raymond rheza tht referat sinusitis jamur
DESCRIPTION
fk untarTRANSCRIPT
SINUSITIS JAMUR
BAB I
PENDAHULUAN
Sinus paranasalis merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit dideskripsikan karena
bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Sinus terletak di bagian depan pada wajah yaitu dahi,
diantara mata dan pada tulang pipi.
Sinusitis jamur didefinisikan sebagai suatu spektrum dari kondisi patologik yang berkaitan
dengan inflamasi sinus paranasal akibat adanya jamur. Infeksi sinus oleh jamur jarang terdiagnosis
karena sering luput dari perhatian. Penyakit ini mempunyai gejala yang mirip dengan sinusitis kronik
yang disebabkan oleh bakteri, adakalanya gejala yang timbul non-spesifik, bahkan tanpa gejala,
sehingga perlu mendapat perhatian apabila didapati sinusitis yang tidak mengalami perbaikan setelah
mendapat pengobatan antibiotika. Jamur adalah organisme seperti tumbuhan yang tidak mempunyai
klorofil yang cukup. Jamur mengabsorpsi makanan dari organisme yang masih hidup. Inilah yang
disebut infeksi jamur.
Jamur termasuk organ saprofitik yang dapat berubah menjadi patogen bila kondisi tidak
normal misalnya karena ada obstruksi muara sinus dan gangguan ventilasi.
Sinusitis adalah radang mukosa sinus paranasal. Sesuai anatomi sinus yang terkena, dapat
dibagi menjadi sinusitis maksila, sinusitis etmoid, sinusitis frontal, dan sinusitis sfenoid. Yang paling
sering ditemukan ialah sinusitis maksila dan sinusitis etmoid.
Bila sistem imun tubuh menurun, jamur memiliki kesempatan untuk masuk dan berkembang
dalam tubuh. Oleh karena organisme ini tidak membutuhkan cahaya untuk memproduksi
makanannya, maka jamur dapat hidup di lingkungan yang lembab dan gelap. Sinus yang merupakan
rongga yang lembab dan gelap adalah tempat alami dimana jamur dapat ditemukan . hal inilah yang
menyebabkan timbulnya sinusitis jamur. Jamur yang paling banyak menyebabkan penyakit pada
manusia adalah dari Aspergillus sp dan Mucor sp.
BAB II
PEMBAHASAN
Anatomi dan fisiologi sinus paranasalis
Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung dan
perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sefenoid dan sinus frontal. Sinus
etmoid dan maksila sudah ada sejak lahir, sedangkan sinus frontalis berkembang dari sinus etmoid
anterior pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia 8-
10 tahun dan berasal dari bagian postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai
besar maksimal pada usia antara 15-18 tahun.
Sinus-sinus ini membentuk rongga di dalam beberapa tulang wajah dan diberi nama sesuai:
sinus maksilaris, sfenoidalis, frontalis dan etmoidalis. Seluruh sinus dilapisi oleh epitel saluran
pernapasan yang mengalami modifikasi dan mampu menghasilkan mukus dan bersilia, sekret
disalurkan ke dalam rongga hidung. Pada orang sehat, rongga terutama berisi udara.
Gambar Sinus Paranasal
Pembagian sinus paranasalis antara lain:
a. Sinus Maksila
Sinus maksila merupakan sinus paranasal terbesar. Sinus maksila bervolume 15 mL saat
dewasa. Sinus maksila berbentuk segitiga.dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os
maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksila,
dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya ialah dasar orbita dan
dinding inferiornya ialah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah
superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semi lunaris melalui infundibulum etmoid.
Suplai darah terbanyak melalui cabang dari arteri maksilari. Inervasi mukosa sinus melalui
cabang dari nervus maksilari.
b. Sinus Frontal
Ukuran sinus frontal adalah 2,8 cm tingginya, lebarnya 2,4 cm dan dalamnya 2 cm. Sinus
frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang
yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah
menjalar ke daerah ini. Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resessus
frontal. Resessus frontal adalah bagian dari sinus etmoid anterior. Suplai darah diperoleh dari
arteri supraorbital dan arteri supratrochlear yang berasal dari arteri oftalmika yang merupakan
salah satu cabang dari arteri carotis internal. Inervasi mukosa disuplai oleh cabang supraorbital
dan supratrochlear cabang dari nervus frontalisyang berasal dari nervus trigeminus.
c. Sinus etmoid
Pada orang dewasa sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di bagian posterior.
Ukurannya dari anterior ke posterior 4,5 cm, tinggi 2,4 cm dan lebarnya 0,5 cm di bagian anterior
dan 1,5 cm di bagian posterior. Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang
menyerupai sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di
antara konka media dan dinding medial orbita. Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi
sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara
di meatus superior. Sel-sel sinus etmoid anterior biasanya kecil-kecil dan banyak, letaknya
dibawah perlekatan konka media, sedangkan sel-sel sinus etmoid posterior biasanya lebih besar
dan lebih sedikit jumlahnya dan terletak di postero-superior dari perlekatan konka media. Di
bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut resessus frontal, yang
berhubungan dengan sinus frontal. Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan
dengan lamina kribosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papiracea yang sangat tipis dan
membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid posterior berbatasan
dengan sinus sfenoid. Suplai darah berasal dari cabang nasal dari sphenopalatina arteri. Inervasi
mukosa berasal dari divisi oftalmika dan maksilari nervus trigeminus.
d. Sinus Sfenoid
Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior. Sinus sfenoid
dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya adalah 2 cm tingginya,
dalamnya 2,3 cm dan lebarnya 1,7 cm. Volumenya bervariasi dari 5-7,5 ml. Batas-batasnya ialah,
sebelah superior terdapat fosa serebrimedia dan kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya atap
nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan a. Karotis interna dan
disebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons. Suplai darah
berasal dari arteri karotis interna dan eksterna. Inervasi mukosa berasal dari nervus trigeminus.
Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain:
1. Sebagai pengatur kondisi udara
Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur kelembaban udara
inspirasi. Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume sinus
pada tiap kali bernafas, sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk pertukaran udara total dalam
sinus.
2. Sebagai penahan suhu
Sinus paranasal berfungsi sebagai (buffer) panas, melindungi orbita dan fosa serebri dari suhu
rongga hidung yang berubah-ubah.
3. Membantu keseimbangan kepala
Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka. Akan tetapi,
bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan memberikan pertambahan berat
sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori ini tidak dianggap bermakna.
4. Membantu resonansi udara
Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi udara dan mempengaruhi kualitas
udara. Akan tetapi ada yang berpendapat , posisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan
sinus berfungsi sebagai resonansi yang efektif
5. Sebagai peredam perubahan tekanan udara
Fungsi ini akan berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak, misalnya pada
waktu bersin dan beringus.
6. Membantu produksi mukus
Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil dibandingkan dengan
mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang turut masuk
dalam udara.
Epidemiologi
Angka kejadian meningkat dengan meningkatnya penggunaan antibiotik, kortikosteroid,
imunosupresan dan radioterapi. Kondisi predisposisi pada pasien dengan diabetes melitus,
neutropenia, penderita AIDS dan pasien yang lama dirawat di rumah sakit. Jenis jamur yang paling
sering menyebabkan sinusitis jamur adalah Aspergillus dan Candida.
Etiologi
Pada sinusitis jamur noninvasif ada dua bentuk yaitu allergic fungal sinusitis dan sinus
mycetoma/fungal ball. Kebanyakan penyebabnya adalah Curvularia lunata, Aspergillus Fumigatus,
Bipolaris dan Drechslera. Aspergillus fumigatus dan jamur dermatiaceous kebanyakn menyebabkan
sinus myectoma.
Pada sinusitis jamur invasif termasuk tipe akut fulminan, dimana mempunyai angka
mortalitas yang tinggi apabila tidak dikenali dengan cepat dan ditangani secara agresif dan tipe kronik
dan granulomatosa. Aspergillus Fumigatus satu-satunya jamur yang dihubungkan dengan sinusitis
jamur invasif kronik. Aspergillus flavus khusus dihubungkan dengan sinusitis jamur invasif
granulomatosa.
Patofisiologi
Sindrom invasif dan noninvasif pada sinusitis jamur mempunyai gejala-gejala khas yang
jelas. Keduanya dapat tejadi pada pasien dengan immunocompetent atau immunocompromised, dapat
secara akut atau kronik dan dapat menyebar ke orbita, struktur-struktur mata dan ke otak. Purulen,
pucat, sering berbau busuk ada pada sinus-sinus yang terkena.
Patofisiologi allergic fungal sinusitis diperkirakan sama dengan allergic bronchopulmonary
fungal disease. Pertama, host yang atopik terpapar jamur, secara teori masuk melalui saluran napas
yang normal dan berkoloni di kavitas sinus, yang mana mengandung inisial stimulus antigen. Respon
terhadap inisial inflamasi terjadi sebagai akibat dari reaksi Gell and Coombs tipe I (IgE mediated) dan
tipe III (immune complex-mediated), menyebabkan edema jaringan. Hal ini menyebabkan obstruksi
ostium sinus. Apabila siklus terjadi terus menerus akan menghasilkan produk, alergi mucin, yang
mengisi sinus. Akumulasi debris ini mengobstruksi sinus dan memperberat proses.
Sinus myectoma biasanya unilateral dan melibatkan sinus maksilaris. Pasien dengan sinus
myectoma adalah pasien dengan immunocompetent.
Acute invasive sinusitis terjadi dari penyebaran cepat jamur melalui invasi vaskular ke orbita
dan sistem saraf pusat. Ini lebih sering terjadi pada pasien dengan diabetes dan pasien dengan
immunocompromised dan dilaporkan juga pada orang-orang dengan immunocompetent.
Chronic invasive sinusitis adalah infeksi jamur yang progresif lambat dengan proses invasif
yang rendah dan biasanya terjadi pada pasien dengan diabetes.
Klasifikasi sinusitis jamur
1. Mikosis Sinus Superfisial
Mikosis sinus superfisial adalah merupakan suatu keadaan inflamasi mukosa sinus paranasal
yang disebabkan infeksi jamur ekstramukosal. Infeksi jamur tipe ini tidak akan menjadi
infeksi yang berat, tetapi potensial menjadi penyebab sinusitis kronis.
2. Myectoma fungal sinusitis atau fungal ball
Dimana terdapat gumpalan-gumpalan spora yang disebut fungalk ball, di dalam kavitas sinus,
frekuensi terbanyak pada sinus maksilaris. Organisme yang paling sering terlibat adalah
famili Aspergillus. Pasien dengan kondisi ini biasanya mempunyai riwayat infeksi sinus yang
rekuren, gejalanya biasanya hampir mirip dengan sinusitis bakteri.
3. Allergic fungal sinusitis
Merupakan suatu reaksi alergi yang terjadi akibat respons pada lingkungan di sekitar jamur
yang tersebar ke udara. Jamur yang terlibat paling banyak famili Dematiceous termasuk
Bipolaris, Curvularis dan Alternaria dimana biasa terdapat di lingkungan. Seperti pada fungal
ball, gejalanya bisa sama dengan sinusitis bakteri. Polip nasal dan sekret yang kental biasanya
didaptkan pada pemeriksaan nasal.
4. Chronic Invasive Sinusitis
Sinusitis invasif akut dan kronik adalah tipe paling serius dari sinusitis jamur. Sinusitis jamur
invasif kronik perkembangannya lebih lambatdan tumbuh ke dalam jaringan sinus dan tulang.
Secara mikroskopik, ditandai dengan infiltrat inflamatori granulomatosa. Jamur yang paling
sering adalah famili Rhizopus, Mucor dan Aspergillus.
5. Acute Invasive Sinusitis
Sinusitis jamur invasif akut proses perkembangannya cepat dan tumbuh ke dalam jaringan
sinus dan tulang. Sinustis jamur tipe ini ditemukan pada pasien dengan immunocompromised.
6. Granulomatous Invasive Fungal Sinusitis
Psien penderita sinusitis jamur invasif granulomatous datang dengan gejala sinusitis kronik
yang berhubungan dengan proptosis. Penyakit ini mulai sering dilaporkan terjadi pada
individu imunokompeten dari Afrika Utara. Penyakit granulomatosa sinusitis jamur invasif
ini pada umumnya dikaitkan dengan proptosis.
Diagnosis
Anamnesis dan Gejala Klinis
Sinusitis jamur dapat terjadi pada pasien dengan sinusitis kronik, yang memiliki faktor
predisposisi seperti neutropenia, AIDS, penggunaan jangka panjang kortikosteroid atau antibiotik
spektrum luas, diabetes yang tidak terkontrol, atau imun yang rendah. Perlu diwaspadai adanya
sinusitis jamur pada kasus berikut: sinusitis unilateral, yang sukar disembuhkan dengan terapi
antibiotik. Adanya gambaran kerusakan tulang dinding sinus atau bila ada membran berwarna putih
keabu-abuan pada irigasi antrum.
Mikosis Sinus Superfisial
Tidak ada le;uhan yang khas pada penderita. Penderita hanya melaporkan adanya tercium bau
tidak enak pada hidung yang disertai krusta atau debris. Bentuk sinusitis jamur ini paling khas
diidentifikasi pada saat nasoendoskopi, tampak materi jamur yang tumbuh pada krusta hidung. Pada
pemeriksaan dengan menggunakan endoskopi tampak pada bagian dibawah krusta memperlihatkan
mukosa yang eritem, edema dan disertai adanya pus. Pemeriksaan kultur pada krusta tersebut
menunjukkan adanya pertumbuhan bakteri dan jamur.
Mycetoma fungal sinusitis atau fungal ball
Merupakan bentuk non-invasif, jamur tidak masuk ke dalam jaringan tetapi membentuk
gumpalan jamur di dalam lumen sinus. Tipe ini tidak membuat kerusakan mukosa dan tulang. Sering
hanya unilateral dan kebanyakan mengenai sinus maksilaris. Gambaran klinisnya menyerupai sinusitis
kronis yaitu sekret yang purulen, obstruksi hidung, sakit kepala satu sisi, nyeri wajah, adanya post
nasal drip dan nafas yang berbau, kadang-kadang dapat terlihat massa jamur bercampur sekret di
dalam kavum nasi. Pada operasi mungkin ditemukan massa yang berwarna coklat kehitaman kotor
bercampur sekret purulen di dalam rongga sinus.
Gambar CT Scan Mycetoma fungal sinusitis
Allergic fungal sinusitis
Sering mengenai penderita atopi dewasa muda dengan polip hidung atau asma bronkial.
Secara klinis gejalanya mirip dengan sinusitis kronis berulang atau persisten, lebih sering bilateral
dengan keluhan hidung tersumbat dan sering ditemukan adanya polip.
Bent dan Kuhn membuat kriteria diagnosis untuk sinusitis alergi jamur, yaitu:
- Tes atau riwayat atopik terhadap jamur positif
- Obstruksi hidung akibat edema mukosa atau polip
- Gambaran CT Scan menunjukkan material yang hiperdens dalam rongga sinus dan erosi
dinding sinus
- Eosinofil positif
- IgE total meningkat
- Konfirmasi histopatologi dengan terlihatnya musin alregik dengan hifa-hifa jamur (kultur
jamur bisa positif atau negatif)
Gambar CT Scan Allergic Fungal Sinusitis
Invasive Fungal Sinusitis
Bersifat kronis progresif, dapat mengadakan invasi ke rongga orbita dan intrakranial.
Gambaran kliniknya menyerupai penyakit granuloma hidung. Penderita biasanya mengeluh hidung
tersumbat disertai gejala - gejala sinustis kronis yang lain. Mungkin terdapat granuloma dalam hidung
dan sinus serta nekrosis jaringan, yang sering menyebabkan ulkus pada septum. Granuloma dapat
meluas ke struktur di sekitarnya. Sehingga menimbulkan keluhan gangguan neurologik atau
oftalmopegia yang mirip dengan gejala tumor ganas.
Gambar CT Scan Chronic Invasive Fungal Sinusitis
Granulomatous Invasive Fungal Sinusitis
Pada pemeriksaan histopatologis ditemukannya granuloma dengan sel raksasa multinuklear
dengan disertai nekrosis akibat tekanan dan erosi yang ditemukan dalam granulomatosa sinusitis
jamur invasif.
Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
Terdapat peningkatan konsentrasi total jamur spesifik IgE pada pasien dengan allergic fungal
sinusitis. Sedangkan pada sinus mycetoma jarang terjadi. Biasanya >1000 U/ml (normal <50
U/ml). Pasien dengan allergi fungal sinusitis pada umumnya menunjukkan reaksi positif skin
tes terhadap antigen jamur maupun non jamur.
2. Pemeriksaan radiologik
Foto polos walaupun menyediakan beberapa informasi, tidak cukup detail. Pada CT
Scan sinusitis jamur invasif akut ditemukan gambaran mukosa yang tebal atau opaksifikasi
sempurna dari sinus paranasalis yang terlibat. Tampak destruksi tulang sinus yang agresif
tanpa perluasan.
Pada CT scan sinusitis jamur invasif kronik ditemukan hiperdens pada satu atau lebih
sinus paranasalis. Tampak gambaran massa yang dicurigai seperti keganasan. Tampak erosi
pada sinus-sinus yang terlibat dan adanya perluasan ke sekitarnya, seperti ke orbita, fossa
kranial anterior dan jaringan lunak maxillofacial.
Pada sinus mycetoma dapat terlihat adanya massa jaringan lunak pada lumen sinus
biasanya terbatas pada satu sinus dan biasanya pada sinus maksilaris, yang radioopak dengan
gambaran busa sabun. Gambaran radioopak ini disebabkan oleh penumpikan kalium fosfat
pada bola-bola jamur. Pada CT Scan nonkontras tampak gambaran hiperdens dan hipointens
pada MRI.
Pada sinusitis alergi jamur biasanya terjadi pada multipel sinus, biasanya unilatteral.
Pada CT Scan ditemukan gambaran mucin alergi yang hiperdens dalam lumen sinus
paranasalis. Kadang-kadang ditemukan gambaran dinding sinus yang mengalami erosi.
Sedangkan pada MRI biasanya ditemukan gambaran hiperintens.
3. Pemeriksaan Histopatologik
Diagnosis yang paling sederhana dan cepat adalah pemeriksaan jamur dengan
menggunakan larutan KOH. Ada pewarnaan khusus seperti PAS (Periodic Acid Schiff) atau
MSS (Methamine Silver Strain) yang lebih baik untuk pemeriksaan sinusitis jamur terutama
untuk kasus sinusitis alergi jamur.
Pada tipe invasif ditemukan invasi hifa ke dalam jaringan, inflamasi granuloma tanpa
perkejuan dengan sel datia berinti banyak, tidak tampak invasi vaskuler dan mungkin ada
nekrosis jaringan lunak atau tulang.
Pada misetoma ditemukan kumpulan hifa jamur dengan reaksi jaringan yang
minimal. Hifa dapat dilihat pada pewarnaan HE (Hematoksilin-Eosin)
Tanda khas sinusitis alergi jamur adalah polip nasi dan musin alergi. Pada
pemeriksaan histopatologi musin mengandung eosinofil, kristal Charcot-Leyden dan hifa
jamur.
Kultur jamur tidak dapat dijadikan penentu diagnosis karena mungkin ada
kontaminasi dari udara saat pengambilan atau pengiriman, sedangkan masih mungkin hasil
kultur negatif pada kasus yang memang disebabkan oleh jamur.
Penatalaksanaan
Terapi utama pada seluruh jenis sinusitis jamur adalah operasi. Pemberian medikal terapi
tergantung pada tipe infeksi dan ada tidaknya invasi.
1. Mikosis Sinus Superfisial
Terapi meliputi pembersihan daerah yang terinfeksi dan meminimalkan penggunaan
antihistamin dan steroid topikal. Perlu dilakukan pemberian antibiotika untuk bakteri yang
mendasari infeksi jamur, hidung dilembabkan dengan irigasi dan perlu diberikan mukolitik.
Anti jamur sistemik tidak digunakan secara khusus pada kondisi ini. Pada kondisi yang
berbeda apabila infeksi jmaur disebabkan oleh Candida Sp, maka perlu pertimbangan untuk
memberikan anti jamur sistemik atau topikal.
2. Allergic Fungal Sinusitis
Terapi utamanya adalah operasi. Tujuan dari operasi adalah melakukan debridement
konservatif terhadap mucin alergi dan polip (jika ada) serta mengembalikan aerasi sinus.
Steroid sistemik dapat diberikan saat akan dioperasi dan diagnosis telah jelas. Beberapa
peneliti menganjurkan prednison dosis rendah (0,5mg/kg) denagn dosis tapering selama
periode 3 bulan. Steroid nasal topikal sangat membantu setelah operasi. Selain itu juga
direkomendasikan untuk mencuci hidung dengan air garam. Terapi imun masih kontroversial,
namun beberapa laporan menunjukkan adanya manfaat pada terapi ini. Anti jamur sistemik
tidak dianjurkan bila tidak ada invasi.
3. Mycetoma Fungal Sinusitis
Terapi yang direkomendasikan adalah operasi. Apabila fungus ball sudah dikeluarkan
maka tidak diperlukan terapi medikal, kecuali pada kondisi tertentu. Pemberian anti fungal
juga tidak diperlukan.
4. Acute Invasive Fungal Sinusitis
Pada kondisi ini perlu segera dilakukan operasi. Lakukan debridement radikal pada
jaringan yang nekrotik sampai didapatkan jaringan yang normal. Dimulai dengan pemberian
terapi antijamur sistemik setelah operasi debridement. Dianjurkan amphotericin B dosis tinggi
(1-1,5 mg/kg/hari). Itraconazole oral (400 mg/hari) dapat menggantikan amphotericin B
setelah masa akut lewat.
5. Chronic Invasive Fungal Sinusitis
Kondisi ini kurang agresif bila dibandingkan dengan tipe akut. Operasi debridemnet
masih diperlukan. Dimulai terapi medikal dengan pemberian antijamur sistemik setelah
didiagnosis invasi. Dianjurkan Amphotericin B (2 gr/hari); dapat diganti dengan ketokonazol
dan itrakonazol bila sudah terkontrol.
Terapi dengan amphotericin B dianjurkan pada pasien dengan destruksi tulang,
penurunan cairan serebrospinal atau gangguan pada mata yang tidak dapat dieksisi. Sebagai
tambahan pada debridement post operasi, terapi antifungal penting pada semua kasus sinusitis
invasi pada pasien dengan penurunan imunitas tubuh. Yang sering digunakan ialah
amphotericin B. Tidak ada batasan yang jelas mengenai dosis dan lama pemakaian obat ini.
Pengguaan yang biasa dipakai adalah 2 gram perhari selama 6 samoai 2 bulan. Terapi
amphotericin B dengan fluorocitocyn B dilaporkan berhasil untuk kasus aspergillosis. Tapi
amphotericn B memiliki efek samping yang signifikan antara lain adalah flebitis lokal,
demam, menggigil, sakit kepala, muntah dan nefrotoksik.
6. Granulomatous Invasive Fungal Sinusitis
Debridemen bedah menjadi pilihan utama yang terbaik dalam pengobatan, diikuti
dengan pemberian pengobatan secara sistemik dengan obat antijamur. Rekurensi kekambuhan
dari penyakit ini jarang terjadi
Diagnosis Banding
Diagnosis banding sinusitis jamur adalah neoplasma benigna maupun maligna. Sinusitis
jamur invasif dengan neoplasma maligna sulit dibedakan atau tidak dapat dibedakan dari gambaran
radiologi. Tetapi dapat dibedakan dari gambaran histopatologi. Paad sinusitis jamur invasif ada tanda
yang khas yaitu adanya invasi ke jaringan mukosa.
Komplikasi
Pada alergic fungal sinusitis dapat terjadi erosi pada struktur yang di dekatnya jika tidak
diterapi. Erosi sering dapat terlihat pada pasien yang mengalami proptosis. Pada mycetoma fungal
sinusitis jika tidak diterapi dapat memperburuk gejala-gejala sinusitis yang berpotensi untuk terjadi
komplikasi ke orbita dan sistem saraf pusat. Pada acute invasive fungal sinusitis dapat menginvasi
struktur di dekatnya yang menyebabkan kerusakan jaringan dan nekrosis. Selain itu juga dapat terjadi
trombosis sinus kavernosus dan invasi ke susunan saraf pusat. Pada Chronic invasive fungal sinusitis
dapat menginvasi jaringan sekitarnya sehingga terjadi erosi ke orbita atau susunan saraf pusat.
Prognosis
Allergic fungal sinusitis
Pada kelainan ini prognosis baik jika di operasi debridement dan pengisian udara di sinus
adekuat. Pengguanaan topikal steroid jangka panjang mengontrol kekambuhan. Sistemik steroid
jangka pendek digunakan bila kekambuhan terjadi.
Sinus Mycetoma
Keadaan ini memiliki progonosis yang sangat baik jika fungus ball dapat diangkat dan
pengisian udara yang adekuat pada sinus dapat dilakukan kembali.
Acute Invasive Fungal Sinusitis
Keadaan memiliki prognosis yang kurang baik. Angka mortalitas dilaporkan 50% meskipun
dengan operasi yang agrasif dan pengobatan. Kekambuhan sering terjadi.
Chronic Invasive Fungal Sinusitis
Prognosis baik pada pasien yang menerima anti jamur sistemik dalam waktu yang lama.
Pasien yang menerima anti jamur sistemik dalam waktu singkat sering kambuh, dengan demikian
memerlukan terapi lebih lanjut.
BAB III
Kesimpulan
Sinusitis jamjur merupakan salah satu penyakit hidung yang sebelumnya jarang sekali
menjadi topik bahasan kalangan pakar medis di bidang telinga, hidung dan tenggorokan serta kepala
leher. Namun semakin hari insiden terjadinya penyakit ini semakin banyak ditemui dan dikeluhkan
oleh pasien. Hal ini membuat penyakit ini menjadi salah satu pokok bahasan menarik di kalangan
pakar medis bidang telinga, hidung, tenggorokan serta kepala, leher. Penelitian-penelitian mengenai
penyakit ini pun semakin banyak dilakukan. Dengan demikian pemahaman kita tentang berbagai hal
mengenai penyakit ini pun terus berkembang seiringnya waktu.
Adanya tingkat kesadaran yang tinggi para dokter dan juga kemajuan teknologi radiologi
yang semakin canggih sekarang ini memberi kemudahan dalam mendiagnosa penyakit ini.
Dokter harus memiliki perhatian khusus dan kecurigaan yang tinggi untuk mendiagnosa
penyakit ini karena kenampakan gejala penyakit ini samar dan tidak begitu berbeda secara umum
denganpenyakit radang mukosa hidung lainnya.
Pendekatan yang menyeluruh dan anamnesa yang terarah serta pemeriksaan fisik yang
dikombinasikan dengan computed tomography serta endoskopi hidung menjadi andalan dan sangat
membantu dalam menegakkan diagnosis sinusitis setiap jenis jamur
Seiring dengan kemajuan dalam bedah sinus endoskopi fungsional, kemampuan kita untuk
mengobati dan memberantas penyakit sinusitis jamur terus meningkat dan membaik. Berbagai
penelitian di masa depan harus mengarah pada kemajuan lebih lanjut dalam pengobatan dan bedah
sinusitis jamur.
DAFTAR PUSTAKA
1. Soetjipto D, Mangunkarso E. Sinus Paranasal. In: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala Leher. Soepardi EA, Iskandar N, editors. 5th ed. FKUI.
Jakarta; 2001: 90-92, 115-120.
2. Hilger PA. Hidung dan Sinus paranasalis. In: Boies buku ajar penyakit THT. Effendi H,
Santoso K, editors. 6th ed. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta;1997:176,241.
3. Rita Anggraini D. Anatomi dan Fungsi Sinus Paranasal. Dalam: Jurnal Kedokteran
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara. Medan; 2005. Hal 15-50.
4. Tri Andhika Nasution M. Frekuensi Penderita Rinosinusitis Maksila Kronis yang
disebabkan Infeksi Jamur. Dalam: Jurnal Kedokteran Fakultas Kedokteran Unversitas
Sumatra Utara. Medan; 2007. Hal 24-26
5. Fungal Sinusitis. (online). 2008. Available from: URL:
http//www.americanacademyofotolaryngologic.org/Fungal_sinusitis.html
6. Ramadan HH. Sinusitis, Fungal. (online). 2006 Aug 25. Available from URL:
http//www.emedicine.com/sinusitis.fungal.html
7. Triaseka. Sinusitis. (online). 2007 May 01. Available from: URL:
http//www.spunge.org/sinusitis.html
8. Citardi MJ. Brief overview of sinus and nasal anatomy. (online). 2008. Available from:
URL:http//www.american-rhinologic.org.html
9. McClay JE. Allergic Fungal Sinusitis. (online). 2006. Available from: URL:
http//www.emedicine.com/allergicfungalsinusitis.html
10. Fungal sinusitis (online). 2008. Available from: URL:
http//www.radiology.uthescsa.edu/CAR/ELTXT/FS/fungal sinusitis.html
11. Ponikau JU, Sherris DA, Kern EB, Homburger HA, Frigas E, Gaffey TA, et all. The
Diagnosis and Incidence of Allergic Fungal Sinusitis. (online). Available from: URL:
http//www.mayoclinic.com