referat ckd revisi yooo pasti printss
TRANSCRIPT
REFERAT
PENATALAKSANAAN KONSERVATIF CHRONIC KIDNEY DISEASE
Dokter Pembimbing :
Dr. Sunarto, SpPD; Dr. Nurmilawati, SpPD; Dr. Said Baraba, SpPD.
Disusun oleh :
Anindita Juwita Prastianti
030.08.031
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD KARDINAH TEGAL
PERIODE 23 OKTOBER - 19 JANUARI 2012
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JANUARI 2013
1
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI..............................................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................4
BABII
PEMBAHASAN........................................................................................................................4
Definisi...................................................................................................................................4
Klasifikasi...............................................................................................................................4
Epidemiologi..........................................................................................................................5
Etiologi...................................................................................................................................5
Faktor resiko...........................................................................................................................7
Patogenesis.............................................................................................................................7
Penatalaksanaan Konservatif..................................................................................................7
- Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya ........................................................................8
- Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid .............................................................9
- Memperlambat pemburukan fungsi ginjal………………………………………….. ........9
- Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskuler.................................................13
-Pencegahan dan terapi terhadap
komplikasi………………………………………………………………………….………
13
2
BABIII
KESIMPULAN...................................................................................................................... 17
Daftar pustaka ......................................................................................................................18
LAPORAN
KASUS………………………………………………………………………………………19
3
BAB I
PENDAHULUAN
Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan salah satu masalah utama dalam
pelayanan kesehatan baik di negara maju maupun berkembang. Pada penurunan fungsi ginjal
mencapai tahap tertentu, perkembangan CKD menuju End Stage Renal Failure (CKD
STAGE 5) tidak terhindarkan lagi. Prevelansi CKD di India terhitung 7572 dalam 100.000
populasi dan terhitung 757 diantaranya menderita kesulitan finansial dan sosial. Untuk
mengurangi kesulitan ini dan meningkatkan kondisi pasien, maka CKD harus dideteksi dan di
tangani sebelum gagal ginjal total terjadi. (1)
Chronic Kidney Disease (CKD) dikelompokkan menurut stadium, yaitu stadium I, II,
III, dan IV. Pada stadium IV dimana terjadi penurunan fungsi ginjal yang berat tetapi belum
menjalani terapi hemodialisis disebut kondisi pre-dialisis. Umumnya pasien diberikan terapi
konservatif yang meliputi terapi diet dan medikamentosa dengan tujuan mempertahankan sisa
fungsi ginjal yang secara perlahan akan masuk ke stadium V. Status gizi kurang masih
banyak dialami pasien CKD. Penelitian keadaan gizi pasien CKD dengan Tes Kliren
Kreatinin (TKK) ≤ 25 ml/mt yang diberikan terapi konservatif di Poliklinik Ginjal Hipertensi
RSCM, dijumpai 50 % dari 14 pasien dengan status gizi kurang. Faktor penyebab gizi kurang
antara lain adalah asupan makanan yang kurang sebagai akibat dari tidak nafsu makan, mual
dan muntah. (2)
Selain itu masih banyak masalah lain yang dihadapi pasien CKD, seperti bagaimana
cara menghambat progesifitas dari CKD. Management anemia kronik, penyakit arteri koroner
pada CKD serta masalah donor ginjal. (3)
4
BAB II
PEMBAHASAN
Definisi
Chronic Kidney Disease (CKD) adalah kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan dengan
ditemukannya kelainan structural atau fungsional dengan atau tanpa pengurangan Laju
Filtrasi Glomerulus (LFG) dan ditemukannya manifestasi atau kelainan patologis atau
kerusakan ginjal pada pemeriksaan darah, urin, ataupun pemeriksaan dengan pencitraan
(imaging). (2) Dengan laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml.mnt/1,73 m2 (Stadium III)
selama 3 bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal.
Epidemiologi
Di Amerika Serikat, data tahun 1995 - 1999 menyatakan insidens Chronic Kidney
Disease diperkirakan 100 kasus per sejuta penduduk per tahun, dan angka ini meningkat
sekitar 8% setiap tahunnya. Di Malaysia, dengan populasi 18 juta, diperkirakan terdapat 1800
kasus baru gagal ginjal per tahunnya. Di negara-negara berkembang lainnya insiden ini
diperkirakan sekitar 40-60 kasus perjuta penduduk pertahun.(3)
Etiologi
Etiologi Chronic Kidney Disease sangat bervariasi antara satu Negara dengan Negara
lain. Tabel 4 menunjukkan penyebab utama dan insiden Chronic Kidney Disease di Amerika
Serikat. Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) tahun 2000 mencatat penyebab gagal
ginjal yang menjalani hemodialysis di Indonesia, seperti ada table 5. Dikelompokkan pada
sebab lain, diantaranya, nefritis lupus, nefropati urat, intoksikasi obat, penyakit ginjal
bawaan, tumor ginjal, dan penyebab yang tidak diketahui.(3)
Tabel 4. Penyebab utama Chronic Kidney Disease di Amerika Serikat (1995-1999)(3)
5
Penyebab Insiden
1. Diabetes Melitus
-Tipe 1 (7%)
-Tipe 2 (37%)
2. Hipertensi dan penyakit pembuluh darah besar
3. Glomerulonefritis
4. Nefritis Interstitialis
5. Kista dan penyakit bawaan lahir
6.Penyakit sistemik (misal: lupus dan vaskulitis)
7. Neoplasma
8. Tidak diketahui
9. Penyakit lain
44%
27%
10%
4%
3%
2%
2%
4%
4%
Penyebab gagal ginjal kronik tersering dapat dibagi menjadi 8 kelas seperti yang
tercantum pada table di bawah ini(4)
Klasifikasi Penyakit Penyakit
1. Penyakit infeksi tubulointerstitial
2. Penyakit Peradangan
Pielonefritis kronis atau refluks nefropati
Glomerulonefritis
6
3. Penyakit vascular hipertensif
4. Gangguan Jaringan ikat
5. Gangguan kongenital dan herediter
6. Penyakit metabolik
7. Nefropati toksik
8. Nefropati obstruktif
Nefrosklerosis benigna
Nefrosklerosis maligna
Stenosis arteria renalis
Lupus eritematosus sistemik
Penyakit ginjal polikistik
Diabetes mellitus
Gout
Amiloidosis
Penyalahgunaan analgesik
Nefropati timah
Traktus urinarius bagian atas :
Batu, neoplasma, fibrosis retroperitoneal,
Traktus urinarius bagian bawah:
Hipertrofi prostat, striktur uretra, anomaly
kongenital leher vesika urinaria, uretra.
Perlu ditekankan di sini, meskipun stadium dini dari penyakit ginjal dapat cukup
bervariasi, tetapi stadium akhir dapat sama semuanya. Dan pada banyak kasus sebab asalnya
tidak dapat diidentifikasi lagi.(4)
7
Patogenesis
Patofisiologi Chronic Kidney Disease pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama.
Pengurangan masa ginjal mengakibatkan kompensasi berupa hipertrofi structural dan
fungsional nefron yang masih tersisa, yang diperantarai molekul vasoaktif seperti siktokin
dan growth factors. Kemudian sebagai respon penurunan fungsi dan massa ginjal, terdapat
mekanisme adaptasi atau kompensasi oleh nefron nefron yang masih ada atau masih tersisa
dengan meningkatkan tekanan hemodinamik didalam kapiler glomerulus dan meningkatkan
LFG di tiap nefron yang tersisa. Pada setiap nefron terdapat sel-sel macula densa yang
mendeteksi penurunan pasokan darah ke ginjal. Pada kerusakan ginjal dimana perfusi darah
ke ginjal menurun, sel-sel ini akan melepaskan enzim rennin (Renin-Angiotensin-Aldosteron-
RAA System).
Enzim rennin berikutnya akan mengkonversi angiotensin I yang diproduksi di hepar
menjadi angiotensin II melalui bantuan enzim “angiotensin converting enzyme” yang ada di
paru-paru. Angiotensin II adalah zat vasoaktif potent yang menimbulkan efek vasokonstriksi,
dan menyebabkan peningkatan tekanan darah. Angiotensin II juga menstimulasi sekresi
hormone aldosteron di korteks adrenal. Aldosteron berikutnya akan menyebabkan
peningkatan reabsorbsi Natrium dan air melalui tubulus ginjal sehingga volume plasma
meningkat dan aliran darah ke ginjal ikut meningkat, sehingga LFG pun meningkat. Nefron
ginjal yang tersisa mendapatkan pasokan nutrisi dan O2 kembali melalui peningkatan LFG
sehingga dapat mengkompensasi fungsi nefron yang rusak.
Angiotensin II sebagai vasokonstriktor akan menyebabkan vasokonstriksi arteriol
efferent ginjal. Vasokonstriksi arteriol efferent akan meningkatkan tekanan hidrostatik di
kapiler dan mendorong lebih banyak hasil filtrasi ke capsula bowman’s sehingga LFG ikut
8
meningkat. Sekali lagi LFG yang meningkat juga dipertahankan oleh vasodilatasi dari arteriol
aferen sampai kapiler glomerulus. Namun, meskipun vasodilatasi arterion aferen akan
menyebabkan peningkatan tekanan glomerular dan peningkatan LFG, mekanisme ini lama
kelamaan akan menyebabkan penebalan pada pembuluh darah glomerular. Penebalan ini
berikutnya akan menambah tekanan dalam pembuluh darah glomerular sehingga
melemahkan pembuluh darah tersebut dan akan mudah terjadi perdarahan. Perdarahan ini
akan mudah menyebabkan kerusakan pada struktur ginjal, dan pada akhirnya diikuti oleh
proses maladaptasi berupa sclerosis nefron yang masih tersisa. Dengan kata lain mekanisme
kompensasi ini akan mempertahankan fungsi ginjal optimal di awal namun lama kelamaan
akan menjadi kerusakan ginjal yang progresif walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif
lagi.(3)
Berdasarkan penyebab, Nefropati Diabetik merupakan penyebab pertama pada CKD.
Dimulai dari hiperglikemia yang menyebabkan poliuria osmotik kemudian menyebabkan
peningkatan tekanan tubulus terutama di ductus kolektivus dan kompensasi selular berupa
hipertrofi selular masa nefron yang tersisa atau masih baik kondisinya. Kerusakan yang
terjadi pada nefropati diabetic ditandai dengan mikroalbuminuria dengan rata-rata 5 tahun
setelah pasien menderita DM. Dalam 10-15 tahun, masalah ini dapat menimbulkan nefropati
dengan proteinuria >150 mg/hari. Setelah 15 tahun, 1/3 pasien dengan diabetes tipe I mulai
menunjukan CKD. Pada DM tipe II, tanpa intervensi medis, 30% pasien memiliki nefropati
diabetik dan 20% lainnya menederita ESRD (CKD stage 5) setelah 20 tahun.
Klasifikasi dan Strategi Terapi Pada Faktor Resiko CKD
Untuk menghambat progresivitas kehilangan fungsi renal, maka facktor-faktor resiko
dan kausa penyebab kerusakan ginjal harus dapt dieliminasi atau dihilangkan. Pada pasien
9
CKD dengan faktor resiko yang tidak khas, maka penanganan dilakukan pada penyakit lain
yang menyertai pasien meskipun tidak spesifik, dan menghindari faktor resiko yang
memperburuk fungsi ginjal untuk memperlambat kemajuan atau progresivitas penyakit.
Table 2. Klasifikasi Chronic Kidney Disease atas dasar derajat penyakitnya(3)
Derajat Penjelasan LFG(ml/menit/1,73m2)
1
2
3
4
5
Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau↑
Kerusakan ginjal dengan LFG↓ ringan
Kerusakan ginjal dengan LFG↓ sedang
Kerusakan ginjal dengan LFG↓ berat
Gagal ginjal
>=90
60-89
30-59
15-29
<15 atau dialysis
Klasifikasi atas dasar diagnostik dapat dilihat pada table 3
Tabel 3. Klasifikasi Chronic Kidney Disease atas dasar diagnosis etiologi berdasarkan National Kidney Foundation Disease Outcomes Quality Initiative
(NKF KDOQI) (3)
Penyakit Contoh
Penyakit ginjal diabetes
Penyakit ginjal non diabetes
Penyakit pada transplantasi
Diabetes tipe 1 dan 2
Penyakit glomerular, penyakit vaskuler,
penyakit tubulointerstitial, penyakit kistik
Rejeksi kronik, keracunan obat
(siklosporin/takrolimus), penyakit recurrent
10
(glomerular), Transplant glomerulopathy
Setelah LFG menjadi kurang dari 50%, fungsi ginjal akan terus menurun meskipun
tidak ada faktor yang memeperberat ataupun penyakit lain yang menyertai. Deteriorasi atau
kemunduran fungsi ginjal biasanya disertai hipertensi sistemik, proteinuria, hiperlipidemia.
hipertensi glomerular, obstruksi saluran kemih, alkoholisme kronik, anemia, overweight, dan
merokok sebagai faktor resiko kerusakan fungsi ginjal. (4,5)
Hipertensi adalah faktor resiko penting pada progresivitas CKD dan menurunkan
hipertensi dapat memperlambat bahkan menunda progresivitas CKD dengan penyakit
penyerta seperti diabetes maupun non diabetes. Tekanan darah harus diturunkan sampai
kurang dari 130/80 mmHg pada pasien dengan proteinuria <1 gram dan tekanan darah harus
di turunkan dengan target 125/75 mmHg pada proteinuria > 1gram. ACE inhibitor dan ARB
direkomendasikan.
Ada hubungan yang kuat antara proteinuria dan progresi CKD. Hipertensi glomerular
dan kerusakan glomerulus menyebabkan proteinuria. Kelebihan protein ini akan di reabsorbsi
oleh tubulus proksimal dengan cara endositosis, yang kemudian merangsang reaksi inflamasi
dan respon sitokin, pada akhirnya menyebabkan fibrosis dan jaringan parut dari ginjal dan
mempercepat progresivitas CKD (17). Menurunkan proteinuria sampai 0,5 gram/hari
direkomendasikan. Hipotesis untuk menghambat progresivitas CKD dengan restriksi protein
pada diet menjadi pemikiran intervensi klinis pertama yang lebih tepat. Telah dipostulasikan,
diet tinggi protein malah mempercepat progresivitas CKD dengan menyebabkan arteriol
aferen berdilatasi dan meningkatkan hipertensi gromerular. (18) .
11
Metaanalisis menunjukan keuntungan secara keseluruhan dari diet protein atau
restriksi protein pada progresivitas CKD pada pasien diabetik dan non diabetik. (19) . Diet
rendah protein sampai 0,6-0,8 g/kg/ hari direkomendasikan pada pasien dengan CKD (20) .
CKD biasanya diasosiasikan dengan peningkatan very low density lipoprotein (VLDL), high
low lipoprotein (LDL) dan low density lipoprotein (HDL). Peran dislipidemia pada penyakit
jantung arterosklerotik diketahui dengan baik dikalangan medis, tapi peran dislipidemia
sendiri pada progresivitas CKD tidak dijelaskan lebih mendalam. Untuk sekarang
direkomendasikan penggunaan lipid lowering agent tidak hanya untuk menurunkan
progresivvitas CKD namun juga untuk mengendalikan penyakit jantung artherosklerotik
sebagai penyebab utama mortalitas atau kematian di pasien CKD. (16) Atau dapat dikatakan
pula, pada CKD komplikasi kardiovaskuler menjadi peyebab utama kematian pada pasien
CKD. Data yang tersedia menunjukan rokok atau kebiasaan merokok meningkatkan resiko
proteinuria dan progresitvitas CKD. Ada penelitian yang menujukan berhenti merokok
menghambat progresi CKD dan maka dari itu semua pasien yang merokok seharusnya
berkonsultasi atau ahli medis menjelaskan faktor resiko merokok pada pasien. (8) . Pada
penelitian terbaru dari 30 pasien overweight disertai nefropati, penurunan rata-rata berat
badan 4,1% pada kelompok diet menunjukan reduksi proteinuria sampai 31,2%. Untuk
mendapatkan proteksi ginjal (renoproteksi) yang komplet, penanganannya di jelaskan seperti
pada table dibawah ini :
Tabel Strategi Terapi :
Intervensi Sasaran Terapi
ACE Inhibitor atau ARB inhibitor
(kombinasi bila monoterapi tidak berhasil)
Proteinuria < 0,5 gram/hari
LFG < 2ml/menit/tahun
12
/Restriksi Protein pada diet 0,6-0,8 gram/kg/hari
Terapi antihipertensi tambahan Tekanan Drah <130/80 mm Hg
Restriksi Garam pada diet (pada pasien
dengan hipertensi)
3-5 gram/hari
Kontrol gula darah ketat HbA1C < 6,5%
Mengurangi hiperkalsemia dan
hiperfosfatemia
Sampai nilai normal
Lipid Lowering Therapy LDL < 100 mg/dL
Terapi antiplatelet prfilaksis thrombosis
Koreksi anemia Hb > 12g%
Merokok Berhenti merokok
Overweight Ideal body weight
Mencegah ISK dan Obstruksi saluran kemih
Tatalaksana Konservatif
Tatalaksana konservatif pada CKD adalah suatu tatalaksana yang bertujuan untuk
memperlambat perburukan progresifitas gangguan fungsi ginjal, dimulai ketika pasien
mengalami azotemia, dengan cara memperbaiki penyebab utama dan faktor –faktor yang
masih reversible, seperti penurunan volume ekstrasel karena pemakaian diuretic berlebihan
13
atau pembatasan garam yang terlalu ketat, obstruksi saluran kemih, infeksi, obat-obatan yang
memperberat penyakit ginjal(4)
Penatalaksanaan gagal ginjal kronik dapat dibagi menjadi dua tahap. Tahap pertama
terdiri dari tindakan konservatif yang ditujukan untuk meredakan atau memperlambat
perburukan progresif gangguan fungsi ginjal. Tindakan konservatif dimulai ketika penderita
mengalami azotemia. Berusaha menentukan penyebab utama gagal ginjal dan menyelidiki
setiap factor yang masih reversible, seperti; penurunan volume cairan ekstrasel yang
disebabkan oleh penggunaan diuretic berlebihan atau pembatasan garam terlalu ketat,
Obstruksi saluran kemih akibat batu, pembesaran prostat, atau fibrosis retroperitoneal;Infeksi,
terutama infeksi saluran kemih; Obat-obatan yang memeperberat penyakit ginjal:
maminoglikosida, obat antitumor, OAINS, bahan radiokontras, dan Hipertensi berat atau
maligna(4)
Penatalaksanaan konservatif gagal ginjal kronik meliputi:
A.Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya(3)
Dilakukan sebelum nilai LFG menurun.(3,5) Pada ukuran ginjal yang normal, dilakukan
pemeriksaan USG, biopsy, dan pemeriksaan histopatologi ginjal untuk menentukan indikasi
tetap terhadap terapi spesifik.(3)
1. Tatalaksana Dislipidemia(1)
Dislipidemia pada penderita CKD membutuhkan skrining dan pendekatan
tatalaksana yang berbeda dengan penderita lain karena metabolism dan eliminasi lipid
lowering drugs pada penderita CKD dapat terganggu, yang dapat mengubah profil
keamanannya. Tatalaksana dyslipidemia berupa perbaikan pola hidup, berupa
14
pengaturan diet, latihan fisik dan menghentikan kebiasaan yang tidak sehat, serta
terapi farmakologi
2. Perbaikan pola Hidup
Mencakup diet rendah lemak, penurunan berat badan, olah raga, menghindari
asupan alkohol berlebih dan berhenti merokok sangat penting dan sering merupakan
lini pertama tatalaksana penderita dengan abnormalitas kadar lipid. Rekomendasi diet
harus diberikan secara hati-hati mengingat prevalensi malnutrisi pada CKD stadium
lanjut yang tinggi. Diet yang diberikan sebaiknya mengandung kurang dari 7% kalori
lemak jenuh/satured fat (SAFA), polyunsatured fat (PUFA) hingga 10%,
monounsatured fat (MUFA) hingga 20% dan total lemak 25-35% dari kalori total.
Diet juga harus mengandung karbohidrat kompleks(50-60% dari kalori total) dan serat
(20-30 g/hari). Kolesterol diet harus kurang dari 200 mg/hari(1)
3. Terapi farmakologis
- Statin : Berfungsi sebagai kompetitif inhibitor terhadap enzim HMG Ko-A
reduktase, enzim yang mempengaruhi kecepatan sintesis kolesterol. Pada
metaanalisis terhadap 6 penelitian yang menggunakan statin pada penderita CKD
stadium lanjut menunjukkan rata-rata penurunan kolesterol sebesar 50-55 mg.dl
dan penurunan TG hingga 34 mg/dl. Penggunaan statin pada pasien dengan
hemodialysis juga terbukti dapat meningkatkan HDL hingga 4,84 mg/dl. Efek
samping yang dapat timbul adalah miopati.(1)
- Fibrat : Bekerja pada peroxisome proliferator-activated receptor (PPAR)-α, suatu
reseptor yang diaktivasi oleh asam lemak bebas dan eicosanoid. Aktivasi PPAR-α
berakibat peningkatan oksidasi asam lemak di hepar, jantung, ginjal, dan otot
15
bergaris. Aktvasi dari reseptor ini juga mengakibatkan peningkatan ekspresi
lipoprotein lipase. Sebagai hasilnya fibrat menurunkan TG dan VLDL serta
meningkatkan HDL. FIbrat juga mempengaruhi ukuran LDL menjadi lebih besar
dan kurang aterogenik (1)
- Bile Acid Sequestrants : Yang sudah tersedia adalah kolestiramin, kolestipol dan
kolesevelam. Obat-obatan ini berkaitan dengan asam empedu di usus dan
menurunkan sirkulasi enterohepatikanya. Sebagai hasilnyam konversi kolesterol
menjadi asam empedu diaktivasi di hepar melalui jalur feedback. Hal ini
mengakibatkan overekspirasi reseptor LDL di hepar dan meningkatkan klirens
LDL dari plasma. Obat golongan ini telah dibuktikan menurunkan LDL hingga
10-20 % pada populasi umum. Pemakaiannya dapat dikombinasikan dengan statin
dan asam nikotinat pada hiperkolestrolemia berat.(1) : Obat lain yang dapat
digunakan adalah asam nikotinat dan ezetimibe(1)
4. Tatalaksana hipertensi
Obat-obatan golongan Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACE
inhibitor) akan menurunkan hipertensi glomerulus dengan mencegah vasokonstriksi
arteriol eferen. (5) Berdasarkan hipotesis hiperfiltrasi, maka efek ACE inhibitor dalam
memperlambat progresi penyakit ginjal dengan hipertensi (CKD dengan hipertensi)
telah diteliti oleh banyak ahli medis. Penggunaan ACE inhibitor direkomendasikan
pada CKD disertai Diabetes Melitus (DM) tipe I dan DM tipe II. Dengan
mempertimbangkan hubungan DM tipe II dan penyakit kardiovaskuler, penggunaan
ACE inhibitor direkomendasikan pada pasien ini untuk menurunkan resiko
kardiovaskuler. Pada pasien dengan Nefropati non diabetic, ACE inhibitor telah
menunjukan kelasnya atau kemampuannya untuk memperlambat progresi CKD. (13)
16
Data sebelumnya menunjukan angiotensin receptor blocker (ARB) kemungkinan
sama efektifnya dengan ACE inhibitor. Kombinasi ACE Inhibitor dan ARB telah
menunjukan efek jangka panjang untuk menghambat progresi CKD. (14) Untuk
sekarang, penggunaan obat-obatan tersebut direkomendasikan pada pasien dengan
proteinuria <0.5 gms/hari, tekanan darah <130/80 mm/Hg, dan angka penurunan
fungsi ginjal LFG <2 ml/minute/year.(15)
B.Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (comorbid condition)(3)
Pantau Kecepatan penurunan LFG secara berkala untuk mengetahui kondisi
komorbid(3,5). Contoh kondisi komorbid: gangguan keseimbangan cairan, hipertensi tidak
terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi traktus urinarius, bahan radiokontras,
peningkatan aktivitas penyakit dasar, obat-obatan nefrotoxic(3,5)
C. Menghambat perburukan fungsi ginjal(3)
Terdiri dari 2 cara yaitu:
1. Pembatasan diet protein
Dimulai ketika LFG ≤60 ml/menit. Jumlah asupan protein yang dianjurkan 0,6-0,8
gr/kgBB/hari,yang 0,35-0,5 gr di antaranya merupakan protein dengan nilai
biologi tinggi. Status nutrisi pasien juga harus dipantau teratur untuk mencegah
protein-kalori malnutrisi.(3,5) Asupan protein dibatasi, juga karena kelebihan
protein terutama diekskresikan melalui ginjal dan bisa terjadi uremia. Ketika
konsumsi protein menigkat, terjadi peningkatan aliran darah dan tekanan darah
intraglomerular yang menyebabkan progresifitas fungsi ginjal. Fosfat dan protein
berasal dari sumber yang sama sehingga harus dibatasi asupan proteinnya.(3)
17
Berdasarkan penelitian, pembatasan diet protein dapat menghambat
perburukan penyakit ginjal pada stadium awal, namun tidak pada stadium
lanjut(5,6). Pada pasien yang sudah mendekati stadium akhir, asupan protein
ditingkatkan menjadi 0,9 g/kgBB/hari yang terdiri dari protein dengan nilai
biologi tinggi.(5)
Standar diet pada Chronic Kidney Disease Pre Dialisis dengan terapi konservatif
adalah sebagai berikut: (2)
2. Syarat Dalam Menyusun Diet (2)
Energi 35 kkal/kg BB, pada geriatri dimana umur > 60 tahun cukup 30 kkal/kg
BB, dengan ketentuan dan komposisi sebagai berikut: ¾ Karbohidrat sebagai
sumber tenaga, 50-60 % dari total kalori . ¾ Protein untuk pemeliharaan jaringan
tubuh dan mengganti sel-sel yang rusak sebesar 0,6 g/kg BB. Apabila asupan
energi tidak tercapai, protein dapat diberikan sampai dengan 0,75 g/kg BB.
Protein diberikan lebih rendah dari kebutuhan normal, oleh karena itu diet ini
biasa disebut Diet Rendah Protein. Pada waktu yang lalu, anjuran protein bernilai
biologi tinggi/hewani hingga ≥ 60 %, akan tetapi pada saat ini anjuran cukup 50
%. Saat ini protein hewani dapat dapat disubstitusi dengan protein nabati yang
berasal dari olahan kedelai sebagai lauk pauk untuk variasi menu. ¾ Lemak untuk
mencukupi kebutuhan energi diperlukan ± 30 % diutamakan lemak tidak jenuh. ¾
Kebutuhan cairan disesuaikan dengan jumlah pengeluaran urine sehari ditambah
IWL ± 500 ml. ¾ Garam disesuaikan dengan ada tidaknya hipertensi serta
penumpukan cairan dalam tubuh. Pembatasan garam berkisar 2,5-7,6 g/hari setara
dengan 1000-3000 mg Na/hari. ¾ Kalium disesuaikan dengan kondisi ada
18
tidaknya hiperkalemia 40-70 meq/hari ¾ Fosfor yang dianjurkan ≤ 10 mg/kg
BB/hari ¾ Kalsium 1400-1600 mg/hari (depkes), eemam mlan hari(2)
Sumber Protein Pada Chronic Kidney Disease Protein berasal dari bahasa
Yunani, yaitu proteos berarti yang utama atau didahulukan. Jumlah dan jenis
protein yang diberikan pada pasien CKD pre dialisis dalam bentuk diet Rendah
Protein sangat penting untuk diperhatikan karena protein berguna untuk
mengganti jaringan yang rusak, membuat zat antibodi, enzim dan hormon,
menjaga keseimbangan asam basa, air, elektrolit, serta menyumbang sejumlah
energi tubuh. Protein dibuat dari 20 asam amino penyusun protein, 11 diantaranya
dapat disintesis oleh tubuh, dan 9 sisanya disebut asam amino esensial yang
diperoleh dari bahan makanan, yaitu Leusin, Isoleusin, Valin, Triptofan,
Fenilalanin, Metionin, Treonin, Lisin dan Histidin. Dari asam amino, 8
diantaranya dibutuhkan oleh orang dewasa, sedangkan Histidin dibutuhkan oleh
anak-anak yang sedang dalam masa pertumbuhan. Bahan makanan yang
mengandung semua asam amino disebut lengkap protein, seperti telur, daging,
ikan, susu, unggas, keju. Oleh karena itu, protein hewani biasa disebut sebagai
protein bernilai biologi tinggi. Bahan makanan nabati, misalnya beras dan kacang-
kacangan, mengandung asam amino esensial yang terbatas atau tidak lengkap.
Oleh karena itu, dikatakan mengandung protein bernilai biologi rendah. Kedelai
dan hasil olahannya, yaitu tempe, tahu dan susu kedelai, mengandung asam amino
esensial walaupun ada 1 asam amino yang kurang, terbatas fungsinya hanya untuk
pemeliharaan, tidak untuk pertumbuhan (Limiting Amino Acid) yaitu metionin.
Demikian pula asam amino esensial lisin kurang pada beras dan triptopan kurang
pada jagung, akan tetapi apabila bahan makanan yang mengandung asam amino
terbatas dikonsumsi secara bersamaan dalam hidangan sehari-hari, dapat saling
19
melengkapi kekurangan dalam asam amino esensial. Sebagai contoh, nasi yang
terbatas lisin dimakan bersamaan dengan tempe yang terbatas pada metionin
didapatkan campuran yang memungkinkan saling melengkapi dalam asam
aminonya untuk pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan tubuh. Metode penilaian
kualitas protein dahulu menggunakan Protein Efficiency Ratio (PER) yang
berdasarkan respon pertumbuhan pada pemberian sejumlah protein. Saat ini,
penilaian mutu protein digunakan Protein Digestibility Corrected Amino Acid
Score (PDCAAS) yang menggambarkan jumlah asam amino dari protein dan
tingkat daya cernanya pada manusia. Dengan metode ini, protein kedelai
mempunyai nilai yang sama dibandingkan dengan putih telur dan protein susu,
kecuali asam amino methionin yang harus ditambah.(2)
Sumber protein dari kacang-kacangan dan produk kedelai, seperti tempe, tahu,
susu acang juga mengandung kalium dan fosfor yang cukup tinggi, sehingga
untuk mencegah hiperkalemia dan hiperfosfatemia tetap dibutuhkan pengikat
fosfor dan kalium yang adekuat. Produk kedelai cukup aman untuk selingan
pengganti protein hewani sebagai variasi menu dengan jumlah sesuai anjuran.
Akan tetapi tidak untuk suplemen atau tambahan sehingga melebihi kebutuhan.
Susu kacang kedelai dapat pula digunakan sebagai pengganti susu sapi. Hal positif
yang didapat dari protein nabati adalah mengandung phytoestrogen yang disebut
isoflavon yang memberikan banyak keuntungan pada CKD. Penelitian-penelitian
yang telah dilakukan didapatan protein dari kedelai dapat menurunkan proteinuria,
hiperfiltrasi, dan proinflamato cytokines yang diperkirakan dapat menghambat
penurunan fungsi ginjal lebuh lanjut. Penelitian lain mengenai diet dengan protein
nabati pada pasien CKD adalah dapat menurunkan ekresi urea, serum kolesterol
total dan LDL sebagai pencegah kelainan pada jantunh yang sering dialami pada
20
pasien CKD. Pada binatang percobaan dengan penurunan fungsi ginjal yang diberi
casein dibandingkan dengan protein kedelai setelah 1-3 minggu didapatkab
menunda penurunan fungi ginjal lebih lanjut.(2)
3. Bahan Makanan yang Dianjurkan (2)
¾ Sumber Karbohidrat: nasi, bihun, mie, makaroni, jagng, roti, kwethiau,
kentang, tepungtepungan, madu, sirup, permen, dan gula. ¾ Sumber Protein
Hewani: telur, susu, daging, ikan, ayam. Bahan Makanan Pengganti Protein
Hewani Hasil olahan kacang kedele yaitu tempe, tahu, susu kacang kedele, dapat
dipakai sebagai pengganti protein hewani untuk pasien yang menyukai sebagai
variasi menu atau untuk pasien vegetarian asalkan kebutuhan protein tetap
diperhitungkan. ¾ Sumber Lemak: minyak kelapa, minyak jagung, minyak
kedele, margarine rendah garam, mentega. ¾ Sumber Vitamin dan Mineral:
Semua sayur dan buah, kecuali jika pasien mengalami hipekalemi perlu
menghindari buah dan sayur tinggi kalium dan perlu pengelolaan khusus yaitu
dengan cara merendam sayur dan buah dalam air hangat selama 2 jam, setelah itu
air rendaman dibuang, sayur/buah dicuci kembali dengan air yang mengalir dan
untuk buah dapat dimasak menjadi stup buah/coktail buah. (2)
4. Bahan Makanan yang Dihindari
¾ Sumber Vitamin dan Mineral: Hindari sayur dan buah tinggi kalium jika
pasien mengalami hiperkalemi. Bahan makanan tinggi kalium diantaranya adalah
bayam, gambas, daun singkong, leci, daun pepaya, kelapa muda, pisang, durian,
dan nangka. Hindari/batasi makanan tinggi natrium jika pasien hipertensi, udema
dan asites. Bahan makanan tinggi natrium diantaranya adalah garam, vetsin,
21
penyedap rasa/kaldu kering, makanan yang diawetkan, dikalengkan dan
diasinkan(2)
5. Terapi farmakologis(3)
Terapi ini berutujuan untuk menurunkan hipertensi intraglomerulus dan
sistemik sehingga dapat menurunkan resiko kardiovaskular dan menghambat
perburukan kerusakan nefron.(2) . Hal ini adalah sama pentingnya dengan dengan
pembatasan protein. Sasaran dari terapi ini adalah sebagai antihipertensi dan
antiproteinuria.(2) Target tekanan darah yang dicapai pada pasien CKD dengan
proteinuria adalah 125/75 mmHg.(4)
Obat yang digunakan adalah ACE-i dan ARB yang dapat menghambat
angiotensin-induced vasokonstriksi pada arteriol aferen dari mikrosirkulasi
glomerular sehingga dapat menurunkan tekanan filtrasi intraglomerular dan
proteinuria. Beberapa studi menunjukkan bahwa obat-obatan ini efektif pada
pasien gangguan ginjal dengan DM maupun nonDM. Efektivitas obat dalam
menghambat progresi perburukan CKD adalah bergantung dari efeknya terhadap
menurunkan proteinuria. Jika pada penggunaan satu jenis obat tidak ditemukan
respons anti proteinuria, maka bisa digunakan kombinasi obat ACE-I dan ARB.
Efek samping ACE-I adlah batuk, angioderma; efek samping ARB:
anafilaksis,hyperkalemia. Jika ditemukan peningkatan efek samping maka obat
bisa diganti dengan lini kedua seperti CCB, diltiazem, verapamil.(4)
D. Pencegahan dan terapi pada penyakit Kardiovaskular
Hal ini sangat penting dilakukan karena 840-45% kematian pada penderita CKD
diakibatkan oleh penyakit kardiovaskular. Upaya yang dilakukan berupa pengendalian
22
terhadap DM, hipertensi, anemia,hiperfosfatemia,terapi kelebihan cairan dan keseimbangan
elektrolit. Upaya-upaya ini terkait dengan komplikasi CKD secara menyeluruh(2)
Screening atau pemantauan faktor resiko dari coronary artery disease (CAD) dapat
dilakukan pada CKD stage II (GFR<90ml/min), dilakukan setidaknya 1 kali setahun sebelum
transplantasi ginjal. Darah lengkap, Gula darah puasa, G2PP, Asam urat serum, kadar
kalsium, fosfat, dan profil lipid, elektrokardiogram, ekokardiografi, dan radiografi thoraks
harus menjadi parameter screening. Pada CKD bila ditemukan uremia maka kemungkinan
dapat pula mencetuskan kelainan pada EKG dan thallium stress test. Kebanyakan pasien
dengan CKD tidak akan dapat melakukan stress test dengan thread mill test dan maka dari itu
skrining dengan ekokardiografi dengan stress test dobutamine menjadi pilihan pemeriksaan
untuk skrining CAD. Angiografi koroner menjadi gold standard untuk diagnosis CAD. Pasien
asimptomatis dengan resiko tinggi sebaiknya dilakukan angiografi koroner bila pada skrning
tadi menunjukan kelainan. Dan pasien yang menunjukan gejala sebaiknya dilakukan
angiografi koroner tanpa dilakukan skrining terlebih dahulu. Perhitungan enzim jantung
belum menjadi pilihan pada skrining, karena, kemungkinan enzim spesifik seperti troponin T
meningkat juga pada saat hemodialisa. Hanya bila kadar troponin T dengan kadar serum >
0,8ng/ml dan CKMB isoenzim lebih dari 5% disebut bermakna.Kadar Troponin I lebih
sensitive pada Miokard infark akut. Kelainan gerak jantung dapat diketahui melalui
ekokardiografi namun tetaptidak dapat membedakan OMI atau AMI. Pada pasien diabetic
dengan usia >45 tahun, dan pasien simptomatik, test threadmill dan ekokardiografi 2 dimensi
diajurkan untuk diperiksa.
Target untuk menurunkan resiko kardiovaskular pada pasien CKD termasuk
diantaranya berhenti merokok, tekanan darah <130/80 mmHg, hemoglobin 11-12 g/dl, LDL
<100 mg/dl, serum calcium 9-10 mg/dl, serum fosfat 2,5-5,5 mg/dl, GDP <126 mg/dl,
GD2PP <180 mg/dl dan albumin serum >3,5 g/dl.
23
Terapi yang dapat digunakan dalam mengatasi CAD dengan CKD antara lain aspirin,
B-blocker, Nitrat, heparin, dan terapi trombolitik, tentunya sesuai indikasi dan tidak ada
kontraindikasi yang memberatkan pasien. Heparin low molecular sebaiknya dihindari.
Kalaupun diperlukan tindakan seperti bypass arteri koroner maka indikasinya akan sama baik
pada pasien uremia dan non uremia. Ini termasuk pada kerusakan main artery coronaria,
penurunan Fungsi ventrikel kiri, dan angina unstable. Penanganan bersama antara dokter
Jantung dan Dokter Penyakit Dalam serta Bedah diperlukan.
E.Pencegahan dan Terapi komplikasi
1. Modifikasi penyesuaian obat
Menghindari obat-obatan yan deliminasi terutama melalui ginjal. Seperti
Metformin, meperidin, dan OHO lain yang dieliminasi di ginjal. OAINS juga harus
dihindari karena dapat memperburuk fungsi ginjal. Dan banyak antibiotic, antiaritmia ,
dan antihipertensi yang memerlukan penyesuaian dosis(4).
2. Pembatasan cairan (balance cairan) dan elektrolit
Bertujuan untuk mencegah edema dan komplikasi kardiovaskular. Diatur
sedemikian rupa sehingga tercapai keseimbangan cairan,dimana jumlah air yang masuk
sama dengan jumlah air yang keluar. Jumlah air yang keluar dari tubuh yaitu dari
insensible water loss adalah sekitar 500-800 ml/hari,sehingga jumlah air yang masuk
adalah 500-800 ml/hari ditambah jumlah urin.(2)Asupan cairan 1-2 L per hari dapat
menjaga keseimbangan cairan.(5)
Pembatasan elektrolit,yaitu dengan mengawasi asupan kalium dan
natrium.Kalium dibatasi karena hyperkalemia dapat menyebabkan aritmia
jantung,sehingga obat-obatan dan makanan yang tinggi kalium harus dibatasi. (2)Jika GFR
24
menurun <10-20 ml/menit maka asupan harus kurang dari 50-60 meq/dl.(5) Natrium harus
dibatasi untuk mengendalikan hipertensi dan edema. Jumlah garam natrium yang
diberikan disesuaikan dengan tekanan darah dan derajat edema. (2) Asupan natrium >3-4
g/dl dapat menyebabkan edema,hipertensi,dan CHF. Aupan <1 g/dl menyebabkan volume
depletion dan hipertensi. Untuk pasien yang mendekati End Stage Renal Failure, inisial
rekomendasi asupan natrium adalah 2g/dl (5)
Pembatasan magnesium juga penting karena Mg terutama dieliminasi ginjal.
Semua Mg mengandung laxativ dan antacid yang merupakan kontraindikasi relative pada
penyakit ginjal.(5)
3. Osteodistrofi renal(2)
Sering terjadi pada CKD. Pencegahan dan terapi dilakukan dengan cara mengatasi
hiperfosfatemia dan pemberian kalsitriol (1,25 (OH)2D3).(2)
Hiperfosfatemia(2)
Diatasi dengan membatasi diet fosfat, yaitu sebanyak 600-800 mg/hari. Hal
ini sejalan dengan diet pada CKD secara umum,yaitu tinggi kalori, rendah protein,
dan rendah garam. Fosfat banyak terdapat dalam produk hewan seperti susu, telur,
daging. Pembatasan fosfat yang terlalu ketat tidak dianjurkan karena bahaya
malnutrisi.(2)
Memberi pengikat fosfat.
Bertujuan untuk menghambat absorbs fosfat di saluran cerna.Pengikat fosfat
ini diberikan diantaranya; Garam Kalsium, Aluminium hidroksida, Garam
magnesium. Yang banyak dipakai adalah CaCO3 dan Calcium asetat.(2)
25
Pemberian Ca mimetic agent.
Efektivitas penggunaannya baik dengan efek samping minimal. Cara kerjanya
dengan menghambat reseptor Ca pada kelenjar paratiroid.(2)
Pemberian kalsitriol.
Pemakaiannya tidak begitu luas karena dapat meningkatkan absorbs fosfat dan
calcium dalam saluran pencernaan, sehingga dikhawatirkan terjadi penumpukan
garam kalsium di jaringan yang disebut kalsifikasi metsatatik. Oleh karena itu
pemakaiannya dibatasi pada pasien dengan kadar P darah normal dan kadar
parathormon lebih dari 2,5 kali normal.(2)
4. Anemia(2)
Anemia pada CKD berkaitan erat dengan penyakit kardiovaskular, sebagai penyebab
kematian utama pada CKD. Anemia pada CKD biasanya normositik normokromik.
Morbiditas dan mortalitas utama pada anemia pasien CKD merupakan komplikasi sekunder
diakibatkan menurunnya pasokan O2 ke jaringan, adanya Left Ventricular Hypertrophy,
angina pectoris, dan Gagal jantung kongestif. Hal ini menyebabkan menurunnya kemampuan
mental, menurunnya kualitas hidup, dan menurunnya angka harapan hidup.
Pada CKD, 80-90% anemia akibat defisiensi eritropoietin (EPO). Penyebab lain
adalah defisiensi besi, kehilangan darah (perdarahan saluran cerna, hematuria), umur eritrosit
yg pendek (misal pada hemolisis), defisiensi asam folat, penekanan sum-sum tulang oleh
substansi uremik, proses inflamasi akut maupun kronik,. Evaluasi dapat dimulai saat Hb≤ 10
g/dl atau hematocrit ≤ 30%. Melakukan evaluasi status besi (SI,TIBC,Fe serum), mencari
sumber perdarahan, dan melakukan pemeriksaan morfologi eritrosit.(2) Pada tinja dapat pula
26
dilakukan pemeriksaan darah samardan parasite untuk menyingkirkan kemungkinan anemia
lainnya.
Kadar Hb penderta CKD perlu dipertahankan .Anemia pada CKD terjadi mulai
stadium 3 dan hampir 100% pada stadium 5. Disebut Anemia bila didapatkan kadar Hb <14
gr % (pria) dan pada <12 gr% (wanita).Anemia defisiensi besi pada CKD bila (7)
- Absolut : Serum transferin (ST) < 20%, feritin serum (FS) < 100ng/mg (CKD
non HD) dan < 200 ng/ml (CKD HD)
- Fungsional : ST < 200 %, FS ≥ 100 ng/ml (CKD non HD), ≥ 200 ng/ml (CKD
HD)
Terapi pemberian suplemen besi harus dimulai bila serum feritin kurang dari 100
ng/ml atau serum transferin kurang dari 20%. Pada pasien predialisis, pemberian suplemen
besi per oral dapat diberikan sampai 200mg/hari, diberikan sebelum makan.
Tatalaksana berikutnya yang dilakukan terutama ditujukan pada penyebab utama.
Dalam pemberian EPO ini status besi harus diperhatikan karena EPO perlu besi untuk
bekerja. Jika dilakukan transfusi darah, harus hati-hati mempertimbangkan segala aspek.
Sasaran Hb yang dicapai adalah 11-12 g/dl.(2)
EPO biasanya diberikan sebagai injeksi subkutan (25 hingga 125 U/kgBB) tiga kali
seminggu.(4).Indikasi terapi dengan eritropoetin adalah kadar Hb < 10 gr % dengan penyebab
lain sudah diatasi. Syarat pemberian EPO, tidak ada anemia defisiensi besi absolut, bila masih
ada dianjurkan dikoreksi terlebih dahulu; tidak ditemukan infeksi yang berat. Kontraindikasi
terapi dengan eritropoetin adalah kondisi tekanan darah tinggi, kondisi hiperkoagulasi.,
adanya respon yang tidak baik terhadap pemberian eritropoetin (EPO) dengan dosis 8000 -
10.000 U / minggu,pada minggu ke-4 kenaikan Hb gagal mencapai 0.5 - 1.5 gr % atau terjadi
27
kegagalan mempertahankan kadar Hb.(7).Efek samping pemberian EPO adalah tekanan darah
meningkat, thrombosis, kejang.(4,7) Peningkatan tekanan darah akibat terapi EPO disebabkan
oleh peningkatan viskositas darah dan pulihnya vasodilatasi perifer yang diinduksi anemia.(4)
Terapi anemia didasarkan indikasi terapi besi yaitu anemia besi absolut, anemia besi
fungsional, tahap pemeliharaan status besi.Kontraindikasi terapi besi adalah hipersensitivitas
terhadap besi, gangguan fungsi hati berat, andungan besi tubuh berlebih. Target Hb pada
terapi menggunakan eritropoetin adalah dimulai pada kadar Hb < 10 gr %, pada Penderita
CKD yang menjalani HD / non HD dengan target Hb 10 - 12 gr %, kadar Hb tidak boleh > 13
gr %.(7)
5. Asidosis
Asidosis metabolic kronik yang ringan pada penderita uremia biasanya akan menjadi
stabil pada kadar bikarbonat plasma 16 sampai 20 mEq/l. Penurunan asupan protein dapat
memperbaiki keadaan asidosis, tetapi bila kadar bikarbonat serum kurang dari 15 mEq/l,
beberapa ahli nefrologi memberikan terapi alkali, baik natrium bikarbonat maupun sitrat pada
dosis 1 mEq/kg/hari secara oral, untuk menghilangkan efek sakit pada asidosis metabolic,
termasuk penurunan masa tulang yang berlebihan. Asidosis ginjal biasanya tidak diobati
kecuali bila bikarbonat plasma turun di bawah angka 15 mEq/L, ketika gejala-gejala asidosis
dapat mulai timbul. Asidosis berat dapat tercetus bila suatu asidosis akut terjadi pada
penderita yang sebelumnya sudah mengalami asidosis kronik ringan. Asidosis berat dikoreksi
dengan NaHCO3 parenteral,maka perlu disadari resiko yang ditimbulkannya. Koreksi pH
darah secara berlebihan dapat mempercepat timbulnya tetani, kejang, dan kematian. Perlu
diingat bahwa penderita gagal ginjal kronik juga mengalami hipocalcemia
6. Hiperurisemia
28
Obat pilihan hiperurisemia pada CKD adalah allopurinol. Obat ini mengurangi kadar
asam urat dengan menghambat sintesis sebagian asam urat total yang dihasilkan oleh tubuh.
Untuk meredakan gejala-gejala artritis gout dapat digunakan kolkisin (obat antiradang pada
gout)(4)
29
BAB III
KESIMPULAN
Tatalaksana konservatif pada Chronic Kidney Disease bertujuan untuk menghambat
progresifitas perburukan fungsi ginjal ke tahap selanjutnya. Prinsip-prinsip dasar
penatalaksanaan konservatif sangat sederhana dan dedasarkan pada pemahaman mengenai
batas-batas ekskresi yang dapat dicapai oleh ginjal yang terganggu. Bila hal ini sudah
diketahui maka diet zat terlarut dan cairan orang bersangkutan dapat diatur dan disesuaikan
dengan batas-batas tersebut. Selain itu, terapi diarahkan pada pencegahan dan pengobatan
komplikasi yang terjadi.Tatalaksana ini dilakukan ketika pasien masih pada stadium empat
atau sebelumnya. Jika pasien telah memasuki stadium lima dari Chronic Kidney Disease ,
atau stadium akhir maka terapi konservatif tidak dapat lagi diandalkan untuk menghambat
progresifitas penyakit sehingga harus segera melakukan dialysis atau terapi penggantian
ginjal.
30
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1. Prodjosudjadi W, Susalit E, Suwitra K,et al. Penatalaksanaan Chronic Kidney Disease
dan Hipertensi. PERNEFRI. 2009.
2. Kresnawan T, Markun HMS. Diet Rendah Protein dan Penggunaan Protein Nabati
Pada Gagal Ginjal Kronik. Divisi Ginjal Hipertensi Bag. Penyakit Dalam FKUI-
RSCM. Jakarta: 2012. Accessed on 13th September 2012. Available at:
http://gizi.depkes.go.id/wp-content/uploads/2012/05/diet_rendah_prot-nabati.pdf
3. Sudoyo W, Setiyohadi B, Alwi I, et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II.
Interna Pubishing. Jakarta; 2009.
4. Price S, Wilson L. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit,Vol.2. ECG.
Jakarta; 2006.
5. Fauci, Braunwald, Kasper, et al. Harrison’s Principles of Internal Medicine 17 th
Ed,Vol.II. Mc Graw Hill. 2008
6. Adler J, Aminoff M, Baird C, et al. LANGE 2009 CURRENT Medical Diagnosis &
Treatment ed.48. Mc Graw Hill. 2009
7. Mewaspadai Anemia Pada Chronic Kidney Disease (CKD). Accessed on 13th
September 2012. Available at:
http://www.sahabatginjal.com/Articles/tabid/635/ID/2083/Mewaspadai-Anemia-Pada-
Penyakit-Ginjal-Kronis-CKD.aspx
31
8. Jafar TH, Schmid CH, Landa M, et al. Angiotensin converting enzyme inhibitors and
progression of non diabetic renal disease: a meta analysis of patient level data. Ann
Intern Med 2001; 135:73-8.
9. Viberti G, Wheeldon NM. Microalbuminuria reduction with valsartan in patients with
type 2 diabetes mellitus: a blood pressure independent effect. Circulation 2002;
106:672-8.
10. Ruilope LM, Aldegier JC, Ponticelli C et al. Safety of the combination of valsartan
and benazepril in patients with chronic renal disease. J Hpertens 2000; 18; 89-95.
11. Ruggenenti P, Perna A, Remuzzi G. Retarding progression of chronic renal disease:
the neglected issue of residual proteinuria. Kidney Int 2003; 63:2254-61.
12. Kambiz ZN, Brenner BM. Strategies to retard the progression chronic kidney disease.
Med Clin N Am 2005; 89:489-509.
13. Klahr S, Levey AS, Beck GJ, et al. The effect of dietary protein restriction and the
effect of blood pressure control on the progression of chronic renal failure.
Modification of Diet in
32