relasi-kuasa dalam dangdut (studi kasus dangdut untuk media kampanye politik)
DESCRIPTION
Artikel ini mencoba menjawab pertanyaan kenapa musik dangdut selalu digunakan sebagai media kampanye politik?TRANSCRIPT
-
1
Relasi-Kuasa dalam Dangdut (Studi Kasus Dangdut untuk Media
Kampanye Politik)
Oleh Aris Setyawan
Korespondensi: [email protected], twitter: @arissetyawan
Mahasiswa jurusan Etnomusikologi ISI Yogyakarta angkatan 2010. NIM
1010373015. Peminat kajian seni dan politik.
Abstract
Dangdut is one of Indonesian notably-admired and most popular musics.
However, since 1970s to current days, dangdut still holds stigma related to lower-
middle class society audiences. This stigma makes dangdut used by politicians or
any political party to hold their campaigns along. Dangdut is utilized as mass
mobilization tool, gathering people to where politicians will conduct their
speeches.
This research aims to comprehend how power relation occurs on dangdut
usage as political campaign media. The locus will be hold in Yogyakarta, which
focus is laid on dangdut group titled Gilas OBB which once asked by one political
party to be on stage along with the party campaign.
The result of this research concludes that the power-relation occurred in
this matter, is, as the matter of fact, suitable with Michel Foucault theory about
how the power walks along in two paths which eventually results its own counter.
Dangduts characteristics of simplicity and easily-understood by its audiences
eventually have been seen merely as mass mobilization tool which has nothing to
do with initiating ideology to society. This has been proved when power (political
party) holds campaign involving society (dangdut spectator) while the people
dont relate partys ideology with dangdut of which they experience and see it
only as sole entertainment. Accordingly, Gilas OBB as the performer didnt
amenably follow the ideology of political party which paid them, and instead, they
carry on and declare their neutrality and apathy approach in this matter.
Keyword: dangdut, politics, power relation.
-
2
Abstrak
Dangdut adalah salah satu musik yang paling populer dan paling digemari
masyarakat Indonesia. Namun semenjak tahun 70-an hingga sekarang dangdut
tetap mendapatkan stigma sebagai musiknya rakyat atau musik kalangan
menengah kebawah. Stigma yang melekat ini yang menjadikan dangdut kemudian
dimanfaatkan oleh politisi maupun partai politik untuk menjadi media kampanye
politik. Dangdut digunakan sebagai alat mobilisasi massa, untuk mengumpulkan
sebanyak mungkin orang ke sebuah titik lalu para politisi akan menyampaikan
orasi politiknya.
Penelitian ini bertujuan mencari bagaimana relasi-kuasa yang terjadi
dalam penggunaan musik dangdut sebagai media kampanye politik. Locus atau
lokasi penelitian berada di Yogyakarta dengan focus sebuah grup dangdut
bernama Gilas OBB yang disewa oleh salah satu parpol untuk bermain di
kampanye terbuka mereka.
Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa ternyata relasi-kuasa yang
terjadi dalam kasus ini persis seperti yang diungkapkan Michel Foucault bahwa
kuasa berjalan dalam dua arah, setiap ada kuasa pasti ada perlawanan. Bahwa
musik dangdut sebagai sebuah musik dengan bentuk yang sederhana dan mudah
dipahami penikmatnya ternyata hanya sebatas sebuah alat mobilisasi massa dalam
kampanye politik, tidak serta merta memengaruhi ideologi masyarakat. Ini
terbukti saat kuasa (partai politik) mengadakan kampanye, masyarakat yang hadir
dalam kampanye (para penikmat dangdut) tidak serta merta mengikuti ideologi
partai dan menganggap musik dangdut yang dihadirkan sebatas sebagai hiburan.
Begitu juga dengan Gilas OBB yang tidak serta merta mengikuti ideologi partai
yang menyewanya, mereka melawan dengan menyatakan diri sebagai netral dan
apatis.
Kata kunci: dangdut, politik, relasi kuasa.
-
3
Pendahuluan
Dangdut is the music of my country adalah judul lagu dari sebuah grup
musik pop bernama Project Pop yang sempat populer di Indonesia pada dekade
tahun 2003. Frasa dalam lagu tersebut seolah menegaskan sebuah pernyataan
bahwa di tengah masyarakat Indonesia yang multikultural, dangdut adalah musik
asli Indonesia yang dapat menyatukan segala perbedaan tersebut menjadi satu
identitas kebangsaan Indonesia yang tunggal.
Pada awal 1970-an, musik berbasis India yang dimainkan orkes Melayu---
mengkristal menjadi dangdut. Anggapan tentang dangdut sebagai musik "rakyat"
muncul di era ini. Dan semenjak itu menjadi tema yang tak pernah pudar.1
Dangdut kemudian mendapat stigma sebagai musik rakyat, dalam
perkembangannya hal ini menjurus pada cap dangdut sebagai musik asli
Indonesia. Cap tersebut muncul dengan pertimbangan sebagian besar penikmat
musik dangdut adalah golongan menengah-kebawah yang sering mendapat cap
sebagai rakyat. Seperti dikatakan Ariel Heryanto bahwa betapa pun, pemahaman
populer tentang rakyat masih bertahan: rakyat sebagai "sosok-sosok lugu yang
unggul secara moral, lemah secara ekonomi, tapi berdaulat secara politis, yang
sering menderita ketidakadilan yang ditimbulkan oleh kaum kaya dan berkuasa."2
Pernyataan di atas menegaskan bahwa semenjak dilahirkan pada dekade
1970 sebagai musik sintesis dari India, Melayu, dan unsur rock seperti yang
1Andrew Weintraub. Dangdut: Musik, Identitas, Dan Budaya Indonesia. (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama. 2012), 90. 2Ariel Heryanto. The Years of Living Luxoriosly: Identity Politics of Indonesias New
Rich. Dalam M. Pinches, ed. Culture and Privilege In Capitalist Asia. (London: Routledge.
1999), 162.
-
4
dimainkan Rhoma Irama dan Soneta, dangdut bukan lagi sekadar sebuah musik
dan identitas kultural kebangsaan persis yang dikatakan Project Pop. Dalam
dangdut terdapat berbagai aspek lain seperti politik dan ekonomi.
Gambar 1; Evie Tamala dalam kampanye PDIP (Foto Andrew Weintraub)
Andrew Weintraub misalnya menemukan bahwa dangdut dapat menjadi
media komunikasi politik yang mumpuni untuk memobilisasi massa atau rakyat.
Ia mencatat pada dekade 1990-an dangdut sudah mulai digunakan sebagai media
kampanye politik oleh partai yang berkuasa saat itu. Dan praktek komunikasi
politik menggunakan dangdut tersebut akhirnya bertahan sampai sekarang. Walau
sebenarnya beberapa pakar ilmu politik menyatakan bahwa pengaruhnya bukan
pada elektabilitas melainkan pada mobilisasi massa di area kampanye.--- itu bisa
jadi daya tarik, karena mampu memobilisasi masyarakat akar rumput atau kelas
bawah untuk datang.3
3Gun Gun Heryanto. Masyarakat Lebih Tertarik Dangdut Ketimbang Program Partai.
(Detik.com. Diakses 30 januari 2014)
-
5
Gilas OBB adalah sebuah grup dangdut asal Yogyakarta yang sebagian
besar anggotanya adalah anak muda. Adalah Candra (gitar satu), Iyan (gitar dua),
Wisnu Penjol (suling), Irawan (bass), Julian (keyboard satu), Umam (drum),
Agung (keyboard dua), Gendut (kendang), dan Kingkin (MC). Pada tahun 2009
sekelompok anak muda ini menyukai musik genre dangdut dan akhirnya
memutuskan untuk membentuk grup dangdut.
Gambar 2; Gilas OBB. (Foto Moch Khatibul Umam)
Pada mulanya Gilas OBB memainkan musik yang mereka sebut sebagai
rockdut atau rock dangdut. Yakni perpaduan antara musik rock dengan adanya
instrumen konvensional seperti gitar, bass, drum dan keyboard yang memainkan
riff-riff ala musik rock. Serta dipadukan dengan unsur musik dangdut berupa
hentakan ketipung, tiupan suling, serta vokal dengan cengkok dangdut yang khas.
Namun seiring perkembangan semakin ke sini Gilas OBB mengakui
bahwa musik mereka semakin berubah condong ke dangdut koplo, varian terbaru
dari dangdut yang lebih dulu populer di kawasan Jawa Timur maupun Pantura.
-
6
Dangdut koplo dengan tempo yang lebih cepat inilah yang sekarang banyak
digemari oleh para penikmat dangdut. Meskipun Rhoma Irama sebagai raja
dangdut yang dianggap peletak pertama pondasi musik dangdut menganggap
koplo bukanlah bagian dari dangdut dan tidak bisa disebut sebagai dangdut karena
sudah keluar dari pakem dangdut,4 namun faktanya penggemar dangdut jaman
sekarang banyak yang menggemari dangdut koplo. Hal ini memaksa Gilas OBB
juga mengubah konsep musiknya dari rockdut menjadi dangdut koplo agar dapat
diterima penonton.
Tahun 2014 adalah tahun politik karena pada tahun inilah digelar pemilu
atau pemilihan umum. Semua partai politik (parpol) dan politisi berlomba-lomba
mencari cara untuk menarik simpati rakyat agar mendekat kepada mereka.
Kemudian menyumbangkan suaranya pada saat pemilihan sehingga politisi
tersebut dapat memegang tampuk kuasa di pemerintahan. Salah satu yang
digunakan untuk menarik massa oleh parpol dan politisi dalah musik dangdut.
Andrew Weintraub mencatat bahwa sejak tahun 1970-an, para politisi telah
menggunakan dangdut, sebentuk musik rakyat, untuk menggalang massa dalam
kampanye. Rhoma irama menduduki posisi istimewa dalam kampanye-kampanye
politik karena ia sejak lama diidentikkan dengan rakyat. Rhoma sudah lama
terjun di kancah politik nasional, mula-mula sebagai kader Partai Persatuan
pembangunan (PPP), kemudian banting setir menjadi anggota partai Golongan
Karya (Golkar).5
4http://okezone.com/read/2012/03/05/386/587017/rhoma-irama-koplo-bukan-musik-
dangdut (diakses 16 mei 2014) 5Weintraub, 2012, 3.
-
7
Penelitian ini berusaha mencari relasi-kuasa atau power-relations seperti
apa yang berkelindan di balik penggunaan musik dangdut sebagai media
kampanye politik ini? Berkacamata pada kacamata etnomusikologi yang mengkaji
aspek budaya dalam musik, serta dengan paradigma post-strukturalisme Michel
Foucault.
Pembahasan
Gilas OBB dan Panggung Politik
Gilas OBB sebagai sebuah grup dangdut yang cukup diperhitungkan di
Yogyakarta akhirnya juga ikut bermain di kampanye politik. Adalah Partai
Demokrasi Perjuangan (PDIP) yang mengundang Gilas OBB untuk bermain di
kampanye terbuka partai berlambang banteng bermoncong putih tersebut.
Kampanye terbuka untuk putaran pemilu legislatif tersebut digelar di lapangan
Denggung Sleman pada tanggal 25 maret 2014. Gilas OBB dibayar sekitar lima
belas juta untuk sekali manggung, menghibur massa yang datang dalam
kampanye terbuka tersebut.
-
8
Gambar 3; Gilas OBB di kampanye PDIP (Foto Slamet Riyadi)
Namun selain bermain untuk kampanye pileg tersebut, sebelumnya Gilas
OBB juga sering diundang untuk bermain di kampanye Pilkada atau para caleg
tingkat kabupaten. Sudah sejak 2010 PDIP cabang Sleman mengundang Gilas
OBB untuk bermain di kampanye (Pilkada) maupun event internal partai. Akan
tetapi agak berbeda dalam penampilan dimana untuk panggung besar seperti
kampanye PDIP tersebut mereka bermain dalam bentuk full band atau personil
lengkap. Sementara untuk kampanye tingkat kabupaten lebih seringnya mereka
tampil dalam format mini (electone) dengan personil yang lebih sedikit. Biasanya
pertimbangannya adalah harga sewa yang lebih murah maka Gilas OBB hanya
menampilkan electone yang lebih efisien secara harga. Berbeda dengan full set
band.
-
9
Memahami Relasi-Kuasa
Sebelum kita dapat mencari relasi-kuasa seperti apa yang berkelindan
dibalik penggunaan musik dangdut sebagai media kampanye politik ini, ada
baiknya kita memahami terlebih dahulu apa itu relasi-kuasa atau power-relations.
Konsep ini dikenalkan oleh filsuf dan ilmuwan Perancis Michel Foucault sebagai
sebuah kritik pada konsep kuasa yang sebelumnya banyak digunakan oleh para
pemikir Marxist. Sebelumnya banyak pemikir Marxist seperti Louis Althusser
beranggapan bahwa kuasa itu selalu berjalan satu arah dari atas menuju bawah,
dari yang berkuasa menuju yang dikuasai. Implementasinya dalam kehidupan
politik dalam masyarakat maka pemerintah adalah penguasa dan rakyat atau
masyarakat adalah obyek atau boneka yang dikuasai dan bisa digerakkan sesuka-
hati.6 Untuk lebih mudah memahami kuasa dalam kacamata Althusser dapat
diperhatikan pada gambar berikut ini:
Gambar 4; Kuasa menurut Louis Althusser.
Pada gambar tersebut dapat dilihat terjadi sebuah proses represi satu arah.
Ada dua kotak berisi kuasa pada posisi atas yang menekan sebuah lingkaran berisi
pihak lemah di bagian bawah. Proses represi ini terjadi satu arah, pihak kuasa baik
6Cf. L. Althusser. Essays on Ideology, (London, Verso. 1984)
-
10
berjumlah satu maupun banyak selalu berada di atas dan menekan pihak lemah
yang berada di bawah. Pihak kuasa adalah subjek yang aktif dan mampu
melakukan apapun sesuai keinginannya, sementara pihak yang lemah adalah
objek yang pasif dan tidak bisa melakukan apapun sesuai keinginannya. Pihak
lemah sebagai objek yang pasif harus menurut pada apapun kehendak pihak kuasa
yang aktif.
Sementara Foucault menolak konsep kuasa seperti itu. Alih-alih Foucault
menjabarkan bahwa a) Kuasa adalah sebuah sistem, jaringan relasional yang
meliputi seluruh lapisan masyarakat, bukan sekadar relasi antara 'yang berkuasa'
dan yang ,dikuasai'; b) individu bukan hanya sekadar objek dari kuasa, tapi
mereka adalah locus (lokasi) dimana kuasa dan perlawanan digunakan.7 Untuk
lebih mudah memahami kuasa dalam kacamata Foucault dapat diperhatikan pada
gambar berikut ini:
Gambar 5; Kuasa menurut Foucault.
Pada gambar tersebut dapat dilihat bahwa sebuah kotak berisi kuasa
berada di atas. Sementara dua kotak berisi pihak lemah berada di bawah.
Kondisinya kurang lebih sama dengan yang dipaparkan Althusser bahwa pihak
7Sara Mills. Michel Foucault (London, Routledge, 2003), 35.
-
11
kuasa menekan atau merepresi pihak lemah. Namun bedanya adalah adanya
keyakinan Foucault bahwa pihak lemah sebagai sebuah individu bukan sekadar
objek yang pasif. Individu adalah sebuah subjek aktif organik, dalam artian subjek
ini berhubungan dengan subjek yang lain dan berorganisasi. Dapat dilihat dalam
gambar bahwa satu pihak lemah ternyata berhubungan dengan pihak lemah
lainnya. Jadi saat pihak kuasa merepresi mereka, maka pihak lemah ini
berhubungan dengan pihak lemah lain lalu memunculkan perlawanan kepada
pihak kuasa. Ini dapat dilihat dalam gambar bahwa ada panah yang kembali
menuju atas, panah dari pihak lemah kembali menuju pihak kuasa. Ini adalah
panah perlawanan.
Setelah memahami apa itu relasi-kuasa baru kita dapat membaca relasi-
kuasa seperti apa yang terjadi dalam fenomena dangdut sebagai media kampanye
politik. Barangkali dalam kehidupan politik di Indonesia selama ini kita lebih
mengamini konsep kuasa yang pertama, bahwa pemerintah (kuasa) selalu
menjadikan rakyat sebagai objek atau boneka yang selalu bisa disetir dengan
berbagai kebijakan. Dengan keyakinan pada konsep itu kita bisa saja yakin bahwa
dangdut adalah sebuah media yang digunakan oleh pemerintah untuk menyetir
rakyat agar mengikuti agenda politiknya. Mungkin ini bisa terjadi pada era tahun
1970-an, saat dangdut mulai digunakan untuk kampanye politik. Saat dimana
Rhoma Irama menjadi juru kampanye untuk Golkar dan berhasil menyeret opini
masyarakat agar mengikuti agenda politik Golkar.8 Hasilnya, Golkar menjadi
partai berkuasa selama tiga puluh dua tahun. Naif memang jika menganggap
8Weintraub, 2012, 3-4.
-
12
Rhoma Irama dan dangdut yang membuat Golkar berkuasa, namun andilnya
dalam menggiring masyarakat agar mengikuti agenda partai tak dapat dipungkiri
cukup besar.
Namun seperti diyakini Foucault bahwa sejarah tidak berjalan linear,
bahwa perubahan zaman akan mengubah kondisi sosial suatu masyarakat. Maka
kondisi tahun 70-an tentu berbeda dengan tahun 2000-an ke atas. Dengan
menggunakan analisa relasi-kuasa Foucault dapat dibaca bahwa dangdut tak
selamanya benar-benar dapat menggiring opini masyarakat untuk secara
konsensus menyepakati kekuatan politik tertentu. Masyarakat bukanlah objek
yang dapat disetir oleh kuasa (dengan musik dangdut) agar mengikuti setiap
agenda mereka. Masyarakat adalah subjek, sebuah individu yang mandiri dan
dapat berpikir mana yang baik dan mana yang buruk. 9
Dengan konsep relasi-kuasa ala Foucault kita dapat mengamati bahwa
dalam hubungan antara Gilas OBB dan partai politik yang menyewanya. Ada
relasi yang begitu kompleks dan lebih dari sekedar hubungan antara yang
berkuasa dan yang dikuasai. Hal ini terbukti dengan kondisi saat Gilas OBB
bermain untuk kampanye PDIP pada bulan maret 2014, sekalipun dua puluh lima
ribu orang yang datang ke kampanye terbuka itu begitu banyak dan begitu riang
berjoget dan bernyanyi saat Gilas OBB membawakan lagu-lagu dangdut, namun
belum tentu mereka yang datang benar-benar memilih PDIP saat tiba waktu
pemilihan suara. Dangdut sekadar menjadi penarik massa agar mereka bisa datang
ke tempat itu karena ada hiburannya. Yang penting adalah menarik massa dulu,
9Sergiu Bllan. M. Foucaults View On Power Relations.
Http://cogito.ucdc.ro/nr_2v2/M.%20FOUCAULT'S%20VIEW%20ON%20POWER%20RELATI
ONS.pdf (Diakses pada 24 mei 2014)
-
13
mengumpulkannya ke sebuah titik. Walau kenyataannya setelah hiburan dangdut
biasanya orang-orang pada pergi meninggalkan parpol atau politisi yang sedang
berorasi. Hal ini diamini pihak PDIP bahwa musik dangdut digunakan sebagai
media kampanye karena musik ini memasyarakat. Ini adalah semacam political
branding dari partai tersebut, dengan menghadirkan musik yang merakyat pada
kampanyenya maka partai tersebut ingin menunjukkan pada konstituen bahwa
mereka dekat dengan rakyat.
Perlawanan dalam Relasi-Kuasa Dangdut dan Kampanye Politik
Masyarakat ternyata sudah lebih mengerti bahwa dangdut adalah sebuah
media yang tengah dimanfaatkan kuasa untuk menyetir mereka sebagai
masyarakat agar mengikuti agenda politik parpol. Seperti dijelaskan Foucault
dalam An Introduction. Vol. 1 of The History of Sexuality bahwa selama ada
kuasa, maka akan ada perlawanan.10
Maka massa yang hadir di kampanye parpol
dengan asyik bergoyang dan bernyanyi saat ada grup dangdut bermain di
panggung, namun saat dangdut selesai dan politisi mulai berorasi, massa biasanya
sudah malas mendengarkan orasi politik dan sebagian besar akan pergi
meninggalkan lokasi kampanye. Ini bisa dibaca sebagai sebuah bentuk
perlawanan pada kuasa. Bahwa dibalik segala janji-janji manis politik ala orasi,
masyarakat sudah sulit mempercayainya lagi sehingga mereka melawan dengan
meninggalkan lokasi kampanye.
Gilas OBB sebagai artist dangdut yang didaulat oleh parpol untuk
berkampanye pun rupanya melontarkan perlawanan yang sama. Mereka tidak
10Bllan, 2014.
-
14
pernah menganggap diri sebagai bagian dari parpol yang menyewa mereka. Gilas
OBB tidak secara ideologis mengamini setiap program parpol yang menyewanya.
Bagi Gilas OBB mereka adalah seniman yang ora nggagas politik11
fleksibel dan
malas mengikuti tetek bengek program politik. Mereka menganggap pertunjukan
mereka di panggung kampanye tersebut hanya sebagai bentuk komersil atau
mencari uang. Hubungan mereka dengan PDIP dianggap sebatas hubungan client
yang professional tanpa ikatan ideologis. Jadi seandainya ada partai politik lain
yang menyewa Gilas OBB untuk bermain di kampanye mereka, undangan
bermain tersebut akan tetap diterima selama ada nominal yang layak dan kontrak
yang menyatakan bahwa mereka hanya bermain musik, tidak terikat program
ideologi partai. Inilah bentuk perlawanan, Gilas OBB melawan dengan
menyatakan diri sebagai seniman yang netral, apatis, tidak memihak satupun
partai yang menyewanya.
Penutup
Jika Rhoma Irama sebagai raja dangdut saja sudah berkampanye dalam
panggung politik sejak tahun 70-an, maka sudah dapat ditebak bahwa para artist
penerusnya, mereka yang memainkan musik dangdut, juga bakal dimanfaatkan
oleh para politisi untuk media kampanye. Gilas OBB sebagai salah satu grup
dangdut yang cukup diperhitungkan di Yogyakarta akhirnya juga masuk dalam
ranah panggung politik ini. Saat mereka diundang oleh salah satu partai politik
besar untuk bermain di kampanye mereka.
11
Tidak peduli politik (Jawa)
-
15
Yang kemudian menarik adalah sikap politik dari Gilas OBB. Berbeda
dengan Rhoma Irama yang dulu berkampanye untuk PPP dan Golkar dengan
ideologi yang benar-benar ada. Dalam artian saat Rhoma berkampanye dalam
kedua partai itu, maka secara ideologis Rhoma juga mendukung apapun program
partai. Dengan lugas Rhoma Irama mendeklarasikan bahwa Rhoma Irama
mendukung penuh partai tersebut. Sementara Gilas OBB ternyata berbeda, saat
bermain untuk kampanye politik, mereka menanggalkan nama Gilas OBB.
Mereka bermain sebagai grup tanpa nama. Penghilangan nama tersebut dapat
dibaca sebagai sikap politik mereka. Mereka menganggap diri mereka sekadar
sebagai seniman yang diundang untuk bermusik. Jadi Gilas OBB tidak secara
ideologis mengikuti program partai yang mengundang mereka bermain di
kampanye. Mereka tidak lantas dengan bangga menyatakan Gilas OBB
mendukung penuh PDIP. Gilas OBB hanya datang sebagai artist yang diundang
untuk bermain. Dan cukup demikian. Maka seandainya ada parpol lain yang
mengundang bermain sekalipun Gilas OBB tetap akan melayaninya karena tujuan
mereka hanya ingin bermusik sebagai seniman. Mengabaikan sama sekali unsur
politis dari panggung kampanye itu.
Dengan relasi-kuasa yang telah terbaca seperti di atas, seharusnya politisi
dan parpol segera memulai berpolitik gagasan atau ide. Menjual gagasan dan ide
tersebut kepada rakyat selama masa kampanye. Tidak lagi menggunakan dangdut
sebagai political branding karena kenyataannya rakyat bukan sekadar objek,
mereka adalah subjek organik yang bisa berpikir sendiri dan menyadari dangdut
hanya sebatas alat mobilisasi massa. Dangdut harus mendapat sebuah tempat
-
16
terhormat sebagai bentuk kesenian bangsa, sama seperti saat gamelan atau musik
Indonesia lainnya mendapat tempat sebagai kesenian bangsa yang adiluhung.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Althusser, Louis. 1984. Essays on Ideology,. London, Verso.
Heryanto, Ariel. 1999. The Years of Living Luxoriosly: Identity Politics of
Indonesias New Rich. Dalam M. Pinches, ed. Culture and Privilege In Capitalist Asia. London: Routledge.
Mills, Sara. 2003 Michel Foucault. London, Routledge.
Weintraub, Andrew. 2012. Dangdut: Musik, Identitas, dan Budaya Indonesia.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Internet
Bllan, Sergiu. M. Foucaults View On Power Relations. Http://cogito.ucdc.ro/nr_2v2/M.%20FOUCAULT'S%20VIEW%20ON%20POW
ER%20RELATIONS.pdf (Diakses pada 24 mei 2014)
Heryanto, Gun Gun. Masyarakat Lebih Tertarik Dangdut Ketimbang Program
Partai. (Detik.com. Diakses 30 januari 2014)
http://okezone.com/read/2012/03/05/386/587017/rhoma-irama-koplo-bukan-
musik-dangdut (diakses 16 mei 2014)