rasionalisme, empirisme, kritisisme dan mtode ilmiah

29
Rasionalisme, Empirisme, Kritisisme, dan Metode Ilmiah MAKALAH di Mata Kuliah Filsafat Hukum Islam Diampu oleh : Prof. Dr. H. Juhaya S. Pradja Oleh: Vialdi Faizal Adha 2.211.1.4.011 0

Upload: vialdifaizaladha

Post on 29-Nov-2015

233 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Page 1: Rasionalisme, Empirisme, Kritisisme Dan Mtode Ilmiah

Rasionalisme, Empirisme, Kritisisme, dan Metode Ilmiah

MAKALAH

di Mata Kuliah Filsafat Hukum Islam

Diampu oleh : Prof. Dr. H. Juhaya S. Pradja

Oleh:

Vialdi Faizal Adha

2.211.1.4.011

PROGRAM DOKTOR HUKUM ISLAM

PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG

1434 / 2013

0

Page 2: Rasionalisme, Empirisme, Kritisisme Dan Mtode Ilmiah

Rasionalisme, Empirisme, Kritisisme, dan Metode Ilmiah

Vialdi Faizal Adha

Abstract

Human search for the true nature of the universe and its contents will

continue to roll and will not stop. This can be seen with the development of

Western philosophy who has had four periods. Of the time span over four periods

of the many inventions of thought by the philosopher who is now known as

structured and systematic philosophical structure, which essentially philosophical

structure is divided into three branches of philosophy: Theory of Knowledge,

Theory of Nature, and the Theory of Value

Keywords: Epistemology, Rationalism, Empiricism, Criticism, and the Scientific

Method

Pendahuluan

Pencarian manusia terhadap hakikat kebenaran Alam semesta dan isinya

akan terus bergulir dan tidak akan berhenti. Hal ini bisa kita lihat dengan

perkembangan Filsafat Barat yang telah memiliki empat periodisasi.1 Dari rentang

waktu selama empat periode tersebut banyak penemuan-penemuan pemikiran oleh

para filsuf yang sekarang sudah tersusun sistematis dan dikenal dengan struktur

filsafat, yang pada pokoknya struktur filsafat tersebut terbagi ke dalam tiga

cabang filsafat: Teori Pengetahuan, Teori Hakikat, dan Teori Nilai.2

Tiga cabang filsafat itu dalam teorinya melahirkan beberapa cabang baru.

Teori Pengetahuan melahirkan Epistemologi dan Logika, Teori Hakikat

melahirkan Ontologi, Kosmologi, Antropologi, Theodocia, Filsafat Agama,

Filsafat Hukum, Filsafat Pendidikan dan lain-lain. Adapun Teori Nilai melahirkan

Etika dan Estetika.3

1 Periode pertama, adalah zaman Yunani Kuno, dimana para filosof pada masa ini mempertanyakan asal usul alam semesta dan jagad raya, sehingga ciri pemikiran filsafat pada zaman ini disebut kosmosentris. Periode kedua, adalah zaman Abad Pertengahan, ciri pemikiran filsafat pada zaman ini di sebut teosentris. Para filosof pada masa ini memakai pemikiran filsafat untuk memperkuat dogma-dogma agama Kristiani. Periode ketiga, adalah zaman Abad Modern, para filosof zaman ini menjadikan manusia sebagai pusat analisis filsafat, maka corak filsafat zaman ini lazim disebut antroposentris. Periode keempat, adalah Abad Kontemporer dengan ciri pokok pemikiran logosentris, artinya teks menjadi tema sentral diskursus filsafat.

2 Juhaya S. Pradja, Aliran-Aliran Filsafat dan Etika, (Jakarta: Kencana, Cet. IV, 2010), hal. 22

3 Ibid., hal. 22-69

1

Page 3: Rasionalisme, Empirisme, Kritisisme Dan Mtode Ilmiah

Dari keseluruhan cabang filsafat tersebut, yang akan kita bahas pada

makalah ini ialah bagian epistemologi yang merupakan cabang dari teori

pengetahuan. Dimana pada cabang ini terbagi pula ke dalam empat pemikiran

filsafat pokok yaitu Rasionalisme, Empirisme, Kritisisme dan Metode Ilmiah

(Scientific Method).

A. Rasionalisme

Secara etimologis Rasionalisme berasal dari kata bahasa Inggris

rationalism4. Kata ini berakar dari kata bahasa Latin ratio yang berarti “akal”5.

A.R. Lacey6 menambahkan bahwa berdasarkan akar katanya Rasionalisme adalah

sebuah pandangan yang berpegangan bahwa akal merupakan sumber bagi

pengetahuan dan pembenaran. Sementara itu, secara terminologis aliran ini

dipandang sebagai aliran yang berpegang pada prinsip bahwa akal harus diberi

peranan utama dalam penjelasan. Ia menekankan akal budi (rasio) sebagai sumber

utama pengetahuan, mendahului atau unggul atas, dan bebas (terlepas) dari

pengamatan inderawi7. Hanya pengetahuan yang diperoleh melalui akal yang

memenuhi syarat semua pengetahuan ilmiah. Pengalaman hanya dipakai untuk

mempertegas pengetahuan yang diperoleh akal. Akal tidak memerlukan

pengalaman. Akal dapat menurunkan kebenaran dari dirinya sendiri, yaitu atas

dasar asas-asas pertama yang pasti8.

Rasionalisme tidak mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman

hanya dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Karenanya, aliran ini

yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di dalam ide, dan bukannya di

dalam barang sesuatu. Jika kebenaran bermakna sebagai mempunyai ide yang

sesuai dengan atau yang menunjuk kepada kenyataan, maka kebenaran hanya

dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal saja. 9

4 Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002), hal.. 9295 Paul Edwards (ed.), The Encyclopedia of Philosophy Volume 7, (New York, The

Macmillan Company & The Free Press, 1967), hal. 696 A.R. Lacey, A Dictionary of Philosophy, (New York: Routledge, 2000), hal. 2867 Lorens Bagus, , Kamus Filsafat… hal.9298 Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat 2, (Yogyakarta, Kanisius, 1980), hal. 189 Juhaya S. Pradja, Aliran…, hal. 91-105

2

Page 4: Rasionalisme, Empirisme, Kritisisme Dan Mtode Ilmiah

Kaum rasionalis berdalil bahwa karena pikiran dapat memahami prinsip,

maka prinsip itu harus ada, artinya prinsip harus benar dan nyata. Jika prinsip itu

tidak ada, orang tidak mungkin akan dapat menggambarkannya. Prinsip dianggap

sebagai sesuatu yang apriori, dan karenanya prinsip tidak dikembangkan dari

pengalaman, bahkan sebaliknya pengalaman hanya dapat dimengerti bila ditinjau

dari prinsip tersebut.

Dalam perkembangannya Rasionalisme diusung oleh banyak tokoh,

masing-masingnya dengan ajaran-ajaran yang khas, namun tetap dalam satu

koridor yang sama. Pada abad ke-17 terdapat beberapa tokoh kenamaan seperti

René Descartes, Gottfried Wilhelm von Leibniz, Christian Wolff dan Baruch

Spinoza. Sedangkan pada abad ke-18 nama-nama seperti Voltaire, Diderot dan

D’Alembert. Rasionalisme mempunyai kemiripan dari segi ideologi dan tujuan

dengan humanisme dan atheisme, dalam hal bahwa mereka bertujuan untuk

menyediakan sebuah wahana bagi diskursus sosial dan filsafat di luar kepercayaan

keagamaan atau takhayul.

Tokoh – tokoh Rasionalisme diantaranya;

1. Rene Descartes (1596 -1650)

2. Nicholas Malerbranche (1638 -1775)

3. B. De Spinoza (1632 -1677 M)

4. G.W.Leibniz (1946-1716)

5. Christian Wolff (1679 -1754)

6. Blaise Pascal (1623 -1662 M)

Rasionalisme Rene Descartes (1596 -1650)

Rene Descartes orang pertama di akhir abad pertengahan yang menyusun

argumentasi yang kuat dan tegas yang menyimpulkan bahwa dasar filsafat

haruslah akal, bukan perasaan, bukan iman, bukan ayat suci dan bukan yang

lainnya. Hal ini disebabkan perasaan tidak puas terhadap perkembangan filsafat

yang amat lamban dan banyak memakan korban. Ia melihat tokoh-tokoh Gereja

yang mengatasnamakan agama telah menyebabkan lambannya perkembangan itu.

Ia ingin filsafat dilepaskan dari dominasi agama Kristen, selanjutnya kembali

kepada semangat filsafat Yunani, yaitu filsafat yang berbasis pada akal.

3

Page 5: Rasionalisme, Empirisme, Kritisisme Dan Mtode Ilmiah

Rene Descartes sangat menyadari bahwa tidak mudah meyakinkan tokoh-

tokoh Gereja bahwa dasar filsafat haruslah rasio. Tokoh-tokoh Gereja waktu itu

masih berpegang teguh pada keyakinan bahwa dasar filsafat haruslah iman

sebagaimana tersirat dalam jargon credo ut intelligam yang dipopulerkan oleh

Anselmus. Untuk meyakinkan orang bahwa dasar filsafat haruslah akal, ia

menyusun argumentasinya dalam sebuah metode yang sering disebut cogito

Descartes, atau metode cogito saja. Metode tersebut dikenal juga dengan metode

keraguan Descartes (Cartesian Doubt).10

Lebih jelas uraian Descartes tentang bagaimana memperoleh hasil yang

benar dari metode yang ia canangkan dapat dijumpai dalam bagian kedua dari

karyanya Anaximenes Discourse on Methode yang menjelaskan perlunya

memperhatikan empat hal berikut ini:

1. Tidak menerima sesuatu apa pun sebagai kebenaran, kecuali bila saya melihat

bahwa hal itu sungguh-sungguh jelas dan tegas, sehingga tidak ada suatu

keraguan apa pun yang mampu merobohkannya.

2. Pecahkanlah setiap kesulitan atau masalah itu sebanyak mungkin bagian,

sehingga tidak ada suatu keraguan apa pun yang mampu merobohkannya.

3. Bimbinglah pikiran dengan teratur, dengan memulai dari hal yang sederhana

dan mudah diketahui, kemudian secara bertahap sampai pada yang paling sulit

dan kompleks.

4. Dalam proses pencarian dan penelaahan hal-hal sulit, selamanya harus dibuat

perhitungan-perhitungan yang sempurna serta pertimbangan-pertimbangan

yang menyeluruh, sehingga kita menjadi yakin bahwa tidak ada satu pun yang

terabaikan atau ketinggalan dalam penjelajahan itu.11

Atas dasar aturan-aturan itulah Descartes mengembangkan pikiran

filsafatnya. Ia meragukan segala sesuatu yang dapat diragukan. Pertama-tama ia

mulai meragukan hal-hal yang berkaitan dengan panca indera. Ia meragukan

adanya badannya sendiri. Keraguan itu dimungkinkan karena pada pengalaman

mimpi, halusinasi, ilusi dan pengalaman tentang roh halus, ada yang

sebenarnya itu tidak jelas.

10 Ahmad Tafsir, Filsafat Umum (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, Cet. VI, 1998), hal. 112-113

11 Juhaya S. Praja, Aliran….hal. 96

4

Page 6: Rasionalisme, Empirisme, Kritisisme Dan Mtode Ilmiah

Pada keempat keadaan itu seseorang dapat mengalami sesuatu seolah-olah

dalam keadaan yang sesungguhnya. Di dalam mimpi, seolah-olah seseorang

mengalami sesuatu yang sungguh-sungguh terjadi, persis seperti tidak mimpi.

Begitu pula pada pengalaman halusinasi, ilusi dan hal gaib. Tidak ada batas yang

tegas antara mimpi dan jaga. Oleh karena itu, Descartes berkata, ”Aku dapat

meragukan bahwa aku di sini sedang siap untuk pergi ke luar; ya, aku dapat

meragukan itu karena kadang-kadang aku bermimpi persis sepeti itu, padahal aku

ada di tempat tidur sedang bermimpi”. Jadi, siapa yang dapat menjamin bahwa

yang sedang kita alami sekarang adalah kejadian yang sebenarnya dan bukan

mimpi?

Pada langkah pertama ini Descartes berhasil meragukan semua benda yang

dapat diindera. Sekarang , apa yang dapat dipercaya dan yang sungguh-sungguh

ada? Menurut Descartes, dalam keempat keadaan itu (mimpi, halusinasi, ilusi dan

hal gaib), juga  dalam jaga, ada sesuatu yang selalu muncul. Ada yang selalu

muncul baik dalam jaga maupun dalam mimpi, yaitu gerak, jumlah  dan besaran

(volume). Ketiga hal tersebut adalah matematika. Untuk membuktikan ketiga hal

ini benar-benar ada, maka Descartes pun meragukannya. Ia mengatakan bahwa

matematika bisa salah. Saya sering salah menjumlah angka, salah mengukur

besaran, demikian pula pada gerak. Jadi, ilmu pasti pun masih dapat saya ragukan,

meskipun matematika lebih pasti dari benda. Kalau begitu, apa yang pasti itu dan

dapat kujadikan dasar bagi filsafatku? Aku ingin yang pasti, yang distinct. 12

Sampailah ia sekarang kepada langkah ketiga dalam metode cogito. Satu-

satunya hal yang tak dapat ia ragukan adalah eksistensi dirinya sendiri yang

sedang ragu-ragu. Mengenai satu hal ini tidak ada satu manusia pun yang dapat

menipunya termasuk setan licik dan botak sekali pun. Bahkan jika kemudian ia

disesatkan dalam berpikir bahwa dia ada, maka penyesatan itu pun bagi Descartes

merupakan bukti bahwa ada seseorang yang sedang disesatkan. Ini bukan

khayalan, melainkan kenyataan. Batu karang kepastian Descartes ini

diekspresikan dalam bahasa latin cogito ergo sum (saya berpikir, karena itu saya

ada).

12 Ahmad Tafsir, Filsafat Umum (Cet. VI; Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1998), h. 129-131.

5

Page 7: Rasionalisme, Empirisme, Kritisisme Dan Mtode Ilmiah

Dalam usaha untuk menjelaskan mengapa kebenaran yang satu (saya

berpikir, maka saya ada) adalah benar, Descartes berkesimpulan bahwa dia

merasa diyakinkan oleh kejelasan dan ketegasan dari ide tersebut. Di atas dasar ini

dia menalar bahwa semua kebenaran dapat kita kenal karena kejelasan dan

ketegasan yang timbul dalam pikiran kita:” Apa pun yang dapat digambarkan

secara jelas dan tegas adalah benar.

Dengan demikian, falsafah rasional mempercayai bahwa pengetahuan

yang dapat diandalkan bukanlah turunan dari dunia pengalaman melainkan dari

dunia pikiran. Descartes mengakui bahwa pengetahuan dapat dihasilkan oleh

indera, tetapi karena dia mengakui bahwa indera itu bisa menyesatkan seperti

dalam mimpi atau khayalan, maka dia terpaksa mengambil kesimpulan bahwa

data keinderaan tidak dapat diandalkan.13

Cogito ergo sum dianggap sebagai fase yang paling penting dalam filsafat

Descartes yang disebut sebagai kebenaran filsafat yang pertama (primum

philosophium). Aku sebagai sesuatu yang berpikir adalah suatu substansi yang

seluruh tabiat dan hakikatnya terdiri dari pikiran dan keberadaannya tidak butuh

kepada suatu tempat atau sesuatu yang bersifat bendawi.

Untuk menguatkan gagasannya, ia mengemukakan ide-ide bawaan (innate

ideas). Descartes berpendapat bahwa dalam dirinya terdapat tiga ide bawaan yang

telah ada pada dirinya sejak lahir, yaitu pemikiran, Tuhan dan keluasan. Argumen

tentang ide bawaan tersebut adalah ketika saya memahami diri saya sebagai

makhluk yang berpikir, maka harus diterima bahwa pemikiran merupakan hakikat

saya. Ketika saya mempunyai ide sempurna, maka pasti ada penyebab sempurna

bagi ide tersebut, karena akibat tidak mungkin melebihi penyebabnya. Wujud

yang sempurna itu tidak lain adalah Tuhan. Adapun alasan tentang keluasan

karena saya mengerti ada materi sebagai keluasan, sebagaimana diketahui dan

dipelajari dalam ilmu geometri.

Mengenai substansi, Descartes menyimpulkan bahwa selain dari Tuhan

ada dua substansi, yaitu jiwa yang hakikatnya adalah pemikiran dan materi yang

hakikatnya adalah keluasan. Tetapi, karena Descartes telah menyangsikan adanya

dunia di luar dirinya, maka ia kesulitan membuktikan adanya dunia luar tersebut.

13 Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam perspektif (Cet. XVI; Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003), h. 100-101.

6

Page 8: Rasionalisme, Empirisme, Kritisisme Dan Mtode Ilmiah

Bagi Descartes, satu-satunya alasan untuk menerima adanya dunia luar adalah

bahwa Tuhan akan menipu saya sekiranya Ia memberi ide keluasan. Namun tidak

mungkin Tuhan sebagai wujud yang sempurna akan menipu saya. Jadi, di luar

saya benar-benar ada dunia material.14

B. Empirisme

Empirisme secara etimologis berasal dari kata bahasa Inggris empiricism

dan experience15. kata-kata ini berakar dari kata bahasa Yunani έμπειρία

(empeiria) dan dari kata experietia16 yang berarti “berpengalaman dalam”,

“berkenalan dengan”, “terampil untuk”. Sementara menurut A.R. Lacey17

berdasarkan akar katanya Empirisme adalah aliran dalam filsafat yang

berpandangan bahwa pengetahuan secara keseluruhan atau parsial didasarkan

kepada pengalaman yang menggunakan indera. Selanjutnya secara terminologis

terdapat beberapa definisi mengenai empirisme, di antaranya: doktrin bahwa

sumber seluruh pengetahuan harus dicari dalam pengalaman, pandangan bahwa

semua ide merupakan abstraksi yang dibentuk dengan menggabungkan apa yang

dialami, pengalaman inderawi adalah satu-satunya sumber pengetahuan, dan

bukan akal18.

Menurut aliran ini adalah tidak mungkin untuk mencari pengetahuan

mutlak dan mencakup semua segi, apalagi bila di dekat kita terdapat kekuatan

yang dapat dikuasai untuk meningkatkan pengetahuan manusia, yang meskipun

bersifat lebih lambat namun lebih dapat diandalkan. Kaum empiris cukup puas

dengan mengembangkan sebuah sistem pengetahuan yang mempunyai peluang

besar untuk benar, meskipun kepastian mutlak tidak akan pernah dapat dijamin19.

Kaum empiris memegang teguh pendapat bahwa pengetahuan manusia

dapat diperoleh lewat pengalaman. Jika kita sedang berusaha untuk meyakinkan

14 Juhaya S. Praja, Aliran….hal. 98-99.15 Stanley M. Honer dan Thomas C. Hunt, Metode dalam Mencari Pengetahuan:

Rasionalisme, Empirisme dan Metode Keilmuan, dalam Jujun S. Suriasumantri (penyunting), Ilmu dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan tentang Hakekat Ilmu, Jakarta, Yayasan obor Indonesia, 2003, hal.. 99

16 Lorens Bagus, Kamus Filsafat..hal. 19717 Lacey, A Dictionary of Philosophy…, hal. 8818 Loresns Bagus, Kamus Filsafat, .., hal. 197-19819 Stanley Honer dan Hunt, Metode dalam .. hal. 102

7

Page 9: Rasionalisme, Empirisme, Kritisisme Dan Mtode Ilmiah

seorang empiris bahwa sesuatu itu ada, dia akan berkata “tunjukkan hal itu kepada

saya”. Dalam persoalan mengenai fakta maka dia harus diyakinkan oleh

pengalamannya sendiri. Jika kita mengatakan kepada dia bahwa seekor harimau di

kamar mandinya, pertama dia minta kita untuk menjelaskan bagaimana kita dapat

sampai kepada kesimpulan tersebut. Jika kemudian kita mengatakan bahwa kita

melihat harimau tersebut di dalam kamar mandi, baru kaum empiris akan mau

mendengar laporan mengenai pengalaman kita, namun dia hanya akan menerima

hal tersebut jika dia atau orang lain dapat memeriksa kebenaran yang kita ajukan,

dengan jalan melihat harimau itu dengan mata kepalanya sendiri20.

Empirisme David Hume

Usaha manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat mutlak dan

pasti telah berlangsung secara terus menerus. Namun, terdapat sebuah tradisi

epistemologis yang kuat untuk mendasarkan diri kepada pengalaman manusia

yang meninggalkan cita-cita untuk mendapatkan pengetahuan yang mutlak dan

pasti tersebut, salah satunya adalah Empirisme.

Kaum empiris berpandangan bahwa pengetahuan manusia dapat diperoleh

melalui pengalaman. Hume seperti layaknya filosof Empirisme lainnya menganut

prinsip epistemologis yang berbunyi, “nihil est intelectu quod non antea fuerit in

sensu” yang berarti, “tidak ada satu pun ada dalam pikiran yang tidak terlebih

dahulu terdapat pada data-data inderawi”.

Hume melakukan pembedaan antara kesan dan ide. Kesan merupakan

penginderaan langsung atas realitas lahiriah, sementara ide adalah ingatan atas

kesan-kesan. Menurutnya, kesan selalu muncul lebih dahulu, sementara ide

sebagai pengalaman langsung tidak dapat diragukan. Dengan kata lain, karena ide

merupakan ingatan atas kesan-kesan, maka isi pikiran manusia tergantung kepada

aktivitas inderanya. Kesan maupun ide, menurut Hume, dapat sederhana maupun

kompleks. Sebuah ide sederhana merupakan perpanjangan dari kesan sederhana.

Begitu pula ide kompleks merupakan kelanjutan dari kesan kompleks. Tapi, dari

ide kompleks dapat diturunkan menjadi ide sederhana.

20 Ibid

8

Page 10: Rasionalisme, Empirisme, Kritisisme Dan Mtode Ilmiah

Pikiran kita menurut Hume bekerja berdasarkan tiga prinsip pertautan ide.

Pertama, prinsip kemiripan yaitu mencari kemiripan antara apa yang ada di benak

kita dengan kenyataan di luar. Kedua, prinsip kedekatan yaitu kalau kita

memikirkan sebuah rumah, maka berdasarkan prinsip kedekatan kita juga berpikir

tentang adanya jendela, pintu, atap, perabot sesuai dengan gambaran rumah yang

kita dapatkan lewat pengalaman inderawi sebelumnya. Ketiga, prinsip sebab-

akibat yaitu jika kita memikirkan luka, kita pasti memikirkan rasa sakit yang

diakibatkannya. Hal-hal di atas mengisyaratkan bahwa ide apa pun selalu

berkaitan dengan kesan. Karena kesan berkaitan langsung dengan pengalaman

inderawi atas realitas maka ide pun harus sesuai dengan relitas yang ditangkap

pengalaman inderawi. Berdasarkan prinsip epistemologinya, Hume melancarkan

kritik keras terhadap asumsi epistemologi warisan filsafat Yunani kuno yang

selalu mengklaim bahwa pengetahuan kita mampu untuk menjangkau semesta

sesungguhnya. Hume mengemukakan bahwa klaim tentang semesta

sesungguhnya di balik penampakan tidak dapat dipastikan melalui pengalaman

faktual maupun prinsip non-kontradiksi.

Kritik Hume diejawantahkan dalam sikap skeptisnya terhadap hukum

sebab akibat yang diyakini oleh kaum rasionalis sebagai prinsip utama pengatur

semesta. Keniscayaan hubungan sebab akibat tidak pernah bisa diamati karena

semuanya masih bersifat kemungkinan. Tokoh-tokoh empirisme antara lain

Francis Bacon (1561-1626), ThomasHobbes (1588-1679), dan John Locke (1632-

1704).

Perbedaan Rasionalisme dan Empirisme

Perbandingan

Rasionalisme Empirisme

Sumber Pengetahuan adalah Rasio Sumber Pengetahuan adalah pengalaman

Manusia lahir dibekai dengan ide bawaan Manusia lahir as a white paper

Setiap benda memiliki substansi Setiap benda hanya memiliki relasi

Pola pikir deduktif Pola pikir induktif

Ada Kausalitas yang tetapHukum kausalitas tidak berlaku mutlak

dan universal

Pusat pengenalan bersumber dari subjek Pusat pengenalan bersumber dari objek

9

Page 11: Rasionalisme, Empirisme, Kritisisme Dan Mtode Ilmiah

C. Kritisisme

Pada abad ke-18, yang lazim disebut enlightenment age, orang harus

memilih salah satu di antara dua semangat filosofis yang berlawanan secara

paradigmatik. Kedua filsafat tersebut adalah rasionalisme dan empirisme. Kant

berkeyakinan bahwa pilihan salah satu dari keduanya adalah tidak realistis, karena

terjebak dalam kepalsuan pengetahuan. Keyakinan Kant21 berawal dari dua

problem filosofis yang diwarisinya dari dua filosof sebelumnya, Descartes dan

Hume. Kant menyebut yang pertama dengan pengetahuan a priori dan yang kedua

pengetahuan empiric atau a posteriori. Yang pertama bersumber pada sensibility

dan yang kedua bersumber pada understanding. Menurut Kant, paradigma

pengetahuan yang dipegang kedua pihak tersebut secara ekstrem adalah sama-

sama salah. Karena bagi Kant, sebenarnya sensibilitas dan pemahaman merupakan

sumber pengetahuan manusia secara integrative. Melalui yang pertama, objek-

objek diberikan kepada kita dan melalui yang kedua, objek-objek itu dipikirkan.

Upaya menyintesiskan kedua sumber pengetahuan tersebut menjadi paradigma

episteme yang baru merupakan prior research-nya Kant. Dari upaya pemaduan

ini, Kant memberikan argumentasi-argumentasi logisnya untuk membuktikan

penemuannya itu. Dan itulah pemikiran logis Kant yang kita kenal dengan nama

Kritisisme.22

Kritisisme berasal dari kata kritika  yang merupakan kata kerja dari krinein

yang atinya  memeriksa dengan teliti, menguji, membeda-membedakan. Selain itu

kritisime juga diartikan sebagai pembelajaran yang menyelidiki batasan-batsan

kemampuan rasio sebagai sumber pengetahuan manusia.

21 Immanuel Kant adalah seorang filosof besar yang muncul dalam pentas pemikiran filosofis zaman Aufklarung Jerman menjelang akhir abad ke-18. Ia lahir di Konigsberg, sebuah kota kecil di Prussia Timur, pada tanggal 22 April 1724. Kant memulai pendidikan formalnya di Collegium Fridericianum, sekolah yang berlandaskan semangat Peitisme. Di sekolah ini ia dididik dengan disiplin sekolah yang keras. Sebagai seorang anak, Kant diajar untuk menghormati pekerjaan dan kewajibannya, suatu sikap yang kelak amat dijunjung tinggi sepanjang hidupnya. Di sekolah ini pula Kant mendalami bahasa latin, bahasa yang sering dipakai oleh kalangan terpelajar dan para ilmuwan saat itu untuk mengungkapkan pemikiran mereka. Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Belukar, Cetakan keenam, 2010), hal 69.

22 Zubaedi dkk, Filsafat Barat, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), hal 46

10

Page 12: Rasionalisme, Empirisme, Kritisisme Dan Mtode Ilmiah

Epistimologi Kant

Filsafat Kant berusaha mendamaikan aliran filsafat rasionalisme dan

empirisme dengan menunjukkan unsur-unsur mana dalam pikiran manusia yang

berasal dari pengalaman dan unsur-unsur mana yang terdapat dalam akal. Kant

menyebut perdebatan itu dengan antinomy, seakan kedua belah pihak merasa

benar sendiri, sehingga tidak sempat member peluang untuk munculnya

alternative ketiga yang barangkali lebih menyejukkan dan konstruktif.

Mendapatkan inspirasi dari “Copernican Revolution”, Kant merubah

wajah filsafat secara radikal, di mana ia memberikan tempat sentral pada manusia

sebagai subjek berpikir. Maka dalam filsafatnya, Kant tidak mulai dengan

penyelidikan atas benda-benda sebagai objek, melainkan menyelidiki struktur-

struktur subjek yang memungkinkan mengetahui benda-benda sebagai objek.

Lahirnya pengetahuan karena manusia dengan akalnya aktif mengkonstruksi

gejala-gejala yang dapat ia tangkap. Kant mengatakan: Akal tidak boleh bertindak

seperti seorang mahasiswa yang cuma puas dengan mendengarkan keterangan-

keterangan yang telah dipilihkan oleh dosennya, tapi hendaknya ia bertindak

seperti hakim yang bertugas menyelidiki perkara dan memaksa para saksi untuk

menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ia sendiri telah rumuskan dan persiapkan

sebelumnya. Upaya Kant ini dikenal dengan kritisisme atau filsafat kritis, suatu

nama yang diberikannya sendiri. Kritisisme adalah filsafat yang memulai

perjalanannya dengan terlebih dulu menyelidiki kemampuan rasio dan batas-

batasnya. Langkah Kant ini dimulai dengan kritik atas rasio murni, lalu kritik atas

rasio praktis, dan terakhir atas daya pertimbangan.

A. Kritik atas Rasio Murni

 Kritisisme dapat dianggap sebagai suatu usaha raksasa untuk

mendamaikan dua kubu yang saling berseteru yakni kubu rasionalisme dan kubu

empirisme. Kubu rasionalisme yang mementingkan unsur a priori dalam

pengenalan, atau unsur-unsur yang terlepas dari pengalaman (empirisme).

Sedangkan kubu empirisme yang menekankan unsure-unsur aposteriori, atau yang

berarti unsur yang berasal dari pengalaman. Menurut kant, baik rasionalisme

11

Page 13: Rasionalisme, Empirisme, Kritisisme Dan Mtode Ilmiah

maupun empirisme kedua-duanya berat sebelah, maka dari itu kant berusaha

menjelaskan bahwa pengalaman manusia merupakan paduan antara sintesa unsur-

unsur apriori dengan unsur-unsur apesteriori. Walaupun kant sangat mengagumi

empirisme hume, akan tetapi ia menolak skeptisme yang dianut hume dengan

kesimpulannya yang mengatakan bahwa ilmu pengetahuan tidak dapat mencapai

suatu kepastian.23

Dalam kritik ini kant menunjukan tiga bidang sebagai tahapan yang harus

dilalui :

a. Tahap Indrawi

Dalam tahap ini peranan subjek lebih menonjol dari pada obyek, namun

harus ada dua bentuk murni yaitu : “ruang dan waktu” yang dapat diterapkan

dalam pengalaman. Hasil penerpan indrawi yang dikaitkan dalam bentuk

“ruang dan waktu” merupakan fenomena konkrit. Namun pengetahuan yang

diperoleh dalam bidang indrawi ini selalu berubah-ubah tergantung pada

subyek yang mengalami.

b. Tahap Akal

Dalam tahap yang ini apa yang diperoleh melalui bidang indrawi tersebut

digunakan untuk memperoleh pengetahuan yang bersifat obyektif-universal.

Dan haruslah dituangkan kedalam bidang akal.

Di sini terkandung empat bentuk kategori dan masing-masing kategori

terdiri atas tiga jenis yaitu :

Ø  Kategori kuantitas : Kategori yang terdiri atas : singular (kesatuan),

partikulir ( sebagian), dan universal (umum).

Ø  Kategori kualitas : Kategori kualitas adlah kategori yang terdiri atas :

realita (kenyataan), negasi (pengingkaran), dan limitasi (batas-batas).

Ø  Kategori relasi : Kategori yang terdiri atas : categories (tidak

bersyarat), hypotetis (sebab dan akibat), dan dis junctif (saling meniadakan).

Ø  Kategori modalias : Kategori yang terdiri dari : mungkin/tidak,

ada/tiada, dan keperluan/kebetulan.

23 Pada waktu itu, Newton sedang sukses besar dalam merumuskan ilmu pengetahuan alam yang sifatnya pasti, misal air pasti mendidih di 1000 C. maka kant berfikir bahwa kepastian bisa didapat dalam ilmu pengetahuan. Juhaya S. Praja, Aliran….hal. 116-117

12

Page 14: Rasionalisme, Empirisme, Kritisisme Dan Mtode Ilmiah

c.   Tahap Rasio.

Dalam tahap ini pengetahuan yang diperoleh dalam bidang akal (rasio) itu

baru dapat dikatakan putusan sintetik apriori, setelah dikaitkan dalam tiga

macam ide yaitu :   Allah (ide teologis),  Jiwa (ide psikologis),  Dunia (ide

kosmologis). Namun ketiga macam ide tersebut tidak mungkin dicapai oleh

akal fikir manusia, karena ketiga ide ini hanya merupakan petunjuk untuk

menciptakan kesatuan pengetahuan. 24

B. Kritik Atas Rasio Praktis

Rasio dapat menjalankan ilmu pengetahuan, sehingga rasio disebut dengan

rasio teoritis (rasio murni). Akan tetapi disamping rasio murni terdapat rasio yang

lain yang disebut dengan rasio praktis, yaitu rasio yang mengatakan apa yang

harus kita lakukan, atau dengan kata lain, rasio yang memberi perintah pada

kehendak kita. Kant menyebutkan bahwa rasio praktis dapat memberikan perintah

yang mutlak yang disebut dengan imperative kategori. Misalnya : kita meminjam

barang, maka kita harus mengembalikan.. selain itu rasio praktis juga dapat

berupa pernyataan negative berupa larangan, seperti jangan mencuri. Kant

beranggapan bahwa ada tiga hal yang harus disadari bahwa sebaik-baiknya bahwa

ketiga hal itu dibuktikan, hanya dituntut. Itulah sebabnya kant menyebutkan

ketiga postulat dari rasio praktis. Ketiga postulat yang dimaksud adalah :

Kebebasan kehendak, Immoralitas jiwa, dan Adanya Allah (tuhan).

Jadi apa yang tidak dapat ditemui pada rasio teoritis harus diandaikan atas

rsio praktis. Tetapi tentang kebebasan kehendak, immoralitas jiwa, dan adanya

allah kita semua tidak mempunyai pengetahuan teoritis. Karena menerima ketiga

postulat tersebut oleh kant dinamakan kepercayaan (glaube). Pemikiran etika ini,

menjadikan Kant dikenal sebagai pelopor lahirnya apa yang disebut dengan

“argument moral” tentang adanya Tuhan, sebenarnya, Tuhan dimaksudkan

sebagai postulat. Sama dengan pada rasio murni, dengan Tuhan, rasio praktis

‘bekerja’ melahirkan perbuatan susila.25

24 Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik, (Bandung: Rajawali press) hal.29-3025 Mohammad Muslih, Filsafal Ilmu, hal. 78

13

Page 15: Rasionalisme, Empirisme, Kritisisme Dan Mtode Ilmiah

C. Kritik Atas Daya Pertimbangan

Konsekuensi dari “kritik atas rasio murni” dan “kritik atas rasio praktis”

menimbulkan adanya dua kawasan tersendiri, yaitu kawasan keperluan mutlak di

bidang alam dan kawasan kebebasan di bidang tingkah laku manusia. Adanya dua

kawasan itu, tidak berarti bertentangan atau dalam tingkatan. Kritik atas Daya

Pertimbangan (Kritik der Urteilskraft), dimaksudkan oleh Kant, adalah mengerti

persesuaian kedua kawasan itu. Hal ini terjadi dengan menggunakan konsep

finalitas (tujuan). Finalitas bisa bersifat subjektif dan objektif. Kalau finalitas

bersifat subjektik, manusia mengarahkan objek pada diri manusia sendiri. Inilah

yang terjadi dalam pengalaman estetis (kesenian). Dengan finalitas yang bersifat

objektif dimaksudkan keselarasan satu sama lain dari benda-benda alam.26

D. Metode Ilmiah (Scientific Method)

Ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan melalui metode ilmiah.

Metode adalah suatu prosedur atau cara untuk mengetahui sesuatu dengan

langkah-langkah yang sistematis. Metode ilmiah merupakan prosedur atau

langkah-langkah sistematis dalam mendapatkan pengetahuan ilmiah atau ilmu. 27

Garis besar langkah-langkah sistematis keilmuan menurut Soetriono dan SRDm

Rita Hanafie sebagai berikut 28:

1.Mencari, merumuskan, dan mengidentifikasi masalah.

2.Menyusun kerangka pemikiran (logical construct).

3.Merumuskan hipotesis (jawaban rasional terhadap masalah).

4. Menguji hipotesis secara empirik.

5. Melakukan pembahasan.

6. Menarik kesimpulan.

Tiga langkah pertama merupakan metode penelitian, sedangkan langkah-

langkah selanjutnya bersifat teknis penelitian.Dengan demikian maka dapat

diartikan juga bahwa pelaksanaan penelitian menyangkut dua hal, yaitu hal

metode dan hal teknis penelitian.

26 Ibid27 E. Komara,.Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian, (Bandung: PT. Refika Aditama,

2011)28 Soetriono dan Rita Hanafie. Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian, (Yogyakarta:

Andi, 2007)

14

Page 16: Rasionalisme, Empirisme, Kritisisme Dan Mtode Ilmiah

Mengidentifikasi atau menyatakan masalah yang spesifik dilakukan

dengan mengajukan pertanyaan penelitian (research question), yaitu pertanyaan

yang belum dapat memberikan penjelasan (explanation) yang memuaskan

berdasarkan teori (hukum atau dalil) yang ada.

Misalnya menurut teori dalam teknik kimia dinyatakan bahwa jika suhu

semakin naik, maka kelarutan semakin naik.Hal ini bisa saja menjadi global dan

diterima dalam skala yang lebih luas.Namun kenyataannya hal ini terdapat

pengecualian untuk beberapa senyawa tertentu.

Oleh karena itu pertanyaan penelitiannya dapat diidentifikasikan pada

situasi mana atau pada kondisi mana. Dengan mengidentifikasi situasi atau

kondisi yang memungkinkan atau tidak memungkinkan secara lebih lanjut berarti

telah merumuskan masalah penelitian.

Cara yang paling sederhana untuk menemukan pertanyaan penelitian

(research question) adalah melalui data sekunder. Wujudnya berupa beberapa

kemungkinan misalnya:

a. Melihat suatu proses dari perwujudan teori.

b. Melihat linkage dari proposisi suatu teori, kemudian bermaksud

memperbaikinya.

c. Merisaukan keberlakuan suatu dalil atau model di tempat tertentu atau

pada waktu tertentu.

d. Melihat tingkat informative value dari teori yang telah ada. Kemudian

bermaksud meningkatkannya.

e. Segala sesuatu yang tidak dapat dijelaskan dengan teori yang telah ada

atau belum dapat dijelaskan secara sempurna.29

Cara berpikir ke arah memperoleh jawaban terhadap masalah yang

diidentifikasi ialah dengan penalaran deduktif. Cara penalaran deduktif ialah cara

penalaran yang berangkat dari hal yang umum kepada hal-hal yang khusus. Hal-

hal yang umum ialah teori/dalil/hukum, sedangkan hal yang bersifat khusus

(spesifik) tida lain adalah masalah yang diidentifikasi.

29 E. Komara,.Filsafat Ilmu …

15

Page 17: Rasionalisme, Empirisme, Kritisisme Dan Mtode Ilmiah

Bagian berikutnya adalah abduktif atau merumuskan hipotesis. Hipotesis

adalah kesimpulan yang diperoleh dari penyusunan kerangka pemikiran, berupa

proposisi deduksi.Merumuskan berarti membentuk proposisi yang sesuai dengan

kemungkinan-kemungkinan serta tingkat-tingkat kebenarannya.Bentuk-bentuk

proposisi menurut tingkat keeratan hubungannya (linkage) serta nilai-nilai

informasinya (informative value).

Hasil pembahasan disajikan dalam bentuk kesimpulan. Kesimpulan

penelitian adalah penemuan-penemuan dari hasil interpretasi dan pembahasan

yang disajikan dalam kalimat yang tidak menimbulkan tafsiran lain.Penemuan

dari interpretasi dan pembahasan harus merupakan jawaban terhadap pertanyaan

penelitian sebagai masalah, atau sebagai bukti dari penerimaan terhadap hipotesis

yang diajukan. Dalam hal inilah digunakan metode induktif yakni dari

pembahasan secara khusus menjadi umum sehingga aplikasinya dapat dipakai

dalam skala yang lebih luas.

C. Penutup

Rasionalisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang berpendirian bahwa

sumber pengetahuan yang mencukupi dan dapat dipercaya adalah akal.

Rasionalisme tidak mengingkari peran pengalaman, tetapi pengalaman dipandang

sebagai perangsang bagi akal atau sebagai pendukung bagi pengetahuan yang

telah ditemukan oleh akal. Akal dapat menurunkan kebenaran-kebenaran dari

dirinya sendiri melalui metode deduktif.

Empirisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang berpendapat bahwa

empiri atau pengalamanlah yang menjadi sumber pengetahuan. Akal bukanlah

sumber pengetahuan, akan tetapi akal berfungsi mengolah data-data yang

diperoleh dari pengalaman. Metode yang digunakan adalah metode induktif.

Kritisisme adalah penggabungan antara aliran filsafat sebelumnya yakni

Rasionalisme yang dipelopori oleh Rene Descartes dan empirisme yang

dipelopori oleh David Hume. Kant mempunyai tiga karya yang sangat penting

yakni kritik atas rasio murni, kritik atas rasio praktis, kritik atas pertimbangan.

Ketiga karyanya inilah yang sangat mempengaruhi pemikiran filosof sesudahnya,

yang mau tak mau menggunakan pemikiran kant. Karena pemikiran kritisisme

mengandung patokan-patokan berfikir yang rasional dan empiris.

16

Page 18: Rasionalisme, Empirisme, Kritisisme Dan Mtode Ilmiah

Metode ilmiah atau proses ilmiah (scientific method) merupakan proses

keilmuan untuk memperoleh pengetahuan secara sistematis berdasarkan bukti

fisis. Ilmuwan melakukan pengamatan serta membentuk hipotesis dalam usahanya

untuk menjelaskan fenomena alam. Prediksi yang dibuat berdasarkan hipotesis

tersebut diuji dengan melakukan eksperimen. Jika suatu hipotesis lolos uji berkali-

kali, hipotesis tersebut dapat menjadi suatu teori ilmiah.

DAFTAR PUSTAKA

A.R. Lacey. A Dictionary of Philosophy. New York. Routledge. 2000.

Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama. 2002.

Edwards Paul (ed.). The Encyclopedia of Philosophy Volume 7. New York. The

Macmillan Company & The Free Press. 1967.

Hadiwijono Harun. Sari Sejarah Filsafat 2. Yogyakarta. Kanisius. 1980.

Komara, E. Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian. Bandung. Penerbit PT.

Refika Aditama, 2011

Muslih, Muhammad. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Belukar. 2007

Praja Juhaya S. Aliran-aliran filsafat dan etika. Cet II ;Jakarta. Prenada Media

2005.

Stanley M. Honer dan Thomas C. Hunt. Metode dalam Mencari Pengetahuan:

Rasionalisme. Empirisme dan Metode Keilmuan. dalam Jujun S.

Suriasumantri (penyunting), Ilmu dalamPerspektif: Sebuah Kumpulan

Karangan tentang Hakekat Ilmu. Jakarta. Yayasan obor Indonesia. 2003.

Suriasumantri Jujun S. Ilmu dalam perspektif. Cet. XVI; Jakarta. Yayasan Obor

Indonesia. 2003.

Soetriono dan SRDm Rita Hanafie. Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian.

Yogyakarta: Andi. 2007.

Tafsir, Ahmad. Filsafat Umum. Cet. VI; Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 1998.

17