presus obsgin fix

Upload: agung-nugroho

Post on 31-Oct-2015

134 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

Perdarahan Post Partum dan Atonia Uteri

Perdarahan Post Partum adalah perdarahan lebih dari 500-600 cc dalam 24 jam setelah anak dan plasenta lahir. Pada kasus perdarahan terutama perdarahan post partum, Banyak faktor potensial yang dapat menyebabkan perdarahan postpartum, faktor-faktor yang menyebabkan perdarahan postpartum adalah atonia uteri, perlukaan jalan lahir, retensio plasenta, sisa plasenta dan kelainan pembekuan darah 1.

Faktor Tissue meliputi 1:

a. Retensio plasenta

b. Sisa plasenta

c. Plasenta acreta dan variasinya.

Apabila plasenta belum lahir setengah jam setelah janin lahir, hal itu dinamakan retensio plasenta. Hal ini bisa disebabkan karena : plasenta belum lepas dari dinding uterus atau plasenta sudah lepas akan tetapi belum dilahirkan. Jika plasenta belum lepas sama sekali, tidak terjadi perarahan, tapi apabila terlepas sebagian maka akan terjadi perdarahan yang merupakan indikasi untuk mengeluarkannya 1.

Plasenta belum lepas dari dinding uterus karena 2:

- kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta ( plasenta

adhesiva )- Plasenta melekat erat pada dinding uterus oleh sebab vilis komalis

menembus desidva sampai miometrium sampai dibawah peritoneum

( plasenta akreta perkreta )

Plasenta yang sudah lepas dari dinding uterus akan tetapi belum keluar disebabkan oleh tidak adanya usaha untuk melahirkan atau karena salah penanganan kala III. Sehingga terjadi lingkaran konstriksi pada bagian bawah uterus yang menghalangi keluarnya plasenta (inkarserasio plasenta). Sisa plasenta yang tertinggal merupakan penyebab 20-25 % dari kasus perdarahan postpartum. Penemuan Ultrasonografi adanya masa uterus yang echogenic mendukung diagnosa retensio sisa plasenta. Hal ini bisa digunakan jika perdarahan beberapa jam setelah persalinan ataupun pada late postpartum hemorraghe. Apabila didapatkan cavum uteri kosong tidak perlu dilakukan dilatasi dan curettage 2.

Sekitar 20% kasus hemorraghe postpartum disebabkan oleh trauma jalan lahir yaitu2 :a. Ruptur uterus

b. Inversi uterus

c. Perlukaan jalan lahir

d. Vaginal hematom

Ruptur spontan uterus jarang terjadi, faktor resiko yang bisa menyebabkan antara lain grande multipara, malpresentasi, riwayat operasi uterus sebelumnya, dan persalinan dengan induksi oxytosin. Repture uterus sering terjadi akibat jaringan parut section secarea sebelumnya. Laserasi dapat mengenai uterus, cervix, vagina, atau vulva, dan biasanya terjadi karena persalinan secara operasi ataupun persalinan pervaginam dengan bayi besar, terminasi kehamilan dengan vacuum atau forcep, walau begitu laserasi bisa terjadi pada sembarang persalinan. Laserasi pembuluh darah dibawah mukosa vagina dan vulva akan menyebabkan hematom, perdarahan akan tersamarkan dan dapat menjadi berbahaya karena tidak akan terdeteksi selama beberapa jam dan bisa menyebabkan terjadinya syok.Episiotomi dapat menyebabkan perdarahan yang berlebihan jika mengenai arteri atau vena yang besar, jika episitomi luas, jika ada penundaan antara episitomi dan persalinan, atau jika ada penundaan antara persalinan dan perbaikan episitomi. Perdarahan yang terus terjadi (terutama merah menyala) dan kontraksi uterus baik akan mengarah pada perdarahan dari laserasi ataupun episitomi. Ketika laserasi cervix atau vagina diketahui sebagai penyebab perdarahan maka repair adalah solusi terbaik. Pada inversion uteri bagian atas uterus memasuki kovum uteri, sehingga fundus uteri sebelah dalam menonjol kedalam kavum uteri. Peristiwa ini terjadi tiba-tiba dalam kala III atau segera setelah plasenta keluar. Inversio uteri dapat dibagi 2,3:

- Fundus uteri menonjol kedalam kavum uteri tetapi belum keluar dari

ruang tersebut.

- Korpus uteri yang terbalik sudah masuk kedalam vagina.

- Uterus dengan vagina semuanya terbalik, untuk sebagian besar terletak

diluar vagina.

Tindakan yang dapat menyebabkan inversion uteri ialah perasat crede pada korpus uteri yang tidak berkontraksi baik dan tarikan pada tali pusat dengan plasenta yang belum lepas dari dinding uterus. Pada penderita dengan syok perdarahan dan fundus uteri tidak ditemukan pada tempat yang lazim pada kala III atau setelah persalinan selesai. Pemeriksaan dalam dapat menunjukkan tumor yang lunak diatas servix uteri atau dalam vagina. Kelainan tersebut dapat menyebabkan keadaan gawat dengan angka kematian tinggi ( 15 70 % ). Reposisi secepat mungkin memberi harapan yang terbaik untuk keselamatan penderita 3.

Gejala-gejala kelainan pembekuan darah bisa berupa penyakit keturunan ataupun didapat, kelainan pembekuan darah bisa berupa 1,2 :

Hipofibrinogenemia,

Trombocitopeni,

Idiopathic thrombocytopenic purpura,

HELLP syndrome ( hemolysis, elevated liver enzymes, and low

platelet count ),

Disseminated Intravaskuler Coagulation,

Dilutional coagulopathy bisa terjadi pada transfusi darah lebih dari 8 unit karena darah donor biasanya tidak fresh sehingga komponen fibrin dan trombosit sudah rusak.Atonia Uteri menjadi penyebab lebih dari 90% perdarahan pasca persalinan yang terjadi dalam 24 jam setelah kelahiran bayi. Atonia Uteri adalah suatu kondisi dimana Myometrium tidak dapat berkontraksi dan bila ini terjadi maka darah yang keluar dari bekas tempat melekatnya plasenta menjadi tidak terkendali. Beberapa faktor Predisposisi yang terkait dengan perdarahan pasca persalinan yang disebabkan oleh Atonia Uteri, diantaranya adalah 3 :

1. Yang menyebabkan uterus membesar lebih dari normal selama kehamilan, diantaranya :

Jumlah air ketuban yang berlebihan (Polihidramnion)

Kehamilan gemelli

Janin besar (makrosomia)

2. Kala satu atau kala 2 memanjang

3. Persalinan cepat (partus presipitatus)

4. Persalinan yang diinduksi atau dipercepat dengan oksitosin

5. Infeksi intrapartum

6. Multiparitas tinggi

7. Magnesium sulfat digunakan untuk mengendalikan kejang pada pre eklamsi / eklamsia.Overdistensi uterus, baik absolut maupun relatif, merupakan faktor resiko mayor terjadinya atonia uteri. Overdistensi uterus dapat disebabkan oleh kehamilan ganda, janin makrosomia, polihidramnion atau abnormalitas janin (misal hidrosefalus berat), kelainan struktur uterus atau kegagalan untuk melahirkan plasenta atau distensi akibat akumulasi darah di uterus baik sebelum maupun sesudah plasenta lahir.

Lemahnya kontraksi miometrium merupakan akibat dari kelelahan karena persalinan lama atau persalinan dengan tenaga besar, terutama bila mendapatkan stimulasi. Hal ini dapat pula terjadi sebagai akibat dari inhibisi kontraksi yang disebabkan oleh obat-obatan, seperti agen anestesi terhalogenisasi, nitrat, obat-obat antiinflamasi nonsteroid, magnesium sulfat, beta-simpatomimetik dan nifedipin. Penyebab lain yaitu plasenta letak rendah, toksin bakteri (korioamnionitis, endomiometritis, septikemia), hipoksia akibat hipoperfusi atau uterus couvelaire pada abruptio plasenta dan hipotermia akibat resusitasi masif. Data terbaru menyebutkan bahwa grandemultiparitas bukan merupakan faktor resiko independen untuk terjadinya perdarahan post partum

Atonia Uteri juga dapat timbul karena salah penanganan kala III persalinan, dengan memijat uterus dan mendorongnya ke bawah dalam usaha melahirkan plasenta, sedang sebenarnya belum terlepas dari uterus.

Faktor predisposisi terjadinya Atonia Uteri adalah 3 :

1. Umur : umur yang terlalu muda atau tua

2. Paritas : sering dijumpai pada multipara dan grademultipara

3. Obstetri operatif dan narkosa

4. Uterus terlalu diregang dan besar, pada gemeli, hidramnion, atau janin besar

5. Kelainan pada uterus seperti mioma uteri

6. Faktor sosio ekonomi yaitu mal nutrisi

Gejala klinik dari atonia uteri meliputi 3 : Perdarahan pervaginam masif

Konstraksi uterus lemah

Anemia

Konsistensi rahim lunak

Diagnosis dari atonia uteri meliputi 3 :

Bila setelah bayi dan plasenta lahir ternyata perdarahan masih aktif dan banyak, bergumpal

Pada palpasi didapatkan fundus uteri masih setinggi pusat atau lebih

Konstraksi yang lembek.

Perlu diperhatikan pada saat atonia uteri didiagnosis, maka pada saat itu juga masih ada darah sebanyak 500-1000 cc yang sudah keluar dari pembuluh darah, tetapi masih terperangkap dalam uterus dan harus diperhitungkan dalam kalkulasi pemberian darah pengganti.

Pemberian oksitosin rutin pada kala III dapat mengurangi risiko perdarahan pospartum lebih dari 40%, dan juga dapat mengurangi kebutuhan obat tersebut sebagai terapi. Manajemen aktif kala III dapat mengurangi jumlah perdarahan dalam persalinan, anemia, dan kebutuhan transfusi darah 3.

Kegunaan utama oksitosin sebagai pencegahan atonia uteri yaitu onsetnya yang cepat, dan tidak menyebabkan kenaikan tekanan darah atau kontraksi tetani seperti ergometrin.Pemberian oksitosin paling bermanfaat untuk mencegah atonia uteri. Pada manajemen kala III harus dilakukan pemberian oksitosin setelah bayi lahir. Aktif protokol yaitu pemberian 10 unit IM, 5 unit IV bonus atau 10-20 unit per liter IV drip 100-150 cc/jam 3.Manajemen Atonia Uteri meliputi 3 :1. Resusitasi

Apabila terjadi perdarahan pospartum banyak, maka penanganan awal yaitu resusitasi dengan oksigenasi dan pemberian cairan cepat, monitoring tanda-tanda vital, monitoring jumlah urin, dan monitoring saturasi oksigen. Pemeriksaan golongan darah dan crossmatch perlu dilakukan untuk persiapan transfusi darah.

2. Masase dan kompresi bimanual

Masase dan kompresi bimanual akan menstimulasi kontraksi uterus yang akan menghentikan perdarahan. Pemijatan fundus uteri segera setelah lahirnya plasenta (max 15 detik)a. Jika uterus berkontraksi

Evaluasi, jika uterus berkontraksi tapi perdarahan uterus berlangsung, periksa apakah perineum / vagina dan serviks mengalami laserasi dan jahit atau rujuk segera

b. Jika uterus tidak berkontraksi maka :Bersihkanlah bekuan darah atau selaput ketuban dari vagina & lobang serviksPastikan bahwa kandung kemih telah kosongLakukan kompresi bimanual internal (KBI) selama 5 menit.

1) Jika uterus berkontraksi, teruskan KBI selama 2 menit, keluarkan tangan perlahan-lahan dan pantau kala empat dengan ketat.(2) Jika uterus tidak berkontraksi, maka : Anjurkan keluarga untuk mulai melakukan kompresi bimanual eksternal; Keluarkan tangan perlahan-lahan; Berikan ergometrin 0,2 mg LM (jangan diberikan jika hipertensi); Pasang infus menggunakan jarum ukuran 16 atau 18 dan berikan 500 ml RL + 20 unit oksitosin. Habiskan 500 ml pertama secepat mungkin; Ulangi KBI

Jika uterus berkontraksi, pantau ibu dengan seksama selama kala empat

Jika uterus tidak berkontraksi maka rujuk segera3. Uterotonika

Oksitosin merupakan hormon sintetik yang diproduksi oleh lobus posterior hipofisis. Obat ini menimbulkan kontraksi uterus yang efeknya meningkat seiring dengan meningkatnya umur kehamilan dan timbulnya reseptor oksitosin. Pada dosis rendah oksitosin menguatkan kontraksi dan meningkatkan frekwensi, tetapi pada dosis tinggi menyebabkan tetani. Oksitosin dapat diberikan secara IM atau IV, untuk perdarahan aktif diberikan lewat infus dengan ringer laktat 20 IU perliter, jika sirkulasi kolaps bisa diberikan oksitosin 10 IU intramiometrikal (IMM). Efek samping pemberian oksitosin sangat sedikit ditemukan yaitu nausea dan vomitus, efek samping lain yaitu intoksikasi cairan jarang ditemukan.

Metilergonovin maleat merupakan golongan ergot alkaloid yang dapat menyebabkan tetani uteri setelah 5 menit pemberian IM. Dapat diberikan secara IM 0,25 mg, dapat diulang setiap 5 menit sampai dosis maksimum 1,25 mg, dapat juga diberikan langsung pada miometrium jika diperlukan (IMM) atau IV bolus 0,125 mg. obat ini dikenal dapat menyebabkan vasospasme perifer dan hipertensi, dapat juga menimbulkan nausea dan vomitus. Obat ini tidak boleh diberikan pada pasien dengan hipertensi.

Uterotonika prostaglandin merupakan sintetik analog 15 metil prostaglandin F2alfa.Dapat diberikan secara intramiometrikal, intraservikal, transvaginal, intravenous, intramuscular, dan rectal. Pemberian secara IM atau IMM 0,25 mg, yang dapat diulang setiap 15 menit sampai dosis maksimum 2 mg. Pemberian secara rektal dapat dipakai untuk mengatasi perdarahan pospartum (5 tablet 200 g = 1 g). Prostaglandin ini merupakan uterotonika yang efektif tetapi dapat menimbulkan efek samping prostaglandin seperti: nausea, vomitus, diare, sakit kepala, hipertensi dan bronkospasme yang disebabkan kontraksi otot halus, bekerja juga pada sistem termoregulasi sentral, sehingga kadang-kadang menyebabkan muka kemerahan, berkeringat, dan gelisah yang disebabkan peningkatan basal temperatur, hal ini menyebabkan penurunan saturasi oksigen. Uterotonika ini tidak boleh diberikan pada pasien dengan kelainan kardiovaskular, pulmonal, dan disfungsi hepatik. Efek samping serius penggunaannya jarang ditemukan dan sebagian besar dapat hilang sendiri. Dari beberapa laporan kasus penggunaan prostaglandin efektif untuk mengatasi perdarahan persisten yang disebabkan atonia uteri dengan angka kesuksesan 84%-96%. Perdarahan pospartum dini sebagian besar disebabkan oleh atonia uteri maka perlu dipertimbangkan penggunaan uterotonika ini untuk mengatasi perdarahan masif yang terjadi.4. Uterine lavage dan Uterine Packing

Jika uterotonika gagal menghentikan perdarahan, pemberian air panas ke dalam cavum uteri mungkin dapat bermanfaat untuk mengatasi atonia uteri.Pemberian 1-2 liter salin 47C-50C langsung ke dalam cavum uteri menggunakan pipa infus. Tangan operator tidak boleh menghalangi vagina untuk memberi jalan salin keluar.Penggunaan uterine packing saat ini tidak disukai dan masih kontroversial.Efeknya adalah hiperdistended uterus dan sebagai tampon uterus.

Prinsipnya adalah membuat distensi maksimum sehingga memberikan tekanan maksimum pada dinding uterus. Segmen bawah rahim harus terisi sekuat mungkin, anestesi dibutuhkan dalam penanganan ini dan antibiotika broad-spectrum harus diberikan. Uterine packing dipasang selama 24-36 jam, sambil memberikan resusitasi cairan dan transfusi darah masuk. Uterine packing diberikan jika tidak tersedia fasilitas operasi atau kondisi pasien tidak memungkinkan dilakukan operasi.

5. Operatif

Beberapa penelitian tentang ligasi arteri uterina menghasilkan angka keberhasilan 80-90%. Pada teknik ini dilakukan ligasi arteri uterina yang berjalan disamping uterus setinggi batas atas segmen bawah rahim. Jika dilakukan SC, ligasi dilakukan 2-3 cm dibawah irisan segmen bawah rahim. Untuk melakukan ini diperlukan jarum atraumatik yang besar dan benang absorbable yang sesuai. Arteri dan vena uterina diligasi dengan melewatkan jarum 2-3 cm medial vasa uterina, masuk ke miometrium keluar di bagian avaskular ligamentum latum lateral vasa uterina. Saat melakukan ligasi hindari rusaknya vasa uterina dan ligasi harus mengenai cabang asenden arteri miometrium, untuk itu penting untuk menyertakan 2-3 cm miometrium. Jahitan kedua dapat dilakukan jika langkah diatas tidak efektif dan jika terjadi perdarahan pada segmen bawah rahim. Dengan menyisihkan vesika urinaria, ligasi kedua dilakukan bilateral pada vasa uterina bagian bawah, 3-4 cm dibawah ligasi vasa uterina atas. Ligasi ini harus mengenai sebagian besar cabang arteri uterina pada segmen bawah rahim dan cabang arteri uterina yang menuju ke servik, jika perdarahan masih terus berlangsung perlu dilakukan bilateral atau unilateral ligasi vasa ovarian.

Ligasi arteri Iliaka Interna

Identifikasi bifurkasiol arteri iliaka, tempat ureter menyilang, untuk melakukannya harus dilakukan insisi 5-8 cm pada peritoneum lateral paralel dengan garis ureter. Setelah peritoneum dibuka, ureter ditarik ke medial kemudian dilakukan ligasi arteri 2,5 cm distal bifurkasio iliaka interna dan eksterna. Klem dilewatkan dibelakang arteri, dan dengan menggunakan benang non absobable dilakukan dua ligasi bebas berjarak 1,5-2 cm. Hindari trauma pada vena iliaka interna. Identifikasi denyut arteri iliaka eksterna dan femoralis harus dilakukan sebelum dan sesudah ligasi.

Risiko ligasi arteri iliaka adalah trauma vena iliaka yang dapat menyebabkan perdarahan. Dalam melakukan tindakan ini dokter harus mempertimbangkan waktu dan kondisi pasien.

Teknik B-Lynch

Teknik B-Lynch dikenal juga dengan brace suture, ditemukan oleh Christopher B Lynch 1997, sebagai tindakan operatif alternative untuk mengatasi perdarahan pospartum akibat atonia uteri. Histerektomi

Histerektomi peripartum merupakan tindakan yang sering dilakukan jika terjadi perdarahan pospartum masif yang membutuhkan tindakan operatif. Insidensi mencapai 7-13 per 10.000 kelahiran, dan lebih banyak terjadi pada persalinan abdominal dibandingkan vaginal.

Histerektomi pada Perdarahan Post PartumHisterektomi sering digunakan sebagai pengobatan definitif untuk perdarahan post partum dengan indikasi atoni uterus dan plasenta akreta. Angka kejadian peripartum histerektomi diperkirakan sebesar 0,8 per 1000 kelahiran. Histerektomi tidak boleh ditunda pada pasien yang perdarahan terus menerus, jika telah dilakukan intervensi alternatif namun gagal. Kontrol perdarahan uterus sangat penting untuk menurunkan angka morbiditas dan mencegah kematian karena perdarahan yang terus menerus dapat menimbulkan DIC. Teknik operasi dan persiapan histerektomi tergantung pada waktu dan indikasi tindakan. Histerektomi peripartum menjadi operasi yang menantang secara teknik. Hal ini dikarenakan ukuran rahim dan pembuluh darah yang besar serta edema jaringan uterus. Persiapan preoperatif antara lain protokol standar, ketersediaan staf terlatih, dan akses langsung ke peralatan merupakan hal yang penting untuk meminimalkan morbiditas. Komplikasi histerektomi antara lain infeksi daerah operasi, cedera vesica urinaria dan traktus urinaris, lebih lanjut perdarahan intra-abdomen dan cedera organ lainnya.

Ada 2 jenis histerektomi yaitu histerektomi subtotal (supravaginal) dan histerektomi total. Pada histerektomi subtotal pengangkatan dilakukan namun segmen bawah rahim tidak diangkat sedangkan pada total histerektomi pengangkatan seluruhnya hingga portio servix uteri. Total histerektomi dianggap lebih baik dalam kasus ini walaupun subtotal histerektomi lebih mudah dilakukan, hal ini disebabkan subtotal histerektomi tidak begitu efektif menghentikan perdarahan apabila berasal dari segmen bawah rahim, servix, dan fornix vagina.9

Syok Hipovolemik

Definisi

Syok hipovolemik merupakan suatu keadaan di mana terjadi kehilangan cairan tubuh dengan cepat sehingga dapat terjadi multiple organ failure akibat perfusi yang tidak adekuat. Syok hipovolemik ini paling sering timbul setelah terjadi perdarahan hebat (syok hemoragik) 4.

PatofisiologiTubuh manusia mempunyai respon terhadap perdarahan akut dengan cara mengaktifkan empat sistem mayor fisiologi tubuh yaitu sistem hematologi, sistem kardiovaskular, sistem renal dan sistem neuroendokrin. Sistem hematologi berespon terhadap perdarahan hebat yang terjadi secara akut dengan mengaktifkan kaskade pembekuan darah dan mengkonstriksikan pembuluh darah (dengan melepaskan thromboxane A2 lokal) dan membentuk sumbatan immatur pada sumber perdarahan. Pembuluh darah yang rusak akan memperbaiki lapisan kolagennya, yang secara subsekuen akan menyebabkan deposisi fibrin dan stabilisasi dari sumbatan yang dibentuk. Kurang lebih 24 jam diperlukan untuk pembentukan sumbatan fibrin yang sempurna dan formasi yang matur 4.Sistem kardiovaskular awalnya berespon kepada syok hipovolemik dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas miokard, dan mengkonstriksikan pembuluh darah jantung. Respon ini timbul akibat peningkatan pelepasan norepinefrin dan penurunan tonus vagus (yang diregulasikan oleh baroreseptor yang terdapat pada arkus karotid, arkus aorta, atrium kiri dan pembuluh darah paru). Sistem kardiovaskular juga merespon dengan mendistribusikan darah ke otak, jantung, dan ginjal dan membawa darah dari kulit, otot, dan GI 4.

Sistem urogenital (ginjal) merespon dengan stimulasi yang meningkatkan pelepasan renin dari apparatus justaglomerular. Dari pelepasan renin kemudian diproses terjadi pembentukan angiotensin II yang memiliki 2 efek utama yaitu memvasokontriksikan pembuluh darah dan menstimulasi sekresi aldosterone pada kortex adrenal. Adrenal bertanggung jawab pada reabsorpsi sodium secra aktif dan konservasi air.Sistem neuroendokrin merespon syok hemoragik dengan meningkatkan sekresi ADH. ADH dilepaskan dari hipothalmus posterior yang merespon pada penurunan tekanan darah dan penurunan pada konsentrasi sodium. ADH secara langsung meningkatkan reabsorsi air dan garam (NaCl) pada tubulus distal 4.

Manifestasi klinisGejala syok hipovolemik cukup bervariasi, tergantung pada usia, kondisi premorbid, besarnya volume cairan yang hilang, dan lamanya berlangsung. Kecepatan kehilangan cairan tubuh merupakan faktor kritis respon kompensasi. Pasien muda dapat dengan mudah mengkompensasi kehilangan cairan dengan jumlah sedang vasokontriksinya dan takikardia. Kehilangan volume yang cukup besar dalam waktu lambat, meskipun terjadi pada pasien usia lanjut, masih dapat ditolerir juga dibandingkan kehilangan dalam waktu yang cepat atau singkat. Apabila syok talah terjadi, tanda-tandanya akan jelas. Pada keadaan hipovolemia, penurunan darah lebih dari 15 mmHg dan tidak segera kembali dalam beberapa menit 4,5. Tanda-tanda syok adalah 4:1. Kulit dingin, pucat, dan vena kulit kolaps akibat penurunan pengisian kapiler selalu berkaitan dengan berkurangnya perfusi jaringan.2. Takhikardi: peningkatan laju jantung dan kontraktilitas adalah respon homeostasis penting untuk hipovolemia. Peningkatan kecepatan aliran darah ke homeostasis penting untuk hopovolemia.peningkatan kecepatan aliran darah ke mikrosirkulasi berfungsi mengurangi asidosis jaringan.3. Hipotensi: karena tekanan darah adalah produk resistensi pembuluh darah sistemik dan curah jantung, vasokontriksi perifer adalah faktor yang esensial dalam mempertahankan tekanan darah. Autoregulasi aliran darah otak dapat dipertahankan selama tekanan arteri turun tidak dibawah 70 mmHg.4. Oliguria: produksi urin umumnya akan berkurang pada syok hipovolemik. Oliguria pada orang dewasa terjadi jika jumlah urin kurang dari 30ml/jam.

Penatalaksanaan 4,5

a. Pastikan jalan nafas pasien dan nafas dan sirkulasi dipertahankan. Beri bantuan ventilator tambahan sesuai kebutuhan.b. Perbaiki volume darah sirkulasi dengan penggantian cairan dan darah cepat sesuai ketentuan untuk mengoptimalkan preload jantung, memperbaiki hipotensi, dan mempertahankan perfusi jaringan.1) Kateter tekan vena sentra dimasukkan dalam atau didekat atrium kanan untuk bertindak sebagai petunjuk penggantian cairan. Pembacaan tekanan vena sentral kontinu (CVP) memberi petunjuk dan derajat perubahan dari pembacaan data dasar; kateter juga sebagai alat untuk penggantian volume cairan darurat.2) Jarum atau kateter IV diameter besar dimasukkan kedalam vena perifer. Dua atau lebih kateter mungkin perlu untuk penggantiaqn cairan cepat dan pengembalian ketidakstabilan hemodinamik; penekanan pada penggantian volume.a) Buat jalur IV diameter besar dimasukkan ke vena periver. Dua atau lebih kateter mungkin perlu untuk penggantian cairan cepat dan pengembalian ketidakstabilan hemodinamik; penekanan pada penggantian volume.b) Ambil darah untuk spesimen; garis darah arteri, pemeriksaan kimia, golongan darah dan pencocokan silang, dan hemtokrit.c) Mulai infus IV dengan cepat sampai CVP meningkat pada tingkat pada tingkat yang memuaskan diatas pengukuran dasar atau sampai terdapat perbaikan pada kondisi klinis pasien.

3) Infus larutan Ringer Laktat digunakan pada awal penanganan karena cairan ini mendekati komposisi elektrolit plasma, begitu juga dengan osmolalitasnya, sediakan waktu untuk pemeriksaan golongan darah dan pencocockan silang, perbaiki sirkulasi, dan bertindak sebgai tambahan terapi komponen darah.4) Mulai tranfusi terapi komponen darah sesuai program, khususnya saat kehilangan darah telah parah atau pasien terus mengalami hemoragi.5) Kontrol hemoragi; hemoragi menyertai status syok. Lakukan pemeriksaan hematokrit sering bila dicurigai berlanjutnya perdarahan6) Pertahankan tekanan darah sistolik pada tingkat yang memuaskan dengan memberi cairan dan darah sesuai ketentuan.c. Pasang kateter urine tidak menetap: catat haluaran urine setiap 15-30 menit, volume urine menunjukkan keadekuatan perfusi ginjal.d. Lakukan pemeriksaan fisik cepat untuk menentukan penyebab syok.e. Pertahankan surveilens keperawatan terus menerus terhadap pasien total-tekanan darah, denyut jantung, pernafasan, suhu kulit, warna, CVP, EKG, hematokrit, Hb, gambaran koagulasi, elektrolit, haluaran urine-untuk mengkaji respon pasien terhadap tindakan. Pertahankan lembar alur tentang parameter ini; analisis kecenderungan menytakan perbaikan atau pentimpangan pasien.f. Tinggikan kaki sedikit untuk memperbaiki sirkulasi serebral lebih baik dan mendorong aliran darah vena kembali kejantung (posisi ini kontraindikasi pada pasien dengan cidera kepala). Hindarkan gejala yang tidak perlu.g. Berikan obat khusus yang telah diresepkan (misalnya inotropik seperti dopamen) untuk meningkatkan kerja kardiovaskuler.h. Dukung mekanisme defensiv tubuh1) Tenangkan dan nyamankan pasien: sedasi mungkin perlu untuk menghilangkan rasa khawatir.2) Hilangkan nyeri dengan kewaspadaan penggunaan analgesik atau narkotik.3) Pertahankan suhu tubuhKomplikasi syok hipovolemik meliputi :

1. Nekrosis tubuler akut

2. ARDS

3. DIC

4. HipotermiaKeberhasilan terapi :

Tekanan cvp 3-8 cm H2O

Produksi urin 0,5 ml/kg bb/jam

Kesadaran membaik

Perfusi jaringan meningkat

Curah jantung meningkat > 3,5 L/mDisseminated Intravascular CoagulationDefinisi

Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) adalah suatu keadaan dimana bekuan-bekuan darah kecil tersebar di seluruh aliran darah, menyebabkan penyumbatan pada pembuluh darah kecil dan berkurangnya faktor pembekuan yang diperlukan untuk mengendalikan perdarahan 6.Penyebab

Keadaan ini diawali dengan pembekuan darah yang berlebihan, yang biasanya dirangsang oleh suatu zat racun di dalam darah.. Karena jumlah faktor pembekuan berkurang, maka terjadi perdarahan yang berlebihan. Orang-orang yang memiliki resiko paling tinggi untuk menderita DIC 6 :

1. Wanita yang telah menjalani pembedahan kandungan atau persalinan disertai komplikasi, dimana jaringan rahim masuk ke dalam aliran darah atau terlepasnya tissue factor/material tromboplastik ke dalam sirkulasi.

2. Penderita infeksi berat, dimana bakteri melepaskan endotoksin (suatu zat yang menyebabkan terjadinya aktivasi pembekuan)

3. Penderita leukemia tertentu atau penderita kanker lambung, pankreas maupun prostat.

Etiologi DIC dari sumber yang lain menyebutkan 7 :

1. Komplikai Obstetri

Olusio plasenta, janin mati yang tertinggal di dalam uterus, aborsi septik, emboli cairan amnion dan toxemia.

2. Infeksi

Sepsis gram negatif, meningococemia, histoplasmosis, aspergillosis dan malaria

3. Neoplasma

Karsinoma pankreas, prostat, paru-paru dan lambung serta leukemia

4. Cedera jaringan yang masif

Trauma, luka bakar dan operasi yang luas

5. Miscellaneous

Hemolisis intravaskuler yang akut, gigitan ular, syok, aneurisma aorta, hoat troke dan liver disease.

Gejala

DIC biasanya muncul tiba-tiba dan bisa bersifat sangat berat. Jika keadaan ini terjadi setelah pembedahan atau persalinan, maka permukaan sayatan atau jaringan yang robek bisa mengalami perdarahan hebat dan tidak terkendali. Perdarahan bisa menetap di daerah tempat penyuntikan atau tusukan; perdarahan masif bisa terjadi di dalam otak, saluran pencernaan, kulit, otot dan rongga tubuh. Bekuan darah di dalam pembuluh darah yang kecil bisa merusak ginjal (kadang sifatnya menetap) sehingga tidak terbentuk air kemih 6.

Patofisiologi

Mekanisme yang menyebabkan DIC sebenarnya merupakan proses fisiologis seperti yang terjadi pada keadaan normal, tetapi pada keadaan ini produk-produk yang dihasilkan, abnormal dan tidak seimbang. Kaskade pembekuan dapat diaktivasi ke arah pembentukan fibrin bila zat-zat dengan aktivitas tromboplastin masuk kedalam sirkulasi. Hal ini antara lain terjadi bila permukaan endotel mengalami cedera yang luas, bila faktor-faktor pembekuan yang teraktivasi atau thrombosit yang saling melekat menumpuk. Selain hal diatas dapat pula terjadi bila ada perubahan sirkulasi darah sistemik, atau perubahan keseimbangan asam basa. Setelah terjadi pembentukan fibrin dimana-mana, berlangsung suatu proses yang tiada akhirnya, menyerupai lingkaran setan. Faktor-faktor pembekuan dikonsumsi, thrombosit diaktivasi dan terperangkap, fibrinolisis dirangsang. Fibrinolisis berlangsung serentak dengan koagulasi yang menimbulkan fibrin degradation products yang dapat ditemukan dalam serum dan urine. Adanya produk degradasi fibrin / fibrinolisis (FDP) menghambat agregasi thrombosit, maupun reaksi penglepasan. Hati yang normal membersihkan FDP yang terbentuk akibat trauma-trauma kecil dan perbaikan luka yang terjadi sehari-hari dari sirkulasi. Pada penyakit hati yang berat fungsi thrombosit menjadi abnormal dan akibat ketidakmampuan hati untuk membersihkan FDP, gangguan fungsi thrombosit menjadi bertambah berat. Tanpa adanya kontrol dan keseimbangan yang mengatur thrombin dan plasmin, kedua jenis enzim proteolitik ini dengan mudah menghancurkan faktor-faktor pembekuan seperti faktor VIII, V, fibrinogen dan thrombosit. Padahal pada proses pembekuan yang normal, faktor-faktor ini dapat mengatasi aktivitas proteolitik kedua enzim tersebut 7.

Gambar 2.1. Patofisiologi DICDiagnosis Laboraterium

Pada penentuan test koagulasi darah tidak dijumpai bekuan. Kadar faktor, fibrinogen dan faktor II, V dan VIII berkurang atau bahkan rendah, hitung trombosit mungkin rendah atau normal tergantung penyebab dan beratnya penyakit. Masa trombin memanjang, aPTT tidak normal, dan PPT juga tidak normal. Titer fibrinogen rendah atau sedikit. Penderita dengan pengobatan menggunakan heparin akan memperpanjang aPTT dan PPT 7.

Penatalaksanaan dan Pengobatan 6,7Tujuan pengobatan sistemik untuk menaikkan kadar faktor pembekuan yang defisien sampai tingkat hemostatik. Ini tidak hanya diatur oleh wakti paruh biologik dari faktor pembekuan dan kadar hemostatik minimum yang diperlukan, keduanya berbeda untuk tiap faktor pembekuan, tetapi juga oleh keadaan klinik si penderita dan respons terhadap pengobatan.

Dalam menilai hasil pengobatan dengan bahan-bahan pengganti, harus diingat bahwa setelah infus komponen plasma atau derivatnya dalam prosentasi tertentu dari komponen disalurkan kedaerah vaskuler atau ekstravaskuler, ini mengakibatkan kadar faktor-faktor pembekuan tertentu dalam plasma lebih rendah dari yang diharapkan.

Pengobatan dengan penggantian faktor-faktor yang kurang dengan whole blood (darah penuh) segar (12 jam), atau plasma beku segar dan konsentrat fibrinogen. Setelah patofisiologi DIC jelas, dapat diberikan heparin dan zat-zat antifibrinolitik untuk menghentikan proses koagulasi dan fibrinolisis yang menyebabkan DIC. Walaupun cara pengobatan diatas menunjukkan keberhasilan yang bervariasi, masih terdapat ketidaksepakatan dalam penggunaan heparin atau inhibitor fibrinolisis. Heparin mungkin diberikan dalam dosis normal atau lebih rendah dan kemajuan pengobatan dipantau dengan melihat perubahan-perubahan kadar fibrinogen.

Pengobatan yang paling baik adalah berusaha memperbaiki atau menghentikan proses pencetus timbulnya DIC. Pada trauma yang besar, sepsis, renjatan karena kelainan jantung dan keadaan klinis berat yang lain, sulit untuk melaksanakan usaha itu. Sebagian besar dokter mengusulkan penggantian plasma dan thrombosit untuk mengatasi diatesa hemoragis ini, sedangkan mengenai pemberian heparin dan zat antifibrinolitik masih tetap ada perbedaan pendapat.

Komplikasi

Komplikasi yang dapat timbul dapat berupa terjadi shock (renjatan), terjadi defisiensi faktor pembekuan dan bila di terapi dengan heparin dalam dosis yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya hambatan dalam pembekuan darah bila ada trauma pada tubuh. Transfusi dengan darah penuh dapat memberikan komplikasi hepatitis atau terjadinya reaksi demam dan circulating anticoagulant.

Prognosis

Penyakit DIC akan baik prognosisnya bila dapat diketahui dan dihentikan penyebab timbulnya DIC. Penderita yang mengalami penyakit ini dapat segera diberikan plasma segar atau plasma beku segar 7.Uterus CouvelairePerdarahan dalam otot-otot rahim dan di bawah perimetrium kadang-kadang juga dalam ligamentum latum. Perdarahan ini menyebabkan gangguan kontraktilitas uterus dan warna uterus berubah menjadi biru atau ungu yang biasa disebut Uterus couvelaire. Uterus couvelaire dahulu disebut dengan apopleksi uteroplasental. Hal ini disebabkan karena ekstravasasi darah di antara otot-otot miometrium. Efusi darah juga kadang-kadang dijumpai di bawah serosa tuba, di jaringan ikat ligamentum latum dan ovarium serta bebas di rongga peritoneum. Tapi apakah uterus ini harus diangkat atau tidak, tergantung pada kesanggupannya dalam membantu menghentikan perdarahan. Komplikasi yang dapat terjadi pada janin 8 :1. Fetal distress

2. Gangguan pertumbuhan/perkembangan

3. Hipoksia dan anemia

4. KematianSOLUSIO PLASENTA

Solusio Plasenta atau pelepasan prematur plasenta, ablasio plasenta, atau perdarahan aksidental didefinisikan sebagai pelepasan plasenta dari tempat implantasi normal sebelum kelahiran janin. Terjadi pada 1:86 sampai 1:206 kehamilan lanjut, tergantung kriteria diagnosis yang digunakan dan menyebabkan kira-kira 30% dari semua perdarahan antepartum lanjut. Sekitar 50% solusio terjadi sebelum persalinan tetapi 10%-15% tidak terdiagnosis sebelum kala dua persalinan.

ETIOLOGI

Penyebab pasti lepasnya plasenta biasanya tidak diketahui meskipun ada sejumlah asosiasi umum. Adanya riwayat pelepasan prematur plasenta sebelumnya mempunyai angka kekambuhan 10%-47%; setelah dua kali pelepasan prematur sebelumnya, insidennya menjadi >20%. Kehamilan dengan hipertensi mempunyai insiden solusio plasenta sebesar 2,5%4-7,9%. Namun, dari kasus-kasus yang cukup berat untuk menyebabkan kematian janin, kira-kira 50% terkait dengan hipertensi dalam kehamilan (separuh terkait dengan hipertensi kronis dan separuh terkait dengan hipertensi dipicu kehamilan). Predisposisi pelepasan plasenta lainnya yang sering adalah merokok, peregangan uterus berlebihan(misalnya kehamilan multipel,hidramnion),penyakit vaskular (misal, diabetes melitus, kelainan kolagen), anemia hemolitik mikroangiopati dan anomali atau tumor uterus. Terdapat penyebab yang memicu langsung (hanya pada 1%-5%) terjadinya solusio plasenta, yaitu plasenta sirkumvalata, trauma uterus langsung (misal, versi luar, kecelakaan mobil dan kecclakaan lainnya), pengurangan mendadak cairan amnion atau tali pusat yang pendek.

DIAGNOSIS

Tanda dan gejala bervariasi dan dapat diperkirakan berdasarkan besarnya masalah. Namun, gejala solusio plasenta yang umum adalah perdarahan per vaginam berwarna merah gelap (80%), iritabilitas uteri (dua pertiga) dan nyeri punggung atau perut bagian bawab (dua pertiga). Kesalahan diagnosis persalinan prematur kira-kira 20%. Gawat janin terdapat pada >50% kasus.

Karena adanya faktor-faktor pelindung pada ibu hamil yang sehat, mungkin sudah terjadi kehilangan darah akut yang cukup banyak sebelum terjadi anemia. Karena itu, pada solusio plasenta, jumlah perdarahan seringkali jauh melebihi derajat anemia. Apusan darah perifer mungkin menunjukkan skistosit (mendukung ke koagulasi intravaskular diseminata, DIC). Penurunan jumlah trombosit dan depresi fibrinogen umum terjadi pada kasus-kasus yang lebih berat. Pada DIC, akan ada peningkatan kadar produk pemecahan fibrin.

PATOLOGI DAN PATOFISIOLOGI

Berbagai mekanisme patofisiologi yang terjadi pada solusio plasenta sudah diusulkan, termasuk trauma vaskular setempat yang menyebabkan gangguan pembuluh darah desidua basalis, peningkatan mendadak tekanan vena uteri yang menyebahkan pembesaran dan pemisahan ruang intervilosa, faktorfaktor mekanis (misal, tali pusat pendek, trauma, kehilangan mendadak cairan amnion) dan kemungkinan permulaan ekstrinsik kaskade koagulasi (misal, trauma dengan pelepasan tromboplastin jaringan).

Perdarahan dapat terjadi ke dalam desidua basalis atau langsung retroplasenta dari arteri spiralis yang ruptur. Pada kedua kasus ini terjadi perdarahan, terbentuk bekuan darah, dan permukaan plasenta tidak memungkinkan terjadinya pertukaran antara ibu dan placenta. Bekuan darah akan menekan plasenta yang berdekatan dan darah yang tidak membeku mengalir dari tempat tersebut. Pada perdarahan tersembunyi ataupun tampak (eksternal), darah dapat keluar melalui selaput ketuban atau plasenta. Keadaan ini memberikan makna penting karena mungkin menunjukkan perdarahan ibu-janin, perdarahan fetomaternal, perdarahan ibu ke dalam cairan amnion atau emboli cairan amnion.

Kadang-kadang perdarahan hebat dalam miometrium menyebabkan uterus berwarna keunguan, ekimotik dan berindurasi (apopleksi uteroplasenta, uterus Couvelaire) dan kehilangan kontraktilitas.

Pada pelepasan plasenta berat mungkin terjadi DIC. Secara klinis, diatesis perdarahan terdiri atas petekie meluas, perdarahan aktif, syok hipovolemik dan kegagalan mekanisme pembekuan darah. Meskipun tidak dapat diamati secara langsung, fibrin tertumpuk dalam kapiler kecil, menyebabkan komplikasi yang menakutkan, misalnya: nekrosis tubular dan korteks ginjal, kor pulmonale akut dan nekrosis hipofisis anterior (sindrom Sheehan).

BAB II

K A S U SI. Identitas Pasien

Nama : Ny. Siti KhalimahUmur : 21 tahunAgama : IslamPekerjaan : Ibu rumah tanggaAlamat:Bedahan 1/5 BanjarnegaraNo CM : 830128Masuk IGD RSMS :17 Desember 2010, pukul 20.00 wibII. Anamnesa (alloanamnesis)A. Keluhan utama : penurunan kesadaranB. Keluhan tambahan : perdarahan banyak dari jalan lahir, lemas C. Riwayat penyakit sekarang :

Pasien datang atas rujukan Rumah Sakit Umum Daerah Banjarnegara (RSUD Banjarnegara) dengan keluhan utama penurunan kesadaran setelah mengalami perdarahan beberapa jam setelah melahirkan. Pasien melahirkan bayi perempuan tanggal 17 Desember 2010 pada pukul 09.00 wib di bidan Banjarnegara. Oleh bidan setempat, plasenta dilahirkan secara manual dan plasenta lahir lengkap. Kemudian pasien mengalami perdarahan yang tidak kunjung berhenti dan lama kelamaan pasien menjadi sulit diajak berkomunikasi dan terlihat lemas, sehingga pasien dirujuk ke rumah sakit terdekat dan diberikan infus RL sebanyak tiga botol. Pukul 13.00, perdarahan belum berhenti dan pasien dibawa ke RSUD Banjarnegara dan mendapatkan terapi infus RL 2 jalur 6 flabot, HES 1 flabot, misoprostol 3 tab per rectal, dan drip oksitosin 1 ampul. Namun perdarahan masih belum berhenti. Pukul 18.00, pasien dirujuk ke RSMS dengan diagnosis post partum spontan, dengan atonia uteri dan syok hipovolemik.

D. Riwayat haid : teratur, 1x/bulan, 5-7 hari

E. Riwayat pernikahan: satu kali, 10 bulanF. Riwayat ANC: tidak teratur, ke bidanG. Riwayat Obstetri: P1A0

Anak I: Perempuan/2800 gram/0 hari/Bidan/Spontan/AtermH. Riwayat KB:belum KBI. Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat penyakit darah tinggi disangkal

Riwayat penyakit jantung disangkal

Riwayat penyakit ginjal disangkal

Riwayat penyakit DM disangkal

Riwayat penyakit paru disangkal Riwayat penyakit perdarahan sulit berhenti disangkalJ. Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat penyakit darah tinggi disangkal

Riwayat penyakit jantung disangkal

Riwayat penyakit ginjal disangkal

Riwayat penyakit DM disangkal

Riwayat penyakit paru disangkalRiwayat penyakit perdarahan sulit berhenti disangkalK. Riwayat Operasi Kandungan : disangkal

III.PEMERIKSAAN FISIK

Diperiksa tanggal 17 Desember 2010 jam 20.00 WIB

A. Pemeriksan Umum

Keadaan umum: Tampak pucat Kesadaran:Somnolen Vital sign : T: 60/palpasi

R: 36 x/mnt

N: 118 x/mnt cepat, lemah, ireguler

S: 36 C

Mata : Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-)

Thorak : Cor :Takikardi 118x/men, S1 > S2, reguler, bising (-), gallop (-)

Pulmo

:Suara dasar vesikuler, ronkhi (-), wheezing (-)

- -

Ekstremitas: Udem

- -

+ +

Pucat

+ +

+ + Dingin

+ +B. Status Lokalis Pemeriksaan Abdomen

Inspeksi : Datar

Palpasi : teraba uterus 2 jari diatas pusat, kontraksi uterus lembekPerkusi : timpani

Auskultasi

:BU (+)Pemeriksaan Genitalia

I : tidak terdapat lasersi pada genitalia eksterna, perdarahan per vaginam : (+) banyakPemeriksaan DalamVT : Porsio terbuka luas, eksplorasi cavum uterus bersih, kontraksi lembek.III. Pemeriksaan PenunjangPemeriksaan Darah Lengkap tanggal 17 Desember 2010 pukul 20.00Hb

: 3,5 g/dlLeukosit

: 25.950 u/LHt

: 11 %

Eritrosit

: 1,2 juta Trombosit: 52.000

MCV

: 90MCH

: 29,2MCHC

: 32,4RBW

: 13,8MPV

: 10,2Hitung Jenis:

Basofil

: 0,1

Eosinofil : 0,0Batang

: 0,0

Segmen

: 75

Limfosit

: 16,8Monosit

: 8,1PT : 49,7

APTT : 92,3IV. Diagnosis

Syok hipovolemik P1A0, usia 21 tahun, Post partum spontan dengan perdarahan postpartum e.c. atonia uteri Anemia gravis, suspek DICV. tindakan dan terapi1. VK IGD RSMSPukul 20.00 :

IVFD RL loading 2 jalur, lalu ganti HES

Pro transfusi whole blood 2 kolf Eksplorasi cavum uterus

Syinto 20 IU drip

Injeksi methergin 0,2 mg i.m Gastrul 4 tablet per rektal

Kalnex 2 ampul drip Adona 2 ampul drip Konsul Sp.OG cito, instruksi:

Perbaikan KU

Tampon padat

Usaha darah 1000 cc

Rencana laparotomi cito setelah darah tersediaPukul 20.20Keadaan umum : Tampak pucatKesadaran : SomnolenTanda Vital :

TD : 60/palpasi

N : 120x/menit

RR : 40x/menit

S : 35,5 0CPPV : (+) darah, banyakAssesment :

Syok hipovolemik

P1A0, usia 21 tahun, Post partum spontan dengan perdarahan postpartum e.c. atonia uteri Anemia gravis, suspek DICTindakan :

Transfusi 1 Flabot

Ampicillin Injeksi 1 gram

Persiapan laparotomi

Pukul 21.15 Keadaan umum : Tampak pucat

Kesadaran : Somnolen

Tanda Vital :

TD : 80/60 mmHg

N : 120x/menit

RR : 36x/menit

S : 35,5 0C

PPV : (+) darah, banyak

Dilakukan operasi laparotomi

Assesment pra bedah : Syok hipovolemik dengan perbaikan

P1A0, Usia 21 tahun, Post partum spontan dengan perdarahan postpartum e.c. atonia uteri Anemia gravis, suspek DICAssesment pasca bedah:

Syok hipovolemik dengan perbaikan

P1A0, Usia 21 tahun, Post histerektomi supravaginal atas indikasi perdarahan postpasrtum e.c. atonia uteri (uterus couvelair) Anemia gravis, suspek DICTerapi pasca bedah : IVFD RL/D5/RL/D5/NaCl 20 tetes per menit

Cefotaxim injeksi 2x1 gram

Kalnex injeksi 3x500 gram

Puasa sampai dengan flatus

Awasi DC dan balance cairan

Pengawasan

Rawat ICU

1. Monitoring perawatan ICUHariJamKesTDN

RPPVUrineLabTindakan

I 18/12/1007.00 CM138/7214024(+) banyak

08.00CM103/9013331(+) banyak

09.00CM103/9013333(+)Lab terlampir

Hb = 8,2 tromobosit = 35.000

10.00CM115/7312933(+)

11.00CM110/6413026(+)

12.00CM102/6111722(+)

13.00CM109/6112031(+) berkurang

14.00CM116/6311221(+)

15.00CM114/7211622(+)

16.00CM113/6511722(+)

17.00CM116/6010930(+)

18.00CM114/7010521(+) ganti pembalut

19.00CM110/649826(+) sedikit

20.00CM113/619421(+)sedikit

21.00CM103/609315(+)sedikit

22.00CM107/698717(+)sedikit, perdarahan pada luka post OP (+)

23.00CM105/598714(+)sedikit, perdarahan pada luka post OP (+)

24.00CM119/738622(+)sedikit, perdarahan pada luka post OP (+) terpasang deeper di jalan lahirLab pukul 00.42 (terlampir)

Hb = 7,0 trombosit = 85.000

II 19/12/1001.00CM114/639618-jalan lahir terisi depper berisi darah

-bekas OP terdapat darah

100 ccTransfusi kolf ke-8

02.00CM112/728922-Tampon berisi bekas darah

-Bekas op terdapat darah100 ccLasix

03.00CM116/609514-Tampon berisi bekas darah

-Bekas op terdapat darah400 cc

04.00CM119/678514-Tampon berisi bekas darah

-Bekas op terdapat darah minimal500 cc

05.00CM109/748314-Tampon berisi bekas darah

-Bekas op terdapat darah minimal550

06.00CM121/768123-Tampon berisi bekas darah

-Bekas op terdapat darah minimal600 (dibuang)

07.00CM125/708823-Tampon berisi bekas darah

-Bekas op terdapat darah agak banyak100

08.00CM131/728018-Tampon berisi bekas darah

-Bekas op terdapat darah cukup banyak

09.00CM118/668023-Tampon berisi bekas darah

-Bekas op terdapat darah cukup banyak

10.00CM126/777620-Tampon berisi darah cukup banyak

-bekas op tidak ada darah

11.00CM120/758013-PPV sedikit

-Bekas op tidak ada darah

12.00CM116/718018-PPV sedikit

-Bekas op tidak ada darah

13.00CM122/708520-PPV sedikit

-Bekas op tidak ada darah

14.00CM122/808020-PPV sedikit

-Bekas op tidak ada darah

15.00CM118/708321-PPV sedikit

-Bekas op tidak ada darah

16.00CM122/678524-PPV sedikit

-Bekas op tidak ada darah

21.00CM206/12412717Lab 22.12 terlampir

Hb = 8,7 tromobsit = 83.000

23.30CM206/12412917

III 20/12/1000.00CM152/11314227

00.30CM156/11014227

01.00CM139/8715030

01.30CM130/8015030

02.00CM116/8513226

02.30CM117/10314127

03.00CM126/8514821

03.30CM191/7315925

04.00CM190/7315820

05.00CM106/6015622

05.30CM106/608719

14.00CM114/7611824

14.30CM114/7011521

15.00CM116/7211622

15.30CM113/7011422

16.00CM113/6511722

16.30CM114/6811523

17.00CM116/6010930

17.30CM116/7511125

18.00CM114/7010521

12.00CM116/718018

13.00CM122/708520

2. Monitoring dan evaluasi di Bangsal20-12-2010 pukul 07.00

S : pusing, lemas

O : KU /Kes : sedang / CM

VS : TD : 160/90 mmHgRR : 20 x/menit

N : 80 x/menit

S : 36,7

Status Generalis :

Mata : CA -/-, SI -/-

Thorax :

Pulmo : SD vesikuler, Rbk -/-, Rbh -/-

Cor : S1>S2 reg, murmur (-), Gallop (-)

Status Lokalis :

Abdomen :

I : cembung

A : BU (+) N

Pe : timpani

Pal : supel, NT (+)

Status Genitalia externa :

PPV (+) sedikit

BAK (+), BAB (-) 2 hari, flatus (+)

Ass :

P1A0, 21 tahun, post histerektomi supravaginal atas indikasi perdarahan post partum e.c atonia uteri

Anemia sedang Suspek DIC perbaikan

Terapi :

Perbaikan KU

Terapi PRC sampai dengan HB > 10 gr/dl

Injeksi cefotaxim 2 x 1 gr

Injeksi kalnex 3 x 500 mg

Balut tekan

DC-balance cairan

Cek Hb post transfusi

21-12-2010

S : lemas

O : KU /Kes : sedang / CM

VS : TD : 160/90 mmHgRR : 20 x/menit

N : 80 x/menit

S : 37C

Status Generalis :

Mata : CA -/-, SI -/-

Thorax :

Pulmo : SD vesikuler, Rbk -/-, Rbh -/-

Cor : S1>S2 reg, murmur (-), Gallop (-)

Status Lokalis :

Abdomen :

I : cembung

A : BU (+) N

Pe : timpani

Pal : NT (+), supel

Status Genitalia externa :

PPV (+) sedikit

BAK (+), BAB (-) 3 hari, flatus (+)

Ass :

P1A0, 21 tahun, post histerektomi supravaginal atas indikasi perdarahan post partum e.c atonia uteri Anemia sedang

Suspek DIC perbaikan

Terapi :

Aff tampon vagina

Perdarahan (-)

Cek albumin

Transfusi PRC sampai dengan Hb > 10 gr/dl

Terapi lanjut

Pengawasan

Cek Hb post transfusi

22-12-2010

S : -

O : KU /Kes : sedang / CM

VS : TD : 160/90 mmHgRR : 20 x/menit

N : 84 x/menit

S : 36,8C

Status Generalis :

Mata : CA -/-, SI -/-

Thorax :

Pulmo : SD vesikuler, Rbk -/-, Rbh -/-

Cor : S1>S2 reg, murmur (-), Gallop (-)

Status Lokalis :

Abdomen :

I : cembung

A : BU (+) N

Pe : timpani

Pal : NT (-), supel

Status Genitalia externa :

PPV (+) dbn

BAK (+), BAB (+), flatus (+)

Ass :

P1A0, 21 tahun, post histerektomi supravaginal atas indikasi perdarahan post partum e.c atonia uteri Anemia sedang

Suspek DIC perbaikan hipoalbuminenia

Terapi :

Aff tampon

Aff DC

Cefadroxil 3 x 500 mg

SF/B/C 1x1

mobilisasiLampiran Lab tanggal 18 desember 2010 pukul 09.56Darah lengkap:

Hb = 8,2 gr/dl

Leukosit = 26.900/uL

Ht = 23%

Eritrosit =3,3 juta/uL

Trombosit = 35.000/uL

MCV = 70,8 fL

MCH = 24,9 pg

MCHC = 35,2%

Diff = 0,1/0/0/80,6/13,3/6

LED = 5 mm/jam Kimia Klinik

SGOT = 1.271 U/L

SGPT = 649 U/L

Ureum = 52,6 mg/dL

Kreatinin = 1,61 mg/dL

GDS = 125 mg/dLElektrolit

Na = 134 mmol/L

Cl = 105 mmol/L

Ca = 7,1 mg/dLLab tanggal 19 desember 2010 pukul 00.42Darah lengkap:

Hb = 7 gr/dl

Leukosit = 20.220/uL

Ht = 20%

Eritrosit =2,7 juta/uL

Trombosit = 85.000/uL

MCV = 74,3 fL

MCH = 25,7 pg

MCHC = 34,7%

Diff = 0,1/0,3/0/79,5/13/6,3

Kimia Klinik

Ureum = 79,4 mg/dL

Kreatinin = 2,05 mg/dL

Elektrolit

Na = 132 mmol/L

K = 4,9 mmol/L

Cl = 102 mmol/L

Ca = 6,8 mg/dLLab tanggal 19 desember 2010 pukul 22.12Darah lengkap:

Hb = 8,7 gr/dl

Leukosit = 23.800/uL

Ht = 25%

Eritrosit =3,3 juta/uL

Trombosit = 83.000/uL

MCV = 76,0 fL

MCH = 26,1 pg

MCHC = 34,4%

Diff = 0,5/0,5/0/81,4/13,3/4,5

Lab tanggal 20 Desember 2010 pukul 17:00

Total protein : 3,92 g/dl(6,30-8,20)

Albumin: 2,47 g/dl(3,50-5,00)

Globulin: 1,45 g/dl(2,70-3,20)

Lab tanggal 21 Desember 2010 pukul 10:42

Hb = 9,0 gr/dl

Leukosit = 26.120/uL

Ht = 26%

Eritrosit =3,4 juta/uL

Trombosit = 118.000/uL

MCV = 77,0 fL

MCH = 26,5 pg

MCHC = 34,5%

Diff = 1,3/1,7/0/78,8/12,6/5,6BAB III

PEMBAHASANPada bab pembahasan, akan dibahas mengenai dasar diagnosis, kemungkinan penyebab dari perdarahan dan perjalanan pasien serta tata laksana yang dilakukan terhadapnya, dari pertama datang ke VK IGD hingga pasien dipulangkan.

Dasar Diagnosis dan Perjalanan Penyakit Pasien

Pada kasus ini didapatkan pasien Ny.S dengan P1A0 datang ke IGD RSMS dengan keluhan perdarahan banyak dari jalan lahir setelah melahirkan tanggal 18 Desember 2010 jam 09.00 di bidan. Menurut anamnesis, keluhan yang dianggap paling membahayakan adalah perdarahan dari jalan lahir setelah melahirkan. Dasar diagnosis syok hipovolemik adalah diperoleh data dari anamnesis dan pemeriksaan umum pasien dimana didapatkan tanda-tanda syok hipovolemik yaitu keadaan umum pasien pucat, kesadaran somnolen, hipotensi yaitu tekanan darah 60/palpasi, nadi cepat dan lemah, nafas cepat, takikard, akral yang dingin dan pucat serta adanya perdarahan masif yang berlangsung terus menerus setelah pasien melahirkan serta adanya peningkatan kadar ureum dan kreatinin. Berdasarkan kriteria derajat syok hipovolemik maka pasien ini mengalami syok hipovolemik derajat IV yang berarti mengalami kehilangan darah > 40% atau > 2000 ml. Peningkatan ureum kreatinin terjadi karena penurunan perfusi ke ginjal yang terjadi secara akut.Berdasarkan keluhan utama yang didapatkan dari anamnesis, pasien mengalami perdarahan post partum, yaitu perdarahan yang terjadi setelah melahirkan, dengan volume > 500 ml. Perdarahan post partum dapat terjadi < 24 jam setelah melahirkan, maupun > 24 setelah melahirkan, bahkan dapat berlangsung hingga beberapa minggu setelah melahirkan. Penyebab yang paling sering dari perdarahan post partum diantaranya adalah :

a. Atonia uterib. Trauma jalan lahirc. Kelainan perlekatan plasenta pada dinding uterusd. Kelainan koagulopati

Dasar diagnosis atonia uteri pada kasus ini adalah dari anamnesis dan pemeriksaan fisik sewaktu pasien tiba di VK IGD, yaitu didapatkan perdarahan pervaginam masif, uterus masih 2 jari di atas pusat, kontraksi uterus lemah dan lunak pada perabaan, ekslporasi kavum uteri bersih (tidak terdapat sisa plasenta dan stolsel) serta tanda-tanda anemia berat pada pasien. Selain itu, pada riwayat kala III, saat pasien berada di bidan, plasenta dikeluarkan secara manual. Plasenta dikeluarkan secara manual dapat disebabkan oleh 2 hal yaitu perlengketan yang terlalu dalam atau tidak adanya kontraksi uterus yang adekuat sehingga tidak mampu melepas plasenta. Berdasarkan data-data tersebut dan analisis yang kami lakukan maka kemungkinan terjadinya manual plasenta dan perdarahan post partum ada kasus ini adalah kurangnya kontraksi uterus (atonia uteri).

Pada kasus ini, komplikasi dari atonia uteri dan perdarahan post partum adalah terjadinya syok hipovolemik dan DIC (Disseminated Intravascular Coagulation). DIC tersebut merupakan komplikasi dari syok hipovolemik dan solusio plasenta. Menurut referensi, koagulopati konsumtif dalam bidang obstetri terutama disebabkan oleh solusio plasenta. DIC pada kasus ini mungkin telah terjadi saat pasien mengalami persalinan. Tertahannya darah di kavum uterus menyebabkan masuknya tromboplastin ke dalam sirkulasi maternal. DIC juga dapat berkembang dari syok yang ditunjukkan oleh hipoperfusi jaringan, yang menyebabkan kerusakan dan pelepasan tromboplastin jaringan. Pada kasus DIC terdapat peningkatan kadar D-dimer dan penurunan fibrinogen yang tajam, serta pemanjangan waktu trombin (thrombin time). Sedangkan pada kasus ini, dasar diagnosis suspect DIC yaitu terdapatnya pemanjangan waktu thrombin, terjadinya perdarahan sulit berhenti serta risiko terjadinya koagulopati konsumtif. Walaupun kemungkinan adanya kelainan perdarahan (faktor koagulan) yang didapat sebelum kehamilan belum tersingkirkan. Untuk penanganan kelainan perdarahan ini, restorasi dan penanganan volume sirkulasi dan penggantian produk darah bersifat sangat esensial.Penyebab atonia uteri yang paling sering adalah adanya overdistensi uterus akibat polihidramnion, janin besar, kehamilan ganda. Penyebab lainnya adalah akibat perdarahan, korioamnionitis, penggunaan tokolitik dan obat anestesi. Penyebab atau faktor predisposisi atonia uteri pada pasien ini belum dapat ditentukan karena data yang tidak lengkap (pasien rujukan dari RSU Banjarnegara). Keterangan mengenai adanya polihidramnion, gejala dan tanda infeksi sebelum dan saat masa persalinan, penggunaan obat tokolitik dan anestesi, kala satu atau kala dua memanjang, persalinan cepat (partus presipitatus) dan kelainan di uterus atau mioma tidak didapatkan pada anamnesis. Namun, pada akhir pembedahan didapatkan gambaran uterus couvelaire. Uterus couvelaire terjadi akibat ekstravasasi darah ke dalam miometrium sehingga menimbulkan gambaran uterus berwarna keunguan yang mampu mengganggu kontraksi uterus. Penyebab tersering uterus couvelaire adalah terjadinya solusio plasenta. Pada pasien ini tidak didapatkan data mengenai riwayat antepartum dan intrapartum yang lengkap. Berdasarkan data yang ada maka analisis kami mengarah bahwa kemungkinan pada pasien ini mengalami solusio plasenta derajat ringan yang tidak diketahui sebelumnya. Dasar analisis ini adalah persalinan pada kasus ini tetap dilakukan di bidan dan janin dilahirkan dalam kondisi hidup. Sementara pada solusio plasenta sedang atau berat seharusnya tanda-tanda akut abdomen dan gangguan kesejahteraan janin dapat diketahui dan diindentifikasi oleh tenaga kesehatan serta telah dilakukan rujukan ke rumah sakit.

Penanganan Pasien di VK IGDTindakan manajemen aktif kala III dan penanganan gawat darurat atonia uteri yang dilakukan di bidan tidak diketahui dengan pasti. Namun tindakan yang dilakukan di RSUD Banjarnegara untuk mengatasi perdarahan dan atonia uteri secara konservtif sudah tepat yaitu pemberian infus RL, HES 1 flabot, misoprostol 3 tab, dan drip oksitosin 1 ampul. Namun perdarahan masih belum berhenti. Seharusnya selama merujuk dapat dilakukan kompresi bimanual eksternal atau kompresi aorta abdominalis untuk meminimalkan darah yang keluar.

Penatalaksanaan di VK IGD RSMS yang pertama kali dilakukan yaitu memperbaiki kondisi hemodinamik pasien yaitu dengan pemberian akses intra vena sebanyak dua jalur. Infus RL 2 jalur diguyur yang diselingi dengan infus HES serta diberikan oksigenasi yang adekuat. Pasien dengan perdarahan postpartum memerlukan penggantian cairan dan pemeliharaan volume sirkulasi darah ke organ-organ penting, jika diperlukan resusitasi cairan cepat maka dapat digunakan infus intravena 2 jalur ukuran besar untuk memudahkan pemberian cairan dan darah secara bersamaan. Infus larutan Ringer Laktat digunakan pada awal penanganan karena cairan ini mendekati komposisi elektrolit plasma, begitu juga dengan osmolalitasnya. Cairan koloid yang diberikan (HES) juga merupakan pilihan cairan utama untuk resusitasi. Cairan koloid mempunyai kelebihan mempertahankan cairan intra vaskular karena daya ekspansinya yang rendah dibandingkan dengan cairan kristaloid. Pada kasus ini, banyaknya perdarahan sulit dinilai, sehingga tindakan resusitasi cairan adalah memberikan cairan semaksimal mungkin yaitu melalui akses vena dua jalur. Terapi cairan pada syok hipovolemik, hendaknya memperhitungkan banyak darah yang hilang. Lima liter kristaloid mampu menggantikan satu liter darah yang hilang sedangkan satu liter koloid mengantikan satu liter darah yang hilang. Namun resusitasi yang paling baik adalah dengan menghentikan perdarahan, kemudian menggantikan banyaknya darah yang hilang yaitu dengan transfusi. Sampel darah pasien diperiksa untuk persiapan transfusi darah dan mengetahui patologis laborat0rium darah. Etiologi yang mendasari perdarahan post partum yaitu atonia uteri juga ditangani bersamaan dengan penanganan hemodinamik pasien yaitu pemberian syinto 20 IU drip, injeksi methertgin 1 ampul, gastrul 4 tablet, kalnex 2 ampul, adona 2 ampul drip dan dilakukaan tindakan pemasangan tampon padat. Sesuai dengan teks book pemberian oksitosin dapat diberikan 10-40 unit dalam 1 liter cairan saline secara i.v dengan tetesan cepat untuk penanganan atonia uteri, serta pemberian misoprostol perektal sebanyak 1000 g (Pada kasus ini diberikan 4 tablet gastrul, 1 tablet = 250 g). Penelitian pada 14 wanita dengan perdarahan obstetri tak terkendali yang mendapat misoprostol 1000 mg supositoria menunjukkan kontraksi uterus yang berkelanjutan dan mengontrol perdarahan dalam 3 menit. Tampon uterus dilakukan untuk memberikan tekanan pada uterus sebagai usaha menghentikan perdarahan. Setelah penatalaksanan kemudian di monitoring keadaan hemodinamik pasien meliputi keadaan umum, kesadaran, vital sign dan urine pasien serta perbaikan perdarahan post partus pasien.

Hasil laboraterium pasien menunjukkan pasien mengalami keadaan anemia berat serta kondisi DIC. Pada pasien ini kadar Hb yang rendah, jumlah trombosit rendah dan aPTT tidak normal serta PPT juga tidak normal. Monitoring pasien juga belum menunjukkan keadaan yang tidak stabil. Penyediaan transfusi darah selama operasi diperlukan dan dipilih whole blood karena dari hasil laboraterium darah, hampir semua komponen darah mengalami penurunan. US Army Surgeon General merekomendasikan untuk melakukan transfusi plasma dan PRC dengan rasio 1:1 pada pasien perdarahan post partus yang siginifikan. Menurut literatur, uterus couvelaire jarang sampai menganggu kontraksi uterus yang dapat mengakibatkan perdarahan post partum berat sehingga bukan merupakan indikasi untuk dilakukan histerektomi. Namun, indikasi tindakan histerektomi pada kasus ini adalah adanya perdarahan yang mengalami ekstravasasi ke dalam miometrium sehingga menimbulkan uterus couvelaire yang sudah mengganggu kontraksi uterus yang sehingga terjadi perdarahan post partum yang berat dan terus berlangsung serta tidak dapat dikoreksi dengan intervensi alternatif lain bahkan hingga menimbulkan gejala DIC sehingga pilihan terapi yang paling baik untuk mengatasi masalah tersebut adalah histerektomi. Histerektomi tidak boleh ditunda pada pasien yang perdarahan terus menerus, jika telah dilakukan intervensi alternatif namun gagal. Kontrol perdarahan uterus sangat penting untuk menurunkan angka morbiditas dan mencegah kematian karena perdarahan yang terus menerus dapat menimbulkan DIC. Pada pasien ini dilakukan histerektomi subtotal yaitu pengangkatan dilakukan namun segmen bawah rahim tidak diangkat. Pilihan alternatif lain seperti ligasi arteri atau angiografik embolisasi arteri tidak dilakukan karena cara-cara tersebut membutuhkan hemodinamik pasien yang stabil serta ketersedian ahli dan peralatan yang memadai.

Penanganan yang dilakukan yaitu dengan mengatasi etiologi yaitu dengan tindakan histerektomi dan pemberian faktor-faktor yang kurang dengan whole blood (darah penuh) segar (12 jam), atau plasma beku segar dan konsentrat fibrinogen. Penanganan yang dilakukan sesuai dengan teks book. Pada pasien ini diberikan tranfusi awal 1000 cc whole blood sesuai dengan perkiraan perdarahan yang terjadi walaupun mungkin jumlah terjadinya perdarahan lebih besar. Setelah pasien dilakukan tindakan operatif histerektomi subtotal, pasien kemudian dimonitoring untuk keberhasilan penanganan syok hipovolemik yaitu produksi urin 0,5 ml/kg bb/jam, kesadaran berangsur membaik dan meningkatnya perfusi jaringan yang ditandai dengan akral yang hangat dan tidak pucat. Komplikasi histerektomi antara lain berupa infeksi daerah operasi, cedera vesica urinaria dan traktus urinaris, lebih lanjut perdarahan intra-abdomen dan cedera organ lainnya. Pada monitoring awal perlu diperhatikan apakah ada perdarahan intraabdomen akibat komplikasi histerektomi subtotal, pengamatan harus cermat karena perdarahan bersifat masif dan tersembunyi, biasanya digunakan alat pengukur lingkar perut selain memperhatikan tanda vital dan kesadaran pasien.Monitoring selanjutnya dilakukan di ICU untuk pengawasan yang lebih ketat.Penanganan Pasien di ICU dan Bangsal

Setelah dilakukan histerektomi, pasien dirawat di ruang ICU untuk stabilisasi. Secara umum kondisi pasien setelah operasi, sudah menunjukan kemajuan jauh dibandingkan saat pasien datang ke IGD. Tekanan darah pasien sebelum masuk ICU adalah 138/72, dan pasien masih mengalami perdarahan paska operasi (tampon berisi darah). Selama di ICU perkembangan pasien menjadi lebih baik, pasien tidak mengalami penurunan keadaan umum dan tanda vital walaupun perdarahan masih ada.

Hari pertama di ICU, yaitu tanggal 18 Desember 2010, Hb menunjukan angka 8,2 gr/dl, kemudian pada pemeriksaan berikutnya pada tanggal yang sama, Hb turun menjadi 7. Hal ini diakibatkan oleh masih adanya perdarahan yang keluar paska operasi. Kemudian di hari berikutnya, transfusi yang kolf ke delapan diberikan kepada pasien. Setelah kolf yang ke-delapan masuk, pemeriksaan Hb menunjukan kenaikan menjadi 8,7 gr/dl. Kemudian perdarahn sudah mulai berhenti di hari kedua perawatan ICU. Hari ke tiga perawatan ICU, keadaan stabil, Hb naik, sehingga pasien di pindah ke bangsal. Terapi yang diberikan di ICU kepada pasien, merupakan terapi lanjutan, selain perbaikan keadaan umum dan Hb, pasien juga diberikan antibiotik dan anti perdarahan.

Setelah mengalami perbaikan di ICU, pasien dipindahkan ke bangsal Flamboyan. Selama dua hari di bangsal, pasien dipantau keadaan umum, tanda vital, Hb dan perdarahan paska operasi. Selama dua hari tersebut, tekanan darah pasien mencapai 160/90, menandakan bahwa pasien mengalami perbaikan dan tidak lagi mengalami syok. Hal yang perlu dipertanyakan adalah tekanan darah yang dinilai tinggi. Kemungkinan tekanan darah tinggi dalam hal ini, adalah pasien menderita hipertensi. Adanya data yang kurang lengkap membuat sulit untuk mengetahui penyebab tekanan darah tinggi.

Pengobatan yang diberikan di bangsal juga sama, yaitu meliputi perbaikan Hb dan pencegahan infeksi serta perdarahan. Selama tiga hari observasi terhadap pasien, perdarahan terjadi namun sedikit dan tidak menyebabkan penurunan keadaan umum dan Hb. Pemeriksaan laboratorium terakhir menunjukan kadar Hb mencapai 9 gr/dl. Dalam hal ini, Hb dinilai cukup. Selain itu, dapat dilihat kadar total protein dan albumin mengalami penurunan. Setelah dua hari observasi, keadaan pasien membaik sehingga pasien dapat dipulangkan.

Kesembuhan dan perbaikan pada pasien ini sangat dipengaruhi oleh tepatnya penanganan keadaan kegawatdaruratan (syok), keadaan sistem imun tubuh serta adanya penyulit atau komplikasi. Pada pasien ini, penanganan kegawatdaruratan berhasil dilakukan, dinilai dari selamatnya jiwa pasien dan dapat diatasinya perdarahan. Selain itu keadaan imun tubuh pasien dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya adalah faktor infeksi. Dengan pemberian antibiotik, diharapkan pasien dapat terhindar dari infeksi sehingga membantu kesembuhan.Komplikasi Pemeriksaan laboratorium tanggal 20 Desember 2010 menunjukan hasil penurunan kadar total protein dan albumin. Hal ini dianggap sebagai komplikasi yang didapat pasien. Kemungkinan terbesar adanya hipoalbumin pada kasus ini adalah akibat syok, dimana syok dapat menyebabkan gagal ginjal akut serta terdapat kebocoran kapiler sehingga menyebabkan hipoalbuminemia.Gagal ginjal akut sering terlihat pada solusio plasenta berat dan sering disebabkan oleh penanganan renjatan hipovolemia yang terlambat atau kurang memadai. Drakeley, dkk, 2002 pada penelitiannya, menunjukkan bahwa 72 orang wanita dengan gagal ginjal akut, 32 kasus disebabkan oleh solusio plasenta Gangguan perfusi renal yang berat disebabkan oleh perdarahan masif. Sebanyak 75% kasus gagal ginjal akut akibat nekrosis tubuler akut bersifat tidak permanen. Kemudian, Lindheimer, dkk, 2000, menyebutkan bahwa nekrosis kortikal akut dalam kehamilan selalu disebabkan oleh solusio plasenta. Pada kasus ini, ureum dan kreatinin meningkat sedikit, hal ini menunjukan telah terjadi gangguan ginjal walaupun minimal.BAB IV

DAFTAR PUSTAKA1. Winkjosastro H.Perdarahan Pasca Persalinan. Disitasi tanggal 21 September 2008dari :http://www.geocities.com/Yosemite/Rapids/1744/ cklobpt12.html [update : 1 Februari 2005].2. SetiawanY. Perawatan Perdarahan Post Partum.Disitasi tanggal 21 September 2008http://www.Siaksoft.net[update :Januari2008].3. Heller Luz.Gawat Darurat Ginekologi dan Obstetric. Alih bahasa H. Mochamad martoprawiro, Adji Dharma. Jakarta: EGC, 1997.4. Thaib Roesli. Syok Hipovolemik dan Terapi Cairan, Kumpulan Naskah Temu Nasional Dokter PTT, FKUI, Simposisum 17-32

5. Wirjoatmodjo, M,Rehidrasi Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I Edisi Kedua, ED Soeparman, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2007 hal 8126. Joseph U and Charles R Wira.Disseminated Intravascular Coagulation.ateMedicine, 10 September 2009.

7. Norman K. Alternative Treatments for Disseminated Intravascular Coagulation.".Drug News Perspect17(4): 24350. 2004.8. Hubbard JL, Hosmer SB. Couvelaire uterus.J Am Osteopath Assoc97(9): 5367. 2007.9. Chang YL, Chang SD, Cheng PJ: Perinatal outcome in patiets with abruption placenta with and without antepartum hemorrhage. Int J Gynaecol Obstet75;193,200110. Clark SL. Placentae previa and abruptio placentae. In: Creasy RK, Resnik R, eds. Maternal Fetal Medicine. 5th ed. Philadelphia, Pa: WB Saunders; 2004:715.11. Shad H Deering, MD, Abruptio Placentae . Tersedia di http://emedicine.medscape.com. Diakses Januari, 2011