proposal penelitian soryaa-viesta
DESCRIPTION
proposalTRANSCRIPT
PROPOSAL PENELITIAN
PENGARUH KONSENTRASI ASAM DAN WAKTU HIDROLISIS TERHADAP PEMBENTUKAN BIOETANOL DARI DAUN NANAS
Dibuat untuk Memenuhi Syarat Kurikulum Tingkat Sarjana pada Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya
Oleh :
VIESTA LISTUYERI SYARIF 03111003066
SORAYA RIZKY ANANDA 03111003068
JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIKUNIVERSITAS SRIWIJAYA
2014
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pertumbuhan populasi dan ekonomi Indonesia yang kian pesat
mengakibatkan meningkatnya konsumsi energi secara signifikan. Kondisi ini
menuntut penyediaan energi untuk keberlangsungan aktivitas. Menurut
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pada tahun 2012
konsumsi minyak mentah dan BBM di Indonesia mencapai 1,3 juta barel per hari,
sedangkan produksinya hanya sekitar 860 ribu per hari. Hal ini membuat
Indonesia defisit BBM dan minyak mentah sebanyak 500 ribu barrel yang harus
dipenuhi melalui impor. Produksi minyak yang cenderung menurun ini membuat
Indonesia yang semula merupakan net-exporter di bidang bahan bakar minyak
berganti status sebagai negara net-importir BBM sejak tahun 2004. Kebutuhan
domestik yang tidak pernah tercukupi oleh produksi dalam negeri menyebabkan
impor BBM Indonesia meningkat setiap tahunnya. Dalam kajian supply demand
energy Pusdatin ESDM 2012 dijelaskan bahwa impor BBM pada tahun 2009-
2011 mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Pada tahun 2009, Indonesia
mengimpor BBM sebanyak 140 juta barel, tahun 2010 sebanyak 172 juta barel,
dan meningkat 5,2% pada tahun 2011 yaitu sebanyak 172 juta barel.
Kebutuhan energi yang kian meningkat selaras dengan tingginya harga
minyak dunia tidak diimbangi dengan cadangan bahan bakar fosil yang semakin
menipis. Sumber energi utama ini bersifat tidak dapat diperbaharui sehingga jika
diambil terus menerus maka persediaan energi tersebut akan habis. Total
cadangan minyak di Indonesia selama 9 tahun terakhir cenderung menurun
dikarenakan produksi minyak jauh diatas bahan baku yang ada. Untuk
menanggulangi defisit energi yang berkelanjutan, maka diperlukan pengembangan
energi alternatif pengganti bahan bakar fosil
Pemerintah melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5
Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional telah mengatur upaya-upaya
1
mewujudkan keamanan pasokan energi dalam negeri. Pengembangan energi alternatif
pengganti BBM dari sumber daya yang dapat diperbaharui seperti bahan bakar nabati
(biofuel) diharapkan dapat mencapai lebih dari 5% dari konsumsi energi nasional.
Impor BBM yang semakin meningkat juga membuat pemerintah menetapkan
kebijakan ekonomi makro dan mengurangi impor bahan bakar minyak melalui
Peraturan Menteri ESDM Nomor 25 Tahun 2013 tentang perubahan Peraturan
Menteri ESDM Nomor 32 Tahun 2008 tentang penyediaan, pemanfaatan, dan tata
niaga bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain. Permen ini mengacu
kepada peningkatan dan perluasan pemanfaatan penggunaan bahan bakar nabati
sebagai alternatif energi pengganti bahan bakar minyak.
Salah satu contoh bahan bakar berbasis nabati adalah bioetanol. Selama ini,
bioetanol dibuat dari bahan berpati dan bergula seperti gula, tebu, ubi kayu, dan
jagung. Bahan-bahan ini merupakan bahan pangan sehingga penggunaannya sebagai
bahan baku bioetanol dapat membuat permasalahan baru berupa persaingan terhadap
pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan inovasi bahan
baku yang bukan merupakan sumber pangan masyarakat yaitu biomassa lignoselulosa
(Daud, 2012).
Biomassa lignoselulosa di Indonesia sangat berlimpah dan pemanfaatannya
belum optimal, seperti daun nanas. Daun nanas merupakan bagian yang cukup
banyak dihasilkan pada saat panen nanas. Untuk 2-3 kali panen, tanaman ini harus
diganti dengan tanaman nanas (Ananas comosus) baru, sehingga terdapat relatif
banyak limbah daun nanas (Ananas comosus) dari pertanian nanas (Budiyanto dkk,
2010). Setiap kali panen buah nanas menghasilkan 20 helai daun per pohonnya. Daun
nanas yang muda digunakan untuk pakan kambing, selebihnya hanya dibuang di
lahan nanas (Onggo, 2003). Jumlah limbah daun nanas yang banyak dan kandungan
selulosa yang tinggi pada daun nanas membuat biomassa lignoselulosa ini cukup
potensial untuk dijadikan bioetanol.
Pada proses pembuatan bioetanol terdapat beberapa tahap penting diantaranya
tahap pretreatment, hidrolisis, ferementasi dan pemurnian. Tahap pretreatment
5
dimaksudkan untuk menghilangkan lignin yang sifatnya sulit untuk didegradasi,
sehingga konversi selulosa menjadi glukosa pada proses hidrolisis dapat meningkat
(Silvi dkk., 2011). Glukosa hasil proses hidrolisis kemudian difermentasi dengan
bantuan Saccharomyces cerevisiae untuk menghasilkan produk bioetanol. Kemudian
bioetanol dimurnikan dengan cara destilasi.
1.2. Perumusan Masalah
Adapun perumusan masalah dari penelitian ini, yaitu:
1) Bagaimana pengaruh konsentrasi asam pada hidrolisis terhadap kadar glukosa dan
etanol yang dihasilkan?
2) Bagaimana pengaruh waktu hidrolisis terhadap kadar glukosa dan etanol yang
dihasilkan?
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini sebagai berikut:
1) Meneliti pengaruh asam pada hidrolisis terhadap kadar glukosa dan etanol yang
dihasilkan
2) Meneliti pengaruh waktu hidrolisis terhadap kadar glukosa dan etanol yang
dihasilkan
1.4. Hipotesa
Hipotesa yang diambil dalam penelitian ini adalah:
1) Semakin tinggi konsentrasi asam yang digunakan maka semakin tinggi kadar
etanol yang dihasilkan
2) Semakin lama waktu hidrolisis maka semakin tinggi kadar etanol yang dihasilkan
1.5. Ruang Lingkup Penelitian
Adapun ruang lingkup dalam penelitian ini sebagai berikut:
1) Daun nanas yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari perkebunan nanas di
Prabumulih, Sumatera Selatan.
2) Penelitian ini akan dilakukan di Laboratorium Bioproses Jurusan Teknik Kimia
Universitas Sriwijaya, Indralaya
5
3) Variasi yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu:
a) Variasi konsentrasi asam sulfat pada tahap hidrolisis : 1%, 2%, 3%, 4%, 5%
b) Variasi waktu pada tahap hidrolisis : 30 menit, 60 menit, 90 menit, 120 menit,
150 menit
4) Penggunaan NaOH 0,2 N pada tahap pretreatment
1.6. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian adalah:
1) Memanfaatkan limbah daun nanas menjadi produk etanol yang bernilai jual lebih
2) Menghasilkan bioetanol dengan kadar yang tinggi secara efisien dan efektif
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Nanas (Ananas Comocus L. Mer)
Nanas termasuk kedalam jenis tanaman semak berbunga yang hidup di daerah
tropis seperti Indonesia. Nanas memiliki klasifikasi sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Divisio : Spermatophyta
Sub Divisio : Angiospermae
Class : Monocotyledoneae
Ordo : Ferinosae (Bromeliales)
Famili : Bromeliaceae
Genus : Ananas
Species : Ananas comosus (L) Merr.
Nanas adalah suatu tanaman monocotyl yang dapat hidup dalam beberapa
musim (perennial). Mempunyai rangkaian bunga dan buah pada ujung batang.
Tanaman ini dapat melanjutkan pertumbuhannya melalui beberapa cabang vegetative
baru yang muncul dari batang. Cabang baru tersebut kelak dapat juga menghasilkan
buah yang masih terikat pada tanaman induk (tanaman pertama). Yang dimaksud
dengan tanaman induk yaitu tanaman pertama atau tanaman asli hasil pemisahan
vegetatif yang ditanam pertama kali (Rukmana, 1996 dalam Hidayat, 2008).
Bentuk daun nanas menyerupai pedang yang meruncing diujungnya dengan
warna hijau kehitaman dan pada tepi daun terdapat duri yang tajam. Tergantung dari
species atau varietas tanaman, panjang daun nanas berkisar antara 55 sampai 75 cm
dengan lebar 3,1 sampai 5,3 cm dan tebal daun antara 0,18 sampai 0,27 cm. Di
samping spesies atau varietas nanas, jarak tanam dan intensitas sinar matahari akan
mempengaruhi terhadap pertumbuhan panjang daun dan sifat atau karakteristik dari
serat yang dihasilkan. Intensitas sinar matahari yang tidak terlalu banyak (sebagian
5
terlindung) pada umumnya akan menghasilkan serat yang kuat, halus, dan mirip
sutera (Kirby, 1963, Doraiswarmy et al., 1993 dalam Hidayat, 2008).
Produksi nanas di Indonesia merupakan tiga terbesar setelah produksi
pisang dan mangga. Menurut data BPS tahun 2013, produksi nanas di Indonesia
sebesar 1.847.159 ton. Hal ini mengindikasikan bahwa nanas termasuk salah satu
buah yang memiliki potensi yang besar jika dapat dimanfaatkan dengan
sebaiknya. Tabel 2.1. Produksi buah-buahan tahunan di Indonesia
Tahun Mangga (ton) Nanas (ton) Pisang (ton)
2007 1.818.619 1.395.566 5.454.226
2008 2.105.085 1.433.133 6.004.615
2009 2.243.440 1.558.196 6.373.533
2010 1.287.287 1.406.445 5.755.073
2011 2.131.139 1.540.626 6.132.695
2012 2.376.339 1.781.899 6.189.052
2013 2 058 609 1.837.159 5.359.126
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014
Fokus budidaya tanaman nanas adalah untuk diambil buahnya. Selain bisa
dimakan secara langsung, buah nanas juga bisa diawetkan melalui pengolahan
menjadi beragam produk, seperti jus, selai, dan kripik. Selain itu buah nanas dapat
digunakan untuk pelunak daging (Onggo, 2007). Buah nanas juga banyak
dimanfaatkan sebagai obat-obatan tradisional.
Kulit nanas pun sudah banyak dimanfaatkan, seperti sebagai campuran
pakan ternak atau yang disebut silase, bahan baku pembuatan produk nata (nata
de phina) bahan makanan (Lathifah, 2013), dan yang belakangan ini masih hangat
diperbincangkan yaitu kulit nanas sebagai bahan baku pembuatan bioetanol
karena kandungan selulosanya yang cukup tinggi.
Bagian nanas yang dapat dimanfaatkan berikutnya adalah bagian daunnya.
Helaian daun nanas tebal, liat, panjangnya bisa mencapai 150 cm dengan lebar 3-5
5
cm, dan sangat rimbun dengan variasi helaian dapat mencapai 80 helai setiap
pohonnya (Onggo, 2007). Ujung daun nanas lancip menyerupai duri, tepi berduri
yang membengkok ke atas, sisi bawah bersisik putih, berwarna hijau atau hijau
kemerahan.
Gambar 2.1. Tumbuhan Nanas
Pemanfaatan tanaman ini yang umum digunakan hanya sebatas pada
buahnya saja, sedangkan daun nanas (Ananas comosus) relatif belum begitu
banyak diolah. Untuk 2-3 kali panen, tanaman ini harus diganti dengan tanaman
nanas (Ananas comosus) baru, sehingga terdapat relatif banyak limbah daun
nanas (Ananas comosus) dari pertanian nanas (Budiyanto dkk, 2010). Daun nanas
merupakan limbah yang besar di Indonesia. Setiap kali panen buah nanas
menghasilkan 20 helai daun per pohonnya. Daun nanas yang muda digunakan
untuk pakan kambing, selebihnya hanya dibuang di lahan nanas (Onggo dan
Jovita, 2003).
Saat ini, daun nanas telah banyak dimanfaatkan sebagai bahan baku
pembuatan kertas dan sebagai adsorben logam berat. Menurut Handayani (2010),
kandungan sellulosa yang ada dalam daun nanas (Ananas comosus) sebesar 69,6-
71%. Dengan kandungan sellulosa yang tinggi serat daun nanas (Ananas
comosus) dapat dijadikan adsorber limbah logam berat karena struktur rongga
dalam sellulosa dapat mengadsorbsi logam berat Cu dan Ag. Berikut komposisi
kandungan dari daun nanas:Tabel 2.2. Komposisi kering daun nanas
Komposisi Kimia Serat Nanas (%)
1. Selulosa 69,5 – 71,5
5
2. Pentosan 17,0 – 17,8
3. Lignin 4,4 – 4,7
4. Pektin 1,0 – 1,2
5. Lemak dan Wax 3,0 – 3,3
6. Abu 0,71 – 0,87
7. Zat-at lain (protein, asam
organik,dll)
4,5 – 5,3
Sumber : Onggo dan Jovita, 2003 dalam Jayanudin 2009
Kandungan selulosa dalam daun nanas memiliki jumlah yang tinggi
dengan lignin yang sangat kecil jika dibandingkan dengan biomassa lignoselulosa
lainnya. Hal ini membuat daun nanas cukup potensial untuk dijadikan bioetanol.
Dari penelitian yang telah dilakukan terlebih dahulu, berikut data komposisi
selulosa, hemiselulosa, dan lignin dari berbagai limbah yang pernah digunakan.
Tabel 2.3. Komponen selulosa, hemiselulosa, dan lignin berbagai jenis biomasa limbah
agroindustri di Indonesia
No Jenis Biomasa
Limbah
Agroindustri
Komponen Biomasa Limbah
Agroindustri (%) Pustaka
Selulosa Hemiselulosa Lignin
1 Jerami padi 37.71 21.99 16.62 Dewi, 2002
2 Bagas tebu 52.70 20.00 24.20Sansuri et al.,
2007
3Tanda kosong
kelapa sawit45.80 26.00 -
Setiawan, 2008;
Isroi, 2008
2.2. Biomassa Lignoselulosa
Biomassa lignoselulosa sebagian besar terdiri dari campuran polymer
karbohidrat (selulosa dan hemiselulosa), lignin, ekstraktif, dan abu. Kadang-
kadang disebutkan holoselulosa, istilah ini digunakan untuk menyebutkan total
karbohidrat yang dikandung di dalam biomassa dan meliputi selulosa dan
5
hemiselulosa (Prillian, 2010). Biomasa limbah padat agroindustri ini
mengandung selulosa, hemiselulosa, dan lignin yang komposisinya umumnya
berbeda antara biomasa limbah yang satu dengan yang lainnya (Gomez et al.,
2008).
Gambar 2.2. Struktur Biomassa Lignoselulosa
Sumber: (Mussato dan Teizeira, 2010)
2.2.1. Lignin
Lignin adalah zat yang bersama-sama dengan selulosa adalah salah satu
sel yang terdapat dalam kayu. Lignin merupakan suatu makromolekul kompleks,
suatu polimer aromatik alami yang bercabang–cabang dan mempunyai struktur
tiga dimensi yang terbuat dari fenil propanoid yang saling terhubung dengan
ikatan yang bervariasi. Lignin membentuk matriks yang mengelilingi selulosa
dan hemiselulosa, penyedia kekuatan pohon dan pelindung dari biodegradasi.
Lignin sangat resisten terhadap degradasi, baik secara biologi, enzimatis, maupun
kimia (Isroi, 2008).
Lignin atau zat kayu adalah salah satu zat komponen penyusun tumbuhan.
Komposisi bahan penyusun ini berbeda-beda bergantung jenisnya. Lignin
merupakan zat organik polimer yang banyak dan yang penting dalam dunia
tumbuhan. Lignin tersusun atas jaringan polimer fenolik yang berfungsi
merekatkan serat selulosa dan hemiselulosa sehingga menjadi sangat kuat (Sun
dan Cheng, 2002).
Menurut Judoamidjojo (1989), Lignin bersifat tidak larut dalam
kebanyakan pelarut organik. Lignin yang melindungi selulosa bersifat tahan
terhadap hidrolisa yang disebabkan oleh adanya ikatan alkil dan ikatan eter. Pada
suhu tinggi, lignin dapat mengalami perubahan struktur dengan membentuk asam
5
format, metanol, asam asetat, aseton, vanilin dan lain-lain. Sedangkan bagian
lainnya mengalami kondensasi.
Struktur Lignin yang kompleks mengakibatkan komponen lignoselulosa
ini sulit dipecah/diurai. Struktur kristal pada lignin yang jauh lebih tinggi jika
dibandingkan dengan struktur selulosa dan hemiselulosa ini memaksa adanya
treatment khusus untuk memecah strukturnya.
Gambar 2.3. Struktur Molekul Lignin
Sumber: (Brunow et al ., 1995)
Lignin disusun oleh unit-unit fenil propana. Sesuai dengan strukturnya
sebagai polifenol, lignin sebagai perekat memiliki sifat-sifat seperti perekat fenol
formaldehida. Dengan demikian fungsi perekat dari formaldehida dapat
disubstitusi
oleh lignin terutama lignosulfonat.
5
Di alam keberadaan lignin pada kayu berkisar antara 25-30%, tergantung
pada jenis kayu atau faktor lain yang mempengaruhi perkembangan kayu. Pada
kayu, lignin umumnya terdapat di daerah lamela tengah dan berfungsi pengikat
antar sel serta menguatkan dinding sel kayu. Kulit kayu, biji, bagian serabut kasar,
batang dan daun mengandung lignin yang berupa substansi kompleks oleh adanya
lignin dan polisakarida yang lain. Kadar lignin akan bertambah dengan
bertambahnya umur tanaman.
Menurut Baker (1983), dinding sel juga mengandung lignin. Pada
dinding sel, lignin bersama-sama dengan hemiselulosa membentuk matriks
(semen) yang mengikat serat-serat halus selulosa. Lignin didalam kayu memiliki
persentase yang berbeda tergantung dari jenis kayu:
1) Softwood mengandung 27 – 33%
2) Hardwood mengandung 16 – 24 %
3) Non-wood fibers seperti jerami, baggase, rumput, bamboo mengandung 11-
20%
Semakin tinggi berat jenis suatu biomassa, semakin tinggi pula nilai kalor
yang dihasilkan. Dengan demikian, softwood cenderung memiliki nilai kalor lebih
tinggi daripada hardwood (Baker , 1983)
2.2.2. Selulosa
Selulosa merupakan biopolymer tanaman yang paling banyak terdapat di
bumi; diperkirakan jumlahnya mencapai 7.5 x 1010 ton per tahun hasil fotosintesis
tanaman setiap tahunnya (Ljungdahl & eriksson, 1985 dalam Monserrate et al,
2001). Sebagai komponen utama penyusun dinding tanaman, selulosa menempel
pada hetero matrik yang tersusun dari xylan, hemiselulosa dan lignin. Selulosa
merupakan polimer glukosa dengan ikatan ß-1,4 glukosida dalam rantai lurus
yang panjangnya bisa mencapai 25.000 residu glukosa (Desvaux, 2005)
Menurut Groggins (1985), Molekul selulosa memanjang dan kaku,
meskipun
dalam larutan. Gugus hidroksil yang menonjol dari rantai dapat membentuk ikatan
hidrogen dengan mudah, mengakibatkan kekristalan dalam batas tertentu.
5
Selulosa yang merupakan polisakarida terbanyak di bumi dapat diubah menjadi
glukosa dengan cara hidrolisis asam.
Selulosa merupakan komponen utama penyusun dinding sel tanaman dan
hampir tidak pernah ditemui dalam keadaan murni di alam melainkan berikatan
dengan lignin dan hemiselulosa membentuk lignoselulosa (Lynd et al., 2002).
Lignin berikatan dengan hemiselulosa melalui ikatan kovalen tetapi ikatan
yang terjadi antara selulosa dan lignin belum diketahui secara lengkap. Adanya
lignin di sekeliling selulosa merupakan hambatan utama dalam menghidrolisis
selulosa. Selulosa terproteksi dari degradasi dengan adanya lignin sehingga
selulosa sulit dihidrolisis kecuali lignin dilarutkan dan dihilangkan (Lynd et al.,
2002).
Ditambahkan oleh Lee et al. (2009) yang menerangkan bahwa Selulosa
adalah polimer dari rantai unit α-D-1-4 anhidroglukosa (C6H12O6)n, sebanyak 40-
60 % yang terdapat dalam dinding sel pada tumbuhan berkayu. Beberapa ciri-ciri
dari struktur selulosa yang berdasarkan pada karakteristik kimia yang dimiliki
adalah dapat mengembang dalam air, berbentuk kristalin, adanya kelompok
fungsional yang spesifik dan dapat bereaksi dengan enzim selulolitik (Sierra et al.,
2007).
Selulosa terdiri dari daerah kristalin dan daerah amorf (non- kristalin) yang
membentuk suatu struktur dengan kekuatan tegangan yang tinggi, yang pada
umumnya memiliki ketahanan terhadap hidrolisis enzimatik terutama pada daerah
kristalinnya. Selulosa tidak larut dalam air yang memiliki temperatur tinggi
maupun rendah serta asam panas dan alkali panas. Untuk struktur kimia selulosa
terdiri dari unsur C, O, H yang kemudian membentuk rumus molekul
(C6H10O5)n ,dengan ikatan molekulnya ikatan hidrogen yang sangat erat.
5
Gambar 2.4. Struktur Molekul Selulosa
Sumber : (Zabel dan Morrell, 1992).
Selulosa terbagi menjadi beberapa tipe, yaitu :
1) Selulosa murni
Kadar alfa selulosa pada selulosa murni mencapai 97-99%. Contoh
tipe selulosa ini terdapat pada serat kapas, rami, dan lenan.
Cara memperoleh:
a) Ekstraksi dengan pelarut organik
b) Perlakuan alkali encer
c) Perlakuan hipoklorit
2) Selulosa Alam
Kadar alfa selulosa pada selulosa alam adalah 45-50% yang
biasanya terdapat pada kayu. Kekurangan selulosa tipe ini adalah selulosa
yang masih mengandung polisakarida lain (non-selulosa)
3) Selulosa Komersial/teknis
Kadar alfa selulosa pada selulosa komersil mencapai 90-95%.
Disebut tipe selulosa komersial karena cara pemisahannya dilakukan
secara komersial. Pada tipe ini, rantai selulosanya biasanya lebih pendek.
4) Selulosa laboratoris (holoselulosa, Cross Bevan, Alfa, Beta, Gamma
Selulosa)
5
Biasanya untuk memperoleh holoselulosa (SBE), dengan perlakuan
klor (ekstraksi alohol), perlakuan klor (ekstraksi alkali), dan perlakuan
NaClO2 yang diasamkan.
a) Selulosa Alpha
Adalah selulosa berantai panjang, tidak larut dalam larutan NaOH
17,5 % atau larutan basa kuat dengan DP 600-1500. Selulosa alpha
dipakai sebagai penduga dan atau penentu tingkat kemurnian selulosa.
b) Selulosa Betha
adalah selulosa berantai pendek, larut dalam larutan NaOH 17,5%
dan basa kuat dengan DP 15-90, dapat mengendap bila dinetralkan.
c) Selulosa Gamma
adalah sama dengan selulusa betha, tetapi DP-nya kurang dari 15.
selain itu ada yang disebut hemiselulosa dan holoselulosa.Hemiselulosa
adalah polisakarida yang bukan selulosa, jika dihidrolisis akan
menghasilkan D-manova, D-galaktosa, D-xylosa, L-arabinosa, dan
asam urat. Sedangkan, Holoselulosa adalah bagian dari serat yang bebas
dan sari lignin, terdiri dari campuran semua selulosa dan hemiselulosa.
2.2.3. Hemiselulosa
Hemiselulosa yang jumlahnya sekitar 15-30% dari berat kering
lignoselulosa merupakan kelompok polisakarida heterogen dengan berat molekul
rendah (Lynd et al., 2002). Lebih lanjut, Lynd et al. (2002) menyatakan bahwa
hemiselulosa relative mudah dihidrolisis dengan asam dan menghasilkan
monomer yang mengandung glukosa, mannose, galaktosa, xilosa, dan arbinosa.
Hemiselulosa mengikat lembaran serat selulosa membentuk mikrofibril yang
meningkatkan stabilitas didinding sel. Hemiselulosa juga berikatan silang dengan
lignin menbentuk jaringan kompleks dan memberikan struktur yang kuat.
Hemiselulosa adalah polisakarida yang berikatan dengan selulosa pada
bagian tanaman yang telah mengalami delignifikasi. Hemiselulosa terutama
terdapat pada bagian lamela tengah dari dinding sel tanaman (Gong dan Tsao,
1981). Hemiselulosa merupakan heteropolimer bercabang dari glukosa, xilosa,
galaktosa, dan arabinosa. Rantai urutan hemiselulosa hanya terdiri dari satu
5
macam monomer (homopolimer), misalnya xilan dan dapat juga dua atau lebih
monomer, misalnya glukomanan (Fengel dan Wegener, 1989). Kebanyakan
hemiselulosa mempunyai derajat polimerisasi 100-200 (Sjostrom, 1995).
Hemiselulosa tidak larut dalam air pada temperatur rendah. Kehadiran asam
sangat meningkatkan kelarutan hemiselulosa dalam air.
Struktur hemiselulosa dibagi menjadi empat kelompok berdasarkan
komposisi rantai utamanya yaitu:
1) D- xilan yaitu 1-4β xilosa
2) D- manan yaitu (1–4) β -D-mannosa;
3) D-xiloglukan
4) D-galaktan yaitu 1-3β -D-galaktosa.
Gambar 2.5. Struktur Hemiselulosa
Sumber : (Zabel dan Morrell, 1992).
Glukomanan banyak terdapat dalam tanaman Konjak (Iles-
iles / Amorphophallus muelleri Blume) sekitar 64 %. Konjak glukomanan
merupakan serat alam kental yang paling mudah larut dan membentuk larutan
yang sangat kental. Memiliki berat melekul tertinggi dibanding serat bergizi yang
dikenal dalam ilmu pengetahuan – berat molekul antara 200.000 – 2.000.000
Dalton
5
Gambar 2.6. Struktur Kimia glikomannan (conjucstructure)
Sumber : (Kim & Dale , 2004)
Xilan merupakan salah satu komponen penyusun sel pada tanaman
berkayu. Degradasi senyawa ini dilakukan oleh berbagai jenis mikroorganisme.
Enzim-enzim hidrolisis yang dihasilkan oleh mikroorganisme inilah yang
memegang peranan kunci dalam degradasi biomasa tanaman dan siklus karbon di
alam. Di dalam dinding sel tanaman, xilan akan berinteraksi dengan lignin dan
selulosa melalui ikatan nonkovalen membentuk struktur sel yang kuat.
Gambar 2.7. Struktur Kimia Xylan
Sumber: Yikrazuul, 2009
Xilan termasuk dalam golongan kompleks polisakarida dengan ikatan
beta-1,4 xilopiranosil sebagai tulang punggungnya. Selain xilopiranosil, terdapat
senyawa lain yang dapat dipakai, yaitu arabinosil, glukuronosil,
metilglukuronosil, asetil, dan feruloil. Pada beberapa tanaman lain, seperti rumput
laut, xilan dapat terbentuk denga
ikatan beta-1,3.Di samping itu, residu ramnosa dan galaktosa kadang dijumpa
terikat pada molekul xilan.
Hemiselulosa mudah disubtitusi dengan berbagai karbohidrat lain atau
residu non karbohidrat. Karena berbagai rantai cabang yang tidak seragam
5
menyebabkan senyawa ini secara parsial larut air. Perbedaan selulosa dengan
hemiselulosa yaitu hemiselulosa mempunyai derajat polimerisasi rendah (50-200
unit) dan mudah larut dalam alkali, tetapi sukar larut dalam asam, sedangkan
selulosa sebaliknya (Isroi, 2008).
Tabel 2.4. Perbedaan antara selulosa dan hemiselulosa
Selulosa Hemiselulosa
terdiri atas unit glukosa Terdiri atas berbagai unit pentosa
dan heksosa
Derajat polimerisasi tinggi (2000-
18000)
Derajat polimerisasi rendah ( 50-
300)
Membentuk susunan berserat Membentuk susunan tidak berserat
Terdapat bagian kristalin dan amorf Hanya terdapat bagian amorf
Diuraikan secara lambat oleh asam
anorganik pada kondisi panas
Diuraikan secara cepat oleh asam
anorganik pada kondisi panas
Tidak larut dalam alkali Terlarut dalam alkali
Sumber : (Kumar & Delwiche, 2009)
2.3. Pretreatment
Pretreatment (perlakuan pendahuluan) biomassa lignoselulosa harus
dilakukan untuk mendapatkan hasil yang tinggi di mana penting untuk
pengembangan teknologi biokonversilignoselulosa dalam skala komersial (Mosier
et al. 2005).
Hemiselulosa dan selulosa pada struktur bahan lignoselulosa terikat
(diselubungi) oleh lignin. Struktur lignin sendiri sangat rapat dan kuat sehingga
menyulitkan bagi enzim pemecah hemiselulosa dan selulosa untuk bisa masuk ke
dalam dan bekerja memecah hemiselulosa dan selulosa menjadi gula sederhana.
Untuk membantu kerja enzim, maka terlebih dulu harus dilakukan pretreatment
atau perlakuan pendahuluan untuk memecah atau melonggarkan struktur lignin
sehingga enzim dapat masuk ke dalam untuk memecah hemiselulosa dan selulosa.
5
Gambar. 2.8. Proses Pretreatment
Sumber: Mosier dan Wyman, 2005
Selain lignin, faktor lain yang juga dapat menghambat kerja enzim adalah
struktur selulosa itu sendiri. Struktur selulosa terbagi menjadi dua yaitu crystalline
region (struktur selulosa lurus dan rapat) dan amorphous region (struktur selulosa
lebih renggang). Struktur kristalin selulosa adalah salah satu yang dapat
menghambat kerja enzim. Selain merusak struktur lignin, pretreatment juga dapat
mengubah struktur kristalin selulosa menjadi struktur yang lebih renggang
(amorph).
Perlakuan pendahuluan juga dapat meningkatkan hasil gula yang
diperoleh. Gula yang diperoleh tanpa perlakuan pendahuluan kurang dari 20%,
sedangkan dengan perlakuan pendahuluan dapat meningkat menjadi 90% darihasil
teoritis (Hamelinck et al. 2005 dalam Isroi 2008)
Pretreatment Lignoselulosa dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu
secara kimiawi, fisis, dan mikrobiologis. Masing-masing metode memiliki
kelebihan dan kekurangan. Efisiensi dan efektivitas penggunaannya bisa berbeda-
beda, bergantung pada sumber bahan dan tujuan prosesnya (Sun dan Cheng,
2002).
1) Pretreatment Kimiawi
Pretreatment secara kimiawi adalah metode yang paling umum
diguna
kan karena lebih mudah, lebih efektif, lebih cepat dan tidak memakan
energi terlalu tinggi. Namun demikian, penggunaan senyawa kimia secara
5
berlebihan tentunya akan berdampak buruk bagi
lingkungan. Pretreatment secara kimiawi dapat dilakukan dengan dua
cara yaitu pelarutan dalam larutan basa atau pelarutan dalam larutan
asam. Diantara kedua tipe pelarut, pelarut yang lebih efektif memecah
lignin adalah pelarut basa.
2) Pretreatment Fisika
Pretreatment secara fisis diantaranya adalah penggilingan,
irradiasi, pemberian suhu tinggi, dan steam explosion. Pretreatment jenis
ini cukup efektif dalam memecah lignin, hanya saja aplikasinya
membutuhkan energi yang sangat tinggi sehingga bisa meningkatkan
biaya produksi.
3) Pretreatment Biologis
Pretreatment secara fisis diantaranya adalah penggilingan, iradiasi,
pemberian suhu tinggi, dan steam explosion. Pretreatment jenis ini cukup
efektif dalam memecah lignin, hanya saja aplikasinya membutuhkan
energi yang sangat tinggi sehingga bisa meningkatkan biaya produksi.
2.3.1. Alkaline Pretreatment
Kondisi proses untuk pretreatment menggunakan sodium hidroksida
relatif ringan, akan tetapi membutuhkan waktu yang lama. Kondisi yang ringan
ini bertujuan untuk mencegah kondensasi pada lignin sehingga menghasilkan
kandungan lignin terlarut yang tinggi. Metode ini cocok digunakan pada biomass
dengan kandungan lignin yang rendah seperti rumput-rumputan dan daun-daunan.
Alkaline pretreatment dapat meningkatkan efektifitas enzim pada proses
enzimatik hidrolisis. Kandungan lignin pada biomassa akan mengalami proses
penguraian dengan proses NaOH pretreatment, tetapi tidak terjadi pada
kandungan selulosanya. Alkaline pretreatment dapat miningkatkan kandungan
selulosa dan efektif untuk menghilangkan lignin (Kristina, dkk., 2012). Kelebihan
alkaline pretreatment adalah pada metode ini dapat dilakukan menggunakan
temperatur dan tekanan yang lebih rendah. Perlakuan delignifikasi dengan NaOH
menyebabkan perbedaan tingkat pelepasan lignin. Namun dari penelitian
sebelumnya, belum menunjukkan apakah asam atau basa yang lebih berperan
5
dalam pemutusan rantai lignin. Dari beberapa penelitian terdahulu dapat
disimpulkan bahwa alkaline pretreatment dapat menghilangkan kandungan lignin
pada biomassa lignoselulosa.
Kinerja NaOH untuk melakukan proses delignifikasi terhadap lignin yang
mengikat selulosa pada biomassa dibantu oleh uap panas yang dihasilkan pada
saat pretreatment. Dengan adanya kinerja uap panas, maka kemampuan NaOH
untuk memutus ikatan lignin dari biomassa yang melindungi selulosa akan lebih
mudah, jika dibandingkan delignifikasi dengan NaOH tanpa perlakuan uap panas.
Uap panas yang berasal dari proses pemanasan dengan menggunakan autoklaf
yang dilakukan pada saat delignifikasi dengan NaOH dapat lebih cepat
menguraikan dan melepaskan lignin yang mempersatukan ikatan antar molekul
lignin dengan selulosa. Jika suatu campuran gas dan zat cair terkurung sedemikian
rupa, sehingga terdapat gradien konsentrasi pada salah satu atau beberapa
konstituen dalam sistem itu, maka akan terjadi perpindahan massa dalam tingkat
mikroskopik sebagai akibat difusi atau pembauran dari daerah konsentrasi tinggi
menuju ke daerah konstrasi rendah. Adanya uap panas yang diberikan melalui
proses delignifikasi biomassa akan mempercepat terjadinya proses pemutusan
lignin oleh NaOH.
2.4. Hidrolisis
Hidrolisis meliputi proses pemecahan polisakarida di dalam biomassa
lignoselulosa, yaitu: selulosa dan hemiselulosa menjadi monomer gula
penyusunnya. Hidrolisis sempurna selulosa menghasilkan glukosa, sedangkan
hemiselulosa menghasilkan beberapa monomer gula pentose (C5) dan heksosa
(C6). Hidrolisis dapat dilakukan secara kimia (asam) atau enzimatik. (Isroi , 2008)
a) Hidrolisis Kimia
Selulosa pertama-tama diperlakukan dengan asam di bawah panas dan
tekanan dan kemudian diairi yang akan membebaskan komponen gulanya.
Metode ini tidak umum digunakan karena produk samping yang beracun,
yang seringkali mengurangi efektivitas tahap berikutnya.
b) Hidrolisis enzimatik
5
Proses ini mirip dengan yang terjadi di dalam lambung binatang pemamah
biak seperti sapi. Enzim yang mirip dengan selulosa dan telah disintesis
secara buatan dengan bantuan bakteri dan jamur digunakan untuk memecah
selulosa menjadi komponen gulanya. Hal ini terjadi dalam dua tahap, selulosa
pertama-tama diubah menjadi molekul glukosa ganda yang dikenal sebagai
selobiosa. Jenis Selulosa lain kemudian digunakan untuk mengkonversi
selobiosa menjadi residu glukosa tunggal.
2.4.1. Hidrolisis Asam
Di dalam metode hidrolisis asam, biomassa lignoselulosa dipaparkan
dengan asam pada suhu dan tekanan tertentu selama waktu tertentu, dan
menghasilkan monomer gula dari polimer selulosa dan hemiselulosa. Beberapa
asam yang umum digunakan untuk hidrolisis asam antara lain adalah asam sulfat
(H2SO4), asam perklorat, dan HCl. Asam sulfat merupakan asam yang paling
banyak diteliti dan dimanfaatkan untuk hidrolisis asam. Hidrolisis asam dapat
dikelompokkan menjadi: hidrolisis asam pekat dan hidrolisis asam encer
(Taherzadeh & Karimi, 2007). Hidrolisis asam pekat menghasilkan gula yang
tinggi (90% dari hasil teoritik) dibandingkan dengan hidrolisis asam encer, dan
dengan demikian akan menghasilkan ethanol yang lebih tinggi (Hamelinck,
Hooijdonk, & Faaij, 2005). Hidrolisis asam encer dapat dilakukan pada suhu
rendah. Namun demikian, konsentrasi asam yang digunakan sangat tinggi (30 –
70%). Proses ini juga sangat korosif karena adanya pengenceran dan pemanasan
asam. Proses ini membutuhkan peralatan yang mahal atau dibuat secara khusus.
Hidrolisis asam pekat juga membutuhkan biaya investasi dan pemeliharaan yang
tinggi, hal ini mengurangi ketertarikan untuk komersialisasi proses ini
(Taherzadeh & Karimi, 2007).
Proses hidrolisis selulosa menggunakan asam encer dilakukan pada suhu
dan tekanan tinggi dalam waktu yang singkat, beberapa detik sampai beberapa
menit, sehingga memungkinkan untuk dilakukan sevara kontinu. Proses hidrolisis
selulosa menggunakan asam pekat dilakukan pada suhu yang relatif rendah dan
tekanan yang diperlukan hanyalah untuk memompa bahan dari satu alat ke alat
5
yang lain. (Demirbas, 2005). Waktu reaksi hidrolisis asam pekat biasanya lebih
lama dibandingkan dengan waktu reaksi menggunakan asam encer.
Hidrolisis asam encer juga dikenal dengan hidrolisis asam dua tahap (two
stage acid hydrolysis) dan merupakan metode hidrolisis yang banyak
dikembangkan dan diteliti saat ini. Hidrolisis selulosa dengan menggunakan asam
telah dikomersialkan pertama kali pada tahun 1898 (Hamelinck, Hooijdonk, &
Faaij, 2005). Tahap pertama dilakukan dalam kondisi yang lebih lunak dan akan
menghidrolisis hemiselulosa (misal 0.7% asam sulfat, 190oC). Tahap kedua
dilakukan pada suhu yang lebih tinggi, tetapi dengan konsentrasi asam yang lebih
rendah untuk menghidrolisis selulosa (215oC, 0.4% asam sulfat) (Hamelinck,
Hooijdonk, & Faaij, 2005).
Kelemahan dari hidrolisis asam encer adalah degradasi gula hasil di dalam
reaksi hidrolisis dan pembentukan produk samping yang tidak diinginkan.
Degradasi gula dan produk samping ini tidak hanya akan mengurangi hasil panen
gula, tetapi produk samping juga dapat menghambat pembentukan ethanol pada
tahap fermentasi selanjutnya. Beberapa senyawa inhibitor yang dapat terbentuk
selama proses hidrolisis asam encer adalah furfural, 5-hydroxymethylfurfural
(HMF), asam levulinik (levulinic acid), asam asetat (acetic acid), asam format
(formic acid), asam uronat (uronic acid), asam 4-hydroxybenzoic, asam vanilik
(vanilic acid), vanillin, phenol, cinnamaldehyde, formaldehida (formaldehyde),
dan beberapa senyawa lain (Taherzadeh & Karimi, 2007).
2.4.2. Hidrolisis Enzimatik
Cara lain untuk menghidrolisis bahan yang mengandung selulosa dan
lignin menjadi gula adalah hidrolisis enzimatik. Enzim adalah protein hasil
tanaman atau mikroba secara alami yang dapat mengkatalisis reaksi kimia
(Howard, et al., 2003).
Enzim baru dapat bekerja baik, jika mereka dapat langsung bersentuhan
dengan selulosa yang ada di biomasa limbah agroindustri. Untuk itu, perlakuan
awal secara fisik atau kimia perlu dilakukan untuk memecah struktur kristal
lignin-selulosa dan membuang lignin sehingga enzim selulase dapat
5
bersinggungan langsung dengan selulosa. Pemilihan jenis perlakuan awal (secara
fisik atau kimia) tergantung kepada jenis biomasa limbah agroindustri yang akan
dihidrolisis (Badger, 2002).
Hidrolisis enzimatis memiliki beberapa keuntungan dibandingkan
hidrolisis asam, antara lain: tidak terjadi degradasi gula hasil hidrolisis, kondisi
proses yang lebih lunak (suhu rendah, pH netral), berpotensi memberikan hasil
yang tinggi, dan biaya pemeliharaan peralatan relatif rendah karena tidak ada
bahan yang korosif. (Pietrobon and Cristina, V., 2011)
Hidrolisis enzim dilakukan dengan bantuan bakteri atau jamur untuk
menghasilkan selulase. Mikroorganisme ini bisa aerob atau anaerob, mesofilik
atau termofilik (Sun and Cheng, 2002).
2.5. Fermentasi
Fermentasi merupakan proses mikrobiologi yang dikendalikan oleh
manusia untuk memperoleh produk yang berguna, dimana terjadi pemecahan
karbohidrat dan asam amino secara anaerob. Peruraian dari kompleks menjadi
sederhana dengan bantuan mikroorganisme sehingga menghasilkan energi (Perry,
1999). Mikroba yang umum digunakan dalam industri fermentasi termasuk dalam
bakteri dan fungi tingkat rendah yaitu kapang dan khamir.
Menurut Silcox dan Lee (2003), proses fermentasi yang baik adalah:
1) Mikroorganisme dapat membentuk produk yang diinginkan
2) Organisme ini harus berpropagasi secara cepat dan dapat mempertahankan
keseragaman biologis, sehingga memberikan yield yang dapat diprediksi.
3) Raw Material sebagai substrat ekonomis
4) Yieldnya dapat diterima
5) Fermentasi berlangsung cepat
5) Produk mudah diambil dan dimurnikan.
Mikroba yang sangat umum dimanfaatkan dalam proses fermentasi adalah
ragi roti (Saccharomyces cereviseae) dan Zymomonas mobilis. Saccharomyces
cereviseae memiliki banyak keunggulan dibandingkan yang lainnya antara lain
adalah mampu memproduksi ethanol dari gula C6 (heksosa), toleran terhadap
konsentrasi ethanol yang tinggi dan toleran terhadap senyawa inhibitor yang
5
terdapat di dalam hidrolisat biomassa lignoselulosa (Olsson and Hahn-Hagerdal
1993; Hahn-Hagerdal et al. 2001). Beberapa fungi juga dilaporkan dapat
memfermentasi xylosa menjadi ethanol, yaitu: Mucor indicus dan Rhizopus orizae
(Millati, Edebo, & Mohammad J.Taherzadeh . 2005).
Pada proses ini, gula-gula sederhana yang terbentuk akan difermentasi
menjadi etanol dengan bantuan khamir seperti Saccharomyces cerevisiae dan
bakteri Zymmomonas mobilis. Pada proses fermentasi glukosa, satu molekul
glukosa menghasilkan dua molekul etanol dan dua molekul karbon dioksida
(CO2). Fermentasi hasil hidrolisis komponen hemiselulosa seperti xilosa menjadi
etanoldapat menggunakan khamir Pichia stipites atau Candida shehatae (Hahn-
Hagerdal et al. 1993)
Pada fermentasi xilosa, tiga molekul xilosa menghasilkan lima molekul
etanol, lima molekul CO2, dan lima molekul air (Mc.Millan 1993). Fermentasi
pentosa yang berasal dari hemiselulosa dilakukan pada reaktor terpisah karena
mikroba yang menggunakan pentosa bekerja lebih lambat dalam mengubah
heksosa dan pentosa menjadi etanol dibanding mikroba yang hanya mengubah
heksosa menjadi etanol, serta bersifat lebih sensitif terhadap senyawa inhibitor
dan produk etanol (Cardona dan Sanchez 2007).
Etanol dan CO2 yang terbentuk dapat menghambat proses fermentasi.
Selain itu, sel hidup khamir hanya toleran terhadap etanol pada konsentrasi
tertentu. Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut
antara lain adalah dengan mendaur ulang khamir yang terdapat dalam aliran
produk atau meningkatkan densitas sel dalam rector, atau dengan menggunakan
teknologi fermentasi kontinu (Gregg dan Saddler 1995).
2.6. Destilasi
Destilasi adalah salah satu metode dari pemurnian dengan cara
memisahkan
dua atau lebih komponen- komponen dalam suatu cairan berdasarkan perbedaan
tekanan uap masing- masing komponen (Hidayat, 2007). Pemisahan bahan
dengan metode destilasi ini dapat dilakukan jika komposisi fase uap memiliki
perbedaan dengan komposisi fase cair. Jika komposisi fase uap sama dengan
5
komposisi fase cair, maka pemisahan dengan jalan destilasi tidak dapat dilakukan
(Irfani, 2007).
Proses destilasi adalah salah satu metode yang paling umum digunakan
dalam pemisahan larutan dengan titik didih rendah seperti etanol. Pada proses ini,
energi yang dibutuhkan cukup besar jika cairan (etanol) yang akan dipisahkan
mempunyai konsentrasi yang kecil didalam larutannya (Offeman dkk, 2006).
Proses distilasi menghasilkan etanol yang telah terpisah dengan solvent dan air
kemudian solvent dapat digunakan kembali untuk proses ekstraksi, tetapi sistem
etanol-air akan membentuk azeotrop pada 78,2oC dengan komposisi 89,4% mol
etanol dan 10,6% mol air sehingga dengan menggunakan distilasi biasa, tidak
dapat diperoleh etanol absolut (Sinawang dkk, 2013).
Menurut Walangare dkk (2013) terdapat berbagai jenis destilasi, yaitu:
1) Destilasi sederhana
Destilasi sederhana atau destilasi biasa adalah teknik pemisahan kimia
untuk memisahkan dua atau lebih komponen yang memiliki perbedaan titik
didih yang jauh. Suatu campuran dapat dipisahkan dengan destilasi biasa ini
untuk memperoleh senyawa murni. Senyawa yang terdapat dalam campuran
akan meng-
uap saat mencapai titik didih masing-masing.
2) Destilasi Fraksionasi
Sama prinsipnya dengan destilasi sederhana, hanya destilasi bertingkat ini
memiliki rangkaian alat kondensor yang lebih baik, sehingga mampu
memisahkan dua komponen yang memiliki perbedaan titik didih yang
berdekatan. Untuk memisahkan dua jenis cairan yang sama mudah menguap
dapat dilakukan dengan destilasi bertingkat. Destilasi bertingkat adalah suatu
proses destilasi berulang. Proses berulang ini terjadi pada kolom fraksional.
Kolom fraksional terdiri atas beberapa plat dimana pada setiap plat terjadi
pengembunan. Uap yang naik plat yang lebih tinggi lebih banyak mengandung
cairan yang lebih atsiri (mudah menguap) sedangkan cairan yang yang kurang
atsiri lebih banyak kondensat.
3) Destilasi Azeotrop
5
Memisahkan campuran azeotrop (campuran dua atau lebih komponen
yang sulit di pisahkan), biasanya dalam prosesnya digunakan senyawa lain
yang dapat memecah ikatan azeotrop tersebut atau dengan menggunakan
tekanan tinggi.
4) Destilasi Uap
Untuk memurnikan zat / senyawa cair yang tidak larut dalam air, dan titik
didihnya cukup tinggi, sedangkan sebelum zat cair tersebut mencapai titik
didihnya, zat cair sudah terurai, teroksidasi atau mengalami reaksi pengubahan
(rearranagement), maka zat cair tersebut tidak dapat dimurnikan secara
destilasi sederhana atau destilasi bertingkat, melainkan harus didestilasi
dengan destilasi uap. Destilasi uap adalah istilah yang secara umum digunakan
untuk destilasi campuran air dengan senyawa yang tidak larut dalam air,
dengan cara mengalirkan uap air kedalam campuran sehingga bagian yang
dapat menguap berubah menjadi uap pada temperature yang lebih rendah dari
pada dengan pemanasan langsung. Untuk destilasi uap, labu yang berisi
senyawa yang akan dimurnikan dihubungkan dengan labu pembangkit uap
(lihat gambar alat destilasi uap). Uap air yang dialirkan ke dalam labu yang
berisi senyawa yang akan dimurnikan,dimaksudkan untuk menurunkan titik
didih senyawa tersebut, karena titik didih suatu campuran lebih rendah dari
pada titik didih komponen-komponennya.
5) Destilasi Vakum
Memisahkan dua kompenen yang titik didihnya sangat tinggi, motode
yang digunakan adalah dengan menurunkan tekanan permukaan lebih rendah
dari 1 atm, sehingga titik didihnya juga menjadi rendah, dalam prosesnya suhu
yang digunakan untuk mendistilasinya tidak perlu terlalu tinggi.
2.7. Penelitian Terdahulu
Tropea et al (2014) melakukan penelitian terhadap kulit dan sari buah
nanas dengan tiga metode fermentasi yang berbeda untuk menghasilkan etanol,
yaitu direct fermentation (DF), separate hydrolysis and fermentation (SHF), dan
simultaneous saccharification and fermentation (SSF). Limbah nanas yang terdiri
dari kulit dan sari buahnya dihomogenkan dengan blender dan menghasilkan
5
kandungan bahan kering 14% (w/w) yang kemudian diencerkan dengan air
hingga memiliki kandungan 9% bahan kering. Lalu campuran ini dipanaskan pada
1000C selama 10 menit untuk menonaktifkan enzim endogen dan mengurangi
pembusukan mikroba. Untuk DF, pH diatur dari 3,8 menjadi 4,5 menggunakan
NaOH 2 M. Campuran yang mengandung 9,2% bahan kering ditambahkan 20 ml
Saccharomyces cerevisiae dan dilakukan pencampuran secara kontinu dalam
fermenter batch pada 300C. Setelah 12 jam, medium ditambah 20 μl/g DepolTM
740 L dan 250 μl/g Accellerase® 1500 enzim. Sedangkan untuk SHF, sakarifikasi
8,5% bahan kering dilakukan dengan enzim yang sama selama 2 jam pada 500C
dan pH 5 dengan kecepatan pengadukan 500 rpm. Setelah 6 jam, campuran
didingkan hingga 300C dan pengadukan dilakukan pada 200 rpm. Fermentasi
dilakukan dengan menambahkan 20 ml S. cerevisiae. Lain halnya untuk SSF,
metode ini dilakukan dengan menambahkan enzim dan ragi secara bersamaan
pada suhu 300C, pH 4.5, dan kecepatan pengadukan 200 rpm. Etanol yang
didapatkan dari ketiga metode ini tidak jauh berbeda. Metode DF menghasilkan
yield etanol sebesar 3,4% dari 86% yield teoritis , SHF dan SSF menghasilkan
masing-masing 3,7% dan 3.9% dari 89% dan 96% yield teoritisnya.
Setyawati dan Rahman (2011) melakukan penelitian terhadap variasi
massa S. cerevisiae dan waktu fermentasi pada produksi bioetanol dari kulit
nanas. Sari kulit nanas yang sudah dianalisa kadar glukosanya ditambahkan air
dengan rasio 1:2 dan disterilisasi. Proses fermentasi dilakukan dengan ragam
perubahan massa ragi yaitu 20,30, dan 40 gram, pH fermentasi 4 dan 5, serta
waktu fermentasi 2, 4, 6, 8, dan 10 hari. Dari penelitian yang dilakukan,
didapatkan kadar bioetanol tertinggi sebesar 3,965% pada penambahan 30 gram S.
cerevisiae dan waktu fermentasi 10 hari.
Jaynudin (2009) melakukan penelitian terhadap pengaruh konssentrasi dan
waktu pemutihan serat daun nanas menggunakan hidrogen peroksida. Daun nanas
dihidrolisis menggunakan larutan NaOH dengan variasi konsentrasi 0,1, 0,2, 0,3,
dan 0,35 selama 1 jam pada suhu 1000C. Kemudian dilakukan pemutihan
menggunakan H2O2 yang memiliki variasi konsesntrasi 1%, 2%, dan 3% selama
variasi waktu yang berbeda yaitu 1, 1,5, dan 2 jam. Hasil didapatkan bahwa
5
kondisi pemutihan yang optimum terjadi pada waktu perendaman 1,5 jam dengan
larutan H2O2 2%.
Onggo dan Astuti (2005) melakukan penelitian tehadap serat daun nanas
yang dipretreatment menggunakan NaOH dalam produksi pulp. Pretreatment
dilakukan dalam larutan NaOH dengan variasi 0, 5, 10, 15, 20, dan 25% selama
1 dan 2 jam pada suhu 100 C. Kemudian serat daun nanas ini direndam dalam
larutan 2% H2O2 selama 2 jam. Hasil terbaik dari pretreatment diperoleh pada
kondisi 10% NaOH dan 1 jam waktu pemasakan.
Polii (2012) melakukan penelitian terhadap produksi bioetanol dari serat
sabut kelapa yang dihidrolisis dengan H2SO4, dilanjutkan dengan penambahan
ragi untuk fermentasi, dan destilasi. Hidrolisis dilakukan dengan merendam serat
sabut kelapa dalam H2SO4 1, 3, 6, 9, 15, dan 17%, kemudian dipanaskan pada
suhu 1250C selama
3 dan 6 jam, penambahan ragi 1, 2, 3, 4, dan 5% difermentasi pada suhu 300C
selama variasi waktu 1, 2, 3, 4 hari, kemudian didestilasi untuk mendapatkan
etanol dengan kemurnian yang lebih tinggi. Dari penelitian ini, diperoleh kadar
etanol 43,56% dengan kondisi asam sulfat 3% selama 6 jam dan fermentasi oleh
ragi 3% selama 1 hari.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. WAKTU DAN TEMPAT
Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Oktober s/d Januari 2014 di
Laboratorium Bioproses Jurusan Teknik Kimia Universitas Sriwijaya, Inderalaya.
3.2. ALAT DAN BAHAN
a) Alat
5
1) Gelas ukur 9) Mesh Screening
2) Termometer 10) Neraca Analitik
3) Oven 11) Erlenmeyer
4) Blender 12) Buret Titrasi
5) Labu Leher Tiga 13) Pendingin balik/kondenser
6) Kertas Saring 14) Cawan porselen
7) spatula 15) statif
8) Labu ukur
b) Bahan
1) Daun Nanas 9) Nutrisi Urea
2) Ragi 10) H2SO4 25 %
3) NaOH 5% 11) Na2S2O3 0,1 N
4) H2SO4 1,2,3,4,5 N 12) Larutan Luff
5)Pb Asetat 13) Aquadest
6) Na2HPO4 10 N 14) Indikator Amilum
7) KI 30 %
8) Na2SO4 0,2 N
3.3. Rancangan Penelitian
Pada penelitian ini akan dilakukan studi delignifikasi serat daun nanas
tahap pretreatment yaitu dengan menggunakan larutan NaOH 0,5 N dan
kemudian dihidrolisis menjadi glukosa dengan proses hidrolisis kimiawi asam
encer menggunakan larutan H2SO4 dan dilanjutkan dengan proses fermentasi
untuk menghasilkan etanol dengan bantuan ragi roti (fermipan)
3.3.1. Variabel – Variabel Penelitian
Pada penelitian ini akan diamati pengaruh beberapa variabel proses untuk
menghasilkan produk dengan kadar bioetanol terbanyak dan kemurnian yang
paling tinggi. Adapun beberapa variabel yang menjadi fokus pada penelitian ini
adalah:
1) Suhu dan berat sampel sebagai variabel tetap.
2) Konsentrasi zat penghidrolisis dan waktu hidrolisis sebagai variabel bebas.
5
3.3.2. Persiapan Bahan Baku
1) Biomassa berupa daun nanas diperoleh dari lahan perkebunan nanas di
daerah Prabumulih, Sumatera Selatan.
2) Daun nanas dicuci sampai bersih kemudian dijemur dibawah sinar matahari
hingga didapat daun nanas kering berwarna kecoklatan.
3) Daun nanas yang telah kering dihaluskan dengan cara dicacah dan
diblender. Bubuk daun nanas yang telah kering digerus dalam cawan
porselen dan setelah halus diayak menggunakan pengayak berukuran 100
mesh. Lalu dianalisa kadar ligninnya.
3.4. Deskripsi Proses
3.4.1. Alkali Pretreatment
1) Delignifikasi dilakukan dengan mengambil sebanyak 50 gram serbuk daun
nanas ditambah dengan 500 ml NaOH 0,5 N ke dalam botol bertutup
(erlenmeyer bertutup) dengan perbandingan ratio (w/v) daun nanas :
NaOH = 1 : 10.
2) Selanjutnya sampel dalam wadah diinkubasi dalam water bath pada suhu
850C selama 1 jam. Setelah 1 jam, sampel dipisahkan dengan cara disaring
menggunakan kertas saring. Serbuk daun nanas yang telah terpisah dibilas
dengan aquadest hingga pH 7 (netral).
3) Selanjutnya padatan serbuk daun nanas yang terbentuk dikeringkan dalam
oven pada suhu 1050C selama 1,5 jam.
3.4.2. Hidrolisis
1) 30 gr serbuk daun nanas yang telah melalui tahap pretreatment dimasukkan
ke dalam erlenmeyer dan dicampurkan dengan 300 mL larutan H2SO4
sesuai dengan variabel yang dijalankan, yaitu 1, 2, 3, 4, dan 5 % dengan
perbandingan solid dan liquid 1 : 10
2) Selanjutnya dimasukkan kedalam labu hidrolisis (labu leher tiga yang
dilengkapi dengan pendingin balik) dengan suhu konstan 1000C selama
masing-masing 30, 60, 90, 120, dan 150 menit.
5
3) Setelah itu masing-masing larutan hasil hidrolisis disaring kembali dan
diambil filtratnya untuk análisis pengujian kadar glukosa menggunakan
metode Luff Schoorl.
3.4.3. Fermentasi
1) Alat – alat yang digunakan pada proses fermentasi disterilisasi dalam
autoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit agar tidak ada mikroba lain
karena kesterilan akan mempengaruhi fermentasi.
2) Ragi roti (Saccharomyces Cerevisiae) dicampurkan dengan hidrolisat
(serbuk daun nanas) sebanyak 4 gram ke masing-masing sampel hidrolisat.
3) Aquadest sebanyak 50 ml dimasukkan ke dalam masing-masing erlemeyer
yang berisikan ragi roti dan hidrolisat.
4) Tutup rapat masing - masing erlenmeyer dengan alumunium foil supaya
tidak ada kontaminan yang mengganggu fermentasi.
5) Fermentasi dilakukan selama 5 hari.
3.4.4. Destilasi
1) Menyiapkan 1 set peralatan destilasi. Lalu merangkai dan menghidupkan
peralatan destilasi dengan baik.
2) Memasukkan hasil SHF yang telah disaring ke dalam labu, kemudian
memasang labu tersebut pada alat destilasi.
3) Mengatur temperatur nya 79-80oC.
4) Proses destilasi dilakukan selama 1-1,5 jam sampai bioetanol tidak menetes
lagi.
5) Destilat (bioetanol) yang dihasilkan disimpan di dalam botol yang tertutup
rapat.
6) Bioetanol di ukur densitas nya dengan menggunakan piknometer.
5
Hidrolisis
Pretreatment Alkali dengan NaOH 0,5 N
Daun Nanas
H2SO4 1, 2, 3, 4, dan 5% 30, 60, 90, 120,150 menit
Gambar 3.1. Diagram Alir Proses
3.5. Analisa Hasil Proses
3.5.1 Penentuan Kadar Lignin dengan Metode Kappa
Bilangan kappa merupakan pengujian kimia diperlakukan terhadap
biomassa untuk menentukan tingkat delignifikasi. Bilangan kappa dari biomassa
didefenisikan sebagai volume (mL) dari 0,1N larutan kalium permanganat yang
digunakan oleh satu gram biomassa yang berada dalam persyaratan spesifik pada
prosedur ini. Pada analisis bilangan kappa, reaksinya berlangsung secara oksidasi
– reduksi. KMnO4 0.1 N berperan sebagai oksidator yang akan mengoksidasi
lignin tersisa yang berlangsung dalam suasana H2SO4 4 N. KI 0.1 N berperan
sebagai reduktor yang akan mereduksi KMnO4 0.1 N. Kelebihan KI 0.1 N akan
bereaksi dengan larutan standart Na2S2O3 0.1 N. Titik akhir titrasi dapat
diketahui dengan penambahan indikator amilum 1 % menjelang titik akhir titrasi.
Suhu selama titrasi dijaga konstan pada suhu 25oC. Hal ini bertujuan untuk
menghindari faktor koreksi kesalahan selama titrasi.
3.5.1.a. Bahan yang digunakan
1) Larutan kalium permanganat (KMnO4) 0,1 N
2) Larutan Natrium Tiosulfat (Na2SO3) 0,1 N
3) Larutan Kalium Iodida (KI) 1 N
4) Larutan Asam Sulfat (H2SO4) 4 N
5) Larutan Amylum 1 %
5
Saccharomyces cerevisiae (4 gram)
Destilasi
Fermentasi
Etanol
3.5.1.b. Cara kerja
1) Masukkan sampel sebanyak 0,1 gram ke dalam gelas piala dan
tambahkan 400 ml akuades dan dimasukkan magnetic stirrer lalu
hidupkan hotplate
2) tambahkan 50 ml larutan kalium permanganate 0,1 N dan 50 ml
larutan asam sulfat 4 N secara bersamaan
3) lalu biarkan pengadukan berlangsung selama 10 menit
4) Setelah 10 menit , lalu tambahkan larutan kalium Iodida 1 N sebanyak
10 ml
5) Lakukan titrasi dengan larutan natrium Tiosulfat 0,1 N hingga larutan
berubah warna menjadi kuning
6) Lalu tambahkan dengan indikator amilum 1% hingga larutan berubah
warna menjadi biru
7) Selanjutnya lanjutkan titrasi hingga larutan tak berwarna (putih
bening) dan catat volume pemakaian Natrium Tiosulfat sebagai a ml
dilakukan percobaan yang sama sebanyak 3 kali
8) Kerjakan untuk blanko seperti perlakuan pada point 1 – 7 tanpa
menggunakan sampel. Catat pemakaian volume larutan natrium
tiosulfat titrasi blanko sebagai b ml
3.5.1.1. Metode Analisa Data
Untuk menghitung bilangan Kappa menggunakan rumus :
K = ( b – a) / w
Dimana :
K = bilangan Kappa
b = volume titran terhadap blanko (ml)
a =volume titran terhadap sampel (ml)
w = berat sampel (gram)
Oleh Freudenberg , nilai Kappa dikalikan dengan factor 0,147 ( Casey, 1991)
untuk mendapatkan kadar lignin :
Kadar Lignin = K x 0,147
5
3.5.2. Pengujian Kadar Glukosa Dengan Metode Luff Schoorl
Metoda Luff Schoorl adalah suatu metode cara penentuan monosakarida
dengan cara kimiawi. Pada metode ini, yang ditentukan bukannya kuprooksida
yang mengendap, tapi dengan menentukan kuprooksida dalam larutan sebelum
direaksikan dengan gula reduksi (titrasi blanko) dan sesudah direaksikan dengan
sampel gula reduksi (titrasi sampel). Penentuan titrasi dengan menggunakan
Natrium Thiosulfat. Selisih titrasi blanko dengan titrasi sampel ekuivalen dengan
kuprooksida yang terbentuk dan juga ekuivalen dengan jumlah gula reduksi yang
ada dalam larutan. Reaksi yang terjadi selama penentuan glukosa dengan cara ini
mula-mula kuprooksida yang ada dalam reagen akan membebaskan iod dari
garam K-iodida. Banyaknya iod yang dibebaskan ekuivalen dengan banyaknya
kuprooksida. Banyaknya iod dapat diketahui dengan titrasi menggunakan
Natrium Thiosulfat. Untuk mengetahui bahwa titrasi sudah cukup maka
dibutuhkan indicator amilum. Apabila larutan berubah warna dari biru menjadi
putih, maka menunjukkan bahwa titrasi sudah cukup.
Metode Luff Schoorl ini baik digunakan untuk menentukan kadar
karbohidrat yang berukuran sedang. Dalam penelitian M.Verhaart dinyatakan
bahwa metode Luff Schoorl merupakan metode tebaik untuk mengukur kadar
karbohidrat dengan tingkat kesalahan sebesar 10%. Reaksi yang terjadi dalam
penentuan gula denganmetoga Luff Schoorl dapat dituliskan sebagai berikut :
R – COH + 2CuO Cu2O + R-COOH
H2SO4 + CuO CuSO4 + H2O
CuSO4 + 2 KI Cu2I2
I2 + Na2S2O3 Na2S4O6 + NaI
3.5.2. a. Bahan yang digunakan
1) Pb Asetat
2) Na2HPO4 10 %
3) KI 30 %
4) H2SO4 25 %
5) Na2S2O3 0,1 N
6) Larutan Luff,
5
7) aquades
8) Indikator
3.5.2. b. Cara Kerja
1) Contoh ditimbang sebanyak 5 – 10 gram dan dimasukkan kedalam
labu ukur 20 mL dan ditambah aquadest hingga tanda batas.
2) Disaring dan diambil filtratnya sebanyak 50 ml, dimasukkan kedalam
labu ukur 250 ml. Ditambahkan 10 mL Pb Asetat kemudian dikocok.
Di tes dengan tetesan larutan Na2HPO4 10%. Bila terdapat endapan
putih, berarti sudah cukup.
3) Ditambahkan air hingga tanda batas, dikocok dan dibiarkan sekitar 30
menit dan kemudian disaring.
4) Sebelum terjadi Inversi, filtrat sebanyak 10 ml dipipet ke dalam labu
erlenmeyer 500 ml bertutup. Ditambahkan 15 ml air , dan 25 ml
larutan luff.
5) Dipanaskan selama 2 menit sampai mendidih dan didihkan terus
selama 10 menit dengan nyala kecil. Diankat dan didinginkan cepat.
6) Setelah dingin ditambahkan 10-15 ml KI 30 % dan 25 ml H2SO4 25 %
dengan pelan-pelan
7) Dititrasi dengan larutan tio 0,1 N dan larutan kanji 0,5 % sebagai
indikator setelah larutan menjadi berwarna putih kekuningan
8) Setelah terjadi inversi, filtrat sebanyak 50 ml dipipet dan dimasukkan
dalam labu takar 100 ml. Ditambahkan 5 ml HCL 25 % kemudian labu
dimasukkan ke dalam penangas air dengan suhu 60-70 0C.
9) Dibiarkan selama 10 menit agar menginversi gula-gula
10) Diangkat dan didinginkan, ditambahkan NaOH 30 % hingga merah
jambu
11) Dipipetkan 10 ml larutan ini dan tetapkan gula sesudah inversi dengan
cara di atas. Dari selisih kedua penitaran dapat diahitung jumlah
glukosa fruktosa atau gula invert dengan menggunakan daftar.
Untuk menghitung kadar gula setelah inversi dapat ditentukan dengan rumus :
5
Angka Tabel (AT) = (B ml – A ml) x Normalitas Na2S2O3 terstandardisasi
0,1
% Gula Setelah Inversi = (AT x Faktor Pengenceran)
(Bobot Sampel Uji (mg)) x 100%
3.5.2.1. Metode Analisa Data
Berdasarkan table penetapan glukosa Badan Standarisasi Nasional (BSN)
Angka Tabel (AT) = (B ml – A ml)
B = Volume titrasi blanko,
A = Volume titrasi terhadap sampel
3.5.3. Pengujian Kadar Etanol Dengan Analisa Density
Untuk menganalisa kadar alkohol (etanol) yang didapat digunakan analisa
density. Analisa density ini dilakukan dengan menggunakan alat piknometer,
piknometer yang digunakan adalah piknometer 5 ml pada suhu kamar. Prosedur
perhitungan density dengan menggunakan piknometer yaitu :
1) Menimbang berat piknometer kosong pada suhu kamar diperoleh a gram
2) Menimbang berat piknometer yang telah berisi aquadest penuh pada suhu
kamar diperoleh b gram.
3) Menghitung volume piknometer dengan menggunakan rumus
Volume Piknometer = b−a
0.995797 = C mL
4) Menimbang berat piknometer yang telah diisi penuh dengan zat (etanol)
yang akan ditentukan densitynya pada suhu kamar diperoleh d gr.
Density = berat piknometer isi zat−berat piknometer kosong
volume piknometer
Density = d−a
c
Dari density yang diperoleh, dapat ditentukan kadar alkohol (etanol) yang
terkandung, dengan melihat tabel density standar etanol pada suhu kamar. Analisa
5
ini dilakukan terhadap hasil fermentasi yang telah di destilasi, gunanya untuk
mengetahui kadar alkohol (etanol) yang terdapat dalam hasil fermentasi.
3.5.4. Pengujian Kadar Etanol Dengan Analisa Gas Kromatografi
Untuk melihat kadar bioetanol yang dihasilkan dengan lebih akurat maka
dilakukan analisa dengan menggunakan Gas Kromatografi dengan tahapan analisa
sebagai berikut :
1) Sampel disiapkan dengan komposisi belum diketahui dan larutan baku
dengan komposisi diketahui.
2) Running alat, dengan kondisi suhu maksimum 200oC dan jenis detektor FID
(Flame Ionisasion Detector).
3) Mengatur tekanan manometer pada tabung sebesar 3,5 kg/cm.
4) Mengatur kecepatan gas pembawa (Helium) ke kanan atau ke kiri sebesar
300ml/min.
5) Menyuntikan larutan baku minimal 1µL etanol.
6) Puncak etanol tampak pada kromatogram (alat perekam).
7) Hasil analisa akan tertulis oleh integrator dalam bentuk laporan RT (waktu
retensi), AREA (luas puncak), TYPE (tipe puncak), AREA% (persen
senyawa dalam larutan).
8)..Menyuntikan larutan cuplikan minimal 1µL etanol dan membuat
kromatogramnya.
9) Membandingkan antara kromatogram larutan baku dan larutan cuplikan.
3.6. Jadwal Kegiatan PenelitianTabel 3.1. Jadwal Kegiatan Penelitian
KegiatanMinggu Ke-
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Pengajuan Proposal
Menyiapkan Alat dan bahan
Perlakuan Awal
Proses Pre-Treatment
Proses Hidrolisis
5
Proses Fermentasi
Analisa Hasil
Pembuatan Laporan
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik, 2014. Produksi Buah-buahan dan Sayuran Tahunan di
Indonesia, 1995-2013. Badan Pusat Statistik, Jakarta, Indonesia.
Badger, P.C. 2002. Ethanol from cellulose: A general review. P 17-21 In: J.Janick
and A. Whipkey (eds) Trenin new crop and new uses. ASHS Press,
Alexandria, VA., USA
5
Baker, A. J. 1983. Wood Fuel Properties and Fuel Products From Woods. In:
Fuelwood management and utilization seminar: Proceedings . East
Lansing. East Lansing. MI: Michigan State University. 14-25.
Budiyanto, E., A.L. Wardani, W. Nirmala. 2010. Pemanfaatan Daun Nanas
(Ananas comosus) sebagai Adsorben Logam Ag dan Cu Pada Limbah
Industri Perak di Kota Gede, Yogyakarta.
Cardona, C.A. and O.J. Sanchez. 2007. Fuelethanol production: Process design
trendsand integration opportunities. Bioresour.Technol. 98: 2415–2457
Daud, M., W. Safii, K. Syamsu. 2012. Biokonversi Bahan Berlignoselulosa
Menjadi Bioetanol Menggunakan Aspergillus niger dan Saccharomyces
cerevisiae. Jurnal Perennial. 8(2): 43-51.
Demirbas, A. 2005. Bioethanol from cellulosicmaterials: A renewable motor fuel from biomass. Energy Sour. 27: 327–337.Desvaux, M. 2005. Clostridium cellulyticum: model organism of mesophillic
cellulolytic clostridia. FEMS Microbiology Reviews 29:741-764.
Fengel, D., G. Wegener. 1989. Wood: chemistry, ultrastructure, reactions. Walter
de Gruyter, Berlin. Hal 106
Gong , C.S. , Chen , L.F. , Flickinger , M. C. , and Tsao , G.T. 1981. Conversion
of Hemisellulose Carbohydrates , Adv . Biochem . Engineering 20 (In
Press) .
Isroi. 2008. Potensi Biomassa Lignoselulosa di Indonesia Sebagai Bahan Baku
Bioetanol: Tandan Kosong Kelapa Sawit. Online di
http://isroi.wordpress.com . Diakses 1 Oktober 2014.
Hidayat, P. 2008. Pemanfaatan Serat Daun Nanas Sebagai Alternative Bahan
Baku Tekstil . Teknoin . 13(2) :31-35 .
Howard, R.L., Abotsi, E., Jansen van Rensburg, E.L., and Howard, S. 2003.
Lignocellulose biotechnology: issue of bioconversion and enzyme
production. African Journal of Biotechnology (2003), Vol. 2 (12) pp 602-
619
Jayanudin. 2009. Pemutihan Daun Nanas Menggunakan Hidrogen Peroksida.
Jurnal Rekayasa Proses. 1(3): 10-14
5
Kristina, E.R. Sari, Novia. 2012. Alkaline Pretreatment dan Proses Simultan
Sakarifikasi-Fermentasi untuk Produksi Etanol dari Tandan Kosong
Kelapa Sawit. Jurnal Teknik Kimia. 18 (3) : 34-43.
Lynd, L. R., P. J. Weimer, W.H.V. Zyl, I. Pretorius. 2002. Microbial
cellulose utilization: fundamentals and biotechnology. Microbiology
and Molecular Biology Reviews 66(3): 506-577.
Mc. Millan, J.D. 1993. Xylose Fermentation to Ethanol: A Review. National
RenewableEnergy Laboratory, Golden, Colorado. p. 3.
Monserrate, E., S.B. Leschine, E.C. Parola. 2001. Clostridium hungatei sp.nov., a
mesophilic, N2-fixing cellulolytic bacterium isolated from soil.
International Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology. 51:
123-132.
Mosier, N., C. Wyman, B. Dale, R. Elander, Y. Lee, M. Holtzapple, and M.
Ladish. 2005. Features of promising technologies for pretreatment of
lignocellulosic biomass. Bioresource Technology. 96: 673−686.
Onggo, H. 2007. Produk Serat Daun Nenas Berbasis Teknologi Tepat Guna.
Workshop Sosialisasi dan Implementasi Produk Agroindsutri Nenas
Berbasis Teknologi Tepat Guna, 6-7 Juni 2007.
Onggo, H., T. Jovita. 2003. Penelaahan Proses Dekortikasi Daun Nanas,
Prosiding Seminar Nasional Teknoin.
Onggo, H., T. Jovita. 2005. Pengaruh Natrium Hidroksida dan Hidrogen
Peroksida Terhadap Rendemen dan Warna Pulp dari Serat Daun Nanas.
Jurnal Ilmu & Teknologi Kayu Tropis. 3(1).
Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Tentang Perubahan Peraturan
Menteri ESDM Nomor 32 Tahun 2008 Tentang Penyediaan, Pemanfaatan,
dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain,
PERMEN ESDM. No. 25 Tahun 2013
Peraturan Presiden Tentang Kebijakan Energi Nasional. Perpres No. 5 Tahun
2006
Perry, J. H. 1984. Chemical Engineering Handbook, 6th edition Mc Graw Hill,.
Inc, New York.
5
Polii, F.F. 2012. Pembuatan Etanol dari Limbah Industri Serat Sabut Kelapa.
Jurnal Penelitian Teknologi Industri. 4(1): 20-27.
Pusat Data dan informasi Energi dan Sumber Daya Mineral. 2012. Kajian Supply
Demand Energy. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Setyawati, H. dan N.A. Rahman. 2011. Bioetanol dari Kulit Nanas dengan Variasi
Massa Saccharomyces Cerevisiae dan Waktu Fermentasi.
Sinawang, G., Lutfia, T. Widjaja. 2013. Pemisahan Campuran Etanol-Amil
Alkohol-Air dengan Proses Distilasi dalam Structured Packing dan
Dehidrasi Menggunakan Adsorbent.
Sun, Y. and J. Cheng. 2002. Hydrolysis of lignocellulosic materials for ethanol
production: A review. Bioresource Technology. 83:1–11.
Taherzadeh, M.J., and K. Karimi. 2007. Enzyme-Based Hydrolysis Processes for
Ethanol from Lignocellulosic Materials: A Review. Bio Resources 2 (4):
707-738.
Tropea, A., D. Wilson, L.G. La Torre, R.B. Lo Curto, P. Saugman, P. Troy-
Davies, G. Dugo, K.W. Waldron. 2014. Bioethanol Production From
Pineapple Wastes. Journal of Food Research. 3(4): 60-70.
Walangare, K.B.A., Lumenta, A.S.M., Wuwung, J.O., Sugiarso, B.A. 2013.
Rancang Bangun Alat Konversi Air Laut Menjadi Air Minum dengan
Proses Destilas Sederhana Menggunakan Pemanas Elektrik. Jurnal Tekni
Elektro dan Komputer FT Unsrat.
5