ricky
DESCRIPTION
sdscTRANSCRIPT
Penyakit Paru Obstruktif Kronis pada Orang Dewasa
Ricky Suryamin*
102012141
Mahasiswa Fakultas Kedokteran UKRIDA
Alamat Korespondensi: Jl.Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510
e-mail: [email protected]
Pendahuluan
Indonesia merupakan salah satu negara dengan populasi terpadat di dunia. Dengan populasi
yang banyak, rakyat Indonesia banyak mengalami masalah-masalah kesehatan, salah satunya
penyakit pernapasan. Polusi udara, asap rokok, pajanan terhadap bahan-bahan yang
berhubungan dengan pekerjaan dapat menyebabkan gangguan pernapasan pada manusia.
salah satu penyakit pernapasan yang ada adalah penyakit paru obstruktif kronis (PPOK).
PPOK merupakan penyakit paru dimana terjadi sumbatan pada jalan napas yang berlangsung
lama. Terdiri dari empat penyakit yaitu asma bronkialee, bronkiektasis, emfisema, dan
bronkitis kronis. Pada tinjauan pustaka ini penulis akan menjelaskan PPOK.
Anamnesis
Dalam anamnesis yang pertama kita tanyakan adaalah identitas pasien, kita dapat
menannyakan nama, umur, alamat, dan pekerjaan. Kemudian kita menanyakan keluhan
utama yang membuat pasien tersebut datang ke dokter. Dalam kasus pasien tersebut pernah
mengalami sesak nafas dan memberat jika beraktifitas berat dan bila sedang demam dan
batuk. Namun dalam lima jam terakhir pasien mengalami sesak nafas yang terus menerus dan
memberat. Sudah tiga jari pasien batuk berdahak warna putih tanpa disertai demam. Passien
juga mengatakan bahwa dia merokok sejak usia 30 tahun sebanyak 1-2 bungkus/hari. Selain
itu kita juga menanyakan apakah pasien pernah berobat sebelumnya, pernah meminum obat,
dan juga bisa ditanyakan apakah ada keluarga yang mengalami keluhan yang serupa.
1
Kemudian lingkungan rumah pasien apakah berdebu atau tidak bersih. Skala sesak nafas
pasien juga harus diperhatikan untuk penanganan lebih lanjut.
Skala Arti Skala
Skala 0 Tidak ada sesak kecuali dengan aktivitas berat
Skala 1 Sesak mulai timbul bila berjalan cepat atau naik tangga satu
tingkat
Skala 2 Berjalan lebih lambat karena merasa sesak
Skala 3 Sesak timbul bila berjalan 100 m atau setelah beberapa menit
Skala 4 Sesak bila mandi atau berpakaian
Tabel 1. Skala Sesak Nafas.
Setelah melakukan anamnesis maka dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik. Pada pasien
dengan gangguan pernapasan perlu diketahui status tanda-tanda vital pasien, pemeriksaan
paru meliputi inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi. Tekanan darah, temperatur, frekuensi
nadi dan frekuensi napas menentukan tingkat keparahan penyakit. Seorang pasien dengan
sesak napas dengan tanda-tanda vital normal biasanya hanya menderita penyakit kronik atau
ringan, sementara pasien yang memperlihatkan adanya perubahan nyata pada tanda-tanda
vital biasanya menderita gangguan akut yang memerlukan evaluasi dan pengobatan segera.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 120/70, denyut nadi 100, pernapasan
30(lebih cepat dari normal), suhu 36o, keadaan umum sakit sedang, compos mentis,
konjungtiva tidak anemis, suara paru vesikuler wheezing(+), ronhi basah kasar, terdapat
sianosis di jari-jari tangan, vokal fremitus (+).
Bronkopneumonia
Bronkopneumonia ditandai oleh bercak-bercak konsolidasi eksudatif pada parenkim
paru; stafilokokus, pneumokokus, haemofilus, pseudomonas dan bakteri koliformis
merupakan agen penyebab yang paling sering ditemukan. Secara makroskopik, paru-paru
memperlihatkan daerah konsolidasi dan supurasi yang terdispersi, menonjol, bersifat fokal
serta dapat diraba. Secara histologik terlihat eksudaasi supuratif akut yang mengisi saluran
2
napas serta rongga udara, dan biasanya di sekitar bronkus serta bronkiolus. Resolusi eksudat
biasanya akan memulihan struktur paru yang normal, tetapi pemilihan disertai pembentukan
jaringan parut fibrosa dapat terjadi, atau penyakit agresif dapat menghasilkan abses
Kriteria diagnosis
- Sesak nafas disertai dengan pernafasan cuping hidung dan tarikan dinding dada
- Panas badan
- Ronkhi basah halus-sedang nyaring(crackles)
- Foto thorax menunjukan gambaran infiltrat difus
- Leukositosis (pada virus ti dak melebihi 20.000, dan bakteri 15000-40.000)
Bronkietaksis
Bronkiektasis merupakan infeksi kronik dengan nekrosis pada bronkus dan bronkiolus
yang menyebabkan dilatasi permanen yang abnormal pada saluran napas ini.1 Bronkiektasis
juga dapat dikatakan adalah kelainan morfologis yang terdiri dari; pelebaran bronkus yang
abnormal dan menetap disebabkan kerusakan komponen elastis dan muskular dinding
bronkus. Bronkiektasis diklasifikasikan dalam bronkiektasis silindris, fusiform, dan kistik
atau sakular.
Tanda dan gejala dari penyakit bronkiektasis sangat beragam, sebagian tanpa gejala atau
tanda sama sekali.2 Gambaran klinisnya secara umum meliputi batuk-batuk, demam dan
produksi sputum purulen yang berlebihan. Berdasarkan gejalanya, bronkiektasis dapat
dikelompokkan menjadi :
1. Batuk
Hemoptisis mempunyai ciri antara lain batuk produktif berlangsung kronik,
jumlah sputum bervariasi, umumnya jumlahnya banyak pada pagi hari sesudah
ada posisi tidur atau bangun dari tidur.3 Sputum terdiri atas tiga lapisan :
a. Lapisan teratas agak keruh, terdiri atas mukus
b. Lapisan tengah jernih terdiri atas saliva
c. Lapisan terbawah keruh, terdiri atas nanah dan jaringan nekrosis dari bronkus
yang rusak
2. Hemoptisis
Terjadi akibat nekrosis atau dekstruksi mukosa bronkus mengenai pembuluh
darah (pecah) dan timbul pendarahan.3
3
3. Sesak napas (dispnea)
Timbulnya sesak napas tergantung pada luasnya bronkiektasis, kadang-kadang
menimbulkan suara mengi akibat adanya obstruksi bronkus.3
4. Demam berulang
Bronkiektasis merupakan penyakit yang berjalan kronik, sering mengalami infeksi
berulang pada bronkus maupun pada paru, sehingga sering timbul demam (demam
berulang).3
5. Kelainan fisis, seperti:3
a. Sianosis
b. Jari tabuh (Clubbing Finger)
c. Ronki basah
d. Wheezing
Asma Bronkiale
Asma bronkiale adalah satu hiper-reaksi dari bronkus dan trakea yang mengakibatkan
penyempitan saluran napas yang bersifat reversible.4 Asma ini merupakan kelainan inflamasi
kronik yang kambuhan ini ditandai oleh serangan bronkospasme yang paroksismal tapi
reversibel pada saluran napas trakeobronkial; serangan ini disebabkan oleh hiper-reaktivitas
otot polos.5
Terjadinya serangan asma tidak terduga dan bisa terjadi kapan saja, terutama diperkirakan
jika terkena alergen dan lingkungan pemicu.2 Sebenarnya penyebab pasti asma bronkialee
masih belum diketahui secara pasti. Penyakit asma dapat dipilah menurut intensitas klinik,
respon terhadap terapi dan agen pemicunya. Asma bronkiale merupakan penyakit respiratorik
kronik yang tersering dijumpai pada anak. Asma dapat muncul pada usia berapa saja, mulai
dari balita, prasekolah, sekolah atau remaja. Prevalensi di dunia berkisar antara 4-30%,
sedangkan di Indonesia sekitar 10% pada anak usia sekolah dasar dan 6,7% pada anak usia
sekolah menengah.
Sebanyak 10-15% anak laki-laki dan 7-10% anak wanita dapat menderita asma pada
suatu saat selama masa kanak-kanak. Sebelum pubertas sekitar dua kali anak laki-laki yang
lebih banyak terkena daripada anak wanita, setelah itu insiden menurut jenis kelamin sama.
Gejala-gejala dari penyakit asma bronkiale, antara lain sebagai berikut:
4
1. Sesak napas yang diikuti suara mengi.
2. Pada umumnya disertai batuk dengan dahak yang lengket dan kental.
3. Gelisah dan cemas.
4. Napas terengah-engah akibat kejang dan rasa berat pada dada.
5. Sulit untuk berbicara.
Bronkitis Kronik
Bronkhitis kronik adalah keadaan yang berkaitan dengan produksi mukus trakeobronkiale
yang berlebihan sehingga cukup untuk menimbulkan batuk dengan ekspetorasi sedikitnya 3
bulan dalam setahun untuk lebih dari 2 tahun secara berturut-turut. Terdapat beberapa
subklasifikasi, diantaranya bronkitis kronik simpleks, bronkitis mukopurulen kronik, dan
bronkitis kronik dengan obstruksi. Bronkitis kronik simpleks menjelaskan suatu keadaan
yang ditandai dengan pembentukan sputum mukoil. Bronkitis mukopurulen kronik ditandai
dengan sputum purulent yang persisten maupun berulang pada keadaan tidak
ditemukannyapenyakit supuratif setempat seperti bronkiektasis. Karena mungkin ada dan
mungkin juga tidak ditemukan obstruksi yang dinilai dengan penggunaan maneuver kapasitas
vital ekspirasi paksa (force expiration capacity, FEC), bronkitis kronik dengan obstruksi
memerlukan klasifikasi yang terpisah. Selanjutnya ditemukan kelompok pasien dengan
bronkitis kronik dan obstruksi yang mengalami dyspnea berat dan mengi, berkaitan dengan
iritan yang terhirup atau sewaktu infeksi pernapasan akut. Pasien seperti ini disebut menderita
asma infektif kronik atau bronkitis asmatik kronik. Karena obstruksi jalan napas dapat pulih
kembali walau tidak menyeluruh melalui terapi bronkodilator dan pengurangan inflamasi dan
karena hiperresponsif jalan napas terhadap rangsangan nonspesifik dapat dijumpai pada
kelompok pasien ini, keraguan ditemukan pada pasien keadaan ini dengan pasien asma yang
juga mengalami obstruksi jalan napas kronik. Perbedaan didasarkan terutama pada riwayat
perjalanan penyakit. Pasien dengan bronkitis asmatik kronik memiliki riwayat batuk lama dan
pembentukan sputum dengan awitan selanjutnya yaitu mengi , sedangkan pasien asma
dengan obstruksi kronik memiliki riwayat mengi yang lama dan awitan selanjutnya yaitu
batuk produktif kronik.6,7
Berdasarkan semua survey, laki-laki lebih sering menderita dibandingkan perempuan. Akan
tetapi, dengan meningkatnya jumlah perokok perempuan, prevalensi bronkitis pada kelompok
perempuan meningkat. Walaupun perokok merupakan faktor etiologi tunggal yang paling
5
penting, pemajanan akibat kerja dan lingkungan sekarang ini cukup banyak, terutama sebagai
unsur penambah bagi efek yang ditimbulkan oleh merokok.
Pada bronkitis kronis biasanya mempunyai riwayat batuk dan produksi sputum yang
mengesankan serta sudah berlangsung bertahun-tahun dengan kebiasaan merokok yang
cukup berat. Pada mulanya batuk hanya terjadi di musim dingin dan pasien cenderung untuk
minta pertolongan dokter paling tidak pada saat sering terdapat relaps mukopurulen yang
semakin berat. Dalam beberapa tahun, gejala batuk berlanjut dari hibernal menajdi perennial
dan frekuensi, durasi serta intensitas relaps mukopurulen semakin bertambah. Setelah mulai
mengalami gejala dyspnea pengerahan tenaga, pasien sering mencari pertolongan dokter dan
derajat obstruksi paru yang cukup berat akan ditemukan dalam keadaan ini. Kadang-kadang
pasien tersebut akan memeriksakan dirinya ke dokter sesudah timbulnya edema perifer yang
terjadi sekunder akibat gagal ventrikel kanan yang nyata. Lebih jarang lagi, kontak medis
yang pertama terjadi atas inisiatif keluarga yang membawa pasien dengan gejala sianosis
berat, edema dan dalam keadaan stupor yang menyertai insufisiensi respirasi akut.
Pasien ini seringkali memiliki berat badan berlebih dan tampak sianotik. Biasanya pada saat
istirahat tidak terlihat gangguan, frekuensi pernapasan tampak normal atau hanya sedikit
meningkat dan juga tidak dijumpai penggunaan otot-otot aksesorius. Perkusi dada akan
memberikan suara sonor yang normal dan dengan auskultasi, kita biasanya dapat mendengar
suara ronki kasar serta mengi yang lokasi dan intensitasnya berubah-ubah setelah batuk yang
dalam serta produktif. Pulsasi yang menetap mungkin terlihat di sepanjang margo sternalis
kiri bawah yang menunjukkan hipertrofi ventrikel kanan. Dengan adanya gagal ventrikel
kanan kerapkali terdengar irama gallop diastolik yang dini dan kadang-kadang bising
holosistolik yang keduanya bertambah jelas pada saat inspirasi. Bising yang disebutkan
terakhir ini merupakan petunjuk adanya regurgitasi fungsional tricuspid yang sering disertai
dengan distensi pembuluh vena leher. Dengan terdapatnya gagal ventrikel kanan, gejala
sianosis makin bertambah dan edema perifer semakin nyata. Desaturasi serta eritrositosis
secara bersama-sama akan menyebabkan sianosis dan vasokonstriksi pulmonal yang hipoksik
dan menambah berat gagal jantung kanan. Karena sianosis dan edema yang terjadi sekunder
akibat gagal jantung, pasien tersebut pernah disebut “blue bloaters”. Blue bloaters terjadi
akibat serangan berulang desaturasi oksigen nokturnal yang berat dengan disertai serangan
apnea waktu tidur atau periode hipoventilasi yang bertambah buruk. Kejadian respirasi yang
6
berhubungan dengan tidur semacam itu akan memperberat derajat hipertensi pulmonal dan
eritropoiesis sekunder.6,7
Emfisema
Emfisema adalah keadaan paru yang ditandai oleh pembesaran abnormal menetap ruang
udara di sebelah distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding-dindingnya tanpa
fibrosis yang nyata.8
Gejala penyakit emfisema kebanyakan orang dengan menderita penyakit ini adalah pria yang
sudah berumur >50 tahun, yang telah menjadi perokok berat untuk sebagian besar hidup
mereka. Namun, sekarang yang merokok bukanlah hanya para pria saja, wanita juga sudah
banyak yang merokok. Dari sinilah penyakit ini dapat menyerang pada wanita juga.
Perkembangan pada penyakit Emfisema bisa dikatakan sangat lambat. Karena biasanya
penderita akan merasakan sesak napas selama kegiatan atau latihan, dan alasan inilah yang
mendorong seseorang datang ke dokter untuk melakukan konsultasi. Emfisema datang secara
bertahap biasanya setelah penderita merokok selama bertahun-tahun, penyakit ini baru dapat
dirasakan. Jika sudah semakin buruk, ketika penderita melakukan hal kecil maka akan
mengalami sesak nafas yang cukup hebat.
Terdapat beberapa faktor yang dapat menyebebkan terjadinya PPOK, baik faktor eksogen
(dalam hal ini lingkungan) maupun faktor endogen (dalam hal ini faktor host atau faktor dari
penderita sendiri).
Faktor Lingkungan :
Merokok
Asap tembakau
Polisi udara di tempat kerja atau di dalam kota
Faktor Host : 4,5
1. Genetik
Karena defisiensi alfa 1 antitripsin. Suatu kelainan herediter yang jarang
ditemukan.ini merupakan predisposisi untuk berkembangnya PPOK dini. Alfa 1
7
antitripsin ini merupakan sejenis protein tubuh yang diproduksi oleh hati, dimana
berfungsi dalam melindungi paru-paru dari kerusakan. Enzim ini juga berfubgsi untuk
menetralkan tripsin yang berasal dari rokok. Jika enzin ini rendah sedangkan asupan
rokok tinggi maka akan mengganggu system kerja enzim tersebut, yang bisa
mengakibatkan infeksi saluran pernapasan. Defisiensi enzim ini menyebabkan
emfisema pada usia muda, yaitu pada mereka yang tidak merokok (onsetnya sekitar
usia 53 tahun) dan bagi mereka yang merokok sekitar 40 tahun.
2. Hipereaktifitas Bronkus
Asma dan hiperaktivitas bronkus saluran napas merupakan faktor resiko yang
memberi andil timbulnya PPOK. Apabila ditambah dengan faktor merokok maka
akan lebih meningkatkan resiko untuk menderira PPOK disertai dengan penurunan
fungsi dari paru-paru yang drastis. Hipereaktivitas dari bronkus juga dapat terjadi
akibat dari peradangan pada saluran napas atas.
Pemeriksaan fisik pada pasien yang menderita PPOK sebagai berikut:
1) Inspeksi
a) Bentuk dada: barrel chest (dada seperti tong)
b) Terdapat cara bernapas purse lips breathing (seperti orang meniup)
c) Terlihat penggunaan dan hipertrofi (pembesaran) otot bantu napas
d) Pelebaran sela iga
2) Perkusi
a) Ditemukan suara hipersonor
3) Palpasi
a) Pada umumnya normal jarang sekali ditemukan pembesaran organ-organ.
4) Auskultasi
b) Fremitus melemah,
c) Suara napas vesikuler melemah atau normal
d) Ekspirasi memanjang
e) Mengi (biasanya timbul pada eksaserbasi)
f) Ronki
8
Pemeriksaan Penunjang
Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk membantu menegakan
diagnosis, antara lain :2,9
1) Tes Fungsi Paru
PPOK ditegakkan dengan spirometri, yang menunjukkan volume ekspirasi paksa dalam 1
detik < 80% nilai yang diperkirakan, dan rasio FEV1 : kapasitas vital paksa < 70 %. Laju
aliran ekspirasi puncak menurun. Obstruksi saluran napas hanya reversible sebagian bila
diterapi dengan bronkodilator (atau obat lain).
2) Uji bronkodilator
Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada dapat menggunakan APE
meter. Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20 menit
kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE < 20%
nilai awal dan < 200 ml.
3) Pemeriksaan Radiologi (Foto Thorax)
Meskipun kadang-kadang hasil pemeriksaan radiologis masih normal pada PPOK ringan
tetapi pemeriksaan radiologis ini berfungsi juga untuk menyingkirkan diagnosis penyakit
paru lainnya atau menyingkirkan diagnosis banding dari keluhan pasien. Seperti : 5-6
a) Pada bronkitis kronis, foto thoraks memperlihatkan tubular shadow berupa bayangan
garis-garis yang paralel keluar dari hilus menuju apeks paru dan corakan paru yang
bertambah.
b) Pada emfisema, foto thoraks menunjukkan adanya hiperinflasi dengan gambaran
diafragma yang rendah dan mendatar, penciutan pembuluh darah pulmonal, serta
gambaran jantung tampak lebih kecil (jantung menggantung : Jantung pendulum / tear
drop / eye drop appearance.)
4) Analisis Gas Darah
Harus dilakukan apanila ada kecurigaan gagal napas dan gagal napas akut pada gagal
napas kronik.
5) Computed Tomography
Dengan cara menggunakan computer olahan sinar X untuk menghasilkan gambar
tomografi atau potongan dari daerah tertentu pada tubuh. Computed Tomography ini
digunakan untuk tujuan diagnostik dan terapi. Dengan bantuan computed tomography ini
kita dapat memastikan adanya bula emfisematosa.
9
6) Uji Provokasi Bronkus
Untuk menilai derajat hipereaktivitas bronkus, pada sebagian kecil PPOK terdapat
hipereaktiviti bronkus derajat ringan.
7) Mikrobiologi Sputum
Digunakan untuk pemilihan antibiotoka (bila terjadi eksaserbasi).
Karakteristik PPOK adalah keradangan kronis mulai dari saluran napas, parenkim paru
sampai struktur vaskuler pulmonal. Diberbagai bagian paru dijumpai peningkatan makrofag,
limfosit T (terutama CD8) dan neutrofil. Sel-sel radang yang teraktivasi akan mengeluarkan
berbagai mediator seperti leukotrien B4, IL8, TNF yang dapat merusak struktur paru dan atau
mempertahankan inflamasi neutrofilik. Disamping inflamasi ada 2 proses lain yang juga
penting yaitu; imbalance proteinase dan anti proteinase di paru dan stres oksidatif. 4,5
Perubahan patologis yang khas dari PPOK dijumpai disaluran napas besar (central
airway), saluran napas kecil (peripheral airway), parenkim paru dan vaskuler pulmonal. Pada
saluran napas besar dijumpai infiltrasi sel-sel radang pada permukaan epitel. Kelenjar-
kelenjar yang mensekresi mukus membesar dan jumlah sel goblet meningkat. Kelainan ini
menyebabkan hipersekresi bronkus. Pada saluran napas kecil terjadi inflamasi kronis yang
menyebabkan berulangnya siklus injury dan repair dinding saluran napas. Proses repair ini
akan menghasilkan structural remodeling dari dinding saluran napas dengan peningkatan
kandungan kolagen dan pembentukan jaringan ikat, yang menyebabkan penyempitan lumen
dan obstruksi kronis saluran pernapasan. Pada parenkim paru terjadi destruksi yang khas
terjadi pada emfisema sentrilobuler. Kelainan ini lebih sering dibagian atas pada kasus ringan
, namun bila lanjut bisa terjadi diseluruh lapangan paru dan juga terjadi destruksi pulmonary
capilary bed. Perubahan vaskular pulmonal ditandai oleh penebalan dinding pembuluh
darah ,yang dimulai sejak awal perjalanan ilmiah PPOK. Perubahan struktur yang pertama
kali terjadi adalah penebalan intima diikuti peningkatan otot polos dan infiltrasi dinding
pembuluh darah oleh sel-sel radang. Jika penyakit bertambah lanjut jumlah otot polos,
proteoglikan dan kolagen bertambah sehingga dinding pembuluh darah bertambah tebal.6
Pada pasien PPOK keluhan utamanya adalah sesak nafas dan batuk. Namun ada manisfestasi
lain selain 2 keluhan utama tersebut:
10
Sesak Napas
Timbul progresif secara gradual dalam beberapa tahun. Mula-mula ringan lebih
lanjut akan mengganggu aktivitas sehari-hari. Sesak napas bertambah berat
mendadak menandakan adanya eksaserbasi.
Batuk Kronis
Batuk kronis biasanya berdahak kadang episodik dan memberat waktu pagi hari.
Dahak biasanya mukoid tetapi bertambah purulen bila eksaserbasi.
Wheezing
Kontraksi otot polos, bersama dengan hipersekresi dan retensi mukus
menyebabkan pengurangan kaliper saluran napas dan tuberlensi aliran darah
yang berkepanjangan, yang menimbulkan mengi yang dapat didengar langsung
atau dengan stetoskop. Intesitas mengi tidak berkolerasi baik dengan keparahan
penyempitan saluran napas; contohnya, pada obtruksi saluran napas ektrem,
aliran udara dapat sedemikian berkurang, sehingga mengi mungkin sama sekali
tidak terdengar. Riwayat wheezing tidak jarang ditemukan pada PPOK dan ini
menunjukan komponen reversibel penyakitnya.8
Batuk Darah
Bisa dijumpai terutama waktu eksaserbasi. Asal darah diduga dari saluran napas
yang radang dan khasnya “blood streaked purulen sputum”.
Anoreksia dan berat badan menurun
Penurunan berat badan merupakan tanda progresif jelek.
Penatalaksanaan harus mencakup pemeriksaan dan pengurangan faktor risiko selain
penatalaksanaa PPOK yang stabil maupun eksaserbasi. Harus ada peningkatan bertahap
pada pengobatan sesuai dengan keparahan penyakit, yang bisa dikelompokkan sebagai
berikut (Berdasarkan ketentuan Perkumpulan Dokter Paru Indonesia/PDPI) : 5-7
Stadium 0 (beresiko)
11
Spirometri normal ; Batuk atau sputum kronis
Stadium 1 (ringan)
FEV1 : FVC < 70% ; Perkiraan FEV1 =80 %
Gejala klinis : - dengan atau tanpa gejala
- sesak napas derajat sesak 0 sampai derajat sesak 1
Stadium 2 (sedang)
FEV1 : FVC < 70% ; Perkiraan 30% <FEV1 <80 %
Gejala klinis : - dengan atau tanpa gejala
- sesak napas derajat sesak 2
Stadium 3 (berat)
FEV1 : FVC < 70% ; Perkiraan FEV1 <30 % atau FEV1 < 50 %
Gejala klinis : - Ekserbasi lebih sering terjadi
- sesak napas derajat sesak 3 dan 4 dengan gagal napas kronik
- Disertai dengan komplikasi kor pulmonale atau gagal jantung kanan
Secara umum tata laksana PPOK adalah sebagai berikut:
1. Pemberian obat obatan5-7
a) Bronkodilator
Bronkodilator adalah obat yang mengendurkan otot polos di sekitar saluran udara,
meningkatkan kaliber saluran udara dan meningkatkan aliran udara. Mereka dapat
mengurangi gejala sesak napas, mengi dan pembatasan latihan, sehingga
peningkatan kualitas hidup orang dengan PPOK. Mereka tidak memperlambat
laju perkembangan penyakit yang mendasarinya. Bronchodilators biasanya
diberikan dengan inhaler atau melalui nebulizer. Ada dua jenis utama
bronkodilator, β 2 agonis dan antikolinergik.
Antikolinergik tampaknya unggul β 2 agonis di PPOK. Antikolinergik mengurangi
kematian pernapasan, sementara β 2 agonis tidak berpengaruh pada pernapasan
kematian. Masing-masing jenis dapat berupa long-acting (dengan efek yang
berlangsung 12 jam atau lebih) atau short-acting (dengan onset cepat efek yang
tidak terakhir sebagai panjang). Dianjurkan penggunaan dalam bentuk inhalasi
kecuali pada eksaserbasi digunakan oral atau sistemik.
b) Anti Inflamasi
12
Pilihan utama bentuk metilprednisolon atau prednison. Untuk penggunaan
jangka panjang pada PPOK stabil hanya bila uji steroid positif. Pada
eksaserbasi dapat digunakan dalam bentuk oral atau sistemik.
c) Antibiotik
Tidak dianjurkan penggunaan jangka panjang untuk pencegahan eksaserbasi.
Pilihan antibiotik pada eksaserbasi disesuaikan dengan pola kuman setempat.
d) Mukolitik
Tidak diberikan secara rutin. Hanya digunakan sebagai pengobatan
simtomatik bila tedapat dahak yang lengket dan kental.
e) Antitusif
Diberikan hanya bila terdapat batuk yang sangat mengganggu. Penggunaan
secara rutin merupakan kontraindikasi.
Prognosis
PPOK biasanya secara bertahap semakin memburuk dari waktu ke waktu dan dapat
menyebabkan kematian. Tingkat di mana parahnya bervariasi antara individu.
Komplikasi
Komplikasi yang dapat ditemukan pada pasien PPOK bila tidak tidak ditangani secara
lanjut antara lain:
1. Hipoxemia
Hipoxemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2 kurang dari 55 mmHg,
dengan nilai saturasi Oksigen <85%. Pada awalnya klien akan mengalami perubahan
mood, penurunan konsentrasi dan pelupa. Pada tahap lanjut timbul cyanosis.
2. Asidosis respiratorik
Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2 (hiperkapnia). Tanda yang muncul antara
lain : nyeri kepala, fatique, lethargi, dizzines, tachipnea.
3. Infeksi pernapasan
13
Infeksi pernapasan akut disebabkan karena peningkatan produksi mukus, peningkatan
rangsangan otot polos bronchial dan edema mukosa. Terbatasnya aliran udara akan
meningkatkan kerja napas dan timbulnya dyspnea.
4. Gagal jantung
Terutama kor-pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit paru), harus diobservasi
terutama pada klien dengan dyspnea berat. Komplikasi ini sering kali berhubungan
dengan bronchitis kronis, tetapi klien dengan emfisema berat juga dapat mengalami
masalah ini.
5. Cardiac disritmia
Timbul akibat dari hipoxemia, penyakit jantung lain, efek obat atau asidosis
respiratory.
14
Daftar Pustaka
1. Robbins, Cotran. Buku saku dasar patologis penyakit. Edisi 7. Jakarta: EGC; 2009.h.434-
5.
2. Davey P. At a glance medicine. Jakarta : Erlangga; 2003.h.181-5.
3. Price SA. Patofisiologi : konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi-2 .Jakarta: EGC;
2003.h.689-697.
4. Djojodibroto RD. Respirologi (respiratory medicine). Jakarta:EGC; 2009.h.52-125.
5. McPhee SJ, Ganong WF. Patofisiologi penyakit. Edisi ke-5. Jakarta : EGC; 2007.h.255-9.
6. Sibuea WH, Panggabean MM, Gultom SP. Asma Bronkial. Dalam : Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta: Rineka Cipta; 2005.h.53.
7. Asdie AH. editor. Harrison prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Edisisi ke-13. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2012.h.1347-56.
8. Kumar V, Abbas AK, Fausto N, Mitchell RN. Robbins basic pathology. 8th ed.
Philadelphia: Saunders Elsevier Inc. 2007.h.480-500.
9. Ward JPT, Ward J, Leach RM, Wiener CM. At a glance sistem respirasi. Jakarta:
Erlangga; 2008.h.52-72.
15