presus caem orto.doc

58
REFERAT ARTHITIS REUMATOID, OSTEOPOROSIS DAN OSTEOARTHRITIS Pembimbing : dr. H. Bambang A.T. Kusumah, Sp.OT Disusun Oleh : Satrya Yudha DP GIA210077 Faizah Agusiah S G1A210078 Nur Ahlina Damayanti 0920221183 SMF ILMU PENYAKIT BEDAH RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN

Upload: anton-christian

Post on 29-Nov-2015

49 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

bedah orto

TRANSCRIPT

REFERAT

ARTHITIS REUMATOID, OSTEOPOROSIS DAN OSTEOARTHRITIS

Pembimbing :

dr. H. Bambang A.T. Kusumah, Sp.OT

Disusun Oleh :

Satrya Yudha DP GIA210077

Faizah Agusiah S G1A210078

Nur Ahlina Damayanti 0920221183

SMF ILMU PENYAKIT BEDAH

RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

PURWOKERTO

2011

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya sehingga

Penulis dapat menyelesaikan penulisan referat yang berjudul “Arthitis Reumatoid,

Osteoporosis Dan Osteoarthritis“. Penulisan referat ini merupakan salah satu syarat untuk

mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Bedah RSUD Prof. dr. Margono

Soekarjo Purwokerto. Penulis berharap referat ini dapat bermanfaat untuk kepentingan

pelayanan kesehatan dan pendidikan kedokteran.

Penyusunan referat ini tidak lepas dari dukungan dan bantuan beberapa pihak.

Penulis menyampaikan terima kasih dan rasa hormat kepada:

1. dr. H. Bambang A.T. Kusumah, Sp.OT selaku Pembimbing yang telah

memberikan bimbingan dan arahan dalam penyusunan referat ini.

2. Teman-teman FK Unsoed dan FK UPN serta semua pihak yang telah

membantu dalam penyusunan referat ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan referat ini masih memiliki kekurangan.

Oleh karena itu, Penulis mengharapkan masukan-masukan yang bersifat membangun

sehingga dapat menjadi perbaikan.

Purwokerto, November 2011

Penulis

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Artritis Rematoid adalah suatu penyakit autoimun dimana persendian (biasanya

sendi tangan dan kaki) secara simetris mengalami peradangan, sehingga terjadi

pembengkakan, nyeri dan seringkali akhirnya menyebabkan kerusakan bagian dalam

sendi. Artritis rematoid juga bisa menyebabkan sejumlah gejala di seluruh tubuh.

Penyakit ini terjadi pada sekitar 1% dari jumlah penduduk, dan wanita 2-3 kali lebih

sering dibandingkan pria.

Nyeri sendi sering disebabkan oleh peradangan atau disebut arthritis. Jenis

arthritis yang paling sering dijumpai adalah osteoarthritis. Osteoarthritis merupakan

penyakit pada sendi yang disebabkan oleh bantalan kartilago sendi yang menipis

Osteoartritis merupakan golongan rematik sebagai penyebab kecacatan yang

menduduki urutan pertama dan akan meningkat dengan meningkatnya usia, penyakit

ini jarang ditemui pada usia di bawah 46 tahun tetapi lebih sering dijumpai pada usia

di atas 60 tahun. Faktor umur dan jenis kelamin menunjukkan adanya perbedaan

frekuensi (Sunarto, 1994, Solomon, 1997)

Osteoporosis adalah suatu penyakit tulang yang ditandai dengan adanya

penurunan massa tulang dan perubahan struktur pada jaringan mikroarsitektur tulang

yang menyebabkan kerentanan tulang meningkat disertai kecenderungan terjadinya

fraktur, terutama pada proksimal femur, tulang belakang, dan pada tulang radius.

Kecenderungan terhadap ancaman fraktur baik laki-laki maupun perempuan adalah

sama (Permana, 2010).

Osteoposis disebut juga ‘silent disease’ karena tidak ada gejala pada saat orang

terkena osteoporosis sampai terjadi fraktur. Pada saat seseorang terkena osteoporosis,

akan sangat mudah terjadi fraktur. Umumnya fraktur akibat osteoporosis terjadi pada

pergelangan tangan, tulang belakang, dan pinggul. Fraktur di tulang belakang dan

pinggul dapat menyebabkan nyeri yang kronik, disabilitas dalam jangka waktu lama.

(American College of Rheumatology, 2010).

B. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan dari referat ini adalah untuk mengetahui materi mengenai arthritis

rheumatoid, osteoporosis, serta osteoartritis yang meliputi definisi, klasifikasi, faktor

risiko dan penyebab, penegakan diagnosis, dan penatalaksanaan.

C. Manfaat Penulisan

Manfaat yang diharapkan bisa diambil dari diadakannya penyusunan refrat ini

yaitu:

1. Sebagai bahan wacana bagi pihak institusi dan para akademisi FKIK Jurusan

Kedokteran UNSOED maupun FK UPN, khususnya mengenai Artritis

Rheumatoid, Osteoporosis, Osteoartritis.

2. Sebagai sarana pembelajaran bagi dokter muda dan syarat tugas stase Ilmu

Penyakit Bedah

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. TULANG

a. Anatomi Tulang

Tulang adalah jaringan hidup yang strukturnya dapat berubah apabila mendapat

tekanan. Tulang terdiri dari sel-sel, serabut-serabut, dan matriks. Tulang bersifat keras

karena matriks ekstraselularnya mengalami kalsifikasi dan mempunyai derajat

elastisitas tertentu akibat adanya serabut-serabut organik. Fungsi tulang yaitu

protektif, contohnya tengkorak dan culumna vertebralis melindungi otak dan medula

spinalis dari cedera. Tulang juga berperan sebagai pennngungkit seperti yang dapat

dilihat pada tulang panjang ekstrimitas. Selain itu, tulang merupakan tempat

penyimpanan utama untuk garam calcium. Sumsum tulang belakang yang berfungsi

untuk membentuk sel-sel darah terdapat di dalam dan dilindungi oleh tulang (Snell,

2006).

Tulang terdiri atas dua bentuk yaitu tulang kompakta dan tulang spongiosa. Tulang

kompakta tampak sebagai massa yang padat sedangkan tulang spongiosa terdiri atas

anyaman trabekula. Trabekula tersusun sedemikian rupa sehingga tahan akan tekanan

dan tarikan yang mengenai tulang (Guyton dan Hall, 2006).

http://en.wikipedia.org/

wiki/File:Illu_compact_spongy_bone.jpg

b. Fungsi Tulang

Tulang adalah suatu jaringan dan organ yang terstruktur dengan baik serta

mempunyai beberapa fungsi antara lain :

a. Membentuk rangka badan

b. Sebagai tempat melekatnya otot

c. Sebagai bagian dari tubuh untuk melindungi dan mempertahankan organ-organ

internal seperti otak, sumsum tulang belakang, buli-buli, jantung, dan paru-paru.

d. Sebagai tempat deposit kalsium, fosfor, magnesium, garam, dan dapat berfungsi

sebagai cadangan mineral tubuh, serta ikut membantu meregulasi komposisi

mineral pada tubulus ginjal, khususnya konsentrasi ion kalsium plasma dan cairan

ekstraseluler.

e. Mempunyai fungsi tambahan lain yaitu sebagai jaringan hematopeotik untuk

memproduksi sel-sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit ( Rasjad, 2008).

Stabilitas struktur dan komposisi tulang ditunjang oleh interaksi yang kompleks antara

aktivitas seluler yang diatur oleh hormon serta faktor-faktor lokal pada tulang. Gangguan

pada sistem ini akan berakibat pada gangguan metabolisme tulang dan akan menimbulkan

gangguan tulang yang bersifat umum (Rasjad, 2008).

2. SENDI

Sendi adalah tempat pertemuan dua atau lebih tulang. Tulang-tulang ini dipadukan

dengan berbagai cara, misalnya dengan kapsul sendi, pita fibrosa, ligament, tendon, fasia,

atau otot. Terdapat tiga tipe sendi:

a. Sendi fibrosa (sinartrodial), merupakan sendi yang tidak dapat bergerak.

b. Sendi kartilaginosa (amfiartrodial), merupakan sendi yang dapat sedikit bergerak.

c. Sendi synovial (diartrodial), merupakan sendi yang dapat digerakkan dengan bebas.

a. Sendi fibrosa

Sendi fibrosa tidak memiliki lapisan tulang rawan, dan tulang yang satu dengan tulang

lainnya dihubungkan oleh jaringan ikat fibrosa. Terdapat dua tipe sendi fibrosa: (1)

sutura diantara tulang-tulang tengkorak dan (2) sindesmosis yang terdiri dari suatu

membrane interoseus atau suatu ligament di antara tulang. Serat-serat ini

memungkinkan sedikit gerakan tetapi bukan merupakan gerakan sejati. Perlekatan

tulang tibia dan fibula bagian distal adalah suatu contoh dari tipe sendi fibrosa ini.

b. Sendi kartilaginosa

Sendi kartilaginosa adalah sendi yang ujung-ujung tulangnya dibungkus oleh rawan

hilain, disokong oleh ligament dan hanya dapat sedikit bergerak. Ada 2 tipe sendi

karilaginosa. Sinkondrosis adalah sendi-sendi yang seluruh persendiannya diliputi

oleh rawan hilain. Sendi-sendi kostokondral adalah contoh dari sinkondrosis. Simfisis

adalah sendi yang tulang-tulangnya memiliki suatu hubungan fibrokartilago antara

tulang dan selapis tipis rawan hilain yang menyelimuti permukaan sendi. Simfisis

pubis dan sendi-sendi pada tulang punggung adalah contohnya

c. Sendi Sinovial

Sendi synovial adalah persendian yang gerakannya bebas, merupakan bagian terbesar

dari persendian pada tubuh orang dewasa, contohnya sendi bahu dan panggul, sikut

dan lutut, sendi pada tulang-tulang jari tangan dan kaki, pergelangan tangan dan kaki.

d. Komponen Penunjang Sendi

Berikut adalah komponen penunjang sendi:

1) Kapsula sendi adalah lapisan berserabut yang melapisi sendi. Di bagian dalamnya

terdapat rongga.

2) Ligamen (ligamentum) adalah jaringan pengikat yang mengikat luar ujung tulang

yang saling membentuk persendian. Ligamentum juga berfungsi mencegah

dislokasi.

3) Tulang rawan hialin (kartilago hialin) adalah jaringan tulang rawan yang menutupi

kedua ujung tulang. Berguna untuk menjaga benturan.

4) Cairan sinovial adalah cairan pelumas pada kapsula sendi.

3. RHEUMATIOD ARTRITIS

a. Definisi

Artritis Reumatoid adalah penyakit inflamasi non-bacterial yang bersifat

sistemik,progresif,cenderung kronik dan mengenai sendi serta jaringan ikat sendi

secara simetris. Artritis Rematoid adalah suatu penyakit autoimun dimana persendian

(biasanya sendi tangan dan kaki) secara simetris mengalami peradangan, sehingga

terjadi pembengkakan, nyeri dan seringkali akhirnya menyebabkan kerusakan bagian

dalam sendi. Artritis rematoid juga bisa menyebabkan sejumlah gejala di seluruh

tubuh. Penyakit ini terjadi pada sekitar 1% dari jumlah penduduk, dan wanita 2-3 kali

lebih sering dibandingkan pria. Biasanya pertama kali muncul pada usia 25-50 tahun,

tetapi bisa terjadi pada usia berapapun. Penyakit ini timbul akibat dari banyak faktor

mulai dari genetik (keturunan) sampai pada gaya hidup kita (merokok). Salah satu

teori nya adalah akibat dari sel darah putih yang berpindah dari aliran darah ke

membran yang berada disekitar sendi.

b. Etiologi

Penyebab Artritis Reumatoid masih belum diketahui. Faktor genetik dan

beberapa faktor lingkungan telah lama diduga berperan dalam timbulnya penyakit ini.

Hal ini terbukti dari terdapatnya hubungan antara produk kompleks

histokompatibilitas utama kelas II, khususnya HLA-DR4 dengan AR seropositif.

Pengemban HLA-DR4 memiliki resiko relatif 4:1 untuk menderita penyakit ini.

Kecenderungan wanita untuk menderita AR dan sering dijumpainya remisi

pada wanita yang sedang hamil menimbulkan dugaan terdapatnya faktor

keseimbangan hormonal sebagai salah satu faktor yang berpengaruh pada penyakit

ini. Walaupun demikian karena pemberian hormon estrogen eksternal tidak pernah

menghasilkan perbaikan sebagaimana yang diharapkan, sehingga kini belum berhasil

dipastikan bahwa faktor hormonal memang merupakan penyebab penyakit ini.

Sejak tahun 1930, infeksi telah diduga merupakan penyebab AR. Dugaan

faktor infeksi sebagai penyebab AR juga timbul karena umumnya onset penyakit ini

terjadi secara mendadak dan timbul dengan disertai oleh gambaran inflamasi yang

mencolok. Walaupun hingga kini belum berhasil dilakukan isolasi suatu

mikroorganisme dari jaringan sinovial, hal ini tidak menyingkirkan kemungkinan

bahwa terdapat suatu komponen peptidoglikan atau endotoksin mikroorganisme yang

dapat mencetuskan terjadinya AR. Agen infeksius yang diduga merupakan penyebab

AR antara lain adalah bakteri, mikoplasma atau virus.

Heat shock protein (HSP) adalah sekelompok protein berukuran sedang (60

sampai 90 kDa) yang dibentuk oleh sel seluruh spesies sebagai respons terhadap

stress. Walaupun telah diketahui terdapat hubungan antara HSP dan sel T pada pasien

AR, mekanisme ini belum diketahui dengan jelas.10

c. Gejala

Artritis rematoid bisa muncul secara tiba-tiba, dimana pada saat yang sama banyak

sendi yang mengalami peradangan. Biasanya peradangan bersifat simetris, jika suatu

sendi pada sisi kiri tubuh terkena, maka sendi yang sama di sisi kanan tubuh juga akan

meradang. Yang pertama kali meradang adalah sendi-sendi kecil di jari tangan, jari

kaki, tangan, kaki, pergelangan tangan, sikut dan pergelangan kaki. Sendi yang

meradang biasanya menimbulkan nyeri dan menjadi kaku, terutama pada saat bangun

tidur atau setelah lama tidak melakukan aktivitas. Beberapa penderita merasa lelah

dan lemah, terutama menjelang sore hari. Sendi yang terkena akan membesar dan

segera terjadi kelainan bentuk. Sendi bisa terhenti dalam satu posisi (kontraktur)

sehingga tidak dapat diregangkan atau dibuka sepenuhnya. Jari-jari pada kedua tangan

cenderung membengkok ke arah kelingking, sehingga tendon pada jari-jari tangan

bergeser dari tempatnya. Pembengkakan pergelangan tangan bisa mengakibatkan

terjadinya sindroma terowongan karpal.

Di belakang lutut yang terkena, bisa terbentuk kista, yang apabila pecah bisa

menyebabkan nyeri dan pembengkakan pada tungkai sebelah bawah. Sekitar 30-40%

penderita memiliki benjolan keras (nodul) tepat dibawah kulit, yang biasanya terletak

di daerah sekitar timbulnya penyakit ini.

Bisa terjadi demam ringan dan kadang terjadi peradangan pembuluh darah

(vaskulitis) yang menyebabkan kerusakan saraf atau luka (ulkus) di tungkai.

Peradangan pada selaput di sekitar paru-paru (pleuritis) atau pada kantong di sekitar

jantung (perikarditis) atau peradangan dan pembentukan jaringan parut pada paru-

paru bias menyebabkan nyeri dada, gangguan pernafasan dan kelainan fungsi jantung.

Penderita lainnya menunjukkan pembengkakan kelenjar getah bening, sindroma Sj?

gren atau peradangan mata. Penyakit Still merupakan variasi dari artritis rematoid

dimana yang pertama muncul adalah demam tinggi dan gejala umum lainnya.

Sindroma Felty terjadi jika pada penderita artritis rematoid ditemukan pembesaran

limpa dan penurunan jumlah sel darah putih.

Gejala klinis utama AR adalah poliartritis yang mengakibatkan terjadinya

kerusakan pada rawan sendi dan tulang disekitarnya. Kerusakan ini terutama

mengenai sendi perifer pada tangan dan kaki yang umum nya bersifat simetris. Pada

kasus AR yang jelas diag-nosis tidak begitu sulit untuk ditegakkan. Akan tetapi pada

masa permulaan penyakit, seringkali gejala AR tidak bermanifestasi dengan jelas,

sehingga kadang kadang timbul kesulitan dalam menegakkan diagnosis. Walaupun

demikian dalam menghadapi AR yang pada umumnya berlangsung kronis ini, seorang

dokter tidak perlu terlalu cepat untuk menegakkan diagnosis yang pasti. Adalah lebih

baik untuk menunda diagnosis AR selama beberapa bulan dari pada gagal

mendiagnosis terdapatnya jenis arthritis lain yang seringkali memberi-kan gejala yang

serupa5. Pada penderita harus diberi tahukan bahwa semakin lama diagnosis AR tidak

dapat ditegakkan dengan pasti oleh seorang dokter yang berpengalaman, umumnya

akan semakin baik pula prognosis AR yang dideritanya.

d. Kriteria Diagnosis

Kriteria diagnostik AR disusun untuk pertama kalinya oleh suatu komite

khusus dari American Rheumatism Association (ARA) pada tahun 1956. Karena

kriteria tersebut dianggap tidak spesifik dan terlalu rumit untuk digunakan dalam

klinik, komite tersebut melakukan peninjauan kembali terhadap kriteria klasifikasi AR

tersebut pada tahun 1958. Dengan criteria tahun 1958 ini ini seseorang dikatakan

menderita AR klasik jika memenuhi 7 dari 11 kriteria yang ditetapkan, definit jika

memenuhi 5 kriteria, probable jika memenuhi 3 kriteria dan possible jika hanya

memenuhi 2 kriteria saja. Walaupun kriteria tahun 1958 ini telah digunakan selama

hampir 30 tahun, akan tetapi dengan terjadinya perkembangan pengetahuan yang

pesat mengenai AR, ternyata diketahui bahwa dengan menggunakan kriteria tersebut

banyak dijumpai kesalahan diagnosis atau dapat me-masukkan jenis artritis lain

seperti spondyloarthro-pathy seronegatif, penyakit pseudorheumatoid akibat deposit

calcium pyrophosphate dihydrate, lupus erite-matosus sistemik, polymyalgia

rheumatica, penyakit Lyme dan berbagai jenis artritis lainnya sebagai AR.

Pembagian AR sebagai classic, definite, probable dan possible, secara klinis

juga dianggap tidak relevan lagi. Hal ini disebabkan karena dalam praktek sehari hari,

tidak perlu dibedakan piñata laksanaan AR yang classic dari AR definite. Selain itu

seringkali penderita yang terdiagnosis sebagai menderita AR probable ternyata

menderita jenis artritis yang lain. Walaupun peranan faktor reumatoid dalam pato-

genesis AR belum dapat diketahui dengan jelas, da-hulu dianggap penting untuk

memisahkan kelompok penderita seropositif dari seronegatif. Akan tetapi pada

faktanya, faktor reumatoid seringkali tidak dapat dijumpai pada stadium dini penyakit

atau pembentukan nya dapat ditekan oleh disease modifying anti-rheumatic drugs

(DMARD). Selainitu. Spesifisitas faktor reumatoid ternyata tidak dapat diandalkan

karena dapat pula dijumpai pada beberapa penyakit lain. Dua kriteria tahun 1958 yang

lain seperti analisis bekuan musin dan biopsi membran sinovial memerlukan prosedur

invasive sehingga tidak praktis untuk digunakan dalam diagnosis rutin.

Denganmenggabungkan variabel yang paling sensitif dan spesifik pada 262 penderita

AR dan 262 penderita kontrol, pada 1987 ARA berhasil dilakukan revisi susunan

kriteria klasifikasi reumatoid artritis dalam format tradisional yang baru. Susunan

kriteria tersebut adalah sebagai berikut:

1987 Revised A.R.A. Criteria for Rheumatoid Arthritis

1. Kaku pagi hari

2. Artritis pada 3 daerah persendian atau lebih

3. Artritis pada persendian tangan

4. Artritis simetris

5. Nodul reumatoid

6. Faktor reumatoid serum positif

7. Perubahan gambaran radiologis

Penderita dikatakan menderita AR jika memenuhi sekurang kurangnya kriteria

1 sampai 4 yang diderita sekurang kurangnya 6 minggu.

e. Pengobatan AR

Walaupun hingga kini belum berhasil didapatkan suatu cara pencegahan dan

pengobatan AR yang sempurna, saat ini pengobatan pada penderita AR ditujukan

untuk: Menghilangkan gejala inflamasi aktif baik lokal maupun sistemik Mencegah

terjadinya destruksi jaringan Mencegah terjadinya deformitas dan memelihara

fungsi persendian agar tetap dalam keadaan baik. Mengembalikan kelainan fungsi

organ dan persen dian yang terlibat agar sedapat mungkin menjadi normal kembali.

Dalam pengobatan AR umumnya selalu dibutuh kan pendekatan

multidisipliner. Suatu team yang idealnya terdiri dari dokter, perawat, ahli

fisioterapi, ahli terapi okupasional, pekerja sosial, ahli farmasi, ahli gizi dan ahli

psikologi, semuanya memiliki peranan masing masing dalam pengelolaan penderita

AR baik dalam bidang edukasi maupun penatalaksanaan pengobatan penyakit ini.

Pertemuan berkala yang teratur antara penderita dan keluarganya dengan team

pengobatan ini umumnya akan memungkinkan penatalaksanaan penderita menjadi

lebih baik dan juga akan meningkatkan kepatuhan penderita untuk berobat.

Setelah diagnosis AR dapat ditegakkan, pendekatan pertama yang harus

dilakukan adalah segera berusaha untuk membina hubungan yang baik antara

penderita dan keluarganya dengan dokter atau team pengobatan yang merawatnya.

Tanpa hubungan yang baik ini agaknya akan sukar untuk dapat memelihara ketaatan

penderita untuk tetap berobat dalam suatu jangka waktu yang cukup lama. Peranan

Pendidikan dalam Pengobatan AR Penerangan tentang kemungkinan faktor etiologi,

patogenesis, riwayat alamiah penyakit dan penatalaksanaan AR kepada penderita

merupakan hal yang amat penting untuk dilakukan. Dengan penerangan yang baik

mengenai penyakitnya, penderita AR diharapkan dapat melakukan kontrol atas

perubahan emosional, motivasi dan kognitif yang terganggu akibat penyakit ini. Saat

ini terdapat telah banyak publikasi tentang manfaat pendidikan dini pada penderita

AR. Salah satu yang banyak dilaksanakan di Amerika Serikat dan Kanada adalah

adalah The Arthritis Self Management Program, yang diperkenalkan oleh Lorig dkk.

dari Stanford University. Peningkatan pengetahuan penderita tentang penyakitnya

telah terbukti akan meningkatkan motivasinya untuk melakukan latihan yang

dianjurkan, sehingga dapat mengurangi rasa nyeri yang dialaminya. Trend

Pengobatan AR Saat Ini Berbeda dengan trend pada dekade yang lalu, saat ini

banyak di antara para ahli penyakit reumatik yang telah meninggalkan cara

pengobatan tradisional yang menggunakan 'piramida terapeutik. Beberapa ahli

bahkan menganjurkan untuk menggunakan pendekatan step down bridge dengan

menggunakan kombinasi beberapa jenis DMARD yang dimulai pada saat yang dini

untuk kemudian dihentikan secara bertahap pada saat aktivitas AR telah dapat

terkontrol. Hal ini didasarkan pada pendapat bahwa penatalaksanaan yang efektif

hanya dapat dicapai bila pengobatan dapat diberikan pada masa dini penyakit.

Penggunaan OAINS dalam PengobatanAR

Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) umum nya diberikan pada

penderita AR sejak masa dini penyakit yang dimaksudkan untuk mengatasi nyeri

sendi akibat inflamasi yang seringkali dijumpai walaupun belum terjadi proliferasi

sinovial yang bermakna. Selain dapat mengatasi inflamasi, OAINS juga memberikan

efek analgesik yang sangat baik. OAINS terutama bekerja dengan menghambat

enzim siklooxygenase sehingga menekan sintesis prostaglandin. Masih belum jelas

apakah hambatan enzim lipooxygenase juga berperanan dalam hal ini, akan tetapi

jelas bahwa OAINS berkerja dengan cara:

1. Memungkinkan stabilisasi membran lisosomal

2. Menghambat pembebasan dan aktivitas mediator inflamasi (histamin, serotonin,

enzim lisosomal dan enzim lainnya).

3. Menghambat migrasi sel ke tempat peradangan

4. Menghambat proliferasi seluler

5. Menetralisasi radikal oksigen

6. Menekan rasa nyeri

Selama ini telah terbukti bahwa OAINS dapat sangat berguna dalam

pengobatan AR, walaupun OAINS bukanlah merupakan satu satunya obat yang

dibutuhkan dalam pengobatan AR. Hal ini di sebabkan karena golongan OAINS

tidak memiliki khasiat yang dapat melindungi rawan sendi dan tulang dari proses

destruksi akibat AR. Untuk mengatasi proses destruksi tersebut masih diperlukan

obat obatan lain yang termasuk dalam golongan DMARD.

Efek Samping OAINS pada Pengobatan Penderita AR

Semua OAINS secara potensial umumnya ber-sifat toksik. Toksisitas OAINS

yang umum dijumpai adalah efek sampingnya pada traktus gastrointestinalis

terutama jika OAINS digunakan bersama obat obatan lain, alkohol, kebiasaan

merokok atau dalam keadaan stress. Usia juga merupakan suatu faktor risiko untuk

mendapatkan efek samping gastrointestinal akibat OAINS. Pada penderita yang

sensitif dapat digunakan preparat OAINS yang berupa suppositoria, pro drugs,

enteric coated, slow release atau non-acidic. Akhir akhir ini juga sedang

dikembangkan OAINS yang bersifat selektif terhadap jalur COX-2 metabolisme

asam arakidonat. OAINS yang selektif terhadap jalur COX-2 umumnya kurang

berpengaruh buruk pada mukosa lambung dibandingkan dengan preparat OAINS

biasa.

Efek samping lain yang mungkin dijumpai pada pengobatan OAINS antara

lain adalah reaksi hiper-sensitivitas, gangguan fungsi hati dan ginjal serta pe-

nekanan sistem hematopoetik. Selama duapuluh tahun terakhir ini, berbagai jenis

OAINS baru dari berbagai golongan dan cara penggunaan telah dapat diperoleh di

pasaran. Dalam memilih suatu OAINS untuk digunakan pada seorang penderita AR,

seorang dokter umumnya harus mempertimbangkan beberapa hal seperti:

1. Khasiat anti inflamasi

2. Efek samping obat

3. Kenyamanan / kepatuhan penderita

4. Biaya.

Karena faktor seperti khasiat anti inflamasi, efek analgesik, beratnya efek

samping atau biaya dari berbagai jenis OAINS saat ini umumnya masih tidak jauh

berbeda, sejak beberapa tahun terakhir ini pilihan OAINS lebih banyak bergantung

pada faktor kenyamanan dan kepatuhan penderita dalam menggunakan OAINS.

Penggunaan DMARD pada Penderita AR Pada dasarnya saat ini terdapat terdapat

dua cara pendekatan pemberian DMARD pada pengobatan penderita AR. Cara

pertama adalah pemberian DMARD tunggal yang dimulai dari saat yang sangat dini.

Pendekatan ini didasarkan pada pemikiran bahwa destruksi sendi pada AR terjadi

pada masa dini penyakit. Brook and Corbett, pada penelitiannya menemukan bahwa

90% penderita AR telah menunjukkan gambaran erosi secara radiologis pada dua

tahun pertama setelah menderita penyakit. Hasil pengobatan jangka panjang yang

buruk pada sebagian besar penelitian sangat mungkin disebabkan karena pengobatan

baru dimulai setelah masa kritis ini dilampaui.

Cara pendekatan lain adalah dengan menggunakan dua atau lebih DMARD

secara simultan atau secara siklik seperti penggunaan obat obatan imunosupresif

pada pengobatan penyakit keganasan.

Kecenderungan untuk menggunakan kombinasi DMARD dalam pengobatan

AR ini timbul sejak dekade yang silam karena banyak diantara para ahli reumatologi

beranggapan bahwa terapi DMARD secara sekwensial, pada jangka panjang tidak

berhasil mencegah terjadinya kerusakan sendi yang progresif. Sebenarnya tidak

terdapat suatu batasan yang tegas mengenai kapan kita harus mulai menggunakan

DMARD. Hal ini disebabkan karena hingga kini belum terdapat suatu cara yang

tepat untuk dapat mengukur beratnya sinovitis atau destruksi tulang rawan pada

penderita AR.

Dengan demikian, keputusan untuk menggunakan DMARD pada seorang

penderita AR akan sepenuhnya bergantung pada pertimbangan dokter yang

mengobatinya. Umumnya pada penderita yang diagnosisnya telah dapat ditegakkan

dengan pasti, OAINS harus diberikan dengan segera. Pada penderita yang tersangka

menderita AR yang tidak menunjukkan respons terhadap OAINS yang cukup baik

dalam beberapa minggu, DMARD dapat dimulai diberikan untuk dapat mengontrol

progresivitas penyakitnya. Beberapa jenis DMARD yang lazim digunakan untuk

pengobatan AR adalah:

Klorokuin

Klorokuin merupakan DMARD yang paling banyak digunakan di Indonesia.

Hal ini disebabkan karena klorokuin sangat mudah didapat dengan biaya yang amat

terjangkau sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah Indonesia dalam hal eradikasi

penyakit malaria.

Sebagai DMARD, klorokuin memiliki beberapa keterbatasan. Banyak diantara

para ahli yang ber-pendapat bahwa khasiat dan efektivitas klorokuin agaknya lebih

rendah dibandingkan dengan DMARD lainnya, walaupun toksisitasnya juga lebih

rendah dibandingkan dari DMARD lainnya. Dari pengalaman penggunaan klorokuin

di Indonesia diketahui bahwa sebagian penderita akan menghentikan penggunaan

klorokuin pada suatu saat karena merasa bahwa obat ini kurang bermanfaat bagi

penyakitnya.

Toksisitas klorokuin sebenarnya tidak perlu terlalu dikhawatirkan. Klorokuin

dapat digunakan dengan aman jika dilakukan pemantauan yang baik selama

penggunaannya dalam jangka waktu yang panjang. Efek samping pada mata,

sebenarnya hanya terjadi pada sebagian kecil penderita saja. Mackenzie and

Scherbel, pada penelitiannya telah dapat menunjukkan bahwa toksisitas klorokuin

pada retina hanya bergantung pada dosis harian saja dan bukan dosis kumulatifnya.

Dosis antimalaria yang dianjurkan untuk pengobatan AR adalah klorokuin

fosfat 250 mg/hari atau hidroksiklorokuin 400 mg/hari. Pada dosis ini jarang sekali

terjadi komplikasi penurunan ketajaman penglihatan. Efek samping lain yang

mungkin dijumpai pada penggunaan antimalaria adalah dermatitis makulopapular,

nausea, diare dan anemia hemolitik. Walaupun sangat jarang dapat pula terjadi

diskrasia darah atau neuromiopati pada beberapa penderita.

Sulfazalazine

Sulfasalazine (SASP,salicyl-azo-sulfapyridine) diperkenalkan untuk pertama

kalinya oleh Nana Svartz di Swedia pada sekitar tahun 1930. Pada mulanya obat ini

digunakan untuk mengobati artritis inflamatif yang diduga disebabkan karena

infeksi, akan tetapi setelah digunakan beberapa waktu, perhatian terhadap obat ini

menurun akibat dipublikasikannya laporan Sinclair dan Duthie mengenai pengaruh

yang kurang baik pada penggunaan obat ini di Inggris. Obat ini kemudian kembali

menjadi populer setelah di publikasikannya laporan McConkey, Bird dan kawan

kawan yang meneliti kembali khasiat SASP pada penderita AR dengan metodologi

penelitian yang lebih baik.

Untuk pengobatan AR sulfasalazine dalam bentuk enteric coated tablet

digunakan mulai dari dosis 1 x 500 mg / hari, untuk kemudian ditingkatkan 500 mg

setiap minggu sampai mencapai dosis 4 x 500 mg. Setelah remisi tercapai dengan

dosis 2 g /hari, dosis diturunkan kembali sehingga mencapai 1 g /hari untuk

digunakan dalam jangka panjang sampai remisi sempurna terjadi. Jika sulfasalazine

tidak menunjukkan khasiat yang di kehendaki dalam 3 bulan, obat ini dapat

dihentikan dan digantikan dengan DMARD lain atau tetap digunakan dalam bentuk

kombinasi dengan DMARD lainnya.

Kurang lebih 20% penderita AR menghentikan pengobatan SASP karena

mengalami nausea, mun-tah atau dispepsia. Gangguan susunan syaraf pusat seperti

pusing atau iritabilitas dapat pula dijumpai. Neutropenia, agranulositosis dan

pansitopenia yang reversible telah pernah dilaporkan terjadi pada penderita yang

mendapatkan SASP. Ruam kulit terjadi kurang lebih pada 1% sampai 5% dari

penderita yang menggunakan SASP. Penurunan jumlah sel spermatozoa yang

reversibel juga pernah dilaporkan walaupun belum pernah dilaporkan adanya

pening-katan abnormalitas foetus.

D-penicillamine

D-penicillamine (DP) mulai meluas penggunaannya sejak tahun tujuhpuluhan.

Walaupun demikian, karena obat ini bekerja sangat lambat, saat ini DP kurang

disukai lagi untuk digunakan dalam pengobatan AR. Umumnya diperlukan waktu

pengobatan kurang lebih satu tahun untuk dapat mencapai keadaan remisi yang

adekwat, dan rentang waktu ini dianggap terlalu lama bagi sebagian besar penderita

AR.

Dalam pengobatan AR, DP (Cuprimin 250 mg atau Trolovol 300 mg)

digunakan dalam dosis 1 x 250 sampai 300 mg/hari kemudian dosis ditingkatkan

setiap dua sampai 4 minggu sebesar 250 sampai 300 mg/hari untuk mencapai dosis

total 4 x 250 sampai 300 mg/hari.

Efek samping DP antara lain adalah ruam kulit urtikarial atau morbilformis

akibat reaksi alergi, stomatitis dan pemfigus. DP juga dapat menyebabkan

trombositopenia, lekopenia dan agranulositosis. Pada ginjal DP dapat menyebabkan

timbulnya proteinuria ringan yang reversible sampai pada suatu sindroma nefrotik.

Efek samping lain yang juga dapat timbul adalah lupus like syndrome, polimiositis,

neuritis, miastenia gravis, gangguan mengecap, nausea, muntah, kolestasis

intrahepatik dan alopesia.

Garam emas

Auro Sodium Thiomalate (AST) intramuskular telah dianggap sebagai suatu

gold standard bagi DMARD sejak 20 tahun terakhir ini. Khasiat obat ini tidak

diragukan lagi, walaupun penggunaan obat ini seringkali menyertakan efek samping

dari yang ringan sampai yang cukup berat.

AST (Tauredon ampul 10, 20 dan 50 mg) diberikan secara intramuskular yang

dimulai dengan dosis percobaan pertama sebesar 10 mg, disusul dengan dosis

percobaan kedua sebesar 20 mg setelah 1 minggu kemudian. Setelah 1 minggu, dosis

penuh diberikan sebesar 50 mg / minggu selama 20 minggu. Jika respons penderita

belum memuaskan setelah 20 minggu, pengobatan dapat dilanjutkan dengan

pemberian dosis tambahan sebesar 50 mg setiap 2 minggu sampai 3 bulan. Kalau

masih diperlukan AST kemudian dapat diberikan dalam dosis sebesar 50 mg setiap 3

minggu sampai keadaan remisi yang memuaskan dapat tercapai.

Efek samping AST antara lain adalah pruritus, stomatitis, proteinuria,

trombositopenia dan aplasia sumsum tulang. Efek samping AST agaknya terjadi

lebih sering pada pengemban HLA- DR3A. Jika timbul efek samping yang ringan,

dosis AST dapat dikurangi atau dihentikan untuk sementara. Jika gejala efek

samping tersebut menghilang, AST kemudian dapat diberikan lagi dalam dosis yang

lebih rendah.

Ridaura (auranofin tablet 3 mg) adalah preparat garam emas oral telah dikenal

sejak awal dekade yang lalu dan dianggap sebagai DMARD yang berlainan sifatnya

dari AST. Walaupun obat ini terbukti berkhasiat dalam pengobatan AR, lebih mudah

digunakan serta tidak memerlukan pemantauan yang ketat seperti AST, banyak para

ahli yang berpendapat bahwa khasiat auranofin tidaklah lebih baik dibandingkan

dengan AST.

Auranofin sangat berguna bagi penderita AR yang menunjukkan efek samping

terhadap AST. Auranofin diberikan dalam dosis 2 x 3 mg sehari. Efek samping

proteinuria dan trombositopenia lebih jarang dijumpai dibandingkan dari

penggunaan AST. Pada awal penggunaan auranofin, banyak penderita yang

mengalami diare, yang dapat diatasi dengan menurun- kan dosis pemeliharaan yang

digunakan.

Methotrexate

Methotrexate (MTX) adalah suatu sitostatika golongan antagonis asam folat

yang banyak digunakan sejak 15 tahun yang lalu. Obat ini sangat mudah digunakan

dan rentang waktu yang dibutuhkan untuk dapat mulai bekerja relatif lebih pendek

(3 - 4bulan) jika dibandingkan dengan DMARD yang lain. Dalam pengobatan

penyakitkeganasan, MTX bekerja dengan menghambat sintesis thymidine sehingga

menyebab-kan hambatan pada sintesis DNA dan proliferasi selular. Apakah

mekanisme ini juga bekerja dalam penggunaannya sebagai DMARD belum

diketahui dengan pasti. Pemberian MTX umumnya dimulai dalam dosis 7.5 mg

(5 mg untuk orang tua) setiap minggu. Walaupun dosis efektif MTX sangat

bervariasi, sebagian besar penderita sudah akan merasakan manfaatnya dalam 2

sampai 4 bulan setelah pengobatan. Jika tidak terjadi kemajuan dalam 3 sampai 4

bulan maka dosis MTX harus segera ditingkatkan. Efek samping MTX dalam dosis

rendah seperti yang digunakan dalam pengobatan AR umumnya jarang dijumpai

akan tetapi juga dapat timbul berupa kerentanan terhadap infeksi, nausea, vomitus,

diare, stomatitis, intoleransi gastrointestinal, gangguan fungsi hati, alopesia,

aspermia atau leukopenia. Efek samping ini biasanya dapat diatasi dengan

mengurangi dosis atau menghentikan pemberian MTX. Kelainan hati dapat dicegah

dengan tidak menggunakan MTX pada penderita AR yang obese, diabetik, peminum

alkohol atau penderita yang sebelumnya telah memiliki kelainan hati.

Pada penderita AR yang menunjukkan respons yang baik terhadap MTX,

pemberian asam folinat (Leucovorin) dapat mengurangi beratnya efek samping yang

terjadi. Leucovorin diberikan dalam dosis 6 sampai 15 mg/m2 luas permukaan badan

setiap 6 jam selama 72 jam jika terdapat efek samping MTX yang dapat

membahayakan penderita. Walaupun penggunaan MTX memberikan harapan yang

baik dalam pengobatan AR, akan tetapi seperti halnya penggunaan sitostatika lain,

MTX sebaiknya hanya diberikan kepada penderita AR yang progresif dan gagal di

kontrol dengan DMARD standard lainnya.

Cyclosporin -A

Cyclosporin – A (CS-A), adalah suatu undeca-peptida siklik yang di isolasi

dari jamur Tolypocladium inflatum Gams pada tahun 1972. Dalam dosis rendah,

CS-A telah terbukti khasiatnya sebagai DMARD dalam mengobati penderita AR.

Pengobatan dengan CS-A terbukti dapat menghambat progresivitas erosi dan

kerusakan sendi. Kendala utama penggunaan obat ini adalah sifat nefrotoksik yang

sangat bergantung pada dosis yang digunakan. Gangguan fungsi ginjal ini dapat

menyebabkan terjadinya peningkatan kadar kreatinin serum atau hipertensi. Efek

samping lain CS-A adalah gangguan fungsi hati, hipertrofi gingiva, hipertrikosis,

rasa terbakar pada ekstremitas dan perasaan lelah.

Dosis awal CS-A yang lazim digunakan untuk pengobatan AR adalah 2,5

mg/KgBB/hari yang diberikan terbagi dalam 2 dosis setiap 12 jam. Dosis dapat

ditingkatkan sebesar 25% dosis awal setelah 6 minggu hingga mencapai 4

mg/KgBB/hari sehingga sehingga tercapai kadar CS-A serum sebesar 74 - 150 ng/ml

atau jika kadar kreatinin serum meningkat mencapai lebih dari 50% nilai basal.

Dosis peme-liharaan rata rata berkisar antara 4 mg/KgBB/hari. Dalam dosis tersebut

ternyata terjadi perbaikan yang bermakna dalam beberapa outcome yang diukur.

Bridging Therapy dalam Pengobatan AR

Bridging therapy adalah pemberian glukokortikoid dalam dosis rendah (setara

dengan prednison 5 sampai 7,5 mg/hari) sebagai dosis tunggal pada pagi hari.

Walaupun pemberian glukokortikoid dosis rendah tidak menimbulkan perubahan

yang bermakna kadar dan irama kortisol plasma atau growth hormone, pemberian

glukokortikoid dosis rendah ini akan sangat berguna untuk mengurangi keluhan

penderita sebelum DMARD yang diberikan dapat bekerja.

Pengobatan AR Eksperimental

Selain dari cara pengobatan di atas, terdapat pula beberapa cara lain yang

dapat dipakai untuk mengobati penderita AR, akan tetapi karena belum dilakukan uji

klinik mengenai khasiat dan efektivitas dari modalitas tersebut, cara pengobatan

tersebut masih bersifat eksperimental dan belum digunakan secara luas dalam

pengobatan AR. Pengobatan eksperimental AR ini antara lain meliputi penggunaan

plasmaferesis, thalidomide, J-interferon, inhibitor IL-1 dan antibodi monoclonal.

Peranan Dietetik dalam Pengobatan AR

AR adalah suatu penyakit inflamasi sistemik kronik dan bukan suatu penyakit

metabolik. Walaupun beberapa jenis modifikasi dietetik, antara lain yang terakhir

berupa suplementasi asam lemak omega 3 seperti asam eikosapentanoat pernah

dicoba dalam beberapa penelitian, ternyata hasilnya tidak begitu meyakinkan.

Dengan demikian hingga saat ini sebagian besar para ahli berpendapat bahwa selain

untuk mencapai berat badan ideal, agaknya modifikasi dietetik saat ini belum jelas

kegunaannya dalam merubah riwayat alamiah penyakit ini

4. OSTEOPOROSIS

a. Definisi

Osteoporosis adalah kelainan di mana terjadi penurunan massa tulang total.

Terdapat perubahan pergantian tulang homeostasis normal, kecepatan resorpsi tulang

lebih besar dari kecepatan pembentukan tulang, pengakibatkan penurunan masa

tulang total. Tulang secara progresif menjadi porus, rapuh dan mudah patah; tulang

menjadi mudah fraktur dengan stres yang tidak akan menimbulkan pengaruh pada

tulang normal.

Osteoporosis adalah penyakit tulang paling umum pada orang dewasa,

terutama pada usia tua. Penyakit ini lebih disebabkan oleh berkurangnya matriks

organik daripada kelainan kalsifikasi tulang. Aktivitas osteoblastik pada osteoporosis

biasanya adalah kurang dari normal. Oleh karena itu sebagai akibatnya adalah

kecepatan pengendapan tulang berkurang. Akan tetapi dapat pula disebabkan oleh

aktivitas osteoklas yang berlebihan (Guyton dan Hall, 2006)

http://

www.graphicshunt.com/health/images/osteoporosis-65.htm

Hampir separuh masa kehidupan terjadi mekanisme kerusakan tulang

(resorpsi) dan pembentukan tulang (formasi). Selama masa anak-anak dan dewasa

muda, pembentukan tulang jauh lebih cepat dibandingkan dengan kerusakan tulang.

Titik puncak massa tulang (peak bone mass) tercapai pada usia sekitar 30 tahun dan

setelah itu mekanisme resorpsi tulang menjadi jauh lebih cepat dibandingkan dengan

pembentukan tulang. Penurunan massa tulang yang cepat akan menyebabkan

kerusakan pada mikroarsitektur tulang khususnya pada tulang trabekular (Permana,

2010).

Osteoposis disebut juga ‘silent disease’ karena tidak ada gejala pada saat

orang terkena osteoporosis sampai terjadi fraktur. Pada saat seseorang terkena

osteoporosis, akan sangat mudah terjadi fraktur. Umumnya fraktur akibat osteoporosis

terjadi pada pergelangan tangan, tulang belakang, dan pinggul. Fraktur di tulang

belakang dan pinggul dapat menyebabkan nyeri yang kronik, disabilitas dalam jangka

waktu lama. (American College of Rheumatology, 2010).

http://www.graphicshunt.com/health/images/osteoporosis-68.htm

b. Penyebab dan Faktor Risiko Osteoporosis

Sebagian besar penyebab osteoporosis adalah :

a. Kurangnya stres fisik terhadap tulang karena tidak aktif

b. Malnutrisi yang berlebihan sehingga tidak dapat dibentuk matriks protein yang

cukup

c. Kurangnya vitamin C yang diperlukan untuk sekresi bahan-bahan intraseluler

oleh seluruh sel, termasuk osteoblas.

d. Kurangnya sekresi estrogen pada masa postmenopause oleh karena estrogen

mempunyai aktivitas perangsang osteoblas.

e. Pada usia tua, dimana hormon pertumbuhan dan faktor pertumbuhan lainnya

sangat berkurang ditambah dengan banyaknya fungsi anabolik protein buruk,

sehingga matriks tulang tidak dapat diendapkan dengan baik.

f. Penyakit Cushing, karena glukokortikoid yang disekresikan pada penyakit ini

sangat banyak sehingga menyebabkan berkurangnya pengendapan proteindi

seluruh tubuh dan meningkatnya katabolisme protein dan juga mempunyai

efek khusus menekan aktivitas osteoblastik.

Faktor-faktor risiko terjadinya osteoporosis :

a. Usia tua : mulai dari usia pertengahan 30-an tahun tulang mulai kehilangan

kekuatan dan mulai terjadi ketidakseimbangan antara resorpsi tulang dan

pembentukan tulang.

b. Struktur tulang yang kecil.

c. Riwayat keluarga dengan osteoporosis atau fraktur akibat osteoporosis.

d. Riwayat fraktur sebelumnya pada trauma ringan, terutama pada usia lebih dari

50 tahun.

e. Defisiensi hormon estrogen.

f. Anorexia nervosa

g. Merokok

h. Penyalahgunaan alkohol

i. Intake diet yang rendah atau kurangnya absorpsi kalsium dan vitamin D.

j. Imobilitas.

k. Pengobatan : glukokortikoid seperti prednisone atau prednisolone.

l. Beberapa penyakit yang dapat mempengaruhi tulang seperti kelainan endokrin

: hipertiroid, hiperparatiroid, dan Cushing syndrome ( Rasjad, 2008).

c. Jenis-Jenis Osteoporosis

a. Osteoporosis Primer

Osteoporosis primer terbagi menjadi dua tipe yaitu

a. Tipe 1 : tipe yang timbul pada wanita pasca menopause

b. Tipe 2 : terjadi pad aorang lanjut usia, baik pria maupun wanita.

b. Osteoporosis Sekunder

Osteoporosis sekunder terutama disebabkan oleh penyakit-penyakit erosif

(misalya mieloma multipel, hiperparatiroidisme, hipertiroidisme) dan akibat obat-

obatan yang toksik untuk tulang (misalnya glukokortikoid).

c. Osteoporosis Idiopatik

Osteoporosis idiopatik adalah osteoporosis yang tidak diketahui penyebabnya

dan ditemukan pada usia anak-anak, remaja, wanita pra menopause, dan pria usia

pertengahan ( Rasjad, 2008)..

d. Gambaran Klinis

Gambaran klinis yang dapat ditemukan adalah :

a.) Nyeri tulang

Nyeri terutama terasa pada tulang belakang yang intensitas serangannya

meningkat pada malam hari. Nyeri dengan atau tanpa fraktur yang nyata. Nyeri

berkurang pada saat istirahat di tempat tidur

Nyeri ringan pada saat bangun tidur dan dan akan bertambah oleh karena

melakukan aktivitas

b.) Deformitas tulang

Dapat terjaid fraktur traumatik pada vertebra dan menyebabkan kifosis anguler

yang dapat menyebabkan medula spinalis tertekan sehingga terjadi paraparesis

( Rasjad, 2008).

e. Diagnosis

pada dasarnya penderita osteoporosis yang datang ke dokter dibagi dalam dua

keadaan yaitu :

1.) Sebelum terjadi patah tulang

Penderita (terutama wanita tua) biasanya datang dengan keluhan nyeri tulang

terutama tulang belakang, badan bungkuk, dan sudah menopause. Untuk penegakan

diagnosisnya yang akurat dilakukan beberapa pemeriksaan yaitu :

a.) Pemeriksaan non invasif

Pemeriksaan non invasif yang dapat dilakukan di antaranya adalah:

- pemeriksaan analisis aktififasi neutron yang bertujuan untuk memeriksa

kalsium total dan massa tulang.

- pemeriksaan absorpsimetri

- pemeriksaan komputer tomografi (CT)

b.) Pemeriksaan biopsi

Pemeriksaan ini bersifat invasif dan berguna untuk memberikan informasi

mengenai keadaan osteoklas, osteoblas, ketebalan trabekula, dan kualitas

mineralisasi tulang. Biopsi dilakukan di tulang sternum atau krista iliaka.

c.) Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan kimia darah dan kimia urin biasanya dalam batas normal,

sehingga pemeriksaan ini tidak banyak membantu kecuali pada pemeriksaan

bomakers osteocalcin (G1a protein) dan osteonektin untuk melihat proses

mineralisasi serta untuk membedakannya dengan nyeri tulang oleh kausa yang

lain.

2.) Setelah terjadi patah tulang

Penderita biasanya datang dengan keluhan tiba-tiba punggung terasa sangat

nyeri (nyeri punggung akut), nyeri pada pangkal paha atau bengkak pada

pergelangan tangan setelah jatuh. Pemeriksaan radiologis dapat membantu

melihat gambaran patah tulang pada tempat-tempat tersebut ( Rasjad, 2008).

f. Penatalaksanaan

Prinsip Pengobatan

o Meningkatkan pembentukan tulang, obat-obatan yang dapat meningkatkan

pembentukan tulan adalah Na-fluorida dan steroid anabolik

o Menghambat resobsi tulang, obat-obatan yang dapat mengahambat resorbsi

tulang adalah kalsium, kalsitonin, estrogen dan difosfonat

o Pemasangan penyangga tulang belakang (spinal brace) untuk mengurangi nyeri

punggung

Pencegahan

Pencegahan sebaiknya dilakukan pada usia pertumbuhan/dewasa muda, hal ini

bertujuan:

Mencapai massa tulang dewasa Proses konsolidasi yang optimal

Menghindari faktor-faktor risiko osteoporosis serta penanganan terhadap

deformitas serta fraktur yang terjadi

Mengatur makanan dan life style yg menjadi seseorang tetap bugar seperti:

1. Diet mengandung tinggi kalsium (1000 mg/hari)

2. Latihan teratur setiap hari

3. Hindari :

Makanan tinggi protein

Minum alkohol

Merokok

Minum kopi

Minum antasida yang mengandung aluminium ( Rasjad, 2008).

4. OSTEOARTRITIS

a. Definisi

Osteoartritis adalah gangguan pada sendi yang bergerak. Penyakit ini bersifat kronik,

berjalan progresif lambat, tidak meradang, dan ditandai oleh adanya deteriorasi dan abrasi

rawan sendi dan adanya pembentukan tulang baru pada permukaan persendian. Dapat

disebut juga sebagai arthdegenerative, dimana merupakan bentuk noninflamatorik dari

destruksi sendi progresif.

b. Epidemiologi

Osteoartritis adalah bentuk arthritis yang paling umum dengan jumlah pasiennya sedikit

melampaui separuh jumlah pasien arthritis. Gangguan ini sedikit lebih banyak pada

perempuan daripada laki-laki dan terutama ditemukan pada orang-orang yang berusia

lebih dari 45 tahun.

c. Faktor-faktor yang mempengaruhi

1. Kondrosit dan usia

Kondrosit adalah sel yang bertugas membentuk proteoglikan dan kolagen pada rawan

sendi. Dengan alasan-alasan yang masih belum diketahui, sintesis proteglikan dan

kolagen meningkat tajam pada osteoarthritis. Tetapi, substansi ini juga dihancurkan

dengan kecepatan yang lebih tinggi, sehingga pembentukan tidak mengimbangi

kebutuhan. Sejumlah kecil cartilage tipe I menggantikan tipe II yang normal, sehingga

terjadi perubahan pada diameter dan orientasi serat kolagen yang mengubah

biomekanika dari cartilage. Rawan sendi kemudian kehilangan sifat

kompresibilitasnya yang unik. Walaupun penyebab sebenarnya dari osteoarthritis

tetap tidak diketahui, tetapi kelihatannya proses penuaan ada hubungannya dengan

perubahan-erubahan dalam fungsi kondrosit, menimbulkan perubahan pada komposisi

rawan sendi yang mengarah pada perkembangan osteoarthritis.

2. Jenis kelamin

Perekembangan osteoarthritis sendi-sendi interfalangs distal tangan (nodus Heberden)

dipengaruhi oleh jenis kelamin dan lebih dominan pada perempuan. Nodus Heberdens

10 kali lebih sering pada perempuan.

3. Faktor genetik

Faktor genetic memainkan peran pada beberapa bentuk osteoartritis

4. Hormone seks

Hormone seks dan factor-faktor hormonal lain juga berkaitan dengan perkembangan

osteoarthritis. Hubungan antara estrogen dan pembentukan tulang dan prevalensi

osteoartiris pada perempuan menunjukkan bahwa hormone memainkan peranan aktif

dalam perkembangan dan progresifitas penyakit ini.

5. Weight bearing jonts

Sendi-sendi yang paling sering terserang oleh osteoarthritis adalah sendi-sendi yang

harus memikul beban tubuh, antara lain lutut, pangul, vertebra lumbal dan servikal,

dan sendi-sendi pada jari.

d. Etiopatogenesis OA :

OA primer –>penyebab tidak diketahui, tidak berhubungan dengan penyakit sistemik

maupun perubahan lokal pada sendi

OA sekunder –> didasari kelainan endokrin, inflamasi, metabolik, pertumbuhan,

herediter, jejas mikro dan makro, immobiliasi yang terlalu lama.

e. Patofisiologi

Penyebab utama Osteoarthritis adalah ketidakseimbangan dalam pemecahan alam dan

proses perbaikan yang terjadi dengan tulang rawan. Dalam Osteoarthritis, tulang rawan

yang rusak tidak bisa memperbaiki dirinya sendiri dengan cara biasa. Hal ini terjadi

ketika tulang rawan yang menutupi dan bantal ujung tulang di sendi memburuk dari

waktu ke waktu. Tulang rawan terdiri dari air, kolagen, dan protein yang spesifik.

Dalam tulang rawan yang sehat, ada proses terus-menerus melanggar alam bawah dan

perbaikan tulang rawan di sendi. Proses ini menjadi terganggu pada Osteoartritis, yang

menyebabkan kerusakan tulang rawan dan respon perbaikan yang abnormal. Alasan ini

proses perbaikan normal terganggu tidak diketahui tetapi kemungkinan disebabkan oleh

beberapa faktor.

Dengan penuaan, kandungan air meningkat tulang rawan, dan susunan protein tulang

rawan rusak.

Akhirnya, permukaan halus tulang rawan mulai memburuk dan menyebabkan gesekan

menjadi aus antara tulang. Jika memakai tulang rawan sepenuhnya, hasilnya akan tulang

untuk menghubungi tulang. Penggunaan sendi berulang dikenakan selama bertahun-

tahun dapat mengiritasi tulang rawan, menyebabkan nyeri sendi dan peradangan jaringan

di sekitarnya. Sebagai potongan tulang rawan pecah, menebal tulang dan memperluas,

menyebabkan peradangan. Peradangan ini dapat merangsang pertumbuhan yang disebut

taji tulang baru (juga disebut osteofit) untuk membentuk sekitar sendi. Sebagai menebal

tulang dan memperluas, sendi menjadi kaku, menyakitkan, dan mungkin sulit untuk

bergerak. Cairan juga dapat membangun di sendi.

f.

Gambaran Klinis

Gambaran klinis osteoartritis diantaranya

1. Rasa nyeri pada sendi

Merupakan gambaran primer pada osteoartritis, nyeri akan bertambah apabila sedang

melakukan sesuatu kegiatan fisik.

2. Kekakuan dan keterbatasan gerak

Biasanya akan berlangsung 15 - 30 menit dan timbul setelah istirahat atau saat

memulai kegiatan fisik.

3. Peradangan

Sinovitis sekunder, penurunan pH jaringan, pengumpulan cairan dalam ruang sendi

akan menimbulkan pembengkakan dan peregangan simpai sendi yang semua ini akan

menimbulkan rasa nyeri.

4. Mekanik

Nyeri biasanya akan lebih dirasakan setelah melakukan aktivitas lama dan akan

berkurang pada waktu istirahat. Mungkin ada hubungannya dengan keadaan penyakit

yang telah lanjut dimana rawan sendi telah rusak berat. Nyeri biasanya berlokasi pada

sendi yang terkena tetapi dapat menjalar, misalnya pada osteoartritis coxae nyeri

dapat dirasakan di lutut, bokong sebelah lateril, dan tungkai atas. Nyeri dapat timbul

pada waktu dingin, akan tetapi hal ini belum dapat diketahui penyebabnya.

5. Pembengkakan Sendi

Pembengkakan sendi merupakan reaksi peradangan karena pengumpulan cairan

dalam ruang sendi biasanya teraba panas tanpa adanya pemerahan.

6. Deformitas

Disebabkan oleh distruksi lokal rawan sendi.

7. Gangguan Fungsi

Timbul akibat Ketidakserasian antara tulang pembentuk sendi.

g. Temuan Laboratorium

Osteoartritis adalah gangguan arthritis local, sehingga tidak ada pemeriksaan darah

khusus untuk menegakkan diagnosis. Uji laboratorium adakalannya dipakai untuk

menyingkirkan bentuk-bentuk arthritis lainnya. Factor rheumatoid bisa ditemukan dalam

serum, karena factor ini meningkat secara normal pada peningkatan usia. Laju endap

darah eritrosit mungkin akan sedikit meningkat apabila ada sinovitis yang luas.

h. Temuan radiologic

Ciri khas yang sering terlihat pada gambaran radiogram osteoarthritis adalah penyempitan

ruang sendi. Keadaan ini terjadi karena rawan sendi menyusut. Pada sendi lutut

penyempitan ruang sendi dapat terjadi pada salah satu kompartemen saja. Selain

ditemukannya penyempitan sendi juga bisa terjadi peningkatan densitas tulang di sekitar

sendi. Osteofit (spur) bisa terlihat pada aspek marginal dari sendi. Kadangkala terlihat

perubahan-perubahan kistik dalam berbagai ukuran. Osteoarthritis bukan suatu penyakit

yang simetris, sehingga pembuatan gambar radiogram sendi kontralateral akan dapat

membantu.

i. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan osteoarthritis haruslah bersifat multifocal dan individual. Tujuan dari

penatalaksanaan adlaah untuk mencegah atau menahan kerusakan yang lebih lanjut pada

sendi tersebut, dan untuk mengatasi nyeri dan kaku sendi guna mempertahakan mobilitas.

Melindungi sendi dari trauma tambahan penting untuk memperlambat perjalanan

penyakit ini. Tongkat atau alat pembantu berjalan dapat mengurangi berat badan pada

sendi yang sakit. Mengurangi berat badan bila pasien meiliki badan yang gemuk.

Fisioterapi penting untuk menghilangkan nyeri dan mempertahankan kekuatan otot dan

ROM.

Pemakaian obat-obatan dirancang untuk mengontrol nyeri pada sendi dan untuk

mengendalikan timbulnya sinovitis. Analgetik yang dapat dibeli bebas seperti

asetaminofen, aspirin dan ibuprofen cukup untuk menghilangkan nyeri.

Pembedahan dirancang untuk membuang badan-badan yang lepas, memperbaiki jaringan

penyokong yang rusak, atau untuk menggantukan seluruh sendi. Bedah artroskopi

memungkinkan pelaksanaan berbagai macam prosedur operasi dengan morbiditas yang

lebih kecil dari pada operasi biasa. Partikel-partikel cartolago dapat juga dibuang dengan

efisiensi yang sama bila dibandingkan dengan cara operasi biasa. Bentuk operasi lain

yang dipakai untuk mengatasi osteoarthritis adalah osteotomi angulasi. Hal ini dipakai

untuk mengobati osteartritis lutut yang hanya mempengaruhi satu kompartemen saja.

j. Prognosis

Osteoartritis biasanya berjalan lambat. Masalah utama yang sering dijumpai adalah nyeri

apabila sendi tersebut dipakai dan meningkatnya ketidakstabilan bila harus menanggung

beban, terutama pada lutut.

BAB III

KESIMPULAN

Osteoarthritis Rheumatoid Arthritis

Definisi & Patogenesis Penyakit yang ditandai oleh deteriorisasi & hilangnya kartilago sendi secara progresif diikuti penulangan dan pembentukan jar lunak di dalam & sekita sendi yang terkena.

Penyakit multisistem kronik dgn Etiologi ? yang ditandai sinovitis persisten, mengenai sendi perifer secara simetris. Destruksi kartilago, erosi dan deformitas sendi adalah gejala utama.

Klinis 1. Nyeri berhubungan dgn penggunaan sendi yang terkena

2. Kekakuan setelah istirahat lbh singkat (<30 menit)

3. Gerakan sendi terbatas

4. Joint instability, deformity & crepitations

5. Asimetris

6. Bony swellings

7. Heberden’s node

Manifestasi di sendi :

1. Poliartritis simetirs, sendi kecil

2. Nyeri +, lunak +, bengkak +

3. Morning stiffness

Di luar sendi :

1. Kulit : Rh nodul, vaskulitis

2. Pulmo : nodul, Caplan’s Syndr (Sero+, RA + pneumoconiosis)

3. Mata : keratoconjunctivitis sicca, scleritis

4. Darah : Felty’s Syndr (splenomegali, neutropenia)

5. Jantung : pericarditis, myocarditis

6. Saraf : Myelopathy

Lab LED

Rh factor -, ANA –

Cairan sendi : jernih, viskositas normal

Foto sendi : penyempitan celah sendi, erosi

Rh factor +

Darah lengakap, LED

Analisis cairan sendi (menyingkirkan infeksi lain)

Foto sendi, Thorax foto

D/ dan DD/ Osteonekrosis, sendi Charcot, Rh arthritis, psoriatic arthritis, crystal-induced arthritides

DD/ Gout, SLE, Psoriatic arthritis, arthritis infeksi, osteoarthritis, sarcoid.

Th/ Edukasi, penurunan BB, exercise untuk menguatkan otot di tempat yang terkena.

AINS

Inj glukokortikoid intraartikular

Pembedahan

Edukasi, proteksi sendi, exercise

AINS

Glukokortikoid intraartikular

MTX, garam emas, hidorksiklorokuin, sulfasalazin, D-penisilamin, azatioprin, siklosporin

Pembedahan

1. Osteoposis disebut sebagai ‘silent disease’ karena tidak ada gejala pada saat orang

terkena osteoporosis sampai terjadi fraktur. Umumnya fraktur akibat osteoporosis

terjadi pada pergelangan tangan, tulang belakang, dan pinggul.

2. Saat ini osteoporosis menjadi permasalahan di seluruh negara dan menjadi isu global

bidang kesehatan. Peningkatan penyakit degeratif dan penyakit metabolisme terus

meningkat sesuai peningkatan umur. Angka kejadian osteoporosis pun turut

meningkat sesuai peningkatan usia harapan hidup.

3. Kecenderungan terhadap ancaman fraktur akibat osteoporosis baik laki-laki maupun

perempuan adalah sama.

4. Osteoporosis dibagi menjadi 3 yaitu osteoporosis primer, osteoporosis sekunder,dan

osteoporosis idiopatik.

5. Penegakan diagnosis osteoporosis dapat dilakukan sebelum terjadinya patah tulang

maupun setelah terjadinya patah tulang.

6. Penatalaksanaan osteoporosis diantaranya diet, pemberian kalsium dosis tinggi,

pemberian vitamin D dosis tinggi, dan pemasangan penyangga tulang belakang

(spinal brace) untuk mengurangi nyeri punggung.

7. Pencegahan osteoporosis yaitu dengan menghindari faktor-faktor risiko osteoporosis

serta penanganan terhadap deformitas serta fraktur yang terjadi.

DAFTAR PUSTAKA

Rasjad, Chairudin. 2008. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. PT Yarsif Watampone :

Jakarta.

Snell, Richard S. 2010. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi 6.

Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta.

Guyton dan Hall. 2006. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9. Penerbit Buku

Kedokteran EGC : Jakarta.

American College of Rheumatology. 2010. Osteoporosis. http://www.rheumatology.org

Permana, Ahmad. 2010. Osteoporosis. http://pustaka.unpad.ac.id

http://en.wikipedia.org/wiki/File:Illu_compact_spongy_bone.jpg

http://www.bbc.co.uk/schools/gcsebitesize/pe/appliedanatomy/anatomy_skeleton

http://www.larousse.fr/encyclopedie/article

http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/imagepages/1116.htm

http://www.summitmedicalgroup.com/library/sports_health/sesamoid_injury

http://www.graphicshunt.com/health/images/osteoporosis-65.htm

http://www.graphicshunt.com/health/images/osteoporosis-68.htm

Price, S. McCarty, W. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit ed.6 vol.2. EGC.

Jakarta: 2006

Schwartz. Shires. Spencer. Intisari prinsip ilmu bedah ed.6. EGC. Jakarta:2000

http://www.mayoclinic.com/health/osteoarthritis/DS00019

http://medicomedisch.wordpress.com/tag/osteoarthritis/

http://kapukpkusolo.blogspot.com/2010/11/askep-osteoarthritis.html

http://smart-pustaka.blogspot.com/2011/01/sendi-artikulasi.html