relasi-kuasa dalam dangdut (studi kasus dangdut untuk media kampanye politik)

16
1 Relasi-Kuasa dalam Dangdut (Studi Kasus Dangdut untuk Media Kampanye Politik) Oleh Aris Setyawan Korespondensi: [email protected], twitter: @arissetyawan Mahasiswa jurusan Etnomusikologi ISI Yogyakarta angkatan 2010. NIM 1010373015. Peminat kajian seni dan politik. Abstract Dangdut is one of Indonesian notably-admired and most popular musics. However, since 1970s to current days, dangdut still holds stigma related to lower- middle class society audiences. This stigma makes dangdut used by politicians or any political party to hold their campaigns along. Dangdut is utilized as mass mobilization tool, gathering people to where politicians will conduct their speeches. This research aims to comprehend how power relation occurs on dangdut usage as political campaign media. The locus will be hold in Yogyakarta, which focus is laid on dangdut group titled Gilas OBB which once asked by one political party to be on stage along with the party campaign. The result of this research concludes that the power-relation occurred in this matter, is, as the matter of fact, suitable with Michel Foucault theory about how the power walks along in two paths which eventually results its own counter. Dangdut’s characteristics of simplicity and easily-understood by its audiences eventually have been seen merely as mass mobilization tool which has nothing to do with initiating ideology to society. This has been proved when power (political party) holds campaign involving society (dangdut spectator) while the people don’t relate party’s ideology with dangdut of which they experience and see it only as sole entertainment. Accordingly, Gilas OBB as the performer didn’t amenably follow the ideology of political party which paid them, and instead, they carry on and declare their neutrality and apathy approach in this matter. Keyword: dangdut, politics, power relation.

Upload: aris-setyawan

Post on 17-Dec-2015

50 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Artikel ini mencoba menjawab pertanyaan kenapa musik dangdut selalu digunakan sebagai media kampanye politik?

TRANSCRIPT

  • 1

    Relasi-Kuasa dalam Dangdut (Studi Kasus Dangdut untuk Media

    Kampanye Politik)

    Oleh Aris Setyawan

    Korespondensi: [email protected], twitter: @arissetyawan

    Mahasiswa jurusan Etnomusikologi ISI Yogyakarta angkatan 2010. NIM

    1010373015. Peminat kajian seni dan politik.

    Abstract

    Dangdut is one of Indonesian notably-admired and most popular musics.

    However, since 1970s to current days, dangdut still holds stigma related to lower-

    middle class society audiences. This stigma makes dangdut used by politicians or

    any political party to hold their campaigns along. Dangdut is utilized as mass

    mobilization tool, gathering people to where politicians will conduct their

    speeches.

    This research aims to comprehend how power relation occurs on dangdut

    usage as political campaign media. The locus will be hold in Yogyakarta, which

    focus is laid on dangdut group titled Gilas OBB which once asked by one political

    party to be on stage along with the party campaign.

    The result of this research concludes that the power-relation occurred in

    this matter, is, as the matter of fact, suitable with Michel Foucault theory about

    how the power walks along in two paths which eventually results its own counter.

    Dangduts characteristics of simplicity and easily-understood by its audiences

    eventually have been seen merely as mass mobilization tool which has nothing to

    do with initiating ideology to society. This has been proved when power (political

    party) holds campaign involving society (dangdut spectator) while the people

    dont relate partys ideology with dangdut of which they experience and see it

    only as sole entertainment. Accordingly, Gilas OBB as the performer didnt

    amenably follow the ideology of political party which paid them, and instead, they

    carry on and declare their neutrality and apathy approach in this matter.

    Keyword: dangdut, politics, power relation.

  • 2

    Abstrak

    Dangdut adalah salah satu musik yang paling populer dan paling digemari

    masyarakat Indonesia. Namun semenjak tahun 70-an hingga sekarang dangdut

    tetap mendapatkan stigma sebagai musiknya rakyat atau musik kalangan

    menengah kebawah. Stigma yang melekat ini yang menjadikan dangdut kemudian

    dimanfaatkan oleh politisi maupun partai politik untuk menjadi media kampanye

    politik. Dangdut digunakan sebagai alat mobilisasi massa, untuk mengumpulkan

    sebanyak mungkin orang ke sebuah titik lalu para politisi akan menyampaikan

    orasi politiknya.

    Penelitian ini bertujuan mencari bagaimana relasi-kuasa yang terjadi

    dalam penggunaan musik dangdut sebagai media kampanye politik. Locus atau

    lokasi penelitian berada di Yogyakarta dengan focus sebuah grup dangdut

    bernama Gilas OBB yang disewa oleh salah satu parpol untuk bermain di

    kampanye terbuka mereka.

    Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa ternyata relasi-kuasa yang

    terjadi dalam kasus ini persis seperti yang diungkapkan Michel Foucault bahwa

    kuasa berjalan dalam dua arah, setiap ada kuasa pasti ada perlawanan. Bahwa

    musik dangdut sebagai sebuah musik dengan bentuk yang sederhana dan mudah

    dipahami penikmatnya ternyata hanya sebatas sebuah alat mobilisasi massa dalam

    kampanye politik, tidak serta merta memengaruhi ideologi masyarakat. Ini

    terbukti saat kuasa (partai politik) mengadakan kampanye, masyarakat yang hadir

    dalam kampanye (para penikmat dangdut) tidak serta merta mengikuti ideologi

    partai dan menganggap musik dangdut yang dihadirkan sebatas sebagai hiburan.

    Begitu juga dengan Gilas OBB yang tidak serta merta mengikuti ideologi partai

    yang menyewanya, mereka melawan dengan menyatakan diri sebagai netral dan

    apatis.

    Kata kunci: dangdut, politik, relasi kuasa.

  • 3

    Pendahuluan

    Dangdut is the music of my country adalah judul lagu dari sebuah grup

    musik pop bernama Project Pop yang sempat populer di Indonesia pada dekade

    tahun 2003. Frasa dalam lagu tersebut seolah menegaskan sebuah pernyataan

    bahwa di tengah masyarakat Indonesia yang multikultural, dangdut adalah musik

    asli Indonesia yang dapat menyatukan segala perbedaan tersebut menjadi satu

    identitas kebangsaan Indonesia yang tunggal.

    Pada awal 1970-an, musik berbasis India yang dimainkan orkes Melayu---

    mengkristal menjadi dangdut. Anggapan tentang dangdut sebagai musik "rakyat"

    muncul di era ini. Dan semenjak itu menjadi tema yang tak pernah pudar.1

    Dangdut kemudian mendapat stigma sebagai musik rakyat, dalam

    perkembangannya hal ini menjurus pada cap dangdut sebagai musik asli

    Indonesia. Cap tersebut muncul dengan pertimbangan sebagian besar penikmat

    musik dangdut adalah golongan menengah-kebawah yang sering mendapat cap

    sebagai rakyat. Seperti dikatakan Ariel Heryanto bahwa betapa pun, pemahaman

    populer tentang rakyat masih bertahan: rakyat sebagai "sosok-sosok lugu yang

    unggul secara moral, lemah secara ekonomi, tapi berdaulat secara politis, yang

    sering menderita ketidakadilan yang ditimbulkan oleh kaum kaya dan berkuasa."2

    Pernyataan di atas menegaskan bahwa semenjak dilahirkan pada dekade

    1970 sebagai musik sintesis dari India, Melayu, dan unsur rock seperti yang

    1Andrew Weintraub. Dangdut: Musik, Identitas, Dan Budaya Indonesia. (Jakarta:

    Gramedia Pustaka Utama. 2012), 90. 2Ariel Heryanto. The Years of Living Luxoriosly: Identity Politics of Indonesias New

    Rich. Dalam M. Pinches, ed. Culture and Privilege In Capitalist Asia. (London: Routledge.

    1999), 162.

  • 4

    dimainkan Rhoma Irama dan Soneta, dangdut bukan lagi sekadar sebuah musik

    dan identitas kultural kebangsaan persis yang dikatakan Project Pop. Dalam

    dangdut terdapat berbagai aspek lain seperti politik dan ekonomi.

    Gambar 1; Evie Tamala dalam kampanye PDIP (Foto Andrew Weintraub)

    Andrew Weintraub misalnya menemukan bahwa dangdut dapat menjadi

    media komunikasi politik yang mumpuni untuk memobilisasi massa atau rakyat.

    Ia mencatat pada dekade 1990-an dangdut sudah mulai digunakan sebagai media

    kampanye politik oleh partai yang berkuasa saat itu. Dan praktek komunikasi

    politik menggunakan dangdut tersebut akhirnya bertahan sampai sekarang. Walau

    sebenarnya beberapa pakar ilmu politik menyatakan bahwa pengaruhnya bukan

    pada elektabilitas melainkan pada mobilisasi massa di area kampanye.--- itu bisa

    jadi daya tarik, karena mampu memobilisasi masyarakat akar rumput atau kelas

    bawah untuk datang.3

    3Gun Gun Heryanto. Masyarakat Lebih Tertarik Dangdut Ketimbang Program Partai.

    (Detik.com. Diakses 30 januari 2014)

  • 5

    Gilas OBB adalah sebuah grup dangdut asal Yogyakarta yang sebagian

    besar anggotanya adalah anak muda. Adalah Candra (gitar satu), Iyan (gitar dua),

    Wisnu Penjol (suling), Irawan (bass), Julian (keyboard satu), Umam (drum),

    Agung (keyboard dua), Gendut (kendang), dan Kingkin (MC). Pada tahun 2009

    sekelompok anak muda ini menyukai musik genre dangdut dan akhirnya

    memutuskan untuk membentuk grup dangdut.

    Gambar 2; Gilas OBB. (Foto Moch Khatibul Umam)

    Pada mulanya Gilas OBB memainkan musik yang mereka sebut sebagai

    rockdut atau rock dangdut. Yakni perpaduan antara musik rock dengan adanya

    instrumen konvensional seperti gitar, bass, drum dan keyboard yang memainkan

    riff-riff ala musik rock. Serta dipadukan dengan unsur musik dangdut berupa

    hentakan ketipung, tiupan suling, serta vokal dengan cengkok dangdut yang khas.

    Namun seiring perkembangan semakin ke sini Gilas OBB mengakui

    bahwa musik mereka semakin berubah condong ke dangdut koplo, varian terbaru

    dari dangdut yang lebih dulu populer di kawasan Jawa Timur maupun Pantura.

  • 6

    Dangdut koplo dengan tempo yang lebih cepat inilah yang sekarang banyak

    digemari oleh para penikmat dangdut. Meskipun Rhoma Irama sebagai raja

    dangdut yang dianggap peletak pertama pondasi musik dangdut menganggap

    koplo bukanlah bagian dari dangdut dan tidak bisa disebut sebagai dangdut karena

    sudah keluar dari pakem dangdut,4 namun faktanya penggemar dangdut jaman

    sekarang banyak yang menggemari dangdut koplo. Hal ini memaksa Gilas OBB

    juga mengubah konsep musiknya dari rockdut menjadi dangdut koplo agar dapat

    diterima penonton.

    Tahun 2014 adalah tahun politik karena pada tahun inilah digelar pemilu

    atau pemilihan umum. Semua partai politik (parpol) dan politisi berlomba-lomba

    mencari cara untuk menarik simpati rakyat agar mendekat kepada mereka.

    Kemudian menyumbangkan suaranya pada saat pemilihan sehingga politisi

    tersebut dapat memegang tampuk kuasa di pemerintahan. Salah satu yang

    digunakan untuk menarik massa oleh parpol dan politisi dalah musik dangdut.

    Andrew Weintraub mencatat bahwa sejak tahun 1970-an, para politisi telah

    menggunakan dangdut, sebentuk musik rakyat, untuk menggalang massa dalam

    kampanye. Rhoma irama menduduki posisi istimewa dalam kampanye-kampanye

    politik karena ia sejak lama diidentikkan dengan rakyat. Rhoma sudah lama

    terjun di kancah politik nasional, mula-mula sebagai kader Partai Persatuan

    pembangunan (PPP), kemudian banting setir menjadi anggota partai Golongan

    Karya (Golkar).5

    4http://okezone.com/read/2012/03/05/386/587017/rhoma-irama-koplo-bukan-musik-

    dangdut (diakses 16 mei 2014) 5Weintraub, 2012, 3.

  • 7

    Penelitian ini berusaha mencari relasi-kuasa atau power-relations seperti

    apa yang berkelindan di balik penggunaan musik dangdut sebagai media

    kampanye politik ini? Berkacamata pada kacamata etnomusikologi yang mengkaji

    aspek budaya dalam musik, serta dengan paradigma post-strukturalisme Michel

    Foucault.

    Pembahasan

    Gilas OBB dan Panggung Politik

    Gilas OBB sebagai sebuah grup dangdut yang cukup diperhitungkan di

    Yogyakarta akhirnya juga ikut bermain di kampanye politik. Adalah Partai

    Demokrasi Perjuangan (PDIP) yang mengundang Gilas OBB untuk bermain di

    kampanye terbuka partai berlambang banteng bermoncong putih tersebut.

    Kampanye terbuka untuk putaran pemilu legislatif tersebut digelar di lapangan

    Denggung Sleman pada tanggal 25 maret 2014. Gilas OBB dibayar sekitar lima

    belas juta untuk sekali manggung, menghibur massa yang datang dalam

    kampanye terbuka tersebut.

  • 8

    Gambar 3; Gilas OBB di kampanye PDIP (Foto Slamet Riyadi)

    Namun selain bermain untuk kampanye pileg tersebut, sebelumnya Gilas

    OBB juga sering diundang untuk bermain di kampanye Pilkada atau para caleg

    tingkat kabupaten. Sudah sejak 2010 PDIP cabang Sleman mengundang Gilas

    OBB untuk bermain di kampanye (Pilkada) maupun event internal partai. Akan

    tetapi agak berbeda dalam penampilan dimana untuk panggung besar seperti

    kampanye PDIP tersebut mereka bermain dalam bentuk full band atau personil

    lengkap. Sementara untuk kampanye tingkat kabupaten lebih seringnya mereka

    tampil dalam format mini (electone) dengan personil yang lebih sedikit. Biasanya

    pertimbangannya adalah harga sewa yang lebih murah maka Gilas OBB hanya

    menampilkan electone yang lebih efisien secara harga. Berbeda dengan full set

    band.

  • 9

    Memahami Relasi-Kuasa

    Sebelum kita dapat mencari relasi-kuasa seperti apa yang berkelindan

    dibalik penggunaan musik dangdut sebagai media kampanye politik ini, ada

    baiknya kita memahami terlebih dahulu apa itu relasi-kuasa atau power-relations.

    Konsep ini dikenalkan oleh filsuf dan ilmuwan Perancis Michel Foucault sebagai

    sebuah kritik pada konsep kuasa yang sebelumnya banyak digunakan oleh para

    pemikir Marxist. Sebelumnya banyak pemikir Marxist seperti Louis Althusser

    beranggapan bahwa kuasa itu selalu berjalan satu arah dari atas menuju bawah,

    dari yang berkuasa menuju yang dikuasai. Implementasinya dalam kehidupan

    politik dalam masyarakat maka pemerintah adalah penguasa dan rakyat atau

    masyarakat adalah obyek atau boneka yang dikuasai dan bisa digerakkan sesuka-

    hati.6 Untuk lebih mudah memahami kuasa dalam kacamata Althusser dapat

    diperhatikan pada gambar berikut ini:

    Gambar 4; Kuasa menurut Louis Althusser.

    Pada gambar tersebut dapat dilihat terjadi sebuah proses represi satu arah.

    Ada dua kotak berisi kuasa pada posisi atas yang menekan sebuah lingkaran berisi

    pihak lemah di bagian bawah. Proses represi ini terjadi satu arah, pihak kuasa baik

    6Cf. L. Althusser. Essays on Ideology, (London, Verso. 1984)

  • 10

    berjumlah satu maupun banyak selalu berada di atas dan menekan pihak lemah

    yang berada di bawah. Pihak kuasa adalah subjek yang aktif dan mampu

    melakukan apapun sesuai keinginannya, sementara pihak yang lemah adalah

    objek yang pasif dan tidak bisa melakukan apapun sesuai keinginannya. Pihak

    lemah sebagai objek yang pasif harus menurut pada apapun kehendak pihak kuasa

    yang aktif.

    Sementara Foucault menolak konsep kuasa seperti itu. Alih-alih Foucault

    menjabarkan bahwa a) Kuasa adalah sebuah sistem, jaringan relasional yang

    meliputi seluruh lapisan masyarakat, bukan sekadar relasi antara 'yang berkuasa'

    dan yang ,dikuasai'; b) individu bukan hanya sekadar objek dari kuasa, tapi

    mereka adalah locus (lokasi) dimana kuasa dan perlawanan digunakan.7 Untuk

    lebih mudah memahami kuasa dalam kacamata Foucault dapat diperhatikan pada

    gambar berikut ini:

    Gambar 5; Kuasa menurut Foucault.

    Pada gambar tersebut dapat dilihat bahwa sebuah kotak berisi kuasa

    berada di atas. Sementara dua kotak berisi pihak lemah berada di bawah.

    Kondisinya kurang lebih sama dengan yang dipaparkan Althusser bahwa pihak

    7Sara Mills. Michel Foucault (London, Routledge, 2003), 35.

  • 11

    kuasa menekan atau merepresi pihak lemah. Namun bedanya adalah adanya

    keyakinan Foucault bahwa pihak lemah sebagai sebuah individu bukan sekadar

    objek yang pasif. Individu adalah sebuah subjek aktif organik, dalam artian subjek

    ini berhubungan dengan subjek yang lain dan berorganisasi. Dapat dilihat dalam

    gambar bahwa satu pihak lemah ternyata berhubungan dengan pihak lemah

    lainnya. Jadi saat pihak kuasa merepresi mereka, maka pihak lemah ini

    berhubungan dengan pihak lemah lain lalu memunculkan perlawanan kepada

    pihak kuasa. Ini dapat dilihat dalam gambar bahwa ada panah yang kembali

    menuju atas, panah dari pihak lemah kembali menuju pihak kuasa. Ini adalah

    panah perlawanan.

    Setelah memahami apa itu relasi-kuasa baru kita dapat membaca relasi-

    kuasa seperti apa yang terjadi dalam fenomena dangdut sebagai media kampanye

    politik. Barangkali dalam kehidupan politik di Indonesia selama ini kita lebih

    mengamini konsep kuasa yang pertama, bahwa pemerintah (kuasa) selalu

    menjadikan rakyat sebagai objek atau boneka yang selalu bisa disetir dengan

    berbagai kebijakan. Dengan keyakinan pada konsep itu kita bisa saja yakin bahwa

    dangdut adalah sebuah media yang digunakan oleh pemerintah untuk menyetir

    rakyat agar mengikuti agenda politiknya. Mungkin ini bisa terjadi pada era tahun

    1970-an, saat dangdut mulai digunakan untuk kampanye politik. Saat dimana

    Rhoma Irama menjadi juru kampanye untuk Golkar dan berhasil menyeret opini

    masyarakat agar mengikuti agenda politik Golkar.8 Hasilnya, Golkar menjadi

    partai berkuasa selama tiga puluh dua tahun. Naif memang jika menganggap

    8Weintraub, 2012, 3-4.

  • 12

    Rhoma Irama dan dangdut yang membuat Golkar berkuasa, namun andilnya

    dalam menggiring masyarakat agar mengikuti agenda partai tak dapat dipungkiri

    cukup besar.

    Namun seperti diyakini Foucault bahwa sejarah tidak berjalan linear,

    bahwa perubahan zaman akan mengubah kondisi sosial suatu masyarakat. Maka

    kondisi tahun 70-an tentu berbeda dengan tahun 2000-an ke atas. Dengan

    menggunakan analisa relasi-kuasa Foucault dapat dibaca bahwa dangdut tak

    selamanya benar-benar dapat menggiring opini masyarakat untuk secara

    konsensus menyepakati kekuatan politik tertentu. Masyarakat bukanlah objek

    yang dapat disetir oleh kuasa (dengan musik dangdut) agar mengikuti setiap

    agenda mereka. Masyarakat adalah subjek, sebuah individu yang mandiri dan

    dapat berpikir mana yang baik dan mana yang buruk. 9

    Dengan konsep relasi-kuasa ala Foucault kita dapat mengamati bahwa

    dalam hubungan antara Gilas OBB dan partai politik yang menyewanya. Ada

    relasi yang begitu kompleks dan lebih dari sekedar hubungan antara yang

    berkuasa dan yang dikuasai. Hal ini terbukti dengan kondisi saat Gilas OBB

    bermain untuk kampanye PDIP pada bulan maret 2014, sekalipun dua puluh lima

    ribu orang yang datang ke kampanye terbuka itu begitu banyak dan begitu riang

    berjoget dan bernyanyi saat Gilas OBB membawakan lagu-lagu dangdut, namun

    belum tentu mereka yang datang benar-benar memilih PDIP saat tiba waktu

    pemilihan suara. Dangdut sekadar menjadi penarik massa agar mereka bisa datang

    ke tempat itu karena ada hiburannya. Yang penting adalah menarik massa dulu,

    9Sergiu Bllan. M. Foucaults View On Power Relations.

    Http://cogito.ucdc.ro/nr_2v2/M.%20FOUCAULT'S%20VIEW%20ON%20POWER%20RELATI

    ONS.pdf (Diakses pada 24 mei 2014)

  • 13

    mengumpulkannya ke sebuah titik. Walau kenyataannya setelah hiburan dangdut

    biasanya orang-orang pada pergi meninggalkan parpol atau politisi yang sedang

    berorasi. Hal ini diamini pihak PDIP bahwa musik dangdut digunakan sebagai

    media kampanye karena musik ini memasyarakat. Ini adalah semacam political

    branding dari partai tersebut, dengan menghadirkan musik yang merakyat pada

    kampanyenya maka partai tersebut ingin menunjukkan pada konstituen bahwa

    mereka dekat dengan rakyat.

    Perlawanan dalam Relasi-Kuasa Dangdut dan Kampanye Politik

    Masyarakat ternyata sudah lebih mengerti bahwa dangdut adalah sebuah

    media yang tengah dimanfaatkan kuasa untuk menyetir mereka sebagai

    masyarakat agar mengikuti agenda politik parpol. Seperti dijelaskan Foucault

    dalam An Introduction. Vol. 1 of The History of Sexuality bahwa selama ada

    kuasa, maka akan ada perlawanan.10

    Maka massa yang hadir di kampanye parpol

    dengan asyik bergoyang dan bernyanyi saat ada grup dangdut bermain di

    panggung, namun saat dangdut selesai dan politisi mulai berorasi, massa biasanya

    sudah malas mendengarkan orasi politik dan sebagian besar akan pergi

    meninggalkan lokasi kampanye. Ini bisa dibaca sebagai sebuah bentuk

    perlawanan pada kuasa. Bahwa dibalik segala janji-janji manis politik ala orasi,

    masyarakat sudah sulit mempercayainya lagi sehingga mereka melawan dengan

    meninggalkan lokasi kampanye.

    Gilas OBB sebagai artist dangdut yang didaulat oleh parpol untuk

    berkampanye pun rupanya melontarkan perlawanan yang sama. Mereka tidak

    10Bllan, 2014.

  • 14

    pernah menganggap diri sebagai bagian dari parpol yang menyewa mereka. Gilas

    OBB tidak secara ideologis mengamini setiap program parpol yang menyewanya.

    Bagi Gilas OBB mereka adalah seniman yang ora nggagas politik11

    fleksibel dan

    malas mengikuti tetek bengek program politik. Mereka menganggap pertunjukan

    mereka di panggung kampanye tersebut hanya sebagai bentuk komersil atau

    mencari uang. Hubungan mereka dengan PDIP dianggap sebatas hubungan client

    yang professional tanpa ikatan ideologis. Jadi seandainya ada partai politik lain

    yang menyewa Gilas OBB untuk bermain di kampanye mereka, undangan

    bermain tersebut akan tetap diterima selama ada nominal yang layak dan kontrak

    yang menyatakan bahwa mereka hanya bermain musik, tidak terikat program

    ideologi partai. Inilah bentuk perlawanan, Gilas OBB melawan dengan

    menyatakan diri sebagai seniman yang netral, apatis, tidak memihak satupun

    partai yang menyewanya.

    Penutup

    Jika Rhoma Irama sebagai raja dangdut saja sudah berkampanye dalam

    panggung politik sejak tahun 70-an, maka sudah dapat ditebak bahwa para artist

    penerusnya, mereka yang memainkan musik dangdut, juga bakal dimanfaatkan

    oleh para politisi untuk media kampanye. Gilas OBB sebagai salah satu grup

    dangdut yang cukup diperhitungkan di Yogyakarta akhirnya juga masuk dalam

    ranah panggung politik ini. Saat mereka diundang oleh salah satu partai politik

    besar untuk bermain di kampanye mereka.

    11

    Tidak peduli politik (Jawa)

  • 15

    Yang kemudian menarik adalah sikap politik dari Gilas OBB. Berbeda

    dengan Rhoma Irama yang dulu berkampanye untuk PPP dan Golkar dengan

    ideologi yang benar-benar ada. Dalam artian saat Rhoma berkampanye dalam

    kedua partai itu, maka secara ideologis Rhoma juga mendukung apapun program

    partai. Dengan lugas Rhoma Irama mendeklarasikan bahwa Rhoma Irama

    mendukung penuh partai tersebut. Sementara Gilas OBB ternyata berbeda, saat

    bermain untuk kampanye politik, mereka menanggalkan nama Gilas OBB.

    Mereka bermain sebagai grup tanpa nama. Penghilangan nama tersebut dapat

    dibaca sebagai sikap politik mereka. Mereka menganggap diri mereka sekadar

    sebagai seniman yang diundang untuk bermusik. Jadi Gilas OBB tidak secara

    ideologis mengikuti program partai yang mengundang mereka bermain di

    kampanye. Mereka tidak lantas dengan bangga menyatakan Gilas OBB

    mendukung penuh PDIP. Gilas OBB hanya datang sebagai artist yang diundang

    untuk bermain. Dan cukup demikian. Maka seandainya ada parpol lain yang

    mengundang bermain sekalipun Gilas OBB tetap akan melayaninya karena tujuan

    mereka hanya ingin bermusik sebagai seniman. Mengabaikan sama sekali unsur

    politis dari panggung kampanye itu.

    Dengan relasi-kuasa yang telah terbaca seperti di atas, seharusnya politisi

    dan parpol segera memulai berpolitik gagasan atau ide. Menjual gagasan dan ide

    tersebut kepada rakyat selama masa kampanye. Tidak lagi menggunakan dangdut

    sebagai political branding karena kenyataannya rakyat bukan sekadar objek,

    mereka adalah subjek organik yang bisa berpikir sendiri dan menyadari dangdut

    hanya sebatas alat mobilisasi massa. Dangdut harus mendapat sebuah tempat

  • 16

    terhormat sebagai bentuk kesenian bangsa, sama seperti saat gamelan atau musik

    Indonesia lainnya mendapat tempat sebagai kesenian bangsa yang adiluhung.

    DAFTAR PUSTAKA

    Buku

    Althusser, Louis. 1984. Essays on Ideology,. London, Verso.

    Heryanto, Ariel. 1999. The Years of Living Luxoriosly: Identity Politics of

    Indonesias New Rich. Dalam M. Pinches, ed. Culture and Privilege In Capitalist Asia. London: Routledge.

    Mills, Sara. 2003 Michel Foucault. London, Routledge.

    Weintraub, Andrew. 2012. Dangdut: Musik, Identitas, dan Budaya Indonesia.

    Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

    Internet

    Bllan, Sergiu. M. Foucaults View On Power Relations. Http://cogito.ucdc.ro/nr_2v2/M.%20FOUCAULT'S%20VIEW%20ON%20POW

    ER%20RELATIONS.pdf (Diakses pada 24 mei 2014)

    Heryanto, Gun Gun. Masyarakat Lebih Tertarik Dangdut Ketimbang Program

    Partai. (Detik.com. Diakses 30 januari 2014)

    http://okezone.com/read/2012/03/05/386/587017/rhoma-irama-koplo-bukan-

    musik-dangdut (diakses 16 mei 2014)