proposal siap maju fix
TRANSCRIPT
PROPOSALTUGAS AKHIR
Analisis Karakterisasi dan Kualitas Reservoar Batupasir Sumur FI 184 , FI
185 Pada Lapangan Fei Cekungan Sumatera Selatan, Berdasarkan Data
Batuan Inti Core dan Sayatan Tipis Petrografi
Oleh :
FERY TRI YULIADI
H1F008032
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS SAINS DAN TEKNIK
PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI
PURWOKERTO
2012
i
PRAKATA
Alhamdulillah, puji syukur Penyusun haturkan kepada Allah SWT yang
telah memberikan segala karunianya sehingga penyusun dapat menyelesaikan
proposal Tugas Akhir ( TA) dengan judul proposal Analisis Karakterisasi dan
Kualitas Reservoar Batupasir Sumur FI 184 , FI 185 Pada Lapangan Fei
Cekungan Sumatera Selatan, Berdasarkan Data Batuan Inti Core dan
Sayatan Tipis Petrografi. Proposal Tugas Akhir merupakan tahap akhir dalam
kegiatan Perkuliahan mahasiswa Teknik Geologi Fakultas Sains dan Teknik
Universitas Jenderal Soedirman Tahun 2012.
Tujuan umum dilaksanakannya kegiatan Tugas Akhir (TA) adalah sebagai
salah satu syarat untuk menyelesaikan studi Strata Satu (S1) di Program Studi
Teknik Geologi Fakultas Sains dan Teknik Universitas Jenderal Soedirman.
Penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada :
Allah SWT yang telah memberikan nikmat sehat dan segala hal yang
dibutuhkan oleh penyusun dalam segala hal.
Bapak Suprihadi dan Ibu Kustiyah selaku orangtua Penyusun yang selalu
memberikan dukungan penuh baik dalam hal moril dan maupun materil..
Bapak Eko Bayu PS, ST., M.Si selaku pembimbing TA, Bapak Gentur
Waluyo M.Si, Bapak Siswanadi ST., MT., Bapak Muhammad Aziz ST.,
MT, Bapak Asmoro Widagdo ST., MT, Bapak Adi Candra ST., MT yang
telah meluangkan waktu untuk penyusunan proposal Tugas Akhir.
Semoga proposal Tugas Akhir ini dapat berguna bagi yang memerlukan
dan dapat dijadikan referensi bagi kegiatan yang berkaitan dengan ilmu geologi
lainnya.
Purwokerto, Oktober 2012
Fery Tri Yuladi NIM. H1F008032
ii
DAFTAR ISIHALAMAN JUDUL...............................................................................................i
PRAKATA..............................................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR..............................................................................................v
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1. Latar Belakang.............................................................................................1
1.2. Maksud dan Tujuan Penelitian.....................................................................2
1.3. Pembatasan Masalah....................................................................................2
1.4. Manfaat Penelitian.......................................................................................2
1.5. Lokasi dan Waktu Penelitian........................................................................2
BAB II GEOLOGI REGIONAL..........................................................................4
2.1 Kerangka Tektonik.........................................................................................4
2.2. Cekungan Sumatera Selatan..........................................................................6
2.3 Sub- Cekungan Jambi..................................................................................11
2.4 Stratigrafi.....................................................................................................12
2.4.1 Kapur.................................................................................................14
2.4.2 Formasi Lahat....................................................................................14
2.4.3 Formasi Talang Akar.........................................................................15
2.4.4 Klastik Pra-Baturaja..........................................................................16
2.4.5 Formasi Baturaja...............................................................................16
2.4.6 Formasi Gumai..................................................................................17
2.4.7 Formasi Air Benakat.........................................................................17
2.4.8 Formasi Muara Enim.........................................................................18
2.4.9 Formasi Kasai....................................................................................19
2.4.10 Endapan Kuarter..............................................................................20
BAB III TINJAUAN PUSTAKA........................................................................21
3.1. Batuan Reservoar.......................................................................................21
3.2. Analisis Batuan Inti Core...........................................................................21
3.2.1. Fasies................................................................................................21
3.3. Analisis Petrografi....................................................................................24
3.3.1 Komponen, Tekstur dan Klasifikasi..................................................24
3.3.3. Porositas dan Permeabilitas Batupasir.............................................28
3.3.4. Kualitas Reservoar...........................................................................30
BAB IV METODELOGI PENELITIAN...........................................................32
4.1. Tahap Persiapan..........................................................................................32
iii
4.2. Tahap Pengumpulan data............................................................................32
4.3. Tahap Pengolahan Data..............................................................................32
4.4. Tahap Interpretasi.......................................................................................33
4.5. Alat dan Bahan yang digunakan.................................................................33
4.6. Diagram Alir Metode Penelitian................................................................34
BAB V RENCANA KERJA................................................................................35
iv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Pembentukan cekungan belakang busur di Pulau Sumatra ……….5
Gambar 2.2. Ciri-ciri struktur pada Cekungan Sumatra Selatan pada zaman
Kapur……………………………………………………………8
Gambar 2.3. Ciri-ciri struktur pada Cekungan Sumatra Selatan pada zaman Plio-
Pleistosen ………………………………………………………....9
Gambar 2.4. Elemen struktur utama pada Cekungan Sumatra Selatan. Orientasi
timurlaut-baratdaya atau utara-selatan menunjukkan umur Oligosen
dan struktur inversi menunjukkan umur Plio-Pleistosen ………..10
Gambar 2.5. Pola struktur umum Cekungan Sumatra Selatan…………………11
Gambar 2.6. Kolom stratigrafi Blok Jabung, Cekungan Sumatra Selatan ……13
Gambar 3.1. Klasifikasi lingkungan pengendapan.........................................22
Gambar 3.2. Hubungan fasies dengan lingkungan pengendapan………………23
Gambar 3.3. Kalsifikasi batupasir ……………………………………………..26
Gambar 4.6 Diagram Alir Penelitian……………………………………………34
v
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Industri minyak bumi dan gas bumi terus mengalami perkembangan
dan kemajuan yang signifikan diantaranya adalah faktor supply and demand
,dimana kebutuhan minyak bumi terus bertambah tetapi supply minyak tetap
tidak sebanding dengan kebutuhan. Dari fenomena tersebut menuntut para
ahli yang berkompeten pada eksplorasi dan eksploitasi minyak bumi untuk
bisa menemukan lapangan minyak baru untuk dapat memenuhi kebutuhan
minyak bumi.
Lapangan Fei merupakan salah satu lapangan minyak dan gas bumi
yang ada di Blok Palem, Cekungan Sumatera Selatan. Lapangan ini
dioperasikan oleh PT. Pertamina EP. Daerah penelitian merupakan lapangan
yang sudah dikembangkan. Masalah yang harus dipecahkan dalam
pengembangan lapangan ini salah satunya adalah karakteristik dan kualitas
dari reservoir. Dalam pemerian suatu batuan, ada dua cara yang dapat
ditempuh dalam yaitu dengan cara megaskopis dan mikroskopis. Secara
megaskopis kita dapat mengenali sifat – sifat yang terdapat dalm batuan yang
tampak oleh mata, hal ini dilakukan untuk member gambaran awal tentang
batuan yang akan kita analisis kemudian. Untuk emperoleh data yang lebih
akurat, kita memerlukan analisis petrografi.
Analisis petrografi dilakukan untuk mengetahui komposisi mineral
pennyusun batuan. dari hasil analisis tersebut dapat diketahui klasifikasi
batupasir dan karakteristik batuan secara umum.
Dalam prakteknya, analisis tidak terbatas hanya pada penamaan batuan
secara mikroskopis saja, akan tetapi dikembangkan manfaat analisis petrografi
lebih jauh dalam suatu alur sistematika mekanisme pembentukan batuan,
antara lain berkaitan dengan proses- proses diagenesa, penentuan sumber asal
batuan lingkungan tektonik, lingkungan pengendapan, dan lain- lain.
1
Kontrol utama yang berperan dalam kualitas reservoir suatu batuan
reservoir adalah komposisi batuan, lingkungan pengendapn, diagenesa
( Davies D. K, 1986 ).
1.2. Maksud dan Tujuan Penelitian
Maksud penelitian ini adalah menganalis dan menginterpretasikan
karakteristik dan kualitas reservoir batupasir pada sumur “ FI “ berdasarkan
data batuan inti ( core ) dan sayatan tipis batuan ( petrografi ).
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Menentukan jenis batuan, komposisi dan tekstur pada batuan reservoir.
2. Menentukan fasies dan lingkungan pengendapan reservoir.
3. Menentukan nilai porositas dan permeabilitas reservoir.
4. Mengamati proses – proses diagenesa yang telah berlangsung serta
pengaruhnya terhadap kualitas reservoir.
1.3. Pembatasan Masalah
Agar penelitian berjalan secara terarah, maka penulis memberikan
batasan bahwa penelitian iini mencakup penentuan lingkungan pengendapan,
porositas, permeabilitas dan diagenesa reservoir batupasir pada Sumur “ fei “
berdasarkan data batuan inti ( core ) dan sayatan tipis ( petrografi ).
1.4. Manfaat Penelitian
Penilitian ini sangat bermanfaat bagi penulis dalam menambah
wawasan pengetahuan tentang studi reservoir serta melatih penulis untuk
dapat berfikir logis dalam intepretasi geologi dengan menggunakan data core
maupun petrografi serta data pendukung lainnya, kemudian dapat
menuangkannya dalm tulisan ilmiah dan sistematis. Selain itu pula hasil
penelitian diharapkan dapt memberikan kontribusi kepada instansi tempat
penulis melakukan penelitian dan juga khalayak umum bagi yang
memerlukannya.
1.5. Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi daerah penelitian berada di Lapangan X Cekungan Sumatera
Selatan . Waktu pelaksaan penelitian selama 3 bulan dimulai pada bulan
November 2012sampai dengan bulan Januari 2013.
2
Kegiatan pengolahan data dan penyelesaian penelitian dilaksanakan di
Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi “
LEMIGAS “, Jakarta.
3
BAB II
GEOLOGI REGIONAL
2.1 Kerangka Tektonik
Menurut Darman dan Sidi (2000) Pulau Sumatra memiliki orientasi
baratlaut tenggara yang terbentang pada ekstensi dari Lempeng Benua Eurasia.
Pulau Sumatra memiliki luas area sekitar 435.000 km2, dihitung dari 1650 km
dari Banda Aceh pada bagian utara menuju Tanjungkarang pada bagian selatan.
Lebarnya mencapai 100-200 km pada bagian utara dan sekitar 350 km pada
bagian selatan. Terdapat Pegunungan Barisan yang berada sepanjang bagian barat.
Daerah ini membagi pantai barat dan timur. Lereng yang menuju Samudera
Hindia biasanya curam yang menyebabkan sabuk bagian barat biasanya berupa
pegunungan dengan pengecualian 2 embayment pada Sumatra Utara yang
memiliki lebar 20 km. Sabuk bagian timur pada pulau ini ditutupi oleh perbukitan
besar dari Formasi Tersier dan dataran rendah aluvial. Pada diamond point di
daerah Aceh, sabuk rendah bagian timur memiliki lebar sekitar 30 km, lebarnya
bertambah hingga 150-200 km pada Sumatra Tengah dan Selatan.
Pulau Sumatra terletak di sebelah baratdaya Kontinen Sundaland dan
merupakan jalur konvergensi antara Lempeng Hindia-Australia yang menyusup di
sebelah barat Lempeng Sundaland/Lempeng Eurasia. Konvergensi lempeng
menghasilkan subduksi sepanjang Palung Sunda dan pergerakan lateral menganan
dari Sistem Sesar Sumatra. Subduksi dari Lempeng Hindia-Australia dengan batas
Lempeng Asia pada masa Paleogen diperkirakan telah menyebabkan rotasi
Lempeng Asia termasuk Sumatra searah jarum jam. Perubahan posisi Sumatra
yang sebelumnya berarah E-W menjadi NW-SE dimulai pada Eosen atau
Oligosen. Perubahan tersebut juga mengindikasikan meningkatnya pergerakan
sesar mendatar Sumatra seiring dengan rotasi. Subduksi oblique dan pengaruh
sistem mendatar Sumatra menjadikan kompleksitas regim stress dan pola strain
pada Sumatra (Darman dan Sidi, 2000). Karakteristik Awal Tersier Sumatra
ditandai dengan pembentukkan cekungan-cekungan belakang busur sepanjang
Pulau Sumatra, yaitu Cekungan Sumatra Utara, Cekungan Sumatra Tengah, dan
Cekungan Sumatra Selatan (Gambar 2.1).
4
Gambar 2.1. Pembentukan cekungan belakang busur di Pulau Sumatra (Pertamina
BPPKA, 1997).
Pulau Sumatra diinterpretasikan dibentuk oleh kolisi dan suturing dari
mikrokontinen di Akhir Pra-Tersier (Pulunggono dan Cameron, 1984; Barber,
1985). Sekarang Lempeng Samudera Hindia mengalami subduksi di bawah
Lempeng Benua Eurasia pada arah N 200 E dengan rata-rata pergerakannya 6 – 7
cm/tahun. Konfigurasi cekungan pada daerah Sumatra berhubungan langsung
dengan kehadiran dari subduksi yang menyebabkan non-volcanic fore-arc dan
volcano plutonik back-arc. Sumatra dapat dibagi menjadi 5 bagian (Darman dan
Sidi,2000):
1. Sunda outer-arc ridge, berada sepanjang batas cekungan fore-arc Sunda
dan yang memisahkan dari lereng trench.
5
2. Cekungan Sunda fore-arc, terbentang antara akresi non-vulkanik
punggungan outer-arc dengan bagian di bawah permukaan dan volkanik
back-arc Sumatra.
3. Cekungan back-arc Sumatra, meliputi Cekungan Sumatra Utara, Tengah,
dan Selatan. Sistem ini berkembang sejalan dengan depresi yang berbeda
pada bagian bawah dari Bukit Barisan.
4. Bukit Barisan, terjadi pada bagian axial dari pulaunya dan terbentuk
terutama pada Perm-Karbon hingga batuan Mesozoik.
5. Sumatra intra-arc, dipisahkan oleh uplift berikutnya dan erosi dari daerah
pengendapan terdahulu sehingga memiliki litologi yang mirip pada fore-
arc dan back-arc basin.
2.2. Cekungan Sumatera Selatan
Menurut AMI Study Group (1994) Cekungan Sumatra Selatan dilihat dari
posisi geologinya saat ini merupakan cekungan busur belakang karena berada di
belakang Pegunungan Barisan sebagai volcanic-arc-nya. Cekungan Sumatra
Selatan merupakan cekungan busur belakang berumur Tersier yang terbentuk
sebagai akibat adanya interaksi antara Paparan Sunda (sebagai bagian dari
lempeng kontinen Asia) dan lempeng Samudera India. Daerah cekungan ini
meliputi daerah seluas 330 x 510 km2, dimana sebelah barat daya dibatasi oleh
singkapan Pra-Tersier Bukit Barisan, di sebelah timur oleh Paparan Sunda
(Sundaland), sebelah barat dibatasi oleh Pegunungan Tigapuluh dan ke arah
tenggara dibatasi oleh Tinggian Lampung.
Struktur yang terdapat dalam Cekungan Sumatra Selatan merupakan
akibat dari 3 aktivitas tektonik utama yaitu: Orogenesa Mesozoikum Tengah,
tektonisme Kapur Akhir-Eosen, dan Orogenesa Plio-Pleistosen (de Coster, 1974).
Dua aktivitas pertama menghasilkan konfigurasi dasar termasuk formasi half
graben horst, dan sesar blok (de Coster, 1974; Pulunggono dkk., 1992). Aktivitas
terakhir, orogenesa Plio-Pleistosen menghasilkan adanya struktur baratlaut-
tenggara dan depresi ke arah timurlaut (de Coster,1974).
Menurut Suta & Xiaoguang (2005) perkembangan struktur maupun
evolusi cekungan sejak Tersier merupakan hasil interaksi dari ketiga arah struktur
utama yaitu, berarah timurlaut-baratdaya (Pola Jambi), berarah baratlaut-tenggara
6
(Pola Sumatra), dan berarah utara-selatan (Pola Sunda). Hal inilah yang membuat
struktur geologi di daerah Cekungan Sumatra Selatan lebih kompleks
dibandingkan cekungan lain di Pulau Sumatra.
Struktur Geologi berarah timurlaut-baratdaya (Pola Jambi) sangat jelas
teramati di Sub-Cekungan Jambi. Terbentuknya struktur berarah timurlaut-
baratdaya di daerah ini berasosiasi dengan terbentuknya sistem graben di
Cekungan Sumatra Selatan. Struktur lipatan yang berkembang pada Pola Jambi
diakibatkan oleh pengaktifan kembali sesar-sesar normal (graben) tersebut pada
periode kompresif Plio-Plistosen yang berasosiasi dengan sesar mendatar (wrench
fault). Namun, intensitas perlipatan pada arah ini tidak begitu kuat.
Pola Sumatra sangat mendominasi di daerah Sub-Cekungan Palembang
(Pulunggono dan Cameron, 1984). Manifestasi struktur Pola Lematang saat ini
berupa perlipatan yang berasosiasi dengan sesar naik yang terbentuk akibat gaya
kompresi Plio-Pleistosen. Struktur geologi berarah utara-selatan (Pola Sunda) juga
terlihat di Cekungan Sumatra Selatan. Pola Sunda yang pada awalnya
dimanifestasikan dengan sesar normal (graben), pada periode tektonik Plio-
Pleistosen teraktifkan kembali sebagai sesar mendatar yang sering kali
memperlihatkan pola perlipatan di permukaan.
Terdapat tiga peristiwa tektonik (Gambar 2.2, Gambar 2.3, dan Gambar
2.4) yang berperan pada perkembangan Cekungan Sumatra Selatan dan proses
sedimentasinya (de Coster, 1974), yaitu :
1. Tektonik pertama
Tektonik pertama ini berupa gerak tensional pada Kapur Akhir sampai
Tersier Awal yang menghasilkan sesar-sesar bongkah berarah timurlaut-
baratdaya dan utara-selatan. Sedimentasi mengisi cekungan atau terban di
atas batuan dasar bersamaan dengan kegiatan gunung api.
7
Gambar 2.2. Ciri-ciri struktur pada Cekungan Sumatra Selatan pada zaman Kapur
(Daly dkk., 1991).
2. Tektonik kedua
Tektonik ini berlangsung pada Miosen Tengah-Akhir (Intra Miosen)
menyebabkan pengangkatan tepi-tepi cekungan dan diikuti pengendapan
bahan-bahan klastika.
3. Tektonik ketiga
Tektonik ini berupa gerak kompresional pada Plio-Plistosen menyebabkan
sebagian Formasi Air Benakat dan Formasi Muara Enim telah menjadi tinggian
tererosi, sedangkan pada daerah yang relatif turun diendapkan Formasi Kasai.
Selanjutnya, terjadi pengangkatan dan perlipatan utama di seluruh daerah
cekungan yang mengakhiri pengendapan Tersier di Cekungan Sumatra Selatan.
8
Gambar 2.3. Ciri-ciri struktur pada Cekungan Sumatra Selatan pada zaman Plio-
Pleistosen (Daly dkk., 1991).
9
Gambar 2.4. Elemen struktur utama pada Cekungan Sumatra Selatan. Orientasi
timurlaut-baratdaya atau utara-selatan menunjukkan umur Eo-Oligosen dan
struktur inversi menunjukkan umur Plio-Pleistosen (Ginger & Fielding., 2005).
10
2.3 Sub- Cekungan Jambi
Sub-Cekungan Jambi merupakan bagian dari Cekungan Sumatra Selatan
(Gambar 2.5). Sub-Cekungan ini terletak di bagian utara dari Cekungan Sumatra
Selatan, dibatasi pada bagian utara oleh Pegunungan Dua Belas dan Tinggian
Bangko, di bagian selatan dan timur dibatasi oleh Tinggian Ketaling, dan di
bagian barat dibatasi oleh Bukit Barisan (Yulihanto dan Sosrowidjoyo, 1996
dalam Satyana, 2008). Sub-Cekungan Jambi merupakan cekungan dengan tipe
foreland basin yang perubahan batimetrinya tidak selalu dipengaruhi oleh
perubahan muka air laut global. Perkembangan Sub-Cekungan Jambi sangat
dipengaruhi oleh kondisi lokal. Tektonik sangat besar pengaruhnya terhadap
sejarah sedimentasi Sub-Cekungan Jambi.
Gambar 2.5. Pola struktur umum Cekungan Sumatra Selatan
(Yulihanto dan Sosrowidjoyo, 1996 dalam Satyana, 2008).
11
Berdasarkan Pertamina BPPKA (1997) terdapat dua pola sesar yang
mencirikan Sub-Cekungan Jambi yaitu pola sesar berarah timurlaut-baratdaya
yang diperkirakan terbentuk pada periode Kapur Akhir – Tersier Awal dan pola
sesar yang terbentuk pada periode tektonik terakhir (Plio-Pleistosen). Kedua pola
sesar tersebut berperan sebagai control konfigurasi batuan dasar sekarang ini.
Pola sesar pertama diperkirakan berumur Kapur Akhir – Tersier Awal,
berupa sesar normal tumbuh (growth fault) yang aktif dan mengontrol hingga
pengendapan Formasi Gumai. Pada periode tektonik Plio-Pleistosen, sesar-sesar
ini mengalami peremajaan menjadi sesar geser (strike slip fault) yang sinistral.
Pola sesar geser sinistral di Pulau Sumatra merupakan antitetik dari pergerakan
sesar geser dextral dari Sesar Semangko.
Pola sesar yang kedua, berarah baratlaut-tenggara, diperkirakan terbentuk
pada periode tektonik Plio-Pleistosen. Pola sesar ini membentuk jalur-jalur
antiklin berarah baratlaut – tenggara, yang mengontrol lapangan-lapangan minyak
di Sub-Cekungan Jambi sekarang. Selanjutnya periode tektonik Plio-Pleistosen,
ditandai dengan pembentukan perangkap-perangkap struktur, telah terperangkap
pada Formasi Air Benakat, ke dalam perangkap-perangkap struktur baru tersebut.
2.4 StratigrafiTatanan stratigrafi yang terdapat di Sub-Cekungan Jambi terdiri dari
beberapa formasi yang diendapkan (Gambar 2.6). Secara berurutan dari tua ke
muda adalah Formasi Lahat, Formasi Talang Akar Bawah, Formasi Talang Akar
Atas, Formasi Baturaja, Formasi Gumai, Formasi Air Benakat, Formasi Muara
Enim, dan Formasi Kasai.
12
Gambar 2.6. Kolom stratigrafi Blok Jabung, Cekungan Sumatra Selatan
(Saifuddin dkk., 2001).
13
2.4.1 KapurLipatan Pra-Tersier yang kompleks pada Pegunungan Gumai terdiri dari 2
unit yang berbeda dengan hubungan yang tidak terlalu jelas (Darman dan Sidi,
2000):
Formasi Saling
Terdiri dari poorly-bedded breksi vulkanik, tuf, dan aliran lava basaltic
andesitik, hidrotermal alterasi hingga greenstone. Tiga interkalasi dari
batugamping berwarna abu-abu tua dengan fosil Mesozoik seperti
koral Lovcenipora dan Gastropoda Nerinea. Batuan formasi ini
kemungkinan adalah Jura Akhir-Kapur Awal volcanic island-arc yang
berasosisasi dengan fringing reefs.
Formasi Lingsing
Terdiri dari serpih atau lanau dengan warna coklat hingga hitam
dengan perlapisan tipis dengan pelapisan minor batuan hijau andesitik-
basaltik. Formasi ini kemungkinan berupa fasies laut dalam berumur
Kapur Awal.
2.4.2 Formasi Lahat
Musper (1937) dalam Darman dan Sidi (2000) mengatakan bahwa bagian
dasar dari sedimen Tersier ini diendapkan dalam lingkungan darat, dan terletak
tidak selaras diatas batuan Pra-Tersier (Gambar 2.6). Pada Cekungan Sumatra
Selatan, diendapkan endapan siklus transgresif dan termasuk endapan darat
(alluvial plain, piedmont deposit dan braided stream) dan endapan deltaik sampai
laut dangkal. Sedimen Eosen-Oligosen awal ini terdiri dari pengendapan sedimen
yang tebal dengan ukuran butir halus hingga kasar kadang-kadang berukuran
konglomerat, berselingan dengan batulempung, tuff dan lapisan tipis batubara.
Endapan Formasi Lahat ini sangat potensial menjadi sumber
hidrokarbon,dengan munculnya endapan serpih bewarna hitam kecokelatan dan
kaya akan bahan organik dan lapisan barubara yang mengisi dasar cekungan.
Serpih ini diendapkan pada lingkungan danau.
Menurut AMI Study Group (1994) batupasir yang diendapkan pada formasi ini
secara umum mengandung batupasir kuarsa dengan pemilahan yang buruk serta
mengandung argillaceous. Minyak dan gas bumi telah ditemukan pada batupasir
14
formasi ini, contohnya pada Lapangan Benakat (kisaran porositas batupasir 24,5%
dan permeabilitas 500mD dan netpay 27 kaki).
Formasi Lahat ini kadang tidak muncul pada daerah dengan morfologi
yang tinggi. Pada umumnya terakumulasi pada tengah cekungan. Ketebalannya
mencapai 6000 kaki pada tengah cekungan (bagian terdalamnya). Formasi ini
berumur -Oligosen Awal (beradasarkan dari posisi stratigrafinya).
2.4.3 Formasi Talang AkarMenurut Musper (1937) dalam Darman dan Sidi (2000) setelah
diendapkan Formasi Lahat, terjadi proses erosi secara regional. Bukti erosi ini
diperlihatkan oleh Formasi Talang Akar yang terendapkan tidak selaras diatas
Formasi Lahat (Gambar 2.6). Setelah masa hiatus umur Oligosen Tengah,
kemudian diendapkan sedimen pada topografi yang rendah pada Oligosen Akhir.
Variasi lingkungan pengendapannya berkisar dari lingkungan sungai teranyam
dan sungai bermeander yang berangsur berubah menjadi lingkungan delta front
dan lingkungan prodelta.
AMI study Group (1994) mengatakan bahwa sumber sedimen Formasi
Talang Akar bagian bawah pada umur Oligosen akhir ini berasal dari dua daerah
yaitu sebelah timur (Sundaland Mass) dan sebelah barat (deretan Pegunungan
Barisan dan areal tinggian dekat Bukit Barisan). Daerah tinggian-tinggian sekitar
cekungan seperti Tinggian Setiti dan Tinggian Palembang Utara juga mempunyai
kontribusi terhadap daerah ini.
Sedimen Formasi Talang akar ini umumnya berubah dari lingkungan
fluvial pada bagian bawah, berangsur ke arah atas menjadi lingkungan deltaik dan
laut dangkal. Sedimen ini terdiri dari butiran yang berukuran halus sampai kasar,
kadang-kadang dijumpai konglomerat, pemilahan bagus relatif bersih, berlapis
tebal dan memiliki porositas baik. Formasi Talang Akar bagian bawah merupakan
reservoar dengan kualitas paling baik di Cekungan Sumatra Selatan.
Dengan pengisian yang terus berlanjut pada topografi yang umumnya mengalami
penurunan, lingkungan pengendapan secara perlahan berangsur menjadi
lingkungan laut. Kemudian diendapkan Formasi Talang Akar bagian atas.
Formasi ini diendapkan pada lingkungan deltaik sampai lingkungan laut dalam
yang dicirikan oleh litologi batupasir dan serpih serta berselingan dengan
15
batubara. Batupasir umumnya berukuran sangat halus sampai kasar, argillaceous
hingga calcareous dengan porositas dan permeabilitas yang buruk hingga baik.
Pengendapan Formasi Talang Akar sangat dipengaruhi oleh relief
topografi, memiliki ketebalan hingga 300 kaki. Formasi Talang Akar berakhir
pada masa transgresi maksimum dengan munculnya endapan laut pada cekungan
selama Miosen Awal.
2.4.4 Klastik Pra-BaturajaDarman dan Sidi (2000) mengatakan bahwa pada Cekungan Sumatra
Selatan, sedimen klastik yang kompleks ditemukan diantara Volkanik Lahat dan
Formasi Baturaja berumur Miosen atau Formasi Telisa. Seri yang tebal ditemukan
di graben dengan trend utara-selatan (Benakat gully, Lematang trough), yang
terbentuk pada Oligosen. Bagian dasarnya dengan sedimen volkanoklastik dan
lumpur lakustrin disebut Formasi Lemat atau Lahat. Bagian atas dari pengisian
graben, adalah fluvial dan deltaik Formasi Talang Akar yang berumur Oligosen
Akhir.
Menurut Musper (1937) dalam Darman dan Sidi (2000) pada bagian
permukaan sekitar Pegunungan Gumai, sedimen klastik antara Volkanik Lahat
dan Formasi Baturaja sangatlah tipis dan kemungkinan tidak ada. Interval klastik
tipis dibawah Formasi Baturaja biasa disebut sebagai wood horizon karena adanya
batang pohon yang tersilifikasi adalah sangat biasa pada bagian bawahnya.
Ketebalannya mencapai 20-30 m. Pada bagian Cawang Saling, berupa seri
transgresif dengan beberapa meter konglomerat dengan pemilahan buruk dengan
kerikil kuarsa, batuan volkanik, dan kayu yang tersilifikasi, dan batupasir dengan
lapisan bersilang.
2.4.5 Formasi BaturajaDarman dan Sidi (2000) mengatakan bahwa Batugamping ditemukan di
tempat yang berbeda-beda di dekat dasar Formasi Telisa yang biasanya
berkedudukan pada Formasi Baturaja (Gambar 2.6). Biasanya berkembang pada
fasies laut dangkal pada bagian yang lebih bawah dari serpih Telisa dan
seharusnya ditetapkan sebagai anggota dari formasi ini. Permukaan singkapan dari
batugamping Batuaraja ditemukan di berbagai tempat sekitar Pegunungan Gumai.
Ketebalan maksimumnya adalah 200 m. Batugamping Formasi Baturaja
16
ditemukan pada tinggian purba dan sepanjang batas cekungan. Hal ini tidak hadir
sepanjang daerah rendah dengan pengisian graben yang tebal, dimana fasies
serpih laut dengan kaya foraminifera terbentuk ditemukan. Umur dari formasi ini
Miosen Awal.
2.4.6 Formasi GumaiTobler (1910) dan Tobler (1906) dalam Darman dan Sidi (2000)
mengatakan bahwa rangkaian tebal dari serpih laut dalam Miosen Awal dan marl
pada Sumatra Tengah dan Selatan dideskripsikan dengan 2 nama berbeda.
Formasi Gumai (Gambar 2.6) didasarkan sepanjang bagian Pegunungan Gumai,
ketika Formasi Telisa dinamakan setelah Sungai Telisa dekat Sarolangun, Jambi.
Formasi ini dikarakteristikan sebagai rangkaian lumpur coklat gelap yang tebal,
yang biasanya mengandung foraminifera planktonik yang membentuk perlapisan
tipis berwarna putih. Tuf yang berwarna keputihan dan lapisan coklat turbidit
yang membentuk andesit tufaan. Lapisan dengan nodul karbonatan berbentuk
lentikular dan berwarna coklat memiliki diameter mencapai 2 m dan berada pada
bagian atas dari formasi ini.
Ketebalan formasi ini dari beberapa ratus meter hingga 3000 m atau
mungkin lebih. Hal ini disebabkan oleh subsiden, namun juga merupakan refleksi
dari ketebalannya itu sendiri, daerah cekungan pada Telisa ini termasuk di
dalamnya adalah lateral ekivalensi dari Talang Akar bagian atas, Baturaja, dan
Formasi Palembang bagian bawah. Umur dari formasi ini bervariasi. Ketika tidak
ada batugamping Baturaja dikembangkan pada bagian dasarnya lapisan Formasi
Telisa memiliki zona N4 foraminifera planktonik (Miosen Awal). Ketika Baturaja
memiliki ketebalan, lapisan tertua Formasi Telisa memiliki zona fauna N6 atau
N7. Bagian atasnya juga bervariasi dari zona N8 (Miosen Awal) hingga N10
(Miosen Tengah), tergantung pada posisi dari cekungan dan batas formasi itu
dibatasi.
2.4.7 Formasi Air BenakatDarman dan Sidi (2000) mengatakan bahwa Formasi Air Benakat
(Gambar 2.6) diendapkan secara selaras di atas Formasi Gumai dan merupakan
awal terjadinya fase regresi. Formasi ini terdiri dari batulempung putih kelabu
dengan sisipan batupasir halus, batupasir abu-abu hitam kebiruan, glaukonitan
17
setempat mengandung lignit dan di bagian atas mengandung tufaan sedangkan
bagian tengah kaya akan fosil foraminifera. Ketebalan Formasi Air Benakat
bervariasi antara 100-1000 m dan berumur Miosen Tengah-Miosen Akhir.
Menurut AMI Study Group (1994) Formasi Air Benakat tersingkap di
bagian baratdaya daerah penyelidikan dan sebarannya berarah baratlaut-tenggara
dengan kemiringan rata-rata 8o ke arah timurlaut. Formasi ini terdiri atas
perselingan batulempung dengan batupasir dan sisipan batulanau. Batulempung
berwarna abu-abu sampai coklat dan abu-abu kebiruan, berlapis baik dengan tebal
lapisan berkisar antara 15 dan 40 cm, umumnya gampingan dan karbonan.
Batupasir berwarna abu-abu kehijauan sampai hijau tua, kompak, berlapis baik
dengan tebal lapisan 10-30 cm, berbutir halus sampai sedang, mengandung
glaukonit dan sisa tumbuhan terutama pada bidang perlapisan. Konglomerat
terdapat pada puncak formasi secara lokal, berwarna abu-abu tua, disusun oleh
komponen berukuran 2 – 25 mm. Komponennya terdiri dari batupasir, batuan
beku dan cangkang moluska. Tebal lapisan konglomerat sampai 1,5 m. Formasi
diendapkan di lingkungan laut dangkal dan diendapkan selaras di atas Formasi
Gumai.
2.4.8 Formasi Muara EnimDarman dan Sidi (2000) mengatakan bahwa bagian top dan bottom satuan ini
ditentukan oleh atas dan bawah terjadinya lapisan batubara kontinu secara lateral.
Ketebalan di area sekitar Muara Enim dan Lahat kira-kira 500-700 m, sekitar 15%
mengandung batubara. Lapisan batubara sangat tipis atau bahkan ada, tergantung
rata-rata peranan aliran dalam endapan batubara dan preservasi.
AMI Study Group mengatakan bahwa Formasi Muara Enim (Gambar 2.6)
tersingkap hampir merata di bagian tengah dan utara lembar peta serta menempati
struktur monoklin dan antiklin. Formasi ini dikenal sebagai pembawa endapan
batubara Cekungan Sumatra Selatan.
Formasi Muara Enim mewakili tahap akhir dari fase regresi Tersier.
Formasi ini diendapkan secara selaras di atas Formasi Air Benakat pada
lingkungan laut dangkal, paludal, dataran delta dan non-marine. Ketebalan
formasi ini 500 – 1000 m, terdiri dari batupasir, batulempung ,batulanau, dan
batubara. Batupasir pada formasi ini dapat mengandung glaukonit dan debris
18
volkanik. Pada formasi ini terdapat oksida besi berupa konkresi-konkresi dan
silisified wood. Sedangkan batubara yang terdapat pada formasi ini umumnya
berupa lignit. Formasi Muara Enim berumur Miosen Akhir – Pliosen Awal
(Musper, 1933 dalam Darman dan Sidi, 2000).
2.4.9 Formasi KasaiDarman dan Sidi (2000) mengatakan bahwa kebanyakan sedimen
permukaan di Cekungan Sumatra Selatan merupakan satuan ini (Gambar 2.6).
Lapisan 250-350 m di bawah permukaan dicirikan oleh adanya tefra riolit berbutir
halus (vulkanik asam yang tertransport udara), pumice tuff kuning-putih (sering
kali dengan kristal kuarsa bening dan biotit hitam heksagonal dan batupasir
tuffaceous, dan tidak terdapat batubara. Batupasir konglomerat dan material
tumbuhan jarang ditemukan. Bagian atas formasi ini (tebalnya 300-500 m)
umumnya memang berupa pumice tuff yang kaya kuarsa tetapi ada juga yang
mengandung batupasir kasar berstruktur cross-bedded dan lapisan konglomerat
yang kaya pumice.
Untuk pertama kali, produk erosi dari formasi lebih tua ini (Telisa, Lahat,
dan Saling) ditemukan menunjukkan pengangkatan dan erosi yang signifikan
Pegunungan Gumai dalam periode ini. Banyak yang mengaggap formasi ini
sebagai endapan sinorogenik. Fasies endapannya merupakan fluvial dan alluvial
fan dengan ash-falls (non-andesitik). Fosil jarang ditemukan, hanya ada beberapa
moluska air tawar dan fragmen tumbuhan (Musper, 1933 dalam Darman dan
Sidi,2000).
Menurut AMI Study Group (1994) Formasi Kasai diendapkan secara
selaras di atas Formasi Muara Enim dengan ketebalan 850 – 1200 m. Formasi ini
terdiri dari batupasir tufan dan tefra riolitik di bagian bawah. Bagian atas terdiri
dari pumice tuff kaya kuarsa, batupasir, konglomerat, tuf pasiran dengan lensa
ruditnmengandung pumice dan tuf berwarna abu-abu kekuningan, banyak
dijumpai sisa tumbuhan dan lapisan tipis lignit serta kayu yang terkersikkan.
Fasies pengendapannya adalah fluvial dan alluvial fan. Formasi Kasai berumur
Pliosen Akhir-Plistosen Awal.
19
2.4.10 Endapan KuarterMenurut Darman dan Sidi (2000) lapisan paling muda yang berada pada
daerah ini tidak dipengaruhi oleh lipatan berumur Plio-Pleistosen, yang
dikelompokkan sebagai Kuarter yang tidak selaras diatas Formasi Palembang atau
formasi yang lebih tua lainnya, dan biasanya dibedakan dari lapisan Formasi
Palembang oleh kehadiran andesitik berwarna gelap dan batuan basaltik volkanik.
Volkanik andesitik kuarter biasanya berlimpah pada Bukit Barisan yang juga
diantara Sungai Lematang dan Enim dengan banyaknya produk intrusi dan
ekstrusi yang sekarang membentuk kelompok Bukit Asam, Serelo, dan Djelapang.
Batuan lain yang termasuk ke dalam Kuarter adalah Liparite (ignimbrite) yang
mengisi lembah pada daerah Pasumah bagian selatan dari Pegunungan Gumai, tuf
andesit dan lahar pada daerah Pasumah berasal dari gunungapi Barisan seperti
Dempo, dan terendapkan sepanjang sungai utama.
20
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1. Batuan Reservoar
Batuan reservoir adalah wadah di bawah permukaan yang mengandung
minyak dan gas. Batuan reservoir harus mempunyai porositas yang memberikan
kemampuan menyimpan, juga kelulusan atau permeabilitas, yaitu kemampuan
untuk melepaskan minyakbumi itu. Jadi, dapat disebutkan bahwa reservoir harus
berongga-rongga atau berpori-pori yang berhubungan (Koesoemadinata, 1980).
3.2. Analisis Batuan Inti Core
Batuan inti ( core ) merupakn informasi pertama yang dapat digunakan
untuk karakterisasi suatu formasi. Dari batuan inti ( core ) dapat mendeskripsikan
sifat fisik dari tubuh batuan seperti tekstur, struktur sedimen dan komposisi yang
menyusun suatu lapisan, sehingga dapat menentukan fasies dan lingkungan
pengendapan.
3.2.1. Fasies
Fasies sedimen adalah suatu batuan yang dapat dikenali dan dibedakan
dengan satuan batuan lain atas dasar geometri, litologi , struktur sedimen, tekstur
dan fosil serta arus purba. ( Selley, 1970 ). Selley ( 1985 ) juga menyebutkan
bahwa fasies adalah istilah yang digunakan apabila batuan yang sama diendapkan
di tempat yang berbeda, atau apabila batuan yang berbeda diendapkan di tempat
yang sama pada waktu berbeda, atau apabila batuan yang berbeda diendapkan
ditempat yang berbeda pada waktu yang sama. Penentuan fasies dapt ditinjau dari
beberapa karakteristik yang berbeda seperti litologi, kandungna biogenic atau
berdasarkan metode tertentu yang dipakai sebagai cara pengamatan fasies,
contohnya fasies seismic atau fasies log.
Lingkungan pengendapan adalah bagian dari permukaan bumi dimana
proses fisik, kimia dan biologi berbeda dengan daerah yang berbatasan dengannya
(Selley, 1988). Sedangkan menurut Boggs (1995) lingkungan pengendapan adalah
karakteristik dari suatu tatanan geomorfik dimana proses fisik, kimia dan biologi
berlangsung yang menghasilkan suatu jenis endapan sedimen tertentu. Nichols
(1999) menambahkan yang dimaksud dengan proses tersebut adalah proses yang
21
berlangsung selama proses pembentukan, transportasi dan pengendapan sedimen.
Perbedaan fisik dapat berupa elemen statis ataupun dinamis. Elemen statis antara
lain geometri cekungan, material endapan, kedalaman air dan suhu, sedangkan
elemen dinamis adalah energi, kecepatan dan arah pengendapan serta variasi
angin, ombak dan air. Termasuk dalam perbedaan kimia adalah komposisi dari
cairan pembawa sedimen, geokimia dari batuan asal di daerah tangkapan air
(oksidasi dan reduksi (Eh), keasaman (Ph), kadar garam, kandungan karbon
dioksida dan oksigen dari air, presipitasi dan solusi mineral). Sedangkan
perbedaan biologi tentu saja perbedaan pada fauna dan flora di tempat sedimen
diendapkan maupun daerah sepanjang perjalanannya sebelum diendapkan.
Permukaan bumi mempunyai morfologi yang sangat beragam, mulai dari
pegunungan, lembah sungai, pedataran, padang pasir (desert), delta sampai ke
laut. Dengan analogi pembagian ini, lingkungan pengendapan secara garis besar
dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yakni darat (misalnya sungai, danau dan
gurun), peralihan (atau daerah transisi antara darat dan laut; seperti delta, lagun
dan daerah pasang surut) dan laut. Banyak pengarang membagi lingkungan
pengendapan berdasarkan versi masing-masing. Selley (1988) misalnya, membagi
lingkungan pengendapan menjadi 3 bagian besar: darat, peralihan dan laut
Terestrial Padang pasir (desert)Glasial
DaratanSungai
Encer (aqueous) Rawa (paludal)Lakustrin
Delta
PeralihanEstuarin
LagunLitoral (intertidal)
Reef
LautNeritik (kedalaman 0-200 m)
Batial (kedalaman 200-2000 m)Abisal (kedalaman >2000 m)
Gambar 3.1. Klasifikasi lingkungan pengendapan (Selley, 1988)
22
Fasies merupakan bagian yang sangat penting dalam mempelajari ilmu
sedimentologi. Bahwa dalam mempelajari lingkungan pengendapan sangat
penting untuk memahami dan membedakan dengan jelas antara lingkungan
sedimentasi (sedimentary environment) dengan lingkungan facies (facies
environment) ( Boggs 1995 ). Lingkungan sedimentasi dicirikan oleh sifat fisik,
kimia dan biologi yang khusus yang beroperasi menghasilkan tubuh batuan yang
dicirikan oleh tekstur, struktur dan komposisi yang spesifik. Sedangkan facies
menunjuk kepada unit stratigrafi yang dibedakan oleh litologi, struktur dan
karakteristik organik yang terdeteksi di lapangan
Hubungan antara fasies sedimen dan lingkungan pengendapan yaitu fasies
sedimen adalah produk dari suatu proses pengedapan batuan sedimen di dalam
suatu jenis lingkungan pengendapan. Sehingga dengan mendeskripsikan fasies
sedimen akan dapat menginterpretasikan jenis lingkungan pengendapanya.
Kondisi lingkungan pengendapan akan mengontrol proses dan menjadi
penyebab karakteristik sedimen yagn terendapkan, digambarkan sebagai suatu
proses ( cause ). Sedangkan fasies pengendapan yang merupakan kenampakan
suatu tubuh batuan sedimen yagn memiliki kekhasan sifat fisik, kimia dan biologi
sebagai suatu hasil atau produk dari suatu lingkungan pengendapn tertentu,
dinyatakan sebagai suatu respon atau effect ( Selley, 1985 ).
Gambar 3.2. Hubungan fasies dengan lingkungan pengendapan ( selley,
1985 )
23
3.3. Analisis Petrografi
Meskipun teknologi semakin berkembang dan berbagai peralatan telah
diciptakan untuk mnyelidiki dan menjawab segala persoalan mengenai batuan
sedimen, namun analisis petrografi masih diakui sebagai teknik utama yagn dapat
menghasilkan informasi yang bernilai.
Melalui studi petrografi dapat dievaluasi hubungan antara fasies
pengendapan, komposisi dan geometri sistem pori batuan, diagenesis serta
kualitas reservoir sehingga dihasilkan pemahaman yang baik dan dapat dijadikan
suatu model pada batuan reservoir lainnya dengan karakter yang relatif sama
( Hadi Prasetyo, 2009 ).
Manfaat penggunaan analisi petrografi dari sayatan tipis antara lain :
1. Dapat mengidentifikasi komposisi mineralogy batuan dari butiran,
semen, dan matriksnya.
2. Mengetahui tekstur dan hubungan antar mineral-mineralnya.
3. Mengetahui besar porositas batuan.
4. Dapat mengetahui diagenesa batuan.
Analisis sayatn tipis tidak dapat menguraikan komposisi mineral-mineral yang
sangat halus seperti meineral lempung, sebab keterbatasan kemampuan mikroskop
yagn digunakan.
3.3.1 Komponen, Tekstur dan Klasifikasi
Batupasir adalah batuan sedimen klastik yang sebagian besar butiranya
berukuran pasir ( 0.125 – 2 mm, skala wenwort ). Ada yang disebut sebagai
batupasir murni dan ada yang sisebut batupasir tidak murni. Pengertian ini erat
kaitanya dengan jumlah matrik berukuran lempung dan lanau pada batupasir
tersebut.
A. Komponen – Komponen Batupasir
Pembentukan batupasir tidak terlepas dari keberadaan komponen –
komponen yang menyusunnya. Adapun komponen pembentukan batupasir secara
umum adalah ( Gambar 3.3 ) :
a. Komponen butiran ( framework grains )
b. Matriks ( matrix )
c. Semen ( cement )
24
d. Rongga/ pori ( pore space )
B. Tekstur Batuan Sedimen
Tekstur pada batuan sedimen mereflesikan sejarah pembentukannya. Ada
2 golongan besar tekstur pada batuan sedimen yaitu bertekstur klastik dan
sedimen bertekstur non-klastik ( kristalin ).
Tekstur Klastik
Tekstur klastik adalah tekstur yang terbentuk dari akumulasi mineral dan
fragmen batuan. Komponen batuan sedimen klastik terdiri dari butiran, massa
dasar dan semen. Beberapa parameter dasar yang digunakan untuk
mendeterminasi karakteristik batuan klastik dan pengaruhnya terhadap
pembentukan pori-pori adalah :
a. Besar butir ( grain size ). Skala besar butir yang dipakai adalah skala
Wenworth. Besar butir mempengaruhi ukuran pori-pori, tetapi tidak
mempengaruhi porositas total dari batuan.
b. Pemilahan ( sorting ) adalah cara penyebaran bebagai macam besar butir.
Pemilahan yang baik adalah apabila batuan terdiri dari besar butir yang
hampir seragam. Jika pemilah sangat buruk, batuan akan terdiri dari butir-
butir dengan berbagai ukuran. Dengan demikian rongga yang terdapat
diantara butiran besar akan terisi oleh butiran yang lebih kecil sehingga
akan mengurangi porositas batuan tersebut.
c. Bentuk dan kebundaran ( shape and roundness ). Bentuk butiran
menghasilkaan suatu penyusunan butir yang lebih kompak atau lebih lepas
dan dengan demikian menentukan bentuk dan besar pori/rongga. Pada
umumnya jika bentuk butiran mendekati bola maka porositas dan
permeabilitasnya akan meningkat. Segala bentuk yang menyudut akan
mengisi rongga yang ada.
d. Penyusunan ( packing ) adalah pengaturan kepadatan dari butiran satu
terhadap yang lainnya. Untuk besar butir yang seragam maka porositas
hanya tergantung pada cara penyusunan butir ditentukan oleh kompaksi
setelah sedimentasi.
25
Umumnya klasifikasi batupasir menggunakan pola plot QRF atau QFL,
dimana kuarsa ( Q ), feldspar ( F ) dan fragmen batuan ( R/L ) diplot pada masing
– masing kutub pada klasifikasi segitiga . ( Gambar 3. 3 )
Gambar 3.3. Kalsifikasi batupasir ( a ) menurut McBride ( 1963 ) ( b ) Folk
( 1974 )
Klasifikasi batupasir ini dilakukan dengan cara mengamati sifat-sifat yang
dimiliki batupasir dengan menggunakan mikroskop polarisasi kemudian dihitung
persentase masing- masing mineral dan fragmen batuan, dan baru kemudian
diplotkan pada diagram tadi sehingga nama dan golongan batuan batupairnya
dapat diketahui. Perlu diketahui bahwa persentase kehadiran material penyusun
yang dihitung adalh komponen butiranya saja. Dalm penelitian ini penulis
mengunakan klasifikasi Folk ( 1974 )
26
Tekstur Non- Klastik
Batuan jenis ini umumnya terdiri dari mineral – mineral autigenik. Pada
umumnya batuan memperlihatkan gejala diagenesa pada kondisi tekanan dan
temperatuur tertentu, sehingga porositas batuan sering sangat rendah bahkan
hilang. Biasanya batuan ini ditandai oleh tekstur mozaik, contohnya batugamping.
Ciri – cirri penting pada batuan non-klastik adalah bahwa butiran yang
awalnya halus, pada saat terjadi proses diagenesa akan berkembang atau
bertambah besar. Beberapa akibat atau pengaruh proses diagenesa adalah :
1. Adanya rekristalisasi
2. Tidak adanya perubahan mineral-mineral
3. Butiran berkembang berupa mozaik dan mengakibatkan
porositas mengecil bahkan hilang
4. Bila terjadi proses penggantian mineral umumnya tidak
memperbesar butiran tetapi semakin memperkecil butiran
( menjadi lebih halus dari awal )
Selain hal tersebut diatas, pada batuan sediemn non-klastik sangat
berpengaruh juga proses pelarutan. Proses pelarutan yang terjadi umumnya
menambah porositas batuan. Proses ini juga megakibatkan terbentuknya tekstur
yang khas ( stylolitik ) dimana batas – batas mineral sangat bergerigi/tidak
beraturan.
3.3.2. Diagenesa
Diagenesa merupakan suatu proses perubahan fisika, kimia dan biologi
yang dialami sedimen setelah diendapkan dan sebelum termetamorfosakan.
Perubahan ini secara nyata terlihat dengan adanya perubahan tekstur dan
komposisi sedimen. Umumnya perubahan- perubahan diagenesa terjadi pada
temperature kurang dari 3000 C dan tekanan antara 1-2 kb. Sebagian besar
diagenesa terjadi setelah sedimen mengalami pengendapan. Namun demikian,
pada saat batuan sediemen terangkat dan tersingkap kembali ke permukaan,
diagenesa masih tetap berlangsung. Oleh sebab itu diagenesa dibagi menjasi 3
bagian besar ( Choquette & Pray, 1970 ) yaitu :
Penecontemporancous ( syndepositional ) adalah proses diagenesa yang terjadi
pada lingkungan penegendapan.
27
Eodiagenetic ( dekat permukaan ) adalah proses diagenesa yang terjadi pada
daerah dekat permukaan.
Mesodiagenetik ( burial ) adalah proses diagenesa yang terjadi selama burial
jauh di bawah permukaan
Telodiagenetic ( pengangkatan atau ketidakselarasan ) adalah proses diagenesa
yang berhubungan dengan pengankatan dan umumnya dihasilkan dari fluida
dekat permukaan.
3.3.3. Porositas dan Permeabilitas Batupasir
Porositas adalah volume total pori yang secara matematis dinyatakan
dengan perbandingan ruang pori terhadap volume total batuan. Karakteristik pori
tergantung dari variasi ukuran dan bentuk butiran penyusun batuan. Komposisi
dan distribusi mineralogi serta proses diagenesis.
Karakteristik pori bisa berbeda pada arah dan posisi yang berbeda-beda.
Secara umum, karakteristik pori batuan dapat dibedakan menurut konektifitasnya
menjadi beberapa tipe :
1. Saling berhubungan/efektif
Pori yang saling berhubungan atau efektif adalah pori batuan yang
membentuk fase kontinyu dalam media berpori.
2. Tidak berhubungan atau terisolasi
Adalah pori batuan yang terdispersi dalam suatu medium berpori dan tidak
memiliki kontribusi berarti untuk menstranport fluida didalamnya.
3. Dead-end atau blind
Adalah pori yang berhubungan hanya dalam satu sisi dan kontribusinya
dalam transport fluida dapat diabaikan.
Skala kuantitatif yang dipakai untuk mengetahui prosentase nilai porositas
batuan ( Koesoemadinata, 1980 ) adalah sebagai berikut :
Porositas Istimewa ( excellent porosity ) : > 25 %
Porositas baik ( Good porosity ) : 15 -25 %
28
Porositas sedang ( fair porosity ) : 10 -15 %
Porositas buruk ( poor porosity ) : 5 – 10 %
Porositas sangat buruk ( very poor porosity ) : 0 – 5 %
Permeabilitas menyatakan kemampuan media berpori dengan luas dan
gradient tekanan tertentu untuk mengalirkan fluida Newtonian atau fluida yang
tidak mengalami perubahan kekentalan ketika mengalir. Formasi produktif
memiliki permeabilitas 1-1000 d. suatu media porous dinyatakan mempunyai
permeabilitas 1-d jika beda tekanan 1 atm menghasilkan laju alir fluida sebesar
cm3/detik dengan kekentalan 1cP pada kubus berisi 1 cm.
Permeabilitas dapat diturunkan dari persaman darcy sebagai berikut :
Dimana : Q : Volume air ( cm/sec )
K : Permeabilitas ( Darcy )
M : Viskositas ( sentipoise )
P/ L : gradient hidrolik ( atm/cm )
Permeabilitas sangat terpengaruh oleh ukuran butiran batuan. Batuan
sedimen dengan butiran kasar dan porositas besar akan memiliki permeabilitas
besar. Sedangkan batuan sediemn berbutir halus, berpori kecil memiliki
permeabilitas yang lebih kecil.
Skala kuantitatif untuk mengetahui nilai permeabilitas rendah adalah
sebagai betikut :
Permeabilitas baik sekali ( very good ) : 100-1000 md
Permeabilitas baik ( good ) : 10 -100 md
Permeabilitas sedang ( fair ) : 5-10 md
Permeabilitas ketat ( tight ) : < 5 %
Setelah proses pengendapan, secara bertahap batupasir mengalami
penurunan nilai porositas dan permeabilitas dengan semakin bertambahnya
kedalaman. Perubahan komposisi batupasir merupakan salah satu faktor terjadinya
perubahan nilai porositas pada batupasir. Komposisi dari berbagai partikel butiran
pada batupasir akan semakin beragam selama berlangsungnya proses diagenesa.
29
Misalnya saja hadirnya mineral autigenic lempung menyebabkan
megaporosity berubah menjadi microporosity. Diantara pengaruh kehadiran
lempung dalam reservoir batupasir adalah:
Memperkecil harga porositas efektif dan permeabilitas
Merubah persamaan resistivitas diturunkan pada persamaan Archie
Distribusi lempung/serpih dalam shaly sand ada 3 bentuk, yaitu :
a. Struktural yaitu jenis shale yang terbentuk dalm butiran.
b. Dispersi yaitu shale yang terdapat di dalm pori-pori batuan ( sebagai
semen, pore linings )
c. Laminasi yaitu shale berbentuk perlapisan, sebagai matrik ( pada
umumnya < 1 cm, walaupun ada > 1 cm )
Laminasi lempung hadir sebagai interlaminasi atau sisipan yang
menyebabkan sand bersih menjasi bersifat shaly, mengurangi porositas dan
permeabilitas yang nilainya proporsional terhadap fraksi volume shale yang
hadir.
Kehadiran disperse lempung bisa menyebabkan reservoir menjadi
tidak produktif karena turunnya porositas efektif dan permeabilitas yang
sangat drastic, sedangkan shale structural hadir sebagai butiran lempung atau
mudstone dalam batupasir dan snagt kecil pengaruhnya terhadap perubahan
porositas dan permeabilitas.
3.3.4. Kualitas Reservoar
Analisa kualitas reservoir dalam fasies reservoir mencakup analisa
hubungan antara pengaruh diagenesa dengan variasi porositas dan permeabilitas.
Kualitas reservoar batuan sedimen silisiklastik dalam hal ini adalah
batupasir, merupakan fungsi dari porositas dan permeabilitas awal yang sangat
dikontrol oleh tekstur pengendapan ditambah modifikasi oleh proses diagenesa
yang terjadi. Reservoar batupasir pada kedalam lebih dari besar dari 200 m,
kualitas lebih banyak dipengaruhi oleh proses diagenesa dibandingkan dengan
pengaruh tekstur pengendapan ( McBride 1996 dalam Selley 1984 )
30
Sangatlah penting untuk mengetahui geometri pori batuan reservoar seperti
bentuk, ukuran dan penyebaran pori karena hal ini berpengaruh terhadap tipe,
jumlah, dan tingkat produksi hidrokarbon.
31
BAB IV
METODELOGI PENELITIAN
Metode penelitian yang dilakukan berdasarkan data core, petrografi berupa
sayatan tipis serta data pendukung berupa routine core. Metode yang dipakai
untuk memecahkan permasalahan tersebut diatas adalah analsis fasies, lingkungan
pengendapan dan analisis proses diagenesa serta mengintegrasikannya semua
informasi geoogi dalam analisis kualitas reservoir pada daerah telitian. Untuk
melaksankan penelitian ditempuh dengan melalui beberapa tahapan, antara lain :
4.1. Tahap Persiapan
Tahap ini meliputi studi literatur pada daerah telitian dari peneliti
terdahulu. Pengumpula data geologi regional terutama laporan – laporan instansi
yang membahas kondisi geologi daerah penelitian.
4.2. Tahap Pengumpulan dataPengumpulan data primer pada sumur “ fei “ berupa data batuan inti
( core ) sepanjang 7 ( tujuh ) m yang diguanakn untuk mengetahui sifat fisik dari
batuan, fasies serta lingkungan pengendapan, data sayatan tipis ( petrografi )
dengan jumlah 12 perconto digunakan untuk mengetahui sifat fisik, jenis
batupasir dan proses diagenesa batuan. data sekunder berupa data routine core,
untuk mengetahui nilai porositas dan permeabilitas.
4.3. Tahap Pengolahan Data
Dalam pengolahan data dilakukan sesuai dengan urutan dalam
mencapai yang di inginkan, yaitu :
1. Melakukan analisa batuan inti ( core ) , untuk mengetahui jenis
litologi, tekstur batuan, struktur sedimen dan komposisi batuan.
2. Melakukan analisa sayatan tipis ( petrografi ), dengan maksud untuk
mengetahui komposisi, tekstur, jenis litologi, porositas visual,
diagenesa.
3. Membuat cross plot berdasarkan data “ routine core “ yaitu croos plot
porositas versus permeabilitas, porositas versus kedalaman dan
permeabilitas versus kedalaman.
32
4.4. Tahap Interpretasi
Pada tahap ini dilakukan interrpretasi dari data-data yang telah ada.
Dari data batuan inti ( core ) dilakuakn analisis mengenai fasies dan
lingkungan pengendapan pengaruhnya terhadap kualitas reservoir. Data
sayatan tipis ( petrografi ) menganalisis jenis batupasir serta proses diagenesa
yang bekerja yang dapat mempengaruhi kualitas reservoai. Kemudian dari
data routine core dapat mengetahui hubungan antara porositas dengan
permeabilitas, porositas dengan kedalaman dan permeabilitas dengan
kedalaman. Berdasarkan data – data tersebut diatas dapat mengetahui kualitas
reservoir batupair pada sumur “ fei “
4.5. Alat dan Bahan yang digunakan
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Komparator besar butir, lup, HCL 0,1 M, sponge dan alat tulis yang
digunakan untuk analisis batuan inti ( core )
b. Mikroskop polarisasi yang dibuat oleh Leitz dan Zeiss Manufactures
yang digunakan untuk analisis sayatan tipis ( petrografi ) yang
sebelum dianalisa diberi blue-dye epoxy.
33
4.6. Diagram Alir Metode Penelitian
Gambar 4.6 Diagram Alir Penelitian
BAB VRENCANA KERJA
N Kegiatan Waktu
34
Studi Pustaka
Pengumpulan data
Analisis Core Analisis Petrografi AnalisisRoutine core
Jenis litologi, Tektur batuan Struktur
sedimen, komposisi Batuan
Komposisi batuan, tekstur, jenis
batupasir, Porositas visual, Diagenesa
Cross Plot : Porositas & Permeabilitas,
Porositas & Kedalaman, serta Permeabilitas &
Kedalaman
Fasies LingkunganPengendapan
Kualitas Reservoar
o Oktober November Desember Januari 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 41 Pengurusan
Administrasi 2 Studi Pustaka
3Pengenalan & Pelatiahan sofware
4 Pengambilan data
5Analisis Core, Petrografi
6
Analisis Data Rountine core, Well Log,SEM, XRD
7 Laporan, Evaluasi,
dan presentasi
35
1