proposal penelitian soryaa-viesta

64
PROPOSAL PENELITIAN PENGARUH KONSENTRASI ASAM DAN WAKTU HIDROLISIS TERHADAP PEMBENTUKAN BIOETANOL DARI DAUN NANAS Dibuat untuk Memenuhi Syarat Kurikulum Tingkat Sarjana pada Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya Oleh : VIESTA LISTUYERI SYARIF 03111003066 SORAYA RIZKY ANANDA 03111003068 1

Upload: yohanamd14

Post on 13-Apr-2016

43 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

proposal

TRANSCRIPT

Page 1: Proposal Penelitian Soryaa-Viesta

PROPOSAL PENELITIAN

PENGARUH KONSENTRASI ASAM DAN WAKTU HIDROLISIS TERHADAP PEMBENTUKAN BIOETANOL DARI DAUN NANAS

Dibuat untuk Memenuhi Syarat Kurikulum Tingkat Sarjana pada Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya

Oleh :

VIESTA LISTUYERI SYARIF 03111003066

SORAYA RIZKY ANANDA 03111003068

JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIKUNIVERSITAS SRIWIJAYA

2014

1

Page 2: Proposal Penelitian Soryaa-Viesta

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pertumbuhan populasi dan ekonomi Indonesia yang kian pesat

mengakibatkan meningkatnya konsumsi energi secara signifikan. Kondisi ini

menuntut penyediaan energi untuk keberlangsungan aktivitas. Menurut

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pada tahun 2012

konsumsi minyak mentah dan BBM di Indonesia mencapai 1,3 juta barel per hari,

sedangkan produksinya hanya sekitar 860 ribu per hari. Hal ini membuat

Indonesia defisit BBM dan minyak mentah sebanyak 500 ribu barrel yang harus

dipenuhi melalui impor. Produksi minyak yang cenderung menurun ini membuat

Indonesia yang semula merupakan net-exporter di bidang bahan bakar minyak

berganti status sebagai negara net-importir BBM sejak tahun 2004. Kebutuhan

domestik yang tidak pernah tercukupi oleh produksi dalam negeri menyebabkan

impor BBM Indonesia meningkat setiap tahunnya. Dalam kajian supply demand

energy Pusdatin ESDM 2012 dijelaskan bahwa impor BBM pada tahun 2009-

2011 mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Pada tahun 2009, Indonesia

mengimpor BBM sebanyak 140 juta barel, tahun 2010 sebanyak 172 juta barel,

dan meningkat 5,2% pada tahun 2011 yaitu sebanyak 172 juta barel.

Kebutuhan energi yang kian meningkat selaras dengan tingginya harga

minyak dunia tidak diimbangi dengan cadangan bahan bakar fosil yang semakin

menipis. Sumber energi utama ini bersifat tidak dapat diperbaharui sehingga jika

diambil terus menerus maka persediaan energi tersebut akan habis. Total

cadangan minyak di Indonesia selama 9 tahun terakhir cenderung menurun

dikarenakan produksi minyak jauh diatas bahan baku yang ada. Untuk

menanggulangi defisit energi yang berkelanjutan, maka diperlukan pengembangan

energi alternatif pengganti bahan bakar fosil

Pemerintah melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5

Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional telah mengatur upaya-upaya

1

Page 3: Proposal Penelitian Soryaa-Viesta

mewujudkan keamanan pasokan energi dalam negeri. Pengembangan energi alternatif

pengganti BBM dari sumber daya yang dapat diperbaharui seperti bahan bakar nabati

(biofuel) diharapkan dapat mencapai lebih dari 5% dari konsumsi energi nasional.

Impor BBM yang semakin meningkat juga membuat pemerintah menetapkan

kebijakan ekonomi makro dan mengurangi impor bahan bakar minyak melalui

Peraturan Menteri ESDM Nomor 25 Tahun 2013 tentang perubahan Peraturan

Menteri ESDM Nomor 32 Tahun 2008 tentang penyediaan, pemanfaatan, dan tata

niaga bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain. Permen ini mengacu

kepada peningkatan dan perluasan pemanfaatan penggunaan bahan bakar nabati

sebagai alternatif energi pengganti bahan bakar minyak.

Salah satu contoh bahan bakar berbasis nabati adalah bioetanol. Selama ini,

bioetanol dibuat dari bahan berpati dan bergula seperti gula, tebu, ubi kayu, dan

jagung. Bahan-bahan ini merupakan bahan pangan sehingga penggunaannya sebagai

bahan baku bioetanol dapat membuat permasalahan baru berupa persaingan terhadap

pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan inovasi bahan

baku yang bukan merupakan sumber pangan masyarakat yaitu biomassa lignoselulosa

(Daud, 2012).

Biomassa lignoselulosa di Indonesia sangat berlimpah dan pemanfaatannya

belum optimal, seperti daun nanas. Daun nanas merupakan bagian yang cukup

banyak dihasilkan pada saat panen nanas. Untuk 2-3 kali panen, tanaman ini harus

diganti dengan tanaman nanas (Ananas comosus) baru, sehingga terdapat relatif

banyak limbah daun nanas (Ananas comosus) dari pertanian nanas (Budiyanto dkk,

2010). Setiap kali panen buah nanas menghasilkan 20 helai daun per pohonnya. Daun

nanas yang muda digunakan untuk pakan kambing, selebihnya hanya dibuang di

lahan nanas (Onggo, 2003). Jumlah limbah daun nanas yang banyak dan kandungan

selulosa yang tinggi pada daun nanas membuat biomassa lignoselulosa ini cukup

potensial untuk dijadikan bioetanol.

Pada proses pembuatan bioetanol terdapat beberapa tahap penting diantaranya

tahap pretreatment, hidrolisis, ferementasi dan pemurnian. Tahap pretreatment

5

Page 4: Proposal Penelitian Soryaa-Viesta

dimaksudkan untuk menghilangkan lignin yang sifatnya sulit untuk didegradasi,

sehingga konversi selulosa menjadi glukosa pada proses hidrolisis dapat meningkat

(Silvi dkk., 2011). Glukosa hasil proses hidrolisis kemudian difermentasi dengan

bantuan Saccharomyces cerevisiae untuk menghasilkan produk bioetanol. Kemudian

bioetanol dimurnikan dengan cara destilasi.

1.2. Perumusan Masalah

Adapun perumusan masalah dari penelitian ini, yaitu:

1) Bagaimana pengaruh konsentrasi asam pada hidrolisis terhadap kadar glukosa dan

etanol yang dihasilkan?

2) Bagaimana pengaruh waktu hidrolisis terhadap kadar glukosa dan etanol yang

dihasilkan?

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini sebagai berikut:

1) Meneliti pengaruh asam pada hidrolisis terhadap kadar glukosa dan etanol yang

dihasilkan

2) Meneliti pengaruh waktu hidrolisis terhadap kadar glukosa dan etanol yang

dihasilkan

1.4. Hipotesa

Hipotesa yang diambil dalam penelitian ini adalah:

1) Semakin tinggi konsentrasi asam yang digunakan maka semakin tinggi kadar

etanol yang dihasilkan

2) Semakin lama waktu hidrolisis maka semakin tinggi kadar etanol yang dihasilkan

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Adapun ruang lingkup dalam penelitian ini sebagai berikut:

1) Daun nanas yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari perkebunan nanas di

Prabumulih, Sumatera Selatan.

2) Penelitian ini akan dilakukan di Laboratorium Bioproses Jurusan Teknik Kimia

Universitas Sriwijaya, Indralaya

5

Page 5: Proposal Penelitian Soryaa-Viesta

3) Variasi yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu:

a) Variasi konsentrasi asam sulfat pada tahap hidrolisis : 1%, 2%, 3%, 4%, 5%

b) Variasi waktu pada tahap hidrolisis : 30 menit, 60 menit, 90 menit, 120 menit,

150 menit

4) Penggunaan NaOH 0,2 N pada tahap pretreatment

1.6. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian adalah:

1) Memanfaatkan limbah daun nanas menjadi produk etanol yang bernilai jual lebih

2) Menghasilkan bioetanol dengan kadar yang tinggi secara efisien dan efektif

5

Page 6: Proposal Penelitian Soryaa-Viesta

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Nanas (Ananas Comocus L. Mer)

Nanas termasuk kedalam jenis tanaman semak berbunga yang hidup di daerah

tropis seperti Indonesia. Nanas memiliki klasifikasi sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Subkingdom : Tracheobionta

Divisio : Spermatophyta

Sub Divisio : Angiospermae

Class : Monocotyledoneae

Ordo : Ferinosae (Bromeliales)

Famili : Bromeliaceae

Genus : Ananas

Species : Ananas comosus (L) Merr.

Nanas adalah suatu tanaman monocotyl yang dapat hidup dalam beberapa

musim (perennial). Mempunyai rangkaian bunga dan buah pada ujung batang.

Tanaman ini dapat melanjutkan pertumbuhannya melalui beberapa cabang vegetative

baru yang muncul dari batang. Cabang baru tersebut kelak dapat juga menghasilkan

buah yang masih terikat pada tanaman induk (tanaman pertama). Yang dimaksud

dengan tanaman induk yaitu tanaman pertama atau tanaman asli hasil pemisahan

vegetatif yang ditanam pertama kali (Rukmana, 1996 dalam Hidayat, 2008).

Bentuk daun nanas menyerupai pedang yang meruncing diujungnya dengan

warna hijau kehitaman dan pada tepi daun terdapat duri yang tajam. Tergantung dari

species atau varietas tanaman, panjang daun nanas berkisar antara 55 sampai 75 cm

dengan lebar 3,1 sampai 5,3 cm dan tebal daun antara 0,18 sampai 0,27 cm. Di

samping spesies atau varietas nanas, jarak tanam dan intensitas sinar matahari akan

mempengaruhi terhadap pertumbuhan panjang daun dan sifat atau karakteristik dari

serat yang dihasilkan. Intensitas sinar matahari yang tidak terlalu banyak (sebagian

5

Page 7: Proposal Penelitian Soryaa-Viesta

terlindung) pada umumnya akan menghasilkan serat yang kuat, halus, dan mirip

sutera (Kirby, 1963, Doraiswarmy et al., 1993 dalam Hidayat, 2008).

Produksi nanas di Indonesia merupakan tiga terbesar setelah produksi

pisang dan mangga. Menurut data BPS tahun 2013, produksi nanas di Indonesia

sebesar 1.847.159 ton. Hal ini mengindikasikan bahwa nanas termasuk salah satu

buah yang memiliki potensi yang besar jika dapat dimanfaatkan dengan

sebaiknya. Tabel 2.1. Produksi buah-buahan tahunan di Indonesia

Tahun Mangga (ton) Nanas (ton) Pisang (ton)

2007 1.818.619 1.395.566 5.454.226

2008 2.105.085 1.433.133 6.004.615

2009 2.243.440 1.558.196 6.373.533

2010 1.287.287 1.406.445 5.755.073

2011 2.131.139 1.540.626 6.132.695

2012 2.376.339 1.781.899 6.189.052

2013 2 058 609 1.837.159 5.359.126

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014

Fokus budidaya tanaman nanas adalah untuk diambil buahnya. Selain bisa

dimakan secara langsung, buah nanas juga bisa diawetkan melalui pengolahan

menjadi beragam produk, seperti jus, selai, dan kripik. Selain itu buah nanas dapat

digunakan untuk pelunak daging (Onggo, 2007). Buah nanas juga banyak

dimanfaatkan sebagai obat-obatan tradisional.

Kulit nanas pun sudah banyak dimanfaatkan, seperti sebagai campuran

pakan ternak atau yang disebut silase, bahan baku pembuatan produk nata (nata

de phina) bahan makanan (Lathifah, 2013), dan yang belakangan ini masih hangat

diperbincangkan yaitu kulit nanas sebagai bahan baku pembuatan bioetanol

karena kandungan selulosanya yang cukup tinggi.

Bagian nanas yang dapat dimanfaatkan berikutnya adalah bagian daunnya.

Helaian daun nanas tebal, liat, panjangnya bisa mencapai 150 cm dengan lebar 3-5

5

Page 8: Proposal Penelitian Soryaa-Viesta

cm, dan sangat rimbun dengan variasi helaian dapat mencapai 80 helai setiap

pohonnya (Onggo, 2007). Ujung daun nanas lancip menyerupai duri, tepi berduri

yang membengkok ke atas, sisi bawah bersisik putih, berwarna hijau atau hijau

kemerahan.

Gambar 2.1. Tumbuhan Nanas

Pemanfaatan tanaman ini yang umum digunakan hanya sebatas pada

buahnya saja, sedangkan daun nanas (Ananas comosus) relatif belum begitu

banyak diolah. Untuk 2-3 kali panen, tanaman ini harus diganti dengan tanaman

nanas (Ananas comosus) baru, sehingga terdapat relatif banyak limbah daun

nanas (Ananas comosus) dari pertanian nanas (Budiyanto dkk, 2010). Daun nanas

merupakan limbah yang besar di Indonesia. Setiap kali panen buah nanas

menghasilkan 20 helai daun per pohonnya. Daun nanas yang muda digunakan

untuk pakan kambing, selebihnya hanya dibuang di lahan nanas (Onggo dan

Jovita, 2003).

Saat ini, daun nanas telah banyak dimanfaatkan sebagai bahan baku

pembuatan kertas dan sebagai adsorben logam berat. Menurut Handayani (2010),

kandungan sellulosa yang ada dalam daun nanas (Ananas comosus) sebesar 69,6-

71%. Dengan kandungan sellulosa yang tinggi serat daun nanas (Ananas

comosus) dapat dijadikan adsorber limbah logam berat karena struktur rongga

dalam sellulosa dapat mengadsorbsi logam berat Cu dan Ag. Berikut komposisi

kandungan dari daun nanas:Tabel 2.2. Komposisi kering daun nanas

Komposisi Kimia Serat Nanas (%)

1. Selulosa 69,5 – 71,5

5

Page 9: Proposal Penelitian Soryaa-Viesta

2. Pentosan 17,0 – 17,8

3. Lignin 4,4 – 4,7

4. Pektin 1,0 – 1,2

5. Lemak dan Wax 3,0 – 3,3

6. Abu 0,71 – 0,87

7. Zat-at lain (protein, asam

organik,dll)

4,5 – 5,3

Sumber : Onggo dan Jovita, 2003 dalam Jayanudin 2009

Kandungan selulosa dalam daun nanas memiliki jumlah yang tinggi

dengan lignin yang sangat kecil jika dibandingkan dengan biomassa lignoselulosa

lainnya. Hal ini membuat daun nanas cukup potensial untuk dijadikan bioetanol.

Dari penelitian yang telah dilakukan terlebih dahulu, berikut data komposisi

selulosa, hemiselulosa, dan lignin dari berbagai limbah yang pernah digunakan.

Tabel 2.3. Komponen selulosa, hemiselulosa, dan lignin berbagai jenis biomasa limbah

agroindustri di Indonesia

No Jenis Biomasa

Limbah

Agroindustri

Komponen Biomasa Limbah

Agroindustri (%) Pustaka

Selulosa Hemiselulosa Lignin

1 Jerami padi 37.71 21.99 16.62 Dewi, 2002

2 Bagas tebu 52.70 20.00 24.20Sansuri et al.,

2007

3Tanda kosong

kelapa sawit45.80 26.00 -

Setiawan, 2008;

Isroi, 2008

2.2. Biomassa Lignoselulosa

Biomassa lignoselulosa sebagian besar terdiri dari campuran polymer

karbohidrat (selulosa dan hemiselulosa), lignin, ekstraktif, dan abu. Kadang-

kadang disebutkan holoselulosa, istilah ini digunakan untuk menyebutkan total

karbohidrat yang dikandung di dalam biomassa dan meliputi selulosa dan

5

Page 10: Proposal Penelitian Soryaa-Viesta

hemiselulosa (Prillian, 2010). Biomasa limbah padat agroindustri ini

mengandung selulosa, hemiselulosa, dan lignin yang komposisinya umumnya

berbeda antara biomasa limbah yang satu dengan yang lainnya (Gomez et al.,

2008).

Gambar 2.2. Struktur Biomassa Lignoselulosa

Sumber: (Mussato dan Teizeira, 2010)

2.2.1. Lignin

Lignin adalah zat yang bersama-sama dengan selulosa adalah salah satu

sel yang terdapat dalam kayu.  Lignin merupakan suatu makromolekul kompleks,

suatu polimer aromatik alami yang bercabang–cabang dan mempunyai struktur

tiga dimensi yang terbuat dari fenil propanoid yang saling terhubung dengan

ikatan yang bervariasi.  Lignin membentuk matriks yang mengelilingi selulosa

dan hemiselulosa, penyedia kekuatan pohon dan pelindung dari biodegradasi.

Lignin sangat resisten terhadap degradasi, baik secara biologi, enzimatis, maupun

kimia (Isroi, 2008).

Lignin atau zat kayu adalah salah satu zat komponen penyusun tumbuhan.

Komposisi bahan penyusun ini berbeda-beda bergantung jenisnya. Lignin

merupakan zat organik polimer yang banyak dan yang penting dalam dunia

tumbuhan. Lignin tersusun atas jaringan polimer fenolik yang berfungsi

merekatkan serat selulosa dan hemiselulosa sehingga menjadi sangat kuat (Sun

dan Cheng, 2002).

Menurut Judoamidjojo (1989), Lignin bersifat tidak larut dalam

kebanyakan pelarut organik. Lignin yang melindungi selulosa bersifat tahan

terhadap hidrolisa yang disebabkan oleh adanya ikatan alkil dan ikatan eter. Pada

suhu tinggi, lignin dapat mengalami perubahan struktur dengan membentuk asam

5

Page 11: Proposal Penelitian Soryaa-Viesta

format, metanol, asam asetat, aseton, vanilin dan lain-lain. Sedangkan bagian

lainnya mengalami kondensasi.

Struktur Lignin yang kompleks mengakibatkan komponen lignoselulosa

ini sulit dipecah/diurai. Struktur kristal pada lignin yang jauh lebih tinggi jika

dibandingkan dengan struktur selulosa dan hemiselulosa ini memaksa adanya

treatment khusus untuk memecah strukturnya.

Gambar 2.3. Struktur Molekul Lignin

Sumber: (Brunow et al ., 1995)

Lignin disusun oleh unit-unit fenil propana. Sesuai dengan strukturnya

sebagai polifenol, lignin sebagai perekat memiliki sifat-sifat seperti perekat fenol

formaldehida. Dengan demikian fungsi perekat dari formaldehida dapat

disubstitusi

oleh lignin terutama lignosulfonat.

5

Page 12: Proposal Penelitian Soryaa-Viesta

Di alam keberadaan lignin pada kayu berkisar antara 25-30%, tergantung

pada jenis kayu atau faktor lain yang mempengaruhi perkembangan kayu. Pada

kayu, lignin umumnya terdapat di daerah lamela tengah dan berfungsi pengikat

antar sel serta menguatkan dinding sel kayu. Kulit kayu, biji, bagian serabut kasar,

batang dan daun mengandung lignin yang berupa substansi kompleks oleh adanya

lignin dan polisakarida yang lain. Kadar lignin akan bertambah dengan

bertambahnya umur tanaman.

 Menurut Baker (1983), dinding sel juga mengandung lignin. Pada

dinding sel, lignin bersama-sama dengan hemiselulosa membentuk matriks

(semen) yang mengikat serat-serat halus selulosa. Lignin didalam kayu memiliki

persentase yang berbeda tergantung dari jenis kayu:

1) Softwood mengandung 27 – 33%

2) Hardwood mengandung 16 – 24 %

3) Non-wood fibers seperti jerami, baggase, rumput, bamboo mengandung 11-

20%

Semakin tinggi berat jenis suatu biomassa, semakin tinggi pula nilai kalor

yang dihasilkan. Dengan demikian, softwood cenderung memiliki nilai kalor lebih

tinggi daripada hardwood (Baker , 1983)

2.2.2. Selulosa

Selulosa merupakan biopolymer tanaman yang paling banyak terdapat di

bumi; diperkirakan jumlahnya mencapai 7.5 x 1010 ton per tahun hasil fotosintesis

tanaman setiap tahunnya (Ljungdahl & eriksson, 1985 dalam Monserrate et al,

2001). Sebagai komponen utama penyusun dinding tanaman, selulosa menempel

pada hetero matrik yang tersusun dari xylan, hemiselulosa dan lignin. Selulosa

merupakan polimer glukosa dengan ikatan ß-1,4 glukosida dalam rantai lurus

yang panjangnya bisa mencapai 25.000 residu glukosa (Desvaux, 2005)

Menurut Groggins (1985), Molekul selulosa memanjang dan kaku,

meskipun

dalam larutan. Gugus hidroksil yang menonjol dari rantai dapat membentuk ikatan

hidrogen dengan mudah, mengakibatkan kekristalan dalam batas tertentu.

5

Page 13: Proposal Penelitian Soryaa-Viesta

Selulosa yang merupakan polisakarida terbanyak di bumi dapat diubah menjadi

glukosa dengan cara hidrolisis asam.

Selulosa merupakan komponen utama penyusun dinding sel tanaman dan

hampir tidak pernah ditemui dalam keadaan murni di alam melainkan berikatan

dengan lignin dan hemiselulosa membentuk lignoselulosa (Lynd et al., 2002).

Lignin berikatan dengan hemiselulosa melalui ikatan kovalen tetapi ikatan

yang terjadi antara selulosa dan lignin belum diketahui secara lengkap. Adanya

lignin di sekeliling selulosa merupakan hambatan utama dalam menghidrolisis

selulosa. Selulosa terproteksi dari degradasi dengan adanya lignin sehingga

selulosa sulit dihidrolisis kecuali lignin dilarutkan dan dihilangkan (Lynd et al.,

2002).

Ditambahkan oleh Lee et al. (2009) yang menerangkan bahwa Selulosa

adalah polimer dari rantai unit α-D-1-4 anhidroglukosa (C6H12O6)n, sebanyak 40-

60 % yang terdapat dalam dinding sel pada tumbuhan berkayu.  Beberapa ciri-ciri

dari struktur selulosa yang berdasarkan pada karakteristik kimia yang dimiliki

adalah dapat mengembang dalam air, berbentuk kristalin, adanya kelompok

fungsional yang spesifik dan dapat bereaksi dengan enzim selulolitik (Sierra et al.,

2007).

Selulosa terdiri dari daerah kristalin dan daerah amorf (non- kristalin) yang

membentuk suatu struktur dengan kekuatan tegangan yang tinggi, yang pada

umumnya memiliki ketahanan terhadap hidrolisis enzimatik terutama pada daerah

kristalinnya. Selulosa tidak larut dalam air yang memiliki temperatur tinggi

maupun rendah serta asam panas dan alkali panas. Untuk struktur kimia selulosa

terdiri dari unsur C, O, H yang kemudian membentuk rumus molekul

(C6H10O5)n ,dengan ikatan molekulnya ikatan hidrogen yang sangat erat.

5

Page 14: Proposal Penelitian Soryaa-Viesta

Gambar 2.4. Struktur Molekul Selulosa

Sumber : (Zabel dan Morrell, 1992).

Selulosa terbagi menjadi beberapa tipe, yaitu :

1) Selulosa murni

Kadar alfa selulosa pada selulosa murni mencapai 97-99%. Contoh

tipe selulosa ini terdapat pada serat kapas, rami, dan lenan.

Cara memperoleh:

a) Ekstraksi dengan pelarut organik

b) Perlakuan alkali encer

c) Perlakuan hipoklorit

2) Selulosa Alam

Kadar alfa selulosa pada selulosa alam adalah 45-50% yang

biasanya terdapat pada kayu. Kekurangan selulosa tipe ini adalah selulosa

yang masih mengandung polisakarida lain (non-selulosa)

3) Selulosa Komersial/teknis

Kadar alfa selulosa pada selulosa komersil mencapai 90-95%.

Disebut tipe selulosa komersial karena cara pemisahannya dilakukan

secara komersial. Pada tipe ini, rantai selulosanya biasanya lebih pendek.

4) Selulosa laboratoris (holoselulosa, Cross Bevan, Alfa, Beta, Gamma

Selulosa)

5

Page 15: Proposal Penelitian Soryaa-Viesta

Biasanya untuk memperoleh holoselulosa (SBE), dengan perlakuan

klor (ekstraksi alohol), perlakuan klor (ekstraksi alkali), dan perlakuan

NaClO2 yang diasamkan.

a) Selulosa Alpha

Adalah selulosa berantai panjang, tidak larut dalam larutan NaOH

17,5 % atau larutan basa kuat dengan DP 600-1500. Selulosa alpha

dipakai sebagai penduga dan atau penentu tingkat kemurnian selulosa.

b) Selulosa Betha

adalah selulosa berantai pendek, larut dalam larutan NaOH 17,5%

dan basa kuat dengan DP 15-90, dapat mengendap bila dinetralkan.

c) Selulosa Gamma

adalah sama dengan selulusa betha, tetapi DP-nya kurang dari 15.

selain itu ada yang disebut hemiselulosa dan holoselulosa.Hemiselulosa

adalah polisakarida yang bukan selulosa, jika dihidrolisis akan

menghasilkan D-manova, D-galaktosa, D-xylosa, L-arabinosa, dan

asam urat. Sedangkan, Holoselulosa adalah bagian dari serat yang bebas

dan sari lignin, terdiri dari campuran semua selulosa dan hemiselulosa.

2.2.3. Hemiselulosa

Hemiselulosa yang jumlahnya sekitar 15-30% dari berat kering

lignoselulosa merupakan kelompok polisakarida heterogen dengan berat molekul

rendah (Lynd et al., 2002). Lebih lanjut, Lynd et al. (2002) menyatakan bahwa

hemiselulosa relative mudah dihidrolisis dengan asam dan menghasilkan

monomer yang mengandung glukosa, mannose, galaktosa, xilosa, dan arbinosa.

Hemiselulosa mengikat lembaran serat selulosa membentuk mikrofibril yang

meningkatkan stabilitas didinding sel. Hemiselulosa juga berikatan silang dengan

lignin menbentuk jaringan kompleks dan memberikan struktur yang kuat.

Hemiselulosa adalah polisakarida yang berikatan dengan selulosa pada

bagian tanaman yang telah mengalami delignifikasi. Hemiselulosa terutama

terdapat pada bagian lamela tengah dari dinding sel tanaman (Gong dan Tsao,

1981). Hemiselulosa merupakan heteropolimer bercabang dari glukosa, xilosa,

galaktosa, dan arabinosa. Rantai urutan hemiselulosa hanya terdiri dari satu

5

Page 16: Proposal Penelitian Soryaa-Viesta

macam monomer (homopolimer), misalnya xilan dan dapat juga dua atau lebih

monomer, misalnya glukomanan (Fengel dan Wegener, 1989). Kebanyakan

hemiselulosa mempunyai derajat polimerisasi 100-200 (Sjostrom, 1995).

Hemiselulosa tidak larut dalam air pada temperatur rendah. Kehadiran asam

sangat meningkatkan kelarutan hemiselulosa dalam air.

Struktur hemiselulosa dibagi menjadi empat kelompok berdasarkan

komposisi rantai utamanya yaitu:

1) D- xilan yaitu 1-4β xilosa

2) D- manan yaitu (1–4) β -D-mannosa;

3) D-xiloglukan

4) D-galaktan yaitu 1-3β -D-galaktosa.  

Gambar 2.5. Struktur Hemiselulosa

Sumber : (Zabel dan Morrell, 1992).

Glukomanan banyak terdapat dalam tanaman Konjak (Iles-

iles / Amorphophallus muelleri  Blume) sekitar 64 %. Konjak glukomanan

merupakan serat alam kental yang paling mudah larut dan membentuk larutan

yang sangat kental. Memiliki berat melekul tertinggi dibanding serat bergizi yang

dikenal dalam ilmu pengetahuan – berat molekul antara 200.000 – 2.000.000

Dalton

5

Page 17: Proposal Penelitian Soryaa-Viesta

Gambar 2.6. Struktur Kimia glikomannan (conjucstructure)

Sumber : (Kim & Dale , 2004)

Xilan merupakan salah satu komponen penyusun sel pada tanaman

berkayu. Degradasi senyawa ini dilakukan oleh berbagai jenis mikroorganisme.

Enzim-enzim hidrolisis yang dihasilkan oleh mikroorganisme inilah yang

memegang peranan kunci dalam degradasi biomasa tanaman dan siklus karbon di

alam. Di dalam dinding sel tanaman, xilan akan berinteraksi dengan lignin dan

selulosa melalui ikatan nonkovalen membentuk struktur sel yang kuat.

Gambar 2.7. Struktur Kimia Xylan

Sumber: Yikrazuul, 2009

Xilan termasuk dalam golongan kompleks polisakarida dengan ikatan

beta-1,4 xilopiranosil sebagai tulang punggungnya. Selain xilopiranosil, terdapat

senyawa lain yang dapat dipakai, yaitu arabinosil, glukuronosil,

metilglukuronosil, asetil, dan feruloil.  Pada beberapa tanaman lain, seperti rumput

laut, xilan dapat terbentuk denga

ikatan beta-1,3.Di samping itu, residu ramnosa dan galaktosa kadang dijumpa

terikat pada molekul xilan.

Hemiselulosa mudah disubtitusi dengan berbagai karbohidrat lain atau

residu non karbohidrat.  Karena berbagai rantai cabang yang tidak seragam

5

Page 18: Proposal Penelitian Soryaa-Viesta

menyebabkan senyawa ini secara parsial larut air.  Perbedaan selulosa dengan

hemiselulosa yaitu hemiselulosa mempunyai derajat polimerisasi rendah (50-200

unit) dan mudah larut dalam alkali, tetapi sukar larut dalam asam, sedangkan

selulosa sebaliknya (Isroi, 2008).

Tabel 2.4. Perbedaan antara selulosa dan hemiselulosa

Selulosa Hemiselulosa

terdiri atas unit glukosa Terdiri atas berbagai unit pentosa

dan heksosa

Derajat polimerisasi tinggi (2000-

18000)

Derajat polimerisasi rendah ( 50-

300)

Membentuk susunan berserat Membentuk susunan tidak berserat

Terdapat bagian kristalin dan amorf Hanya terdapat bagian amorf

Diuraikan secara lambat oleh asam

anorganik pada kondisi panas

Diuraikan secara cepat oleh asam

anorganik pada kondisi panas

Tidak larut dalam alkali Terlarut dalam alkali

Sumber : (Kumar & Delwiche, 2009)

2.3. Pretreatment

Pretreatment (perlakuan pendahuluan) biomassa lignoselulosa harus

dilakukan untuk mendapatkan hasil yang tinggi di mana penting untuk

pengembangan teknologi biokonversilignoselulosa dalam skala komersial (Mosier

et al. 2005).

Hemiselulosa dan selulosa pada struktur bahan lignoselulosa terikat

(diselubungi) oleh lignin. Struktur lignin sendiri sangat rapat dan kuat sehingga

menyulitkan bagi enzim pemecah hemiselulosa dan selulosa untuk bisa masuk ke

dalam dan bekerja memecah hemiselulosa dan selulosa menjadi gula sederhana.

Untuk membantu kerja enzim, maka terlebih dulu harus dilakukan pretreatment

atau perlakuan pendahuluan untuk memecah atau melonggarkan struktur lignin

sehingga enzim dapat masuk ke dalam untuk memecah hemiselulosa dan selulosa.

5

Page 19: Proposal Penelitian Soryaa-Viesta

Gambar. 2.8. Proses Pretreatment

Sumber: Mosier dan Wyman, 2005

Selain lignin, faktor lain yang juga dapat menghambat kerja enzim adalah

struktur selulosa itu sendiri. Struktur selulosa terbagi menjadi dua yaitu crystalline

region (struktur selulosa lurus dan rapat) dan amorphous region (struktur selulosa

lebih renggang). Struktur kristalin selulosa adalah salah satu yang dapat

menghambat kerja enzim. Selain merusak struktur lignin, pretreatment juga dapat

mengubah struktur kristalin selulosa menjadi struktur yang lebih renggang

(amorph).

Perlakuan pendahuluan juga dapat meningkatkan hasil gula yang

diperoleh. Gula yang diperoleh tanpa perlakuan pendahuluan kurang dari 20%,

sedangkan dengan perlakuan pendahuluan dapat meningkat menjadi 90% darihasil

teoritis (Hamelinck et al. 2005 dalam Isroi 2008)

Pretreatment Lignoselulosa dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu

secara kimiawi, fisis, dan mikrobiologis. Masing-masing metode memiliki

kelebihan dan kekurangan. Efisiensi dan efektivitas penggunaannya bisa berbeda-

beda, bergantung pada sumber bahan dan tujuan prosesnya (Sun dan Cheng,

2002).

1) Pretreatment Kimiawi

Pretreatment secara kimiawi adalah metode yang paling umum

diguna

kan karena lebih mudah, lebih efektif, lebih cepat dan tidak memakan

energi terlalu tinggi. Namun demikian, penggunaan senyawa kimia secara

5

Page 20: Proposal Penelitian Soryaa-Viesta

berlebihan tentunya akan berdampak buruk bagi

lingkungan. Pretreatment secara kimiawi dapat dilakukan dengan dua

cara yaitu pelarutan dalam larutan basa atau pelarutan dalam larutan

asam. Diantara kedua tipe pelarut, pelarut yang lebih efektif memecah

lignin adalah pelarut basa.

2) Pretreatment Fisika

Pretreatment secara fisis diantaranya adalah penggilingan,

irradiasi, pemberian suhu tinggi, dan steam explosion. Pretreatment jenis

ini cukup efektif dalam memecah lignin, hanya saja aplikasinya

membutuhkan energi yang sangat tinggi sehingga bisa meningkatkan

biaya produksi.

3) Pretreatment Biologis

Pretreatment secara fisis diantaranya adalah penggilingan, iradiasi,

pemberian suhu tinggi, dan steam explosion. Pretreatment jenis ini cukup

efektif dalam memecah lignin, hanya saja aplikasinya membutuhkan

energi yang sangat tinggi sehingga bisa meningkatkan biaya produksi.

2.3.1. Alkaline Pretreatment

Kondisi proses untuk pretreatment menggunakan sodium hidroksida

relatif ringan, akan tetapi membutuhkan waktu yang lama. Kondisi yang ringan

ini bertujuan untuk mencegah kondensasi pada lignin sehingga menghasilkan

kandungan lignin terlarut yang tinggi. Metode ini cocok digunakan pada biomass

dengan kandungan lignin yang rendah seperti rumput-rumputan dan daun-daunan.

Alkaline pretreatment dapat meningkatkan efektifitas enzim pada proses

enzimatik hidrolisis. Kandungan lignin pada biomassa akan mengalami proses

penguraian dengan proses NaOH pretreatment, tetapi tidak terjadi pada

kandungan selulosanya. Alkaline pretreatment dapat miningkatkan kandungan

selulosa dan efektif untuk menghilangkan lignin (Kristina, dkk., 2012). Kelebihan

alkaline pretreatment adalah pada metode ini dapat dilakukan menggunakan

temperatur dan tekanan yang lebih rendah. Perlakuan delignifikasi dengan NaOH

menyebabkan perbedaan tingkat pelepasan lignin. Namun dari penelitian

sebelumnya, belum menunjukkan apakah asam atau basa yang lebih berperan

5

Page 21: Proposal Penelitian Soryaa-Viesta

dalam pemutusan rantai lignin. Dari beberapa penelitian terdahulu dapat

disimpulkan bahwa alkaline pretreatment dapat menghilangkan kandungan lignin

pada biomassa lignoselulosa.

Kinerja NaOH untuk melakukan proses delignifikasi terhadap lignin yang

mengikat selulosa pada biomassa dibantu oleh uap panas yang dihasilkan pada

saat pretreatment. Dengan adanya kinerja uap panas, maka kemampuan NaOH

untuk memutus ikatan lignin dari biomassa yang melindungi selulosa akan lebih

mudah, jika dibandingkan delignifikasi dengan NaOH tanpa perlakuan uap panas.

Uap panas yang berasal dari proses pemanasan dengan menggunakan autoklaf

yang dilakukan pada saat delignifikasi dengan NaOH dapat lebih cepat

menguraikan dan melepaskan lignin yang mempersatukan ikatan antar molekul

lignin dengan selulosa. Jika suatu campuran gas dan zat cair terkurung sedemikian

rupa, sehingga terdapat gradien konsentrasi pada salah satu atau beberapa

konstituen dalam sistem itu, maka akan terjadi perpindahan massa dalam tingkat

mikroskopik sebagai akibat difusi atau pembauran dari daerah konsentrasi tinggi

menuju ke daerah konstrasi rendah. Adanya uap panas yang diberikan melalui

proses delignifikasi biomassa akan mempercepat terjadinya proses pemutusan

lignin oleh NaOH.

2.4. Hidrolisis

Hidrolisis meliputi proses pemecahan polisakarida di dalam biomassa

lignoselulosa, yaitu: selulosa dan hemiselulosa menjadi monomer gula

penyusunnya. Hidrolisis sempurna selulosa menghasilkan glukosa, sedangkan

hemiselulosa menghasilkan beberapa monomer gula pentose (C5) dan heksosa

(C6). Hidrolisis dapat dilakukan secara kimia (asam) atau enzimatik. (Isroi , 2008)

a) Hidrolisis Kimia

Selulosa pertama-tama diperlakukan dengan asam di bawah panas dan

tekanan dan kemudian diairi yang akan membebaskan komponen gulanya.

Metode ini tidak umum digunakan karena produk samping yang beracun,

yang seringkali mengurangi efektivitas tahap berikutnya.

b) Hidrolisis enzimatik

5

Page 22: Proposal Penelitian Soryaa-Viesta

Proses ini mirip dengan yang terjadi di dalam lambung binatang pemamah

biak seperti sapi. Enzim yang mirip dengan selulosa dan telah disintesis

secara buatan dengan bantuan bakteri dan jamur digunakan untuk memecah

selulosa menjadi komponen gulanya. Hal ini terjadi dalam dua tahap, selulosa

pertama-tama diubah menjadi molekul glukosa ganda yang dikenal sebagai

selobiosa. Jenis Selulosa lain kemudian digunakan untuk mengkonversi

selobiosa menjadi residu glukosa tunggal.

2.4.1. Hidrolisis Asam

Di dalam metode hidrolisis asam, biomassa lignoselulosa dipaparkan

dengan asam pada suhu dan tekanan tertentu selama waktu tertentu, dan

menghasilkan monomer gula dari polimer selulosa dan hemiselulosa. Beberapa

asam yang umum digunakan untuk hidrolisis asam antara lain adalah asam sulfat

(H2SO4), asam perklorat, dan HCl. Asam sulfat merupakan asam yang paling

banyak diteliti dan dimanfaatkan untuk hidrolisis asam. Hidrolisis asam dapat

dikelompokkan menjadi: hidrolisis asam pekat dan hidrolisis asam encer

(Taherzadeh & Karimi, 2007). Hidrolisis asam pekat menghasilkan gula yang

tinggi (90% dari hasil teoritik) dibandingkan dengan hidrolisis asam encer, dan

dengan demikian akan menghasilkan ethanol yang lebih tinggi (Hamelinck,

Hooijdonk, & Faaij, 2005). Hidrolisis asam encer dapat dilakukan pada suhu

rendah. Namun demikian, konsentrasi asam yang digunakan sangat tinggi (30 –

70%). Proses ini juga sangat korosif karena adanya pengenceran dan pemanasan

asam. Proses ini membutuhkan peralatan yang mahal atau dibuat secara khusus.

Hidrolisis asam pekat juga membutuhkan biaya investasi dan pemeliharaan yang

tinggi, hal ini mengurangi ketertarikan untuk komersialisasi proses ini

(Taherzadeh & Karimi, 2007).

Proses hidrolisis selulosa menggunakan asam encer dilakukan pada suhu

dan tekanan tinggi dalam waktu yang singkat, beberapa detik sampai beberapa

menit, sehingga memungkinkan untuk dilakukan sevara kontinu. Proses hidrolisis

selulosa menggunakan asam pekat dilakukan pada suhu yang relatif rendah dan

tekanan yang diperlukan hanyalah untuk memompa bahan dari satu alat ke alat

5

Page 23: Proposal Penelitian Soryaa-Viesta

yang lain. (Demirbas, 2005). Waktu reaksi hidrolisis asam pekat biasanya lebih

lama dibandingkan dengan waktu reaksi menggunakan asam encer.

Hidrolisis asam encer juga dikenal dengan hidrolisis asam dua tahap (two

stage acid hydrolysis) dan merupakan metode hidrolisis yang banyak

dikembangkan dan diteliti saat ini. Hidrolisis selulosa dengan menggunakan asam

telah dikomersialkan pertama kali pada tahun 1898 (Hamelinck, Hooijdonk, &

Faaij, 2005). Tahap pertama dilakukan dalam kondisi yang lebih lunak dan akan

menghidrolisis hemiselulosa (misal 0.7% asam sulfat, 190oC). Tahap kedua

dilakukan pada suhu yang lebih tinggi, tetapi dengan konsentrasi asam yang lebih

rendah untuk menghidrolisis selulosa (215oC, 0.4% asam sulfat) (Hamelinck,

Hooijdonk, & Faaij, 2005).

Kelemahan dari hidrolisis asam encer adalah degradasi gula hasil di dalam

reaksi hidrolisis dan pembentukan produk samping yang tidak diinginkan.

Degradasi gula dan produk samping ini tidak hanya akan mengurangi hasil panen

gula, tetapi produk samping juga dapat menghambat pembentukan ethanol pada

tahap fermentasi selanjutnya. Beberapa senyawa inhibitor yang dapat terbentuk

selama proses hidrolisis asam encer adalah furfural, 5-hydroxymethylfurfural

(HMF), asam levulinik (levulinic acid), asam asetat (acetic acid), asam format

(formic acid), asam uronat (uronic acid), asam 4-hydroxybenzoic, asam vanilik

(vanilic acid), vanillin, phenol, cinnamaldehyde, formaldehida (formaldehyde),

dan beberapa senyawa lain (Taherzadeh & Karimi, 2007).

2.4.2. Hidrolisis Enzimatik

Cara lain untuk menghidrolisis bahan yang mengandung selulosa dan

lignin menjadi gula adalah hidrolisis enzimatik. Enzim adalah protein hasil

tanaman atau mikroba secara alami yang dapat mengkatalisis reaksi kimia

(Howard, et al., 2003).

Enzim baru dapat bekerja baik, jika mereka dapat langsung bersentuhan

dengan selulosa yang ada di biomasa limbah agroindustri. Untuk itu, perlakuan

awal secara fisik atau kimia perlu dilakukan untuk memecah struktur kristal

lignin-selulosa dan membuang lignin sehingga enzim selulase dapat

5

Page 24: Proposal Penelitian Soryaa-Viesta

bersinggungan langsung dengan selulosa. Pemilihan jenis perlakuan awal (secara

fisik atau kimia) tergantung kepada jenis biomasa limbah agroindustri yang akan

dihidrolisis (Badger, 2002).

Hidrolisis enzimatis memiliki beberapa keuntungan dibandingkan

hidrolisis asam, antara lain: tidak terjadi degradasi gula hasil hidrolisis, kondisi

proses yang lebih lunak (suhu rendah, pH netral), berpotensi memberikan hasil

yang tinggi, dan biaya pemeliharaan peralatan relatif rendah karena tidak ada

bahan yang korosif. (Pietrobon and Cristina, V., 2011)

Hidrolisis enzim dilakukan dengan bantuan bakteri atau jamur untuk

menghasilkan selulase. Mikroorganisme ini bisa aerob atau anaerob, mesofilik

atau termofilik (Sun and Cheng, 2002).

2.5. Fermentasi

Fermentasi merupakan proses mikrobiologi yang dikendalikan oleh

manusia untuk memperoleh produk yang berguna, dimana terjadi pemecahan

karbohidrat dan asam amino secara anaerob. Peruraian dari kompleks menjadi

sederhana dengan bantuan mikroorganisme sehingga menghasilkan energi (Perry,

1999). Mikroba yang umum digunakan dalam industri fermentasi termasuk dalam

bakteri dan fungi tingkat rendah yaitu kapang dan khamir.

Menurut Silcox dan Lee (2003), proses fermentasi yang baik adalah:

1) Mikroorganisme dapat membentuk produk yang diinginkan

2) Organisme ini harus berpropagasi secara cepat dan dapat mempertahankan

keseragaman biologis, sehingga memberikan yield yang dapat diprediksi.

3) Raw Material sebagai substrat ekonomis

4) Yieldnya dapat diterima

5) Fermentasi berlangsung cepat

5) Produk mudah diambil dan dimurnikan.

Mikroba yang sangat umum dimanfaatkan dalam proses fermentasi adalah

ragi roti (Saccharomyces cereviseae) dan Zymomonas mobilis. Saccharomyces

cereviseae memiliki banyak keunggulan dibandingkan yang lainnya antara lain

adalah mampu memproduksi ethanol dari gula C6 (heksosa), toleran terhadap

konsentrasi ethanol yang tinggi dan toleran terhadap senyawa inhibitor yang

5

Page 25: Proposal Penelitian Soryaa-Viesta

terdapat di dalam hidrolisat biomassa lignoselulosa (Olsson and Hahn-Hagerdal

1993; Hahn-Hagerdal et al. 2001). Beberapa fungi juga dilaporkan dapat

memfermentasi xylosa menjadi ethanol, yaitu: Mucor indicus dan Rhizopus orizae

(Millati, Edebo, & Mohammad J.Taherzadeh . 2005).

Pada proses ini, gula-gula sederhana yang terbentuk akan difermentasi

menjadi etanol dengan bantuan khamir seperti Saccharomyces cerevisiae dan

bakteri Zymmomonas mobilis. Pada proses fermentasi glukosa, satu molekul

glukosa menghasilkan dua molekul etanol dan dua molekul karbon dioksida

(CO2). Fermentasi hasil hidrolisis komponen hemiselulosa seperti xilosa menjadi

etanoldapat menggunakan khamir Pichia stipites atau Candida shehatae (Hahn-

Hagerdal et al. 1993)

Pada fermentasi xilosa, tiga molekul xilosa menghasilkan lima molekul

etanol, lima molekul CO2, dan lima molekul air (Mc.Millan 1993). Fermentasi

pentosa yang berasal dari hemiselulosa dilakukan pada reaktor terpisah karena

mikroba yang menggunakan pentosa bekerja lebih lambat dalam mengubah

heksosa dan pentosa menjadi etanol dibanding mikroba yang hanya mengubah

heksosa menjadi etanol, serta bersifat lebih sensitif terhadap senyawa inhibitor

dan produk etanol (Cardona dan Sanchez 2007).

Etanol dan CO2 yang terbentuk dapat menghambat proses fermentasi.

Selain itu, sel hidup khamir hanya toleran terhadap etanol pada konsentrasi

tertentu. Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut

antara lain adalah dengan mendaur ulang khamir yang terdapat dalam aliran

produk atau meningkatkan densitas sel dalam rector, atau dengan menggunakan

teknologi fermentasi kontinu (Gregg dan Saddler 1995).

2.6. Destilasi

Destilasi adalah salah satu metode dari pemurnian dengan cara

memisahkan

dua atau lebih komponen- komponen dalam suatu cairan berdasarkan perbedaan

tekanan uap masing- masing komponen (Hidayat, 2007). Pemisahan bahan

dengan metode destilasi ini dapat dilakukan jika komposisi fase uap memiliki

perbedaan dengan komposisi fase cair. Jika komposisi fase uap sama dengan

5

Page 26: Proposal Penelitian Soryaa-Viesta

komposisi fase cair, maka pemisahan dengan jalan destilasi tidak dapat dilakukan

(Irfani, 2007).

Proses destilasi adalah salah satu metode yang paling umum digunakan

dalam pemisahan larutan dengan titik didih rendah seperti etanol. Pada proses ini,

energi yang dibutuhkan cukup besar jika cairan (etanol) yang akan dipisahkan

mempunyai konsentrasi yang kecil didalam larutannya (Offeman dkk, 2006).

Proses distilasi menghasilkan etanol yang telah terpisah dengan solvent dan air

kemudian solvent dapat digunakan kembali untuk proses ekstraksi, tetapi sistem

etanol-air akan membentuk azeotrop pada 78,2oC dengan komposisi 89,4% mol

etanol dan 10,6% mol air sehingga dengan menggunakan distilasi biasa, tidak

dapat diperoleh etanol absolut (Sinawang dkk, 2013).

Menurut Walangare dkk (2013) terdapat berbagai jenis destilasi, yaitu:

1) Destilasi sederhana

Destilasi sederhana atau destilasi biasa adalah teknik pemisahan kimia

untuk memisahkan dua atau lebih komponen yang memiliki perbedaan titik

didih yang jauh. Suatu campuran dapat dipisahkan dengan destilasi biasa ini

untuk memperoleh senyawa murni. Senyawa yang terdapat dalam campuran

akan meng-

uap saat mencapai titik didih masing-masing.

2) Destilasi Fraksionasi

Sama prinsipnya dengan destilasi sederhana, hanya destilasi bertingkat ini

memiliki rangkaian alat kondensor yang lebih baik, sehingga mampu

memisahkan dua komponen yang memiliki perbedaan titik didih yang

berdekatan. Untuk memisahkan dua jenis cairan yang sama mudah menguap

dapat dilakukan dengan destilasi bertingkat. Destilasi bertingkat adalah suatu

proses destilasi berulang. Proses berulang ini terjadi pada kolom fraksional.

Kolom fraksional terdiri atas beberapa plat dimana pada setiap plat terjadi

pengembunan. Uap yang naik plat yang lebih tinggi lebih banyak mengandung

cairan yang lebih atsiri (mudah menguap) sedangkan cairan yang yang kurang

atsiri lebih banyak kondensat.

3) Destilasi Azeotrop

5

Page 27: Proposal Penelitian Soryaa-Viesta

Memisahkan campuran azeotrop (campuran dua atau lebih komponen

yang sulit di pisahkan), biasanya dalam prosesnya digunakan senyawa lain

yang dapat memecah ikatan azeotrop tersebut atau dengan menggunakan

tekanan tinggi.

4) Destilasi Uap

Untuk memurnikan zat / senyawa cair yang tidak larut dalam air, dan titik

didihnya cukup tinggi, sedangkan sebelum zat cair tersebut mencapai titik

didihnya, zat cair sudah terurai, teroksidasi atau mengalami reaksi pengubahan

(rearranagement), maka zat cair tersebut tidak dapat dimurnikan secara

destilasi sederhana atau destilasi bertingkat, melainkan harus didestilasi

dengan destilasi uap. Destilasi uap adalah istilah yang secara umum digunakan

untuk destilasi campuran air dengan senyawa yang tidak larut dalam air,

dengan cara mengalirkan uap air kedalam campuran sehingga bagian yang

dapat menguap berubah menjadi uap pada temperature yang lebih rendah dari

pada dengan pemanasan langsung. Untuk destilasi uap, labu yang berisi

senyawa yang akan dimurnikan dihubungkan dengan labu pembangkit uap

(lihat gambar alat destilasi uap). Uap air yang dialirkan ke dalam labu yang

berisi senyawa yang akan dimurnikan,dimaksudkan untuk menurunkan titik

didih senyawa tersebut, karena titik didih suatu campuran lebih rendah dari

pada titik didih komponen-komponennya.

5) Destilasi Vakum

Memisahkan dua kompenen yang titik didihnya sangat tinggi, motode

yang digunakan adalah dengan menurunkan tekanan permukaan lebih rendah

dari 1 atm, sehingga titik didihnya juga menjadi rendah, dalam prosesnya suhu

yang digunakan untuk mendistilasinya tidak perlu terlalu tinggi.

2.7. Penelitian Terdahulu

Tropea et al (2014) melakukan penelitian terhadap kulit dan sari buah

nanas dengan tiga metode fermentasi yang berbeda untuk menghasilkan etanol,

yaitu direct fermentation (DF), separate hydrolysis and fermentation (SHF), dan

simultaneous saccharification and fermentation (SSF). Limbah nanas yang terdiri

dari kulit dan sari buahnya dihomogenkan dengan blender dan menghasilkan

5

Page 28: Proposal Penelitian Soryaa-Viesta

kandungan bahan kering 14% (w/w) yang kemudian diencerkan dengan air

hingga memiliki kandungan 9% bahan kering. Lalu campuran ini dipanaskan pada

1000C selama 10 menit untuk menonaktifkan enzim endogen dan mengurangi

pembusukan mikroba. Untuk DF, pH diatur dari 3,8 menjadi 4,5 menggunakan

NaOH 2 M. Campuran yang mengandung 9,2% bahan kering ditambahkan 20 ml

Saccharomyces cerevisiae dan dilakukan pencampuran secara kontinu dalam

fermenter batch pada 300C. Setelah 12 jam, medium ditambah 20 μl/g DepolTM

740 L dan 250 μl/g Accellerase® 1500 enzim. Sedangkan untuk SHF, sakarifikasi

8,5% bahan kering dilakukan dengan enzim yang sama selama 2 jam pada 500C

dan pH 5 dengan kecepatan pengadukan 500 rpm. Setelah 6 jam, campuran

didingkan hingga 300C dan pengadukan dilakukan pada 200 rpm. Fermentasi

dilakukan dengan menambahkan 20 ml S. cerevisiae. Lain halnya untuk SSF,

metode ini dilakukan dengan menambahkan enzim dan ragi secara bersamaan

pada suhu 300C, pH 4.5, dan kecepatan pengadukan 200 rpm. Etanol yang

didapatkan dari ketiga metode ini tidak jauh berbeda. Metode DF menghasilkan

yield etanol sebesar 3,4% dari 86% yield teoritis , SHF dan SSF menghasilkan

masing-masing 3,7% dan 3.9% dari 89% dan 96% yield teoritisnya.

Setyawati dan Rahman (2011) melakukan penelitian terhadap variasi

massa S. cerevisiae dan waktu fermentasi pada produksi bioetanol dari kulit

nanas. Sari kulit nanas yang sudah dianalisa kadar glukosanya ditambahkan air

dengan rasio 1:2 dan disterilisasi. Proses fermentasi dilakukan dengan ragam

perubahan massa ragi yaitu 20,30, dan 40 gram, pH fermentasi 4 dan 5, serta

waktu fermentasi 2, 4, 6, 8, dan 10 hari. Dari penelitian yang dilakukan,

didapatkan kadar bioetanol tertinggi sebesar 3,965% pada penambahan 30 gram S.

cerevisiae dan waktu fermentasi 10 hari.

Jaynudin (2009) melakukan penelitian terhadap pengaruh konssentrasi dan

waktu pemutihan serat daun nanas menggunakan hidrogen peroksida. Daun nanas

dihidrolisis menggunakan larutan NaOH dengan variasi konsentrasi 0,1, 0,2, 0,3,

dan 0,35 selama 1 jam pada suhu 1000C. Kemudian dilakukan pemutihan

menggunakan H2O2 yang memiliki variasi konsesntrasi 1%, 2%, dan 3% selama

variasi waktu yang berbeda yaitu 1, 1,5, dan 2 jam. Hasil didapatkan bahwa

5

Page 29: Proposal Penelitian Soryaa-Viesta

kondisi pemutihan yang optimum terjadi pada waktu perendaman 1,5 jam dengan

larutan H2O2 2%.

Onggo dan Astuti (2005) melakukan penelitian tehadap serat daun nanas

yang dipretreatment menggunakan NaOH dalam produksi pulp. Pretreatment

dilakukan dalam larutan NaOH dengan variasi 0, 5, 10, 15, 20, dan 25% selama

1 dan 2 jam pada suhu 100 C. Kemudian serat daun nanas ini direndam dalam

larutan 2% H2O2 selama 2 jam. Hasil terbaik dari pretreatment diperoleh pada

kondisi 10% NaOH dan 1 jam waktu pemasakan.

Polii (2012) melakukan penelitian terhadap produksi bioetanol dari serat

sabut kelapa yang dihidrolisis dengan H2SO4, dilanjutkan dengan penambahan

ragi untuk fermentasi, dan destilasi. Hidrolisis dilakukan dengan merendam serat

sabut kelapa dalam H2SO4 1, 3, 6, 9, 15, dan 17%, kemudian dipanaskan pada

suhu 1250C selama

3 dan 6 jam, penambahan ragi 1, 2, 3, 4, dan 5% difermentasi pada suhu 300C

selama variasi waktu 1, 2, 3, 4 hari, kemudian didestilasi untuk mendapatkan

etanol dengan kemurnian yang lebih tinggi. Dari penelitian ini, diperoleh kadar

etanol 43,56% dengan kondisi asam sulfat 3% selama 6 jam dan fermentasi oleh

ragi 3% selama 1 hari.

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. WAKTU DAN TEMPAT

Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Oktober s/d Januari 2014 di

Laboratorium Bioproses Jurusan Teknik Kimia Universitas Sriwijaya, Inderalaya.

3.2. ALAT DAN BAHAN

a) Alat

5

Page 30: Proposal Penelitian Soryaa-Viesta

1) Gelas ukur 9) Mesh Screening

2) Termometer 10) Neraca Analitik

3) Oven 11) Erlenmeyer

4) Blender 12) Buret Titrasi

5) Labu Leher Tiga 13) Pendingin balik/kondenser

6) Kertas Saring 14) Cawan porselen

7) spatula 15) statif

8) Labu ukur

b) Bahan

1) Daun Nanas 9) Nutrisi Urea

2) Ragi 10) H2SO4 25 %

3) NaOH 5% 11) Na2S2O3 0,1 N

4) H2SO4 1,2,3,4,5 N 12) Larutan Luff

5)Pb Asetat 13) Aquadest

6) Na2HPO4 10 N 14) Indikator Amilum

7) KI 30 %

8) Na2SO4 0,2 N

3.3. Rancangan Penelitian

Pada penelitian ini akan dilakukan studi delignifikasi serat daun nanas

tahap pretreatment yaitu dengan menggunakan larutan NaOH 0,5 N dan

kemudian dihidrolisis menjadi glukosa dengan proses hidrolisis kimiawi asam

encer menggunakan larutan H2SO4 dan dilanjutkan dengan proses fermentasi

untuk menghasilkan etanol dengan bantuan ragi roti (fermipan)

3.3.1. Variabel – Variabel Penelitian

Pada penelitian ini akan diamati pengaruh beberapa variabel proses untuk

menghasilkan produk dengan kadar bioetanol terbanyak dan kemurnian yang

paling tinggi. Adapun beberapa variabel yang menjadi fokus pada penelitian ini

adalah:

1) Suhu dan berat sampel sebagai variabel tetap.

2) Konsentrasi zat penghidrolisis dan waktu hidrolisis sebagai variabel bebas.

5

Page 31: Proposal Penelitian Soryaa-Viesta

3.3.2. Persiapan Bahan Baku

1) Biomassa berupa daun nanas diperoleh dari lahan perkebunan nanas di

daerah Prabumulih, Sumatera Selatan.

2) Daun nanas dicuci sampai bersih kemudian dijemur dibawah sinar matahari

hingga didapat daun nanas kering berwarna kecoklatan.

3) Daun nanas yang telah kering dihaluskan dengan cara dicacah dan

diblender. Bubuk daun nanas yang telah kering digerus dalam cawan

porselen dan setelah halus diayak menggunakan pengayak berukuran 100

mesh. Lalu dianalisa kadar ligninnya.

3.4. Deskripsi Proses

3.4.1. Alkali Pretreatment

1) Delignifikasi dilakukan dengan mengambil sebanyak 50 gram serbuk daun

nanas ditambah dengan 500 ml NaOH 0,5 N ke dalam botol bertutup

(erlenmeyer bertutup) dengan perbandingan ratio (w/v) daun nanas :

NaOH = 1 : 10.

2) Selanjutnya sampel dalam wadah diinkubasi dalam water bath pada suhu

850C selama 1 jam. Setelah 1 jam, sampel dipisahkan dengan cara disaring

menggunakan kertas saring. Serbuk daun nanas yang telah terpisah dibilas

dengan aquadest hingga pH 7 (netral).

3) Selanjutnya padatan serbuk daun nanas yang terbentuk dikeringkan dalam

oven pada suhu 1050C selama 1,5 jam.

3.4.2. Hidrolisis

1) 30 gr serbuk daun nanas yang telah melalui tahap pretreatment dimasukkan

ke dalam erlenmeyer dan dicampurkan dengan 300 mL larutan H2SO4

sesuai dengan variabel yang dijalankan, yaitu 1, 2, 3, 4, dan 5 % dengan

perbandingan solid dan liquid 1 : 10

2) Selanjutnya dimasukkan kedalam labu hidrolisis (labu leher tiga yang

dilengkapi dengan pendingin balik) dengan suhu konstan 1000C selama

masing-masing 30, 60, 90, 120, dan 150 menit.

5

Page 32: Proposal Penelitian Soryaa-Viesta

3) Setelah itu masing-masing larutan hasil hidrolisis disaring kembali dan

diambil filtratnya untuk análisis pengujian kadar glukosa menggunakan

metode Luff Schoorl.

3.4.3. Fermentasi

1) Alat – alat yang digunakan pada proses fermentasi disterilisasi dalam

autoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit agar tidak ada mikroba lain

karena kesterilan akan mempengaruhi fermentasi.

2) Ragi roti (Saccharomyces Cerevisiae) dicampurkan dengan hidrolisat

(serbuk daun nanas) sebanyak 4 gram ke masing-masing sampel hidrolisat.

3) Aquadest sebanyak 50 ml dimasukkan ke dalam masing-masing erlemeyer

yang berisikan ragi roti dan hidrolisat.

4) Tutup rapat masing - masing erlenmeyer dengan alumunium foil supaya

tidak ada kontaminan yang mengganggu fermentasi.

5) Fermentasi dilakukan selama 5 hari.

3.4.4. Destilasi

1) Menyiapkan 1 set peralatan destilasi. Lalu merangkai dan menghidupkan

peralatan destilasi dengan baik.

2) Memasukkan hasil SHF yang telah disaring ke dalam labu, kemudian

memasang labu tersebut pada alat destilasi.

3) Mengatur temperatur nya 79-80oC.

4) Proses destilasi dilakukan selama 1-1,5 jam sampai bioetanol tidak menetes

lagi.

5) Destilat (bioetanol) yang dihasilkan disimpan di dalam botol yang tertutup

rapat.

6) Bioetanol di ukur densitas nya dengan menggunakan piknometer.

5

Hidrolisis

Pretreatment Alkali dengan NaOH 0,5 N

Daun Nanas

H2SO4 1, 2, 3, 4, dan 5% 30, 60, 90, 120,150 menit

Page 33: Proposal Penelitian Soryaa-Viesta

Gambar 3.1. Diagram Alir Proses

3.5. Analisa Hasil Proses

3.5.1 Penentuan Kadar Lignin dengan Metode Kappa

Bilangan kappa merupakan pengujian kimia diperlakukan terhadap

biomassa untuk menentukan tingkat delignifikasi. Bilangan kappa dari biomassa

didefenisikan sebagai volume (mL) dari 0,1N larutan kalium permanganat yang

digunakan oleh satu gram biomassa yang berada dalam persyaratan spesifik pada

prosedur ini. Pada analisis bilangan kappa, reaksinya berlangsung secara oksidasi

– reduksi. KMnO4 0.1 N berperan sebagai oksidator yang akan mengoksidasi

lignin tersisa yang berlangsung dalam suasana H2SO4 4 N. KI 0.1 N berperan

sebagai reduktor yang akan mereduksi KMnO4 0.1 N. Kelebihan KI 0.1 N akan

bereaksi dengan larutan standart Na2S2O3 0.1 N. Titik akhir titrasi dapat

diketahui dengan penambahan indikator amilum 1 % menjelang titik akhir titrasi.

Suhu selama titrasi dijaga konstan pada suhu 25oC. Hal ini bertujuan untuk

menghindari faktor koreksi kesalahan selama titrasi.

3.5.1.a. Bahan yang digunakan

1) Larutan kalium permanganat (KMnO4) 0,1 N

2) Larutan Natrium Tiosulfat (Na2SO3) 0,1 N

3) Larutan Kalium Iodida (KI) 1 N

4) Larutan Asam Sulfat (H2SO4) 4 N

5) Larutan Amylum 1 %

5

Saccharomyces cerevisiae (4 gram)

Destilasi

Fermentasi

Etanol

Page 34: Proposal Penelitian Soryaa-Viesta

3.5.1.b. Cara kerja

1) Masukkan sampel sebanyak 0,1 gram ke dalam gelas piala dan

tambahkan 400 ml akuades dan dimasukkan magnetic stirrer lalu

hidupkan hotplate

2) tambahkan 50 ml larutan kalium permanganate 0,1 N dan 50 ml

larutan asam sulfat 4 N secara bersamaan

3) lalu biarkan pengadukan berlangsung selama 10 menit

4) Setelah 10 menit , lalu tambahkan larutan kalium Iodida 1 N sebanyak

10 ml

5) Lakukan titrasi dengan larutan natrium Tiosulfat 0,1 N hingga larutan

berubah warna menjadi kuning

6) Lalu tambahkan dengan indikator amilum 1% hingga larutan berubah

warna menjadi biru

7) Selanjutnya lanjutkan titrasi hingga larutan tak berwarna (putih

bening) dan catat volume pemakaian Natrium Tiosulfat sebagai a ml

dilakukan percobaan yang sama sebanyak 3 kali

8) Kerjakan untuk blanko seperti perlakuan pada point 1 – 7 tanpa

menggunakan sampel. Catat pemakaian volume larutan natrium

tiosulfat titrasi blanko sebagai b ml

3.5.1.1. Metode Analisa Data

Untuk menghitung bilangan Kappa menggunakan rumus :

K = ( b – a) / w

Dimana :

K = bilangan Kappa

b = volume titran terhadap blanko (ml)

a =volume titran terhadap sampel (ml)

w = berat sampel (gram)

Oleh Freudenberg , nilai Kappa dikalikan dengan factor 0,147 ( Casey, 1991)

untuk mendapatkan kadar lignin :

Kadar Lignin = K x 0,147

5

Page 35: Proposal Penelitian Soryaa-Viesta

3.5.2. Pengujian Kadar Glukosa Dengan Metode Luff Schoorl

Metoda Luff Schoorl adalah suatu metode cara penentuan monosakarida

dengan cara kimiawi. Pada metode ini, yang ditentukan bukannya kuprooksida

yang mengendap, tapi dengan menentukan kuprooksida dalam larutan sebelum

direaksikan dengan gula reduksi (titrasi blanko) dan sesudah direaksikan dengan

sampel gula reduksi (titrasi sampel). Penentuan titrasi dengan menggunakan

Natrium Thiosulfat. Selisih titrasi blanko dengan titrasi sampel ekuivalen dengan

kuprooksida yang terbentuk dan juga ekuivalen dengan jumlah gula reduksi yang

ada dalam larutan. Reaksi yang terjadi selama penentuan glukosa dengan cara ini

mula-mula kuprooksida yang ada dalam reagen akan membebaskan iod dari

garam K-iodida. Banyaknya iod yang dibebaskan ekuivalen dengan banyaknya

kuprooksida. Banyaknya iod dapat diketahui dengan titrasi menggunakan

Natrium Thiosulfat. Untuk mengetahui bahwa titrasi sudah cukup maka

dibutuhkan indicator amilum. Apabila larutan berubah warna dari biru menjadi

putih, maka menunjukkan bahwa titrasi sudah cukup.

Metode Luff Schoorl ini baik digunakan untuk menentukan kadar

karbohidrat yang berukuran sedang. Dalam penelitian M.Verhaart dinyatakan

bahwa metode Luff Schoorl merupakan metode tebaik untuk mengukur kadar

karbohidrat dengan tingkat kesalahan sebesar 10%. Reaksi yang terjadi dalam

penentuan gula denganmetoga Luff Schoorl dapat dituliskan sebagai berikut :

R – COH + 2CuO Cu2O + R-COOH

H2SO4 + CuO CuSO4 + H2O

CuSO4 + 2 KI Cu2I2

I2 + Na2S2O3 Na2S4O6 + NaI

3.5.2. a. Bahan yang digunakan

1) Pb Asetat

2) Na2HPO4 10 %

3) KI 30 %

4) H2SO4 25 %

5) Na2S2O3 0,1 N

6) Larutan Luff,

5

Page 36: Proposal Penelitian Soryaa-Viesta

7) aquades

8) Indikator

3.5.2. b. Cara Kerja

1) Contoh ditimbang sebanyak 5 – 10 gram dan dimasukkan kedalam

labu ukur 20 mL dan ditambah aquadest hingga tanda batas.

2) Disaring dan diambil filtratnya sebanyak 50 ml, dimasukkan kedalam

labu ukur 250 ml. Ditambahkan 10 mL Pb Asetat kemudian dikocok.

Di tes dengan tetesan larutan Na2HPO4 10%. Bila terdapat endapan

putih, berarti sudah cukup.

3) Ditambahkan air hingga tanda batas, dikocok dan dibiarkan sekitar 30

menit dan kemudian disaring.

4) Sebelum terjadi Inversi, filtrat sebanyak 10 ml dipipet ke dalam labu

erlenmeyer 500 ml bertutup. Ditambahkan 15 ml air , dan 25 ml

larutan luff.

5) Dipanaskan selama 2 menit sampai mendidih dan didihkan terus

selama 10 menit dengan nyala kecil. Diankat dan didinginkan cepat.

6) Setelah dingin ditambahkan 10-15 ml KI 30 % dan 25 ml H2SO4 25 %

dengan pelan-pelan

7) Dititrasi dengan larutan tio 0,1 N dan larutan kanji 0,5 % sebagai

indikator setelah larutan menjadi berwarna putih kekuningan

8) Setelah terjadi inversi, filtrat sebanyak 50 ml dipipet dan dimasukkan

dalam labu takar 100 ml. Ditambahkan 5 ml HCL 25 % kemudian labu

dimasukkan ke dalam penangas air dengan suhu 60-70 0C.

9) Dibiarkan selama 10 menit agar menginversi gula-gula

10) Diangkat dan didinginkan, ditambahkan NaOH 30 % hingga merah

jambu

11) Dipipetkan 10 ml larutan ini dan tetapkan gula sesudah inversi dengan

cara di atas. Dari selisih kedua penitaran dapat diahitung jumlah

glukosa fruktosa atau gula invert dengan menggunakan daftar.

Untuk menghitung kadar gula setelah inversi dapat ditentukan dengan rumus :

5

Page 37: Proposal Penelitian Soryaa-Viesta

Angka Tabel (AT) = (B ml – A ml) x Normalitas Na2S2O3 terstandardisasi

0,1

% Gula Setelah Inversi = (AT x Faktor Pengenceran)

(Bobot Sampel Uji (mg)) x 100%

3.5.2.1. Metode Analisa Data

Berdasarkan table penetapan glukosa Badan Standarisasi Nasional (BSN)

Angka Tabel (AT) = (B ml – A ml)

B = Volume titrasi blanko,

A = Volume titrasi terhadap sampel

3.5.3. Pengujian Kadar Etanol Dengan Analisa Density

Untuk menganalisa kadar alkohol (etanol) yang didapat digunakan analisa

density. Analisa density ini dilakukan dengan menggunakan alat piknometer,

piknometer yang digunakan adalah piknometer 5 ml pada suhu kamar. Prosedur

perhitungan density dengan menggunakan piknometer yaitu :

1) Menimbang berat piknometer kosong pada suhu kamar diperoleh a gram

2) Menimbang berat piknometer yang telah berisi aquadest penuh pada suhu

kamar diperoleh b gram.

3) Menghitung volume piknometer dengan menggunakan rumus

Volume Piknometer = b−a

0.995797 = C mL

4) Menimbang berat piknometer yang telah diisi penuh dengan zat (etanol)

yang akan ditentukan densitynya pada suhu kamar diperoleh d gr.

Density = berat piknometer isi zat−berat piknometer kosong

volume piknometer

Density = d−a

c

Dari density yang diperoleh, dapat ditentukan kadar alkohol (etanol) yang

terkandung, dengan melihat tabel density standar etanol pada suhu kamar. Analisa

5

Page 38: Proposal Penelitian Soryaa-Viesta

ini dilakukan terhadap hasil fermentasi yang telah di destilasi, gunanya untuk

mengetahui kadar alkohol (etanol) yang terdapat dalam hasil fermentasi.

3.5.4. Pengujian Kadar Etanol Dengan Analisa Gas Kromatografi

Untuk melihat kadar bioetanol yang dihasilkan dengan lebih akurat maka

dilakukan analisa dengan menggunakan Gas Kromatografi dengan tahapan analisa

sebagai berikut :

1) Sampel disiapkan dengan komposisi belum diketahui dan larutan baku

dengan komposisi diketahui.

2) Running alat, dengan kondisi suhu maksimum 200oC dan jenis detektor FID

(Flame Ionisasion Detector).

3) Mengatur tekanan manometer pada tabung sebesar 3,5 kg/cm.

4) Mengatur kecepatan gas pembawa (Helium) ke kanan atau ke kiri sebesar

300ml/min.

5) Menyuntikan larutan baku minimal 1µL etanol.

6) Puncak etanol tampak pada kromatogram (alat perekam).

7) Hasil analisa akan tertulis oleh integrator dalam bentuk laporan RT (waktu

retensi), AREA (luas puncak), TYPE (tipe puncak), AREA% (persen

senyawa dalam larutan).

8)..Menyuntikan larutan cuplikan minimal 1µL etanol dan membuat

kromatogramnya.

9) Membandingkan antara kromatogram larutan baku dan larutan cuplikan.

3.6. Jadwal Kegiatan PenelitianTabel 3.1. Jadwal Kegiatan Penelitian

KegiatanMinggu Ke-

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Pengajuan Proposal                        

Menyiapkan Alat dan bahan                        

Perlakuan Awal

Proses Pre-Treatment

Proses Hidrolisis

5

Page 39: Proposal Penelitian Soryaa-Viesta

Proses Fermentasi

Analisa Hasil                        

Pembuatan Laporan                        

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik, 2014. Produksi Buah-buahan dan Sayuran Tahunan di

Indonesia, 1995-2013. Badan Pusat Statistik, Jakarta, Indonesia.

Badger, P.C. 2002. Ethanol from cellulose: A general review. P 17-21 In: J.Janick

and A. Whipkey (eds) Trenin new crop and new uses. ASHS Press,

Alexandria, VA., USA

5

Page 40: Proposal Penelitian Soryaa-Viesta

Baker, A. J. 1983. Wood Fuel Properties and Fuel Products From Woods. In:

Fuelwood management and utilization seminar: Proceedings . East

Lansing. East Lansing. MI: Michigan State University. 14-25.

Budiyanto, E., A.L. Wardani, W. Nirmala. 2010. Pemanfaatan Daun Nanas

(Ananas comosus) sebagai Adsorben Logam Ag dan Cu Pada Limbah

Industri Perak di Kota Gede, Yogyakarta.

Cardona, C.A. and O.J. Sanchez. 2007. Fuelethanol production: Process design

trendsand integration opportunities. Bioresour.Technol. 98: 2415–2457

Daud, M., W. Safii, K. Syamsu. 2012. Biokonversi Bahan Berlignoselulosa

Menjadi Bioetanol Menggunakan Aspergillus niger dan Saccharomyces

cerevisiae. Jurnal Perennial. 8(2): 43-51.

Demirbas, A. 2005. Bioethanol from cellulosicmaterials: A renewable motor fuel from biomass. Energy Sour. 27: 327–337.Desvaux, M. 2005. Clostridium cellulyticum: model organism of mesophillic

cellulolytic clostridia. FEMS Microbiology Reviews 29:741-764.

Fengel, D., G. Wegener. 1989. Wood: chemistry, ultrastructure, reactions. Walter

de Gruyter, Berlin. Hal 106

Gong , C.S. , Chen , L.F. , Flickinger , M. C. , and Tsao , G.T. 1981. Conversion

of Hemisellulose Carbohydrates , Adv . Biochem . Engineering 20 (In

Press) .

Isroi. 2008. Potensi Biomassa Lignoselulosa di Indonesia Sebagai Bahan Baku

Bioetanol: Tandan Kosong Kelapa Sawit. Online di

http://isroi.wordpress.com . Diakses 1 Oktober 2014.

Hidayat, P. 2008. Pemanfaatan Serat Daun Nanas Sebagai Alternative Bahan

Baku Tekstil . Teknoin . 13(2) :31-35 .

Howard, R.L., Abotsi, E., Jansen van Rensburg, E.L., and Howard, S. 2003.

Lignocellulose biotechnology: issue of bioconversion and enzyme

production. African Journal of Biotechnology (2003), Vol. 2 (12) pp 602-

619

Jayanudin. 2009. Pemutihan Daun Nanas Menggunakan Hidrogen Peroksida.

Jurnal Rekayasa Proses. 1(3): 10-14

5

Page 41: Proposal Penelitian Soryaa-Viesta

Kristina, E.R. Sari, Novia. 2012. Alkaline Pretreatment dan Proses Simultan

Sakarifikasi-Fermentasi untuk Produksi Etanol dari Tandan Kosong

Kelapa Sawit. Jurnal Teknik Kimia. 18 (3) : 34-43.

Lynd, L. R., P. J. Weimer, W.H.V. Zyl, I. Pretorius. 2002. Microbial

cellulose utilization: fundamentals and biotechnology. Microbiology

and Molecular Biology Reviews 66(3): 506-577.

Mc. Millan, J.D. 1993. Xylose Fermentation to Ethanol: A Review. National

RenewableEnergy Laboratory, Golden, Colorado. p. 3.

Monserrate, E., S.B. Leschine, E.C. Parola. 2001. Clostridium hungatei sp.nov., a

mesophilic, N2-fixing cellulolytic bacterium isolated from soil.

International Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology. 51:

123-132.

Mosier, N., C. Wyman, B. Dale, R. Elander, Y. Lee, M. Holtzapple, and M.

Ladish. 2005. Features of promising technologies for pretreatment of

lignocellulosic biomass. Bioresource Technology. 96: 673−686.

Onggo, H. 2007. Produk Serat Daun Nenas Berbasis Teknologi Tepat Guna.

Workshop Sosialisasi dan Implementasi Produk Agroindsutri Nenas

Berbasis Teknologi Tepat Guna, 6-7 Juni 2007.

Onggo, H., T. Jovita. 2003. Penelaahan Proses Dekortikasi Daun Nanas,

Prosiding Seminar Nasional Teknoin.

Onggo, H., T. Jovita. 2005. Pengaruh Natrium Hidroksida dan Hidrogen

Peroksida Terhadap Rendemen dan Warna Pulp dari Serat Daun Nanas.

Jurnal Ilmu & Teknologi Kayu Tropis. 3(1).

Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Tentang Perubahan Peraturan

Menteri ESDM Nomor 32 Tahun 2008 Tentang Penyediaan, Pemanfaatan,

dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain,

PERMEN ESDM. No. 25 Tahun 2013

Peraturan Presiden Tentang Kebijakan Energi Nasional. Perpres No. 5 Tahun

2006

Perry, J. H. 1984. Chemical Engineering Handbook, 6th edition Mc Graw Hill,.

Inc, New York.

5

Page 42: Proposal Penelitian Soryaa-Viesta

Polii, F.F. 2012. Pembuatan Etanol dari Limbah Industri Serat Sabut Kelapa.

Jurnal Penelitian Teknologi Industri. 4(1): 20-27.

Pusat Data dan informasi Energi dan Sumber Daya Mineral. 2012. Kajian Supply

Demand Energy. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

Setyawati, H. dan N.A. Rahman. 2011. Bioetanol dari Kulit Nanas dengan Variasi

Massa Saccharomyces Cerevisiae dan Waktu Fermentasi.

Sinawang, G., Lutfia, T. Widjaja. 2013. Pemisahan Campuran Etanol-Amil

Alkohol-Air dengan Proses Distilasi dalam Structured Packing dan

Dehidrasi Menggunakan Adsorbent.

Sun, Y. and J. Cheng. 2002. Hydrolysis of lignocellulosic materials for ethanol

production: A review. Bioresource Technology. 83:1–11.

Taherzadeh, M.J., and K. Karimi. 2007. Enzyme-Based Hydrolysis Processes for

Ethanol from Lignocellulosic Materials: A Review. Bio Resources 2 (4):

707-738.

Tropea, A., D. Wilson, L.G. La Torre, R.B. Lo Curto, P. Saugman, P. Troy-

Davies, G. Dugo, K.W. Waldron. 2014. Bioethanol Production From

Pineapple Wastes. Journal of Food Research. 3(4): 60-70.

Walangare, K.B.A., Lumenta, A.S.M., Wuwung, J.O., Sugiarso, B.A. 2013.

Rancang Bangun Alat Konversi Air Laut Menjadi Air Minum dengan

Proses Destilas Sederhana Menggunakan Pemanas Elektrik. Jurnal Tekni

Elektro dan Komputer FT Unsrat.

5