produksi di bawah hukum_perikanan(1)

22
EKONOMI PRODUKSI DI BAWAH KENDALI HUKUM : Kasus Illegal Fishing di Indonesia Yuhka Sundaya Program Studi Ilmu Ekonomi Universitas Islam Bandung Abstract. I present a conceptual model for analysis of production controlled by economic manner, with fisheries as a sample. Actually, economic activity has been working under law in every countries and every sectors, espescially in fisheries. Esentially, law is a system of rules, usually enforced through a set of institutions. In general, fisheries manager could introducing input and output controls to prevent illegal fishing, partially or simultaneousely. These need a conceptual model to explained it. Illegal fishing has been restraining the sustainable fisheries management goals. In attempt to create propositions, i have applied comparative static analysis to conceptual model. Its expressioning moderate fishermen respons to illegal fishing controls, especially the other exogeneous variabel. In recomendation parts, i have informed any alternative technique to measuring important variabel in attempt to facilitate an empirical research. Key words : illegal fishing, analisa statika komparatif, budel input illegal, pasar ikan illegal 1. Pendahuluan Secara aktual, setiap kegiatan ekonomi bekerja di bawah aturan hukum, di setiap negara dan setiap sektor ekonomi. Fakta ini menunjukkan bahwa pemerintah memiliki kewenangan untuk mengendalikan kegiatan ekonomi. Pengendalian tersebut diarahkan untuk mencapai tujuan atau target, baik secara internasional, nasional maupun lokal. Fakta ini juga menunjukkan bentuk campur tangan pemerintah terhadap proses pembuatan keputusan mikroekonomi untuk mencapai mental picture makroekonomi yang merepresentasikan cita-cita konstitusi sebuah negara. Fakta hukum perekonomian tersebut mengintrik model dasar mikroekonomi produsen. Hadirnya peran pemerintah dalam model dasar tersebut, biasanya direpresentasikan oleh bekerjanya kebijakan fiskal : pajak dan subsidi. Fakta ekonomi hukum merupakan tambahan kendala bagi ekonomi produksi. Terdapat dua kemungkinan arah penataan ekonomi produksi : melonggarkan (relaxing) atau memperketat (binding). Tergantung arah tatanan hukum yang berlaku pada obyek yang sedang dikaji. Dalam merespon fakta ekonomi-hukum tersebut, Becker (1968) serta Becker (1974) telah meramu tiga puluh empat artikel yang relevan untuk membangun

Upload: yuhka-sundaya

Post on 11-Jun-2015

461 views

Category:

Documents


79 download

DESCRIPTION

Paper ini menyajikan kerangka untuk menjelaskan perilaku ekonomi produksi terkait dengan hukum yang mengaturnya. Di dalamnya dikemukakan beberapa proposisi penting yang berbeda dari analisis ekonomi produksi biasanya.

TRANSCRIPT

EKONOMI PRODUKSI DI BAWAH KENDALI HUKUM :

Kasus Illegal Fishing di Indonesia

Yuhka Sundaya

Program Studi Ilmu Ekonomi Universitas Islam Bandung

Abstract. I present a conceptual model for analysis of production controlled by economic manner,

with fisheries as a sample. Actually, economic activity has been working under law in every

countries and every sectors, espescially in fisheries. Esentially, law is a system of rules, usually

enforced through a set of institutions. In general, fisheries manager could introducing input and

output controls to prevent illegal fishing, partially or simultaneousely. These need a conceptual

model to explained it. Illegal fishing has been restraining the sustainable fisheries management

goals. In attempt to create propositions, i have applied comparative static analysis to conceptual

model. Its expressioning moderate fishermen respons to illegal fishing controls, especially the

other exogeneous variabel. In recomendation parts, i have informed any alternative technique to

measuring important variabel in attempt to facilitate an empirical research.

Key words : illegal fishing, analisa statika komparatif, budel input illegal, pasar ikan illegal

1. Pendahuluan

Secara aktual, setiap kegiatan ekonomi bekerja di bawah aturan hukum, di setiap

negara dan setiap sektor ekonomi. Fakta ini menunjukkan bahwa pemerintah memiliki

kewenangan untuk mengendalikan kegiatan ekonomi. Pengendalian tersebut diarahkan

untuk mencapai tujuan atau target, baik secara internasional, nasional maupun lokal.

Fakta ini juga menunjukkan bentuk campur tangan pemerintah terhadap proses

pembuatan keputusan mikroekonomi untuk mencapai mental picture makroekonomi yang

merepresentasikan cita-cita konstitusi sebuah negara.

Fakta hukum perekonomian tersebut mengintrik model dasar mikroekonomi

produsen. Hadirnya peran pemerintah dalam model dasar tersebut, biasanya

direpresentasikan oleh bekerjanya kebijakan fiskal : pajak dan subsidi. Fakta ekonomi

hukum merupakan tambahan kendala bagi ekonomi produksi. Terdapat dua kemungkinan

arah penataan ekonomi produksi : melonggarkan (relaxing) atau memperketat (binding).

Tergantung arah tatanan hukum yang berlaku pada obyek yang sedang dikaji.

Dalam merespon fakta ekonomi-hukum tersebut, Becker (1968) serta

Becker (1974) telah meramu tiga puluh empat artikel yang relevan untuk membangun

2

sebuah pendekatan ekonomi.1 Pendekatan ekonomi tersebut diarahkan untuk menjelaskan

pertimbangan pelaku ekonomi dalam melakukan tindak kejahatan dan tindakan

pemerintah untuk mengantisipasinya melalui hukuman. Tindakan kejahatan serupa

dengan istilah kegiatan illegal (illegal activity). Dimana sebuah tindakan dikategorikan

illegal bila ada kesenjangan antara tindakan aktual dengan tindakan yang dituntut oleh

aturan tertentu. Menurut Becker (1974), tindakan kejahatan merupakan sub himpunan

kelas kegiatan yang menimbulkan disekonomi.

Pendekatan ekonomi Becker tersebut telah menjadi acuan untuk mengembangkan

kerangka kerja dalam beragam jenis kegiatan ekonomi, tidak terkecuali dalam bidang

produksi perikanan. Dalam kegiatan perikanan sekurang-kurangnya terdapat lima artikel

jurnal yang telah mengembangkan pendekatan Becker : Kuperan dan Sutinen (1998),

Charles et al.(1999), Abbot dan Wilen (2005), Sumalia et al.(2006), Bailey (2007). Lima

artikel jurnal tersebut menampilkan rangkaian studi (serries of studies) yang utuh

mengenai illegal fishing. Sebuah masalah sosial yang populer akhir-akhir ini (Nikijuluw,

2008).

Berdasakan survey literatur tersebut, artikel Charles et al.(1999) memiliki posisi

yang strategis dalam rangkaian studi tersebut. Mereka menyajikan kerangka kerja illegal

fishing, secara khusus, yang diturunkan dari pendekatan Becker (1968). Artikel mereka

membingkai kerangka kerja deduktif bagi penulis berikutnya di dalam menjelaskan dan

menentukan arah studi illegal fishing.

Kerangka kerja Charles et al.(1999) menjelaskan perilaku mikroekonomi nelayan

di bawah pengendalian input dan output. Pengendalian input direpresentasikan oleh

bekerjanya aturan yang membatasi penggunaan alat-alat terlarang. Sedangkan

pengendalian ouput direpresentasikan oleh bekerjanya aturan yang membatasi jumlah

hasil penangkaan ikan (kuota hasil penangkapan). Kerangka kerja tersebut memiliki

manfaat praktis dalam mengendalikan kegiatan perikanan dari ancaman kerusakan

sumber daya laut. Melalui kerangka kerja tersebut, pihak pengelola perikanan dapat

menata bentuk dan besaran aturan untuk meredam illegal fishing, sekaligus dapat

menentukan target konservasi.

Dalam fokus studi tertentu, kerangka kerja Charles et al.(1999) perlu

dimodifikasi. Pada beberapa obyek perikanan, kerangka kerja tersebut mungkin cocok.

Tapi ada asumsi yang perlu dilonggarkan untuk menjelaskan perikanan pada obyek

lainnya. Sebagai contoh adalah perikanan di Indonesia. Di Indonesia, nelayan harus

1 Becker adalah peraih John Bates Clark Medal tahun 1967 dan hadiah nobel dalam bidang sosial-ekonomi pada tahun 1992.

3

merespon pengendalian input dan output dalam bidang perikanan bekerja secara simultan

atau bersamaan. Sementara itu, kerangka kerja illegal fishing yang ditampilkan

Charles et al.(1999), secara implisit menunjukkan adanya pilihan dalam

mengimplementasikan pengendalian input dan output. Pengendalian tersebut mereka

perlakukan sebagai aturan yang bekerja secara parsial. Inilah alasan dibutuhkannya

modifikasi kerangka kerja untuk menjelaskan masalah illegal fishing di Indonesia.

Makalah ini disusun ke dalam enam bagian. Setelah pendahuluan ini ditampilkan

lima bagian sisanya. Bagi kedua menyajikan pengertian dan batasan kegiatan illegal

fishing di Indonesia. Bagian ketiga menyajikan hasil ulasan artikel jurnal yang ditulis oleh

para ahli ekonomi yang tertarik dengan masalah illegal fishing. Dari bagian ini pembaca

dapat menangkap perkembangan ilmu pengetahuan mengenai ekonomi illegal fishing.

Bagian keempat menyajikan kerangka kerja ekonomi illegal fishing. Di dalamnya tersaji

informasi kualitatif mengenai pertimbangan ekonomi nelayan untuk terlibat atau

menghindar dari illegal fishing. Lebih dari itu terungkap juga informasi kualitatif tentang

pendekatan ekonomi untuk mencegah illegal fishing tersebut. Penggunaan bahasa

matematika ekonomi, kalkulus differensial, tidak dapat dihindarkan pada bagian tersebut.

Alat tersebut digunakan sebagai upaya untuk menyederhanakan replika atau abstraksi

dunia ekonomi nelayan aktual yang cukup sofistik. Dua bagian terakhir menyajikan

simpulan dan saran. Dalam simpulan tersebut disajikan proposisi-proposisi terkait

ekonomi illegal fishing di bawah pengendalian input dan output yang bekerja secara

simultan.

2. Pengertian Illegal Fishing dan Aturan Perikanan di Indonesia

Illegal fishing merupakan tindakan nelayan yang melanggar peraturan terkait

usaha penangkapan ikan dan kelestarian pemanfaatan sumber daya ikan. Peraturan

tersebut dibuat oleh pemerintah setempat yang ditujukan untuk mengendalikan usaha

perikanan agar menuju pola pemanfaatan yang lestari. Oleh karena itu, penggunaan input

yang destruktif menjadi sebuah larangan. Penggunaannya akan menimbulkan kerusakan

habitat yang pada gilirannya akan mengurangi kemampuan ikan untuk melakukan

reproduksi. Peraturan mengenai alat tangkap yang diizinkan merupakan bentuk

pengendalian input. Sedangkan peraturan yang mengatur hasil tangkapan ikan merupakan

bentuk pengendalian output. Definisi ini disintesa dari Nikijuluw (2008), Bailey (2007),

Resosudarmo et al.(2009), Drammeh (2000), dan Charles et al.(1999).

Penggunaan input perikanan di Indonesia mengacu pada Undang-Undang Nomor

31 Tahun 2004. Usaha perikanan di tingkat nasional dioperasionalisasikan oleh Peraturan

Pemerintah (PP) Nomor 54 Tahun 2002 tentang Usaha Perikanan. Tindakan pelanggaran

4

terhadap aturan usaha perikanan diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004.

Ketentuan pidana dalam undang-undang tersebut dibedakan menurut jenis pelakunya.

Dimana pelaku yang dikenakan ketentuan pidana mencakup perseorangan, nakhoda, dan

pemilik kapal. Bila tiga pelaku tersebut melakukan penangkapan ikan dengan

menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau

bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan,

maka dapat dipidana. Pidana pemilik kapal lebih besar dibandingkan nakhoda dan pelaku

perseorangan. Pelanggaran terhadap udang-undang tersebut, bagi pemilik kapal

dikenakan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak 2

milyar rupiah. Bagi nakhoda pidananya dipenjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan

denda maksimal sebesar 1,2 milyar rupiah. Sedangkan bagi perorangan pidananya paling

lama 6 (enam) tahun dan denda maksimal sebesar 1,2 milyar rupiah. Dengan demikian

nelayan peroranganpun akan terikat dengan ketentuan pidana bila melakukan pelanggaran

penangkapan ikan pada zona yang menjadi kewenangan pemerintah pusat.

Sementara itu, pengendalian output perikanan biasanya direpresentasikan oleh

peraturan daerah (Perda). Provinsi Jawa Barat adalah salah satu contohnya. Perda

Provinsi Jawa Barat Nomor 5 Tahun 2005 mengatur penjualan hasil tangkapan ikan

nelayan. Dalam perda tersebut hasil tangkapan ikan harus dijual melalui TPI. Ini diatur

untuk mendapatkan kepastian pasar dan harga ikan yang layak bagi nelayan maupun

konsumen. Dengan demikian nelayan yang tidak menjual ikan di TPI akan diancam

pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak 50 juta rupiah.

Mencermati aturan perikanan tersebut, nampak bahwa pengendalian input dan

output bekerja secara simultan. Nelayan dituntut untuk merespon peraturan tersebut.

Secara mikroekonomi, pengendalian input dan output tersebut menjadi kendala nelayan di

dalam memaksimisasi keuntungannya. Bagaimanapun, keputusan yang dibuat oleh

nelayan menjadi tidak sepele dari sisi konsep mikroekonomi.

3. Rangkaian Studi Ekonomi Illegal Fishing

Hasil penelusuran literatur, sekurang-kurangnya terdapat lima hasil penelitian

yang fokus dengan masalah ekonomi illegal fishing. Diantaranya adalah Kuperan dan

Sutinen (1998), Charles et al.(1999), Abbot dan Wilen (2005), Sumalia et al.(2006),

Bailey (2007). Artikel Kuperan dan Sutinen (1998), Charles et al.(1999) dan

Sumaila et al.(2006) menampilkan sebuah rangkaian studi mengenai ekonomi illegal

fishing. Ketiga artikel tersebut mengembangkan kerangka kerja Becker (1968) mengenai

pendekatan ekonomi dalam masalah kejahatan (crime) dan hukuman (punishment).

5

Kerangka kerja atau model dasar Becker tersebut mereka spesifikasikan ke dalam

masalah illegal fishing.

Abbot dan Wilen (2005) serta Bailey (2007) menyajikan informasi empiris

mengenai illegal fishing. Mereka tertarik untuk mengkaji perilaku ekonomi illegal fishing

dengan kerangka kerja insentif. Perbedaannya, Bailey (2007) secara khusus menggunakan

dan mengembangkan kerangka kerja pinciple-agent ke dalam masalah illegal fishing di

Raja Ampat-Indonesia, sedangkan Abbot dan Wilen (2005) menggunakan random utility

model (RUM).

Kuperan dan Sutinen (1998) menggunakan dua metode ekonometrika, probit dan

tobit, untuk menguji perilaku kepatuhan (compliance behavior) nelayan Peninsular

Malaysia yang menghadapi regulasi kegiatan penangkapan ikan disepanjang zona pantai.

Model ekonometrika yang mereka bangun menjelaskan kecenderungan nelayan untuk

melanggar atau mematuhi aturan perikanan yang ditetapkan pemerintah Malaysia.

Mereka menggunakan jenis data cross section untuk mengestimasi parameter model

probit dan tobit. Dimana, secara umum sampelnya dipecah menjadi dua : (1) keseluruhan

nelayan, dan (2) nelayan yang hanya melakukan pelanggaran. Hasil estimasinya

menunjukkan bahwa peubah perbedaan antara hasil tangkapan di wilayah terlarang dan

wilayah yang diperbolehkan signifikan mempengaruhi keputusan pelanggaran nelayan.

Peubah tersebut merefleksikan perbedaan keberlimpahan stok dan pendapatan potensial

pada zona dekat pantai dan lepas pantai, dan peubah tersebut memainkan peran utama

dalam keputusan nelayan untuk mematuhi aturan. Dengan perkataan lain, lebih tingginya

hasil tangkapan di wilayah terlarang dibandingkan hasil tangkapan dari wilayah legal

menjadi motivasi nelayan untuk melanggar peraturan. Kemudian, mereka juga

mengungkapkan bahwa aspek moral dan sosial merupakan determinan penting perilaku

kepatuhan.

Berbeda dengan literatur yang menjadi acuan Kuperan dan Sutinen (1998), Tyler

(1990) dan Tyler et al.(1989), mereka menyimpulkan bahwa peran legitimasi tidak begitu

kuat untuk meredam tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh neyalan. Tidak satupun

peubah mengenai legitimasi yang secara konsisten siginifikan dengan tanda yang

diprediksi oleh teori legitimasi. Sedangkan menurut Tyler (1990) peubah tersebut

merupakan kekuatan penting dalam menjelaskan perilaku kepatuhan nelayan. Menurut

mereka terdapat dua alasan atas perbedaan tersebut. Pertama, ada kesalahan dalam teori

legitimasi dan karenanya harus dimodifikasi. Dimana perilaku agen ekonomi secara

utama dimotivasi oleh sesuatu yang nyata (tangible), yaitu pendapatan. Kedua, terdapat

6

kelemahan dalam pengukuran peubah legitimasi yang mereka gunakan sendiri. Mereka

juga menyadari ada ketidaksempurnaan dalam pengukuran peubah legitimasi tersebut.

Sebagai simpulan, mereka menegaskan bahwa tindakan pencegahan perlu

diadopsi oleh pengelola perikanan di Malaysia. Pencegahan tersebut diwujudkan dengan

meningkatkan tindakan pengawasan. Dimana tindakan tersebut dapat meningkatkan

peluang nelayan yang melanggar aturan untuk tertangkap dan dihukum. Tindakan

pengelola perikanan tersebut dapat meredam keputusan nelayan yang mempertimbangkan

besarnya hasil tangkapan ikan di wilayah terlarang, sehingga mereka akan tergeser untuk

menangkap ikan di wilayah yang diperbolehkan saja.

Charles et al.(1999) dan Sumaila et al.(2006) membangun model konseptual

ekonomi illegal fishing. Model konseptual yang dibangun Charles et al.(1999) menjadi

salah satu acuan Sumaila et al.(2006) selain Bekcer (1968) serta Kuperan dan Sutinen

(1998). Penelitian empiris Kuperan dan Sutinen (1998) juga menjadi acuan bagi Charles

et al.(1999). Model konseptual yang dibangun Charles et al.(1999) dan Sumaila et

al.(2006) secara serupa menjelaskan perilaku mikroekonomi nelayan dalam berinteraksi

dengan pengelola perikanan yang menetapkan aturan usaha perikanan. Perbedaannya,

Sumaila et al.(2006) mempertimbangkan aspek biaya dan manfaat sebagai resiko yang

melekat dalam illegal fishing.

Model ekonomi illegal fishing yang dibangun Charles et al.(1999) tidak

memasukan faktor moral dan sosial. Asumsi yang mereka terapkan didasarkan pada hasil

penelitian empiris Kuperan dan Sutinen (1998), yang telah diulas sebelumnya, yang

menyatakan bahwa tingginya penerimaan dari illegal fishing menjadi pendorong nelayan

untuk melakukan pelanggaran terhadap aturan perikanan. Mereka membangun model

umum yang menjelaskan illegal fishing dalam aspek input perikanan dan output. Dengan

memecahkan model maksimisasi keuntungan yang dimodifikasi, yaitu dengan

memasukan beberapa persamaan mengenai peluang nelayan akan tertangkap dan

dihukum dan perkiraan denda bila tertangkap melakukan illegal fishing, mereka

menyusun proposisi mengenai perilaku nelayan tanpa peraturan, perilaku nelayan di

bawah pengaturan input, dan perilaku nelayan di bawah pengaturan output. Peubah

keputusan yang menjadi obyek pembahasannya adalah alokasi optimal input legal, illegal

dan trik nelayan untuk menghindari peraturan (avoidance activity). Dengan model

konseptual yang mereka bangun, mereka dapat mengkaji dampak penegakan dan

penegakan yang dibutuhkan untuk mencapai target konservasi sumber daya ikan.

Dengan mengembangkan model Bekcer (1968), Charles et al.(1999), serta hasil

penelitian empiris Kuperan dan Sutinen (1998), Sumaila et al.(2006) memusatkan

7

kajiannya kepada aspek biaya dan manfaat dari resiko yang melekat dalam kegiatan

illegal fishing. Model yang mereka sajikan menjelaskan bagaimana tindakan pemilik

usaha perikanan mempertimbangkan biaya dan manfaat ketika memutuskan apakah

mereka akan melakukan tindakan illegal atau tidak. Berbeda dengan Charles et al.(1999),

Sumaila et al.(2006) memasukan aspek moral dan sosial di dalam model konseptual yang

mereka bangun. Keduanya diasumsikan sebagai fungsi dari input penangkapan illegal.

Mereka menggali solusi interior dari nelayan yang memaksimisasi manfaat bersih

potensialnya. Dimana manfaat bersih potensial adalah penerimaan total dari tindakan

illegal fishing dikurangi dengan biaya total, denda atas illegal fishing, sanksi moral dan

sanksi sosial. Dengan perkataan lain, tujuan nelayan diasumsikan memaksimisasi manfaat

potensial dari illegal fishing yang dimoderasi oleh pertimbangan moral dan sosial. Solusi

interior yang menonjol menunjukkan bahwa pertimbangan nelayan untuk melakukan

tindakan illegal fishing ditentukan oleh perbandingan penerimaan marjinal illegal fishing

dengan biaya marjinalnya ditambah dengan denda illegal fishing, biaya marjinal moral

dan sosial yang muncul dari tindakan illegal fishing. Bila penerimaan marjinal tersebut

lebih besar dari keempat jenis biaya marjinalnya, maka nelayan akan cenderung

melakukan illegal fishing. Sebaliknya mereka akan menghindari illegal fishing bila

penerimaan marjinal illegal fishing lebih rendah dari biaya marjinalnya.

Abbot dan Wilen (2006) menyajikan model empiris untuk mengkaji sifat insentif

nelayan dalam menghindari bycatch. Beberapa pertanyaan penelitiannya serumpun

dengan fokus penelitian yang diulas sebelumnya. Bagaimana menghindari spesies yang

tidak boleh ditangkap (prohibited species catch-PSC) di perikanan Eastern Bearing Sea

(EBS). Pada perikanan tersebut pengelola perikanan dan nelayan bertujuan untuk

meredam bycatch pada spesies yang tidak ditargetkan untuk ditangkap. Analisanya

didasarkan pada kerangka kerja random utility model (RUM). Di bawah PSC nelayan

memaksimisasi keuntungan ditambah dengan nilai harapan bycatch dan unsur stokastik.

Bailey (2007) memandang illegal fishing sebagai bentuk masalah prinsipal-agen.

Model prinsipal-agen yang digunakannya mengabstraksi hubungan ekonomi antara Dinas

Kelautan dan Perikanan (DKP Raja Ampat dengan nelayan. Dimana DKP setempat

memiliki posisi sebagai prinsipal. DKP memiliki kewenangan atau otoritas untuk

mengatur dan mengelola sumber daya perikanan, sedangkan nelayan sebagai agen yang

mengeksploitasi sumber daya perikanan setempat. Mengikuti terminologi Varian (1992),

artinya nelayan akan melakukan tindakan dengan merespon kendala insentif dan

partisipasi yang dirancang oleh DKP. Dari hasil komunikasi personal Bailey (2007)

dengan Mark Erdman, Konservasi Internasional, terungkap bahwa secara formal tidak

8

ada program pengawasan dan penegakan hukum usaha perikanan di Raja Ampat untuk

mendeteksi dan mengukum nelayan yang menggunakan gear destruktif. Karena itu

informasi mengenai dampak pengawasan dan penagakan hukum usaha perikanan ia

peroleh dari hasil simulasi model. Melalui model pinsipal-agen yang memasukan sistem

biologis dan ekonomi, ia melakukan simulasi dengan cara memasukan skenario peluang

tertangkapnya nelayan yang melakukan illegal fishing, dan besaran denda atas illegal

fishing. Skenario tersebut menggunakan beberapa besaran peluang dan denda yang

berbeda-beda.

Model prinsipal-agen yang dibangun Bailey (2007) termasuk ke dalam model

optimisasi. Asumsinya, suku desa Raja Ampat harus memutuskan upaya sepanjang

waktu, dengan menggunakan cara legal dan illegal, untuk memaksimisasi manfaat bersih

atau diskonto rente ekonomi sepanjang waktu dengan kendala nyata. Modelnya

menampilkan situasi prinsipal-agen dua tahap. Tahap pertama, pemerintah merancang

program pengawasan dan penegakan usaha perikanan yang meghasilkan peluang

terdeteksinya illegal fishing dan hukuman yang diberikan kepada nelayan yang tertawan

(apprehended) karena menggunakan alat tangkap illegal. Tahap kedua, dengan peluang

tertawan dan harapan hukuman (expected penalty) tertentu, nelayan memutuskan alokasi

upaya legal dan illegal selama waktu simulasi (50 tahun). Parameter model sebagian

diambil dari hasil penelitian sebelumnya yang ia jadikan acuan, dengan

mempertimbangkan kesamaan dalam obyek penelitian.

Mencermati hasil analisa Bailey (2007) terhadap hasil simulasi modelnya,

terungkap bahwa pengawasan (monitoring) dan penegakan (enforcement) serta denda atas

illegal fishing merupakan satu kesatuan. Ia mengatakan bahwa berapapun tingginya

denda atas illegal fishing, tanpa pengawasan yang mempertinggi peluang terdeteksinya

tindakan illegal fishing, maka tidak akan dapat meredam illegal fishing tersebut yang

mengancam tercapainya tujuan manajemen perikanan yang lestari.

4. Kerangka Kerja Ekonomi Illegal Fishing : Sebuah Pengembangan

Kerangka kerja dasar ini memodifikasi kerangka kerja ekonomi illegal fishing

Charles et al.(1999). Kerangka kerja yang dibangun Charles et al.(1999) menampilkan

skenario kebijakan pengendalian input dan output secara terpisah. Seolah-olah dua

skenario kebijakan tersebut merupakan pilihan bagi pihak pengelola perikanan.

Sementara itu, sebagaimana disajikan pada bagian dua, di Indonesia telah menerapkan

pengendalian input dan output perikanan secara bersamaan. Hanya saja bentuk

pengendalian outputnya tidak menggunakan kebijakan kuota hasil tangkapan

9

sebagaimana dikaji oleh Charles et al.(1999). Melainkan, mereka diwajibkan untuk

menjual hasil tangkapan ikan ke TPI atau pasar ikan legal. Penjualan ikan di luar TPI

karena itu dipandang sebagai sebuah pelanggaran atau merupakan bentuk pasar ikan

illegal (illegal market).

Mengacu pada aturan perikanan yang berlaku sebagaimana disajikan pada bagian

dua, nelayan dihadapkan pada pemilihan jenis bundel input dan pasar output. Pilihan

penggunaan jenis bundel input dihadapi nelayan dalam kegiatan produksi. Karena itu

dapat diasumsikan bahwa penggunaan bundel input legal atau illegal merupakan masalah

pilihan dalam kegiatan produksi atau penangkapan ikan. Sedangkan dalam aspek

penjualan, nelayan dihadapkan pada pilihan tempat dan pihak pembeli. Ringkasnya,

mereka bisa menjual hasil tangkapan ikan di luar TPI atau di dalam TPI. Namun

demikian, penjualan ikan di luar TPI memiliki resiko tertangkap dan dikenakan hukuman.

Berdasarkan kondisi ekonomi tersebut, nelayan diasumsikan akan mempertimbangkan

denda ketika melakukan illegal fishing (menggunakan bundel input illegal dan/atau

mengakses pasar ikan illegal).

Mengikuti terminologi Sumaila et al.(2006) yang juga mengembangkan kerangka

kerja Charles et al(1999), dalam hubungan dengan aturan perikanan terdapat tiga tipe

nelayan, yaitu pelanggar kronis, moderat dan patuh atau taat hukum dan norma (non

violators). Tipe pertama dan ketiga berada pada titik ekstrim yang berseberangan. Tipe

pertama memiliki kecenderungan untuk melakukan illegal fishing, apapun kondisinya,

sedangkan tipe ketiga tidak akan melakukan illegal fishing di bawah kondisi apapun.

Sementara itu, pelanggar moderat akan melakukan pelanggaran bila potensi manfaat

ekonomi cukup tinggi untuk menutupi potensi hukuman ketika tertangkap. Kerangka

kerja ekonomi illegal fishing ini menggunakan asumsi bahwa nelayan memiliki tipe

pelanggar moderat. Menurut Sumaila et al.(1999) populasi tipe ini lebih banyak

dibandingkan tipe pertama dan ketiga.

Serupa dengan tahapan analisis yang dilakukan Charles et al.(1999), keputusan

nelayan untuk menggunakan bundel illegal input dan mengakses pasar ikan illegal dapat

diprediksi dengan menemukan bentuk fungsi permintaan bundel input illegal, Xi, dan

tindakan penghindaran atas pengendalian input dan output, secara berurutan dinotasikan

AI dan Ao.

Dalam bentuk umum, fungsi penangkapan ikan dapat diekspresikan melalui

persamaan (1).

Hn = Hn(Xl, Xi, AI; K, B), untuk n = l dan i.................................................................. (1)

10

Notasi H menunjukkan jumlah hasil tangkapan ikan. Superskrip n pada notasi H hanya

digunakan untuk menunjukkan tipe pasar ikan. Secara berurutan Hl dan Hi menunjukkan

hasil tangkapan ikan yang dijual di TPI dan diluar TPI. Fungsi penangkapan ikan tersebut

diasumsikan memiliki sifat sebagaimana biasanya, yaitu seolah cembung (quasi-

concave). Perubahan output merespon secara positif terhadap perubahan input tapi

dengan tingkat perubahan yang menurun. Pengecualiannya terdapat pada hubungan hasil

tangkapan dengan tindakan penghindaran nelayan atas pengendalian input. Hubungan

tersebut diasumsikan saling bertolak belakang. Ketika nelayan menghindari aturan

pengendalian input, mereka dianggap kehilangan kesempatan untuk menangkap ikan.

Karena itu sebagaimana diasumsikan Charles et al.(1999) H/AI < 0.

Berikutnya, biaya produksi diasumsikan bersifat linear. Berbeda dengan Charles

et al.(1999) yang mengasumsikan berbentuk linear kuadratik. Bentuk fungsi biaya

tersebut diekspresikan pada persamaan (2).

C = ClXl + CiXi + CIAI + CoAo.................................................................................... (2)

Notasi C digunakan untuk menunjukkan biaya total, sedangkan Cn untuk n = l, i, I dan O

secara berurutan digunakan menunjukkan biaya per unit atas penggunaan bundel input

legal, bundel input illegal, tindakan penghindaran nelayan atas pengendalian input dan

output. Melalui persamaan tersebut diasumsikan bahwa tindakan nelayan untuk

menghindari dua macam aturan tersebut memerlukan biaya khusus. Tindakan tersebut

menimbulkan konsekuensi berupa tambahan biaya dalam kegiatan perikanan.

Ketika nelayan menggunakan bundel input illegal dan mengakses pasar ikan

illegal, mereka memiliki peluang untuk tertangkap oleh tindakan pengawasan. Fungsi

peluang nelayan untuk tertangkap ketika mereka melakukan illegal fishing diadopsi dari

Charles et al.(1999) dengan membubuhi penegasan. Sebagaimana tersaji pada persamaan

(3a) dan (3b), perbedaan kedua macam peluang tersebut ditegaskan dengan menggunakan

superskrip I dan O, untuk menunjukkan peluang tertangkapnya nelayan ketika

menggunakan bundel input illegal dan mengakses pasar illegal. Spesifikasi ini memiliki

arti ketika tindakan penghindaran nelayan atas pengendalian input dan output memiliki

perbedaan.

I = I(Xi, AI), dimana I/Xi > 0, I/AI < 0; dan I 0 bila Xi=0 ...................... (3a)

o = o(Hi, Ao), dimana o/Hi>0, o/Ao<0; dan o 0 bila Hi=0....................... (3b)

A = AI + Ao .............................................................................................................. (3c)

11

Notasi I dan o secara berurutan menunjukkan peluang tertangkapnya nelayan ketika

menggunakan bundel input illegal dan mengakses pasar ikan illegal. Persamaan (3a)

menunjukkan peluang tertangkapnya nelayan di bawah pengendalian input. Peluang

tersebut diasumsikan sebagai fungsi dari bundel input illegal, Xi, dan tindakan

penghindaran aturan terhadap pengendalian input oleh nelayan, AI. Penggunaan bundel

input illegal dan adanya upaya pengawasan input dapat meningkatkan peluang nelayan

untuk tertangkap. Sebaliknya, peluang tersebut akan menurun bila nelayan melakukan

tindakan penghindaran. Persamaan (3b) menunjukkan peluang tertangkapnya nelayan di

bawah pengawasan output. Peluang tersebut akan membesar bila adanya penjualan ikan

di luar TPI, Hi. Sebaliknya, peluang tersebut akan mengecil seiring dengan tindakan

nelayan untuk menghindari tindakan pengawasan output tersebut, Ao.

Persamaan (3c) menunjukkan total waktu yang tersedia untuk melakukan

tindakan penghindaran pengawasan dan penegakan illegal fishing, A. Definisi ini

digunakan untuk mempertegas bentuk dan ukuran tindakan penghindaran yang dilakukan

oleh nelayan tersebut agar tidak terlalu abstrak. Bentuk dan ukuran tersebut digunakan

oleh Ehrlich (1974) dalam kerangka kerja menganalisis partisipasi dalam kegiatan illegal.

Berbeda dengan Charles et al.(1999), dalam kerangka ini definisi bahwa besarnya

denda atas illegal fishing, F, bersifat konstan. Mengacu pada peraturan perikanan

besarnya denda memang dibedakan menurut ukuran kapal perikanan. Sementara itu

dalam kerangka kerja ini diasumsikan bahwa ukuran kapal perikanan bersifat homogen

untuk kelompok nelayan tertentu.

Melalui beberapa asumsi tersebut, dengan demikian masalah maksimisasi

keuntungan nelayan dapat diekspresikan melalui persamaan (4). Persamaan ini

terhubungan dengan persamaan (3) dalam hal peluang tertangkapnya nelayan atas dua

macam tindakan illegal fishing.

Max = PHl(Xl, Xi, AI; K, B) + PiHi(Xl, Xi, AI; K, B)

– ClXl – CiXi – CIAI – CoAo – IF – oF........................................................ (4)

Persamaan (4) membingkai beberapa kemungkinan yang secara aktual bisa terjadi.

Kemungkinan pertama, nelayan bisa memperoleh pendapatan dengan memilih tipe pasar

ikan yang direpresentasikan oleh term pertama dan kedua persamaan tersebut. Term

pertama dan kedua dari persamaan tersebut diasumsikan bisa memiliki sifat saling

mengecualikan (mutually exclusive) atau dikombinasikan dalam satu tahun tertentu.

Karena itu, Hi bisa sama dengan nol atau lebih besar dari nol. Kemungkina kedua,

12

nelayan bisa memilih dua macam bundel input illegal, Xl dan Xi, dalam satu tahun

tertentu.2

Kedua term terakhir pada persamaan (4) menunjukkan resiko yang dihadapi

nelayan akibat tertangkap ketika melakukan illegal fishing. Term IF menunjukkan biaya

resiko nelayan akibat menggunakan bundel input illegal, sedangkan term oF

menunjukkan biaya resiko nelayan akibat mengakses pasar ikan illegal. Term tersebut

memperoleh istilah yang berbeda-beda. Charles et al.(1999) menggunakan istilah harapan

denda (expected fine), Sumaila et al.(2006) menggunakan istilah resiko tertangkap

(caught) dan dihukum (penalized), sedangkan Bailey (2007) menggunakan istilah biaya

potensial ketika melakukan illegal fishing. Istilah yang digunakan oleh Sumaila et

al.(2006) nampaknya lebih mudah diterima dan ringkas dibandingkan dua istilah lainnya.

Dengan mengambil turunan parsial pertama dari persamaan (4), berikutnya dapat

digali informasi mengenai pola pengambilan keputusan nelayan yang optimal. Hasilnya

disajikan pada persamaan (5).

l = /Xl = P + Pi – Cl = 0, atau P + Pi = Cl ........................................... (5a)

i = /Xi = P + Pi – Ci – F = 0, atau P + Pi – F = Ci ....................... (5b)

I = /AI = P + Pi – CI – F = 0, atau P + Pi – F = CI ....................... (5c)

o = /Ao = – Co – F = 0, atau – F = Co........................................................... (5d)

Melalui persamaan (5a) dan (5b) dapat digali informasi mengenai pertimbangan

nelayan tipe moderat dalam mengalokasikan bundel input legal, Xl, dan illegal, Xi.

Persamaan (5a) memberikan informasi bahwa penggunaan optimal bundel input legal

didasarkan pada prinsip kesamaan nilai produk fisik marjinal dengan biaya marjinal

(equimarginal principle). Pada prinsipnya jumlah optimal bundel input legal akan

digunakan atau dialokasikan ketika biaya marjinalnya sama dengan penjumlahan nilai

produk fisik marjinal dari bundel input legal yang secara berurutan dievaluasi dengan

harga ikan di TPI dan pasar ikan illegal. Sedangkan melalui persamaan (5b), alokasi

optimal bundel input illegal pertimbangannya didasarkan pada perbandingan antara biaya

marjinal penggunaan bundel input illegal dengan nilai produk fisik marjinal bundel input

legal dan illegal, yang secara berurutan dievaluasi oleh harga ikan di TPI dan pasar

2 Informasi dari Mulyadi (2005), penggunaan berbagai jenis alat tangkap dalam satu tahun bisa bervariasi, meski pengamatannya terbatas di Kabupaten Bengkalis dan Kepulauan Riau. Karena itu ada kemungkinan bahwa dalam suatu tahun nelayan bisa menggunakan alat tangkap illegalbeberapa kali.

13

illegal, kemudian dikurangi dengan biaya resiko marjinal penggunaan bundel input

illegal, F.

Sedangkan melalui persamaan (5c) dan (5d) dapat digali informasi mengenai

pertimbangan nelayan dalam menentukan tindakan penghindaran yang optimal terhadap

pengendalian input dan pasar ikan illegal, AI dan Ao. Dalam menentukan tindakan

penghindaran atas pengawasan input yang dilakukan oleh pemerintah, nelayan

membandingkan biaya marjinal per unit tindakan penghindaran dengan penerimaan

marjinal dikurangi dengan biaya resiko marjinal tindakan penghindaran terhadap

pengawasan input. Serupa dengan penjelasan sebelumnya, penerimaan marjinal tersebut

terdiri dari nilai produk fisik marjinal bundel input legal dan illegal yang secara berurutan

dievaluasi dengan harga ikan di TPI dan pasar illegal. Sementara itu, di dalam

menentukan tindakan penghindaran atas pengawasan pasar ikan illegal, nelayan

mempertimbangkan biaya marjinal tindakan tersebut dengan biaya resiko marjinal dalam

mengakses pasar ikan illegal.

Berikutnya digunakan teknik analisa statika komparatif untuk menggali proposisi

mengenai dampak perubahan peubah eksogen terhadap illegal fishing. Teknik ini biasa

digunakan untuk mengkaji perubahan peubah endogen bila semua peubah eksogen

mengalami perubahan secara simultan. Analisa statika komparatif ini dapat digali dengan

cara mendifferensiasi secara total persamaan (5). Setelah dilakukan penataan kembali,

hasil akhirnya dalam bentuk matrik disajikan pada persamaan (6).

= .............................................................. (6)

dimana Y adalah,

Dari sudut pandang nelayan yang coba memaksimisasi keuntungan, nilai

determinan matrik Y tersebut diharapkan positif, Y > 0. Ini merupakan kondisi yang

menopang bentuk fungsi produksi yang diasumsikan seolah cembung (quasi concave)

sebagaimana melekat pada persamaan (1). Tanda determinan tersebut menunjukkan

14

kemiringan kurva isoquant. Kemiringan tersebut membingkai kombinasi input

penangkapan ikan yang memaksimumkan keuntungan.

Dengan memodifikasi persamaan (6) diperoleh informasi mengenai besarnya

perubahan input perikanan setelah mempertimbangkan perubahan pada peubah

eksogennya. Hasilnya disajikan pada persamaan (7). Denominator pada setiap persamaan

(7) berbeda satu sama lain dan menjadi lebih ringkas atau sederhana. Penyederhanaan

tersebut muncul setelah mengalami eliminasi secara berpasangan dengan nominatornya.

Meski demikian, diturunkan dari bentuk fungsi penangkapan ikan yang diasumsikan

seolah cembung, maka setiap denominator persamaan tersebut, dari sudut pandang

maksimisasi keuntungan nelayan, diasumsikan memiliki tanda positif.

dXl = 2 ............... (7a)

dXi = 2 .............. (7b)

dAI = 2 .............. (7c)

dAo = 2 .............. (7d)

Melalui persamaan (7) dapat digali proposisi mengenai dampak perubahan setiap

peubah eksogen terhadap arah perubahan alokasi input perikanan, Xl, Xi, AI dan Ao.

Sebagaimana telah ditekankan sebelumnya, kegiatan illegal fishing direpresentasikan oleh

tiga peubah endogen terakhir. Karena itu, fokus analisa statika komparatif ekonomi

illegal fishing diarahkan pada tiga macam peubah eksogen tersebut. Analisa statika

komparatifnya dibedakan menurut dua kondisi biaya resiko: rendah dan tinggi. Biaya

resiko yang rendah tercermin melalui tanda positif yang melekat pada setiap denominator

persamaan (7). Sebaliknya, biaya resiko yang tinggi tercermin melalui tanda negatif

denominatornya. Ini mudah dilihat pada setiap persamaan (7). Term terakhir setiap

denominator persamaan (7) dapat disebut sebagai biaya resiko, sedangan dua term

sebelumnya bisa disebut sebagai potensi penerimaan dari pasar ikan legal dan illegal.

Biaya resiko yang rendah menunjuk pada lebih rendahnya biaya resiko dibandingkan

potensi penerimaan tersebut. Perbandingan sebaliknya menunjuk pada keterangan biaya

15

resiko yang tinggi. Hasil analisa statika komparatif menunjukkan beberapa proposisi yang

cukup rumit terkait respon illegal fishing, (Xi, AI dan Ao) terhadap perubahan dalam

peubah eksogen, seperti denda illegal fishing, harga ikan, dan biaya per unit setiap jenis

input.

4.1. Illegal Fishing di Bawah Biaya Resiko yang Rendah

Di bawah kondisi penegakan hukum yang longgar, denominator pada setiap

persamaan (7) memiliki tanda positif. Nelayan memiliki kelonggaran untuk

mengalokasikan bundel input legal dan illegal serta tindakan penghindaran aturan untuk

memaksimisasi keuntungannya. Dalam eksperimen konseptual pertama, dipertimbangkan

bagaimana dampak perubahan dalam denda, dF, terhadap penggundaan bundel input

illegal, dXi. Secara matematis diasumsikan bahwa dF > 0, sedangkan dPl = dPi =

dCa (untuk a = l, i, I, O) = 0. Hasilnya disajikan pada persamaan (8).

dXl/dF = 2 ......................................... (8)

Perubahan dalam denda illegal fishing tersebut berpotensi untuk menekan

penggunaan bundel input illegal atau sebaliknya. Kondisinya tergantung pada

perbandingan antara dengan . Mengacu pada persamaan (3a), notasi

menunjukkan besarnya perubahan peluang nelayan untuk tertangkap dan dihukum seiring

perubahan penggunaan bundel input illegal, I/Xi. Ini menunjukkan bahwa semakin

banyak atau semakin seringnya penggunaan bundel input illegal, maka peluang untuk

tertangkapnya semakin besar. Karena itu diasumsikan bahwa > 0. Istilah sederhana

untuk menginterpretasikan notasi tersebut adalah efektivitas tindakan pengawasan

terhadap penggunaan bundel input illegal oleh nelayan.

Sementara itu, mengacu pada persamaan (3a), notasi menunjukkan besarnya

perubahan peluang nelayan untuk tertangkap seiring dengan perubahan dalam tindakan

penghindaran terhadap pengawasan bundel input illegal, I/AI. Dimana efektivitas

tindakan penghindaran tersebut dapat mengurangi besarnya peluang nelayan untuk

tertangkap, < 0. Istilah sederhana untuk menginterpretasikan notasi tersebut adalah

efektivitas nelayan untuk menghindari aturan.

Penjumlahan dan pada persamaan (8) menghasilkan dua kemungkinan jenis

bilangan : positif dan negatif. Kemungkinan pertama, bilangan positif, menunjukkan

16

efektivitas tindakan pengawasan lebih besar dari efektivitas nelayan untuk menghindari

aturan. Sedangkan kemungkinan kedua, bilangan negatif, menunjukkan bahwa efektivitas

tindakan pengawasan lebih rendah dari efektivitas tindakan nelayan untuk menghindari

aturan. Proposisi yang mungkin timbul menyatakan bahwa di bawah biaya resiko yang

rendah, kenaikan denda illegal fishing dapat mendorong alokasi bundel input illegal,

meski efektivitas tindakan pengawasan lebih tinggi dari efektivitas tindakan nelayan

untuk menghindar. Sebaliknya, kenaikan denda illegal fishing dapat menekan alokasi

bundel input illegal, meski efektivitas tindakan pengawasan lebih rendah dari efektivitas

tindakan penghindaran. Proposisi ini berlaku sama dalam kaitannya dengan dua macam

wujud illegal fishing lainnya, AI dan Ao.

Eksperimen konseptual kedua adalah mempertimbangkan dampak perubahan

harga ikan di TPI, dPl, terhadap perubahan penggunaan bundel input illegal, dXi.

Mengacu pada persamaan (7a), secara matematik diasumsikan bahwa dPl > 0, sedangkan

dF = dPi = dCa (untuk a = l, i, I, O) = 0. Hasilnya disajikan pada persamaan (9).

dXl/dPl = 2 ....................................... (9)

Mengacu pada persamaan (9), arah perubahan penggunaan bundel input illegal

tergantung pada beberapa kondisi. Notasi pada nominator persamaan (9) merupakan

efek tidak langsung tindakan penghindaran nelayan dalam merespon tindakan

pengawasan pasar ikan illegal terhadap peluang mereka untuk tertangkap ketika

menggunakan bundel input illegal, I/Ao. Berdasarkan persamaan (3c), keterbatasan

sumber daya waktu menimbulkan adanya trade-off antara AI dengan Ao, AI = A – Ao.

Karena itu, tambahan curahan waktu untuk melakukan tindakan penghindaran terhadap

pengawasan dan pengendalian pasar ikan illegal dapat mengurangi curahan waktu untuk

melakukan tindakan penghindaran terhadap pengawasan dan pengendalian bundel input

illegal. Akibat potensialnya adalah meningkatkan peluang nelayan untuk tertangkap

ketika menggunakan bundel input illegal. Berdasarkan logika tersebut, karena itu =

I/Ao > 0. Sementara itu, notasi , dan pada nominator persamaan (9) secara

berurutan menunjukkan produk fisik marjinal bundel input legal, tindakan penghindaran

terhadap pengawasan bundel input illegal, dan bundel input illegal. Untuk menopang

keuntungan yang maksimum, produk fisik marjinal tersebut memiliki nilai positif, kecuali

.

17

Analisa tersebut memunculkan suatu proposisi. Dimana perubahan harga ikan di

TPI berpotensi untuk meningkatkan alokasi bundel input illegal, bila > .

Dengan kalimat sederhana, proposisi itu menunjukkan bahwa di bawah biaya resiko yang

rendah, perubahan harga ikan di TPI berpotensi untuk mendorong alokasi bundel input

illegal, bila peluang nelayan untuk tertangkap (terkait dengan alokasi waktu untuk

menghindari tindakan pengawasan pasar ikan illegal) dikurangi dengan produk marjinal

bundel input illegal dan tindakan penghindaran yang lebih tinggi dari produk marjinal

bundel input legal, Perbandingan sebaliknya bisa menekan alokasi bundel input illegal.

Proposisi ini berlaku sama dalam kaitannya dengan dua macam wujud illegal fishing

lainnya, AI dan Ao.

Eksperimen konseptual ketiga adalah mempertimbangkan dampak perubahan

harga ikan di pasar ikan illegal, dPi, terhadap perubahan penggunaan bundel input illegal,

dXi. Dengan asumsi bahwa dPi > 0, dan dF = dPl = dCa (untuk a = l, i, I) = 0, dan dengan

menggunakan teknik yang sama seperti sebelumnya, diperoleh hasil sebagaimana

disajikan pada persamaan (10).

dXi/dPi = 2 ...................................... (10)

Arah perubahan penggunaan bundel input illegal dalam menanggapi perubahan harga

ikan di pasar illegal tergantung pada perbandingan tiga macam produk fisik marjinal : ,

dan . Untuk menopang keuntungan yang maksimum, produk fisik marjinal tersebut

memiliki nilai positif, kecuali . Dengan demikian, muncul proposisi bahwa kenaikan

harga ikan di pasar illegal berpotensi untuk meningkatkan penggunaan budel input illegal

bila < . Dalam kalimat sederhana, di bawah biaya resiko yang rendah,

kenaikan harga ikan di pasar illegal berpotensi untuk mendorong alokasi bundel input

illegal, bila selisih antara produk marjinal tindakan penghindaran dengan produk

marjinal bundel input illegal, lebih tinggi dari produk marjinal bundel input legal.

Perbandingan sebaliknya berpotensi untuk menekan penggunaan bundel input illegal.

Proposisi ini berlaku sama dalam kaitannya dengan dua macam wujud illegal fishing

lainnya, AI dan Ao.

Eksperimen konseptual keempat adalah mempertimbangkan dampak perubahan

dalam biaya per unit bundel input illegal, dCi, terhadap penggunaan bundel input illegal,

dXi. Dengan asumsi bahwa dCi > 0, dan dF = dPl = dPi = 0, dan dengan menggunakan

18

cara serupa seperti sebelumnya, hasilnya disajikan pada persamaan (11). Hasil tersebut

cukup mengejutkan. Dimana di bawah kondisi penegakan hukum yang longgar,

perubahan biaya per unit yang sepadan dengan harga per unit bundel input illegal tersebut

tidak memiliki potensi untuk menekan penggunaan bundel input illegal. Argumentasi ini

ditunjukkan oleh nilai dXi/dCi > 0 pada persamaan (11).

dXi/dCi = 2 ...................................... (11)

Begitupun halnya dengan dampak kenaikan biaya per unit selain bundel input

illegal. Tanda dXi/dCl, dXi/dCI dan dXi/dCo, ketiganya lebih besar dari nol. Karena itu

muncul proposisi bahwa di bawah biaya resiko yang rendah, perubahan per unit biaya

input penangkapan ikan berhubungan positif dengan alokasi bundel input illegal.

Proposisi ini berlaku sama dalam kaitannya dengan dua macam wujud illegal fishing

lainnya, AI dan Ao.

4.2. Illegal Fishing di Bawah Biaya Resiko yang Tinggi

Di bawah kondisi penegakan hukum yang ketat, denominator pada setiap

persamaan (7), yang mengekspresikan dampak perubahan peubah eksogen terhadap

alokasi bundel input illegal, memiliki tanda negatif. Kondisi ini dapat diinterpretasikan

sebagai dampak upaya pemerintah untuk menegakkan peraturan illegal fishing secara

ketat, sehingga membatasi kondisi maksimisasi keuntungan nelayan dari kecenderungan

illegal fishing, yaitu dengan menciptakan biaya resiko yang tinggi.

Proposisi di bawah biaya resiko yang tinggi berbeda dengan proposisi

sebelumnya. Proposisi pertama, digali dari persamaan (8), kenaikan denda illegal fishing

dapat menekan alokasi bundel input illegal, bila efektivitas tindakan pengawasan lebih

tinggi dari efektivitas tindakan penghindaran nelayan. Sebaliknya, kenaikan denda

illegal fishing masih bisa mendorong alokasi bundel input illegal, bila efektivitas

tindakan penghindaran nelayan lebih tinggi dari efektivitas pengawasan. Proposisi ini

berlaku sama dalam kaitannya dengan dua macam wujud illegal fishing lainnya, AI dan

Ao.

Proposisi kedua digali dari persamaan (9). Proposisinya menyatakan bahwa di

bawah biaya resiko yang tinggi, perubahan harga ikan di TPI berpotensi untuk

mendorong alokasi bundel input illegal, bila peluang nelayan untuk tertangkap (terkait

dengan alokasi waktu untuk menghindari tindakan pengawasan pasar ikan illegal)

dikurangi dengan produk marjinal bundel input illegal dan tindakan penghindaran lebih

19

rendah dari produk marjinal bundel input legal, Perbandingan sebaliknya bisa menekan

alokasi bundel input illegal. Proposisi ini berlaku sama dalam kaitannya dengan dua

macam wujud illegal fishing lainnya, AI dan Ao.

Proposisi ketiga digali dari persamaan (10). Proposisinya menyatakan bahwa di

bawah biaya resikonya tinggi, kenaikan harga ikan di pasar illegal berpotensi untuk

menekan alokasi bundel input illegal, meski selisih antara produk marjinal tindakan

penghindaran dengan produk marjinal bundel input illegal, lebih tinggi dari produk

marjinal bundel input legal. Perbandingan sebaliknya berpotensi untuk mendorong

alokasi bundel input illegal. Proposisi ini berlaku sama dalam kaitannya dengan dua

macam wujud illegal fishing lainnya, AI dan Ao.

Proposisi terakhir digali dari persamaan (11). Proposisinya menyatakan bahwa di

bawah biaya resiko yang tinggi, perubahan per unit biaya input penangkapan ikan

berhubungan negatif dengan alokasi bundel input illegal. Proposisi ini berlaku sama

dalam kaitannya dengan dua macam wujud illegal fishing lainnya, AI dan Ao.

5. Simpulan

Obyek perikanan dalam makalah ini adalah sebagai suatu sampel unit usaha yang

bekerja di bawah kendali pemerintah melalui perangkat hukum. Dimana, secara

mendasar, perangkat hukum tersebut mengatur jenis input yang boleh dialokasikan dan

jenis pasar produk (output). Secara umum, bundel input illegal yang bisa digunakan oleh

nelayan seperti misalnya pukat harimau atau bahan peledak, serupa dengan input illegal

yang bisa digunakan oleh unit usaha produksi lainya. Sedangkan penjualan ikan di luar

TPI, secara umum dapat diartikan sebagai bentuk pasar gelap (black market).

Dari seluruh kerja analisa statika komparatif (bentuk eksperimen konseptual),

yang disajikan pada bagian empat, hasilnya menampilkan ketelitian di dalam

mengendalikan illegal fishing. Ketelitian tersebut terletak pada kombinasi besaran denda

illegal fishing dengan tindakan pengawasannya. Meski pengelola perikanan menciptakan

biaya resiko yang tinggi bagi nelayan dalam mengantisipasi illegal fishing, tapi nelayan

masih memiliki kesempatan untuk melakukan illegal fishing. Sebaliknya dengan biaya

resiko yang rendahpun, pengelola perikanan masik memiliki kesempatan untuk menekan

illegal fishing. Sinyal ini serupa bila dibandingkan dengan Charles et al.(1999),

Sumaila et al.(2006), dan Bailey (2007), meski ekspresi model ekonomi illegal fishingnya

memiliki beberapa perbedaan. Dengan cara mengurut kembali proposisi-proposisi yang

ditampilkan sebelumnya, terdapat dua proposisi ringkas dalam upaya menekan illegal

fishing, yaitu :

20

Dengan biaya resiko yang rendah, kenaikan denda dapat menekan illegal fishing,

meski efektivitas pengawasan lebih rendah dari efektivitas tindakan penghindaran

yang dilakukan oleh nelayan.

Dengan biaya resiko yang tinggi, kenaikan denda dapat menekan illegal fishing,

bila efektivitas tindakan pengawasan lebih tinggi dari efektivitas tindakan

penghindaran nelayan.

Dari ringkasan dua proposisi tersebut, nampak bahwa kombinasi denda dan

efektivitas tindakan pengawasan memainkan peranan penting di dalam mengendalikan

illegal fishing. Kenaikan denda illegal fishing dapat dijadikan instrumen untuk menekan

illegal fishing, dengan syarat biaya resikonya tinggi dan efektivitas pengawasan lebih

tinggi dari efektivitas penghindaran yang dilakukan oleh nelayan.

6. Saran

Pengalaman menunjukkan adanya tingkat kerumitan yang cukup tinggi di dalam

menurunkan proposisi. Proposisi yang terkait dengan respon illegal fishing terhadap

peubah eksogen : denda, harga ikan, dan biaya per unit setiap jenis input. Kerumitan ada

pada upaya untuk menginterpretasikan beberapa parameter hasil differensiasi total, yang

tujuannya adalah untuk menggali proposisi tersebut. Kerumitan pada tahap tersebut

memang timbul dari penggunaan model ekonomi illegal fishing dalam bentuk umum

(unspecified). Implikasinya, penggunaan bentuk fungsi secara umum tidak dapat

merekam efek dari biomassa ikan, B, yang memiliki fitur dinamis dalam kerangka kerja

ekonomi illegal fishing.

Bagaimanapun proposisi yang coba diramu sebelumnya perlu diuji secara empiris

pada obyek perikanan tertentu. Dengan cara demikian ambiguitas yang mungkin timbul

pada setiap proposisi akan hilang. Di dalam melakukan pengujian empiris, penulis

menyarankan agar bentuk fungsi produksi tidak direstriksi. Misalnya direstriksi dalam

bentuk Cobb-Douglas, CES (constant elasticity of substitution) dan jenis teknologi

produksi lain. Ini berpotensi untuk menghasilkan tambahan informasi mengenai efek

bentuk teknologi dalam kaitannya dengan respon illegal fishing nelayan terhadap

kebijakan hukum dan ekonomi.

Kemudian terdapat beberapa peubah yang mungkin berwujud abstrak. Peubah

tersebut mencakup tindakan pengawasan, tindakan penghindaran, peluang nelayan untuk

tertangkap dan biaya per unit tindakan penghindaran. Tindakan pengawasan bertujuan

untuk menangkap nelayan yang melakukan illegal fishing. Mengacu pada Becker (1974),

efektivitas tindakan pengawasan tersebut bisa diukur dengan rasio jumlah kejahatan yang

berhasil dihukum terhadap jumlah keseluruhan tindakan kejahatan. Tindakan

21

penghindaran, mengacu pada Ehrlich (1974), diukur dengan alokasi sumber daya waktu

sebagaimana digunakan dalam kerangka kerja ekonomi illegal fishing. Berikutnya,

tindakan penghindaran mungkin bisa diukur dengan sumber daya waktu yang hilang

(opportunity cost of time) yang dievaluasi dengan upah kerja pada bidang perikanan atau

bidang pekerjaan lainnya yang memungkinkan. Alternatif ini biasa digunakan

Bekcer (1965) dalam menganalisis alokasi waktu. Kemudian, mengacu pada penelitian

empiris Kuperan dan Sutinen (1998), besaran peluang nelayan untuk tertangkap mereka

akui terdapat kelemahan, karena besarannya ditentukan secara subyektif oleh nelayan

yang menjadi contoh. Sementara itu, dalam penelitian empiris Sumaila et al.(2006) dan

Bailey (2007) besarnya peluang tersebut tidak mereka estimasi atau digali secara empiris,

melainkan dengan menggunakan asumsi. Dalam mengatasi tantangan dibalik data

peluang nelayan untuk tertangkap sebuah tindakan pengawasan, Nikijuluw (2008)

menyajikan tiga macam alternatif pengukuran :

Peluang yang ditentukan secara langsung oleh nelayan yang disebut dengan raw

probability, serupa dengan peluang subyektif yang digunakan oleh Kuperan dan

Sutinen (1998);

Peluang yang ditentukan dari suatu fungsi peubah eksgogen; dan

Peluang yang diduga dengan menggunakan peubah instrumen atau peubah antara.

7. Referensi

Abbott, Joshua K., Wilen, James E. 2006. Prohibited species bycatch in the Eastern Bering Sea flatfish fisheries – An analysis of institutions and incentives., p. 5-12. In: Sumaila, U. Rashid and Marsden, A. Dale (eds.) 2005 North American Association of Fisheries Economists Forum Proceedings. Fisheries Centre Research Reports 14(1). Fisheries Centre, the University of British Columbia, Vancouver, Canada.

Bailey, M. 2007. Economic Analysis of Unregulated and Illegal Fishing in Raja Ampat [Thesis], Indonesia. Columbia : Faculty of Graduate Studies at The University Of British Columbia.

Becker, G.S. 1968. Crime and Punishment : an economic approach. Journal of Political Economy 76(2) : 169 – 212.

Becker, G.S. 1974. Criem and Punishment : an aconomic approach. Di dalam : Becker, G.S., and Landes, W.M., editor. 1974. Essay in The Economics of Crime and Punishment. National Bureau of Economic Research, Inc. U.S.A. hlm 1 – 54.

Charles, A.T., Mazany, R.L., and Cross, M.L. 1999. The Economic of Illegal Fishing : a behavioural model. Marine Resource Economic. Volume 144, pp. 95 – 100. U.S.A.

Drameh, O.K.L. 2000. Illegal, Unreported And Unregulated Fishing In Small-Scale Marine And Inland Capture Fisheries. This paper has been prepared as one in a series of specialist background papers for the Expert Consultation on Illegal,

22

Unreported and Unregulated Fishing Organized by the Government of Australia in Cooperation with FAO, Sydney, Australia, 15-19 May 2000.

Ehrlich, I. 1974. Participation in Illegitimate Activities : an economic analysis. Di dalam : Becker, G.S., and Landes, W.M., editor. 1974. Essay in The Economics of Crime and Punishment. National Bureau of Economic Research, Inc. U.S.A. hlm 67 – 134.

Kuperan, K., and Sutinen, J.G. 1998. Blue Water Crime : Detterence, Legitimacy, and Compliance in Fisheries. The Law and Society Association.

Nikijuluw, V.P.H. 2008. Dimensi Sosial Ekonomi Perikanan Illegal : Blue Water Crime. Cidesindo. Jakarta.

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 54 Tahun 2002 tentang Usaha Perikanan. Republik Indonesia

Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 5 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Retribusi Tempat Pelelangan Ikan. Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Republik Indonesia.

Resosudarmo, B.PP., Napitupulu, L., and Campbell. 2009. www. Gdnet.org/CMS/conference/papers/Budy Resosudarmo_Paper_B.5.pdf/2009.

Tyler TR. 1990. Why people obey the law. New Haven: Yale University Press.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Republik Indonesia.