kritisisme dan kehidupan bersama
TRANSCRIPT
Kritisisme dan Kehidupan
Bersama
Apa yang menyebabkan kehidupan bersama itu ada? atau
dengan pertanyaan lain, apakah dasar dari hidup bersama?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut perlu dijawab agar kita
memiliki dasar untuk hidup bersama. Dengan memiliki
pendasaran atas hidup bersama, maka kita akan melihat hidup
bersama sebagai sesuatu yang senantiasa harus diperjuangkan
untuk menjadi lebih baik.
Jawaban secara filosofis atas pertanyaan tersebut muncul
dari seorang filsuf Yunani yang bernama Aristoteles. Aristoteles
berpendapat bahwa manusia pada hakekatnya merupakan
makhluk sosial (zoon politicon). Zoon politicon dapat diartikan
bahwa manusia tidak bisa hidup tanpa orang lain. Dengan kata
lain, di dalam hidupnya manusia selalu membutuhkan orang
lain. Inilah jawaban Aristoteles yang dapat memberikan dasar
untuk adanya hidup bersama.
Selain Aristoteles, ada juga filsuf lain yang dapat memberi
jawaban atas pertanyaan tersebut secara fenomenologis. Filsuf
tersebut bernama Martin Heidegger. Pertama-tama Heidegger
berusaha mencari jawab darimanakah manusia? Secara
fenomenologis, Heidegger menjawab bahwa adanya manusia
disebabkan karena manusia mengalami keterlemparan ke dunia.
Dalam keterlemparannya, manusia ada bersama-sama dengan
manusia yang lain. Maka, mau tak mau;suka tak suka, manusia
ada di dunia bersama-sama dengan manusia yang lain. Inilah
jawaban Heidegger yang dapat menjadi dasar filosofis adanya
kehidupan bersama.
1
Tak dapat dipungkiri bahwa adanya manusia di dunia
memiliki berbagai dimensi yang kompleks (dimensi sosial-
politik, budaya, spiritual, dsb). Maka, kehidupan bersama pun
mengait berbagai dimensi kehidupan manusia. Manusia yang
satu dengan yang lain saling berinteraksi di dalam dimensi-
dimensinya. Dimensi-dimensi yang saling terkait tersebut
membentuk pola dialektika yang dinamis. Dialektika yang
dinamis dalam arti, setiap dimensi mengalami interaksi antara
tesis-antitesis yang mengarah pada pembentukan sintesis
(perkembangan tiap dimensi ke tahap yang lebih tinggi).
Dalam pola dialektik, tesis selalu bertemu antithesis dan
kemudian menjadi sintesis. Sintesis yang dihasilkan menjadi
tesis baru dan segera akan mendapat antitesis baru. Tesis baru
dan antithesis baru tersebut keduanya melebur kembali menjadi
sebuah sintesis baru. Begitu pula seterusnya, antara tesis dan
antithesis senantiasa berjalan dengan dinamis membentuk
sintesis-sintesis baru. Proses dialektik tersebut terjadi secara
terus-menerus dalam berbagai dimensi kehidupan manusia.
Guna lebih mendaratkan teori tersebut, berikut penulis akan
memberikan contoh konkrit dari pola perkembangan dimensi-
dimensi kehidupan manusia yang terkait hidup bersama yang
terjadi secara dialektis.
Dalam sejarah terbentuknya negara Indonesia tak lepas
dari adanya pola tesis-antitesis. Penulis mengawalinya dengan
masa penjajahan. Masa penjajahan kita anggap sebagai tesis.
Bangsa Indonesia yang merasa terjajah melancarkan
pertempuran-pertempuran terhadap kaum penjajah guna
memperoleh kemerdekaannya. Dengan kata lain, bangsa
Indonesia berjuang untuk merebut kemerdekaannya dari tangan
penjajah. Di sinilah perjuangan bangsa Indonesia tersebut kita
2
anggap sebagai antithesis terhadap penjajahan. Perjuangan
bangsa Indonesia untuk memperoleh kemerdekaannya
memuncak pada proklamasi kemerdekaan negara Indonesia.
Proklamasi kemerdekaan Indonesia merupakan sintesis atas
adanya penjajahan (tesis) dan perjuangan bangsa Indonesia
(antithesis). Dalam perkembangannya, negara Indonesia pun
terus mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Dan
proses dialektika pun senantiasa terjadi. Orde Baru sebagai
tesis baru mendapat antithesis dari rakyat Indonesia yang tidak
setuju dengan sistem yang totaliter. Sintesis baru lalu muncul
dengan adanya sistem pemerintahan yang lebih demokratis.
Namun demikian, proses dialektika belum berhenti sampai di
sini. Bangsa Indonesia akan tetap mengadakan proses dialektika
untuk menuju pada cita-cita negara demokrasi yang ideal.
Proses dialektika dalam memperjuangkan kemerdekaan
tersebut tidak hanya di Indonesia. Proses dialektika untuk
memperoleh kemerdekaan juga terjadi di berbagai penjuru
dunia. Revolusi di Perancis, Perjuangan rakyat Afrika Selatan
melawan politik Apartheid, lalu perjuangan rakyat di negara-
negara Timur Tengah baru-baru ini yang melawan rezim
totaliter pemimpinnya sendiri, dsb, menunjukkan adanya proses
dialektika dalam sejarah kehidupan seluruh umat manusia.
Dengan demikian, proses dialektika merupakan proses sejarah
yang terjadi dialektis di berbagai penjuru dunia.
Proses dialektika tidak hanya terjadi dalam dimensi sosial-
politis suatu bangsa dalam memperjuangkan kemerdekaannya.
Proses dialektika pun juga terjadi dalam dimensi sejarah
pemikiran manusia (tradisi filsafat). Tradisi berfilsafat mulai
dikenal sejak masa Yunani kuno (abad 4 SM). Saat itu,
muncullah pemikir-pemikir yang berusaha memahami hakekat
3
terdalam dari realitas dengan menggunakan akal budi. Para
pemikir tersebut melahirkan karya-karya yang kemudian hari
menjadi dasar dalam pemikiran filsafat. Munculnya tradisi
berfilsafat di Yunani dapat kita anggap sebagai tesis.
Seiring berjalannya waktu (abad 4-13 M), tradisi filsafat
Yunani digunakan untuk menjelaskan ajaran iman dalam tradisi
Kristen. Di sinilah kita tempatkan unsur iman sebagai antithesis.
Pada masa itu, para tokoh Gereja berusaha memadukan antara
ajaran iman dengan filsafat. Dengan kata lain, filsafat
dipergunakan untuk menjelaskan ajaran iman Kristen. Salah
satu tokoh Gereja yang berhasil memadukan ajaran iman dan
filsafat adalah Thomas Aquinas. Ia menghasilkan karya yang
termasyur yang berjudul Summa Theologiae. Karya Thomas
Aquinas (Summa Theologiae) yang berusaha memadukan antara
ajaran iman dan filsafat merupakan sebuah contoh sintesis atas
filsafat (tesis) dan iman (antithesis).
Dalam perkembangannya, tradisi kekristenan yang begitu
mendominasi pada abad pertengahan (kita tempatkan sebagai
tesis baru) pun segera mendapat antithesis pada abad abad
modern (abad 17). Dimana para pemikir abad modern
menggugat tradisi kekristenan yang dianggap telah
membelenggu kemampuan akal budi. Pada masa ini, muncul
banyak karya yang menentang ajaran Gereja. Konflik yang
terjadi antara Gereja dan para pemikir yang memperjuangkan
kebebasan akal budi memuncak pada sebuah masa yang dikenal
dengan masa pencerahan (Aufklarung). Masa pencerahan budi
kita tempatkan sebagai sintesis antara Tradisi Gereja (sebagai
tesis) dan perjuangan para pemikir kebebasan budi (antithesis)
yang mengalami dialektika. Di sinilah kita melihat bahwa
sejarah pemikiran pun tak lepas dari adanya proses dialektika.
4
Dari contoh-contoh konkrit yang dikemukakan oleh
penulis nampak bahwa segala dimensi hidup manusia
mengalami suatu proses dialektika. Demikian halnya dengan
dimensi hidup bersama (dimensi sosial-politis). Adanya
perubahan tatanan masyarakat dari waktu ke waktu
menunjukkan adanya proses dialektika dalam hidup bersama.
Dalam hal ini penulis melihat adanya unsur penting yang harus
ada untuk suatu perubahan sosial, yaitu unsur antithesis. Tanpa
adanya antithesis niscaya tidak akan terjadi proses dialektika
dalam kehidupan bersama. Jika tidak ada dialektika maka segala
sesuatu hanya akan stagnan dan tidak terjadi suatu perubahan
dalam masyarakat. Dengan kata lain, antithesis merupakan
unsur yang harus ada untuk suatu perubahan. Dalam sejarah
kehidupan manusia, antithesis sering berupa kesadaran atas
adanya penindasan dan ketidakadilan.
Munculnya kesadaran atas penindasan dan ketidakadilan
menjadi mudah ketika penindasan dan ketidakadilan terjadi
secara kasat mata. Sebagaimana terjadi pada masa-masa
penjajahan. Jika demikian adanya, maka jelas perlu suatu
perubahan. Namun, munculnya kesadaran atas penindasan dan
ketidakadilan menjadi begitu sulit ketika penindasan dan
ketidakadilan terjadi secara tidak kasat mata. Dengan kata lain,
penindasan dan ketidakadilan terjadi secara halus dan
terselubung.
Inilah realitas yang terjadi pada zaman modern ini.
Penindasan memang tidak lagi menampakkan dirinya secara
kasat mata, melainkan secara halus dan terselubung. Inilah
yang sesungguhnya sangat berbahaya. Seringkali masyarakat
modern cenderung tidak melihat (baca: tidak sadar) akan
adanya bentuk penindasan yang terselubung tersebut.
5
Kebanyakan orang malah tenang-tenang saja, seakan-akan
hidup ini aman-aman saja dan tidak ada masalah sama sekali.
Padahal dibalik itu, terjadi penindasan-penindasan yang
sungguh sangat halus dan terselubung yang semakin
mengasingkan manusia dari dirinya.
Penindasan dan ketidakadilan dalam masyarakat modern
muncul dalam bentuk hegemoni dan ideologi yang
‘meninabobokkan’ masyarakat. Usaha kritis sebagai bentuk
antithesis dalam zaman ini jarang sekali ditemukan. Malahan
masyarakat cenderung kehilangan daya kritisnya dan
terhegemoni dalam penindasan-penindasan yang terselubung.
Merasa bahwa seakan-akan semuanya baik-baik saja. Maka dari
itu, diperlukan suatu bentuk antithesis baru yang mampu
menjawabi permasalahan masyarakat dewasa ini. Suatu bentuk
antithesis yang super kritis untuk membuka selubung-selubung
penindasan tersebut. Dengan demikian, proses dialektika akan
terus berlangsung guna mewujudkan suatu tatanan hidup
bersama yang lebih baik.
Guna membongkar bentuk penindasan baru (penindasan
yang terlubung) yang terjadi pada zaman ini, dituntut pula suatu
bentuk antithesis dengan cara yang baru. Dalam tulisan ini,
penulis menawarkan suatu bentuk antithesis baru yang dapat
digunakan secara efektif guna memerangi penindasan
terselubung yang terjadi dewasa ini. Antithesis baru tersebut
adalah dengan berpikir kritis terhadap segala hal yang terkait
modernitas. Dengan berpikir kritis, kita tidak mudah terjebak
dalam penindasan yang terselubung (hegemoni). Melainkan
mampu menemukan antithesis atas segala realitas yang terjadi
sekarang ini.
6
Dalam tulisan ini, penulis hendak memperkenalkan para
pemikir super kritis mampu menjadi antithesis terhadap
modernitas. Para pemikir tersebut tergabung dalam sebuah
Mazhab, yang dikenal dengan nama Mazhab Frankfurt. Orang-
orang yang tergabung dalam Mazhab ini berusaha membongkar
selubung-selubung penindasan dan ketidakadilan yang terjadi
secara tidak kasat mata. Selubung-selubung yang dimaksud
adalah selubung ideologi yang selama ini menindas masyarakat
secara begitu halus.
Dengan ‘menelanjangi’ ideologi-ideologi yang pada
praxisnya telah merampas kebebasan manusia sampai ke dasar-
dasarnya, Mazhab Frankfurt mampu menjadi antithesis aktual
atas situasi zaman ini. Dengan menjadi antithesis, maka Mazhab
Frankfurt dapat mendorong perubahan-perubahan dalam
dimensi hidup bersama dalam masyarakat. Perubahan tersebut
diawali dengan membuka kesadaran masyarakat akan adanya
penindasan yang begitu halus tersebut. Dengan munculnya
kesadaran dalam masyarakat maka diharapkan terjadinya
gerakan perubahan tatanan masyarakat ke arah yang lebih baik.
Dengan demikian, pemikiran kritis Mazhab Frankfurt mampu
menjadi antithesis yang aktual pada zaman ini.
Mazhab Frankfurt sendiri muncul sebagai gerakan
antithesis terhadap cara berpikir positivitis yang lahir dari
semangat pencerahan. Pemikiran-pemikiran kritis Mazhab
Frankfurt memang banyak diarahkan untuk membongar
selubung ideologi-ideologi. Maka dari itu kritik yang mereka
lontarkan sering disebut juga sebagai kritik ideologi. Pemikiran-
pemikiran Mazhab Frankfurt yang akan dipaparkan dalam
tulisan ini adalah pemikiran tokoh-tokoh generasi pertama
Mazhab Frankfurt. Mereka adalah orang-orang super kritis yang
7
berusaha membuka kedok penindasan dan ketidakadilan secara
terselubung. Berikutnya penulis akan memaparkan pemikiran
dari Mazhab Frankfurt yang menjadi antithesis atas cara
pandang positivistis yang lahir dari semangat pencerahan.
Namun sebelum itu penulis akan terlebih dahulu memaparkan
sedikit latar belakang sejarah mengenai munculnya Mazhab
Frankfurt.
Latar Belakang Sejarah Mazhab Frankfurt.1
“Pemikiran-pemikiran kritis Mazhab Frankfurt disebut
juga dengan nama ‘Teori Kritis’ atau ‘Kritische Theorie’.”2
Istilah Mazhab Frankfurt juga sering dikaitkan dengan suatu
lembaga yang pernah menyokong aliran ini, yaitu: Institut fur
Sozialforschung (Institut Penelitian Sosial) yang didirikan di
Frankfurt am Main pada tahun 1923.3 Tokoh-tokoh perintisnya
yang terkenal diantaranya adalah Max Horkheimer (filsuf,
sosiolog, psikolog, dan direktur sejak 1930), Theodor
Wiesendrund-Adorno (filsuf, sosiolog, musikolog), dan Herbert
Marcuse (filsuf). Ketiga tokoh tersebut sering disebut sebagai
Generasi Pertama Teori Kritis.4
“Pemikiran-pemikiran Mazhab Frankfurt merupakan
pemikiran-pemikiran yang sangat kritis terhadap pemikiran Karl
Marx dan para penerusnya”.5 Bagi Mazhab Franfurt, Karl Marx
telah membuat teori Hegel (filsuf Jerman) yang terlampau
abstrak menjadi sangat konkrit.6 “Dalam pandangan Marx, kritik
1 Pemaparan mengenai Teori Kritis didasarkan pada buku, Kritik Ideologi: Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan, terbitan Kanisius, Yogyakarta, 1990, yang dikarang oleh Francisco Budi Hardiman.
2 Budi Hardiman, Francisco, Kritik Ideologi: Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan, hal. 40.
3 Ibid.4 Ibid., hal. 41.5 Ibid., hal. 35.6 Ibid., hal. 50.
8
di dalam kritik di dalam filsafat hegel masih kabur dan
membingungkan karena ia memahami sejarah secara abstrak”.7
Karl Marx, yang berusaha mengkonkritkan filsafat Hegel,
menyatakan bahwa sejarah manusia bukanlah sejarah abstrak
melainkan sejarah konkrit kehidupan manusia. Sejarah konkrit
tersebut adalah sejarah dimana kaum proletar/buruh berusaha
membebaskan diri dari penindasan kaum kapitalis. Pemikiran
Karl Marx itulah yang kemudian menginspirasi Mazhab
Frankfurt untuk merumuskan sebuah teori/pemikiran yang
bertujuan emansipatoris.
Teori Kritis disebut memiliki tujuan emansipatoris, lebih
disebabkan karena pemikiran-pemikiran Teori Kritis diarahkan
untuk membuka selubung-selubung ideologi yang selama ini
menindas masyarakat. Penindasan dalam cara ini disebut
sebagai penindasan yang terselubung karena seringkali
masyarakat sendiri tidak sadar akan adanya penindasan yang
bersifat ideologis. Dalam hal ini Teori Kritis disebut juga sebagai
kritik ideologi.
Sebagai kritik ideologi, Teori Kritis memiliki tujuan
emansipatoris. Dimana mereka berusaha membuka kesadaran
masyarakat akan penindasan yang membelenggunya. Dengan
munculnya kesadaran atas penindasan tersebut diharapkan
terwujud adanya praxis yang mendorong perubahan ke arah
yang lebih baik. Inilah tujuan dasar Teori Kritis membangun
pemikiran-pemikirannya. Pada bagian berikutnya, penulis akan
memaparkan mengenai pengertian ‘kritik’ yang digunakan
dalam Teori Kritis untuk membongkar selubung-selubung
ideologi.
Pengertian ‘Kritik’ dalam Tradisi Teori Kritis.
7 Ibid.
9
‘Kritik’ yang dimaksudkan Mazhab ini berakar pada tradisi
filsafat.8 Filsafat sendiri berarti pencarian akan kebenaran
secara terus-menerus. Tradisi berfilsafat telah dimulai pada
zaman Yunani kuno. Pada saat itu, muncul pemikir-pemikir yang
berusaha memahami realitas dengan menggunakan akal
budinya. Penggunaan akal budi untuk memahami realitas
menandai dimulainya suatu perubahan cara pandang manusia
terhadap realitas. Dari yang semula manusia memahami realitas
melalui mitos-mitos, menjadi lebih rasional untuk memahami
realitas.
Cara pandang yang rasional terhadap realitas pun
mengalami perkembangan dari zaman ke zaman. Dalam
semangat modernitas, filsafat lebih dimaknai sebagai sebuah
sikap kritis. Sikap kritis yang mengarah pada pencarian akan
esensi-esensi dari realitas. Filsafat sebagai suatu sikap kritis
inilah yang dimaksudkan sebagai kritik dalam tradisi Teori
Kritis.
Sikap kritis Mazhab Franfurt lebih diarahkan pada
ideologi-ideologi yang menurut pandangan mereka telah
mengasingkan manusia individual di dalam masyarakatnya.9
Bagi para pemikir Mazhab Frankfurt berbagai bidang kehidupan
masyarakat modern, seperti: seni, ilmu pengetahuan, ekonomi,
politik dan kebudayaan pada umumnya telah menjadi rancu
karena diselubungi ideologi-ideologi yang hanya
menguntungkan pihak-pihak tertentu.10 Sadar akan kondisi ini,
Teori Kritis lahir sebagai suatu bentuk usaha yang bertujuan
emansipatoris. Sebuah usaha yang bertujuan untuk membuka
kesadaran masyarakat akan penindasan dan ketidakadilan yang
terjadi secara terselubung melalui ideologi-ideologi.8 Ibid., hal. 46.9 Ibid.10 Ibid.
10
Dalam membangun kerangka berpikir, Mazhab Frankfurt
menggunakan pemikiran-pemikiran Immanuel Kant, Hegel, Karl
Marx, dan juga Sigmund Freud sebagai pisau bedah
analisisnya.11 Bagi Mazhab Frankfurt keempat tokoh tersebut
dipandang sebagai filsuf-filsuf kritis. Namun demikian,
pemikiran-pemikiran Mazhab Frankfurt merupakan pemikiran-
pemikiran yang sangat kritis terhadap pemikiran Marx.12
Bagi Mazhab Franfurt, Karl Marx telah membuat teori
Hegel (filsuf Jerman) yang terlampau abstrak menjadi sangat
konkrit.13 “Dalam pandangan Marx, kritik di dalam kritik di
dalam filsafat hegel masih kabur dan membingungkan karena ia
memahami sejarah secara abstrak”.14 Karl Marx, yang berusaha
mengkonkritkan filsafat Hegel, menyatakan bahwa sejarah
manusia bukanlah sejarah abstrak melainkan sejarah konkrit
kehidupan manusia. Sejarah konkrit tersebut adalah sejarah
dimana kaum proletar/buruh berusaha membebaskan diri dari
penindasan kaum kapitalis. Pemikiran Karl Marx itulah yang
kemudian menginspirasi Mazhab Frankfurt untuk merumuskan
sebuah teori/pemikiran yang bertujuan emansipatoris.
Teori Kritis disebut memiliki tujuan emansipatoris, lebih
disebabkan karena pemikiran-pemikiran Teori Kritis diarahkan
untuk membuka selubung-selubung ideologi yang selama ini
menindas masyarakat. Dalam hal inilah Teori Kritis disebut juga
sebagai kritik ideologi. Sebagai kritik ideologi, Teori Kritis
berusaha membongkar selubung-selubung ideologi yang dalam
prakteknya banyak menindas masyarakat. Masyarakat sendiri
belum sadar akan adanya penindasan yang bersifat ideologis
tersebut. Maka dari itu, Teori Kritis berusaha membuka
11 Ibid., hal. 47.12 Ibid., hal. 35.13 Ibid., hal. 50.14 Ibid.
11
kesadaran masyarakat akan penindasan yang membelenggunya.
Dengan munculnya kesadaran atas penindasan tersebut
diharapkan terwujud adanya praxis yang mendorong perubahan
ke arah yang lebih baik. Inilah tujuan emansipatoris Teori Kritis
yaitu membuka kesadaran yang mendorong praxis perubahan.
Pemikiran-pemikiran kritis Mazhab Frankfurt memang
banyak diarahkan untuk mengkritik cara berpikir positivistis
yang diterapkan untuk menganalisis fenomena-fenomena sosial.
Bagi Mazhab Frankfurt, inilah ideologi dalam artinya yang
sejati. Positivisme menjadi ideologi karena ‘diambil’ begitu saja
metodenya tanpa melihat/mempertanyakan: Apakah sistem
tersebut cocok untuk diterapkan dalam ilmu-ilmu sosial?
Penulis menganalogikan bahwa positivisme telah menjadi dewa
yang disembah-sembah oleh ilmu sosial. Berikut penulis akan
mulai memaparkan kritik-kritik yang diajukan oleh Teori Kritis
generasi pertama guna membongkar selubung-selubung
ideologi tersebut.
Kritik atas Metodologi: Membangun ‘Teori
dengan Maksud Praktis’ (Kritik diajukan oleh
Horkheimer)
Sebagaimana telah diungkapkan di atas bahwa Mazhab
Frankfurt mengkritik metode positivisme yang diterapkan untuk
menganalisis berbagai masalah/fenomena sosial. Horkheimer,
salah seorang tokoh Teori Kritis, memberi nama
pengintegrasian metode positivisme ke dalam ilmu sosial
sebagai ‘Teori Tradisional’.15 Bagi Horkheimer, pengintegrasian
teori-teori ilmu alam dalam ilmu-ilmu sosial telah menjadikan
teori-teori ilmu alam tersebut bersifat ideologis dan cenderung
15 Ibid., hal. 54.
12
menjaga status quo masyarakat yang pada dasarnya menindas.16
Berikut penulis akan memaparkan argumen-argumen
Horkheimer yang ingin membuka selubung ideologis dari teori-
teori positivistis yang digunakan dalam ilmu-ilmu sosial.
Argumen pertama Horkheimer berangkat dari klaim Teori
Tradisional yang menganggap dirinya sebagai teori yang asosial,
mandiri, mencukupi dirinya dan terlepas dari konteks kegiatan
masyarakat sehari-hari. Dengan kata lain, Teori Tradisional
hendak memisahkan unsur-unsur subjektif dari teori. Pemisahan
tersebut mengarah pada klaim bahwa Teori Tradisional
merupakan bentuk pengetahuan yang bebas kepentingan
(disinterested).17 Maka dari itu, masyarakat yang ingin
diterangkan dalam teori harus dipandang sebagai fakta yang
netral yang dapat dipelajari secara obyektif.18
Bagi Horkheimer, Teori Tradisional yang menganggap
dirinya asosial telah mengabaikan proses-proses dinamika
kehidupan konkrit di dalam masyarakat. Dalam hal ini, Teori
Tradisional telah menganggap masyarakat sebagai obyek kajian
yang sama dengan obyek kajian ilmu alam. Masyarakat yang
pada hakekatnya memiliki sifat dinamis hanya dianggap sebagai
benda mati sebagaimana benda-benda yang menjadi obyek
kajian ilmu alam. Selain itu, klaim bahwa Teori Tradisional
memiliki sifat universal, berlaku dimana saja, dan suprasosial
dinilai tidak tepat. Adanya dinamika yang begitu kompleks
dalam masyarakat mengandaikan bahwa teori ilmu alam tidak
bisa diterapkan secara sembarangan pada realitas sosial.
Argumen kedua Horkheimer diarahkan pada klaim Teori
Tradisional bahwa pengetahuan yang didapatkan bersifat netral.
Klaim tersebut didasarkan pada pandangan bahwa masyarakat 16 Ibid., hal. 56.17 Ibid.18 Ibid.
13
merupakan fakta yang netral yang dapat dipelajari secara
obyektif. Dengan demikian, Teori Tradisional mengklaim bahwa
teori mereka adalah deskripsi murni tentang fakta yang
obyektif.
Klaim bahwa Teori Tradisonal merupakan deskripsi murni
tentang fakta tidak dapat dibenarkan. Di sini Teori Tradisional
telah mengabaikan adanya unsur dinamika manusiawi dalam
masyarakat. Kelemahan Teori Tradisonal adalah membiarkan
keadaan tanpa mempertanyakannya. Teori Tradisional semacam
telah mendirikan “tembok” bagi dirinya sendiri dengan
mengambil jarak pada dinamika manusiawi yang ada dalam
masyarakat. Padahal, unsur dinamika manusiawi tidak dapat
dilepaskan dari proses pembentukan Teori Tradisional.
Argumen ketiga dari Horkheimer diarahkan pada klaim
Teori Tradisional bahwa teori dapat dipisahkan dari praxis.
Dengan kata lain, Teori Tradisional mengejar pengetahuan demi
pengetahuan itu sendiri. Teori Tradisional juga cenderung
mengabaikan segi praxis guna mendorong suatu perubahan
sosial. Dalam hal ini, Teori Tradisional tidak mendorong
munculnya kesadaran kritis masyarakat untuk melakukan
perubahan. “Dengan jalan ini pula, Teori Tradisional tidak
bertujuan mengubah keadaan, malah melestarikan status quo
masyarakat.”19 Dengan kritik-kritik ini, Horkheimer memandang
Teori Tradisional sebagai ideologi yang melestarikan kesalahan
berpikir tersebut. Pada bagian berikutnya penulis akan
memaparkan kritik dari Mazhab Frankfurt terhadap masyarakat
modern yang menggunakan metode positivistis yang kemudian
melahirkan Teori Tradisional.
19 Ibid., hal. 57.
14
Kritik atas Rasionalitas Masyarakat Modern
(Kritik diajukan oleh Horkheimer, Adorno, dan
Marcuse)
Kritik yang diajukan oleh Mazhab Frankfurt terhadap
masyarakat modern dilakukan dalam dua cara.20 Pertama,
dengan mencari dasar ontologis munculnya cara berpikir
positivistis. Dalam hal ini, mereka merefleksikan sejarah proses
rasionalisasi yang terjadi pada masyarakat Barat.21 Kedua,
dengan menunjukkan bahwa cara berpikir positivistis sebagai
ideologi yang menghasilkan sains dan tekhnologi, cenderung
diterima secara sukarela oleh masyarakat modern.22 Kritik
dalam cara yang pertama dikemukakan oleh Adorno dan
Horkheimer dalam karya mereka yang berjudul Dialektik der
Aufklarung.23 Sedangkan kritik dalam cara yang kedua
dilontarkan oleh Herbert Marcuse dalam karyanya yang
berjudul One-Dimensional Man.24
Lahirnya Mitos Baru dan Rasional Instrumental
(Kritik Horkheimer dan Adorno Terhadap Proses
Rasionalisasi dalam Modernitas)
Berkaitan dengan kritik dalam cara pertama, Adorno Dan
Horkheimer pada akhirnya menyimpulkan bahwa munculnya
cara berpikir positivistis berakar pada ‘pencerahan budi’
(Aufklarung) yang menjadi cita-cita pencerahan itu sendiri.25
Pencerahan yang terjadi pada abad ke-18, menandai suatu
perubahan radikal terhadap pola pikir manusia. Dari yang
20 Ibid., hal. 60.21 Ibid.22 Ibid.23 Ibid.24 Ibid.25 Ibid., hal. 61.
15
sebelumnya rasio masih terkungkung dalam mitos dan tradisi-
tradisi, dalam pencerahan rasio mulai menjadi otonom. Otonomi
rasio dalam semangat pencerahan sangatlah dijunjung tinggi,
diagung-agungkan bahkan dipuja-puja. Maka tak heran jika
manusia yang terbakar semangat pencerahan menciptakan
patung yang diberi nama sebagai dewi rasio.
Semangat pencerahan melahirkan sebuah cara pandang
yang disebut dengan positivisme. Positivisme merupakan sebuah
paham yang mengedepankan adanya verifikasi untuk
menentukan kesahihan obyek yang dikaji. Dengan kata lain,
ukuran kesahihan adalah sejauh mana obyek kajian tersebut
dapat diverifikasi kebenarannya. Obyek kajian yang tidak bisa
diverifikasi dianggap bukan sesuatu hal yang ilmiah dan hanya
omong kosong belaka. Maka tak heran jika pencerahan menolak
cara-cara berpikir lama yang bersifat mitis karena tak dapat
diverifikasi kebenarannya. Pada era pencerahan inilah mulai
terjadi demitologisasi, dimana cara berpikir mitis, mulai
digantikan dengan cara berpikir positivistis.
Adorno dan Horkheimer yang kritis terhadap dua pola
berpikir tersebut berpendapat bahwa antara cara berpikir mitis
dan cara berpikir positivistis hanya berbeda di dalam cara
memahami kenyataan, bukan berbeda secara hakikatnya.26
Dalam mitos, manusia berusaha memahami realitas dengan cara
mimesis (meniru) tokoh-tokoh yang dimunculkan dalam ritus-
ritus keramat.27 Dalam melakukan mimesis, manusia mitis
membekukan gambaran dunianya sehingga mereka
terkungkung di dalamnya.28 Dengan cara tersebut, manusia
26 Ibid., hal. 63.27 Ibid., hal. 62.28 Ibid.
16
mitis mampu memahami kenyataan dan kedudukannya di dalam
semesta.29
Sedangkan dalam pencerahan, manusia berusaha
memahami realitas dengan mengambil jarak antara rasio
dengan obyek yang ingin dikendalikan.30 Dengan kata lain, rasio
menjadi pengendali/penguasa atas alam. Pengendalian rasio
atas alam, yang menjadi ciri khas pencerahan, berjalan dengan
prosedur matematis sehingga dapat bekerja secara tepat dan
otomatis di bawah aturan-aturan yang pasti dan niscaya.31 “Dan
seperti pemikiran mitis, pemikiran yang tunduk pada hukum
matematis ini bersifat buta, tidak kritis dan dibatasi repetisi.”32
Adorno dan Horkheimer yang kritis melihat hal ini,
menyatakan bahwa keduanya memiliki sifat ideologis. Mitos
disebut sebagai ideologi karena manusia mitis membekukan
gambaran dunianya sehingga mereka terkungkung di
dalamnya.33 Sedangkan cara berpikir positivistis disebut
ideologis karena mereka cenderung mempertahankan status
quo cara berpikirnya sehingga realitas dihadapi secara
positivistis.34 Adorno dan Horkheimer pada akhirnya
berkesimpulan bahwa positivisme yang lahir dalam masa
pencerahan dinilai hanya melahirkan sebuah mitos baru yang
malah membawa banyak masalah sosial.
Kritik lain yang ditujukan pada cara berpikir positivistis,
dilontarkan oleh Horkheimer dalam bukunya yang berjudul:
Eclipse of Reason (Kemunduran Rasio, 1947).35 Bagi
Horkheimer, rasio dalam cara berpikir positivistis telah
29 Ibid.30 Ibid., hal. 63. 31 Ibid.32 Ibid.33 Ibid., hal. 64.34 Ibid.35 Ibid.
17
kehilangan tujuan pada dirinya sendiri. Rasio tidak lagi menjadi
kritis pada dirinya sendiri, melainkan rasio hanya menjadi alat
yang setia pada tujuan-tujuan di luar dirinya. Dengan kata lain,
rasio menjadi instrumental belaka.
Rasionalitas Tekhnologis (Kritik atas Tekhnologi
dan Sains dalam Masyarakat Modern)
Sebagaimana Horkheimer dan Adorno, Marcuse
berpendapat bahwa cara berpikir positivistis telah menjadi
ideologi atau mitos dalam masyarakat modern. Namun kritik
yang diajukan oleh Marcuse lebih diarahkan pada tekhnologi
yang menjadi hasil dari cara berpikir positivistis masyarakat
modern. Bagi Marcuse, sains dan tekhnologi modern yang dapat
membebaskan manusia dari tuntutan untuk bekerja keras
ternyata menjadi sistem penguasaan yang total dalam
masyarakat.36 Dengan bahasa yang lebih sederhana, tekhnologi
seharusnya mengabdi pada manusia. Namun bagi Marcuse yang
terjadi justru kebalikannya. Manusia menjadi hamba tekhnologi.
Penguasaan total terjadi karena tekhnologi telah
mendominasi total seluruh bidang kehidupan manusia modern.
Dengan kata lain, seluruh bidang kehidupan telah
ditekhnologikan menjadi sistem birokrasi yang total.37 Ukuran-
ukuran kualitatif cenderung diabaikan dan segalanya harus
disesuaikan dengan sistem. Dalam hal ini penulis akan
menjelaskan ‘dominasi sistem’ dengan menggunakan contoh
konkrit dalam bidang pendidikan. Dimana bidang pendidikan
pun tak lepas dari cara pandang positivistis.
Sebuah universitas A menilai kegiatan non akademis
mahasiswanya dengan menggunakan sistem point. Tujuan dari
36 Ibid., hal. 66.37 Ibid., hal. 68.
18
sistem point adalah agar mahasiswa memiliki soft skills yang
dapat dipergunakanya kelak dalam dunia kerja. Point tersebut
didapat dari mengikuti kegiatan-kegiatan atau turut
berpartisipasi aktif dalam lembaga kemahasiswaan. Point
tersebut juga digunakan sebagai syarat kelulusan. Setiap
mahasiswa harus memenuhi target 100 point untuk kelulusan.
Dari fenomena di atas, penulis akan mengajukan kritik
sebagaimana dimaksudkan oleh Marcuse. Adanya tuntutan 100
point untuk lulus dapat menjadi beban psikis bagi mahasiswa.
Akibatnya, para mahasiswa dapat cenderung mendapatkan point
secara asal-asalan. Pertanyaannya: Apakah mahasiswa yang
mencapai target point 100 ketika akan wisuda sungguh
mendapatkan soft skills sebagaimana diharapkan pihak
universitas? Dan sebaliknya, bagaimanakah jika mahasiswa
yang belum mencapai point 100 ketika akan wisuda namun
dengan serius mengikuti berbagai kegiatan kemahasiswaan?
Dari contoh konkrit di atas nampak bahwa ukuran
kualitatif cenderung diabaikan dalam masyarakat modern.
Segala-galanya harus positif (terbukti secara empiris), untuk
menentukan ukuran segala sesuatu. Hal-hal yang kualitatif,
sejauh itu tidak positif, dinilai tidak bermakna sama sekali.
Tekhnologi sebagai buah positivisme menjadi sumber
biang keladi untuk mempositifkan realitas. Tekhnologi yang
merupakan hasil dari modernitas menuntut sistematisasi
segalanya. Manusia mengadaptasikan seluruh dirinya ke dalam
sistem tersebut. Dalam hal inilah Marcuse menyatakan bahwa
manusia telah melakukan mimesis atau identifikasi langsung
dengan sistem.38 “Menolak menyesuaikan diri dengan sistem
tekhnologis itu akan menyebabkan neurosis bahkan tidak
38 Ibid., hal 68.
19
mungkin sama sekali”.39 Dengan demikian, Positivisme telah
nyata menjadi ideologi yang beku dalam masyarakat modern
karena segala unsur negasi dihilangkan.
Bagi Marcuse, tekhnologi yang menjadi hasil dari
positivisme juga menyerang hingga dimensi batiniah manusia.
Tekhnologi telah menciptakan kebutuhan palsu dengan adanya
iklan-iklan. Disebut kebutuhan palsu karena kebutuhan tersebut
ditanamkan dari luar diri manusia dan cenderung dibuat-buat.
Dan bukan merupakan kebutuhan alamiah yang berasal dari
dalam diri manusia. Di sinilah kontrol tekhnologi menyerang
manusia hingga ke dalam dimensi batinnya.
Generasi Pertama Teori Kritis Mengalami jalan
Buntu
Jalan buntu yang dialami oleh Toeri Kritis dikarenakan
sikap kritis mereka terhadap dirinya sendiri. Dalam hal ini
mereka menghadapi sebuah dilema, antara menjadi ideologi di
satu sisi dan menjadi praxis emansipatoris yang menjadi
dominasi baru di sisi lain. Teori Kritis dapat menjadi ideologi
karena terdapat kontradiksi internal di dalam paradigma
pemikiran mereka sendiri. Sebagaimana telah dijelaskan di atas,
Teori Kritis mengkritik Teori Tradisional sebagai ideologi yang
dibekukan. Namun, para tokoh Mazhab Frankfurt juga
menyadari bahwa paradigma yang mereka gunakan untuk
mengkritik Teori Tradisional juga dapat membeku menjadi
ideologi. Terlebih lagi, para tokoh Mazhab Frakfurt selalu
menolak menjadi praxis. Alasan penolakan tersebut adalah
kesadaran mereka sendiri bahwa setiap praxis emansipatoris
selalu menghasilkan perbudakan baru, karena emansipasi
39 Ibid., hal. 69
20
berarti penguasaan baru.40 Di sinilah generasi pertama Teori
Kritis mengalami jalan buntu. Selanjutnya, Habermas muncul
sebagai generasi kedua Teori Kritis yang berhasil memecah
kebuntuan tersebut dengan teori paradigma komunikasinya.
Demikianlah pemaparan mengenai Mazhab Frankfurt
beserta pemikiran-pemikirannya. Mazhab Frankfurt telah
mampu menjadi antithesis yang aktual dalam proses dialektika
dalam konteks hidup bersama zaman ini. Melalui pemikirannya,
mereka berusaha membuka selubung-selubung ideologi yang
pada level praxis sangatlah meresahkan bagi pembentukan
hidup bersama yang lebih manusiawi.
Sekali lagi penulis menegaskan bahwa diperlukan suatu
bentuk antithesis baru agar proses dialektika tetap dapat
berjalan di zaman modern ini. Antithesis tersebut merupakan
berpikir kritis sebagaimana ditunjukkan oleh para tokoh yang
tergabung dalam Mazhab Frankfurt. Antithesis baru (berpikir
kritis) diperlukan karena penindasan-penindasan yang terjadi
sekarang ini menunjukkan dirinya dalam wujud yang lebih halus
dan tak kasat mata. Dibutuhkan usaha super kritis untuk
membongkar penindasan jenis ini. Maka dari itu, berpikir kritis
merupakan antithesis yang tepat untuk mengadakan proses
dialektika pada zaman ini. Pada bagian berikutnya, penulis akan
menunjukkan bahwa dengan berpikir kritis, kita mampu untuk
mewujudkan kehidupan bersama yang lebih manusiawi.
Fungsi dan Tujuan Berpikir Kritis dalam Hidup
Bersama
Pertama-tama, penulis akan terlebih dahulu membagi
berpikir kritis ke dalam dua dimensi hidup manusia. Dimensi
kritis pertama adalah kritis terhadap segala sesuatu di luar diri.
40 Ibid., hal. 73.
21
Dimensi kritis kedua adalah kritis terhadap diri sendiri.
Pembagian berpikir kritis ke dalam dua dimensi tersebut
terinspirasi dari mempelajari/membaca pemikiran dari para
tokoh Mazhab Frankfut.
Dimensi pertama adalah kritis terhadap segala sesuatu di
luar diri. Dengan berpikir kritis terhadap segala sesuatu di luar
diri, kita tidak akan mudah terjebak dalam hegemoni (berbagai
bentuk penindasan yang tampak) yang terjadi dalam zaman ini.
Dengan adanya sikap kritis keluar diri, kita mampu menjadi
antithesis yang relevan dalam perkembangan zaman ini. Dengan
demikian, mampu mendorong terjadinya sintesis-sintesis baru,
yaitu pembentukan tata kehidupan bersama yang lebih
manusiawi melalui kritik.
Dimensi kedua merupakan berpikir kritis terhadap diri
sendiri. Inilah dimensi berpikir kritis manusia dalam arti yang
sesungguhnya. Dengan kritis terhadap diri sendiri, kita tidak
akan mudah jatuh pada eksterm-ekstrem pemikiran yang
kemudian memenjarakan kita dalam ideologi. Selain itu, berpikir
kritis terhadap diri sendiri merupakan suatu bentuk proses
dialektika untuk menemukan kebenaran. Dengan kata lain, kritis
terhadap diri sendiri mengarahkan kita untuk menjadi manusia
yang bijaksana melalui proses refleksi terus-menerus.
Kesimpulan:
Kehidupan bersama yang ada sekarang belum merupakan
sebuah bentuk tatanan yang ideal. Kehidupan bersama yang
ideal mengandaikan tidak adanya penindasan dan ketidakadilan
dalam seluruh dimensi kehidupan manusia. Namun
kedengarannya hal tersebut terkesan bersifat utopis (khayal).
Selama manusia ada di dunia maka penindasan dan
ketidakadilan juga akan selalu ada. Maka yang diperlukan
22
adalah sikap-sikap kritis terhadap kehidupan bersama yang
menyangkut berbagai dimensi kehidupan manusia.
Suatu hal yang perlu diwaspadai adalah penindasan yang
terjadi sekarang ini seringkali muncul sebagai ‘tuhan’ yang
menentramkan jiwa manusia. Suatu bentuk penindasan yang
mendamaikan hati. Sampai-sampai manusia terlena dan merasa
bahwa semuanya baik-baik saja dan tidak ada masalah. Sikap
super kritis adalah antithesis yang aktual dan mujarab atas
situasi zaman ini. Dengan sikap kritis, kita mampu mengadakan
dialektika yang aktual terhadap situasi zaman ini. Dengan
demikian, mendorong untuk terwujudnya suatu tata kehidupan
yang lebih baik dari hari ke hari.
Acuan Sumber:
Budi Hardiman, Francisco, Kritik Ideologi: Pertautan
Pengetahuan dan Kepentingan, Kanisius, Yogyakarta,
1990.
23