rehabilitasi tinitus dengan sound terapi

24
REHABILITASI TINITUS DENGAN TERAPI SUARA (TINNITUS SOUND THERAPY) dr. Aditya Wira Buana Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher FK UNAIR / RSUD Dr. Soetomo Surabaya PENDAHULUAN Tinitus merupakan salah satu bentuk gangguan pendengaran berupa sensasi suara tanpa adanya rangsangan dari luar. Tinitus dapat bersifat subjektif dan objektif. Tinitus yang bersifat subjektif merupakan keluhan dimana hanya penderita yang dapat mendengarkan suara. Tinitus bukanlah suatu diagnosis penyakit tetapi merupakan gejala dari suatu penyakit. Bunyi yang diterima sangat bervariasi. Keluhan tinitus dapat berupa bunyi mendenging, menderu, mendesis atau berbagai macam bunyi lannya. Biasanya keluhan tinitus selalu disertai dengan gangguan pendengaran. 1-3 Setidaknya 50 juta penderita dewasa di Amerika Serikat dilaporkan pernah mengalami tinitus, dan 16 juta diantaranya melaporkan mengalami serangan tinitus dalam satu tahun terakhir. Penderita dengan riwayat terpapar bising lebih sering mengalami hal tinitus dibandingankan lainnya. Studi epidemiologi menunjukkan bahwa tinitus dapat dialami baik perempuan maupun laki-laki pada semua ras. Angka prevalensi tinitus 1

Upload: aditya-wira-buana

Post on 11-Dec-2015

48 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

tinitus

TRANSCRIPT

REHABILITASI TINITUS DENGAN TERAPI SUARA

(TINNITUS SOUND THERAPY)

dr. Aditya Wira Buana

Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok

Bedah Kepala dan Leher

FK UNAIR / RSUD Dr. Soetomo Surabaya

PENDAHULUAN

Tinitus merupakan salah satu bentuk gangguan pendengaran berupa

sensasi suara tanpa adanya rangsangan dari luar. Tinitus dapat bersifat subjektif

dan objektif. Tinitus yang bersifat subjektif merupakan keluhan dimana hanya

penderita yang dapat mendengarkan suara. Tinitus bukanlah suatu diagnosis

penyakit tetapi merupakan gejala dari suatu penyakit. Bunyi yang diterima sangat

bervariasi. Keluhan tinitus dapat berupa bunyi mendenging, menderu, mendesis

atau berbagai macam bunyi lannya. Biasanya keluhan tinitus selalu disertai

dengan gangguan pendengaran.1-3

Setidaknya 50 juta penderita dewasa di Amerika Serikat dilaporkan pernah

mengalami tinitus, dan 16 juta diantaranya melaporkan mengalami serangan

tinitus dalam satu tahun terakhir. Penderita dengan riwayat terpapar bising lebih

sering mengalami hal tinitus dibandingankan lainnya. Studi epidemiologi

menunjukkan bahwa tinitus dapat dialami baik  perempuan maupun laki-laki pada

semua ras. Angka prevalensi tinitus meningkat seiring bertambahnya usia, dan

mencapi puncak pada usia 60-69 tahun sebanyak 14,3%4

Penatalaksanaan tinitus bersifat empiris dan sampai saat ini masih menjadi

perdebatan, dikarenakan penyebab tinitus yang sampai sekarang masih belum

diketahui secara pasti. Tinitus dapat memberikan masalah yang serius bagi

penderita karena dapat memberikan pengaruh dalam berkonsentrasi, memberikan

perasaan cemas dan depresi, sehingga mengganggu kualitas hidup penderita.4-6

Studi di Korea Selatan sebanyak 23% penderita dengan gangguan pendengaran

disertai tinitus mengalami depresi dan memiliki keinginan untuk bunuh diri.5

Tujuan dari penulisan tinjauan pustaka ini adalah untuk memahami

rehabilitasi tinitus dengan menggunakan terapi suara (sound therapy).

1

2

1. Klasifikasi dan Etiologi Tinitus

Tinitus diklasifikasikan menjadi dua jenis yaitu tinitus objektif dan

subjektif. Tinitus objektif disebut juga sebagai tinitus ekstrinsik, vibrasi atau

pseudotinitus adalah tinitus yang dapat didengar oleh penderita dan pemeriksa,

sedangkan tinitus subjektif disebut juga sebagai tinitus aurium, dan nonvibrasi

adalah tinitus yang hanya dapat didengar oleh penderita.1-3

Tinitus subjektif dianggap berasal dari adanya abnormalitas pada jalur

saraf pendengaran perifer ataupun sentral. Pada jalur perifer gangguan dapat

terjadi mulai dari organ telinga bagian luar hingga ke jalur jaras auditori. Pada

jalur sentral terbagi dalam penyebab primer yaitu tumor otak, sindroma menierre

dan sekunder yaitu tinitus phantom auditory perception.7

Berdasarkan kualitas suara yang didengar pasien ataupun pemeriksa,

tinitus dapat dibagi menjadi tinitus pulsatil dan tinitus nonpulsatil.1 Tinitus pulsatil

dapat terjadi akibat adanya kelainan dari vaskular ataupun di luar vaskular.

Kelaianan vaskular digambarkan dengan sebagai bising mendesis yang sinkron

dengan denyut nadi atau denyut jantung. Tinitus nonpulsatil umumnya bersifat

menetap dan berkelanjutan. Suara yang didengar bervariasi, mulai dari

berdenging, berdengung, berdesis, bergemuruh.1,3

Durasi tinitus dapat terjadi dalam hitungan detik hingga menit bersifat

intermiten ataupun kontinyu. Episode serangan dapat bersifat temporer (cepat

menghilang) atau permanen (harian, bulanan, hingga tahunan).3

2. Patogenesis Tinitus

Tinitus dapat berasal dari adanya kelainan di sepanjang jalur pendengaran.

Berbagai teori mulai dikembangkan tentang patogenesis tinitus subjektif, pada

umumnya terbagi menjadi 3 teori yaitu : kelainan di koklea, kelainan nervus VII,

serta kelainan neurofisiologi.

2.1 Kelainan koklea

Adanya kerusakan sel rambut koklea secara berulang akan menstimulasi

serat saraf untuk beraktivasi, sistem saraf pusat sendiri tidak dapat

mendiskriminasi sumber suara sebenarnya. Kebisingan dan bahan ototoksik dapat

3

merusak membran basilaris koklea, sel rambut luar/outer hair cells (OHC) diikuti

kerusakan sel rambut dalam/inner hair cells (IHC) yang lebih resisten. Kondisi

lainnya, terjadi perubahan rangkaian membrana tektorial dengan stereosilia IHC

dan menyebabkan depolarisasi. Kondisi modifikasi dari aktivitas aferen auditorik

ini akan menyebabkan persepsi tinitus. 3,8

Disfungsi OHC merangsang pelepasan neurotransmiter secara berlebihan

dari IHC yang mengakibatkan peningkatan potensial endokoklear. Tinitus juga

dapat disebabkan oleh hiperaktivitas OHC akibat aktivitas patologis koklea dan

edema sel rambut luar (peningkatan elektromotilitas). Selain itu adanya kerusakan

OHC mempengaruhi perubahan resistensi sistem koklea yang dianggap

bertangung jawab atas gelombang persisten pada telinga dalam yang

menimbulkan emisi otoakustik spontan dan tinitus.8,9

Terjadinya transfer sinyal biokimia, metabolisme transmiter dan

biosintesis protein menyebabkan terjadinya penurunan kalsium intraseluler.

Kalsium intraseluler penting dalam menjaga integritas membran tektoria dalam

proses coupling ke OHC. Penurunan kalsium intraseluler mempengaruhi proses

pelepasan neurotransmiter sehingga menghambat proses aktivasi dalam

pergerakan stereosilia dan menyebabkan tinitus.7

Adanya trauma lokal/gangguan mekanik pada koklea berupa bahan

ototoksik, trauma bising, gangguan metabolik, gangguan neurologi dapat

menyebabkan perubahan pemetaan tonotopik pada korteks auditorik primer.

Perubahan ini tidak selalu berhubungan dengan gangguan pendengaran, tetapi

dapat disertai adanya peningkatan emisi spontan dan peningkatan sinkronisasi

saraf. 6,8,9

2.2 Kelainan nervus VIII

Cross talk theory menjelaskan bahwa serabut saraf auditori intak dapat

berhubungan dengan saraf kranialis lain yang mengalami kerusakan pada

selubung mielin. Sinap baru (crosstalk) dapat terjadi antara masing-masing

serabut saraf menghasilkan fase penguncian (phase-locking) aktivitas spontan

pada grup sel-sel saraf auditori. Pada kondisi normal terdapat inhibisi yang

diperantarai oleh asam gamma amino butyric acid (GABA) yang memediasi

4

mekanisme inhibisi dan eksitasi. Saat kondisi tanpa rangsangan suara dari luar

terbentuk di saat GABA menurun maka akan terbentuk pola neural yang mirip

dengan pola-pola neural hasil dari rangsangan suara asli.7

2.3 Kelainan neurofisiologi

Dewasa ini dikemukakan teori keterlibatan susunan saraf sentral dalam

mekanisme persepsi tinitus berdasarkan teori neurofisiologi tinitus. Deteksi tinitus

terjadi di area subkorteks, persepsi pada area korteks, sistem limbik dan area

prefrontal korteks.

Teori plastisitas auditori menyebutkan bahwa kerusakan koklea

memperbesar aktivitas neural pada jalur auditori sentral. Perwujudan plastisitas

auditori ini merupakan suatu konsekuensi dari penyimpangan jalur sinyal.

Pengurangan jalur sinyal dianalogkan seperti sensasi anggota tubuh yang

teramputasi yang oleh otak dianggap sebagai suara. Bangkitan tinitus diduga

berasal dari lobus temporal pada area korteks auditori dan kolikulus inferior.8

Struktur otak di dinding medial (limbus) hemisfer serebri terdiri dari

nukleus yang berhubungan dengan hipokampus, amigdala dan girus fornikatus.

Efek sistem limbik dipengaruhi endokrin dan sistem otonomik motor. Sistem ini

memantau perilaku multifaset yaitu emosi, memori, motivasi dan perasaan bila

teraktifasi menyebabkan emosi dan cemas. Adanya aktivitas neuronal yang tidak

seimbang dideteksi sebagai sinyal baru di area subkorteks diteruskan ke korteks

auditorius dievaluasi dan disimpan sebagai bunyi tinitus.7,8 Jalur ini yang menjadi

dasar untuk habituasi penderita dalam penatalaksanaan tinitus (gambar 1).

Gambar 1 : Alur timbulnya tinitus berdasar teori neurofisiologi.11

5

3. Penatalaksanaan Tinitus

3.1 Diagnosis tinitus

Diagnosis tinitus didasarkan pada anamnesis lengkap, pemeriksaan fisik

THT-KL, pemeriksaan pendengaran, pemeriksaan radiologi dan laboratorium.

Anamnesis mempunyai peranan penting untuk mengetahui kualitas serta

kuantitas tinitus, lokasi, sifat (mendenging, mendesis, menderu, berdetak,

gemuruh atau seperti riak air) dan lama kejadian. Bila pada anamnesis didapatkan

lama keluhan kurang dari satu bulan dan durasi kurang dari satu menit dianggap

tidak patologis. Tinitus dianggap patologis umumnya terjadi minimal 5 menit, dan

berulang lebih dari satu bulan.2,3

Kualitas tinitus terbagi dalam dua jenis, yaitu bernada tinggi dan bernada

rendah. Tinitus bernada tinggi (mendenging) terjadi pada kelainan patologis di

basal koklea, saraf pendengar perifer dan sentral. Tinitus bernada rendah seperti

gemuruh ombak khas pada penyakit koklea (hidrops endolimfatika). Kuantitas

dan intensitas tinitus penting diperhatikan karena kemungkinan akan

menyebabkan gangguan psikologis pada penderita. Pada umumnya tinitus disertai

dengan gangguan pendengaran, tetapi tidak semua penderita menyadari hal

tersebut karena sensasi bunyi yang diderita lebih dominan.1,3

Tinitus subjektif yang bersifat unilateral perlu dicurigai kemungkinan

adanya neuroma akustik atau riwayat trauma kepala. Pada tinitus subjektif

bilateral kemungkinan dapat disebabkan oleh intoksikasi obat, presbikusis, trauma

bising dan penyakit sistemik.7

Anamnesis pada penderita tinitus juga dilakukan dengan tujuan

mengetahui tingkat keparahan serangan tinitus yang berdampak dalam keseharian

penderita. Keluhan tersebut meliputi gangguan konsentrasi, stress, depresi hingga

menimbulkan keinginan untuk bunuh diri. Keluhan tersebut dihimpun dalam dua

bentuk kuisioner terpadu, yaitu tinnitus handicap inventory questioneres (THQ)

dan tinnitus reaction questioneres (TRQ).3

Pemeriksaan THT-KL dilakukan untuk melihat adanya kelainan di telinga

luar dan telinga tengah. Seringkali adanya serumen dapat menyebabkan keluhan

6

tinitus. Perforasi membran timpani dan kelainan di telinga tengah sesuai penyakit

dapat menimbulkan gangguan konduksi juga yang disertai tinitus.1

Pemeriksaan pendengaran, secara subjektif meliputi audiometri nada

murni, pemeriksaan objektif menggunakan timpanometri, pemeriksaan fungsi

koklea menggunakan Otto Accpustic Emission (OAE), tes Short Increment

Sensitivity Index (SISI), dan pemeriksaan untuk retrokoklea seperti Tone Decay

dan Brainstem Evoked Response Audiometry.1,3 Disamping itu pada penggunaan

alat bantu dengar juga dibutuhkan pengukuran terhadap Minimum masking level

(MMI), dan Loudness discomfort level (LDL) pada frekuensi 0.5, 1, dan 4 kHz.12

Pemeriksaan radiologis CT scan atau MRI dapat dilakukan untuk

mengetahui kelainan retrokoklear hingga intrakranial. Kelainan tinitus yang

diduga akibat malformasi vaskular, dapat dilakukan pemeriksaan angiografi dan

venogram Jugularis.1,10,11

3.2 Rehabilitasi tinitus menggunakan terapi suara

Terdapat dua kategori dalam pengobatan tinitus, pertama berfokus pada

pengurangan tinnitus (misalnya obat-obatan, electric suppression) dan kedua

terfokus pada reaksi pengkondisian pasien. Pemikiran terkini tentang mekanisme

yang mendasari tinitus menekankan perubahan pendengaran dan sistem saraf yang

dapat secara luas terkait dengan aspek persepsi, atensi, dan reaksi emosional untuk

tinitus.12

Pola pengkodisian pasien dengan merubah fokus pendengaran secara

umum adalah menutupi suara tinitus yang ada dengan suara lain yang lebih

menyenangkan. Tinnitus masking biasa digunakan saat penderita ingin tidur atau

relaks, digunakan dalam bentuk CD atau Mp3 atau dipadukan dengan alat bantu

dengar. Suara yang digunakan sebagai maskers bisa suara natural (rintik hujan, air

terjun, debur ombak) maupun sintetik. Tinnitus maskers yang terbaru bisa

menyesuaikan frekuensi suaranya dengan frekuensi tinitus yang ada.11

Terapi awal yang paling mudah serta murah yaitu dengan Active masking.

Hal ini dapat dilakukan dengan cara bernyanyi, bermain musik, ataupun

mendengarkan suara-suara alam, dengan tujuan merilaksasi pikiran serta distraksi

dari tinitus yang diderita.13,14 Target untuk pengobatan tinitus yang dengan

7

konseling adalah mempengaruhi reaksi kognitif dan emosional. Bentuk yang

umum yang sering digunakan adalah Tinnitus Retraining Therapy (TRT) yang

dikombinasikan menggunakan Sound environtment generator atau program alat

bantu dengar.11 Konseling bertujuan menghabituasi persepsi penderita melalui

respon auditoris, yang mempengaruhi reaksi pada sistem limbik dan sistem saraf

otonom (gambar 2).

Gambar 2. fokus terapi pada TRT adalah memodulasi dengan memberikan HP

(habituation perceptionyang akanmemunculkan HR (habituation reaction).12

3.2.1 External Sound Environtment Generator

External Sound environtment generator memiliki berbagai macam fungsi

suara yaitu gelombang laut, sungai, air terjun, hujan, suasana hutan, dan white

noise. Pada sebagian pengguna, alat ini memberikan efek yang bersifat relaksasi,

hal ini dikarenakan suara yang bersifat monoton, repetititf tanpa disertai interupsi.

Alat ini dapat digunakan sebagai background noise dalam mengatasi tinitus, inilah

yang menyebabkan penggunaan akan lebih efektif saat malam hari ketika sedang

beristirahat. 14

Belum ada publikasi keberhasilan tentang penggunaan alat ini,

dikarenakan penggunaanya hanya efektif pada waktu tertentu. External Sound

environtment generator memiliki ukuran yang cukup kompak, dengan speaker

beserta pengatur suara dan tombol yang sudah memiliki rekaman suara tertentu

(gambar 3).

8

Gambar 3. Sound environtment generator yang cukup ringkas dengan fungsi yang memudahkan pengguna 14

3.2.2 Alat bantu dengar (Hearing Aid)

Alat bantu dengar di design untuk mengkompensasi gangguan

pendengaran dan kurangnya stimulasi auditori. Alat bantu dengar yang ada di

pasaran tidak mampu mengamplifikasi suara dengan frekuensi 6-7 khz, yang

merupakan frekuensi pendengaran dimana tinitus sering terjadi. Jenis alat bantu

dengar terbaru seperti Combi terintegrasi dengan internal sound generator

sehingga mampu mengkombinasi stimulasi auditoris, disamping

mengkompensasi gangguan pendengaran.14 Combi memiliki ukuran yang kecil,

mudah dalam penggunaan dan perawatan (gambar 4)

Gambar 4. Bentuk Combi sebagai alat bantu dengar. 14

9

Studi yang dilakukan terhadap penderita dengan gangguan pendengaran

derajat ringan disertai tinitus, menunjukkan bahwa 50% keluhan tinitus berkurang

dalam 6 minggu pertama.14

3.2.3 Neuromonic12

Salah satu terapi berbasis konseling dan terapi suara adalah menggunakan

neuromonic. Neuromonic mampu mengeluarkan stimulasi musik serta suara

berfrekuensi luas, yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan penderita

berdasarkan hasil pemeriksaan audiologi. Tujuan dari terapi ini adalah

menstimulasi dan mendensitisasi aktivitas saraf abnormal yang menyebabkan

tinitus, sehingga penderita mencapai relaksasi maksimal (gambar 5).

Gambar 5. Kombinasi auditoris, atensional, dan emosional, yang di berikan stimulus dengan menggunakan Neuromonic. 12

Indikasi penggunaan terapi neuromonic antara lain yaitu, penderita dengan

pendengaran normal atau penderita dengan frekuensi pendengaran tidak lebih dari 50 db

pada tiap sisi telinga, skala Tinnitus handicap inventory questionnaire (THQ) lebih dari

17. Keluhan disertai tinitus pulsatil maupun non pulsatil, yang tidak meningkat dengan

stimulasi akustik dan penderita terlindungi dari kebisingan selama mendapatkan terapi.

Kontra indikasi penggunaan terapi neuromonic yaitu penderita dengan meniere’s

10

disease. Tinnitus handicap inventory questionnaire (THQ) memiliki 25 pertanyaan

seperti nampak pada gambar 6 dan diisi saat awal anamnesis dengan penderita.

Gambar 6. Tinnitus handicap inventory memiliki skala 0-10 tentang kualitas tinitus, serta 25 pertanyaan seputar tinitus yang diderita.3

Penderita yang akan mendapatkan terapi neuromonic akan di ikuti

perkembanganya dengan Tinnitus reaction questionairre (TRQ). TRQ akan menunjukkan

kemajuan penderita yang didapat pada saat konseling dengan skala 0 hingga 100.

Pengumpulan data dilaksanakan bersamaan dengan program rehabilitasi dengan tujuan

memantau penurunan keluhan penderita melalui prosedur wawancara. Semakin rendah

nilai yang didapat pada tiap sesi konseling, menunjukkan semakin tingginya keberhasilan

11

terapi. TRQ memiliki 28 pertanyaan yang lebih kompleks dibandingkan dengan THQ

(gambar 7).

Gambar 7. Tinnitus reaction questionere bertujuan untuk melihat perkembangan penderita yang menggunakan Neuromonic.3

12

Penderita diberikan edukasi tentang penilaian kondisi tinitus yang sedang

dialami serta cara kerja neuromonic. Penderita juga diminta menulis saran dan

harapan di setiap tahap pengobatan. Materi edukasi juga berisi tentang berbagai

faktor yang dapat memperburuk persepsi tinitus dan daftar kegiatan yang

disarankan untuk dilakukan bersamaan dengan menggunakan perangkat

neuromonic.

Tahap pertama dari terapi neuromonic berlangsung selama kurang lebih 2

bulan setelah awal terapi. Penderita menggunakan perangkat selama 2-4 hari pada

awal terapi, dan digunakan selama periode tinitus yang paling mengganggu.

Penderita diinstruksikan untuk mengatur volume ke tingkat yang paling nyaman,

dengan tujuan untuk meningkatkan jumlah stimulasi neural dan untuk

memberikan bantuan maksimal serta relaksasi. Pendekatan disertai konseling

memudahkan proses desensitisasi sinyal tinitus pada tahap selanjutnya (gambar

8).

Gambar 8. a: Penggunaan Oasis neuromonic disertai konseling;

a

b

13

b: alat Oasis Neuromonic yang ringkas mirip MP3 player.12

Tahap kedua pengobatan bertujuan untuk secara bertahap melakukan

desensitisasi sinyal tinitus sebagai efek yang lebih permanen. Selanjutnya

penderita diperintahkan untuk mengatur dengan durasi setengah dari waktu

kejadian. Oleh karena itu, penderita akan mengalami interaksi intermiten dengan

tinitus mereka, tujuan ini untuk membantu otak mengembangkan kemampuan

menyesuaikan terhadap timbulnya tinitus. Fase ini berlangsung selama 4 bulan,

dengan kontrol pada minggu ke 16 dan 24.

Minimum masking level (MML) dan LDL diukur kembali pada minggu ke

2, 4 dan 6 untuk mengevaluasi progresifitas penderita. Pengisian TRQ dilakukan

bersamaan untuk mengevaluasi seberapa parah gangguan yang dapat dirasakan

oleh penderita selama beberapa minggu terakhir. Respon penderita pada tahap ke

dua diperiksa pada minggu ke 10. Beberapa penderita dengan gangguan

pendengaran pada umunya membutuhkan terapi yang lebih lama.

Tahap ke tiga dimulai setelah penderita merasa tinitus sudah bukan menjadi

masalah utama lagi. Penderita mengurangi penggunaan alat secara bertahap setidaknya

seminggu sekali agar tidak terjadi rebound tinitus yang lebih hebat. Penggunaan alat

diakhiri ketika penderita sudah mampu beraktifitas mandiri layaknya tidak mengalami

gangguan tinitus.

Studi yang dilakukan menunjukkan bahwa 85 % dari pengguna neuromonic

mengalami kemajuan dalam menyesuaikan tinitus. Keberhasilan neuromonic dalam

memberikan terapi mencapai 95 %, sedangkan TRT konvensional hanya 21 %.

Keunggulan yang didapatkan oleh penderita dan klinisi meliputi kemudahan dalam terapi

neuromonic yang tidak invasif, dapat digunakan pada berbagai macam jenis tinitus, dan

tidak memakan waktu.

RINGKASAN

Terapi tinitus masih menjadi perdebatan, hal ini dikarenakan etiologi tinitus yang

masih luas. Beberapa kasus tinitus menjadi sumber masalah baru, karena menyebabkan

depresi dan keinginan bunuh diri. Untuk itu diperlukan pendekatan baru dalam

merehabilitasi tinitus yang efektif dan efisien. Rehabilitasi dengan suara adalah proses

mengalihkan, menciptakan relaksasi dan membiasakan penderita tidak terfokus pada

sensasi suara yang didengarnya.

14

Rehabilitasi dengan terapi suara mengkombinasikan terapi konseling dan

perangkat auditoris (active masking, sound generator, alat bantu dengar dan

neuromonic). Dimulai dari anamnesis lengkap dengan THQ (tinnitus handicap inventory

questionairre). Khusus neuromonic dilakukan pengawasan penderita menggunakan

TRQ (|Tinnitus reaction questionere) dan konseling untuk melihat kemajuan terapi.

Terapi neuromonic dilakukan lebih dari 10 minggu. Keunggulan neuromonic adalah

tidak invasif, dapat pada berbagai jenis tinitus. Keberhasilan terapi neuromonic lebih

tinggi dibandingkan dengan TRT konvensional.

15

Kepustakaan

1. Cosetti MK, Roehm PC. Tinnitus and Hyperacusis. In : Johnson JT, Rosen

CA, eds. Bailey’s Head and Neck Surgery Otolaryngology 5th edition

Volume Two. Philadelphia: Lippincott Williams&. WJ.lkins, a Wolters

Kluwer business; 2014.p.2597-611

2. Benson AG, Meyers AD. Tinnitus. 2014;1-8. Available from:

http://emedicine.medscape.com/article/856916-overview Accessed June 24,

2015

3. Dinces EZ, Deschler DG, Park L. Etiology and diagnosis of tinnitus. 2015;1-

13. Available from http://www.uptodate.com/contents/etiology-and-

diagnosis-of-tinnitus?

source=search_result&search=tinnitus&selectedTitle=1%7E138 Accessed

June 23, 2015

4. Shargodosky J, Curhan G, Farwell W. Prevalence and characteristics of

tinnitus among US adults. The American Journal of Medicine. Vol 123. Issue

8. Boston; 2010.p.711-8

5. Joo YH, Han KD, Park KH; Association of Hearing Loss and Tinnitus with

Health-Related Quality of Life: The Korea National Health and Nutrition

Examination Survey. The Catholic University of Korea. Vol 10. Issue 6.

Seoul;2015.p.1-10

6. Nouvian R, Eybalin M, Puel JL. The cochlea and the auditory nerve as a

primary source of tinnitus. In : Eggermont JJ, Zeng FG, Popper AN, Fay RR,

eds. Tinnitus. New York: Springer; 2012.p.83-95

7. Purnami N. Patogenesis Vertigo dan tinitus. Dalam : Wiyadi HMS, Harmadji

S, Herawati S, Roestiniadi, Romdhoni AC. Pendidikan kedokteran

berkelanjutan VII. The comperehensive management of vertigo & tinnitus.

Surabaya : Departemen/SMF Ilmu Kesehatan THT-KL FK Unair-RSUD Dr.

Soetomo Surabaya; 2009.hal 22-9

16

8. Baguley D, Andersson G, McFerran D, McKenna G. Mechanisms of tinnitus.

In : Tinnitus : Multidisciplinary approach, second edition. Iowa: Blackwell

publishing ltd; 2013.p.29-42

9. Moller AR. Pathology of the auditory system that can cause tinnitus. In :

Moller AR, Langguth B, DeRidder T, Kleinjung T, eds. Text book of tinnitus.

New York:Springer; 2011.p.77-90

10. Minen MT, Camprodon J, Nehme R, Chemali Z; The Neuropsychiatry of

tinnitus: a circuit-based aproach to the cause and Treatments available. J

neurol neurosurg psychiatry; 2014.p.1138-44

11. Shulman A, Kleinjung T, Tyler RS, Seidman MD; AAO-HNS Intl tinitus

miniseminar summary 2014 : Modalities tinnitus treatment –

neuromodulation, instrumentation, pharmacology, electric stimulation,

surgery, and neurofeedback. International tinitus journal, vol 18 no 2.

USA;2014.p.102-14

12. Vierre D, Davis PB. Rehabilitation of tinnitus patients using the neuromonics

tinnitus treatment. In : Moller AR, Langguth B, DeRidder T, Kleinjung T,

eds. Text book of tinnitus. New York: Springer; 2011.p.605-11

13. Davis. All about masking. In Living with tinnitus. Australia: Gore & Osment

publication; 2011.p.32-6

14. Bo LD, Baracca G, Forti S, Norena A. Sound Stimulation. In : Moller AR,

Langguth B, DeRidder T, Kleinjung T, eds. Text book of tinnitus. New York:

Springer; 2011.p.597-604