proposal rte
TRANSCRIPT
0
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE ROTATING TRIO
EXCHANGE (RTE) UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA
PADA SISWA KELAS VIIIB SMP NEGERI 1 BURAU KABUPATEN LUWU TIMUR
PROPOSAL
Oleh:
N U R U L A N 10536 1540 06
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKAFAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR2010
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan sarana yang sangat berperan untuk menciptakan
manusia yang berkualitas dan berpotensi, melalui pendidikan akan terjadi proses
pendewasaan diri sehingga di dalam proses pengambilan keputusan terhadap
suatu masalah yang dihadapi selalu disertai dengan rasa tanggung jawab yang
besar.
Mengingat peran pendidikan tersebut maka aspek ini telah menjadi
perhatian pemerintah dalam rangka meningkatkan sumber daya masyarakat
Indonesia yang berkualitas. Upaya yang telah dilakukan untuk meningkatkan
mutu pendidikan pada umumnya adalah pembaharuan sistem pendidikan.
Pendidikan yang bermutu yang diharapkan adalah pendidikan yang mampu
menghasilkan lulusan yang berkemampuan tinggi untuk menyelesaikan
persoalan-persoalan yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan.
Fisika sebagai salah satu mata pelajaran di sekolah dinilai cukup
memegang peranan penting dalam membentuk siswa menjadi berkualitas, karena
Fisika merupakan suatu sarana berpikir untuk mengkaji sesuatu secara logis,
kritis, rasional dan sistematis serta melatih kemampuan peserta didik agar
terbiasa dalam memecahkan suatu masalah yang ada di sekitarnya sehingga dapat
mengembangkan potensi diri dan sumber daya yang dimiliki peserta didik.
1
2
Karena itu, hendaknya pembelajaran Fisika dapat terus ditingkatkan hingga
mencapai taraf kualitas yang lebih baik. Sebab dengan adanya peningkatan hasil
pembelajaran Fisika diharapkan dapat berdampak positif pada peningkatan mutu
pendidikan di Indonesia.
Namun dalam implementasinya di lapangan, ternyata pembelajaran
matematika belum sepenuhnya mencapai taraf kualitas yang diharapkan.
Kenyataan ini dapat dilihat dari hasil belajar matematika yang diperoleh siswa
masih rendah. Dari hasil survei Programme for International Student Assesment
(PISA) tahun 2005 menyimpulkan bahwa prestasi literasi matematika anak
Indonesia berada pada urutan 39 dari 41 negara, dimana Thailand di urutan 32
dan Cina serta Jepang di urutan 1 dan 2. (Darhim, dalam makalah seminar
peningkatan mutu guru matematika pasca Undang-Undang Guru dan Dosen,
kampus Unismuh, 2006 : 2)
Berdasarkan hasil observasi awal yang dilakukan penulis di SMP Negeri
31 Palembang, diperoleh keterangan dari guru bidang studi Fisika bahwa beliau
masih mendapatkan kendala dalam upaya meningkatkan hasil belajar Fisika
khususnya kelas VIII. Kendala tersebut antara lain adalah karena beliau
merupakan lulusan dari pendidikan Biologi, dan selama ini selalu mengajar
Biologi. Sehingga dengan adanya IPA terpadu beliau dituntut juga untuk
mengajar Fisika dan harus menguasai seluruh materi Fisika di kelas VIII. Selama
3 tahun mengajar Fisika, beliau mengalami kendala dalam menguasai materi
Fisika di kelas VIII terutama materi Bunyi. Upaya yang dilakukan untuk
3
mengatasi kendala dalam materi Bunyi, biasanya beliau menanyakan dan belajar
langsung dengan guru yang mengajar Fisika dan juga belajar sendiri dengan
membaca buku Fisika kelas VIII dan mencari informasi mengenai materi Bunyi
di Internet. Kendala lainnya adalah keterbatasan alat untuk melakukan praktikum
atau demonstrasi mengenai materi Bunyi, karena di laboratorium Fisika SMP N
31 PLG tidak memiliki alat praktikum untuk menjelaskan mengenai materi
Bunyi. Kendala yang lain adalah siswa cepat lupa materi yang telah diajarkan
karena kurangnya pemahaman siswa terhadap konsep yang diajarkan serta
seringnya Fisika dianggap oleh siswa sebagai mata pelajaran yang sulit untuk
dipahami konsep-konsepnya.
Kendala-kendala tersebut terjadi dikarenakan siswa kurang terlibat aktif
dalam pembelajaran dan lebih cenderung menerima apa saja yang disampaikan
oleh guru, lalu diam dan enggan dalam mengemukakan pertanyaan dan pendapat.
Hal ini disebabkan karena guru masih cenderung menggunakan model
pembelajaran yang banyak didominasi oleh guru, sementara siswa duduk secara
pasif menerima informasi pengetahuan dan keterampilan. Hal inilah yang diduga
merupakan salah satu penyebab terhambatnya kreativitas dan kemandirian siswa
sehingga menurunkan hasil belajar Fisika siswa. Padahal dalam kerangka
pembelajaran Fisika, siswa seharusnya dilibatkan secara mental, fisik dan sosial
untuk membuktikan sendiri tentang kebenaran dari teori-teori dan hukum-hukum
fisika yang telah dipelajari melalui proses ilmiah dan diharapkan agar siswa
mampu menguasai dan memahami teori, konsep, dan prinsip-prinsip
4
penerapannya.
Dari hasil wawancara itu, diperoleh keterangan bahwa hasil belajar
matematika siswa rata-rata di bawah 62,00 berdasarkan nilai ujian semester
ganjil tahun 2012/2013. Dari data ini dapat dikatakan bahwa nilai rata-rata hasil
belajar Fisika siswa kelas VIII SMP Negeri 31 PLG berada dalam kategori
sedang, masih di bawah nilai KKM (Kriteria Ketuntasan Mengajar) yang
ditetapkan di sekolah tersebut, yaitu 75 dari skor ideal 100 sehingga masih perlu
ditingkatkan.
Berdasarkan data-data yang memperlihatkan rendahnya hasil belajar
matematika siswa kelas VIII di atas, maka penulis menduga bahwa model
pembelajaran yang digunakan selama ini belum efektif. Atas dugaan ini maka
penulis bermaksud untuk menerapkan suatu tindakan alternatif untuk mengatasi
masalah yang ada, yakni dengan penerapan model pembelajaran yang lebih
mengutamakan keaktifan siswa dan memberi kesempatan siswa untuk
mengembangkan potensinya secara maksimal.
Model pembelajaran yang dapat melibatkan peran siswa secara aktif
adalah model pembelajaran kooperatif. Model pembelajaran kooperatif sangat
cocok diterapkan pada pembelajaran Fisika karena dalam mempelajari Fisika
tidak cukup hanya mengetahui dan menghafal konsep-konsep Fisika tetapi juga
dibutuhkan suatu pemahaman serta kemampuan menyelesaikan persoalan Fisika
dengan baik dan benar. Melalui model pembelajaran ini siswa dapat
mengemukakan pemikirannya, saling bertukar pendapat, saling bekerja sama
5
jika ada teman dalam kelompoknya yang mengalami kesulitan. Hal ini dapat
meningkatkan motivasi siswa untuk mengkaji dan menguasai materi pelajaran
fisika sehingga nantinya akan meningkatkan hasil belajar Fisika siswa.
Dalam pembelajaran kooperatif terdapat beberapa tipe yang diterapkan,
salah satunya adalah model pembelajaran kooperatif tipe Rotating Trio Exchange
(RTE). Model pembelajaran kooperatif tipe Rotating Trio Exchange (RTE) ini
merupakan tipe dimana siswa dapat bekerja sama, saling membantu belajar
informasi atau keterampilan dan adanya sistem penilaian dari peningkatan
individu dengan bekerjasama dalam kelompok. Model pembelajaran kooperatif
tipe Rotating Trio Exchange (RTE) merupakan cara yang efektif untuk
mengubah pola belajar dalam kelas. Pembelajaran kooperatif tipe ini memiliki
prosedur yang ditetapkan secara eksplisit kepada siswa untuk berpikir, menjawab
dan saling membantu satu sama lain.
Berdasarkan pemikiran di atas, maka penulis bermaksud untuk
melakukan suatu penelitian dalam bentuk penelitian tindakan kelas dengan judul
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka dapat
diidentifikasi beberapa masalah yang dihadapi dalam pembelajaran matematika
yaitu model pembelajaran yang banyak didominasi oleh guru, sementara siswa
duduk secara pasif menerima informasi pengetahuan dan keterampilan, sehingga
siswa sulit memahami materi yang diajarkan bahkan menganggap mata pelajaran
6
matematika adalah mata pelajaran yang sulit. Dari masalah-masalah inilah yang
diduga menyebabkan rendahnya hasil belajar matematika siswa kelas VIIIB SMP
Negeri 1 Burau Kabupaten Luwu Timur.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah yang telah dikemukakan maka rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah “Apakah dengan penerapan model
pembelajaran kooperatif Tipe Rotating Trio Exchange (RTE) dapat
meningkatkan hasil belajar matematika siswa kelas VIIIB SMP Negeri 1 Burau
Kabupaten Luwu Timur?”
D. Cara Pemecahan Masalah
Masalah tentang rendahnya hasil belajar matematika pada siswa kelas
VIIIB SMP Negeri 1 Burau Kabupaten Luwu Timur akan dipecahkan dengan
menerapkan salah satu tipe dalam model pembelajaran kooperatif yaitu tipe
Rotating Trio Exchange (RTE) yang dilaksanakan sesuai dengan prosedur dalam
penelitian tindakan kelas.
E. Tujuan Penelitian
Sejalan dengan rumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan penelitian
ini adalah “Untuk meningkatkan hasil belajar matematika siswa kelas VIIIB SMP
Negeri 1 Burau Kabupaten Luwu Timur melalui penerapan model pembelajaran
kooperatif tipe Rotating Trio Exchange (RTE)”
7
F. Manfaat Penelitian
1. Bagi Siswa: Dengan menumbuhkan sikap saling bekerjasama dan saling
menghargai antara siswa yang berkemampuan dan berlatar belakang berbeda
serta memungkinkan siswa lebih bersemangat belajar matematika sehingga
diharapkan hasil belajar siswa meningkat.
2. Bagi Guru: Dengan diadakannya penelitian ini, guru dapat menjadikan
penelitian ini sebagai salah satu rujukan alternatif model pembelajaran dalam
memperbaiki dan meningkatkan sistem pembelajaran di kelas sehingga
permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh guru, siswa dan lain
sebagainya dapat dikurangi.
3. Bagi Sekolah: Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan andil yang
positif, minimal sebagai informasi dan perbaikan pengembangan pengajaran
matematika selanjutnya, khususnya dalam memenuhi metode pengajaran
yang lebih efektif.
8
BAB II
KAJIAN TEORITIK DAN HIPOTESIS TINDAKAN
A. Kajian Teoritik
1. Hakikat Belajar
Belajar adalah istilah kunci (key term) yang sangat penting dalam setiap
usaha pendidikan, sehingga tanpa belajar sesungguhnya tidak pernah ada
pendidikan. Belajar adalah suatu kata yang sudah akrab dengan semua lapisan
masyarakat. Bagi siswa kata "belajar" merupakan kata yang tidak asing, bahkan
sudah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari semua kegiatan mereka
dalam menurut ilmu di lembaga pendidikan formal.
Masalah pengertian belajar ini, para ahli psikologi dan pendidikan
mengemukakan rumusan yang berlainan sesuai dengan bidang keahlian masing-
masing. Tetapi walaupun berbeda, pada hakikatnya mempunyai prinsip dan tujuan
yang sama. Menurut Sudjana (2009 : 28) bahwa:
“Belajar adalah suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri seseorang. Perubahan sebagai hasil proses belajar dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk seperti berubah pengetahuannya, pemahamannya, sikap dan tingkah lakunya, keterampilannya, kecakapan dan kemampuannya, daya reaksinya, daya penerimaannya dan lain-lain aspek yang ada pada individu.”
Selanjutnya Slameto (2003 : 2) berpendapat bahwa:
9
“Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya”.
Kemudian Hamalik (2009 : 45) mengemukakan bahwa:
“Belajar adalah suatu bentuk pertumbuhan atau perubahan dalam diri seseorang yang dinyatakan dalam cara-cara bertingkah laku yang baru berkat pengalaman dan latihan”.
Menurut Skinner (Syah, 2007: 64) berpendapat bahwa “Belajar adalah
suatu proses adaptasi (penyesuaian tingkah laku) yang berlangsung secara
progresif”. Chaplin (Syah, 2007: 65) mengemukakan “Belajar adalah perolehan
perubahan tingkah laku yang relatif menetap sebagai akibat latihan dan
pengalaman serta akibat adanya latihan khusus”. Wittig (Syah, 2007: 66)
mendefinisikan “Belajar ialah perubahan yang relatif menetap yang terjadi dalam
segala macam/keseluruhan tingkah laku suatu organisme sebagai hasil
pengalaman”.
Selanjutnya Biggs (Syah, 2007: 67-68) mendefinisikan belajar dalam tiga
macam rumusan, yaitu:
a. Secara kuantitatif (ditinjau dari sudut jumlah), belajar berarti kegiatan
pengisian atau pengembangan kemampuan kognitif dengan fakta sebanyak-
banyaknya. Jadi, belajar dalam hal ini dipandang dari sudut berapa banyak
materi yang dikuasai siswa.
8
10
b. Secara institusional (tinjauan kelembagaan), belajar dipandang sebagai proses
validasi (pengabsahan) terhadap penguasaan siswa atas materi-materi yang
telah ia pelajari.
c. Secara kualitatif (tinjauan mutu) ialah proses memperoleh arti-arti dan
pemahaman-pemahaman serta cara-cara menafsirkan dunia di sekeliling
siswa. Belajar dalam pengertian ini difokuskan pada tercapainya daya pikir
dan tindakan yang berkualitas untuk memecahkan masalah-masalah yang kini
dan nanti dihadapi siswa.
Djamarah (2008: 15-16) karena hakikat belajar adalah perubahan tingkah
laku. Maka ada beberapa perubahan yang dimasukkan ke dalam ciri-ciri belajar
yaitu:
a. Perubahan yang terjadi secara sadar
b. Perubahan dalam belajar bersifat fungsional
c. Perubahan dalam belajar bersifat positif dan aktif
d. Perubahan dalam belajar bukan bersifat sementara
e. Perubahan dalam belajar yang bertujuan atau terarah
f. Perubahan yang mencakup seluruh aspek tingkah laku.
Dari beberapa pendapat para ahli yang dikemukakan di atas tentang
pengertian belajar, maka penulis mengambil kesimpulan bahwa belajar adalah
suatu proses atau aktifitas yang dilakukan oleh seseorang yang ditandai dengan
adanya perubahan tingkah laku yang menetap sebagai hasil pengalaman dan
11
interaksi dengan lingkungannya. Perubahan perilaku yang dimaksudkan dapat
berupa perubahan pengetahuan, sikap, keterampilan, pemahaman, dan aspek-aspek
lain yang ada pada diri individu yang belajar.
2. Hakikat Matematika
Istilah matematika berasal dari kata Yunani, yaitu Mathein atau
Manthenein yang berarti ‘mempelajari’. Kata ini memiliki hubungan yang erat
dengan kata “Sanskerta”, “Medha” atau “Widya” yang memiliki arti ‘kepandaian’,
‘ketahuan’, atau ‘intelegensia’. Dalam bahasa Belanda, matematika disebut dengan
kata Wiskunde yang berarti ilmu tentang belajar yang sesuai dengan arti kata
Mathein pada matematika.
Untuk mendefinisikan hakikat matematika sangatlah sulit, tidak ada
definisi matematika yang diterima secara mutlak. Cabang-cabang matematika
makin lama makin bertambah. Sampai saat ini, diantara para ahli matematika
belum ada kesepakatan yang bulat tentang defenisi matematika. Namun demikian
para ahli berusaha memberikan gambaran tentang hakikat matematika termasuk
cara pencarian kebenaran dan cara berfikir matematika.
Johnson dan Rising (Hendrina, 2008 : 10) menyatakan bahwa matematika
adalah pola berpikir, pola pengorganisasian, pembuktian yang logik, matematika
itu adalah bahasa yang menggunakan istilah yang didefinisikan dengan cermat,
jelas, akurat, representasi dengan simbol dan padat, lebih berupa bahasa simbol
mengenai ide daripada mengenai bunyi.
12
Kemudian menurut James (Hendrina, 2008 : 10) matematika adalah ilmu
tentang logika mengenai bentuk, susunan, besaran, dan konsep-konsep yang
berhubungan satu dengan yang lainnya dengan jumlah yang banyak yang terbagi
kedalam tiga bidang, yaitu aljabar, analisis, dan geometri.
Selanjutnya menurut Ruseffendi (Heruman, 2007: 1) matematika adalah
bahasa simbol, ilmu deduktif yang tidak menerima pembuktian secara induktif,
ilmu tentang pola keteraturan, dan struktur yang terorganisasi mulai dari unsur
yang tidak didefinisikan ke unsur yang didefinisikan ke dalil. Soedjadi (Heruman,
2007 : 1), menyatakan bahwa matematika adalah ilmu yang memiliki objek tujuan
abstrak, bertumpu pada kesepakatan dan pola pikir yang deduktif.
Berdasarkan berbagai pendapat dari para ahli matematika di atas, maka
dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya matematika adalah ilmu yang melatih
kemampuan berfikir secara logis, kritis, rasional dan percaya diri, yang memiliki
objek abstrak dan berkaitan dengan simbol-simbol, ide, logika, konsep-konsep
serta alat untuk memahami dan menyampaikan suatu informasi dan pengembang
ilmu lainnya.
3. Hasil Belajar
Hasil belajar merupakan suatu ukuran berhasil atau tidaknya seseorang
siswa dalam proses belajar mengajar. Untuk mengetahui keberhasilan seseorang
dalam belajar, diperlukan suatu alat ukur. Dengan mengukur hasil belajar
seseorang dapat diketahui batas kemampuan, kesanggupan, penguasaan seseorang
13
tentang pengetahuan, keterampilan dan sikap atau nilai dalam menyelesaikan suatu
pekerjaan.
Hasil belajar adalah pola-pola perbuatan, nilai-nilai, pengertian-
pengertian, sikap-sikap, apresiasi dan keterampilan. Merujuk pemikiran Gagne
(Suprijono, 2009: 5-6) hasil belajar berupa:
a. Informasi verbal yaitu kapabilitas mengungkapkan pengetahuan dalam
bentuk bahasa, baik lisan maupun tertulis. Kemampuan merespon secara
spesifik terhadap rangsangan spesifik. Kemampuan tersebut tidak
memerlukan manipulasi simbol, pemecahan masalah maupun penerapan
aturan.
b. Keterampilan intelektual yaitu kemampuan mempresentasikan konsep dan
lambang. Keterampilan intelektual terdiri dari kemampuan mengategorisasi,
kemampuan analitis-sintesis fakta-konsep dan mengembangkan prinsip-
prinsip keilmuan. Keterampilan intelektual merupakan kemampuan
melakukan aktivitas kognitif bersifat khas.
c. Strategi kognitif yaitu kecakapan menyalurkan dan mengarahkan aktivitas
kognitifnya sendiri. Kemampuan ini meliputi penggunaan konsep dan kaidah
memecahkan masalah.
d. Keterampilan motorik yaitu kemampuan melakukan serangkaian gerak
jasmani dalam urusan dan koordinasi, sehingga terwujud otomatisme gerak
jasmani.
14
e. Sikap adalah kemampuan menerima atau menolak objek berdasarkan
penilaian terhadap objek tersebut. Sikap berupa kemampuan
menginternalisasi nilai-nilai sebagai standar perilaku.
Horward Kingsley (Sudjana, 2008 : 22) membagi tiga macam hasil
belajar, yakni:
a. Keterampilan dan Kebiasaan,
b. Pengetahuan dan Pengertian,
c. Sikap dan Cita-cita.
Dalam sistem pendidikan nasional rumusan tujuan pendidikan, baik
tujuan kurikuler menggunakan klasifikasi hasil belajar dari Benyamin Bloom
(Sudjana, 2008: 22-23) yang secara garis besar membagi tiga ranah yakni:
a. Ranah Kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari
enam aspek, yakni pengetahuan atau ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis,
sintesis, dan evaluasi. Kedua aspek pertama disebut kognitif tingkat rendah
dan keempat aspek berikutnya termasuk kognitif tingkat tinggi.
b. Ranah Afektif berkenaan dengan sikap yang terdiri dari lima aspek yakni
penerimaan, jawaban atau reaksi, penilaian, organisasi, dan internalisasi.
c. Ranah Psikomotoris berkenaan dengan hasil belajar keterampilan dan
kemampuan bertindak yang terdiri dari enam aspek yaitu gerakan refleks,
keterampilan gerak dasar, kemampuan perseptual, keharmonisan atau
15
ketepatan, gerakan keterampilan kompleks serta gerakan ekspresif dan
interpretatif.
suprijono (2009: S7) mengemukakan bahwa:
“Hasil belajar adalah perubahan perilaku secara keseluruhan bukan hanya salah satu aspek potensi kemanusian saja. Artinya, hasil pembelajaran yang dikategorisasikan oleh pakar pendidikan tidak dilihat secara fragmentris atau terpisah, melainkan komprehensif.”
Adapun hasil belajar menurut Nana Sudjana (2008 : 22) adalah
“Kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya.”
Syamsu Mappa (Lantang, 2007: 8) mengemukakan bahwa hasil belajar
adalah sesuatu yang dicapai siswa dalam suatu pembelajaran tertentu yang diukur
dengan menggunakan tes standar. Selanjutnya Muhkal dan Baso Intang Sappaile
(Lantang, 2007: 8) mengemukakan bahwa hasil belajar adalah tingkat keberhasilan
siswa menguasai bahan pelajaran setelah memperoleh pengalaman belajar dalam
suatu penggalan waktu tertentu.
Bertolak dari pendapat para ahli di atas, maka yang dimaksud dengan
hasil belajar adalah sesuatu yang dicapai siswa dengan kemampuan-kemampuan
yang dimiliki dalam menguasai bahan pelajaran setelah mengikuti proses belajar
dalam kurun waktu tertentu yang diukur dengan menggunakan tes.
16
4. Model Pembelajaran
Secara umum istilah model diartikan sebagai kerangka konseptual yang
digunakan sebagai pedoman dalam melakukan suatu kegiatan. Dalam pengertian
lain, model juga diartikan sebagai barang atau benda tiruan dari benda yang
sebenarnya. Seperti globe adalah model dari b umi tempat kita berpijak.
Sedangkan pembelajaran yang menurut Driscoll (Slavin, 2008 : 179)
didefinisikan sebagai perubahan dalam diri seseorang yang disebabkan oleh
pengalaman.
Keberhasilan proses pembelajaran tidak terlepas dari kemampuan guru
mengembangkan model-model pembelajaran yang berorientasi pada peningkatan
intensitas keterlibatan siswa secara efektif di dalam proses pembelajaran. Seluruh
aktivitas pembelajaran yang dirancang dan dilaksanakan oleh guru harus
bermuara pada terjadinya proses belajar siswa. Dalam hal ini model-model
pembelajaran yang dipilih dan dikembangkan guru hendaknya dapat mendorong
siswa untuk belajar dengan mendayagunakan potensi yang mereka miliki secara
optimal.
Model-model pembelajaran dikembangkan utamanya beranjak dari
adanya perbedaan berkaitan dengan berbagai karakteristik siswa. Karena siswa
memiliki berbagai karakteristik kepribadian, kebiaaaan-kebiasaan, modalitas
belajar yang bervariasi antara individu satu dengan yang lain, maka model
pembelajaran juga harus tidak terpaku hanya pada model tertentu, akan tetapi
17
harus bervariasi. Di samping didasari pertimbangan keragaman siswa,
pengembangan berbagai model pembelajaran juga dimaksudkan untuk
menumbuhkan dan meningkatkan motivasi belajar siswa, agar mereka tidak
jenuh dengan proses belajar yang berlangsung.
Mencermati beberapa dasar pemikiran tentang model pembelajaran yang
dikemukakan di atas, maka dapat kita memberikan arti yang lebih jelas tentang
model pembelajaran dari beberapa ahli bidang pembelajaran.
Menurut Aunurahman (2009 : 146) Model pembelajaran adalah:
“Perangkat rencana atau pola yang dapat dipergunakan untuk merancang bahan-bahan pembelajaran serta membimbing aktivitas pembelajaran di kelas atau di tempat-tempat lain yang melaksanakan aktivitas-aktivitas pembelajaran”.
Selanjutnya Brady (Aunurrahman, 2009 : 146) mengemukakan bahwa
“Model pembelajaran dapat diartikan sebagai blueprint yang dapat dipergunakan
untuk membimbing guru dalam mempersiapkan dan melaksanakan
pembelajaran”.
Joyce (Trianto, 2010: 22) model pembelajaran adalah suatu perencanaan
atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan
pembelajaran di kelas atau pembelajaran dalam tutorial dan untuk menentukan
perangkat-perangkat pembelajaran termasuk di dalamnya buku-buku, film,
komputer, kurikulum, dan lain-lain. Selanjutnya Joyce mengatakan bahwa setiap
model pembelajaran mengarahkan kita ke dalam mendesain pembelajaran untuk
membantu peserta didik sedemikian rupa sehingga tujuan pembelajaran tercapai.
18
Adapun Soekamto, dkk (Trianto, 2010: 22) mengemukakan maksud dari
model pembelajaran adalah: “Kerangka konseptual yang melukiskan prosedur
yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai
tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang
pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan aktivitas belajar mengajar.
Berdasarkan berbagai pendapat di atas, maka dapat diartikan bahwa
model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang
sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan
belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang
pembelajaran dan para guru untuk merencanakan dan melaksanakan aktivitas
pembelajaran.
5. Pembelajaran Kooperatif
a. Pengertian Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif bernaung dalam teori konstruktivis.
Pembelajaran ini muncul dari konsep bahwa siswa akan lebih mudah menemukan
dan memahami konsep yang sulit jika mereka saling berdiskusi dengan
temannnya. Siswa secara rutin bekerja dalam kelompok untuk saling membantu
memecahkan masalah-masalah yang kompleks. Jadi hakikat sosial dan
penggunaan kelompok sejawat menjadi aspek utama dalam pembelajaran
kooperatif.
19
Pembelajaran kooperatif berasal dari kata cooperative learning yang
artinya mengerjakan sesuatu secara bersama-sama dengan saling membantu satu
sama lainnya sebagai satu kelompok atau satu tim. Anita lie (dalam Isjoni 2010 :
16) menyebut pembelajaran kooperatif dengan istilah pembelajaran gotong
royong, yaitu sistem pembelajaran yang memberi kesempatan kepada peserta didik
untuk bekerjasama dengan siswa lain dalam tugas-tugas yang terstruktur.
Kemudian menurut Johnson & Johnson (Isjoni, 2010: 17) cooperative learning
adalah mengelompokkan siswa di dalam kelas ke dalam suatu kelompok kecil agar
siswa dapat bekerja sama dengan kemampuan maksimal yang mereka miliki dan
mempelajari satu sama lain dalam kelompok tersebut.
Pembelajaran kooperatif merupakan salah satu model pembelajaran
kelompok yang memiliki aturan-aturan tertentu. Prinsip dasar pembelajaran
kooperatif adalah siswa membentuk kelompok kecil dan saling mengajar
sesamanya untuk mencapai tujuan bersama (Wena, 2009: 189). Dalam
pembelajaran kooperatif siswa pandai mengajar siswa yang kurang pandai tanpa
merasa dirugikan. Siswa kurang pandai dapat belajar dalam suasana yang
menyenangkan karena banyak teman yang membantu dan memotivasinya.
Pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang secara sadar
menciptakan interaksi yang silih asah sehingga sumber belajar bagi siswa bukan
hanya guru dan buku ajar, tetapi juga sesama siswa (Nurhadi dan Senduk dalam
Wena, 2009: 189). Menurut Lie (Wena, 2009: 189-190) pembelajaran kooperatif
adalah sistem pembelajaran yamg memberi kesempatan kepada siswa untuk
20
bekerja sama dengan sesama siswa dalam tugas-tugas yang terstruktur, dan dalam
sistem ini guru bertindak sebagai fasilitator. Sedangkan Abdurrahman dan Bintaro
(Wena, 2009: 190) mengatakan bahwa pembelajaran kooperatif adalah
pembelajaran yang secara sadar dan sistematis mengembangkan interaksi yang
silih asah, silih asih, dan silih asuh antarsesama siswa sebagai latihan hidup di
dalam masyarakat nyata.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa
pembelajaran kooperatif adalah sistem pembelajaran yang berusaha memanfaatkan
teman sejawat (siswa lain) sebagai sumber belajar, di samping guru dan sumber
belajar lain.
b. Perbedaan Pembelajaran Kooperatif dengan Pembelajaran Konvensional
Dalam pembelajaran konvensional juga dikenal belajar kelompok.
Meskipun demikian, ada sejumlah perbedaan prinsipil antara kelompok belajr
kooperatif dengan kelompok belajar konvensional. Killen (Trianto, 2010: 58-59)
mengemukakan beberapa perbedaan antara kelompok belajar kooperatif dengan
kelompok belajar konvensional sebagai berikut:
Tabel 2.1. Perbedaan Kelompok Belajar Kooperatif dengan Kelompok Belajar Konvensional
Kelompok Belajar Kooperatif Kelompok Belajar Konvensional
Adanya saling ketergantungan positif, saling membantu, dan saling memberikan motivasi sehingga ada interaksi promotif.
Guru sering membiarkan adanya siswa yang mendominasi kelompok atau menggantungkan diri pada kelompok.
21
Kelompok Belajar Kooperatif Kelompok Belajar Konvensional
Adanya akuntabilitas individual yang mengukur penguasaan materi pelajaran tiap anggota kelompok, dan kelompok diberi umpan balik tentang hasil belajar para anggotanya sehingga dapat saling mengetahui siapa yang memerlukan bantuan dan siapa yang dapat memberikan bantuan.
Akuntabilitas individual sering diabaikan sehingga tugas-tugas sering diborong oleh salah seorang anggota kelompok sedangkan anggota kelompok lainnya hanya "mendompleng" keberhasilan "pemborong".
Kelompok belajar heterogen, baik dalam kemampuan akademik, jenis kelamin, ras, etnik, dan sebagainya sehingga dapat saling mengetahui siapa yang memerlukan bantuan dan siapa yang memberikan bantuan.
Kelompok belajar biasanya homogen.
Pimpinan kelompok dipilih secara demokratis atau bergilir untuk memberikan pengalaman memimpin bagi para anggota kelompok
Pemimpin kelompok sering ditentukan oleh guru atau kelompok dibiarkan untuk memilih pemimpinnya dengan cara masing-masing.
Keterampilan sosial yang diperlukan dalam kerja gotong-royong seperti kepemimpinan, kemampuan berkomunikasi, mempercayai orang lain, dan mengelola konflik secara langsung diajarkan.
Keterampilan sosial sering tidak secara langsung diajarkan.
Pada saat belajar kooperatif sedang berlangsung guru terus melakukan pemantauan melalui observasi dan melakukan intervensi jika terjadi masalah dalam kerja sama antar anggota kelompok.
Pemantauan melalui observasi dan intervensi sering tidak dilakukan oleh guru pada saat belajar kelompok sedang berlangsung.
Guru memperhatikan secara cermat proses kelompok yang terjadi dalam kelompok-kelompok belajar.
Guru sering tidak memperhatikan proses kelompok yang terjadi dalam kelompok-kelompok belajar.
Penekanan tidak hanya pada penyelesaian tugas tetapi juga hubungan interpersonal (hubungan
Penekanan sering hanya pada penyelesaian tugas.
22
Kelompok Belajar Kooperatif Kelompok Belajar Konvensional
antar pribadi yang saling menghargai)
Sumber: Killen (Trianto, 2010: 58-59)
c. Tujuan Pembelajaran Kooperatif
Pelaksanaan model pembelajaran kooperatif membutuhkan partisipasi dan
kerja sama dalam kelompok pembelajaran. Pembelajaran kooperatif dapat
meningkatkan cara belajar siswa menuju belajar lebih baik, sikap tolong-menolong
dalam beberapa perilaku sosial. Isjoni (2010: 21) mengemukakan tujuan utama
dalam penerapan model belajar mengajar pembelajaran kooperatif adalah agar
peserta didik dapat belajar secara berkelompok bersama teman-temannya dengan
cara saling menghargai pendapat dan memberikan kesempatan kepada orang lain
untuk mengemukakan gagasannya dengan menyampaikan pendapat mereka secara
berkelompok.
Dengan melaksanakan model pembelajaran kooperatif, siswa
memungkinkan dapat meraih keberhasilan dalam belajar, disamping itu juga bisa
melatih siswa untuk memiliki keterampilam, baik keterampilan berpikir (thinking
skill) maupun keterampilan sosial (social skill), seperti keterampilan untuk
mengemukakan pendapat, menerima saran dan masukan dari orang lain,
23
bekerjasama, rasa setia kawan, dan mengurangi timbulnya perilaku yang
menyimpang dalam kehidupan kelas (Stahl, dalam Isjoni, 2010: 23).
Model pembelajaran ini memungkinkan siswa untuk mengembangkan
pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan secara penuh dalam suasana belajar
yang terbuka dan demokratis. Siswa bukan lagi sebagai objek pembelajaran,
namun bisa juga berperan sebagai tutor bagi teman sebayanya.
Pada dasarnya model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk
mencapai setidak-tidaknya tiga tujuan pembelajaran penting yang dirangkum
Ibrahim (Isjoni, 2010: 27-28), yaitu:
1) Hasil belajar akademik
Dalam pembelajaran kooperatif meskipun mencakup beragam tujuan
sosial, juga memperbaiki prestasi siswa atau tugas-tugas akademis penting
lainnya. Beberapa ahli berpendapat bahwa model ini unggul dalam membantu
siswa memahami konsep-konsep sulit. Para pengembang model ini telah
menunjukkan, model struktur penghargaan kooperatif telah dapat meningkatkan
nilai siswa pada belajar akademik dan perubahan norma yang berhubungan
dengan hasil belajar. Di samping mengubah norma yang berhubungan dengan
hasil belajar, pembelajaran kooperatif dapat memberi keuntungan, baik pada
siswa kelompok bawah maupun kelompok atas yang bekerja bersama
menyelesaikan tugas akademik.
2) Penerimaan terhadap perbedaan individu
24
Tujuan lain model pembelajaran kooperatif adalah penerimaan secara luas
dari orang-orang yang berbeda berdasarkan ras, budaya, kelas sosial,
kemampuan, dan ketidakmampuannya. Pembelajaran kooperatif memberi
peluang bagi siswa dari berbagai latar belakang dan kondisi untuk bekerja
dengan saling bergantung pada tugas-tugas akademik dan melalui struktur
penghargaan kooperatif akan belajar ssaling menghargai satu sam lain.
3) Pengembangan keterampilan sosial
Tujuan penting ketiga pembelajaran kooperatif adalah mengajarkan
kepada siswa keterampilan bekerja sama dan kolaborasi. Keterampilan-
keterampilan sosial penting dimiliki siswa, sebab saat ini banyak anak muda
masih kurang dalam keterampilan sosial.
d. Ciri-ciri Pembelajaran Kooperatif
Arends (Trianto, 2010: 65-66) menyatakan bahwa pelajaran yang
menggunakan pembelajaran kooperatif memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1) Siswa bekerja dalam kelompok secara kooperatif untuk menuntaskan materi
belajar.
2) Kelompok dibentuk dari siswa yang mempunyai kemampuan tinggi, sedang,
dan rendah.
3) Bila memungkinkan, angggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku, jenis
kelamin yang beragam; dan
4) Penghargaan lebih berorientasi kepada kelompok daripada individu.
25
e. Karakteristik Pembelajaran Kooperatif
Karakteristik dalam pembelajaran kooperatif (Wina Sanjaya, 2006: 244),
yaitu:
1) Pembelajaran secara tim
Pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran secara tim. Tim
merupakan tempat untuk mencapai tujuan. Oleh karena itu, tim harus mampu
membuat setiap siswa belajar. Semua anggota tim (anggota kelompok) harus
saling membantu untuk mencapai tujuan pembelajaran. Untuk itulah, kriteria
keberhasilan pembelajaran ditentukan oleh keberhasilan tim.
2) Didasarkan pada manajemen kooperatif
Sebagaimana pada umumnya, manajemen mempunyai empat fungsi
pokok, yaitu fungsi perencanaan, fungsi organisasi,fungsi pelaksanaan, dan
fungsi kontrol. Demikian juga dalam pembelajaran skooperatif memerlukan
perencanaan yang matang agar proses pembelajaran berjalan secara efektif,
misalnya tujuan apa yang harus dicapai, bagaimana cara mencapainya, apa yang
harus digunakan untuk mencapai tujuan itu dan lain sebagainya.
3) Kemauan untuk bekerja sama
Keberhasilan pembelajaran kooperatif ditentukan oleh keberhasilan
secara kelompok. Oleh sebab itu, prinsip bekerja sama perlu ditekankan dalam
proses pembelajaran kooperatif. Setiap anggota kelompok bukan saja harus
diatur tugas dan tanggung jawab masing-masing, akan tetapi juga ditanamkan
26
perlunya saling membantu. Misalnya, yang pintar perlu membantu yang kurang
pintar.
4) Keterampilan Bekerja Sama
Kemauan untuk bekerjasama itu kemudian dipraktikkan melalui
aktivitas dan kegiatan yang tergambarkan dalam keterampilan bekerjasama.
Dengan demikian, siswa perlu didorong untuk mau dan sanggup berinteraksi
dan berkomunikasi dengan anggota lain. Siswa perlu dibantu mengatasi
berbagai hambatan dalam berinteraksi dan berkomunikasi, sehingga setiap
siswa dapat menyampaikan ide, mengemukakan pendapat, dan memberikan
kontribusi kepada keberhasilan kelompok.
f. Unsur-unsur Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif tidak sama dengan sekedar belajar dalam
kelompok. Ada unsur-unsur dasar pembelajaran kooperatif yang membedakan
dengan pembagian kelompok yang dilakukan asal-asalan. Menurut Johnson &
Johnson dan Sutton (Trianto, 2010: 60-61) terdapat lima unsur penting dalam
belajar kooperatif, yaitu:
1) Saling ketergantungan positif antara siswa
Dalam belajar kooperatif siswa merasa bahwa mereka sedang bekerja
sama untuk mencapai satu tujuan dan terikat satu sama lain. Seorang siswa tidak
akan sukses kecuali semua anggota kelompoknya juga sukses. Siswa akan merasa
bahwa dirinya merupakan bagian dari kelompok yang juga mempunyai andil
terhadap suksesnya kelompok.
27
2) Interaksi antara siswa yang semakin meningkat
Belajar kooperatif akan meningkatkan interaksi antara siswa. Hal ini,
terjadi dalam hal seorang siswa akan membantu siswa lain untuk sukses sebagai
anggota kelompok. Saling memberikan bantuan ini akan berlangsung secara
alamiah karena kegagalan seseorang dalam kelompok mempengaruhi suksesnya
kelompok. Untuk mengatasi masalah ini, siswa yang membutuhkan bantuan akan
mendapatkan dari teman sekelompoknya. Interaksi yang tejadi dalam belajar
kooperatif adalah dalam hal tukar-menukar ide mengenai masalah yang sedang
dipelajari bersama.
3) Tanggung jawab individual
Tanggung jawab individual dalam belajar kelompok dapat berupa
tanggungjawab siswa dalam hal: (a) membantu siswa yang membutuhkan bantuan
dan (b) siswa tidak dapat hanya sekedar “membonceng” pada hasil kerja teman
jawab siswa dan teman sekelompoknya.
4) Keterampilan interpersonal dan kelompok kecil
Dalam belajar kooperatif, selain dituntut untuk mempelajari materi yang
diberikan seorang siswa dituntut untuk belajar bagaimana berinteraksi dengan
siswa lain dalam kelompoknya. Bagaimana siswa bersikap sebagai anggota
kelompok dan menyampaikan ide dalam kelompok akan menuntut keterampilan
khusus.
5) Proses kelompok
28
Belajar kooperatif tidak akan berlangsung tanpa proses kelompok. Proses
kelompok terjadi jika anggota kelompok mendiskusikan bagaimana mereka akan
mencapai tujuan dengan baik dan membuat hubungan kerja yang baik.
g. Langkah-langkah Dalam Pembelajaran Kooperatif
Terdapat enam langkah-langkah atau fase-fase dalam pelajaran yang
menggunakan pembelajaran model kooperatif, seperti pada Tabel 2.2 sebagai
berikut:
Tabel 2.2
Langkah-langkah Model Pembelajaran Kooperatif
Fase Tingkah Laku Guru
Fase-1Menyampaikan tujuan dan
memotivasi siswa
Guru menyampaikan semua tujuan pembelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran tersebut dan memotivasi siswa belajar.
Fase-2Menyajikan informasi
Guru menyajikan informasi kepada siswa dengan jalan demonstrasi atau lewat bahan bacaan.
Fase-3Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok kooperatif
Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efisien
Fase-4Membimbing kelompok bekerja
dan belajar
Guru membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas mereka.
Fase-5Evaluasi
Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kejanya
Fase-6Memberikan penghargaan
Guru mencari cara-cara untuk menghargai baik upaya maupun hasil belajar individu dan kelompok
Sumber: Ibrahim, dkk. (Trianto, 2010: 66-67)
29
h. Keunggulan Pembelajaran Kooperatif
Adapun keunggulan dari pembelajaran kooperatif Wina Sanjaya (2006: 249)
adalah sebagai berikut:
1) Melalui pembelajaran kooperatif siswa tidak terlalu menggantungkan pada
guru, akan tetapi dapat menambah kepercayaan kemampuan diri sendiri,
menemukan informasi dari berbagai sumber, dan belajar dari siswa yang lain.
2) Pembelajaran kooperatif dapat mengembangkan kemampuan mengungkapkan
idea atau gagasan dengan kata-kata secara verbal dan membandingkannya
dengan ide-ide orang lain.
3) Pembelajaran kooperatif dapat membantu anak untuk respek dan menyadari
akan segala keterbatasannya serta menerima segala perbedaan.
4) Pembelajaran kooperatif membantu memberdayakan setiap siswa untuk lebih
bertanggung jawab dalam belajar.
5) Pembelajaran kooperatif merupakan suatu strategi yang cukup ampuh untuk
meningkatkan prestasi akademik sekaligus kemampuan sosial, termasuk
mengembangkan rasa harga diri, kemampuan interpersonal yang positif dengan
yang lain, mengembangkan keterampilan me-manage waktu, dan sikap positif
terhadap sekolah.
6) Melalui pembelajaran kooperatif mengembangkan kemampuan siswa untuk
menguji ide dan pemahamannya sendiri, menerima umpan balik. Siswa dapat
berpraktik memecahkan masalah tanpa takut melakukan kesalahan, karena
keputusan yang dibuat adalah tanggung jawab kelompoknya.
30
7) Pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan kemampuan siswa menggunakan
informasi dan kemampuan belajar abstrak menjadi nyata (riil).
8) Interaksi selama kooperatif berlangsung dapat meningkatkan motivasi dan
memberikan rangsangan untuk berfikir. Hal ini berguna untuk proses proses
pendidikan jangka panjang.
6. Model Pembelajaran Kooperatif tipe Rotating Trio Exchange (RTE)
Model pembelajaran kelompok adalah rangkaian kegiatan belajar yang
dilakukan oleh siswa dalam kelompok-kelompok tertentu untuk mencapai tujuan
pembelajaran yang telah dirumuskan. Ada empat unsur penting dalam
pembelajaran kooperatif, yaitu adanya upaya peserta dalam kelompok, adanya
aturan kelompok, adanya upaya belajar setiap anggota kelompok, dan adanya
tujuan yang harus dicapai.
Menurut isjoni (2010: 51) bahwa di dalam pembelajaran kooperatif
terdapat beberapa variasi model yang diterapkan, yaitu di antaranya 1) Student
Team Achievement (STAD), 2) Jigsaw, 3) Group Investigation (GI), 4) Rotating
Trio Exchange, dan 5) Group Resume.
Pada model Rotating Trio Exchange (RTE), kelas dibagi dalam beberapa
kelompok yang terdiri dari 3 orang, kelas ditata sehingga setiap kelompok dapat
melihat kelompok lainnya di kiri dan di kanannya, berikan pada setiap trio tersebut
pertanyaan yang sama untuk didiskusikan. Setelah selesai berilah nomor untuk
setiap anggota trio tersebut. Contohnya nomor 0, 1, dan 2. Kemudian perintahkan
31
nomor 1 berpindah searah jarum jam dan nomor 2 sebaliknya, berlawanan jarum
jam. Sedangkan nomor 0 tetap di tempat. Ini akan mengakibatkan timbulnya trio
baru. Berikan kepada setiap trio baru tersebut pertanyaan-pertanyaan baru untuk
didiskusikan, tambahkanlah sedikit tingkat kesulitan. Rotasikan kembali siswa
sesuai pertanyaan yang telah disiapkan.
B. Hipotesis Tindakan
Berdasarkan kajian teoritik di atas, maka hipotesis tindakan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut : “Jika diterapkan model pembelajaran
kooperatif tipe Rotating Trio Exchange (RTE), maka hasil belajar matematika
siswa kelas VIIIB SMP Negeri 1 Burau kabupaten Luwu Timur dapat
meningkat”.
32
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan sebuah Penelitian Tindakan Kelas (Classroom
Action Research). Secara garis besar pelaksanaan tindakan ini dibagi dalam dua
siklus yang setiap siklus meliputi empat tahapan yaitu perencanaan, pelaksanaan
tindakan, observasi dan evaluasi, dan refleksi.
B. Lokasi dan Subjek Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di SMP Negeri 1 Burau Kabupaten Luwu
Timur dengan subjek penelitian adalah seluruh siswa kelas VIIIB tahun ajaran
2010/2011 dengan jumlah 33 orang yang terdiri dari 17 laki-laki dan 16
perempuan.
C. Faktor yang diselidiki
33
1. Faktor input, yang akan diselidiki adalah kehadiran siswa, perubahan sikap
siswa dan keaktifan siswa dalam proses belajar mengajar matematika
melalui model pembelajaran kooperatif tipe Rotating Trio Exchange.
2. Faktor proses, yang akan diselidiki adalah keterlaksanaan proses belajar
mengajar yang antara lain interaksi antara guru dan siswa serta interaksi
antara siswa dan siswa selama pembelajaran berlangsung.
3. Faktor output, yang akan diselidiki adalah hasil belajar matematika siswa
yang diperoleh dari tes akhir pada setiap siklus setelah diterapkan model
pembelajaran kooperatif tipe Rotating Trio Exchange (RTE).
D. Prosedur Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (PTK) yang
pelaksanaannya direncanakan dalam 2 siklus yaitu siklus I dan siklus II. Kemudian
setiap siklus terdiri atas 4 tahap, yaitu perencanaan tindakan, pelaksanaan
tindakan, observasi dan evaluasi, serta refleksi.
Pelaksanaan siklus berdasarkan pada faktor-faktor yang akan diteliti.
Siklus I dilaksanakan dalam 4 kali pertemuan dengan 1 kali pertemuan tes siklus.
Siklus II juga dilaksanakan dalam 4 kali pertemuan dengan 1 kali pertemuan
digunakan untuk pemberian teks siklus
Secara rinci, prosedur penelitian tindakan kelas ini dapat dijabarkan sebagai
berikut:
Gambaran Umum Siklus I
32
34
Pelaksanaan siklus I dilakukan dalam 4 kali pertemuan atau 8 jam
pelajaran dengan alokasi waktu 8 x 45 menit.
1. Perencanaan Tindakan
a. Menelaah kurikulum matematika SMP kelas VIII Semester Ganjil Tahun
Ajaran 2010/2011.
b. Membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).
c. Membuat Lembar Kerja Siswa (LKS)
d. Mempersiapkan lembar observasi untuk mencatat aktivitas siswa selama
berlangsung proses belajar mengajar di kelas pada pelaksanaan tindakan
siklus I.
e. Membuat tes hasil belajar matematika
f. Menyediakan sarana pendukung yang diperlukan
g. Mempelajari bahan yang akan diajarkan dari berbagai sumber.
2. Pelaksanaan Tindakan
a. Melaksanakan proses kegiatan belajar mengajar dengan mengacu pada RPP
yang telah dibuat.
b. Peneliti mengatur segala hal yang memudahkan saat pelaksanaan
penelitian.
c. Pada awal tatap muka, guru menjelaskan materi sesuai dengan rencana
pembelajaran pada pertemuan yang bersangkutan secara klasik disertai
dengan contoh soal yang melibatkan siswa.
35
d. Siswa diarahkan untuk membentuk kelompok yang heterogen dengan
jumlah anggota sebanyak tiga orang.
e. Siswa diberi tugas atau soal latihan yang sama untuk diselesaikan secara
berkelompok. Setiap anggota diberi nomor 0, 1, dan 2. Setelah itu anggota
kelompok dirotasikan, nomor 1 berpindah searah jarum jam dan nomor 2
berlawanan arah jarum jam. Sedangkan nomor 0 tetap di tempat. Ini akan
menimbulkan timbulnya trio baru.
f. Selama proses belajar kelompok berlangsung, setiap kelompok tetap
diawasi, dikontrol, dan diarahkan, serta diberikan bimbingan secara
langsung pada kelompok yang mengalami kesulitan.
g. Lembar jawaban dari kelompok atau individu diperiksa kemudian
dikembalikan.
3. Observasi dan Evaluasi
Pada tahap ini dilaksanakan proses observasi terhadap pelaksanaan
tindakan siklus I dengan menggunakan lembar observasi yang telah dibuat
kemudian melaksanakan evaluasi dengan mengadakan tes akhir siklus I.
4. Refleksi
Hasil yang didapatkan dalam tahap observasi dikumpulkan dan
dianalisis. Dari hasil analisis tersebut dilakukan refleksi. Hasil analisis siklus I
dijadikan acuan untuk merencanakan siklus II sehingga hasil yang dicapai
36
pada siklus berikutnya sesuai dengan harapan untuk lebih baik dari siklus
sebelumnya.
Gambaran Umum Siklus II
Pelaksanaan siklus II juga dilakukan dalam 4 kali pertemuan atau 8 jam
pelajaran dengan alokasi waktu 8 x 45 menit. Kegiatan yang dilaksanakan pada
siklus II ini relatif sama dengan siklus I, dengan memperbaiki kekurangan-
kekurangan yang ada pada siklus I berdasarkan hasil refleksi pelaksanaan siklus I.
[
Yang menjadi fokus utama dalam siklus II ini adalah mengupayakan
semaksimal mungkin menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Rotating
Trio Exchange (RTE) dengan baik sehingga hasil belajar siswa dapat meningkat.
Kemudian siswa yang kurang aktif pada siklus I diupayakan jalan keluarnya
supaya aktif.
E. Instrumen Penelitian
Dalam penelitian ini, instrumen yang digunakan adalah:
1. Tes, yaitu tes yang diberikan kepada siswa setelah diadakan tindakan setiap
siklus.
2. Pedoman observasi, yaitu berupa catatan tentang aktivitas siswa dan guru
dalam mengikuti pelajaran yang bertujuan sebagai pedoman untuk
menentukan tindakan berikutnya.
F. Teknik pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data adalah sebagai berikut :
37
1. Data mengenai hasil belajar siswa dikumpulkan dengan menggunakan tes
pada setiap akhir siklus.
2. Data mengenai kondisi kegiatan belajar mengajar dan perubahan sikap siswa
dan guru dikumpulkan melalui pengamatan pada saat kegiatan pembelajaran
berlangsung.
G. Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh dari penelitian akan dianalisis. Untuk analisis data
kuantitatif yaitu hasil tes belajar, dianalisis dengan menggunakan teknik statistik
deskriptif dengan bantuan SPSS for Windows (SPSS 16.0 for Windows). Statistik
deskriptif adalah statistik yang berfungsi untuk mendeskripsikan atau memberi
gambaran terhadap karakteristik dari objek yang diteliti yang terdiri dari skor
rata-rata, median, standar deviasi, tabel frekuensi, nilai minimum dan nilai
maksimum yang diperoleh siswa pada setiap akhir siklus.
[
Sedangkan untuk data kualitatif yaitu hasil observasi saat kegiatan
pembelajaran berlangsung, dianalisis dengan menggunakan analisis kualitatif.
Adapun kriteria untuk menentukan kategori adalah berdasarkan teknik
kategorisasi standar yang ditetapkan oleh Departemen Pendidikan Nasional
(Lantang, 22: 2007) yaitu :
Tabel 3.1 Kategorisasi Standar Berdasarkan Ketetapan
Departemen Pendidikan Nasional
Skor Kategori
38
0 – 34 Sangat Rendah35 – 54 Rendah55 – 64 Sedang65 – 84 Tinggi85 – 100 Sangat Tinggi
H. Indikator Keberhasilan
Yang menjadi indikator keberhasilan dengan penerapan model
pembelajaran kooperatif tipe Rotating Trio Exchange (RTE) di dalam penelitian
tindakan kelas ini yaitu:
1. Apabila terjadi peningkatan skor rata-rata hasil belajar matematika siswa kelas
VIIIB SMP Negeri 1 Burau Kabupaten Luwu Timur dari siklus I ke siklus II
2. Menurut Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) di SMP Negeri 1 Burau, siswa
dikatakan tuntas belajar apabila memperoleh skor minimal 65 dari skor ideal
100 dan tuntas secara klasikal apabila memperoleh skor minimal 85% dari
jumlah siswa tuntas belajar individu.
39
DAFTAR PUSTAKA
Aunurrahman. 2009. Belajar Dan Pembelajaran. Bandung: AlfabetaDarhim. 2006. Makalah Seminar Peningkatan Mutu Guru Matematika Pasca
Undang-Undang Guru dan Dosen. Makassar : HMJ Pendidikan Matematika Unismuh Makassar.
Djamarah, Syaiful Bahri. 2008. Psikologi Belajar. Jakarta: Rineka Cipta
Hamalik, Oemar. 2009. Psikologi Belajar dan Mengajar. Bandung : Sinar Baru Algesindo.
Hendrina. 2008. Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas X SMA Muhammadiyah 6 Makassar melalui Penerapan Model Kooperatif Tipe Think-Pair-Share (TPS). Skripsi. Unismuh Makassar.
Heruman. 2007. Model Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Isjoni. 2010. Cooperative Learning Efektivitas Pembelajaran Kelompok.
Bandung: Alfabeta
Kunandar. 2010. Langkah Mudah penelitian Tindakan Kelas Sebagai Pengembangan Profesi Guru. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Lantang. 2007. Peningkatan Hasil Belajar Matematika Melalui Pendekatan matematika Realistik Pada Siswa Kelas V SDN 142 Inpres Gandangbatu Kabupaten Tana Toraja. Skripsi. FMIPA UNM Makassar.
Sanjaya, Wina. 2006. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenata Media
Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-faktor yang mempengaruhinya. Jakarta : Rineka Cipta.
40
Slavin, Robert. E. 2008. Psikologi Pendidikan, Teori dan Praktek Edisi Kedelapan. Jakarta : PT. Indeks
Sudjana, Nana. 2008. Penilaian Hasil Belajar Mengajar. Bandung: PT Remaja Rosda Karya
Sudjana, Nana. 2009. Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algensindo
Suprijono, Agus. 2009. Cooperative Learning Teori dan Aplikasi Paikem: Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Syah, Muhibbin. 2007. Psikologi Belajar. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada.
Trianto. 2010. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Jakarta: Kencana
Wena, Made. 2009. Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer. Jakarta : Bumi Aksara
39