referat mielopati cervical.docx
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Mielopati merupakan gangguan fungsi atau struktur dari medula spinalis oleh adanya
lesi komplit atau inkomplit. Gangguan ini dapat berupa akibat dari cedera/trauma, infeksi
lokal, ataupun penyakit sistemik. Cedera medula spinalis merupakan salah satu penyebab
utama disabilitas neurologis akibat trauma. Pusat Data Nasional Cedera Medula Spinalis (The
National Spinal Cord Injury Data Research Centre) memperkirakan ada 10.000 kasus baru
cedera medula spinalis setiap tahunnya di Amerika Serikat. Angka insidensi paralisis komplit
akibat kecelakaan diperkirakan 20 per 100.000 penduduk, dengan angka tetraplegia 200.000
per tahunnya. Kecelakaan kendaraan bermotor merupakan penyebab utama cedera medula
spinalis.1
Cedera medula spinalis dapat dibagi menjadi komplit dan inkomplit berdasarkan
ada/tidaknya fungsi yang dipertahankan di bawah lesi.2 Pembagian ini penting untuk
meramalkan prognosis dan penanganan selanjutnya. Teknik yang paling sering digunakan
adalah pemeriksaan sacral sparing.2,3 Data di Amerika Serikat menunjukkan urutan frekuensi
disabilitas neurologis karena cedera medula spinalis traumatika sebagai berikut: (1)
tetraplegia inkomplit (29.5%), (2) paraplegi komplit (27.3%), (3) paraplegi inkomplit
(21.3%), dan (4) tetraplegia komplit (18.5%).4
Cedera medula spinalis akut merupakan kondisi yang kompleks, terutama mengenai
kelompok usia muda. Central cord syndrome merupakan bentuk cedera inkomplit yang
paling sering dijumpai. Tujuan utama terapi adalah meningkatkan fungsi motorik dan
sensorik pasien. Bukti ilmiah menunjukkan bahwa pemberian steroid dosis tinggi
meminimalkan efek sekunder cedera medula spinalis. Pasien dengan cedera medula spinalis
komplit hanya memiliki kemungkinan 5% untuk membaik. Pada cedera komplet yang
menetap lebih dari 72 jam, maka hamper tidak ada kemungkinan untuk kembali pulih.
Sindroma cedera inkomplit memiliki prognosis yang jauh lebih baik. Penyebab kematian
utama pada pasien dengan cedera medula spinalis adalah pneumonia, emboli paru, dan
septikemia.5
1
BAB II
ANATOMI DAN FISIOLOGI
I. ANATOMI MEDULA SPINALIS
Susunan saraf pusat terdiri dari otak dan medula spinalis. Medula spinalis terletak di
dalam canalis vertebralis columna vertebra dan dibungkus oleh meningen serta diliputi oleh
cairan serebrospinal. Bagian medula spinalis mulai dari perbatasan dengan medula oblongata
(decussatio pyramidum) sampai setinggi vertebra L1-2 yang terdiri dari 31 segmen: 8
servikal, 12 torakal, 5 lumbal, 5 sakral, 1 koksigeal. Pada bagian bawah, medula spinalis
menipis menjadi conus medularis dan berlanjut sebagai filum terminale yang melekat pada os
coccygea. Akar saraf lumbal dan sakral terkumpul dan disebut dengan cauda equina.6
Masing-masing segmen membentuk sepasang radiks saraf spinal yang keluar melalui
foramen intervertebral yaitu bagian dorsal dan ventral. Akar bagian dorsal berisi serabut saraf
sensorik dan memiliki struktur ganglia yang berisi neuron sensoris, sedangkan akar bagian
ventral berisi serabut saraf motorik dengan neuron motoriknya terletak pada cornu anterior
medula spinalis.6
Medula spinalis tersusun oleh substansia alba yang berwarna putih di bagian luar dan
substansia grisea yang berwarna abu-abu di bagian dalam. Substansia grisea membentuk
cornu anterior dan posterior sehingga tampak seperti gambaran huruf H atau kupu-kupu pada
potongan melintang. Di dalam substansia alba berisi lintasan-lintasan asenden dan desenden.
Di dalam substansia grisea pada daerah cornu anterior terdapat motor neuron yang
bertanggung jawab dalam penghantaran impuls motorik somatik. Medula spinalis dilindungi
oleh tulang vertebra dan ligamen.6
Medula spinalis diperdarahi oleh satu arteri spinalis anterior dan dua arteri spinalis
posterior yang berasal dari arteri vertebralis dari dalam intrakranial dan berjalan secara
longitudinal di sepanjang medula spinalis dan bergabung dengan arteri segmental dari
masing-masing regio yang merupakan cabang dari arteri besar yang memperdarahi masing-
masing regio, seperti6:
Arteri vertebralis yang berasal dari arteri subklavia di leher
Arteri intercostalis posterior yang berasal dari aorta thorakalis
2
Arteri lumbalis yang berasal dari aorta abdominalis
Arteri sacral lateral yang berasal dari arteri iliaka interna pelvis
Aliran pembuluh vena medula spinalis berawal dari vena radikularis yang bergabung
menuju vena segmentalis kemudian terkumpul di6:
Vena cava superior
Sistem vena azygos thorakalis
Vena cava inferior
II. FISIOLOGI MEDULA SPINALIS
Medula spinalis terdiri dari substansia alba dan grisea. Sama seperti pada otak
substansia grisea medula spinalis mengandung badan sel neuron primer dan dendritnya,
interneuron, dan sel glia. Substansia alba terdiri dari traktus-traktus yang merupakan
kumpulan serat saraf (akson) yang memanjang dari otak ke sepanjang medula spinalis dan
mentransmisikan informasi spesifik. Traktus asending mentransmisikan sinyal input dari
aferen ke otak, sedangkan traktus desending menghantarkan pesan impuls dari otak ke neuron
eferen.7
Substansia grisea terbagi menjadi cornu anterior (ventral), cornu posterior (dorsal),
dan cornu lateral. Cornu posterior mengandung badan sel dari interneuron aferen. Cornu
anterior mengandung badan sel dari neuron eferen motorik untuk otot skeletal. Badan sel
serat saraf otonom, baik simpatis maupun parasimpatis, yang mempersarafi jantung, otot
polos, dan kelenjar eksokrin terdapat di cornu lateral.7
Persarafan pada badan disuplai oleh masing-masing regio saraf spinal secara spesifik
yang dikenal dengan istilah dermatom. Beberapa saraf spinal juga mempersarafi organ dalam
sehingga terkadang penjalaran rasa sakit yang berasal dari organ dalam tersebut dirasakan
sebagai sensasi nyeri yang berlokasi sesuai dengan dermatom persarafan organ tersebut, hal
ini dikenal sebagai referred pain atau nyeri alih. Contohnya, nyeri yang berasal dari jantung
sering dirasakan juga pada bahu dan lengan kiri.7
Medula spinalis terletak antara otak dan serat aferen dan eferen system saraf perifer
sehingga hal ini menyebabkan medula spinalis memiliki dua fungsi: (1) sebagai jembatan
3
transmisi informasi antara otak dan seluruh tubuh, dan (2) sebagai pusat refleks antara input
aferen dan output eferen tanpa melibatkan otak. Refleks ini disebut sebagai refleks spinal.7
Refleks merupakan suatu respon yang terjadi secara otomatis tanpa usaha secara
sadar. Ada dua tipe refleks: (1) simpel atau dasar, yang merupakan refleks alami tanpa perlu
dipelajari seperti menjauhkan tangan dari api; dan (2) didapat atau terkondisikan, yang
merupakan hasil dari belajar dan latihan berulang-ulang seperti musisi yang membaca partitur
secara otomatis memainkannya.7
Lengkung refleks melibatkan lima komponen dasar7:
1. Reseptor sensoris
2. Jalur aferen
3. Pusat integrasi
4. Jalur eferen
5. Efektor
Reseptor menangkap stimulus yang terdeteksi kemudian memberikan respon berupa
potensial aksi yang dihantarkan oleh jalur aferen menuju ke pusat integrasi yaitu sistem saraf
pusat (otak atau medula spinalis). Pusat integrasi ini kemudian mengolah informasi yang
didapat dari reseptor dan kemudian ‘memutuskan’ respon yang akan diberikan. Respon
tersebut dihantarkan dari pusat integrasi melalui jalur eferen menuju ke efektor (otot atau
kelenjar). Respon refleks dapat diprediksi karena selalu melalui jalur yang sama.7
g
4
BAB III
MIELOPATI SERVIKAL
I. DEFINISI
Mielopati merupakan gangguan fungsional atau struktur atau perubahan patologis dari
medula spinalis. Mielopati servikal berarti terdapatnya gangguan tersebut medula spinalis
bagian servikal (C1-C8). Keadaan ini umumnya terjadi akibat penyempitan kanalis spinalis
yang dapat disebabkan oleh berbagai macam hal sehingga menyebabkan terjadinya
penekanan pada medula spinalis yang berakibat terganggunya fungsi medula spinalis.
Lesinya dapat komplit atau inkomplit, sehingga gejala klinis yang ditimbulkan dapat
bermacam-macam.8
II. PATOGENESIS
Patogenesis dari mielopati dapat bermacam-macam, antara lain8,9:
Trauma vertebra yang berakibat kompresi medula spinalis
Proses inflamasi, contohnya myelitis
Tumor yang mendesak medula spinalis
Penyakit vaskular, seperti mielopati vaskular
Kongenital akibat stenosis kanalis spinalis
Penyakit degeneratif, misal spondilosis atau herniasi diskus intervertebralis yang
berakibat kompresi pada medula spinalis
Penyakit degeneratif merupakan indikasi untuk dilakukannya pembedahan oleh bedah
saraf. Mielopati servikal akibat proses degenerasi sering disebut juga sebagai spondilosis
mielopati servikal (cervical spondylotic myelopathy / CSM) yang menunjukkan bahwa
penyebab utama terseringnya merupakan spondilosis.10
Kanalis spinalis merupakan tabung tertutup yang berjalan di tengah medula spinalis
dan berisi cairan serebrospinal yang berfungsi sebagai proteksi terhadap trauma serta
memberikan fleksibilitas pada leher. Namun pada beberapa orang terlahir dengan kanalis
spinalis yang berukuran lebih kecil dari normal, ini disebut sebagai stenosis kanalis spinalis
5
kongenital. Stenosis menyebabkan penyempitan kanalis spinalis yang memudahkan
terjadinya kompresi medula spinalis.10
Kanalis spinalis servikal dapat menjadi sempit akibat perubahan dari proses
degenerasi tulang belakang pada orang tua. Terbentuknya osteofit, penonjolan diskus, dan
penebalan ligamen dapat menyebabkan penekanan pada medula spinalis.10
Faktor dinamik biomekanika gerak vertebra servikal normal dapat memperburuk
cedera medula spinalis yang dicetuskan oleh kompresi statis secara langsung. Ketika fleksi,
medula spinalis memanjang sehingga teregang melewati daerah osteofit ventral. Ketika
ekstensi, ligamentum flavum melengkung ke arah medula spinalis menyebabkan
berkurangnya ruang medula spinalis.10
III. KLASIFIKASI
Cedera medula spinalis dapat dibagi menjadi komplet dan tidak komplet berdasarkan
ada/tidaknya fungsi yang dipertahankan di bawah lesi.11
Karakteristik Lesi Komplit Lesi Inkomplit
Motorik Hilang di bawah lesi Sering (+)
Protopatik (nyeri, suhu) Hilang di bawah lesi Sering (+)
Propioseptik (joint position,
vibrasi)
Hilang di bawah lesi Sering (+)
Sacral sparing Negatif Positif
Ro vertebra Sering fraktur, luksasi, atau listesis Sering normal
6
MRI Hemoragi (54%), kompresi (25%),
kontusi (11%)
Edema (62%), kontusi
(26%), normal (15%)
Tabel 1. Tabulasi perbandingan klinik lesi komplit dan inkomplit11
Terdapat lima sindrom utama cedera medula spinalis inkomplit menurut American
Spinal Cord Injury Association yaitu: (1) Central Cord Syndrome, (2) Anterior Syndrome, (3)
Brown Sequard Syndrome, (4) Cauda Equina Syndrome, (5) Conus Medullaris Syndrome,
dan satu lagi sindrom inkomplit yang jarang terjadi yaitu Posterior Cord Syndrome.
Karakteristik
Klinik
Central Cord
Syndrome
Anterior Cord
Syndrome
Brown Sequard
Syndrome
Posterior Cord
Syndrome
Kejadian Sering Jarang Jarang Sangat jarang
Biomekanika Hiperekstensi Hiperfleksi Penetrasi Hiperekstensi
Motorik Gangguan
bervariasi, jarang
paralisis komplit
Sering paralisis
komplit (gangguan
traktus desenden),
biasanya bilateral
Kelemahan anggota gerak
ipsilateral lesi, gangguan
traktus desenden (+)
Gangguan
bervariasi,
gangguan traktus
desenden ringan
Protopatik Gangguan
bervariasi tidak
khas
Sering hilang total
(gangguan traktus
asenden), bilateral
Sering hilang total
(gangguan traktus
asenden) kontralateral
Gangguan
bervariasi,
biasanya ringan
Propioseptik Jarang sekali
terganggu
Biasanya utuh Hilang total ipsilateral,
gangguan traktus asenden
Terganggu
Perbaikan Sering nyata dan
cepat, khas
kelemahan tangan
dan jari menetap
Paling buruk di
antara lainnya
Fungsi buruk namun
independensi paling baik
NA
Tabel 2. Komparasi karakteristik klinik sindroma cedera medulla spinalis11
Klasifikasi lain yang juga digunakan secara umum adalah European Myelopathy
Score.
Score Definition
Gait Function
1
2
3
4
5
Unable to walk, wheelchair
Walking of flat ground only with cane or aid
Climbing stairs only with aid
Gait clumsy, but no aid necessary
Normal walking and climbing stairs
Bladder and Bowel Function
7
1
2
3
Retention, no control over bladder and/or bowel function
Inadequate micturition and urinary frequency
Normal bladder and bowel function
Hand Function
1
2
3
4
Handwriting and eating with knife and fork impossible
Handwriting and eating with knife and fork impaired
Handwriting, tying shoelaces or a tie clumsy
Normal handwriting
Proprioception and Coordination
1
2
3
Getting dressed only with aid
Getting dressed clumsily and slowly
Getting dressed normally
Paraesthesia/Pain
1
2
3
Invalidity due to pain
Endurable paraesthesia and pain
No paraesthesia and pain
Tabel 3. European Myelopathy Score8
Total perhitungan skor dengan tabel di atas sebagai berikut: skor 17-18 fungsi normal,
skor 13-16 grade 1, skor 9-12 grade 2, dan skor 5-8 grade 3. Selain European Myelopathy
Score yang digunakan secara umum, terdapat pula klasifikasi Nurick untuk menentukan
derajat keterbatasan gerak fungsional akibat mielopati servikal.
Grade Level of Neurological Involvement
Grade I
Grade II
Grade III
Grade IV
Grade V
No difficulty in walking
Mild gait involvement not interfering with employment
Gait abnormality preventing employment
Able to walk only with assistance
Chairbound or bedridden
Tabel 4. Nurick’s Functional Scale8
IV. GEJALA KLINIS
Keluhan yang timbul akibat mielopati bermacam-macam dan banyak yang tidak
spesifik, ditambah dengan perkembangan penyakitnya yang lambat dan bertahap sehingga
menyulitkan untuk dideteksi. Penting untuk diingat bahwa mielopati servikal merupakan
8
penyakit kelainan pada tulang vertebra servikalis yang bermanifestasi pada ekstremitas atas
dan bawah.8
Umumnya gejala yang timbul adalah akibat dari kompresi yang terjadi pada medula
spinalis, tergantung letak segmen yang terkena. Kompresi ini dapat menimbulkan gejala
sensorik (nyeri atau parestesi), gejala motorik (kelumpuhan), atau gejala otonom (gangguan
respirasi, sirkulasi, miksi, dan defekasi).
Gejala klasik dari mielopati adalah kehilangan keseimbangan dengan koordinasi yang
kurang, keterampilan fungsi sehari-hari menurun, kelemahan, rasa baal, dan pada kasus yang
parah dapat menimbulkan paralisis. Nyeri banyak dikeluhkan pasien, namun pada beberapa
kasus tidak didapatkan adanya keluhan nyeri sehingga menimbulkan keterlambatan dalam
diagnosis.8
Lesi pada vertebra C3-C6 menyebabkan kesulitan dalam menulis dan perubahan tidak
spesifik berupa sensasi dan kelemahan lengan. Lesi pada C6-C8 sering menimbulkan
sindroma spastisitas dan hilangnya propriosepsi tungkai. Pasien dapat mengalami gangguan
gaya jalan dan sering terjatuh.8
Gejala subyektif yang sering dikeluhkan pasien antara lain:
Tungkai terasa berat
Radikulopati
Kemampuan motorik halus yang menurun
Fenomena L’Hermitte’s, yaitu sensasi seperti tersengat listrik yang hilang timbul pada
anggota gerak yang dicetuskan oleh fleksi leher
Baal dan kesemutan anggota gerak
Keluhan-keluhan ini dapat timbul secara akut, subakut, atau kronik progresif.
Terkadang tidak diketahui penyebabnya serta tidak ditemuinya tanda-tanda radang.
V. PEMERIKSAAN FISIK
Pada pemeriksaan fisik tanda-tanda yang sering ditemukan adalah tanda lesi UMN
(upper motor neuron), seperti8,10:
Kelemahan, terutama lebih dirasakan pada ekstremitas atas
9
Gaya jalan ataxic gait
Hipertonus
Hiperrefleks
Klonus ankle (+)
Babinski (+)
Hoffman (+)
Pada kasus-kasus mielopati, pemeriksaan status neurologi lokal merupakan hal yang
sangat penting. Pemeriksaan status neurologis lokalis pada pasien cedera medula spinalis
mengacu pada panduan dari American Spinal Cord Injury Association (AISA). Klasifikasi
dibuat berdasar rekomendasi AISA, A: untuk lesi komplit sampai dengan E: untuk keadaan
normal.
Motorik
Asal Inervasi Otot Fungsi
C5 M. deltoideus dan biceps brachii Abduksi bahu dan fleksi siku
C6 M. extensor carpi radialis longus dan brevis Ekstensi pergelangan tangan
C7 M. flexor carpi radialis Fleksi pergelangan tangan
C8 M. flexor digitorum superfisialis dan profunda Fleksi jari-jari tangan
T1 M. interosseus palmaris Abduksi jari-jari tangan
L2 M. iliopsoas Fleksi panggul
L3 M. quadricep femoris Ekstensi lutut
L4 M. tibialis anterior Dorsofleksi kaki
L5 M. extensor halluces longus Ekstensi ibu jari kaki
S1 M. gastrocnemius-soleus Plantarfleksi kaki
Sensoris protopatik
Asal inervasi Dermatom
C2 - C4 Dermatom oksiput sampai bagian belakang leher
C5 - T1 Lengan sampai jari-jari
T2 - T12 Bagian dada dan aksila, beberapa titik penting: T4 papila mamae, T10 umbilicus, T12
inguinal
L1 - L5 Tungkai
S1 - S5 Tumit, bagian belakang tungkai, regio perineal
Tabel 5. Rekomendasi AISA untuk pemeriksaan neurologi lokal5
VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG
10
Pemeriksaan penunjang perlu dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis
mielopati, antara lain8:
Laboratorium darah
Dilakukan untuk mengetahui apakah ada tanda-tanda infeksi ataupun penyakit
sistemik yang menjadi penyebab mielopati. Pemeriksaan ini lebih bermakna bila dari
anamnesis dan pemeriksaan fisik mengarah ke proses infeksi, namun dapat juga
sebagai penyingkir diagnosis kausa infeksi apabila hasil tidak menunjang.5
Rontgen vertebra
Merupakan pilihan awal untuk mengetahui apakah ada kelainan pada tulang belakang
seperti spondilosis, spondilolistesis, atau osteofit. Dianjurkan melakukan pemeriksaan
tiga posisi standar (AP, lateral, odontoid) untuk vertebra servikal, dan posisi AP dan
lateral untuk vertebra thorakal dan lumbal. Pada kasus yang tidak menunjukkan
kelainan radiologis, dapat dilakukan pemeriksaan lanjutan dengan CT-scan atau MRI.
CT-scan / MRI
Dilakukan untuk mengetahui gambaran struktur tulang belakang sehingga dapat
diketahui lokasi kelainan atau letak lesi, dapat pula untuk mengetahui kausa apakah
terdapat trauma pada vertebra atau tumor yang menyebabkan kompresi pada medula
spinalis. MRI merupakan alat diagnostik yang paling baik untuk mendeteksi lesi di
medula spinalis akibat cedera/trauma ataupun adanya penyempitan kanalis spinalis.5
VII. KRITERIA DIAGNOSIS
11
Diagnostic Criteria for Cervical Spondylotic Myelopathy
Characteristic symptoms (leg stiffness, hand weakness)
Characteristic signs (hyperreflexia, atrophy of hands)
MRI or CT (showing spinal stenosis and cord compression as a result of osteophyte overgrowth, disc herniation, ligamentum hypertrophy)
Tabel 6. Kriteria diagnosis mielopati servikal10
VIII.DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding untuk mielopati servikal umumnya dari segi penyebabnya, apakah
infeksi, trauma, tumor, proses degenerasi, gangguan vaskularisasi, mutipel sklerosis, ataupun
defisiensi vitamin B kompleks. Hal ini berkaitan dengan tata laksana yang akan diberikan,
terutama pertimbangan tindakan operasi maupun pemberian antibiotik atau kemoterapi.10
IX. PENATALAKSANAAN
Terapi pada cedera medula spinalis terutama ditujukan untuk meningkatkan dan
mempertahankan fungsi sensoris dan motoris. Pasien dengan cedera medula spinalis komplit
hanya memiliki peluang 5% untuk kembali normal. Lesi medula spinalis komplit yang tidak
menunjukkan perbaikan dalam 72 jam pertama, cenderung menetap dan prognosisnya buruk.
Cedera medula spinalis inkomplit cenderung memiliki prognosis yang lebih baik. Apabila
fungsi sensoris di bawah lesi masih ada, maka kemungkinan untuk kembali berjalan adalah
lebih dari 50%.5
Metilprednisolon merupakan terapi yang paling umum digunakan untuk cedera
medula spinalis traumatika dan direkomendasikan oleh National Institute of Health di
Amerika. Sebuah studi menunjukkan bahwa metilprednisolon dosis tinggi merupakan satu-
satunya terapi farmakologik yang terbukti efektif pada uji klinik tahap 3 sehingga dianjurkan
untuk digunakan sebagai terapi cedera medula spinalis traumatika.
Tindakan rehabilitasi medik merupakan kunci utama dalam penanganan pasien cedera
medula spinalis. Fisioterapi, terapi okupasi, dan bladder training pada pasien ini dikerjakan
seawall mungkin. Tujuan utama fisioterapi adalah untuk mempertahankan ROM (Range of
Movement) dan kemampuan mobilitas, dengan memperkuat fungsi otot-otot yang ada. Pasien
dengan Central Cord Syndrome biasanya mengalami pemulihan kekuatan otot ekstremitas
bawah yang baik sehingga dapat berjalan dengan bantuan ataupun tidak.
12
Terapi okupasional terutama ditujukan untuk memperkuat dan memperbaiki fungsi
ekstremitas atas, mempertahankan kemampuan aktivitas hidup sehari-hari. Pembentukan
kontraktur harus dicegah seoptimal mungkin. Penggunaan alat bantu disesuaikan dengan
profesi dan harapan pasien.
Penelitian prospektif selama 3 tahun meunjukkan bahwa suatu program rehabilitasi
yang terpadu (hidroterapi, elektroterapi, psikoterapi, penatalaksanaan gangguan kandung
kemih dan saluran cerna) meningkatkan secara signifikan nilai status fungsional pada
penderita cedera medula spinalis.5
Terapi konservatif dapat dilakukan pada pasien dengan gejala mielopati ringan,
umumnya dilakukan observasi apakah terdapat perbaikan fungsi. Pemberian analgetik dapat
dipertimbangkan untuk mengatasi rasa nyeri akibat gejala radikular. Penggunaan collar neck
dapat digunakan apabila diketahui terdapat instabilitas vertebra.8
Tindakan operasi perlu dilakukan untuk menghilangkan kompresi pada medula
spinalis, apakah akibat trauma, stenosis, atau tumor yang mendesak medula spinalis.8
X. PROGNOSIS
Sebuah penelitian prospektif selama 27 tahun menunjukkan bahwa rata-rata harapan
hidup pasien cedera medula spinalis lebih rendah disbanding populasi normal. Penurunan
rata-rata lama harapan hidup sesuai dengan beratnya cedera. Penyebab kematian utama
adalah komplikasi disabilitas neurologi yaitu: pneumonia, emboli paru, septikemia, dan gagal
ginjal.5
13
BAB III
KESIMPULAN
Cedera medula spinalis merupakan salah satu penyebab utama disabilitas neurologis
akibat trauma. Kondisi ini dapat mengenai berbagai kalangan usia, namun umum ditemukan
pada pasien usia tua yaitu mielopati servikal. Ada banyak penyebab dari mielopati servikal,
dan umumnya bersifat progresif. Pada kasus-kasus mielopati, pemeriksaan status neurologis
lokal merupakan hal yang sangat penting. Terapi cedera medula spinalis terutama ditujukan
untuk meningkatkan fungsi sensoris dan motoris. Terapi konservatif umumnya diberikan
pada pasien dengan resiko tinggi operasi atau dengakn keadaan yang stabil dengan gejala
minimal yang tidak mengganggu aktivitas sehari-hari dengan berat. Terapi operatif sangat
tergantung dengan kondisi pasien. Cedera medula spinalis inkomplit cenderung memiliki
prognosis yang lebih baik.5,8
XI.
14
DAFTAR PUSTAKA
1. York JE. Approach to the patient with acute nervous system trauma. Best Practice of
Medicine. September 2000.
2. Young W. Spinal cord injury levels and classification. Care Cure Community. Keek
Centre for Collaborative Neuroscience. 2002.
3. Hoppenfield S. Orthopaedic neurology: a diagnosis guide to neurologic levels. JB
Lippincott Williams. 1977.
4. FSIP. Spinal cord injury facts: statistics. Foundation for Spinal Cord Injury
Prevention, Care and Cure. 2001.
5. Pinzon R. Mielopati servikal trauma: telaah pustaka terkini. Cermin Dunia
Kedokteran 154; 2007: 39-42.
6. Hansen JT. Netter’s clinical anatomy. 2nd Ed. Philadelphia; Saunders Elsevier: 2010.
p.60-3.
7. Sherwood L. Human physiology from cells to systems. 7 th Ed. California;
Brooks/Cole: 2010. p.172-7.
8. Klezl Z, Coughlin TA. Cervical myelopathy. 2013. Available at:
http://www.boneandjoint.org.uk/content/focus/cervical-myelopathy. Accessed on
February 19, 2014.
9. Department of Neurosurgery Columbia University. Cervical myelopathy. 2014.
Available at: http://www.columbianeurosurgery.org/conditions/cervical-myelopathy/.
Accessed on February 20, 2014.
10. Young W. Cervical spondylotic myelopathy: a common cause of spinal cord
dysfunction in older persons. Am Fam Physician. 2000;62(5):1064-70.
15