referat apoptosis dan kegagalannya pada kanker servik

33
BAB I PENDAHULUAN Sudah sejak pertengahan abad ke-19, banyak penelitian telah menunjukkan bahwa kematian sel memainkan peran yang cukup besar selama proses fisiologis organisme multiseluler, terutama selama embriogenesis dan metamorfosis. Kematian sel terprogram diperkenalkan pada tahun 1964, menunjukkan bahwa kematian sel selama perkembangan tidak bersifat tiba-tiba tapi terkontrol dan terprogram secara lokal dan temporal yang didefinisikan sebagai penghancuran diri. (Kumar et al , 2005) Akhirnya, istilah apoptosis telah diciptakan untuk menjelaskan proses morfologis yang mengarah ke penghancuran selular dan pertama kali diperkenalkan dalam suatu publikasi oleh Kerr, Wyllie dan Currie. Apoptosis berasal dari bahasa Yunani, memiliki arti "jatuh”. Analogi ini menekankan bahwa kematian merupakan bagian integral dan penting dari siklus hidup organisme. Apoptosis adalah proses yang aktif dan jelas yang memainkan peran penting dalam perkembangan organisme multiseluler dalam pengaturan dan pemeliharaan populasi sel dalam jaringan pada kondisi fisiologis dan patologis. (Leist et al , 2001) Ada 2 mekanisme kematian sel yaitu nekrosis dan apoptosis. Dikatakan nekrosis bila perubahan morfologi sel yang diikuti dengan kematian sel yang terjadi pada jaringan 1

Upload: sulung

Post on 17-Nov-2015

17 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

kedokteran

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN

Sudah sejak pertengahan abad ke-19, banyak penelitian telah menunjukkan bahwa kematian sel memainkan peran yang cukup besar selama proses fisiologis organisme multiseluler, terutama selama embriogenesis dan metamorfosis. Kematian sel terprogram diperkenalkan pada tahun 1964, menunjukkan bahwa kematian sel selama perkembangan tidak bersifat tiba-tiba tapi terkontrol dan terprogram secara lokal dan temporal yang didefinisikan sebagai penghancuran diri. (Kumar et al, 2005)Akhirnya, istilah apoptosis telah diciptakan untuk menjelaskan proses morfologis yang mengarah ke penghancuran selular dan pertama kali diperkenalkan dalam suatu publikasi oleh Kerr, Wyllie dan Currie. Apoptosis berasal dari bahasa Yunani, memiliki arti "jatuh. Analogi ini menekankan bahwa kematian merupakan bagian integral dan penting dari siklus hidup organisme. Apoptosis adalah proses yang aktif dan jelas yang memainkan peran penting dalam perkembangan organisme multiseluler dalam pengaturan dan pemeliharaan populasi sel dalam jaringan pada kondisi fisiologis dan patologis. (Leist et al, 2001) Ada 2 mekanisme kematian sel yaitu nekrosis dan apoptosis. Dikatakan nekrosis bila perubahan morfologi sel yang diikuti dengan kematian sel yang terjadi pada jaringan yang hidup, umumnya disebabkan oleh aksi degradasi enzim pada kerusakan sel yang letal. Umumnya, nekrosis secara histologi terjadi akibat kerusakan lingkungan eksternal yang ireversibel. Karakter sel yang mengalami kerusakan ini ditandai dengan sel dan organelanya seperti mitokondria membengkak (oleh karena rusaknya kemampuan membrane plasma untuk mengatur pengeluaran ion dan cairan), cairan sel keluar, dan inflamasi disekitar jaringan. (Munoz et al, 2006)Apoptosis merupakan jalur kematian sel yang dipacu oleh mekanisme pengaturan intraseluler dimana sel yang akan mati mengaktifkan enzim yang akan mendegradasi DNA nukleus sel dan protein sitoplasma. Sel yang18

mengalami apoptosis, morfologinya berupa sitoplasma mengkerut, membrane berbentuk gelembung, kondensasi kromatin (DNA dan protein) dan fragmentasi pada membran yang mengelembung. Apoptosis pada kondisi fisiologis berfungsi untuk mengatur jumlah sel, proliferasi dan menghilangkan sel yang sudah tidak berguna lagi sebagai suatu perkembangan normal dari sel. (Kumar et al, 2005)Apoptosis juga terjadi pada kondisi patologi, dimana apoptosis bertanggung jawab pada kematian sel seperti stimulasi kerusakan eksternal pada radiasi, obat sitotoksik anti-kanker, infeksi virus, atrofi patologi pada parenkim organ setelah adanya obstruksi saluran, semisal pada pankreas dan ginjal, juga kematian sel pada tumor. Disregulasi proses kematian sel ini mempunyai peranan pada patogenesis dari penyakit. Penilaian jumlah sel yang mengalamai kematian karena apoptosis dinyatakan dalam indeks apoptosis (Mendelshon et al, 1995)Kanker serviks adalah kanker yang paling sering ditemukan terutama di negara-negara berkembang dan sekaligus merupakan penyebab kematian pada perempuan di dunia pada umumnya. Di Indonesia kanker serviks ini menduduki peringkat pertama diantara jenis kanker lainnya. Studi epidemiologi mencurigai bahwa kanker serviks disebabkan oleh agen saat melakukan hubungan seksual. Saat ini patogenesis terjadinya kanker serviks tersebut difokuskan pada keberadaan HPV. Protein E6 dari HPV-16 and 18 akan mengakibatkan inaktivasi gen p53 melalui mekanisme pengikatan yang disebut ubiquitin-dependent proteolytic pathway (E6AP), sehingga akan terjadi penurunan kadar protein p53 (wild type). Protein E7 (onco protein) akan mengikat gen pRb, sehingga akan berakibat sama seperti pada protein p53. Ikatan E6 dengan pRb tersebut menyebabkan tidak terikatnya gen E2F (faktor transkripsi) oleh protein-pRb, sehingga gen E2F menjadi aktif dan akan membantu c-myc untuk terjadinya replikasi DNA dan menstimuli siklus sel (Mendelshon et al, 1995; Pusztai et al, 1996; Dellas et al, 1997; Cotrans et al, 1999; Badan Registrasi Kanker, 1998).

BAB IIAPOPTOSIS

2.1 DefinisiApoptosis adalah suatu proses kematian sel yang terprogram, diatur secara genetik, bersifat aktif, ditandai dengan adanya kondensasi chromatin, fragmentasi sel dan pagositosis sel tersebut oleh sel tetangganya. Apoptosis adalah kematian sel terprogram yang merupakan proses penting dalam pengaturan homeostasis normal, proses ini menghasilkan keseimbangan dalam jumlah sel jaringan tertentu melalui eliminasi sel yang rusak dan proliferasi fisiologis dan dengan demikian memelihara agar fungsi jaringan normal. Deregulasi apoptosis mengakibatkan keadaan patologis, termasuk proliferasi sel secara tidak terkontrol seperti dijumpai pada kanker. Ada berbagai bukti yang menyatakan kontrol apoptosis dikaitkan dengan gen yang mengatur berlangsungnya siklus sel, diantaranya gen p53, Rb, Myc, E1A dan keluarga Bcl-2. Gangguan regulasi dan proliferasi sel baik akibat aktivitas onkogen dominan maupun inaktivasi tumor suppressor genes ada hubungannya dengan proses apoptosis. Beberapa jenis virus onkologik melaksanakan proses transformasi sel dengan cara mengganggu fungsi apoptosis dalam sel., misalnya SV40, herpes dan adenovirus, polioma maupun virus Epstein Barr (EBV). (Cotran et al, 1999; Damico et al , 1994)Dalam literatur lain menyebutkan apoptosis merupakan suatu bentuk kematian sel yang didesain untuk menghilangkan sel-sel host yang tidak diinginkan melalui aktivasi serangkaian peristiwa yang terprogram secara internal melalui serangkaian produk gen. Adapun terjadinya penyebab diatas sebagai berikut: A. Selama proses perkembangan B. Sebagai suatu mekanisme homeostasis untuk memelihara sel di jaringan. C. Sebagai suatu mekanisme pertahanan seperti reaksi imun D. Apabila sel-sel dihancurkan oleh penyakit atau agen-agen yang berbahaya.

E. Proses Penuaan.

2.2 Penyebab Faktor-faktor yang bertanggung jawab dari serangkaian peristiwa apoptosis adalah: a) Kerusakan sel yang terprogram selama embriogenesis termasuk implantasi, organogenesis, involusi perkembangan dan metamorfosis yang tidak selalu didefinisikan secara fungsional sebagai kematian sel yang terprogram.b) Proses involusi yang tergantung hormon pada orang dewasa seperti degradasi sel endometrium selama siklus menstruasi, atresia folikuler ovarium pada menopause, regresi payudara setelah tidak menyusui dan atropi prostat setelah katrasi. c) Delesi sel pada kelompok sel-sel yang berproliferasi seperti epitel kripta usus (intestinum). d) Kematian sel pada tumor paling sering selama regresi tapi juga pada tumor dengan pertumbuhan sel yang aktif. e) Kematian netrofil selama respon inflamasi akut. f) Kematian sel-sel imun baik limfosit B & T, setelah deflesi sitokin, seiring dengan delesi dari sel limfosit T autoreaktif pada timus yang sedang berkembang. g) Kematian sel yang diinduksi oleh sel-sel T Sitotoksik, seperti pada penolakan imum seluler. h) Atropi patologis pada organ parenkim setelah obtruksi duktus, seperti yang terjadi di pancreas, kelenjer parotis & ginjal. i) Lesi sel pada penyakit virus tertentu, misalnya pada hepatitis virus, dimana sel-sel yang mengalami apoptosis dihepar yang dikenal sebagai badan Councilman j) Kematian sel akibat berbagai stimulus yang mampu menyebabkan nekrosis, kecuali bila diberikan dosis rendah, contohnya panas, radiasi, obat-obat anti kanker sitotoksik & hipoksia dapat menyebabkan apoptosis jika kerusakan ringan, tapi dosis besar dengan stimulus yang sama menyebabkan kematian sel nekrotik. (Cotran et al , 1999; Chandrasoma et al, 1995)2.3. MorfologiGambaran morfologi dapat dilihat dengan mikroskop elektron yang menggambarkan : A. Pengerutan sel Sel berukuran lebih kecil, sitoplasmanya padat,meskipun organella masih normal tetapi tampak padat. B. Kondensasi Kromatin (piknotik) Ini gambaran apoptosis yang paling khas. Kromatin mengalami agregasi diperifer dibawah selaput dinding inti menjadi massa padat yang terbatas dalam berbagai bentuk dan ukuran. Intinya sendiri dapat pecah membentuk 2 fragmen atau lebih (karyorhexis) C. Pembentukan tonjolan sitoplasma dan apoptosis. Sel apoptotic mula-mula menunjukkan blebbing permukaan yang luas kemudian mengalami fragmentasi menjadi sejumlah badan apoptosis yang berikatan dengan membran yang disusun oleh sitoplasma dan organella padat atau tanpa fragmen inti. D. Fagositosis badan Apoptosis Badan apoptosis ini akan difagotosis oleh sel-sel sehat disekitarnya, baik sel-sel parenkim maupun makrofag. Badan apoptosis dapat didegradasi di dalam lisosom dan sel-sel yang berdekatan bermigrasi atau berproliferasi untuk menggantikan ruangan sebelumnya diisi oleh sel apoptosis yang hilang. (Cotran et al, 19999; Kumar at al, 2005)Karakteristik apoptosis didapatkan sel yang terpencar tidak ada kelompok sel yang bergabung. Pada nekrosis didapatkan perubahan morfologi lebih awal adalah tersusun padat dan agregasi kromatin inti, dengan gambaran yang jelas, masa granular yang seragam menjadi kecil membungkus inti dan pemadatan sitoplasma. Selanjutnya pemadatan itu disertai oleh lilitan (kekusutan) gambaran baru inti dan sel ini diikuti oleh pemecahan inti kedalam fragmen berlainan yang dikelilingi oleh lapisan pembungkus double dan tunas sel secara keseluruhan (menghasilkan apoptosis bodies yang dikelilingi membrane), sedangkan yang lain kekurangan komponen inti. Sebagai tambahan, tingkatan/luas dari inti dan tunas seluler bervariasi dari tipe sel, sering secara relative dibatasi pada selsel kecil dengan rasio inti sitoplasma yang tinggi seperti limfosit. Organel sitoplasma terbentuk pada apoptosis bodies yang baru tetap terpelihara dengan baik. (Chandrasoma et al, 1995)Apoptotic bodies yang muncul secara cepat diserap (ingested) oleh sel di dekatnya dan dihancurkan oleh sel lisosom. Tidak ada hubungan inflamasi dengan adanya fagosit khusus dalam jaringan seperti yang terjadi pada nekrosis dan tipe sel yang beragam dari sel tetangga, termasuk sel epitel yang berpartisipasi. Pada tumor, sel-sel neoplastis yang viable biasanya terlibat adalah makrofak sekitarnya. Akan tetapi bentukan apoptotic bodies pada kultur sel kebanyakan hilang oleh fogositosis dan bahkan degenerasi. Awal kejadian seluler dalam apoptosis diselesaikan dengan cepat dengan hanya beberapa menit berlalu antara proses dan pembentukan suatu kelompok apoptosic bodies. Oleh karena itu tunas-tunas sel dan garis besar yang kusut jarang diamati pada potongan jaringan. Kenyataan ini telah melahirkan pikiran kapan apoptosis dapat ditentukan secara histologi. (Kumar et al, 2005) 2.4. Fungsi ApoptosisKematian sel melalui apoptosis merupakan fenomena yang normal, yaitu terjadi eliminasi sel yang tidak diperlukan lagi. Proses apoptosis secara fisiologis diperlukan untuk :1. Terminasi selApoptosis dapat terjadi pada sel yang mengalami kerusakan yang tidak bisa di repair, infeksi virus, keadaan yang mengakibatkan stress pada sel. Kerusakan DNA akibat ionisasi radiasi maupun bahan kimia toksik juga dapat mencetuskan apoptosis melalui aktivasi tumor supresor gen p53. Keputusan untuk apoptosis dapat berasal dari sel itu sendiri, dari jaringan disekitarnya ataupun dari sel yang termasuk dalam sistem imun. Pada keadaan ini fungsi apoptosis adalah untuk mengangkat sel yang rusak, mencegah sel menjadi lemah oleh karena kurangnya nutrisi dan mencegah penyebaran infeksi virus.2. Mempertahankan homeostasisPada organisme dewasa, jumlah sel dalam suatu organ atau jaringan harus berada dalam keadaan yang relatif konstan. Proses keseimbangan ini termasuk dalam homeostasis yang dibutuhkan oleh makhluk hidup untuk mempertahankan lingkungan internalnya. Keseimbangan (homeostasis) ini dapat tercapai bila kecepatan mitosis pada jaringan seimbang dengan kematian sel. Bila keseimbangan ini terganggu, maka akan dapat mengakibatkan : Bila kecepatan pembelahan sel lebih tinggi daripada kecepatan kematian sel terbentuk tumor Bila kecepatan pembelahan sel lebih rendah dari kecepatan kematian sel jumlah sel menjadi berkurang3. Perkembangan embrionalKematian sel yang terprogram merupakan bagian dari perkembangan jaringan. Pada masa embrio, perkembangan suatu jaringan atau organ didahului oleh pembelahan sel dan diferensiasi sel secara besar-besaran dan kemudian diseleksi melalui apoptosis. Contoh: bila terjadi gangguan proses apoptosis , berupa diferensiasi inkomplit pada pembelahan jari-jari akan mengakibatkan syndactyly.4. Interaksi limfositPerkembangan limfosit B dan limfosit T pada tubuh manusia merupakan suatu proses yang kompleks, yang akan membuang sel-sel yang berpotensi menjadi rusak. Cytotoksik T sel dapat secara langsung menginduksi apoptosis pada sel melalui terbukanya suatu celah pada target ononucl dan pelepasan zat-zat kimia untuk mengawali proses apoptosis. Celah ini dapat terjadi melalui adanya sekresi perforin, granul yang berisi granzyme B, serine protease yang dapat mengaktivasi caspase melalui pemecahan residu aspartat.5. Involusi hormonal pada usia dewasa.Apoptosis dapat terjadi misalnya pada pelepasan sel endometrium selama siklus menstruasi, regresi pada payudara setelah masa menyusui dan atresia folikel ovarium pada menopause.(DeVita et al, 2005; Mendelshon et al, 1995)2.5. Proses ApoptosisTerdapat 3 fase dalam apoptosis. Pada fase pertama, sel melepaskan diri dari jaringan dan sel sekitarnya akibat hilangnya mikrovili dan kompleks juctional yang disebut desmosome. DNA dicerna oleh enonuclease spesifik dan dipecah menjadi fragmen-fragmen yang terbungkus oleh vesikel. Perubahan DNA yang terjadi meliputi pemisahan pita DNA (karyohexis) dan kondensasi kromatin inti (pyknosis). Kromatin pyknotik tampak sebagai topi yang berbetuk bulan sabit di bawah mikroskop cahaya. Reticulum endoplasma membengkak dan mengeluarkan semua isinya. Sel menjadi lebih padat dan mengkerut dan mengalami involusi. Pada fase kedua, sel membentuk pseudopodia (budding) yang memiliki organela atau fragmen inti dan semuanya terdapat dalam vesikel. Sel yang tersisa menjadi berbentuk bulat, dan terbungkus oleh membrane yang halus (disebut sebagai badan apoptotic). Pada fase ketiga, membrane tersebut menjadi permeable terhadap pewarnaan, misalnya Triphan blue. Badan apoptotic dan budding kemudian difagositosis oleh makrofag, epitel, endotel dan sel tumor. Kesemua proses terjadi sekitar 15 menit dan oleh karena itu tidak dapat terdeteksi pada irisan jaringan (Arrend et al, 1998).Sebaliknya pada proses onkosis terjadi pembengkakan sel dan organela dengan proses fragmentasi inti yang lambat serta dicerna oleh enzim lisosom. Pembengkakakn terjadi karena defisit produksi ATP (adenosisn trifosfat) yang memicu gagalnya pompa Na-K dan meningkatkan permeabilitas membrane. Hal ini akan membuat sel menggembung (seperti balon yang terisi air) yang kemudian terjadi ruptur membrane. Terjadi infiltrasi neutrofil dan makrofag pada jaringan disekitarnya yang memicu terjadinya proses inflamasi. (Savits et al, 1998)2.5.1 Mekanisme kematian selSetelah stimulus yang adekuat, tahap pertama atau tahap decision phase dari apoptosis adalah aktivasi kontrol genetik dari kematian sel. Kemudian diikuti oleh tahap ke dua yakni tahap eksekusi atau execution phase, dimana bertanggung jawab terhadap perubahan morfologi sel pada proses apoptosis. Terdapat empat kelompok stimulus apoptosis. Stimulus kelompok pertama menyebabkan kerusakan DNA termasuk di dalamnya radiasi pengion dan obat anti kanker alkilasi. Kelompok yang kedua menginduksi apoptosis melakui mekanisme reseptor-ligan, termasuk di dalamnya oleh reseptor yang termediasi oleh hormone glukokortikoid (beraksi pada timus), tumor necrosis factor-a (TNF-), atau oleh deficit factor pertumbuhan (growth factor dan interleukin (IL-3). Kelompok ketiga melibatkan agen biokimia yang merangsang komponen yang mengaktivasi jalur apoptosis termasuk di dalamnya adalah inhibitor fosfatase dan kinase (misal, calphostin C, stauroporine). Kelompok keempat adalah berkaitan dengan agen yang dapat secara langsung merusak membrane sel, termasuk di dalamnya antara lain agen oksidan (anion superoksida, hydrogen peroksida). Produksi ROS (reactive oxygen species) yang berlebih seperti superoksida, hydrogen peroksida, dan radikal hidroksi, menghasilkan radikal bebas yang dapat merusak membran lipid, protein, asam nukleat, dan matrik ekstraseluler glikoaminoglikan. Stimulus tersebut pada dosis besar dapat menicu nekrosis. Jejas pada membrane sel dapat merangsang terjadinya apoptosis dengan mengaktivasi asam spingomyelin yang menghasilkan second messanger dari membrane lipid yakni ceramid. (Rudin et al, 1997)Sinyak tranduksi yang memicu apoptosis merupakan dampak dari ikatan death receptor dengan ligannya atau karena kerusakan genome. Reseptor kematian (death receptor) yang memicu apoptosis antara lain sistem reseptor Fas dan reseptor TNF. Reseptor Fas pada walnya dikenal dengan nama CD95 atau APO-1, merupakan death reseptor yang tersusun dari glikoprotein dan berlokasi di transmembran. Reseptor ini teraktivasi oleh Fas ligan (Fas-L) yang juga berada di membrane sel. Molekul intrasel yang disebut FADD (Fasassociated death domain) juga diproduksi. Reseptor Fas terdapat pada sel epitel, tumor, jaringan hematopoeitik yang dapat terinduksi oleh sel-sel lain yang memiliki Fas-L. Jalur Fas memegang peranan penting dalam sistem imun. Limfosit T sitotoksik mampu mengekspresikan Fas-L yang mengaktivasi apoptosis dari sel yang memiliki reseptor Fas. (Savits et al, 1998)Sistem reseptor TNF memediasi berbagai macam jalur biokimiawi yang berbeda. Ligan apoptosis yang diinduksi oleh TNF (TRAIL=TNF related apoptosis inducing ligan) telah ditemukan. Sel-sel kanker sangatpeka terhadap apoptosis yang diinduksi oleh TRAIL. Jika TRAIL berikatan dengan reseptornya, maka molekul intrasel yang disebut death domain diproduksi. TNF receptor associated death domain (TRADD) juga telah teridentifikasi. TNF dapat mensupresi apoptosis dengan berikatan dengan reseptornya yakni TNFR2 yang mana mengaktivasi suatu protein yang disebut Nucleas Factor kappa B (NF-kB) yang diklassifikasikan sebagai protein inhibitor apoptosis (IAP=inhibitor apoptosis protein) yang menghambat terjadinya fase eksekusi. NF-kB merupakan protein yang meregulasi banyak gen pro inflamasi untuk memproduksi berbagai sitokin dan molekul proinflamasi. Terdapat bukti bahwa peningkatan NF-kB sangat penting dalam pathogenesis SIRS (systemic inflammatory response syndrome), MODS dan sindrom distress respirasi akut. (Mc Lellan et al, 1997)1. Fase keputusan decision (kontrol genetik)Apoptosis dikendalikan secara genetic oleh 2 macam gen yakni Bcl2 dan p53. Bcl2 merupakan family gen yang mengatur apoptosis, dan dapat ditemukan di membrane mitokondria, dan pada membran reticulum endoplasma gen ini juga berperan untuk mengatur kanal kalsium. Saat ini juga telah ditemukan gen yang satu family dengan Bcl2 yang juga mampu mengaktivasi atau menghambat apoptosis. Protein seperti Bcl2 dan bcl xl dapat mencegah apoptosis, sedangkan Bcl2 ini sendiri berhubungan dengan protein x (bax) seperti bax, bad dan Bcl xl yang dapat memicu terjadinya apoptosis.p53 merupakan suatu protein inti dengan berat molekul 23 kDa terikat dengan DNA dan berperan sebagai factor transkripsi serta mengkontrol proliferasi sel danperbaikan DNA [54]. Mutasi pada gen p53 disinyalir berhubungan dengan 50% kejadiang kanker pada manusia (misalnya kanker kolon) dan berhubungan dengan resistensi terhadap suatu terapi. Gen c-myc merupakan suati gen proto-oncogen yang mengkode sequence-specific DNA-binding protein suatu protein yang berperan sebagai factor transkripsi dan memicu apoptosis dengan p53 yang normal. Pada banyak tumor terdapat peningkatan kadar c-myc. Mutasi gen neuronal apoptosis inhibitory protein (NAIP) terjadi pada pasien dengan atropi otot spinal. NAIP dapat melindungi berbagai sel dari apoptosis yang diakibatkan oleh TNF-a, radikal bebas dan defisiensi factor pertumbuhan (Rudin et al, 1998)2. Tahap EksekusiPeristiwa penting dalam apoptosis adalah proteolisis dan inaktivasi mitokondrial. Kerusakan sel merupakan dampak dari aktivasi family sitein protease yang disebut caspase (CASP). Kaspase merupakan proenzim yang telah berhasil diisolasi dari tubuh nomatoda sampai tubuh manusia. Saat ini telah ditemukan 10 jenis caspase (casp 1-10). Studi terdahulu mengenai apoptosis berfokus pada nematode C. elegan dan gen yang dibutuhkan untuk penentuan apoptosis yakni gen ced-3. Terdapat 2 subfamili caspase yakni subfamily ced-3 (diproduksi oleh gen ced-3) dan subfamili ICE (IL-1b coverting exzyme). Caspase 1 yang berkaitan erat dengan ICE sering terlibat dalam proses inflamasi. Caspase ced-3 berperan penting sebagai efektor apoptosis. Caspase 8 atau FADD-like interleukin converting enzyme (FLICE) merupakan enzim paling penting dari subfamily ced-3. Aksi dari caspase sangat bervariasi: beberapa berperan sebagai endonuklease yang memotong DNA, beberapa memotong protein sitoskeleton, dan yang lainnya mengakibatkan hilangnya daya adhesi sel. Integritas membrane sel tetap dipertahankan pada awalnya, meskipun budding dari sel membrane dapat terjadi setelahnya. Tidak ada sekresi enzim lisosom yang menyababkan kerusakan sel disekitarnya atau memicu timbulnya respon imun. Sel yang mengalami apoptosis mampu mengekspresikan sinyal yang memicu fagositosis. Makrofag dapat mengenali sinyal dari neutrofil yang mengalami apoptosis melalui kompleks protein yang melibatkan reseptor thrombospodin (CD36) dan integrin avb3. (Mc Lellan et al, 1997)

Gambar 1. Jalur apoptosis

2.6. Defek Pada Proses Apoptotic1. Terjadi kankerPada proses apoptosis dapat terjadi kegagalan pada pathway, yang akan menyebabkan terjadinya kanker. Kegagalan ini lebih sering terjadi pada intrinsic patway dibanding pada ekstrinsik pathway, karena intrinsic pathway ini lebih sensitive dan paling sering disebabkan oleh mutasi dari gen p53 . Gen p53 ini merupakan tumor supresor gen yang terakumulasi bila DNA mengalami kerusakan. Fungsi dari p53 ini yaitu mencegah replikasi sel pada sel yang rusak secara genetik melalui penghentian siklus sel pada fase G1 atau interfase, sehingga sel mempunyai waktu untuk repair. Selain itu gen ini juga berfungsi untuk mencetuskan apoptosis bila kerusakan sel cukup luas dan terjadi kegagalan pada repair. Bila terjadi mutasi pada gen p53 dapat mengakibatkan disregulasi gen ini sehingga terjadi kegagaalan apoptosis dan sel yang rusak terus mengalami replikasi dan akhirnya terjadi kanker.Faktor lain yang berperan pada tumor genesis adalah keseimbangan antara proapoptosis dan antiapoptosis dari kelompok Bcl2. Pada sel tumor, mutasi dari gen Bcl2 dapat menyebabkan peningkatan ekspresi yang dapat menekan fungsi normal dari protein proapoptosis, BAX dan BAK. Jika terjadi mutasi pada gen BAX dan BAK dapat menyebabkan penurunan regulasi, sehingga sel kehilangan kemampuan untuk regulasi apoptosis yang dapat menimbulkan kanker. Pada leukemia sel B dan lymphoma, terdapat peningkatan kadar Bcl2 sehinga dapat meghambat sinyal apoptosis. (Candrasoma et al, 1995)2. Progresifitas HIVProgresifitas HIV terutama disebabkan oleh deplesi dari CD4+ T-helper limfosit yang dapat menurunkan system imun. Salah satu mekanisme yang dapat menyebabkan deplesi ini adalah apoptosis, yaitu melalui pathway :1) HIV enzym menyebabkan inaktif anti apoptosis Bcl-2 dan secara bersamaan mengaktifkan pro-apoptotic procaspase 8.2) Produk dari HIV dapat meningkatkan kadar protein seluler yang mempunyai efek pada Fas- mediated apoptosis.3) Protein HIV menurunkan sejumlah CD4 pada membran sel4) Pelepasan partikel virus dan protein membran terdapat pada ekstraselular fluid dapat mencetuskan apoptosis pada sel T helper yang berada didekatnya.5) HIV menurunkan pembentukan molekul yang merupakan penanda sel untuk apoptosis, sehingga memberikan waktu pada virus untuk terus bereplikasi6) Sel CD4+ yang terinfeksi juga menerima sinyal kematian dari sel T cytotoksik yang dapat menyebabkan apoptosis3. Infeksi VirusVirus dapat mencetuskan peristiwa apoptosis melalui beberapa mekanisme :a) pengikatan receptorb) aktifasi protein kinase Rc) interaksi dengan p53d) Ekpresi dari protein virus yang bergabung dengan MHC protein pada permukaan sel yang terinfeksi, menyebabkan pengenalan oleh sel pada sistem immune (Natural Killer dan sel T cytotoksik) sehingga mencetuskan terjadinya apoptosis pada sel yang terinfeksi.Pada kebanyakan virus dihubungkan dengan terjadinya kanker oleh karena virus ini mencegah sel untuk apoptosis, antara lain : Beberapa Human Papilloma Virus (HPV , dihubungkan dengan carcinoma cerviks uteri, karena virus ini menghasilkan protein E6 yang dapat berikatan dan menyebabkan inaktifasi promoter p53 untuk apoptosis Eipstein-Barr Virus (EBV), dapat menyebabkan mononukleosis dan lymphoma. Hal ini disebabkan oleh karena EBV menghasilkan protein yang mirip dengan Bcl2 dan menghasilkan protein lainnya yang dapat menyebabkan sel meningkatkan produksi Bcl2. Semua protein yang dihasilkan ini dapat mengakibatkan sel menjadi lebih resisten untuk apoptosis dan sel menjadi berproliferasi terus menerus. (Dellas et al, 1997; Mendelshon et al, 1995)

BAB IIIKANKER SERVIX

3.1 EtiologiKanker servik adalah kanker kedua yang paling umum di kalangan wanita di seluruh dunia. Karsinoma sel skuamosa serviks sering berkembang dari lesi preinvasive yang disebut neoplasia intraepitel servikal (CIN). Telah diketahui bahwa ada hubungan antara kanker serviks, CIN dan HPV infection. HPV DNA telah dideteksi dalam sel skuamosa lebih dari 95% kanker servik. Lebih dari 80 jenis HPV telah dapat diisolasi dari jaringan yang berbeda dan lebih dari 20 dari mereka berhubungan dengan kanker servik. Tipe HPV seperti HPV 16 dan HPV 18 telah diidentifikasi sebagai faktor etiologi pada 90% kanker servik. E6 dan E7 oncoproteins pada HPV tipe 16 dan tipe 18 yang memiliki potensi onkogenik tinggi menyebabkan proliferasi seluler berlebihan dan akibatnya transformasi menjadi ganas dengan berinteraksi dengan protein regulator dari host cell. (Motoyama et al, 2004; Singh et al, 2004)HPV risiko tinggi merupakan faktor etiologi kanker serviks. Pendapat ini ditunjang oleh berbagai penelitian. Penelitian yang dilakukan oleh International Agency for Research on Cancer (IARC) terhadap 1000 sampel dari 22 negara mendapatkan adanya infeksi HPV pada sejumlah 99,7% kanker serviks. Penelitian meta-analisis yang meliputi 10000 kasus didapatkan 8 tipe HPV yang banyak ditemukan, yaitu tipe 16, 18, 45, 31, 33, 52, 58 dan 35. Penelitian kasus kontrol dengan 2500 kasus karsinoma serviks dan 2500 perempuan yang tidak menderita kanker serviks sebagai kontrol, deteksi infeksi HPV pada penelitian tersebut dengan pemeriksaan PCR. Total prevalensi infeksi HPV pada penderita kanker serviks jenis karsinoma sel skuamosa adalah 94,1%. (Cheung et al, 2002; Bosch et al, 2002).3.2 Kegagalan apoptosis pada kanker servixApoptosis adalah kematian terkendali secara genetik memungkinkan penghapusan sel-sel yang telah menyelesaikan fungsi biologisnya atau telah rusak. Apoptosis dapat terjadi akibat oleh berbagai sinyal seperti UV, obat-obat kemoterapi, dan hipoksia dan serangkaian proses sintesis dari proteins. Perubahan jalur apoptosis dan regulasinya memiliki peran penting dalam perkembangan karsinogenesis. Apoptosis sel yang rusak merupakan mekanisme fisiologis antineoplastik yang mencegah perkembangan kanker karena profilerasi sel yang berlebihan menyebabkan terjadinya kanker. Harus ada keseimbangan antara proliferasi sel dan kerusakan sel untuk menjaga homeostasis. Bila keseimbangan ini terganggu, akan ada peningkatan abnormal dalam jumlah sel. Penurunan tingkat apoptosis memperpanjang waktu hidup sel abnormal. Kelainan dalam pengendalian apoptosis mungkin merupakan faktor penting baik dalam perkembangan tumor maupun ketahanan terhadap radioterapi dan kemoterapi. (Cheung et al, 2002; Singh et al, 2004) Pada sel epitel serviks yang abnormal proliferasi menjadi sangat cepat, waktu transisi dalam sel displastik menjadi lebih pendek dan kemampuan kematian sel dari sel tumor serviks hilang. Hal ini disebabkan karena ketidakseimbangan antara proliferasi dan apoptosis pada epitel serviks normal dibandingkan serviks yang mengalami proses karsinogenesis. Modulasi apoptosis dan protein regulator apoptosis pada infeksi HPV risiko tinggi dianggap memiliki peran penting dalam perkembangan kanker serviks. (Zanotti et al, 2003; Grace et al, 2003) Uraian mengenai perubahan sel tumor yang terlibat dalam regulasi apoptosis memungkinkan terjadinya perubahan dalam kematian sel terprogram selama karsinogenesis serviks. Ada perubahan dalam ekspresi protein apoptosis yang terkait dalam beberapa neoplasma serviks yang berbeda. Dengan demikian penemuan perubahan apoptosis pada sel selama infeksi HPV, dianggap sebagai faktor etiologi penting bagi perkembangan kanker serviks, Memungkinkan keduanya untuk memahami biologi kanker dan untuk meningkatkan metode baru untuk pengobatan apoptosis. Selanjutnya, menentukan indeks apoptosis akan menjadi faktor penting dalam estimasi respon terhadap pengobatan kanker servik. (Bhosle et al, 2005)Apoptosis dianggap memainkan peran penting dalam patogenesis kanker servix yang disebabkan oleh infeksi virus. Waktu replikasi DNA virus yang perlahan dan panjang sehingga sel akan mati karena apoptosis sebelum selesainya replikasi. Oleh karena itu, hampir semua virus menyandi produk gen antiapoptotis dan dengan demikian virus dapat menjaga sel yang terinfeksi DNA virus tetap hidup. Seperti HPV, telah mengembangkan beberapa mekanisme yang akan mencegah apoptosis dengan menghambat fungsi tumor suppressor gen p53 dengan mediator E6 dan E7 proteins. (Hasnain et al, 2003)Pada beberapa penelitian menunjukkan bahwa proses apoptosis menurun pada sampel yang terinfeksi oleh HPV resiko tinggi seperti HPV tipe 16 dan 18. Selain itu juga ditemukan bahwa dalam sampel serviks terinfeksi HPV tipe 16 dan 18 menunjukkan sel mengalami displasia. Hal ini menunjukkan bahwa sensitivitas berkurang untuk apoptosis mungkin merupakan faktor penting dalam proses karsinogenesis serviks akibat infeksi HPV. Beberapa penelitian menunjukkan hubungan positif antara kanker servik dan infeksi HPV dan, menunjukkan bahwa indeks penurunan apoptosis lebih tinggi pada sampel yang terinfeksi HPV tipe 16 dibandingkan dengan tipe lain. Dengan demikian, HPV mungkin memiliki peran dalam penghambatan apoptosis. Temuan ini mendukung ide bahwa indeks apoptosis lebih rendah dalam sampel dengan tipe HPV 16 dan HPV tipe 18 daripada jenis HPV lain. HPV tipe 16 dan tipe 18 memiliki efek antiapoptosis pada E6 onkogen. Perubahan protein regulator apoptosis selama infeksi HPV risiko tinggi memainkan peranan penting dalam perkembangan kanker serviks. (Nair et al, 1999)Prevalensi infeksi HPV pada penderita kanker serviks jenis adenokarsinoma dan adenoskuamosa adalah 93%. Penelitian pada NIS II/III mendapatkan infeksi HPV yang didominasi oleh tipe 16 dan 18. Progresivitas menjadi NIS II/III setelah menderita infeksi HPV berkisar 2 tahun. HPV yang merupakan faktor inisiator dari kanker serviks yang menyebabkan terjadinya gangguan sel serviks. Onkoprotein E6 dan E7 yang berasal dari HPV merupakan penyebab terjadinya degenerasi keganasan. Integrasi DNA virus dengan genom sel tubuh merupakan awal dari proses transformasi. Integrasi DNA virus dimulai pada daerah E1-E2. Integrasi menyebabkan E2 tidak berfungsi, tidak berfungsinya E2 menyebabkan rangsangan terhadap E6 dan E7 yang akan menghambat p53 dan pRb. Hambatan kedua TSG menyebabkan siklus sel tidak terkontrol, perbaikan DNA tidak terjadi, dan apoptosis tidak terjadi. E6 akan mengikat p53 sehingga Tumor suppressor gene (TSG) p53 akan kehilangan fungsinya, yaitu untuk menghentikan siklus sel pada fase G1. Sedangkan onkoprotein E7 akan mengikat TSG Rb, ikatan ini menyebabkan terlepasnya E2F, yang merupakan faktor transkripsi sehingga siklus sel berjalan tanpa kontrol. (Shin et al, 2001; Kaufman et al, 2000)Penghentian siklus sel pada fase G1 oleh p53 bertujuan memberi kesempatan kepada sel untuk memperbaiki kerusakan yang timbul. Setelah perbaikan selesai maka sel akan masuk ke fase S. p53 menghentikan siklus sel dengan cara menghambat kompleks cdk-cyclin yang berfungsi merangsang siklus sel untuk memasuki fase selanjutnya. Jika penghentian sel pada fase G1 tidak terjadi, dan perbaikan tidak terjadi, maka sel akan terus masuk ke fase S tanpa ada perbaikan. Sel yang abnormal ini akan terus membelah dan berkembang tanpa kontrol. Selain itu p53 juga berfungsi sebagai perangsang apoptosis, yaitu proses kematian sel yang dimulai dari kehancuran gen intrasel. Apoptosis merupakan upaya fisiologis tubuh untuk mematikan sel yang tidak dapat diperbaiki. Hilangnya fungsi p53 menyebabkan proses apoptosis tidak berjalan. Beberapa penelitian yang meneliti peranan Bcl-2 mendapatkan peningkatan aktivitas imunologi Bcl-2 pada NIS III dibandingkan dengan NIS I-II dan karsinoma invasif. (De Boer et al, 2006)Penelitian lain tentang Bcl-2 juga mendapatkan penurunan aktivitas Bcl-2 pada karsinoma serviks. Keadaan ini menunjukan bahwa penurunan aktivitas apoptosis pada karsinoma serviks disebabkan peningkatan aktivitas dari antiapoptosis. Peningkatan Bcl-2 bukan berarti terjadi penurunan aktivitas apoptosis, karena mekanisme apoptosis dikontrol oleh banyak gen. Tetapi indeks apoptosis pada karsinoma sel skuamosa, pada penelitian nampaknya justru menurun, dan ini dibuktikan oleh beberapa penelitian. Pada penelitian juga dijumpai adanya penurunan beberapa keluarga Bcl-2, antara lain Bak, caspase 3 dan caspase 6. (Cheung et al, 2002)Protein E7 menghambat proses perbaikan sel melalui mekanisme yang berbeda. Pada proses regulasi siklus sel di fase Go dan G1 tumor suppressor gene pRb berikatan dengan E2F ikatan ini menyebabkan E2F menjadi tidak aktif E2F merupakan gen yang akan merangsang siklus sel melalui aktivasi proto-onkogen c-myc, dan N-myc. Protein E7 masuk ke dalam sel dan mengikat pRb yang menyebabkan E2F bebas terlepas, lalu merangsang proto-onkogen c-myc dan N-myc sehingga akan terjadi proses transkripsi atau proses siklus sel. Kekuatan ikatan protein E7 dengan pRb berbeda-beda pada beberapa tipe virus HPV, misalnya: ikatan E7 HPV 6 dan 11 kurang kuat dibandingkan dengan HPV 16 ataupun 18. (Bosch et al, 2002)Infeksi laten HPV adalah infeksi yang diketahui dengan terdapatnya DNA HPV tanpa ditemukan kelainan baik makroskopik ataupun mikroskopik, secara sitologi maupun histologi. Infeksi laten berbeda dengan infeksi subklinik infeksi yang tidak diketahui dengan pemeriksaan klinik, tetapi dibuktikan dengan sitologi ataupun histologik. DNA HPV memegang peranan penting timbulnya rekurensi pascaterapi lesi prakanker. Terapi destruksi baik dengan krioterapi maupun kauterisasi elektrik atau laser mampu memperbaiki kelainan sel yang terjadi, tetapi seringkali tetap meninggalkan DNA HPV. Keberadaan DNA HPV atau HPV persisten menyebabkan timbulnya rekurensi pascaterapi. (Pirog et al, 2000)

BAB IVRINGKASAN

Keseimbangan antara pertahanan hidup sel dan kematian sel dibawah kontrol genetik yang ketat. Banyaknya sinyal dari mediator ekstraseluer dan intra seluler yang terlibat telah mempertahankan keseimbangan tersebut. Ketika sel terpapar oleh jejas fisik, biokimia, zat tertentu ataupun biologis, sel akan mengaktivasi serial gen yang berhubungan dengan respon terhadap stress. Apabila stress minimal, maka sel akan bisa memperbaiki dirinya dan kembali ke keadaan normal. Namun apabila stress yang diterima cukup besar, maka sel akan mengalami kematian atau apoptosis dan didaur ulang oleh sel-sel di sekitarnya. Apabila stress yang diterima sangat besar, maka banyak sel yang mengalami nekrosis disertai dengan adanya respon inflamasi. Disregulasi dari mekanisme yang mengkontrol kondisi tersebut akan menghasilkan suatu penyakit. Defisiensi apoptosis berhubungan dengan kejadian kanker, penyakit autoimun dan infeksi viral. Apoptosis yang berlebihan berhubungan dengan penyakit jantung iskemik, stroke, penyakit neurodegenerative, sepsis dan sindroma disfungsi organ multiple (MODS).

DAFTAR PUSTAKA

Arends MJ, Wyllie AH, 1991. Apoptosis: mechanisms and roles in pathology. International Reviews of Experimental Pathology; 32: 223Badan Registrasi Kanker, 1998. Badan Registrasi Kanker. Jakarta: Ikatan Ahli Patologi Indonesia Departemen Kesehatan Republik Indonesia.Bhosle SM, Huilgol NG, Mishra KP, 2005. Apoptotic index as predictive marker for radiosensitivity of cervical carcinoma: Evalution of membrane fluidity, biochemical parameters and apoptosis after the first dose of fractioned radiotherapy to patient; 29:369-75.Bosch FX, Lorinez A, Munoz N, Meijer CJLM, Shah KV. 2002. The causal relation between papillomavirus and cervical cancer. J Clin Pathol; 55:244-65.Chandrasoma P,Taylor CR. 1995. Cell Degeneration & Necrosis. In: Concise Pathology. 3rd .McGraw-Hil: 4-5Cheung TH, Chung TK, Lo KW, et al. 2002. Apoptosis-related proteins in cervical intraepithelial neoplasia and squamous cell carcinoma of the cervix. Gynecol Onco; 86:14-8.Cotran RS, et al. 1999. Robbins patologic basis of disease. 6th ed. WB Saunders Company. Tokyo-London-Sydney; 18-25 De Boer MA, Vet JNI, Aziz MF, Cornain S, Purwoto G, van den Akker BEWM, et al. 2006. Human papillomavirus type 18 and other risk factors for cervical cancer in Jakarta, Indonesia. Int J Gynecol Cancer;16:1809-14.Dellas, A. 1997. Investigation of the bell and c-myc expression in relationship to the Ki labelling index in cervical intra epithelial neoplasia. Interna Journal of Gynecology Pathology 16 (3): 212-218.DeVita V, Rosenberg S. 2005. Cancer Principal & Practice of Oncology , Book 1 , 7th Ed. Lippincott Williams and Wilkins: 95 102Damico AV, McKenna WG.1994. Apoptosis and re-investigation of the biologic basis of cancer therapy, radiotherapy and oncology; 33: 3-10

Grace VMB, Shalini JV, Lekha TTS, Devaraj SN, Devaraj H. 2003. Co-overexpression of p53 and bcl-2 proteins in HPV-induced squamous cell carcinoma of the uterine cervix. Gyn Onc; 91:51-8.Hasnain S, Begum R, Ramaiah KVA, et al. 2003. Host-pathogen interactions during apoptosis. J Biosci; 28:349-58. Kaufman RH, Adam E, Vonka V. 2000. Human Papillomavirus infection and cervical carcinoma. Clin Obstet and Gynecol; 43:363-80.Kumar V, Abbas AK, Fausto N. 2005. Neoplasia. In: Robbins and Cotran Pathology Basis of Disease. 7th Ed, Philadelphia. Elsevier Saunders: 1041- 1042MacLellan WR, Schneider MD. 1997. Death by design programmed cell death in cardiovascular biology and disease. Circulation Research; 81: 13744.Mendelshon, J., P. Howley, M. Israel, Liottal. 1995. The Molecular Basis of the Cancer. Philadelphia: WB Saunders Co.Munoz N, Castellsague X, de Gonzalez AB, Gissmann L. 2006. HPV in the etiology of human cancer. Vaccine; 24:1-10.Nair P, Nair MK, Jayaprakash PG, Pillai MR. 1999. Decreased programmed cell death in the uterine cervix associated with high risk human papillomavirus infection. Pathol Oncol Res; 5:95-103.Pirog EC, Kleter B, Olgac S, Bobkiewicz P, Lindeman J, Quint WGV, et al. 2000. Prevalence of Human Papillomavirus DNA in Different Histological Subtypes of Cervical Adeno-carcinoma. Am J Patho; 157(4):1055-62.Pusztai, L., C.E. Lewis, and E. Yap. 1996. Cell Proliferation in Cancer-Regulation Mechanisms of Neoplastic Cell Growth. Oxford: Oxford University Press.Savitz SI, Daniel BA, Rosenbaum MD. 1998. Apoptosis in neurological disease. Neurosurgery; 42: 555.Shin B, Dubeau L. 2001. Cell cycle abnormalities in squamous cell carcinoma of the cervix. CME Journal of Gynecologic Oncology; 6:167:72.Rudin CM, Thompson CB. 1997. Apoptosis and disease:regulation and clinical relevance of programmed cell death. Annual Review of Medicine; 48: 267.Singh A, Sharma H, Salhan S, et al. 2004. Evaluation of expression apoptosis-related proteins and their correlation with HPV, telomerase activity, and apoptotic index in cervical cancer. Pathobiolgy; 71:314-22. Zanotti S, Fisseler-Eckhoff A, Mannherz HG. 2003. Changes in the topological expression of markers of differentiation and apoptosis in defined stages of human cervical dysplasia and carcinoma. Gynecol Oncol; 89:376-84.