referat pneumothorax

Upload: iman-hakim-wicaksana

Post on 09-Oct-2015

571 views

Category:

Documents


128 download

DESCRIPTION

pneumothoraxpatofispatomekanisme

TRANSCRIPT

REFERATPNEUMOTORAKS

Oleh:Mumtaz Maulana HidayatG1A011037

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAANUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMANFAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATANJURUSAN KEDOKTERAN

2014DAFTAR ISI

Halaman Judul..............................................................................................iDaftar Isi.....................................................................................................1I. PendahuluanA. Latar Belakang............................................................................2B. Tujuan.........................................................................................2II. IsiA. Definisi.......................................................................................4B. Etiologi.......................................................................................4C. Epidemiologi..............................................................................5D. Penegakkan Diagnosis................................................................6E. Patogenesis................................................................................. 10F. Patofisiologi.................................................................................11G. Tata Laksana...............................................................................12H. Prognosis....................................................................................15I. Komplikasi.................................................................................15III. Kesimpulan.....................................................................................16Daftar Pustaka.............................................................................................17

I. PENDAHULUAN

A. Latar BelakangPneumothoraks merupakan keadaan dimana udara bebas terdapat dalam kavum pleura. Udara bebas yang terdapat dalam rongga ini dapat menimbulkan penekanan terhadap organ paru sehingga pengembangan organ paru menjadi tidak maksimal. Pneumothoraks diklasifikasikan menjadi dua, yaitu pneumotoraks spontan dan pneumotoraks traumatik. Pneumotoraks spontan itu sendiri dapat bersifat primer dan sekunder. Pneumotoraks sekunder berarti ada penyakit yang menyertai, sedangkan pada pneumotoraks primer tidak. Sedangkan pneumotoraks traumatik dapat bersifat iatrogenik dan non iatrogenik. Iatrogenik berarti berkaitan dengan tindakan atau manuver diagnostik, sedangkan non iatrogenik berarti tidak berhubungan dengan manuver diagnostik (Guyton et al., 2007).Kejadian pneumotoraks tidak mudah untuk diketahui dikarenakan perjalanan klinisnya tidak banyak diketahui. Pneumotoraks sering terjadi pada penderita yang berusia sekitar 40 tahun. Wanita lebih jarang daripada laki-laki, dengan perbandingan 1:5. Risiko pneumotoraks spontan pada laki-laki akan meningkat pada perokok berat dibanding golongan non perokok. Pneumotoraks spontan sering terjadi pada usia muda, dengan insidensi puncak dekade ketiga kehidupan (20-40 tahun). Pneumotoraks dapat terjadi sebagai komplikasi dari penyakit pernapasan lain (Alsgaff et al., 2009).Melihat fakta bahwa pneumotoraks sulit diprediksi, terjadi di usia muda, memiliki insidensi yang tinggi, dan dapat mengakibatkan kematian maka penyakit ini sangat layak untuk dibahas dan dipahami secara menyeluruh. Penulis bermaksud menuliskan gambaran penyakit secara komprehensif.

B. Tujuan1. Mengetahui definisi pneumotoraks.2. Dapat memahami penegakkan diagnosis pneumotoraks.3. Memahami perjalanan penyakit pneumotoraks.4. Dapat melakukan tata laksana penyakit pneumotoraks.5. Memahami prognosis dan komplikasi pneumotoraks.

II. ISI

A. DefinisiPneumotoraks merupakan keadaan dimana terdapat udara di dalam kavum pleura. Adanya udara di dalam ruangan antara pleura visceral dan parietal tersebut dapat mengganggu ventilasi dan oksigenasi (Noppen, 2010). Terdapat 2 jenis pneumotoraks, yaitu jenis spontan dan traumatik. Pneumotoraks jenis spontan terbagi menjadi pneumotoraks primer dan sekunder. Primer berarti tidak ada penyakit yang menyertai seseorang sebelum terkena pneumonia, sedangkan pneumotoraks sekunder merupakan komplikasi dari penyakit lain yang mendasari, seperti asma, emfisema, atau fibrosis interstisial. Pneumotoraks jenis traumatik dibagi menjadi iatrogenik dan non iatrogenik. Jenis iatrogenik berkaitan dengan manuver terapi atau diagnostik, sedangkan non iatrogenik disebabkan hal-hal diluar manuver dan terapi diagnostik (Martin, 2007).

B. EtiologiEtiologi atau penyebab utama dari pneumotoraks lebih berhubungan dengan pneumotoraks sekunder, yaitu terkait dengan penyakit yang mendasari, seperti (Noppen, 2010):1. Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK)2. Emfisema3. Kistik Fibrosis4. Tuberkulosis5. Kanker paru6. PneumoniKita tidak dapat menggambarkan secara jelas tentang penyebab pasti pneumotoraks primer. Hal-hal yang berhubungan dengan awal mula pnemotoraks primer hanyalah faktor-faktor resiko, diantaranya adalah (Noppen, 2010):1. Gender. Insidensi pneumotoraks primer pada laki-laki adalah 7-18 kasus per 100.000 penduduk, sedangkan pada wanita hanya berkisar 1-6 kasus. 2. Kurangnya asupan nutrisi.Sebagian besar penderita pneumotoraks memilki tubuh yang kurus atau indeks massa tubuh yang rendah.3. Kebiasaan Merokok4. Perubahan tekanan armosfer, misal pada seseorang yang melakukan penerbangan atau pendakian di daerah pegunungan.

C. EpidemiologiData epidemiologi pada tiap jenis pneumotoraks amat bervariasi, yaitu (Daley, 2014):1. Pneumotoraks primer, sekunder, dan primer berulangSangat mungkin bahwa kejadian untuk pneumotoraks spontan diremehkan. Sampai dengan 10% dari pasien mungkin asimtomatik, dan lain-lain dengan gejala ringan mungkin tidak hadir ke penyedia medis. Pneumotoraks spontan primer terjadi pada orang berusia 20-30 tahun, dengan insiden puncak pada awal usia 20-an. Pneumotoraks spontan primer jarang diamati pada orang tua dari 40 tahun. Insiden yang disesuaikan menurut umur dari PSP adalah 7,4-18 kasus per 100.000 orang per tahun untuk laki-laki dan 1,2-6 kasus per 100.000 orang per tahun untuk wanita [29] laki-wanita rasio tingkat yang disesuaikan menurut umur adalah 6.2:1. Pneumotoraks spontan sekunder lebih sering terjadi pada pasien berusia 60-65 tahun. Insiden yang disesuaikan menurut umur dari SSP adalah 6,3 kasus per 100.000 orang per tahun untuk laki-laki dan 2,0 kasus per 100.000 orang per tahun untuk wanita. Laki-laki-ke-perempuan rasio harga yang disesuaikan menurut umur 3.2: 1. Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyebab umum pneumotoraks spontan sekunder yang mengusung kejadian 26 kasus per 100.000 orang. [30] Merokok meningkatkan risiko pneumotoraks spontan pertama dengan lebih dari 20 kali lipat pada pria dan hampir 10 kali lipat pada wanita dibandingkan dengan risiko pada bukan perokok. [31] Peningkatan risiko pneumotoraks dan kekambuhan terlihat naik secara proporsional dengan jumlah rokok yang dihisap. Pada pria, risiko pneumotoraks spontan adalah 102 kali lebih tinggi pada perokok berat dibandingkan bukan perokok. Pneumotoraks spontan yang paling sering terjadi pada pria jangkung kurus berusia 20-40 tahun. 2. Pneumotoraks traumatikPneumotoraks traumatik terjadi lebih sering daripada pneumotoraks spontan, dan angka ini terus meningkat di rumah sakit AS. Peningkatan angka kejadian pneumotoraks traumatik sebanding dengan modalitas pengobatan perawatan intensif yang menggunakan ventilator tekanan positif, kateter vena sentral, dan penyebab lain yang berpotensi menimbulkan pneumotoraks traumatik.Pneumotoraks traumatik dapat menyebabkan morbiditas substansial dan jarang menyebabkan kematian. Insiden pneumotoraks traumatik adalah 5-7 per 10.000 rawat inap, tanpa pasien bedah toraks karena pneumotoraks dapat menjadi komplikasi dari operasi ini.Pneumotoraks terjadi pada 1-2% dari semua neonatus, dengan insiden lebih tinggi pada bayi dengan sindrom neonatal gangguan pernapasan. Dalam sebuah penelitian, 19% dari pasien tersebut mengembangkan pneumotoraks.

D. Penegakkan Diagnosis1. AnamnesisBerdasarkan anamnesis, gejala yang sering muncul adalah (Hisyam dan Budiono, 2009):a. Sesak napas yang didapatkan pada 80-100% pasienb. Nyeri dada yang didapatkan pada 75-90% pasienc. Batuk yang didapatkan pada 25-35% pasiend. Tidak menunjukkan gejala (asimptomatik)Gejala-gejala di atas dapat berdiri sendiri maupun kombinasi dan derajat gangguannya bisa mulai dari asimptomatik sampai dapat menimbulkan gangguan ringan hingga berat (Hisyam dan Budiono, 2009).2. Pemeriksaan FisikSuara napas dan fremitus melemah sampai menghilang, resonansi perkusi dapat meningkat (hipersonor) atau normal. Pneumotoraks dengan ukuran yang kecil biasanya hanya menimbulkan takikardi ringan dan gejala yang tidak khas. Pada pneumotoraks ukuran besar, biasanya didapatkan suara napas yang melemah bahkan sampai menghilang pada auskultasi, fremitus raba menurun dan perkusinya hipersonor (Hisyam dan Budiono, 2009).3. Pemeriksaan Penunjang (Hisyam dan Budiono, 2009)a. Analisis gas darah arteri dapat memberikan gambaran hipoksemiab. Didapatkan PO2 di bawah 55 mmHgc. PCO2 di atas 50 mmHgd. Pneumotoraks primer paru kiri sering menimbulkan perubahan aksis QRS dan gelombang T prekordial pada rekaman EKG dan dapat salah ditafsirkan sebagai infark miokard akute. Pemeriksaan foto dada, garis pleuran viseralis tampak putih, lurus atau cembung terhadap dinding dada dan terpisah dari garis pleura parietalis

Gambar 2.1 pneumothorax yang lebarpada sisi kanan, terjadi karena ruptur pada supleural bleb(Al-Hameed, 2013)

Gambar 2.2 Garis true pneumothorax. perhatikan bahwa garis pleura visceral dapat diamati secara jelas. dengan tidak adanya gambaran vaskular pada garis pleura(Al-Hameed, 2013)

Gambar 2.3 Rigtht main stem intubation yang mengakibatkan sisi paru sebelah kiri mengalami tension pneumotoraks. contoh pneumothoraks jenis traumatik(Al-Hameed, 2013)

Gambar 2.4Terlihat gambaran pleura visceral mengalami retraksi, mengindikasikan gambaran pneumothoraks (panah biru). Terlihat juga garis horizontal yang dinamakan air fluid level pada pneumotoraks. Gambaran ini bisa menjadi kunci dalam diagnosis pneumotoraks

E. PatogenesisPneumotoraks spontan primer kemungkinan berasal dari subpleural bleb atau bula (Van Schil et al., 2005), yang sebagian dapat ditemukan dan sebagian lain tidak. Mekanisme lain adalah peningkatan porositas pada pleura yang dapat menyebabkan inflamasi (Luh, 2010). Pertumbuhan bula atau bleb dipengaruhi banyak faktor seperti radang saluran napas distal, anomali bronkiolus, gangguan pembentukan jaringan ikat, iskemia lokal, dan malnutrisi (Noppen dan de Keukeleire, 2008).Sebagian besar pneumotoraks spontan merupakan hemopneumotoraks spontan atau adanya udara dan darah yang terakumulasi di dalam rongga pleura yang mendasari atau trauma dada sebelumnya dalam 48 jam (Wu et al, 2002;. Luh dan Tsao, 2007). Asal perdarahan yang paling mungkin yaitu pembuluh darah yang menyimpang yang berasal dari dinding dada dan tumbuh menjadi lesi pleura (bula atau blebs) dari paru-paru melalui pita adhesi (Hsu et al., 2005). Fenomena ini telah dibuktikan oleh angiografi pra-operasi untuk pasien dengan hemopneumotoraks spontan (Luh, 2010). Pembuluh darah ini biasanya robek ketika pneumotoraks spontan terjadi berulang dengan paru-paru yang robek dan kolaps pada adhesi pleura, yang telah diamati di lebih dari 80% pasien yang dilaporkan menjalani bullectomy (Luh dan Tsao, 2007). Perdarahan juga dapat muncul dari permukaan bula yang pecah (Wu et al., 2002).

F. PatofisiologiSecara garis besar semua jenis pneumotoraks mempunyai dasar patofisiologi yang hampir sama. Pneumotoraks spontan terjadi karena lemahnya dinding alveolus dan pleura visceralis. Apabila dinding alveolus dan pleura visceralis yang lemah ini pecah, maka akan ada fistula yang menyebabkan udara masuk ke cavum pleura. Mekanismenya pada saat inpirasi rongga dada mengembang, disertai pengembangan kavum pleura yang kemudian menyebabkan paru dipaksa ikut mengembang seperti balon yang dihisap. Pengembangan paru menyebabkan tekanan intraaveolar menjadi negatif sehingga udara luar masuk (Fishman, 2008).Pada pneumotoraks spontan, paru-paru kolaps, udara inspirasi bocor masuk ke kavum pleura sehingga tekanan intrapleura tidak negatif. Pada saat ekspirasi mediastinal ke sisi yang sehat. Pada saat ekspirasi mediastinal kembali lagi ke posisi semula. Proses yang terjadi ini dikenal dengan mediastinal flutter. Pneumotoraks ini terjadi biasanya pada satu sisi, sehingga respirasi paru sisi sebaliknya masih bisa menerima udara secara maksimal dan bekerja dengan sempurna (Fishman, 2008).Terjadinya hipereksansi kavum pleura tanpa disertai gejala pre-syok atau syok dikenal dengan simple pneumotoraks. Berkumpulnya udara pada kavum pleura dengan tidak adanya hubungan dengan lingkungan luar dikenal dengan closed pneumotoraks. Pada saat ekspirasi, udara juga tidak dipompakan balik secara maksimal karena elastic recoil dari kerja alveoli tidak bekerja sempurna. Akibatnya bilamana proses ini semakin berlanjut, hipereksansi cavum pleura pada saat inspirasi menekan mediastinal ke sisi yang sehat dan saat ekspirasi udara terjebak pada paru dan kavum pleura karena luka yang bersifat katup tertutup terjadilah penekanan vena cava, perpindahan udara ke paru yang sehat, dan obstruksi jalan napas. Akibatnya dapat timbullah gejala pre-syok atau syok oleh karena penekanan vena cava. Kejadian ini dikenal dengan tension pneumotoraks (Fishman, 2008).Pada open pneumotoraks terdapat hubungan antara kavum pleura dengan lingkungan luar. Open pneumotoraks dikarenakan trauma penetrasi. Perlukaan dapat inkomplit (sebatas pleura parietalis) atau komplit (pleura parietalis dan visceralis). Bilamana terjadi open pneumotoraks inkomplit pada saat inspirasi udara luar akan masuk ke dalam kavum pleura. Akibatnya paru tidak dapat mengembang karena tekanan intrapleural tidak negatif. Efeknya akan terjadi hiperekspansi cavum pleura yang menekan mediastinal ke sisi paru yang sehat. Saat ekspirasi mediastinal bergerser kemediastinal yang sehat. Terjadilah mediastinal flutter. Bilamana open pneumotoraks komplit maka saat inspirasi dapat terjadi hiperekspansi cavum pleura mendesak mediastinal kearah yang sehat dan saat ekspirasi udara terjebak pada cavum pleura dan paru karena luka yang bersifat katup tertutup. Selanjutnya terjadilah penekanan vena cava, shunting udara ke paru yang sehat, dan obstruksi jalan nafas. Akibatnya dapat timbullah gejala pre-shock atau shock oleh karena penekanan vena cava, yang dapat menyebabkan tension pneumotoraks (Fishman, 2008).

G. Tata Laksana1. Penatalaksaan pneumotoraks (umum)Primary survey dengan memperhatikan:a. Airwayb. Breathingc. Circulation2. Tindakan bedah emergensia. KrikotiroidotomiKrikotiroidotomi adalah suatu prosedur emergensi dimana dilakukan pembuatan saluran pada ligamen krikoroideum sehingga udara bisa masuk ke dalam paru-paru. Krikotiroidotomi dilakukan jika terdapat obstruksi jalan napas dan tidak dapat dibebaskan dengan cara mengorek maupun suction. Ligamen krikotiroideum berada di antara kartilago tiroid dan kartilago krikoid. Krikotiroidotomi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu needle cricothyroidotomy dan surgical crycothyroidotomy.b. TrakheostomiTrakeostomi merupakan suatu teknik yang digunakan untuk mengatasi pasien dengan ventilasi yang tidak adekuat dan obstruksi jalan pernafasan bagian atas. Insisi yang dilakukan pada trakea disebut dengan trakeotomi sedangkan tindakan yang membuat stoma selanjutnya diikuti dengan pemasangan kanul trakea agar udara dapat masuk ke dalam paru-paru dengan menggunakan jalan pintas jalan nafas bagian atas disebut dengan trakeostomi.c. TorakostomiTorakostomi merupakan suatu tindakan membuat lubang pada dinding dada di daerah interkostal V di anterior garis mid aksila pada sisi toraks yang patologis, kemudian dipasang tube elastik dan difiksasi, untuk mengeluarkan cairan, darah atau udara dari kavum pleura, baik secara aktif maupun pasif. Tindakan ini dikerjakan untuk menangani kasus-kasus pasien dengan efusi pleura, hematotoraks, pneumotoraks, silotoraks, post operasi torakostomi dan empiema. Bailey (2006), mendapatkan 54% indikasi pemasangan toraks tube pada pasien trauma oleh karena pneumotoraks, 20% oleh karena hematotoraks, 18% oleh karena efusi pleura, 2% oleh karena fraktur kosta multipel dan 6% oleh karena berbagai sebab.

3. Tindakan dekompresiHal ini sebaiknya dilakukan seawal mungkin pada kasus pneumotoraks yang luasnya >15%. Pada intinya, tindakan ini bertujuan untuk mengurangi tekanan intrapleura dengan membuat hubungan antara cavum pleura dengan udara luar dengan cara (Alsgaff et al., 2009):a. Menusukkan jarum melalui dinding dada terus masuk rongga pleura akan berubah menjadi negatif karena mengalir ke luar melalui jarum tersebut.b. Membuat hubungan dengan udara luar melalui kontra ventil:1) Dapat memakai infus set jarum ditusukkan ke dinding dada sampai ke dalam rongga pleura, kemudian infus set yang telah dipotong pada pangkal saringan tetesan dimasukkan ke botol yang berisi air.2) Jarum abbocath merupakan alat yang terdiri dari gabungan jarum dan kanula. Setelah jarum ditusukkan pada posisi yang tetap di dinding thorax sampai menebus ke cavum pleura, jarum dicabut dan kanula tetap ditinggal. Kanula ini kemudian dihubungkan dengan pipa plastik infus set. Pipa infus ini selanjutnya dimasukkan ke botol yang berisi air..3) Pipa water sealed drainage (WSD) pipa khusus (thorax kateter) steril, dimasukkan ke rongga pleura dengan perantaraan troakar atau dengan bantuan klem penjempit. Setelah troakar masuk, maka thorax kateter segera dimasukkan ke rongga pleura dan kemudian troakar dicabut, sehingga hanya kateter thorax yang masih tertinggal di rongga pleura. Selanjutnya ujung kateter thorax yang ada di dada dan di pipa kaca WSD dihubungkan melalui pipa kaca WSD dihubungkan melalui pipa plastic lainnya. Penghisapan dilakukan terus-menerus apabila tekanan intrapleural tetap positif, Penghisapan ini dilakukan dengan memberi tekanan negatif sebesar 10-20 cm H2O.4. Pengobatan tambahan (Sudoyo et al., 2009)a. Apabila terdapat proses lain di paru, maka pengobatan tambahan ditujukan terhadap penyebabnya, misalnya: terhadap proses TB paru diberi OAT, terhadap bronkhitis dengan obstruksi saluran nafas diberi antibiotik dan bronkodilator.b. Istirahat total untuk menghindari kerja paru yang berat.c. Pemberian antibiotik profilaksis setelah tindakan bedah dapat diperimbangkan, untuk mengurangi insidensi komplikasi, seperti emfisema.5. Rehabilitasi (Bowman et al., 2010)a. Penderita yang telah sembuh dari pneumotoraks harus dilakukan pengobatan secara tepat untuk penyakit dasarnya.b. Untuk sementara waktu penderita dilarang mengejan, batuk, atau bersin terlalu keras.c. Bila mengalami kesulitan defekasi karena pemberian antitusif, berilah laksan ringan.d. Kontrol penderita pada waktu tertentu, terutama kalau ada keluhan batuk, sesak nafas.

H. PrognosisHampir separuh pasien dengan pneumotoraks spontan akan mengalami kekambuhan setelah sembuh dari observasi maupun setelah pemasangan tube torakostomi. Kekambuhan jarang terjadi pada pasien-pasien pneumotoraks yang dilakukan torakotomi terbuka. Pasien umumnya tidak akan mengalami komplikasi jika penatalaksanaannya baik. Prognosis pasien pneumotoraks spontan tergantung pada penyakit yang mendasarinya (Hisyam dan Budiono, 2009).

I. KomplikasiPneumotoraks jenis tension dapat mengakibatkan kegagalan respirasi akut, pio-pneumotoraks, hidropneumotoraks/ hemo-pneumotoraks, henti jantung dan paru dan kematian (sangat jarang terjadi); pneumomediastinum dan emfisema subkutan dapat terjadi akibat komplikasi pneumotoraks spontan, yang kemungkinan diakibatkan oleh pecahnya esofagus atau bronkus (Hisyam dan Budiono, 2009).

III. KESIMPULAN

1. Pneumotoraks merupakan keadaan dimana terdapat udara di dalam kavum pleura.2. Diagnosis pneumotoraks dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang tepat.3. Penyakit pneumotoraks terjadi dikarenakan oleh berbagai faktor seperti penyakit pernapasan lain yang menyertai.4. Tata laksana pneumotoraks meliputi medikamentosa, bedah, rehabilitasi dan dekompresi.5. Prognosis pneumotoraks pada umumnya baik jika ditangani dengan tata laksana yang baik. Komplikasi pneumotoraks di antaranya adalah gagal napas dan kematian.

DAFTAR PUSTAKA

Al-hameed, FM. 2013. Pneumothorax Imaging. Available at :http://emedicine.medscape.com/article/360796-overview diakses pada 2 september 2014 pukul 06.05

Alsgaff, Hood, Mukty, H., Abdul. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga University Press. Hal: 162-179.Bowman, Jeffery, Glenn. 2010. Pneumotoraks, Tension and Traumatic. Available from http://emedicine.medscape.com/article/827551 diakses pada 31 Agustus 2014 pukul 12.11.Daley, Brian James. 2014. Pneumotoraks. Available at: http://emedicine.medscape.com/article/424547-overview#aw2aab6b2b4 diakses pada 31 Agustus 2014 pukul 14.05.Fishman, P. A., Elias A., Grippi M. 2008. Fishmans Pulmonary Disease and Disorder 4th edition. United States of America: The McGraw Hill Companies.Guyton, Arthur, C. Hall, John, E. 2007 Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta: EGC; Hal. 598.Hisyam, Barmawi, Eko Budiono. 2009. Pneumotoraks Spontan dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing. Hal: 2341-2342.Hsu N. Y., Shih C. S., Hsu C. P., Chen P. R. 2005. Spontaneous Hemopneumotoraks Revisited: Clinical Approach and Systemic Review of the Literature. Ann Thorac Surg; 80(5): 1859-1863.Luh S. P., Tsao T. C. 2007. Video-Assisted Thoracic Surgery for Spontaneous Haemopneumotoraks. Respirology; 12(3): 443-447.Luh, Shi-ping. 2010. Diagnosis and Treatment of Primary Spontaneous Pneumotoraks. J Zhejiang Univ Sci B; 11 (10): 735-744.Martin, Kevin T. 2007. Pneumotoraks. California: Respiratory Care Educational Consulting Service.Noppen M., de Keukeleire T. 2008. Pneumotoraks. Respiration; 76 (2): 121-127.Noppen, M. 2010. Review: Endoscopy, Spontaneous Pneumotoraks: Epidemiology, Pathophysiology and Cause. European Respiratory Review 2010. Vol. 19 Hal. 117, 217-219.

Smithuis, R., Delden, OV. 2013. Chest X-Ray Basic Interpretation. Available at : http://www.radiologyassistant.nl/en/p497b2a265d96d/chest-x-ray-basic-interpretation.html diakses pada 2 september 2014 pukul 06.00

Sudoyo, Aru, W., Setiyohadi, Bambang, Alwi, Idrus K., Marcellus, Simadibrata, Setiati, Siti. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal: 1063.

Van Schil P. E., Hendriks J. M., de Maeseneer M. G., Lauwers P. R. 2005. Current Management of Spontaneous Pneumotoraks. Monaldi Arch Chest Dis: 63 (4): 204-212.

Wu Y. C., Lu M. S., Yeh C. H., Liu Y. H., Hsieh M. J., Lu H. I., Liu H. P. 2002. Justifying Video-Assisted Thoracic Surgery for Spontaneous Hemopneumotoraks. Chest; 122 (5): 1844-1847.19