prinsip dasar kemoterapi - never ending study€¦ · 1 prinsip dasar kemoterapi a. pendahuluan...
TRANSCRIPT
1
PRINSIP DASAR KEMOTERAPI
A. Pendahuluan
Berbeda dengan terapi radiasi dan pembedahan, kemoterapi adalah pengobatan kanker
dengan menggunakan obat-obatan atau hormon. Kemoterapi dapat digunakan dengan efektif
pada penyakit-penyakit baik yang diseminata maupun yang masih terlokalisasi.
Pada tiga dekade terakhir ditemui kemajuan dalam penemuan senyawa-senyawa baru
yang efektif. Pada awal penemuannya, kemoterapi dianggap sebagai prosedur paliatif, tetapi
akhir-akhir ini diketahui bahwa beberapa jenis kanker dapat disembuhkan dengan
kemoterapi. Penggunaan kemoterapi kombinasi telah menunjukkan keberhasilan yang
substansial, terutama kombinasi obat-obat yang mempunyai mekanisme kerja yang berbeda.
Kemajuan pengobatan pada beberapa jenis kanker tertentu diperoleh dengan menggunakan
beberapa jenis obat secara simultan, ataupun dengan pemberian kemoterapi secara sekuensial.
Beberapa kanker diseminata dapat disembuhkan dengan kemoterapi saja. Hal ini
membuktikan adanya toksisitas yang selektif dari kemoterapi.
Kemoterapi seharusnya hanya digunakan pada pasien yang malignitasnya telah
dipastikan secara histologik. Faktor individu yang dapat mempengaruhi toleransi terhadap
pengobatan harus dievaluasi termasuk umur fisiologi (dicerminkan oleh fungsi organ vital),
status kesehatan umum, dan status performans. Selain itu perlu juga diketahui riwayat
penyakit termasuk semua terapi kanker yang pernah didapatkan sebelumnya dan pola
rekurensi. Selanjutnya keadaan finansial pasien dan keluarganya harus dipertimbangkan.
Tujuan dan cara terapi harus diberitahukan pada pasien dan keluarganya termasuk risiko dan
kegunaan dari pengobatan ini, sehingga harus dibuat informed consent.
Hal penting lainnya adalah penentuan kemoterapi yang sesuai untuk diberikan pada
kanker tertentu, serta kombinasi obat apa yang digunakan dan juga saat pemberian obat
dalam perjalanan penyakitnya apakah sebelum tindakan pembedahan atau sesudah
pembedahan serta penggunaan bersamaan dengan radioterapi.
Konsep bahwa pemberian kemoterapi hanya untuk penyakit-penyakit yang sudah
mengalami metastasis, sedangkan radioterapi dan pembedahan untuk penyakit-penyakit yang
masih terlokalisasi, pada saat ini sudah banyak ditinggalkan. Penggunaan kemoterapi adjuvan
setelah tindakan pembedahan sudah banyak dikembangkan terutama pada pengobatan kanker
ovarium atau kanker serviks.
2
Pemberian kemoterapi pada penyakit yang sudah sistemik/metastatik tidak selalu
berarti pemberian baru dimulai pada pasien-pasien yang sudah mengalami kakheksia atau
dalam kondisi morbid. Pemberian harus segera dimulai begitu didapatkan tanda-tanda yang
diakibatkan oleh proses penyakit kanker seperti nyeri akibat penekanan saraf atau sesak
akibat metastasasis paru-paru. Pada penderita yang tidak simtomatis pun kemoterapi harus
segera diberikan.
Rasionalitas pemberian kemoterapi sebagai pengobatan kanker adalah untuk
kemampuan membunuh sel kanker secara selektif. Untuk melihat respon kemoterapi maka
harus dilakukan pengukuran tumor dengan cara pemeriksaan fisik, radiographic imaging,
dan/atau analisis serum petanda tumor.
Kanker dapat dibagi berdasarkan kemampuan respon kemoterapi. Respon kemoterapi
terhadap tumor dibagi dalam empat kelompok, yaitu: Kelompok pertama, kemoterapi
merupakan kuratif bagi pasien misalnya koriokarsinoma dan tumor germ cell ovarium. Pasien
ini harus diterapi secara agresif dengan tujuan kuratif. Toksisitas yang timbul pada pasien ini
dapat diterima dengan asumsi bahwa toksisitas ini bersifat reversibel dan survival jangka
panjangnya tinggi.
Kelompok kedua, (misalnya karsinoma epitel ovarium stadium lanjut) dimana
kemoterapi mempunyai respon yang tinggi terhadap terapi primer (sampai 75%) dengan masa
bebas penyakit yang panjang dan angka survival yang medium, namun hanya sedikit
perbaikan terhadap angka mortalitas. Pasien dengan tumor ini biasanya mendapat keuntungan
dalam hal survivalnya lebih panjang atau lebih berkualitas sehingga mereka harus
mendapatkan terapi primer dengan dosis penuh kecuali ada kontraindikasi.
Kelompok ketiga, (misalnya leiomiosarkoma), respon kemoterapi mempunyai respon
yang rendah (sekitar 30%) dengan perbaikan survival yang terbatas. Pada pasien ini diberikan
terapi dengan monitoring toksisitas dan respon yang ketat dan dipertimbangkan untuk
diberikan terapi alternatif apabila penyakitnya progresif.
Kelompok keempat, kemoresistrn tumor (misalnya melanoma) respon pemberian
kemoterapi rendah dan tidak dapat diprediksi (very unpredictable). Pada pasien ini
kemoterapi harus diberikan secara terbatas dan dilakukan clinical trial yang terstruktur
dengan baik untuk mengevaluasi terapi.
3
B. Faktor biologik yang mempengaruhi terapi
1. Konsep Sel Kinetik
Sel normal dan sel tumor mempunyai kemampuan untuk tumbuh yang tertentu dan
dipengaruhi oleh bermacam-macam faktor. Pengaturan faktor pertumbuhan (growth factor)
mempengaruhi pada sel normal dan sel tumor, merupakan dasar dari efektifitas pemberian
terapi kanker.
Pertumbuhan sel yang tidak teratur timbul karena terganggunya sinyal faktor
pertumbuhan dan/atau rusaknya mekanisme checkpoint pada sel normal. Apoptosis
merupakan mekanisme utama untuk pengaturan pertumbuhan. Selain itu onkogen seperti
bcl-2, gen supresor tumor seperti p53 merupakan regulator apoptosis. Ekspresi gen ini dapat
mempengaruhi sensitivitas sel kanker terhadap kemoterapi. Contohnya overekspresi bcl-2
fungsional dan p53 yang non fungsional dapat menyebabkan sel tumor resisten terhadap
sejumlah obat kemoterapi. Hal ini menunjukkan bahwa dengan memperbaiki sinyal apoptosis
maka kemosensitivitas dapat ditingkatkan.
Pertumbuhan tumor Gompertzian
Pada model percobaan diketahui pertumbuhan sel kanker mengikuti suatu pola yang
disebut sebagai pertumbuhan Gompertz. Disebut bila massa tumor makin membesar, waktu
gandanya akan semakin panjang. Pola ini tampaknya hanya berlaku pada tumor yang secara
klinis dapat dipalpasi. Pada masa pertumbuhan tumor subklinis pertumbuhan sel terjadi
secara eksponensial. Implikasi dari konsep Gompertz adalah bila massa tumor mengecil,
waktu ganda tumor akan semakin pendek. Hal ini disebabkan oleh makin banyak sel yang
memasuki siklus, yang selanjutnya akan meningkatkan sel dengan metabolisme aktif
sehingga sel tersebut menjadi sensitif terhadap kemoterapi.
Berdasarkan konsep ini dikembangkan penggunaan kemoterapi sekuensial yaitu
penggunaan kemoterapi nonspesifik untuk mengurangi massa tumor yang diikuti dengan obat
yang spesifik fase. Implikasi lain dari konsep Gompertz adalah sel-sel tumor metastatik dapat
lebih sensitif terhadap kemoterapi daripada sel-sel tumor induknya. Makin kecil tumor
metastatik, maka akan makin sensitif terhadap kemoterapi. Berdasarkan konsep ini
dikembangkan pemberian kemoterapi adjuvan.
Selama pembelahan sel, pertumbuhan tumor akan mengikuti pola eksponensial
dimana apabila tumor menjadi lebih besar maka kecepatan pertumbuhan menurun. Pola
pertumbuhan eksponensial ini disebut sebagai pertumbuhan Gompertzian (gambar 1).
4
Gambar 1. Kurva pertumbuhan tumor oleh hipotesis Gompertzian. Eksponensial
pertumbuhan tumor sesuai dengan eksponensial retardasi pertumbuhan. Aksis vertical adalah
volume tumor, aksis horizontal adalah waktu.
Seiring dengan meningkatnya massa tumor maka waktu yang dibutuhkan untuk
menggandakan volume tumor juga meningkat. Penjelasan kinetik dari paradoks ini terlihat
pada gambar 2. Berdasarkan kinetik Gompertzian, pertumbuhan eksponensial tidak secara
tepat berlaku sepanjang keseluruhan pertumbuhan. Contohnya jika ahli radiologi melihat
massa tumor 0,5 cm pada foto dada atau dokter meraba massa tumor 1 cm maka diasumsikan
bahwa tumor dideteksi secara dini. Padahal yang sesungguhnya adalah tumor paling kurang
telah mengalami 30 kali penggandaan (gambar 2).
Gambar 2. Kurva penggandaan tumor mengasumsikan eksponensial pertumbuhan tumor.
5
Model ini juga mempunyai relevansi klinik yang lain. Pertama, penyakit metastasis
dapat timbul sebelum ditemukannya lesi primer. Kedua, pada stadium lanjut dari
pertumbuhan tumor penggandaan yang sedikit saja dapat menghasilkan perubahan ukuran
tumor yang bermakna, dimana hal ini juga meningkatkan konsekunesi kliniknya. Implikasi
lain dari hal ini adalah pertumbuhan lanjut tumor, di mana dari ukuran 1 cm hanya
memerlukan 3 atau lebih penggandaan tumor, sudah dapat mencapai ukuran yang sangat
besar + 8cm.
Kinetik siklus sel
Kinetik dari setiap sel tumor penting dalam memahami pertumbuhan tumor. Sel dapat
berada dalam fase non-siklus postmitosis (G0) selama waktu tertentu, namun dapat masuk
kembali ke siklus aktif apabila dipicu oleh faktor pertumbuhan atau sinyal lokal lainnya. Fase
G1 dapat bervariasi panjangnya, dan berhubungan dengan berbagai aktifitas seluler, termasuk
sintesis protein dan RNA, perbaikan DNA, dan pertumbuhan sel. Setelah melalui checkpoint
pertama di G1, sel masuk ke fase sintesis DNA (S) dimana dibuat copy DNA secara lengkap
melalui proses replikasi. Fase G2 memungkinkan kontrol checkpoint berikutnya sebelum
memasuki mitosis (M) dimana membran inti menghilang dan kromosom berkondensasi
(profase) dan saling berpasangan (metafase). Mitosis berhubungan dengan checkpoint
terakhir sebelum kromosom benar-benar berpisah pada dua kutub (anafase), yang diikuti
dengan berpisahnya alat-alat mitosis (telofase) dan pembentukan sel-sel anak melalui
sitokinesis. Sel kemudian dapat berdiferensiasi selanjutnya, masuk ke status nonsiklus (G0)
atau mulai siklus lainnya.
Siklus sel mempunyai makna penting. Banyak obat kemoterapi merusak sintesis
DNA, RNA atau protein. Sel yang mempunyai masa proliferasi pendek (misalnya G1
pendek) adalah yang paling sensitif terhadap kemoterapi, sedangkan sel yang berproliferasi
lambat (misalnya G0 atau G1 panjang) umumnya kurang sensitif.
Log Cell Kill
Dengan kinetik sel tingkat pertama, terapi tunggal dari tumor yang berat 8gr (sekitar
109
sel) dapat membunuh 90% sel dan hanya dapat mengurangi populasi sel 1 log, sehingga
masih terdapat 108 sel hidup. Tanpa terapi lebih lanjut, tumor akan kembali bertumbuh
dengan kecepatan tetap, hanya sedikit penundaan akibat letalitas.
Hanya apabila log cell kill lebih besar (>90%) dan terapi berulang-ulang, maka
kemoterapi dapat bersifat kuratif. Meskipun kanker tertentu seperti koriokarsinoma dapat
6
disembuhkan hanya dengan sekali pemberian satu jenis obat, namun pada umumnya kanker
manusia kurang sensitif terhadap satu jenis kemoterapi. Hal inilah yang mendasari
berkembangnya kombinasi multidrug. Selain itu, kemoterapi biasanya dibagi dalam beberapa
siklus untuk memberi kesempatan pemulihan host dan akumulasi sel yang mati untuk regresi
dan penyembuhan tumor.
Diketahui bahwa survival atau penyembuhan yang panjang hanya dapat dicapai
apabila populasi sel dikurangi sampai 101-10
4 sel. Pada umumnya sel dengan populasi
sejumlah ini tidak dapat dideteksi secara klinik. Hal inilah alasan mengapa kemoterapi
adjuvant diberikan pada stadium awal dari kanker.
Pemberian kemoterapi pertama dapat membunuh 2 sampai dengan 4 log sel. Bila pada
satu populasi sel kanker sebanyak 1012
(1 kg tumor) diberikan dosis tunggal kemoterapi,
sebagian besar sel kanker hilang, tetapi tidak dapat menghilangkan tumor tersebut secara
tuntas. Oleh karena itu, diperlukan pemberian kemoterapi ulangan secara intermitten.
Konsep bahwa kemoterapi membunuh sel secara logistik (log kill hypothesis) juga
merupakan dasar dari pemberian kemoterapi kombinasi dan kemoterapi adjuvan. Kemoterapi
adjuvan bertujuan untuk mengeradikasi massa tumor yang subklinis 104 sel yang tidak
mungkin terdeteksi pasca pembedahan. Dengan jumlah sel kanker yang relatif sedikit
kemoterapi akan bekerja secara efektif.
Sifat alamiah serta penggunaan kemoterapi harus benar-benar dimengerti sehingga
dapat dibuat keputusan yang tepat dan rasional. Untuk memahami rasional dari pengobatan
kanker harus dimengerti kinetika sel dalam siklus pembelahan. Setiap sel yang membelah diri
akan mengikuti pola replikasi sel yang disebut waktu generasi (generation time) yang terdiri
atas lima fase berikut ini.
1. Fase G1: pada saat ini diproduksi enzim untuk sintesis DNA dan RNA berlangsung
kira-kira 4-24 jam.
2. Fase S: pada fase ini mulai terjadi sintesis DNA kira-kira 10-20 jam.
3. Fase G2 (premitosis): pada fase ini terjadi sintesis RNA dan protein seluler (2-10
jam). Setelah fase ini selanjutnya sel akan masuk fase M.
4. Fase M: terjadi mitosis sel, terjadi pembelahan sel dari 1 sel akan terbentuk 2 sel anak
(0,5-1 jam) yang selanjutnya akan masuk fase ke G 2
5. Fase G0: sel-sel yang tidak aktif akan masuk ke fase G0 di mana proses
makromolekuler relatif tidak aktif sehingga sel tersebut tidak sensitif terhadap
kemoterapi.
7
Kanker tidak berkembang lebih cepat daripada jaringan normal. Pada jaringan tumor
lebih banyak sel yang berada dalam fase aktif dari siklus sel jika dibandingkan pada jaringan
normal. Pada jaringan normal sebagian besar populasi sel berapa dalam fase G 0.
Gambar 3. The log-kill hypothesis. Relationship of tumor cell number to time of diagnosis,
symptoms, treatment, and survival. Three alternative approaches to drug treatment are shown for
comparison with the course of tumor growth when no treatment is given (dashed line). In the protocol
diagrammed at top, treatment (indicated by the arrows) is given infrequently and the result is
manifested as prolongation of survival but with recurrence of symptoms between courses of treatment
and eventual death of the patient. The combination chemotherapy treatment diagrammed in the
middle section is begun earlier and is more intensive. Tumor cell kill exceeds regrowth, drug
resistance does not develop, and "cure" results. In this example, treatment has been continued long
after all clinical evidence of cancer has disappeared (1–3 years). This approach has been established
as effective in the treatment of childhood acute leukemia, testicular cancers, and Hodgkin's
lymphoma. In the treatment diagrammed near the bottom of the graph, early surgery has been
employed to remove the primary tumor and intensive adjuvant chemotherapy has been administered
long enough (up to 1 year) to eradicate the remaining tumor cells that comprise the occult
micrometastases.
8
C. Resistensi Obat dan Heterogenitas Sel Tumor
Potensi kuratif dari kemoterapi dibatasi oleh resistensi obat yang dapat bersifat
intrinsik maupun didapat. Tumor dengan resistensi obat intrinsik atau primer terhadap produk
alami sering terdapat pada sel duktus atau sel yang melapisi organ ekskresi. Sel ini yang
mempunyai kemampuan mendetoksifikasi, mentranspor dan mengekskresi berbagai bahan
toksik secara normal dan dapat mempertahankan fungsi normal ini setelah transformasi
sehingga bermanifestasi sebagai kemoresisten. Bersama dengan toksisitas-insensitivitas
(resistensi) merupakan sebab terpenting kegagalan kemoterapi. Resistensi primer sebagian
besar adalah insensitivitas intrinsik yang belum diketahui pada tumor-tumor tertentu seperti
melanoma. Disamping itu dapat berkembang resistensi sekunder pada waktu atau setelah
terapi. Resistensi dapat terkaji pada tingkat penderita (resistensi klinik), tingkat populasi
tumor sebagai keseluruhan (resistensi fisiologik) atau sebagai obat perubahan genetik di
dalam sel tumor individual (resistensi biokimiawi).
Resistensi Klinik
Distribusi kemoterapi di dalam tubuh atau waktu paruh metabolit aktif di dalam serum
dapat sedemikian rupa sehingga tumor tidak cukup terpapar obat. Sel-sel tumor dapat
berada dalam daerah yang sukar dicapai, seperti otak. Resistensi dapat diatasi dengan
pemberian obat dengan cara yang disesuaikan, misalnya intratekal pada tumor-tumor
yang lokalisasinya di meningen.
Resistensi Fisiologik
Sitostatika terutama bekerja pada sel dalam proliferasi, insensitivitas fisiologik ini
terutama berkaitan dengan obat-obat kemoteraopi yang spesifik fase sel. Kebanyakan
tumor sel-selnya berada dalam fase pertumbuhan yang lambat dan fraksi pertumbuhan
yang rendah sehingga sel-sel tersebut tidak sensitif terhadap obat-obat antimetabolit
dan beberapa kemoterapi yang lain. Terapi intermiten pada prinsipnya merupakan
jawaban terhadap resistensi fisiologik. Eliminasi sebagian sel tumor oleh dosis
pertama memungkinkan sel yang diblok untuk tumbuh kembali, yang menyebabkan
sel ini menjadi sensitif dan masuk fase proliferasi. Fenomena ini dikenal sebagai
perekrutan.
Resistensi Selular
Resistensi pada tingkat sel tumor individual merupakan akibat perubahan genetik
stabil seperti mutasi noktah atau amplifikasi gen. Resistensi biokimia dapat ditiadakan
dengan penggunaan obat yang mempunyai perubahan kecil di dalam strukturnya
9
(analog). Resistensi selular umumnya berdasarkan atas perubahan genetik yang terjadi
spontan atau diinduksi. Dari segi ginekologi onkologi, terdapat 2 pola utama dari
resistensi obat yang terjadi pada terapi kontinu. Resistensi terhadap obat pengalkil
khususnya yang mengandung platinum dimediasi melalui berbagai mekanisme
seluler. Protein yang berhubungan dengan resistensi kanker ginekologi adalah Breast
Cancer Resistence Protein (BCRP)
Resistensi yang terjadi berdasarkan proses biokomia meliputi:
o Ketidakmampuan tumor untuk mengubah obat yang inaktif menjadi obat yang
aktif
o Kemampuan tumor untuk mengubah obat menjadi bentuk yang inaktif;
o Lokasi tumor tempat obat-obat kemoterapi tidak dapat melewati barrier (drug
sanctuaries).
Resistensi multipel (multidrug resistance) atau disebut juga resistensi pleiotropik
adalah suatu keadaan di mana pengobatan kanker dengan 1 macam obat kemoterapi
akan menimbulkan resistensi terhadap obat-obat lain baik yang segolongan maupun
bukan segolongannya. MDR dimediasi oleh efflux obat keluar sel sehingga
konsentrasi obat intraseluler menjadi rendah. Pada keadaan ini ditentukan adanya
over ekspresi protein transpor membran sel p.glikoprotein
Pemberian terapi kombinasi dapat mengatasi hal ini dengan meningkatkan konsentrasi
kemoterapi intraseluler. Pada penelitian invitro dapat ditemui bahwa obat kalsium
chanel blocker, obat-obat antiaritmia, inhibitor kalmodulin, antibiotik dan senyawa
polisiklik lipopilik dapat mempengaruhi efek MDR.
Penggunaan obat yang melindungi sel normal dapat meningkatkan dosis obat
kemoterapi sehingga dapat mengatasi resistensi terhadap kemoterapi yang disebabkan
oleh rendahnya aktivasi obat atau tingginya inaktivasi obat kemoterapi.
Spesifisitas siklus sel
Tujuan penggunaan obat kemoterapi terhadap kanker adalah (1) mencegah /
menghambat multiplikasi sel kanker; (2) menghambat invasi dan metastase. Karena
proliferasi juga merupakan proses yang terjadi pada beberapa sel organ normal, kemoterapi
juga berefek toksik terhadap sel-sel normal terutama pada jaringan-jaringan yang mempunyai
siklus sel yang cepat antara lain sumsum tulang, epitel mukosa, dan folikel rambut. Oleh
karena itu, kemoterapi yang ideal harus mempunyai efek menghambat yang maksimal
10
terhadap pertumbuhan sel kanker, tetapi mempunyai efek yang minimal terhadap sel-sel
jaringan tubuh yang normal.
Proses inhibisi proliferasi sel dan pertumbuhan kanker dapat terjadi pada beberapa
tingkat proses dalam sel (1) sintesis makromolekuler, (2) organ dalam sitoplasma, dan (3)
fungsi sintesis membran sel. Kebanyakan obat sitotoksik mempunyai efek yang utama pada
proses sintesis dan fungsi molekul makroseluler, yaitu pada proses sintesis DNA, RNA, atau
protein atau mempengaruhi kerja molekul tersebut. Proses ini cukup menimbulkan kematian
sel. Karena sel yang mati pada setiap pemberian kemoterapi hanya proporsional, kemoterapi
harus diberikan berulang kali secara terus menerus untuk mengurangi populasi sel.
Spesifisitas Kemoterapi Terhadap Fase dan Siklus Sel
Kemoterapi dapat digolongkan berdasarkan mekanisme kerja obat pada siklus sel atau
pada fase tertentu dari siklus sel.
1. Obat kemoterapi spesifik fase (phase specific drug)
Obat golongan ini sangat aktif membunuh sel yang berasal dari fase tertentu dari siklus
sel. Sifat-sifatnya: terdapat limitasi daya bunuh obat pada satu kali pemberian. Karena
obat harus bekerja pada salah satu fase siklus sel saja, peningkatan dosis tidak akan
meningkatkan proporsisel yang terbunuh.
Sel-sel yang terbunuh akan meningkat bila pemberian obat dalam waktu panjang atau
diberikan berulang untuk meningkatkan populasi sel masuk ke fase tertentu tempat obat-
obat tersebut aktif bekerja.
2. Obat kemoterapi spesifik siklus sel (cell cycle specific drug)
Obat-obat golongan ini aktif bekerja pada sel yang aktif dalam siklus sel, tetapi tidak
bekerja pada salah satu fase yang spesifik. Golongan ini adalah golongan alkil, antibiotik
antitumor.
3. Obat-obat nonspesifik siklus sel (cell cycle nonspecific)
Obat ini bekerja efektif pada setiap sel tidak bergantung pada siklus tempat sel tersebut
berada. Bekerja pada sel-sel yang berada pada fase G 0.
Obat kemoterapi mempunyai mekanisme kompleks dan dapat membunuh sel tumor
melalui berbagai cara. Beberapa obat antikanker diketahui bersifat tergantung pada proliferasi
sel dan spesifik pada siklus sel. Obat lain ada yang bersifat nonspesifik siklus sel, tanpa
tergantung pada kecepatan proliferasi. Obat yang spesifik terhadap siklus sel tergantung dari
fraksi proliferasi dari tumor dan fase pada siklus sel. Contoh yang khas adalah hidroksiurea
11
yang menghambat ribonukleotida reduktase. Obat yang spesifik terhadap siklus sel lebih
efektif membunuh tumor yang kecepatan proliferasinya tinggi dan fraksi pertumbuhannya
tinggi.
Berdasarkan perbedaan efek terhadap kedua jenis sel ini, obat dapat dibedakan
menjadi 2, yaitu non cycle active agents dan cycle active agents. Kelompok ”cycle active
agents” membunuh sel pada saat sel kanker itu sedang dalam siklus atau aktif berproliferasi.
Sedangkan sel kanker yang tidak terbunuh sedang berada dalam keadaan diam pada saat
terpapar kemoterapi.
Klasifikasi obat kemoterapi ke dalam kelompok ”cycle spesific” dan ”non cycle
spesific” berguna dalam hal generalisasi sifat masing-masing obat. Obat golongan ”cycle
spesific” dapat diberikan dalam dosis sangat besar untuk pengobatan yang berlangsung
singkat dan jarak waktu pengobatan berikutnya panjang. Pilihan cara penggunaan obat ”non-
cycle spesific” lebih ditentukan oleh efek toksik pada organ lain.
D. Prinsip pemberian kemoterapi kombinasi
Kemoterapi kombinasi bertujuan untuk memperbaiki laju respons dan memperbaiki
daya ketahanan hidup. Efektivitas kemoterapi kombinasi meningkat karena mencegah
timbulnya klon yang resisten; Efek sitolitik akan meningkat karena penggabungan 2 macam
obat, yaitu fase spesifik dan non fase spesifik sehingga dapat membunuh sel baik yang berada
dalam pembelahan maupun sel dalam fase inaktif. Prinsip penggunaan kemoterapi kombinasi
adalah :
Kombinasi obat akan menimbulkan peningkatan aktivitas secara biokimia
Prinsip pemilihan kemoterapi kombinasi:
o Obat yang dipilih adalah obat yang aktif secara individual
o Obat tersebut harus mempunyai toksisitas yang berbeda
o Kombinasi obat hendaknya rasional secara biokimiawi
Penilaian yang harus dilakukan sebelum pengobatan kemoterapi pada penderita kanker:
- Penegakan diagnosis
- Sebelum pemberian kemoterapi diagnosis ca harus ditegakkan secara histopatologi
atau sitologi yang konsisten dengan diagnosis klinik
- Penentuan stadium
- Penetapan status penampilan
12
Status penampilan pasien merefleksikan tingkat efektivitas pasien dan seberapa jauh
penyakit kanker berdampak pada pasien dan merupakan indikator prognosis bagaimana
pengaruh pengobatan terhadap keadaan umum penderita.
Penggunaan status perfomance sebagai parameter penting untuk menetapkan
pengobatan individual pasien. Nilai status penampilan membantu klinis untuk menetapkan
apakah kemoterapi yang diberikan akan memperbaiki atau memperburuk keadaan umum
pasien.
Macam-macam status penampilan (performance status)
1. Karnofsky
a. Terdiri dari 10 tingkat aktivitas
b. Keuntungan variasi cukup besar
c. Kerugian sukar untuk diingat
Appendix L
Copyright © 2009 National Marrow Donor Program ®
and The Medical College of Wisconsin
Document Title: Forms Manual: Appendix L- Karnofsky/Lansky Performance Status Document Number: A00428 revision 1 Page 1 of 5
Karnofsky/Lansky Performance Status
The CIBMTR uses Karnofsky/Lansky performance status to determine the functional status of a recipient. Recipient performance status is a critical data field that has been determined to be essential for all outcome-based analyses. The Karnofsky Scale is designed for recipients aged 16 years and older, and the Lansky Scale is designed for recipients less than 16 years old. Use this scale (see table 1) to determine the score (10-100) that best represents the recipient’s activity status at the requested time point.
Table 1. Karnofsky/Lansky Scale Karnofsky Scale (recipient age ≥ 16 years) Lansky Scale (recipient age <16 years)
Able to carry on normal activity; no special care is needed
Able to carry on normal activity; no special care is needed
100 Normal, no complaints, no evidence of disease
100 Fully active
90 Able to carry on normal activity 90 Minor restriction in physically strenuous play
80 Normal activity with effort 80 Restricted in strenuous play, tires more easily, otherwise active
Unable to work, able to live at home cares for most personal needs, a varying amount of
assistance is needed Mild to moderate restriction
70 Cares for self, unable to carry on normal activity or to do active work
70 Both greater restrictions of, and less time spent in active play
60 Requires occasional assistance but is able to care for most needs
60 Ambulatory up to 50% of time, limited active play with assistance/supervision
50 Requires considerable assistance and frequent medical care
50 Considerable assistance required for any active play, fully able to engage in quiet play
Unable to care for self, requires equivalent of institutional or hospital care, disease may be
progressing rapidly Moderate to severe restriction
40 Disabled, requires special care and assistance
40 Able to initiate quite activities
30 Severely disabled, hospitalization indicated, although death not imminent
30 Needs considerable assistance for quiet activity
20 Very sick, hospitalization necessary 20 Limited to very passive activity initiated by others (e.g., TV)
10 Moribund, fatal process progressing rapidly 10 Completely disabled, not even passive play
Karnofsky/Lansky Performance Score vs. ECOG performance score: Some transplant centers may prefer to collect and use the ECOG performance score as opposed to the Karnofsky/Lansky score. Although the ECOG and Karnofsky/Lansky performance score systems are based on similar principles, the scales are not the same. For centers that collect only the ECOG performance score, see the memorandum and worksheet example on the following pages.
13
2. Eastern Cooperative Oncology Group (ECOG)
Biasanya penderita denga nilai ECOG 4, respons terapi kombinasi tidak baik dan efek
toksik terhadap pasien cukup besar. Oleh karena itu, sebaiknya pemberian kemoterapi
ditunda.
Pemberian kemoterapi kombinasi merupakan manajemen standar untuk tumor pada
keganasan ginekologi. Kemoterapi kombinasi itu mempunyai sifat sinergis, adaptif maupun
antagonis. Jika obat-obat itu bila dikombinasi meningkatkan aktifitas antitumornya dan
menurunkan toksisitas disebut bersifat sinergis. Kombinasi obat menyebabkan peningkatan
antitumor yang sebanding dengan penjumlahan efek masing-masing obat tunggal disebut
aditif. Kombinasi sitosin-arabinosid dengan vincristine adalah additif dalam efek anti-
leukemiknya, karena sel sehat dalam sintesis DNA maupun dalam mitosis dibunuh. Tetapi,
sitosin-arabinose tidak menambah efek neurotoksisitas vincristine. Kombinasi adalah
antagonistik kalau efek obat satu sama lain saling berhubungan. Sehingga menurunkan efek
antitumornya. Metotreksat menghambat sintesis DNA dan antagonistik terhadap sitosin
arabinosid karena zat ini untuk efek sitotoksiknya harus dimasukkan ke dalam DNA.
14
Gambar 4: Perbandingan Skala Performance
E. Pemilihan Regimen Kemoterapi Spesifik
Setelah diputuskan untuk memakai kemoterapi maka harus dipilih regimen yang
sesuai. Kemoterapi dapat dibagi menjadi alkylating agent (termasuk platinum), anti
metabolit, anti tumor antibiotik, anti mikrotubulus, analog nukleosida, dan hormon.
Terapi primer
Pada saat ini sejumlah kombinasi obat yang berbasis platinum telah dikembangkan
dan dievaluasi untuk penatalaksanaan kanker ginekologi, dan beberapa kombinasi regimen
telah diterima sebagai pengobatan standar pada penyakit rekuren atau stadium lanjut. Fase III
trial menunjukkan superioritas dari regimen spesifik seperti paclitaxel dan cisplatin atau
carboplatin pada kanker ovarium. Namun fase III trial lainnya pada kanker ovarium epitelial
menemukan bahwa terapi platinum diikuti paclitaxel memberikan hasil yang sama.
15
Kemoterapi Adjuvan
Kemoterapi adjuvan adalah pemakaian kemoterapi sistemik setelah operasi dan atau
radiasi dengan tujuan kuratif dan tidak ada bukti penyakit residual. Kemoterapi adjuvan
diberikan jika terdapat risiko rekurensi relatif tinggi (lebih dari 20%) setelah terapi definitif.
Namun tidak dianjurkan jika risiko rekurensi kurang dari 10%.
Kemoterapi Konkuren
Kemoterapi konkuren dengan radiasi (kemoradiasi) adalah pemakaian kemoterapi
untuk mensensitasi tumor terhadap efek radiasi yang diberikan dengan tujuan kuratif. Cara ini
banyak dipakai dalam penatalaksanaan kanker serviks stadium lanjut dengan pemberian
kemoradiasi platinum based.
Kemoterapi Neoadjuvan
Kemoterapi neoadjuvan adalah pemakaian kemoterapi dalam penatalaksanaan
penyakit stadium lanjut dimana sulit mencapai optimal untuk melakukan operasi. Terapi
neoadjuvan dipakai pada kanker ovarium stadium lanjut khususnya pada pasien dengan asites
yang banyak dan efusi pleura.
F. Menilai respon tumor
Pemberian kemoterapi dapat menyebabkan regresi tumor sehingga regresi tumor
dapat digunakan sebagai ukuran efektivitas pengobatan. Regresi tumor dapat dievaluasi
dengan berbagai cara:
1. Regresi ukuran tumor
Respos komplit: hilang massa tumor pada 2 kali pemeriksaan berselang 4 minggu
Respons parsial: berkurangnya ukuran tumor yaitu diameter terbesar dan diameter
perpendikuler sebesar 50% atau lebih tanpa ada pertumbuhan lesi baru selama 4
minggu
Tumor yang stabil (stable disease): berkurangnya ukuran tumor < 50%
Lesi progresif: ukuran tumor meningkat > 50%
2. Produk tumor
Pada beberapa kanker ukuran tumor tidak dapat dievaluasi sehingga dapat digunakan
pengukuran produksi tumor untuk mengevaluasi respons tumor, contoh beta hCG
untuk mengevaluasi koriokarsinoma.
16
3. Evaluasi keadaan klinis penderita
Perubahan objektivitas dari keadaan klinik dapat dijadikan ukuran respons penyakit
terhadap pengobatan contohnya derajat defisit neurologis pada penderita dengan
tumor serebri.
4. Perubahan status penampilan penderita
Kriteria evaluasi respon tumor penting untuk menentukan terapi dan memilih
regimen. Standar yang dipakai adalah yang dikembangkan oleh WHO. Namun pada tahun
2000 beberapa organisasi antara lain Eropen Organoization for Research and Treatment of
Cancer (EORTC), National Cancer Institute of Canada (NCIC), National Cancer Institute of
United States (NCI) mempublikasi Respons Evaluation Criteria in Solid Tumor (RECIST).
RECIST dibuat berdasarkan paling kurang 1 lesi target yang mengukur minimal 2 cm lesi
pada 1 dimensi dan juga mengukur lesi non target yang dipakai untuk menguatkan respon.
Gambar 5: RECIST kriteria
Respon komplit adalah hilangnya tumor secara keseluruhan dan hilangnya semua
gejala dan tanda yang berhubungan dengan tumor tersebut. Respon komplit dari kanker
biasanya berhubungan dengan angka survival yang panjang. Respon parsial adalah
berkurangnya paling sedikit 30% diameter terpanjang dari semua lesi yang dapat diukur.
Biasanya respon parsial disertai dengan perbaikan subjektif dan tidak ada lesi baru selama
terapi. Remisi parsial biasanya disertai dengan perbaikan keadaan umum dalam waktu
tertentu tetapi tidak diharapkan adanya perbaikan survival secara keseluruhan. Penyakit
progresif didefinisikan sebagai meningkatnya diameter terpanjang dari lesi yang dapat diukur
sebanyak 20% atau lebih, atau ditemukan lesi baru. Penyakit stabil (stable disease) adalah
istilah untuk pasien yang tidak mempunyai respon tumor yang dapat diukur atau terdapat
progresi yang cocok dengan 1 kriteria sebelumnya.
17
G. Obat obat kemoterapi pada kanker ginekologi
Perkembangan yang bermakna telah terjadi dalam kemoterapi pada keganasan di
bidang ginekologi. Carboplatin dan paclitaxel saat ini telah menjadi pengobatan standar pada
kanker ovarium, serta kombinasi kemoterapi dan radiasi juga telah menjadi standar pada
tatalaksana kanker seviks uteri.
Pembagian dan mekanisme kerja sitostatiska
Pemakaian obat kemoterapi seharusnya memahami berbagai hal yaitu pemahaman
terhadap struktur kimia, cara kerja obat, farmakologi klinik, farmakokinetik, dosis, cara
pemberian serta toksisitas baik sebagi obat tungal ataupun dalam kombinasi dengan obat lain.
1. Zat Pengalkil ( Alkylating agents )
Zat-zat pengalkil meliputi sejumlah derivat mustard (antara lain melfalan,
klorambusil, siklosfosfamid). Ikatan-ikatan yang kadang-kadang sangat kompleks
mempunyai kesamaan, yaitu bahwa mereka mempuyai satu atau dua golongan alkil yang
reaktif. Ini dapat membuat ikatan dengan basa DNA, terutama dengan guanin, dengan
membentuk ”adduct”. Pembuatan cross-link, artinya penghubungan dua rantai DNA dengan
reaksi ganda, sangat penting untuk sitotoksisitasnya.
Cisplatin dan Carboplatin dapat dipandang sebagai suatu subfamili zat pengalkil. Zat-
zat ini juga bereaksi dengan DNA dengan efek terpenting pembentukan cross-links. Tetapi,
mekanisme kimianya tidak berdasar atas pengalkil dalam arti yang sempit.
Platinum compounds
Cisplatin (cis-diamminedichloroplatinum) merupakan kompleks anorganik dengan
atom platinum berkoordinasi dengan amin pada satu sisi dan atom chlorin pada sisi yang lain.
Cisplatin dapat membentuk ikatan silang DNA yang berhubungan dengan sitotoksisitas.
Cisplatin sangat aktif pada G1 diberikan intravena pada kasus karsinoma ovarium dapat pula
diberikan secara intraperitoneal.
Gambar 6: Struktur Cisplatin dan Carboplatin
18
Mekanisme kerja Cisplatin sebagai elektrofil bifungsional, menyambung DNA
membentuk DNA interstrand (dG-dG) dan intrastrand (dGpdG). DNA sambungan ini
menyesuaikan dengan lekukan DNA dan memicu perbaikan DNA yang rusak dan apoptosis.
Gambar 7: Interaksi DNA Cisplatin
Toksisitas utamanya adalah merusak jaringan ginjal yang memiliki toksis langsung
terhadap tubular, namun bersifat reversibel. Dikombinasikan dengan taxane atau ”alkylating
agents” seperti siklosfosfamid yang digunakan untuk terapi pada kanker ovarium lanjut.
Dipakai juga untuk pengobatan kanker serviks.
Carboplatin (diamminecyclobutane-dicarboxy latoplatinum) merupakan senyawa
yang mirip dengan cisplatin, berbeda dengan cisplatin dari efek toksisitasnya mirip dengan
alkylating agent yang mensupresi sumsum tulang dan mempunyai efek mual muntah yang
lebih ringan, begitu pula dengan efek toksisitas terhadap ginjal, neuro dan ototoksisitas.
Seperti cisplatin dieleminasi melalui filtrasi glomerural.
Cisplatin yang hidrofilik terikat dengan protein dan asam amino dalam waktu paruh
yang pendek untuk membentuk kompleks yang tidak aktif. Cispaltin diberikan infus
intermiten jangka pendek setiap 3 minggu. Pemberian Cisplatin sangat emetogenik. Efek
samping alopesia jarang. Mual akut maupun kemudian dan muntah sangat jarang. Toksisitas
yang paling sering adalah kerusakan ginjal dengan penurunan laju giltrasi glomerulus.
Supresi sumsum tulang sangat ringan dan reversibel. Interaksi obat yaitu kerusakan ginjal
secara sinergis terjadi pada pasien yang menerima aminoglikosid, kontras intravena dan
nefrotoksin. Pemberian Cisplatin dapat merusak ginjal dan memudahkan eksresi obat lain
oleh ginjal seperti Bleomicin dan Metotreksat.
Mekanisme kerja Cara kerja Carboplatin mirip dengan Cisplatin. Perbedaan yang
mendasar hanya cara kerjanya yang lebih lambat. Hampir 75% Carboplatin dieksresi dalam
19
bentuk utuh diurin. Dosis dan Jadwal pemberian Carboplatin secara umum diberikan tiap 3
minggu.
Dosis Carboplatin kemudian dihitung berdasarkan rumus Calvert
(dosis=AUCx[GFR+25]), dimana AUC secara klinis diperoleh dari target area dibawah kurva
(under the curve). AUC 4-7 dianjurkan, tergantung adanya pemberian obat lain. Sedangkan
laju filtrai glomerulus diperkirakan dengan nilai bersihan kreatinin (creatinin clearance).
Protokol Perkumpulan Onkologi Ginekologi (GOG) umumnya menggunakan rumus
GFR=0,9x(98-0,8x[umur-20])/ kadar kreatinin serum.
Pemberian Carboplatin sangat emetogenik, namun lebih rendah dari Cisplatin.
Carboplatin tidak nefrotoksik dan tidak membutuhkan hidrasi pre dan post terapi. Ototoksik
dan neurotoksik, lebih jarang dari pada Cisplatin.
2. Antimetabolit
Antimetabolit yang terkenal adalah 5-flourourasil dan metotrexat. Mereka merupakan
satu golongan senyawa alamiah atau sintetik yang berhubungan erat dengan unsur bangun
asam-asam nukleat. 5-flurourasil bersifat menghambat pertumbuhan dan mematikan sel
dengan menghambat pembuatan unsur bangun untuk DNA. Efek terakhir ini adalah yang
terpenting untuk efek sitostatika.
Golongan obat ini secara struktural dan kimia mirip dengan zat-zat alami pada jalur
metabolik sintesis purin, pirimidin dan asam nukleat. Antimetabolit biasanya pada fase S-
spesifik dan paling aktif menghambat pembelahan sel.
Methotrexate
Cara kerja : Obat ini menghambat reduksi hidrofolat menjadi asam tetrahidrofolat, bentuk
aktif asam folat yang dibutuhkan untuk sintesis purin.
Efek samping Mielosupresif sering dengan melibatkan leukosit, trombosit dan haemoglobin.
Angka terendah terjadi pada 2 fase. Pertama antara hari ke-4 dan 8 (ringan) dan yang kedua
hari ke-14 dan 21 dan perbaikan hari ke-24. Mual dan muntah sering (emetogenik sedang)
dan dicegah dengan antiemetik.
20
Gambar 8 : Struktur Metotrexat
5-Fluorouracil
5-Fluorouracil (EfudexR, FluoroplexR, AdrucilR, 5-FU) adalah fluoropirimidin yang
digunakan untuk terapi berbagai keganasan ginekologi baik sebagai obat tunggal atau
bersamaan dengan radiasi sebagai radisensitisizer.
Cara kerja : 5-Fluorouracil awalnya dimetabolisme menjadi nucleotida 5-FTUP, yang
bergabung dengan RNA dan menghambat metabolisme.
Gambar 9. Struktur 5-FU
Gemcitabin
Gemcitabin (GemzarR), Cara kerjanya adalah Gemcitabin merupakan pro-drug (obat yang
belum aktif) yang akan di-di dan tri fosforilasi di sel tumor oleh nucleoside kinases. Bentuk
difosfatnya menghambat ribonucleotide reductase yang akan memblok perubahan dari
ribonucleotide menjadi deoxyribinucleotide kemudian merusak sintesis DNA.
Efek samping Mielosupresi merupakan toksisitas yang tergantung dosis. Leukopenia terjadi
pada hari ke 10-14 dan perbaikan pada hari ke-21. Kurang dari 10% pasien mencapai angka
neutrofil terendah <500. Trombositopenia biasanya tidak begitu berat dan jarang sampai jatuh
dibawah 50.000. Efek samping nonhematologik termasuk makular-papular rash, selulitis,
21
edema perifer, dan sesak nafas. Sindrom seperti flu, termasuk demam, dilaporkan terjadi pada
15-20% pasien. Obat ini memiliki emetogenik sedang.
Gambar 10. Struktur Gemcitabin
3. Topoisomerase inhibitor
Termasuk golongan ini adalah topotecan dan irinotecan (CPT-II merupakan kelas
yang dikenal sebagai camptothecins berasal dari tumbuhan Cina Camptotheca acuminata.
Mekanisme kerjnya unik terlepasi melalui enzim pada sel mamalia yang terlibat di dalam
replikasi DNA, rekombinasi dan transkripsi RNA. Topoisomerase I berikatan dengan DNA
dan melepaskan ikatan fosfodiester menghasilkan DNA rantai tunggal. Topoisomerase I
mengkatalisasi proses reparasi dan religasi dari rantai tunggal dan topoisomerase inhibitor
menghambat proses ligasi. Topotecan dipakai pada keganasan ginekologik, Mempunyai efek
neutropenia. Pemberian topotecan pada kanker ovarium stadium lanjut memberikan response
rate 21% dibandingkan paclitaxel mempunyai response rate 15%.
Gambar 11. Topoimerase Inhibitor
22
Topotecan
Topotecan (HycamptinR) turunan semisintetik dari camptothecin, yang targetnya pada enzim
topoisomerase I. Obat ini aktif pada kanker ovarium. Cara kerja Topotecan menstabilkan
komplek DNA-Topoisomerase, yang menghasilkan pemecahan rantai tunggal DNA dan
kematian sel.
Jadwal standar Topotecan adalah tiap hari selama 5 hari. Pada jadwal ini dosis yang
dianjurkan adalah 1-1,5 mg/m2
Obat ini emetogenik sedang tetapi tidak membutuhkan hidrasi atau premedikasi untuk reaksi
hipersensitifitas yang sangat jarang terjadi. Efek samping utama Topotecan adalah
mielosupresif.
Etoposid
Etoposid (VP-16), satu-satunya turunan epipodophyllotoxin (dihasilkan dari tanaman
mandrake, Podophyllum peltatum) yang ditemukan untuk kanker ginekologi. Obat ini
digunakan dosis tunggal atau kombinasi untuk penyakit trofoblastik gestasional, kanker
ovarium, tumor germ-cell.
Cara kerja Etoposid terjadi karena interaksi topoisomerase II, menghasilkan kompleks DNA-
topoisomerase yang stabil. Hal ini menghancurkan rantai rangkap DNA yang memicu
kematian sel.
Efek samping Mielosupresif (leukopenia > trombositopenia) tergantung dosis dengan
penurunan terendah terjadi 14 hari setelah terapi inisial. Mual dan muntah terjadi pada
sepertiga pasien dan biasanya bisa dikontrol dengan antiemetik. Alopesia terjadi tergantung
dari dosis dan mengenai 60% pasien.
4. Anti Tumor Antibiotics
Antitumor antibiotik seperti anthracyclins dan anthra-cenediones, actinomycin D,
bleomycin dan mitomycin C strukturnya berasal dari fermentasi mikroba merupakan obat
tumor dengan spektrum yang luas. Anthracyclines yang umum dipakai adalah doxorobicin
berisi 4 cincin anthraquinone yang berikatan dengan gula amnion. Mekanisme lain melalui
pembentukkan radikal bebas seperti menghasilkan semi-quinone yang merupakan bentuk
elektron yang tidak berpasangan bereaksi dengan molekul oksigen merusak struktur seluler
termasuk DNA. Efek paling efektif pada fase S dan G2.
Doxorusicin diberikan intravena, diekskresikan melalui empedu. Toksisitas utama
adalah mielosupresi, bersifat alopesia, mual muntah derajat sedang. Toksisitas utama
23
myelisupresi muncul setelah 1-2 minggu pengobatan. Bleomisin mempunyai aktivitas
maksimum pada G2 dan M, dapat diberikan intravena Mitomycin C bersifat non spesifik aktif
pada fase G1 dan S diberikan intravena.
Antrasiklin
Dosis tunggal atau kombinasi dengan obat sitotoksik lain pada siklus 3 mingguan adalah 60-
90 mg/m2 dan 45-60mg/m2.
Pemberian Doksorubicin, seperti antrasiklin yang lain merusak jaringan dan harus diberikan
dengan hati-hati lewat intravena seperti injeksi bolus selama 5-10 menit. Efek samping
Mielosupresif adalah toksisitasnya yang tergantung dosis. Leukopenia terjadi pada hari ke 10-
12 dan perbaikan pada hari ke 21. trombositopenia yang terjadi biasanya tidak parah. Ada 2
bentuk kardiotoksik. Interaksi obat Doksorubicin sangat tidak cocok dengan antivirus dan
obat yang diberikan dengan konsentrasi 2 mg/m2.
Bleomycin
Bleomycin (BlenoxaneR) adalah komplek campuran turunan glycopeptides yang diperoleh
dari streptomyces verticulitis. Satuannya dalam unit bukan miligram.
Cara kerja Bleomycin bekerja jika ada ion-ion logam seperti cobalt, tembaga dan besi yang
menyebabkan pemecahan rantai tunggal DNA. Efeknya kecil pada rantai RNA atau protein.
Efek samping yang penting dari Bleomycin adalah fibrosis paru yang irreversibel, yang
eksaserbasi oleh paparan oksigen tekanan tinggi. Dosis total Bleomycin maksimal sampai
360 unit. Pasien yang di terapi dengan Bleomycin harus dimonitor perubahan DLCO dengan
tes paru serial dan pasien dengan penurunan fungsi paru haru menggunakan terapi lain.
Bleomycin juga mengakibatkan demam (biasanya dalam 24 jam), mukositis, alopesia,
hiperpigmentasi kulit, anoreksia dan mielosupresi.
5. Plant alkaloids
Vinca alkaloids termasuk dalam golongan ini. Vincristine dan vinblastine memiliki
sifat antikanker yang berbeda antara keduanya dan mekanisme kerjanya berhubungan dengan
ikatan tubuh dimer tubulin normalnya, polimer membentuk mikrotubuler pada proses migrasi
kromosom selama mitosis dengan adanya vinca alkaloid tubuh terganggu pada proses
polimerasi. Hasilnya terjadi sitotoksisitas dengan pemberhentian siklus sel pada fase G2 dan
M. Vinblastine mempunyai toksisitas utama myelosupresi. Digunakan terutama pada terapi
24
germ cell tumor. Vincristine walaupun hampir sama namun mempunyai spektrum anti tumor
yang berbeda dengan vinblastine.
Efek samping selain merusak jaringan, alkaloid vinca ini semuanya neurotoksik dan
mielosupresif. Semuanya emetogenik sedang. Secara umum, Vincristine lebih neurotoksik
dan kurang mielosupresif daripada Vinblastin. Neurotoksisitas golongan vinca khas sebagai
neuropati sensoris perifer dan kehilangan refleks tendon dalam yang terjadinya tergantung
dari pajanan. Interaksi obat Alkaloid vinca semuanya adalah zat yang menghambat pompa
MDRI dan dapat dipengaruhi oleh inhibitor MDRI.
Paclitaxel
Merupakan obat sitotoksik yang relatif baru. Paclitaxel dikembangkan pada tahun 80-an
berasal dari ekstrak tumbuhan yang mempunyai aktivitas anti tumor dan mempunyai jumlah
yang sedikit dari spesies Taxus. Paclitaxel dan docetaxel mempunyai mekanisme kerja primer
mengikat mikrotubal dan menghambat depolimerasi dari mikrotubul ke dalam ikatan dimer
tubulin. Efek ini berlawanan dengan ”vinca alkaloid” yang mencegah perakitan mikrotubul.
Melalui perubahan dimer tubuh yang normal mengganggu keseimbangan sejumlah proses di
dalam sel menjadi terganggu, termasuk proses mitosis, Dosis dan jadwal pemberian Berikut
ini adalah beberapa dosis dan jadwal yang digunakan untuk terapi kanker ginekologi :
Kanker ovarium jenis epitel : 50-100 mg oral, tiap hari selama 21 hari dalam siklus 28
hari.
Tumor ovarium tipe germ-cell yang merupakan bagian dari regimen BEP : 100
mg/m2 intravena selama 30 menit, dari hari ke 1-5, diulangi dalam siklus 3 mingguan.
Obat ini diberikan intravena, harus dilarutkan terlebih dahulu dengan konsentrasi tidak
melebihi 0,4 mg/ml dan diberikan infus selama 30-60 manit. Premedikasi antiemetik
dibutuhkan, karena obat ini emetogenik sedang pada karsinoma ovarium dan payudara.
Dikombinasikan dengan platinum dan anthracycliner memberikan hasil yang baik. Pemberian
kombinasi ini juga perlu diperhatikan pemberian cisplatin karena memberikan efek
neutropenia. Pemberian paclitaxel menyebabkan aloposia namun memberikan efek normal
dan muntah yang ringan.
25
H. Penatalaksanaan toksisitas
Toksisitas sumsum tulang
Toksisitas sumsum tulang adalah efek Samping yang paling sering yang berhubungan dengan
sitotoksik obat. Neutropenia adalah manifestasi paling sering dari toksisitas sum-sum tulang
yang timbul 7 – 14 hari setelah pemberian obat pertama kali dan menetap 3 – 10 hari..
Trombositopenia lebih jarang terjadi dibandingkan netropenia namun sering terdapat apabila
dipakai carboplatin.
Alkylating agent (melphalan, carboplatin) dan agen yang merusak DNA lainnya (nitrosurea,
mitomycin C) dapat mempunyai efek jangka panjang kumulatif terhadap sumsum tulang.
Sedangkan obat lainnya seperti Taxane tidak mempunyai toksisitas kumulatif dan dapat
diberikan dalam beberapa siklus tanpa modifikasi dosis.
Alopecia
Alopecia kepala adalah salah satu efek kemoterapi yang paling menguras emosi pasien.
Alopecia pada umumnya bersifat reversibel namun dapat berpertan utama dalam keberhasilan
terapi. Alopecia total sering terjadi akibat obat sejenis doxorubicin dan Paclitaxel, sedangkan
cisplatin, carboplatin, siklofosfamid, vinca alkaloid menyebabkan alopecia sebagian. Pasien
yang diterapi dengan paclitaxel juga kehilangan rambut bulumata, alis, dan rambut tubuh
lainnya. Ada bebagai teknik yang dipakai untuk meminimalisasi alopecia misalnya torniquet
scalp dan Ice caps untuk mengurangi aliran darah pada kepala.
Toksisitas Gastrointestinal
Obat antikanker sering berhubungan dengan nausea, vomiting, anoreksia. Terdapat 3 kategori
utama nausea dan vomiting : anticipatory, yang timbul sebelum pemberian kemoterapi, acute-
onset, yang dimulai dalam 1 jam pemberian kemoterapi dan menetap minimal 24 jam, delay,
yang dimulai lebih dari 1 hari setelah pemberian kemoterapi dan menetap untuk beberapa
hari. Nause dan vomiting ringan dapat diterapi dengan antihistamin H1 (Diphenhydramine),
Phenotiazine (proclorperazine atau thiethylperazine), butyrophenones (haloperidol), steroid
(dexamethason atau methyl prednisolone), Benzodiazepine (lorazepam), benzamide
(metoclopramide). Untuk obat yang mempunyai efek emetik berat misalnya cisplatin,
carboplatin, cyclophopsphamide, dactinomycin diperlukan obat profilatik yang lebih kuat.
26
Toksisitas genitourinaria
Toksisitas pada ginjal sering ditemukan akibat pemberian cisplatin meskipun hanya sedikit
cisplatin yang melalui ekskresi ginjal. Sebaliknya carboplatin yang sebagian besar diekskresi
melalui ginjal hanya mempunyai risiko toksisitas yang kecil. Jadi penggantian cisplatin
dengan carboplatin dimana dosis cisplatin secara keseluruhan dikurangi dapat menurunkan
nefrotoksisitas akibat cis platin. Oleh karena itu pasien harus dimonitoring status hidrasi dan
output urin sebelum, selama dan segera setelah terapi. Efek samping yang lain adalah sistitis
hemoragik yang dapat diakibatkan oleh siklofosfamid atau ifosfamid. Komplikasi ini dapat
dicegah dengan mempertahankan output urin yang banyak sehingga mengurangi paparan
urotelial secara keseluruhan dari metabolit toksik.
27
DAFTAR PUSTAKA
1. Saleh AZ. Kemoterapi. Dalam : Aziz MF, Andrijono, Saifuddin AB (Editor). Buku
Acuan Nasional Onkologi Ginekologi. Edisi pertama, Cetakan pertama. Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta, 2006 : 414-431.
2. Bookman MA. Principles of chemotherapy in gynecologic cancer. In: Hoskin WJ,
Young RC, Markman M, eds. Principles and Practice of Gynecologic Oncology. 4th
ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2005:p.461-483
3. Markman M. Chemotherapy. In: Bereck JS, Hacker NF.Practical Gynecologic
Oncology. 5th
ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2010. p.58-79 .
4. Ewesuedo RB, Ratain MJ. Principles of cancer chemotherapy. In: Vokes EE, Golomb
HM, eds. Oncologic Therapies. Berlin : Springer. 2003: p.19 – 66.
5. Quinn JE,Carser JE, James CR, Kennedy RD, Harkin DP. BRCA1 and implications
for response to chemotherapy in ovarian cancer. Gynecologic Oncology 113 (2009)
134–142.