Pertunjukan Mappaddekko diselenggarakan oleh masyarakat

Karampuang. Pemilihan tempat pelaksanaan pertunjukan Mappaddekko

dilaksanakan di halaman rumah adat Karampuang. Tepatnya didepan pintu

masuk halaman rumah adat bagian depan. Hadirnya Mappaddekko di

masyarakat dalam Upacara Mapogau Hanua, merupakan pusat perhatian bagi

para undangan dan penonton yang menyaksikan acara tersebut. Pada saat

Mappaddekko dimainkan seiring dengan bunyi yang dihasilkan, orang-orang

49

disekitar pertunjukan menonton pertunjukan Mappaddekko dengan serius.

Mappaddekko dalam Upacara Mapogau Hanua merupakan upacara

penjemputan tamu.

Bentuk penyajian Mappaddekkodalam Upacara Mapogau Hanua di Desa

Tompobulu Kecamatan Bulupoddo Kabupaten Sinjai yaitu dengan cara berdiri,

waktu atau durasi pertunjukan kurang lebih 10 menit. Jumlah personil pelaku

pada pertunjukan Mappaddekko yaitu 6 orang. Satu orang laki-laki berada ri

ulunna’ (kepala) lesung dan masing-masing tiga orang berada disamping kanan

dan kiri lesung. Properti yang digunakan pada saat Mappaddekko adalah

Lesung dan Alu. Lesung dan Alu adalah alat yang terbuat dari kayu cendana.

Lesung adalah wadah yang berbentuk cekung sebagai tempat menempa padi,

sedangkan Alu adalah alat yang digunakan menumbuk atau menghancurkan

sesuatu, contohnya: padi, beras, gula dan lain-lain.

Penyajian pertunjukan Mappaddekko sangatlah menarik, mereka bermain

dengan sangat aktraktif dalam mempertunjukkan kebolehan dalam memainkan

instrument musik lesung dan alu. Ekpresi gerak dalam menabuh yang

dihasilkan bisa diumpamakan seperti orang yang berbicara ataumelakukan

tanya jawab karena gerakan lincah dan aktif serta cara menabuh yang saling

berbalas-balasan.

Dalam memainkan alat musik Mappaddekko ada tiga jenis tabuhan lesung

yaitu : 1. Mappadudu’yaitu bagian ini ada 2 orang pemain menumbuk lesung

dengan cara satu kali menumbuk lesung secara berulang-ulang, dengan

susunan, perempuan dibagi menjadi dua saling berhadapan, masing-masing 2

50

orang dibagian kanan dan kiri lesung. 2. Makkumba’, pada bagian ini ada 2

orang pemain menumbuk lesung dengan cara 3 kali tumbukan pada lesung

secara berulang-ulang, dengan susunan, 3 orang dibagian kanan lesung. 3.

Mangolai’, pada bagian ini ada satu orang pemain menggunakan 2 alu

menumbuk lesung dengan cara 3 kali tumbukan pada lesung secara berulang-

ulang, tumbukan ini bisa berubah ketukannya, tergantung pemain.

Pada saat memainkan Mappaddekko posisi tangan kanan diatas dan

posisi tangan kiri dibawah, tangan kanan dan tangan kiri masing-masing

mempunyai bagian nada yang ditabuh pada saat memainkan paddekko. Kostum

yang digunakan pada setiap pementasan menggunakan kostum yang mereka

masing-masing miliki. Namun, kostum yang digunakan dalam acara Upacara

Mapogau Hanua, bagi laki-laki menggunakanbaju bate’ (baju batik), celana

kain biasa dan penutup kepala (songko’). Adapun bagi perempuan memakai

baju bodo warnamerah dan biru serta sarung yang digunakan yakni Lipa bate’

(sarung batik).

Pada saat pertunjukan Mappaddekko masih berlangsung, puluhan orang

bahkan ribuan bergegas menuju rumah adat Gella. Semua warga berbondong-

bondong menuju ke rumah adat Karampuang, karena ini pesta kampung, maka

semua orang bisa naik dan masuk ke rumah adat, tapi pengunjung harus antri

dan bersabar karena ratusan bahkan ribuan pengunjung yang datang berlomba-

lomba ingin masuk ke rumah adat tersebut. Di dalam rumah adat sudah

disajikan hidangan khas Karampuang yang sudah disiapkan sebelumnya sambil

melaksanakan acara ritual mattuli, yakni pemberian berkah untuk menyambut

51

kehadiran sang padi yang telah dipanen oleh kaum petani. Tiga macam hasil

panen yakni beras hitam, merah dan putih dipajang sambil diiringi dengan

tabuhan Gendrang Sandro.Ritual ini dipimpin oleh sandro.

Usai ritual mattuli digelar, ribuan orang berdesak-desakan segera bersiap-

siapkan menre’ri bulu atau naik kepuncak gunung. Acara inilah yang ditunggu-

tunggu oleh puluhan bahkan ribuan masyarakat. Tokoh adat dan semua warga

meninggalkan rumah adat menuju lokasi puncak ritual yakni dipuncak gunung.

Perjalanan menuju ke puncak bukit Karampuang. Sementara di kaki bukit,

sebelum naik bersama, seorang  tokoh adat wanita yang disebut Sandro terlebih

dahulu memukul batu bertuah sebanyak tujuh kali. Saat itulah warga

diharapkan tertib dan tenang saat mendaki gunung. Didahului oleh pembawa

perangkat adat.seluruh bahan upacara kemudian diarak menuju puncak gunung

dan langsung menuju suatu tempat khusus yang disebut Emba atau dalam

bahasa Arkeologi disebut batu gelang. Sampai di puncak bukit, dimana ada

sedikit dataran dengan kontur tanah dan ada beberapa bagian tertutupi batu.

Puncak bukit berbatu dan disitulah nanti prosesi sesungguhnya akan

berlangsung. Sebelum sampai di dataran dengan kontur berbatu tersebut,

beberapa meter sebelumnya, kami diminta untuk membuka alas kaki. Menurut

warga, ini sudah aturan adat. Prosesi adat sesungguhnya pun dimulai, Sanro

meminta warga masyarakat yang membawa persembahan, seperti kambing,

ayam, hasil bumi,dll diminta untuk mendekat. Ada lingkaran batu, dengan

naungan kain putih diatasnya, tempat Sanro melakukan prosesi ini. Warga pun

menyimpan persembahan yang mereka bawa di sekitar lingkaran batu itu.Tak

52

ada ribut-ribut, hening, semua dilakukan dengan tenang. Setelah ritual adat

berlangsung, ayam dan kambing yang merupakan bentuk persembahan atau

ungkapan rasa syukur atas hasil panen yang cukup melimpah, kemudian

dilepas dan menjadi rebutan warga masyarakat yang hadir.

Perjalanan menuruni bukit tak terasa, dan ternyata ada beberapa spot

menarik yang bernilai sejarah dan budaya cukup tinggi tentunya yang dilalui,

akibat ketergasan menuju puncak bukit. Beberapa diantaranya adalah, sumur

tua, yang biasanya digunakan warga untuk memandikan bayi dan anak2

mereka.Ada juga beberapa peninggalan zaman batu besar atau megalitikum

(selain di puncak bukit). Hal tersebut menjadi kesimpulan karena batu-batu

yang ada memiliki ukuran yang cukup besar.

Demikian uraian tentang bentuk gerak pertunjukan, teknik menumbuk

lesung,unsur pendukung dan kaitannya dalam pertunjukan Mappaddekkodi

Karampuang Kecamatan Bulupoddo Kabupaten Sinjai dalam upacara

Mapogau Hanua yang berfungsi sebagai musik hiburan, sosial, apresiasi,

ekspresi yang cukup digemari oleh masyarakat Kecamatan Bulupoddo

Kabupaten Sinjai.

53

BAB V

P E N U T U P

A. Kesimpulan

Dari beberapa penjelasan pada bab-bab sebelumnya, maka penulis dapat

menyimpulkan:

1. Latar belakangkeberadaan pertunjukan Mappaddekko dalam Upacara

Mapogau Hanua masyarakat bugis Karampuang Sinjai adanya pesan

leluhurnya megatakan bahwa apabila tidak mejalankan ritual maka “tenna

solong waede, tenna loloang raung kaju lele saie” yang artinya bahwa air

takkan mengalir, daun-daun tak akan menghijau, penyakit akan merajalela.

Keberadaan musik Mappaddekko semakin hari semakin hilang di masyarakat

karena perkembangan zaman. Pertunjukan ini bisa ditiadakan dalam

upacaraMapogau Hanua, hanya saja dengan adanya bunyi-bunyian tersebut

upacara ritual naik ke puncak gunung berlangsung dengan meriah. Olehnya

itu, Keberadaan pertunjukan Mappaddekko dalam Upacara Mapogau Hanua

merupakan sarana hiburan karena menurut kepercayaan mereka bahwa musik

ini dapat mengantar kesuasana yang lebih konduktif ketika dimainkan, juga

sebagai sarana sosial dalam suatu upacara karena musik ini merupakan media

silaturahmi ketika mulai dilaksanakannya suatu upacara, dan ini juga

dipercaya akan membuat apa yang mereka tanam bisa tumbuh dan sesuai

harapan.

58

54

2. Pada bentuk penyajian pertunjukan yakni dengan cara berdiri. Pertunjukan

Mappaddekko merupakan tradisi penyambutan tamu yang berfungsi untuk

mengumpulkan massa. Personilnya berjumlah 6 orang, di mana satu pemain

sebagai ulunna’ (kepala) lesung dan dua pemain berada disamping kanan dan

3 orang disamping kiri lesung. Dalam memainkan musik Mappaddekko

diperlukan kecermatan dan kepiawaian. Sebelum menabuh alat tersebut ada

tiga cara menumbuk yang biasa dilakukan yaitu: mappadudu’, makkumba’,

dan mangolai. Pemain harus memegang kayu (alat menabuh) dengan memakai

tangan kanan dan kiri dengan posisi yang benar sehingga kayu pada saat

dipegangnya itu kuat dan tidak gampang terlepas pada saat memainkan

paddekko.

Kostum yang digunakan pada setiap pementasan, bagi laki-laki mereka

menggunakan kostum biasa yang mereka miliki, antara lain baju jas licin, lipa

sa’beyang berwarna merah, dan songko’ (penutup kepala), dan sarung yang

mereka gunakan yakni sarung sabbe (sarung sutra) dan bagi perempuan

menggunakan baju tokko dan sarung bate’ (sarung batik).

Acara menre’ri bulu merupakan kegiatan dimana Upacara Mapogau

Hanua sesungguhnya guna melepaskan nasar dan mengenang kembali

penguburan mallajang.

B. Saran

Diharapkan pemerintah lebih memperhatikan komunitas adat

Karampuang terkhusus bagi instansi Pariwisata untuk lebih menggali

menambah dan menyajikan data informasi tentang seluruh ritual-ritual adat

55

masyarakat Karampuang supaya lebih bisa terpublikasikan secara meluas,

jangan hanya menyajikan data yang hanya terulang-ulang saja dari tahun ke

tahun, dimana datanya hanya tentang event terbesarnya saja yaitu Mapogau

Hanua dan rumah adatnya padahal masih banyak objek kajian lain yang unik

dan menunggu untuk digali lebih lanjut. Pemerintah dapat memerankan diri

menjadi fasilitator untuk membukakan ruang bagi komunitas ini agar tetap

bisa mengekspresikan keyakinan dan tradisi budaya mereka.

56

DAFTAR PUSTAKA

A. Sumber Tercetak

Agussalim, Andi A. J, 1998. Pertunjukan Musik Padendang Ogi dalam Upacara Ritual Mappaleppe' Tinja' Masyarakat Bugis Wajo Sulawesi Selatan. Yogyakarta: Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada Yogtakarta

Ali, Lukman, 1981. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka

Anonim. (1998). Garis - garis Besar Haluan Negara. Jakarta: Sinar Grafika Indonesia.

Arifin M. A, 1992, Pengertian seni Musik dalam Sejarah Perkembangannya. Makassar

Bastomi, Suwaji. 1992. Wawasan Seni. Semarang : IKIP Semarang press

Hadi, Y. S. (2006). Seni Dalam Ritual Agama. Yogyakarta.

Latief, H. (1996). Studi Eksploratif Aerofon Alat Musik Tradisional Sulawesi Selatan. Ujung Pandang.

Manda, Darman. 2007. Komunitas Adat Karampuang. Makassar

Muhannis. 2009. Karampuang dan Bunga Rampai Sinjai. Yogyakarta

Murgiyanto, Sal, 2004. Tradisi dan inovasi, Jakarta Wedatama Widya Sastra

Monoharto, G. (2003). Seni tradisional sulawesi selatan. Makassar.

Nalan, A. S. (1994). Aspek Manusia dalam Seni Pertunjukan . Bandung.

Nursantara, Y. (2006). Seni Budaya untuk SMA kelas X. Jakarta : Erlannga.

Padindang, ( 2003). Permainan Rakyat Sulawesi Selatan.Makassar: Lamacca press

Prastowo, Andi. 2011. Metodogi Penelitian Kualitatif dalam Perspektif

Prof. Dr. J.S. Badudu, P. S. (1994). Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta.Rancangan Penelitian.

Rahayu, Supanggah. 1995, Seni Pertunjukan Indonesia, Yogyakarta : Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia ( MSPI )

57

Satori, Djam’an. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung

Sugono, Dendy. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional

Sukarya Y. 1982, Pengetahuan Dasar Musik. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Sumiani HL, Niniek 2004. Pakarena dalam pesta Jaga, Makassar: Padat Raya

Soedarsono, R. (1999). Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi. Jakarta.

Widiawati, 2000. Upacara Tammu Taung Sebagai salah satu Bentuk Ungkapan Seni Di Desa Benteng Somba Opu Kecamatan Palangga Kabupaten Gowa, Ujung Pandang : Skripsi IKIP Ujung Pandang

B. Sumber Tak Tercetak

Abidin Zainal, 2009. Ribuan Warga Hadiri Pesta Adat Karampuang Sinjai. http:// Ribuan Warga Hadiri Pesta Adat Karampuang Sinjai _ HOKI _ Harian Online KabarIndonesia.htm). Diakses pada tanggal 22 September 2013. Makassar

Anwar Muhammad. Dyastiningrum 2009 Antropologi Kelas XII, Jakarta: pusat perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional. Di akses pada tanggal

Jalius, 2009. Pengertian Tradisi , http://jalius 12. Wordpres.com/2009/10/06/tradisional). Jalius HR . Pengertian Tradional Di Akses pada tanggal tanggal 27 Oktober 2013 Makassar.

Muh. Jafar, 2009. Mappaddekko, http:// SIPAKATAU _ Mappaddekko.htm). DiAkses pada tanggal 22 September 2013. Makassar

Ronalyw, 2013. Warga Karampuang Gelar Mappogau Sihanua, http:// Warga Karampuang Gelar Mappogau Sihanua _ Berita Kota Makassar.htm. Di Akses pada tanggal 12 Februari 2014. Makassar

58

59

Lampiran 1

Gambar 1.Peta Administrasi Kabupaten Sinjai

60

Biodata Narasumber

Gambar 1.1. Narasumber 1(Dokumentasi Rifqah, 23 Januari Karampuang 2014)

1. Nama : P.Mangga

2. Umur : 45 Tahun

3. Pekerjaan : Petani

4. Keterangan : Gella (Perdana Menteri

Karampuang)

61

Gambar 1.2. Narasumber 2(Dokumentasi Rifqah, 23 Januari Karampuang 2014)

2. Nama : Drs. Muhannis

Umur : 54 Tahun

Pekerjaan : Kepala Sekolah SMAN.1 Sinjai Timur

Keterangan : Budayawan

62

Gambar 1.3. Narasumber 3(Dokumentasi Rifqah, 23 Januari Karampuang 2014)

1. Nama : Haris

2. Umur : 33 Tahun

3. Pekerjaan : LPM di Desa TompoBulu

4. Keterangan : Juru bicara Gella

63

DOKUMENTASI

Gambar 1.4Proses Mappaddekko

(Dokumentasi Rifqah: Karampuang,28 Oktober 2013)

Gambar 1.5 Tamu undangan yang hadir(Dokumentasi : Rifqah, Karampuang, 28 Oktober 2013)

64

Gambar 1.6Proses Ritual Maddui’

(Dokumentasi Rifqah: Karampuang, 28 Oktober 2014)

Gambar 1.7Proses ritual digattung’di puncak gunung

(Dokumentasi Rifqah: Karampuang, 28 Oktober 2013)

65

Gambar 1.8Proses ritual di embae sebelum menre’ri bulu

(Dokumentasi Rifqah: Karampuang, 28 Oktober 2013)

Gambar 1.9Proses ritual di puncak gunung

(Dokumentasi Rifqah: Karampuang, 28 Oktober 2013)

66

Gambar 2.Wawancara dengan Puang Mangga

(Dokumentasi Rifqah: Karampuang, 24 Januari 2014)

Gambar 2.1Proses wawancara kepada Haris

(Dokumentasi Rifqah: Karampuang, 24 Januari 2014)

67

Gambar 2.2Proses wawancara kepada Pemain Mappaddekko

(Dokumentasi Rifqah: Karampuang, 24 Januari 2014)

Gambar 2.3Proses wawancara kepada Tokoh Masyarakat

(Dokumentasi Rifqah: Karampuang, 24 Januari 2014)

68

Gambar 2.4Foto bersama bapak Drs.Muhannis

(Dokumentasi Rifqah: Sinjai, 24 Januari 2014)

69

Gambar 2.5Foto bersama di depan pintu masuk Kawasan adat Karampuang

(Dokumentasi Rifqah: Karampuang, 2014)

70

BIODATA PENELITI

Rifqah, Lahir di Sinjai Tanggal 01 November

1990. Beliau merupakan buah hati dari

Muh.Shabir dan Syamsiah.L.Anak keempat dari

tujuh bersaudara. Rifqah memulai jenjang

pendidikan di TK.Pertiwi berumur 5 (lima)

tahun, saat berumur 7 tahun, melanjutkan

pendidikan di.SD 27 Tondong Sinjai Timur.

Kemudian saat berumur 12 (duabelas) tahun

melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah

Pertama (SMP) 1 Sinjai Timur.Kemudian pada tahun 2006 melanjutkan

pendidikan di Sekolah Menengah Atas (SMA), mengambil jurusan IPA pada

tahun 2009.Di tahun yang sama kemudian melanjutkan pendidikan di Universitas

Negeri Makassar (UNM) pada Fakultas Seni dan Desain, program studi

Pendidikan Sendratasik. Atas berkah dari Sang Khaliq dan perjuangan serta kerja

keras, maka peneliti telah berhasil menyelesaikan penelitian karya ilmiah dengan

judul “Pertunjukan Mappaddekko dalam Upacara Mapogau Hanua

Masyarakat Bugis Karampuang Sinjai”.