referat isi.docx
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Nyeri menggambarkan suatu fungsi biologis. Ini menandakan adanya
kerusakan atau penyakit di dalam tubuh dan sering membawa pasien datang ke
dokter, hampir selalu nyeri tersebut bermanifestasi sebagai suatu keadaan yang
patologis. Penanganan nyeri pascaoperasi yang efektif merupakan komponen
penting dalam perawatan pasien bedah. Kontrol nyeri yang tidak memadai dapat
mengakibatkan peningkatan morbiditas atau mortalitas. Kontrol nyeri
pascaoperasi masih menjadi suatu hal terpenting dan masalah yang masih
ditekankan karena alasan berikut ini: (1) Lebih dari seratus juta penduduk dunia
yang menjalani operasi per tahun mengalami nyeri pascaoperasi dengan berbagai
intensitas; (2) Pada banyak pasien pascaoperasi, nyeri tidak ditatalaksana secara
adekuat mengakibatkan mereka mengalami penderitaan yang tak seharusnya dan
banyak berkembang komplikasi yang tidak dibutuhkan sebagai konsekuensi dari
nyeri; (3) Modalitas analgesik bila dipakai secara tepat dapat mencegah atau
sekurang-kurangnya dapat meminimalisir kesakitan dan timbulnya komplikasi.1,2
Nyeri akut pascaoperasi yang tidak sembuh memiliki efek terhadap
kehidupan sehari-hari pasien pascaoperasi seperti susah tidur, penurunan nafsu
makan, keterbatasan gerak, keadaan emosi yang tidak stabil dan kesulitan untuk
berkonsentrasi.2 Lokasi operasi memiliki efek yang amat besar pada derajat nyeri
pascaoperasi yang mungkin diderita pasien. Dilaporkan Suza DE (2007) dalam
Pain Experiences and Pain Management of Postoperative Patients operasi pada
thorax dan abdomen atas lebih menyakitkan daripada operasi abdomen bawah,
dimana, sebaliknya, adalah lebih nyeri daripada operasi perifer pada tungkai.2,4
Penanganan nyeri sering kali menimbulkan efek samping terutama pada
saluran pencernaan. Oleh karena itu, dibutuhkan tatalaksana analgesik yang
mempunyai mula kerja cepat dan efektif mengurangi nyeri serta meminimalisasi
efek samping. Tujuan dari manajemen nyeri pascaoperasi adalah untuk
1
mengurangi atau menghilangkan rasa sakit dan ketidaknyamanan pasien dengan
efek samping seminimal mungkin, memperbaiki kualitas hidup pasien,
memfasilitasi penyembuhan segera dan kembali ke fungsi tubuh yang sempurna,
mengurangi morbiditas dan memungkinkan untuk keluar dari rumah sakit
sesegera mungkin.4 Manajemen nyeri yang baik tidak hanya akan membantu
penyembuhan pascaoperasi secara lebih signifikan sehingga pasien dapat pulang
lebih cepat, tetapi juga dapat mengurangi onset terjadinya chronic pain
syndrome.1,3
Manajemen nyeri pascaoperasi dapat benar-benar efektif jika direncanakan
dengan baik, disampaikan dengan evident-based yang konsisten dan berdasarkan
asesmen nyeri pasien itu sendiri. Ada banyak faktor yang menyebabkan rasa sakit
pascaoperasi, yang berarti bahwa tidak ada pasien, yang bahkan jika mereka
memiliki operasi yang sama, akan mengalami rasa sakit dan kesehatan yang sama.
Nyeri adalah tanda vital kelima dan protokol yang kuat, tim kerja dan evaluasi
berkala diperlukan untuk mendukung manajemen nyeri pascaoperasi.10
Manajemen nyeri adalah sebuah aplikasi general dari disiplin ilmu
anestesiologist, namun manajemen terapi ini tidak hanya dapat digunakan oleh
pasien yang baru saja menjalankan operasi, tetapi dapat juga digunakan oleh
pasien yang mengalami nyeri hebat akibat penyakit yang mendasarinya yang tidak
berhubungan sama sekali dengan operasi. Pada referat ini bertujuan untuk
membahas mengenai metode-metode yang dapat dipakai untuk manajemen
pascaoperasi secara tepat, dimana akan didiskusikan bagaimana penggunaan obat-
obat yang bekerja di perifer (misalnya, Obat Anti Inflamasi Non Steroid), obat-
obat yang bekerja sentral (misalnya, Opioid), dan obat-obat anestesi lokal untuk
mencapai tujuan ini.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Nyeri
Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah
sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait
dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi
terjadinya kerusakan. Shweder and Sullivan mendefinisikan nyeri sebagai
pengalaman persepsi kompleks yang dapat dipengaruhi oleh faktor situasi, dan
oleh proses fisiologis termasuk emosi, kognitif dan motivasi, dimana semua hal
tersebut bergantung kepada pengaruh budaya, etnis dan bahasa.1,2
B. Fisiologi Nyeri
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang
nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf
bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara
potensial merusak jaringan. Reseptor nyeri disebut juga nosiseptor, secara
anatomis nosiseptor ada yang bermielien dan ada juga yang tidak bermielin dari
syaraf perifer. Berdasarkan letaknya, nosiseptor dapat dikelompokkan dalam
beberapa bagian tubuh yaitu pada kulit (cutaneous), somatik (deep somatic), dan
pada daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah nyeri yang timbul
seringkali memiliki sensasi yang berbeda. Nosiseptor yang berasal dari kulit dan
subkutan biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Reseptor jaringan
kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu :6,7
a. Reseptor A delta6,7
3
Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det) yang
memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila
penyebab nyeri dihilangkan.
b. Serabut C6,7
Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang
terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan
sulit dilokalisasi.
Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang terdapat
padatulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga lainnya.Karena
strukturreseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang tumpul
dan sulit dilokalisasi. Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor
ini meliputi organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya.
Nyeri yang timbul pada reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan
organ, tetapi sangat sensitif terhadap penekanan,iskemia dan inflamasi. 6,7
Teori Pengontrolan Nyeri (Gate Control Theory)
Terdapat berbagai teori yang berusaha menggambarkan bagaimana
nosiseptor dapat menghasilkan rangsang nyeri. Sampai saat ini dikenal berbagai
teori yang mencoba menjelaskan bagaimana nyeri dapat timbul, namun teori
gerbang kendali nyeri dianggap paling relevan.7 Teori gate control dari Melzack
dan Wall (1965) mengusulkan bahwa impuls nyeri dapat diatur atau dihambat
oleh mekanisme pertahanan disepanjang sistem saraf pusat. Teori ini mengatakan
bahwa impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan impuls
dihambat saat sebuah pertahanan tertutup. Upaya menutup pertahanan tersebut
merupakan dasar teori menghilangkan nyeri.
Suatu keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan serabut kontrol
desenden dari otak mengatur proses pertahanan. Neuron delta-A dan C
melepaskan substansi C melepaskan substansi P untuk mentranmisi impuls
melalui mekanisme pertahanan. Selain itu, terdapat mekanoreseptor, neuron beta-
4
A yang lebih tebal, yang lebih cepat yang melepaskan neurotransmiter
penghambat. Apabila masukan yang dominan berasal dari serabut beta-A, maka
akan menutup mekanisme pertahanan. Pesan yang dihasilkan akan menstimulasi
mekanoreseptor, apabila masukan yang dominan berasal dari serabut delta A dan
serabut C, maka akan membuka pertahanan tersebut dan klien mempersepsikan
sensasi nyeri. Bahkan jika impuls nyeri dihantarkan ke otak, terdapat pusat
korteks yang lebih tinggi di otak yang memodifikasi nyeri. Alur saraf desenden
melepaskan opiat endogen, seperti endorfin dan dinorfin, suatu pembunuh nyeri
alami yang berasal dari tubuh. Neuromedulatorini menutup mekanisme
pertahanan dengan menghambat pelepasan substansi P. tehnik distraksi, konseling
dan pemberian plasebo merupakan upaya untuk melepaskan endorphin.6,7
Reseptor nyeri (nosi receptor) adalah organ tubuh yang berfungsi untuk
menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri
adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus
kuat yang secara potensial merusak. Bila stimulus akibat adanya kerusakan
jaringan, mekanisme tersebut akan melewati 4 tahapan yaitu :4,8
1. Transduksi
Kerusakan jaringan karena trauma atau pembedahan menyebabkan
dikeluarkannya berbagai senyawa biokimia antara lain ion H, K,
prostaglandin dari sel yang rusak, bradikinin dari plasma, histamine dari
sel mast, serotonin dari trombosit dan substansi P dari ujung saraf.
Senyawa biokimia ini berfungsi sebagai mediator yang menyebabkan
perubahan potensial nosiseptor sehingga terjadi arus elektrobiokimiawi
sepanjang akson. Perubahan menjadi arus elektrobiokimia atau impuls
merupakan proses transduksi.
Kemudian terjadi perubahan patofisiologi karena mediator-mediator ini
mempengaruhi nosiseptor diluar daerah trauma sehingga lingkaran nyeri
meluas. Selanjutnya terjadi proses sensitisasi perifer yaitu menurunnya
nilai ambang rangsang nosiseptor karena pengaruh mediator-mediator
tersebut diatas dan penurunan pH jaringan. Akibatnya nyeri dapat timbul
karena rangsangan yang sebelumnya tidak menimbulkan nyeri misalnya
5
rabaan. Sensitisasi perifer ini mengakibatkan pula terjadinya sensitisasi
sentral yaitu hipereksitabilitas neuron pada korda spinalis. Terpengaruhnya
neuron simpatis dan perubahan intraseluler yang menyebabkan nyeri
dirasakan lebih lama.
2. Transmisi
Transmisi adalah proses penerusan impuls nyeri dari nosiseptor saraf
perifer melewati kornu dorsalis korda spinalis menuju korteks serebri.
Transmisi sepanjang akson berlangsung karena proses polarisasi
depolarisasi, sedangkan dari neuron presinaps ke pasca sinaps melewati
neurotransmitter.
3. Modulasi
Modulasi adalah proses pengendalian internal oleh system saraf, dapat
meningkatkan atau mengurangi penerusan impuls nyeri. Hambatan terjadi
melalui sistem analgesia endogen yang melibatkan bermacam
neurotransmitter antara lain golongan endorphin yang dikeluarkan oleh sel
otak dan neuron di korda spinalis. Impuls ini bermula dari area
periaquaductusgrey (PAG) dan menghambat transmisi impuls pre maupun
pasca sinaps di tingkat spinalis.
4. Persepsi
Persepsi adalah hasil rekontruksi susunan saraf pusat tentang impuls nyeri
yang diterima. Rekontruksi merupakan hasil system saraf sensorik,
informasi kognitif (korteks serebri) dan pengalaman emosional
(hipokampus dan amigdala). Persepsi menentukan berat ringannya nyeri
yang dirasakan. Sebagai contoh, terdapat penderita yang tenang
menghadapi pembedahan karena menerima pembedahan sebagai upaya
penyembuhan. Motivasi positif ini memicu pelepasan endorphin dan
rangkaian reaksi yang mengaktifkan system analgesia endogen, hasil akhir
adalah rangsang nyeri berkurang.
6
Gambar 1: Fisiologi Nyeri
Respon fisiologis terhadap nyeri
a. Stimulasi Simpatik:(nyeri ringan, moderat, dan superficial)
i. Dilatasi saluran bronkhial dan peningkatan respirasi rate
ii. Peningkatan heart rate
iii. Vasokonstriksi perifer, peningkatan BP
iv. Peningkatan nilai gula darah
v. Diaphoresis
vi. Peningkatan kekuatan otot
vii. Dilatasi pupil
viii. Penurunan motilitas GI
b. Stimulus Parasimpatik (nyeri berat dan dalam)
i. Muka pucat
ii. Otot mengeras
iii. Penurunan HR dan BP
iv. Nafas cepat dan irreguler
v. Nausea dan vomitus
vi. Kelelahan dan keletihan
Respon tingkah laku terhadap nyeri
a. Respon perilaku terhadap nyeri dapat mencakup:
b. Pernyataan verbal (Mengaduh, Menangis, Sesak Nafas, Mendengkur)
7
c. Ekspresi wajah (Meringis, Menggeletukkan gigi, Menggigit bibir)
d. Gerakan tubuh (Gelisah, Imobilisasi, Ketegangan otot, peningkatan
gerakan jari & tangan
C. Klasifikasi Nyeri
Menurut onset dan stimulus penyebabnya, terbagi menjadi:2
Tabel 1. Perbandingan nyeri akut dan kronis
Menurut mekanisme terjadinya nyeri dapat diklasifikasikan menjadi
nosiseptif dan nyeri non nosiseptif:2,6
8
1. Nyeri nosiseptif adalah nyeri yang ditimbulkan oleh rangsangan
disebabkan kerusakan jaringan dan reaksi inflamasi. Tergantung
lokasinya nyeri dapat digolongkan nyeri somatik dan nyeri visera.
2. Nyeri non nosiseptif (nyeri neuropatik) yaitu nyeri yang disebabkan
kerusakan jaringan saraf sentral maupun perifer. Kerusakan saraf
dapat disebabkan oleh infeksi/inflamasi, proses metabolik (diabetes
mellitus), trauma pembedahan maupun infiltrasi atau tekanan tumor.
Nyeri pada kerusakan saraf sentral yaitu kerusakan pada tingkat
corda spinalis atau thalamus misalnya differentiation pain atau
central pain.
Nyeri pada kerusakan saraf perifer / regional misalnya nyeri
pada polineuropati dan causalgia (sympathetic dystrophy pain)
Menurut berat ringannya nyeri dikategorikan sebagai nyeri ringan, sedang,
berat. Tingkatan ini ditetapkan berdasarkan beberapa parameter yang
dijelaskan pada penilaian skala nyeri.6
D. Penilaian Skala Nyeri
Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan
oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan
kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua
orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling
mungkin adalah menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri.
Namun, pengukuran dengan tehnik ini juga tidak dapat memberikan gambaran
pasti tentang nyeri itu sendiri.8
Ada empat skala yang digunakan untuk menentukan derajat intesitas nyeri.1,4
1. Eskpresi wajah (Wong Baker Faces Pain Rating Scale). Skala ini
digunakan untuk pasien yang mengalami komunikasi. Misalnya anak-
anak, orang tua, pasien jiwa, pasien ganguan mental atau pasien yeng tidak
dapat berbicara dengan bahasa setempat.
9
2. Verbal Rating Scale (VRS). Dimana pasien ditanya tentang derajat nyeri.
Yaitu nyeri ringan, sedang, hebat dan sangat hebat. Terdapat garis yang
terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak
yang sama disepanjang garis. Pendeskripsi ini diranking dari “tidak terasa
nyeri” sampai “nyeri yang tidaktertahankan”. Tenaga medis menunjukkan
klien skala tersebut dan meminta klien untuk memilih intensitas nyeri
terbaru yang ia rasakan, serta menanyakan seberapa jauh nyeri terasa
paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak
menyakitkan.
3. Numerical Rating Scale (NRS) lebih digunakan sebagai pengganti alat
pendeskripsi kata terdiri daripada angka 0-5 atau 0-10 dimana pasien
ditanya tentang intensitas nyerinya dalam bentuk angka.
4. Visual Analog Scale (VAS) adalah suatu garis lurus, yang mewakili
intensitas nyeri yang terus menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap
ujungnya. Skala ini memberi klien kebebasan penuh untuk
mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat merupakan pengukuran
keparahan nyeri yang lebih sensitif karena klien dapat mengidentifikasi
setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa memilih satu kata atau satu
angka. Terdiri dari pada garis lurus sepanjang 100 ml meter dimana pasien
membuat tanda silang pada garis yang mengambarkan intensitas nyerinya.
10
Gambar 2. Penilaian Skala Nyeri
Tabel 2. Penilaian nyeri untuk anak di bawah 5 tahun5,9
Bila pasien tidur, tidak dibutuhkan penilaian lebih lanjut. Bila pasien bangun
periksalah hal-hal berikut:
Cry Not crying Score 0Crying Score 1
Posture Relaxed Score 0Tense Score 1
Expression Relaxed or happy Score 0Distressed Score 1
Response Responds when spoken to Score 0No response Score 1
Note: Total skor 1: nyeri ringan, 2: nyeri sedang, 3: nyeri berat dan 4: nyeri yang mungkin paling buruk.
11
E. Manajemen Nyeri Pascaoperasi
Nyeri akut post operasi adalah sebuah reaksi fisiologis kompleks dari
cedera jaringan, distensi visceral, atau penyakit. Pasien lebih mempertimbangkan
nyeri post operasi sebagai aspek yang lebih menakutkan daripada prosedur
pembedahan itu sendiri. Nyeri post operasi memberikan efek fisiologis yang
merugikan pada berbagai sistem organ.
Manajemen nyeri pascaoperasi yang optimal dimulai pada periode pra
operasi. Nyeri subjektif dan pengalaman masing-masing individu pasien nyeri
berbeda. Alasan untuk perbedaan ini meliputi11:
Usia
komorbiditas termasuk sakit kronis
obat bersamaan dan asupan zat lainnya
mekanisme nyeri - nociceptive, neuropatik
memodifikasi faktor mis mood, kognisi, strategi mengatasi
genetika.
Melakukan evaluasi pasien pra operasi:
Tanyakan pada pasien dan / atau wali mereka untuk membantu
membangun sejarah nyeri (mempertimbangkan atas).
Dokumen di rekam medis pasien, jika tidak menyatakan bahwa ada
tidak ada faktor yang relevan.
Diskusikan strategi manajemen nyeri dan harapan di masa pra operasi.
Keuntungan dari manajemen nyeri pascaoperasi yang efektif meliputi
kenyamanan pasien dan oleh karena itu kepuasan, mobilisasi sebelumnya, paru
lebih sedikit dan komplikasi jantung, mengurangi risiko trombosis vena dalam,
pemulihan lebih cepat dengan lebih sedikit kemungkinan pengembangan nyeri
neuropatik, dan mengurangi biaya perawatan.12
Kegagalan untuk memberikan analgesia pascaoperasi yang baik adalah
multifaktorial. pendidikan tidak cukup, takut komplikasi yang terkait dengan obat
12
analgesik, penilaian nyeri miskin, dan staf yang tidak memadai antara
penyebabnya.12
The World Health Organisation Analgesic Ladder diperkenalkan untuk
meningkatkan penanganan nyeri pada pasien dengan kanker. Namun, formula ini
dapat juga dipakai untuk menangani nyeri akut karena memiliki strategi yang
logis untuk mengatasi nyeri.3,9
Formulasi ini menunjukkan, pada nyeri akut, yang pertama kali diberikan
adalah Obat Anti- Inflamasi non steroid, Aspirin, atau Paracetamol yang
merupakan obat-obatan yang bekerja di perifer. Apabila dengan obat-obatan ini,
nyeri tidak dapat teratasi, maka diberikan obat-obatan golongan Opioid lemah
seperti kodein dan dextropropoxyphene disertai dengan obat –obat lain untuk
meminimalisasi efek samping yang timbul. Apabila regimen ini tidak juga dapat
mencapai kontrol nyeri yang efektif, maka digunakanlah obat-obatan golongan
Opioid Kuat, misalnya Morfin. 3,9
Gambar 3. WHO Analgesic Ladder
Belakangan, World Federation of Societies of Anaesthesiologists (WFSA)
Analgesic Ladder telah dikembangkan untuk mengobati nyeri akut. Pada awalnya,
nyeri dapat dianggap sebagai keadaan yang berat sehingga perlu dikendalikan
dengan analgesik yang kuat. Biasanya, nyeri pascaoperasi akan berkurang seiring
berjalannya waktu dan kebutuhan akan obat yang diberikan melalui suntikan
dapat dihentikan. Anak tangga kedua pada WFSA Analgesic Ladder adalah
pemulihan penggunaan rute oral untuk memberikan analgesia. Opioid kuat tidak
lagi diperlukan dan analgesia yang memadai dapat diperoleh dengan
menggunakan kombinasi dari obat-obat yang berkerja di perifer dan opioid lemah.
13
Langkah terakhir adalah ketika rasa sakit dapat dikontrol hanya dengan
menggunakan obat-obatan yang bekerja di perifer.3,9
Gambar 4. WFSA Analgesic Ladder2
Anestesi Lokal
Penggunaan teknik anestesi regional pada pembedahan memiliki efek yang
positif terhadap respirasi dan kardiovaskuler pasien terkait dengan berkurangnya
perdarahan dan nyeri yang teratasi dengan baik. Singkatnya, teknik apapun yang
dapat digunakan dalam prosedur bedah menghasilkan hasil yang nyaris sempurna
untuk menghilangkan nyeri pascaoperasi apabila efeknya diperpanjang hingga
melebihi durasi pembedahan. Ada beberapa teknik anestesi lokal sederhana yang
dapat dilanjutkan ke periode pasca-operasi untuk memberikan pain relief yang
efektif. Sebagian besar dapat dilakukan dengan risiko minimal termasuk infiltrasi
anestesi lokal, blokade saraf perifer atau pleksus dan teknik blok perifer atau
sentral. Meskipun begitu, kita tidak boleh mengharapkan anelgesi lokal saja dapat
mengatasi nyeri pascaoperasi, karena nyeri pascaoperasi memiliki banyak faktor
penyebab. Karena nyeri timbul dari multifaktor, maka manajemen nyeri
pascaoperasi haruslah terdiri dari kombinasi pendekatan untuk mencapai hasil
terbaik. 3,9
Infiltrasi luka dengan obat anestesi lokal berdurasi panjang seperti
Bupivacaine dapat memberikan analgesia yang efektif selama beberapa jam.
Apabila nyeri berlanjut, dapat diberikan suntikan ulang atau dengan menggunakan
infus. Blokade pleksus atau saraf perifer akan memberikan analgesia selektif di
bagian-bagian tubuh yang terkait oleh pleksus atau saraf tersebut. Teknik-teknik
14
ini dapat digunakan untuk memberikan anestesi untuk pembedahan atau khusus
untuk nyeri pasca-operasi. Teknik-teknik ini dapat sangat berguna jika suatu blok
simpatik diperlukan untuk meningkatkan suplai darah pascaoperasi atau apabila
blokade pusat seperti blokade spinal atau epidural merupakan kontraindikasi.
Spinal anestesi memberikan analgesia yang sangat baik untuk operasi di tubuh
bagian bawah dan pain relief bisa berlangsung berjam-jam setelah selesai operasi
jika dikombinasikan dengan obat-obatan yang mengandung vasokonstriktor.
Penggunaan teknik epidural membutuhkan praktisi yang berpengalaman dan
pelatihan khusus bagi staf perawat dalam pengelolaan pasca-operasi pasien.
Kateter epidural dapat ditempatkan baik di leher, toraks atau daerah lumbal tetapi
blokade epidural lumbal adalah yang paling umum digunakan. Meskipun infus
kontinu anestesi lokal dapat menghasilkan analgesia sangat efektif, teknik ini juga
menghasilkan efek samping yang tidak diinginkan seperti hipotensi, blok sensorik
dan motorik, mual dan retensi urin. Kombinasi obat bius lokal dengan opioid yang
diberikan secara sentral dapat mengurangi sebagian dari masalah ini. 3,9
Table 3. Anastesi local yang digunakan untuk nyeri akut 3
Agent% solution
for analgesic
blocks
Duration(hours)
Max. single dose mg/kg. (Total mg in adults* see footnote)
% solution
for infusion
Comments
LignocaineInfiltration 0.5-1 1-2 7 - Rapid onset.
Dense motor block.Epidural 1-2 1-2 (500) 0.3-0.7Plexus or nerve
0.75-1.5 1-3 0.5-1.0
MepivacaineInfiltration 0.5-1 1.5-3 7 - Rapid onset.
Dense motor block.Longer action than
lignocaine.
Epidural 1-2 1.5-3 (500) 0.3-0.7Plexus or nerve
0.75-1.5 2-4 0.5-1.0
PrilocaineInfiltration 0.5-1 1-2 8.5 - Rapid onset.
Dense motor block.Least toxic amide
Epidural 2-3 1-3 (600) 0.5-1Plexus or 1.5-2 1.5-3 0.75-
15
nerve 1.25 agent. Methaema- globinaemia >600mg
BupivacaineInfiltration 0.125-
0.251.5-6 3.5 - Avoid 0.75% in
obstetrics. Mainly sensory block at low
concen- trations. Cardiotoxic after
rapid IV injection.
Epidural 0.25-0.75 1.5-5 (225) 0.0625- 0.125
Plexus or nerve
0.25-0.5 8-24+ 0.125- 0.25
ChloroprocaineInfiltration 1 0.5-1 14 - Lowest systemic
toxicity of all agents. Motor / sensory
deficits may follow intrathecal injection.
Analgesik Non-Opioid3,9
Obat-obatan analgesik non-opioid yang paling umum digunakan diseluruh
dunia adalah aspirin, paracetamol, dan OAINS, yang merupakan obat-obatan
utama untuk nyeri ringan sampai sedang.
Aspirin adalah analgesik yang efektif dan tersedia secara luas di seluruh
dunia. Obat ini dikonsumsi per oral dan bekerja cepat karena segera
dimetabolisme menjadi asam salisilat yang memiliki sifat analgesik dan, mungkin,
anti-inflamasi. Dalam dosis terapeutik, asam salisilat memiliki waktu paruh
hingga 4 jam. Eksresinya tergantung oleh dosis, sehingga dosis tinggi akan
mengakibatkan obat diekskresi lebih lambat. Durasi kerja aspirin dapat berkurang
apabila diberika bersama-sama dengan antasida.
Aspirin memiliki efek samping yang cukup besar pada saluran pencernaan,
menyebabkan mual, gangguan dan perdarahan gastrointestinal akibat efek
antiplateletnya yang irreversibel. Karena alasan ini, penggunaan aspirin untuk
pain relief pascaoperasi harus dihindari apabila masih tersedia obat-obatan
alternatif lainnya. Aspirin juga memiliki keterkaitan epidemiologis dengan Reye’s
Syndrome dan harus dihindari untuk diberikan sebagai analgesia pada anak-anak
usia di bawah 12 tahun.
16
Dosis berkisar dari minimal 500mg, per oral, setiap 4 jam hingga
maksimum 4g, per oral per hari.
Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) memiliki dua efek, analgesik
dan antiinflamasi. Mekanisme kerjanya didominasi oleh inhibisi sintesis
prostaglandin oleh enzim cyclo-oxygenase yang mengkatalisa konversi asam
arakidonat menjadi prostaglandin yang merupakan mediator utama peradangan.
Semua OAINS bekerja dengan cara yang sama dan karenanya tidak ada gunanya
memberi lebih dari satu OAINS pada satu waktu. OAINS pada umumnya, lebih
berguna bagi rasa sakit yang timbul dari permukaan kulit, mukosa buccal, dan
permukaan sendi tulang.
Pilihan OAINS harus dibuat berdasarkan ketersediaan, biaya dan lamanya
tindakan. Jika rasa sakit tampaknya akan terus-menerus selama jangka waktu yang
panjang maka dipilih obat dengan waktu paruh yang panjang dan efek klinis yang
lama. Namun, obat-obatan kelompok ini memiliki insiden tinggi untuk efek
samping penggunaan jangka panjang dan harus digunakan dengan hati-hati.
Semua OAINS mempunyai aktivitas antiplatelet sehingga mengakibatkan
pemanjangan waktu perdarahan. Obat-obatan ini juga menghambat sintesis
prostaglandin dalam mukosa lambung dan dengan demikian menghasilkan
pendarahan lambung sebagai efek samping.
Kontraindikasi relatif untuk penggunaan OAINS antara lain adalah : setiap
riwayat ulkus peptikum, perdarahan gastrointestinal; operasi yang berhubungan
dengan kehilangan darah yang banyak, asma, gangguan ginjal sedang hingga
berat, dehidrasi dan setiap riwayat hipersensitif untuk OAINS atau aspirin.
Ibuprofen merupakan obat pilihan jika rute oral tersedia. Obat ini secara klinis
efektif, murah dan memiliki profil efek samping yang lebih rendah dibandingkan
dengan OAINS lainnya. Alternatif lainnya adalah diclofenak, naproxen,
piroxicam, ketorolac, indometasin dan asam mefenamat. Apabila rute oral tidak
tersedia obat dapat diberikan dengan rute lain seperti supositoria, injeksi atau
topikal. Aspirin dan sebagian besar OAINS tersedia sebagai supositoria dan
diserap dengan baik.
17
Tabel 4: NSAIDs8
Drug name Forms available Daily dose
range
Half life (h)
Ibuprofen Tablet, syrup 600- 1200mg 1-2
Diclofenac Tablet, suppository, injection,
cream
75- 150mg 1-2
Naproxen Tablet, suspension, suppository 500- 1000mg 14
Piroxicam Capsule, suppository, cream,
injection
10- 30mg 35+
Ketorolac Tablet, injection 10- 30mg 4
Indomethacin Capsule, suspension, suppository 50- 200mg 4
Mefenamic
acid
Tablet, capsule 1500mg 4
Opioid Lemah
Codeine
Codeine adalah analgesik opioid lemah yang berasal dari opium
alkaloid (seperti morfin). Codeine kurang aktif daripada morfin,
memiliki efek yang dapat diprediksi bila diberikan secara oral dan
efektif terhadap rasa sakit ringan hingga sedang. Codeine dapat
dikombinasikan dengan parasetamol tetapi harus berhati-hati untuk
tidak melampaui maksimum dosis yang dianjurkan bila menggunakan
kombinasi parasetamol tablet. Dosis berkisar antara 15 mg - 60mg
setiap 4 jam dengan maksimum 300mg setiap hari.
Dextropropoxyphene secara struktural berkaitan dengan metadon
tetapi memiliki sifat analgesik yang relatif miskin. Hal ini sering
dipasarkan dalam kombinasi dengan parasetamol dan kewaspadaan
yang sama seperti Codeine harus diawasi. Dosis berkisar dari 32.5mg
(dalam kombinasi dengan parasetamol) sampai 60mg setiap 4 jam
dengan maksimum 300mg setiap hari. Kombinasi opioid lemah dan
18
obat-obatan yang bekerja di perifer sangat berguna dalam prosedur
pembedahan kecil di mana rasa sakit yang berlebihan tidak
diantisipasi sebelumnya atau untuk rawat jalan digunakan:
Parasetamol 500mg/codeine 8mg tablet. 2 tablet setiap 4 jam sampai
maksimum 8 tablet perhari. Apabila analgesia tidak mencukupi -
Parasetamol 1g secara oral dengan Kodein 30 sampai 60mg setiap 4-6
per jam sampai maksimum 4 dosis dapat digunakan. 3
Tramadol
Tramadol (tramal) adalah analgesik sentral dengan afinitas rendah
pada reseptor mu dan kelemahan analgesiknya 10-20 % dari morfin.
Tramal dapat diberikan secara oral dan dapat diulang setiap 4-6 jam
dengan dosis maksimal 400 mg per hari.9
Opioid Kuat3,9
Nyeri hebat yang berasal dari organ dalam dan struktur viseral
membutuhkan Opioid kuat sebagai analgesianya. Perawatan yang tepat dimulai
dengan pemahaman yang benar tentang obat, rute pemberian dan modus tindakan.
Pemberian awal akan mencapai konsentrasi obat yang efektif sehingga lebih
mudah untuk mempertahankan tingkat terapeutik obat di dalam darah.
Pemberian melalui rute oral mungkin tidak tersedia segera setelah
pembedahan. Jika fungsi gastrointestinal normal setelah operasi kecil atau
besar,maka analgesia kuat tidak diperlukan. Namun, rute oral mungkin tersedia
pada pasien yang telah sembuh dari pembedahan mayor sehingga opioid kuat
seperti morfin dapat digunakan karena morfin sangat efektif per oral. Bila pasien
tidak dapat mengkonsumsi obat melalui rute oral cara pemberian lain harus
dilakukan. Secara umum, analgesia yang efektif dapat diberikan melalui suntikan.
Faktor-faktor lain yang mempengaruhi penyerapan obat. Mungkin ada
variasi yang besar dalam darah dan tingkat penyerapan opioid setelah injeksi
intramuskular. Ini mungkin dipengaruhi oleh gangguan hepatik atau penyakit
19
ginjal, usia yang ekstrim dan adanya terapi obat yang lain. Kondisi apapun yang
mengurangi aliran darah perifer dapat mengganggu penyerapan obat dan dengan
demikian, mengurangi suhu tubuh, hipovolemia dan hipotensi semua ini akan
mengakibatkan menurunnya penyerapan dari situs injeksi. Hipotermia dan
hipotiroidisme keduanya menyebabkan penurunan metabolisme yang
menyebabkan peningkatan kepekaan terhadap obat-obatan.
Metode menggunakan obat opioid:
Rute Oral
Rute oral adalah yang paling banyak digunakan karena merupakan rute
yang paling dapat diterima oleh pasien. Kekurangan dari rute oral untuk
mengobati nyeri akut adalah bahwa penyerapan opioid dapat berkurang akibat
keterlambatan pengosongan lambung pascaoperasi. Mual dan muntah dapat
mencegah penyerapan obat-obatan yang diberikan secara oral dan di samping
itu,bioavailabilitas berkurang setelah metabolisme di dinding usus dan hati. Jadi
rute oral mungkin tidak cocok dalam banyak kasus.
Rute sublingual
Rute sublingual menawarkan beberapa keuntungan teoritis administrasi
obat. Penyerapan terjadi langsung ke sirkulasi sistemik karena tidak melewati
metabolisme lintas pertama. Obat yang telah paling sering digunakan oleh rute ini
adalah buprenorfin yang cepat diserap dan memiliki durasi kerja yang panjang (6
jam).
Rute supositoria
Kebanyakan analgesik opioid bergantung pada metabolisme jika diberikan
melalui mulut. Rute dubur adalah alternatif yang berguna, terutama jika terdapat
nyeri berat yang disertai dengan mual dan muntah. Opioid dapat diberikan dengan
efektif melalui supositoria tetapi tidak ideal untuk terapi segera nyeri akut karena
bereaksi lambat dan kadang-kadang penyerapannya tidak menentu, meskipun
20
secara ideal cocok untuk pemeliharaan analgesia. Rektal dosis untuk sebagian
besar opioid kuat adalah sekitar setengah yang dibutuhkan oleh rute oral.
Ketersediaan opioid untuk penggunaan rektal sangat bervariasi di seluruh dunia.
Intramuskular
Administrasi intramuskular mewakili teknik yang optimal bagi negara
berkembang. Seperti yang dinyatakan sebelumnya, dengan metode ini efek
analgesia akan berhubungan dengan banyak faktor. Sebuah cara sederhana untuk
mengatasi masalah ini adalah dengan melaksanakan analgesik secara reguler
setiap 4 jam. Bahkan, telah dibuktikan bahwa injeksi intramuskular opioid dapat
sebagus yang dari Patient Controlled Analgesia (PCA). Untuk mencapai tingkat
ini diperlukan penilaian anlagesia reguler, pencatatan skor nyeri dan
pengembangan algoritme pemberian analgesia, tergantung dari tingkat nyeri.
Intravena.
Selama bertahun-tahun telah menjadi tindakan yang umum untuk
memberikan bolus opioid baik dalam durante operasi dan pemulihan pasca-
operasi untuk menghasilkan analgesia langsung. Rute ini memiliki kelemahan
fluktuasi produksi konsentrasi plasma obat yang disuntikkan, meskipun bila
dilakukan dengan hati-hati injeksi intravena dapat meredakan nyeri dengan lebih
cepat dari metode lain. Namun secara umum teknik infus, baik oleh suntikan
intermiten atau dengan infus, tidak sesuai kecuali dalam pengawasan ketat dan
berada dalam unit terapi intensif karena secara inheren berbahaya jika pasien
dibiarkan tanpa pengawasan bahkan untuk periode singkat.
Patient Controlled Analgesia (PCA)
Patient Controlled Analgesia (PCA) menjadi populer ketika diketahui
bahwa kebutuhan individu untuk opioid bervariasi. Oleh karena itu disusun suatu
sistem di mana pasien dapat mengelola analgesia intravena mereka sendiri dan
mentitrasi dosis titik akhir penghilang rasa sakit mereka sendiri menggunakan
mikroprosesor kecil yang dikontrol dengan sejenis pompa. Berbagai perangkat
21
komersial sekarang tersedia untuk tujuan ini.. Dengan demikian mereka dapat
menyesuaikan tingkat analgesia yang diperlukan, menurut keparahan rasa sakit.
Secara teori, tingkat plasma dari analgesik akan relatif konstan dan efek samping
yang disebabkan oleh fluktuasi tingkat plasma akan dihilangkan.
Untuk mencapai keberhasilan dan keamanan analgesia dengan PCA maka
pasien harus mengerti apa yang perlu dilakukan dan ini harus dijelaskan secara
rinci sebelum operasi. Hampir setiap obat opioid telah digunakan untuk PCA.
Secara teori, obat yang ideal harus memiliki onset yang cepat, durasi kerja sedang,
dan memiliki margin keselamatan yang luas antara efektivitas dan efek samping.
Pilihan biasanya tergantung pada ketersediaan, preferensi pribadi dan
pengalaman. Sekali pilihan telah dibuat parameter-parameter lainnya perlu
ditentukan termasuk ukuran bolus dosis, jangka waktu minimum antara dosis
(kunci-habis) dan dosis maksimum yang diperbolehkan.
Morfin adalah obat yang paling populer dan akan digunakan sebagai
contoh. Dosis ideal morfin telah ditemukan yaitu 1mg. Namun, tinjauan ulang
diperlukan dalam setiap kasus untuk memastikan bahwa analgesia telah memadai.
Tujuan jangka waktu minimum antar dosis adalah untuk mencegah terjadinya
overdosis. Jangka waktu minimum antar dosis harus cukup lama untuk dosis
sebelumnya memiliki efek. Dalam prakteknya, jangka waktu ini berkisar antara 5
dan 10 menit cukup untuk sebagian besar opioid. Dalam prakteknya, adalah lebih
logis untuk menerima bahwa persyaratan analgesik pasien akan sangat bervariasi
dan beberapa pasien mungkin memerlukan jumlah yang sangat besar untuk
mencapai nyeri yang memadai.
Pasien yang menggunakan PCA biasanya mentitrasi analgesia mereka ke
titik di mana mereka merasa nyaman dan bukannya rasa bebas nyeri. Alasan
untuk hal ini adalah tidak jelas tetapi mungkin berkaitan dengan kekhawatiran
akan overdosis, kebutuhan untuk kontak dengan anggota staf rumah sakit dan
harapan setelah operasi.
Tabel 5.Opioid kuat3
Drug name Route of Dose Length of
22
delivery (mg) Action (h)Morphine Intramuscular
/subcutaneous
10-15 2-4
Methadone Intramuscular 7.5-10 4-6Pethidine/Meperidine Intramuscular 100-150 1-2Buprenorphine Sublingual 0.2-0.4 6-8
(Intravenous - half the IM dose slowly over 5 minutes)
Macam-macam opioid kuat:
Morfin
Morfin paling larut dalam air dibandingkan golongan opioid lainnya dan
kerja analgesinya cukup panjang (long acting). Morfin memiliki dua sifat yang
mempengaruhi sistem saraf pusat (SSP) yaitu depresi (analgesi, sedasi, perubahan
emosi dan hipoventilasi alveolar) dan stimulasi (stimulasi parasimpatis, miosis,
mual muntah, hiperaktif refleks spinal, konvulsi dan sekresi hormon anti diuretik /
ADH). Morfin juga menyebabkan hipotensi ortostatik. Kontra indikasi pemakaian
morfin pada kasus asma dan bronkitis kronis karena efek bronko kontriksinya.
Efek sampingnya juga menyebabkan pruritus, konstipasi dan retensio urin. Morfin
dapat diberikan secara sub kutan, intra muskular, intra vena, epidural dan intra
tekal. Dosis anjuran untuk mengurangi nyeri sedang adalah 0,1-0,2 mg/kgBB
secara sub kutan, intra muskular dan dapat diulang tiap 4 jam. Untuk nyeri hebat
dewasa dapat diberikan 1-2 mg intra vena dan diulang sesuai kebutuhan. Untuk
megurangi nyeri dewasa paska bedah dan nyeri persalinan digunakan dosis 2-4
mg epidural atau 0,05-0,2 mg intra tekal, dan ini dapat diulang antara 6-12 jam.6,9
Petidin
Petidin (meperidin, Demerol) adalah zat sintetik yang formulanya sangat
berbeda dengan morfin, tetapi memiliki efek klinik dan efek samping yang
mendekati asma. Perbedaan dengan morfin adalah sebagai berikut:
Petidin lebih larut dalam lemak dibandingkan dengan morfin yang
lebih larut dalam air.
Metabolisme oleh hepar lebih cepat dan menghasilkan
normeperidin, asam meperidinat dan asam normeperidinat.
23
Petidin bersifat seperti atropin menyebabkan kekeringan mulut,
kekaburan pandangan, dan takikardi.
Seperti morfin, dapat menyebabkan konstipasi, tetapi efek terhadap
sfingter Oddi lebih ringan.
Petidin cukup efektif untuk menghilangkan gemetar pasca bedah
yang tidak ada hubungan dengan hipotermi dengan dosis 20-25 mg
iv pada dewasa. Sedangkan morfin tidak.
Lama kerja petidin lebih pendek daripada morfin.6,9
Fentanil
Fentanil adalah zat sintetik seperti petidin dengan kekuatan 100 kali morfin,
lebih larut dalam lemak dan menembus sawar jaringan dengan mudah. Efek
depresi nafas lebih lama dibandingkan dengan efek analgesiknya. Dosis 1-3
µg/kgBB analgesiknya berlangsung kira-kira 30 menit, karena itu hanya
digunakan untuk anestesi pembedahan dan tidak untuk pasca bedah.6,9
BAB III
KESIMPULAN
Nyeri merupakan suatu respon biologis yang menggambarkan suatu
kerusakan atau gangguan organ tubuh, juga merupakan sensori subyektif dan
emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan
jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya
kerusakan. Secara fisiologis nyeri terjadi melalui 4 tahap yaitu transduksi,
transmisi, modulasi dan persepsi. Penilaian skala nyeri itu sendiri bisa dilakukan
berdasarkan beberapa skala, yakni Eskpresi wajah (Wong Baker Faces Pain
Rating Scale), Verbal Rating Scale (VRS), Numerical Rating Scale (NRS), Visual
Analog Scale (VAS).
Nyeri pascaoperasi termasuk nyeri akut yang bila tidak tertangani dengan
baik bisa mengarah kepada nyeri kronik. Manajemen nyeri pascaoperasi bisa
24
dilakukan melalui manajemen farmakologis dan non farmakologis. Manajemen
nyeri pascaoperasi haruslah dapat dicapai dengan baik demi alasan kemanusiaan.
Manajemen nyeri yang baik tidak hanya berpengaruh terhadap penyembuhan yang
lebih baik tetapi juga pemulangan pasien dari perawatan yang lebih cepat. Dalam
menangani nyeri pascaoperasi, dapat digunakan obat-obatan seperti opioid,
OAINS, dan anestesi lokal. Obat-obatan ini dapat dikombinasi untuk mencapai
hasil yang lebih sempurna. Karena kebutuhan masing-masing individu adalah
berbeda-beda, maka penggunaan Patient Controlled Analgesia dirasakan sebagai
metode yang paling efektif dan menguntungkan dalam menangani nyeri pasca
perasi meskipun dengan tidak lupa mempertimbangkan faktor ketersediaan dan
keadaan ekonomi pasien.
Pada akhirnya, tujuan dari pelayanan majemen nyeri akut post operasi
adalah mengevaluasi dan terapi dari nyeri akut post operasi dan mengidentifikasi
dan manajemen dari efek samping yang tidak diinginkan dihubungkan dengan
teknik analgesik post operasi.
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Gwirtz K. Single-dose intrathecal opioids in the management of acute post
operative pain. In: Sinatra RS, Hord AH, Ginsberg B, Preble LM, eds.Acute
Pain: Mechanisms & Management. St Louis, Mo: Mosby-Year
Book;1992:253-68
2. Suza DE., 2007, Pain Experiences and Pain Management of Postoperative
Patients, Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 1 Maret 2007,
http.//www.httplibrary.usu.co.id
3. Charlton ED. Posooperative Pain Management. World Federation of
Societies of Anaesthesiologists
http://www.nda.ox.ac.uk/wfsa/html/u07/u07_009.htm
4. Andres, Jose, Fischer, J, Ivani, Girgio, et.all. Postoperative Pain
Management Good Clinical Pratice. Of European Society of Regional
Anasthesia. 2005.
5. Ramsay MA., 2000, Acut Postoperative Pain Manajement,
http.//www.bumc.com
6. Wirjoatmodjo, Karjadi, 2000. Anestesiologi dan Reanimasi Modul Dasar
Untuk Pendidikan S1 Kedokteran. Jakarta. Departemen Pendidikan Nasional
7. Gwirtz K. Single-dose intrathecal opioids in the management of
acutepostoperative pain. In: Sinatra RS, Hord AH, Ginsberg B, Preble LM,
eds.Acute Pain: Mechanisms & Management. St Louis, Mo: Mosby-Year
Book;1992:253-68
8. Charlton ED. Posooperative Pain Management. World Federation of
Societies of Anaesthesiologists
http://www.nda.ox.ac.uk/wfsa/html/u07/u07_009.htm
9. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR., 2001, Petunjuk Praktis Anestesiologi,
Jakarta, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
10. Pain Community Care. Acute Postoperative Pain: Definition of Acute Pain.
Diakses pada tanggal 27 Maret 2016,
26
http://www.paincommunitycentre.org/article/acute-postoperative-pain -
definition-acute-pain
11. Dr C Roger Goucke, Dr Jane Trinca, Dr Pamela E Macintyre, dan Professor
Stephan A Schug. 2007. National Prescribing Service Limited: Acute
Postoperative Pain Management. Faculty of Pain Medicine, Australian and
New Zealand College of Anaesthetists.
12. Michael A.E. Ramsay , MD, Proc (Bayl Univ Med Cent). Acute
Postoperative Pain Management. 2000; 13(3): 244–247, diakses pada
tanggal 27 Maret 2016,
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1317048/
27