rhinosinusitis dhisa

Upload: ryan-resky-andaresta

Post on 05-Apr-2018

237 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 7/31/2019 rhinosinusitis DHISA

    1/34

    BAB 2

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Defenisi Rinosinusitis Kronis

    Rinosinusitis kronis adalah inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasalyang dapat ditegakkan berdasarkan riwayat gejala yang diderita sudah lebih dari12 minggu, dan sesuai dengan 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor ditambah 2kriteria minor (Stankiewicz, 2001; Busquets, 2006; Soetjipto, 2006; Setiadi M,2009).

    Gejala Mayor: nyeri sinus, hidung buntu, ingus purulen, post nasal drip,gangguan penghidu, Sedangkan Gejala Minor: nyeri kepala, nyeri geraham,nyeri telinga, batuk, demam, halitosis. (Judith, 1996; Becker 2003; Soetjipto,2006; Setiadi M, 2009).

    Sesuai anatomi sinus yang terkena, sinusitis dapat dibagi menjadisinusitis maksila, sinusitis etmoid, sinusitis frontal dan sinusitis sfenoid. Bilamengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semuasinus paranasal disebut pansinusitis (Mangunkusumo dan Rifki, 2000).

    Sinusitis yang paling sering ditemukan ialah sinusitis maksila dansinusitis etmoid, sinusitis frontal dan sinusitis sfenoid lebih jarang(Mangunkusumo dan Rifki, 2000).

  • 7/31/2019 rhinosinusitis DHISA

    2/34

    2.2 Anatomi Sinus Paranasal

    2.2.1 Sinus Maksila

    Pada waktu lahir sinusmaksila hanya berupa celah kecil disebelahmedial orbita. Mula-mula dasarnya lebih tinggi daripada dasar rongga hidung,kemudian terus mengalami penurunan, sehingga pada usia 8 tahun menjadi samatinggi (Ballenger, 1994).

    Perkembangannya berjalan kearah bawah, bentuk sempurna terjadisetelah erupsi gigi permanen. Perkembangan maksimum tercapai antara usia 15dan 18 tahun. Sinus maksila atau Antrum Highmore, merupakan sinus paranasalyang terbesar, bentuk piramid ireguler dengan dasarnya menghadap ke fosanasalis dan puncaknya kearah apeks prosessus zygomaticus os maksila. MenurutMoris pada buku anatomi tubuh manusia, ukuran rata-rata pada bayi baru lahir7 8 x 4 6 mm dan untuk usia 15 tahun 31 32 x 18 20 x 19 20 mm. Sinusmaksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus maksilabervolume 6 8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnyamencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa (Ballenger, 1994; Soetjiptodan Mangunkusumo, 2000).

    Perdarahan pada sinusmaksila meliputi cabang arteri maksilaristermasuk infraorbita, cabang lateral nasal dari arteri sfenopalatina, arteri gre

    aterpalatine serta anterior superior dan posterior dari arteri alveolaris, sedangkan

    vena yang mendarahinya adalah vena maksilaris yang berhubungan denganplexus vena pterygoid (Amedee, 1993).

  • 7/31/2019 rhinosinusitis DHISA

    3/34

    Sinus maksila ini mendapat persarafan dari nervus maksilaris (V2) yangmempersarafi sensasi dari mukosa dibagian lateroposterior nasal dan cabangsuperior alveolar dari nervus infraorbita (Amedee, 1993).

    Sinus maksila mempunyai beberapa dinding yaitu:

    a. Dinding medial atau dasar antrum dibentuk oleh lamina vertikalis ospalatum, prosesus unsinatus os etmoid, prosesus maksilaris konkainferior dan sebagian kecil os maksilaris. Dinding medial sinus maksilamerupakan dinding lateral hidung dimana terdapat ostium sinus yangmenghubungkan sinus maksila dengan infundibulum ethmoid. Ostiumini terletak pada bagian superior dari dindingmedial, biasanya padapertengahan posterior dari infundibulum, sekitar 9 mm ke arah posteriorduktus nasolakrimalis. Ujung posterior dari ostium berlanjut ke laminapapyracea dari tulang etmoid (Miller dan Amedee, 1998).

    b. Dinding atas memisahkan rongga sinus dengan orbita terdiri dari tulangyang tipis yang dilewati oleh kanalis infra orbitalis (Ballenger, 1994).

    c. Dinding posterior inferior atau dasarnya biasanya paling tebal dandibentuk oleh bagian alveolar os maksila atas dan bagian luar palatum

    durum. Dinding posterior memisahkan sinus dari fossa infratemporaldan fossa pterigomaksila (Ballenger, 1994).

    d. Dinding anterior terbentuk dari fasia fasialis maksila yang berhadapandengan fossa kanina dan memisahkan sinus dari kulit pipi (Ballenger,1994).

  • 7/31/2019 rhinosinusitis DHISA

    4/34

    e. Dasar dari sinus dibentuk oleh prosesus alveolaris maksila. Pada anakletaknya sekitar 4 mmdiatas dasar cavum nasi , dan pada dewasaletaknya 4- 5 mm dibawah dasar cavum nasi (Miller dan Amedee,1998).

    Proses supuratif yang terjadi disekitar gigi ini dapat menjalar ke mukosasinus melalui pembuluh darah atau limfe, sedangkan pencabutan gigi ini dapatmenimbulkan hubungan dengan ronggga sinus yang akan mengakibatkansinusitis (Ballenger, 1994). Anomali fasial atau sinus yang besar dapat jugamenyebabkan sinusitis kronis (Medina, 1999).

    2.2.2 Sinus Frontal

    Perkembangan sinus frontal dimulai pada bulan keempat kehamilankemudian berkembang kearah atas dari hidung pada bagian frontal reses(Amedee, 1993).

    Sinus ini jarang tampak pada pemeriksaan rontgen hingga tahun keduasetelah kelahiran, kemudian sinus ini berkembang secara lambat kearah vertikalpada tulang frontal dan telah lengkap pada usia remaja (Amedee, 1993).

    Sekitar 5% dari populasi mengalami kegagalan pertumbuhan dari sinusini. Ukuran sinus frontal pada orang dewasa sekitar 28 x 27 x 17 mm denganvolume 6 sampai 7 ml. (Amedee, 1993).

    Perdarahan pada sinus frontal meliputi cabang supra troklear dansupraorbital dari arteri optalmikus dan melalui vena superior optalmikus yangmengalir kedalam sinus kavernosus (Amedee, 1993; Marks, 2000).

  • 7/31/2019 rhinosinusitis DHISA

    5/34

    Sensasi mukosa sinus frontal ini mendapati persarafan dari percabangansupratroklear nervus frontal yang berasal dari nervus optalmikus (V1) (Amedee,1993; Marks, 2000).

    Sinus frontal terletak pada tulang frontal dibatas atas supraorbital danakar hidung. Sinus ini dibagi dua oleh sekat secara vertikal dibatas midlinedengan ukuran masing-masing yang bervariasi. Sinus frontal sangatberhubungan erat dengan tulang etmoid anterior (Amedee, 1993).

    Dinding posterior dari sinus ini melebar secara inferior obliq danposterior dimana nantinya akan bertemu dengan atap dari orbita. Ostium alamidari sinus ini terletak di anteromedial dari dasar sinus. Sel-sel infraorbita bisaterobstruksi dan membentuk mukokel yang terisolasi dari ostium dan sinusetmoid (Murray, 1989; Maran, 1990; Marks, 2000).

    2.2.3 Sinus Etmoid

    Sel-sel etmoid mulai terbentuk pada bulan ketiga dan keempat setelahkelahiran yang merupakan invaginasi dari dinding lateral hidung pada daerahmeatus medial (etmoid anterior) dan meatus superior (etmoid posterior). Saatsetelah lahir, biasanya tiga atau empat sel baru tampak (Amedee, 1993;Marks,2000).

    Secara embriologis, sinus etmoid ini terbentuk dari lima etmoturbinal.Kelima bagian tersebut yakni unsinatus, bula etmoid basal lamella (groundlamella), konka superior dan konka suprema (Amedee, 1993; Marks, 2000).

    Sel-sel sinus etmoid ini akan tumbuh secara cepat sehingga pada usiadewasa mencapai ukuran 20 x 22 x 10 mm pada kelompok sel anterior dan 20 x

  • 7/31/2019 rhinosinusitis DHISA

    6/34

    20 x 10 mm pada kelompok sel posterior. Sel-sel etmoid ini biasanyamengandung 10 15 sel persisi dengan total volume 14 15 ml (Amedee, 1993;Marks, 2000).

    Perdarahan pada sinus etmoid meliputi cabang arteri sfenopalatina, arterietmoidalis anterior dan posterior, cabang arteri optalmikus dari arteri karotisinterna. Sedangkan aliran vena berasal dari vena maksilaris dan etmoidalis yangmengalir kedalam sinus kavernosus (Amedee, 1993).

    Inervasi persarafan dari sinus etmoid ini berasal dari cabangposterolateral hidung dari nervus maksilaris (V2) dan cabang nervus etmoidalisdari nervus optalmikus (V1) (Amedee, 1993).

    Anatomi dari sinus etmoid ini cukup kompleks, bervariasi danmerupakan subjek penelitian yang baik. Sinus etmoid memiliki dinding yangtipis dengan jumlah dan ukuran yang bervariasi. Pada bagian lateral berbatasandengan dinding medial orbita (lamina papyracea) dan bagian medial dari kavumnasi (Murray, 1989; Maran, 1990; Marks, 2000).

    Sinus ini terletak di inferior dari fossa kranial anterior dekat denganmidline. Beberapa sel melebar mengelilingi frontal sfenoid dan tulang maksila.Kelompok sel anterior kecil-kecil dan banyak, drainasenya melalui meatusmedia, sedangkan sel-sel posterior drainasenyamelalui meatus superior

    (Murray, 1989; Maran, 1990; Marks, 2000).2.2.4 Sinus Sfenoid

    Sinus sfenoid mulai berkembang saat bulan ketiga setelah kelahiran yangmerupakan invaginasi dari mukosa bagian superior posterior dari kavum nasi,yang juga dikenal sebagai sphenoethmoidal recess (Amedee, 1993).

  • 7/31/2019 rhinosinusitis DHISA

    7/34

    Pneumatisasi sfenoid ini terjadi selama pertengahan usia kanak-kanakdan mengalami pertumbuhan yang cepat saat berusia 7 tahun. Sinus inimengalami pertumbuhanmaksimal dan terhenti setelah berusia 12 sampai 15tahun (Amedee, 1993).

    Sinus sfenoid kiri dan kanan yang asimetris tersebut dibagi oleh septumintersinus. Ukuran sinus ini sekitar 2,5 x 2,5 x 1,5 mm pada tahun pertama dan14 x 14 x 12 mm saat berusia 15 tahun. Kapasitas sinus berkisar 7,5 ml(Amedee, 1993).

    Perdarahan sinus sfenoid meliputi cabang arteri sfenopalatina dan arterietmoidalis posterior, sedangkan aliran vena berasal dari vena maksilaris danpleksus pterigoid (Amedee, 1993).

    Inervasi persarafan dari sinus sfenoid ini berasal dari cabang nervusetmoidalis posterior dari nervus optalmikus (V1), dan cabang nasal dansfenopalatina dari nervus maksilaris (Amedee, 1993).

    Sinus sfenoid ini pada bagian dinding lateralnya berbatasan dengan arterikarotis interna, nervus optikus dan vena kavernosa serta sinus interkavernosus.Pada daerah ini juga terdapat bagian ketiga, keempat opthalmikus dan maksilarisdari nervus kranialis kelima dan keenam (Murray, 1989; Maran, 1990).

    Dibagian superior terletak lobus frontalis dan bagian olfaktori. Dibagianposterior terdapat fosa pituitari. Nervus dan pembuluh darah sfenopalatinaterletak didepan dari sinus sfenoid ini, sedangkan nervus vidianus terletakdibagian inferiornya (Murray, 1989; Maran, 1990).

  • 7/31/2019 rhinosinusitis DHISA

    8/34

    2.3 Fisiologi Sinus Paranasal

    Fungsi dari sinus paranasal masih belum diketahui dengan pasti danmasih belum ada persesuaian pendapat. Ada yang berpendapat bahwa sinusparanasal tidak mempunyai fungsi apa-apa karena terbentuknya sebagai akibatpertumbuhan tulang muka (Ramalinggam dan Sreeramamoorthy, 1990;Soetjipto dan mangunkusumo, 2000).

    Namun karena berhubungan langsung dengan hidung, maka sinus dapatmembantu resonansi suara, penciuman, membersihkan, menghangatkan,melembabkan udara inspirasi, dan merubah udara pernafasan. Kebanyakanpenulis masih ragu-ragu dan menyatakan bahwa sinus paranasal hanyaberpengaruh sedikit, terutama hanya bila menderita sakit (Soetjipto danMangunkusumo, 2000; Karen dan Edmund, 2010).

    Ada beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal:

    2.3.1 Sebagai pengatur kondisi udara (air coditioning)

    Sinus yang berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskandan mengatur kelembapan udara inspirasi. Namun teori ini mendapatsanggahan, sebab ternyata tidak didapati pertukaran udara yang defenitifantara sinus dan rongga hidung (Soetjipto danMangunkusumo, 2000).

    Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih1/1000 volume sinus pada tiap kali bernafas, sehingga dibutuhkanbeberapa jam untuk pertukaran udara total dalam sinus, lagi pula mukosasinus tidak mempunyai vaskularisasi dan kelenjar sebanyak mukosahidung (Soetjipto dan Mangunkusumo, 2000).

  • 7/31/2019 rhinosinusitis DHISA

    9/34

    2.3.2 Sebagai penahan suhu (thermal insulators)

    Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas,melindungi orbita dan fosa serebri dari suhu rongga hidung yangberubah-ubah. Akan tetapi kenyataannya sinus-sinus yang besar tidakterletak diantara hidung dan organ-organ yang dilindungi (Soetjipto danMangunkusumo, 2000).

    2.3.3 Membantu keseimbangan kepala

    Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berattulang muka. Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang,hanya akan memberikan penambahan berat sebesar 1% dari berat kepala,sehingga teori ini dianggap tidak bermakna (Soetjipto danMangunkusumo, 2000).

    2.3.4 Membantu resonansi suara

    Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suaradan mempengaruhi kualitas suara, akan tetapi ada yang berpendapat,posisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagairesonator yang efektif, lagipula tidak ada korelasi antara resonansi suaradan besarnya sinus pada hewan tingkat rendah (Soetjipto dan

    Mangunkusumo, 2000).

  • 7/31/2019 rhinosinusitis DHISA

    10/34

    2.3.5 Sebagai peredam perubahan tekanan udara

    Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar danmendadak, misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus (Soetjiptodan Mangunkusumo, 2000).

    2.3.6 Membantu produksi mukus

    Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnyakecil dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektifuntuk membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasikarena mukus ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis(Soetjipto dan Mangunkusumo, 2000).

    2.4 Patofisiologi Rinosinusitis Kronis

    Pada umumnya penyebab rinosinusitis adalah rinogenik, yangmerupakan perluasan infeksi dari hidung (Hilger, 1997).

    Walaupun gejala klinis yang dominan merupakanmanifestasi gejalainfeksi dari sinus frontal dan maksila, tetapi kelainan dasarnya tidak pada sinu

    s-sinus itu sendiri melainkan pada dinding lateral rongga hidung (Mangunkusumo,2000).

    Kompleks ostiomeatal (KOM) atau celah sempit di etmoid anterior yangmerupakan serambi muka bagi sinus maksila dan frontal memegang perananpenting dalam terjadinya sinusitis. Bila terdapat gangguan didaerah KOM

  • 7/31/2019 rhinosinusitis DHISA

    11/34

    seperti peradangan, udema atau polip maka hal itu akan menyebabkan gangguandrainase sehingga terjadi sinusitis (Mangunkusumo, 2000).

    Bila ada kelainan anatomi seperti deviasi atau spina septum, konkabulosa atau hipertrofi konka media, maka celah yang sempit itu akan bertambahsempit sehingga memperberat gangguan yang ditimbulkannya (Mangunkusumo,2000).

    Infundibulum etmoid dan resesus frontal yang termasuk bagian dariKOM, berperan penting pada patofisiologi sinusitis. Permukaan mukosaditempat ini berdekatan satu sama lain dan transportasi lendir pada celah yangsempit ini dapat lebih efektif karena silia bekerja dari dua sisi atau lebih(Mangunkusumo, 1999; Nizar, 2000).

    Apabila terjadi udema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemusehingga silia tidak dapat bergerak dan lendir tidak dapat dialirkan, maka akanterjadi gangguan drainase dan ventilasi sinusmaksila dan frontal. Karenagangguan ventilasi, maka akan terjadi penurunan pH dalam sinus, silia menjadikurang aktif dan lendir yang diproduksi menjadi lebih kental sehinggamerupakan media yang baik untuk tumbuh kuman patogen (Busquets, 2006;Mangunkusumo, 1999; Nizar, 2000; Wilma, 2007).

    Menurut Sakakura (1997), Patogenesis dari rinosinusitis kronis berawal

    dari adanya suatu inflamasi dan infeksi yang menyebabkan dilepasnya mediatordiantaranya vasoactive amine, proteases, arachidonic acid metabolit, imunecomplek, lipolisaccharide dan lain-lain (Sakakura, 1997; Katsuhisa, 2001).

  • 7/31/2019 rhinosinusitis DHISA

    12/34

    Hal tersebut menyebabkan terjadinya kerusakanmukosa hidung danakhirnya menyebabkan disfungsi mukosiliar yangmengakibatkan stagnasimukos dan menyebabkan bakteri semakin mudah untuk berkolonisasi daninfeksi inflamasi akan kembali terjadi (Sakakura, 1997; Katsuhisa, 2001).

    Bakteri dapat berkembang menjadi kuman patogen bila lingkungannyasesuai. Bila sumbatan berlangsung terus akan terjadi hipoksia dan retensi lendir,sehingga bakteri anaerob akan berkembang baik (Mangunkusumo, 1999; Nizar,2000).

    Bakteri juga akan memproduksi toksin yang akan merusak silia.Selanjutnya dapat terjadi perubahan jaringan menjadi hipertropi, polipoid atauterbentuk polip dan kista (Mangunkusumo, 1999; Nizar, 2000).

    Kuman didalam sinus dapat berasal dari rongga hidung sebelum ostiumtertutup ataupun merupakan kuman komensal didalam rongga sinus (Massudi,1996).

    Virus dan bakteri yang masuk kedalam mukosa akan menembuskedalam submukosa, yang diikuti adanya infiltrasi sel polimorfonuklear, selmast dan limfosit, kemudian akan diikuti lepasnya zat-zat kimia seperti histamin

    dan prostaglandin. Zat-zat kimia ini akan menyebabkan vasodilatasi kapiler,sehingga permeabilitas pembuluh darah meningkat dan terjadilah udema disubmukosa (Massudi, 1996).

    Selain virus dan bakteri sebagai penyebab infeksi pada peradanganrongga sinus juga dipengaruhi oleh faktor predisposisi lokal dan sistemik(Massudi, 1996).

  • 7/31/2019 rhinosinusitis DHISA

    13/34

    Faktor predisposisi lokal antara lain: septum deviasi, udema/hipertrofikonka, rinitis alergi/rinitis vasomotor, barotrauma, korpus alienum, rinolit dan

    sebagainya. Sedang faktor predisposisi sistemik yang mempengaruhi adalah:infeksi saluran nafas atas oleh karena virus, keadaan umum yang lemah,malnutrisi, DM yang tidak terkontrol dan iritasi udara sekitar (Massudi, 1996).

    Faktor yang lebih penting untuk diketahui dan merupakan dasarpatofisiologi terjadinya infeksi sinus adalah: adanya gangguan dari mukosasinus, mukosa osteum sinus dan sekitarnya (komplek ostiomeatal) (Massudi,1996).

    Infeksi saluran nafas atas menyebabkan terjadinya reaksi peradanganpada mukosa hidung, mukosa sinus termasuk jugamukosa ostium sinus.Keadaan ini akan mempersempit ostium sinus yang secara keseluruhan sudahsempit dan letaknya tersembunyi atau bahkan menyebabkan obstruksi ostium(Massudi, 1996).

    Oksigen yang ada dalam rongga sinus akan diresorbsi oleh kapilersubmukosa sehingga terjadi hipoksia dan tekanan oksigen yang rendah didalamrongga sinus. Keadaan hipooksigen juga akan menyebabkan vasodilatasi kapilerdi submukosa, permeabilitas pembuluh darah meningkat dan terjadilah prosestransudasi (Facer dan Kern, 1993 ; Massudi, 1996).

    Transudat yang terbentuk sebagian diresorbsi oleh submukosa sehinggaakan menambah udema submukosa dan sebagian lagi akan terperangkapdidalam rongga sinus. Tekanan oksigen yang rendah juga akan mengganggu

  • 7/31/2019 rhinosinusitis DHISA

    14/34

    fungsi sinus dimana kelumpuhan gerak silia ini akan menambah timbunantransudat didalam rongga sinus (Facer dan Kern, 1993 ; Massudi, 1996).

    Transudat yang tertimbun, kadar oksigen yang terendah, gerak silia yangberkurang dan sempitnya ostium merupakan kondisi yang baik untukpertumbuhan kuman (Facer dan Kern, 1993 ; Massudi, 1996).

    Rinosinusitis kronis berbeda dari rinosinusitis akut dalam berbagaiaspek. Rinosinusitis kronis umumnya sukar disembuhkan dengan pengobatanmedikamentosa saja. Harus dicari faktor penyebab dan faktor predisposisinya.(Mangunkusumo dan Rifki, 2000).

    Polusi bahan kimia menyebabkan silia rusak, sehingga terjadi perubahanmukosa hidung. Perubahan mukosa hidung juga dapat disebabkan alergi dandefisiensi imunologik. Perubahan mukosa hidung akan mempermudahterjadinya infeksi dan infeksi menjadi kronis apabila pengobatan pada sinusitisakut tidak sempurna (Mangunkusumo dan Rifki, 2000).

    Adanya infeksi akan menyebabkan edema konka, sehingga drainasesekret akan terganggu. Drainase sekret yang terganggu dapat menyebabkan siliarusak dan seterusnya (Mangunkusumo dan Rifki, 2000).

    2.5 Patologi Rinosinusitis Kronis

    Perubahan patologi yang terjadi pada mukosa dan dinding tulang sinussaat berlangsungnya peradangan supuratif adalah seperti yang biasa terjadidalam rongga yang dilapisi mukus (Ballenger, 1997).

  • 7/31/2019 rhinosinusitis DHISA

    15/34

    Vaskularisasi dan permeabilitas kapiler akan meningkat. Hal ini akanmenyebabkan udema dan hipertrofi membran mukosa yang kemudian menjadipolipoid, dan pada kasus yang sangat akut keseluruhan rongga sinus dapat terisioleh membran mukosa yang edema, rongga sinus menjadi menghilang (Ronald,1995).

    Sel goblet hiperplasi dan akan terjadi infiltrasi seluler kronis. Ulserasiepitel akan menyebabkan terbentuknya jaringan granulasi. Abses-abses kecilyang multipel terjadi dalam mukosa yang menebal dan fibrosis dari straumasubmukosa yang melapisinya. Perubahan dalam mukosa pada saat ini bisairreversibel, dan bila penyebab infeksi telah diobati, mukosa tidak dapat kembalinormal (Ronald, 1995).

    Ada 4 tipe yang berbeda dari infeksi hidung dan sinus; kongesti akut,purulen akut, purulen kronis dan hiperplastik kronis (Ballenger, 1997).

    Penyakit sinus supuratif kronis dapat diklasifikasikan secara mikroskopiksebagai (1) adematous; (2) granular dan infiltrasi; (3) fibrous; atau (4) campurandari beberapa atau semua bentuk ini. Sering terjadi perubahan jaringanpenunjang, dengan penebalan dilapisan sub epitel. Penebalan ini didalamstruktur seluler terdiri dari timbunan sel-sel spiral, bulat, bentuk bintang,

    plasmosit, eosinofil, dan pigmen (Ballenger, 1997).Perubahan yang terjadi dalam jaringan dapat disusun seperti dibawah ini,yang menunjukkan perubahan patologik pada umumnya secara berurutan:

    a. Jaringan sub mukosa diinfiltrasi oleh serum, sedangkan permukaannyakering. Lekosit juga mengisi rongga jaringan submukosa.

  • 7/31/2019 rhinosinusitis DHISA

    16/34

    b. Kapiler berdilatasi, mukosa sangat menebal dan merah akibat udema danpembengkakan struktur subepitel. Pada stadium ini biasanya tidak adakelainan epitel.

    c. Setelah beberapa jam atau beberapa hari, serum dan lekosit keluarmelalui epitel yang melapisi mukosa, kemudian bercampur denganbakteri, debris epitel dan mukus. Pada beberapa kasus, terjadi perdarahankapiler, dan darah bercampur dengan sekret. Sekret yang mula-mulaencer dan sedikit, kemudian menjadi kental dan banyak, karena terjadikoagulasi fibrin dan serum.

    d. Pada banyak kasus, resolusi terjadi dengan absorbsi eksudat danberhentinya pengeluaran lekosit memakan waktu 10 sampai 14 hari.

    e. Akan tetapi pada kasus lain, peradangan berlangsung dari tipe kongestike tipe purulen, lekosit dikeluarkan dalam jumlah yang besar sekali.Resolusi masih mungkin, meskipun tidak selalu terjadi, karenaperubahan jaringan belum menetap, kecuali proses segera berheti,perubahan jaringan akan terjadi permanen, maka akan terjadi keadaankronis. Tulang dibawahnya dapat terlihat tanda osteitis dan akan diganti

    dengan nekrosis tulang (Ballenger, 1997).Perluasan infeksi dari sinus kebagian lain dapat terjadi: (1) melaluitromboflebitis dari vena yang perforasi; (2) perluasan langsung melalui bagiandinding sinus yang ulserasi atau nekrotik; (3) dengan terjadinya defek; dan (4)melalui jalur vaskuler dalam bentuk bakterimia. Masih dipertanyakan apakahinfeksi dapat disebarkan dari sinus secara limfatik (Ballenger, 1997).

  • 7/31/2019 rhinosinusitis DHISA

    17/34

    2.6 Epidemiologi Rinosinusitis Kronis

    2.6.1 Etiologi

    Rinosinusitis dapat disebabkan oleh Alergi (musiman, perenial ataukarena pekerjaan tertentu), Infeksi seperti beberapa bakteri patogen yang sering

    ditemukan pada kasus kronis adalah Stafilokokus 28%, Pseudomonasaerugenosa 17% dan S. aureus 30%. Ketiganya ini mempunyai resistensi yangtinggi terhadap antibiotik, misalnya Pseudomonas aerugenosa resisten terhadapjenis kuinolon. Jenis kuman gram negatif jugameningkat pada sinusitis kronisdemikian juga bakteri aerobik termasuk pada sinusitis dentogenik. Bakteririnosinusitis kronis paling sering adalah Peptococci, Peptostreptococci,Bacteriodes dan Fusobacteria (Weir dan Wood, 1997; Soetjipto, 2000; Kahmis,2009).

    Rinosinusitis kronis juga dapat disebabkan oleh kelainan (Strukturanatomi, seperti variasi KOM, deviasi septum, hipertrofi konka) atau Penyebablain (idiopatik, faktor hidung, hormonal, obat-obatan, zat iritan, jamur, emosi,

    atrofi) (Weir dan Wood, 1997).

    2.6.2 Kekerapan

    Pada tahun 2001, menurut laporan tahun 2004 dari US Centers forDisease Control and Prevention lebih dari 35 juta orang dewasa Amerikamenderita rinosinusitis atau sekitar 17,4% dari seluruh orang dewasa di AmerikaSerikat, bahkan rinosinusitis kronis lebih banyak dari penyakit jantung danmigrain, terlihat dari data dibawah ini: posisi sinusitis diantara penyakit lain

    (Metson dan Mardon, 2006).

  • 7/31/2019 rhinosinusitis DHISA

    18/34

    Jumlah orang Amerika penderita penyakit kronisPenyakit Dalam JutaLower Back Pain(LBP)63.2Hipertensi41.8Artritis41.2Rinosinusitis35.5Cervical pain34.0Migrain33.9Penyakit jantung23.5Asma22.2Hay fever20.4Gastritis18.9Diabetes13.0Gambar 2.1 Posisi sinusitis diantara penyakit lain

    Prevalensi rinosinusitis di indonesia cukup tinggi, terbukti pada datapenelitian tahun 1996 dari sub-bagian Rinologi Departemen THT-KL FK-UI/RSCM bahwa dari 496 pasien rawat jalan di sub-bagian ini didapati 50%nya dengan rinosinusitis kronis. Dari jumlah tersebut 30% mempunyai indikasioperasi BSEF (Soetjipto, 2006).

    Iriani dkk (1996) pada penelitiannya terhadap 118 penderita rinosinusitiskronis yang dilakukan tindakan BSEF di Departemen THT-KL FK UNHASUjung Pandang menjumpai rinosinusitis kronis terbanyak pada kelompok umur16-30 tahun atau sebesar 55,1%.

    Muyassaroh dan Supriharti (1999) pada penelitiaanya terhadap terhadap52 pasien rinosinusitis kronis yang berobat ke SMF THT-KL RSUD Dr. KariadiSemarang mendapatkan kelompok terbanyak pada umur (20-29 tahun) atau

  • 7/31/2019 rhinosinusitis DHISA

    19/34

  • 7/31/2019 rhinosinusitis DHISA

    20/34

    (46% : 54%). Kasus rawat inap yang terbanyak yaitu rinosinusitis (41,5%), padakelompok umur 30 39 tahun (23,3%) (Sujuthi dan Punagi, 2008).

    Dewanti (2008) pada penelitiannya terhadap 118 penderita rinosinusitiskronis Dibagian THT-KL FK. UGM/RS Dr. Sardjito Yogyakarta tahun 20062007 didapatkan jenis kelamin laki-laki sebanyak 68 penderita (57,6%) danperempuan 50 penderita (42,4%). Sinus yang paling sering terlibat adalahmaksilaris 68 kasus (57,6%), maksilaris-etmoidalis 20 kasus (16,9%) dan 13kasus (11%) etmoidalis, rinosinusitis unilateral 77 kasus (65,3%) dominasidektra; dan bilateral 41 kasus (34,7%). Gejala klinis yang terbanyak ditemukanadalah obstruksi nasi paling dominan sebanyak 65 kasus (55,1%), dan rinoreasebanyak 34 kasus (28,8%).

    Pada penelitian di poliklinik THT-KL RS. Hasan Sadikin Bandungperiode Januari 2007 sampai dengan Desember 2007 didapatkan 168 penderitarinosinusitis kronis atau sebesar 64,29% dari seluruh pasien yang datang kepoliklinik THT-KL. Berdasarkan jenis kelamin, laki-laki sebanyak 82 penderita(49,08%) dan perempuan 86 penderita (50,92%) (Bagja dan Lasminingrum,2008).

    Pada penelitian lainnya seperti Elfahmi (2001) pada penelitiannyaterhadap 40 penderita rinosinusitis kronis, didapatkan kelompok umur terbanyakadalah (35-44 tahun) sebanyak 30%. Jenis kelamin perempuan sebanyak 19

    penderita (47,5%) dan laki-laki sebanyak 21 penderita (52,5%).Nuutien (1993) pada penelitiannya terhadap 150 pasien rinosinusitiskronis didapatkan perempuan sebanyak 83 penderita (55,3%) dan laki-laki

  • 7/31/2019 rhinosinusitis DHISA

    21/34

    sebanyak 67 penderita (44,7%). Yuhisdiarman (2004) pada penelitiannyaterhadap 35 penderita rinosinusitis kronis mendapatkan kelompok umurterbanyak adalah (35-44 tahun) sebesar 34,3%, jenis kelamin terbanyak adalahperempuan sebesar 20 penderita (57,2%) dan laki-laki 15 penderita (42,8%).Pujiwati (2006) pada penelitiannya terhadap 80 orang, yang menderitarinosinusitis kronis akibat kerja sebanyak 35 orang ( 43,8%.)

    2.7 Gejala dan Tanda Klinis

    2.7.1 Gejala Subjektif

    a. Nyeri

    Sesuai dengan daerah sinus yang terkena dapat ada atau mungkintidak. Secara anatomi, apeks gigi-gigi depan atas (kecuali gigi insisivus)dipisahkan dari lumen sinus hanya oleh lapisan tipis tulang atau mungkintanpa tulang hanya oleh mukosa, karenanya sinusitis maksila seringmenimbulkan nyeri hebat pada gigi-gigi ini (Ballenger, 1997).

    b. Sakit kepala

    Merupakan tanda yang paling umum dan paling penting padasinusitis. Wolff menyatakan bahwa nyeri kepala yang timbul merupakanakibat adanya kongesti dan udema di ostium sinus dan sekitarnya(Ballenger, 1997).

    Penyebab sakit kepala bermacam-macam, oleh karena itubukanlah suatu tanda khas dari peradangan atau penyakit pada sinus. Jikasakit kepala akibat kelelahan dari mata, maka biasanya bilateral dan

  • 7/31/2019 rhinosinusitis DHISA

    22/34

    makin berat pada sore hari, sedangkan pada penyakit sinus sakit kepalalebih sering unilateral dan meluas kesisi lainnya (Ballenger, 1997).

    Sakit kepala yang bersumber di sinus akan meningkat jikamembungkukkan badan kedepan dan jika badan tiba-tiba digerakkan.Sakit kepala ini akanmenetap saat menutup mata, saat istirahat ataupunsaat berada dikamar gelap (Ballenger, 1997).

    Nyeri kepala pada sinusitis kronis biasanya terasa pada pagi hari,dan akan berkurang atau hilang setelah siang hari. Penyebabnya belumdiketahui dengan pasti, tetapi mungkin karena pada malam hari terjadipenimbunan ingus dalam rongga hidung dan sinus serta adanya statisvena (Mangunkusumo dan Rifki, 2000).

    c. Nyeri pada penekanan

    Nyeri bila disentuh dan nyeri pada penekanan jari mungkinterjadi pada penyakit di sinus-sinus yang berhubungan denganpermukaan wajah (Ballenger, 1997).

    d. Gangguan penghindu

    Indra penghindu dapat disesatkan (parosmia), pasien mencium

    bau yang tidak tercium oleh hidung normal. Keluhan yang lebih seringadalah hilangnya penghindu (anosmia). Hal ini disebabkan adanyasumbatan pada fisura olfaktorius didaerah konka media. Oleh karena ituventilasi pada meatus superior hidung terhalang, sehingga menyebabkanhilangnya indra penghindu (Ballenger, 1997).

  • 7/31/2019 rhinosinusitis DHISA

    23/34

    Pada kasus kronis, hal ini dapat terjadi akibat degenerasi filamentterminal nervus olfaktorius, meskipun pada kebanyakan kasus, indrapenghindu dapat kembali normal setelah infeksi hilang (Ballenger,1997).

    2.7.2 Gejala Objektif

    a. Pembengkakan dan udem

    Jika sinus yang berbatasan dengan kulit terkena secara akut,dapat terjadi pembengkakan dan udem kulit yang ringan akibatperiostitis. Palpasi dengan jari mendapati sensasi seperti pada penebalanringan atau seperti meraba beludru (Ballenger, 1997).

    b. Sekret nasal

    Mukosa hidung jarang merupakan pusat fokus peradangansupuratif, sinus-sinuslah yang merupakan pusat fokus peradangansemacam ini (Ballenger, 1997).

    Adanya pus dalam rongga hidung seharusnya sudahmenimbulkan kecurigaan adanya suatu peradangan dalam sinus. Pus dimeatus medius biasanyamerupakan tanda terkenanya sinus maksila,

    sinus frontal atau sinus etmoid anterior, karena sinus-sinus ini bermuarake dalam meatus medius (Ballenger, 1997).

  • 7/31/2019 rhinosinusitis DHISA

    24/34

    2.8 Pemeriksaan

    2.8.1 Pemeriksaan fisik

    Pemeriksaan palpasi turut membantu menemukan nyeri tekanpada daerah sinus yang terkena disamping pemeriksan rinoskopi anteriordan rinoskopi posterior (Ballenger, 1997; Soetjipto dan Mangunkusumo,2000).

    2.8.2 Transiluminasi

    Transluminasi mempuyai manfaat yang terbatas, hanya dapatdipakai untuk pemeriksaan sinus maksila dan sinus frontal, bila fasilitaspemeriksaan radiologik tidak tersedia (Soetjipto dan Mangunkusumo,2000).

    2.8.3 Pemeriksaan radiologi

    a. Foto rontgen sinus paranasal

    Pemeriksaan radiologik yang dapat dibuat antara lain: Waters, PAdan Lateral. Tepi mukosa sinus yang sehat tidak tampak pada fotorontgen, tetapi jika ada infeksi tepi mukosa akan tampak karena udema

    permukaan mukosa. Permukaan mukosa yang membengkak dan udematampak seperti suatu densitas yang paralel dengan dinding sinus(Ballenger, 1997; Mangunkusumo dan Rifki, 2000).

    Pembengkakan permukaan mukosa yang berbatas tegas padaresesus alveolaris antrum maksila biasanya terjadi akibat infeksi yangberasal dari gigi atau daerah periodontal (Ballenger, 1997;Mangunkusumo dan Rifki, 2000).

  • 7/31/2019 rhinosinusitis DHISA

    25/34

  • 7/31/2019 rhinosinusitis DHISA

    26/34

    2.8.4 Nasoendoskopi

    Nasoendoskopi ini akan mempermudah dan memperjelaspemeriksaan karena dapat melihat bagian-bagian rongga hidung yangberhubungan dengan faktor lokal penyebab sinusitis (Ballenger, 1997).

    Pemeriksaan nasoendoskopi dapat melihat adanya kelainanseptum nasi, meatus media, konka media dan inferior, juga dapatmengetahui adanya polip atau tumor (Ballenger, 1997).

    2.9 Diagnosis

    Gejala klinik rinosinusitis kronis menurut American Academy of

    Otolaryngic Allergy (AAOA), dan American Rhinologic Society (ARS)adalah rinosinusitis yang berlangsung lebih dari 12 minggu dengan 2gejala mayor atau lebih atau 1 gejala mayor disertai 2 gejala minor ataulebih (Setiadi M, 2009).

    Berdasarkan kriteria Task Force on Rinosinusitis, gejala mayorskor diberi skor 2 dan gejala minor skor 1, sehingga didapatkan skor

    gejala klinik sebagai berikut; Gejala Mayor: Nyeri sinus = skor 2,Hidung buntu = skor 2, Ingus purulen = skor 2, Post nasal drip = skor 2,Gangguan penghidu = skor 2, Sedangkan Gejala Minor: Nyeri kepala =skor 1, Nyeri geraham= skor 1, Nyeri telinga = skor 1, Batuk = skor 1,Demam = skor 1, Halitosis = skor 1 dan skor total gejala klinik = 16Pengukuran skor total gejala klinik dikelompokkan menjadi dua, yaitu;

  • 7/31/2019 rhinosinusitis DHISA

    27/34

    sedang-berat (skor =8), dan ringan (skor

  • 7/31/2019 rhinosinusitis DHISA

    28/34

    Jika tidak ada perbaikan dapat dipilih antibiotika alternatif sepertisiprofloksasin, golongan kuinolon atau yang sesuai dengan kultur. Jikadiduga ada bakteri anaerob, dapat diberi metronidazol (Soetjipto, 2000).

    Jika dengan antibiotika alternatif tidak ada perbaikan, makaeveluasi kembali apakah ada faktor predisposisi yang belum terdiagnosisdengan pemeriksaan nasoendoskopi maupun CT-Scan (Soetjipto, 2000).

    A.2 Terapi Medik Tambahan

    Dekongestan, Dekongestan berperan penting sebagai terapi awalmendampingi antibiotik. Dekongestan oral menstimulasi reseptor a-adrenergik dimukosa hidung dengan efek vasokontriksi yang dapatmengurang keluhan sumbatan hidung, meningkatkan diameter ostiumdan meningkatkan ventilasi (Soetjipto, 2000; Dubin MG dan Liu C,2007).

    Preparat yang umum adalah pseudoefedrine dan phenyl-propanolamine. Karena efek peningkatan tekanan darah tinggi danpenyakit jantung harus dilakukan dengan hati-hati (Soetjipto, 2000).

    Dekongestan topikal mempunyai efek yang lebih cepat terhadapsumbatan hidung, namun efeknya ini sebetulnya tidak fisiologik dan

    pemakaian jangka lama (lebih dari 7 hari) akanmenyebabkan rinitismedika mentosa (Soetjipto, 2000).

    Antihistamin, Alergi berperan sebagai penyebab sinusitis kronispada lebih dari 50% kasus, karenanya penggunaan antihistamin justru

  • 7/31/2019 rhinosinusitis DHISA

    29/34

    dianjurkan, demikian juga kemungkinan imunoterapi (Soetjipto, 2000;Dubin MG dan Liu C, 2007; Yuan LJ dan Fang SY, 2008).

    Karena antihistamin generasi pertama mempunyai efekantikolinergik yang tinggi, generasi kedua lebih disukai sepertiazelastine, acrivastine, cetirizine, fexofenadine dan loratadine (Soetjipto,2000).

    Kortikosteroid, ada 2 jenis kortikosteroid, yaitu kortikosteroidtopikal dan kortikosteroid oral, kortikosteroid topikal mempunyai efeklokal terhadap bersin, sekresi lendir, sumbatan hidung dan hipo/anosmia.Penemuannya merupakan perkembangan besar dalam pengobatan rinitisdan sinusitis (Soetjipto, 2000).

    Penggunaannya kortikosteroid topikal meluas pada kelainanalergi dan non-alergi.Meskipun obat semprot ini tidak mencapaikomplek osteomeatal, keluhan pasien berkurang karena udema di ronggahidung dan meatus medius hilang (Soetjipto, 2000; Yuan LJ dan FangSY, 2008).

    Sedangkan kortikosteroid oral dapat mencapai seluruh ronggasinus. Terapi singkat selama dua minggu sudah efektif menghilangkanbeberapa keluhan. Preparat oral dapat diberikan mendahului yang

    topikal, obat oral dapat membuka sumbatan hidung terlebih dahulusehingga distribusi obat semprot merata (Soetjipto, 2000).

  • 7/31/2019 rhinosinusitis DHISA

    30/34

    B. Penatalaksanaan Operatif

    Sinusitis kronis yang tidak sembuh dengan pengobatan medikadekuat dan optimal serta adanya kelainan mukosa menetap merupakanindikasi tindakan bedah (Nizar, 2000; Soetjipto, 2000).

    Beberapa macam tindakan bedah mulai dari antrostomi meatusinferior, Caldwel-Luc, trepanasi sinus frontal, dan Bedah SinusEndoskopi Fungsional (BSEF) dapat dilaksanakan (Nizar, 2000;Soetjipto, 2000).

    Bedah sinus konvensional tidak memperlihatkan usahapemulihan drainase dan ventilasi sinus melalui ostium alami (Nizar,2000; Soetjipto, 2000).

    Namun dengan berkembangnya pengetahuan patogenesissinusitis, maka berkembang pula modifikasi bedah sinus konvensionalmisalnya operasi Caldwel-Luc yang hanya mengangkat jaringanpatologik dan meninggalkan jaringan normal agar tetap berfungsi danmelakukan antrostomi meatus medius sehingga drainase dapat sembuhkembali (Nizar, 2000; Soetjipto, 2000).

    Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF) merupakan kemajuan

    pesat dalam bedah sinus. Jenis operasi ini lebih dipilih karena merupakantindakan konservatif yang lebih efektif dan fungsional (Nizar, 2000;Soetjipto, 2000; Kennedy, 2006; Salama N, 2009).

  • 7/31/2019 rhinosinusitis DHISA

    31/34

    Keuntungan BSEF adalah penggunaan endoskop denganpencahayaan yang sangat terang, sehingga saat operasi kita dapat melihatlebih jelas dan rinci adanya kelainan patologi dirongga-rongga sinus(Nizar, 2000; Soetjipto, 2000; Kennedy, 2006; Salama N, 2009).

    Jaringan patologik yang diangkat tanpa melukai jaringan normaldan ostium sinus yang tersumbat diperlebar (Nizar, 2000; Soetjipto,2000; Kennedy, 2006).

    Dengan ini ventilasi sinus lancar secara alami, jaringan normaltetap berfungsi dan kelainan didalam sinus maksila dan frontal akansembuh sendiri (Nizar, 2000; Soetjipto, 2000).

    2.11 Komplikasi

    Kompikasi rinosinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukanantibiotika. Komplikasi yang dapat terjadi ialah:

    A. Osteomielitis dan abses subperiostal

    Paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada

    anak-anak. Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula oroantral(Hilger, 1997; Mangunkusumo dan Rifki ; 2000).

  • 7/31/2019 rhinosinusitis DHISA

    32/34

    B. Kelainan Orbita

    Disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan mata (orbita).Yang paling sering ialah sinusitis etmoid, kemudian sinusitis frontal dan maksila(Hilger, 1997; Mangunkusumo dan Rifki, 2000).

    Penyebaran infeksi terjadi melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum.Variasi yang dapat timbul ialah udema palpebra, selulitis orbita, absessubperiostal, abses orbita dan selanjutnya dapat terjadi trombosis sinuskavernosus (Hilger, 1997; Mangunkusumo dan Rifki, 2000).

    C. Kelainan Intrakranial

    Dapat berupa meningitis, abses ektradural, abses otak dan trombosissinus kavernosus (Mangunkusumo dan Rifki, 2000; Dhingra, 2007).

    D. Kelainan Paru

    Seperti bronkitis kronis dan brokiektasis. Adanya kelainan sinusparanasal disertai denga kelainan paru ini disebut sinobronkitis. Selain itu dapatjuga timbul asma bronkial (Mangunkusumo dan Rifki, 2000).

  • 7/31/2019 rhinosinusitis DHISA

    33/34

    2.12 Kerangka Teori

    Gangguan Drainase Sinus

    Infeksi

    GangguanSilia

    Perubahan Mukosa Sinus

    Gejala KlinisRinosinusitis(Lebih dari 12 Minggu)

    RinosinusitisKronis

    Umur,Jenis Kelamin,

    Pekerjaan

  • 7/31/2019 rhinosinusitis DHISA

    34/34