referat koleraaa
TRANSCRIPT
1. Faktor Resiko (Depkes RI, 2009).
-. Sanitasi yang kurang baik (tidak memakai jamban saat buang air besar).
-. Menggunakan air tidak bersih.
-. Minum air mentah, makan sayuran, ikan, dan kerang yang tidak matang.
-. Menggunakan perabotan rumah dengan orang yang terinfeksi kolera.
2. Tanda dan Gejala (Depkes RI, 2009).
-. Gejala dimulai 1-3 hari setelah infeksi bakteri.
-. Diare encer tanpa didahului rasa mulas atau tenesmus.
-. Diare seperti air cucian beras.
-. Pada kasus yang berat dapat kehilangan cairan, yang mengakibatkan dehidrasi, lemah,
penurunan produksi urine, mata cekung, dan kulit jari tangan keriput.
3. Penegakan Diagnosis
1. Gejala Klinik
Kolera yang tipik dan berat dapat dikenali dengan berak yang sering tanpa mulas, diikuti
dengan muntah-muntah tanpa mual, cairan tinja seperti air cucian beras, suhu tubuh yang
tetap normal atau menurun dan cepat bertambah buruknya keadaan pasien dengan gejala-
gejala akibat dehidrasi, renjatan sirkulasi dan asidosis yang jelas (Soemarsono, 2009).
2. Pemeriksaan Fisik
Adanya tanda-tanda dehidrasi yaitu keadaan turgor kulit menurun, mata cekung, mulut
kering, denyut nadi lemah, takikardi, kulit dingin, sianosis, dan kehilangan berat badan
(Soemarsono, 2009).
3. Kultus Bakteri
Diagnosis pasti kolera dengan cara mengisolasi Vibrio cholera dari tinja penderita
(Soemarsono, 2009).
4. Pemeriksaan Darah
Pada darah lengkap, angka leukosit meningkat, bikarbonat didalam plasma menurun, dan
pemeriksaan elektrolit untuk menentukan gangguan keseimbangan asam basa (Soemarsono,
2009).
4. Patogenesis
Setelah Vibrio tertelan, harus melewati asam lambung, apabila berhasil Vibrio akan membentuk
koloni di usus kecil dibagian epitel dalam lapisan mukosa. Perlekatan diperantarai oleh Toxin
Coregulated Pilus (TCP) (Gomez, 1992).
Toksin kolera merupakan toksin protein yang terutama menimbulkan diare cair. Toksin kolera
tersusun atas enzimatikmonomerik (subunit A) dan sebagian ikatan pentamerik (subunit B)
(Gomez, 1992).
Pentamer B berikatan pada ganglioside G M1, suatu reseptor glikolipid pada permukaan sel
epitel jejenum, dan kemudian mengirim sub unit A ke target. Sub unit A aktif dan memindahkan
secara ireversibel ribose ADP dan Nikotinamid Adenin Dinukleotida (NAD) ke target protein
spesifiknya. Komponen pengaturan ikatan GTP dari adenilat siklase dalam sel epitel usus. Ketika
rebosilasi ADP yang disebut protein G menaikan pengaturan sub unit katalitik siklase, hasilnya
adalah tingginya kadar CAMP dalam akumulasi intraseluler (Gomez, 1992).
CAMP sebaliknya akan menghambat sistem transport ekskresi florida dalam sel kriptus sehingga
menimbulkan akumulasi natrium klorida dalam lumen usus. Sejak air bergerak pasif untuk
mempertahankan osmolitas, cairan isotonic terakumulasi dalam lumen. Ketika volume cairan
melebihi kapasitas penyerapan usus, maka akan terjadi diare cair. Cairan diare yang hilang
bersifat isotonis terhadap plasma dan relative mengandung konsentrasi tinggi bikarbonat dan
kalium. Kehilangan cairan dengan cara demikian akan mengakibatkan deficit isotonis natrium
dalam air, asidosis terjadi karena deficit biasa dan pengosongan kalium. Jika cairan dan elektrolit
yang keluar tidak diganti secara adekuat, maka dapat terjadi syok karena dehidrasi berat dan
asidosis karena kehilangan bikarbonat (Gomez, 1992).
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2009. Buku Pedoman Pengendalian Penyakit Diare.
Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Gomez, H., Cleary, T. 1992. Kolera. Nelson Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : EGC.
Soemarsono, 2009. Kolera. In : Sudoyo, AW., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, MK.,
Setiati, S., ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Indonesia.