preeklamsia berat dengan edema paru + iufd
TRANSCRIPT
PREEKLAMSIA BERAT DENGAN EDEMA PARU DAN INTRAUTERINE FETAL
DEATH
Oleh:
Aslamatul Hayati KarimDebi Yulia Sandra
Jessieca LiusenMellia FitrinaSofi Sumarlin
Sri RahayuWanly Syahrizal
Pembimbing :
dr. FRANSISKUS HAMIDO H, Sp.OG
KEPANITRAAN KLINIK SENIOR
BAGIAN KEBIDANAN DAN PENYAKIT KANDUNGAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
RSUD ARIFIN ACHMAD PEKANBARU
2012
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Preeklampsia merupakan komplikasi kehamilan yang ditandai dengan peningkatan
tekanan darah disertai proteinuria pada wanita hamil yang sebelumnya tidak mengalami
hipertensi.1 Biasanya sindroma ini muncul pada akhir trimester kedua sampai ketiga kehamilan.
Gejalanya berkurang atau menghilang setelah melahirkan sehingga terapi definitifnya
mengakhiri kehamilan.2
Preeklampsia dapat berakibat buruk baik pada ibu maupun janin yang dikandungnya.
Komplikasi pada ibu berupa sindroma HELLP (Hemolysis, Elevated Liver Enzyme, Low
Platelet), edema paru, gangguan ginjal, perdarahan, solusio plasenta bahkan kematian ibu.
Komplikasi pada bayi dapat berupa kelahiran premature, gawat janin, berat badan lahir rendah
atau intra uterine fetal death (IUFD).2
Angka kejadian preeklampsia berkisar antara 5 – 15% dari seluruh kehamilan di seluruh
dunia. Preeklampsia bersama dengan penyakit hipertensi kehamilan lainnya merupakan
merupakan salah satu dari tiga penyebab kematian dan kesakitan terbanyak pada ibu hamil dan
melahirkan di samping infeksi dan perdarahan.2 Sampai saat ini etiologi preeklampsia belum
diketahui secara pasti. Terdapat beberapa hipotesis mengenai etiologi preeklampsia antara lain
iskemik plasenta, maladaptasi imun dan factor genetik. Akhir-akhir ini disfungsi endotel
dianggap berperan dalam patogenesis preeclampsia.3,5
Di Indonesia, preeklampsia dan eklampsia masih merupakan salah satu penyebab utama
mortalitas maternal dan perinatal. Sebagian besar mortalitas tersebut disebabkan oleh
keterlambatan diagnosis dan penanganan dini preeklampsia dan eklampsia, sehingga pasien tidak
sempat mendapat penanganan yang adekuat sebelum sampai ke rumah sakit rujukan, atau sampai
ke rumah sakit rujukan dalam kondisi yang sudah buruk. Belum semua rumah sakit rujukan
memiliki fasilitas perawatan intensif yang memadai untuk menangani kasus eklampsia pada
khususnya, sehingga pengetahuan mengenai pengenalan faktor resiko untuk dapat mendeteksi
secara dini preeklampsia sangat diperlukan agar tidak terjadi keterlambatan penanganan pertama
dan rujukan.6
2
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Preeklampsia Berat
3.1.1 Defenisi
Preeklamsia/eklamsia merupakan kesatuan penyakit yang langsung disebabkan oleh
kehamilan. Definisi preeklamsia adalah hipertensi disertai proteinuria dan edema akibat
kehamilan setelah usia kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan. Gejala ini dapat
timbul sebelum 20 minggu bila terjadi penyakit trofoblastik.2 Preeklamsia merupakan suatu
sindrom spesifik kehamilan dengan penurunan perfusi pada organ-organ akibat vasospasme dan
aktivasi endotel. Proteinuria adalah tanda yang penting dari preeklamsia.3 Preeklamsia adalah
keadaan dimana hipertensi disertai dengan proteinuria, edema atau keduanya, yang terjadi akibat
kehamilan setelah minggu ke-20, atau kadang-kadang timbul lebih awal bila terdapat perubahan
hidatidiformis yang luas pada vili khorialis.4
Preeklampsia berat ialah preeklampsia dengan tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg dan
tekanan darah diastolik ≥ 110 mmHg disertai proteinuria ≥ 5 g/ 24 jam atau kualitatif 4+.
Sedangkan pasien yang sebelumnya mengalami preeclampsia kemudian disertai kejang
dinamakan eklampsia.2 Penggolongan preeclampsia menjadi preeclampsia ringan dan
preeclampsia berat dapat menyesatkan karena preeclampsia ringan dalam waktu yang relative
singkat dapat berkembang menjadi preeclampsia berat.3
Preeklampsia berat dibagi menjadi:
a) Preeklampsia berat tanpa impending eclampsia
b) Preeklampsia berat dengan impending eclampsia.
Disebut impending eclampsia bila preeklampsia berat disertai gejala-gejala subjektif berupa :
Muntah-muntah
Sakit kepala yang keras karena vasospasm atau oedema otak
Nyeri epigastrium karena regangan selaput hati oleh haemorrhagia atau oedema, atau sakit
karena perubahan pada lambung.
3.1.2 Insidensi Preeklampsia
3
Frekuensi preeklampsia untuk tiap negara berbeda-beda karena banyak faktor yang
mempengaruhinya; jumlah primigravida, keadaan sosial ekonomi, perbedaan kriteria dalam
penentuan diagnosis dan lain-lain. Di Indonesia frekuensi kejadian preeklampsia sekitar 3-
10% , Sedangkan di Amerika Serikat dilaporkan bahwa kejadian preeklampsia sebanyak
5% dari semua kehamilan (23,6 kasus per 1.000 kelahiran). Pada primigravida frekuensi
preeklampsia lebih tinggi bila dibandingkan dengan multigravida, terutama primigravida
muda. Diabetes melitus, mola hidatidosa, kehamilan ganda, hidrops fetalis, umur lebih
dari 35 tahun dan obesitas merupakan faktor predisposisi untuk terjadinya preeklampsia.6
Di samping itu, preklamsia juga dipengaruhi oleh paritas. Surjadi, mendapatkan
angka kejadian dari 30 sampel pasien preeklampsia di RSU Dr. Hasan Sadikin. Bandung paling
banyak terjadi pada ibu dengan paritas 1-3 yaitu sebanyak 19 kasus dan juga paling banyak
terjadi pada usia kehamilan diatas 37 minggu yaitu sebanyak 18 kasus. 4Wanita dengan
kehamilan kembar bila dibandingkan dengan kehamilan tunggal, maka memperlihatkan insiden
hipertensi gestasional (13 % : 6 %) dan preeklampsia (13 % : 5 %) yang secara bermakna
lebih tinggi. Selain itu, wanita dengan kehamilan kembar memperlihatkan prognosis
neonatus yang lebih buruk daripada wanita dengan kehamilan tunggal.4
3.1.3 Etiologi Preeklampsia
Penyebab preeklamsia/eklamsia sampai sekarang belum diketahui secara pasti. Banyak
teori yang menerangkan namum belum dapat memberi jawaban yang memuaskan. Teori yang
dewasa ini banyak dikemukakan adalah iskemia plasenta. Namun teori ini tidak dapat
menerangkan semua hal yang berkaitan dengan kondisi ini. Hal ini disebabkan karena banyaknya
faktor yang menyebabkan terjadinya preeklamsia/eklamsia.7
Ada beberapa teori mencoba menjelaskan perkiraan etiologi dari kelainan tersebut di atas,
sehingga kelainan ini sering dikenal sebagai the diseases of theory.8 Adapun teori-teori tersebut
antara lain:
1) Peran Prostasiklin dan Tromboksan
Pada preeklamsia/eklamsia didapatkan kerusakan pada endotel vaskuler, sehingga terjadi
penurunan produksi prostasiklin (PGI2) yang pada kehamilan normal meningkat, aktivasi
penggumpalan dan fibrinolisis, yang kemudian akan diganti dengan trombin dan plasmin.
Trombin akan mengkonsumsi antitrombin III sehingga terjadi deposit fibrin. Aktivasi trombosit
4
menyebabkan pelepasan tromboksan (TxA2) dan serotonin, sehingga terjadi vasospasme dan
kerusakan endotel.
2) Peran Faktor Imunologis
Preeklamsia/eklamsia sering terjadi pada kehamilan pertama dan tidak timbul lagi pada
kehamilan berikutnya. Hal ini dapat diterangkan bahwa pada kehamilan pertama pembentukan
blocking antibodies terhadap antigen plasenta tidak sempurna, yang semakin sempurna pada
kehamilan berikutnya. Fierlie F.M. (1992) mendapatkan beberapa data yang mendukung adanya
sistem imun pada penderita preeklamsia/eklamsia:
a) Beberapa wanita dengan preeklamsia/eklamsia mempunyai kompleks imun dalam
serum.
b) Beberapa studi juga mendapatkan adanya aktivasi sistem komplemen pada
preeklamsia/eklamsia diikuti dengan proteinuria.
3) Peran Faktor Genetik/familial
Beberapa bukti yang menunjukkan peran faktor genetik pada kejadian preeklamsia/eklamsia
antara lain:
a) Preeklamsia/eklamsia hanya terjadi pada manusia.
b) Terdapatnya kecenderungan meningkatnya frekuensi preeklamsia/eklamsia pada anak-
anak dari ibu yang menderita preeklamsia/eklamsia.
c) Kecenderungan meningkatnya frekuensi preeklamsia/eklamsia pada anak dan cucu ibu
hamil dengan riwayat preeklamsia/eklamsia dan bukan pada ipar mereka.
d) Peran Renin-Angiotensin-Aldosteron System (RAAS).
3.1.4 Faktor Risiko Preeklamsia/eklamsia
Faktor risiko preeklamsia meliputi kondisi medis yang berpotensi menyebabkan kelainan
mikrovaskular, seperti diabetes melitus, hipertensi kronis dan kelainan vaskular serta jaringan
ikat, sindrom antibodi fosfolipid dan nefropati. Faktor risiko lain berhubungan dengan kehamilan
itu sendiri atau dapat spesifik terhadap ibu atau ayah dari janin.9
Berbagai faktor risiko preeklamsia (American Family Physician, 2004)10 :
1) Faktor yang berhubungan dengan kehamilan
a) Kelainan kromosom
b) Mola hydatidosa
5
c) Hydrops fetalis
d) Kehamilan multifetus
e) Inseminasi donor atau donor oosit
f) Kelainan struktur kongenital
2) Faktor spesifik maternal
a) Primigravida
b) Usia > 35 tahun
c) Usia < 20 tahun
d) Ras kulit hitam
e) Riwayat preeklamsia pada keluarga
f) Nullipara
g) Preeklamsia pada kehamilan sebelumnya
h) Kondisi medis khusus : diabetes gestational, diabetes tipe 1, obesitas, hipertensi kronis,
penyakit ginjal, trombofilia
i) Stress
3) Faktor spesifik paternal
a) Primipatemitas
b) Patner pria yang pernah menikahi wanita yang kemudian hamil dan mengalami preeklamsia
3.1.5.Patofisiologi Preeklamsia/eklamsia
Pada preeklampsia yang berat dan eklampsia dapat terjadi perburukan patologis
pada sejumlah organ dan sistem yang kemungkinan diakibatkan oleh vasospasme dan iskemia.3
Wanita dengan hipertensi pada kehamilan dapat mengalami peningkatan respon terhadap
berbagai substansi endogen (seperti prostaglandin, tromboxan) yang dapat menyebabkan
vasospasme dan agregasi platelet. Penumpukan trombus dan pendarahan dapat mempengaruhi
sistem saraf pusat yang ditandai dengan sakit kepala dan defisit saraf lokal dan kejang. Nekrosis
ginjal dapat menyebabkan penurunan laju filtrasi glomerulus dan proteinuria. Kerusakan
hepar dari nekrosis hepatoseluler menyebabkan nyeri epigastrium dan peningkatan tes fungsi
hati. Manifestasi terhadap kardiovaskuler meliputi penurunan volume intravaskular,
meningkatnya cardiac output dan peningkatan tahanan pembuluh perifer. Peningkatan
hemolisis microangiopati menyebabkan anemia dan trombositopeni. Infark plasenta dan
6
obstruksi plasenta menyebabkan pertumbuhan janin terhambat bahkan kematian janin dalam
rahim.10
Perubahan pada organ-organ :
1) Perubahan kardiovaskuler.
Gangguan fungsi kardiovaskuler yang parah sering terjadi pada preeklampsia dan
eklamsia. Berbagai gangguan tersebut pada dasarnya berkaitan dengan peningkatan afterload
jantung akibat hipertensi, preload jantung yang secara nyata dipengaruhi oleh berkurangnya
secara patologis hipervolemia kehamilan atau yang secara iatrogenik ditingkatkan oleh larutan
onkotik atau kristaloid intravena, dan aktivasi endotel disertai ekstravasasi ke dalam ruang
ektravaskular terutama paru.3
2) Metabolisme air dan elektrolit
Hemokonsentrasi yang menyerupai preeklampsia dan eklamsia tidak diketahui
penyebabnya. Jumlah air dan natrium dalam tubuh lebih banyak pada penderita preeklampsia
dan eklamsia daripada pada wanita hamil biasa atau penderita dengan hipertensi kronik.
Penderita preeklampsia tidak dapat mengeluarkan dengan sempurna air dan garam
yang diberikan. Hal ini disebabkan oleh filtrasi glomerulus menurun, sedangkan
penyerapan kembali tubulus tidak berubah. Elektrolit, kristaloid, dan protein tidak
menunjukkan perubahan yang nyata pada preeklampsia. Konsentrasi kalium, natrium, dan
klorida dalam serum biasanya dalam batas normal.3,10-1
3) Mata
Dapat dijumpai adanya edema retina dan spasme pembuluh darah. Selain itu dapat terjadi ablasio
retina yang disebabkan oleh edema intra-okuler dan merupakan salah satu indikasi untuk
melakukan terminasi kehamilan. Gejala lain yang menunjukan tanda preklamsia berat 9yang
mengarah pada eklamsia adalah adanya skotoma, diplopia, dan ambliopia. Hal ini
disebabkan oleh adanya perubahan preedaran darah dalam pusat penglihatan dikorteks serebri
atau didalam retina.3,10,1
4) Otak
Pada penyakit yang belum berlanjut hanya ditemukan edema dan anemia pada korteks serebri,
pada keadaan yang berlanjut dapat ditemukan perdarahan.3,10
5) Uterus
7
Aliran darah ke plasenta menurun dan menyebabkan gangguan pada plasenta, sehingga terjadi
gangguan pertumbuhan janin dan karena kekurangan oksigen terjadi gawat janin. Pada
preeklampsia dan eklamsia sering terjadi peningkatan tonus rahim dan kepekaan terhadap
rangsangan, sehingga terjadi partus prematur. 3,10-1
6) Paru-paru
Kematian ibu pada preeklampsia dan eklamsia biasanya disebabkan oleh edema paru yang
menimbulkan dekompensasi kordis. Bisa juga karena terjadinya aspirasi pneumonia, atau
abses paru.3,10-1
3.1.6 Patogenesis Preeklampsia Berat
3.1.6.1 Vasospasme
Konsep vasospasme diajukan oleh Volhard (1918) berdasarkan pengamatan langsung
tentang pembuluh darah kecil di kuku, mata, dan conjunctivae bulbar. Ia juga menduga dari
perubahan histologis terlihat dalam berbagai organ yang terkena.
Penyempitan pembuluh darah menyebabkan peningkatan resistensi dan hipertensi
berikutnya. Pada saat yang sama, kerusakan sel endotel menyebabkan kebocoran yang
interstisial melalui darah konstituen, termasuk platelet dan fibrinogen, yang disimpan pada
subendothelial.
Wang dan kolega (2002) juga menunjukkan gangguan protein endothel junctional.
Suzuki dan rekannya (2003) menjelaskan perubahan resistensi ultrastruktural di wilayah
subendothelial arteri pada wanita preeklampsia. Dengan aliran darah yang berkurang
karena maldistribusi, iskemia jaringan sekitarnya akan menyebabkan nekrosis, perdarahan,
dan lain organ akhir gangguan karakteristik sindrom tersebut.3
3.1.6.2 Aktivasi sel endotel
Selama dua dekade terakhir, aktivasi sel endotel menjadi bintang dalam pemahaman
kontemporer dari patogenesis preeklampsia. Dalam skema ini, faktor yang tidak diketahui -
kemungkinan berasal dalam plasenta - juga dikeluarkan ke sirkulasi ibu dan memprovokasi
aktivasi dan disfungsi vaskular endotelium. Sindrom klinis preeklampsia diperkirakan
merupakan hasil dari perubahan sel endotel yang luas.
8
Selain mikropartikel, Grundmann dan rekan (2008) telah melaporkan bahwa sirkulasi
sel endotel, secara signifikan meningkat empat kali lipat dalam darah perifer wanita
preeklampsia.
Endotelium utuh memiliki sifat antikoagulan, dan sel endotel menumpulkan respon
otot polos vaskular untuk agonis dengan melepaskan oksida nitrat. Sel endotel yang rusak
atau teraktivasi dapat memproduksi oksida nitrat dan mengeluarkan zat yang
mempromosikan koagulasi dan meningkatkan kepekaan terhadap vasopressors.3
Pada waktu terjadi kerusakan sel endotel yang mengakibatkan disfungsi sel endotel
akan terjadi:
Gangguan metabolism prostaglandin (vasodilator kuat)
Agregasi sel trombosit untuk menutup endotel yang mengalami kerusakan. Agregasi
trombosit ini memproduksi tromboksan (TXA2), suatu vasokonstriktor kuat. Dalam
keadaan normal, kadar prostasklin lebih tinggi daripada kadar tromboksan. Pada
preeclampsia, terjadi sebaliknya sehingga berakibat naiknya tekanan darah.
Peningkatan endotelin (vasopresor), penurunan oksida nitrit (vasodilator).
Peningkatan faktor koagulasi.
Bukti lebih lanjut dari aktivasi endotel termasuk perubahan karakteristik morfologi
endotel kapiler glomerulus, permeabilitas kapiler meningkat, dan meningkatnya
konsentrasi mediator yang berperan untuk menimbulkan aktivasi endotel. Penelitian
menunjukkan bahwa serum dari wanita dengan preeklampsia merangsang sel endotel yang
dikultur untuk memproduksi prostasiklin dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan
serum wanita hamil normal.3
3.1.7 Gejala Preeklamsia/ eklamsia
Preeklamsia mempunyai gejala-gejala sebagai berikut:3,10-1
1) Gejala Preeklamsia
Biasanya tanda-tanda preeklamsia timbul dalam urutan: pertambahan berat badan yang
berlebihan, diikuti edema, hipertensi, dan akhirnya proteinuria. Pada preeklamsia ringan tidak
ditemukan gejala-gejala subyektif. Pada preeklamsia berat gejala-gejalanya adalah:
a) Tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg
b) Tekanan darah diastolik ≥ 110 mmHg
c) Peningkatan kadar enzim hati/ ikterus
9
d) Trombosit < 100.000/mm³
e) Oligouria < 500 ml/24 jam
f) Proteinuria > 3 g/liter
g) Nyeri epigastrium
h) Skotoma dan gangguan visus lain atau nyeri frontal yang berat
i) Perdarahan retina
j) Edema pulmonum
k) Koma
2) Gejala eklampsia
Pada umumnya kejang didahului oleh makin memburuknya preeklamsia dan terjadinya gejala-
gejala nyeri kepala di daerah frontal, gangguan penglihatan, mual, nyeri di epigastrium dan
hiperrefleksia. Bila keadaan ini tidak dikenali dan tidak segera diobati, akan timbul kejang
terutama pada persalinan.
3.1.8 Klasifikasi Preeklamsia/eklamsia
Pembagian preeklamsia sendiri dibagi dalam golongan ringan dan
berat. Berikut ini adalah penggolongannya:12
1) Preeklamsia ringan
Dikatakan preeklamsia ringan bila :
a) Tekanan darah sistolik antara 140-160 mmHg dan tekanan darah diastolik 90-110 mmHg
b) Proteinuria minimal (< 2g/L/24 jam)
c) Tidak disertai gangguan fungsi organ
2) Preeklamsia berat
Dikatakan preeklamsia berat bila :
a) Tekanan darah sistolik > 160 mmHg atau tekanan darah diastolik > 110 mmHg
b) Proteinuria (> 5 g/L/24 jam) atau positif 3 atau 4 pada pemeriksaan kuantitatif. Bisa disertai
dengan :
a) Oliguria (urine ≤ 500 mL/24jam)
b) Keluhan serebral, gangguan penglihatan
c) Nyeri abdomen pada kuadran kanan atas atau daerah epigastrium
d) Gangguan fungsi hati dengan hiperbilirubinemia
10
e) Edema pulmonum, sianosis
f) Gangguan perkembangan intrauterine
g) Microangiopathic hemolytic anemia, trombositopenia
3) Jika terjadi tanda-tanda preeklamsia yang lebih berat dan disertai dengan adanya kejang,
maka dapat digolongkan ke dalam eklamsia
3.1.9 Komplikasi Preeklamsia/eklamsia
Nyeri epigastrium menunjukkan telah terjadinya kerusakan pada liver dalam bentuk
kemungkinan:3,10-2
1) Perdarahan subkapsular
2) Perdarahan periportal sistem dan infark liver
3) Edema parenkim liver
4) Peningkatan pengeluaran enzim liver
Tekanan darah dapat meningkat sehingga menimbulkan kegagalan dari kemampuan sistem
otonom aliran darah sistem saraf pusat (ke otak) dan menimbulkan berbagai bentuk kelainan
patologis sebagai berikut:12
1) Edema otak karena permeabilitas kapiler bertambah
2) Iskemia yang menimbulkan infark serebal
3) Edema dan perdarahan menimbulkan nekrosis
4) Edema dan perdarahan pada batang otak dan retina
5) Dapat terjadi herniasi batang otak yang menekan pusat vital medula oblongata.
Komplikasi terberat adalah kematian ibu dan janin. Usaha utama ialah melahirkan bayi hidup
dari ibu yang menderita preeklamsia dan eklamsia. Komplikasi dibawah ini yang biasa terjadi
pada preeklamsia berat dan eklamsia :
1) Solusio plasenta
Komplikasi ini terjadi pada ibu yang menderita hipertensi akut dan lebih sering terjadi pada
preeklamsia.
2) Hipofibrinogenemia
Biasanya terjadi pada preeklamsia berat. Oleh karena itu dianjurkan untuk pemeriksaan kadar
fibrinogen secara berkala.
11
3) Hemolisis
Penderita dengan preeklamsia berat kadang-kadang menunjukkan gejala klinik hemolisis yang
dikenal dengan ikterus. Belum diketahui dengan pasti apakah ini merupakan kerusakkan sel hati
atau destruksi sel darah merah. Nekrosis periportal hati yang sering ditemukan pada autopsi
penderita eklamsia dapat menerangkan ikterus tersebut.
4) Perdarahan otak
Komplikasi ini merupakan penyebab utama kematian maternal penderita eklamsia.
5) Kelainan mata
Kehilangan penglihatan untuk sementara, yang berlangsung sampai seminggu, dapat terjadi.
Perdarahan kadang-kadang terjadi pada retina. Hal ini merupakan tanda gawat akan terjadi
apopleksia serebri.
6) Edema paru-paru
Paru-paru menunjukkan berbagai tingkat edema dan perubahan karena bronkopneumonia
sebagai akibat aspirasi. Kadang-kadang ditemukan abses paru-paru.
7) Nekrosis hati
Nekrosis periportal hati pada preeklamsia/eklamsia merupakan akibat vasospasme arteriole
umum. Kelainan ini diduga khas untuk eklamsia, tetapi ternyata juga dapat ditemukan pada
penyakit lain. Kerusakan sel-sel hati dapat diketahui dengan pemeriksaan faal hati, terutama
penentuan enzim-enzimnya.
8) Sindroma HELLP yaitu haemolysis, elevated liver enzymes dan low platelet
Merupakan sindrom kumpulan gejala klinis berupa gangguan fungsi hati, hepatoseluler
(peningkatan enzim hati [SGPT,SGOT], gejala subjektif [cepat lelah, mual, muntah, nyeri
epigastrium]), hemolisis akibat kerusakan membran eritrosit oleh radikal bebas asam
lemakjenuh dan tak jenuh. Trombositopenia (<150.000/cc), agregasi (adhesi trombosit di dinding
vaskuler), kerusakan tromboksan (vasokonstriktor kuat), lisosom.
9) Kelainan ginjal
Kelainan ini berupa endoteliosis glomerulus yaitu pembengkakan sitoplasma sel endotelial
tubulus ginjal tanpa kelainan struktur yang lainnya. Kelainan lain yang dapat timbul ialah anuria
sampai gagal ginjal.
10) Komplikasi lain
12
Lidah tergigit, trauma dan fraktur karena jatuh akibat kejang-kejang pneumonia aspirasi dan DIC
(disseminated intravascular cogulation).
11) Prematuritas, dismaturitas dan kematian janin intra-uterin.
3.1.10 Penatalaksanaan Preeklampsia Berat13
Prinsip penatalaksanaan preeklampsia adalah sebagai berikut :
1. Melindungi ibu dari efek peningkatan tekanan darah
2. Mencegah progresifitas penyakit menjadi eklampsia
3. Mengatasi dan menurunkan komplikasi pada janin
4. Terminasi kehamilan dengan cara yang paling aman
Perawatan preeklampsia berat dibagi menjadi dua unsur:
Pertama adalah rencana terapi pada penyulitnya: yaitu terapi medikamentosa dengan
pemberian obat-obatan untuk penyulitnya
Kedua baru menentukan rencana sikap terhadap kehamilannya: yang tergantung pada umur
kehamilannya dibagi 2, yaitu:
Ekspektatif; Konservatif : bila umur kehamilan < 37 minggu, artinya: kehamilan
dipertahankan selama mungkin sambil memberi terapi medikamentosa
Aktif, agresif: bila umur kehamilan > 37 minggu, artinya kehamilan diakhiri setelah
mendapat terapi medikamentosa untuk stabilisasi.
Penanganan di Puskesmas
Mengingat terbatasnya fasilitas yang tersedia di Puskesmas, secara prinsip pasien
dengan PEB dan eklampsia harus dirujuk ke tempat pelayanan kesehatan dengan fasilitas
yang lebih lengkap. Persiapan yang perlu dilakukan dalam merujuk pasien PEB atau
eklampsia adalah sebagai berikut :
1. Pada pasien PEB/Eklampsia sebelum berangkat, pasang infus RD 5, berikan SM 20 %
4 g iv pelan-pelan selama 5 menit, bila timbul kejang ulangan berikan SM 20 % 2 g iv
pelan-pelan. Bila tidak tersedia berikan injeksi diazepam 10 mg iv secara pelan-pelan
selama 2 menit, bila timbul kejang ulangan ulangi dosis yang sama.
13
2. Untuk pasien dengan eklampsia diberikan dosis rumatan setelah initial dose di atas
dengan cara : injeksi SM 40 % masing-masing 5 g im pada glutea kiri dan kanan
bergantian, atau drip diazepam 40 mg dalam 500 c RD 5 28 tetes per menit.
3. Pasang Oksigen dengan kanul nasal atau sungkup.
4. Menyiapkan surat rujukan berisi riwayat penyakit dan obat-obat yang sudah diberikan.
5. Menyiapkan partus kit dan sudip lidah.
6. Menyiapkan obat-obatan : injeksi SM 20 %, injeksi diazepam, cairan infuse, dan
tabung oksigen.
7. Antasid untuk menetralisir asam lambung sehingga bila mendadak kejang dapat
mencegah terjadinya aspirasi isi lambung yang sangat asam.
Penanganan di rumah sakit
Dasar pengelolaan PEB terbagi menjadi dua. Pertama adalah pengelolaan terhadap
penyulit yang terjadi, kedua adalah sikap terhadap kehamilannya.
Penanganan penyulit pada PEB meliputi (Prasetyorini, 2009):
a. Pencegahan Kejang
• Tirah baring, tidur miring kiri
• Infus RL atau RD5
• Pemberian anti kejang MgSO4 yang terbagi menjadi dua tahap, yaitu :
- Loading / initial dose : dosis awal
- Maintenance dose : dosis rumatan
Pasang Foley catheter untuk monitor produksi urin
Tabel 1. Tatacara Pemberian SM pada PEB
Loading dose Maintenance dose
SM 20 % 4 g iv pelan-pelan
selama 5 menit
- SM 40 % 10 g im, terbagi pada
glutea kiri dan kanan
- SM 40 % 5 g per 500 cc RD5 30
tts/m
1. SM rumatan diberikan sampai
24 jam pada perawatan
konservatif dan 24 jam setelah
14
persalinan pada perawatan aktif
Syarat pemberian SM :
- Reflex patella harus positif
- Respiration rate > 16 /m
- Produksi urine dalam 4 jam 100cc
- Tersedia calcium glukonas 10 %
Antidotum :
Bila timbul gejala intoksikasi SM dapat diberikan injeksi Calcium
gluconas 10 %, iv pelan-pelan dalam waktu 3 menit
Bila refrakter terhadap SM dapat diberikan preparat berikut :
1. Sodium thiopental 100 mg iv
2. Diazepam 10 mg iv
3. Sodium amobarbital 250 mg iv
4. Phenytoin dengan dosis :
- Dosis awal 100 mg iv
- 16,7 mg/menit/1 jam
500 g oral setelah 10 jam dosis awal diberikan selama 14 jam
b. Antihipertensi
• Hanya diberikan bila tensi ≥ 180/110 mmHg atau MAP ≥ 126
• Bisa diberikan nifedipin 10 – 20 mg peroral, diulang setelah 30 menit, maksimum
120 mg dalam 24 jam
• Penurunan darah dilakukan secara bertahap :
- Penurunan awal 25 % dari tekanan sistolik
- Target selanjutnya adalah menurunkan tekanan darah < 160/105 mmHg atau
MAP < 125
c. Diuretikum
Tidak diberikan secara rutin karena menimbulkan efek :
• Memperberat penurunan perfusi plasenta
• Memperberat hipovolemia
• Meningkatkan hemokonsentrasi
Indikasi pemberian diuretikum :
15
1. Edema paru
2. Payah jantung kongestif
3. Edema anasarka
Krepitasi merupakan tanda edema paru. Jika terjadi edema paru, stop pemberian cairan
dan berikan diuretik misalnya furosemide 40 mg intravena
Berdasarkan sikap terhadap kehamilan, perawatan pada pasien PEB dibedakan
menjadi perawatan konservatif dan perawatan aktif.
a. Perawatan konservatif
1. Tujuan :
• Mempertahankan kehamilan hingga tercapai usia kehamilan yang memnuhi
syarat janin dapat hidup di luar rahim
• Meningkatkan kesejahteraan bayi baru lahir tanpa mempengaruhi
keselamatan ibu
2. Indikasi :
Kehamilan < 37 minggu tanpa disertai tanda dan gejala impending eklampsia
3. Pemberian anti kejang :
Seperti Tabel 1 di atas, tapi hanya diberikan maintainance dose ( loading dose
tidak diberikan )
4. Antihipertensi
Diberikan sesuai protokol untuk PER.
5. Induksi Maturasi Paru
Diberikan injeksi glukokortikoid, dapat diberikan preparat deksametason 2 x 16
mg iv/24 jam selama 48 jam atau betametason 24 mg im/24 jam sekali pemberian.
6. Cara perawatan :
• Pengawasan tiap hari terhadap gejala impending eklampsia
• Menimbang berat badan tiap hari
• Mengukur protein urin pada saat MRS dan tiap 2 hari sesudahnya
• Mengukur tekanan darah tiap 4 jam kecuali waktu tidur
• Pemeriksaan Lab : DL, LFT, RFT, lactic acid dehydrogenase, Albumin serum
dan faktor koagulasi
16
• Bila pasien telah terbebas dari kriteria PEB dan telah masuk kriteria PER,
pasien tetap dirawat selama 2 – 3 hari baru diperbolehkan rawat jalan.
Kunjungan rawat jalan dilakukan 1 minggu sekali setelah KRS.
7. Terminasi kehamilan
• Bila pasien tidak inpartu, kehamilan dipertahankan sampai aterm
• Bila penderita inpartu, persalinan dilakukan sesuai dengan indikasi obstetrik
b. Perawatan aktif
1. Tujuan : Terminasi kehamilan
2. Indikasi :
(i). Indikasi Ibu :
• Kegagalan terapi medikamentosa :
- Setelah 6 jam dimulainya terapi medikamaentosa terjadi kenaikan
tekanan darah persisten
- Setelah 34 jam dimulainya terapi medikamentosa terjadi kenaikan
tekanan darah yang progresif
• Didapatkan tanda dan gejala impending preeclampsia
• Didapatkan gangguan fungsi hepar
• Didapatkan gangguan fungsi ginjal
• Terjadi solusio plasenta
• Timbul onset persalinan atau ketuban pecah
(ii). Indikasi Janin
• Usia kehamilan ≥ 37 minggu
• PJT berdasarkan pemeriksaan USG serial
• NST patologis dan Skor Biofisikal Profil < 8
• Terjadi oligohidramnion
(iii). Indikasi Laboratorium
• Timbulnya HELLP syndrome
3. Pemberian antikejang : Seperti protokol yang tercantum pada tabel 1.
4. Terminasi kehamilan :
Bila tidak ada indikasi obstetrik untuk persalinan perabdominam, mode of
delivery pilihan adalah pervaginam dengan ketentuan sebagai berikut :
17
(i) Pasien belum inpartu
• Dilakukan induksi persalinan bila skor pelvik ≥ 8. Bila skor pelvik < 8
bisa dilakukan ripening dengan menggunakan misoprostol 25 μg
intravaginal tiap 6 jam. Induksi persalinan harus sudah mencapai kala II
sejak dimulainya induksi, bila tidak maka dianggap induksi persalinan
gagal dan terminasi kehamilan dilakukan dengan operasi sesar.
• Indikasi operasi sesar :
- Indikasi obstetrik untuk operasi sesar
- Induksi persalinan gagal
- Terjadi maternal distress
- Terjadi fetal compromised
- Usia kehamilan < 33 minggu
(ii) Pasien sudah inpartu
• Perjalanan persalinan dilakukan dengan mengikuti partograf
• Kala II diperingan
• Bila terjadi maternal distress maupun fetal compromised, persalinan
dilakukan dengan operasi sesar
• Pada primigravida direkomendasikan terminasi dengan operasi sesar
3.1.11 Edema paru pada preeklampsia berat14
Pathogenesis edema paru pada preeclampsia berat
Disfungsi endotel ditandai peningkatan kadar sVCAM-1, vWF dan fibrin monomer
sebagai petanda aktivasi koagulasi
Peningkatan permeabilitas kapiler akibat timbulnya mediator inflamasi (tromboksan dan
endothelin)
Ketidakseimbangan “Starling Force” akibat hipertensi dan hemodilusi, menyebabkan :
- Peningkatan tekanan vena pulmonalis
- Penurunan tekanan onkotik plasma
- Peningkatan negativitas tekanan interstisial
Akibat hal tersebut menyebabkan tertumpuknya cairan pada ruang interstisial paru-paru
akibat ekstravasasi cairan ke jaringan ekstraseluler menyebabkan edema paru 7
18
Gejala dan tanda
Sesak nafas
Rasa tidak nyaman di dada
Takipnea
Takikardi
Batuk-batuk
Sianosis
Ronkhi basah basal
Gambaran edema paru pada foto toraks
3.2 IUFD ( Intra Uterine Fetal Death )
3.2.1 Definisi
Intra Uterine Fetal Death (IUFD) atau kematian janin dalam kandungan adalah terjadinya
kematian janin ketika masih berada dalam rahim yang beratnya 500 gram dan atau usia
kehamilan 20 minggu atau lebih.1-3
Ada juga pendapat lain yang mengatakan kematian janin dalam kehamilan adalah kematian
janin dalam kehamilan sebelum proses persalinan berlangsung pada usia kehamilan 28 minggu
ke atas atau berat janin 1000 gram ke atas.4
3.2.2 Penyebab Kematian
19
Penyebab dari kematian janin intra uterine yang tidak dapat diketahui sekitar 25-60%,
insiden meningkat seiring dengan peningkatan usia kehamilan. Pada beberapa kasus yang
penyebabnya teridentifikasi dengan jelas, dapat dibedakan berdasarkan penyebab dari faktor
janin, maternal dan patologi dari plasenta.2-4
a. Faktor Ibu
1) Ketidakcocokan Rh darah Ibu dengan janin
Akan timbul masalah bila ibu memiliki Rh negatif, sementara ayah Rh positif, sehingga
janin akan mengikuti yang lebih dominan yaitu Rh positif, yang berakibat antara ibu dan
janin akan mengalami ketidakcocokan Rhesus. Ketidakcocokan ini akan mempengaruhi
kondisi janin tersebut. Misalnya dapat terjadi kondisi Hidrops fetalis, yaitu suatu reaksi
imunologis yang menimbulkan gambaran klinis pada janin antara lain berupa
pembengkakan pada perut akibat terbentuknya cairan yang berlebihan pada rongga perut
(asites), pembengkakan kulit janin penumpukan cairan di rongga dada atau rongga
jantung, dan lain-lain. Akibat dari penimbunan cairan-cairan yang berlebihan tersebut,
tubuh janin akan membengkak yang dapat berakibat pula darahnya bercampur dengan air.
Jika kondisi demikian terjadi, biasanya janin tidak akan tertolong lagi.
2) Ketidakcocokan golongan darah Ibu dengan janin
Terutama pada golongan darah A, B, dan O yang sering terjadi adalah antara golongan
darah anak A atau B dengan ibu bergolongan darah O atau sebaliknya. Hal ini disebabkan
karena pada saat masih dalam kandungan, darah janin tidak cocok dengan darah ibunya,
sehingga ibu akan membentuk zat antibodi.
3) Berbagai penyakit pada ibu hamil
Salah satu contohnya adalah diabetes dan preeklampsia. Hipertensi juga sangat berbahaya
pada ibu hamil, baik yang memang memiliki riwayat hipertensi maupun yang tidak
(hipertensi gravidarum). Hipertensi dapat menyebabkan kekurangan O2 pada janin yang
disebabkan oleh berkurangnya suplai darah dari ibu ke plasenta yang disebabkan oleh
spasme dan kadang-kadang trombosis dari pembuluh darah ibu.
4) Trauma saat hamil
20
Trauma bisa mengakibatkan terjadinya solusio plasenta atau plasenta terlepas. Trauma
terjadi misalnya karena benturan pada perut, baik karena kecelakaan atau pemukulan.
Trauma bisa saja mengenai pembuluh darah di plasenta, sehingga menimbulkan
perdarahan pada plasenta atau plasenta terlepas sebagian, yang pada akhirnya aliran darah
ke janin pun terhambat.
5) Infeksi pada ibu hamil
Ibu hamil sebaiknya menghindari berbagai infeksi seperti bakteri maupun virus. Bahkan
demam tinggi pada ibu hamil (lebih dari 103º F) dapat menyebabkan janin tidak tahan
dengan tubuh ibunya.
6) Prolonged Pregnancy (kehamilan diatas 42 minggu)
Kehamilan lebih dari 42 minggu.Jika kehamilan telah lewat waktu, plasenta akan
mengalami penuaan sehingga fungsinya akan berkurang. Janin akan kekurangan asupan
nutrisi dan oksigen. Cairan ketuban bisa berubah menjadi sangat kental dan hijau,
akibatnya cairan dapat terhisap masuk ke dalam paru-paru janin. Hal ini bisa dievaluasi
melalui USG dengan color doppler sehingga bisa dilihat arus arteri umbilikalis jantung
ke janin. Jika demikian, maka kehamilan harus segera dihentikan dengan cara diinduksi.
Itulah perlunya taksiran kehamilan pada awal kehamilan dan akhir kehamilan melalui
7) Hamil pada usia lanjut
Hamil pada usia lanjut adalah kehamilan pada usia >35 tahun. Kehamilan ini rentan
dikarenakan beberapa hal, yaitu:
Selepas usia menjangkau 35 tahun ke atas setiap wanita akan mengalami penurunan
dalam kualitas telur yang dihasilkan oleh ovarium.
Umur berkaitan pula dengan perubahan hormon. Jadi kemungkinan pengeluaran telur
lebih dari satu. Seterusnya boleh menyebabkan berlaku kehamilan kembar dua atau
lebih.
21
Wanita yang hamil pada usia lanjut juga mudah mengalami masalah diabetes. Ini
dapat dikarenakan ibu dengan gaya hidup yang tidak sehat, terlalu banyak konsumsi
gula, dan jarang olah raga.
Kehamilan pada usia lanjut juga mungkin sukar untuk bersalin secara normal.
Memiliki resiko tinggi janin mengalami syndrome Down karena kelainan kromosom.
Resiko tinggi keguguran.
8) Ruptur uteri
Ruptur uteri merupakan salah satu bentuk perdarahan yang terjadi pada kehamilan
lanjut dan persalinan, selain plasenta previa, solusio plasenta, dan gangguan pembekuan
darah. Batasan perdarahan pada kehamilan lanjut berarti perdarahan pada kehamilan
setelah 22 minggu sampai sebelum bayi dilahirkan, sedangkan perdarahan pada
persalinan adalah perdarahan intrapartum sebelum kelahiran.
9) Kematian Ibu
Jika terjadi kematian ibu, sudah jelas janin juga akan mengalami kematian,
dikarenakan fungsi tubuh yang seharusnya menopang pertumbuhan janin, tidak lagi ada.
b. Faktor Janin
1) Gerakan Sangat Berlebihan
Gerakan bayi dalam rahim yang sangat berlebihan, terutama jika terjadi gerakan
satu arah saja dapat membahayakan kondisi janin. Hal ini dikarenakan gerakan yang
berlebihan ini akan menyebabkan tali pusar terpelintir. Jika tali pusar terpelintir, maka
pembuluh darah yang mengalirkan darah dari ibu ke janin akan tersumbat. Gerakan janin
yang sangat liar menandakan bahwa kebutuhan janin tidak terpenuhi.
2) Kelainan kromosom
Bisa juga disebut penyakit bawaan, misalnya kelainan genetik berat (trisomi).
Kematian janin akibat kelainan genetik biasanya baru terdeteksi pada saat kematian
sudah terjadi, yaitu dari hasil otopsi janin. Hal ini disebabkan karena pemeriksaan
kromosom saat janin masih dalam kandungan beresiko tinggi dan memakan biaya
banyak.
22
3) Kelainan bawaan bayi
Yang bisa mengakibatkan kematian janin adalah hidrops fetalis, yakni akumulasi
cairan dalam tubuh janin. Jika akumulasi cairan terjadi dalam rongga dada bisa
menyebabkan hambatan nafas bayi. Kerja jantung menjadi sangat berat akibat dari
banyaknya cairan dalam jantung sehingga tubuh bayi mengalami pembengkakan atau
terjadi kelainan pada paru-parunya.
4) Malformasi janin
Pada janin yang mengalami malformasi, berarti pembentukan organ janin tidak
berlangsung dengan sempurna. Karena ketidaksempurnaan inilah suplai yang dibutuhkan
janin tidak terpenuhi, sehingga kesejahteraan janin menjadi buruk dan bahkan akan
menyebabkan kematian pada janin.
5) Kehamilan multiple
Pada kehamilan multiple ini resiko kematian maternal maupun perinatal meningkat.
Berat badan janin lebih rendah dibanding janin pada kehamilan tunggal pada usia
kehamilan yang sama (bahkan perbedaannya bisa sampai 1000-1500 g). Hal ini bisa
disebabkan regangan uterus yang berlebihan sehingga sirkulasi plasenta juga tidak lancar.
Jika ketidaklancaran ini berlangsung hingga keadaan yang parah, suplai janin tidak
terpenuhi dan pada akhirnya akan menyebabkan kematian janin.
6) Intra Uterine Growth Restriction
Kegagalan janin untuk mencapai berat badan normal pada masa kehamilan.
Pertumbuhan janin terhambat dan bahkan menyebabkan kematian, yang tersering
disebabkan oleh asfiksia saat lahir, aspirasi mekonium, perdarahan paru, hipotermia dan
hipoglikemi.
7) Infeksi (parvovirus B19, CMV, listeria)
Infeksi ini terjadi dikarenakan oleh virus, dan jika virus ini telah menyerang maka
akan menyebabkan janin mengalami gangguan seperti, pembesaran hati, kuning,
ekapuran otak, ketulian, retardasi mental, dan lain-lain. Dan gangguan ini akan membuat
kesejahteraan janin memburuk dan jika dibiarkan terus-menerus janin akan mati.
8) Insufisiensi plasenta yang idiopatik
23
Merupakan bagian dari kasus hipertensi dan penyakit ginjal yang sudah
disebutkan diatas. Pada beberapa kasus, insufisiensi plasenta ini terjadi pada kehamilan
yang berturut-turut. Janin tidak mengalami pertumbuhan secara normal.
c. Faktor Palsenta
1) Perlukaan cord
2) Pecah secara mendadak (abruption)
3) Premature Rupture of Membrane
4) Vasa Previa
d. Faktor Resiko
Berikut ini beberapa faktor resiko terjadinya kematian janin intra uteri : 1,14
Ibu usia lanjut
Riwayat kematian janin intra uterine
Infertilitas Ibu
Hemokonsentrasi pada ibu
Usia Ayah
Obesitas
3.2.3 Patologi Anatomi16,18
Janin yang meninggal intra uterin biasanya lahir dalam kondisi maserasi. Kulitnya
mengelupas dan terdapat bintik-bintik merah kecoklatan oleh karena absorbsi pigmen darah.
Seluruh tubuhnya lemah atau lunak dan tidak bertekstur. Tulang kranialnya sudah longgar dan
dapat digerakkan dengan sangat mudah satu dengn yang lainnya. Cairan amnion dan cairan yang
ada dalam rongga mengandung pigmen darah. Maserasi dapat terjadi cepat dan meningkat dalam
waktu 24 jam dari kematian janin. Dengan kata lain, patologi yang terjadi pada IUFD dapat
terjadi perubahan-perubahan sebagai berikut:2,3,4
a) Rigor mortis (tegang mati)
Berlangsung 2 ½ jam setelah mati, kemudian janin menjadi lemas sekali.
b) Stadium maserasi I
Timbul lepuh-lepuh pada kulit. Lepuh-lepuh ini mula-mula berisi cairan jernih kemudian
menjadi merah. Berlangsung sampai 48 jam setelah janin mati.
24
c) Stadium maserasi II
Lepuh-lepuh pecah dan mewarnai air ketuban menjadi merah coklat. Terjadi setelah 48
jam janin mati.
d) Stadium maserasi III
Terjadi kira-kira 3 minggu setelah janin mati. Badan janin sangat lemas dan hubungan
antar tulang sangat longgar. Terdapat edema di bawah kulit.
3.2.4 Tanda dan Gejala
Pada wanita yang diketahui mengalami kematian janin intra uterine (IUFD), pada
beberpa hari berikutnya mengalami penurunan ukuran payudara. Tanda-tanda lain yang juga
dapat ditemukan adalah sebagai berikut:1,2,3,4, 15
1) Tidak ada gerakan janin. Pada umumnya, ibu merasakan gerakan janin pertama pada usia
kehamilan 18 minggu (pada multipara) atau 20 minggu (pada primipara). Gerakan janin
normalnya minimal 10 kali sehari.
2) Gerakan janin yang sangat hebat atau sebaliknya, gerakan janin yng semakin pelan atau
melemah.
3) Ukuran abdomen menjadi lebih kecil dibandingkan dengan ukuran pada saat kehamilan
normal dan tinggi fundus uteri menurun atau kehamilan yang tidak kunjung besar,
dicurigai bila pertumbuhan kehamilan tidak sesuai bulan.
4) Bunyi jantung anak tidak terdengar
5) Palpasi janin menjadi tidak jelas
6) Pergerakan janin tidak teraba oleh tangan pemeriksa
7) Pada foto roentgen dapat terlihat:
Tulang-tulang cranial saling menutupi (tanda spalding)
Tulang punggung janin sangat melengkung (tanda naujokes)
Ada gelembung-gelembung gas pada badan janin.
3.2.5 Diagnosis dan Diagnosis Banding 1,2,3,4 ,18
Tabel 1. Diagnosis dan Diagnosis Banding IUFD
Gejala dan Tanda Selalu
Ada
Gejala dan Tanda
Kadang-Kadang AdaDiagnosa Kemungkinan
25
Gerakan janin
berkurang atau hilang
Nyeri perut hilang
timbul atau menetap
Perdarahan pervaginam
sesudah hamil 22
minggu
Syok
Uterus tegang/kaku
Gawat janin atau DJJ
tidak terdengar
Solusio plasenta
Gerakan janin dan DJJ
tidak ada
Perdarahan
Nyeri perut hebat
Syok
Perut kembung/ cairan
bebas intra abdominal
Kontur uterus abnormal
Abdomen nyeri
Bagian-bagian janin
teraba
Denyut nadi ibu cepat
Ruptura uteri
Gerakan janin
berkurang atau hilang
DJJ abnormal
(<100/menit atau
>180/menit)
Cairan ketuban
bercampur mekonium
Gawat janin
Gerakan janin/ DJJ
hilang
Tanda-tanda kehamilan
berhenti
Tinggi fundus uteri
berkurang
Pembesaran uteri
berkurang
Kematian janin
3.2.6 Penatalaksanaan Kematian Janin Intrauterin 2,13,16
Kelahiran harus segera diinduksi secepatnya setelah diagnosa dapat ditegakkan. Pada satu
penelitian, penundaan kelahiran lebih dari 24 jam setelah terdiagnosis dihubungkan dengan
26
peningkatan terjadinya masa anxietas dibandingkan dengan wanita yang kelahirannya diinduksi
dalam waktu 6 jam.
Ketika janin berada di dalam uterus selama 3-4 minggu, level fibrinogen bisa turun yang
dapat menyebabkan koagulopati. Hal ini sangat jarang terjadi pada kehamilan tunggal karena
penegakan diagnosa dan induksi yang dilakukan lebih awal. Pada beberapa kasus kehamilan
kembar, tergantung dari tipe plasentasi, induksi setelah kematian kedua janin mungkin dapat
menghambat perkembangan janin menjadi matur. Pada kasus ini beberapa spesialis anak tidak
merekomendasikan untuk memeriksakan koagulasi darah. Secara umum, resiko berkembangnya
disseminated intravascular coagulopathy sangat jarang.
Kematian janin awal dapat ditangani dengan pemberian laminaria diikuti oleh dilatasi dan
ekstraksi. Pada wanita dengan kematian janin sebelum usia kehamilan kurang dari 28 minggu,
induksi dapat dilakukan dengan menggunakan prostaglandin E2 vaginal suppositoria (10-20 mg
tiap 4-6 jam), misoprostol pervaginal atau per oral (400 mcg tiap 4-6 jam), dan/atau oxytocin
(terutama bagi wanita dengan sectio caessaria). Pada wanita dengan kematian janin pada usia
kehamilan setelah 28 minggu, harus menggunakan dosis yang lebih rendah. The American
College of Obstetricians and Gynaecologists mengatakan bahwa untuk induksi kelahiran
prostaglandin E2 dan misoprostol hendaknya tidak digunakan pada wanita denga riwayat sectio
caessaria karena resiko terjadinya ruptur uteri.
Penanganan rasa nyeri pada pasien dengan induksi kelahiran untuk kasus kematian janin
lebih mudah ditangani dibandingkan dengan pasien dengan janin yang masih hidup. Narkotik
dengan dosis yang lebih tinggi bermanfaat untuk pasien, dan pemberian morfin biasanya cukup
efektif untuk pengendalian rasa nyeri.
Berikut tahapan-tahapan penanganan pada ibu yang didiagnosa mengalami IUFD:1,2,3,4
1. Jika kematian janin intra uterine telah jelas ditemukan, pasien harus diberitahukan secara
berhati-hati dan dihibur. Pertimbangkan untuk menunda prosedur evakuasi janin untuk
membiarkan pasien menyesuaikan secara psikologis terhadap kematian janin tersebut.
Penundaan tersebut juga mempunyai keuntungan tambahan dengan memberikan kesempatan
pada serviks untuk lebih siap. Jika persalinan tidak terjadi segera setelah kematian janin,
terutama pada kehamilan lanjut, koagulopati maternal dapat terjadi, walaupun keadaan ini
jarang terjadi sebelum 4-6 minggu setelah kematian janin. Setelah 3 minggu, lakukan
pemeriksaan koagulasi yang termasuk hitung trombosit, kadar fibrinogen, waktu protrombin,
27
partial tromboplastin time (PTT), dan analisis produk degradasi fibrinogenserta lakukan
secara serial. Berikan immunoglobulin rhesus pada semua gravida rhesus negatif kacuali
ayah janin diketahui pasti dengan rhesus negatif. Berikan dosis kecil (30μg) pada trimester I
dan dosis penuh pada kehamilan akhir.
2. Penggunaan USG pada kehamilan dini telah menunjukkan bahwa kematian janin terjadi
pada gestasi kembar lebih sering daripada yang diperkirakan sebelumnya. Keadaan ini
biasanya asimtomatik, walaupun mungkin terjadi bercak pada vagina. Tidak diperlukan
intervensi, dan dapat diharapkan terjadinya resorpsi pada janin yang mati.
Hipofibrinogenemia maternal adalah komplikasi yang jarang dan harus diamati pada kasus
tersebut. Koagulopati konsumtif juga dapat timbul pada janin yang hidup. Keadaan ini
mengarahkan pada perlunya persalinan segera jika kematian salah satu janin terjadi pada
kehamilan yang lanjut dan maturitas janin yang lainnya telah diyakini dengan pemeriksaan
unsur-unsur pulmonal dalam cairan amnion.
3. Prostaglandin E2 dalam bentuk supositoria vagina (20 mg tiap tiga sampai lima jam)
adalah efektif untuk evakuasi janin yang telah mati pada midtrimester. Walaupun insidensi
keberhasilan adalah tinggi, terjadinya retensi plasenta memerlukan kuretase. Dokter dapat
menggunakan dosis 15-methylprostaglandin F2 intramuskuler (250 μg pada interval satu dan
satu sampai satu setengah dan seengah jam) jika selaput amnion telah pecah. Sesuaikan
jadwal dosis untuk menghindari stimulasi yang berlebihan. Adanya kegagalan mengarahkan
pada anomali rahim. Persiapkan aminophylline dan terbualine untuk menghindari
bronkospasme jika prostaglandin diberikan pada pasien asmatik. Penggunaan oksitosin
secara bersamaan harus dihindari karena resiko rupture uterin.
4. Jika janin telah mati dalam waktu yang cukup lama, ukuran rahim menurun cukup
banyak untuk memungkinkan evakuasi dengan penyedotan dapat dilakukan dengan aman.
Pemeriksaan keadaan koagulasi, seperti yang telah disebutkan, harus dilakukan. Jika keadaan
tersebut ditemukan, atasilah koagulopati dan lanjutkan dengan evakuasi. Kira-kira 80% akan
memasuki persalinan dalam dua atau tiga minggu. Jika timbul koagulopati, heparin dapat
dipakai untuk memperbaikinya sebelum melakukan evakuasi rahim, tetapi penggunaan
heparin pada keadaan tersebut tidak sepenuhnya bebas dari bahaya. Histerotomi hampir tidak
pernah diindikasikan kecuali terdapat persalinan dengan seksio secaria sebelumnya atau
operasi miomektomi. Evakuasi instrumental transervikal dan kehamilan trimester ketiga
28
yang telah lanjut memerlukan keahlian dan pengalaman khusus untuk menghindari perforasi
dan perdarahan. Laminaria mungkin berguna dalam kasus tersebut.
5. Semua gravida dengan rhesus negatif harus diberikan immunoglobulin rhesus. Jika
diperkirakan terdapat interval lebih dari 72 jam antara kematian janin dan persalinan, berikan
dosis immunoglobulin yang sesuai dengan segera. Penjelasan pasca persalinan adalah bagian
yang penting dalam perawatan total pasien. Tiap usaha harus dilakukan untuk mendapatkan
ijin otopsi janin, karyotiping dan pemeriksaan lain yang dindikasikan
Penanganan Umum
Berikan dukungan emosional pada ibu.
Nilai denyut jantung janin (DJJ) :
- bila ibu mendapat sedatif, tunggu hilangnya pengaruh obat, kemudian nilai ulang;
- bila DJJ tak terdengar minta beberapa orang mendengarkan menggunakan
stetoskop Doppler.
Penanganan Khusus
Kematian janin dapat terjadi akibat gangguan pertumbuhan janin, gawat janin, atau kelainan
bawaan atau akibat infeksi yang tidak terdiagnosis sebelumnya sehingga tidak diobati.
Jika pemeriksaan radiologik tersedia, konfirmasi kematian janin setelah 5 hari. Tanda-
tandanya berupa overlapping tulang tengkorak, hiperfleksi kolumna vertebralis, gelembung
udara di dalam jantung dan edema scalp.
USG: merupakan sarana penunjang diagnostik yang baik untuk memastikan kematian janin
di mana gambarannya menunjukkan janin tanpa tanda kehidupan: tidak ada denyut jantung
janin, ukuran kepala janin, dan cairan ketuban berkurang.
Dukungan mental emosional perlu diberikan kepada pasien. Sebaiknya pasien selalu
didampingi oleh orang terdekatnya. Yakinkan bahwa besar kemungkinan dapat lahir per
vaginam.
Pilihlah cara persalinan dapat secara aktif dengan induksi maupun ekspektatif, perlu
dibicarakan dengan pasien dan keluarganya sebelum keputusan diambil.
Bila pilihan penanganan adalah ekspektatif:
- tunggu persalinan spontan hingga 2 minggu;
29
- yakinkan bahwa 90% persalinan spontan akan terjadi tanpa komplikasi.
Jika trombosit dalam 2 minggu menurun tanpa persalinan spontan, lakukan penanganan aktif.
Jika penanganan aktif akan dilakukan, nilai serviks:
- jika serviks matang, lakukan induksi persalinan dengan oksitosin atau
prosaglandin.
- jika serviks belum matang, lakukan pematangan serviks dengan prostaglandin
atau kateter foley.
Catatan: Jangan lakukan amniotomi karena beriiko infeksi.
- persalinan dengan seksio sesarea merupakan alternatif terakhir.
Jika persalinan spontan tidak terjadi dalam 2 minggu, trombosit menurun, dan serviks
belum matang, matangkan serviks dengan misoprostol:
- tempatkan misoprostol 25 mcg di puncak vagina; dapat diulangi sesudah 6 jam.
- jika tidak ada respon sesudah 2 x 25 mcg misoprostol, naikkan dosis menjadi 50
mcg setiap 6 jam.
Catatan: Jangan berikan lebih dari 50 mcg setiap kali dan jangan melebih 4 dosis.
Jika ada tanda infeksi, berikan antibiotika untuk metritis.
Jika tes pembekuan sederhana lebih dari 7 menit atau bekuan mudah pecah, waspada
koagulopati.
Berikan kesempatan kepada ibu dan keluarganya untuk melihat dan melakukan berbagai
kegiatan ritual bagi janin yang meninggal tersebut.
Pemeriksaan patologi plasenta adalah untuk mengungkapkan adanya patologi plasenta
dan infeksi.
30
3.2.7 Komplikasi yang mungkin Terjadi
Komplikasi yang mungkin terjadi pada ibu hamil dengan IUFD dapat terjadi bila janin
yang sudah meninggal tidak segera dilahirkan lebih dari 2 minggu. Akan tetapi, kasus janin yang
meninggal dan tetap berada di rahim ibu lebih dari 2 minggu sangat jarang terjadi. Hal ini
dikarenakan biasanya tubuh ibu sendiri akan melakukan penolakan bila janin mati, sehingga
timbullah proses persalinan. Adapun komplikasi yang mungkin terjadi adalah sebagai berikut:1-
4,13-7
1) Disseminated Intravascular Coagulation (DIC), yaitu adanya perubahan pada proses
pembekuan darah yang dapat menyebabkan perdarahan atau internal bleeding.
2) Infeksi
3) Koagulopati maternal dapat terjadi walaupun ini jarang terjadi sebelum 4-6 minggu
setelah kematian janin.
31
DUGAAN KEMATIAN JANIN
Hilangnya pergerakan janinTidak terdapat pertumbuhan janinTidak terdapat denyut jantung janin
Hitung trombositKadar fibrinogenWaktu protrombin (PT)
Partial Thromboplastin Time (PTT)Produk Degrdasi Fibrin (FDP)
Ultrasonografi
Tegaskan kematian janin dengan ultrasongrafi
Berikan penjelasan dan dukungan dalam keadaan duka cita
Oleh karena adanya komplikasi akibat IUFD, maka janin yang telah meninggal harus
segera dilahirkan. Proses kelahiran harus segera dilkukan secara normal, karena bila melalui
operasi akan terlalu merugikan ibu. Operasi hanya dilakukan jika ada halangan untuk melahirkan
normal. Misalnya janin meninggal dalam posisi melintang atau karena ibu mengalami
preeklampsia.
32
DAFTAR PUSTAKA
1. Wang Y, Alexander JS. Placental Pathophysiology in Preclampsia. Pathophysiology
2000; 6: 261-270.
2. Wibowo B., Rachimhadi T., 2006. Preeklampsia dan Eklampsia, dalam : Ilmu
Kebidanan. Edisi III. Jakarta. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, pp. 281-99
3. Cunningham F. G., 2005. Chapter 34. Hypertensive Disorders In Pregnancy. In Williams
Obstetri. 22nd Ed. New York :Medical Publishing Division, pp. 762-74
4. Cunningham F.G., 1995. Hipertensi dalam Kehamilan. Dalam Obstetri Williams. Edisi
18. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC, pp. 773-819
5. Surjadi, M.L. dkk, 1999, Perbandingan Rasio Ekskresi Kalsium/Kreatinin Dalam Urin
Antara Penderita Preeklamsia Dan Kehamilan Normal, Majalah Obstetri Dan
Ginekologi Indonesia, 23, 23-26.
6. Suyono, Y.J., 2002, Dasar-Dasar Obstetri & Ginekologi, edisi 6, Hipokrates, Jakarta
Tomasulo, P.J. & Lubetkin, D., (2006, March 15 – Review date),
Preeclamsia, Availablefrom:
http://www.obgyn.health.ivillage.com/pregnancybacics/preeclamsia.cmf
7. Wibowo B., Rachimhadi T., 2006. Preeklampsia dan Eklampsia, dalam : Ilmu
Kebidanan. Edisi III. Jakarta. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, pp. 281-99
8. Sudhaberata K., 2001. Profil Penderita Preeklampsia-Eklampsia di RSU Tarakan Kaltim.
9. Sunaryo R., 2008. Diagnosis dan Penatalaksanaan Preeklampsia-Eklampsia, in : Holistic
and Comprehensive Management Eclampsia. Surakarta : FK UNS, pp 14
10. Wibowo B., Rachimhadi T., 2006. Preeklampsia dan Eklampsia, dalam : Ilmu
Kebidanan. Edisi III. Jakarta. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, pp. 281-99
11. Manuaba I. B. G., 2007. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta : EGC, pp 401-31
12. Rachma N., 2008. Eklampsia : Preventif dan Rehabilitasi Medik Pre dan post Partum, in
Holistic and Comprehensive Management Eclampsia. Surakarta : FK UNS, pp. 99
13. Prasetyorini, N, 2009. Penanganan Preeklampsia dan Eklampsia. Seminar POGI Cabang
Malang. Divisi Kedokteran Feto Maternal - FKUB/RSSA Malang
33
14. College Of Obstetricians And Gynaecologists, Singapore. 2006. Consensus Statement On
The Management Of Pre-eclampsia
15. Achadiat, C.M., 2004, Prosedur Tetap Obstetri & Ginekologi, Penerbit Buku Kedokteran
EGC, Jakarta
16. Cuningham, F.G., Gant, N.F., Leveno K.J., Gilstrap III L.C., Hauth, J.C., Wenstrom,
K.D., 2001. Williams Obstetrics (21st edition). The McGraw-Hill Companies, Inc. United
States of America.
17. Mochtar, R., 1998, Sinopsis Obstetri Patologi, Edisi II, Penerbit Buku Kedokteran EGC,
Jakarta
18. Wiknjosastro, H., Saifuddin, B, A., Rachimhadhi, T. 2002. Ilmu Kebidanan. Yayasan
Bina Pustaka. Jakarta.
34