referat psikogeriatrinew
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Istilah “Geriatri” barasal dari bahasa Yunani ‘Geras’ yang berarti usia lanjut, dan “iatros”
yang berarti dokter. Dengan demikian “Geriatri” berarti terapi medis atau penyembuhan untuk
lanjut usia. Psikogeriatri atau psikiatri geriatri adalah cabang ilmu kedokteran yang
memperhatikan pencegahan, diagnosis, dan terapi gangguan fisik dan psikologik atau psikiatri
pada lanjut usia. Saat ini disiplin ini sudah berkembang menjadi suatu cabang psikiatri, analog
dengan psikiatri anak. Usia lanjut bukanlah sebuah penyakit melainkan sebuah fase dalam siklus
kehidupan yang memiliki karakter tersendiri pada setiap fase perkembangan. Usia lanjut terkait
dengan matangnya pemikiran yang bijak yang bisa diwariskan kepada generasi berikutnya, salah
satu tugas pada usia lanjut yang sehat yaitu integritas dan bukan putus asa.
Keberhasilan pembangunan di bidang kesehatan telah membuahkan hasil dengan
meningkatnya populasi penduduk lanjut usia. Menurut DepKes RI pada tahun 2005 tentang umur
harapan hidup pada perempuan 68,2 tahun dan pada laki-laki 64,3 tahun. Harapan hidup orang
Indonesia pada tahun 2015 sampai 2020 mencapai 70 tahun atau lebih. Jumlah penduduk lanjut
usia mencapai 24 juta jiwa bahkan lebih atau sekitar 9,77 % dari total penduduk.
Data prevalensi untuk gangguan mental pada pasien lanjut usia bervariasi, namun secara
konservatif diperkirakan sebanyak 25 persen memiliki gejala psikiatri yang signifikan. Angka
morbiditas gangguan psikiatri pada pasien lanjut usia diperkirakan meningkat hingga 20 juta
pada pertengahan abad 20 nanti.
Pemeriksaan psikiatri pada pasien lanjut usia sama dengan yang berlaku pada dewasa
muda. Namun dokter harus lebih teliti agar dapat memastikan pasien mengerti sifat dan tujuan
pemeriksaan dikarenakan tingginya prevalensi gangguan kognitif pada pasien lanjut usia.
Diagnosis dan terapi gangguan mental pada lanjut usia memerlukan pengetahuan khusus, karena
kemungkinan perbedaan dalam manifestasi klinis, patogenesis dan patofisiologi gangguan
mental antara patogenesis dewasa muda dan lanjut usia. Faktor penyulit pada pasien lanjut usia
juga perlu dipertimbangkan, antara lain sering adanya penyakit dan kecacatan medis kronis
penyerta, pemakaian banyak obat (polifarmasi) dan peningkatan kerentanan terhadap gangguan
kognitif.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. BATASAN LANJUT USIA
WHO (1989) telah mencapai konsensus bahwa yang dimaksud dengan lanjut usia
(elderly) adalah seseorang yang berumur 60 tahun atau lebih. Menurut Departemen Kesehatan
RI, batasan lanjut usia adalah seseorang dengan usia 60-69 tahun. Sedangkan usia lebih dari 70
tahun dan lanjut usia berumur 60 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan seperti kecacatan
akibat sakit disebut lanjut usia resiko tinggi.
II. PROSES PENUAAN
Dalam beberapa dekade terakhir, perhatian dunia medis terhadap proses penuaan dan
permasalahan yang timbul pada orang usia lanjut meningkat. Banyak penelitian dilakukan untuk
lebih memahami proses penuaan baik dari segi fisiologis, psikologis, dan sosiologis. Para
peneliti menyadari pentingnya membedakan proses penuaan yang fisiologis dan penuaan yang
bersifat patologis. Efek proses penuaan yang fisiologis penting untuk dipahami sebagai dasar
respons terhadap pengobatan atau terapi serta komplikasi yang timbul (Kaplan dkk., 2010).
Variabel-variabel fisiologis seperti kardiovaskuler, sistem imun, endokrin, ginjal, dan
paru, menunjukan penurunan fungsi dan perubahan seiring dengan meningkatnya usia. Namun,
perubahan pada salah satu organ akibat usia tidak menjadikannya sebagai prediktor atau tolak
ukur bahwa akan terjadi perubahan-perubahan pada organ yang lainnya. Sebagai contoh,
seseorang yang tampak sehat pada usianya yang ke-60 ternyata ditemukan curah jantungnya
menurun. Hasil pemeriksaan tersebut tidak bernilai dalam memprediksikan kapan ginjal, kelenjar
tiroid, sistem saraf simpatis, atau organ lain orang tersebut mengalami perubahan (Kaplan dkk.,
2010).
Perubahan fisiologis dengan tidak disertainya suatu penyakit yang terjadi pada individu
yang lebih tua merupakan hal yang tidak berbahaya dan bukan merupakan suatu faktor risiko
yang signifikan. Perubahan fisiologis pada usia “normal” yang tidak disertai dengan penyakit,
sangat bervariasi. Akan tetapi dipengaruhi oleh faktor-faktor intrinsik seperti gaya hidup, diet,
aktivitas, nutrisi, paparan lingkungan, dan komposisi tubuh memegang peran yang penting
(Busse dkk., 1997).
2
Perjalanan dari perubahan fisiologis atau psikologis dengan bertambahnya usia pada
masing-masing individu dipengaruhi proses penuaan intrinsik dan bermacam faktor ekstrinsik,
contohnya genetik, pengaruh lingkungan, gaya hidup, diet, faktor psikososial (Busse dkk., 1997).
Ada perubahan yang terjadi seiring dengan peningkatan usia tampak menyerupai gejala
klinis yang sesungguhnya berbeda, hal ini menyebabkan sulitnya mendiagnosis secara tepat pada
orang usia lanjut (Kaplan dkk., 2010).
Proses penuaan bukanlah suatu penyakit melainkan suatu proses normal yang harus
dimengerti dengan jelas untuk mendiagnosis secara tepat kemudian memberikan
penatalaksanaan yang tepat sehingga beban yang dirasakan akibat penyakit dapat berkurang.
Namun, perubahan fungsi beberapa organ patut diperhitungkan dalam pemberian terapi farmasi
agar tepat sasaran dan tidak membahayakan (Kaplan, 2010).
III. PEMERIKSAAN PSIKIATRIK PADA PASIEN LANJUT USIA
Format pemeriksaan psikiatri pada pasien lanjut usia sama dengan yang berlaku pada
dewasa muda. Namun dokter harus lebih teliti agar dapat memastikan pasien mengerti sifat dan
tujuan pemeriksaan dikarenakan tingginya prevalensi gangguan kognitif pada pasien lanjut usia.
Jika pasien mengalami gangguan kognitif, riwayat tersendiri harus didapatkan dari anggota
keluarga atau pengasuhnya. Namun, penderita juga tetap harus diperiksa tersendiri (walaupun
terlihat adanya gangguan yang jelas) untuk mempertahankan privasi hubungan dokter dan
penderita dan untuk menggali adakah pikiran bunuh diri atau gagasan paranoid dari penderita
yang mungkin tidak diungkapkan dengan kehadiran sanak saudara atau seorang perawat (Kaplan
dkk., 2010).
a. Pemeriksaan fisik dan laboratorium
Pemeriksaan fisik yang lengkap harus dilakukan mengingat banyaknya perubahan
fisiologis yang terjadi pada proses penuaan. Pemeriksaan laboratorium dan pencitraan
dapat membantu menegakkan diagnosis dan mendeteksi kondisi yang dapat diobati.
Tomografi komputer, pencitraan resonansi magnetik, atau pemeriksaan penunjang
lainnya dapat diindikasikan bilamana ditemukan perubahan status mental yang belum
jelas. Termasuk medikasi yang saat ini sedang digunakan untuk mengatasi penyakit
fisiknya, untuk mengetahui apakah ada efek samping psikiatriknya (Sadock dkk., 2007).
3
b. Riwayat psikiatri
Bisa didapatkan dari alo- atau auto- anamnesis. Riwayat psikiatrik lengkap
termasuk identifikasi awal (nama, usia, jenis kelamin, status perkawinan), keluhan utama,
riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu (termasuk gangguan fisik yang
pernah diderita ), riwayat pribadi dan riwayat keluarga. Pemakaian obat (termasuk obat
yang dibeli bebas), yang sedang atau pernah digunakan penderita juga penting untuk
diketahui (Sadock dkk., 2007).
Pasien yang berusia di atas 65 tahun sering memiliki keluhan subjektif adanya
gangguan daya ingat yang ringan, seperti tidak mengingat nama orang atau keliru
meletakkan benda. Masalah kognitif ringan juga dapat terjadi karena kecemasan dalam
situasi wawancara. Fenomena ini dapat dijelaskan dalam istilah ”kelupaan lanjut usia
yang ringan” (benign sensecent forgetfulness) (Sadock dkk., 2007).
Riwayat medis termasuk riwayat penyalahgunaan zat harus dicatat sebagai
kemungkinan penyebab defisit yang terjadi sekarang. Begitu juga dengan riwayat masa
kanak dan remaja untuk mengetahui organisasi kepribadian pasien dan mekanisme
pertahanan yang dia gunakan. Riwayat keluarga harus termasuk penjelasan tentang sikap
orang tua penderita dan adaptasi terhadap ketuaan mereka. Jika mungkin informasi
tentang kematian orang tua, riwayat gangguan jiwa dalam keluarga. Penting juga untuk
dokter mengetahui riwayat pekerjaan pasien dan hubungan sosial pasien. Berhubungan
dengan masalah pensiun dan rencana masa depan serta apakah ada ketakutan ataupun
harapan pasien. Situasi sosial pasien sekarang harus dinilai yaitu siapa yang merawat
pasien sekarang, bagaimana keadaan keluarga ataupun anak-anak pasien. Semua ini
menjadi bekal pertimbangan dokter dalam membuat anjuran terapi yang realistik.
Riwayat perkawinan dan riwayat seksual pasien juga perlu ditanyakan. Karena masalah
yang sering dihadapi pada usia lanjut adalah kematian pasangan dan peristiwa tersebut
dapat berdampak pada defisit yang terjadi saat ini (Kaplan, 2010).
c. Pemeriksaan status mental
Pada pasien lanjut usia, dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan status mental
berulang-ulang karena adanya perubahan yang berfluktuasi dalam status mental pasien.
Riwayat longitudinal dari pasien atau keluarga penting nilainya. Pemeriksaan status
4
mental meliputi bagaimana penderita berfikir (proses pikir), merasakan dan bertingkah
laku selama pemeriksaan. Keadaan umum penderita adalah termasuk penampilan,
aktivitas psikomotorik, sikap terhadap pemeriksaan dan aktivitas bicara (Sadock dkk.,
2007).
- Deskripsi umum
Termasuk di dalam bagian ini adalah penampilan pasien, aktivitas psikomotorik,
sikap terhadap pemeriksa dan aktivitas bicara. Gangguan motorik seperti gaya berjalan
yang menyeret, postur bungkuk, gerakan jari memilin pil, tremor harus dicatat. Gerakan
involunter pada mulut atau lidah mungkin merupakan efek samping fenotiazine. Wajah
seperti topeng pada penyakit Parkinson. Air mata atau menangis dapat ditemukan pada
gangguan depresif dan gangguan kognitif, terutama jika pasien merasa frustasi tidak bisa
menjawab pertanyaan pemeriksa (Sadock dkk., 2007).
- Penilaian fungsi
Tanyakan mengenai kemampuan mereka mempertahankan kemandirian dan
melakukan aktivitas dalam kehidupan sehari-hari yaitu toilet, menyiapkan makanan,
berpakaian, berdandan. Derajat kemampuan fungsional dari perilaku sehari-hari adalah
suatu pertimbangan penting dalam menyusun rencana terapi selanjutnya (Sadock dkk.,
2007)
- Alam perasaan
Gangguan pada keadaan mood, terutama adalah depresi dan kecemasan dapat
mengganggu fungsi daya ingat. Tanyakan mengenai pikiran bunuh diri, apakah pasien
merasa tidak lagi berharga, merasa lebih baik mati dan jika mati, tidak membebani orang
lain lagi. Suatu mood yang meluas atau euforik mungkin menyatakan suatu episode
manik atau mungkin merupakan bagian dari gangguan demensia. Afek yang datar,
tumpul, terbatas, dangkal atau tidak sesuai, dapat merujuk ke gangguan depresif,
skizofrenia atau disfungsi otak (Sadock dkk., 2007).
- Gangguan persepsi
Halusinasi dan ilusi pada lanjut usia mungkin merupakan fenomena transien yang
disebabkan oleh penurunan ketajaman sensorik. Pemeriksa harus mencatat dengan teliti
5
kelainan yang terjadi apakah berhubungan dengan suatu kondisi organik. Halusinasi
dapat disebabkan oleh tumor otak dan patologi lokal (Sadock dkk., 2007).
- Kemampuan berbahasa
Mencakup afasia, yang merupakan gangguan pengeluaran bahasa yang
berhubungan dengan lesi organik otak. Pada afasia Broca, pengertian pasien tetap utuh
tetapi kemampuan untuk berbicara terganggu, salah diucapkan. Pada afasia Wernicke,
pasien diminta menunjukkan beberapa benda sederhana yang umum (kunci, pensil,
tombol lampu). Pasien mungkin tidak dapat menunjukkan kegunaan benda sederhana
tersebut (apraksia ideomotorik) (Sadock dkk., 2007).
- Fungsi visuospasial
Suatu penurunan kapasitas fungsi visuospasial adalah normal dengan
bertambahnya usia. Meminta penderita untuk mencontoh gambar atau menggambar
mungkin membantu dalam penilaian. Pemeriksaan neuropsikologi harus dilakukan jika
fungsi visuospasial sangat terganggu (Sadock dkk., 2007).
- Alam pikiran
Hilangnya kemampuan untuk berpikir abstrak merupakan tanda awal dari
demensia. Isi pikiran harus diperiksa mengenai fobia, obsesi, preokupasi somatik dan
kompulsi. Gagasan bunuh diri pun harus diperiksa dengan teliti. Pemeriksaan harus
menentukan apakah terdapat waham dan bagaimana waham tersebut mempengaruhi
kehidupan penderita. Waham mungkin merupakan alasan untuk dirawat (Sadock dkk.,
2007)
- Sensorium dan kognisi
Sensorium mempermasalahkan fungsi dari indera tertentu dan kognisi
mempermasalah proses informasi dan intelektual. Gangguan orientasi terhadap waktu,
tempat dan orang berhubungan dengan gangguan kognisi. Gangguan orientasi sering
ditemukan pada gangguan kognitif, gangguan kecemasan, gangguan buatan, gangguan
konversi dan gangguan kepribadian, terutama selama periode stres fisik atau lingkungan
yang tidak mendukung (Sadock dkk., 2007).
- Pertimbangan
Adalah kapasitas untuk bertindak sesuai dalam berbagai situasi. Sebagai contoh,
apakah yang akan pasien lakukan bila menemukan sebuah amplop di jalan dengan
6
perangko dan alamat sudah tertulis? Apa yang akan dilakukan bila mencium bau asap di
dalam bioskop? Dapatkah pasien membedakan? (Sadock dkk., 2007).
IV. GANGGUAN MENTAL PADA LANJUT USIA
Program Epidemiological Catchment Area (ECA) dari National Institute of Mental
Health telah menemukan bahwa gangguan mental yang paling sering pada lanjut usia adalah
gangguan depresif, gangguan kognitif, fobia dan gangguan pemakaian alkohol. Lanjut usia juga
memiliki resiko tinggi untuk bunuh diri dan gejala psikiatrik akibat obat. Banyak gangguan
mental pada lanjut usia dapat dicegah, dihilangkan atau bahkan dipulihkan. Jika tidak didiagnosis
dengan akurat dan diobati tepat waktu, kondisi tersebut dapat berkembang menjadi keadaan
ireversibel yang membutuhkan institusionalisasi pasien (Sadock dkk., 2007).
Sejumlah faktor resiko psikososial juga mempredisposisikan lanjut usia pada gangguan
mental. Faktor resiko tersebut adalah hilangnya peranan sosial, hilangnya otonomi, kematian
teman atau sanak saudara, penurunan kesehatan, peningkatan isolasi, keterbatasan finansial dan
penurunan fungsi kognitif (Kaplan dkk., 2010)
a. Gangguan demensia
Demensia, suatu gangguan intelektual yang umumnya progresif dan ireversibel,
meningkat prevalensinya dengan bertambahnya usia. Dari orang Amerika yang berusia lebih dari
65 tahun, kira-kira 5 persen mengalami demensia parah, dan 15 persen mengalami demensia
ringan. Dari orang Amerika yang berusia lebih dari 80 tahun, kira-kira 20 persennya menderita
demensia parah (Glass, 2009).
Menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III (PPDGJ
III), demensia merupakan suatu sindrom akibat penyakit otak, biasanya bersifat kronik atau
progresif dan terdapat gangguan fungsi luhur (fungsi kortikal yang multiple) termasuk daya
ingat, daya pikir, daya orientasi, daya pemahaman, berhitung, kemampuan belajar, berbahasa dan
kemampun menilai. Kesadaran tidak berkabut. Untuk penegakkan diagnosis dementia, gejala di
atas harus sudah nyata setidak-tidaknya 6 bulan. Dementia terjadi pada penyakit Alzheimer, dan
pada penyakit serebrovaskular, dan pada kondisi lain yang mengenai otak (PPDGJ III, 1993).
- Demensia tipe alzheimer
7
Dari semua pasien dengan demensia, 50 sampai 60 persen nya memiliki demensia tipe
Alzheimer, yang merupakan tipe demensia tersering. Prevalensi tipe Alzheimer adalah lebih
tinggi pada wanita dibandingkan pria (Glass J, 2009) .
Penyakit Alzheimer merupakan salah satu penyakit degenerative otak yang etiologinya
tidak diketahui, dengan gambaran neuropatologi dan neurokimiawi yang jelas. Dementia pada
penyakit Alzheimer mempunyai beberapa gambaran
a. Terdapat gejala dementia seperti yang telah disebutkan di atas
b. Tidak ada bukti klinis yang menyatakan bahwa kondisi mental tersebut dapat
diakibatkan oleh penyakit otak atau sistemik lain yang dapat menimbulkan dementia
c. Tidak adanya serangan apopletik mendadak atau gejala neurologis kerusakan otak
fokal seperti hemiparesis, hilangnya daya sensorik, defek lapangan pandang dan
inkoordinasi yang terjadi dalam masa dini dari gangguan itu.
(PPDGJ III, 1993)
- Demensia vaskular
Demensia vaskular adalah tipe demensia kedua yang tersering (Glass J, 2009). Demensia
ini ditandai oleh defisit kognitif yang sama seperti demensia tipe Alzheimer ,tetapi pada
demensia ini terdapat riwayat iskemia sepintas dengan gangguan kesadaran sepintas, paresis
yang sejenak, atau hilangnya penglihatan. Daya tilik diri dan daya nilai secara relative tetap baik.
Pada beberapa kasus, penetapan hanya dapat dilakukan dengan pemeriksaan CT-scan
(computerized axial tomography) atau pemeriksaan neuropatologis (PPDGJ III, 1993)
b. Delirium
Delirium merupakan suatu sindrom yang etiologinya tidak khas ditandai dengan
gangguan kesadaran yang bersamaan dengan gangguan daya perhatian, persepsi, proses pikir,
daya ingat, perilaku psikomotor, emosi dan siklus tidur. Kondisi ini dapat terjadi pada semua
usia, namun lebih sering pada usia di atas 60 tahun. Untuk pemastian diagnosis gejala yang
ringan atau berat, harus ada pada setiap kondisi di bawah ini:
- Hendaya kesadaran dan perhatian
- Gangguan secara umum daya kognitif
- Gangguan psikomotor
8
- Gangguan siklus tidur
- Gangguan emosional.
Keadaan delirium dapat bertumpangtindih dengan atau menjadi demensia. Tabel dibawah
merupakan perbedaan antara demensia, delirium dan pseudodemensia (Sadock dkk., 2007;
PPDGJ III, 1993)
Dementia delirium Pseudodemensia
Onset Lambat Cepat
Durasi Bulan-tahun Jam-minggu
Perhatian Baik Dapat menurun dapat
meningkat
Menurun
Ingatan/memori Gangguan ingatan jangka
panjang
Gangguan ingatan
jangka pendek dan
segera
Gangguan ingatan
jangka pendek dan
segera
Arus
pembicaraan
Kesulitan menemukan
kata-kata
Dapat bertambah dan
dapat berkurang
Normal
Siklus tidur Sering terbangun Terganggu
Isi pikir Miskin isi pikir Hendaya daya
pikir/tidak terorganisasi
Kesadaran Tidak berubah/baik Berkurang
kewaspadaan Normal Dapat meningkat dapat
menurun
c. Gangguan Depresif
Gejala depresif ditemukan pada kira-kira 25 persen dari semua penduduk komunitas
lanjut usia dan pasien rumah perawatan. Tanda dan gejala yang sering dari gangguan depresif
adalah penurunan energi dan konsentrasi, gangguan tidur (terutama terbangun dini hari dan
sering terbangun di malam hari), penurunan nafsu makan, penurunan berat badan, dan keluhan
somatik. Gejala yang tampak mungkin berbeda dibandingkan dengan pasien dewasa muda, pada
pasien lanjut usia terdapat peningkatan pada keluhan somatic (Smith dkk., 2011).
9
Lanjut usia rentan terhadap episode depresif berat dengan ciri melankolik, ditandai oleh
depresi, hipokondriasis, harga diri yang rendah, perasaan tidak berharga, dan kecenderungan
menyalahkan diri sendiri, dengan ide paranoid dan bunuh diri. Hampir 75% dari semua korban
bunuh diri menderita depresi dan penyalahgunaan alkohol. Resiko bunuh diri yang tinggi bila
diapatkan perasaan kesepian, tidak berguna, tidak berdaya, putus asa terutama bila hidup
sendirian, kematian pasangan yang belum lama terjadi dan nyeri somatic (Smith dkk., 2011).
Pada pasien lanjut usia yang mengalami depresi, kadang terdapat gangguan kognitif yang
dinamakan sindroma pseudodemensia. Sindrom ini harus dibedakan dengan demensia yang
sebenarnya. Pada pseudodemensia, ada defisit konsentrasi dan atensi dan jarang disertai dengan
gangguan berbahasa (Smith dkk., 2011)
d. Gangguan bipolar I
Gangguan bipolar I biasanya dimulai pada masa dewasa pertengahan, walaupun
prevalensi seumur hidup sebesar 1 persen adalah stabil sepanjang hidup. Kerentanan akan
rekurensi tetap, sehingga pasien dengan riwayat gangguan bipolar I mungkin datang dengan
periode manik di kemudian hari.
Tanda dan gejala mania pada lanjut usia adalah serupa dengan tanda dan gejala pada
orang dewasa yang lebih muda dan berupa mood yang meninggi, ekspansif, atau mudah
tersinggung; penurunan kebutuhan akan tidur; distraktibilitas; impulsivitas; dan, sering kali,
asupan alkohol yang berlebihan. Perilaku bermusuhan atau paranoid biasanya ditemukan.
Adanya gangguan kognitif, disorientasi, atau tingkat kesadaran yang berfluktuasi harus
menyebabkan klinisi curiga akan penyebab organic (Smith dkk., 2011).
e. Skizofrenia
Skizofrenia biasanya mulai pada masa remaja akhir atau masa dewasa muda dan menetap
seumur hidup. Wanita lebih sering menderita skizofrenia onset lambat dibandingkan laki-laki.
Prevalensi skizofrenia paranoid tinggi pada tipe onset lambat.
Kira-kira 20 persen orang skizofrenia tidak menunjukkan gejala aktif pada usia 65 tahun,
80 persen menunjukkan gangguan dengan berbagai tingkatan. Psikopatologi menjadi kurang
jelas saat pasien bertambah tua. Skizofrenia tipe residual terjadi pada kira-kira 30 persen. Pasien
10
yang tidak mampu merawat dirinya sendiri, dianjurkan dirawat di rumah sakit dalam waktu
jangka panjang. Orang lanjut usia dengan skizofrenik adalah berespon baik terhadap obat
antipsikotik. Medikasi harus diberikan dengan hati-hati. Dosis yang lebih rendah dari biasanya
sering efektif pada lanjut usia (Moran dkk., 2005; Sadock dkk., 2007).
f. Gangguan kecemasan
Gangguan kecemasan berupa gangguan panic, fobia, gangguan obsesif kompulsif,
gangguan kecemasan umum, gangguan stres akut, dan gangguan stress pascatraumatik. Menurut
Program Epidemiological Catchment Area (ECA), gangguan paling sering adalah fobia sebanyak
4 persen dan gangguan panik sebanyak 1 persen. Onset awal gangguan panik adalah jarang tetapi
dapat terjadi. Orang lanjut usia telah harus menyiapkan diri menghadapi kematian dan
kecemasan dapat timbul akibat pikiran mengenai kematian, bukan dengan ketenangan hati dan
rasa integritas. Tanda dan gejala fobia pada lanjut usia kurang parah dibandingkan pada orang
yang lebih muda tetapi efeknya sama. Gangguan pascatraumatik sering lebih parah pada lanjut
usia dibandingkan pada orang muda karena adanya kecacatan fisik yang menyertai pada lanjut
usia (Busse dkk., 1997).
g. Gangguan somatoform
Gangguan somatoform, ditandai oleh gejala fisik yang menyerupai penyakit medis,
adalah relevan dengan psikiatri geriatrik karena keluhan somatic sering ditemukan pada lanjut
usia. Hipokondriasis sering ditemukan pada pasien berusia diatas 60 tahun, walaupun insiden
puncak adalah pada kelompok usia 40 sampai 50 tahun. Gangguan biasanya kronis dan
pemeriksaan fisik ulang berguna untuk menentramkan pasien bahwa mereka tidak memiliki
penyakit yang mematikan. Tetapi prosedur invasif yang memiliki resiko tinggi, harus dihindari
(Busse dkk., 1997).
h. Gangguan tidur
Fenomena yang berhubungan dengan tidur yang lebih sering pada orang usia lanjut
adalah gangguan tidur, mengantuk di siang hari, tidur sejenak di siang hari dan pemakaian obat
11
hipnotik. Disamping perubahan fisiologis dan sistem regulasi, penyebab gangguan tidur pada
lanjut usia adalah gangguan tidur primer, gangguan mental lain, kondisi medis umum, dan faktor
sosial dan lingkungan. Di antara gangguan tidur primer, disomnia adalah yang paling sering,
terutama insomnia primer, mioklonus nocturnal, sindroma kaki gelisah (restless leg syndrome)
dan apnea tidur. Kondisi yang sering menggangu tidur pada lanjut usia adalah nyeri, nokturia,
sesak nafas, dan nyeri perut (Sadock dkk., 2007).
Alkohol dengan jumlah yang kecil sekalipun dapat mengganggu kualitas tidur, yang
menyebabkan fragmentasi tidur dan terbangun di dini hari. Alkohol juga dapat mencetuskan atau
memperberat apnea tidur obstruktif. Banyak pasien lanjut usia menggunakan alkohol, hipnotik,
dan depresan sistem saraf pusat lain untuk membantu mereka tertidur. Tetapi, data menunjukkan
bahwa sebagian besar pasien lanjut usia lebih banyak mengalami terbangun dini hari
dibandingkan gangguan dalam tertidur. Perubahan dalam struktur tidur di lanjut usia adalah tidur
gerakan mata cepat (rapid aye movement, REM) sepanjang malam, peningkatan jumlah episode
REM, penurunan lama episode, penurunan tidur REM total. Perubahan tidur gerakan mata
lambat (non rapid eye movement, NREM) yaitu penurunan amplitude gelombang delta. Di
samping pada lanjut usia juga mengalami bertambahnya terjaga setelah onset tidur (Sadock dkk.,
2007).
V. PENATALAKSANAAN GANGGUAN PSIKIATRI PADA PASIEN LANSIA
1. Terapi psikofarmakologis
Tujuan utama terapi farmakologis pada lanjut usia adalah untuk meningkatkan kualitas
hidup, mempertahankan mereka dalam komunitas dan menunda atau menghindari penempatan
mereka di rumah perawatan (Sadock dkk., 2007).
Prinsip dasar psikofarmakologi geriatri adalah individualisasi dosis, karena berhubungan
dengan perubahan fisiologis pada proses penuaan. Penurunan klirens obat dapat terjadi pada
gangguan ginjal, gangguan kardiovaskular dan penurunan curah jantung. Penyakit hati
menyebabkan penurunan kemampuan metabolisme obat. Penyakit gastrointestinal dan
penurunan sekresi asam lambung mempengaruhi absorpsi obat. Massa tubuh yang tidak
berlemak (lean body mass) menurun pada lanjut usia dan lemak tubuh meningkat mempengaruhi
distribusi obat (Sadock dkk., 2007).
12
Pada lanjut usia, pedoman tertentu tentang pemakaian semua obat harus diikut.
Pemeriksaan medis praterapi adalah penting, termasuk elektrokardiogram (EKG). Seluruh obat-
obatan yang sedang diminum penting untuk dievaluasi efek sampingnya dan efek interaksi
dengan obat psikotropika yang akan diberikan (Sadock dkk., 2007).
Sebagian besar obat psikotropika harus diberikan dalam dosis terbagi yang sama tiga atau
empat kali selama periode 24 jam. Pasien lanjut usia mungkin tidak mampu mentoleransi
peningkatan kadar obat dalam darah yang tiba-tiba yang disebabkan dari dosis sekali sehari yang
besar. Klinisi harus sering memeriksa kembali semua pasien untuk menentukan perlunya
medikasi pemeliharaan, perubahan dalam dosis dan perkembangan efek samping. Jika pasien
sedang menggunakan obat psikotropika saat pemeriksaan, klinisi harus mengentikan medikasi
tersebut jika dimungkinkan dan setelah periode pembersihan (washout period), periksa ulang
pasien selama keadaan dasar yang bebas dari obat (Kaplan dkk., 2011).
2. Psikoterapi
Intervensi psikoterapi standar seperti psikoterapi berorientasi tilikan, psikoterapi suportif,
terapi kognitif, terapi kelompok dan terapi keluarga harus tersedia bagi pasien lanjut usia.
Menurut Freud, orang berusia lebih dari 50 tahun tidak cocok untuk terapi psikoanalisa karena
tidak adanya elastisitas pada proses mental mereka.
Masalah dalam terapi yang berkaitan dengan usia dan yang sering adalah kebutuhan
untuk beradaptasi terhadap kehilangan pasangan hidup, perlunya menerima peran baru (pensiun,
lepas dari peran yang sebelumnya) dan kebutuhan untuk menerima kematian diri sendiri.
Psikoterapi membantu lanjut usia menghadapi masalah tersebut, meningkatkan hubungan
interpersonal, psikoterapi meningkatkan harga diri dan keyakinan diri, menurunkan perasaan
ketidakberdayaan dan kemarahan dan memperbaiki kualitas hidup. Bentuk psikoterapi yang
dilakukan adalah transferensi, terapi kelompok, terapi keluarga dan terapi singkat (Sadock dkk.,
2007).
BAB III
INSTRUMEN PEMERIKSAAN PADA PSIKOGERIATRI
13
1. Menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III (PPDGJ
III), demensia merupakan suatu sindrom akibat penyakit otak, biasanya bersifat kronik atau
progresif dan terdapat gangguan fungsi luhur (fungsi kortikal yang multiple) termasuk daya
ingat, daya pikir, daya orientasi, daya pemahaman, berhitung, kemampuan belajar,
berbahasa dan kemampun menilai. Mini Mental State Examination (MMSE) adalah tes
fungsi kognitif yang paling sering digunakan. Menilai orientasi, atensi, berhitung, daya ingat
segera dan jangka pendek, bahasa dan kemampuan untuk mengikuti perintah sederhana.
MMSE digunakan untuk mendeteksi gangguan sederhana, perjalanan penyakit dan untuk
monitor respon pasien terhadap terapi, tetapi tes ini tidak digunakan untuk membuat suatu
diagnosis resmi tanpa disertai klinis yang mendukung (Sadock dkk., 2007).
14
Interpretasi MMSE
Resiko dementia<21 Resiko tinggi terkena demensia
>25 Resiko terkena demensia lebih rendah
Hendaya kognitif
24-30 Tidak terdapat hendaya kognitif
18-23 Hendaya kognitif sedang
0-17 Hendaya kognitif berat
15
2. Gejala depresif ditemukan pada kira-kira 25 persen dari semua penduduk komunitas lanjut
usia dan pasien rumah perawatan. Tanda dan gejala yang sering dari gangguan depresif
adalah penurunan energi dan konsentrasi, gangguan tidur (terutama terbangun dini hari dan
sering terbangun di malam hari), penurunan nafsu makan, penurunan berat badan, dan
keluhan somatik. Gejala yang tampak mungkin berbeda dibandingkan dengan pasien dewasa
muda, pada pasien lanjut usia terdapat peningkatan pada keluhan somatik (Smith dkk.,
2011). Geriatric Depression Scale adalah instrumen penyaring yang berguna untuk
memeriksaan depresi pada pasien lanjut usia, walaupun tanpa adanya demensia, sering
mengganggu kinerja psikomotorik (Sadock dkk., 2007).
No PERTANYAAN JAWABAN
1 Apakah pada dasarnya anda puas dengan kehidupan anda ?
TIDAK
2 Sudahkah anda meninggalkan aktivitas dan minat anda ?
YA
3 Apakah anda merasa bahwa hidup anda kosong ? YA
4 Apakah anda sering bosan ? YA
5 Apakah anda mempunyai semangat setiap waktu ? TIDAK
6 Apakah anda takut sesuatu akan terjadi pada anda ? YA
7 Apakah anda merasa bahagia disetiap waktu ? TIDAK
8 Apakah anda merasa jenuh ? YA
9 Apakah anda lebih suka tinggal dirumah pada malam hari, dari pada pergi melakukan sesuatu yang baru ?
YA
10 Apakah anda merasa bahwa anda lebih banyak mengalami masalah dengan ingatan anda daripada yang lainnya ?
YA
11 Apakah anda berfikir sangat menyenangkan hidup sekarang ini ?
TIDAK
16
12 Apakah anda merasa tidak berguna saat ini ? YA
13 Apakah anda merasa penuh berenergi saat ini ? TIDAK
14 Apakah anda saat ini sudah tidak ada harapan lagi ? YA
15 Apakah anda berfikir banyak orang yang lebih baik dari anda ?
YA
Nilai 1 poin untuk setiap respon yang cocok dengan jawaban ya dan tidak setelah pertanyaan.
Nilai 5 atau lebih dapat menandakan depresi.
3. Indeks Barthel merupakan instrumen untuk menilai tingkat kemandirian fungsional /
ketergantungan selama sepuluh Kegiatan Sehari-hari (ADL) terutama yang berkaitan dengan
perawatan pribadi dan mobilitas dalam pengaturan klinis. Awalnya dirancang untuk di-
pasien pasien dengan kelumpuhan dan pasient sakit kronis, sekarang digunakan umumnya
untuk stroke, penyakit Parkinson, dan proses penuaan. Tes ADL termasuk menilai
kemampuan untuk mandiri memberi makan diri sendiri, mandi, mengendalikan perut dan
kandung kemih, menggunakan toilet, transfer, mobilitas pada permukaan tingkat dan tangga.
skor yang lebih tinggi berarti pasien lebih independen (Mahoney dkk., 2008).
17
Gambar 2.1 Barthel Indeks
Interpretasi Indeks ADL Barthel
20 Mandiri
12-19 Ketergantungan ringan
9-11 Ketergantungan sedang
5-8 Ketergantungan berat
0-4 Ketergantungan total
4. Skala kualitas hidup (Quality of Life Scale / QOLS) merupakan instrumen pengukuran
kualitas hidup penderita/pasien dengan penyakit kronik yang lama. Skala QOL
18
ditargetkan terhadap pasien psikiatrik dan pasien dengan penyakit kronik dengan tujuan
untuk mengukur kualitas hidup secara akurat (lampiran). The World Health Organization
Quality of Life (WHOQOL) dibuat pada tahun 1991, bertujuan untuk meningkatkan
instrument penilaian kualitas hidup yang dapat sesuai dengan budaya Internasional.
WHOQOL menilai persepsi individual dalam konteks budaya responden. WHOQOL
berisi 26 pertanyaan yang mencangkup mengenai kesehatan fisik, kesehatan psikologis,
hubungan social, dan lingkungan (WHO, 1993).
BAB IV
KESIMPULAN
Angka morbiditas gangguan psikiatri pada pasien lanjut usia diperkirakan meningkat
hingga 20 juta pada pertengahan abad 20. Prevalensi gangguan mental emosional meningkat
sejalan dengan pertambahan usia. Berdasarkan umur, tertinggi pada kelompok umur 75 tahun ke
atas (33,7%).
Maka dari itu, diperlukan pemeriksaan psikiatri yang rinci pada pasien lanjut usia agar
dapat memastikan pasien mengerti sifat dan tujuan pemeriksaan dikarenakan tingginya
19
prevalensi gangguan kognitif pada pasien lanjut usia. Karena proses penuaan bukanlah suatu
penyakit melainkan suatu proses normal yang harus dimengerti dengan jelas untuk mendiagnosis
secara tepat kemudian memberikan penatalaksanaan yang tepat sehingga beban yang dirasakan
akibat penyakit dapat berkurang.
Seluruh stressor pada pasien lanjut usia baik yang bersifat fisik dan psikososial harus
dapat dinilai agar penatalaksanaan yang holistik dapat tercapai dengan tujuan utama untuk
meningkatkan kualitas hidup, mempertahankan mereka dalam komunitas dan menunda atau
menghindari penempatan mereka di rumah perawatan. Oleh karena itu kesiapan fisik serta
mental maupun kerasnya ikhtiar diperlukan untuk dapat bersama-sama mewujudkan keinginan
melihat generasi tua kita dapat menjalani hari tua yang berkualitas.
DAFTAR PUSTAKA
Busse EW and Blazer DG. 1997. Textbook of Geriatry Psychology. Edisi kedua. Washington :
The American Psychiatric Press.
Covino, Jennifer. Depression in Geriatric Patients. Diunduh dari :
http://www.medscape.com/viewarticle/520534
Glass J. 2009. WebMD. Alzheimer's Disease and Other Forms of Dementia. Diunduh dari :
http://www.webmd.com/alzheimers/guide/alzheimers-dementia
Kaplan HI, Sadock BJ and Grebb JA. 2010. Kaplan-Sadock Sinopsis Psikiatri jilid 1. Alih bahasa
20
: Wijaya Kusuma. Jakarta : Bina Rupa Aksara.
Kaplan HI, Sadock BJ and Grebb JA. 2010. Kaplan-Sadock. Sinopsis Psikiatri. Jilid 1. Alih
bahasa : Wijaya Kusuma. Jakarta : Bina Rupa Aksara.
Mahoney FI, Barthel DW. 2008. Barthel Indeks. Diunduh dari:
http://pt.unlv.edu/ebpt/tests/Barthel%20Index.doc
Moran M, Lawlor B. 2005. Late-life Schizophrenia; PSYCHIATRY 4:11; 2005 The Medicine
Publishing Company Ltd.
Sadock BJ, Sadock VA. 2004/ Concise Textbook of Clinical Psychiatry. Edisi kedua.
Philadelphia : The William-Wilkins.
Sadock BJ, Sadock VA. 2007. Synopsis of Psychiatry. Edisi kesepuluh. Philadelphia : The
William-Wilkins.
Smith M, Robinson L, Segal J. 2011. Helpguide.org. Depression in Older Adults and Elderly.
Diunduh dari : http://helpguide.org/mental/depression_elderly
World Health Organization (1993). WHOQoL Study Protocol. Di unduh dari :
http://www.who.int/substance_abuse/research_tools/whoqolbref/en/
21