representasi feminisme pada lirik lagu dangdut koplo …
TRANSCRIPT
1
REPRESENTASI FEMINISME PADA LIRIK LAGU DANGDUT
KOPLO JAWA: ANALISIS WACANA KRITIS VAN DIJK
(Feminism on Javanese Koplo Dangdut Songs: A Critical Discourse Analysis of van Dijk)
oleh/by
Herlianto A. Universitas Gadjah Mada
Jalan Nusantara I, Bulaksumur, Daerah Istimewa Yogyakarta 55281
Telepon Penulis (082335543053)
Pos-el: ([email protected])
*) Diterima: 8 Oktober 2020, Disetujui: 9 Maret 2021
ABSTRAK
Penelitian ini menginvestigasi representasi feminisme pada lagu dangdut koplo Jawa. Tidak
banyak yang mengkaji lagu dangdut koplo Jawa dari perspektif feminisme. Padahal, secara
historis, Jawa memiliki agen-agen pergerakan untuk feminisme yang secara faktual seharusnya
mempengaruhi kesusastraan dan kesenian Jawa. Ada lima lagu dalam bentuk transkrip sebagai
data yang diperoleh dengan mentranskripsi lagu dangdut koplo Jawa dari YouTube. Data lalu
dianalisis dengan menggunakan analisis wacana kritis van Dijk. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa lagu-lagu dangdut koplo Jawa merepresentasikan kesetaraan perempuan terhadap laki-
laki. Peran perempuan diungkapkan tidak lagi sebagai second sex, yang sepenuhnya sebagai ibu
rumah tangga, tetapi mereka memiliki kesempatan untuk memilih masa depan secara
independen. Sementara itu, feminisme dinyatakan secara langsung dan tidak langsung di dalam
lagu dengan menggunakan bahasa kiasan dalam bentuk metafora.
Kata kunci: feminisme, dangdut koplo Jawa, representasi, analisis wacana
ABSTRACT
This research investigated the representation of feminism in Javanese koplo dangdut song.
These songs have got little attention in terms of feminism representation. Meanwhile,
historically, Javanese society has factual agents of movement for feminism who should be
influencing to the Javanese arts and literature. There are five transcriptions of the songs as the
data which collected by transcripting the songs from YouTube. The collected data were then
analysed by applying van Dijk frame work of critical discourse analysis. The results show that
most of the songs present gender equality between men and women. The role of women is not
only presented as the second sex or as mainly a house wife, but they have opportunities to
choose their own future life independently. This condition is suggested by using indirect
language or using metaphoric expressions.
Keyword: feminism, Javanese koplo dangdut, representation, discourse analysis
Representasi Feminisme pada Lirik Lagu … (Herlianto A.)
2
PENDAHULUAN
Lagu dangdut koplo Jawa dapat
merepresentasikan feminisme, hanya
saja kajian ini tidak mendapat banyak
perhatian saat berbicara representasi
feminisme pada lagu dangdut. Padahal,
kebudayaan Jawa dalam sejarahnya
memiliki tokoh terkemuka dalam
memperjuangkan kesetaraan perempuan,
katakanlah R.A. Kartini, begitu juga
dalam kesusastraannya. Organisasi
pergerakan kesetaraan perempuan juga
tumbuh subur di lingkungan Jawa.
Idealnya, peristiwa historis ini memadat
dalam kesusastraan dan kesenian Jawa
termasuk dalam lagu dangdut koplo
(Amelia, 2014: 4).
Belakangan ini wacana feminisme
terus menggelinding ke berbagai sektor
media ekspresi. Dunia sastra menjadi
salah satu medan yang terus dieksploitasi
untuk sarana ekspresi gagasan ini, baik
melalui film, puisi, cerpen, novel, dan
lagu itu sendiri. Pada dasarnya lagu,
yang selanjutnya menjadi medan kajian
di artikel ini, berposisi netral di arena
pertukaran wacana. Artinya, sebagai
media, lagu dapat digunakan untuk
sarana ekspresi kepentingan apapun.
Corak lirik lagu dari masa ke masa
mengalami perkembangan dan
perubahan seiring berubahnya
kepentingan manusia. Oleh karena itu,
selain iramanya, lirik suatu lagu juga
menjadi hal yang penting untuk
diperhatikan saat dikaitkan dengan
situasi sosial tertentu.
Beberapa peneliti sudah mencoba
membuktikan bahwa lagu dapat
digunakan untuk sarana
merepresentasikan gagasan tertentu,
termasuk feminisme. Keleta-Mae,
(2017), membuktikan bahwa dalam
tradisi Barat, ada beberapa karya
Beyonce bermuatan feminisme, salah
satunya yang sangat terkenal adalah
―Flawless”. Lagu ini, menurutnya,
menekankan potensi dan kekuatan
seorang perempuan, bahwa perempuan
dengan cintanya memiliki kekuatan yang
tak terbatas, karena itu perempuan
berhak berkiprah di ruang publik.
Penelitian lain dilakukan Kankainen
(2008: 25) pada lagu-lagu The Beatles.
Dia menyatakan bahwa ada representasi
pemberdayaan (empowerment)
perempuan pada lirik lagu-lagu The
Beatles, misalnya pada lagu ―Lucy in
The Sky with Diamonds‖, ―Let It Be,
Dear Prudence‖. Lagu-lagu ini
menyiratkan agar perempuan dipandang
sama atau setara dengan laki-laki secara
sosial, ekonomi, dan budaya.
Dalam lagu-lagu Indonesia juga ada
beberapa peneliti yang mencoba
menganalisis lirik-lirik lagu tertentu
walaupun hasilnya menunjukkan hal
yang berbeda dengan dua penelitian di
Barat. Sebelumnya Ambarsiwi (2012)
meneliti representasi perempuan pada
lirik lagu Mulan Jameela. Temuannya
menunjukkan bahwa ada motif patriarki
dalam lagu-lagu pop Mulan Jameela, di
antaranya pada lagu ―Mahluk Tuhan
Paling Seksi‖, ―Wonderwomen‖, dan
―Lagu Sedih‖. Ketiganya menunjukkan
ada objektivikasi seksual pada
perempuan bahwa perempuan harus
bertahan atas superioritas laki-laki
meskipun mendapat kekerasan fisik dan
psikis.
Lestari (2013: 74) juga melakukan
penelitian representasi perempuan pada
lagu-lagu pop Indonesia. Jika Ambarsiwi
hanya meneliti lagu Mulan Jameela,
Lestari mencoba mengambil sampel
yang lebih luas ke lagu-lagu pop yang
dibawakan oleh beberapa penyanyi
berbeda. Ada 20 judul lagu dari
penyanyi pop yang berbeda yang
dianalisis. Hasilnya adalah perempuan
Jalabahasa Vol. 17, No. 1, Mei 2021, hlm. 1—14
3
direpresentasikan sebagai manusia yang
lemah dan menjadi korban superioritas
laki-laki.
Selain itu, upaya menunjukkan
representasi kurang positif secara
feminis tentang perempuan juga
dilakukan pada lagu bergenre dangdut.
Amelia (2014), menemukan bahwa
perempuan digambarkan sebagai sosok
yang kurang bermoral atau kurang baik.
Temuan ini didapat setelah meneliti lima
lagu dangdut: ―Jamu Gendhong,
―Simpanan‖, ―Darling‖, ―Coblos Aku‖,
dan ―Digoyang Akang‖. Hal yang sama
ditunjukkan oleh Ash-shidiqy (2016:
140). Dia menyatakan bahwa ada enam
citra perempuan dalam lagu-lagu
dangdut yang menunjukkan lemahnya
perempuan, yaitu: istri yang menderita,
gadis lugu, penyanyi dangdut, wanita
idaman lain,wanita karir dan perempuan
materialistik.
Keempat penelitian lagu-lagu
Indonesia ini berbeda dengan dua
penelitian lagu barat sebelumnya. Bila
sebelumnya menunjukkan lagu-lagu
bermuatan feminisme, sementara yang
empat ini sebaliknya, malah lebih
menunjukkan gagasan patriarki pada
lirik bergenre pop dan dangdut. Oleh
karena itu, keempat peneliti sepakat
bahwa beberapa lagu-lagu pop dan
dangdut Indonesia masih menunjukkan
citra perempuan yang kurang setara.
Apa yang telah ditunjukkan oleh
keempat peneliti ini tentu sudah
memberi sumbangsih tersendiri bagi
wacana perempuan dalam dunia sastra.
Namun, sepertinya ada yang luput dari
pandangan mereka khususnya pada lagu-
lagu dangdut koplo berbahasa Jawa yang
belakangan ini semakin digandrungi oleh
kalangan remaja. Keempat peneliti
dalam sampelnya tak ada yang
mengambil lagu-lagu berbahasa Jawa
baik yang genre pop maupun yang
dangdut (koplo).
Beberapa lagu dangdut koplo Jawa
justru menghadirkan sesuatu yang boleh
dibilang berantitesis dengan apa yang
telah dikemukakan oleh empat peneliti
tersebut. Lagu-lagu ini, alih-alih
menguatkan patriarki, justru
menggelorakan semangat feminisme
(kesetaraan perempuan) sebagaimana
yang ditunjukkan pada lagu-lagu Barat
yang diteliti dua peneliti sebelumnya.
Lewat lirik-lirik yang bernuansa
metaforis, khas susastra daerah nusantara
(Jawa), gagasan-gagasan kesetaraan
perempuan itu disiratkan. Dalam lagu itu
perempuan digambarkan bukan lagi
sosok yang selalu kalah dengan laki-laki
dan begitu cengeng. Di dalam lagu
tersebut perempuan berhasil membuat
perhitungan dengan laki-laki yang
sewenang-wenang. Alasan kekurangan
itulah yang membuat penelitian ini
dilakukan dan diharapkan dapat
menunjukkan bahwa keinginan kaum
perempuan Indonesia untuk setara secara
sosial dengan laki-laki memang betul-
betul ada. Dengan begitu, dapat
mengimbangi keempat penelitian
sebelumnya itu.
Penelitian ini bersandar pada
rumusan masalah, yaitu bagaimanakah
gagasan feminisme direpresentasikan
oleh lirik lagu-lagu dangdut koplo
berbahasa Jawa?
Kemudian, secara teoretik
penelitian ini berangkat dari konsep
feminisme yang umum diperbincangkan
bahwa feminisme diasosiasikan dengan
upaya sosial untuk menyetarakan peran-
peran perempuan dalam lingkungan
sosial. Gagasan utamanya adalah
kesetaraan gender dan kritis terhadap
berbagai ketidak-adilan yang menimpa
perempuan akibat konstruksi sosial
tertentu, misalnya budaya patriarki.
Representasi Feminisme pada Lirik Lagu … (Herlianto A.)
4
Feminis memosisikan perempuan dan
laki-laki setara secara potensial bukan
secara fisikal. Keduanya memiliki akses
dan tanggung jawab yang sama dalam
kehidupan publik maupun keluarga, tak
ada yang lebih rendah.
Secara historis, gagasan feminis
sudah memiliki benihnya sejak 1792 saat
Mary Wollstonecraft menulis A
Vindication of The Right of Woman.
Buku ini mengungkap hubungan
perempuan dengan budaya dominan,
dengan kekuasaan, dan identitas. Dalam
hal ini maskulinitas begitu membatasi
perempuan untuk memanifestasikan
dirinya dalam kehidupan sehari-hari.
Wollstonecraft menyatakan bahwa
―penindasan pada perempuan bersifat
budaya (dibangun dan dijalani dalam
pelbagai praktik dan teks budaya), sosial
(diafirmasi lewat institusi-institusi sosial,
terutama pernikahan), dan politik
(ditegakkan lewat perundang-
undangan)‖ (Thornham, 2010: 7 & 23).
Karya itu lalu disambut oleh Women
and Economic karya Charlotte Perkins
Gilman tahun 1898. Karya ini
mengkritisi wacana publik yang
meminggirkan perempuan. Saat itu
perempuan ditindas secara kultural dan
ideologis utamanya di ruang-ruang yang
bersifat sosio-ekonomis sebagai ibu
pengurus rumah tangga. Hal ini
mempertajam anggapan bahwa institusi
keluarga sebagai unit ekonomi yang
melanggengkan pembungkaman atas
perempuan yang kemudian disebut
sexuo-economic (Gilman, 1898: 6--7).
Titik terang feminisme awal
berikutnya dicapai melalui terbitnya
karya Virginia Woolf yaitu A Room of
One’s Own (1929) dan Three Guineas
(1938). Dua karya ini membahas peran
perempuan yang sangat terbatas
khususnya pada hal-hal yang bersifat
kreatif, misalnya dalam produksi
kesusastraan, isu-isu kesadaran dan
identitas. Pada masa itu dalam deskripsi
Woolf, ―perempuan berada di luar semua
struktur simbolik yang membangun
identitas: di luar bangsa, di luar kelas,
dan di luar sejarah.‖ Pengeluaran dari
struktur simbolik ini berakibat pada
dienyahkannya posisi perempuan dalam
laku sosial, seolah perempuan adalah
mahluk asing di masyarakat (Thorham,
2010: 8).
Walters (2005: 6–7) juga mencatat
bahwa feminisme memiliki akar religius
yang diawali pada abad ke- 11 oleh
seorang perempuan bernama Hildegard
of Bingen. Dia menulis pada seorang
romo bernama Bernard of Clairvaux
bahwa dirinya adalah perempuan yang
buta huruf dan karenanya butuh untuk
belajar. Dia juga menulis tentang kasih
sayang Tuhan terhadap perempuan. Dari
akar ini kemudian berkembang menjadi
beragam arus utama pemikiran
feminisme. Pemetaan arus utama
feminisme dinarasikan dengan baik oleh
Tong (2010).
Menurut Tong, ada delapan arus
utama feminisme, yaitu feminisme
liberal, feminisme radikal, feminisme
Marxis-sosialis, feminisme psikoanalisis
dan gender, feminisme eksistensialis,
feminisme posmodern, feminisme
multikultural, dan ekofeminisme.
Masing-masing arus ini memiliki
pandangan masing-masing, tetapi yang
berhubungan dengan penelitian ini
adalah feminisme posmodern karena
berkaitan langsung dengan budaya
populer.
Adapun dangdut koplo dipahami
sebagai salah satu genre musik di
Indonesia yang berkembang sejak tahun
1990 dan memuncak pada tahun 2003.
Secara historis, dangdut koplo berasal
dari Jawa Timur yang dibentuk dengan
cara memodifikasi irama dan ketukan
Jalabahasa Vol. 17, No. 1, Mei 2021, hlm. 1—14
5
kendang menjadi lebih cepat, energik,
dan dinamis. Dengan corak ini, genre
lagu apa saja misalnya pop, melayu, dan
jazz dapat dijadikan atau dinyanyikan
menjadi dangdut koplo (Setiaji, 2017:
28). Ciri lain dari dangdut koplo adalah
cenderung menggunakan bahasa daerah
termasuk bahasa Jawa. Sementara itu,
lirik-lirik lagu dangdut koplo cenderung
bernuansa seksual (Raditya, 2018: 10;
Susanti, 2019: 2)
Dangdut koplo biasanya
dinyanyikan melalui panggung-
panggung orkes Melayu (OM), misalnya
yang cukup terkenal O.M. Monata, O.M.
Sera, O.M. Palapa. Jumlah orkes Melayu
sangat banyak jumlahnya, bahkan untuk
wilayah Kabupaten Jombang saja ada
240 group pada tahun 2017 (Raditya &
Simatupang, 2018: 439). Pengaruh
dangdut koplo terbilang penting di level
nasional. Bahkan, telah melahirkan artis-
artis koplo terkenal seperti Inul
Daratista, Via Vallen, Nella Kharisma,
Tasya Rosmala, Deni Caknan, dan Sodiq
Monata.
Namun, dangdut koplo tidak
berkembang dengan mulus, sempat
mengalami pelarangan. Pada tahun 2003,
lahir perseteruan antara Inul Daratista
ratu ―goyang ngebor‖ dengan Rhoma
Irama si Raja Dangdut. Rhoma Irama
dan kolega mempersoalkan dangdut
koplo yang menghadirkan goyangan
tertentu. Tahun 2016 giliran KPI juga
melakukan pelarangan terhadap
pertunjukan dangdut koplo. Tetapi
berbagai pelarangan ini justru membuat
dangdut koplo semakin tenar (Raditya,
2018: 14). Munculnya penilaian negatif
terhadap lagu dangdut koplo tidak bisa
digeneralisasi pada semua lagu karena
ada beberapa lagu dangdut koplo yang
justru sangat positif dalam arti gerakan
feminisme seperti yang ditemukan dalam
penelitian ini.
Penelitian ini menggunakan metode
kualitatif dengan melibatkan peneliti
secara aktif dalam mengumpulkan data,
memilah dan menafsirkannya. Sumber
data berasal dari lagu-lagu dangdut
koplo Jawa yang ada di YouTube.
Peneliti memilih lima lagu sebagai data
dengan beberapa ketentuan atau kriteria:
1) tahun populernya minimal tahun
2010. Hal ini untuk melihat
perkembangan terbaru lirik-lirik lagu
dangdut Jawa koplo; 2) lagu itu
dipopulerkan penyanyi perempuan
meskipun diciptakan oleh laki-laki. Hal
ini untuk memastikan agensi dari lagu
tersebut, karena asosiasi pemilik gagasan
atas suatu lagu adalah berdasar pada
siapa yang memopulerkan; 3) memiliki
lirik-lirik yang bermuatan feminisme.
Dari kriteria ini, ada lima lagu yang
dijadikan data, yaitu: ―Wedhus‖, ―Pikir
Keri‖, ―Sing Biso‖, ―Lilakno Aku‖, dan
―Ilang Roso‖. Lagu-lagu ini dipilih
karena sesuai dengan kriteria yang telah
dibuat dan merepresentasikan
feminisme. Tabel 1
Daftar Lagu
Judul Dipopuler
-kan
Pencipta Tahun
―Wedhus
‖
Wiwik
Sagita
Hidayati
dan
Iswan
Samudra
2014
―Pikir
Keri‖
Via Vallen Andi
Mbendol
2017
―Lilakno
Aku‖
Nella
Kharisma
Andi
Mbendol
2017
―Sing
Biso‖
Vita Alvia Angga
Samudra
2017
―Ilang
Roso‖
Via Vallen Om
Wawes
2017
Analisis data dilakukan dengan
mengalisis lirik lagu-lagu dangdut Jawa
koplo dan menginterpretasikannya
dengan pendekatan teori van Dijk.
Representasi Feminisme pada Lirik Lagu … (Herlianto A.)
6
Menurut van Dijk, suatu teks selalu
mengandung atau merepresentasikan
ideologi (pandangan) tertentu yang
berada dibalik teks, artinya teks selalu
terikat pada konteks. Untuk mengetahui
muatan ideologi ini analisis wacana
harus mengaitkan tiga hal yaitu teks,
kognisi sosial, dan konteks (Eriyanto,
2001: 225).
Teks adalah unsur bahasa itu sendiri
dalam hal ini adalah lima lirik lagu
dangdut koplo berbahasa Jawa. Lirik
sebagai teks dijabarkan dalam tiga
variabel berikut. 1) Struktur makro
menyangkut topik atau tema dari
masing-masing lagu. 2) Superstruktur
berkaitan dengan bagaimana lirik lagu
itu diorganisasi atau hubungan antara
lirik pembuka dan reffnya. Dalam hal ini
ada tiga kemungkinan, yaitu:
a) hubungan antara reff dan lirik
pembuka bersifat solutif artinya lirik
pembuka menceritakan masalah yang
dihadapi perempuan dan reff adalah
pilihan solusinya
b) lirik pembuka sebagai langkah
solutif dan reff menjelaskan
problemnya
c) lirik pembukan dan reff secara
langsung merepresentasikan
semangat pembebasan perempuan
atau feminisme;
3) Struktur mikro lirik yaitu menyangkut
bentuk kalimat, apakah kalimat yang
merepresentasikan feminisme
menggunakan kalimat lugas (eksplisit)
atau tidak lugas (implisit), lalu
menyangkut koherensi yaitu adanya
penghubung sebab akibat, serta
kemungkinan penggunaan metafora
mengingat tradisi Jawa cukup kental
dengan penggunaan metafora, hal ini
karena karakter orang Jawa yang lebih
suka tidak langsung dalam menyatakan
sesuatu.
Adapun kognisi sosial adalah proses
sejarah yang menjembatani antarkonteks
(di luar bahasa) dengan teks (Dijk, 2009:
29). Kognisi sosial adalah situasi sosial
berupa kesadaran mental masyarakat,
memori kolektif, atau cara pandang
masyarakat terhadap feminisme di
lingkungan Jawa. Pandangan ini yang
kemudian dipraktikkan dalam aktivitas
sehari-hari dan mempengaruhi produksi
lirik lagu. Dalam hal ini, akan diurai
secara ringkas sejarah feminisme di Jawa
sebagai kesadaran kolektif, dan gerakan-
gerakan feminisme yang pernah ada.
Sejarah feminisme beserta gerakannya
membentuk kesadaran kolektif
masyarakat tentang semangat feminisme.
Adapun konteks itu sendiri
berhubungan dengan situasi atau
lingkungan, atau berupa fenomena dan
peristiwa tertentu yang melingkupi atau
mendahului suatu teks (Dijk, 2008: 4).
Dalam hal ini, konteks diurai dari teks
yang mendahului teks lain yang
merepresentasikan feminisme sehingga
kalimat feminisme yang terdapat dalam
lagu dapat dijustifikasi sebagai deskripsi
kesetaraan perempuan karena didukung
oleh kalimat-kalimat lain.
Penyajian pembahasan akan dimulai
dari menjelaskan kesadaran kolektif
masyarakat Jawa, yaitu sejarah
feminisme di Jawa, kemudian dilanjut
dengan membahas lirik sebagai teks dan
berikut kaitan dengan konteksnya.
Konteks
Konteks
Kognisi Sosial
Teks
Jalabahasa Vol. 17, No. 1, Mei 2021, hlm. 1—14
7
HASIL DAN PEMBAHASAN
Mengacu pada pemetaan van Dijk dalam
analisis wacana kritisnya antara teks,
kognisi sosial, dan konteks, maka
pembahasan ini juga dipetakan
berdasarkan cara analisis tersebut.
Feminisme yang dituangkan dalam
bentuk teks pada lirik lagu dangdut
bukanlah peristiwa kebetulan melainkan
pengejawantahan dari kognisi atau
kesadaran sosial masyarakat Jawa yang
telah terbentuk selama puluhan tahun.
Pembentukan Kognisi Sosial
Feminisme Jawa
Kesadaran feminis masyarakat Jawa
terbentuk melalui gerakan-gerakan
perlawanan perempuan atas patriarki di
Jawa. Gerakan ini dimulai sejak era R.A.
Kartini 1879–1904 di Jepara. Dia
memelopori pendidikan untuk kaum
perempuan di saat penjajah dan budaya
patriarki tak memberi ruang perempuan
untuk belajar. Kartini yang terlahir dari
kaum nigrat memilih jalan yang berbeda
ketimbang perempuan Jawa umumnya.
Dia berani menentang tradisi patriarki
termasuk poligami, dan memberikan
pedidikan pada perempuan-perempuan
kelas bawah meski secara sembunyi-
sembunyi (Asmarani, 2017: 11)
Berikutnya lahir organisasi
Nasional Boedi Oetomo (1908) yang
memiliki organisasi sayap perempuan
yaitu Poetri Mahardika. Organisasi ini
memberikan ruang pada perempuan
untuk turut andil dalam berorganisasi
dan urusan publik. Dilanjut oleh
organisasi keagamaan Muhammadiyah
1917 di Yogyakarta yang juga memiliki
organisasi sayap perempuan Aisyiah.
Berikutnya tahun 1928 lahir Persatuan
Perempuan Indonesia (PPI) yang
menuntut haknya dalam pendidikan dan
menyuarakan reformasi perkawinan.
Pada masa pendudukan Jepang 1942
juga didirikan organisasi perempuan
bernama Fujinkai yang diikuti oleh para
istri kaum pegawai, salah satu misinya
adalah memberantas buta huruf di
kalangan perempuan (Djoeffan, 2001:
286).
Kemudian, pada pasca kemerdekaan
lahir Gerwani (Gerakan Wanita
Indonesia) tahun 1950. Organisasi ini
merupakan sayap partai PKI dengan visi
dan misi memberikan hak-hak yang
setara kepada perempuan dalam
pendidikan dan ruang publik. Banyak
segi yang disasar oleh organisasi ini,
mengingat perempuan yang menyebar di
beberapa bidang diperlakukan dengan
tidak setara. Misalnya, bidang pertanian,
pabrik, perkebunan, koperasi dan badan-
badan lainnya. Sayang organisasi ini
diterpa isu tidak sedap sehingga hilang
bersama dilarangnya PKI. Pada 1955
juga muncul organisasi Islam nasionalis
yang lebih banyak dikelola oleh partai
politik di antaranya, Balai Balai
Perempuan, Surau Perempuan, dan
Perwari (persatuan wanita republik
Indonesia) (Djoeffan, 2001: 288).
Pada era orde baru dan reformasi,
gerakan kesetaraan gender berkembang
pesat di tanah Jawa. Ditambah gagasan-
gagasan feminisme Barat yang juga
memperjuangkan kesetaraan gender
masuk ke lembaga-lembaga Jawa
sehingga perjuangan kesetaraan
perempuan dibuat pada lembaga formal
maupun nonformal. Lembaga formal
misalnya Dharma Wanita dan PKK.
Sementara itu, untuk lembaga nonformal
dikoordinasi oleh organisasi-organisasi
sosial semacam Nahdlatul Ulama yang
mengayomi organisasi Muslimat dan
Muhammadiyah yang terus
mengembangkan Aisyiah. Di luar itu,
juga berkembang LSM-LSM yang
Representasi Feminisme pada Lirik Lagu … (Herlianto A.)
8
memperjuangkan kesetaraan gender.
Organisasi-organisasi mahasiswa
memiliki sayap gerakan perempuan,
seperti Kohati di HMI (Himpunan
Mahasiswa Islam) dan Kopri di PMII
(Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia).
Dari sisi kesusastraan Jawa,
feminisme juga sudah sudah dikenal.
Ada beberapa karya-karya sastra Jawa
bermuatan semangat feminisme
sebagaimana diteliti oleh Widati (2009).
Ada beberapa karya-karya yang dinilai
memiliki visi feminisme di antaranya
Serat Rangsang Tuban ditulis Ki
Padmasoesastra, Katresnan karya M.
Soeratno, Ni Wungkuk Ing Bendha karya
Jasa Widagda, Larasati Modern oleh M.
Koesrin, Udan Luh karya Sri Rahayu
Prihatmi. Beberapa karya menyuaran
kesetaraan perempuan melalui peran
para tokoh yang ada di dalam karya
sastra tersebut.
Melihat peristiwa sejarah
perjuangan kesetaraan perempuan dan
kesusastraan Jawa yang turut
menyuarakan kesetaraan perempuan,
maka jelas bahwa kesadaran sosial
(social cognitive) masyarakat Jawa
adalah kesadaran yang bermuatan
feminis. Karena itu, karya-karya sastra
lainnya, dalam hal ini berupa lagu-lagu
dangdut koplo Jawa diproduksi dalam
kesadaran yang feminis tersebut.
Feminisme pada Lirik (Teks) Lagu
Dangdut Jawa
Kesadaran kolektif feminisme yang
dibentuk secara historis melalui realitas
sosial masyarakat sebagaimana
dijelaskan sebelumnya, mendorong
lahirnya karya-karya lagu dangdut koplo
Jawa yang juga bermuatan feminisme,
sebagaimana terdapat pada lima lagu
yang menjadi sampel dalam penelitian
ini. Lagu ―Wedhus‖ mengambil tema
utama (struktur makro) tentang pilihan
seorang perempuan dalam menjalin
hubungan dengan laki-laki. Dalam
tradisi kerajaan Jawa dikenal budaya
patriarki. Dalam budaya patriarki satu-
satunya pilihan perempuan adalah
menjadi istri atau lebih tidak beruntung
menjadi istri kedua (poligami).
Berbeda dengan tradisi tersebut,
lagu berjudul ―Wedhus‖ menolak
patriarki dengan mengajukan pilihan
hidup bagi perempuan. Dengan memberi
rasionalisasi atas pilihan perempuan,
lagu ini menyetarakan perempuan
dengan laki-laki. Dalam menjalin
hubungan tidak harus menikah bisa saja
hanya pacaran (gendakan) saja. Pilihan
yang sebetulnya tak mungkin dilakukan
dalam suatu masyarakat patriarki.
Namun, lagu ini menyuarakannya
sebagaimana diungkap dalam lirik
pembukanya.
mending tuku sate timbang tuku
Wedhuse
mending gendakan timbang dadi
bojone
‗lebih baik beli sate ketimbang beli
kambingnya‘
‗lebih baik pacaran ketimbang jadi
istrinya‘
Menjalin pacaran tanpa menikah
sebagai pilihan bebas disebabkan
peliknya budaya patriarki itu sendiri.
Dalam patriarki perempuan selalu
menjadi sosok yang terpinggirkan, sosok
yang harus terus-menerus mengalah,
termasuk mengalah untuk diduakan
kesetiaannya karena sang suami memilih
poligami. Dalam sistem sosial patriarki,
menurut de Beauvoir, perempuan
diposisikan sebagai second sex.
Pernikahan atau relasi percintaan lainnya
Jalabahasa Vol. 17, No. 1, Mei 2021, hlm. 1—14
9
seringkali tidak setara dalam
memperlakukan perempuan.
Belum lagi perempuan dihadapkan
pada sosok pria (suami) yang malas
bekerja dan mengambil enaknya. Atas
nama kepala keluarga, suami menjadi
pengatur utama segala keputusan.
Budaya inilah yang memungkinkan laki-
laki bertindak seenaknya. Meskipun,
dalam tradisi Jawa sendiri mengakui
akan tanggung jawab suami dalam
memberi nafkah keluarga. Akan tetapi,
patriarki disalahartikan dan memberi
ruang laki-laki untuk bersikap
sewenang-wenang dalam keluarga. Oleh
karena itulah, berpacaran menjadi
alternatif lain, perempuan lebih merdeka,
lebih mudah bagi perempuan untuk
mendapatkan uang dari laki-laki melalui
pacaran daripada menikah. Laki-laki
memiliki pengorbanan lebih tinggi pada
saat masih berpacaran daripada saat
sudah menjadi suami. Dengan pilihan
berpacaran ini perempuan tak perlu lagi
repot mengurus suami. Ini dinyatakan
pada lirik berikut.
mangan sate ora mikir burine
ngingu Wedhus dadak mikir sukete
timbang dibojo ora metu duite
mending tak gawe gendakan wae
‗makan sate tidak memikirkan
belakangnya‘
‗merawat kambing perlu memikirkan
rumputnya‘
‗daripada diperistri tidak keluar
uangnya‘
‗lebih baik dibuat pacaran saja‘
Dengan gaya penuh metaforis, lagu
ini memetaforakan laki-laki sebagai
kambing (Wedhus). Bahwa pilihan
berpacaran sama dengan makan sate.
Sate adalah jenis makanan yang salah
satunya berbahan daging kambing,
ditusuk, dan dibakar. Membuat sate
membutuhkan proses yang cukup
panjang, mulai dari memelihara
kambing, memotong, baru dapat daging.
Kemudian masih perlu dibakar,
dibuatkan bumbu, baru siap disajikan.
Akan tetapi, makan sate saja sangat
menguntungkan, tidak membutuhkan
proses yang melelahkan. Setelah makan
sate tidak ada kewajiban yang lain.
Berbeda jika memelihara kambing, perlu
merawatnya, harus memberi minum dan
makan, sungguh merepotkan. Di sisi
lain, kambing tidak bisa melakukan apa-
apa, hanya diam dan mengembik di
kandang, menunggu diberi makan dan
minum. Begitulah kehidupan patriarki
dimetaforakan oleh lagu Wedhus.
Menikah akan membawa perempuan
pada kondisi seperti memelihara
kambing.
Sementara itu, secara struktur mikro
lagu ini menggunakan kalimat tidak
langsung sebagaimana dikutip pada lirik
sebelumnya. Lagu ini menyatakan
kebebasan memilih bagi perempuan,
yang berarti perempuan berhak
menentukan hidupnya sendiri dalam
relasi keluarga. Perempuan menjadi
setara dengan laki-laki dalam
memutuskan yang terbaik bagi masa
depannya tanpa ketakutan atas ancaman
patriarki seperti dijustifikasi ―tidak
laku‖. Menempatkan perempuan dalam
kebebasan adalah visi feminisme itu
sendiri.
Lebih jauh eksplisitas feminisme itu
ditunjukkan melalui penggunaan
metafora Wedhus. Wedhus menjadi
simbol patriarki dalam lagu ini, ia
melambangkan laki-laki yang bertindak
anti kesetaraan gender. Adapun relasi
bagian teks (superstruktur teks) antara
lirik pembuka dan reff secara langsung
menggambarkan solusi atas patriarki,
dan bukan relasi sebab akibat. Reff dan
lirik pembuka sama-sama
Representasi Feminisme pada Lirik Lagu … (Herlianto A.)
10
menggambarkan semangat feminisme.
Ini menunjukkan bahwa lagu ini
diorganisasi sedemikian rupa untuk
merepresentasikan feminisme.
Kesetaraan perempuan juga tampak
pada lagu yang berjudul ―Pikir Keri‖.
Lagu ini mengilustrasikan perempuan
yang memberikan pilihan kepada laki-
laki apakah mau menikah atau tidak.
Dalam tradisi Jawa menikah adalah
suatu penghargaan bagi perempuan,
tidak dinikahi sama dengan tidak
dihargai. Dalam budaya patriarki, laki-
laki selalu menjadi pihak penentu apakah
menikah atau tidak. Jika pernikahan
tidak dilakukan oleh laki-laki maka
perempuan mendapat cibiran, yaitu
perempuan tidak laku, atau perempuan
yang tidak membawa berkah. Namun,
lagu ini menunjukkan bahwa tidak
dinikahi oleh laki-laki bukankah suatu
petaka bagi perempuan. Tidak
seharusnya perempuan meratapi
nasibnya karena gagal dinikahi,
perempuan masih tetap bisa bahagia.
Lagu ini menyatakan begini:
yen gelem tak jak rabi
yen ra gelem tak jagongi
sing ra penting pikir keri
‗kalau mau kuajak nikah‘
‗kalau tidak mau kutemani‘
‗yang tidak penting dipikir belakangan‘
Lirik ini seolah memberikan
penegasan agar laki-laki tidak mengelak
dan mempermainkan perempuan.
Sungguh suatu upaya pembebasan bagi
perempuan yang biasanya menunggu
atas segala keputusan pada laki-laki,
tetapi lagu ini menyatakan bahwa
perempuan juga lebih santai dan tidak
ambil pusing. ―Jagongi‖ berarti diikuti
maunya apa saja. Laki-laki tak bisa lagi
membuat-buat alasan yang mengada-ada
untuk menunda pernikahan seperti
belum punya pekerjaan, belum punya
uang, dan sebagainya karena itu semua
merupakan hal-hal yang harusnya
dipikirkan belakangan. Gagasan ini
menandakan bahwa perempuan
disetarakan dengan laki-laki dalam hal
pernikahan.
iki hati du parkiran maju mundur ra
karuan
iki hati du layangan tarik ulur
sembarangan
nanging tresno iki udu es teh plastikan
sing mbok cantelke lalu engkau
tinggalkan
‗hati ini bukan parkiran maju mundur
tak karuan‘
‗hati ini bukan layangan ditarik ulur
sembarangan‘
‗namun kasih sayang ini bukan es teh
plastikan‘
‗yang bisa dicantolkan lalu engkau
tinggalkan‘
Superstruktur lirik lagu ini
menjelaskan relasi sebab akibat antara
lirik pembuka dengan reff. Reff yang
menceritakan perempuan dipermainkan
oleh laki-laki sebagaimana ditunjukkan
pada petikan kedua lagu ―Pikir Keri‖.
Narasi ini menjadi konteks bagi lirik
pembuka gagasan feminisme
direpresentasikan. Dalam hal ini
dinyatakan bahwa hati perempuan
bukanlah parkiran tempat mobil maju
mundur, bahwa laki-laki dalam pilihan
menikah seringkali tidak pasti, plin-plan.
Perempuan juga bukan layangan yang
bisa ditarik ulur, bukan es teh plastik
yang bisa dicantolkan di manapun.
Menunggu janji laki-laki untuk menikahi
seperti menunggu mendung yang tidak
kunjung turun hujan. Oleh karena itu,
dalam ketidakpastian ini, segalanya
harus ditegaskan oleh perempuan itu
sendiri.
Jalabahasa Vol. 17, No. 1, Mei 2021, hlm. 1—14
11
Dalam menyampaikan gagasan
feminisme, lagu ini menggunakan
kalimat langsung dan tidak langsung.
Kalimat langsung melalui menegaskan
secara eksplisit maksud yang ingin
disampaikan yaitu kepastian menikah.
Sementara itu, kalimat yang tidak
langsung ditunjukkan dengan
penggunaan metafora seperti jagongi,
parkiran, layang-layang, dan es teh
plastikan. Penggunaan metafora ini
menjadi ciri bagaimana tradisi Jawa
menyampakan gagasan tertentu yang
cenderung tidak langsung.
Lagu ―Lilakno Aku‖ menceritakan
perempuan yang tidak mau diduakan.
Dia memilih ditinggalkan daripada harus
menanggung derita dipoligami oleh laki-
laki. Salah satu budaya patriarki yang
dilawan oleh feminisme adalah
kebiasaan poligami dengan berbagai
alasan. Perlawanan ini sebagaimana
ditunjukkan sejak era R.A. Kartini.
Kesetiaan tak bisa digadaikan dengan
apapun, mendua adalah salah satu
pengabaian terhadap kesetiaan dan
sekaligus menjadikan perempuan
sebagai orang kedua atau pelengkap
dalam kehidupan keluarga. Secara
langsung lagu ini menyatakan:
lilakno Aku, ikhlasno aku
yen pancen iki wes ora perlu
menjadikanku orang kedua
hatiku sungguh tidak rela
‗lepaskan aku, ikhlaskan aku‘
‗kalau memang ini sudah tidak perlu‘
‗menjadikan aku orang kedua‘
‗hatiku sungguh tidak rela‘
Kalimat-kalimat dalam lagu ini
menyatakan secara langsung maksud
penolakannya terhadap praktik poligami.
Tidak ada metafora yang digunakan.
Sementara relasi lirik pembuka dengan
reff bersifat sebab akibat. Lirik pembuka
yang menyatakan semangat feminisme
sebagai akibat dari sebab-sebab yang
dinyatakan pada reff. Lirik lagu pada reff
menjelaskan laki-laki yang tidak
memiliki kepastian bagi perempuan dan
memilih perempuan lain.
Konsep perempuan yang tidak mau
diduakan juga ditemukan pada lagu
―Sing Biso‖. Lagu ini mengisahkan
perempuan yang disakiti oleh laki-laki
berulang-ulang. Sekali dua kali disakiti
masih diberi maaf. Namun, si perempuan
pada akhirnya harus memberanikan diri
mengambil keputusan sendiri untuk
merdeka. Dia memilih untuk
meninggalkan hubungan yang menyiksa
tersebut. Dalam lagu ini, perempuan
digambarkan tidak mau larut dalam
penderitaan yang terus-menerus.
Penentuan pilihan dinyatakan secara
terang pada lirik berikut:
sing kuat maning isun wis warang
ulah riko wis kebangetan
kudu kelendi isun kentekan alak
kepaksa riko isun tinggal
‗tidak kuat lagi aku sudah tidak tahan‘
‗ulahmu sudah keterlaluan‘
‗harus bagaimana aku kehabisan akal‘
‗terpaksa aku kamu tinggal‘
Sebagaimana lagu ―Lilakno Aku‖,
pernyataan dalam ―Sing Biso‖ juga
dinyatakan secara langsung, tak ada
metafora. Adapun organisasi
suprastrukturnya berelasi sebab akibat.
Lirik pembuka menceritakan persoalan-
persoalan yang dialami perempuan, yaitu
disakiti berulang kali sehingga memilih
untuk meninggalkan laki-laki tersebut.
Hal itu dilakukan sebagai bentuk
kebebasan dan kesetaraan.
Semangat feminisme berikutnya
dinyatakan dalam lagu ―Ilang Roso‖.
Lagu ini menceritakan perempuan yang
mencintai laki-laki dengan tulus dan
Representasi Feminisme pada Lirik Lagu … (Herlianto A.)
12
menjaga cintanya dengan penuh
kesetiaan. Dia yakin janji laki-laki dapat
dipercaya dan tak akan menyakiti.
Namun, ternyata janji hanya tinggal
janji, si laki-laki tetap mengkhianati.
Akhirnya, perempuan dikisahkan
memilih meninggalkan lelaki. Pilihan itu
tepat karena dia merasa terbebas dari
masa lalunya yang tergantung pada laki-
laki. Perempuan tidak hanya
membutuhkan janji karena hanya
menyakitkan hati. Spirit untuk hidup
setara ini dinyatakan dengan lirik
berikut:
ra butuh welasmu, ra butuh tangismu
aku isa gawe kowe luweh lara
rontok ati iki nibani batinku
ilang rasa ninggalke catu neng atiku
lara ati iki kelingan janjimu
rasaku wes lali, rasaku wes mati
‗tidak butuh kasihanmu, tidak butuh
tangismu‘
‗aku bisa membuatmu lebih sakit‘
‗rontok hati ini menjatuhkan batinku‘
‗hilang rasa meninggalkan bekas di
hatiku‘
‗sakit hati ini teringat janjimu‘
‗rasaku sudah lupa, rasaku sudah mati‘
Lagu ini menggunakan kalimat
langsung dalam menyatakan gagasan
feminisme dan tanpa metafora. Apa yang
dinyatakan dalam lagu ini adalah upaya
memberikan ruang kepada perempuan
untuk memilih dan menentukan sendiri
hidup yang akan dijalani. Relasi kasih
sayang tidak seharusnya membuat
perempuan terdeskrisminasikan sehingga
seolah-olah perempuan tak punya
kekuatan untuk melawan dan mandiri
dalam memilih. Perempuan sungguh bisa
merdeka.
Kelima lagu di atas semuanya
merepresentasikan ideologi feminisme
yang secara historis sudah menjadi
kesadaran sosial dalam masyarakat Jawa.
Temuan ini cukup berbeda dengan
beberapa penelitian sebelumnya pada
lagu-lagu Indonesia baik yang bergenre
pop maupun dangdut. Penelitian lagu
dangdut seperti yang dilakukan Amelia
(2014) dan Asy-shidiqy (2016) justru
mendapatkan representasi patriarki
dalam beberapa lagu yang ditelitinya.
Perbedaan ini dapat dijelaskan karena
kedua peneliti ini dalam pengambilan
sampelnya tidak melibatkan dangdut
koplo Jawa sehingga representasi
datanya tidak mencakup semua lagu
dangdut di Indonesia. Ketiadaan sampel
dangdut berbahasa Jawa inilah
dimungkinkan adanya data sampel yang
terlewatkan. Begitu juga dengan
Ambarsiwi (2012) dan Lestari (2013)
yang menemukan patriarki dalam lagu-
lagu pop. Untuk perbedaan ini sangat
jelas, subjek penelitian dalam artikel ini
dan subjek penelitian yang dilakukan
oleh Ambarsiwi dan Lestari berbeda
genre sehingga sangat dimungkinkan
generalisasi tidak mencakup semua lagu-
lagu dangdut koplo. Padahal, kalau
dilihat dari fakta historis yang
membentuk kesadaran sosial masyarakat
Jawa tidak salah jika beberapa lagu
dangdut Jawa merepresentasikan
feminisme. Karena teks pastilah
terbentuk dari kondisi sosial
penciptanya, sebagaimana dinyatakan
dalam analisis wacana van Dijk.
Ditambah lagi, dalam dua penelitian
yang dilakukan di Barat oleh Keleta-
Mae (2017) dan Kainen (2018) yang
menemukan representasi feminisme pada
lagu-lagu Beyonce dan The Beatles.
Artinya, memungkinkan sekali lagu-lagu
itu menjadi media untuk
merepresentasikan feminisme, termasuk
lagu-lagu dangdut koplo Jawa.
Jalabahasa Vol. 17, No. 1, Mei 2021, hlm. 1—14
13
SIMPULAN
Artikel ini telah menunjukkan bahwa
lima lagu dangdut koplo Jawa
merepresentasikan feminisme.
Representasi tersebut tidak terlepas dari
konteks historis masyarakat Jawa bahwa
sedari awal ada kecenderungan untuk
menempatkan perempuan setara dengan
laki-laki. Hal ini telah dilakukan oleh
Kartini dan beberapa gerakan-gerakan
pejuang perempuan lainnya dalam
sejarah Jawa. Fakta inilah yang
kemudian memadat dalam kesadaran
sosial orang-orang Jawa sehingga lagu-
lagu dangdut koplo Jawa yang
diproduksi juga secara kontekstual
dipengaruhi peristiwa historis tersebut.
Penelitian ini hanya meneliti lagu-
lagu dangdut Jawa koplo modern, tahun
2014-2017. Subjek penelitiannya belum
menyasar pada lagu-lagu lawas Jawa
seperti campur sari. Ini merupakan
problem penelitian lebih jauh yang bisa
dilakukan untuk membuka lebih jauh
feminisme dalam kesusastraan Jawa.
DAFTAR PUSTAKA
Ambarsiwi, Inne Wahyu. 2012.
―Representasi Ideologi Patriarki
Dalam Lirik Lagu Mulan
Jameela‖. Skripsi. Jogjakarta:
UIN Sunan Kalijaga.
Amelia, Laras Shinta. 2014.
―Representasi Perempuan Dalam
Lirik Lagu Dangdut‖. Skripsi.
Malang: Universitas Brawijaya
Malang.
Ash-shidiqy, Hasby. 2016. ―Citra
Perempuan Dalam Lagu-Lagu
Dangdut: Analisa Feminisme
Dalam Budaya Populer‖. Jurnal
al-Tsaqafa Volume 13, No 1,
Tahun 2016, halaman 135–441.
UIN Sunan Gunung Djati.
Asmarani, Ratna. 2017. ―Perempuan
Dalam Perspektif Kebudayaan‖.
Jurnal Sabda. Vol. 12 No. 1,
Tahun 2017, halaman 7—16.
Djoeffan, Sri Hidayati. 2001. ―Gerakan
Feminisme Indonesia: Tantangan
Dan Strategi Mendatang‖. Jurnal
Mimbar. Vol. 3, No. XVII,
Tahun 2001, halaman 284–300.
Eriyanto. (2001). Analisis Wacana:
Pengantar Analisis Teks Media.
Yogyakarta: LKiS.
Gilman, Charlotte Perkins. 1898. Women
and Economic: A Study of The
Economics Relation Between
Men and Women as a Factor in
Social Evolution California:
University of California Press.
Kankainen, Pauliina. 2008. ―She‘s Not a
Girl Who Misses Much‖- The
Representation of Woman in The
Beatles‘ Song Lyrics‖. Thesis.
Universiry of Tampere: Pro
Gradu.
Lestari, Nunung. 2013. ―Representasi
Wanita Dalam Lirik Lagu Pop
Indonesia‖. Skripsi. Universitas
Muhammadiyah Malang.
Keleta-Mae, Naila. (2017). Beyonce
Feminist. Atlantis. 38.
Raditya, Michael H.B. & Simatupang,
Lono Lastoro. 2018. ―Negosiasi
Kultural dan Musikal Dangdut
Koplo pada Orkes Melayu Sonata
di Jombang‖. Panggung. Vol. 28,
No. 4. Tahun 2018, halaman
433—451.
Raditya, Michael H.B. 2018. ―Dangdut
Koplo: Memahani Perkembangan
Hingga Pelarangan‖. Jurnal Studi
Budaya Nusantara. Vol. 1, No.
1,Tahun 2018, halaman 10–23.
Setiaji, Denis. 2017. ―Tinjauan
Karakteristik Dangdut Koplo
Sebagai Perkembangan Genre
Musik Dangdut‖. Handep. Vol.
Representasi Feminisme pada Lirik Lagu … (Herlianto A.)
14
1, No. 1, Tahun 2017, halaman
19–33.
Susanti, Fitria Dwi. 2019.
―Perkembangan Musik Dangdut
Koplo Jawa Timur Tahun 2013-
2017‖. AVATARA, e-Journal
Pendidikan Sejarah. Vol. 7, No.
3, Tahun 2019, halaman 1—8.
Thornham, Sue. 2010. Teori Feminisme
dan Cultural Studies.
Yogyakarta: Jalasutra.
Tong, Rosemarie Putnam. 2010.
Feminist Thought: Pengantar
Paling Komprehensif Kepada
Arus Utama Pemikiran Feminis.
Yogyakarta: Jalasutra.
Walters, Margaret. 2005. Feminism:
Very Short Introduction. Oxford
University Press.
Widati, Sri. 2009. Feminisme Dalam
Sastra Jawa Sebuah Gambaran
Dinamika Sosial. Jurnal
ATAVISME. Vol. 12 No. 1.
Tahun 2009, halaman 83—96.
Woolf, Virginia. 1929. A Room of One’s
Own. London: The Hogarth
Press.
Woolf, Virginia. 1939. Three Guineas.
Tanpa Kota: Project Gutenberg.